BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini merefleksikan penelitian-penelitan terdahulu. Dalam

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini merefleksikan penelitian-penelitan terdahulu. Dalam"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian ini merefleksikan penelitian-penelitan terdahulu. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan rujukan hasil penelitian sebelumnya sebagai berikut: Ada dua studi yang dilakukan dengan skala nasional mengenai prilaku pemilih dan menghasilkan temuan yang berbeda perihal sejauh mana etnis berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Studi pertama dilakukan oleh Ananta (et.al). 1 Studi ini menunjukkan etnis adalah salah satu penjelas dalam perilaku pemilih di Indonesia. Studi kedua dilakukan oleh Liddle dan Mujani 2. Penelitian Liddle dan Mujani menghasilkan temuan sebaliknya. Aspek etnis bukanlah variabel penting dalam menjelaskan pilihan seseorang pada partai atau kandidat. Tidak ada perbedaan yang tegas pilihan seseorang pada partai atau kandidat berdasarkan pada etnis mereka seperti pada temuan Ananta (et.al ). Pemilih yang berasal dari etnis Jawa atau non Jawa tidak terlihat punya perbedaan pilihan partai atau kandidat presiden. Mengapa ada perbedaan temuan? Penulis berpendapat perbedaan metode dan data yang dipakai oleh kedua studi turut menentukan perbedaan temuan. Studi Ananta menggunakan data agregat dalam hal ini data etnis di masing-masing kabupaten /kota dari BadanPusat Statistik (BPS) dan data perolehan suara di masingmasing kabupaten / kota dari Komisi 11

2 Pemilihan Umum (KPU). Metode dan data yang dipakai Ananta (et.al ) ini berbeda dengan yang dilakukan oleh 2 Liddle dan Mujani menggunakan survei dengan sampel responden yang diambil secara representatif dan menggambarkan suara pemilih di Indonesia. Responden ditanya etnis (suku) mereka dan ditanya preferensi partai dan kandidat. Dari sini, 2 Liddle dan Mujani sampai pada kesimpulan tidak ada perbedaan yang tajam antara preferensi pemilih berdasarkan etnis. Kedua metode ini punya kelebihan dan kelemahan masing-masing, dan sedikit banyak menentukan perbedaan temuan. Temuan Ananta (et.al ) ataupun Liddle dan Mujani itu perlu diperkaya dengan lebih banyak penelitian lain yang mengkaji kaitan antara etnisitas dan perilaku pemilih termasuk faktor agama seperti pendapat Arend Lijphart (1977) menemukan bahwa agama, dibandingkan dengan factor sosilogis lain, merupakan faktor paling penting dalam mempengaruhi prilaku pemilih dalam masyarakat demokrasi maju.

3 2 Lihat William Liddle dan Saiful Mujani, The Power of Leadership: Explaining Voting Behavior in the NewIndonesian Democracy, Laporan penelitian, Temuan ini diperkuat dengan studi selanjutnya thn Perilaku Pemilih Perilaku adalah respon individu atau kelompok terhadap lingkungan. Dalam fisiologi, perilaku manusia merupakan bagian penting dari perubahan fisik yang menitik beratkan pada sifat dan karakteristik yang khas dari organorgan atau sel-sel yang ada dalam tubuh. Dalam kacamata ilmu sosial, perilaku atau perbuatan manusia merupakan manifestasi terhadap pola-pola hubungan, dinamika, perubahan dan interaksi yang menitik beratkan pada masyarakat dan kelompok sosial sebagai satu kesatuan, serta melihat individu sebagai bagian dari kelompok masyarakat (keluarga, kelompok sosial, kerabat, klien, suku, ras, bangsa). Diantara dua kelompok ilmu pengetahuan ini berdiri psikologi, yang membidangi individu dengan segala bentuk aktivitasnya, perbuatan, perilaku dan kerja selama hidupnya. Kerangka analisis fisiologi memberikan penjelasan mengenai macam-macam tingkah laku lahiriah, yang sifatnya jasmani. Sedangkan manusia merupakan satu totalitas jasmani-rohani. Menurut Plano, seperti yang dikutip oleh Fadillah Putra (2004:200), perilaku politik adalah pikiran dan tindakan yang berkaitan dengan pemerintah. Perilaku politik meliputi tanggapan-tanggapan internal seperti persepsipersepsi, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan, juga meliputi tindakantindakan yang nyata seperti pemberian suara, protes, lobi, dan lain sebagainya. Ramlan Surbakti, (1997) perilaku pemilih adalah pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan untuk memilih atau tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilihan umum (pilkada

4 secara langsung). Bila voters memutuskan untuk memilih (to vote) maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu. Keikutsertaan warga negara dalam pemilu merupakan tindakan atau keputusan politik seseorang yang ditentukan oleh perilaku, sikap dan persepsi politik. Perilaku pemilih di Indonesia dalam beberapa pemilihan umum sebelumnya, tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh isu ataupun kebijakan politik yang dimiliki partai yang akan dipilihnya, namun lebih mengedepankan isu agama, kelas sosial bahkan loyalitas turun temurun sebagai acuan dasar dalam menjatuhkan pilihannya. Pemilih lebih mengedepankan keyakinan dan kepentingannya dalam menjatuhkan pilihan politik walaupun pada akhirnya pemilih seringkali mendapatkan nilai ketidakpastian yang tinggi dari janji-janji politik pilihannya. Konfigurasi perilaku pemilih di Indonesia bersumber dari berbagai hal yang saling berkaitan. Perubahan iklim politik merupakan faktor utama dalam pemetaan dan identifikasi konfigurasi perilaku tersebut. Pada masa sebelum orde reformasi, pemilihan umum yang dilakukan, menempatkan pemilih sebagai alat legitimasi hasil yang akan diperoleh sehingga perilaku pemilih yang timbul bersifat monoton dan konstan. Berbeda dengan pemilihan umum pada masa reformasi, pemilih diberikan kebebasan penuh tapi terbatas lewat pembentukan partai maupun pendapat individu untuk melakukan komunikasi politik yang lebih intens antar pemilih dalam upaya merubah penilaian dan keyakinan terhadap sebuah pilihan politik. Pada akhirnya akan bermuara pada keputusan untuk bersikap dalam menentukan pilihannya.

