Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ""

Transkripsi

1

2 s. go.id PROFIL KOMUTER ht tp :// w w w.b p SUPAS 2005 BADAN PUSAT STATISTIK, Jakarta Indonesia

3 PROFIL KOMUTER SUPAS 2005 ISSN : ISSN : Katalog BPS : No. Publikasi : Ukuran Buku : 16,5 cm x 22 cm Naskah : Sub Direktorat Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja Gambar Kulit : Sub Direktorat Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja Diterbitkan oleh : Badan Pusat Statistik Dicetak oleh : CV. Dharma Putra

4 TIM PENULIS PROFIL KOMUTER SUPAS 2005 Pengarah Editor : Wendy Hartanto : Rini Savitridina Tri Windiarto Ika Luswara Penulis : Dendi Handiyatmo Pengolah Data : Dendi Handiyatmo Rismintoni Perapian Naskah : Rohaeti

5 KATA PENGANTAR Pola mobilitas penduduk di Indonesia telah mengalami pergeseran dari mobilitas permanen menuju mobilitas non permanen. Salah satu bentuk mobilitas non permanen yang mengalami pertumbuhan adalah komuter, dimana keberadaannya semakin menonjol terutama pada kota-kota besar dan sekitarnya. Pada tahun 2005, BPS telah melakukan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) yang menghasilkan data kependudukan diantaranya data mengenai komuter dan dapat disajikan sampai level kabupaten/kota. Hingga saat ini, data dan informasi tentang komuter masih merupakan sesuatu yang langka di Indonesia. Publikasi Profil Komuter ini menyajikan data dan informasi mengenai komuter hasil SUPAS Pembahasan yang dilakukan meliputi: pola dan karakteristik komuter secara nasional, provinsi dan 6 kabupaten/kota yang merupakan kantong komuter. Diharapkan publikasi ini dapat memperkaya informasi mengenai komuter serta dapat memenuhi kebutuhan pengguna data dan berbagai pihak terkait. Kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian buku ini disampaikan terima kasih. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan dan penyempurnaan di masa mendatang. Jakarta, November 2009 Kepala Badan Pusat Statistik, DR. Rusman Heriawan iii

6 iv

7 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman BAB 1 BAB 2 BAB 3 BAB 4 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan dan Manfaat Sistematika Penyajian METODOLOGI 2.1 Sumber Data Kerangka Sampel Pengumpulan Data Konsep Kumuter Definisi Operasional METODE PENULISAN 3.1 Keadaan Penduduk Indonesia Komuter di Indonesia Struktur Umur dan Rasio Jenis Kelamin Status Perkawinan Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Jenis Kegiatan Utama Komuter di Provinsi PEMBAHASAN DAN ANALISIS 4.1 Keadaan Penduduk di 6 Kabupaten/Kota Keadaan Komuter di 6 Kabupaten/Kota v

8 4.2.1 Rasio Jenis Kelamin Kelompok Umur Status Perkawinan Pendidikan yang Ditamatkan Kegiatan Utama Jarak dan Waktu Tempuh Jenis Transportasi yang Digunakan. 46 BAB 5 PENUTUP Penutup Saran 69 vi

9 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Keadaan Penduduk Indonesia, Tahun Tabel 3.2 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan Tabel 3.3 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur dan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Tabel 3.4 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur dan Jenis Kegiatan Utama yang Dilakukan Tabel 3.5 Persentase Penduduk 5 Tahun ke Atas yang Melakukan Kegiatan Rutin di Luar Kab/Kota menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tabel 3.6 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur Tabel 3.7 Persentase Komuter menurut Provinsi dan Status Perkawinan Tabel 3.8 Persentase Komuter menurut Provinsi dan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Tabel 3.9 Persentase Komuter menurut Provinsi dan Kegiatan Utama Tabel 4.1 Distribusi Penduduk di 6 Kabupaten/Kota menurut Rasio Jenis Kelamin, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk Tabel 4.2 Jumlah dan Persentase Penduduk 5 Tahun Keatas menurut Kabupaten/Kota, Status Komuter dan Jenis Kelamin Tabel 4.3 Distribusi Jumlah Komuter Bodetabek Menuju Jakarta Tahun 2001 dan Tabel 4.4 Persentase Komuter di 6 Kabupaten/Kota menurut Status Perkawinan Tabel 4.5 Persentase Komuter di 6 Kabupaten/Kota menurut Pendidikan Tertinggi Tabel 4.6 Persentase Komuter di 6 Kabupaten/Kota menurut Kegiatan Utama Tabel 4.7 Persentase Komuter di 6 Kabupaten/Kota yang Bekerja menurut vii

10 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Status Pekerjaan Utama Persentase Komuter di 6 Kabupaten/Kota menurut Lama 45 Perjalanan ke Tempat Kegiatan... Persentase Komuter di 6 Kabupaten/Kota menurut Jenis 47 Transportasi yang digunakan... Persentase Komuter di 3 Kota menurut Jenis Transportasi yang Digunakan, viii

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Bagan Pohon Data Komuter... 9 Gambar 3.1 Jumlah Komuter menurut Kelompok Umur dan Jenis 20 Kelamin, Tahun Gambar 4.1 Jumlah Komuter di 6 Kabupaten/Kota menurut Kelompok Umur ix

12 x

13 DAFTAR TABEL LAMPIRAN Halaman Tabel Lampiran 01 Penduduk 5 Tahun ke Atas yang Melakukan Kegiatan Rutin di Luar Kab/Kota Tempat Tinggalnya menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Tabel Lampiran 02 Distribusi Persentase Komuter menurut Provinsi dan Kelompok Umur Tabel Lampiran 03 Distribusi Penduduk 5 Tahun Keatas menurut Status omuter dan Jenis Kelamin di 6 Kab/Kota Tabel Lampiran 04 Distribusi Komuter di 6 Kab/Kota menurut Kelompok Umur Tabel Lampiran 05 Distribusi Komuter di 6 Kab/Kota menurut Status Perkawinan Tabel Lampiran 06 Distribusi Komuter di 6 Kab/Kota menurut Jenis Kegiatan Utama yang Dilakukan Tabel Lampiran 07 Distribusi Komuter di 6 Kab/Kota menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Tabel Lampiran 08 Distribusi Persentase Komuter di 6 Kab/Kota menurut Tabel Lampiran 09 Lama Perjalanan ke Tempat Kegiatan Distribusi Komuter di 6 Kab/Kota menurut Jenis Transportasi yang Biasa Digunakan Ke dan Dari Tempat Kegiatan xi

14 BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian tentang mobilitas yang berkaitan dengan pindah tempat tinggal (migrate) berbeda dengan pengertian tentang mobilitas berkaitan dengan gerak (move). Dalam hal ini terdapat dua kategori mobilitas yaitu mobilitas permanen dan mobilitas non permanen. Di Indonesia konsep mobilitas permanen atau migrasi masih menggunakan konsep internal migration sebagai mana disarankan oleh United Nation (PBB). Hal ini tercermin pada pertanyaaan yang digunakan dalam sensus penduduk dan survei lain yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Dengan konsep ini, mobilitas permanen memiliki penekanan pada dua unsur pokok yaitu permanenitas (adanya dimensi waktu) dan unit geografi (adanya batas daerah). Kedua unsur tersebut mempunyai nilai yang berbeda yaitu dimensi waktu digunakan periode enam bulan dan batas geografi didasarkan pada batas wilayah administratif kabupaten/kota dan batas provinsi. Suatu bentuk pergerakan penduduk secara geografi atau mobilitas keruangan yang menyangkut perubahan tempat kediaman secara permanen antar unit-unit geografi tertentu disebut migrasi (Shryock dan Siegel, 1971). Saefullah (1999) menerangkan migrasi mengakibatkan perubahan alamat pada orang yang melakukannya. Menurut Mantra dan Sunarto (1988) perbedaan mobilitas permanen dan mobilitas non permanen terletak pada ada atau tidaknya niat untuk bertempat tinggal menetap di daerah tujuan. Mobilitas permanen dapat dikatakan bertujuan pindah tempat tinggal secara tetap dan mobilitas non permanen tidak mempunyai tujuan pindah tetapi memiliki tempat aktifitas yang berbeda dengan tempat tinggalnya. 1

15 Mobilitas non permanen dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan aspek rutinitas yaitu sirkuler (mobilitas sirkulasi) dan komuter (mobilitas ulang alik). Disebut mobilitas sirkulasi bila penduduk yang melakukan perpindahan sejak semula sudah bermaksud untuk kembali ke daerah asalnya (Gould dan Prothero, 1975). Sedangkan komuter adalah pergerakan yang dilakukan dalam waktu satu hari dengan melintasi batas wilayah dan kembali ketempat asal (Mantra 1981). Beberapa istilah telah digunakan untuk menyebut komuter diantaranya ada yang menyebut mobilitas ulang alik dan istilah ini digunakan di banyak literatur. Mantra (1981) menyebutnya sebagai penglaju dan menyatakan bahwa penduduk melakukan perjalanan dan meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat lain, mereka akan selalu berusaha untuk kembali pada hari itu juga. Sedangkan Saefullah (1999) menyebutkan istilah ngadugdag untuk menerangkan komuter dan memberi definisi suatu gerak perpindahan penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan dalam waktu tidak lebih dari dua puluh empat jam. Mobilitas non permanen merupakan keputusan individu maupun rumah tangga dalam menentukan lokasi tempat kerja dan tempat tinggalnya. Rumah tangga menentukan lokasi tempat tinggal dan tempat kerjanya untuk memaksimalkan fungsi utilitasnya. Begitu pun secara individu, pekerja akan menetapkan lokasi kerjanya untuk memaksimalkan fungsi utilitasnya, dengan memperhatikan gradiasi upah dan gradiasi harga pasar perumahan (White, 1986). 1.1 Latar Belakang Pola mobilitas di Indonesia telah diwarnai pergeseran dari mobilitas permanen (migrasi) menuju mobilitas non permanen baik mobilitas sirkuler maupun komuter. Salah satu bentuk mobilitas non permanen yang mengalami pertumbuhan adalah komuter dimana keberadaannya semakin menonjol terutama pada kota-kota besar dan sekitarnya. Karena sifatnya yang non permanen maka keberadaaan komuter tidak mempengaruhi jumlah penduduk secara administratif namun mempengaruhi penggunaan keberadaan fasilitas-fasilitas umum dan sosial pada daerah tujuan. Pada 2

