MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO"

Transkripsi

1 MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 7 April 2006 Teddy Rusolono NIM

3 ABSTRAK TEDDY RUSOLONO. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon. Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG, UPIK ROSALINA WASRIN, RIZALDI BOER, dan DUDUNG DARUSMAN. Sejalan dengan makin meningkatnya peran jasa lingkungan hutan, maka sangat diperlukan adanya sistem dan metode penilaian yang sesuai agar pengelolaan hutan dapat memperoleh manfaat ekonomi langsung berkat adanya jasa lingkungan tersebut. Melalui Protokol Kyoto, jasa lingkungan dalam penyerapan karbon oleh hutan dihargai sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan. Praktek agroforestri memiliki banyak keunggulan untuk masuk dalam pasar karbon, karena selain mendorong upaya menambah luasan hutan dan pengurangan emisi, juga memberikan insentif untuk menambah sumber pendapatan untuk peningkatan taraf hidup masyarakat di pedesaan. Adanya metode pendugaan persediaan karbon yang terandalkan dan absah untuk tegakan agroforestri menjadi syarat keharusan bagi masuknya pengelolaan agroforestri dalam perdagangan karbon melalui skema Protokol Kyoto. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai faktorfaktor berikut model matematik yang dapat menjelaskan ragam potensi persediaan karbon melalui praktek agroforestri. Model yang dihasilkan dipergunakan untuk merumuskan metode pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri. Besarnya kandungan karbon ini selanjutnya dapat dipergunakan untuk menilai kemungkinan pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon. Penelitian lapangan dilakukan pada tegakan agroforestri di lahan milik pada dua desa contoh, masing-masing di Desa Pecekelan (Kabupaten Wonosobo) dan di Desa Kertayasa (Kabupaten Ciamis). Pengukuran, pengamatan dan wawancara di lapangan dilakukan selama dua bulan, yaitu bulan Agustus dan September Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk struktur tegakan horizontal untuk tegakan agroforestri menyerupai huruf J-terbalik, walaupun berbeda dalam jenis pohon penyusunnya. Bentuk struktur tegakan seperti ini lazim ditemukan pada tegakan hutan tidak seumur atau hutan alam. Pendugaan persediaan karbon dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu memperhatikan bentuk struktur tegakan horizontalnya, menggunakan peubah kerapatan dan luas bidang dasar tegakan, atau menggunakan fungsi pertumbuhan dengan peubah umur tegakan. Komponen pohon merupakan bagian terpenting sumber persediaan karbon yang mencapai hampir 80% dari seluruh persediaan karbon agroforestri. Terdapat kecenderungan variasi yang tinggi untuk mengukur dan memonitor potensi persediaan karbon agroforestri, yang dapat menimbulkan masalah ketika menetapkan besarnya manfaat karbon yang dihasilkan untuk pihak pembeli. Namun petani dapat mengukur dan memonitor lahannya sendiri untuk melengkapi pendekatan sampling yang cenderung memiliki ketelitian yang rendah.. Manfaat penjualan karbon bersifat tambahan dalam praktek agroforestri, besarnya manfaat total yang diperoleh tergantung pada tambahan biaya transaksi yang diperlukan untuk proses mendapat pengakuan besarnya serapan karbon yang akan dihasilkan. ii

4 ABSTRACT TEDDY RUSOLONO. Prediction model of carbon stocks in agroforestry to support small-scale forest management through carbon trade scheme. Under supervision of: ENDANG SUHENDANG, UPIK ROSALINA WASRIN, RIZALDI BOER, and DUDUNG DARUSMAN. In line with the increasing role of environmental service of forests, it is needed an appropriate assessment system and method in order to obtain direct benefits of such environmental services. Through the Kyoto Protocol, an environmental service of forests in term of carbon sequestration would become a promising commodity to be traded. Agroforestry practices have a great potentiality to participate in the carbon market, because they will not only provide an incentive to expand forest area and reduce emissions, but also at the same time improve income of rural communities. The excistance of reliable and valid method for estimating carbon stocks in agroforestry stand is a necessary condition to include agroforestry management in to carbon trade according to Kyoto Protocol scheme. However, since the carbon trade is a new issue, there are still some emerging problems particularly on how the carbon stocks can be determined and how the carbon benefits can be recognized by potential buyers. The objectives of this research are to characterize factors affecting the carbon stocks variation of agroforestry practices through mathematical models and to formulate estimation method of carbon stocks which can be used to assess small-scale forest managements through carbon trade scheme. This research was conducted in agroforestry stands located at the two sample villages in Wonosobo and Ciamis districts, in the period of August to September A full enumeration was carried out to estimate biomass and carbon stock of agroforestry stands. In addition, some interviews with the local farmers were conducted to know their approaches in managing the agroforestry stands. The results of this research showed that the horizontal structure of the agroforestry stands follows the reverse J shape, which is typically found in uneven-aged natural forests. Carbon stocks can be estimated by using parameters of the stand structure model, stand density and basal area as well as using yield function of carbon stock and stand age. Trees were the major carbon source that served about 80% of total carbon stocks in the agroforestry stands. There were high variations of carbon stocks in the agroforestry stands, which could lead to a difficulty in determining the carbon benefits. However, farmers can measure and monitor their own lands as a complement to the sampling approach which is still tend to produce less accuracy. In agroforestry practices, revenues obtained from the carbon trade are additional incomes which depend on the additional transaction costs required in the validation and verification processes. iii

5 MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 iv

6 Judul Disertasi : Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon Nama : Teddy Rusolono NIM : Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS Ketua Dr.Ir. Upik Rosalina Wasrin, DEA Anggota Dr.Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Anggota Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Dede Hermawan, MSc Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc Tanggal Ujian: 7 April 2006 Tanggal Lulus: v

7 KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaanirrohim. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Disertasi ini disusun untuk menggali manfaat jasa karbon yang dapat dihasilkan dari praktek agroforestri yang secara tradisional dilakukan di banyak tempat di Indonesia. Banyak yang percaya bahwa penjualan jasa lingkungan melalui mekanisme berbasis pasar bisa memberikan insentif yang mendorong upaya konservasi hutan dan pada waktu yang bersamaan menyediakan sumber pendapatan baru yang penting untuk peningkatan taraf hidup masyarakat yang sebelumnya terabaikan. Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik dengan bantuan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan pertama penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta Dr.Ir. Upik Rosalina Wasrin, DEA, Dr.Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, dan Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA, masing-masing selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan nasehat yang sangat berarti bagi penyelesaian tugas akhir penulis. Selanjutnya penulis juga merasa berhutang budi kepada banyak pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof.Dr.Ir. Zahrial Coto, M.Sc yang saat itu menjabat Dekan Fakultas Kehutanan IPB dan Rektor IPB yang telah mengijinkan saya melanjutkan studi doktor di IPB. Pimpinan dan pengelola BPPS yang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan program doktor kepada penulis. Pimpinan dan staf pada Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan pelayanan yang baik selama saya menjadi mahasiswa. Rekan-rekan staf pengajar Kelompok Bidang Perencanaan Hutan dan staf pengajar lain di Departemen Manajemen Hutan dan seluruh jajaran pimpinan di Fakultas Kehutanan IPB yang selalu dalam situasi kebersamaan telah banyak memberikan masukan dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tugas studi. Penulis juga vi

8 mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sumeri dan Bapak Suparman, atas kebaikannya yang tulus menyediakan tempat tinggal dan bantuan di lapangan selama masa penelitian, serta Sdr. Varian Triantomo, Sdr. Yudistira dan Sdr. Endim Dimyana, BScF, yang telah turut membantu penulis dalam pengumpulan data lapangan. Kepada mereka yang tercinta orang tua penulis, ayah-ibu kandung dan ayahibu (almarhumah) mertua yang senantiasa memberikan spirit kepada saya dengan bahasanya sendiri untuk terus mencari ilmu, adalah pelajaran yang sangat amat berharga. Untuk itu tentu tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih. Rasa bangga dan terima kasih tidak dapat saya sembunyikan khususnya kepada isteri Fitriani Tjipto Putranti dan putra-putri tercinta Amalina Dyani Putri dan Irshadi Dyan Satrioutomo, yang dengan sabar dan penuh pengertian mendampingi saya, serta doa yang selalu mereka panjatkan untuk saya dalam keseharian. Karena mereka, semangat saya terus terpelihara untuk mencapai derajat akademik tertinggi ini. Akhirnya penulis berharap kepada semua pihak yang telah membantu selama ini, agar apa yang telah dilakukannya menjadi amal shaleh baginya. Harapan penulis mudah-mudahan pikiran-pikiran yang tertuang dalam disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan para pihak yang peduli dengan pengembangan agroforestri untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat petani dan perbaikan kualitas lingkungan hidup, walaupun penulis sadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Bogor, 7 April 2006 Teddy Rusolono vii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Murung Pudak (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan) pada tanggal 24 Oktober 1962 dari pasangan H. Ribut Giono dan Hj. Rubingah, sebagai putera kedua dari enam bersaudara. Pada tahun 1974 penulis menamatkan pendidikan dasar pada SD Negeri Taman Bunga di Murung Pudak, pada tahun 1977 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri Tanjung, dan pada tahun 1981 tamat dari SMA Negeri Tanjung. Pendidikan dasar hingga sekolah menengah tersebut seluruhnya berada di wilayah Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Penulis diterima di IPB pada tahun 1981 dan pada tahun 1986 menyelesaikan gelar sarjana kehutanan (S1) pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1987 penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB dan terdaftar sebagai staf pengajar pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB hingga sekarang. Penulis melanjutkan studi S2 pada Program Studi Statistika Terapan, Program Pascasarjana IPB pada tahun 1989 dengan beasiswa TMPD Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan memperoleh gelar magister sains pada tahun Sejak tahun 1998 penulis mulai menempuh program doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB yang selain dibiayai sendiri juga memperoleh beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional. Penulis menikah dengan drg Fitriani Tjiptoputranti pada tahun 1989, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Amalina Dyaniputri (putri) dan Irshadi Dyan Satrioutomo (putra). viii

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah Penelitian. 3 Tujuan Penelitian.. 4 Hipotesis Penelitian.. 5 Manfaat Hasil Penelitian.. 5 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan Pengertian Agroforestri. 23 Penyimpanan Karbon Melalui Praktek Agroforestri. 26 Model Pendugaan Pertumbuhan dan Hasil Tegakan 33 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pendekatan Masalah... Lokasi dan Waktu Penelitian..... Metode Penelitian Pengumpulan dan Pengolahan Data Analisis Data KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Desa Pecekelen. 52 Desa Kertayasa.. 57 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Agroforestri dan Keanekaragaman Jenis Ciri-ciri Tempat Tumbuh Tegakan Agroforestri Struktur Horizontal Tegakan Agroforestri Keragaman Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Fungsi Alometrik Biomassa Pohon Perbandingan dengan Persamaan Alometrik Biomassa Lain Persediaan Karbon Menurut Sumber Biomassa dan Variasinya.. 82 Ketelitian Pendugaan Persediaan Karbon dan Pengembangan Metode Inventarisasi Karbon Sumber Karbon dan Ketelitian Pendugaannya Pengaruh Intensitas Sampling dan Luas Satuan Contoh.. 97 Implikasi Metode Inventarisasi Karbon pada Tegakan Agroforestri viii x xii 34 37

11 Halaman Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri Pendekatan Struktur Tegakan Pendekatan Peubah Tegakan Pendekatan Fungsi Pertumbuhan Tegakan Penggunaan Model Penduga Persediaan Karbon Prospek Pengelolaan Agroforestri Melalui Skema Perdagangan Karbon Ditinjau dari Aspek Finansial Satuan Proyek, Pola Agroforestri, Komponen Biaya dan Pendapatan, serta Metode Perhitungan Karbon 115 Perbandingan Besarnya NPV dan BCR Dalam Pengelolaan Agroforestri Dengan dan Tanpa Skema Perdagangan Karbon Implikasi Skema Perdagangan Karbon terhadap Praktek Agroforestri 123 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA 127 LAMPIRAN vii

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a) Tingkat ketepatan dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000) Praktek-praktek agroforestri yang utama di wilayah tropis (Nair 2002) 25 4 Contoh praktek agroforestri yang secara potensial membantu menstabilkan emisi GRK dan menyerap atau menyimpan C pada biosfer daratan (Dixon 1995) Potensial simpanan karbon (MgC/ha) dan biaya proyek (US$/MgC) untuk sistem agroforestri menurut wilayah ekologi di beberapa negara tertentu (Dixon 1995) Persamaan alometrik penduga biomassa pohon di lokasi penelitian Distribusi pengambilan contoh tegakan agroforestri di lokasi penelitian 43 8 Pola penggunaan lahan di Desa Pecekelan Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Pecekelan tahun Potensi sengon pada hutan rakyat di Desa Pecekelan Harga jual rata-rata kayu sengon pada tingkat petani di Desa Pecekelan tahun Pola penggunaan lahan di Desa Kertayasa Sebaran sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Kertayasa tahun Harga jual rata-rata kayu pada tingkat petani di Desa Kertayasa tahun Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Pecekelan Keanekaragaman jenis pohon tegakan agroforestri di Desa Kertayasa Karakteristik umum pola agroforestri di Desa Pecekelan dan Kertayasa Beberapa sifat tanah dan ciri tempat tumbuh tegakan agroforestri Desa Pecekelan dan Desa Kertayasa Nilai konstanta untuk koefisien model persamaan struktur tegakan pola agroforestri murni dan agroforestri kebun-campuran viii