5 Faktor lain yang membentuk konfigurasi pemilih adalah kemajemukan Indonesia dari sisi sosio-kultur, ekonomi, pendidikan dan demografi daerah. Kemajemukan berakibat lahirnya orientasi-orientasi pemilih dalam menentukan sikapnya. Pada dasarnya orientasi yang lahir tidak terlepas dari keyakinan, dalam hal ini agama dan keberlangsungan isu yang terus berkembang. Menurut Ramlan Surbakti (1998), ada beberapa pendekatan perilaku pemilih untuk menjelaskan mengapa pemilih memilih kontestan tertentu, yaitu: a) Pendekatan Struktural Pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan oleh setiap partai. Struktur sosial yang menjadi sumber kemajemukan politik dapat berupa kelas sosial atau perbedaan-perbedaan antara majikan dan pekerja, agama, perbedaan kota dan desa, bahasa dan nasionalisme. Jumlah partai, basis sosial sistem partai dan program-program yang ditonjolkan mungkin berbeda dari suatu negara ke negara lain karena perbedaan struktur sosial tersebut. b) Pendekatan Ekologis Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Kalau di Amerika Serikat terdapat distrik, precinct, dan ward. Kelompok masyarakat, seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu,

6 sub kultur tertentu, dan profesi tertentu bertempat tinggal pada unit teritorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit teritorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum. Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan karena karakteristik data hasil pemilihan umum untuk tingkat provinsi berbeda dengan karakteristik data kabupaten, atau karakteristik data kabupaten berbeda dengan karakteristik data tingkat kecamatan. c) Pendekatan Pilihan Rasional Pendekatan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Bagi pemilih pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih, terutama untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih. Ciri-ciri pemberi suara yang rasional itu meliputi lima hal : 1. Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada hal alternatif. 2. Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja, atau lebih rendahdibandingkan dengan alternatif lain. 3. Menyusun alternatif dengan cara transitif: jika A lebih suka daripada B, dan B lebih baik daripada C, maka lebih disukai daripada C. 4. Memilih alternatif yang tingkat prestasinya lebih tinggi.

7 5. Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif yang sama. d) Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Model ini percaya bahwa masyarakat adalah sistem stratifikasi, maka dengan memeriksa hirarki individu dan pekerjaan seseorang dapat diungkap perilaku pemilih. Stratifikasi yang masuk dalam kategori ini termasuk : 1. gender. 2. usia. 3. kelompok formal seperti serikat buruh, organisasi massa, organisasi keagamaan. 4. kelompok sub formal seperti keluarga, pertemanan 5. profesi pekerjaan, 6. tempat tinggal (kota-desa) 7. pendidikan 8. agama e) Pendekatan Psikologis Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partaipartai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Kongkretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya

8 merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain. Sedangkan menurut Adman Nursal (2004), ada beberapa pendekatan untuk melihat perilaku pemilih, yaitu: 1. Pendekatan sosiologis (Mazhab Columbia) Menurut Mazhab Colombia (Asfar, 1993) pendekatan sosiologis pada dasrnya menjelaskan bahwa karakteristik social dan pengelompokan sosial, usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal dan lainnya member pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan perilaku pemilih. 2. Pendekatan psikologis Mazhab Michigan menggaris bawahi adanya sikap politik para pemberi suara yang menetap. Teori ini dilandasi oleh konsep sikap dan sosialisasi. 3. Pendekatan rasional Dalam konteks pendekatan rasional, pemilih akan memilih jika ia merasa ada timbal balik yang akan diterimanya. Ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih calon yang sedang bertanding, ia tidak akan mengikuti dan melakukan pilihan pada proses Pemilu. Hal ini juga sejalan dengan prinsip ekonomi dan hitung ekonomi. Pendekatan ini juga mengandaikan bahwa calon walikota dan wakil walikota akan melakukan berbagai promosi dan kampanye yang bertujuan untuk menarik simpati dan keinginian masyarakat untuk memilih dirinya pada pemilukada. Keputusan untuk memberikan dukungan suara dan tidak memberika suara terjadi apabila tidak terdapat kepercayaan tinggi dari pemilih kepada calon

9 tersebut. sebaliknya pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa partai dan calon tersebut tidak loyal serta tidak konstiten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan. Perilaku pemilih juga sarat dengan ideologi antara pemilih dengan calon ataupun partai politik. Melwit menyebutkan bahwa perilaku politik merupakan pengambilan yang bersifat instan, tergantung pada situasi sosial politik tertentu dan tidak berbeda dengan keputusan lainnya.10 (Ramlan Surbakti, hal 89) Tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusan pemilih seperti faktor partai yang mendukung pasangan calon, citra atupun figur kandidat tersebut. Perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Untuk memahami faktor pemilih dalam menentukan pilihannya pertama kita haru memahami bagaimana konteks latar belakang historisnya. Sikap dan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya 11 banyak dipengaruhi oleh proses dan sejarah masa lalu. Ini dikarenakan budaya politik di indonesia masih kental akan sejarah dan kebudayaan masa lampau. Faktor kedua ialah kondisi geografis dan wilayah. Hal ini sangat berpengaruh kepada masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilu, secara tidak langsung perilaku pemilih banyak ditentukan oleh faktor wilayah. Oleh karena itu kondisi dan faktor geografis/wilayah menjadi pertimbangan penting dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang.

