TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa dan Sekuestrasi Karbon Aktivitas kehutanan berpengaruh luas, baik sebagai sumber terjadinya GRK (gas rumah kaca), khususnya CO 2 atau sebaliknya, dalam kegiatan pengurangan emisi dan penambatan karbon. Secara mendasar ada tiga macam praktek pengelolaan hutan yang dapat dilakukan untuk memperkecil laju peningkatan karbon dioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon, (2) pengelolaan untuk pengambilan dan penyimpanan karbon dan (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon. Pengelolaan dengan mengkonservasi karbon terutama mengamankan gudang karbon yang sudah ada di hutan yang dilakukan melalui pencegahan deforestasi, pengawetan hutan (cagar alam), perbaikan cara-cara pengelolaan hutan (dengan reduce impact logging, praktek silvikultur yang ramah, pengendalian kebakaran, efisiensi pemakaian kayu, dan pemupukan), dan mengendalikan gangguan lain oleh manusia dan serangan hama. Pengelolaan melalui pengambilan dan penyimpanan karbon adalah memperluas simpanan karbon pada ekosistem hutan dengan meningkatkan luas atau kepadatan karbon di hutan alam atau hutan tanaman dan meningkatkan masa simpan produk-produk kayu yang tahan lama. Hal tersebut mencakup kegiatan aforestasi (penanaman pohon pada areal yang dalam waktu yang lama tidak berhutan), reforestasi (penanaman pohon-pohon kembali pada areal yang sebelumnya pernah berhutan), hutan kota agroforestri. Kegiatan lainnya termasuk permudaan alam, pengayaan tanaman dan pengelolaan produk kayu dari hutan. Pengelolaan untuk mensubstitusi karbon bertujuan meningkatkan transfer karbon dari biomassa hutan ke dalam produk (misalnya kayu bahan bangunan atau bahan bakar biomassa) untuk menggantikan penggunaan bahan bakar fosil dan produk berbasis semen. Pengelolaan substitusi karbon adalah potensi mitigasi yang terbesar untuk jangka panjang. Sekuestrasi karbon melalui hutan dilandasi oleh dua pendapat. Pertama, CO 2 adalah gas yang beredar secara global; konsekuensinya segala usaha untuk mengurangi GRK di atmosfir akan selalu sama efektifnya apabila dilakukan di

2 7 manapun di bagian belahan bumi ini, dekat ataupun jauh dari sumber emisinya. Kedua, tumbuhan mengambil CO 2 yang ada di atmosfir melalui proses fotosintesis dan menghasilkan gula dan senyawa organik lain yang dipakai untuk metabolisme dan pertumbuhan. Tumbuhan berkayu dengan umur lebih panjang menyimpan karbon di kayu dan jaringan lain sampai tumbuhan tersebut mati dan terdekomposisi, yang pada waktunya akan dilepas kembali ke atmosfir sebagai CO 2, karbon monoksida atau metana, atau mungkin saja tetap bersatu dengan tanah sebagai bahan organik (Anderson & Spencer 1991). Jaringan tumbuhan bervariasi kandungan karbonnya. Batang dan buah mempunyai lebih banyak karbon per satuan beratnya dibanding dengan daun, tetapi tumbuhan umumnya mempunyai beberapa jaringan yang banyak karbon dan beberapa jaringan lagi sedikit karbon, dengan konsentrasi karbon rata-rata sekitar 45-50% yang telah diterima secara umum (Chan 1982). Jumlah karbon yang disimpan di dalam pohon atau hutan dapat dihitung jika diketahui jumlah biomassa atau jaringan hidup tumbuhan di hutan tersebut dan memberlakukan suatu faktor konversi. Sekuestrasi karbon umumnya diartikan sebagai pengambilan CO 2 secara (semi) permanen oleh tumbuhan melalui fotosintesis dari atmosfer ke dalam komponen organik, atau disebut juga fiksasi karbon (Hairiah et al. 2001b). Dalam konteks pertumbuhan hutan, sekuestrasi karbon adalah riap atau pertambahan terhadap persediaan karbon yang dikandung hutan (Murdiyarso & Herawati 2005). Sekuestrasi karbon dapat ditentukan sebagai hasil produktivitas bersih tahunan karbon (net primary production, NPP) (dalam MgC/ha/tahun) dikalikan dengan paruh-hidup harapan (dalam tahun) karbon yang terikat (Hairiah et al. 2001b). Konsep paruh-hidup karbon dikaitkan dengan besarnya persediaan karbon tetap yang diikat di dalam vegetasi dan berapa lama karbon tersebut tetap ada sebelum kembali dalam bentuk CO 2 ke atmosfer karena dekomposisi atau pembakaran. Paruh-hidup karbon (waktu dalam tahun, diambil setengah massa karbon untuk lapuk), diduga untuk setiap bagian yang berbeda dari komponen vegetasi (misalnya 0,3 tahn untuk serasah daun, 1 tahun untuk serasah cabang, 4 tahun untuk kayu mati dan tahun untuk kayu yang hidup).

3 8 Potensi sekuestrasi karbon pada ekosistem daratan tergantung pada macam dan kondisi ekosistem, yaitu komposisi spesies, struktur dan distribusi umur (khusus untuk hutan). Kondisi tempat tumbuh juga penting akibat pengaruh iklim dan tanah, gangguan alami dan tindakan pengelolaan (Hairiah et al. 2001b; Hoover et al. 2000). Pendugaan Persediaan Karbon dalam Tegakan Hutan Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon (carbon pool) dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Setiap bagian tadi masih dapat dipisahkan lagi. Sebagai contoh biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan pakupakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral,lapisan organik dan gambut. Hamburg (2000) menyatakan bahwa perhitungan karbon untuk tujuan proyek sekuestrasi harus mencakup seluruh gudang karbon, yaitu biomassa hidup bagian atas, biomassa hidup bagian bawah, nekromassa, dan biomassa tanah. Pada saat ini, untuk proyek LULUCF, gudang karbon yang utama yang dapat diperhitungkan terdiri dari: biomassa bagian atas permukaan tanah, biomassa bagian bawah permukaan tanah, serasah, kayu-kayu mati dan karbon tanah (IPCC 2003). Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon mana saja yang perlu diukur dan dimonitor tergantung pada macam proyek, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran, serta ketepatan dan ketelitian yang diinginkan (MacDicken 1997). Sistem perhitungan yang dipilih dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan yang negatif atau positif sebagai akibat adanya kegiatan proyek. Hanya terhadap bagian gudang karbon yang diukur dan dimonitor saja yang dapat dimasukkan kedalam perhitungan manfaat karbon. Brown (1999a) memberikan panduan umum untuk memilih gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai macam pilihan proyek karbon berbasis hutan (Tabel 1).