16 daerah yang menjadi tujuan komuter timbul istilah penduduk siang dan penduduk malam. Penduduk siang dipengaruhi oleh komuter yang datang pada pagi hari atau siang hari untuk melakukan bekerja, sekolah atau lainnya dan diwaktu sore atau malam komuter kembali ke daerah tempat tinggalnya. Dari waktu ke waktu pola mobilitas penduduk di Indonesia berubah dari mobilitas yang relatif permanen ke mobilitas yang relatif tidak permanen. Bisa dikatakan mobilitas non permanen merupakan strategi kompromi antara migrasi dan tidak pindah. Pelaku mobilitas non permanen akan mempengaruhi pasar kerja, pola konsumsi, pola produksi, dan pola pembiayaan daerah yang mereka datangi (Ananta dan Chotib, 1998). Keberadaan komuter akan membawa pengaruh terhadap kehidupan ekonomi dan sosial budaya dari penduduk daerah tujuan maupun daerah asal. Perilaku masyarakat yang ditemui komuter di daerah tujuan akan dibawa kembali pada masyarakat di daerah asalnya. Sementara itu kebiasaan-kebiasaan yang terdapat pada daerah asal komuter juga akan terbawa ke daerah tujuan. Masalah komuter berkaitan dengan adanya ketidakcocokan antara tempat tinggal dan tempat bekerja. Hugo (1981) membedakan komuter dengan melihat daerah tempat tinggalnya. Pertama Autochthonous Commuters adalah penduduk asli luar kota yang melakukan komutasi ke kota untuk bekerja disebabkan oleh faktor ekonomi juga didorong oleh faktor budaya. Disatu pihak mereka enggan tinggal jauh dari lingkungan keluarga dan sanak famili, dilain pihak mereka membutuhkan kota untuk mencari nafkah dan penghasilan yang lebih baik. Dengan adanya transportasi yang makin lancar mereka cenderung untuk tetap tinggal menetap di desa dan tiap hari pergi ke daerah tujuan untuk bekerja. Kedua Allochthonous Commuters adalah penduduk yang sebelumnya tinggal di kota namun karena alasan-alasan tertentu pindah dan menetap di luar kota, namun tetap bekerja dengan jalan melakukan komuter. Allochthonous commuters merupakan bagian dari proses sub-urbanisasi dimana terjadi perpindahan penduduk dari pusat kota ke pinggiran atau luar kota 3

17 dengan tujuan untuk mendapatkan perumahan yang cukup baik dengan biaya yang relatif murah dan lingkungan yang bersih dan sehat. Komuter merupakan kompromi dari keputusan melakukan migrasi (mobilitas permanen) dan tidak melakukan migrasi, pelakunya mempertimbangkan untung dan rugi. Kegiatan komutasi merupakan suatu alternatif bagi pekerja yang bertempat tinggal di daerah asal tidak terlalu jauh dari daerah tujuan dimana berlaku upah di daerah asal rendah dan upah di daerah tujuan tinggi. Makin dekat ke daerah tujuan biaya komutasi cenderung makin kecil daripada selisih upah antara daerah asal dan daerah tujuan. Dalam hal ini jarak yang merupakan fungsi dari biaya menjadi pertimbangan pelaku dalam menentukan pola mobilitas. Bentuk dan pola komuter juga ditentukan oleh ketersediaan pekerjaan atau kesempatan kerja, ukuran kota, adanya perbedaan harga perumahan didaerah asal dan daerah tujuan. Keberadaan industri juga akan mempengaruhi pola komutasi terutama kebijakan perusahaan dalam merekrut pekerja. Pada daerah yang terdapat kesenjangan penyerapan tenaga kerja maka alasan komuter adalah untuk bekerja sedangkan pada daerah yang terdapat kesenjangan dalam hal keberadaaan fasilitas sosial dan umum alasan komuter adalah lainnya. Adanya ketimpangan pembangunan ekonomi juga memicu perbedaan harga lahan sehingga penyediaan sarana perumahan yang membutuhkan harga yang rendah makin menjauh dari lokasi-lokasi pusat kegiatan ekonomi. Munculnya pemukimanpemukiman baru yang berada di pinggiran menyebabkan penduduk menghadapi perjalanan yang semakin panjang untuk melakukan komuter. Keberadaan komuter juga membutuhkan infrastruktur dan sarana transportasi yang menghubungkan antar daerah. Perkembangan teknologi, biaya yang murah, akses yang mudah dan perjalanan yang cepat semakin mendukung perjalanan pergi dan pulang bagi komuter. Dewasa ini keberadaan komuter semakin menonjol terutama didukung oleh sarana angkutan umum yang cukup dan kepemilikan rumah tangga atas kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Membaiknya infrastruktur jalan juga semakin memudahkan perjalanan sampai ke daerah pelosok. 4

18 Keberadaan informasi mobilitas permanen (migrasi) yang kaya berbeda dengan informasi tentang komuter di Indonesia yang masih langka, terutama berkaitan dengan penelitian kuantitatif sehingga diperlukan lebih banyak penelitian dan pengkajian untuk dapat memberikan potret yang sebenarnya mengenai keadaan komuter. Untuk itu dalam Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2005 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik telah memasukkan pertanyaan tentang komuter di Indonesia dan data ini dapat disajikan dalam skala kabupaten atau kota. 1.2 Tujuan dan Manfaat Informasi tentang mobilitas ulang alik di Indonesia masih langka dan studistudi yang tersedia masih terbatas pada jumlah, pola, karakteristik dan hanya pada cakupan wilayah yang kecil. Oleh karena itu studi ini bermaksud menambah literatur komuter di Indonesia. Secara garis besar profil ini bertujuan memberikan informasi secara umum berkaitan dengan komuter, yaitu meliputi: 1. Pola komuter di Indonesia 2. Karakteristik demografi pelaku komuter 3. Alasan melakukan komutasi 4. Jenis pekerjaan utama dan lapangan usaha komuter 5. Lama perjalanan komuter ke tempat kegiatan 6. Jenis transportasi yang biasa digunakan komuter Manfaat yang dapat dipetik dari profil ini selain memperkaya informasi mengenai mobilitas non permanen khususnya komuter, juga dapat digunakan antara lain sebagai bahan penyusunan kebijakan transportasi dan pemukiman penduduk. Bagi Badan Pusat Statistik sebagai penyelenggara survei kiranya dapat menjadi bahan evaluasi kegiatan dan rujukan untuk survei berikutnya. Berbagai temuan berkaitan dengan hasil survei ini dapat dijadikan rekomendasi untuk memperbaiki dan menempurnakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan komuter. 5

19 1.3 Sistematika Penyajian Profil ini disajikan dalam lima bab, dimana bab pertama menguraikan tentang latar belakang yang menjelaskan perlunya profil ini dibuat. Bab ini juga menjelaskan tentang tujuan, manfaat dan sistematika penulisan. Pada bab kedua diuraikan secara lengkap tentang metodologi dimana sumber data yang digunakan, kerangka sampel serta metode pengumpulan data akan dijelaskan secara rinci. Hal yang berkaitan dengan pengolahan data dan konsep maupun definisi operasional tentang komuter juga dapat dijumpai pada bab ini. Profil mengenai komuter di Indonesia dibahas dalam bab tiga, yang diantaranya menerangkan keadaan penduduk Indonesia pada tahun Untuk mempermudah pemahaman tentang komposisi penduduk juga ditampilkan struktur umur dan jenis kelamin. Karakteristik demografi lainnya seperti status perkawinan, pendidikan dan jenis kegiatan utama komuter pada provinsi-provinsi di Indonesia juga melengkapi profil komuter ini. Untuk profil mengenai komuter di beberapa kota di Indonesia dibahas dalam bab empat, yang diantaranya menerangkan keadaan penduduk kota tersebut pada tahun Pemahaman tentang komposisi penduduk juga menampilkan struktur umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan jenis kegiatan utama komuter. Analisis juga dilengkapi dengan lama perjalanan dan jenis transportasi yang biasa digunakan. Penutup disampaikan pada bab kelima. Sebagai bab terakhir terdapat kesimpulan untuk keseluruhan wilayah Indonesia maupun kesimpulan dari beberapa kota yang dipilih berdasarkan jumlah komuter terbanyak. Selain itu pada bab ini juga disampaikan saran-saran. 6

