BAB I PENDAHULUAN. jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan dasar dalam pelaksanaan kegiatan produktif manusia, baik sebagai wadahnya maupunsebagai faktor produksi. Oleh karena itu jelaslah bahwa pencatatan yang sistematis dari tanah dan hak hak atas tanah merupakan hal yang sangat penting baik bagi administrasi Negara maupun bagi perencanakan dan pengembangan pembangunan tanah itu sendiri, sertabagi kepastian hukum dalam peralihan, pemindahan atau pembebanan hak atas tanah. Kaitan dengan hal ini Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyebutkan Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 4 ayat (1) Udang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah tanah. Tanah adalah suatu hak milik yang sangat berharga bagi umat manusia, demikian pula untuk bangsa Indonesia, bagi orang Indonesia tanah merupakan masalah yang paling pokok, dapat di konstatir dari banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan kepengadilan yaitu berkisar sengketa mengenai tanah. Sengketa tanah tersebut antara lain menyangkut sengketa warisan, utang-piutang dengan tanah sebagai jaminan, 1

2 2 sengketa tata usaha negara penerbitan sertifikat tanah, serta perbuatan melawan hukum lainnya. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat di lihat bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian negara. 1 Dalam pengelolaan bidang pertanahan, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT), mempunyai peran yang begitu penting, karena PPAT merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Selain itu, untuk melaksanakan tugas pokok sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP Nomor 37 Tahun 1998), seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa tugas pokok PPAT adalah: (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : 1 Maria. S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 35.

3 3 a. jual beli; b. tukar menukar; c. hibah; d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian hak bersama; f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Menurut penjelasan Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998, bahwa PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 4, bahwa kecuali ada ketentuan lain, maka apabila seorang PPAT melakukan pelanggaran dengan membuat akta di luar daerah kerjanya, akta yang dibuatnya adalah tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran. Khusus bagi sebidang tanah atau satuan rumah susun yang tidak semuanya terletak dalam daerah kerja seorang PPAT, maka dalam hal pembuatan akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pemberian hak bersama, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi objek perbuatan hukum dalam akta. Secara normatif, PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1

4 4 angka 24, PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Apabila dilihat, ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang PPAT, yakni : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dalam Pasal 1 angka 4 menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; 4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Melihat wilayah Indonesia yang demikian luas, diperlukan banyak PPAT dengan lingkup/wilayah kerja masing-masing. Untuk melayani masyarakat dalam

5 5 pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan ada 3 (tiga) macam PPAT, yaitu : 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 2. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. 3. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan, melaksanakan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu khususnya dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Dengan demikian, menurut Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, kategori PPAT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu : 1. PPAT biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat tertentu (dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau penasehat hukum). 2. PPAT sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Camat atau Kepala Desa).

6 6 3. PPAT khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani pembuatan akta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu (Kepala Kantor Pertanahan). Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan definisi dari Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta- akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud PPAT adalah suatu jabatan (ambt) dalam tata susunan hukum agraria nasional kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran tanah. Dapat diartikan juga orang yang menjabat jabatan tersebut. Berdasarkan pengertian di dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 dan PP Nomor 37 Tahun 1998, dapat disimpulkan bahwa, PPAT adalah Pejabat Umum. 2 Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat\umum di bidang kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu yang dimaksud di atas diantaranya untuk membuat Akta. 3 Peralihan hak atas tanah, baik karena jual-beli, maupun karena hal-hal lain, peran PPAT sangat penting. Dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud beralih dan dialihkan. Besarnya peran PPAT, juga dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang menyebutkan bahwa : Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah 2 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, hal Efendi Perangin-angin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 62.

7 7 atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabatpejabat dibawah ini sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus : Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara. Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a PP Nomor 37 Tahun 1998, tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan, bahwa karena fungsinya di bidang pendaftaran tanah yang penting bagi masyarakat yang memerlukan, maka fungsi tersebut harus dilaksanakan di seluruh wilayah Negara. Oleh karena itu di wilayah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat perlu ditunjuk sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi tersebut. Daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Daerah yang jumlah Pejabat Pembuat Akta Tanah-nya belum memenuhi formasi yang ditetapkan Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. Didaerah yang sudah cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan merupakan daerah tertutup untuk pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah baru, Camat yang baru tidak lagi ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara. Dari pertimbangan untuk memenuhi pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah tepencil, yang masyarakat akan merasakan kesulitan apabila harus pergi ke kantor Kecamatan untuk melaksanakan transaksi mengenai tanahnya, Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah. Isu hukum yang timbul dalam hal pembuatan akta tanah oleh Camat pada umumnya disebabkan oleh kondisi diri pribadi dari Camat itu sendiri, seperti misalnya seringnya Camat melakukan kesalahan dan Camat kurang menguasai