10 Misalnya saja dalam pengambilan keputusan, peraturan dan kebijakan sampai dalam pemilihan umum. Hal ini menuntut agar si calon pandai-pandai membuat strateginya dalam kampanye agar perilaku pemilih cenderung memilih si kandidat tersebut. Faktor ketiga ialah agama/keyakinan dan budaya. Dalam hal ini mencakup hal-hal yang berhubugan dengan agama dan budaya masyarakat baik itu kesukuan, etnisitas sampai ras. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk dan pluralitas ataupun beraneka ragam. Agama telah memberikan nilai moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya. Dalam hal ini peneliti memfokuskan kepada etnis tionghoa yang dominan beragama Budha namun memang tidak semua etnis tionghoa beragama Budha. Keyakinan dan agama merupakan pedoman acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya dalam proses politik. Hal ini membenarkan bahwa agama dan keyakinan dapat mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam aktivitas politik. Begitu pula halnya dengan Suku ataupun Etnisitas. Konsep etnisitas akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Dalam kajian ini kita ketahui bahwa perilaku politik seseorang bisa saja dipengaruhi oleh ikatan-ikatan tertentu seperti rasa keterikatan dalam etnisitas. Etnis tionghoa cenderung memilih dan memberikan pilihan mereka dalam pemilu kepada kandidat yang paling mengarah kepada faktor ini. Untuk itulah perlu dikaji lebih mendalam

11 mengapa faktor kesukuan ini sangat mempengaruhi dalam perilaku politik etnis tionghoa. Faktor keempat ialah pendidikan dan komunikasi yang sangat berpengaruh kepada perilaku konstituen. Pendidikan dan komunikasi yang baik dari si calon maupun kandidat akan memberikan dan mempengaruhi simpatik konstituen. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya, dan begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat maupun seseorang maka semakin rendah tingkat kesadaran politiknya. Selain itu, komunikasi politik yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam aktivitas politiknya dan perilaku politiknya dalam menentukan pilihannya dalam pemilihan umum. Itulah beberapa teori mengenai konsep perilaku politik dan bagaimana perilaku politik seseorang dalam menentukan pilihan politiknya dalam pelaksanaan pemilihan umum. Harapannya ialah perilaku politik seseorang itu sebaiknya tidak lagi dipengaruhi oleh sifat-sifat yang berbau budaya, namun kita sebagai konstituen memberikan pilihan kita berdasarkan visi dan misi dari calon atupun kandidat tersebut. 4. Pendekatan marketing Newman dan Sheth (1985) mengembangkan model perilaku pemilih berdasarkan beberapa domain yang terkait dengan marketing. Menurut model ini, perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain kognitif yang berbeda dan terpisah, sebagai berikut: 1. Isu dan Kebijakan Politik

12 Komponen isu dan kebijakan politik mempersentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat jika kelak menang pemilu. 2. Citra Sosial Citra sosial adalah citra kandidat dalam pikiran pemilih mengenai berada di dalam kelompok sosial mana atau tergolong sebagai apa seseorang kandidat politik 3. Perasaan Emosional Perasaan emosional adalah dimensi yang terpancar dari sebuah kontestan yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan. 4. Citra Kandidat Mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai karakter kandidat 5. Peristiwa Muktahir Peristiwa Muktahir menagcu pada himpunan peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang menjelang dan selama kampanye. 6. Peristiwa Personal Peristiwa Personal mengacu pada kehidupan pribadi dan peristiwa yang pernah dialami secara pribadi oleh seorang kandidat 7. Faktor-faktor epistemik Faktor-faktor epistemic adalah isu-isu pemilihan spesifik yang terdapat memicu keingintahuan para pemilih mengenai hal-hal baru. Keempat pendekatan perilaku pemilih saling menguatkan atau melengkapi satu sama lainnya, Untuk memudahkan kepentingan praktis, kiat dapat

13 menyederhakan keempat pendekatan itu menjadi sebuah rangkuman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih yaitu; 1. Social imagery atau citra sosial (pengelompokan sosial) 2. Identifikasi partai 3. Kandidat 4. Isu dan Kebijakan politik (issue and policies) 5. Peristiwa-peristiwa tertentu 6. Faktor-faktor epistemik 2.3 Tipe-tipe Pemilih Dalam memilih sebuah partai politik atau kontestan, pemilih memiliki perilaku dalam mengambil keputusan dalam menentukan pilihannya. Perilaku ini berasal dari hasil persepsi pemilih dalam melihat profil maupun trade record dari partai politik auat kontestan. Terkadang perilaku pemilih ini rasional dan nonrasional dalam menentukan pilihannya. Menurut Quist dan Crano (2003) dalam Firmanzah (2004) penting untuk mempelajari faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa dan bagaiman pemilih menyuarakan pendapatnya. Secara psikologis, Newcomb (1978) dan bryne (1971) mengungkapkan bahwa untuk menganalisa rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya dapat digunakan model kesamaan (similiarity) dan ketertarikan (attraction). Dasar pengguna model tersebut karena setiap individu akan tertarik kepada suatu hal atau seseorang bila memiliki system nilai dan keyakinan yang sama. Maksudnya adalah bila dua pihak memiliki karakteristik