13 Halaman 20 Kondisi rata-rata dimensi tegakan agroforestri murni dan kebuncampuran Karakteristik 30 pohon contoh yang digunakan untuk menyusun persamaan alometrik biomassa sengon (P. falcataria) Kerapatan kayu dan kadar air rata-rata pohon contoh sengon (P. falcataria) Sebaran biomassa pohon menurut bagian-bagian jaringan pohon pada beberapa jenis pohon hutan tanaman Matriks korelasi sederhana hubungan antara beberapa peubah dimensi pohon dan biomassa bagian jaringan pohon sengon (P. falcataria) Beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon biomassa bagian jaringan pohon Sengon (P. falcataria) Rata-rata sebaran persediaan karbon di atas permukaan tanah menurut sumber biomassanya pada agroforestri murni dan kebun-campuran Persamaan matematik pendugaan potensi karbon melalui peubah struktur tegakan pada agroforestri murni dan kebun-campuran Matriks korelasi sederhana hubungan antara peubah tegakan dengan persediaan karbon tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran Persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon melalui peubah tegakan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran Persamaan matematik pendugaan persediaan karbon tegakan melalui fungsi pertumbuhan pada agroforestri tegakan murni dan kebuncampuran Perkembangan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan untuk agroforestri tegakan murni dan kebun-campuran Rata-rata biaya dan pendapatan pengelolaan agroforestri untuk skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon dan t-cer (dalam USD/tonC) Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon Analisis sensitivitas kelayakan pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), dihitung dengan pendekatan t-cer ix

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-cer) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) Diagram alir kerangka pemecahan masalah Peta situasi lokasi penelitian 37 5 Bagan pembuatan jalur dan petak ukur dalam satu unit pemilikan lahan Bagan pembuatan petak ukur untuk pengukuran serasah dan tumbuhan bawah Perbandingan model struktur tegakan agroforestri pola tegakan murni (a) dan kebun-campuran (b) pada berbagai umur tegakan Perbandingan proporsi rata-rata bagian batang, cabang, ranting dan daun terhadap total biomassa bagian atas pohon sengon pada berbagai ukuran diameter pohon Perbandingan kurva persamaan alometrik biomassa pohon sengon yang disusun pada lokasi yang berbeda Perbandingan pendugaan biomassa tegakan bagian atas pada agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b) yang dihitung menggunakan persamaan alometrik jenis (sumbu mendatar) dan memakai kerapatan kayu dalam persamaan Ketterings (sumbu tegak) Perkembangan persediaan karbon menurut umur tegakan pada pola agroforestri murni (a) dan kebun-campuran (b) Perbandingan persediaan karbon tanaman kopi pada agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) pada berbagai umur tegakan Perbandingan persentase karbon tanaman kopi terhadap total persediaan karbon pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (KY) pada berbagai umur tegakan Perbandingan persediaan karbon dari serasah kasar pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY) Perbandingan persediaan karbon tumbuhan bawah pada berbagai umur tegakan agroforestri murni (PC) dan kebun-campuran (KY). 91 x

15 Halaman 16 Persediaan karbon tanah pada agroforestri murni (PC) dan kebuncampuran (PN) Keragaan koefisien variasi persediaan karbon menurut umur tegakan pada agroforestri tegakan murni (a) dan kebun campuran (b) Hubungan antara pengaruh intensitas sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri Hubungan antara pengaruh luas satuan sampling dengan besarnya kesalahan sampling pada berbagai umur tegakan agroforestri Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri murni Kurva pertumbuhan persediaan karbon tegakan agroforestri kebuncampuran Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon Perubahan NPV dan BCR untuk analisis kelayakan agroforestri dalam skema perdagangan karbon akibat perubahan harga CER dan suku bunga, pada kondisi biaya transaksi tetap (a), naik 20% (b), dan turun 20% (c), yang dihitung dengan pendekatan t-cer. 122 xi

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Identitas pemilik lahan dan keterangan kondisi lokasi agroforestri yang menjadi contoh penelitian Hasil analisis ciri-ciri fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian Desa Pecekelan (Wonosobo) dan Desa Kertayasa (Ciamis) Daftar peubah untuk penyusunan model alometrik pendugaan biomassa pohon sengon Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri Daftar peubah untuk penyusunan model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan struktur tegakan agroforestri Plot peluang normal sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah struktur tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan dimensi tegakan agroforestri Plot peluang normal untuk sisaan dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran Plot tebaran nilai sisaan baku dari persamaan matematik pendugaan potensi persediaan karbon dengan peubah tegakan, menggunakan peubah luas bidang dasar dan kerapatan tegakan, (a) Tegakan murni, (b) Tegakan campuran Hasil pengolahan data model hubungan persediaan karbon tegakan dengan pendekatan fungsi pertumbuhan tegakan agroforestri Hasil pengolahan data pengujian perbandingan penentuan biomassa karbon tegakan dengan menggunakan persamaan alometrik biomassa dan persamaan Ketterings Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan laju rata-rata persediaan karbon Contoh hasil analisis biaya dan manfaat pengelolaan agroforestri dengan dan tanpa skema perdagangan karbon, dengan pendekatan t- CER xii

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap peranan hutan tersebut muncul setelah keberadaan hutan terancam di berbagai belahan dunia, terutama akibat laju deforestasi yang tinggi (FAO 2001) dan disadari mulai hilangnya sejumlah fungsi hutan yang penting bagi keberlangsungan peradaban manusia seperti pengaturan tata air dan perlindungan daerah aliran sungai, jasa serapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terkandung dalam ekosistem hutan (Pagiola et al. 2002). Sejumlah inisiatif telah muncul yang bertujuan untuk menciptakan sistem berbasis pasar dimana para pemakai jasa lingkungan memberikan kompensasi untuk pengelolaan ekosistem hutan yang dapat memperbaiki dan meningkatkan jasa lingkungan dan pada waktu yang bersamaan menciptakan sumber pendapatan baru yang yang mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama yang langsung berinteraksi dengan lingkungan hutan (Robertson & Wunder 2005). Hambatan dalam pengelolaan hutan untuk menjadikan fungsi jasa ekologis/ lingkungan hutan sebagai tujuan adalah mendapatkan manfaat ekonomi langsung jasa ekologis tersebut. Untuk ini diperlukan adanya sistem dan metode penilaian yang tepat, metode pendugaan, sistem monitoring dan skema pengelolaannya. Salah satu bentuk manfaat ekonomi jasa lingkungan hutan yang telah beroperasi adalah jasa serapan karbon melalui skema Protokol Kyoto (PK) khususnya melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Melalui UU No. 17/2004, Indonesia telah meratifikasi PK dan juga telah membentuk Komnas Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). PK sendiri sudah berjalan dan berlaku efektif, setelah diratifikasi sejumlah negara-negara maju yang wajib menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) hingga mencapai 55% dari total emisi dunia GRK. Dengan berlakunya PK, maka Indonesia dapat berpartisipasi melalui MPB, termasuk melalui sektor kehutanan dengan proyek penyerapan karbon (carbon sequestration).

18 2 Indonesia pada saat ini menghadapi masalah makin luasnya hutan dan lahanlahan yang terdegradasi sementara kemampuan menyediakan dana untuk merehabilitasinya sangat rendah. Oleh karenanya masuknya karbon hutan dalam MPB adalah suatu kesempatan yang berharga. Namun dengan adanya sejumlah masalah dan pembatasan dalam MPB (Murdiyarso 2003; Dutschke 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004) mengakibatkan permintaan karbon melalui sekuestrasi karbon memiliki pangsa yang kecil dan tidak seluruh lahan terdegradasi potensial untuk dikelola lewat perdagangan karbon. Dari sejumlah kegiatan karbon kehutanan, praktek agroforestri memiliki peluang besar dilibatkan dalam proyek karbon. Hal ini didukung hasil studi NSS (National Strategy Study) yang menyatakan lebih separuh pasok karbon hutan dapat berasal dari kegiatan yang berbasis masyarakat, melalui agroforestri dan hutan kemasyarakatan (MoE 2003). Bagi petani, masuknya agroforestri dalam proyek karbon kehutanan merupakan peluang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal, karena memberikan sumber pendapatan baru, meningkatkan akses ke hasil hutan dan jasa, memperbaiki produktivitas lahan, serta mengembangkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat lokal (CIFOR 2003). Namun sejumlah potensi resiko juga dikhawatirkan bisa terjadi apabila proyek karbon hutan tidak dirancang dengan baik, misalnya jika proyek akan membatasi akses masyarakat pada lahan dan hasil hutan tanpa pembayaran/ kompensasi yang memadai, hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya hak atas lahan bagi masyarakat yang tanpa hak pemilikan lahan yang jelas (Scherr 2000). Nair & Nair (2002) menegaskan bahwa studi tentang karakteristik sistem agroforestri masih sedikit, akan tetapi diyakini kegiatan ini potensial untuk penyerapan karbon. Berbeda dengan pengelolaan hutan tanaman yang umumnya dikelola oleh perusahaan dalam skala besar, dengan preskripsi silvikultur yang baku dan terjadwal, pengelolaan agroforestri berskala kecil, dengan keragaman yang tinggi dalam hal kondisi tempat tumbuh, lingkungan, komposisi spesies, pola tanam, tujuan produk, tindakan pemeliharaan dan penjadwalan panen. Keputusan pengelolaan agroforestri lebih bersifat individu dengan motif ekonomi yang beragam pula. Sehubungan dengan beragamnya kondisi dan kompleksitas

19 3 pengelolaan agroforestri tersebut, maka diperlukan banyak variabel untuk menduga besarnya persediaan karbon serta keragaman kemampuannya dalam penyimpanan dan penyerapan karbon. Penyelenggaraan proyek karbon hutan memerlukan sejumlah perangkat mulai dari pendaftaran proyek dan validasi, implementasi, verifikasi dan sertifikasi yang memungkinkan diperolehnya pengakuan oleh pihak pembeli jasa karbon bahwa telah terjadi serapan karbon yang nyata melalui kegiatan agroforestri tersebut. Oleh karenanya maka identifikasi metode pengukuran dan teknik monitoring kemampuan serapan karbon dan dinamikanya sangat penting untuk diketahui sebelum pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon diterapkan di Indonesia. Perumusan Masalah Penelitian Praktek agroforestri melalui penanaman pohon dalam sistem pertanaman di lahan pertanian (tanah milik) dilakukan karena dorongan ekonomi untuk memperoleh ragam pendapatan terutama dari hasil kayu dengan memanfaatkan pemilikan lahan yang sempit seoptimal mungkin dan pada waktu yang sama adanya alasan ekologi untuk konservasi tanah dan memelihara kesuburan lahan. Banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa motif ekonomi lebih diutamakan daripada motif lainnya, yang dicirikan dengan cenderung semakin singkatnya umur penebangan pohon di bawah pertumbuhan optimalnya. Penyerapan karbon yang memanfaatkan potensi biologi pertumbuhan vegetasi menghendaki penyimpanan biomassa karbon yang sebanyak mungkin yang diperoleh dengan meningkatkan laju pertumbuhan atau menahan biomassa karbon untuk waktu yang lebih lama terutama di vegetasi dan tanah. Tindakan pemanenan pohon dan atau terjadinya kerusakan oleh kejadian yang tidak diharapkan yang menyebabkan berkurangnya biomassa dan timbulnya emisi akan mengurangi manfaat penyerapan karbon. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip jangka panjang yang diinginkan dalam proyek karbon hutan. Potensi agroforestri untuk menyimpan karbon diperkirakan akan sangat beragam, tidak saja disebabkan oleh kondisi alami tempat tumbuh (terutama zona iklim, kesesuaian lahan), tetapi juga sebagai akibat cara-cara pengelolaan