8 8 peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan yang sering dibuat oleh Camat antara lain tidak melakukan pengecekan sertipikat asli di Kantor Pertanahan dan kesalahan dalam pembuatan bagian-bagian akta dalam formulir akta otentik yang seringkali tidak sesuai dan menyalahi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun kesalahan-kesalahan yang dilakukan Camat ini dapat menimbulkan akibat hukum yang merugikan para pihak. Oleh karena itu kemungkinan Camat melakukan kesalahan dan kelalaian masih tetap terbuka, meskipun Camat yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan telah berpraktek sebagai PPAT. Ketidaktelitian Camat dalam melakukan pencatatan transaksi atas tanah sehingga dikhawatirkan terbitnya akta jual beli ganda terhadap satu objek (bidang tanah) yang sama. Hal ini disebabkan karena administrasi pertanahan yang ada pada kantor kecamatan kurang lengkap. Selain itu juga camat yang belum menguasai peraturan-peraturan yang terkait dengan PPAT. Oleh karena itu keberadaan Camat sebagai PPAT Sementara perlu ditinjau kembali. Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mengamanatkan penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara, tidak memberi penjelasan mengenai kata sementara dan juga tidak menyebut sementara -nya itu sampai kapan. Hal ini menunjukan adanya norma kosong dalam penunjukan Camat sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan hal tersebut, mengingat output pendidikan magister kenotariatan semakin banyak di Indonesia, maka sebagai solusinya Camat tidak lagi ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Hal itu bisa dilakukan dengan cara

9 9 memberikan penugasan wajib bagi lulusan magister kenotariatan, sebagai halnya wajib tugas bagi dokter, untuk ditugaskan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia. Melalui cara ini dengan sendirinya Camat tidak lagi dibutuhkan sebagai PPAT Sementara. Berdasarkan paparan tersebut, menjadi sangatlah menarik untuk dikaji tentang : KEDUDUKAN HUKUM AKTA TANAH YANG DIBUAT OLEH CAMAT Penelitian tentang Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat ini merupakan penelitian baru, yang belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Keaslian (originalitas) penelitian ini, dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, yang walaupun membahas tentang Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun hasil dari pembahasannya berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian dimaksud adalah : 1. Tesis yang ditulis oleh Didik Ariyanto, dengan judul : Pelaksanaan Fungsi dan Kedudukan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara di Kabupaten Grobogan sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2006). Adapun rumusan masalah yang diangkat adalah : a. Bagaimanakah Penerapan Tugas Camat sebagai PPAT Sementara di Kabupaten Grobogan ditinjau dari persfektif fungsi dan kedudukannya dalam era otonomi daerah. b. Bagaimanakah pelaksanaan pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan

10 10 Berdasarkan kajian dan analisanya, dipaparkan hasil penelitiannya sebagai berikut : a. Pelaksanaan fungsi dan kedudukan Camat sebagai PPAT Sementara dalam era otonomi daerah ditemukan banyak sekali penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara, kemudian Peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Grobogan yang lemah, serta sikap Notaris/PPAT yang terkesan menutup mata terhadap penyimpangan-penyimpangn yang dilakukan oleh Camat sebagai PPAT Sementara sehingga mengakibatkan masyarakat dalam memandang penyimpangan-penyimpangan tersebut dibenarkan yang berakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap suatu perbuatan hukum dihadapan Camat sebagai PPAT Sementara b. Pelaksanaan Pengaturan dilapangan fungsi dan kedudukan PPAT antara Camat sebagai PPAT Sementara dan Notaris/PPAT di Kabupaten Grobogan, dari segi aturan berbeda, dan dalam pelaksanaan di lapangan juga ada perbedaan. 2. Tesis dari Yulia Rumanti dengan judul : Peranan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro (2010). Rumusan masalah dari penelitian tersebut adalah : a. Mengapa Camat di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow tidak semuanya menjadi PPAT Sementara?

