BAB I PENDAHULUAN. d) suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dan/ atau,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. d) suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dan/ atau,"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya teknologi berkembang berbagai macam konten beserta berbagai macam pemanfaatannya. Tidak semua konten bernilai positif, namun banyak berkembang pula konten bermuatan negatif. Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia berupaya untuk menanggulangi berkembangnya konten negatif melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif [1]. Pada Permenkominfo No. 19 Tahun 2014 [1] pada pasal 4 memberikan definisi yang jelas mengenai konten negatif yakni situs internet yang mengandung : a) pornografi, b) kegiatan illegal berdasarkan peraturan perundang-undangan, c) kegiatan illegal lainya yang pelaporannya berasal dari Kementrian atau lembaga Pemerintah yang berwenang. Kemudian dijelaskan pada pasal 10 pada Permenkominfo No.19 Tahun 2014 [1], tentang pelaporan kegiatan illegal yang bersifat mendesak, apabila menyangkut : a) privasi, b) pornografi anak, c) kekerasan, d) suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dan/ atau, e) muatan lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan masyarakat luas. Berdasarkan penjelasan pada pasal 4 Permenkominfo No.14 Tahun 2014 [1] telah dijelaskan bahwa konten negatif adalah pornografi, kemudian kegiatan ilegal sesuai perundangundangan (contohnya kejahatan transaksi elektronik, melanggar UU No. 11 Tahun 2008 [2]

2 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), serta kegiatan ilegal yang dilaporkan pada Pemerintah, terutama yang bersifat mendesak yang dijelaskan pada pasal 10 Permenkominfo No. 14 Tahun Pada penjelasan tersebut, pornografi diletakkan pada definisi pertama tentang konten negatif. Pornografi sangatlah merusak masyarakat, terlebih pada generasi muda. Peraturan Menteri tersebut menegaskan kembali dua landasan hokum yang telah dimuat sebelumnya yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang melarang peredaran dokumen yang bermuatan pelanggaran norma kesusilaan, serta UU No. 44 Tahun 2008 yang secara khusus membahas pornografi. Definisi pornografi menurut UU No. 44 Tahun 2008 adalah gambar sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat [3]. Pengertian yang sama juga dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pornografi adalah pengembaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, bahan bacaan yang dengan segaja dan semata- mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi seks [2]. Berkembangnya pornografi menjadi sebuah industri di era modern ini telah menimbulkan banyaknya konten negatif internet berupa pornografi, baik itu berupa gambar, teks, maupun suara. Pemerintah harus dapat membendung konten bermuatan pornografi demi menyelamatkan generasi penerus, dari bahaya laten pornografi yang merusak bangsa terutama generasi muda. Pemerintah mengeluarkan UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang mendeskripsikan secara detail muatan pornografi yang dilarang [3], namun implementasi di lapangan masih belum terlihat nyata. Usaha pemerintah untuk memblok situs porno baru dengan menggunakan DNS yang sifatnya statis dan bukan merupakan filter cerdas yang dapat mengenali konten dari halaman web [4]. Oleh sebab itu dibutuhkan teknologi yang mampu untuk mengenali konten secara cerdas khususya melalui pengolahan citra untuk dapat mengklasifikasikan citra porno dan non porno. Klasifikasi citra porno dapat dibagi menjadi 2 jenis metode. Fitur jenis pertama adalah operasi deteksi bagian tubuh seperti dada, wajah dan kelamin [3][4][5][6][7], sedangkan metode kedua adalah berbasis kulit [3][7][8][9][10][11]. Metode yang berbasis deteksi bentuk, sifatnya

3 kaku karena bentuk polanya harus sama, menghadap kedeepan dan mempunyai toleransi kemiringan yang sedikit, sehingga kurang baik digunakan untuk teknik penapis konten porno. Sedangkan metode berbasis kulit lebih banyak diaplikasikan sebagai basis metode untuk penapis konten negatif (pornografi). Metode berbasis kulit diawali dengan segmentasi kulit untuk mendapatkan fitur yang akan digunakan untuk klasifikasi porno dan non porno.. Permasalahan pada segmentasi kulit adalah masalah intensitas cahaya [5] dan citra nonkulit [5][13] yang memiliki warna sama seperti kulit. Permasalahan pencahayaan dapat menciptakan area gelap dan area terang, sedangkan pada citra digital perubahan intensitas cahaya dapat merubah warna yang dapat menyebabkan kesalahan segmentasi kulit [5][13][15]. Dengan demikian dibutuhkan teknik untuk dapat memperbaiki citra (preprocessing) untuk menghindari kesalahan segmentasi kulit akibat masalah intensitas cahaya. Permasalahan pada kesalahan hasil segmentasi kulit pada citra non kulit yang memiliki warna seperti kulit, seperti binatang, kayu dan pasir [5][13][16], Hal ini terjadi karena hanya digunakan segmentasi warna saja, maka dibutuhkan ciri lain untuk membedakan objek kulit dengan non kulit. Setelah proses segmentasi kulit berhasil, permasalahan berikutnya adalah pemilihan fitur untuk klasifikasi porno dan non porno [7]-[15]. Permasalahan pertama kebanyakan metode menggunakan anggapan bahwa semua citra porno mempunyai proporsi area yang besar terhadap seluruh citra [8][13][15] atau semua objek porno pasti berada di zona pusat/ tengah citra [7][15], misalnya seorang model telanjang/ berbikini menawarkan sebuah iklan. Tentu model hanya berapa bagian dari proporsi iklan yang ada, dan tidak ada jaminan bahwa model akan berpose di tengah citra, mungkin di sisi pinggir citra atau di sisi bawah atau atas. Oleh sebab itu dibutuhkan fitur klasifikasi citra porno berbasis lokalisasi citra [12]. Permasalahan kedua adalah citra yang memiliki proporsi kulit yang besar terhadap area citra adalah citra porno, misalnya citra close up wajah yang memiliki proporsi area wajah yang besar dibandingkan keseluruhan citra [7][8][15]. Dibutuhkan fitur yang mampu untuk dapat mengklasifikasi citra porno dan non porno dengan tantangan kedua masalah tersebut. 1.2 Perumusan Masalah a. Penyaringan konten berbasis segmentasi kulit memiliki kelemahan terhadap benda non kulit yang memiliki warna mirip kulit. b. Hasil segmentasi kulit terpengaruh dengan perubahaan intensitas cahaya.