14 yang sama (similiarity) maka akan semakin meningkatkan ketertarikan (attraction) satu dengan yang lainnya. Firmanzah (2004) membagi dua jenis kesamaan dalam menilai kedekatan dengan partai politik atau seorang kontestan, yaitu (1) kesamaan akan hasil akhir yang inngin dicapai (policy-problem-solving), dan (2) kesamaan akan faham dan nilai dasar ideology (ideology) dengan salah satu partai atau seorang kontestan. Kesamaan pertama berkaiatan dengan kemampuan kontestan dalam menawarkan solusi masalah. Menurut Pattie dan Johnston (2004), perspektif akan menjadi penting di saat kampanye pemilu, karena kontestan dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan pemilih akan program kerja partai politik dan kontestan melalui penyediaan informasi dan komunikasi yang efektif. Selanjutnya adalah kesamaan ideology. Mengacu kepada kesamaan ideologi Sargent (1987) memberikan batasan tentang ideologi sebagai sebuah sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai suatu fakta atau kebenaran oleh suatu kelompok, Menurut Firmanzah (2007), karakteristik pemilih yang didasarkan kepada kesamaan ideology, lebih menekankan pada aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi dan psikografis. Maksudnya adalah, pemilih ceenderung berkelompok kepada kontestan yang memiliki kedekatan ideology yang sama dengan pemilihnya. Kedua pendekatan mosel tersebut diatas dapat memudahkan kontestan dan pemilih dalam memetakan kategori pemilih dan kontestan berdasarkan karakteristik kesamaan atau kedekatan. Sehingga bagi kontestan dapat menjadi dasar dan pemberi arah bagi

15 para pemilihnya. Selain itu di dalam keputusan untuk memilih, pemilih memiliki judgement yang mendasari pemilihan suatu konntestan. Menurut Firmanzah (2004) pertimbangan pemilih yang mempengaruhi terbagi tiga faktor secara bersamaan: (1) kondisi awal pemilih, (2) media massa, dan (3) partai politik atau kontestan. Faktor pertama adalah kondisi awal pemilih, seperti kondisi sosial budaya dan nilai tradisional, selain itu pula tingkat pendidikan dan ekonomi (Chapman dan Palda, 1983). Faktor kedua menurut Hofstetter et al, (1978) adalah media massa memiliki keberpihakan dan bias dalam memberikan informasi kontestan (Trentetal, 2001). Faktor ketiga yaitu karakteristik dari partai politik dan kontestan itu sendiri, seperti reputasi partai politik (Fiorina, 1981), waktu yang dibutuhkan oleh kontestan dalam membangun reputasi, kepemimpinan (Karp, et al, 2002). Ketiga hal ini akan mempengaruhi judgement pemilih tentang kedekatan dan ketertarikan mereka tentang partai politik.

16 Kondisi Awal 1. Sosial budaya pemilih 2. Nilai tradisional pemilih 3. Level pendidikan dan ekonomi pemilih 4. dll Media massa 1. Data, informasi dan berita media massa 2. Ulasan ahli 3. Permasalahan terkini 4. Perkembangan tren situasi Partai Politik /Kontestan 1. Catatan kinerja dan reputasi 2. Marketing politik 3. Program kerja 4. Sistem nilai Pemilih Ideologi Partai Politik / Kontestan Policy problem Gambar 2.1 Faktor yang mempertimbangkan pilihan pemilih (Firmanzah, 2007) Atas dasar model pendekatan kesamaan atau kedekatan ideology dan policy-problem-solving, Firmanzah (2007) memetakan tipologi ke dalam empat kolom tipologi pemilih. Empat tipologi tersebut terdiri atas: 1. Pemilih Rasional Peemilih memiliki orientasi tinggi pada policy problem solving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau kontestan dalamprogram kerjanya. Pemilih jenis ini memiliki cirri khas yang tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang

17 kontestan. Faktor seperti faham, asal-usul, niali tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih ini adalah apa yang bisa (dan yang telah) dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan, daripada paham dan nilai partai atau kontestan. Pemilih jenis ini mulai banyak terdapat di Indonesia, terutama sejak lengsernya Soeharto dari puncak pimpinan Negara. 2. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai politik atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah rational voter untuk berpaling ke partai lain. Pemilih jenis ini adalah pemilih yang kritis. Artinya mereka akan selalu menganalisis kaitan antara system nilai partai (ideology) dengan kebijakan yang dibuat. Pemilih jenis ini harus di manage sebaik mungkin oleh sebuah partai politik atau seorang kontestan. Pemilih memiliki keinginan dan kemampuan untuk terus memperbaiki kinerja partai, sementara kemungkinan kekecewaan yang bisa berakhir ke frustasi dan pembuatan partai politik tandingan juga besar. 3. Pemilih Tradisional Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi ideology yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pegambilan keputusan. Pemilih tradisional sangat

18 mengutamakan kedekatan sosial budaya, niali asal usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai politik. Biasanya pemilih jenis ini lebih mengutamakan figure dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan konservatif dalam memegang nilai serta faham yang di anut. Pemilih tradisional adalah jenis pemilih yang bisa dimobilisasi selama periode kampanye (Rohrscheneider, 2002). Loyalitas tinggi merupakan salah satu cirri khas yang paling kelihatan bagi pemilih jenis ini. 4. Pemilih Skeptis Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Mereka juga kurang memperdulikan program kerja atau platfrom dan kebijakan sebuah partai politik Etnis Pada awalnya istilah etnis hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India.