11 11 b. Bagaimanakah peran Camat yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara dalam proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara? c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam Proses Pendaftaran Tanah di Kabupaten Bolaang Mongondow propinsi Sulawesi Utara? Hasil Penelitian dari tesis tersebut, secara ringkas, yaitu : a. Tidak semua Camat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara, disebabkan karena faktor : 1) sistem birokrasi dan pelayanan publik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih bermasalah, seperti pungutan liar; 2) banyak calo dan pengguna jasa yang bebas keluar masuk kantor BPN; dan 3) Tidak hanya kasus percaloan, masih ada kasus pemerasan yang melibatkan oknum di BPN yang telah melakukan permintaan uang terhadap Camat yang mengajukan permohonan untuk menjadi PPAT Sementara. b. Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow masih sangat dibutuhkan keberadaannya. Selain karena formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris masih belum terpenuhi juga karena luasnya daerah di Kabupaten Bolaang Mongondow. Dengan diangkatnya Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara maka perannya sejajar dan sama dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Notaris, sehingga semua aturan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

12 12 Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, harus berlaku juga terhadap Camat, misalnya dalam hal pemasangan papan nama, pembuatan akta, laporan bulanan dan penyampaian akta ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bolaang Mongondow. c. Kendala seorang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow dalam menjalankan peran dan fungsinya adalah kurangnya pengetahuan tentang masalah tanah. Tingkat pendidikan yang tidak berhubungan dengan Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara menyebabkan pelayanan kepada masyarakat umumnya di bidang pertanahan dan khususnya tentang pendaftaran tanah kurang maksimal sehingga memungkinkan timbulnya masalah-masalah baru dan timbulnya penyimpangan-penyimpangan dalam proses pendaftaran tanah 3. Tesis ditulis oleh Ni Made Asri Asti, dengan judul : Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014). Rumusan masalah yang diangkat adalah : a. bagaimanakah kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam membuat akta peralihan hak atas tanah. b. bagaimanakah tanggung jawab Camat sebagai PPAT Sementara atas akta peralihan hak atas tanah yang dibuatnya.

13 13 Uraian ringkas hasil penelitian dari tesis tersebut adalah : a. Camat sebagai PPAT sementara mengandung konsekuensi hukum pada wewenangnya selaku pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik menjadi tidak terpenuhi. b. Tanggung jawab Camat apabila akta yang dibuatnya menimbulkan akibat hukum yang menyebabkan kebatalan akta tersebut berupa batal demi hukum atau dapat dibatalkan adalah tanggung jawab pribadi (fautes personalles). Dimana apabila Camat tersebut dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan hukum yang merugikan para pihak akan dikenakan sanksi perdata. Ketiga karya tulis dalam bentuk tesis sebagai tugas akhir studi Program Magister kenotariatan tentang Camat sebagai PPAT, penelitian yang pertama dan kedua tidak menyentuh sama sekali masalah kewenangan, sedangkan penelitian yang ketiga membahas tentang kewenangan namun tidak mempermasalahkan tentang keabsahan kewenangan Camat selaku PPAT serta akibat hukum dari akta yang dibuat oleh Camat selaku PPAT. Hal ini dapat dilihat dari rumusan masalahnya berbeda dengan rumusan masalah yang akan dikaji dalam proposal ini. Tesis yang ditulis oleh Ni Made Asri Asti yang berjudul: Wewenang Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara dalam Pembuatan Akta Peralihan Hak Atas Tanah sebagai tugas akhir studi pada Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2014), pembahasannya lebih terfokus pada kajian dari keotentikan akta sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 BW serta pertanggungjawaban pribadi (fautes personalles). Dua permasalahan dalam

14 14 proposal ini, tinjauannya lebih banyak dalam ranah hukum administrasi, yaitu : 1) keabsahan wewenang; dan 2) akibat hukum dari akta yang dibuat tidak sesuai dengan keotentikannya. Dengan demikian, 2 (dua) permasalahan dalam proposal ini, berbeda dari ketiga karya tulis dalam bentuk tesis tersebut di atas. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini berhubungan dengan paradigma science is proces dan paradigma science is product, yang selanjutnya dapat diidentifikasi tujuan dimaksud sebagai berikut : Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah dalam kerangka pengembangan konsep, asas dan teori tentang hukum pertanahan umumnya dan peralihan hak atas tanah dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara.