4 c. Pada foto close up, memiliki proporsi area kulit yang luas, namun bukan termasuk citra porno. d. Tidak semua citra porno mempunyai rasio area yang besar terhadap area seluruh citra, dan tidak semua citra porno terfokus pada bagian tengah citra. 1.3 Keaslian Penelitian Studi ini telah diawali dengan review (ulasan) paper yang difokuskan pada beberapa metode dan teknik untuk penyaringan konten negatif (porno). Berikut ini adalah perbandingan antara penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian lain sebelumnya. Keaslian penelitian disini adalah untuk dapat menunjukkan letak perbedaan penelitian antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Keaslian penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No. Nama Tujuan Penelitian Metode yang digunakan 1. Putro dan Adji [5] Menapis konten porno berdasarkan deteksi wajah dan segmentasi kulit 2. Efendi, dkk [6] Menapis konten porno dengan 3. Sukaridhoto, dkk [7] mendeteksi alat vital Menapis konten porno dengan mendeteksi alat vital dan mensegmentasi kulit 4. Wang,dkk [8] Menapis konten porno dengan deteksi putting 5. Karavarmnsamis, dkk [9] Mengklasifikasi konten porno dengan rasio area kulit terhadap rasio area lokalisasi kulit. Viola Jones untuk mendeteksi wajah, HSV untuk segmentasi kulit, dan klasifikasi dengan menggunakan rasio area kulit/ area citra keseluruhan. Linier Vector Quantification untuk mendeteksi bagian vital (porno), seperti payudara, vagina. Menggunakan Deteksi Haar dan segmentasi kulit untuk dapat mendeteksi objek vital negatif. Mendeteksi putting dengan Viola Jones Segmentasi Kulit dengan YCbCr, Lokalisasi dengan Convex Hull, Klasifikasi dengan Decision Tree. 6 Kuo,dkk [10] Klasifikasi konten Deteksi wajah dengan Viola Jones, porno dengan Segmentasi Kulit dengan threshold No. Nama pendekatan Tujuan Penelitian adaptif Metode dari yang nilai digunakan chromatic, deteksi 7. Zuo,dkk [11] segmentasi Klasifikasi konten kulit dan tekstur Viola Jones dengan untuk coarseness deteksi objek deteksi porno dengan tekstur vital, Segmentasi Kulit dengan menggunakan deteksi YCbCr. Tabel 1.1 Keaslia n Peneliti an (lanjuta n)

5 bagian vital dan deteksi kulit. 8. Bassilio,dkk [12] Klasifikasi konten porno dengan segmentasi kulit dan rasio kulit terhadap citra seluruhnya 9. Santos, dkk [13] Klasifikasi konten porno dengan menggunakan pendekatan segmentasi kulit, tekstur dan scoring. keaslian penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Klasifikasi dilakukan dengan scoring objek porno terdeteksi, rasio area kulit wajah terhadap area kulit yang lain, area kulit terhadap area citra seluruhnya. Segmentasi Kulit dengan YCbCr Segmentasi kulit dengan YCbCr, Pengenalan Tekstur dengan GLCM dengan klasifikasi LDA (Linier Discriminant Analisys dan scoring dengan menggunakan jarak pusat kontur dengan titik pusat citra. Berdasa rkan pada Tabel 1.1, dapat dilihat perband ingan Putro dan Adji [5] meneliti tentang penapis konten negatif berbasis deteksi wajah berbasis Viola Jones dan segmentasi kulit dengan menggunakan HSV. Klasifikasi porno dilakukan dengan membandingkan rasio kulit wajah dan area kulit lain, serta jarak antara titik tengah citra dengan titik tengah dari kontur area kulit tersegmentasi. Kelebihan penelitian ini adalah dapat mengklasifikasi citra porno dengan bantuan deteksi wajah, segmentasi kulit dan posisi titik tengah kontur area terhadap titik tengah citra. Kelemahan dari metode ini adalah tidak ada lokalisasi untuk menghitung rasio citra area dan penelitian dibatasi hanya pada citra yang menghadap ke depan saja. Effendi dan Ahmad [6] meneliti tentang penapis konten negatif berbasis deteksi Linier Vector Quantization untuk dapat mendeteksi bagian tubuh manusia yang porno, seperti payudara dan vagina. Metode yang diusulkan hanya berorientasi deteksi bagian tubuh, sehingga penelitian dibatasi pada deteksi bagian tubuh tampak depan dan tegak. Sedangkan Sukaridhoto,dkk [7] meneliti tentang penapis konten negatif berbasis deteksi Viola Jones dan segmentasi kulit dengan YCbCr untuk mendeteksi bagian vital, seperti vagina dan payudara. Metode ini juga dibatasi pada deteksi bagian tubuh, meskipun ditambahkan deteksi kulit untuk dapat mengurangi tingkat false positive Wang, dkk [8] meneliti tentang penapis konten negatif berbasis deteksi Viola Jones dengan objek putting. Metode yang diusulkan sangat terbatas pada deteksi putting, bahkan banyak terjadi