20 BAB 2 METODOLOGI 2.1. Sumber Data Profil ini menggunakan data SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 2005 yang dirancang untuk mendapatkan data stastistik kependudukan yang dapat dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk SUPAS merupakan sumber data pertengahan periode antara dua sensus penduduk dan telah dilakukan sebanyak empat kali yaitu tahun 1976, 1985, 1995 dan Keistimewaan data SUPAS 2005 memberikan informasi lengkap mengenai mobilitas penduduk dimana komuter menjadi fokus dalam tulisan ini. Data komuter yang tersedia terdapat pada daftar pertanyaan SUPAS 2005, yang diperoleh dari pertanyaan P621 Apakah (NAMA) melakukan kegiatan bekerja/sekolah/kursus/lainnya diluar kabupaten/kota secara rutin pergi dan pulang (harian) kerumah ini? ; P622 Apakah kegiatan utama yang (NAMA) lakukan disana? ; P623 Berapa jarak tempuh dari rumah ke tempat kegiatan tersebut? ; P624 Berapa lama perjalanan dari rumah ke tempat kegiatan tersebut? ; dan P625 Apakah jenis transportasi yang biasa digunakan untuk ke dan dan dari tempat kegiatan tersebut?. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut diperoleh data komuter dengan keterbatasan hanya dapat diukur pada tingkat kabupaten/kota. Demikian pula mengenai arah pergerakan komuter tidak dapat diketahui karena tidak adanya pertanyaan mengenai lokasi tempat kegiatan yang diajukan kepada responden. 2.2 Kerangka Sampel SUPAS 2005 dilaksanakan untuk seluruh provinsi di Indonesia kecuali provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Nias dan Nias Selatan (di provinsi Sumatera Utara) tidak dapat dilakukan berkaitan dengan terjadinya bencana Gempa dan Tsunami pada Desember Untuk itu data mengenai daerah tersebut 7

21 tidak tercakup dalam SUPAS SUPAS2005 mencakup 30 provinsi dan 440 kabupaten/kota. Sasaran survei adalah penduduk yang bertempat tinggal tetap di dalam suatu unit wilayah pengamatan yang dinamakan blok sensus (BS) biasa. Blok sensus biasa adalah unit terkecil wilayah pencacahan dengan batas yang jelas dan membagi habis wilayah desa dimana terdapat sekitar rumah tangga. Sejumlah BS biasa dipilih secara acak untuk mewakili wilayah kabupaten/kota. Dengan demikian angkaangka statistik yang dihasilkan dapat mungkin menyajikan angka tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Namun demikian, disadari bahwa tidak semua karakteristik SUPAS2005 dapat disajikan sampai tingkat kabupaten/kota, karena kurang representatif atau karena keterbatasan yang melekat pada pendekatan atau konsepnya. Penduduk yang dicakup pada SUPAS2005 mengikuti konsep yang disebut dengan pendekatan de jure, yaitu setiap orang adalah penduduk dari suatu wilayah di tempat mana ia biasanya tinggal, di rumahnya atau di mana ia sebagai anggota rumahtangga, atau di mana ia bertempat tinggal "tetap". Berbeda dengan pendekatan de facto yang menyatakan bahwa setiap orang adalah penduduk dari suatu wilayah di tempat mana ia sedang berada ketika ditemui, meskipun keberadaannya di sana hanya untuk sementara (menginap/berkunjung). Kalau seseorang berada di suatu tempat cukup lama, telah 6 bulan atau lebih, maka ia sudah dapat dianggap biasa tinggal di situ, sehingga bisa tergolong sebagai penduduk secara de jure. Demikian juga jika seseorang berada di suatu tempat belum sampai 6 bulan namun bermaksud cukup lama menetap, maka ia juga sudah dianggap sebagai penduduk tempat tersebut secara de jure. 2.3 Pengumpulan dan Pengolahan Data Sebagaimana sensus penduduk maupun SUPAS sebelumnya, SUPAS2005 juga mengumpulkan data melalui unit pencacahan rumah tangga (household). Rumah tangga merupakan satuan komunitas masyarakat yang dianggap terkecil, 8

22 dapat dianggap unik (khas) dalam arti terpisahkan satu dengan lainnya atau bersifat mutually-exclusive. Rumah tangga dapat disusun sebagai muatan blok sensus, sehingga terbentuk sebagai kerangka penarikan contoh (sampling frame) rumah tangga. Pengumpulan data berlangsung selama bulan Juni 2005 dan dilakukan dalam dua tahap: listing dalam BS atau sub-bs sampel dan pencacahan rumah tangga sampel. Hasil listing dipakai sebagai kerangka sampel dalam pemilihan rumah tangga, sedang rekapitulasi listing dipakai sebagai data dasar membuat perkiraan jumlah rumah tangga dan penduduk. Hasil pencacahan rumah tangga sampel adalah data dasar karakteristik rumah tangga dan penduduk. Gambar 2.1 Bagan Pohon Data Komuter Penduduk Penduduk 5 th ke atas Penduduk 0-4 th Non Migran Migran Permanen Migran Non Permanen Migran Sikulasi Komuter Tahap pengumpulan data dimulai dengan listing atau pendaftaran bangunan dan rumah tangga pada BS terpilih. Berdasarkan hasil listing tersebut dipilih secara acak sebanyak 16 rumah tangga sebagai sampel tahap kedua. Setiap rumah tangga terpilih dikunjungi kembali untuk pencacahan/wawancara dengan menggunakan Daftar SUPAS05 S yang memiliki saringan untuk memperoleh penduduk yang melakukan mobilitas komutasi (lihat Gambar 2.1). 9

23 Daftar pertanyaan yang telah terisi dari pencacah/pewawancara dilakukan pengecekan oleh pemeriksa. Kelengkapan isian, konsistensi isian dan pemberian kode menjadi fokus dari proses pemeriksaan. Daftar pertanyaan yang telah melalui proses pemeriksaan siap dilakukan inputasi data kedalam komputer. Raw data yang dihasilkan dipilah untuk dibuat tabulasi yang sesuai dengan kebutuhan tulisan ini. 2.4 Konsep Komuter E.G. Ravenstein (1883; dalam Todaro, 1969) berpandangan bahwa migrasi (proses mobilitas penduduk) terjadi secara spasial dan relatif permanen, akan tetapi ia mengemukakan pula adanya kecenderungan pola migrasi non permanen, khususnya komuter. Dalam situasi ekonomi yang terus berkembang dan disertai dengan meningkatnya sarana dan prasarana transportasi yang semakin baik, arus mobilitas penduduk cenderung menunjukkan gerak yang sifatnya berulang-ulang. Sifat berulang ini dapat terjadi dalam limit waktu yang pendek sekali, misalnya dalam jangka waktu satu hari. Mobilitas ini banyak terjadi antara daerah kota yang pekerjapekerjanya berulang alik dari tempat tinggal ke tempat kerjanya (biasanya pagi berangkat ke tempat kerja dan sore kembali ke rumah) yang dilakukan secara terus menerus. Bentuk mobilitas non permanen diungkapkan pula oleh Zelinsky (1971) dalam teori transisi mobilitas penduduk. Zelinsky menunjukkan adanya pola keteraturan dalam proses pertumbuhan mobilitas merupakan bagian penting dari modernisasi. Zelinsky membagi transisi mobilitas penduduk dalam lima tahap yang oleh Skeldon (1990) tahapan ini disempurnakan dengan mengembangkan transisi mobilitas menjadi tujuh tahap dengan menganalisis pola migrasi penduduk negaranegara berkembang yaitu; 1. Masyarakat pratransisi dimana sebagian besar mobilitas yang terjadi merupakan mobilitas non permanen walaupun begitu tidak harus mobilitas jangka pendek dan terjadi pula mobilitas permanen dalam bentuk kolonisasi ataupun pembukaan daerah pertanian baru. 10

24 2. Masyarakat transisi awal ditandai percepatan dalam mobilitas non permanen ke perkotaan, daerah perkebunan, daerah pertambangan yang bermanfaat untuk mendukung pembangunan pedesaan sehingga terjadi peningkatan pesat dalam mobilitas ke daerah baru. Juga terlihat adanya migrasi dari kota kecil ke kota menengah dengan tujuan utama ke kota besar, hingga terjadi stagnasi pada pertumbuhan kota kecil dan menengah. 3. Masyarakat transisi menengah ditandai terlihat adanya migrasi dari daerah yang berdekatan dengan kota ke kota besar itu sendiri. Migrasi ini menyebabkan stagnasi pada daerah sekitar kota besar tesebut. Mobilitas dari desa ke desa menurun dan mobilitas dari kota ke kota meningkat disertai dengan mobilitas perempuan. 4. Masyarakat transisi akhir ditandai dengan munculnya megacity, mobilitas desa kota meningkat dengan kota-kota besar sebagi tujuan utama. Migrasi tidak lagi bertahap, dari desa langsung menuju kota besar. Akibatnya proporsi penduduk pedesaan menurun. 5. Masyarakat mulai maju, dimana angka urbanisasi telah melampaui limapuluh persen dan mobilitas desa kota mulai turun. Mulai terjadi suburbanisasi dan dekonsentrasi perkotaan (peningkatan mobilitas kota besar ke daerah sekelilingnya dan penyebaran pertumbuhan penduduk perkotaan). Mobilitas non permanen terutama komuter lebih meningkat. 6. Masyarakat maju lanjut, ditandai terjadinya dekonsentrasi penduduk perkotaan. Penduduk perkotaan menyebar kedaerah perkotaan yang lebih kecil dan terjadi peningkatan arus pekerja asing terutama migran dari negara tahap empat. Komuter terjadi dengan pesat dan dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan tanpa perbedaan mencolok. 7. Masyarakat maju super ditandai adanya teknologi tinggi termasuk teknologi informasi. Bahwa mobilitas permanen berkurang dan mobilitas non permaen terutama komuter meningkat. Sistem komunikasi menggantikan sistem 11