15 15 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT Sementara. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang Kedudukan Hukum Akta Tanah yang dibuat oleh Camat ini diharapkan mampu memberikan kontribusi, dalam artian sebagai sumbangan pemikiran, baik untuk tujuan teoritis maupun untuk tujuan praktis. Manfaat hasil penelitian penelitian dimaksud, dapat dijabarkan sebagai berikut : Manfaat Teoritis Pengembangan teori, konsep dan doktrin hukum pertanahan pada umumnya dan peralihan hak atas tanah berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam penyelesaian masalah pertanahan, terutama dalam peralihan hak atas tanah melalui akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). 1.5 Landasan Teoritis Konsep Negara Hukum Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan sejarah manusia, oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, namun pada tataran implementasi ternyata dipengaruhi oleh karaktaristik negara dan manusianya yang beragam. Hal ini dapat terjadi, disamping pengaruh falsafah

16 16 bangsa, ideologi negara dan lain-lain, juga karena adanya pengaruh perkembangan sejarah manusia. Atas dasar itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality dan konsep negara hukum Pancasila. Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika dan sejarahnya masing-masing. Negara berdasarkan hukum ditandai oleh beberapa asas, antara lain asas bahwa semua perbuatan atau tindakan pemerintahan atau negara harus didasarkan pada ketentuan hukum tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan atau tindakan itu dilakukan. Campur tangan atas hak dan kebebasan seseorang atau kelompok masyarakat hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum tertentu. Asas ini lazim disebut asas legalitas (legaliteits beginsel). Untuk memungkinkan kepastian perwujudan asas legalitas ini, harus dibuat berbagai peraturan hukum antara lain Peraturan Perundang-undangan. Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang rechtstaats. Hal ini dapat dimengerti dalam banyak hal, antara lain Indonesia merupakan negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide rechtstaats, 4 Terkait dengan asas dalam negara hukum, Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan asas pokok negara hukum ada tiga, yakni : 1) asas monopoli paksa (zwangmonopoli); 2) asas persetujuan rakyat; dan 3) asas persekutuan hukum (rechtsgemeenschap). Selanjutnya asas pokok negara hukum dimaksud, dijelaskan sebagai berikut : 4 Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hal. 1

17 17 1. Asas monopoli paksa berarti, bahwa: monopoli penggunaan kekuasaan negara dan monopoli penggunaan paksaan untuk membuat orang mentaati apa yang menjadi keputusan penguasa negara hanya berada di tangan pejabat penguasa negara yang berwenang dan berwajib untuk itu. Siapapun yang lain dari yang berwenang/berwajib dilarang, artinya barang siapa melakukan penggunaan kekuasaan negara dan menggunakan paksaan tanpa wewenang seperti dimaksud di atas disebut main hakim sendiri. 2. Asas persetujuan Rakyat berarti, bahwa orang (warga masyarakat) hanya wajib tunduk dan dapat dipaksa untuk tunduk, kepada peraturan yang diciptakan secara sah dengan persetujuan langsung (undangundang formal), atau tidak langsung (legislasi delegatif, peraturan atas kuasa Undang-undang) dari Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, apabila ada peraturan (misalnya: mengadakan pungutan pembayaran atau sumbangan wajib ) yang tidak diperintahkan atau dikuasakan oleh undang-undang, maka peraturan itu tidak sah, dan Hakim Pengadilan wajib membebaskan setiap orang yang dituntut oleh karena tidak mau mentaatinya, dan apabila Pejabat memaksakan peraturan tersebut, maka ia dapat dituntut sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara, minimal digugat sebagai perkara perbuatan penguasa yang melawan hukum. 3. Asas persekutuan hukum berarti, bahwa rakyat dan penguasa negara bersama-sama merupakan suatu persekutuan hukum (rechtsgemeenschap, legal partnership), sehingga para pejabat penguasa negara dalam menjalankan tugas dan fungsi, serta menggunakan kekuasaan negara, mereka tunduk kepada hukum (sama dengan rakyat/warga masyarakat). Berarti baik para pejabat penguasa negara maupun para warga masyarakat berada di bawah dan tunduk kepada hukum (undang-undang) yang sama. 5 Syarat-syarat dasar rechtsstaat yang dikemukakan oleh Burkens, dalam tulisannya tentang Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia adalah: 1) Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar Peraturan Perundang-undangan (wetterlijke-grondslag). Dengan landasan ini Undang-undang formal dan Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentuk undang-undang merupakan bagian penting negara hukum; 29 5 Prajudi Atmosudirjo, 1995, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.