20 4 agroforestri itu sendiri. Cara pengelolaan mencakup teknologi budidaya yang dipakai, tingkat pemanfaatan hasil (panen) dan ketergantungan ekonomi petani terhadap hasil tanaman agroforestrinya. Keragaman diperkirakan akan terjadi bahkan dalam bentang lahan pengelolaan yang sama. Dari sisi mekanisme penyelenggaraan proyek perdagangan karbon, beragamnya kondisi tersebut akan menjadi masalah tersendiri dalam mengembangkan metodologi pengukuran dan monitoring manfaat karbon yang dapat dipergunakan untuk melakukan verifikasi besarnya CER (certified emission reduction) yang dihasilkan untuk pihak investor atau pembeli jasa karbon. Walaupun praktek agroforestri dipandang potensial oleh banyak pihak, baik karena kemampuannya menghasilkan tambahan biomassa dari pohon yang ditanam dan partisipasi petani yang akan mendorong perbaikan taraf hidup, namun sampai sejauhmana proyek perdagangan karbon akan menarik minat petani sangat tergantung pada manfaat tambahan yang kelak akan dinikmati petani dan insentif apa yang akan diperoleh apabila pengelolaan dirancang sejalan dengan skema perdagangan karbon. Atas dasar situasi masalah yang dikemukakan tersebut di atas, maka masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah metode yang tepat untuk menduga besar persediaan karbon dalam tegakan agroforestri dan dinamikanya? 2. Berapakah besarnya penyerapan karbon pada komponen-komponen tegakan agroforestri? Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menjelaskan terjadinya keragaman tersebut? 3. Berdasarkan informasi dari jawaban bagi permasalahan 1 dan 2, bagaimanakah kemungkinan petani untuk ikut serta dalam pengelolaan agroforestri melalui skema perdagangan karbon. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mendapatkan gambaran mengenai faktorfaktor berikut model matematik yang dapat menjelaskan keragaman potensi penyimpanan karbon berbagai bentuk praktek agroforestri, (2) merumuskan metode pendugaan persediaan karbon pada tegakan agroforestri dari model yang

21 5 dihasilkan, dan (3) menilai kemungkinan pengelolaan hutan milik melalui skema perdagangan karbon. Hipotesis Penelitian Atas dasar permasalahan penelitian dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian berikut: 1. Keragaman potensi serapan dan penyimpanan karbon dalam tegakan agroforestri dapat diidentifikasi dari ciri tipologi pengelolaan agroforestri dan faktor-faktor pengelolaannya. 2. Metode pengukuran dan monitoring karbon dapat ditentukan berdasarkan karakteristik agroforestri dan pengelolaannya dengan melibatkan partisipasi aktif petani atau pengelola lahan. Manfaat Hasil Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik sisi akademis maupun implikasi praktis sebagai berikut: 1. Dari sisi akademis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pengetahuan yang lebih spesifik dalam hal metodologi pengukuran dan monitoring persediaan karbon pada tegakan agroforestri, 2. Dari sisi implikasi praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk : (a) memberikan wawasan dan pengetahuan kepada petani atau kelompok masyarakat pelaku praktek agroforestri dan pihak-pihak yang mungkin berperan mendukung perdagangan karbon berbasis praktek agroforestri dan (b) alat yang dapat digunakan untuk menilai manfaat ekonomi pengelolaan agroforestri sebagai penghasil jasa karbon.

22 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon Aktivitas kehutanan berpengaruh luas, baik sebagai sumber terjadinya GRK (gas rumah kaca), khususnya CO 2 atau sebaliknya, dalam kegiatan pengurangan emisi dan penambatan karbon. Secara mendasar ada tiga macam praktek pengelolaan hutan yang dapat dilakukan untuk memperkecil laju peningkatan karbon dioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon, (2) pengelolaan untuk pengambilan dan penyimpanan karbon dan (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon. Pengelolaan dengan mengkonservasi karbon terutama mengamankan gudang karbon yang sudah ada di hutan yang dilakukan melalui pencegahan deforestasi, pengawetan hutan (cagar alam), perbaikan cara-cara pengelolaan hutan (dengan reduce impact logging, praktek silvikultur yang ramah, pengendalian kebakaran, efisiensi pemakaian kayu, dan pemupukan), dan mengendalikan gangguan lain oleh manusia dan serangan hama. Pengelolaan melalui pengambilan dan penyimpanan karbon adalah memperluas simpanan karbon pada ekosistem hutan dengan meningkatkan luas atau kepadatan karbon di hutan alam atau hutan tanaman dan meningkatkan masa simpan produk-produk kayu yang tahan lama. Hal tersebut mencakup kegiatan aforestasi (penanaman pohon pada areal yang dalam waktu yang lama tidak berhutan), reforestasi (penanaman pohon-pohon kembali pada areal yang sebelumnya pernah berhutan), hutan kota agroforestri. Kegiatan lainnya termasuk permudaan alam, pengayaan tanaman dan pengelolaan produk kayu dari hutan. Pengelolaan untuk mensubstitusi karbon bertujuan meningkatkan transfer karbon dari biomassa hutan ke dalam produk (misalnya kayu bahan bangunan atau bahan bakar biomassa) untuk menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dan produk berbasis semen. Pengelolaan substitusi karbon adalah potensi mitigasi yang terbesar untuk jangka panjang. Sekuestrasi karbon melalui hutan dilandasi oleh dua pendapat. Pertama, CO 2 adalah gas yang beredar secara global; konsekuensinya segala usaha untuk mengurangi GRK di atmosfir akan selalu sama efektifnya apabila dilakukan di

23 7 manapun di bagian belahan bumi ini, dekat ataupun jauh dari sumber emisinya. Kedua, tumbuhan mengambil CO 2 yang ada di atmosfir melalui proses fotosintesis dan menghasilkan gula dan senyawa organik lain yang dipakai untuk metabolisme dan pertumbuhan. Tumbuhan berkayu dengan umur lebih panjang menyimpan karbon di kayu dan jaringan lain sampai tumbuhan tersebut mati dan terdekomposisi, yang pada waktunya akan dilepas kembali ke atmosfir sebagai CO 2, karbon monoksida atau metana, atau mungkin saja tetap bersatu dengan tanah sebagai bahan organik (Anderson & Spencer 1991). Jaringan tumbuhan bervariasi kandungan karbonnya. Batang dan buah mempunyai lebih banyak karbon per satuan beratnya dibanding dengan daun, tetapi tumbuhan umumnya mempunyai beberapa jaringan yang banyak karbon dan beberapa jaringan lagi sedikit karbon, dengan konsentrasi karbon rata-rata sekitar 45-50% yang telah diterima secara umum (Chan 1982). Jumlah karbon yang disimpan di dalam pohon atau hutan dapat dihitung jika diketahui jumlah biomassa atau jaringan hidup tumbuhan di hutan tersebut dan memberlakukan suatu faktor konversi. Sekuestrasi karbon umumnya diartikan sebagai pengambilan CO 2 secara (semi) permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen organik, atau disebut juga fiksasi karbon (Hairiah et al. 2001b). Dalam konteks pertumbuhan hutan, sekuestrasi karbon adalah riap atau pertambahan terhadap persediaan karbon yang dikandung hutan (Murdiyarso & Herawati 2005). Sekuestrasi karbon dapat ditentukan sebagai hasil produktivitas bersih tahunan karbon (net primary production, NPP) (dalam MgC/ha/tahun) dikalikan dengan paruh-hidup harapan (dalam tahun) karbon yang terikat (Hairiah et al. 2001b). Konsep paruh-hidup karbon dikaitkan dengan besarnya persediaan karbon tetap yang diikat di dalam vegetasi dan berapa lama karbon tersebut tetap ada sebelum kembali dalam bentuk CO 2 ke atmosfer karena dekomposisi atau pembakaran. Paruh-hidup karbon (waktu dalam tahun, diambil setengah massa karbon untuk lapuk), diduga untuk setiap bagian yang berbeda dari komponen vegetasi (misalnya 0,3 tahn untuk serasah daun, 1 tahun untuk serasah cabang, 4 tahun untuk kayu mati dan tahun untuk kayu yang hidup).

24 8 Potensi sekuestrasi karbon pada ekosistem daratan tergantung pada macam dan kondisi ekosistem, yaitu komposisi spesies, struktur dan distribusi umur (khusus untuk hutan). Kondisi tempat tumbuh juga penting akibat pengaruh iklim dan tanah, gangguan alami dan tindakan pengelolaan (Hairiah et al. 2001b; Hoover et al. 2000). Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon (carbon pool) dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Setiap bagian tadi masih dapat dipisahkan lagi. Sebagai contoh biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan pakupakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral,lapisan organik dan gambut. Hamburg (2000) menyatakan bahwa perhitungan karbon untuk tujuan proyek sekuestrasi harus mencakup seluruh gudang karbon, yaitu biomassa hidup bagian atas, biomassa hidup bagian bawah, nekromassa, dan biomassa tanah. Pada saat ini, untuk proyek LULUCF, gudang karbon yang utama yang dapat diperhitungkan terdiri dari: biomassa bagian atas permukaan tanah, biomassa bagian bawah permukaan tanah, serasah, kayu-kayu mati dan karbon tanah (IPCC 2003). Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon mana saja yang perlu diukur dan dimonitor tergantung pada macam proyek, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran, serta ketepatan dan ketelitian yang diinginkan (MacDicken 1997). Sistem perhitungan yang dipilih dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan yang negatif atau positif sebagai akibat adanya kegiatan proyek. Hanya terhadap bagian gudang karbon yang diukur dan dimonitor saja yang dapat dimasukkan kedalam perhitungan manfaat karbon. Brown (1999a) memberikan panduan umum untuk memilih gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai macam pilihan proyek karbon berbasis hutan (Tabel 1).

25 9 Tabel 1 Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a) Macam Proyek Gudang Karbon (carbon pool) Biomassa hidup Biomassa mati Pohon Herba Akar Halus Kasar Tanah Produk kayu Pencegahan emisi - Penghentian deforestasi Y M R M Y R M - Reduced impact logging Y M N M Y N M - Perbaikan pengelolaan hutan Y M R M Y M Y Penyerapan karbon - Hutan tanaman Y N R M M R Y - Agroforestri Y Y M N N R M Pengelolaan karbon tanah N N M M N Y N Substistusi karbon -Tanaman kayu bakar daur N N N N N Y * pendek Y = harus dihitung, karena perubahan yang besar dalam gudang karbon sehingga harus diukur, R = direkomendasikan, karena perubahan dalam gudang karbon mungkin nyata tetapi biaya pengukuran untuk mencapai ketelitian yang diinginkan akan besar, N = tidak perlu, karena perubahan yang kecil atau kurang berarti terhadap gudang karbon, M = mungkin diperlukan, karena perubahan mungkin perlu diukur tergantung tipe hutan dan atau intensitas pengelolaan proyek. * Karbon dalam bahan bakar yang tidak dibakar Tidak seluruh gudang karbon di atas dapat diterima sebagai sumber karbon, dan tidak seluruh gudang karbon akan diukur dengan tingkat ketelitian yang sama atau dengan frekuensi yang sama selama masa proyek. Untuk inventarisasi tahap awal, gudang karbon yang relevan untuk diukur tergantung kepada macam proyek (Brown 2001). Tingkat ketelitian untuk setiap gudang karbon yang diukur dengan biaya yang memungkinkan diperkirakan oleh Hamburg (2000), seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat ketelitian dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000) Gudang karbon Koef. Variasi Kemudahan implementasi Biomassa bagian atas 5 10 % Mudah Biomassa bagian bawah % Mudah, tetapi perlu investasi awal yang besar Tanah, lapisan organik % Sedang Tanah, lapisan mineral Sangat beragam Sulit Nekromassa 40 % Sulit

26 10 Untuk inventarisasi dan monitoring karbon pada Noel Kempff Climate Action Project (NKCAP) di Taman Nasional Noel Kempff Merkado, Bolivia digunakan metodologi dan acuan yang dirujuk dari MacDicken (1997). Tujuan proyek adalah mencegah meluasnya deforestasi akibat pembalakan dan konversi hutan. Inventarisasi karbon atas dasar data yang dikumpulkan dari 625 buah plot permanen, dengan tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 10 persen. Plot-plot permanen dengan luas tertentu ditempatkan menurut strata hutan yang berbeda dan dilakukan pengukuran seluruh pohon berdiameter 5 cm, tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan tanah sampai kedalaman 30 cm. Biomassa akar diduga dari rasio akar-batang sebesar , sebagaimana dinyaatakan Cairn et al. (1997). Besarnya kesalahan sampling yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95% terhadap dugaan total persediaan karbon adalah ± 4 persen, dan belum termasuk kesalahan karena regresi dan pengukuran (IPCC 2000). Berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai gudang karbon dalam proyek berbasis hutan telah ada dan secara umum didasarkan pada prinsip-prinsip inventarisasi hutan yang telah diterima, sampling tanah, dan survei ekologi (MacDicken 1997; Pinard & Putz 1996). Untuk menduga biomassa pohon yang hidup, diameter seluruh pohon diukur dan dikonversi ke dalam biomassa dan perkiraan karbon (yaitu 50% dari bobot biomassa). Biomassa pohon yang hidup diduga dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Persamaan yang berlaku umum untuk pendugaan seluruh hutan dunia telah tersedia dan beberapa khusus dibuat untuk spesies tertentu. Untuk membuat persamaan regresi alometrik dengan ketelitian tinggi khususnya hutan tropis yang kompleks, diperlukan sampling terhadap sejumlah pohon yang mewakili berbagai ukuran dan sebaran jenis dalam hutan, walaupun secara ekstrim menghabiskan waktu dan biaya yang tidak mungkin dilakukan untuk setiap proyek karbon. Keuntungan menggunakan persamaan generik yang dikelompokan menurut zone iklim/ekologis adalah persamaan ini dihasilkan melalui jumlah pohon contoh yang besar dan mencakup sebaran diameter yang lebar sehingga akan meningkatkan ketelitian dan ketepatan (Brown 1997). Hal yang penting adalah database untuk persamaan regresi mencakup pohon-pohon berdiameter besar yang mencakup lebih 30% dari biomassa di atas tanah pada