25 transportasi, orang tak perlu lagi berpindah tempat untuk dapat saling berkomunikasi. Ketujuh tahapan ini menerangkan fenomena yang sedang dan akan terjadi di negara berkembang. Dukungan transportasi yang mengalami kemajuan menempatkan beberapa wilayah kota di Indonesia pada tahap kelima dari transisi mobilitas yang dibuat oleh Skeldon. Teori atau konsep yang berlaku pada mobilitas permanen dapat digunakan untuk menerangkan arah atau pergerakan komuter. Lowry (1966) mengemukakan bahwa migrasi sebagai interaksi sosial merupakan suatu kekuatan tarik menarik antara jumlah penduduk di daerah asal dan jumlah penduduk di daerah tujuan yang dihubungkan oleh jarak. Sintesis ini berdasarkan model gravitasi yang dikembangkan oleh Isac Newton dan sering digunakan untuk memperkirakan pola dan tren migrasi. Dengan menggunakan model gravitasi maka pola dan tren komuter dapat pula dipetakan. 2.5 Definisi Operasional Untuk mempermudah pemahaman dan pengoperasian dalam pengolahan maka dibuat definisi operasional: Penduduk adalah mereka yang biasanya tinggal menetap disuatu wilayah paling sedikit 6 bulan atau kurang dari 6 bulan tetapi bermaksud untuk menetap. Komuter di definisikan sebagai penduduk yang biasanya (secara rutin) melakukan perjalanan pergi dan pulang melintasi batas kabupaten atau kota dalam kurun waktu sehari. Melintasi batas tidak lagi mempermasalahkan jarak dimana penduduk yang tinggal didaerah perbatasan sangat dengan mudah dikatakan komuter apabila telah melampaui batas-batas administratif kabupaten/kota, artinya melintasi batas mungkin sekali untuk jarak yang sangat dekat (tidak sampai 1 kilometer). 12

26 Yang dimaksud dengan rutin di sini tidak harus selalu setiap hari melakukan kegiatannya di luar kabupaten/kota, tetapi bisa juga dua hari sekali atau tiga hari sekali, asalkan kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan. Kegiatan utama yang dilakukan adalah kegiatan bekerja, sekolah, kursus, dan lainnya, yang menggunakan waktu terbanyak dibandingkan kegiatan lainnya. Waktu terbanyak diperhitungkan dengan membandingkan waktu yang digunakan untuk bekerja, sekolah, kursus dan lainnya. Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan. Sekolah adalah kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Tidak termasuk yang sedang libur. Kursus adalah kegiatan untuk menambah keterampilan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga baik mendapatkan sertifikat maupun tidak, seperti kursus menjahit, kursus memasak, kursus Bahasa Inggris, dan lain-lain. Lainnya misal berobat, mencari kerja, olah raga, berorganisasi. Lama Perjalanan adalah waktu yang dibutuhkan selama perjalanan dari rumah ke tempat kegiatan yang responden. Lama perjalanan dihitung sejak responden berangkat sampai ke tempat kegiatan, termasuk waktu menunggu kendaraan umum (bagi yang menggunakan kendaraan umum). Mampir ke rumah teman/famili, belanja, atau kegiatan lain yang tidak berkaitan dengan kegiatan utama tidak dihitung sebagai waktu perjalanan. Jenis Transportasi adalah jenis transportasi yang digunakan responden menuju ke dan pulang dari tempat melakukan kegiatan. Bila biasa menggunakan lebih dari 1 jenis transportasi, maka yang dimaksud adalah jenis transportasi untuk jarak terjauh. 13

27 Transportasi Umum adalah jenis transportasi yang penggunaannya tidak terbatas pada orang tertentu, tetapi bisa digunakan oleh semua orang. Orang yang menggunakan transportasi ini biasanya membayar sebagai balas jasa. Contoh angkutan yang termasuk dalam transportasi umum antara lain kereta api, bus umum, becak, ojek dan lain-lain. Transportasi Bersama adalah jenis transportasi yang digunakan oleh sekelompok orang, baik dengan membayar maupun tidak, misal jemputan karyawan. Transportasi Pribadi adalah jenis transportasi yang hanya bisa digunakan sendiri, yang termasuk dalam transportasi pribadi adalah kendaraan yang dikuasai responden, baik kendaraan bermotor maupun tidak bermotor. Tanpa Alat Transportasi adalah apabila menuju ke dan pulang dari tempat melakukan kegiatan dengan berjalan kaki. 14

28 BAB 3 KOMUTER DI INDONESIA 3.1 Keadaan Penduduk Indonesia Demografi atau juga yang dikenal sebagai studi kependudukan menyebutkan bahwa, perubahan jumlah, komposisi, distribusi dan pertumbuhan penduduk dalam suatu daerah, dipengaruhi oleh sedikitnya lima komponen yaitu kelahiran, kematian, migrasi, mobilitas sosial dan perkawinan (Bogue, 1969). Profil ini dengan sengaja memusatkan pada salah satu komponen demografi yakni tentang migrasi/mobilitas penduduk non permanen yang disebut komuter. Mobilitas penduduk pada umumnya disebabkan oleh terjadinya ketimpangan regional baik yang bersumber dari perbedaan kondisi demografis, budaya maupun model pembangunan ekonomi yang diterapkan. Perbedaan model pembangunan ekonomi yang diterapkan acapkali membawa konsekuensi pada pesatnya peningkatan pendapatan suatu daerah yang akan menghadapi tekanan akibat kedatangan migran dari luar daerah dan komuter dari daerah sekitarnya yang membawa permasalahan baru. Tabel 3.1 memperlihatkan keadaan penduduk di Indonesia dengan jumlah lebih dari 218 juta jiwa pada tahun Secara nasional laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen dengan distribusi penduduk yang tidak merata. Ketimpangan distribusi penduduk terutama terkonsentrasi di provinsi-provinsi yang berada di pulau Jawa. Tingkat kepadatan per provinsi di pulau Jawa selalui lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan di provinsi diluar pulau Jawa. Selain adanya faktor pertumbuhan ekonomi, konsentrasi penduduk juga akan menjadi magnet yang menarik penduduk dari pulau lain untuk masuk sehingga pulau Jawa masih terus akan menjadi tujuan dari mobilitas penduduk. Pergerakan dalam pulau Jawa yang padat juga semakin besar dengan pola dan bentuk yang lebih beragam, tidak saja mobilitas permanen tetapi juga mobilitas 15

29 non permanen. Pergerakan antar provinsi maupun kabupaten/kota yang didalamnya semakin hari semakin meningkat. Tabel 3.1. Keadaan Penduduk Indonesia, Tahun 2005 Persentase Penduduk Penduduk Provinsi LPP Perkotaan Perdesaan Distribusi Kepadatan Jumlah 2 Nanggroe Aceh D. 0, , Sumatera Utara 1,35 45,9 54,1 5, Sumatera Barat 1,45 29,9 70,1 2, Riau 3,22 36,6 63,4 2, Jambi 1,83 27,2 72,8 1, Sumatera Selatan 1,78 33,5 66,5 3, Bengkulu 1,26 28,4 71,6 0, Lampung 1,12 21,0 79,0 3, Bangka Belitung 3,00 40,9 59,1 0, Kepulauan Riau 4,15 79,4 20,6 0, DKI Jakarta 1,17 100,0 0,0 4, Jawa Barat 1,75 51,6 48,4 17, Jawa Tengah 0,48 40,5 59,5 14, DI Yogyakarta 1,39 59,1 40,9 1, Jawa Timur 0,86 40,8 59,2 16, Banten 2,20 52,8 47,2 4, Bali 1,44 50,7 49,3 1, Nusa Tenggara Barat 0,86 35,3 64,7 1, Nusa Tenggara Timur 2,19 15,6 84,4 1, Kalimantan Barat 0,18 26,9 73,1 1, Kalimantan Tengah 0,63 28,9 71,1 0, Kalimantan Selatan 1,92 38,1 61,9 1, Kalimantan Timur 3,05 56,5 43,5 1, Sulawesi Utara 1,25 37,3 62,7 0, Sulawesi Tengah 1,07 20,0 80,0 1, Sulawesi Selatan 1,04 30,2 69,8 3, Sulawesi Tenggara 1,52 21,8 78,2 0, Gorontalo 2,04 26,0 74,0 0, Maluku 1,42 28,7 71,3 0, Maluku Utara 1,64 24,5 75,5 0, Papua 2,61 26,1 73,9 1, Indonesia 1,30 43,1 56,9 100,

30 Persentase penduduk yang tinggal di perkotaan 43,1 persen dan di pedesaan 56,9 persen. Penduduk yang tinggal di perkotaan sepuluh tahun yang lalu sebesar 35 persen (BPS, 1995) dan terus meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Besarnya penduduk yang tinggal di perkotaan berpeluang meningkatkan keberadaan komuter karena ditunjang oleh keadaan transportasi yang baik. Tidak mengherankan bila mobilitas terjadi sangat bervariasi bagi penduduk di provinsi Jakarta yang seluruhnya tinggal didaerah perkotaan. Provinsi DI Yogyakarta, Banten, Jawa Barat dan Bali yang juga memiliki lebih dari separuh penduduknya tinggal di perkotaan juga mengalami peningkatan untuk mobilitas non permanen terutama komuter. Keberadaan komuter menunjukkan adanya keterkaitan antar daerah baik dari segi ekonomi maupun politik. Akan didapati jumlah komuter yang besar pada daerahdaerah yang membentuk kawasan seperti Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi), Bandung Raya, Mebidang (Medan Binjai Deli Serdang), Kertamantul (Jogyakarta Sleman Bantul), dan Sarbagita (Denpasar Badung Gianyar Tabanan). Komuter pada kawasan kawasan tersebut berpola menuju pusat-pusat kawasan pada pagi hari dan kembali menuju pinggiran pada sore dan malam hari. Pada pusat-pusat kawasan tersebut jumlah penduduk di siang hari dan malam hari sangatlah berbeda. Adanya hubungan pusat (center) dan pinggiran (pheriperi) yang kuat menjadi salah satu ciri kota-kota di Indonesia. Sangat diperlukan bagi pusatpusat kota untuk menyediakan fasilitas sosial dan umum yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk di siang hari. Ada suatu ciri pada daerah yang memiliki banyak komuter salah satunya adalah telah terjadi penurunan pertumbuhan penduduk pada suatu daerah yang sebelumnya merupakan daerah penerima migran. Pada daerah penerima migran semakin lama terjadi penyempitan lahan pemukiman dan perumahan yang harus selalu bersaing dengan lahan untuk kegiatan ekonomi. Persaingan tersebut menyebabkan naiknya harga lahan sehingga terjadi pergeseran pemukiman dan perumahan. Terjadi pula migrasi penduduk dari pusat kota menuju daerah sekitarnya dan tujuan migrasi penduduk dari daerah lain yang letaknya jauh, tidak hanya menuju 17