18 18 2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan; 3) Hak-hak dasar (grondrechten), hak-hak dasar merupakan sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi pembentukan undang-undang; 4) Pengawasan peradilan, bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakan pemerintahan (rechtmatigeidstoetsing). 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) sebelum perubahan, dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan, ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini mensyaratkan kepada seluruh penyelenggara negara dan warga negaranya harus taat terhadap hukum. Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan manifestasi dari konsep dan alam pikiran bangsa Indonesia yang lazim disebut dengan hukum dasar tertulis. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis, hanya memuat dan mengatur hal-hal yang prinsip dan garis-garis besar saja. Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and balances, dalam penyelenggaraan negara seperti adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dalam bagian konsideran huruf a secara tegas menyebutkan bahwa pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh 6 Philipus M. Hadjon, Op.Cit.

19 19 lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Selain itu juga telah dikembangkan lembaga-lembaga ekstra struktural baik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang maupun dengan Keputusan (Peraturan) Presiden tentang lembagalembaga yang bertugas untuk mengawasi jalannya pemerintahan, seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ombudsman dan sebagainya. Indonesia sebagai negara hukum sehingga terikat secara konstitusional pada konstitusi yang diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai manifestasi dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hak-hak setiap warga negara Indonesia. Peraturan Perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material). Hukum tertulis diartikan sebagai setiap keputusan dalam bentuk tertulis oleh pejabat yang berwenang. 7 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah negara hukum yang dimaksudkan dengan hukum positif tidak hanya peraturan perundang-undangan saja, namun keputusan tertulis dari pejabat yang berwenang juga dapat diberlakukan sebagai hukum positif Teori Wewenang Pengertian Wewenang Teori wewenang digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah yang pertama dan kedua yaitu kedudukan dan akibat hukum dan akta tanah yang dibuat oleh Camat yang diberi wewenang sebagai PPAT Sementara. 7 Bachtiar Effendi, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 17.

20 20 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan karaktar. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat. Sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian, wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik. 8 Dalam praktak, antara wewenang (competence, bevoegdheid) dan kewenangan (authority, gezag) dianggap tidak penting untuk dibedakan. Menurut Indroharto Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/ Administratif. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu bagian tertentu/salah satu bagian dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenangwewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. 9 Lebih jauh Indroharto mengemukakan bahwa Wewenang adalah kemampuan yg diberikan oleh peraturan perundangundangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum 10. Dalam konsep wewenang terkandung asas legalitas, yang maknanya adalah : 8 Philipus. M. Hadjon, 1997, Tentang Kewenangan, dalam Yuridika Nomor 5 dan 6 Tahun XII September-Desember., Surabaya : FH Unair, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September - Desember, hal Prajudi Atmosudirdjo, Op.cit. 10 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, cet.iv, Pustaka Harapan, Jakarta, hal. 90

21 21 1. setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan tindakan Hukum Administrasi Negara atau kebijakan harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis); 2. untuk menjamin dijalankannya kesamaan perlakuan oleh pemerintah / penguasa ; dan 3. menunjang berlakunya kepastian hukum Jenis Wewenang Sehubungan dengan kewenangan, Philipus M. Hadjon, mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu atribusi dan delegasi. 12 Sedangkan menurut Suwoto Mulyosudarmo, ada dua macam pemberian kekuasaan yaitu perolehan kekuasaan yang sifatnya atributif dan perolehan kekuasaan yang sifatnya derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat. 13 Berbeda halnya dengan Indroharto, prihal perolehan kewenangan dimaksud, Indroharto mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi dan mandat, yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 11 Ibid. hal Philipus, M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, UGM Press, Yogyakarta, hal Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, Disertasi. Unair Surabaya, hal