27 11 hutan tropis dewasa (Brown & Lugo 1992; Pinard & Putz Untuk proyek karbon di hutan tanaman atau agroforestri, pengembangan persamaan regresi biomassa yang akan berlaku secara lokal kurang menjadi masalah. Nekromassa mencakup karbon yang berasal dari batang pohon, daun, cabang dan vegetasi lain yang telah mati. Jumlah nekromassa bervariasi menurut tipe hutan dan sejarah gangguan, dan pendugaannya secara teliti akan menghabiskan banyak waktu dan ketidakpastian yang tinggi. Brown (2000) menyatakan kayu yang mati, rebah atau masih berdiri adalah gudang karbon yang penting di hutan dan salah satu yang harus diukur dalam banyak proyek berbasis hutan. Metode-metode yang dikembangkan telah diuji untuk berbagai tipe hutan dan umumnya tidak memerlukan usaha yang terlalu berbeda dengan pengukuran pohon yang masih hidup (Harmon & Sexton 1996 dalam Brown 1999a). Total biomassa akar adalah gudang karbon penting lainnya yang mewakili lebih 40% dari total biomassa (Cairns et al. 1997), namun perhitungannya mahal dan belum ada acuan baku yang praktis. Biomassa akar dapat diukur dengan beberapa tingkat ketelitian, tetapi ketepatannya lebih rendah daripada biomassa bagian atas. Sebagai pengganti sekarang terdapat rujukan pustaka dari hasil studi di beberapa wilayah hutan di dunia yang dapat dipakai untuk menduga karbon biomassa akar melalui karbon biomassa bagian atas (Cairns et al. 1997). Pendekatan paling sederhana untuk menduga biomassa bagian bawah adalah memakai konstanta rasio akar/pucuk (rasio R/S). Walaupun rasio R/S bervariasi menurut tapak dan umur tegakan, kisaran nilai rasio R/S dapat ditentukan dari berbagai literatur ilmiah (Hamburg 2000). Pendekatan konservatif dianjurkan oleh MacDicken (1997), dimana dugaan biomassa akar tidak kurang dari persen dari biomassa bagian atas. Hamburg (2000) menganjurkan suatu nilai rasio R/S untuk hutan yang sedang tumbuh sebesar 0,15 untuk ekosistem beriklim sedang dan sebesar 0,1 untuk ekosistem tropis. Untuk mengukur karbon tanah secara langsung diperlukan biaya yang mahal, disebabkan oleh besarnya pengaruh sifat-sifat tanah terhadap dinamika karbon. Hamburg (2000) merekomendasikan untuk mengukur karbon tanah sekurang-kurangnya pada kedalaman satu meter, dan karbon tanah dan bulk density yang diperoleh berasal dari beberapa lokasi contoh. Untuk proyek karbon

28 12 yang tidak akan berpengaruh negatif terhadap persediaan karbon tanah, tidak diperlukan lagi mengukur karbon tanah setelah garis dasar (baseline) ditetapkan. Secara umum proyek penghutanan kembali di tanah pertanian atau lahan-lahan terdegradasi akan meningkatkan karbon tanah. Keefektifan karbon yang tersimpan dalam produk kayu sangat tergantung pada cara penggunaannya sepanjang umur proyek. Untuk proyek yang bertujuan mencegah pembalakan hutan, perubahan gudang karbon dari produk kayu mungkin negatif karena masukan karbon dari produk kayu akan berkurang. Dalam proyek hutan tanaman, kayu untuk produk jangka menengah dan panjang (misalnya kayu gergajian untuk perumahan, papan partikel, kertas) menjadi sumber tambahan persediaan karbon. Terdapat beberapa metode perhitungan karbon pada produk kayu yang berumur panjang dan dipakai untuk menghitung neraca karbon nasional di beberapa negara (Nabuurs & Sikkema 1998; Winjum et al. 1998). Prinsip metode tersebut adalah memperhitungkan akibat kerusakan kayu, oksidasi, dan kemunduran produk akibat penggunaan di masa lalu. Kelompok pakar IPCC untuk Pengunaan Lahan dan Sektor Kehutanan telah mempersiapkan panduan inventarisasi GRK (IPCC 1997), yang menggambarkan dan mengevaluasi pendekatan yang ada untuk menduga emisi atau pengambilan karbon pada hutan yang dipanen dan produk olahan kayu. Terdapat perbedaan keperluan inventarisasi karbon pada tahap awal (penetapan garis dasar atau baseline) dan tahap monitoring. Dalam tahap awal, sebagian besar gudang karbon yang relevan perlu dihitung dalam kondisi ada atau tanpa proyek, tetapi dalam tahap monitoring hanya gudang karbon tertentu saja yang diukur dan dijadikan sebagai petunjuk atau model yang dapat dipakai (Brown 1999a). Sathaye et al. (1997) mengusulkan urutan prioritas gudang karbon yang perlu dimonitor dengan mempertimbangkan tingkat atau besarnya pengaruh, laju perubahan persediaan karbon, dan arah perubahan persediaan karbon (positif atau negatif). Gudang karbon yang relatif besar dan bisa berubah secara cepat sangat penting untuk dimonitor, sebaliknya gudang karbon yang relatif kecil dan tidak gampang berubah kurang penting untuk dimonitor. Program monitoring harus memakai pendekatan yang konservatif untuk memutuskan gudang karbon yang

29 13 akan dimonitor. Hanya gudang karbon yang dimonitor saja yang dapat dimasukkan ke dalam perhitungan manfaat proyek karbon. Gudang karbon yang dihitung melalui pengukuran langsung di lapangan umumnya akan lebih tepat, tetapi tingkat ketelitiannya bervariasi untuk setiap sumber karbon. Total kesalahan perhitungan karbon bersumber dari kesalahan sampling, kesalahan pengukuran dan kesalahan penggunaan persamaan regresi alometrik. Kesalahan sampling bersumber dari metode sampling yang dipakai yang meliputi cara pemilihan contoh, bentuk/ukuran unit contoh dan intensitas pengambilan contoh. Kesalahan pengukuran bersumber dari kesalahan mengukur dimensi pohon, penentuan karbon tanah, atau pendugaan kerapatan kayu, sedangkan kesalahan regresi bersumber dari digunakannya persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon). Sumber kesalahan terbesar berasal dari kesalahan sampling dan untuk meningkatkan ketelitiannya akan menambah biaya inventarisasi. Stratifikasi wilayah proyek kedalam unit-unit yang lebih seragam (misalnya atas dasar kesamaan jenis vegetasi, jenis tanah atau topografi) dapat meningkatkan ketelitian pengukuran karbon tanpa menambah terlalu banyak biaya (Sathaye et al. 1997). Inventarisasi karbon hutan umumnya lebih rumit dari inventarisasi hutan tradisional, karena setiap gudang karbon umumnya mempunyai keragaman yang berbeda-beda. Ukuran contoh yang diperlukan untuk setiap sumber karbon ditentukan secara terpisah dan melalui informasi yang tersedia, dapat diputuskan gudang karbon mana yang perlu diukur dan dihitung sesuai tujuan proyek. Jadi informasi tentang keragaman sumber karbon memberikan umpan balik dalam merancang proyek untuk memilih sumber karbon yang dicakup oleh proyek, dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan biaya proyek dan biaya menghasilkan satu satuan karbon. Secara keseluruhan, saat ini belumlah ada acuan tingkat ketelitian yang dapat diterima untuk menduga manfaat karbon. Aturan yang berlaku umum, biaya program monitoring akan berhubungan dengan tingkat ketelitian manfaat karbon yang diinginkan, semakin tinggi ketelitian semakin besar biaya pengukurannya. Pada akhirnya nilai pasar untuk serapan karbon yang dihasilkan proyek yang akan menentukan tingkat ketelitian yang paling efektif dari segi

30 14 pembiayaan. Beberapa ahli menyarankan target yang cukup beralasan untuk ketelitian manfaat proyek karbon adalah dengan kesalahan baku antara 20-30% dari nilai rata-rata (EcoSecurities 1998 dalam Vine et al. 1999). Pilihan lainnya disesuaikan dengan besarnya klaim karbon sekaligus menyatakan besarnya kesalahan baku pengukurannya. Pada akhirnya, tidaklah mungkin untuk menetapkan suatu tingkat ketelitian yang berlaku umum yang akan digunakan untuk setiap sumber karbon yang nyata dan perubahannya (Vine et al. 1999). Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan Salah satu keberatan yang utama masuknya sekuestasi karbon hutan dalam CDM adalah masalah simpanan tetap (permanence) atau lama penyimpanan (duration) karbon yang dihasilkan proyek karbon hutan. Pengurangan atau pengambilan karbon yang dihasilkan melalui proyek karbon hutan secara alami bersifat sementara (non permanence), karena CO 2 yang telah ditangkap selama pertumbuhan hutan sangat mungkin dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pemanenan, kebakaran atau kejadian lain. Hal ini berbeda dengan proyek sektor energi yang akan mengurangi emisi secara tetap, dimana emisi yang dapat dicegah tidak akan kembali ke atmosfer. Simpanan sementara (tidak tetap) melalui proyek kehutanan harus dipandang sebagai pilihan kebijakan peralihan sebagaimana dinyatakan Grainger (1997) yang menekankan bahwa mitigasi secara biologi dapat mengikat karbon dalam jumlah yang besar dengan waktu yang lebih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk melakukan perubahan pola konsumsi energi. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proyek karbon hutan yang bersifat sementara, adalah : (1) walaupun serapan karbon bersifat sementara, sejumlah proporsi tertentu mungkin bisa menjadi permanen, (2) bermanfaat karena menunda terjadinya perubahan iklim, (3) simpanan sementara bersifat buys time sementara menunggu teknologi pemakaian energi yang lebih sesuai dikembangkan, (4) proyek sekuestrasi akan menghemat waktu dalam memperoleh informasi yang menguntungkan tentang proses pemanasan global (Lecocq & Chomitz 2001 dalam Cacho et al. 2003).

31 15 Banyak pakar yang percaya bahwa masalah simpanan tetap bukanlah persoalan yang tidak bisa dipecahkan dalam proyek karbon hutan. Berbagai metode perhitungan/neraca karbon yang diusulkan banyak pakar dan sebagian telah digunakan dalam proyek-proyek karbon dibawah UNFCCC sebetulnya ditujukan untuk mengatasi isu permanen dalam proyek karbon hutan tersebut. Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan Berbagai metode perhitungan/neraca karbon dikemukakan oleh banyak penulis, dan beberapa telah digunakan untuk menghitung proyek-proyek sekuestrasi karbon di bawah program UNFCCC dan acuan perhitungan nasional karbon yang berasal dari hutan untuk negara-negara yang masuk dalam daftar Annex I Protokol Kyoto. Tujuan neraca karbon menurut Moura-Costa (2000) adalah untuk menentukan nilai manfaat lingkungan yang diperoleh melalui proyek mitigasi yang akan mempengaruhi GRK di atmosfer. Proyek-proyek serapan karbon didasarkan pada banyaknya jumlah karbon yang dapat ditangkap dari atmosfer dan lamanya karbon tersebut dipertahankan. Sistem-sistem perhitungan/neraca harus dapat mencerminkan penyimpan sementara dari proyek-proyek rosot (sebagai pengecualian proyek pengurangan emisi, dimana hanya didasarkan pada banyaknya jumlah emisi yang dapat dicegah). Penghitungan neraca karbon mencakup tahapan-tahapan : penetapan garis dasar (baseline) aliran karbon, kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan melalui proyek, dan perhitungan perbedaan di antara karbon yang diperoleh melalui proyek dan garis dasar untuk mengetahui besarnya pengaruh tambahan (additionality) karena adanya kegiatan proyek (Moura-Costa & Stuart 1999). Berbagai pendekatan dipakai untuk mengukur keefektifan mitigasi GRK melalui proyek penggunaan lahan dan kehutanan. Sistem perhitungan potensi mitigasi GRK didasarkan atas dua kelompok pendekatan, yaitu atas dasar anggapan sifat yang permanen dari penyimpanan karbon dan sistem lain yang menganggap penyimpanan karbon bersifat sementara. Kelompok metode yang pertama terdiri atas : (1) metode perubahan persediaan, (2) metode penyimpanan rata-rata, dan (3) metode akutansi berbasis ton-year (Moura-Costa 2000; Tipper & de Jong 1998). Kelompok metode yang didasarkan atas sifat sementara