6 false positif seperti di area mata dan pusar. Karavarsamis, dkk [9] mengusulkan deteksi pornograpfi dengan melokalisasi Skin ROI[9]. Untuk dapat membandingkan area skin terdeteksi dan area bagian tubuh perlu dilakukan lokalisasi Skin ROI dengan menggunakan Convex Hull. Convex Hull dapat menghubungkan komponen biner hasil deteksi kulit yang terpisah oleh suatu objek yang bukan kulit. Convex Hull dapat menyatukan beberapa segmentasi citra kulit homogen yang terpisah sebagai suatu objek. Klasifikasi porno dan tidak porno dilakukan dengan perhitungan rasio area kulit terhadap area lokalisasi dan rasio area kulit dengan keseluruhan citra. Zuo, dkk [11] mengusulkan pendeteksian citra porno dengan menggunakan klasifikasi Viola-Jones dan Skin Detection dengan YCbCr. Viola Jones dilatih untuk mendeteksi objek-objek yang dianggap porno, contohnya adalah payudara wanita, putting, dan kemaluan. Kemudian metode Viola Jones tersebut dikombinasikan dengan deteksi kulit (Skin Detection) Yakni metode YCbCr. Dengan mengkombinasikan kedua metode ini, akurasi deteksi dapat dinaikkan (False Positive atau True Negative juga dapat berkurang). Dengan kombinasi kedua metode ini didapatkan berapa parameter antara lain jumlah objek wajah, kemaluan, dan dada (puting) yang dapat dideteksi, rasio skin area pada bagian wajah dan bagian lain pada suatu frame, perbandingan skin area dengan seluruh pixels pada frame, serta jumlah skin area yang terdeteksi. Kemudian rasio parameter-parameter itu dilatih dengan random forest classifier. Kelemahan dari metode ini adalah tidak adanya fungsi lokalisasi untuk membantu menghitung rasio area kulit dan beberapa parameter mengacu pada deteksi objek tubuh sehingga dapat disimpulkan metode ini dibatasi pada citra yang benar-benar telanjang sehingga tidak dapat digunakan pada citra bikini. Bassilio, dkk [12] mengusulkan teknik segmentasi kulit dengan YCbCr dengan klasifikasi porno dan tidak porno berdasarkan pada rasio luas area tersegmentasi terhadap luas citra. Metode yang diusulkan sangat terbatas pada segmentasi kulit, tidak terdapat kombinasi deteksi bagian tubuh, perhitungan tekstur dan lokalisasi area kulit. Sehingga penerapan metode yang diusulkan sangat terbatas. Santos, dkk [13] mengusulkan teknik segmentasi kulit dengan YCbCr dan pengenalan tekstur dengan menggunakan Kombinasi Fitur dari GLCM. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan LDA. Pembobotan dilakukan dengan menghitung bobot kulit berdasarkan

7 posisinya didalam citra. Semakin ditengah/ mendekati titik tengah, maka bobot klasifikasi porno lebih besar. Penelitian ini mempunyai kelebihan yakni deteksi tekstur untuk membedakan kulit dengan benda yang berwarna mirip kulit, namun dalam klasifikasi citra porno, dilakukan dengan pembobotan titik tengah kontur kulit terhadap titik tengah citra. Metode yang diusulkan ini sangat terbatas pada citra porno yang terpusat pada gambar porno, sedangkan tidak semua citra porno terpusat di titik tengah. Penelitian yang menggabungkan teknik deteksi teksur kulit dan deteksi intensitas cahaya dilakukan oleh Kuo, dkk [10]. Penelitian yang dilakukan Kuo,dkk [10] adalah dengan mengembangkan metode deteksi kulit yang bersifat adaptif, dengan cara menggunakan deteksi wajah untuk dapat menghitung rata-rata nilai rentang kromatik warna pada wajah. Untuk mengurangi tingkat error, kemudian digunakan analisis tekstur kulit dengan menggunakan Coarseness untuk dapat mengurangi false positive, dari citra bukan kulit yang memiliki kesamaan tekstur dengan kulit. Klasifikasi porno dilakukan dengan menggunakan pendekatan parameter ratio area kulit terhadap lokalisasi area, ratio area wajah dengan area kulit yang lain untuk menghindari kesalahan pada foto closeup, serta menggunakan nilai pembobotan terhadap titik tengah citra, dimana semakin banyak area kulit yang berada di area tengah citra, maka semakin besar kemungkinan untuk diklasifikasikan sebagai citra porno. Pada penelitian diatas terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan celah penelitian. Celah penelitian yang pertama adalah tidak ada usaha untuk menormalisasi intensitas cahaya dari masukan citra yang akan diproses. Intensitas cahaya yang tidak stabil akan menimbulkan efek gelap dan terang, dan ditangkap oleh citra digital dalam warna yang berbeda. Penelitian yang dilakukan ini menggunakan teknik preprocessing Homomorphic Filter untuk normalisasi cahaya pada citra yang mempunyai intensitas cahaya yang kurang, atau terlalu terang sehingga menimbulkan area gelap dan terang. Hal ini akan memperbaiki hasil segmentasi citra. Teknik preprocessing untuk normalisasi cahaya ini tidak terdapat pada metode yang diusulkan Putro dan Adji [5], Effendi, dkk [6], Sukaridhoto, dkk [7], Wang, dkk [8], Karavarsamis [9], Kuo, dkk [10], Zuo, dkk [11], Basilio, dkk [12], Santos, dkk [13]. Hal ini akan meningkatkan kemampuan penapis konten porno untuk menapis konten yang punya pencahayaan yang buruk. Celah penelitian kedua, pada penelitian ini digunakan teknik klasifikasi kulit untuk mengurangi kesalahan dalam segmentasi kulit dengan menggunakan fitur GLCM (Homogenity