19 Perkembangan belakangan ini menyebutkan bahwa, istilah etnis juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesi, misalnya suku batak. Istilah etnis sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah, bahasa, sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnis menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnis adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang : a. Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak. b. Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. c. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri. d. Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain Sekarang ini, etnis sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnis bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat

20 umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnis tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnis bersangkutan. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnis atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok lain. Definisi etnis diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnis yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Sebuah kelompok etnis pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnis tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnis itu atau tidak. Etnis tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnis lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnis yang diperkuat, dimana identitas etnis semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnis lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnis dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya tertentu. Etnisitas sebagai ikatan primordialisme terkadang digunakan oleh elit politik lokal di suatu daerah sebagai isu dalam meraup suara pada saat momentum di sebuah pemilihan. Para elit lokal terkadang mendoktrinasi anggota

21 kelompoknya serta menyebarkan kepercayaan serta kebencian yang menjadi sumber ketegangan sosial. Segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan social yang terikat kedalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub- kebudayaan yang berbeda satu sama lain mudah sekali menimbulkan konflik-konflik diantara kesatuan-kesatuan sosial tersebut. Jadi, berbicara mengenai etnisitas tetap tidak kehilangan momentum. Hanya saja, pemahaman mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnis sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas etnispun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas etnis menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu. Terakhir ialah bahwa etnis tertentu memang memiliki suatu keterikatan tertentu antar mereka yang memiliki kesamaan, baik itu hubungan saudara maupun keterikatan lainnya. Penelitian ini pun ingin mengungkapkan konsep etnisitas dan keterkaitannya dengan preferensi perilaku pemilih dalam Pemilu Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) Sejak berlakunya Undang-Undang Nomar 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undangundang ini adalah daerah DKI jakarta 2007.

22 Pemilih umum kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi, bupati dan wakil bupati untuk kabupaten, wali kota dan wakil wali kota untuk kota, sebelumnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peserta pilkada berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta pilkada dapat berasal dari calon perseorangan dan partai politik lokal. Adanya ketentuan peserta pilkada hanya bisa dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dianggab bertentangan dengan UUD Pada tanggal 23 juni, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagian pasal dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya memberi kesempatan kepada partai politik dan gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan (independen) dalam pilkada bertentangan dengan UUD Suatu negara dikatakan demokratis apabila memenuhi prasyarat antara lain memberi kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan prefensi- prefensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. Selain itu juga harus memberikan ruang untuk berkompetisi yang sehat dan melalui caracara damai, serta tidak melarang siapapun untuk berkompetisi untuk jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat yang

23 penting demokrasi. Oleh karena itu salah satu agenda penting dalam pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik. Dalam hal ini, kesuksesan Pilkada langsung tidak hanya dilihat dari persfektif kemajuan pelaksanaan otonomi daerah, khususnya yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi juga bagian inheren agenda reformasi politik, sebagai mana menjadi tuntutan mahasiswa saat meruntuhkan rezim orde baru. Namun dibalik euforia menyongsong pilkada langsung dewasa ini, ada masalah lain yang dapat membuat agenda politik lokal ini paradoks, yakni potensi konflik yang dikandungnya. Karena itu potensipotensi konflik harus dapat diantisipasi dan yang harus diwaspadai potensipotensi yang bisa menyebabkan agenda politik lokal berbalik arah. Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki fungsi- fungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Fungsi pemilihan langsung kepala daerah ada beberapa diantaranya : a. Sebagai Sarana Legitimasi Politik Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik. Melalui pemilihan umum kapala daerah, keabsahan pemerintahan daerah yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilkannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tak hanya memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya.

24 Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis dari pemilihan umum. Ada tiga alasan pemilihan umum dapat menjadi legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa : 1) melalui pemilihan umum pemerintah dapat meyakinkan atau memperbaharui kesepakatan- kesepakatan politik dengan rakyat. 2) melalui pemilihan umum pemerintahan dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara. 3) dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengadakan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci (1971) menunjukkan bahwa kesepakatan (conscent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legitimasi dari otoritasnya ketimbang penggunaan kekerasan dan dominasi. b. Fungsi Perwakilan Politik Fungsi ini terutama menjadi kebutuhan rakyat, baik untuk mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang dihasilkan. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan. c. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Sebagai Mekanisme Bagi Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa Tingkat Daerah. Keterkaitan pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas

25 mewakili masyarakat luas atau rakyat. Secara teoritis, hubungan pemilihan umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan melihat proses mobilitas kaum elit atau non elit yang menggunakan jalur institusi politik, dan organisasi kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat nasional, yakni sebagai anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu, pemilihan umum merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa. Dengan begitu maka melalui pemilihan umum kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah diharapkan dapat berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa tingkat daerah secara kompetitif dan domokratis. d. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Bagi Rakyat Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang demokrasi Kerangka Berpikir Berbagai faktor dan struktur sosial yang ada dalam tokoh masyarakat dapat menjadi variabel yang sangat berpengaruh. Dalam konteks Pilkada Kota Medan Tahun 2010, perilaku memilih sangatlah di pengaruhi oleh faktor-faktor primordialisme yaitu kuatnya ikatan kekerabatan (darah dan kekeluargaan) dan kesamaan kesukuan, bahasa, dan adat-istiadat, agama yang merupakan faktorfaktor primordial yang membentuk perilaku memilih masyarakat. Secara sederhana faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar bagan kerangka berpikir berikut:

26 Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Pemilih: 1. Etnisitas 2. Agama 3. Preferensi Politik Keluarga 4. Gender 5. Identifikasi Partai 6. Politik Uang 7. Citra Kandidat Perilaku Pemilih Gambar 2.2 Kerangka berpikir penelitian 1. Ikatan etnisitas diartikan sebagai ikatan sesorang dengan kelompok atau orang lain yang didasari oleh hal-hal yang bersifat asal, primer atau unsur bawaan. Ikatan etnisitas merupakan sesuatu ikatan yang mengandung daya paksa atau kekuatan yang didasarkan pada unsur-unsur asal atau primer yang selalu ada dalam masyarakat. 2. Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. 3. Preferensi politik keluarga adalah factor afeksional seperti kepercayaan (trust), solidaritas (solidarity) maupun soliditas yang secara keseluruhan turut menentukan eksistensi dinasti politik, baik antara anggota internal keluarga maupun krooni-kroni yang berada dalam lingkaran kekuasaan.