32 16 penyimpanan karbon menggunakan pendekatan yang disebut CER sementara (temporary CER, tcer) dan CER jangka panjang (longterm CER, lcer). Kedua pendekatan ini sekarang dapat dipakai untuk proyek rosot melalui LULUCF. Metode Perubahan Persediaan (SCM, Stock Change Method) Metode ini paling umum dipakai, menyatakan simpanan karbon yang didasarkan atas perbedaan penghitungan persediaan karbon proyek dengan garis dasarnya pada titik waktu tertentu. Metode ini merujuk pada metode yang sebelumnya disebut flow summation method (Richards & Stokes 1994); dimana pengukuran dinyatakan dalam ton C per hektar. Metode SCM hanya memberikan gambaran karbon pada satu titik waktu (snap shot). Nilai karbon yang diperoleh akan bervariasi bergantung pada ketentuan periode waktu yang ditetapkan untuk menghitung manfaat proyek. Metode SCM saat ini dipakai untuk perhitungan neraca karbon di negaranegara Annex I (IPCC 2000), konsisten dengan metode yang dipakai untuk perhitungan emisi GRK nasional mereka (IPCC 1996). Untuk negara-negara Annex I, apabila kegiatan kehutanan berlangsung terus menerus (sepanjang pemanenan diikuti dengan penanaman), maka pengembang proyek tidak perlu mengembalikan kredit yang diperoleh selama tahap pembangunan hutan. Namun dalam CDM, kegiatan kehutanan diperlakukan sebagai proyek dengan batas waktu yang terbatas sehingga ada kewajiban yang tidak dapat diabaikan pada akhir masa proyek. Tergantung cakupan kewajiban, hal tersebut bisa menyebabkan proyek tidak absah lagi. Adanya ketidakkonsistenan tersebut, disarankan adanya sistem perhitungan neraca karbon yang berbeda untuk proyek CDM (Moura-Costa 2000). Metode Penyimpanan Rata-rata (ASM, Average Storage Method) Untuk sistem yang dinamis, misalnya dalam proyek reforestasi, dimana penanaman, pemanenan dan kegiatan penanaman berulang dilakukan, maka pendekatan alternatif dipakai (oleh Dixon et al. 1991; Masera 1995) yang disebut metode penyimpanan rata-rata (Schroeder 1992). Metode ini melakukan perataan jumlah karbon yang disimpan pada suatu tapak dalam waktu yang panjang melalui suatu persamaan :

33 17 Rataan bersih penyimpanan karbon (tc) = n t= 0 (simpanan karbon proyek simpanan karbon menurut baseline) n (tahun) dimana : t = waktu (dalam tahun), n = jangka waktu proyek (tahun), dan persediaan karbon dinyatakan dalam ton karbon per hektar (tc/ha). Keuntungan metode ini adalah kesederhanaan dalam proses alokasi kredit, sementara perhitungan karbon masih berlangsung untuk seluruh jangka waktu proyek, tidak tergantung pada waktu tertentu yang dipilih untuk perhitungan. Metode ini juga dapat dipakai untuk membandingkan proyek yang berbeda dengan pola pertumbuhan hutan yang juga berbeda. Kekurangan metode ini berkaitan dengan masih subyektifnya lama waktu yang dipilih untuk menjalankan analisis. Metode ASM telah banyak dipakai untuk proyek-proyek percontohan karbon berbasis hutan melalui UNFCCC di bawah program AIJ (Activities Implemented Jointly). Metode Ton-Year Pendekatan-pendekatan alternatif yang diusulkan memperhatikan dua dimensi unit pengukuran yang mencerminkan penyimpanan dan waktu, yaitu ton- C year. Beberapa penulis telah mengusulkan konsep unit ton-year (Moura-Costa 1996; Fearnside 1997; Tipper & de Jong 1998). Konsep umum pendekatan tonyear adalah dipakainya satu faktor untuk mengkonversi pengaruh terhadap iklim karena adanya penyimpanan karbon sementara terhadap suatu jumlah yang setara dengan apabila dilakukan pencegahan emisi (faktor ini disebut faktor ekivalensi, atau Ef), yang nilainya bervariasi dari 0,007 hingga 0,02 (Tipper & de Jong, 1998; Moura-Costa & Wilson 2000). Faktor tersebut diperoleh lewat konsep waktu ekivalensi (dikenal sebagai Te), yaitu panjang waktu dimana CO 2 harus disimpan dalam bentuk karbon di dalam vegetasi atau tanah untuk mencegah pengaruh daya radiatif kumulatif (cumulative radiative forcing) yang terjadi kalau suatu jumlah yang sama CO 2 tetap ada di atmosfer (Moura-Costa & Wilson 2000). Pendekatan ton-year didasarkan atas konsep pemanasan global potensial mutlak (absolute global warming potential, AGWP), yang dinyatakan sebagai daya radiatif gas secara terpadu melalui persamaan (Hougton et al. 1995):

34 18 T AGWP( x) = ax. F [ x( t) ] d 0 t dimana T adalah horizon waktu (tahun), a x adalah daya radiatif yang berkaitan dengan iklim disebabkan oleh peningkatan satu unit konsentrasi gas x di atmosfer dan F( ) adalah fungsi waktu kerusakan gas x yang dipancarkan. Untuk memakai metode ton-year, faktor ekivalensi harus ditetapkan,. diusulkan untuk menggunakan waktu 55 tahun (Moura-Costa & Wilson 2000) atau 100 tahun (Fearnside et al. 2000). Penerapan yang berbeda-beda dari pendekatan ton-years telah diusulkan dan dalam prakteknya berbagai kombinasi pendekatan dapat digunakan, yaitu (Moura- Costa & Wilson 2000): Equivalence-adjusted average storage, menggunakan Te sebagai penyebut dari rumus metode penyimpanan rata-rata (ASM). Metode ini dapat dipakai untuk membakukan cara yang ditempuh metode ASM yang sekarang ini dipakai. Stock change crediting with ton-year liability adjustment, yaitu pemberian kredit proyek menurut metode perubahan persediaan (SCM), tetapi menggunakan tonyears untuk menghitung jumlah kredit yang harus dikembalikan apabila kewajiban tidak dipenuhi (dalam kasus terjadinya peristiwa yang mengambil resiko). Equivalence-factor yearly crediting (ton-years), dimana suatu proyek diberikan kredit tahunan dengan fraksi tertentu terhadap keseluruhan manfaat GRK, yang ditentukan oleh jumlah karbon yang disimpan setiap tahun, dan dikonversi dengan faktor ekivalensi Ef. Pendekatan ini akan sangat menyulitkan untuk diimplementasi pada proyek mitigasi GRK yang berbasis kehutanan. Equivalence-delayed full crediting, yaitu hanya mengenal seluruh manfaat sekuestrasi karbon setelah adanya penyimpanan untuk periode waktu Te. Ada kemungkinan penundaan kredit ini akan mempersulit implementasi proyek mitigasi yang berbasis kehutanan. Ex-Ante ton-year crediting, dengan memberikan sejumlah kredit pada awal proyek, menurut jangka waktu proyek yang direncanakan menggunakan pendekatan ton-year. Cara ini akan mengurangi kerugian karena penundaan kredit yang diciptakan pengembang proyek.

35 19 Gambar 1 memperlihatkan perbandingan perhitungan manfaat penyimpanan karbon yang dihitung dengan metode perhitungan yang berbeda (SCM, ASM dan Ton-Year) yang dilakukan untuk kasus hutan tanaman yang dibangun di lahan kosong. Gambar 1. Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) Pendekatan CER Sementara dan CER Jangka Panjang Metode perhitungan karbon yang dikemukakan sebelumnya masih beranggapan bahwa karbon dapat dipertahankan secara permanen, dengan mempertimbangkan lama waktu penyimpanan karbon atau menggunakan faktor ekuivalensi seperti pada metode ton-year. Melalui CoP9 tahun 2003 di Milan, Italia; telah diperkenankan digunakannya perhitungan manfaat karbon melalui pendekatan CER sementara (t- CER) dan CER jangka panjang (l-cer) (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004). Skema t-cer atas dasar usulan Uni Eropa (sebelumnya telah diusulkan Colombia beberapa tahun yang lalu). Proyek dapat menghasilkan sejumlah t-cer lewat banyaknya karbon yang bisa dibuktikan sebagai serapan karbon yang ditambahkan melalui proyek sejak proyek dimulai. Setelah 5 tahun, t-cer tidak akan berlaku lagi dan harus digantikan oleh t-cer yang baru atau yang berasal dari CER yang lain. Jika verifikasi yang baru dilaksanakan, maka t-cer dapat

36 20 dikeluarkan lagi setiap 5 tahun. Pendekatan t-cer memungkinkan negara tuan rumah dapat menggunakan lahan proyek untuk tujuan lain setelah proyek berhenti. Hal ini juga memungkinkan dilaksanakannya proyek karbon dengan daur yang lebih pendek yang tidak mengikat lahan untuk periode yang panjang. Gambar 2 memperlihatkan cara perhitungan manfaat karbon dengan pendekatan CER sementara, yang dilakukan pada proyek hutan tanaman dengan jangka waktu proyek selama 30 tahun dan masa berlaku t-cer setiap 5 tahun. Gambar 2. Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-cer) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003). Skema l-cer didasarkan pada usulan Kanada, yang berkeinginan memperluas sistem t-cer. Gagasan dasarnya adalah proyek dapat mengeluarkan kredit l-cer untuk setiap ton karbon yang dapat dibuktikan. Masa hidup (lifetime) CER identik dengan periode pemberian kredit, sebagai contoh bisa hingga maksimal 60 tahun. Kredit l-cer harus digantikan secepatnya apabila hasil verifikasi menunjukkan bahwa persediaan karbon telah berkurang atau tidak ada laporan verifikasi yang disajikan untuk setiap 5 tahun. Jadi pemilik l-cer, negara Annex I, selalu menghadapi resiko harus mengganti/memindahkan kredit dengan CER yang lain (Dutschke 2004; Meinshausen & Hare 2003). Metode t-cer dan l-cer adalah metode yang kini absah untuk penentuan besarnya CER yang diperoleh dari proyek karbon berbasis kehutanan.

37 21 Melalui CoP9 juga telah dihasilkan sejumlah keputusan penting yang memungkinkan lebih operasionalnya MPB kehutanan, mencakup isu definisi (hutan, aforestasi dan reforestasi), jangka waktu pemberian kredit, masalah non permanen, dan proyek CDM berskala kecil. Jangka waktu kredit yang lebih pendek untuk proyek karbon kehutanan, maksimal sampai 30 tahun atau 20 tahun dengan kemungkinan dua kali pembaharuan. Untuk proyek MPB berskala kecil dibatasi dengan maksimal serapan karbon hingga 8 kiloton CO 2 e per tahun yang dapat dikerjakan oleh kelompok masyarakat atau perorangan yang dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004). Untuk operasional proyek karbon kehutanan, pada CoP10 tahun 2005 juga telah ditetapkan penyederhanaan metode untuk penentuan baseline dan monitoring yang diperuntukan khusus untuk proyek aforestasi dan reforestasi berskala kecil (IPCC 2005). Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan Berbagai ragam cara perhitungan manfaat karbon yang lebih operasional juga dilakukan dengan menambahkan pertimbangan finansial/ekonomi (Appels 2001; Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003). Pendekatan Teoritis Ideal Dari sudut pandang ekonomi, secara teoritis cara yang benar untuk menghitung pembayaran sekuestrasi karbon adalah dengan menduga aliran jasa sekuestrasi karbon untuk selama-lamanya. Pembayaran sekuestrasi karbon terjadi pada saat jasa karbon telah dihasilkan dan apabila hutannya di panen, maka nilai karbon yang dilepas kembali ke atmosfer harus dibayar oleh pemilik hutan. Melalui kondisi ideal tersebut, maka nilai tegakan hutan apabila dilakukan pembayaran sekuestrasi karbon dan dengan penggantian apabila dilakukan pemanenan dapat dinyatakan dengan fungsi tujuan (Cacho et al. 2002): T rt rt rt v b E b 0 π ( T) = v( T). p. e + b( t). v. p. e dt c b( T). v. p. e dimana: π(t) adalah NPV (net present value) dari hutan yang dipanen pada tahun T setelah penanaman. Bagian pertama rumus menyatakan nilai kayu yang