8 dan Correlation) dengan klasifikasi SVM Linier. Hal tersebut tidak ditemui pada penelitian yang dilakukan Putro dan Adji [5], Effendi, dkk [6], Sukaridhoto, dkk [7], Wang, dkk [8], Karavarsamis [9], Zuo, dkk [11], Basilio, dkk [12]. Kuo, dkk [10] hanya menggunakan coarseness untuk klasifikasi kulit dan non kulit, sedangkan Santos, dkk [13] menggunakan fitur GLCM dengan metode klasifikasi LDA. Celah penelitian ketiga adalah klasifikasi porno dilakukan dengan lokalisasi dengan menggunakan bantuan deteksi wajah (Viola-Jones). Berbeda dengan yang dilakukan Karavarsamis, dkk [8], pada penelitian ini terdapat 2 macam rule (aturan), jika terdeteksi wajah maka area kulit adalah area kulit seluruhnya akan dikurangi dengan area kulit wajah, jika tidak terdeteksi wajah area kulit adalah area kulit seluruhnya. Fitur klasifikasi adalah rasio area kulit terhadap area lokalisasi Convex Hull dan rasio area kulit terhadap area citra keseluruhan. Oleh sebab itu prosentase rasio pada rule tidak terdeteksi wajah lebih besar daripada rule terdeteksi wajah karena tidak dikurangi dengan area wajah. Oleh sebab itu tiap rule diklasifikasikan dengan SVM Linier masing-masing, tiap rule memiliki attribute batas klasifikasi porno dan non porno masing-masing. Pada penelitian yang dilakukan Karavarsamis, dkk [8], dilakukan tanpa deteksi wajah. Sehingga fitur klasifikasi adalah rasio area kulit terhadap area lokalisasi Convex Hull dan rasio area kulit terhadap area citra keseluruhan, fitur kemudian diklasifikasikan dengan Decision Tree. Lokalisasi area kulit pada citra ini tidak ditemukan pada penelitian yang dilakukan Putro dan Adji [5], Effendi, dkk [6], Sukaridhoto, dkk [7], Wang, dkk [8], Zuo, dkk [11], Basilio, dkk [12] yang menggunakan perbandingan area kulit tersegmentasi dengan area keseluruhan. Berbeda juga dengan penelitian yang dilakukan Kuo, dkk [10] dan Santos, dkk [13] yang menggunakan jarak pusat kontur citra terhadap titik tengah citra. Sebagai ringkasan, penelitian ini memberikan tiga kontribusi yakni : 1. Normalisasi Citra dengan Homomorphic Filtering. 2. Pengambilan fitur tekstur kulit dengan GLCM (Homogenity dan Correlation), dan klasifikasi kulit dengan SVM Linier. 3. Pengambilan fitur untuk klasifikasi porno dengan fitur rasio area kulit terhadap area lokalisasi dan rasio area kulit terhadap area keseluruhan citra. Pengambilan fitur dilakukan dengan rule terdeteksi wajah dan tidak terdeteksi wajah. Jika terdeteksi wajah

9 maka area kulit adalah area kulit keseluruhan dikurangi wajah, jika tidak terdeteksi wajah maka area kulit adalah area kulit seluruhnya. Tiap rule diklasifikasikan dengan SVM Linier, dan tiap rule memiliki atribut batas klasifikasi porno dan non porno masingmasing. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya adalah sebagai berikut : a. Mengenali konten secara cerdas menggunakan pengolahan citra untuk dapat memblok akses terhadap konten negatif internet b. Sebagai upaya nyata dalam mendukung UU anti Pornografi, demi menyelematkan bangsa dari bahaya laten pornografi, terlebih pada generasi muda. c. Sebagai pengembangan metode untuk dapat mengenali konten negatif internet dengan menggunakan pendekatan deteksi warna dan kontur kulit serta dibantu dengan deteksi wajah. d. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai referensi khususnya pada penelitian-penelitian dengan topik Content Filtering dengan pendekatan deteksi kulit. 1.5 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan model sistem deteksi, klasifikasi dan penapis konten negatif (pornografi) berdasarkan deteksi citra yang dapat menapis konten negatif secara otomatis, dalam kondisi pencahayaan yang cukup maupun gelap sehingga dapat bekerja secara efektif untuk menapis citra porno. 1.6 Batasan Masalah Dari rumusan masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian ini hanya dibatasi pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut : a. Bahan uji sampel adalah berasal dari pihak ketiga yang penulis dapatkan dengan mendownload gambar di internet. b. Citra adalah berupa image statis, bukan berupa video. c. Citra adalah citra natural yang belum pernah diedit ataupun diberi efek, dengan software pengolah citra.

10 d. Citra yang akan diujicoba tidak terdapat 2 macam klasifikasi data. Contoh pada klasifikasi kulit tidak boleh terdapat 2 objek secara langsung yaitu objek kulit dan objek bukan kulit (mirip warna kulit). e. Citra yang diolah bukan hasil rekayasa/ photo edit, namun murni merupakan asli hasil dari capture devices.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi internet berkembang dengan sangat pesat dan sangat mudah sekali untuk mengaksesnya. Akan tetapi, didalamnya terdapat banyak konten yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan elektronik, seperti internet, buku, dan surat kabar, saat ini mempunyai pengaruh yang sangat luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bangsa Indonesia sejak lama di kenal sebagai Bangsa yang memiliki Adat Istiadat yang serba sopan dan moral yang sopan. Walaupun demikian ternyata budaya atau kepribadian Indonesia semakin

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi senantiasa membawa dampak secara langsung maupun tidak langsung, baik itu berdampak positif maupun negatif dan akan sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum berfungsi untuk mengatur seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan berfungsi untuk menjelaskan apa yang diteliti, untuk apa dan mengapa penelitian ini dilakukan. Pada bab pendahuluan ini berisi latar belakang penelitian sistem penapis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak yang luas dalam bagaimana manusia menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak yang luas dalam bagaimana manusia menjalani hidupnya. BAB I PENDAHULUAN 1. 1.1. Latar Belakang Perkembangan infrastruktur dan penggunaan teknologi informasi memberikan dampak yang luas dalam bagaimana manusia menjalani hidupnya. Salah satunya adalah perolehan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi 6 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi? Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya. Beragam agama, ras, suku bangsa, dan berbagai golongan membaur menjadi satu dalam masyarakat.

