BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi mengenai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta landasan teori kontrol diri yang meliputi definisi, elemen-elemen, dan tipe-tipe kontrol diri. Bab ini juga berisi mengenai dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. A. CYBERLOAFING Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang bersamaan dengan perkembangan penggunaan internet di bidang bisnis atau perusahaan. Tak dapat dipungkiri bahwa cyberloafing menjadi salah satu fokus perhatian pihak perusahaan karena dampaknya terhadap produktivitas karyawan. Terdapat banyak istilah dan konsep yang digunakan untuk menyebutkan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Beberapa konsep tersebut antara lain non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, online loafing, internet deviance, problematic internet use, personal web usage at work, internet dependency, internet abuse, serta internet addiction (Kim & Sahara, 2011).

2 1. Definisi Cyberloafing Lim, Teo, dan Loo (2002) menyebutkan segala tindakan disengaja karyawan menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan untuk tujuan pribadi dan aktivitas memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) pribadi sebagai penyalahgunaan internet. Segala aktivitas tersebut disebut dengan istilah cyberloafing. Kedua aktivitas itu (seperti browsing atau memeriksa ) merupakan penggunaan waktu yang tidak produktif karena menurunkan kinerja karyawan untuk menyelesaikan tugas-tugas utama pekerjaan. Perilaku cyberloafing ini dapat dikatakan sama dengan istilah personal web usage at work (penggunaan jaringan pribadi saat bekerja) yang diungkapkan oleh Anadarajan dan Simmers (2004). Personal web usage at work merupakan segala bentuk perilaku online web yang dilakukan oleh karyawan secara sengaja selama jam kerja dengan menggunakan berbagai sumber daya organisasi untuk aktivitas selain dari keperluan pekerjaan yang ditentukan. Sumber daya organisasi yang dimaksud tidak hanya berupa jaringan maupun server perusahaan, tetapi juga penggunaan komputer dan waktu karyawan yang seharusnya menjadi sumber daya milik perusahaan. Sedangkan menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan fasilitas internet dan perusahaan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan secara disengaja oleh karyawan saat bekerja. Askew (2012) menyatakan bahwa cyberloafing merupakan perilaku yang terjadi ketika karyawan menggunakan berbagai jenis komputer (seperti desktop, cell-phone, tablet) saat

3 bekerja untuk aktivitas non-destruktif di mana supervisor karyawan tidak menganggap perilaku itu berhubungan dengan pekerjaan. Dari beberapa definisi yang diungkapkan tokoh di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa cyberloafing merupakan segala bentuk perilaku karyawan yang menggunakan akses internet perusahaan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) di saat jam kerja. 2. Tipe-Tipe Cyberloafing Lim dan Teo (2005) membagi cyberloafing menjadi dua tipe aktivitas yaitu: 1. ing Activities (Aktivitas ) Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (tujuan pribadi) saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah memeriksa, membaca, maupun menerima pribadi. 2. Browsing Activities (Aktivitas Browsing) Tipe cyberloafing ini mencakup semua aktivitas penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat jam kerja. Contoh perilaku dari tipe cyberloafing ini adalah browsing situs olahraga, situs berita, maupun situs khusus dewasa.

4 Sedangkan Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing ke dalam dua tipe yaitu: 1. Minor Cyberloafing Minor cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet umum yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Minor cyberloafing terdiri dari penggunaan atau browsing situs hiburan. Beberapa contoh minor cyberloafing adalah mengirim dan menerima pribadi, mengunjungi situs olahraga, memperbarui status jejaring sosial (seperti Twitter atau Facebook), serta berbelanja online. Dengan kata lain, minor cyberloafing mirip dengan perilaku umum lain yang tidak sepenuhnya ditoleransi di tempat kerja, seperti mengangkat telfon pribadi atau mengobrol hal-hal yang bersifat pribadi saat sedang bekerja. 2. Serious Cyberloafing Serious cyberloafing merupakan tipe cyberloafing di mana karyawan terlibat dalam berbagai bentuk perilaku penggunaan internet yang bersifat lebih berbahaya karena bersifat melanggar norma perusahaan dan berpotensi ilegal. Beberapa contoh perilaku dari serious cyberloafing adalah judi online, mengelola situs milik pribadi, serta membuka situs yang mengandung pornografi (Case & Young, 2002).

5 Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan kedua tipe cyberloafing dari Blanchard dan Henle (2008), baik minor cyberloafing maupun serious cyberloafing. Hal ini dikarenakan kedua tipe cyberloafing ini membagi perilaku cyberloafing ke dalam beberapa aktivitas berdasarkan tingkat keparahannya. 3. Faktor-Faktor Penyebab Cyberloafing Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga faktor yang menyebabkan munculnya perilaku cyberloafing. Ketiga faktor itu adalah sebagai berikut : 1) Faktor Individual Faktor individual berpengaruh terhadap muncul atau tidaknya perilaku cyberloafing. Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain : a. Persepsi dan Sikap Individu yang memiliki sikap positif terhadap komputer lebih mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi. Selain itu, terdapat hubungan yang positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing dengan perilaku cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet mereka menguntungkan bagi performansi kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). b. Sifat Pribadi Perilaku individu pengguna internet akan menunjukkan berbagai motif psikologis yang dimiliki oleh individu tersebut. Trait pribadi seperti