27 4. Gender berasal dari kata gender yang berarti jenis kelamin. Tetapi Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. 5. Identifikasi kepartaian adalah ikatan emosional individu dengan suatu partai. Ikatan itu merupakan identifikasi psikologis tanpa pengakuan formal atau dinyatakan dalam bentuk keanggotaan formal dan bahkan tidak harus konsisten untuk mendukung suatu partai. Identifikasi partai telah diperoleh dari masa kanak-kanak dan dianggap relatif stabil dalam kehidupan seseorang, tetapi kadang-kadang bisa menguat atau melemah sewaktu masa dewasa, (Gaffar, 2007:191). 6. Politik uang menurut Teten Masduki (2004) adalah pemberian uang, atau barang, atau fasilitas tertentu, dan janji kepada para orang-orang tertentu agar seseorang dapat dipilih apakah misalnya menjadi Kepala Derah/Wakil Kepala Daerah.Teten Masduki juga menyebutkan bahwa politik uang (money politics) berbeda dengan ongkos politik (cost politic). 7. Citra kandidat (candidate personality) dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan Nursal, yaitu mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai karakter kandidat.

BAB II KAJIAN TEORETIK. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang

BAB II KAJIAN TEORETIK. Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang BAB II KAJIAN TEORETIK Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori-teori yang akan dipakai sebagai landasan penelitian ang akan dilakukan, adalah teori mengenai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Pemilih 1. Definisi Pemilih Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilih diartikan sebagai Warga Negara

Lebih terperinci

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK Modul ke: 12 Dr. Fakultas PASCASARJANA Perilaku Pemilih Heri Budianto.M.Si Program Studi Magister Ilmu Komunikasi http://mercubuana.ac.id Konsep dan Definisi Perilaku Pemilih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Perilaku Pemilih 1. Perilaku Memilih Ramlan Surbakti (2010:185) memandang perilaku memilih sebagai keikutsertaan warga negara dalam pemilu yang juga menjadi serangkaian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir 59 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Responden Responden dalam penelitian ini adalah para pemilih pemula yang tercatat dalam data pemilih pada pemilihan Peratin Pekon Rawas Kecamatan Pesisir Tengah

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP Setelah menjelaskan berbagai hal pada bab 3, 4, dan 5, pada bab akhir ini saya akan menutup tulisan ini dengan merangkum jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian. Untuk tujuan itu, saya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut Sudiono Sastroatmodjo (1995: 3) adalah :

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut Sudiono Sastroatmodjo (1995: 3) adalah : 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perilaku Pemilih 1. Pengertian Perilaku Pemilih Pada umumnya perilaku politik ditentukan oleh faktor internal dan individu itu sendiri seperti idealisme, tingkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perilaku Pemilih 1. Definisi Perilaku Politik Sikap politik seseorang terhadap objek politik yang terwujud dalam tindakan atau aktivitas politik merupakan perilaku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Voting Behavior. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Voting Behavior. Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Voting Behavior 1. Definisi Voting Behavior Perilaku pemilih (voting behavior) merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia.

I. PENDAHULUAN. demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) menjadi bagian terpenting dalam penyelenggaraan demokrasi pada negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia. Pemilu sering diartikan

Lebih terperinci

BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya

BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya BAB IV PERILAKU PEMILIH DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN TAHUN 2014 A. Perilaku Pemilih Dan Pilpres 2014 Secara umum partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa atau yang disebut dangan nama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah suatu kesatuan masyarakat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden Responden penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Abung Siwo Mego Buay Subing di Desa Labuhan Ratu Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur yang

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan 56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilih kelompok pemula di Indonesia dari pemilu ke pemilu terus bertambah. Dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), total jumlah pemilih tetap yang terdaftar tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung. Oleh karena itu, dalam pengertian modern, demokrasi dapat

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung. Oleh karena itu, dalam pengertian modern, demokrasi dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang wilayahnya luas dan rakyatnya banyak. Sehingga, demokrasi tidak mungkin dilaksanakan secara langsung. Oleh karena

Lebih terperinci

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN

PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 DI KECAMATAN MOWILA JURNAL PENELITIAN PERILAKU POLITIK PEMILIH PEMULA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2015 JURNAL PENELITIAN OLEH: NILUH VITA PRATIWI G2G115106 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang dilaksanakan secara langsung, yang merupakan salah satu bentuk Demokrasi. Bagi sebuah bangsa

Lebih terperinci

PERILAKU PEMILIH PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI KOTA MALANG TAHUN 2014 Vindi Hanindya

PERILAKU PEMILIH PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI KOTA MALANG TAHUN 2014 Vindi Hanindya PERILAKU PEMILIH PEREMPUAN DALAM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI KOTA MALANG TAHUN 2014 Vindi Hanindya ABSTRAK Penelitian ini berawal dari ketertarikan peneliti mengenai fenomena gender terkait

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemilihan umum. Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara. Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pemilihan umum. Perilaku memilih dapat ditujukan dalam memberikan suara. Kepala Daerah dalam Pemilukada secara langsung. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Pemilih Keikutsertaan warga negara dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan membuat keputusan, yakni apakah memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Perilaku Pemilih 1. Perilaku Pemilih Sikap politik seseorang terhadap objek politik yang terwujud dalam tindakan atau aktivitas politik merupakan perilaku politik

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN A. Tingkat Partisipasi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Pada Pemilu Presiden 2014 Partisipasi merupakan salah satu aspek penting dalam