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Setrum Volume 6, No.1, Juni 2017 p-issn : / e-issn : X

Jurnal Ilmiah Setrum Volume 6, No.1, Juni 2017 p-issn : / e-issn : X Jurnal Ilmiah Setrum Volume 6, No.1, Juni 2017 p-issn : 2301-4652 / e-issn : 2503-068X Identifikasi Konten Negatif pada Citra Digital Berbasis Tanda Vital Tubuh Menggunakan Ekstraksi Fitur GLCM dan Warna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health

BAB I PENDAHULUAN. antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health Organization), batasan usia remaja adalah

Lebih terperinci

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan

Lebih terperinci

SEMINAR BAHAYA PORNOGRAFI

SEMINAR BAHAYA PORNOGRAFI SEMINAR BAHAYA PORNOGRAFI [A. Ernest Nugroho, SMA ST. CAROLUS SURABAYA] - Berita Umum Seminar ini bertujuan Ibu/Bapak guru memahami apa itu pornografi, memahami dampak dari bahaya Pornografi kepada para

Lebih terperinci

PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RESTRICTED DOCUMENT PENANGANAN KONTEN NEGATIF BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika 1 DASAR HUKUM PENANGANAN KONTEN NEGATIF SAAT INI 1. Amanat Pasal 40 Undang-undang

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI TANGERANG,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASAMAN, Menimbang

Lebih terperinci

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2008 PORNOGRAFI. Kesusilaan Anak. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabar yang bersangkutan. Penyajian sebuah isi pesan dalam media (surat

BAB I PENDAHULUAN. kabar yang bersangkutan. Penyajian sebuah isi pesan dalam media (surat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berita merupakan isi utama dalam sebuah media (surat kabar). Isi berita yang baik dan berkualitas akan berdampak baik pula bagi surat kabar yang bersangkutan.

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

1. Para Penyedia Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over

1. Para Penyedia Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA Kepada Yang Kami Hormati 1. Para Penyedia Layanan Aplikasi Dan/Atau Konten Melalui Internet (Over the Top) 2. Para Penyelenggara Telekomunikasi SURAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Melihat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang cukup besar

Lebih terperinci

Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET

Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET Draft WALIKOTA MEDAN PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR: TENTANG PERIZINAN USAHA WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini akan diuraikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR. PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

BUPATI BLITAR. PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Deteksi kulit manusia berperan penting dan digunakan secara luas sebagai langkah awal pada aplikasi pengolahan citra seperti gesture analysis, content based

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR. 19 TAHUN 2014 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS RANCANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Lembar Fakta. Diskusi tentang Antara Perlindungan dan Pembatasan: Pengawasan Isi Siaran Bermuatan Seksualitas dan Perempuan Jakarta, 18 Desember 2013

Lembar Fakta. Diskusi tentang Antara Perlindungan dan Pembatasan: Pengawasan Isi Siaran Bermuatan Seksualitas dan Perempuan Jakarta, 18 Desember 2013 Lembar Fakta Diskusi tentang Antara Perlindungan dan Pembatasan: Pengawasan Isi Siaran Bermuatan Seksualitas dan Perempuan Jakarta, 18 Desember 2013 Seksualitas dalam Sanksi Administratif KPI Tahun 2012

Lebih terperinci

1BAB I. 2PENDAHULUAN

1BAB I. 2PENDAHULUAN 1BAB I. 2PENDAHULUAN 2.1. Latar Belakang Pelacak objek (object tracking) pada saat ini merupakan penelitian yang menarik dalam bidang computer vision. Pelacak objek merupakan langkah awal dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PORNOGRAFI PADA SISWA KELAS VIII DI SMPN 5 LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PORNOGRAFI PADA SISWA KELAS VIII DI SMPN 5 LEMBANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa depan bangsa dan negara terletak dipundak dan tanggung jawab remaja.jika mereka berkembang dengan peningkatan kualitas yang semakin membaik, besar

Lebih terperinci

1. Pada pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi UU

1. Pada pasal 1 ayat 1 Undang Undang No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi UU Hasil wawancara dengan Bapak Wina Armada Sukardi, Jabatan Ketua Komisi Hukum dan Perundang Undangan, pada hari Rabu, 27 Juli 2011, di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jl. Kebon Sirih No. 32 34, Jakarta 10110 1.

Lebih terperinci

a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Perguruan tinggi II. Pertanyaan tentang Pengetahuan 1. Menurut anda apakah yang dimaksud dengan internet?

a. Tidak sekolah b. SD c. SMP d. SMU e. Perguruan tinggi II. Pertanyaan tentang Pengetahuan 1. Menurut anda apakah yang dimaksud dengan internet? No. Responden : Umur : tahun Kelas/jurusan : Jenis kelamin : L/P Tempat tinggal : Uang saku : Rp. Perhari Pendidikan terakhir Orangtua : Pendidikan terakhir Ayah Ibu Pekerjaan Orangtua : Penghasilan Orang

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR TENTANG IZIN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR TENTANG IZIN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Draft BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR TENTANG IZIN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyediaan jasa warung internet yang berkualitas, berdayaguna

Lebih terperinci

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURAKARTA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PARENTING DALAM BER-INTERNET SEHAT UNTUK ANAK (Kasus Pornografi)

PARENTING DALAM BER-INTERNET SEHAT UNTUK ANAK (Kasus Pornografi) PARENTING DALAM BER-INTERNET SEHAT UNTUK ANAK (Kasus Pornografi) Syarifah Fatimah Abstrak Parenting Islam terkait dengan tanggung jawab kedua orang tua terhadap anak, karena anak adalah amanah, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra digital telah digunakan secara luas pada era modern seperti sekarang ini, citra digital banyak dimanfaatkan untuk merekam informasi, komunikasi dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR: 27 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA WARUNG INTERNET DAN GAME ONLINE DI KABUPATEN SRAGEN

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR: 27 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA WARUNG INTERNET DAN GAME ONLINE DI KABUPATEN SRAGEN SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR: 27 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA WARUNG INTERNET DAN GAME ONLINE DI KABUPATEN SRAGEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. b.

Lebih terperinci

DETEKSI CITRA PORNOGRAFI MENGGUNAKAN TSL COLOR SPACE DAN NUDITY DETECTION ALGORITHM

DETEKSI CITRA PORNOGRAFI MENGGUNAKAN TSL COLOR SPACE DAN NUDITY DETECTION ALGORITHM DETEKSI CITRA PORNOGRAFI MENGGUNAKAN TSL COLOR SPACE DAN NUDITY DETECTION ALGORITHM Sani Muhamad Isa 1), Febri Mariana 2) Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Tarumanagara 1,2) Jl. Letjen S. Parman

Lebih terperinci

PEMBUATAN WEB SERVICE SEBAGAI LAYANAN PENDETEKSI KONTEN PORNOGRAFI PADA CITRA DIGITAL DENGAN METODE IMAGE ZONING

PEMBUATAN WEB SERVICE SEBAGAI LAYANAN PENDETEKSI KONTEN PORNOGRAFI PADA CITRA DIGITAL DENGAN METODE IMAGE ZONING PEMBUATAN WEB SERVICE SEBAGAI LAYANAN PENDETEKSI KONTEN PORNOGRAFI PADA CITRA DIGITAL DENGAN METODE IMAGE ZONING Oleh: Lourensius Bisma (5210100155) Dosen Pembimbing: Dr.Eng. Febriliyan Samopa, S.Kom.,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi internet memunculkan berbagai metode komunikasi yang mudah, murah, dan cepat. Salah satu media yang paling populer dan sangat cepat berkembang

Lebih terperinci

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Program Studi Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang Abstrak. Saat ini, banyak sekali alternatif dalam

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN 21 BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN Bab ini akan membahas tentang implementasi metode yang digunakan untuk mengenali gerakan tangan manusia. Adapun 2 (dua) tahap yang akan dibahas pada bab ini, yaitu tahap

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Berikut adalah beberapa definisi dari citra, antara lain: rupa; gambar; gambaran (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sebuah fungsi dua dimensi, f(x, y), di mana x dan y adalah

Lebih terperinci

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI 41 BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI A. Menurut Peraturan Sebelum Lahirnya UU No. 44 Tahun 2008

Lebih terperinci

APLIKASI PENGHITUNG JUMLAH WAJAH DALAM SEBUAH CITRA DIGITAL BERDASARKAN SEGMENTASI WARNA KULIT

APLIKASI PENGHITUNG JUMLAH WAJAH DALAM SEBUAH CITRA DIGITAL BERDASARKAN SEGMENTASI WARNA KULIT MAKALAH SEMINAR TUGAS AKHIR APLIKASI PENGHITUNG JUMLAH WAJAH DALAM SEBUAH CITRA DIGITAL BERDASARKAN SEGMENTASI WARNA KULIT Rizki Salma*, Achmad Hidayatno**, R. Rizal Isnanto** 1 Sistem deteksi wajah, termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang ada dilingkungan masyarakat. Event-event yang diselenggarakan biasanya menyajikan hiburan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi

I. PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat diimbangi dengan perkembangan hukum yang begitu lambat dan relatif labil. Beberapa permasalahan hukum terkadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan-perubahan yang dramatis. Perubahan-perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan-perubahan yang dramatis. Perubahan-perubahan tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah suatu tahap dalam perkembangan di mana seseorang mengalami perubahan-perubahan yang dramatis. Perubahan-perubahan tersebut terutama ditandai oleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sudah tidak diragukan lagi bahwa penerapan teknologi komputer dan teknologi informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Sudah tidak diragukan lagi bahwa penerapan teknologi komputer dan teknologi informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah tidak diragukan lagi bahwa penerapan teknologi komputer dan teknologi informasi telah memiliki pengaruh sampai ke fondasi kehidupan sehari-hari manusia.

Lebih terperinci

Sistem Deteksi Wajah dengan Menggunakan Metode Viola-Jones

Sistem Deteksi Wajah dengan Menggunakan Metode Viola-Jones Sistem Deteksi Wajah dengan Menggunakan Metode Viola-Jones M. Dwisnanto Putro Mahasiswa Magister Instrumentasi Teguh Bharata Adji Staf Pengajar Jurusan Teknik Bondhan Winduratna Staf Pengajar Jurusan Teknik

Lebih terperinci

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, Konsultasi Publik RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYEDIAAN LAYANAN APLIKASI DAN/ATAU KONTEN MELALUI INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat

BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI. menawarkan pencarian citra dengan menggunakan fitur low level yang terdapat BAB 3 PROSEDUR DAN METODOLOGI 3.1 Permasalahan CBIR ( Content Based Image Retrieval) akhir-akhir ini merupakan salah satu bidang riset yang sedang berkembang pesat (Carneiro, 2005, p1). CBIR ini menawarkan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penlitian eksperimen, dengan tahapan penelitian sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data Tahap ini dilakukan sebagai langkah