6 shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), kontrol diri, harga diri, dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet individu. Bentuk penggunaan internet yang dimaksud adalah kecenderungan individu mengalami kecanduan atau penyalahgunaan internet. c. Kebiasaan dan Adiksi Internet Kebiasaan mengacu pada serangkaian situasi-perilaku otomatis sehingga terjadi tanpa disadari atau tanpa pertimbangan untuk merespon isyaratisyarat khusus di lingkungan (Woon & Pee, 2004). Lebih dari 50% perilaku media diperkirakan merupakan sebuah kebiasaan (LaRose, 2010). d. Faktor Demografis Beberapa faktor demografis seperti status pekerjaan, persepsi otonomi di dalam tempat kerja, tingkat gaji, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor penting dari cyberloafing (Garrett & Danziger, 2008). e. Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial, dan Kode Etik Personal Persepsi individu mengenai larangan etis terhadap cyberloafing berhubungan negatif dengan penerimaan terhadap cyberloafing itu sendiri. Namun sebaliknya, hal itu berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, keyakinan normatif individu (misalnya, cyberloafing itu tidak benar secara moral) mengurangi keinginan untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011).

7 2) Faktor Organisasi Beberapa faktor organisasi juga dapat menentukan kecenderungan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu : a. Pembatasan Penggunaan Internet Perusahaan dapat membatasi penggunaan komputer saat bekerja melalui kebijakan perusahaan atau pencegahan pengunaan teknologi di kantor. Hal ini dapat mengurangi kesempatan karyawan menggunakan internet untuk tujuan pribadi, sehingga perusahaan dapat meningkatkan regulasi diri karyawan (Garrett & Danziger, 2008). b. Hasil yang Diharapkan Ketika karyawan memilih online untuk tujuan pribadi saat bekerja, ia memiliki harapan tertentu bahwa perilaku itu dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat membuat dirinya terhindar dari konsekuensi negatif (Garrett & Danziger, 2008). c. Dukungan Manajerial Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan fasilitas tersebut malah dapat meningkatkan penggunaan internet untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap semua tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan perilaku cyberloafing.

8 d. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing Blau (2006) mengatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role model (panutan) dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing ini dipelajari dengan mengikuti perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan organisasi. Individu yang mengetahui bahwa rekan kerjanya juga melakukan cyberloafing, akan lebih mungkin untuk melakukan cyberloafing (Weatherbee, 2010). e. Sikap Kerja Karyawan Perilaku cyberloafing merupakan respon emosional karyawan terhadap pengalaman kerja yang membuatnya frustrasi, sehingga dapat diterima bahwa sikap kerja mempengaruhi cyberloafing (Liberman, Gwendolyn, Katelyn & Laura, 2011). Penelitian sebelumnya menemukan bahwa karyawan lebih mungkin terlibat dalam perilaku menyimpang ketika memiliki sikap kerja yang tidak menyenangkan (Garrett & Danziger, 2008). Sikap kerja karyawan ini terdiri dari tiga bagian yaitu : e.1. Injustice (Ketidakadilan) Lim (2002) menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing.

9 e. 2. Komitmen Kerja Dalam membentuk penggunaan internet di tempat kerja, komitmen memiliki peran penting karena dapat mempengaruhi dampak yang diharapkan. Karyawan yang terikat secara emosional dengan organisasi dan pekerjaannya cenderung merasa bahwa cyberloafing tidak sesuai dengan rutinitas kerja, sehingga mereka akan lebih jarang melakukan cyberloafing. e. 3. Kepuasan Kerja Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet. Sedangkan Stanton (2002) menemukan bahwa karyawan yang cenderung menjadi sangat puas adalah karyawan yang sering menyalahgunakan internet. f. Karakteristik Pekerjaan Karakteristik pekerjaan tertentu akan mengarah pada perilaku cyberloafing dengan tujuan untuk meningkatkan kreativitas atau melepas kebosanan. Dengan kata lain, pekerjaan yang kreatif akan memiliki lebih banyak tuntutan dan tidak membosankan, sehingga karyawan akan lebih jarang melakukan cyberloafing.

10 3) Faktor Situasional Perilaku penyimpangan internet biasanya terjadi ketika karyawan memiliki akses terhadap internet di tempat kerja, sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku ini (Weatherbee, 2010). Penelitian menunjukkan bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi. Lebih jauh lagi, adanya kebijakan formal organisasi dan sanksi atas perilaku cyberloafing juga dapat mengurangi perilaku cyberloafing. Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing di atas, maka penelitian ini hanya akan berfokus pada faktor individual yaitu sifat pribadi karyawan berupa kontrol diri sebagai salah satu variabel penelitian. B. KONTROL DIRI Kontrol diri merupakan salah satu fungsi pusat yang berada dalam diri individu. Kontrol diri dapat dikembangkan dan digunakan oleh individu untuk mencapai kesuksesan dalam proses kehidupan. Pengaruh kontrol diri terhadap timbulnya tingkah laku dianggap cukup besar, karena salah satu hasil proses pengontrolan diri seseorang adalah tingkah laku yang tampak (Zulkarnain, 2002).