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Faktor-faktor kemenangan..., Nilam Nirmala Anggraini, FISIP UI, Universitas 2010 Indonesia 101 BAB 5 KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Fokus utama dari bab ini adalah menjawab pertanyaan penelitian. Bab ini berisi jawaban yang dapat ditarik dari pembahasan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan rakyat. Hal yang mengarah kepada sebuah tipekal khusus dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan rakyat. Hal yang mengarah kepada sebuah tipekal khusus dalam 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Demokrasi telah dianggap sebagai sebuah instrumen dalam menjalankan sebuah konsepsi negara yang ideal dalam menjawab persoalan dan penegakan kekuasaan rakyat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada Juni 2005, rakyat Indonesia melakukan sebuah proses politik yang baru pertama kali dilakukan di dalam perpolitikan di Indonesia, proses politik itu adalah Pemilihan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon

BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN. A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon 95 BAB V PEMBAHASAN DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN A. Jenis Iklan politik dalam Media Massa yang digunakan oleh pasangan calon Kepala Daerah dalam pilkada Sidoarjo 2010 Pemilihan kepala daerah secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan di sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi telah digunakan disebagianbesar negara di dunia termasuk Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak reformasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, kepala daerah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang

PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang PERILAKU MEMILIH GENERASI MUDA KELUARGA ANGGOTA POLRI DALAM PEMILIHAN GUBERNUR JAWA TENGAH 2013 Studi di Asrama Polisi Sendangmulyo Kota Semarang Oleh : Radityo Pambayun Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yakni pertama kajian yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1998) dan Kristiadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. yakni pertama kajian yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1998) dan Kristiadi 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian-kajian tentang Pemilu di Indonesia Di antara kajian-kajian Pemilu di Indonesia, Peneliti melihat ada dua kajian yakni pertama kajian yang dilakukan oleh Afan Gaffar (1998)

Lebih terperinci

ETNISITAS DAN PERILAKU PEMILIH

ETNISITAS DAN PERILAKU PEMILIH ETNISITAS DAN PERILAKU PEMILIH (STUDI KASUS : PERSEPSI DAN PREFERENSI MASYARAKAT ETNIS BATAK TOBA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG KABUPATEN KARO TAHUN 2010) SKRIPSI DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam hubungannya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan

III. METODE PENELITIAN. menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan 32 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kuantitatif. Metode kuantitatif digunakan dengan menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Partai Politik 1. Konsep partai Politik Menurut Epstein (Gatara, 2009: 191), mengatakan bahwa partai politik adalah setiap kelompok-kelompok, meskipun terorganisasi secara sederhana,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem demokrasi rakyat memberikan kesempatan yang sama dalam proses penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum adalah suatu proses dari sistem demokrasi, hal ini juga sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan penuh untuk memilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang

BAB I PENDAHULUAN. antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun 2014 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Disebut tahun politik antara lain karena Indonesia melaksanakan sejumlah kegiatan politik yang melibatkan setidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarkan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil guna menghasilkan

Lebih terperinci

Firmanzah, PhD. Pasca Sarjana Ilmu Manajemen University of Indonesia

Firmanzah, PhD. Pasca Sarjana Ilmu Manajemen University of Indonesia Firmanzah, PhD Pasca Sarjana Ilmu Manajemen University of Indonesia Sosial Politik Marketin gpolitik Marketin g Pemilih Marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis (Kotler & Levy, 1969) Marketing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilaku pemilih, tapi terdapat pula sejumlah faktor penting lainnya. Sekelompok orang bisa saja memilih sebuah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dibuktikan dengan bunyi pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu kedaulatan

BAB 1 PENDAHULUAN. dibuktikan dengan bunyi pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu kedaulatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, hal ini dibuktikan dengan bunyi pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yaitu kedaulatan berada ditangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu fungsi pemerintah. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Demokrasi dikembangkan bertujuan untuk menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat,

Lebih terperinci

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang BAB IV Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Tahapan Pilkada menurut Peraturan KPU No.13 Th 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan

Lebih terperinci

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL

PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL PERANAN MEDIA MASSA TERHADAP KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DI DUSUN WIJILAN WIJIMULYO NANGGULAN KULON PROGO DALAM PEMILIHAN UMUM 9 APRIL 2014 ARTIKEL oleh : Timbul Hari Kencana NPM. 10144300021 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan global yang begitu cepat terjadi di masa sekarang disebabkan oleh bertambah tingginya tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan, arus informasi serta

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat untuk memilih. calonnya, calon pasangan kepala daerah untuk Wilayah Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat untuk memilih. calonnya, calon pasangan kepala daerah untuk Wilayah Kabupaten BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah di Banyumas suasana politik semakin hangat. Banyak yang mempromosikan calonnya dengan berbagai cara yang sekiranya bisa menarik masyarakat

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang dianggap paling

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Teori 1. Prilaku Pemilih Para ahli ilmu politik menyebutkan bahwa tingkah laku individu dalam pemungutan suara pada kegiatan pemilu disebut dengan konsep

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Negara Indonesia ini terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat, pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan perempuan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

I. PENDAHULUAN. melalui lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan proses perekrutan pejabat politik di daerah yang berkedudukan sebagai pemimpin daerah yang bersangkutan yang dipilih langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum Pengertian Budaya Politik adalah pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung sejak sistem otonomi daerah diterapkan. Perubahan mekanisme

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung sejak sistem otonomi daerah diterapkan. Perubahan mekanisme BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi sebagai pilar penting dalam sistem politik sebuah Negara, termasuk Indonesia yang sudah diterapkan dalam pemilihan secara langsung seperti legislatif, Presiden

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini didukung dengan berdirinya bermacam-macam partai politik. Diawali