31 pusat kota tetapi bergeser kearah daerah sekitar pusat kota tersebut. Fenomena seperti ini dapat ditelusuri pada kota-kota besar di Indonesia. Adanya pelayanan yang tidak sama yang diterima oleh penduduk pada kota/kabupaten yang membentuk suatu kawasan menjadi pertimbangan bagi penduduk dalam memilih tempat tinggal. Wilayah-wilayah yang memiliki kemudahan untuk mengakses sarana transportasi seperti kereta api, jalan tol, menjadi prioritas dalam pemilihan tempat tinggal. Sehingga menjadi suatu ciri yang umum bahwa pemukiman tumbuh disepanjang jalur utama transportasi. 3.2 Komuter di Indonesia Sepanjang tiga dasawarsa terakhir ini dapat dilihat suatu perubahan yang paling besar adalah dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, baik angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Sehingga tidak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa mobilitas individu sangat dipengaruhi oleh kepemilikan kendaraaan bermotor dan mobil namun juga oleh perkembangan alat transportasi umum yang begitu pesat (Hugo, 2001). Tidak diragukan lagi bahwasanya peningkatan eksponensial dalam sistem transportasi telah menyebabkan perjalanan individu makin mudah, lebih murah dan memungkinkan penduduk untuk menjangkau berbagai tempat dalam mencari pekerjaan dan pendidikan. Maraknya media mengiklankan lowongan pekerjaan dan kemungkinan tinggal di berbagai tempat memberikan kesempatan bagi penduduk melakukan mobilitas. Adanya komuter menuju kota-kota besar menimbulkan istilah penduduk siang dan penduduk malam. Timbulnya pengertian ini disebabkan komuter datang ke kota waktu pagi dan siang hari untuk bekerja atau melakukan kegiatan lain dan diwaktu sore atau malam hari meninggalkan kota untuk kembali ke tempat tinggal yang berada diluar pusat kota. Gejala ini dapat ditemui pada kota besar yang pertumbuhan penduduknya menurun dan akan mempengaruhi pertumbuhan kota disekitarnya. (Richardson, Harry W. dalam Adisasmita 2005). 18

32 Pertumbuhan perkotaan di Indonesia ditandai dengan urbanisasi dan industrialisasi yang berakibat adanya pemekaran wilayah kota yang terjadi secara lateral (seperti garis lurus) dan memiliki kecenderungan terjadi di jalan sepanjang rute transportasi utama disekitar kota-kota tersebut yang menyebar keluar dan menghubungkan wilayah pusat kota (McGee, 1991; Firman, 1992). Perubahan luas kawasan perkotaan akan membentuk konurbasi (suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota) dan menjadi suatu kota yang sangat besar Struktur Umur dan Rasio Jenis Kelamin Karakteristik umur merupakan komponen yang pokok dalam studi kependudukan dan mempunyai pengaruh dalam setiap kejadian perilaku penduduk. Dalam hal ini pengelompokan umur dalam lima tahunan memudahkan untuk mengamati kejadian komuter. Lebih jelas terlihat pada Gambar 3.1 dan dapat disimpulkan bahwa komuter lebih banyak dilakukan oleh penduduk pada kelompok umur tahun untuk laki-laki dan perempuan. Untuk perempuan pada kelompok umur tahun merupakan puncak dari jumlah komuter. Secara perlahan jumlah perempuan yang melakukan komutasi terus menurun dengan bertambahnya usia. Sedangkan pada laki-laki, komuter mempunyai puncak yang lebih lama yaitu pada kelompok umur tahun dan penurunan jumlah komuter secara perlahan terjadi setelah usia 40 tahun ke atas. Rasio jenis kelamin komuter di Indonesia dengan jelas diperlihatkan oleh Gambar 3.1 dimana laki-laki mendominasi pada seluruh kelompok umur. Norma yang berlaku didalam masyarakat bahwa orang tua lebih mempercayakan perjalanan untuk laki-laki dibandingkan perempuan dalam hal keamanan juga keandalan. Dapat dikatakan bahwa laki-laki lebih banyak mengambil resiko dari perjalanan yang panjang atau pun jauh. Hal tersebut juga membentuk perilaku laki-laki lebih berani untuk melakukan perjalanan. Pada setiap kelompok umur, komuter laki-laki lebih banyak daripada komuter perempuan bahkan jumlah komuter laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan semakin meningkatnya usia. Hal ini menandakan bahwa laki-laki lebih mobile dibandingkan perempuan. 19

33 Gambar 3.1 Jumlah Komuter menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2005 (x 1000) Laki-laki Perempuan Pada kelompok umur 5-9, dan tahun yang merupakan usia sekolah, komuter ini memiliki rasio jenis kelamin hampir sama. Adanya komuter berumur sangat muda dimungkinkan karena konsep yang digunakan juga mencakup pelintas batas kota/kabupaten sehingga jarak tempuh yang dilalui dapat sangat dekat. Semakin meningkatnya umur komuter perbedaan rasio jenis kelamin semakin besar. Pada kelompok umur 20 tahun keatas perbedaan proporsi komuter laki-laki dengan perempuan semakin membesar dan perlahan mengecil pada kelompok umur 40 tahun keatas karena adanya penurunan yang tajam oleh komuter laki-laki. Setelah usia 55 tahun keatas proporsi komuter kembali seperti kelompok umur sangat muda. Norma yang berlaku dimasyarakat menuntut lebih banyak pada laki-laki usia produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga menjadi alasan laki-laki untuk melakukan komutasi. Bahwa perempuan adalah pelaku utama untuk mengurus rumah tangga juga menjadi faktor yang menghalangi untuk melakukan komuter. Keberadaan perempuan di luar rumah untuk melakukan perjalanan tidak menjadi pilihan karena perempuan telah disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. 20

34 Lamanya dalam menggunakan waktu untuk perjalanan pulang dan pergi menjadi pertimbangan komuter sehingga komuter perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Masih terjadi bias dalam melakukan komuter antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan mencirikan masyarakat maju seperti dalam tahapan transisi mobilitas yang diungkapkan Skeldon Status Perkawinan Pelaku komuter juga mempunyai ciri tersendiri bila dilihat dari sudut pandang status perkawinan yang melekat. Perkawinan disini adalah hubungan yang sah dari dua orang yang berlainan jenis kelamin. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam suatu ikatan yang disahkan baik secara adat, agama maupun hukum negara inilah yang disebut dengan perkawinan. Komuter yang berstatus kawin tidak dibedakan antara perkawinan pertama yang merupakan perubahan status seseorang dari belum kawin menjadi kawin atau perkawinan kembali yaitu perubahan dari status janda/duda menjadi status kawin. Tabel 3.2 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan komuter banyak dilakukan oleh mereka yang berstatus kawin (52,0 persen) dibandingkan dengan yang berstatus tidak/belum kawin (45,7 persen) atau cerai (2,3 persen). Sesungguhnya komuter yang berstatus kawin persentasenya jauh lebih besar bila dilakukan pembatasan umur 15 tahun keatas. Pada komuter berusia tahun status komuter masih didominasi oleh yang berstatus belum/tidak kawin, namun untuk komuter berusia 25 tahun keatas sebagian besar berstatus kawin. Dengan bertambahnya usia, persentase komuter yang belum/tidak kawin terus berkurang. 21

35 Kelompok Umur Tabel 3.2 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur dan Status Perkawinan Belum /Tidak Kawin Status Perkawinan Kawin Cerai hidup/mati Jumlah ,0 0,0 0,0 100, ,9 0,1 0,0 100, ,7 1,2 0,1 100, ,2 14,2 0,6 100, ,7 51,9 1,4 100, ,4 81,4 2,2 100, ,4 90,0 2,6 100, ,4 94,0 3,6 100, ,4 93,7 4,8 100, ,9 93,3 5,8 100, ,6 89,5 9,9 100, ,6 85,8 11,7 100, ,0 77,5 22,5 100,0 Jumlah 45,7 52,0 2,3 100,0 Komutasi dilakukan karena pilihan tempat tinggal yang berbeda wilayah administratif dengan tempat kegiatannya. Daya tarik dari kota/kabupaten tujuan mengundang penduduk yang bertempat tinggal disekitar atau pinggiran untuk datang, baik untuk bekerja, sekolah atau kegiatan lainnya. Banyaknya komuter berstatus kawin akan berkaitan dengan keberadaan dan pilihan dimana keluarga bertempat tinggal. Pilihan tempat tinggal bagi komuter yang berstatus kawin tidak hanya mempertimbangkan akses transportasi ke tempat tujuan tetapi juga fasilitas-fasilitas pada daerah tempat tinggal yang dapat digunakan oleh anggota keluarganya Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Bila dilihat dari tingkat pendidikannya yang diwakili dari kepemilikan ijazah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3 Secara umum komuter memiliki pendidikan yang tinggi dimana 50,9 persen berpendidikan SMTA atau lebih tinggi 22