38 22 dipanen, bagian kedua menyatakan nilai total sekuestrasi karbon dalam selang (0,., T), c E adalah biaya pembangunan, p v dan p b adalah harga kayu dan harga biomassa-karbon, v adalah faktor konversi biomassa karbon menjadi unit CO 2, dan r adalah laju suku bunga. Notasi b(t) merupakan fungsi laju pertumbuhan biomassa menurut waktu t, sedangkan v(t) menyatakan besarnya hasil kayu yang dapat dipanen pada waktu T. Perhitungan Ton-Year Metode ton-year tidak mensyaratkan adanya penggantian kredit karbon yang telah dibayarkan apabila dilakukan pemanenan. Melalui metode ini fungsi tujuan dinyatakan (Cacho et al. 2002) : T T E v f b t= 0 t π ( T) = v( T). p.(1 + r) + [ b( t). ve.. p.(1 + r) ] c Metode ini tidak memerlukan jaminan persyaratan untuk memastikan bahwa proyek akan berakhir pada tahun T e, karena pembayaran tahunan dikoreksi oleh faktor ekivalensi E f. Jika proyek tidak terkendali dan karbon dilepaskan maka tidak diperlukan pengembalian pembayaran. Ex-ante Full Credit Cara ini adalah memberikan kredit karbon secara penuh ketika proyek dimulai. Hal tersebut memerlukan komitmen bahwa proyek akan berakhir pada tahun T e setelah disepakati persediaan karbon hutan yang akan dicapai. Fungsi tujuannya menjadi (Cacho et al. 2002): π ( T+ T ) ( ) ( )..(1 ) e A e e v ( ).. b T + T = v T + T p + r + b T v p c Melalui metode ini sekuestrasi karbon pada tahun t adalah tidak relevan setelah tahun t+te dari sudut pandang akuntansi. Metode ini memberikan insentif yang kuat untuk pembangunan hutan sebab adanya pembayaran kredit karbon yang besar di awal. Ex-post Full Credit Metode ini diusulkan oleh Moura-Costa dan Wilson (2000), terdiri atas pembayaran kredit karbon secara penuh ketika proyek telah mencapai Te tahun. Fungsi tujuannya adalah (Cacho et al. 2002) : E E

39 23 T ( T+ Te) ( t+ 1 + Te) P ( e) ( e). v.(1 ) [ ( ).. b.(1 ) ] t= 0 π T + T = v T + T p + r + b t vp + r c Walaupun metode ini tidak mensyaratkan adanya suatu jaminan, namun adanya penundaan pembayaran kredit akan mengurangi insentif yang ditunjukan oleh arus kas dalam tahun-tahun awal proyek, pendiskontoan juga akan mengurangi daya tarik pembayaran terakhir. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan metode perubahan persediaan atau ton-year cenderung tidak terlalu aktraktif secara ekonomi, apalagi dengan periode waktu proyek yang panjang (Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003). Cacho et al. (2003), melakukan penilaian manfaat proyek sekuestrasi karbon melalui agroforestri berskala kecil di Sumatera dan menyimpulkan bahwa biaya-biaya transaksi yang tinggi menyebabkan kurang menariknya bagi petani untuk berpartisipasi dalam proyek karbon. E Pengertian Agroforestri Agroforestri mencakup sekumpulan praktek yang sangat luas dan berbeda, mulai sekedar hanya menanam tanaman pangan dengan sedikit komponen pohonnya hingga seperti hutan produksi yang kompleks dan terpadu menyerupai struktur hutan yang alami. Sistem agroforestri dipraktekkan secara luas di dunia, dan paling intensif di negara-negara berkembang, diperkirakanlebih 1,2 milyar orang (20% dari populasi dunia) tergantung langsung dengan produk dan jasa yang diperoleh dari berbagai ragam agroforestri (IPCC 2000). Pengertian agroforestri oleh banyak pakar diartikan dengan berbagai cara tetapi umumnya melihat dari sudut pandang digunakannya teknologi pertanian dan kehutanan secara bersama-sama agar pengelolaan lahan lebih produktif dan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Garrett et al. (2000) menyatakan agroforestri adalah teknologi yang menggabungkan praktek pertanian dan kehutanan yang dirancang secara terpadu, lebih beragam, dan sistem penggunaan lahan agar lebih produktif sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek, sambil menunggu hasil hutan dalam jangka panjang.

40 24 Pakar lain mendefinisikan agroforestri dengan menghubungkannya dengan status lahan dimana agroforestri tersebut dilakukan. Agroforestri adalah praktek membangun hutan di lahan pertanian (di luas kawasan hutan) (Sanchez 1995; Long & Nair Sanchez (1995) menambahkan, agroforestri adalah sebuah sistem pengelolaan lahan yang memadukan pohon-pohon dengan tanaman pertanian dan berada dalam lansekap pertanian. Praktek agroforestri adalah cara lain yang penting untuk membangun hutan yang dikenal sebagai pohon-pohon diluar hutan (trees outside forests) (Long & Nair 1999). Nair (1985) menyimpulkan bahwa definisi ilmiah agroforestri harus mengandung pada dua ciri umum agroforestri, yaitu: (1) Menumbuhkan dengan sengaja tumbuhan tahunan berkayu pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian pangan/ternak, atau juga dalam bentuk campuran secara spasial atau dalam urutan waktu, dan (2) Harus ada interaksi yang nyata (positif dan/atau negatif) antar komponen sistem tumbuhan berkayu dan non kayu, secara ekologi maupun ekonomi. Banyak sekali contoh-contoh sistem agroforestri, tersebar luas dalam bentang ekologi di wilayah tropis yang menggabungkan tumbuhan berkayu dan tanaman pangan atau pakan ternak untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ragam sistem agroforestri adalah hal yang unik dalam manajemen kehutanan. Praktek yang dilakukan berkisar dari bentuk yang sangat sederhana seperti pergiliran tanaman pertanian hingga sistem pengelolaan tanaman lorong yang kompleks, dari bentuk kebun pekarangan ke praktek pertanian yang kompleks, serta dari sistem pohon hanya berperan fungsional (misalnya pemecah angin) ke sistem pengelolaa pohon untuk produk komersil yang utama (Nair 1992). Secara umum Nair (1985) membagi berbagai praktek agroforestri yang ada di dunia ke dalam tiga kelompok besar atas dasar kombinasi dari komponen: agrisilvikultur (tanaman pangan dan berkayu), Silvopastur (pakan ternak dan tanaman berkayu) dan agrosilvopastur (tanaman pangan, pakan ternak dan tanaman berkayu). Juga ditambahkan kelompok yang keempat, sistem yang lain, mencakup praktek yang yang tidak selalu cocok dengan ketiga kelompok sebelumnya.

41 25 Banyak sistem-sistem tradisional di berbagai belahan dunia dengan ciri-ciri di atas. Ciri yang utama dari sistem ini ditentukan secara spesifik menurut lokasi. Setiap sistem adalah contoh dari spesifik lokasi yang saling berkait atau sebagai kombinasi dari komponen-komponen yang dicirikan oleh jenis tumbuhan, cara penataan atau pengelolaan, serta faktor-faktor lingkungan dan sosial ekonomi. Walaupun terdapat ragam yang besar di antara mereka, namun ditemukan banyak kemiripan di antara sistem-sistem tersebut. Karena setiap sistem adalah bersifat khas menurut lokasi dan dipengaruhi kondisi-kondisi setempat maka terdapat ratusan sistem agroforestri yang diidentifikasi. Namun sebetulnya seluruh sistemsistem tersebut mencakup jumlah yang lebih sedikit atas dasar ciri-ciri yang khusus cara penataan setiap komponennya menurut ruang dan waktu, yang dikenal sebagai praktek-praktek agroforestri (Nair 2002). Tabel 3 Praktek-praktek agroforestri yang utama di wilayah tropis (Nair 2002) Praktek agroforestri Tanaman lorong (alley cropping) Taungya / tumpangsari Kebun pekarangan Perbaikan tanah tandus Pohon untuk konservasi dan reklamasi tanah Pakan ternak di bawah hutan tanaman/ perkebunan (silvopastur) Sistem pohon penaung Sabuk penahan dan Pemecah angin Uraian singkat Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum di lahan pertanian; jenis pohon secara teratur dipangkas pendek (< 1 m) untuk mengurangi naungan tanaman pangan; pemangkasan akan menghasilkan semacam mulsa dalam lorong sebagai sumber bahan organik dan hara, atau untuk pakan ternak Penanaman tanaman pertanian selama tahap awal pembangunan hutan tanaman. Kombinasi tajuk secara berlapis dari sejumlah besar pohon dan tanaman pangan di pekarangan; kadangkadang dengan atau tanpa kehadiran ternak. Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum, jenis berkayu ditanam dan dibiarkan tumbuh selama tahap pergiliran ladang; jenis berkayu menyebabkan perbaikan tanah dan mungkin menghasilkan produk yang bernilai. Pohon yang ditanam pada teras-teras, tempat yang menonjol dll, dengan atau tanpa penanaman jalur rumput; pengunaan pohon untuk reklamasi tanah yang salin, asam atau lahan yang terdegradasi. Penanaman rumput untuk pakan pada jalur tertentu di bawah hutan tanaman/perkebunan. Campuran secara terpadu pohon seperti kelapa, coklat, kopi dan karet dengan pohon lain, pohon penaung, dan/atau tumbuhan herba (tanaman semusim). Menggunakan vegetasi pohon untuk melindungi lahan pertanian dari gangguan angin, rembesan air laut, banjir dll.

42 26 Nair (1992) menjabarkan ada empat komponen utama yang menjadi ciri agroforestri, yaitu : (1) Menghasilkan beragam keluaran yang dikombinasikan dengan perlindungan terhadap sumberdaya, (2) Menggunakan jenis lokal, tumbuhan bawah dan pohon serbaguna yang bertujuan agar agroforestri sesuai untuk lingkungan yang rentan, (3) Lebih mengedepankan nilai-nilai sosial-budaya dibanding sistem penggunaan lahan yang lain, dan (4) Praktek yang dilakukan secara struktur maupun fungsional lebih rumit daripada budidaya monokultur. Bukti-bukti ilmiah sekarang ini menunjukkan bahwa keragaman spasial dan temporal yang dibentuk oleh penanaman agroforestri dapat membantu meningkatkan sumberdaya, menambah produksi, mengurangi resiko tanaman monokultur dan praktek kehutanan untuk mencapai kestabilan sistem dan kelestarian (Sanchez, 1995). Keuntungan biologi dari agroforestri adalah : (1) meningkatnya pemanfaatan lahan, (2) memperbaiki sifat tanah, (3) meningkatkan produktivitas, (4) mengurangi erosi tanah, (5) mengurangi iklim mikro yang ekstrim, (6) pemanfaatan positif iklim mikro (untuk naungan), dan (7) meningkatkan keanekaragaman hayati di atas dan di bawah permukaan tanah. Keuntungan ini secara keseluruhan memberikan manfaat ekonomis dan sosial yang memang diinginkan melalui sistem ini (Ruark et al. 2003). Penyimpanan Karbon melalui Praktek Agroforestri Walaupun penelitian agroforestri telah dimulai lebih dari 40 tahun yang lalu, tetapi masih sedikit sekali studi yang berkaitan dengan potensi serapan karbon lewat sistem agroforestri. Ada dua masalah pokok yang banyak dikemukakan, yaitu (1) Wilayah yang berbeda-beda dari sistem agroforestri tidak banyak diketahui, dan (2) Gambaran yang menyeluruh mengenai kemampuan penyimpanan dan dinamika karbon (in-situ dan ex-situ) pada sistem agroforestri yang berbeda-beda belum ditentukan (Nair 2002). Menurut Dixon (1995), ada dua alasan utama mengapa agroforestri potensial untuk mengurangi emisi karbon. Pertama, saat ini banyak lahan di daerah tropis yang dipakai untuk praktek pertanian dan meningkatnya penggunaan agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan yang nyata dalam sumber biotik karbon. Kedua, meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan

43 27 luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam atau hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai untuk kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri untuk kayu bakar akan mengurangi tekanan penebangan di hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak dapat diperbaharui. Sejalan dengan alasan di atas, Brown et al. (1993); Schroeder et al. (1993) juga menegaskan bahwa apabila agroforestri diartikan lebih luas mencakup penanaman kayu bakar, sistem pengendali angin dan kebun kayu, maka mungkin juga potensial mampu untuk menyerap CO 2 atau pengganti emisi dari bahan bakar fosil karena mampu mengganti hasil kayu bakar dan pakan ternak yang sebelumnya secara tetap diambil dari hutan alam. Apabila sistem-sistem ini dikelola secara lestari, penyerapan C bisa dipertahankan selama beratus-ratus tahun. Sedangkan Dixon (1995) menyatakan pembangunan dan pengelolaan agroforestri, terutama yang memerlukan olah tanah intensif dapat menimbulkan emisi GRK yang nyata secara global. Praktek yang menimbulkan emisi gas CO 2, CH 4, dan N 2 O mencakup pembakaran, pemupukan, dan pengolahan tanah. Namun sebaliknya, beberapa praktek pengelolaan juga menunjukkan adanya peningkatan kandungan C tanah karena meningkatnya serapan dan penyimpanan CO 2, yang akan mengurangi lepasnya GRK ke atmosfer. Praktek-praktek semacam olah tanah minimal, penggunaan sisa tanaman, aplikasi kompos atau pupuk kandang dan penggunaan tanaman penutup tanah atau legum bisa menahan lebih lama C (puluhan hingga ratusan tahun) dalam sistem tanah relatif dibandingkan dengan metode agronomi yang konvensional (Kern & Johnson 1993). Jumlah karbon yang dapat diserap besarnya tergantung pada sistem agroforestri yang dilakukan, struktur dan fungsi yang ada yang secara luas ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan sosial-ekonomi. Faktor lain yang juga mempengaruhi simpanan karbon adalah pemilihan jenis pohon dan sistem pengelolaannya (Dixon 1995).