11 1. Definisi Kontrol Diri Goldfried & Marbaum (1973) menyatakan bahwa kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa ke arah konsekuensi positif. Hal ini sejalan dengan definisi yang diungkapkan oleh Rothbaum, Weisz, dan Snyder (1982) yang mendefinisikan kontrol diri sebagai sejauhmana individu mampu mengubah dan beradaptasi dengan lingkungan sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan diri. Kopp (1982) menyatakan bahwa kontrol diri sebagai kemampuan untuk memenuhi keinginan dengan memodifikasi perilaku sesuai dengan situasi, menyegerakan atau menunda tindakan, dan berperilaku sesuai dengan yang diterima secara sosial tanpa dibimbing atau diarahkan oleh hal lainnya. Sedangkan Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang, atau dengan kata lain sebagai serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri sebagai individu. Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Gottfredson dan Hirschi juga menyatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah adalah orang-orang yang cenderung memiliki orientasi here and now, lebih memilih menyelesaikan sesuatu secara fisik daripada mengandalkan kognitif, senang terlibat dalam aktivitas berbahaya, kurang sensitif dengan kebutuhan orang lain, lebih memilih jalan pintas dibandingkan dengan hal-hal kompleks, serta memiliki toleransi yang rendah terhadap sumber-sumber frustasi.

12 Sedangkan menurut Bauimester (2002), kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah atau mengarahkan respon individu, termasuk pikiran, emosi, dan tindakan secara sadar, terutama mengendalikan impuls dan melawan godaan. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengartikan kontrol diri sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh masyarakat. Dari beberapa definisi kontrol diri tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur dan mengarahkan pikiran, afeksi, dan perilaku agar dapat beradaptasi dengan lingkungan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan maupun melawan godaan tertentu. 2. Elemen-Elemen Kontrol Diri Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan enam elemen yang menjadi ciri-ciri individu yang memiliki kontrol diri rendah. Melalui enam elemen ini, dapat dilihat tingkat kontrol diri individu. Enam elemen tersebut adalah : 1) Impulsiveness Konsep ini mengacu pada kecenderungan seseorang untuk merespon stimulus nyata di lingkungan terdekat. Individu ini memiliki orientasi here and now. Individu tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang akan dilakukannya. Individu mudah tergoda untuk sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, apabila individu memiliki kontrol diri yang tinggi cenderung menunda pemuasan kebutuhan.

13 2) Preference for Physical Activity Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah lebih memilih kegiatan yang tidak membutuhkan keahlian tertentu dibandingkan mencari aktivitas yang membutuhkan pemikiran (kognitif). Individu ini senang melakukan aktivitas secara fisik dibandingkan aktivitas mental. 3) Risk-Seeking Orientation Konsep ini menjelaskan bahwa individu dengan kontrol diri yang rendah suka terlibat dalam aktivitas-aktivitas fisik yang beresiko, menyenangkan, dan menegangkan. Mereka melakukan tindakan sembunyi-sembunyi, berbahaya, atau manipulatif. Oleh karena itu, individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung pemberani dan aktif. Sedangkan individu yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung hati-hati, kognitif, dan verbal. 4) Self-Centeredness Individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung mementingkan diri sendiri. Individu ini juga kurang peka terhadap penderitaan dan kebutuhan orang lain. Individu ini sering tidak bersikap ramah, atau dengan kata lain, cenderung kurang peduli dalam pembinaan hubungan dengan orang lain. Tindakan mereka merupakan refleksi dari self-interest (minat pribadi) atau untuk keuntungan pribadi.

14 5) Preference for Simple Tasks Individu dengan kontrol diri yang rendah akan cenderung menghindari tugastugas sulit yang membutuhkan banyak pemikiran. Individu ini lebih menyukai tugas sederhana yang dapat diselesaikan dengan mudah. Dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung kurang rajin, gigih, atau tekun dalam melakukan suatu tindakan. Mereka lebih mencari kepuasan hasrat yang mudah dan sederhana. 6) Short-Tempered Konsep ini menjelaskan individu dengan kontrol diri yang rendah cenderung rentan mengalami frustasi, emosi mudah meledak, dan temperamental. Ketika terlibat permasalahan dengan orang lain, individu yang memiliki kontrol diri rendah cenderung kesulitan untuk menyelesaikannya secara verbal. 3. Tipe-Tipe Kontrol Diri Averill (1973) menyebut kontrol diri sebagai personal control (kontrol personal). Berdasarkan konsep Averill, terdapat tiga tipe kontrol diri, yaitu behaviour control (kontrol perilaku), cognitive control (kontrol kognitif), dan decisional control (mengontrol keputusan) (Averill, 1973; Zulkarnain, 2002).