22 22 1. Atribusi yaitu : pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Yang memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: a. yang berkedudukan sebagai original legislator : yg dinegara kita adalah MPR sebagai pembentuk Konstitusi, dan DPR bersama-sama Presiden sebagai pembentuk undang-undang; b. yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) tertentu (Badan/Jabatan Pemerintahan). 2. Delegasi yaitu : pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan/Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan/Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. 3. Mandat yaitu : di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan/Jabatan Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain 14 Selanjutnya HD.van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana dikutip Indroharto, membedakan cara perolehan wewenang sebagai berikut : 1. Atribusi : adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan (attributie: toekenning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan een bestuursorgaan); 2. Delegasi : adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya (delegatie: overdracht van een bevoegdheid van het ene bestuursorgaan aan een ander); 3. Mandat : terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya (mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander). 15 Berbeda halnya dengan Stroink dan Steenbeek menurutnya hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu: atribusi dan delegasi yang selanjutnya dijelaskan bahwa : 1) Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru; dan 2) delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang 14 Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, cet.iv, Pustaka Harapan, Jakarta, hal Ibid.

23 23 telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi, delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Dalam hal mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimpahan wewenang; tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal. 16 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan asss legalitas dalam konsep wewenang yang paling penting adalah menunjang belakunya kepastian hukum, selain itu perlakuan yang sama dari pemerintah kepada warganya dan dapat diartikan juga pelaksanaan wewenang dari pemerintah harus bersumber pada peraturan perundang-undangan Pembatasan Wewenang Terhadap wewenang, juga ada pembatasan, yang sering disebut ketidakwenangan (onbevoegdheid). Ada 3 (tiga) macam ketidakwenangan, yakni : 1. Onbevoegdheid ratione materiae, artinya pejabat itu pada hakekatnya tidak berwenang untuk melakukan tindakan. 2. Onbevoegdheid ratione loci, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh wilayah tertentu. 3. Onbevoegdheid ratione temporis, artinya kewenangan pejabat itu dibatasi oleh waktu tertentu. 17 Tentang pembatasan wewenang Philipus M Hadjon 18 mengemukakan tentang prosedur pelimpahan, tanggungjawab dan tanggung gugat serta 16 Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hal Philipus M. Hadjon, 1985, Pengertian-pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Djumali, Surabaya, hal

24 24 kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi, seperti nampak dalam skema berikut : No. PRIHAL DELEGASI MANDAT 1 Prosedur pelimpahan 2 Tanggungjawab dan Tanggung gugat 3 Kemungkinan si Pemberi menggunakan wewenang itu lagi Sumber: Philipus M Hadjon. 19 Dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain: dengan peraturan perundang-undangan. Tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris (yg menerima pelimpahan wewenang). Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus. Dalam hubungan rutin atasan bawahan: hal biasa kecuali dilarang dengan tegas. Tetap pada pemberi mandat. Setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan. Tabel di atas, menunjukkan bahwa dalam hal wewenang yang diperoleh secara delegasi dan mandat, ada pembatasan dilihat dari aspek : 1) prosedur pelimpahan; 2) tanggungjawab dan tanggung gugat; dan 3) kemungkinan pemberi wewenang menggunakan wewenangnya itu lagi. Dari aspek prosedur pelimpahan, perolehan wewenang secara delegasi, berlangsung dari suatu organ pemerintahan kepada organ lain, dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat dapat terjadi dalam hubungan rutin atasan bawahan, sebagai suatu hal biasa kecuali dilarang dengan tegas. Dari aspek tanggungjawab dan tanggung gugat, dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris (yang menerima pelimpahan wewenang), sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat tanggungjawab dan tanggung gugat tetap berada pada 18 Ibid. 19 Ibid.

25 25 pemberi mandat. Dilihat dari aspek kemungkinan si Pemberi menggunakan wewenangnya lagi, maka dalam wewenang yang diperoleh secara delegasi, penggunaan wewenang oleh pemberi wewenang tidaklah dimungkinkan kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius actus. Sedangkan dalam wewenang yang diperoleh secara mandat, pemberi wewenang dapat menggunakan wewenangnya yang telah dilimpahkan Karakter Wewenang Karakter wewenang dapat dibedakan atas: 1) wewenang terikat adalah wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Wewenang ini sudah ditentukan isinya secara rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan; dan 2) wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen) adalah wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih konkrit dan rinci, sedangkan peraturan perundang-undangan hanya memberikan hal-hal yang pokok saja. 20 Dari paparan karakter wewenang tersebut di atas, dapat diketahui bahwasanya ada pembedaan karakter wewenang menjadi 3 (tiga) jenis. Wewenang terikat isinya telah ditentukan secara rinci dalam artian, kapan dan dalam keadaan bagaimana dapat dipergunakannya wewenang, sebagai akibat pejabat atau badan pemerintah wajib melaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam isi sebuah peraturan. Di samping wewenang 20 Ibid.