44 28 Tabel 4 Contoh praktek agroforestri yang secara potensial membantu menstabilkan emisi GRK dan menyerap atau menyimpan C pada biosfer daratan (Dixon 1995) Praktek Mengurangi emisi Menyimpan/ menyerap C atau N Silvopastur Menganti lahan marginal agronomi (menyimpan C tanah) Menahan bahan organik di tanah Mengurangi deforestasi dan pembakaran biomassa Mengatur pakan untuk mengurangi emisi CH4 Agrisilvikultur Konservasi tanah dan mulsa (menahan C) Meminimalkan erosi hujan & angin (shelter & tanaman lorong) Menanam jenis pohon tahunan multifungsi (menyerap CO2) Mengatur muka air, pemupukan dan pengolahan tanah sawah Memulihkan lahan terdegradasi Agrisilvopastur Meminimalkan gangguan lahan (saat mengolah tanah & panen) Meningkatkan P & K tanah; merubah ph (memacu sekuestrasi) Mengerjakan terus menerus vs ladang berpindah Memakai limbah hewan untuk bahan bakar atau pupuk organik Menanam legum, mengurangi pupuk kimia N : pengaruhnya nyata, : pengaruhnya sedikit/tidak nyata Tabel 5 memperlihatkan potensi penyimpan C melalui sistem agroforestri di beberapa wilayah negara pada berbagai kondisi tanah dan iklim. Nilai penyimpan karbon (termasuk C tanah) berkisar antara tonc/ha, dengan rataan 95 tonc/ha. Potensi peningkatan C melalui biomassa yang terbesar terjadi di wilayah tropika basah. Di daerah beriklim sedang praktek agroforestri menunjukkan kemampuan penyimpanan C potensial berkisar antara tonc/ha dengan rataan 34 ton C/ha (Dixon 1995). Di daerah tropis, Palm et al. (1999) melaporkan system agroforestri membantu menambahkan hingga 35% persediaan C dari hutan yang sebelumnya dikonversi, dibandingkan hanya 12% jika hanya ditanami tanaman pangan dan pakan ternak. Pendugaan melalui pengukuran mikrometerologi dan data pengukuran permanen menunjukkan bahwa hutan hujan tropis membentuk suatu rosot karbon kira-kira 1-1,3 tonc/ha/tahun. Sediaan karbon di alam untuk vegetasi hutan hujan tropis yang klimaks mencapai tonc/ha, sementara untuk hutan yang dikelola lestari, persediaan karbon 25% lebih rendah dan persediaan di hutan sekunder, hutan tanaman, dan sistem

45 29 agroforestri yang dikombinasi dengan tanaman pertanian kira-kira mencapai 50% dari persediaan karbon di hutan hujan. Padang rumput dan tanaman semusim menyimpan hanya 10-20% dari persediaan karbon di hutan hujan. Laju serapan karbon atau laju akumulasi karbon pada vegetasi yang sedang tumbuh secara umum lebih tinggi pada hutan hujan yang dikelola, hutan tanaman dan sistem agroforestri daripada pada hutan hujan klimaks yang belum terganggu. Tabel 5 Potensial simpanan karbon (MgC/ha) dan biaya proyek (US$/MgC) untuk sistem agroforestri menurut wilayah ekologi di beberapa negara tertentu (Dixon 1995) Negara Wilayah ekologi Sistem MgC/ha US$/MgC Argentina Tropika basah rendah Agrisilvikultur a 16 b Dataran rendah kering Australia Tropika basah rendah Silvopastur Brazil Dataran rendah kering Agrisilvikultur Tropika basah rendah Cina Tropika basah Agrisilvikultur Kongo Tropika basah tinggi Agrisilvikultur India Dataran rendah kering Agrisilvikultur Tropika basah rendah Meksiko Tropika basah tinggi Silvopastur USA Temporal basah rendah Silvopastur Dataran rendah kering Rusia Temporal basah rendah Silvopastur Zaire Tropika basah tinggi Agrisilvikultur a Nilai simpanan karbon dibakukan pada rotasi 50 tahun b Atas dasar simpanan C di atas rotasi 50 tahun, nilai US$ tahun 1990, biaya pemeliharaan setelah 3 tahun tidak diperhitungkan, manfaat yang diperoleh selama rotasi tidak diperhitungkan. Fay et al. (1998) menduga luas potensial lahan yang dikonversi menjadi sistem agroforestri mencapai 10 juta ha/tahun. Atas dasar hasil penilaian pendahuluan rosot C tingkat nasional dan global, ada dua manfaat utama sistem agroforestri yang telah diidentifikasi, yaitu : (1) Penyimpanan langsung C dalam waktu singkat (dua puluh tahun hingga seabad), dan (2) potensial untuk menggantikan emisi GRK segera yang berasal dari penggundulan hutan dan ladang berpindah. Sebuah proyeksi penyimpanan karbon dari sistem agroforestri skala kecil (smallholder) menunjukkan laju sekuestrasi C antara 1,5 3,5 tonc/ha/tahun dan persediaan C meningkat tiga kali dalam periode 20 tahun,

46 30 menjadi 70 tonc/ha. Total emisi karbon yang berasal dari deforestasi global sekarang ini diperkirakan dengan laju 17 juta ha per tahun adalah 1.6 Pg. Diasumsikan jika satu hektar agroforestri dapat mengamankan hingga lima hektar lahan akibat deforestasi dan sistem agroforestri tersebut dapat dibangun hingga mencapai 2 juta hektar di wilayah tropis setiap tahunnya, maka pengembangan sistem agroforestri jelas secara nyata dapat berperan untuk mengatasi emisi yang disebabkan oleh deforestasi tersebut (Palm et al. 1999; Watson et al. 2000). Walaupun demikian, ketidaktepatan pendugaan luas areal untuk sistem agroforestri di berbagai wilayah ekologi yang berbeda merupakan masalah yang serius untuk memproyeksikan luas praktek agroforestri yang bisa mengatasi masalah emisi karbon akibat deforestasi. Kesulitan bertambah dengan adanya fakta bahwa karbon yang diserap melalui sistem agroforestri bervariasi menurut tapak dan ciri-ciri khusus sistem tersebut; termasuk iklim, jenis tanah, kerapatan pohon dan cara-cara pengelolaannya (Nair 2002). Masuknya karbon hutan melalui kegiatan agroforestri yang berbasis masyarakat dipandang berdampak positif bagi kehidupan masyarakat lokal, sebagaimana dinyatakan dalam Scherr et al. (2000); CIFOR (2003). Beberapa manfaat positif tersebut di antaranya adalah: (1) Meningkatnya pendapatan lokal lewat promosi investasi dalam pengelolaan hutan dan pengunaan lahan di pedesaan secara berkelanjutan, (2) Meningkatkan nilai lahan dan asset hutan melalui rehabilitasi lahan terdegradasi, perbaikan produktivitas dan kesuburan lahan, (3) Mendukung efisiensi penggunaan hasil hutan, (4) Memberikan harga atas manfaat lingkungan bagi masyarakat lokal (perlindungan biodiversitas penting untuk pangan dan sumber-sumber air), (5) Membangun kapasitas masyarakat pedesaan untuk produksi yang lestari dan kegiatan konservasi, (6) Mempromosikan pengembangan institusi; suksesnya proyek kehutanan berbasis masyarakat dapat memperkuat institusi lokal yang bekerja atas dasar kebutuhan setempat, (7) Mengurangi konflik-konflik sosial; proyek dapat mengembangkan alat untuk mendistribusi manfaat secara setara melalui penguatan lokal pada proses negosiasi secara damai. Disamping sejumlah alasan positif di atas, Scherr et al. (2000) juga mengemukakan beberapa kekhawatiran tentang potensi resiko yang mungkin

47 31 diterima masyarakat lokal apabila proyek karbon tidak dirancang dengan baik, yaitu : (1) Proyek mungkin akan membatasi akses masyarakat setempat terhadap lahan dan hasil-hasil hutan yang penting bagi kesejahteraan mereka, tanpa pembayaran dan kompensasi yang adil, (2) Masyarakat lokal, khususnya yang tanpa hak pemilikan lahan yang formal, mungkin akan melemah hak lahannya dan (3) Proyek mungkin akan memasung penggunaan lahan dengan cara yang tidak perlu sehingga mengurangi keluwesan petani untuk menyesuaikan dengan kesejahteraannya yang terganggu. Berkaitan dengan kemungkinan peran pemilik lahan yang sempit (smallholder) untuk berpartisipasi dalam pasar karbon, Cacho et al. (2003) menyatakan ada tiga pertanyaan yang muncul berkaitan dengan masuknya kegiatan agroforestri sebagai penuyerap karbon, yaitu : (1) Bagaimana tingkat efisiensi sekuestrasi karbon lewat praktek agroforestri jika dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan yang lain, (2) Bagaimana agar petani dengan pemilikan lahan sempit mau mengadopsi kegiatan sekuestrasi karbon ke dalam kegiatan pengelolaannya, dan (3) Kebijakan yang bagaimana yang diperlukan agar terjadi perubahan yang diinginkan. Untuk jawaban pertanyaan pertama, perlu ditentukan kegiatan agroforestri seperti apa yang dapat menghasilkan serapan karbon. Hal ini merujuk pada seluruh biaya kegiatan yang dikeluarkan. Faktor-faktor seperti status lahan, zonasi agroklimat, teknologi yang dipakai dan ketersediaan modal akan sangat menentukan. Pertanyaan kedua merujuk pada insentif. Apabila pemilik lahan mengangap agroforestri lebih baik dalam mencukupi kebutuhannya dibandingkan dengan bentuk penggunaan lahan yang sekarang dipraktekkan dan petani percaya bahwa kegiatan ini tidak menimbulkan resiko yang tidak diharapkan, maka petani akan menerima kegiatan ini. Pertanyaan ketiga berhubungan dengan sejumlah isu kebijakan seperti jaminan tenurial, ongkos yang dikeluarkan untuk berpartisipasi dalam pasar karbon, tingkat keahlian teknis yang dibutuhkan, ketersediaan pelatihan dan pendanaan, dan seterusnya. MacDicken (1997a) secara khusus menegaskan bebeberapa aspek penting yang perlu diperhatikan dalam program monitoring proyek karbon kehutanan berbasis agroforestri yang berbeda dengan program kehutanan lainnya, yaitu:

48 32 1. Penanaman agroforestri memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif dan umumnya luasannya sempit. 2. Penanaman agroforestri terpencar-pencar dalam bentang lahan yang luas. 3. Pohon dalam penanaman agroforestri jaraknya berjauhan untuk memberikan ruang yang cukup untuk tanaman pertanian, sehingga tajuk pohon tidak selalu bersinggungan dan menyebabkan variasi yang tinggi. 4. Pada beberapa sistem agroforestri, pepohonan tersusun pada barisan yang teratur, hal ini dapat menimbulkan bias jika digunakan sampling sistematik. 5. Tanaman agroforestri biasanya dibangun dan dimiliki oleh pemilik lahan dengan luasan yang kecil. Maka beberapa pengukuran tanaman agroforestri perlu pula berinteraksi dengan petani, yang mungkin tidak terjadi untuk jenis proyek penggunaan lahan yang lain. Atas dasar studi untuk mengidentifikasi sumber utama ketidakpastian perhitungan dampak GRK, de Jong (2000) menyatakan bahwa sebagian besar sumber kesalahan berhubungan dengan klasifikasi tipe penutupan/penggunaan lahan, pendugaan persediaan karbon setiap tipe penutupan/penggunaan lahan, pembuktian riwayat perubahan penutupan/penggunaan lahan untuk penentuan garis dasar (baseline), dan variasi nilai parameter untuk menghitung perubahan karbon. Kenyataan ekonomi juga merupakan faktor utama dalam menetapkan nyata atau tidaknya potensi jumlah karbon yang disimpan dalam sistem agroforestri (Alavalapati & Nair 2001). Biaya pembangunan agroforestri sangat bervariasi menurut lokasi dan sistem harus pula mempertimbangkan kelayakan agroforestri sebagai pilihan untuk sekuestrasi karbon. Melalui suatu studi penilaian pemberian insentif untuk mendorong petani menjalankan agroforestri dan praktek yang ramah-karbon di Meksiko Selatan, de Jong (2000) menyatakan bahwa sistem pelaporan sendiri (self-reporting) dengan pemeriksaan langsung di tempat adalah metode yang paling sesuai untuk menilai dampak perubahan karbon pada proyek agroforestri, yang secara khas memiliki ciri berskala kecil dengan keragaman yang tinggi dan melibatkan banyak petani.