15 a. Behavioral control Kontrol perilaku merupakan adanya kesiapan dan penggunaan tindakan yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan atau mengancam. b. Cognitive control Kontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. c. Decisional control Mengontrol keputusan merupakan kemampuan individu untuk memilih tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diinginkannya atau setuju dengan tindakan yang harus diambilnya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Dari uraian mengenai tipe-tipe kontrol diri yang dijelaskan di atas, peneliti akan berfokus pada kontrol perilaku.

16 C. PENGARUH KONTROL DIRI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI PERPUSTAKAAN Salah satu fenomena yang muncul bersamaan dengan penggunaan fasilitas internet di tempat kerja adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing merupakan perilaku kerja karyawan yang bersifat counterproductive dan dapat merugikan perusahan. Hal ini dikarenakan cyberloafing memungkinkan karyawan untuk membuang-buang waktu kerja. Cyberloafing merupakan tindakan karyawan yang disengaja berupa penggunaan akses internet perusahaan untuk browsing website yang tidak berkaitan dengan pekerjaan (Lim, 2002). Tindakan ini dilakukan selama jam kerja untuk kepentingan pribadi karyawan. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah sifat pribadi karyawan (Ozler & Polat, 2012). Salah satu sifat pribadi tersebut adalah kontrol diri. Penelitian yang dilakukan oleh Restubog, Garcia, Toledano, Amarnani, Tolentino, dan Tang (2011) menunjukkan bahwa kontrol diri berhubungan negatif dengan perilaku cyberloafing pekerja. Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perilaku counterproductive seperti cyberloafing terjadi akibat kegagalan regulasi diri (Yellowees & Marks, 2007). Gottfredson dan Hirschi (1990) menyatakan bahwa kontrol diri merupakan atribut stabil manusia yang dikarakteristikkan dengan pengaturan kognisi, afeksi, dan perilaku menuju pemenuhan tujuan-tujuan tertentu individu. Dalam teori kontrol diri rendah yang mereka kembangkan, mereka mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kontrol diri rendah dikarakteristikkan dengan enam

17 elemen, yaitu impulsiveness, preference for physical activity, risk-seeking orientation, self-centeredness, preference for simple tasks, dan short-tempered. Jika ditinjau dari elemen impulsiveness, maka pegawai yang impulsif cenderung tidak mempertimbangkan konsekuensi negatif dari perbuatan yang dilakukannya. Pegawai yang impulsif lebih mungkin melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing. Selain itu, mereka lebih mudah tergoda untuk melakukan sesuatu yang bersifat menyenangkan bagi dirinya (Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti browsing situs hiburan atau media sosial saat bekerja. Pegawai yang impulsif berorientasi here and now sehingga mereka hanya berfokus pada kenikmatan sesaat dengan melakukan aktivitas browsing internet untuk kepentingan pribadi tanpa mempedulikan dampaknya bagi tempat di mana ia bekerja. Jika ditinjau dari elemen preference for physical activity, maka pegawai yang melakukan cyberloafing adalah pegawai yang senang melakukan aktivitas fisik dibandingkan aktivitas mental. Hal ini maksudnya adalah pegawai tidak suka melakukan aktivitas yang membutuhkan pemikiran maupun keahlian tertentu (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Cyberloafing merupakan salah satu perilaku yang tidak membutuhkan skill tertentu, karena yang dibutuhkan hanya perangkat elektronik (seperti komputer atau laptop) dan akses internet. Sedangkan pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih suka pada aktivitas yang membutuhkan pemikiran dan keahlian tertentu.

18 Apabila ditinjau dari elemen risk-seeking orientation, pegawai yang berorientasi mencari resiko lebih cenderung melakukan perilaku menyimpang saat bekerja (Gottfredson & Hirschi, 1990). Perilaku menyimpang ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan cukup berbahaya bagi dirinya dan orang lain. Dalam hal ini, salah satu perilaku menyimpang itu adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing juga mengandung unsur manipulatif karena pegawai tetap dapat terlihat bekerja dengan semangat karena tidak meninggalkan meja kerja, meskipun sebenarnya mereka sedang melakukan aktivitas browsing internet untuk kepentingan pribadi (Lavoie & Pychyl, 2001). Oleh karena itu, pegawai yang memiliki elemen risk-seeking orientation rendah cenderung akan berhati-hati dalam bekerja, sehingga mereka akan mempertimbangkan segala konsekuensi dari suatu tindakan yang akan dilakukannya. Jika ditinjau dari elemen self-centeredness, pegawai yang hanya berfokus pada kebutuhan diri sendiri akan lebih mungkin melakukan cyberloafing. Pegawai ini kurang peka terhadap kebutuhan orang lain (Gottfredson & Hirschi, 1990), seperti misalnya kebutuhan pengguna layanan perpustakaan. Dampak dari penggunaan internet pribadi saat bekerja tentu akan merugikan berbagai pihak, termasuk instansi di mana ia bekerja. Pegawai yang memiliki self-centeredness tinggi juga akan kurang peka terhadap orang lain, sehingga mereka berperilaku hanya untuk keuntungan pribadi (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Apabila dilihat dari elemen preference for simple tasks, pegawai yang lebih mungkin melakukan cyberloafing adalah pegawai yang kurang gigih atau tekun dalam bekerja. Fokus perhatian pegawai ini mudah beralih ke aktivitas-aktivitas