4 9 Tabel 1 Matriks keputusan gudang karbon utama yang perlu diukur dan dimonitor untuk berbagai contoh proyek karbon berbasis hutan (Brown 1999a) Macam Proyek Gudang Karbon (carbon pool) Biomassa hidup Biomassa mati Pohon Herba Akar Halus Kasar Tanah Produk kayu Pencegahan emisi - Penghentian deforestasi Y M R M Y R M - Reduced impact logging Y M N M Y N M - Perbaikan pengelolaan hutan Y M R M Y M Y Penyerapan karbon - Hutan tanaman Y N R M M R Y - Agroforestri Y Y M N N R M Pengelolaan karbon tanah N N M M N Y N Substistusi karbon -Tanaman kayu bakar daur pendek N N N N N Y * Y = harus dihitung, karena perubahan yang besar dalam gudang karbon sehingga harus diukur, R = direkomendasikan, karena perubahan dalam gudang karbon mungkin nyata tetapi biaya pengukuran untuk mencapai ketelitian yang diinginkan akan besar, N = tidak perlu, karena perubahan yang kecil atau kurang berarti terhadap gudang karbon, M = mungkin diperlukan, karena perubahan mungkin perlu diukur tergantung tipe hutan dan atau intensitas pengelolaan proyek. * Karbon dalam bahan bakar yang tidak dibakar Tidak seluruh gudang karbon di atas dapat diterima sebagai sumber karbon, dan tidak seluruh gudang karbon akan diukur dengan tingkat ketelitian yang sama atau dengan frekuensi yang sama selama masa proyek. Untuk inventarisasi tahap awal, gudang karbon yang relevan untuk diukur tergantung kepada macam proyek (Brown 2001). Tingkat ketelitian untuk setiap gudang karbon yang diukur dengan biaya yang memungkinkan diperkirakan oleh Hamburg (2000), seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat ketelitian dan kemudahan implementasi pengukuran gudang karbon yang berbeda dalam ekosistem hutan (Hamburg 2000) Gudang karbon Koef. Variasi Kemudahan implementasi Biomassa bagian atas 5 10 % Mudah Biomassa bagian bawah % Mudah, tetapi perlu investasi awal yang besar Tanah, lapisan organik % Sedang Tanah, lapisan mineral Sangat beragam Sulit Nekromassa 40 % Sulit

5 10 Untuk inventarisasi dan monitoring karbon pada Noel Kempff Climate Action Project (NKCAP) di Taman Nasional Noel Kempff Merkado, Bolivia digunakan metodologi dan acuan yang dirujuk dari MacDicken (1997). Tujuan proyek adalah mencegah meluasnya deforestasi akibat pembalakan dan konversi hutan. Inventarisasi karbon atas dasar data yang dikumpulkan dari 625 buah plot permanen, dengan tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 10 persen. Plot-plot permanen dengan luas tertentu ditempatkan menurut strata hutan yang berbeda dan dilakukan pengukuran seluruh pohon berdiameter 5 cm, tumbuhan bawah, serasah, pohon mati dan tanah sampai kedalaman 30 cm. Biomassa akar diduga dari rasio akar-batang sebesar , sebagaimana dinyaatakan Cairn et al. (1997). Besarnya kesalahan sampling yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95% terhadap dugaan total persediaan karbon adalah ± 4 persen, dan belum termasuk kesalahan karena regresi dan pengukuran (IPCC 2000). Berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai gudang karbon dalam proyek berbasis hutan telah ada dan secara umum didasarkan pada prinsip-prinsip inventarisasi hutan yang telah diterima, sampling tanah, dan survei ekologi (MacDicken 1997; Pinard & Putz 1996). Untuk menduga biomassa pohon yang hidup, diameter seluruh pohon diukur dan dikonversi ke dalam biomassa dan perkiraan karbon (yaitu 50% dari bobot biomassa). Biomassa pohon yang hidup diduga dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Persamaan yang berlaku umum untuk pendugaan seluruh hutan dunia telah tersedia dan beberapa khusus dibuat untuk spesies tertentu. Untuk membuat persamaan regresi alometrik dengan ketelitian tinggi khususnya hutan tropis yang kompleks, diperlukan sampling terhadap sejumlah pohon yang mewakili berbagai ukuran dan sebaran jenis dalam hutan, walaupun secara ekstrim menghabiskan waktu dan biaya yang tidak mungkin dilakukan untuk setiap proyek karbon. Keuntungan menggunakan persamaan generik yang dikelompokan menurut zone iklim/ekologis adalah persamaan ini dihasilkan melalui jumlah pohon contoh yang besar dan mencakup sebaran diameter yang lebar sehingga akan meningkatkan ketelitian dan ketepatan (Brown 1997). Hal yang penting adalah database untuk persamaan regresi mencakup pohon-pohon berdiameter besar yang mencakup lebih 30% dari biomassa di atas tanah pada

6 11 hutan tropis dewasa (Brown & Lugo 1992; Pinard & Putz Untuk proyek karbon di hutan tanaman atau agroforestri, pengembangan persamaan regresi biomassa yang akan berlaku secara lokal kurang menjadi masalah. Nekromassa mencakup karbon yang berasal dari batang pohon, daun, cabang dan vegetasi lain yang telah mati. Jumlah nekromassa bervariasi menurut tipe hutan dan sejarah gangguan, dan pendugaannya secara teliti akan menghabiskan banyak waktu dan ketidakpastian yang tinggi. Brown (2000) menyatakan kayu yang mati, rebah atau masih berdiri adalah gudang karbon yang penting di hutan dan salah satu yang harus diukur dalam banyak proyek berbasis hutan. Metode-metode yang dikembangkan telah diuji untuk berbagai tipe hutan dan umumnya tidak memerlukan usaha yang terlalu berbeda dengan pengukuran pohon yang masih hidup (Harmon & Sexton 1996 dalam Brown 1999a). Total biomassa akar adalah gudang karbon penting lainnya yang mewakili lebih 40% dari total biomassa (Cairns et al. 1997), namun perhitungannya mahal dan belum ada acuan baku yang praktis. Biomassa akar dapat diukur dengan beberapa tingkat ketelitian, tetapi ketepatannya lebih rendah daripada biomassa bagian atas. Sebagai pengganti sekarang terdapat rujukan pustaka dari hasil studi di beberapa wilayah hutan di dunia yang dapat dipakai untuk menduga karbon biomassa akar melalui karbon biomassa bagian atas (Cairns et al. 1997). Pendekatan paling sederhana untuk menduga biomassa bagian bawah adalah memakai konstanta rasio akar/pucuk (rasio R/S). Walaupun rasio R/S bervariasi menurut tapak dan umur tegakan, kisaran nilai rasio R/S dapat ditentukan dari berbagai literatur ilmiah (Hamburg 2000). Pendekatan konservatif dianjurkan oleh MacDicken (1997), dimana dugaan biomassa akar tidak kurang dari persen dari biomassa bagian atas. Hamburg (2000) menganjurkan suatu nilai rasio R/S untuk hutan yang sedang tumbuh sebesar 0,15 untuk ekosistem beriklim sedang dan sebesar 0,1 untuk ekosistem tropis. Untuk mengukur karbon tanah secara langsung diperlukan biaya yang mahal, disebabkan oleh besarnya pengaruh sifat-sifat tanah terhadap dinamika karbon. Hamburg (2000) merekomendasikan untuk mengukur karbon tanah sekurang-kurangnya pada kedalaman satu meter, dan karbon tanah dan bulk density yang diperoleh berasal dari beberapa lokasi contoh. Untuk proyek karbon