36 (SMTA/sederajat 35,4 persen dan diploma/sarjana 15,5 persen). Untuk yang berpendidikan rendah (SMTP atau lebih rendah) terdapat 49,1 persen dimana besarnya proporsi banyak disumbang oleh komuter pada kelompok usia muda yang tergolong usia sekolah. Selektifitas dalam pendidikan yang berlaku pada pelaku migrasi permanen juga ditemui pada komuter, dengan jelas tabel 3.2 memperlihatkan dominasi komuter yang berpendidikan tinggi. Komuter pada usia antara 25 sampai dengan 49 tahun berpendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan komuter berusia 50 tahun keatas. Mungkin tingkat pendidikan untuk komuter yang berusia 50 tahun keatas berkaitan dengan keadaan masih rendahnya tingkat pendidikan dimasa yang lampau. Kelompok Umur Tabel 3.3 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur dan Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Tidak Punya Ijazah SD/MI /sederajat Ijazah Tertinggi yang Dimiliki SMTP/MTs /sederajat SMTA/MA /sederajat Dipl.I/II/III/IV /S1/S2/S3 Jumlah ,0 0,0 0,0 0,0 0,0 100, ,0 49,2 2,8 0,0 0,0 100, ,1 21,3 54,1 21,6 0,8 100, ,1 8,7 13,6 64,2 11,4 100, ,0 14,2 13,6 46,8 23,4 100, ,4 17,9 14,5 41,3 23,0 100, ,1 17,1 13,1 42,0 22,8 100, ,3 19,9 13,7 33,8 24,4 100, ,7 22,3 15,5 30,5 21,9 100, ,8 22,3 14,0 29,1 21,7 100, ,5 27,7 12,8 25,8 18,2 100, ,6 30,0 10,2 18,0 11,2 100, ,2 39,9 5,6 9,4 8,9 100,0 Jumlah 12,9 19,1 17,0 35,4 15,5 100,0 23

37 3.2.4 Jenis Kegiatan Utama Berbagai macam aktivitas yang dilakukan berkaitan dengan komutasi dapat dipilah menjadi beberapa kegiatan utama. Komutasi terbesar dilakukan berkaitan dengan kegiatan utama bekerja 70,6 persen, kegiatan bersekolah atau kursus 25,3 persen, dan sisanya 4,1 persen dilakukan untuk kegiatan lainnya seperti berolah raga, berbelanja kepasar, berorganisasi dan berobat. Kelompok Umur Tabel 3.4 Persentase Komuter menurut Kelompok Umur dan Jenis Kegiatan Utama yang Dilakukan Jenis Kegiatan Utama Bekerja Sekolah/Kursus Lainnya Jumlah 5-9 0,0 98,3 1,7 100, ,2 87,6 11,2 100, ,3 70,2 9,5 100, ,1 30,9 5,0 100, ,5 6,0 2,5 100, ,4 1,1 1,5 100, ,0 1,3 1,7 100, ,3 1,1 1,6 100, ,7 0,7 1,6 100, ,3 0,0 2,7 100, ,3 0,0 3,7 100, ,7 0,0 6,3 100, ,5 0,0 6,5 100,0 Jumlah 70,6 25,3 4,1 100,0 Kegiatan utama komuter cukup bervariasi bila dilihat berdasarkan kelompok umurnya, pada kelompok umur 5-9, 10-14, tahun kegiatan utama dari mayoritas komuter adalah untuk sekolah dan kursus. Besarnya persentase komuter untuk kegiatan sekolah seakan menjelaskan ketidaktersediaan sekolah di daerah tempat tinggal atau mungkin pilihan penduduk terhadap sekolah yang diinginkan tidak dapat diperoleh di daerah tinggalnya. Sementara itu pada kelompok umur 20 tahun keatas kegiatan utama komuter adalah untuk bekerja. Untuk komuter yang 24

38 melakukan kegiatan utama lainnya ada kecenderungan semakin bertambah usia maka terdapat penambahan sedikit demi sedikit. Hal ini menandakan kebutuhan untuk mengakses fasilitas-fasilitas sosial atau umum masih harus dilakukan dengan melintasi batas daerah tempat tinggal Komuter di Provinsi Fenomena komuter di Indonesia tampak pada kota-kota besar, namun dapat juga dipantau keberadaannya menurut provinsi. Secara keseluruhan persentase penduduk berumur 5 tahun keatas yang melakukan komuter sebesar 3,9 persen dan yang tidak melakukan kegiatan komutasi sebesar 96,1 persen. Wilayah Indonesia yang luas menyebabkan fenomena komuter tidak terlalu nampak nyata. Bila perhatian diarahkan pada wilayah provinsi, akan tampak jelas perbedaan pada masing-masing provinsi. Tabel 3.5 memperlihatkan jumlah komuter terbesar terdapat di provinsi Jawa Barat diikuti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Banten dan DI Yogyakarta. Kecuali Sumatera Utara jumlah komuter terbesar juga terkonsentrasi di pulau Jawa, keadaan ini menegaskan adanya bias antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Besarnya jumlah komuter di provinsi Jawa Barat diduga pengaruh letaknya yang berbatasan dengan ibukota negara (Jakarta) dan terdapatnya ibukota provinsi (Bandung), sehingga provinsi ini berhubungan dengan dua kota yang sangat besar dan memiliki jalan yang sangat panjang. Provinsi Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Bali dan Lampung juga memiliki jumlah komuter yang cukup besar. Pada ibukota provinsi dan daerah kota/ kabupaten sekitarnya komuter mulai tumbuh dengan pesat. Adanya pertumbuhan ekonomi pada ibukotanya (Palembang, Makasar, Denpasar, dan Lampung) menjadi daya tarik penduduk melakukan komutasi. Sementara komuter terendah jumlahnya terdapat di provinsi Maluku Utara dan Kepulauan Riau. Kedua provinsi ini merupakan provinsi baru yang terbentuk setelah tahun Dilihat dari kondisi geografisnya yang berupa pulau-pulau kecil 25

39 dan memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari pada daratan, keadaan ini mempersulit akses dan pelayanan transportasi untuk komutasi. Provinsi Tabel 3.5 Persentase Penduduk 5 Tahun ke Atas yang Melakukan Kegiatan Rutin di Luar Kab/Kota menurut Provinsi dan Jenis Kelamin Melakukan Kegiatan Rutin di Luar Kota/Kabupaten Ya Tidak Laki-laki Perempuan L + P Jumlah Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas % Jumlah Sumatera Utara 3,69 1,96 5, ,36 100, Sumatera Barat 1,25 0,74 1, ,01 100, Riau 1,32 0,75 2, ,93 100, Jambi 1,44 0,80 2, ,76 100, Sumatera Selatan 1,61 0,90 2, ,49 100, Bengkulu 1,39 0,79 2, ,81 100, Lampung 1,51 0,60 2, ,89 100, Bangka Belitung 2,08 0,82 2, ,09 100, Kepulauan Riau 0,65 0,22 0, ,13 100, DKI Jakarta 9,24 4,30 13, ,47 100, Jawa Barat 4,50 1,84 6, ,66 100, Jawa Tengah 1,59 0,89 2, ,53 100, DI Yogyakarta 6,45 3,43 9, ,12 100, Jawa Timur 1,81 0,75 2, ,45 100, Banten 3,74 1,35 5, ,90 100, Bali 3,27 1,50 4, ,23 100, Nusa Tenggara Barat 0,55 0,18 0, ,27 100, Nusa Tenggara Timur 0,61 0,37 0, ,02 100, Kalimantan Barat 1,51 0,77 2, ,72 100, Kalimantan Tengah 0,49 0,36 0, ,14 100, Kalimantan Selatan 1,56 0,52 2, ,92 100, Kalimantan Timur 1,17 0,33 1, ,50 100, Sulawesi Utara 1,21 0,70 1, ,09 100, Sulawesi Tengah 0,74 0,41 1, ,84 100, Sulawesi Selatan 1,68 0,76 2, ,56 100, Sulawesi Tenggara 0,83 0,38 1, ,78 100, Gorontalo 1,89 0,81 2, ,30 100, Maluku 1,68 0,90 2, ,43 100, Maluku Utara 0,59 0,31 0, ,10 100, Papua 1,79 0,77 2, ,43 100, Indonesia 2,70 1,22 3, ,08 100,

MIGRASI. Oleh : CHOTIB Donovan Bustami

MIGRASI. Oleh : CHOTIB Donovan Bustami MIGRASI Oleh : CHOTIB Donovan Bustami 1. Konsep dan Definisi Migrasi Migrasi merupakan salah satu dari tiga komponen dasar dalam demografi. Komponen ini bersama dengan dua komponen lainnya, kelahiran dan

Lebih terperinci

MOBILITAS PENDUDUK Pertemuan ke 1,2,3,4 MIGRASI. Drs. CHOTIB, M.Si

MOBILITAS PENDUDUK Pertemuan ke 1,2,3,4 MIGRASI. Drs. CHOTIB, M.Si MOBILITAS PENDUDUK Pertemuan ke 1,2,3,4 MIGRASI Drs. CHOTIB, M.Si chotib@ldfeui.org Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Program Pascasarjana Universitas Indonesia . Konsep dan Definisi Migrasi (1)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Propinsi (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) PERTUMBUHAN PENDUDUK 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,1 juta pada

Lebih terperinci

Katalog BPS: Katalog BPS:

Katalog BPS: Katalog BPS: Katalog BPS: 2204009 Katalog BPS: 2204009 PROFIL MIGRAN HASIL SURVEI SOSIAL EKONOMI NASIONAL 2011 2012 ISBN : 978-979-064-620-9 Katalog BPS : 2204009 No. Publikasi : 04140.1301 Ukuran Buku : 17,6 cm

Lebih terperinci

Katalog BPS: TREN/ REN/POLA MIGRASI DARI BERBAGAI SENSUS DAN SURVEI. BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA - INDONESIA

Katalog BPS: TREN/ REN/POLA MIGRASI DARI BERBAGAI SENSUS DAN SURVEI.  BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA - INDONESIA Katalog BPS: 2204008. TREN/ REN/POLA MIGRASI DARI BERBAGAI SENSUS DAN SURVEI BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA - INDONESIA TREN/POLA MIGRASI DARI BERBAGAI SENSUS DAN SURVEI BADAN PUSAT STATISTIK, JAKARTA

Lebih terperinci

w tp :// w ht.b p w.id s. go ii Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Indonesia Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Indonesia HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 ISBN : 978-979-064-314-7 No. Publikasi: 04000.1109 Katalog

Lebih terperinci

KOMUTER DKI JAKARTA TAHUN 2014

KOMUTER DKI JAKARTA TAHUN 2014 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No.12/02/31/Th.XVII, 16 Februari 2015 KOMUTER DKI JAKARTA TAHUN 2014 PENDUDUK MALAM JAKARTA (PROYEKSI PENDUDUK 2014) : 10 075 310 orang KOMUTER BODETABEK BERKEGIATAN DI JAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan kependudukan mendasar yang terjadi di Indonesia selain pertumbuhan penduduk yang masih tinggi adalah persebaran penduduk yang tidak merata. Hasil sensus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia

Lebih terperinci

Antar Kerja Antar Lokal (AKAL)

Antar Kerja Antar Lokal (AKAL) Antar Kerja Antar Lokal (AKAL) Konsep antar kerja antar lokal dalam analisis ketenagakerjaan ini merujuk pada mereka yang bekerja di lain kabupaten/kota dengan persyaratan waktu pulang pergi ditempuh dalam

Lebih terperinci

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan.

. Keberhasilan manajemen data dan informasi kependudukan yang memadai, akurat, lengkap, dan selalu termutakhirkan. S ensus Penduduk, merupakan bagian terpadu dari upaya kita bersama untuk mewujudkan visi besar pembangunan 2010-2014 yakni, Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis dan Berkeadilan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antar masing-masing daerah, antar golongan pendapatan dan di seluruh aspek. kehidupan sehingga membuat stuktur ekonomi tidak kokoh.

BAB I PENDAHULUAN. antar masing-masing daerah, antar golongan pendapatan dan di seluruh aspek. kehidupan sehingga membuat stuktur ekonomi tidak kokoh. 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan meliputi kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata serta kemakmuran

Lebih terperinci

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD)

Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) Konsep Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) merujuk pada mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

tp :// w ht.g o ps.b w w.id PERTUMBUHAN DAN PERSEBARAN Penduduk Indonesia HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 ISBN: 978-979-064-313-0 No. Publikasi: 04000.1108 Katalog BPS: 2102024 Ukuran Buku: B5 (18,2 cm x 25,7

Lebih terperinci

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian.

Laporan ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang ketenagakerjaan pertanian, rumah tangga pertanian dan kondisi pengelolaan lahan pertanian. BAB I PENDAHULUAN Sasaran pembangunan jangka panjang di bidang ekonomi adalah struktur ekonomi yang berimbang, yaitu industri maju yang didukung oleh pertanian yang tangguh. Untuk mencapai sasaran tersebut,

Lebih terperinci

Survei Komuter, 2014 BADAN PUSAT STATISTIK. Penanggung Jawab Kegiatan

Survei Komuter, 2014 BADAN PUSAT STATISTIK. Penanggung Jawab Kegiatan BADAN PUSAT STATISTIK Survei Komuter, 2014 ABSTRAKSI Keberadaan pelaku mobilitas komuter bisa memberikan dampak positif bagi pusat kota, yaitu mengurangi kepadatan penduduk kota besar serta semakin berkembangnya

Lebih terperinci

Katalog BPS : Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan. INDUSTRI MIKRO DAN KECIL BADAN PUSAT STATISTIK

Katalog BPS : Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan.  INDUSTRI MIKRO DAN KECIL BADAN PUSAT STATISTIK Katalog BPS : 6104008 Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan INDUSTRI MIKRO DAN KECIL 2014-2016 http://www.bps.go.id BADAN PUSAT STATISTIK Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan INDUSTRI MIKRO DAN KECIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai. dari tahun ke tahun, hal tersebut menimbulkan berbagai masalah bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai. dari tahun ke tahun, hal tersebut menimbulkan berbagai masalah bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah, seperti pengangguran, kemiskinan, tingkat pendapatan yang rendah dan lain sebagainya. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan

Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan KATALOG BPS : 6104008 Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan INDUSTRI MIKRO DAN KECIL 2012-2014 BADAN PUSAT STATISTIK KATALOG BPS : 6104008 Perkembangan Indeks Produksi Triwulanan INDUSTRI MIKRO DAN

Lebih terperinci

DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA

DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA Drs. Razali Ritonga, MA (Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI) Disampaikan di Lokakarya

Lebih terperinci

STATISTIK KOMUTER KOTA BEKASI 2014 HASIL SURVEI KOMUTER JABODETABEK 2014

STATISTIK KOMUTER KOTA BEKASI 2014 HASIL SURVEI KOMUTER JABODETABEK 2014 No. 1/0/32/Th. XVII, 15 Januari 2015 STATISTIK KOMUTER KOTA BEKASI 2014 HASIL SURVEI KOMUTER JABODETABEK 2014 A. Penjelasan Umum Salah satu bentuk mobilitas nonpermanen yang mengalami perkembangan pesat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Padahal sumber data penduduk yang tersedia hanya secara periodik, yaitu Sensus Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Padahal sumber data penduduk yang tersedia hanya secara periodik, yaitu Sensus Penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Para pemakai data kependudukan, khususnya para perencana, pengambil kebijaksanaan, dan peneliti sangat membutuhkan data penduduk yang berkesinambungan dari tahun ke

Lebih terperinci

ii Kematian Bayi dan Angka Harapan Hidup Penduduk Indonesia Kematian Bayi dan Angka Harapan Hidup Penduduk Indonesia HASIL SENSUS PENDUDUK 2010 ISBN : No. Publikasi: 04000.1 Katalog BPS: Ukuran Buku: B5

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR Oleh: NOVI SATRIADI L2D 098 454 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan. penduduk melakukan mobilitas ke daerah yang lebih baik.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan. penduduk melakukan mobilitas ke daerah yang lebih baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk (mobilitas) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 1,2 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 2,5 sampai 3 juta orang per tahun (Nehen, 2010:96).

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA

DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA DATA STATISTIK TENTANG PERKAWINAN DI INDONESIA Drs. Razali Ritonga, MA (Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI) Disampaikan di Lokakarya Perkawinan Anak, Moralitas Seksual, dan Politik

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi BAB 1 PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Tujuan pembangunan daerah yaitu mencari kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perhatian terhadap penduduk terutama jumlah, struktur dan pertumbuhan dari waktu ke waktu selalu berubah. Pada zaman Yunani dan Romawi kuno aspek jumlah penduduk sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Distribusi penduduk yang tidak merata di Indonesia telah terjadi jauh sebelum masa penjajahan Belanda, dimana penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali. Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada

BAB I PENDAHULUAN. antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah sebuah proses terciptanya kerjasama antara pemerintah dan pihak swasta (masyarakat) sehingga sumber daya yang ada dapat dikelola untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara yang berkembang, masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah disparitas (ketimpangan) distribusi pendapatan

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

DATA MENCERDASKAN BANGSA

DATA MENCERDASKAN BANGSA Visi BPS Pelopor Data Statistik Terpercaya untuk Semua Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 237,6 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun DATA MENCERDASKAN

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN No.54/09/17/I, 1 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI BENGKULU MARET 2016 MULAI MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2016 SEBESAR 0,357 Daerah Perkotaan 0,385 dan Perdesaan 0,302 Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. Industrialisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang Masalah. Industrialisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Industrialisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang lebih maju dan bermutu. Seperti halnya di negara-negara berkembang industrialisasi

Lebih terperinci

BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO

BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO BAB 2 ANALISIS LINGKUNGAN MAKRO Baik di industri furniture maupun industri lainnya, akan ada faktor eksternal yang akan mempengaruhi keberlangsungan bisnis perusahaan. Ada 5 faktor eksternal yang turut

Lebih terperinci

RILIS HASIL AWAL PSPK2011

RILIS HASIL AWAL PSPK2011 RILIS HASIL AWAL PSPK2011 Kementerian Pertanian Badan Pusat Statistik Berdasarkan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1-30

Lebih terperinci

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015

JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN PERIODE 1 JANUARI S.D 31 OKTOBER 2015 JUMLAH PENEMPATAN TENAGA KERJA INDONESIA ASAL PROVINSI BERDASARKAN JENIS KELAMIN NO PROVINSI LAKI-LAKI PEREMPUAN Total 1 ACEH 197 435 632 2 SUMATERA UTARA 1,257 8,378 9,635 3 SUMATERA BARAT 116 476 592

Lebih terperinci

STATISTIK KEPENDUDUKAN KALIMANTAN TENGAH 2013

STATISTIK KEPENDUDUKAN KALIMANTAN TENGAH 2013 STATISTIK PENDUDUKAN KALIMANTAN TENGAH 2013 i STATISTIK KEPENDUDUKAN KALIMANTAN TENGAH 2013 No. Publikasi : 62520.1401 Katalog BPS : 2101023.62 Ukuran Buku Jumlah Halaman :15 cm x 21 cm : ix + 57 halaman

Lebih terperinci

EVALUASI KONDISI DEMOGRAFI SECARA TEMPORAL DI PROVINSI BENGKULU: Rasio Jenis Kelamin, Rasio Ketergantungan, Kepadatan Peduduk

EVALUASI KONDISI DEMOGRAFI SECARA TEMPORAL DI PROVINSI BENGKULU: Rasio Jenis Kelamin, Rasio Ketergantungan, Kepadatan Peduduk EVALUASI KONDISI DEMOGRAFI SECARA TEMPORAL DI PROVINSI BENGKULU: Rasio Jenis Kelamin, Rasio Ketergantungan, Kepadatan Peduduk Afid Nurkholis Email: afidnurkholis@gmail.com ABSTRAK Pengukuran terhadap karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mobilitas penduduk tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat dengan pembangunan sebab mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan.