19 menyenangkan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Ia sulit untuk mengontrol dirinya dan fokus menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Pegawai yang tinggi pada elemen preference for simple tasks juga akan menghindari pekerjaan sulit yang membutuhkan banyak pemikiran (Gottfredson & Hirschi, 1990). Sebaliknya, pegawai yang memiliki elemen preference for simple tasks rendah cenderung lebih fokus pada pekerjaannya sehingga perhatiannya tidak mudah beralih ke halhal lain yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Jika ditinjau dari elemen short-tempered, pegawai yang tinggi pada elemen ini cenderung rentan mengalami frustasi saat bekerja, sehingga mereka akan mudah mencari pelampiasan dari rasa frustasi yang dialami dengan aktivitas lain (Grasmick, Tittle, Bursik & Arneklev, 1993). Aktivitas lain tersebut biasanya tidak berkaitan dengan pekerjaan, seperti cyberloafing. Selain itu, pegawai yang tinggi pada elemen ini memiliki emosi yang mudah meledak dan temperamental. Sebaliknya, pegawai yang rendah pada elemen ini cenderung lebih tenang dan mamp mengontrol emosinya dengan baik. Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pegawai yang memiliki kontrol diri rendah berdasarkan teori Gottfredson dan Hirschi (1990) cenderung impulsif, lebih suka melakukan aktivitas fisik yang tidak membutuhkan skill tertentu, suka melakukan aktivitas beresiko, hanya fokus pada kebutuhan diri sendiri, rentan mengalami frustasi dan temperamental, serta menghindari pekerjaan sulit yang membutuhkan pemikiran kognitif. Oleh karena itu, pegawai yang memiliki kontrol diri rendah cenderung lebih mungkin melakukan perilaku cyberloafing di tempat kerja. Sedangkan pegawai yang memiliki kontrol diri

20 tinggi cenderung mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan dilakukannya (tidak impulsif), berhati-hati dalam bekerja, lebih suka melakukan aktivitas mental, peka terhadap kebutuhan orang lain, mampu mengatur emosinya, serta gigih dan tekun dalam bekerja. Oleh sebab itu, pegawai yang memiliki kontrol diri tinggi cenderung lebih jarang melakukan perilaku menyimpang di tempat kerja, seperti cyberloafing. Berdasarkan pemaparan dinamika kedua variabel di atas, dapat dilihat bagaimana keenam elemen dari kontrol diri rendah yang dikemukakan oleh Gottfredson dan Hirschi (1990) dapat mempengaruhi munculnya perilaku cyberloafing. Oleh karena itu, peneliti ingin melihat pengaruh dari kontrol diri terhadap perilaku cyberloafing pada pegawai perpustakaan. D. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah kontrol diri berpengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki individu, maka hal itu dapat mengurangi frekuensi perilaku cyberloafing yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan internet merupakan perubahan paling signifikan yang membuka jalan bagi manusia untuk mendapatkan berbagai keuntungan dan kemudahan dalam kehidupan. Dalam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, aktivitas, dan faktor-faktor

BAB II LANDASAN TEORI. landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, aktivitas, dan faktor-faktor BAB II LANDASAN TEORI Bab ini mencakup landasan teori yang mendasari penelitian, yaitu landasan teori cyberloafing yang meliputi definisi, aktivitas, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing, dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai cyberlaofing meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai cyberlaofing meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi mengenai teori yang mendasari masalah objek penelitian, yaitu teori mengenai cyberlaofing meliputi definisi, tipe-tipe, dan faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing,

Lebih terperinci

HUBUNGAN SELF CONTROL DAN PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

HUBUNGAN SELF CONTROL DAN PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL HUBUNGAN SELF CONTROL DAN PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL Noratika Ardilasari, Ari Firmanto Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang noratikaardilasa@gmail.com Terbaginya konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, 2008). Melalui internet, orang-orang dapat mengakses informasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, 2008). Melalui internet, orang-orang dapat mengakses informasi dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dibidang teknologi dan informasi memberikan kemudahan bagi manusia untuk melakukan aktivitas seharihari. Salah satu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penjuru dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Internet Live Stats (2014),

BAB I PENDAHULUAN. penjuru dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Internet Live Stats (2014), BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era teknologi saat ini, penggunaan internet telah menyebar di seluruh penjuru dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari Internet Live Stats (2014), hampir

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Kepada Universitas Muhamadiyah Malang Sebagai salah satu persyaratan utuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

SKRIPSI Diajukan Kepada Universitas Muhamadiyah Malang Sebagai salah satu persyaratan utuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi HUBUNGAN SELF CONTROL DENGAN PERILAKU CYBERLOAFING PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL SKRIPSI Diajukan Kepada Universitas Muhamadiyah Malang Sebagai salah satu persyaratan utuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda mengenai cyberloafing (Weatherbee, 2010). Selain cyberloafing ada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda mengenai cyberloafing (Weatherbee, 2010). Selain cyberloafing ada BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. CYBERLOAFING 1. Pengertian Cyberloafing Banyak pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dalam organisasi. Perbedaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan oleh para akademisi untuk memudahkan pertukaran data dan informasi.

BAB I PENDAHULUAN. digunakan oleh para akademisi untuk memudahkan pertukaran data dan informasi. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan internet saat ini semakin pesat. Sejak pertama kali diperkenalkan sampai saat ini pengguna internet terus meningkat. Pada tahun 1997 pengguna internet diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi informasi merupakan istilah yang umum digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi informasi merupakan istilah yang umum digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Teknologi informasi merupakan istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan mengenai berbagai macam teknologi yang dapat membantu manusia dalam membuat, menyusun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara cepat dan mempermudah masyarakat dalam mencari informasi. Terlebih

BAB I PENDAHULUAN. secara cepat dan mempermudah masyarakat dalam mencari informasi. Terlebih BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Internet sudah tidak asing lagi bagi masyarakat karena hampir semua masyarakat sudah mengenal dan mengetahui internet. Hal ini dikarenakan internet mempunyai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri 1. Definisi Kontrol Diri Kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah respon diri sendiri, terutama untuk membawa diri mereka kepada standar yang sudah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini kita hidup dalam ekonomi global, perkembangan yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini kita hidup dalam ekonomi global, perkembangan yang terjadi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini kita hidup dalam ekonomi global, perkembangan yang terjadi dalam ekonomi dunia semakin lama, berlangsung semakin cepat sejalan dengan semakin lajunya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi yang sangat pesat semakin memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini adalah teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Kini telah banyak

BAB I PENDAHULUAN. kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Kini telah banyak 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan internet telah memberi berbagai keuntungan dan kemudahan dalam kehidupan (Ozler & Polat, 2012). Kini telah banyak perusahaan yang menyediakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa atau 60 %.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa atau 60 %. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Data Diri Responden Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas responden siswa laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kecanduan Internet Kandell (dalam Panayides dan Walker, 2012) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Definisi Perilaku Konsumtif Perilaku konsumtif adalah sebagai bagian dari aktivitas atau kegiatan mengkonsumsi suatu barang dan jasa yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai wadah dari mahasiswa untuk menyalurkan bakat dibidang olahraga. Mahasiswa juga dapat mengembangkan

Lebih terperinci

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal

BAB II LANDASAN TEORI. Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal BAB II LANDASAN TEORI A. KECANDUAN BLACKBERRY SERVICE 1. Definisi Kecanduan Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal yang berkenaan dengan zat adiktif (misalnya alkohol,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan. Kata konsumtif

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN Bab ini berisi tentang kesimpulan, diskusi, dan saran yang dihasilkan dari hasil penelitian. Saran-saran dalam penelitian ini berisi tentang saran yang ditunjukan untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha di era globalisasi saat ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha di era globalisasi saat ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha di era globalisasi saat ini dirasakan sangat pesat. Pertumbuhan dan perkembangan ini juga berjalan seirama dengan persaingan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel Tergantung : Perilaku mengemudi berisiko 2. Variabel Bebas : Kontrol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya internet. Internet (interconnection networking) adalah seluruh jaringan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya internet. Internet (interconnection networking) adalah seluruh jaringan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini teknologi informasi mengalami perkembangan yang pesat, khususnya internet. Internet (interconnection networking) adalah seluruh jaringan komputer yang saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diberi berbagai kelebihan yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Internet yang merupakan singkatan dari interconnection-networking, dapat

BAB I PENDAHULUAN. Internet yang merupakan singkatan dari interconnection-networking, dapat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Internet yang merupakan singkatan dari interconnection-networking, dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang saling terhubung. Stevenson (2010) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Definisi Problematic Internet Use Awal penelitian empiris tentang penggunaan internet yang berlebihan ditemukan dalam literatur yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan bagian dari generasi muda yang menjadi peletak dasar bagi perubahan besar sebuah negara. Ujung tombak sebuah negara ditentukan oleh remaja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini, akan dijelaskan beberapa hal mengenai definisi kontrol diri, aspek kontrol diri, faktor yang mempengaruhi kontrol diri, definisi perilaku konsumtif, faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lina Nurlaelasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lina Nurlaelasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa dimana perasaan remaja lebih peka, sehingga menimbulkan jiwa yang sensitif dan peka terhadap diri dan lingkungannya. Remaja menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang saling membutuhkan dan saling berinteraksi. Dalam interaksi antar manusia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Pengertian Problematic Internet Use (PIU) Problematic Internet Use atau PIU merupakan sindrom multi-dimensi dengan gejala kognitif maladatif dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP BEBAN KERJA DENGAN CYBERLOAFING PADA KARYAWAN BIRO ADMINISTRASI UMUM DAN KEUANGAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP BEBAN KERJA DENGAN CYBERLOAFING PADA KARYAWAN BIRO ADMINISTRASI UMUM DAN KEUANGAN UNIVERSITAS DIPONEGORO HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP BEBAN KERJA DENGAN CYBERLOAFING PADA KARYAWAN BIRO ADMINISTRASI UMUM DAN KEUANGAN UNIVERSITAS DIPONEGORO Hafidz Ibnu Ramadhan, Harlina Nurtjahjanti Fakultas Psikologi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela BAB II KAJIAN TEORI A. Disiplin Berlalu Lintas 1. Pengertian Disiplin Berlalu Lintas Menurut Hurlock (2005), disiplin berasal dari kata yang sama dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan teknologi yang pesat, terutama teknologi informasi dan komunikasi kian banyak digunakan orang untuk berbagai manfaat salah satunya internet. Internet (Interconnected

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use Problematic Internet use (PIU) didefinisikan sebagai cara penggunaan internet yang menyebabkan penggunanya memiliki gangguan atau masalah secara psikologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

GAMBARAN CYBERSLACKING PADA MAHASISWA

GAMBARAN CYBERSLACKING PADA MAHASISWA Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2017 Vol. 2, No. 1, Hal 9-17 GAMBARAN CYBERSLACKING PADA MAHASISWA Yemima Valencia Susanto Putri Yemimavalenciasp@gmail.com Fakultas Psikologi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 55 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Bab IV mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hasil penelitian. Baik dengan rumusan masalah penelitian, secara berurutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik dan lingkungannya. Artinya guru memiliki tugas dan tanggung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah sebagai institusi pengelola pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pengelolaan sekolah diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Internet telah mengubah bisnis organisasi dengan cepat, dengan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Internet telah mengubah bisnis organisasi dengan cepat, dengan memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Internet telah mengubah bisnis organisasi dengan cepat, dengan memberikan komunikasi dan akses informasi dan distribusi. Lebih lanjut internet digunakan organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu memberikan pengetahuan dasar dan sejumlah keterampilan khusus serta pelatihan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia di era globalisasi sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia di era globalisasi sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN Sumber daya manusia di era globalisasi sangat penting dalam pembangunan bangsa karena sumber daya manusia merupakan aspek utama dalam segala hal. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Definisi self efficacy Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Organizational Citizenship Behavior. Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organizational Citizenship Behavior 2.1.1. Pengertian Organizational Citizenship Behavior Menurut Organ, Podsakoff, & MacKinzie (2006), organizational citizenship behavior

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil uji korelasi yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya untuk menjawab hipotesa didapatkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, yaitu terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelecehan Seksual 1. Pengertian Pelecehan Seksual Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Biro Kepegawaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Biro Kepegawaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Biro Kepegawaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, peneliti akan memaparkan penelitian dan teori yang diperoleh dari beberapa sumber. Pada bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa peneliti akan menganalisa hubungan antara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009 1 1. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Manajer merupakan seseorang yang berusaha menggapai tujuan organisasi atau perusahaan dengan mengatur orang lain agar bersedia melakukan tugas yang diperlukan untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice)

BAB II LANDASAN TEORI. potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) BAB II LANDASAN TEORI A. MOTIVASI BELAJAR 1. Definisi Motivasi Belajar Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah yang mendasari penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi. A. Latar

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Simpulan. Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah

BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Simpulan. Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN 5.1. Simpulan Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah mengonfirmasi elaboration likelihood model for workplace aggression

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah akuntan publik 1016 orang. Jumlah ini meningkat pesat

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah akuntan publik 1016 orang. Jumlah ini meningkat pesat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan KAP (Kantor Akuntan Publik) meningkat pesat. Hal ini diperkuat dari penghitungan yang dilakukan IAPI (Ikatan Akuntan Publik Indonesia) pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. hanya kadang kadang (Sapadin & Maguire, 1996:4). Prokrastinasi sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. hanya kadang kadang (Sapadin & Maguire, 1996:4). Prokrastinasi sebagai 19 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PROKRASTINASI 1. Pengertian Prokrastinasi Hampir setiap individu melakukan prokrastinasi walaupun mungkin hanya kadang kadang (Sapadin & Maguire, 1996:4). Prokrastinasi sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab ini akan dibahas beberapa landasan teori sebagai dasar untuk melihat

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Bab ini akan dibahas beberapa landasan teori sebagai dasar untuk melihat BAB II LANDASAN TEORI Pada Bab ini akan dibahas beberapa landasan teori sebagai dasar untuk melihat gambaran prokrastinasi pada mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara. Landasan teori ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abidin, Y. (2014). Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum Bandung: PT

DAFTAR PUSTAKA. Abidin, Y. (2014). Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum Bandung: PT DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2014). Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Bandung: PT Refika Aditama. Admin. (2015, Juli 7). PNS ngefacebook dalam jam kerja. Retrieved Juli 7, 2015, from

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau mengembangkan perilaku yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. informasi dan komunikasi atau sering disebut dengan Information and Communication

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. informasi dan komunikasi atau sering disebut dengan Information and Communication BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi yang semakin pesat terutama dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi atau sering disebut dengan Information and Communication Technology

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situs web, atau chatting. Dengan aneka fasilitas tersebut individu dapat

BAB I PENDAHULUAN. situs web, atau chatting. Dengan aneka fasilitas tersebut individu dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi saat ini sudah semakin maju, khususnya perkembangan teknologi internet. Melalui teknologi internet, individu dapat menggunakan berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

61 DAFTAR PUSTAKA Abdillah, W. (2008). Pengaruh Faktor Personality Disposisional dan Kognitif Situasional Terhadap Niat Penggunaan Internet. Thesis. Universitas Gajah Mada. Amiel, T & Sargent, S. L. 2004.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dalam berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan.

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use (PIU) 2.1.1 Definisi Problematic Internet Use Problematic Internet Use (PIU) didefinisikan sebagai penggunaan internet yang menyebabkan sejumlah gejala

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konsep Diri Istilah konsep diri biasanya mengarah kepada sebuah pembentukan konsep pribadi dari diri seseorang. Secara umum konsep diri adalah pandangan dan sikap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang pesat dewasa ini telah membuat kehidupan banyak masyarakat menjadi lebih mudah. Dalam beberapa tahun belakangan ini, internet merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara

BAB II LANDASAN TEORI. Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara BAB II LANDASAN TEORI A. KOMITMEN KARYAWAN TERHADAP ORGANISASI 1. Defenisi Komitmen Karyawan terhadap Organisasi Komitmen karyawan terhadap organisasi merupakan suatu hubungan antara individu karyawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi internet pada saat ini dapat membantu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi internet pada saat ini dapat membantu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi internet pada saat ini dapat membantu keefektifan dan keefisienan operasional perusahaan. Penggunaan internet dalam perusahaan berubah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepuasan Kerja 1. Definisi Kepuasan Kerja Menurut Kinicki dan Kreitner (2014 : 169) kepuasan kerja adalah sebuah tanggapan afektif atau emosional terhadap berbagai segi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan banyak orang karena dengan internet kita bisa mengakses dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan banyak orang karena dengan internet kita bisa mengakses dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini internet sudah menjadi gaya hidup. Internet merupakan kebutuhan banyak orang karena dengan internet kita bisa mengakses dan menemukan segala macam informasi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen. BAB II LANDASAN TEORI A. LOYALITAS MEREK 1. Definisi Loyalitas Merek Schiffman dan Kanuk (2004) mengatakan bahwa loyalitas merek merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia 10 2. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini mengulas tentang pelbagai teori dan literatur yang dipergunakan dalam penelitian ini. Adapun teori-teori tersebut adalah tentang perubahan organisasi (organizational change)

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan. secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002).

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan. secara khas dalam perilaku kerja mereka (Sinamo, 2002). BAB II LANDASAN TEORI A. ETOS KERJA 1. Pengertian Etos Kerja Berdasarkan kamus Webster (2007), etos didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Komitmen Organisasi 1.1 Definisi Komitmen Organisasi Kata komitmen berasal dari kata latin yang berarti to connect. Merriam Webster dalam (Zangaro, 2001), menyimpulkan definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan aset penting dalam suatu organisasi, karena

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan aset penting dalam suatu organisasi, karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya manusia merupakan aset penting dalam suatu organisasi, karena merupakan sumber yang dapat mengelola, mempertahankan, dan mengembangkan organisasi. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kontrol diri merupakan hal yang penting bagi setiap individu, termasuk dan terutama bagi individu yang sedang menjalani proses rehabilitasi narkoba. Kontrol diri menurut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN Bab ini akan membahas mengenai metodologi penelitian yang digunakan antara lain, desain penelitian, populasi dan sampel dan definisi operasional dari variabel yang dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

HUBUNGAN SELF-CONTROL DENGAN PERILAKU KONSUMTIF SEPATU BERMEREK PADA MAHASISWA UNIVERSITAS GUNADARMA

HUBUNGAN SELF-CONTROL DENGAN PERILAKU KONSUMTIF SEPATU BERMEREK PADA MAHASISWA UNIVERSITAS GUNADARMA HUBUNGAN SELF-CONTROL DENGAN PERILAKU KONSUMTIF SEPATU BERMEREK PADA MAHASISWA UNIVERSITAS GUNADARMA Nama : Retno Bembi R. NPM : 17513450 Pembimbing : Yudit Oktaria K. Pardede, M.Psi., Psi. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap individu mengalami masa peralihan atau masa transisi. Yang dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan bisnis yang makin ketat seperti dewasa ini, sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan bisnis yang makin ketat seperti dewasa ini, sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di era persaingan bisnis yang makin ketat seperti dewasa ini, sumber daya manusia merupakan aset perusahaan dan sumber daya vital sebagai penentu keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial sehingga komunikasi merupakan hal yang pasti dilakukan setiap harinya. Menurut Edwin Emery dkk., (1965, dalam Muis, 2001: 3)

Lebih terperinci

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING BAB I PENDAHULUAN Pokok bahasan yang dipaparkan pada Bab I meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penelitian. A.

Lebih terperinci