7 12 yang tidak akan berpengaruh negatif terhadap persediaan karbon tanah, tidak diperlukan lagi mengukur karbon tanah setelah garis dasar (baseline) ditetapkan. Secara umum proyek penghutanan kembali di tanah pertanian atau lahan-lahan terdegradasi akan meningkatkan karbon tanah. Keefektifan karbon yang tersimpan dalam produk kayu sangat tergantung pada cara penggunaannya sepanjang umur proyek. Untuk proyek yang bertujuan mencegah pembalakan hutan, perubahan gudang karbon dari produk kayu mungkin negatif karena masukan karbon dari produk kayu akan berkurang. Dalam proyek hutan tanaman, kayu untuk produk jangka menengah dan panjang (misalnya kayu gergajian untuk perumahan, papan partikel, kertas) menjadi sumber tambahan persediaan karbon. Terdapat beberapa metode perhitungan karbon pada produk kayu yang berumur panjang dan dipakai untuk menghitung neraca karbon nasional di beberapa negara (Nabuurs & Sikkema 1998; Winjum et al. 1998). Prinsip metode tersebut adalah memperhitungkan akibat kerusakan kayu, oksidasi, dan kemunduran produk akibat penggunaan di masa lalu. Kelompok pakar IPCC untuk Pengunaan Lahan dan Sektor Kehutanan telah mempersiapkan panduan inventarisasi GRK (IPCC 1997), yang menggambarkan dan mengevaluasi pendekatan yang ada untuk menduga emisi atau pengambilan karbon pada hutan yang dipanen dan produk olahan kayu. Terdapat perbedaan keperluan inventarisasi karbon pada tahap awal (penetapan garis dasar atau baseline) dan tahap monitoring. Dalam tahap awal, sebagian besar gudang karbon yang relevan perlu dihitung dalam kondisi ada atau tanpa proyek, tetapi dalam tahap monitoring hanya gudang karbon tertentu saja yang diukur dan dijadikan sebagai petunjuk atau model yang dapat dipakai (Brown 1999a). Sathaye et al. (1997) mengusulkan urutan prioritas gudang karbon yang perlu dimonitor dengan mempertimbangkan tingkat atau besarnya pengaruh, laju perubahan persediaan karbon, dan arah perubahan persediaan karbon (positif atau negatif). Gudang karbon yang relatif besar dan bisa berubah secara cepat sangat penting untuk dimonitor, sebaliknya gudang karbon yang relatif kecil dan tidak gampang berubah kurang penting untuk dimonitor. Program monitoring harus memakai pendekatan yang konservatif untuk memutuskan gudang karbon yang

8 13 akan dimonitor. Hanya gudang karbon yang dimonitor saja yang dapat dimasukkan ke dalam perhitungan manfaat proyek karbon. Gudang karbon yang dihitung melalui pengukuran langsung di lapangan umumnya akan lebih tepat, tetapi tingkat ketelitiannya bervariasi untuk setiap sumber karbon. Total kesalahan perhitungan karbon bersumber dari kesalahan sampling, kesalahan pengukuran dan kesalahan penggunaan persamaan regresi alometrik. Kesalahan sampling bersumber dari metode sampling yang dipakai yang meliputi cara pemilihan contoh, bentuk/ukuran unit contoh dan intensitas pengambilan contoh. Kesalahan pengukuran bersumber dari kesalahan mengukur dimensi pohon, penentuan karbon tanah, atau pendugaan kerapatan kayu, sedangkan kesalahan regresi bersumber dari digunakannya persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa pohon). Sumber kesalahan terbesar berasal dari kesalahan sampling dan untuk meningkatkan ketelitiannya akan menambah biaya inventarisasi. Stratifikasi wilayah proyek kedalam unit-unit yang lebih seragam (misalnya atas dasar kesamaan jenis vegetasi, jenis tanah atau topografi) dapat meningkatkan ketelitian pengukuran karbon tanpa menambah terlalu banyak biaya (Sathaye et al. 1997). Inventarisasi karbon hutan umumnya lebih rumit dari inventarisasi hutan tradisional, karena setiap gudang karbon umumnya mempunyai keragaman yang berbeda-beda. Ukuran contoh yang diperlukan untuk setiap sumber karbon ditentukan secara terpisah dan melalui informasi yang tersedia, dapat diputuskan gudang karbon mana yang perlu diukur dan dihitung sesuai tujuan proyek. Jadi informasi tentang keragaman sumber karbon memberikan umpan balik dalam merancang proyek untuk memilih sumber karbon yang dicakup oleh proyek, dengan tetap mempertimbangkan ketersediaan biaya proyek dan biaya menghasilkan satu satuan karbon. Secara keseluruhan, saat ini belumlah ada acuan tingkat ketelitian yang dapat diterima untuk menduga manfaat karbon. Aturan yang berlaku umum, biaya program monitoring akan berhubungan dengan tingkat ketelitian manfaat karbon yang diinginkan, semakin tinggi ketelitian semakin besar biaya pengukurannya. Pada akhirnya nilai pasar untuk serapan karbon yang dihasilkan proyek yang akan menentukan tingkat ketelitian yang paling efektif dari segi

9 14 pembiayaan. Beberapa ahli menyarankan target yang cukup beralasan untuk ketelitian manfaat proyek karbon adalah dengan kesalahan baku antara 20-30% dari nilai rata-rata (EcoSecurities 1998 dalam Vine et al. 1999). Pilihan lainnya disesuaikan dengan besarnya klaim karbon sekaligus menyatakan besarnya kesalahan baku pengukurannya. Pada akhirnya, tidaklah mungkin untuk menetapkan suatu tingkat ketelitian yang berlaku umum yang akan digunakan untuk setiap sumber karbon yang nyata dan perubahannya (Vine et al. 1999). Masalah Simpanan Tetap (Permanence) dalam Karbon Hutan Salah satu keberatan yang utama masuknya sekuestasi karbon hutan dalam CDM adalah masalah simpanan tetap (permanence) atau lama penyimpanan (duration) karbon yang dihasilkan proyek karbon hutan. Pengurangan atau pengambilan karbon yang dihasilkan melalui proyek karbon hutan secara alami bersifat sementara (non permanence), karena CO 2 yang telah ditangkap selama pertumbuhan hutan sangat mungkin dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pemanenan, kebakaran atau kejadian lain. Hal ini berbeda dengan proyek sektor energi yang akan mengurangi emisi secara tetap, dimana emisi yang dapat dicegah tidak akan kembali ke atmosfer. Simpanan sementara (tidak tetap) melalui proyek kehutanan harus dipandang sebagai pilihan kebijakan peralihan sebagaimana dinyatakan Grainger (1997) yang menekankan bahwa mitigasi secara biologi dapat mengikat karbon dalam jumlah yang besar dengan waktu yang lebih singkat daripada waktu yang diperlukan untuk melakukan perubahan pola konsumsi energi. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui proyek karbon hutan yang bersifat sementara, adalah : (1) walaupun serapan karbon bersifat sementara, sejumlah proporsi tertentu mungkin bisa menjadi permanen, (2) bermanfaat karena menunda terjadinya perubahan iklim, (3) simpanan sementara bersifat buys time sementara menunggu teknologi pemakaian energi yang lebih sesuai dikembangkan, (4) proyek sekuestrasi akan menghemat waktu dalam memperoleh informasi yang menguntungkan tentang proses pemanasan global (Lecocq & Chomitz 2001 dalam Cacho et al. 2003).

10 15 Banyak pakar yang percaya bahwa masalah simpanan tetap bukanlah persoalan yang tidak bisa dipecahkan dalam proyek karbon hutan. Berbagai metode perhitungan/neraca karbon yang diusulkan banyak pakar dan sebagian telah digunakan dalam proyek-proyek karbon dibawah UNFCCC sebetulnya ditujukan untuk mengatasi isu permanen dalam proyek karbon hutan tersebut. Metode untuk Perhitungan Neraca Karbon Hutan Berbagai metode perhitungan/neraca karbon dikemukakan oleh banyak penulis, dan beberapa telah digunakan untuk menghitung proyek-proyek sekuestrasi karbon di bawah program UNFCCC dan acuan perhitungan nasional karbon yang berasal dari hutan untuk negara-negara yang masuk dalam daftar Annex I Protokol Kyoto. Tujuan neraca karbon menurut Moura-Costa (2000) adalah untuk menentukan nilai manfaat lingkungan yang diperoleh melalui proyek mitigasi yang akan mempengaruhi GRK di atmosfer. Proyek-proyek serapan karbon didasarkan pada banyaknya jumlah karbon yang dapat ditangkap dari atmosfer dan lamanya karbon tersebut dipertahankan. Sistem-sistem perhitungan/neraca harus dapat mencerminkan penyimpan sementara dari proyek-proyek rosot (sebagai pengecualian proyek pengurangan emisi, dimana hanya didasarkan pada banyaknya jumlah emisi yang dapat dicegah). Penghitungan neraca karbon mencakup tahapan-tahapan : penetapan garis dasar (baseline) aliran karbon, kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan melalui proyek, dan perhitungan perbedaan di antara karbon yang diperoleh melalui proyek dan garis dasar untuk mengetahui besarnya pengaruh tambahan (additionality) karena adanya kegiatan proyek (Moura-Costa & Stuart 1999). Berbagai pendekatan dipakai untuk mengukur keefektifan mitigasi GRK melalui proyek penggunaan lahan dan kehutanan. Sistem perhitungan potensi mitigasi GRK didasarkan atas dua kelompok pendekatan, yaitu atas dasar anggapan sifat yang permanen dari penyimpanan karbon dan sistem lain yang menganggap penyimpanan karbon bersifat sementara. Kelompok metode yang pertama terdiri atas : (1) metode perubahan persediaan, (2) metode penyimpanan rata-rata, dan (3) metode akutansi berbasis ton-year (Moura-Costa 2000; Tipper & de Jong 1998). Kelompok metode yang didasarkan atas sifat sementara

11 16 penyimpanan karbon menggunakan pendekatan yang disebut CER sementara (temporary CER, tcer) dan CER jangka panjang (longterm CER, lcer). Kedua pendekatan ini sekarang dapat dipakai untuk proyek rosot melalui LULUCF. Metode Perubahan Persediaan (SCM, Stock Change Method) Metode ini paling umum dipakai, menyatakan simpanan karbon yang didasarkan atas perbedaan penghitungan persediaan karbon proyek dengan garis dasarnya pada titik waktu tertentu. Metode ini merujuk pada metode yang sebelumnya disebut flow summation method (Richards & Stokes 1994); dimana pengukuran dinyatakan dalam ton C per hektar. Metode SCM hanya memberikan gambaran karbon pada satu titik waktu (snap shot). Nilai karbon yang diperoleh akan bervariasi bergantung pada ketentuan periode waktu yang ditetapkan untuk menghitung manfaat proyek. Metode SCM saat ini dipakai untuk perhitungan neraca karbon di negaranegara Annex I (IPCC 2000), konsisten dengan metode yang dipakai untuk perhitungan emisi GRK nasional mereka (IPCC 1996). Untuk negara-negara Annex I, apabila kegiatan kehutanan berlangsung terus menerus (sepanjang pemanenan diikuti dengan penanaman), maka pengembang proyek tidak perlu mengembalikan kredit yang diperoleh selama tahap pembangunan hutan. Namun dalam CDM, kegiatan kehutanan diperlakukan sebagai proyek dengan batas waktu yang terbatas sehingga ada kewajiban yang tidak dapat diabaikan pada akhir masa proyek. Tergantung cakupan kewajiban, hal tersebut bisa menyebabkan proyek tidak absah lagi. Adanya ketidakkonsistenan tersebut, disarankan adanya sistem perhitungan neraca karbon yang berbeda untuk proyek CDM (Moura-Costa 2000). Metode Penyimpanan Rata-rata (ASM, Average Storage Method) Untuk sistem yang dinamis, misalnya dalam proyek reforestasi, dimana penanaman, pemanenan dan kegiatan penanaman berulang dilakukan, maka pendekatan alternatif dipakai (oleh Dixon et al. 1991; Masera 1995) yang disebut metode penyimpanan rata-rata (Schroeder 1992). Metode ini melakukan perataan jumlah karbon yang disimpan pada suatu tapak dalam waktu yang panjang melalui suatu persamaan :

12 17 Rataan bersih penyimpanan karbon (tc) = n t= 0 (simpanan karbon proyek simpanan karbon menurut baseline) n (tahun) dimana : t = waktu (dalam tahun), n = jangka waktu proyek (tahun), dan persediaan karbon dinyatakan dalam ton karbon per hektar (tc/ha). Keuntungan metode ini adalah kesederhanaan dalam proses alokasi kredit, sementara perhitungan karbon masih berlangsung untuk seluruh jangka waktu proyek, tidak tergantung pada waktu tertentu yang dipilih untuk perhitungan. Metode ini juga dapat dipakai untuk membandingkan proyek yang berbeda dengan pola pertumbuhan hutan yang juga berbeda. Kekurangan metode ini berkaitan dengan masih subyektifnya lama waktu yang dipilih untuk menjalankan analisis. Metode ASM telah banyak dipakai untuk proyek-proyek percontohan karbon berbasis hutan melalui UNFCCC di bawah program AIJ (Activities Implemented Jointly). Metode Ton-Year Pendekatan-pendekatan alternatif yang diusulkan memperhatikan dua dimensi unit pengukuran yang mencerminkan penyimpanan dan waktu, yaitu ton- C year. Beberapa penulis telah mengusulkan konsep unit ton-year (Moura-Costa 1996; Fearnside 1997; Tipper & de Jong 1998). Konsep umum pendekatan tonyear adalah dipakainya satu faktor untuk mengkonversi pengaruh terhadap iklim karena adanya penyimpanan karbon sementara terhadap suatu jumlah yang setara dengan apabila dilakukan pencegahan emisi (faktor ini disebut faktor ekivalensi, atau Ef), yang nilainya bervariasi dari 0,007 hingga 0,02 (Tipper & de Jong, 1998; Moura-Costa & Wilson 2000). Faktor tersebut diperoleh lewat konsep waktu ekivalensi (dikenal sebagai Te), yaitu panjang waktu dimana CO 2 harus disimpan dalam bentuk karbon di dalam vegetasi atau tanah untuk mencegah pengaruh daya radiatif kumulatif (cumulative radiative forcing) yang terjadi kalau suatu jumlah yang sama CO 2 tetap ada di atmosfer (Moura-Costa & Wilson 2000). Pendekatan ton-year didasarkan atas konsep pemanasan global potensial mutlak (absolute global warming potential, AGWP), yang dinyatakan sebagai daya radiatif gas secara terpadu melalui persamaan (Hougton et al. 1995):

13 18 T AGWP( x) = ax. F [ x( t) ] d 0 t dimana T adalah horizon waktu (tahun), a x adalah daya radiatif yang berkaitan dengan iklim disebabkan oleh peningkatan satu unit konsentrasi gas x di atmosfer dan F( ) adalah fungsi waktu kerusakan gas x yang dipancarkan. Untuk memakai metode ton-year, faktor ekivalensi harus ditetapkan,. diusulkan untuk menggunakan waktu 55 tahun (Moura-Costa & Wilson 2000) atau 100 tahun (Fearnside et al. 2000). Penerapan yang berbeda-beda dari pendekatan ton-years telah diusulkan dan dalam prakteknya berbagai kombinasi pendekatan dapat digunakan, yaitu (Moura- Costa & Wilson 2000): Equivalence-adjusted average storage, menggunakan Te sebagai penyebut dari rumus metode penyimpanan rata-rata (ASM). Metode ini dapat dipakai untuk membakukan cara yang ditempuh metode ASM yang sekarang ini dipakai. Stock change crediting with ton-year liability adjustment, yaitu pemberian kredit proyek menurut metode perubahan persediaan (SCM), tetapi menggunakan tonyears untuk menghitung jumlah kredit yang harus dikembalikan apabila kewajiban tidak dipenuhi (dalam kasus terjadinya peristiwa yang mengambil resiko). Equivalence-factor yearly crediting (ton-years), dimana suatu proyek diberikan kredit tahunan dengan fraksi tertentu terhadap keseluruhan manfaat GRK, yang ditentukan oleh jumlah karbon yang disimpan setiap tahun, dan dikonversi dengan faktor ekivalensi Ef. Pendekatan ini akan sangat menyulitkan untuk diimplementasi pada proyek mitigasi GRK yang berbasis kehutanan. Equivalence-delayed full crediting, yaitu hanya mengenal seluruh manfaat sekuestrasi karbon setelah adanya penyimpanan untuk periode waktu Te. Ada kemungkinan penundaan kredit ini akan mempersulit implementasi proyek mitigasi yang berbasis kehutanan. Ex-Ante ton-year crediting, dengan memberikan sejumlah kredit pada awal proyek, menurut jangka waktu proyek yang direncanakan menggunakan pendekatan ton-year. Cara ini akan mengurangi kerugian karena penundaan kredit yang diciptakan pengembang proyek.

14 19 Gambar 1 memperlihatkan perbandingan perhitungan manfaat penyimpanan karbon yang dihitung dengan metode perhitungan yang berbeda (SCM, ASM dan Ton-Year) yang dilakukan untuk kasus hutan tanaman yang dibangun di lahan kosong. Gambar 1. Perbandingan manfaat karbon yang dihitung dengan metode ASM, SCM dan ton-year pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003) Pendekatan CER Sementara dan CER Jangka Panjang Metode perhitungan karbon yang dikemukakan sebelumnya masih beranggapan bahwa karbon dapat dipertahankan secara permanen, dengan mempertimbangkan lama waktu penyimpanan karbon atau menggunakan faktor ekuivalensi seperti pada metode ton-year. Melalui CoP9 tahun 2003 di Milan, Italia; telah diperkenankan digunakannya perhitungan manfaat karbon melalui pendekatan CER sementara (t- CER) dan CER jangka panjang (l-cer) (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004). Skema t-cer atas dasar usulan Uni Eropa (sebelumnya telah diusulkan Colombia beberapa tahun yang lalu). Proyek dapat menghasilkan sejumlah t-cer lewat banyaknya karbon yang bisa dibuktikan sebagai serapan karbon yang ditambahkan melalui proyek sejak proyek dimulai. Setelah 5 tahun, t-cer tidak akan berlaku lagi dan harus digantikan oleh t-cer yang baru atau yang berasal dari CER yang lain. Jika verifikasi yang baru dilaksanakan, maka t-cer dapat

15 20 dikeluarkan lagi setiap 5 tahun. Pendekatan t-cer memungkinkan negara tuan rumah dapat menggunakan lahan proyek untuk tujuan lain setelah proyek berhenti. Hal ini juga memungkinkan dilaksanakannya proyek karbon dengan daur yang lebih pendek yang tidak mengikat lahan untuk periode yang panjang. Gambar 2 memperlihatkan cara perhitungan manfaat karbon dengan pendekatan CER sementara, yang dilakukan pada proyek hutan tanaman dengan jangka waktu proyek selama 30 tahun dan masa berlaku t-cer setiap 5 tahun. Gambar 2. Perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan pendekatan CER sementara (t-cer) pada tegakan hutan tanaman dengan daur 25 tahun, garis dasar dianggap nol (Pedroni & Locatelli 2003). Skema l-cer didasarkan pada usulan Kanada, yang berkeinginan memperluas sistem t-cer. Gagasan dasarnya adalah proyek dapat mengeluarkan kredit l-cer untuk setiap ton karbon yang dapat dibuktikan. Masa hidup (lifetime) CER identik dengan periode pemberian kredit, sebagai contoh bisa hingga maksimal 60 tahun. Kredit l-cer harus digantikan secepatnya apabila hasil verifikasi menunjukkan bahwa persediaan karbon telah berkurang atau tidak ada laporan verifikasi yang disajikan untuk setiap 5 tahun. Jadi pemilik l-cer, negara Annex I, selalu menghadapi resiko harus mengganti/memindahkan kredit dengan CER yang lain (Dutschke 2004; Meinshausen & Hare 2003). Metode t-cer dan l-cer adalah metode yang kini absah untuk penentuan besarnya CER yang diperoleh dari proyek karbon berbasis kehutanan.

16 21 Melalui CoP9 juga telah dihasilkan sejumlah keputusan penting yang memungkinkan lebih operasionalnya MPB kehutanan, mencakup isu definisi (hutan, aforestasi dan reforestasi), jangka waktu pemberian kredit, masalah non permanen, dan proyek CDM berskala kecil. Jangka waktu kredit yang lebih pendek untuk proyek karbon kehutanan, maksimal sampai 30 tahun atau 20 tahun dengan kemungkinan dua kali pembaharuan. Untuk proyek MPB berskala kecil dibatasi dengan maksimal serapan karbon hingga 8 kiloton CO 2 e per tahun yang dapat dikerjakan oleh kelompok masyarakat atau perorangan yang dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah (Dutschke, 2004; Chatterjee 2004; Boer et al. 2004). Untuk operasional proyek karbon kehutanan, pada CoP10 tahun 2005 juga telah ditetapkan penyederhanaan metode untuk penentuan baseline dan monitoring yang diperuntukan khusus untuk proyek aforestasi dan reforestasi berskala kecil (IPCC 2005). Pendekatan Finansial untuk Perhitungan Manfaat Karbon Hutan Berbagai ragam cara perhitungan manfaat karbon yang lebih operasional juga dilakukan dengan menambahkan pertimbangan finansial/ekonomi (Appels 2001; Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003). Pendekatan Teoritis Ideal Dari sudut pandang ekonomi, secara teoritis cara yang benar untuk menghitung pembayaran sekuestrasi karbon adalah dengan menduga aliran jasa sekuestrasi karbon untuk selama-lamanya. Pembayaran sekuestrasi karbon terjadi pada saat jasa karbon telah dihasilkan dan apabila hutannya di panen, maka nilai karbon yang dilepas kembali ke atmosfer harus dibayar oleh pemilik hutan. Melalui kondisi ideal tersebut, maka nilai tegakan hutan apabila dilakukan pembayaran sekuestrasi karbon dan dengan penggantian apabila dilakukan pemanenan dapat dinyatakan dengan fungsi tujuan (Cacho et al. 2002): T rt rt rt v b E b 0 π ( T) = v( T). p. e + b( t). v. p. e dt c b( T). v. p. e dimana: π(t) adalah NPV (net present value) dari hutan yang dipanen pada tahun T setelah penanaman. Bagian pertama rumus menyatakan nilai kayu yang

17 22 dipanen, bagian kedua menyatakan nilai total sekuestrasi karbon dalam selang (0,., T), c E adalah biaya pembangunan, p v dan p b adalah harga kayu dan harga biomassa-karbon, v adalah faktor konversi biomassa karbon menjadi unit CO 2, dan r adalah laju suku bunga. Notasi b(t) merupakan fungsi laju pertumbuhan biomassa menurut waktu t, sedangkan v(t) menyatakan besarnya hasil kayu yang dapat dipanen pada waktu T. Perhitungan Ton-Year Metode ton-year tidak mensyaratkan adanya penggantian kredit karbon yang telah dibayarkan apabila dilakukan pemanenan. Melalui metode ini fungsi tujuan dinyatakan (Cacho et al. 2002) : T T E v f b t= 0 t π ( T) = v( T). p.(1 + r) + [ b( t). ve.. p.(1 + r) ] c Metode ini tidak memerlukan jaminan persyaratan untuk memastikan bahwa proyek akan berakhir pada tahun T e, karena pembayaran tahunan dikoreksi oleh faktor ekivalensi E f. Jika proyek tidak terkendali dan karbon dilepaskan maka tidak diperlukan pengembalian pembayaran. Ex-ante Full Credit Cara ini adalah memberikan kredit karbon secara penuh ketika proyek dimulai. Hal tersebut memerlukan komitmen bahwa proyek akan berakhir pada tahun T e setelah disepakati persediaan karbon hutan yang akan dicapai. Fungsi tujuannya menjadi (Cacho et al. 2002): π ( T+ T ) ( ) ( )..(1 ) e A e e v ( ).. b T + T = v T + T p + r + b T v p c Melalui metode ini sekuestrasi karbon pada tahun t adalah tidak relevan setelah tahun t+te dari sudut pandang akuntansi. Metode ini memberikan insentif yang kuat untuk pembangunan hutan sebab adanya pembayaran kredit karbon yang besar di awal. Ex-post Full Credit Metode ini diusulkan oleh Moura-Costa dan Wilson (2000), terdiri atas pembayaran kredit karbon secara penuh ketika proyek telah mencapai Te tahun. Fungsi tujuannya adalah (Cacho et al. 2002) : E E

18 23 T ( T+ Te) ( t+ 1 + Te) P ( e) ( e). v.(1 ) [ ( ).. b.(1 ) ] t= 0 π T + T = v T + T p + r + b t vp + r c Walaupun metode ini tidak mensyaratkan adanya suatu jaminan, namun adanya penundaan pembayaran kredit akan mengurangi insentif yang ditunjukan oleh arus kas dalam tahun-tahun awal proyek, pendiskontoan juga akan mengurangi daya tarik pembayaran terakhir. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan perhitungan manfaat karbon yang dihitung dengan metode perubahan persediaan atau ton-year cenderung tidak terlalu aktraktif secara ekonomi, apalagi dengan periode waktu proyek yang panjang (Cacho et al. 2002; Cacho et al. 2003). Cacho et al. (2003), melakukan penilaian manfaat proyek sekuestrasi karbon melalui agroforestri berskala kecil di Sumatera dan menyimpulkan bahwa biaya-biaya transaksi yang tinggi menyebabkan kurang menariknya bagi petani untuk berpartisipasi dalam proyek karbon. E Pengertian Agroforestri Agroforestri mencakup sekumpulan praktek yang sangat luas dan berbeda, mulai sekedar hanya menanam tanaman pangan dengan sedikit komponen pohonnya hingga seperti hutan produksi yang kompleks dan terpadu menyerupai struktur hutan yang alami. Sistem agroforestri dipraktekkan secara luas di dunia, dan paling intensif di negara-negara berkembang, diperkirakanlebih 1,2 milyar orang (20% dari populasi dunia) tergantung langsung dengan produk dan jasa yang diperoleh dari berbagai ragam agroforestri (IPCC 2000). Pengertian agroforestri oleh banyak pakar diartikan dengan berbagai cara tetapi umumnya melihat dari sudut pandang digunakannya teknologi pertanian dan kehutanan secara bersama-sama agar pengelolaan lahan lebih produktif dan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Garrett et al. (2000) menyatakan agroforestri adalah teknologi yang menggabungkan praktek pertanian dan kehutanan yang dirancang secara terpadu, lebih beragam, dan sistem penggunaan lahan agar lebih produktif sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek, sambil menunggu hasil hutan dalam jangka panjang.

19 24 Pakar lain mendefinisikan agroforestri dengan menghubungkannya dengan status lahan dimana agroforestri tersebut dilakukan. Agroforestri adalah praktek membangun hutan di lahan pertanian (di luas kawasan hutan) (Sanchez 1995; Long & Nair Sanchez (1995) menambahkan, agroforestri adalah sebuah sistem pengelolaan lahan yang memadukan pohon-pohon dengan tanaman pertanian dan berada dalam lansekap pertanian. Praktek agroforestri adalah cara lain yang penting untuk membangun hutan yang dikenal sebagai pohon-pohon diluar hutan (trees outside forests) (Long & Nair 1999). Nair (1985) menyimpulkan bahwa definisi ilmiah agroforestri harus mengandung pada dua ciri umum agroforestri, yaitu: (1) Menumbuhkan dengan sengaja tumbuhan tahunan berkayu pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian pangan/ternak, atau juga dalam bentuk campuran secara spasial atau dalam urutan waktu, dan (2) Harus ada interaksi yang nyata (positif dan/atau negatif) antar komponen sistem tumbuhan berkayu dan non kayu, secara ekologi maupun ekonomi. Banyak sekali contoh-contoh sistem agroforestri, tersebar luas dalam bentang ekologi di wilayah tropis yang menggabungkan tumbuhan berkayu dan tanaman pangan atau pakan ternak untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ragam sistem agroforestri adalah hal yang unik dalam manajemen kehutanan. Praktek yang dilakukan berkisar dari bentuk yang sangat sederhana seperti pergiliran tanaman pertanian hingga sistem pengelolaan tanaman lorong yang kompleks, dari bentuk kebun pekarangan ke praktek pertanian yang kompleks, serta dari sistem pohon hanya berperan fungsional (misalnya pemecah angin) ke sistem pengelolaa pohon untuk produk komersil yang utama (Nair 1992). Secara umum Nair (1985) membagi berbagai praktek agroforestri yang ada di dunia ke dalam tiga kelompok besar atas dasar kombinasi dari komponen: agrisilvikultur (tanaman pangan dan berkayu), Silvopastur (pakan ternak dan tanaman berkayu) dan agrosilvopastur (tanaman pangan, pakan ternak dan tanaman berkayu). Juga ditambahkan kelompok yang keempat, sistem yang lain, mencakup praktek yang yang tidak selalu cocok dengan ketiga kelompok sebelumnya.

20 25 Banyak sistem-sistem tradisional di berbagai belahan dunia dengan ciri-ciri di atas. Ciri yang utama dari sistem ini ditentukan secara spesifik menurut lokasi. Setiap sistem adalah contoh dari spesifik lokasi yang saling berkait atau sebagai kombinasi dari komponen-komponen yang dicirikan oleh jenis tumbuhan, cara penataan atau pengelolaan, serta faktor-faktor lingkungan dan sosial ekonomi. Walaupun terdapat ragam yang besar di antara mereka, namun ditemukan banyak kemiripan di antara sistem-sistem tersebut. Karena setiap sistem adalah bersifat khas menurut lokasi dan dipengaruhi kondisi-kondisi setempat maka terdapat ratusan sistem agroforestri yang diidentifikasi. Namun sebetulnya seluruh sistemsistem tersebut mencakup jumlah yang lebih sedikit atas dasar ciri-ciri yang khusus cara penataan setiap komponennya menurut ruang dan waktu, yang dikenal sebagai praktek-praktek agroforestri (Nair 2002). Tabel 3 Praktek-praktek agroforestri yang utama di wilayah tropis (Nair 2002) Praktek agroforestri Tanaman lorong (alley cropping) Taungya / tumpangsari Kebun pekarangan Perbaikan tanah tandus Pohon untuk konservasi dan reklamasi tanah Pakan ternak di bawah hutan tanaman/ perkebunan (silvopastur) Sistem pohon penaung Sabuk penahan dan Pemecah angin Uraian singkat Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum di lahan pertanian; jenis pohon secara teratur dipangkas pendek (< 1 m) untuk mengurangi naungan tanaman pangan; pemangkasan akan menghasilkan semacam mulsa dalam lorong sebagai sumber bahan organik dan hara, atau untuk pakan ternak Penanaman tanaman pertanian selama tahap awal pembangunan hutan tanaman. Kombinasi tajuk secara berlapis dari sejumlah besar pohon dan tanaman pangan di pekarangan; kadangkadang dengan atau tanpa kehadiran ternak. Pohon yang cepat tumbuh, terutama jenis legum, jenis berkayu ditanam dan dibiarkan tumbuh selama tahap pergiliran ladang; jenis berkayu menyebabkan perbaikan tanah dan mungkin menghasilkan produk yang bernilai. Pohon yang ditanam pada teras-teras, tempat yang menonjol dll, dengan atau tanpa penanaman jalur rumput; pengunaan pohon untuk reklamasi tanah yang salin, asam atau lahan yang terdegradasi. Penanaman rumput untuk pakan pada jalur tertentu di bawah hutan tanaman/perkebunan. Campuran secara terpadu pohon seperti kelapa, coklat, kopi dan karet dengan pohon lain, pohon penaung, dan/atau tumbuhan herba (tanaman semusim). Menggunakan vegetasi pohon untuk melindungi lahan pertanian dari gangguan angin, rembesan air laut, banjir dll.

21 26 Nair (1992) menjabarkan ada empat komponen utama yang menjadi ciri agroforestri, yaitu : (1) Menghasilkan beragam keluaran yang dikombinasikan dengan perlindungan terhadap sumberdaya, (2) Menggunakan jenis lokal, tumbuhan bawah dan pohon serbaguna yang bertujuan agar agroforestri sesuai untuk lingkungan yang rentan, (3) Lebih mengedepankan nilai-nilai sosial-budaya dibanding sistem penggunaan lahan yang lain, dan (4) Praktek yang dilakukan secara struktur maupun fungsional lebih rumit daripada budidaya monokultur. Bukti-bukti ilmiah sekarang ini menunjukkan bahwa keragaman spasial dan temporal yang dibentuk oleh penanaman agroforestri dapat membantu meningkatkan sumberdaya, menambah produksi, mengurangi resiko tanaman monokultur dan praktek kehutanan untuk mencapai kestabilan sistem dan kelestarian (Sanchez, 1995). Keuntungan biologi dari agroforestri adalah : (1) meningkatnya pemanfaatan lahan, (2) memperbaiki sifat tanah, (3) meningkatkan produktivitas, (4) mengurangi erosi tanah, (5) mengurangi iklim mikro yang ekstrim, (6) pemanfaatan positif iklim mikro (untuk naungan), dan (7) meningkatkan keanekaragaman hayati di atas dan di bawah permukaan tanah. Keuntungan ini secara keseluruhan memberikan manfaat ekonomis dan sosial yang memang diinginkan melalui sistem ini (Ruark et al. 2003). Penyimpanan Karbon melalui Praktek Agroforestri Walaupun penelitian agroforestri telah dimulai lebih dari 40 tahun yang lalu, tetapi masih sedikit sekali studi yang berkaitan dengan potensi serapan karbon lewat sistem agroforestri. Ada dua masalah pokok yang banyak dikemukakan, yaitu (1) Wilayah yang berbeda-beda dari sistem agroforestri tidak banyak diketahui, dan (2) Gambaran yang menyeluruh mengenai kemampuan penyimpanan dan dinamika karbon (in-situ dan ex-situ) pada sistem agroforestri yang berbeda-beda belum ditentukan (Nair 2002). Menurut Dixon (1995), ada dua alasan utama mengapa agroforestri potensial untuk mengurangi emisi karbon. Pertama, saat ini banyak lahan di daerah tropis yang dipakai untuk praktek pertanian dan meningkatnya penggunaan agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan yang nyata dalam sumber biotik karbon. Kedua, meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan

22 27 luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam atau hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai untuk kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri untuk kayu bakar akan mengurangi tekanan penebangan di hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak dapat diperbaharui. Sejalan dengan alasan di atas, Brown et al. (1993); Schroeder et al. (1993) juga menegaskan bahwa apabila agroforestri diartikan lebih luas mencakup penanaman kayu bakar, sistem pengendali angin dan kebun kayu, maka mungkin juga potensial mampu untuk menyerap CO 2 atau pengganti emisi dari bahan bakar fosil karena mampu mengganti hasil kayu bakar dan pakan ternak yang sebelumnya secara tetap diambil dari hutan alam. Apabila sistem-sistem ini dikelola secara lestari, penyerapan C bisa dipertahankan selama beratus-ratus tahun. Sedangkan Dixon (1995) menyatakan pembangunan dan pengelolaan agroforestri, terutama yang memerlukan olah tanah intensif dapat menimbulkan emisi GRK yang nyata secara global. Praktek yang menimbulkan emisi gas CO 2, CH 4, dan N 2 O mencakup pembakaran, pemupukan, dan pengolahan tanah. Namun sebaliknya, beberapa praktek pengelolaan juga menunjukkan adanya peningkatan kandungan C tanah karena meningkatnya serapan dan penyimpanan CO 2, yang akan mengurangi lepasnya GRK ke atmosfer. Praktek-praktek semacam olah tanah minimal, penggunaan sisa tanaman, aplikasi kompos atau pupuk kandang dan penggunaan tanaman penutup tanah atau legum bisa menahan lebih lama C (puluhan hingga ratusan tahun) dalam sistem tanah relatif dibandingkan dengan metode agronomi yang konvensional (Kern & Johnson 1993). Jumlah karbon yang dapat diserap besarnya tergantung pada sistem agroforestri yang dilakukan, struktur dan fungsi yang ada yang secara luas ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan sosial-ekonomi. Faktor lain yang juga mempengaruhi simpanan karbon adalah pemilihan jenis pohon dan sistem pengelolaannya (Dixon 1995).

23 28 Tabel 4 Contoh praktek agroforestri yang secara potensial membantu menstabilkan emisi GRK dan menyerap atau menyimpan C pada biosfer daratan (Dixon 1995) Praktek Mengurangi emisi Menyimpan/ menyerap C atau N Silvopastur Menganti lahan marginal agronomi (menyimpan C tanah) Menahan bahan organik di tanah Mengurangi deforestasi dan pembakaran biomassa Mengatur pakan untuk mengurangi emisi CH4 Agrisilvikultur Konservasi tanah dan mulsa (menahan C) Meminimalkan erosi hujan & angin (shelter & tanaman lorong) Menanam jenis pohon tahunan multifungsi (menyerap CO2) Mengatur muka air, pemupukan dan pengolahan tanah sawah Memulihkan lahan terdegradasi Agrisilvopastur Meminimalkan gangguan lahan (saat mengolah tanah & panen) Meningkatkan P & K tanah; merubah ph (memacu sekuestrasi) Mengerjakan terus menerus vs ladang berpindah Memakai limbah hewan untuk bahan bakar atau pupuk organik Menanam legum, mengurangi pupuk kimia N : pengaruhnya nyata, : pengaruhnya sedikit/tidak nyata Tabel 5 memperlihatkan potensi penyimpan C melalui sistem agroforestri di beberapa wilayah negara pada berbagai kondisi tanah dan iklim. Nilai penyimpan karbon (termasuk C tanah) berkisar antara tonc/ha, dengan rataan 95 tonc/ha. Potensi peningkatan C melalui biomassa yang terbesar terjadi di wilayah tropika basah. Di daerah beriklim sedang praktek agroforestri menunjukkan kemampuan penyimpanan C potensial berkisar antara tonc/ha dengan rataan 34 ton C/ha (Dixon 1995). Di daerah tropis, Palm et al. (1999) melaporkan system agroforestri membantu menambahkan hingga 35% persediaan C dari hutan yang sebelumnya dikonversi, dibandingkan hanya 12% jika hanya ditanami tanaman pangan dan pakan ternak. Pendugaan melalui pengukuran mikrometerologi dan data pengukuran permanen menunjukkan bahwa hutan hujan tropis membentuk suatu rosot karbon kira-kira 1-1,3 tonc/ha/tahun. Sediaan karbon di alam untuk vegetasi hutan hujan tropis yang klimaks mencapai tonc/ha, sementara untuk hutan yang dikelola lestari, persediaan karbon 25% lebih rendah dan persediaan di hutan sekunder, hutan tanaman, dan sistem