BAB I PENDAHULUAN. ini didukung dengan berdirinya bermacam-macam partai politik. Diawali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara republik yang menganut dasar demokrasi atau kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan pemikiran. Kondisi ini didukung dengan berdirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. politik sangat tergantung pada budaya politik yang berkembang dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan politik suatu negara, negara tidak lepas dari corak budaya yang ada dalam masyarakatnya. Peran masyarakat dalam kehidupan politik sangat tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Juanda, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Para siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), adalah mereka yang berumur 17 sampai dengan 21 tahun merupakan pemilih pemula yang baru

Lebih terperinci

Peranan Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu dan Pilkada. oleh. AA Gde Putra, SH.MH

Peranan Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu dan Pilkada. oleh. AA Gde Putra, SH.MH Peranan Partai Politik Dalam Meningkatkan Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu dan Pilkada oleh AA Gde Putra, SH.MH Demokrasi (pengertian Umum) Bentuk sistem pemerintahan yang setiap warganya memiliki kesetaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik-demokratik modern. Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis dan agama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai bangsa yang lekat dengan primordialisme, agama menjadi salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bernegara. Kepercayaan agama tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan rakyat didalam konstitusinya. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016 Bagaimanakah Netralitas Pegawai Negeri Sipil Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIII/2015 Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 Terkait Syarat Pencalonan Bagi Pegawai Negeri

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5)

PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET. Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) PARTAI POLITIK OLEH: ADIYANA SLAMET Disampaikan Pada Kuliah Pengantar Ilmu Politik Pertemuan Ke-15 (IK-1,3,4,5) Definisi Partai Politik Secara umum dapat dikatakan partai politik adalah suatu kelompok

Lebih terperinci

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG Oleh : Nurul Huda, SH Mhum Abstrak Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, yang tidak lagi menjadi kewenangan

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN BANGLI Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli dan Fakultas

Lebih terperinci

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu Oleh: Hardinata Abstract In the culture of Elections in Indonesia, one of new challenge for Indonesia is the Regional Election directly initiated

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya masyarakat memegang peran utama dalam praktik pemilihan umum sebagai perwujudan sistem demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada masyarakat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Pada bagian ini akan dikemukakan kesimpulan dan implikasi penelitian yang

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. Pada bagian ini akan dikemukakan kesimpulan dan implikasi penelitian yang 259 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Pada bagian ini akan dikemukakan kesimpulan dan implikasi penelitian yang dirumuskan dari deskripsi temuan penelitian dan pembahasan hasil-hasil penelitian dalam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Pekon Way Petai yang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Pekon Way Petai yang V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Pekon Way Petai yang telah memiliki hak pilih (17 tahun keatas atau telah menikah) dan telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja

I. PENDAHULUAN. setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Isu Etnisitas adalah isu yang sangat rentan menjadi komoditi politik pada setiap Pemilihan Kepala Daerah. Hal ini dikarenakan etnis bisa saja dimobilisasi dan dimanipulasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negarawan merupakan karakter yang sangat penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan negarawan diharapkan dapat dikembangkan pada pemimpin pemuda Indonesia

Lebih terperinci

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SPIRIT KONSTITUSI Pasal 36A UUD 1945 menyatakan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah atau seringkali

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah atau seringkali I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum kepala daerah wakil kepala daerah atau seringkali disebut pilkada atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah wakil kepala

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam masyarakat politik. Masyarakat yang semakin waktu mengalami peningkatan kualitas tentu

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pengusungan Pasangan Calon oleh Partai Politik, Sanksi Pidana Penyalahgunaan Jabatan dalam Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan penelitian terhadap strategi komunikasi pemasaran

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan penelitian terhadap strategi komunikasi pemasaran BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan penelitian terhadap strategi komunikasi pemasaran politik yang di terapkan caleg Sarnata Saidi,SH, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia setiap 5 tahun sekali mempunyai agenda besar dalam pesta demokrasinya dan agenda besar tersebut tak lain adalah Pemilu. Terhitung sejak tahun 2004

Lebih terperinci

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka Desain Negara Indonesia Merdeka terbentuk sebagai Negara modern, dengan kerelaan berbagai komponen pembentuk bangsa atas ciri dan kepentingan primordialismenya,

Lebih terperinci

Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 3, Agustus Desember 2016,

Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 3, Agustus Desember 2016, 375 Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Dan Persepsi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Terhadap Pilihan Walikota Masyarakat Pilkada Kota Surabaya Tahun 2015 Yohanes Bima Octaviantoro Email : yohanesbima42@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara yang menganut paham demokrasi, pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik adalah bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang pelaksanaannya dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah

Lebih terperinci

PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT KOTA PADANG PADA PEMILU KEPALA DAERAH SUMATERA BARAT TAHUN 2010 SKRIPSI

PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT KOTA PADANG PADA PEMILU KEPALA DAERAH SUMATERA BARAT TAHUN 2010 SKRIPSI PERILAKU MEMILIH MASYARAKAT KOTA PADANG PADA PEMILU KEPALA DAERAH SUMATERA BARAT TAHUN 2010 SKRIPSI Diajukan untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Politik Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah teridentifikasi bahwa PDI Perjuangan di Kabupaten

Lebih terperinci

PEMILUKADA PASCA REFORMASI DI INDONESIA. Oleh : Muhammad Afied Hambali Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Abstrack

PEMILUKADA PASCA REFORMASI DI INDONESIA. Oleh : Muhammad Afied Hambali Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta. Abstrack PEMILUKADA PASCA REFORMASI DI INDONESIA Oleh : Muhammad Afied Hambali Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta Abstrack Pilkada telah memiliki aturan pemilihan secara jelas, dan adanya pembatasan oleh

Lebih terperinci