Lebih terperinci

Bab III ANALISIS&PERANCANGAN

Bab III ANALISIS&PERANCANGAN 3.1 Analisis Masalah Bab III ANALISIS&PERANCANGAN Pada penelitian sebelumnya yaitu ANALISIS CBIR TERHADAP TEKSTUR CITRA BATIK BERDASARKAN KEMIRIPAN CIRI BENTUK DAN TEKSTUR (A.Harris Rangkuti, Harjoko Agus;

Lebih terperinci

3. BAB III METODE PENELITIAN

3. BAB III METODE PENELITIAN 3. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimen, dengan tahapan penelitian sebagai berikut: 1. Pengumpulan data Tahap ini dilakukan sebagai langkah

Lebih terperinci

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.Pornografi adalah materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia, pornografi dalam pengertian sekarang adalah penyajian tulisan, patung, gambar, foto, gambar hidup (film) atau rekaman

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. kanker payudara apakah tergolong normal atau abnormal (benign atau malignant)

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. kanker payudara apakah tergolong normal atau abnormal (benign atau malignant) BAB 4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1 Spesifikasi Sistem Sistem aplikasi yang kami kembangkan adalah sistem pengklasifikasian jenis kanker payudara apakah tergolong normal atau abnormal (benign atau malignant)

Lebih terperinci

BUPATI MIMIKA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MIMIKA NOMOR 9 TAHUN 2O13 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA WARUNG INTERNET

BUPATI MIMIKA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MIMIKA NOMOR 9 TAHUN 2O13 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA WARUNG INTERNET BUPATI MIMIKA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MIMIKA NOMOR 9 TAHUN 2O13 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA JASA WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MIMIKA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa perkembangan

Lebih terperinci

Kata kunci : citra, pendeteksian warna kulit, YCbCr, look up table

Kata kunci : citra, pendeteksian warna kulit, YCbCr, look up table Pendeteksian Warna Kulit berdasarkan Distribusi Warna YCbCr Elrica Pranata / 0422002 Email : cha_nyo2@yahoo.com Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Kristen Marantha Jalan Prof. Suria Sumantri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang sangat populer saat ini. Dengan ilmu pengetahuan ini, teknologi di

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang sangat populer saat ini. Dengan ilmu pengetahuan ini, teknologi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang sangat populer saat ini. Dengan ilmu pengetahuan ini, teknologi di dunia

Lebih terperinci

Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Perlindungan HAM dalam berinternet Resolusi 20/8 yang dikeluarkan oleh Dewan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan pengetahuan dibidang kecerdasan buatan sedemikian

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan pengetahuan dibidang kecerdasan buatan sedemikian 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pengetahuan dibidang kecerdasan buatan sedemikian pesatnya, seperti penelitian segmentasi dokumen. Segmentasi dokumen membuat pengguna menjadi mudah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan tentang latar belakang penelitian dibuat, rumusan masalah, batasan masalah yang akan dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang

Lebih terperinci

PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG PERATURAN POLITEKNIK NEGERI BANDUNG NOMOR: 2273/PL1.R/KM/2012 TENTANG KEDISIPLINAN MAHASISWA DIREKTUR POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Menimbang : a. bahwa Politeknik Negeri Bandung (POLBAN) sebagai perguruan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Praproses Data Kegiatan pertama dalam penelitian tahap ini adalah melakukan pengumpulan data untuk bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa modern ini masih banyak terdapat kenakalan remaja di tengahtengah masyarakat khususnya masyarakat di daerah perkotaan. Kenakalan remaja meliputi semua perilaku

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. Surabaya, kegiatan prostitusi di lokalisasi prostitusi Dolly merupakan kegiatan

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. Surabaya, kegiatan prostitusi di lokalisasi prostitusi Dolly merupakan kegiatan BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Masyarakat Surabaya menolak atau tidak mendukung

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH FREKUENSI MENONTON BLUE FILM TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA

ANALISIS PENGARUH FREKUENSI MENONTON BLUE FILM TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA Prosiding Seminar Nasional Volume 02, Nomor 1 ISSN 2443-1109 ANALISIS PENGARUH FREKUENSI MENONTON BLUE FILM TERHADAP HASIL BELAJAR MAHASISWA Andi Nurhayati 1, Laras Wangi 2, Bobby Poerwanto 3 Mahasiswa

Lebih terperinci

Chapter 12. Ocvita Ardhiani Komunikasi Multimedia

Chapter 12. Ocvita Ardhiani Komunikasi Multimedia Chapter 12 Ocvita Ardhiani Komunikasi Multimedia Pengertian Media Sosial Medsos bisa dikatakan sebagai sebuah media online, di mana para penggunanya (user) melalui aplikasi berbasis internet dapat berbagi,

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. Jones, kami membuat sebuah aplikasi sederhana, dengan spesifikasi perangkat lunak

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI. Jones, kami membuat sebuah aplikasi sederhana, dengan spesifikasi perangkat lunak BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI 4.1 Aplikasi Pengujian Untuk menguji kecepatan dan keakuratan metode pendeteksian wajah Viola Jones, kami membuat sebuah aplikasi sederhana, dengan spesifikasi perangkat

Lebih terperinci

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data.

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data. 6 2.Landasan Teori 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data. Informasi Multi Media pada database diproses untuk mengekstraksi fitur dan gambar.pada proses pengambilan, fitur dan juga atribut atribut

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan infrastruktur teknologi informasi dan penggunaannya berdampak luas dalam bagaimana manusia menjalani hidupnya. Salah satunya adalah dalam memperoleh

Lebih terperinci

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX

SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SINERGI KAWAL INFORMASI UNTUK MENANGKAL BERITA HOAX (BACA, TELITI, DAN KONFIRMASI : BUDAYAKAN BIJAK DALAM LITERASI) Madiunkota.go.id Pemerintah Kota Madiun LPPL Radio Suara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI...