Lebih terperinci

A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat

A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pembangunan yang memengaruhi

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang apabila dikelola dengan baik penduduk dapat menjadi salah satu modal dasar

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009

KATA PENGANTAR. Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009 KATA PENGANTAR Kegiatan Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009 merupakan kerjasama antara Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Peternakan,

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 No. 07/01/31/Th. XV, 2 Januari 2013 INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER Provinsi DKI Jakarta TAHUN 2011 1. Indeks Pembangunan Gender (IPG) DKI Jakarta Tahun 2011 A. Penjelasan Umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika

BAB I PENDAHULUAN. pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi dalam konteks demografi cukup memberikan sumbangan yang sangat besar pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika

Lebih terperinci

BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN

BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN Kondisi lingkungan sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Jumlah penduduk yang semakin tinggi memberikan tekanan yang cukup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI UTARA TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI UTARA TAHUN 2017 No. 77/08/71/Th. XI, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI UTARA TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI UTARA TAHUN 2017 SEBESAR 73,69 PADA SKALA 0-100 Kebahagiaan Sulawesi Utara tahun 2017 berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III PROFIL UMUR DAN JENIS KELAMIN PENDUDUK KABUPATEN MAJALENGKA

BAB III PROFIL UMUR DAN JENIS KELAMIN PENDUDUK KABUPATEN MAJALENGKA BAB III PROFIL UMUR DAN JENIS KELAMIN PENDUDUK KABUPATEN MAJALENGKA 3.1. Pengertian Demografi Untuk dapat memahami keadaan kependudukan di suatu daerah atau negara, maka perlu didalami kajian demografi.

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok

Lebih terperinci

Analisis Mobilitas Tenaga Kerja

Analisis Mobilitas Tenaga Kerja Katalog BPS ht tp : // w w w.b ps.g o. id 2301014 Analisis Mobilitas Tenaga Kerja Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2014 BADAN PUSAT STATISTIK Analisis Mobilitas Tenaga Kerja Hasil Survei Angkatan Kerja

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan hidup mendasar yang setiap hari tidak dapat dihindari. oleh manusia salah satunya adalah makan. Dalam perkembangannya

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan hidup mendasar yang setiap hari tidak dapat dihindari. oleh manusia salah satunya adalah makan. Dalam perkembangannya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan hidup mendasar yang setiap hari tidak dapat dihindari oleh manusia salah satunya adalah makan. Dalam perkembangannya seiring dengan bergesernya gaya

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 No. 103/11/Th. XX, 06 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2017 A. KEADAAN KETENAGAKERJAAN Agustus 2017: Tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat penting dalam pembangunan di setiap wilayah maupun negara. Ini adalah tentang bagaimana negara membangun sumber daya manusianya.

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 21/03/12/Th. XVIII, 2 Maret 2015 TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014 Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam 10 tahun. Berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

DATA PENDUDUK SASARAN PROGRAM KESEHATAN TAHUN

DATA PENDUDUK SASARAN PROGRAM KESEHATAN TAHUN DATA PENDUDUK SASARAN PROGRAM KESEHATAN TAHUN 2007-2011 PUSAT DATA DAN INFORMASI DEPARTEMEN KESEHATAN RI JAKARTA 2009 KATA PENGANTAR Salah satu permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum ada kesepakatan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOBILITAS ULANG ALIK PENDUDUK KECAMATAN TAMBAN MENUJU KOTA BANJARMASIN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOBILITAS ULANG ALIK PENDUDUK KECAMATAN TAMBAN MENUJU KOTA BANJARMASIN JPG (Jurnal Pendidikan Geografi) Volume 2, No 1, Januari 2015 Halaman 1-12 e-issn : 2356-5225 http://ppjp.unlam.ac.id/journal/index.php/jpg FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOBILITAS ULANG ALIK PENDUDUK KECAMATAN

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2017 BPS PROVINSI KALIMANTAN TIMUR No. 69/08/Th. XX, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2017 Kebahagiaan Kalimantan Timur tahun 2017 berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sangat penting guna untuk merancang penelitian yang akan dilakukan peneliti. Beberapa penelitian terdahulu yang mendasari penelitian

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN No.39/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK INDONESIA MARET 2017 MENURUN GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR 0,335 Pada Maret 2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK No. 58/11/Th. XI, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI PAPUA BARAT Indeks Tendensi Konsumen (ITK) Provinsi Papua Barat Triwulan III 2017 ITK Papua Barat Triwulan III 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Jumlah

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016

SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016 SURVEI NASIONAL LITERASI DAN INKLUSI KEUANGAN 2016 1 PILAR 1 PILAR 2 PILAR 3 SURVEI NASIONAL 2013 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan Otoritas Jasa Keuangan untuk

Lebih terperinci

PERTEMUAN 5 : Ir. Darmawan L. Cahya, MURP, MPA

PERTEMUAN 5 : Ir. Darmawan L. Cahya, MURP, MPA PERTEMUAN 5 : PERSEBARAN PENDUDUK Oleh : Ir. Darmawan L. Cahya, MURP, MPA (darmawan@esaunggul.ac.id) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik - Universitas ESA UNGGUL Semester Genap 2012/2013

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 SEBESAR 71,92 PADA SKALA 0-100

INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 SEBESAR 71,92 PADA SKALA 0-100 No. 48/08/72/Th. XX, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SULAWESI TENGAH TAHUN 2017 SEBESAR 71,92 PADA SKALA 0-100 Kebahagiaan Sulawesi Tengah tahun 2017 berdasarkan

Lebih terperinci

DATA PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN TAHUN

DATA PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN TAHUN DATA PENDUDUK SASARAN PROGRAM PEMBANGUNAN KESEHATAN TAHUN 2011-2014 PUSAT DATA DAN INFORMASI KEMENTERIAN KESEHATAN RI JAKARTA 2011 KATA PENGANTAR Dalam rangka pemantauan rencana aksi percepatan pelaksanaan

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN MALUKU UTARA TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN MALUKU UTARA TAHUN 2017 No. 48/08/82/Th XVI, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN MALUKU UTARA TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN MALUKU UTARA TAHUN 2017 SEBESAR 75,38 PADA SKALA 0-100 Kebahagiaan Maluku Utara tahun 2017 berdasarkan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Indeks Tendensi Konsumen III-2017 Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 10/11/53/Th. XX, 6 November 2017 BERITA RESMI STATISTIK Indeks Tendensi Konsumen III-2017 Secara umum kondisi ekonomi dan tingkat optimisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan suatu topik yang tidak pernah hilang dalam sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah istilah bagi orang yang

Lebih terperinci

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2017

INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2017 BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 51/09/Th. XX, 4 September 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN BARAT TAHUN 2017 SEBESAR 70,08 PADA SKALA 0-100 Kebahagiaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 002/02/63/Th.XIV, 1 Pebruari 2010 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI KALIMANTAN SELATAN *) Pada Desember 2009, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Selatan tercatat 104,76

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 47/08/16/Th. XIX, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SUMSEL TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN SUMSEL TAHUN 2017 SEBESAR 71,98 PADA SKALA 0-100 Kebahagiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005, jumlah

Lebih terperinci

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Disampaikan oleh: DeputiMenteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Peluncuran Peta Kemiskinan dan Penghidupan

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan akan jasa transportasi dari penumpang/orang timbul akibat adanya

I. PENDAHULUAN. Permintaan akan jasa transportasi dari penumpang/orang timbul akibat adanya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permintaan akan jasa transportasi dari penumpang/orang timbul akibat adanya kebutuhan untuk melakukan perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lainnya untuk beraktivitas dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan perkotaan saat ini telah menjadi kawasan sangat luas dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan perkotaan saat ini telah menjadi kawasan sangat luas dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan perkotaan saat ini telah menjadi kawasan sangat luas dengan penyebaran daerah hunian sampai ke daerah sub urban. Karakteristik dasar pergerakan dalam kota juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Analisis demografi memberikan sumbangan yang sangat besar pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran, kematian

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 17/08/62/Th. II, 15 Agustus 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017 INDEKS KEBAHAGIAAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2017 SEBESAR 70,85

Lebih terperinci

KATALOG BPS : INDIKATOR TINGKAT HIDUP PEKERJA Badan Pusat Statistik

KATALOG BPS : INDIKATOR TINGKAT HIDUP PEKERJA Badan Pusat Statistik KATALOG BPS : 3405. INDIKATOR TINGKAT HIDUP PEKERJA 2006 2007 Badan Pusat Statistik INDIKATOR TINGKAT HIDUP PEKERJA 2006 2007 ISBN. 979-724-303-6 Nomor Publikasi : 04120.0504 Katalog BPS : 3405 Ukuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci