HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta Rumah Sakit Hewan Jakarta dibangun pada tanggal 25 Desember 1992, atas restu dan bantuan yang sangat besar dari Ibu Negara pada saat itu yaitu Ibu Tien Soeharto. Rumah Sakit ini merupakan rujukan bagi pasien yang memerlukan diagnosis, penanganan, dan pengobatan yang lebih intensif karena di rumah sakit ini terdapat beberapa fasilitas penunjang diagnosis seperti instalasi radiologi dan ultrasonografi, laboratorium, bahkan terapi alternatif untuk hewan seperti akupuntur. Di Rumah Sakit Hewan Jakarta, skabies digolongkan kedalam penyakit zoonosis yang memerlukan diagnosis lanjutan seperti pengambilan kerokan kulit. Pasien yang datang dan positif terdiagnosis skabies setelah pemeriksaan klinis dan laboratorium akan langsung diobati dengan menggunakan sediaan-sediaan akarisidal seperti ivermectin dan fipronil. Pengobatan didasarkan kepada ras anjing, kondisi anjing, dan tingkat keparahan penyakit. Selain itu juga diberikan antibiotik berspektrum luas untuk mencegah infeksi sekunder, kemudian diberikan juga vitamin E untuk mempercepat perbaikan kulit anjing. Bila tingkat keparahan penyakit masih ringan, biasanya pasien boleh dibawa pulang dan diharuskan datang 2 minggu kemudian untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan ulang sampai pasien sembuh. Jika pasien datang dengan keadaan yang buruk, maka dokter-dokter hewan di Rumah Sakit Hewan Jakarta akan mengharuskan pemilik untuk merawat inap agar anjing selalu berada dalam pengawasan dokter hewan. Pasien yang dirawat inap akan dipisahkan dan dimasukkan ke dalam ruang isolasi agar tidak menulari anjing lainnya. Setelah sembuh total, pihak rumah sakit akan menghubungi pemilik bahwa hewan peliharaannya sudah diperbolehkan untuk pulang. Para dokter hewan praktisi di Amerika Serikat, sudah mulai menggunakan jenis akarisidal untuk mengobati skabies, yang paling sering digunakan adalah mylbemicin oxime dan selamectin. Kedua sediaan tadi merupakan modifikasi dari ivermectin. Keduanya diaplikasikan secara Spot-on dengan dosis 2 mg/kg BB untuk mylbemicin oxime dan 6-12 mg/kg BB untuk selamectin. Beberapa praktisi di Amerika melaporkan bahwa efisiensi pengobatan dengan kedua obat tersebut

2 mencapai 98% dan aman untuk ras anjing yang merupakan kontraindikasi dari ivermectin. Tindakan isolasi terhadap pasien juga dilakukan dalam penanganan penyakit-penyakit zoonosis oleh praktisi kesehatan hewan di Amerika Serikat (Curtis 2004). Prevalensi Skabies Pada Anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta Selain skabies ada beberapa penyakit lain yang bersifat zoonosis yang mendapatkan perhatian khusus dari pihak Rumah Sakit Hewan Jakarta, diantaranya brucellosis, leptospirosis, visceral larva migrans, toxoplasmosis, salmonellosis, dan ringworm. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005-Desember 2010, skabies menempati posisi kedua dengan persentase 28,47% dari seluruh kasus zoonosis pada kurun waktu tersebut, sebagaimana terlihat pada Gambar % 3.05% 0.76% 24.96% 35.15% 4.10% Skabies Brucellosis Salmonellosis Ringworm 3.51% Leptospirosis Visceral larva migrans Toxoplasmosis Gambar 9 Persentase kasus penyakit zoonotik di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari Januari 2005-Desember Data rekam medik pasien yang diperoleh dari Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005 Desember 2010 menunjukkan bahwa terdapat 187 kasus skabies pada anjing. Jumlah pasien yang terinfestasi, jumlah pasien anjing tiap tahun, dan prevalensi skabies tiap tahun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta cukup fluktuatif. Sejak tahun prevalensinya meningkat hingga 0,92%, lalu kemudian menurun kembali pada Dua tahun terakhir ( ) kembali terjadi peningkatan menjadi 0,78%.

3 Tabel 2 Jumlah pasien terjangkit skabies, jumlah pasien per tahun, dan prevalensi skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun Tahun Jumlah pasien skabies (ekor) Pasien anjing total (ekor) Prevalensi (%) ,47% ,55% ,66% ,92% ,57% ,78% Rata-rata 33, ,8 0,66% Penderita Skabies Berdasarkan Ras Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Latif (2001) dari bulan Januari 1999-Desember 2001 melaporkan bahwa terdapat 70 kasus (0,57%) dari ekor pasien anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari bulan Januari 1999 sampai dengan Juli Anjing anjing tersebut terdiri atas 17 ras yang berbeda. Tabel 3 memperlihatkan bahwa anjing lokal merupakan pasien yang paling banyak terjangkit skabies dengan jumlah sebanyak 33 ekor (17,6%) dibanding anjing ras lainnya. Latif (2001) melaporkan bahwa pada bulan Januari 1999 sampai dengan bulan Juni 2000 kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta didominasi oleh anjing ras Chow-chow sebanyak 14 ekor dengan persentase 20% dari total kasus yaitu sebanyak 70 kasus. Tingginya kasus skabies pada anjing tidak dipengaruhi oleh ras anjing dan pada umumnya disebabkan karena pemilik kurang memperhatikan aspek pemeliharaan dan kesehatan hewan peliharaanya, sehingga ektoparasit dapat berkembang dengan baik (Muller & Kirk 1976).

4 Tabel 3. Frekuensi kasus Skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada bulan Januari 2005 Desember No Ras Anjing Jenis Kelamin Jenis Jumlah Persentase Jantan Betina rambut (%) 1 Basset Hound 1 1 Pendek 2 1,06 2 Beagle 3 2 Pendek 5 2,67 3 Boxer 4 0 Pendek 4 2,1 4 Bulldog 2 1 Pendek 3 1,6 5 Chow-chow 0 2 Panjang 2 1,06 6 Cihuahua 4 3 Pendek 7 3,74 7 Collie 2 1 Panjang 3 1,6 8 Dalmatian 4 0 Pendek 4 2,13 9 Daschund 3 1 Pendek 4 2,13 10 Dobermann 6 0 Pendek 6 3,02 11 Fox Terrier 1 1 Panjang 2 1,06 12 German Shepherd 3 2 Pendek 5 2,67 13 Golden Retriever 5 2 Panjang 7 3,74 14 Great Dane 1 0 Pendek 1 0,53 15 Jack Russel Terier 2 1 Pendek 3 1,6 16 Kintamani 2 1 Panjang 3 1,6 17 Labrador 15 0 Pendek 15 8,02 18 Lokal Pendek 33 17,6 19 Mallinois 1 0 Pendek 1 0,53 20 Maltese 2 2 Panjang 4 2,13 21 Mini Pincsher 3 2 Pendek 5 2,67 22 Pekingese 1 1 Panjang 2 1,06 23 Pitbull 2 4 Pendek 6 3,2 24 Pomeranian 2 6 Panjang 8 4,3 25 Poodle 2 2 Panjang 4 2,13 26 Pug 3 2 Pendek 5 2,67 27 Rotweiller 2 2 Pendek 4 2,13 28 Saint Bernard 0 1 Panjang 1 0,53 29 Samoyed 1 0 Panjang 1 0,53 30 Schnauzer 1 1 Panjang 2 1,06 31 Shiba 2 0 Pendek 2 1,06 32 Shihtzu 0 3 Panjang 3 1,6 33 Siberian Husky 6 1 Pendek 7 3,74 34 Welsh Corgi 0 1 Pendek 1 0,53 35 Yorkshire 2 1 Panjang 3 1,6 36 Mix / Campuran Lain-lain 20 10,7 Jumlah Penderita Skabies Berdasarkan Jenis Rambut Skabies berhubungan dengan jenis rambut anjing. Kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing dapat dilihat pada Gambar 10.

5 10.70% 24.06% Panjang Pendek Lain-lain Gambar 10 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis rambut anjing pada tahun Sejak tahun di Rumah Sakit Hewan Jakarta, 122 ekor (65,24%) anjing yang terjangkit skabies merupakan anjing dengan jenis rambut pendek, dan 45 ekor (24,06%) anjing dengan jenis rambut panjang. Sisanya sebanyak 20 ekor (10,7%) tidak dapat diketahui jenis rambutnya karena merupakan anjing ras campuran. Menurut Witjaksono & Sungkar (1996), anjing dengan rambut panjang lebih mudah terjangkit skabies karena debu, kotoran, dan bahkan arthropoda yang berukuran mikroskopik lebih mudah menempel pada rambut anjing, sedangkan data di atas menunjukkan bahwa anjing dengan jenis rambut pendek di Rumah Sakit Hewan Jakarta lebih banyak terjangkit skabies. Faktor yang menyebabkan anjing dengan jenis rambut pendek lebih banyak terjangkit skabies adalah karena pemilik anjing kurang memperhatikan dan merawat kesehatan kulit anjingnya. Karena anjing dengan rambut pendek membutuhkan perawatan relatif yang lebih mudah dibandingkan dengan anjing rambut panjang, sehingga kesehatan rambut dan kulitnya kurang diperhatikan % Penderita SkabiesBerdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan jenis kelamin, kejadian skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tahun didominasi oleh anjing jantan dengan jumlah 113 ekor (60,43%) dan anjing betina hanya (39,57%). Data tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Menurut Muller & Kirk (1976), skabies tidak berkaitan dengan jenis kelamin. Anjing jantan maupun betina memiliki risiko yang sama untuk terjangkit skabies.

6 39.57% 0 Jantan Betina 60.43% Gambar 11 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta berdasarkan jenis kelamin pada tahun Faktor yang menyebabkan anjing jantan lebih banyak terjangkit skabies adalah karena anjing jantan lebih sering digunakan oleh pemiliknya sebagai anjing pemacak. Anjing jantan yang digunakan sebagai pemacak akan lebih sering melakukan kontak langsung dengan anjing lain yang kemungkinan telah terjangkit skabies baik secara klinis maupun subklinis. Selain itu anjing jantan cenderung lebih dominan dibanding anjing betina dalam kehidupan sosialnya. Menurut Broom & Fraser (2007) hewan jantan memiliki sifat yang lebih dominan daripada hewan betina, dominasi ini ditunjukkan dengan beberapa perilaku seperti melakukan mounting, mengendusendus, dan berkelahi untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Interaksi anjing jantan yang menunjukkan dominasi inilah yang memungkinkan anjing jantan melakukan kontak langsung yang lebih sering dengan anjing lain, sehingga kemungkinan tertular skabies oleh anjing lain lebih besar. Penderita Skabies Berdasarkan Usia Anjing diklasifikasikan menurut usia oleh Federation Cynologue International (FCI) menjadi tiga kelas. Kelas yang pertama adalah anakan (puppies) yang berusia dari 3 9 bulan, yang kedua adalah remaja (teenage) dengan usia bulan, dan dewasa (adult) yang berusia diatas 2 tahun. (Verhoef Verhaellen 1996). Berdasarkan pembagian kelompok umur tersebut, anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dari tahun didominasi oleh anjing dewasa dengan jumlah sebanyak 145 ekor (77,54%), berikutnya adalah anjing dari usia remaja sebanyak 27 ekor (14.44%) dan sisanya anjing anakan dengan jumlah 15 ekor (8,02%). Data tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 12.

7 0 8.02% 77.54% 14.44% Anakan Remaja Dewasa Gambar 12 Jumlah kasus skabies pada anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta pada tahun berdasarkan kategori usia anjing. Data di atas memperlihatkan kejadian skabies pada anjing dewasa lebih sering terjadi daripada anjing anakan dan remaja. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh anjing. Anjing dewasa kemungkinan sistem kekebalannya sudah berkurang karena faktor usia dibandingkan dengan anjing anakan yang sistem kekebalannya masih baik karena antibodi maternal yang diwariskan oleh induknya. Satu dari beberapa faktor yang mempengaruhi sistem imunitas adalah usia, semakin tua usia, maka akan semakin berkurang kemampuan sistem imunnya dalam memproduksi antibodi (Radji 2010). Arlian (1996) melaporkan bahwa anjing dan kelinci yang ditantang dengan ekstrak Sarcoptes scabiei var.canis menunjukkan kadar IgE dan IgG yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Immunoglobulin G (IgG) merupakan antibodi yang paling umum dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari dan memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. Antibodi ini beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Immunoglobulin G mengikuti aliran darah, langsung menuju antigen dan menghambatnya begitu terdeteksi. Antibodi ini melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun. Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta mikroorganisme lain yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit. Karena kemampuannya serta ukurannya yang kecil, IgG dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari kemungkinan infeksi (Mayer 2009). Imunoglobulin E (IgE) merupakan antibodi yang hanya terdapat pada mamalia. IgE berperan dalam sistem kekebalan yang disebabkan oleh cacing

8 parasit, protozoa, dan arthropoda. IgE merupakan komponen yang terlibat dalam reaksi alergi karena light chain IgE terikat pada basofil dan sel mast. Pengikatan alergen oleh IgE menyebabkan pelepasan mediator farmakologis yang menimbulkan berbagai reaksi alergi (Mayer 2009). Selain antibodi, granulosit juga merupakan sistem kekebalan bawaan yang melindungi inang dari berbagai infeksi dan infestasi parasit. Eosinofil, sel mast dan basofil merupakan komponen kekebalan terhadap parasit. Eosinofil adalah sel darah putih granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit multiselular pada vertebrata. Meningkatnya kadar eosinofil mengindikasikan adanya infeksi parasit. Eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi oleh parasit. Selain itu, eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi alergi. Eosinofil diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil (Guyton & Hall 2008). Hasil dari biopsi pada jaringan kulit yang terjangkit skabies juga memperlihatkan bahwa terdapat infiltrasi besar-besaran dari limfosit dan eosinofil pada lapisan dermis. Infiltrasi dari eosinofil berhubungan dengan meningkatknya kadar IgE dalam darah penderita skabies (Walton 2010). Sel mast dan basofil juga berperan dalam sistem kekebalan terhadap parasit. Keduanya memiliki beberapa persamaan antara lain sebagai mediator/perantara pada reaksi hipersensitivitas tipe I karena memiliki jumlah reseptor yang banyak untuk IgE (Lie & Merijanti 1999). Efektivitas Pengobatan Skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta Pengobatan yang dilakukan oleh para dokter hewan di Rumah Sakit Hewan Jakarta mempertimbangkan jenis, keadaan, dan usia anjing. Biasanya anjing ras yang bukan kontra indikasi ivermectin diberikan pengobatan dengan menggunakan ivermectin dengan dosis µg / kg BB yang diaplikasikan melalui sub kutan dengan interval dua minggu. Setelah 2 minggu pemilik anjing dianjurkan oleh dokter hewan agar membawa anjingnya kembali untuk diperiksakan dan dilakukan pengobatan kembali. Perlakuan ini diberikan sampai

9 anjing dinyatakan sembuh secara klinis dan laboratorium. Bila setelah 4 8 minggu anjing tidak menunjukkan kesembuhan, pengobatan akan dilakukan dengan obat obatan lainnya. Kesembuhan anjing dari skabies dinyatakan dengan rambut yang tumbuh kembali pada bagian yang mengalami kebotakan, keropeng pada kulit hilang, dan tidak ditemukan lagi tungau pada pemeriksaan kerokan kulit anjing. Selain ivermectin, pengobatan skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta juga menggunakan sediaan fipronil dengan konsentrasi 10% secara spot on. Dosis yang digunakan sudah tertera pada labelnya dan sesuai dengan bobot badan anjing. Biasanya pasien yang diobati dengan fipronil adalah pasien yang merupakan kontra indikasi dari ivermectin. Pengobatan dengan fipronil akan diulangi seminggu sekali sampai 6 minggu sampai anjing sembuh. Selain pemberian sediaan akarisida, juga diberikan antibiotik untuk mengobati infeksi sekunder. Antibiotik yang diberikan biasanya adalah linkomisin. Selain itu diberikan juga terapi supportif berupa pemberian vitamin E untuk mempercepat persembuhan keropeng pada kulit. Data pengobatan anjing yang terjangkit skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan skabies di Rumah Sakit Hewan Jakarta dan persentase kesembuhannya. No Jenis pengobatan Jumlah Tidak sembuh Persentase kesembuhan 1 Ivermectin ,67% 2 Fipronil ,31% Tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 12 dari 174 pasien yang diobati dengan ivermectin tidak sembuh, untuk presentasi kesembuhan dari obat ini adalah 93,67%. Terada et al. tahun 2010 di Jepang melaporkan bahwa terdapat dua ekor anjing yang diobati dengan ivermectin dengan dosis 300µg/kgBB tidak menunjukkan kesembuhan setelah 14 hari dan masih bisa ditemukan tungau yang hidup pada hari ke 35. Keadaan kulit dari anjing pun tidak mengalami perubahan. Hal ini mengindikasikan telah adanya resistensi terhadap ivermectin pada tungau Sarcoptes scabiei var. canis. Fipronil juga tidak sepenuhnya dapat mengobati skabies. Data di atas menunjukkan 1 dari 13 pasien yang diobati dengan fipronil tidak sembuh,

10 sehingga presentasi kesembuhannya adalah 93,31%. Koutinas et al. (2001) melaporkan, bahwa pada penelitiannya dalam pengobatan skabies dengan menggunakan fipronil 0,25% dengan metode disemprotkan terdapat 3 dari 12 anjing yang diobati tidak mengalami kesembuhan sampai hari ke 71 setelah pengobatan pertama. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ada kemungkinan resistensi terhadap fipronil pada tungau Sarcoptes scabiei var.canis. Sampai saat ini sediaan akarisida yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh tungau tidak pernah ada yang menunjukkan efektifitas sampai 100% atau tanpa menunjukkan efek samping (Koutinas et al 2001). Skabies pada anjing menyebabkan kerusakan kulit yang parah, sehingga anjing tidak dapat mengikuti kontes, menjadi pemacak, dan berinteraksi dengan manusia. Hal ini menyebabkan kerugian pada pemilik dari segi materil dan moril. Kerugian dari segi materil berupa biaya pengobatan, sedangkan kerugian moril (psikologis) dapat berupa rasa takut akan tertular skabies oleh anjingnya dan berkurangnya rasa sayang terhadap anjing yang dimiliki. Berbeda pada anjing maupun hewan kesayangan lainnya, skabies pada hewan ternak bisa menjadi masalah yang serius dan menimbulkan kerugian ekonomis yang besar. Menurut Siratno (2000 dalam Wardhana et al. 2006), kerugian ekonomi akibat skabies pada kambing di pulau Lombok mencapai Rp per tahun. Kejadian yang fatal pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396 ekor ternyata 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies. Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kerugian materi berupa kematian, tetapi juga kerugian moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap ternak bantuan pemerintah selanjutnya (Sobari 1991 dalam Wardhana et al. 2006). Lalu lintas perdagangan hewan dan produknya ke seluruh wilayah Indonesia atau internasional membuka pintu penyebaran penyakit menular semakin luas. Penularan skabies yang relatif cepat menjadi tantangan bagi dunia veteriner dan kesehatan manusia. Rendahnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies, harga obat yang relatif mahal dan bervariasinya hasil pengobatan juga masih perlu mendapat perhatian dari kalangan

11 praktisi kesehatan hewan maupun manusia. Selain itu dibutuhkan juga perhatian pemerintah untuk mengendalikan skabies.

STUDI KASUS SKABIES ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA (JANUARI 2005-DESEMBER 2010) SKRIPSI. Cholillurrahman B

STUDI KASUS SKABIES ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA (JANUARI 2005-DESEMBER 2010) SKRIPSI. Cholillurrahman B STUDI KASUS SKABIES ANJING DI RUMAH SAKIT HEWAN JAKARTA (JANUARI 2005-DESEMBER 2010) SKRIPSI Cholillurrahman B04070165 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 STUDI KASUS SKABIES ANJING

Lebih terperinci

Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis KATEGORI KRITERIA FOTO

Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis KATEGORI KRITERIA FOTO LAMPIRAN Sumber : survei statistik pribadi terhadap data pelanggan di beberapa tempat fasilitas sejenis Tabel 20. Jenis - Jenis 17 JENIS ANJING KATEGORI KRITERIA FOTO Chihuahua Long Coat Chihuahua Smooth

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. 1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengambilan data yang dilakukan secara retrospektif melalui seluruh

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anjing merupakan salah satu jenis hewan yang dikenal bisa berinteraksi dengan manusia. Interaksi demikian telah dilaporkan terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kondisi ekonomi menengah kebawah. Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kondisi ekonomi menengah kebawah. Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skabies 1. Definisi Skabies adalah penyakit kulit yang banyak dialami oleh penduduk dengan kondisi ekonomi menengah kebawah. Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes scabiei.

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

Proses Penyakit Menular

Proses Penyakit Menular Proses Penyakit Menular Bagaimana penyakit berkembang? Spektrum penyakit Penyakit Subklinis (secara klinis tidak tampak) Terinfeksi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit; biasanya terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diperkirakan lebih dari 300 juta orang setiap tahunnya terinfeksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. dan diperkirakan lebih dari 300 juta orang setiap tahunnya terinfeksi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Skabies merupakan penyakit infestasi ektoparasit pada manusia yang disebabkan Sarcoptes scabiei varietas hominis (S. scabiei). 1-3 Penyakit ini tersebar di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Siregar, 2004). Penyakit

I. PENDAHULUAN. serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Siregar, 2004). Penyakit I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang disebut juga sebagai dermatitis atopik. Penderita dermatitis atopik dan atau keluarganya biasanya

Lebih terperinci

Jurnal Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Infeksi Rubella

Jurnal Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Infeksi Rubella Jurnal Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Infeksi Rubella TORCH adalah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat jenis penyakit infeksi yaitu TOxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbatas pada bagian superfisial kulit berupa bintul (wheal) yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria merupakan salah satu manifestasi keluhan alergi pada kulit yang paling sering dikeluhkan oleh pasien. Urtikaria adalah suatu kelainan yang berbatas pada bagian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari 1. Sampel Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sampel pada penelitian ini sebanyak 126 pasien. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari Juni

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa penemuan fosil dan tes DNA (Vila et al., 1997). Anjing telah menjadi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. berupa penemuan fosil dan tes DNA (Vila et al., 1997). Anjing telah menjadi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anjing adalah mamalia karnivora darat yang telah mengalami domestikasi dari serigala sejak 100.000 tahun silam, hal ini diperkuat dengan bukti genetik berupa penemuan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN I. UMUM Pengaturan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional yaitu jenis pendekatan penelitian

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis

Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Anjing Anda Demam, Malas Bergerak dan Cepat Haus? Waspadai Leptospirosis Leptospirosis adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh bakteri Leptospira interrogans sensu lato. Penyakit ini dapat menyerang

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5543 LINGKUNGAN HIDUP. Penyakit Hewan. Peternakan. Pengendalian. Penanggulangan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 130) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Diabetes adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak dapat menggunakan (menyerap) gula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang. disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang. disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Skabies adalah penyakit kulit pada manusia yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei var. hominis (Habif et al., 2011). Penyakit ini menular dari manusia ke manusia melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara berkembang seperti Indonesia masih disebabkan oleh penyakit infeksi. 1 Penyakit infeksi dapat disebabkan

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP) Mata Kuliah : Ilmu Kesehatan Ternak Nomor Kode/SKS : 3 SKS Deskripsi Singkat : Mata kuliah ini membahas tentang kesehatan ternak, baik pada unggas maupun ternak

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai 1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan

Lebih terperinci

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi. BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi pada Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Adapun penyebab terjadinya infeksi pada saluran nafas adalah mikroorganisme, faktor lingkungan,

Lebih terperinci

Prevalensi pre_treatment

Prevalensi pre_treatment Prevalensi pre_treatment BAB 4 HASIL Sebanyak 757 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah sebelum pengobatan masal dan 301 responden berpartisipasi pada pemeriksaan darah setelah lima tahun pengobatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Indikator WHO 1993 Indikator WHO 1993 adalah suatu metode untuk melihat pola penggunaan obat dan dapat secara langsung menggambarkan tentang penggunaan obat yang tidak sesuai.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman

BAB I PENDAHULUAN. yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan merupakan keragaman hayati yang selalu ada di sekitar kita, baik yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman dahulu, tumbuhan sudah

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Data

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan

Lebih terperinci

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent BAB 1 PENDAHULUAN Hiperglikemia adalah istilah teknis untuk glukosa darah yang tinggi. Glukosa darah tinggi terjadi ketika tubuh memiliki insulin yang terlalu sedikit atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan. Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Juni 2015.

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan. Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Juni 2015. 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dan bersifat deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan melakukan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. seluruhnya berjumlah 270 dengan 9 penderita diantaranya memiliki penyakit BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan metode cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien rawat jalan yang memiliki penyakit infeksi bakteri pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella thypi (S thypi). Pada masa inkubasi gejala awal penyakit tidak tampak, kemudian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak dapat lepas dari keberadaan mikroorganisme. Lingkungan di mana manusia hidup terdiri dari banyak jenis dan spesies mikroorganisme. Mikroorganisme

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Pediculosis humanus capitis (kutu) adalah salah satu ektoparasit penghisap

BAB 1 : PENDAHULUAN. Pediculosis humanus capitis (kutu) adalah salah satu ektoparasit penghisap BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pediculosis humanus capitis (kutu) adalah salah satu ektoparasit penghisap darah yang berinfestasi di kulit kepala manusia, bersifat menetap dan dapat menimbulkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Berdasarkan Morfologi Berdasarkan hasil identifikasi preparat ulas darah anjing ras Doberman dan Labrador Retriever yang berasal dari kepolisian Kelapa Dua Depok, ditemukan

Lebih terperinci

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio

Penyebab, gejala dan cara mencegah polio Friday, 04 March :26. Pengertian Polio Pengertian Polio Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem saraf. Pada kondisi penyakit yang bertambah parah, bisa menyebabkan kesulitan 1 / 5 bernapas,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak, pemeliharaan stamina tubuh, percepatan regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Selain virus sebagai penyebabnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan virus dengue. Penyakit DBD tidak ditularkan secara langsung dari orang ke orang, tetapi ditularkan kepada manusia

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelenjar getah bening merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh kita. Tubuh memiliki kurang lebih 600 kelenjar getah bening, namun pada orang sehat yang normal

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan diagnosis utama Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani

BAB III METODE PENELITIAN. dengan diagnosis utama Congestive Heart Failure (CHF) yang menjalani BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, yaitu dengan mencatat data-data yang diperlukan

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid termasuk dalam 10 besar masalah kesehatan di negara berkembang dengan prevalensi 91% pada pasien anak (Pudjiadi et al., 2009). Demam tifoid merupakan penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh (1). Infeksi tidak hanya menjadi masalah kesehatan bagi Indonesia bahkan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk pengobatan ISPA pada balita rawat inap di RSUD Kab Bangka Tengah periode 2015 ini

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas akibat mekanisme imunologi yang pada banyak kasus dipengaruhi oleh immunoglobulin E (IgE). Atopi merupakan suatu kecenderungan

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Saat ini masyarakat dihadapkan pada berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit Lupus, yang merupakan salah satu penyakit yang masih jarang diketahui oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi dan Patogenesis Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi) (Kidgell

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

Kenali Penyakit Periodontal Pada Anjing

Kenali Penyakit Periodontal Pada Anjing Kenali Penyakit Periodontal Pada Anjing Mungkin Anda sudah sering mendengar istilah "penyakit periodontal". Namun, apakah Anda sudah memahami apa arti istilah itu sebenarnya? Kata 'periodontal' berasal

Lebih terperinci

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

APA ITU TB(TUBERCULOSIS) APA ITU TB(TUBERCULOSIS) TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tubercolusis. Penyakit Tuberkolusis bukanlah hal baru, secara umum kita sudah mengenal penyakit ini. TB bukanlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi kulit yang bersifat kronik berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu dan didasari oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di indonesia kasus-kasus penyakit yang disebabkan oleh infeksi sering diderita oleh masyarakat kita, salah satu infeksi yang diketahui adalah infeksi organ urogenitalia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan. Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional Indonesia. Pembangunan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN 13 BAB 3 KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Teori Virus Dengue Lingkungan Vektor (Nyamuk) Host (Manusia) Faktor Demografis Jenis Kelamin Umur Demam Berdarah Dengue (DBD) Pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Stroke adalah salah satu penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah serius di dunia kesehatan. Stroke merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri sangat perlu mendapat perhatian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG PEMBEBASAN BIAYA PASIEN PENYAKIT INFEKSI EMERGING TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas, baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebagian besar virulensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pneumonia merupakan penyakit yang banyak membunuh anak usia di bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun 2004, sekitar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat dan Desain Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengambilan Data

METODE PENELITIAN Waktu, Tempat dan Desain Penelitian Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Jenis dan Cara Pengambilan Data METODE PENELITIAN Waktu, Tempat dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan baseline dari penelitian Dr. Ir. Sri Anna Marliyati MSi. dengan judul Studi Pengaruh Pemanfaatan Karoten dari Crude Pal Oil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis yang merupakan suatu respon tubuh dengan adanya invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan

Lebih terperinci