BAB II LANDASAN TEORI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN HASIL TESIS... iii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iv PERSEMBAHAN... v MOTTO... vi KATA PENGANTAR... vii SARI...

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN WARUNG INTERNET

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN WARUNG INTERNET LEMBARAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN, PENGENDALIAN, DAN PENGAWASAN WARUNG INTERNET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS,

Lebih terperinci

PENGAMAN RUMAH DENGAN SISTEM FACE RECOGNITION SECARA REAL TIME MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

PENGAMAN RUMAH DENGAN SISTEM FACE RECOGNITION SECARA REAL TIME MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS PENGAMAN RUMAH DENGAN SISTEM FACE RECOGNITION SECARA REAL TIME MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS Sinar Monika 1, Abdul Rakhman 1, Lindawati 1 1 Program Studi Teknik Telekomunikasi, Jurusan

Lebih terperinci

Absurditas Penegakan Hukum dalam Kasus Video Mirip Artis Oleh: Sam Ardi*

Absurditas Penegakan Hukum dalam Kasus Video Mirip Artis Oleh: Sam Ardi* Absurditas Penegakan Hukum dalam Kasus Video Mirip Artis Oleh: Sam Ardi* Indonesia diguncang dengan video mirip artis yang sedang melakukan hubungan intim. Video yang disebarkan oleh seseorang tidak bertanggungjawab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pengenalan wajah adalah aplikasi dari pengolahan citra yang dapat mengidentifikasi seseorang melalui citra digital atau frame video. Sistem pengenalan wajah

Lebih terperinci

APLIKASI IDENTIFIKASI ISYARAT TANGAN SEBAGAI PENGOPERASIAN E-KIOSK

APLIKASI IDENTIFIKASI ISYARAT TANGAN SEBAGAI PENGOPERASIAN E-KIOSK APLIKASI IDENTIFIKASI ISYARAT TANGAN SEBAGAI PENGOPERASIAN E-KIOSK Wiratmoko Yuwono Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Elektronika Negeri Surabaya-ITS Jl. Raya ITS, Kampus ITS, Sukolilo Surabaya 60111

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ 2010. TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

ALAT BANTU PEMBELAJARAN MATA KULIAH COMPUTER VISION PADA MATERI EDGE BASED SEGMENTASI CITRA BERBASIS MULTIMEDIA

ALAT BANTU PEMBELAJARAN MATA KULIAH COMPUTER VISION PADA MATERI EDGE BASED SEGMENTASI CITRA BERBASIS MULTIMEDIA ALAT BANTU PEMBELAJARAN MATA KULIAH COMPUTER VISION PADA MATERI EDGE BASED SEGMENTASI CITRA BERBASIS MULTIMEDIA 1 Achmad Sahri Ramdhani (07018037), 2 Murinto (0510077302) 1,2 Program Studi Teknik Informatika

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar) RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar) I. PARA PEMOHON 1. Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi diwakili

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Iris mata merupakan salah satu organ internal yang dapat di lihat dari luar. Selaput ini berbentuk cincin yang mengelilingi pupil dan memberikan pola warna pada mata

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR,

PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 3 Tahun 2013 TENTANG IJIN USAHA WARUNG INTERNET (WARNET) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi informasi

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN BAB 1 Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Di zaman modern ini, komputer memegang peranan yang sangat penting. Dengan komputer kita dapat mengatur segala sesuatu yang kita perlukan.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan pemrosesan data untuk sistem pendeteksi senyum pada skripsi ini, meliputi metode Viola Jones, konversi citra RGB ke grayscale,

Lebih terperinci

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Pengolahan Citra / Image Processing : Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Teknik pengolahan citra dengan mentrasformasikan citra menjadi citra lain, contoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku seksual di kalangan remaja cukup menjadi sorotan akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku seksual di kalangan remaja cukup menjadi sorotan akhir-akhir ini, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku seksual di kalangan remaja cukup menjadi sorotan akhir-akhir ini, salah satu sebabnya adalah makin banyaknya kasus-kasus perilaku seksual yang melibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deteksi wajah pada suatu citra merupakan bagian yang penting dalam perkembangan sistem pengenalan wajah (Face Recognition). Pengenalan wajah banyak digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sentimen dari pengguna aplikasi android yang memberikan komentarnya pada fasilitas user review

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan yang baik dapat dilihat dari hasil pembelajaran yang dilakukan melalui ujian atau tes. Tipe ujian atau latihan dapat dilakukan dengan berbagai

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR...

LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR... DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN JUDUL... ii PERNYATAAN... iii LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR... iv BERITA ACARA TUGAS AKHIR... v KATA PENGANTAR... vi ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan teknologi jaringan sebagai media komunikasi data terus meningkat

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan teknologi jaringan sebagai media komunikasi data terus meningkat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan teknologi jaringan sebagai media komunikasi data terus meningkat dan berkembang terutama dalam bidang jaringan internet yang mana merupakan suatu jaringan

Lebih terperinci

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS Bab ini akan membahas tentang pengujian dan analisis sistem. Pada pengujian akan dijelaskan tentang kriteria pengujian serta analisis dari pengujian 4.1. Kriteria Pengujian

Lebih terperinci

APLIKASI PENGHAPUSAN BAYANGAN PADA IMAGE DENGAN MENGGUNAKAN METODE FUZZY C-MEANS (FCM) SKRIPSI

APLIKASI PENGHAPUSAN BAYANGAN PADA IMAGE DENGAN MENGGUNAKAN METODE FUZZY C-MEANS (FCM) SKRIPSI APLIKASI PENGHAPUSAN BAYANGAN PADA IMAGE DENGAN MENGGUNAKAN METODE FUZZY C-MEANS (FCM) SKRIPSI OLEH: FARIS SANTA EKA WIARTA NPM : 0736010025 JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI - FTI UNIVERSITAS

Lebih terperinci