49 33 Model Pendugaan Pertumbuhan dan Hasil Tegakan Menurut Vanclay (1994); Davis et al. (2001), berdasarkan kepada unit-unit dasar yang menyusun suatu model, model pertumbuhan (empiris) dapat dikelompokan atas 3 kelompok model, yaitu model tegakan keseluruhan (whole stand models), model kelas diameter (class diameter models atau size class models), dan model individu pohon (individual tree models atau single-tree models). Model-model tegakan keseluruhan adalah suatu model pertumbuhan dan hasil yang unit-unit dasar penyusun modelnya adalah parameter-parameter tegakan seperti bidang dasar, kerapatan pohon, volume tegakan, dan parameter penciri sebaran diameter yang digunakan untuk menduga pertumbuhan dan hasil dari hutan. Model ini relatif sederhana presentasinya karena hanya memerlukan informasi yang sedikit untuk menggambarkan pertumbuhan suatu tegakan tetapi informasi yang diberikan lebih bersifat umum. Model tegakan keseluruhan sangat bermanfaat untuk pemodelan pertumbuhan hutan tanaman yang umumnya seumur dan memiliki keterbatasan apabila digunakan untuk hutan campuran, dimana dijumpai banyak jenis dan berbagai ukuran pohon yang menyusun tegakan. Model-model individu pohon menggunakan individu pohon sebagai unit dasar penyusunan model. Input minimum yang diperlukan untuk penerapan model ini adalah daftar seluruh jenis pohon yang menyusun tegakan, mecakup ukuran diameter, tinggi, bentuk tajuk. Model yang lainnya juga memperhatikan posisi spasial setiap pohon, tinggi pohon dan kelas tajuk. Pendekatan model ini selain dapat menerangkan pertumbuhan, juga digunakan untuk mempelajari adanya kompetisi, kematian, variasi komposisi jenis dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan tegakan hutan.

50 METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pendekatan Masalah Situasi masalah yang pertama adalah terjadinya keragaman yang tinggi dalam praktek pengelolaan agroforestri akibat beragamnya kondisi alami tempat tumbuh dan cara-cara pengelolaan agroforestri itu sendiri sehingga menyebabkan beragamnya kemampuan agroforestri untuk menyediakan atau menyerap karbon. Dari sisi mekanisme penyelenggaraan proyek karbon, beragamnya kondisi tersebut akan menjadi masalah dalam mengembangkan metode pengukuran dan monitoring manfaat karbon. Identifikasi untuk mengetahui terjadinya keragaman persediaan karbon tersebut dilakukan dengan mengenali tipologi berbagai bentuk praktek agroforestri yang telah ada atau berlangsung di masyarakat. Tipologi agroforestri diperkirakan terjadi sebagai akibat dari kondisi lingkungan dan tempat tumbuh, orientasi ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat yang akan mempengaruhi praktek pengelolaan agroforestri. Perbedaan tipologi agroforestri akan menyebabkan terjadinya perbedaan yang besar pula dalam hal kemampuan agroforestri untuk menghasilkan persediaan karbon. Potensi persediaan karbon bagian atas tegakan untuk setiap unit tegakan agroforestri diturunkan dari jumlah seluruh biomassa yang terkandung dalam pohon, tanaman pertanian semusim, tumbuhan bawah dan nekromassa (tunggak kayu, pohon mati, serasah) yang menyusun tegakan agroforestri. Biomassa pohon yang merupakan biomassa terbesar penyusun tegakan diduga melalui persamaan alometrik biomassa pohon yang sesuai dengan jenisnya. Situasi masalah yang kedua adalah mengidentifikasi sumber persediaan karbon yang terdapat dalam agroforestri dan mengembangkan model pendugaannya. Besarnya potensi persediaan karbon dan variasi persediaannya didekati melalui trend perkembangan persediaan dan perubahan karbon menurut sumber biomassanya yang terjadi sepanjang waktu pengelolaan agroforestri. Pendekatan struktur tegakan (melalui distribusi jenis dan ukuran pohon) sepanjang waktu pengelolaan juga digunakan untuk menjelaskan terjadinya variasi tersebut. Sejumlah variabel yang mencirikan dimensi tegakan dan kondisi

51 35 tempat tumbuh akan dilihat peranannya dalam menjelaskan keragaman persediaan karbon tegakan dan menetapkan peubah-peubah yang penting untuk keperluan pendugaan potensi persediaan karbon tegakan. Analisis terhadap karakteristik persediaan karbon pada berbagai tipologi agroforestri yang dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan yang spesifik oleh petani, memungkinkan dirumuskannya model pendugaan persediaan karbon serta proses pengumpulan data dan monitoring yang relevan dengan pengetahuan dan pengalaman petani. Situasi masalah yang ketiga adalah sejauhmana potensi persediaan karbon yang diperoleh melalui pengelolaan agroforestri juga akan menarik minat petani untuk ikut dalam skema perdagangan karbon. Secara rasional proyek sekuestrasi karbon akan diminati petani apabila akan memberikan manfaat yang lebih baik (ekonomi atau non-ekonomi) dibandingkan praktek pengelolaan yang sudah berjalan selama ini. Hal yang perlu diketahui adalah proses yang bagaimana yang harus dilakukan agar persediaan karbon yang dihasilkan dapat diserahkan dan dibeli secara memadai dengan prosedur yang dapat diterima. Secara skematis, alur kerangka pendekatan masalah untuk menjawab berbagai masalah penelitian yang diajukan diringkas dalam Gambar 3.

52 36 Mulai Identifikasi karakteristik agroforestri Pengembangan model penaksiran biomassa pohon jenis utama agroforestri Karakteristik struktur, komposisi dan dimensi tegakan Persamaan Alometrik Biomassa Pohon & komponen biomassa lain Tipologi agroforestri Analisis sumber biomassa karbon & variasi persediaan karbon agroforestri Pengembangan metode pengukuran & monitoring perubahan karbon agroforestri Model-model pendugaan persediaan karbon agroforestri & perubahannya Sistem budidaya & pemanfaatan hasil tegakan agroforestri Analisis neraca karbon & potensi pengelolaan sekuestrasi karbon dlm agroforestri Analisis situasi skema perdagangan karbon Model pengelolaan agroforestri untuk proyek karbon Selesai Gambar 3. Diagram alir kerangka pemecahan masalah

53 37 Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan yang menjadi obyek penelitian adalah lokasi tegakan agroforestri yang berada di lahan milik dan terutama dikelola untuk tujuan menghasilkan kayu, atau dikenal luas sebagai hutan rakyat. Dua lokasi tegakan hutan rakyat agroforestri yang terpisah dijadikan sebagai contoh kasus, masing-masing berada di Desa Pacekelan, Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah (7 o 05 Lintang Selatan dan 111 o 07 Bujur Timur) dan di Desa Kertayasa, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat (6 o 30 Lintang Selatan dan 107 o 0 Bujur Timur) (Gambar 4). Skala 1: Gambar 4. Peta situasi lokasi penelitian Kedua wilayah ini dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa sebaran tegakan agroforestrinya relatif luas dan praktek agroforestri telah berlangsung relatif lama, terdapat keragaman jenis pohon berkayu yang diusahakan dan variasi kondisi tempat tumbuh. Lokasi agroforestri di Desa Pecekelan dipilih untuk mewakili kondisi pengelolaan agroforestri yang menggunakan jenis sengon yang hampir homogen sebagai penaung untuk tanaman kopi. Sedangkan agroforestri di Desa Kertayasa dipilih untuk mewakili

MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO

MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO

MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon

TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon Aktivitas kehutanan berpengaruh luas, baik sebagai sumber terjadinya GRK (gas rumah kaca), khususnya CO 2 atau sebaliknya, dalam kegiatan pengurangan emisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK

POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK POTENSI JASA LINGKUNGAN TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus hybrid) DALAM PENYIMPANAN KARBON DI PT. TOBA PULP LESTARI (TPL). TBK SKRIPSI Tandana Sakono Bintang 071201036/Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi II. TIJAUA PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi secara administratif berada di wilayah Kabupaten Bogor, Bekasi dan DKI Jakarta. DAS Kali Bekasi memiliki 5 Sub DAS besar,

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT ZANI WAHYU RAHMAWATI

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT ZANI WAHYU RAHMAWATI PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TEGAKAN REHABILITASI TOSO DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT ZANI WAHYU RAHMAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013. 30 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pekon Gunung Kemala Krui Kabupaten Lampung Barat. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI Rizaldi Boer Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB Penambatan karbon merupakan

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Muhammad Ridwan 17 Maret 2010 Bahan disarikan dari beberapa tulisan

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA DAN PENDUGAAN SIMPANAN KARBON RAWA NIPAH (Nypa fruticans)

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA DAN PENDUGAAN SIMPANAN KARBON RAWA NIPAH (Nypa fruticans) MODEL ALOMETRIK BIOMASSA DAN PENDUGAAN SIMPANAN KARBON RAWA NIPAH (Nypa fruticans) SKRIPSI OLEH: CICI IRMAYENI 061202012 / BUDIDAYA HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI HUTAN DIKLAT PONDOK BULUH KABUPATEN SIMALUNGUN SKRIPSI Oleh: Novida H. Simorangkir 1212011120 FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016 ABSTRAK

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa

TINJAUAN PUSTAKA. membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa TINJAUAN PUSTAKA Produksi Biomassa dan Karbon Tanaman selama masa hidupnya membentuk biomassa yang digunakan untuk membentuk bagian-bagian tubuhnya. Dengan demikian perubahan akumulasi biomassa dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J.

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J. MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J. Tujuan Memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

YOHANES ANDREAS ROBERT LANGI

YOHANES ANDREAS ROBERT LANGI MODEL PENDUGA BIOMASSA DAN KARBON PADA TEGAKAN HUTAN RAKYAT CEMPAKA (Elmerrillia ovalis) DAN WASIAN (Elmerrrillia celebica) DI KABUPATEN MINAHASA SULAWESI UTARA YOHANES ANDREAS ROBERT LANGI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI ANALISIS REGRESI TERPOTONG DENGAN BEBERAPA NILAI AMATAN NOL NURHAFNI SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI

PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI PERSAMAAN PENDUGA VOLUME POHON PINUS DAN AGATHIS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT WIWID ARIF PAMBUDI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim 263 11. KESIMPULAN UMUM Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Gejala perubahan iklim semakin nyata yang ditandai

Lebih terperinci

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 ONRIZAL Staf Pengajar Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian: Ekologi dan Rehabilitasi Hutan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

CDM Pada Sektor Kehutanan

CDM Pada Sektor Kehutanan 5 TINJAUAN PUSTAKA Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam yang berperan penting dalam menunjang kehidupan manusia, memiliki fungsi sebagai penyeimbang dalam konteks ekologis, fungsi hidroorologis dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan 26 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomassa dan Karbon Hutan Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. didalamnya, manfaat hutan secara langsung yakni penghasil kayu mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan merupakan sumber utama penyerap gas karbondioksida di atmosfer selain fitoplankton, ganggang, padang lamun, dan rumput laut di lautan. Peranan hutan sebagai penyerap karbondioksida

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dilaksanakan di areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI ARBORETUM USU SKRIPSI

PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI ARBORETUM USU SKRIPSI PENDUGAAN CADANGAN KARBON PADA TUMBUHAN BAWAH DI ARBORETUM USU SKRIPSI Oleh: IMMANUEL SIHALOHO 101201092 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 LEMBAR

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SERAPAN KARBON PADA AREA KONSERVASI MANGROVE PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA, Tbk KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS POTENSI SERAPAN KARBON PADA AREA KONSERVASI MANGROVE PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA, Tbk KALIMANTAN SELATAN ANALISIS POTENSI SERAPAN KARBON PADA AREA KONSERVASI MANGROVE PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA, Tbk PLANT 12 TARJUN KOTABARU KALIMANTAN SELATAN Kerjasama Antara LEMBAGA PENELITIAN UNLAM dengan PT. INDOCEMENT

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu Penelitian lapangan dilaksanakan di areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Propinsi Kalimantan Tengah. Areal penelitian merupakan areal hutan yang dikelola dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

POTENSI SIMPANAN KARBON PADA HUTAN TANAMAN MANGIUM (Acacia mangium WILLD.) DI KPH CIANJUR PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

POTENSI SIMPANAN KARBON PADA HUTAN TANAMAN MANGIUM (Acacia mangium WILLD.) DI KPH CIANJUR PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Desember 2011, hlm. 143-148 ISSN 0853 4217 Vol. 16 No.3 POTENSI SIMPANAN KARBON PADA HUTAN TANAMAN MANGIUM (Acacia mangium WILLD.) DI KPH CIANJUR PERUM PERHUTANI UNIT III

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Mengenai Pendugaan Biomassa Brown (1997) mendefinisikan biomassa sebagai jumlah total berat kering bahan-bahan organik hidup yang terdapat di atas dan juga di bawah

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU

PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU PERBANDINGAN UNIT CONTOH LINGKARAN DAN UNIT CONTOH N-JUMLAH POHON DALAM PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DITO SEPTIADI MARONI SITEPU DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG PENERAPAN TEKNIK SILVIKULTUR DALAM USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DENGAN

Lebih terperinci