24 29 agroforestri yang dikombinasi dengan tanaman pertanian kira-kira mencapai 50% dari persediaan karbon di hutan hujan. Padang rumput dan tanaman semusim menyimpan hanya 10-20% dari persediaan karbon di hutan hujan. Laju serapan karbon atau laju akumulasi karbon pada vegetasi yang sedang tumbuh secara umum lebih tinggi pada hutan hujan yang dikelola, hutan tanaman dan sistem agroforestri daripada pada hutan hujan klimaks yang belum terganggu. Tabel 5 Potensial simpanan karbon (MgC/ha) dan biaya proyek (US$/MgC) untuk sistem agroforestri menurut wilayah ekologi di beberapa negara tertentu (Dixon 1995) Negara Wilayah ekologi Sistem MgC/ha US$/MgC Argentina Tropika basah rendah Agrisilvikultur a 16 b Dataran rendah kering Australia Tropika basah rendah Silvopastur Brazil Dataran rendah kering Agrisilvikultur Tropika basah rendah Cina Tropika basah Agrisilvikultur Kongo Tropika basah tinggi Agrisilvikultur India Dataran rendah kering Agrisilvikultur Tropika basah rendah Meksiko Tropika basah tinggi Silvopastur USA Temporal basah rendah Silvopastur Dataran rendah kering Rusia Temporal basah rendah Silvopastur Zaire Tropika basah tinggi Agrisilvikultur a Nilai simpanan karbon dibakukan pada rotasi 50 tahun b Atas dasar simpanan C di atas rotasi 50 tahun, nilai US$ tahun 1990, biaya pemeliharaan setelah 3 tahun tidak diperhitungkan, manfaat yang diperoleh selama rotasi tidak diperhitungkan. Fay et al. (1998) menduga luas potensial lahan yang dikonversi menjadi sistem agroforestri mencapai 10 juta ha/tahun. Atas dasar hasil penilaian pendahuluan rosot C tingkat nasional dan global, ada dua manfaat utama sistem agroforestri yang telah diidentifikasi, yaitu : (1) Penyimpanan langsung C dalam waktu singkat (dua puluh tahun hingga seabad), dan (2) potensial untuk menggantikan emisi GRK segera yang berasal dari penggundulan hutan dan ladang berpindah. Sebuah proyeksi penyimpanan karbon dari sistem agroforestri skala kecil (smallholder) menunjukkan laju sekuestrasi C antara 1,5 3,5 tonc/ha/tahun dan persediaan C meningkat tiga kali dalam periode 20 tahun,

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. iklim global ini telah menyebabkan terjadinya bencana alam di berbagai belahan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pemanasan Global Pemanasan global diartikan sebagai kenaikan temperatur muka bumi yang disebabkan oleh efek rumah kaca dan berakibat pada perubahan iklim. Perubahan iklim global

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO

MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO MODEL PENDUGAAN PERSEDIAAN KARBON TEGAKAN AGROFORESTRI UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MILIK MELALUI SKEMA PERDAGANGAN KARBON TEDDY RUSOLONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dengan kata lain manfaat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia, baik yang berupa manfaat ekonomi secara langsung maupun fungsinya dalam menjaga daya dukung lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Hutan merupakan bagian penting di negara Indonesia. Menurut angka resmi luas kawasan hutan di Indonesia adalah sekitar 120 juta hektar yang tersebar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim 263 11. KESIMPULAN UMUM Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Gejala perubahan iklim semakin nyata yang ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1 ONRIZAL Staf Pengajar Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Bidang Keahlian: Ekologi dan Rehabilitasi Hutan dan

Lebih terperinci

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI Rizaldi Boer Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB Penambatan karbon merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi II. TIJAUA PUSTAKA 2.1 Kondisi DAS Kali Bekasi Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi secara administratif berada di wilayah Kabupaten Bogor, Bekasi dan DKI Jakarta. DAS Kali Bekasi memiliki 5 Sub DAS besar,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN Hutan berperan penting dalam menjaga kesetabilan iklim global, vegetasi hutan akan memfiksasi CO2 melalui proses fotosintesis. Jika hutan terganggu maka siklus CO2

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

CDM Pada Sektor Kehutanan

CDM Pada Sektor Kehutanan 5 TINJAUAN PUSTAKA Hutan sebagai salah satu sumberdaya alam yang berperan penting dalam menunjang kehidupan manusia, memiliki fungsi sebagai penyeimbang dalam konteks ekologis, fungsi hidroorologis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan hasil kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 mengenai perubahan iklim, yaitu perubahan nilai dari unsur-unsur iklim dunia sejak tahun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer.

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah) (Arief, 2005).

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA Nini Rahmawati Pangan dan Gizi Manusia Zat gizi merupakan komponen pangan yang bermanfaat bagi kesehatan (Mc Collum 1957; Intel et al 2002). Secara klasik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri.

Restorasi Organik Lahan. Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri. Restorasi Organik Lahan Aplikasi Organik Untuk Pemulihan Biofisik Lahan & Peningkatan Sosial Ekonomi Melalui Penerapan Agroforestri Ex-Tambang Restorasi Perubahan fungsi lahan pada suatu daerah untuk pertambangan,

Lebih terperinci

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia

Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Lembar Fakta Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia Keenam sektor; Kehutanan, pertanian, pembangkit listrik, transportasi, bangunan dan semen bersama-sama dengan emisi yang berhubungan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah)

Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) Pengenalan perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat pinggiran hutan. (Foto: Kurniatun Hairiah) 4. Penghitungan dinamika karbon di tingkat bentang lahan Ekstrapolasi cadangan karbon dari tingkat lahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanasan global mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Menurut Sedjo dan Salomon, dalam Rahayu et al. (2006), untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK

Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK Sidang Pendadaran, 24 Desember 2016 Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ~VK RAFIKA DEWI Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Ilmu Ekonomi 2016 Dosen pembimbing: Bapak Ahmad Ma ruf, S.E., M.Si.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO 2 Tanah Tanah merupakan bagian dari sistem yang mengatur konsentrasi CO 2 atmosfer. Hampir 10% CO 2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH

II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 5 II. PERMASALAHAN USAHA TANI DI KAWASAN MEGABIODIVERSITAS TROPIKA BASAH 2.1. Karakteristik tanah tropika basah Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas di kawasan tropika basah, tetapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Berdasarkan jumlah keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% di antaranya tersimpan

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi serta memiliki prospek yang baik bagi petani maupun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan,

I. PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan, namun kerusakan hutan di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu yang mengakibatkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 267, 2000 LINGKUNGAN HIDUP.TANAH.Pengendalian Biomasa. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), yang dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial dan budaya kepada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research

Lebih terperinci