26 26 terikat, ada pula wewenang diskresi (beleidsvrijheid, discretionary power, freies ermessen), yang memberikan kebebasan pejabat untuk mengatur lebih lanjut wewenang dimaksud secara lebih lebih konkrit dan rinci, namun tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang telah mengatur hal-hal yang bersifat pokok. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cara perolehan wewenang meliputi atribusi, delegasi dan mandat. Perbedaan ketiganya, atribusi berkaitan dengan wewenang baru, delegasi berkaitan dengan pelimpahan wewenang dan mandat berkaitan dengan hubungan internal tanpa menimbulkan perubahan wewenang secara yudis formal Teori Perlindungan Hukum Teori perlindungan hukum digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu perlindungan hukum dari akibat hukum dari akta tanah yang dibuat oleh Camat sebagai PPAT sementara. Teori perlindungan hukum pertama kali dicetuskan oleh Immanuel Kant dan Fitzgerald. Menurut Kant seperti dikutip oleh Beranrd L. Tanya, manusia merupakan makhluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu, hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara. Negara wajib memberi perlindungan hukum kepada warga negaranya. 21 Sedangkan menurut Fitzgerald seperti yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo, yang 21 Bernard L. Tanya, 2006, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, KITA, Surabaya, hal. 75.

27 27 menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 22 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 23 Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. 24 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. 25 Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun 22 Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal Ibid. 24 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal Hartono, Sunaryati, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29.

28 28 pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan. 26 Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. 27 Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya. 28 Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan 26 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal Supanto, 2014, Perlindungan Hukum Wanita, diakses tanggal 17 September Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.

29 29 kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi. Perlindungan hukum oleh karenanya merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. 2. Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Teori perlindungan hukum dalam penelitian ini tentunya didasari oleh teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, dimana perlindungan hukum yang dilakukan dalam wujud perlindungan hukum preventif, 29 Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.

30 30 artinya ketentuan hukum dapat dihadirkan sebagai upaya pencegahan atas tindakan pelanggaran hukum. Upaya pencegahan ini diimplementasikan dengan membentuk aturan-aturan hukum yang bersifat normatif. 30 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum dari negara/pemerintah kepada warga negaranya dapat diberikan secara perventif maupun repretif. Pelindungan hukum secara perventif bertujuan untuk mencegah pelanggaran, sedangkan pelindungan hukum secara reprersif berupa sanksi hukuman atas terjadinya pelanggaran dengan maksud untuk menimbulkan efek jera Konsep Keabsahan Akta Ukuran keabsahan suatu akta adalah akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku) dan dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang Budi Agus Riswandi, 2005, Aspek Hukum Internet Banking, Persada, Jogjakarta, hal.

31 31 menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka keabsahan akta Notaris tersebut tidak tercapai. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Keabsahan akta Notaris tercapai jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut menjadi akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka keabsahan akta menjadi diragukan. Keabsahan akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, 31 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu : Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. 31 Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, hal Philipus M. Hadjon, 2001, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Post, Surabaya, hal. 3.

32 32 Menurut C.A. Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja. 2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang. 3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya c.q. data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut). 4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. 5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat. Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum. Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, dan secara tersirat dalam Pasal 58 ayat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Tanah mempunyai peranan yang penting karena tanah merupakan sumber kesejahteraan, kemakmuran, dan kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, pernyataan tersebut diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 1 ayat (3). Sebagai konsekuensi

Lebih terperinci

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan tanah dalam rangka pembangunan bagi pemenuhan berbagai keperluan semakin meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560

BAB I PENDAHULUAN. Boedi Harsono, Hukum Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 560 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Fungsi tanah begitu penting dan mempunyai arti sendiri, sebab tanah merupakan modal bagi kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang

BAB I PENDAHULUAN. pembuatan akta pemberian hak tanggungan atas tanah. 3 Dalam pengelolaan bidang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan tanah diselenggarakan atas dasar peraturan perundangundangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan dan pendaftaran peralihannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada alam demokratis seperti sekarang ini, manusia semakin erat dan semakin membutuhkan jasa hukum antara lain jasa hukum yang dilakukan oleh notaris. Dalam

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH. guna membantu menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH. guna membantu menguatkan atau mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH A. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 JUAL BELI TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT DITINJAU DARI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH 1 Oleh: Mardalin Gomes 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Usaha Pemerintah di dalam mengatur tanah-tanah di Indonesia baik bagi perorangan maupun bagi badan hukum perdata adalah dengan melakukan Pendaftaran Tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan hubungan satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan tersebut dapat dilakukan antara individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang

Lebih terperinci

PERAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA DI KECAMATAN MAPANGET KOTA MANADO

PERAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA DI KECAMATAN MAPANGET KOTA MANADO PERAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) SEMENTARA DI KECAMATAN MAPANGET KOTA MANADO Oleh : Debora Riny Lumolos Tanah Merupakan hal yang sangat penting karena tidak dapat dipisahkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan pencerminan dari

Lebih terperinci

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa Penerbit dan pencetak: PT Refika Aditama (Cetakan kesatu, Juni 2011. Cetakan kedua, April

Lebih terperinci

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Addien Iftitah 2

KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Addien Iftitah 2 KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA 1 Oleh : Addien Iftitah 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017 TUGAS DAN KEWENANGAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA 1 Oleh : Suci Ananda Badu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai negara hukum pemerintah negara

Lebih terperinci

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT) Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghidupan masyarakat, bukan hanya aspek hubungan sosial-ekonomis, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. penghidupan masyarakat, bukan hanya aspek hubungan sosial-ekonomis, tetapi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berangganggapan bahwa tanah mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Tanah mempunyai fungsi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dalam perjalanan hidupnya pasti akan mengalami peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Peristiwa hukum pada hekekatnya adalah kejadian, keadaan atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kegiatannya manusia selalu berhubungan dengan tanah. Sehubungan dengan hal

I. PENDAHULUAN. kegiatannya manusia selalu berhubungan dengan tanah. Sehubungan dengan hal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan manusia, sehingga dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatannya manusia selalu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jual beli tanah merupakan suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah (penjual) berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Peradilan administrasi merupakan salah satu perwujudan negara hukum, peradilan administrasi di Indonesia dikenal dengan sebutan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam. kerjasama yang mengikat antara dua individu atau lebih. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam masyarakat, individu yang satu senantiasa berhubungan dengan individu yang lain. Dengan perhubungan tersebut diharapkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan sebagian dari ruang yang ada di atasnya,

Lebih terperinci

A.Latar Belakang Masalah

A.Latar Belakang Masalah A.Latar Belakang Masalah Setiap manusia hidup mempunyai kepentingan. Guna terpenuhinya kepentingan tersebut maka diperlukan adanya interaksi sosial. Atas interaksi sosial tersebut akan muncul hak dan kewajiban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum faham terhadap pengertian, tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Chandra Furna Irawan, Ketua Pengurus Yayasan Sharia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan. Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal didirikannya Republik Indonesia, yang menjadi tujuan utama pembangunan yaitu mewujudkan pembangunan adil dan makmur, berdasarkan Pancasila dan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi.tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam segala

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah

BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH. 1. Jual Beli Hak Atas Tanah BAB III KEABSAHAN JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN OLEH BUKAN PEMILIK TANAH 1. Jual Beli Hak Atas Tanah Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN A. Pengalihan Hak Atas Bangunan Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1.

BAB I PENDAHULUAN. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pokok-pokok pikiran yang tercantum di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menekankan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah sepakat menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI 20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang Notaris harus memiliki integritas dan bertindak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

Lebih terperinci

OLEH : EFIK YUSDIANSYAH

OLEH : EFIK YUSDIANSYAH OLEH : EFIK YUSDIANSYAH ISTILAH KEKUASAAN (LEGISLATIF) KEWENANGAN (EKSEKUTIF) KOMPETENSI (YUDISIAL) KEKUASAAN Kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain sesuai dengan tujuan dan keinginannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, sejauh pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya.

Lebih terperinci

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN 28 BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN A. Karakter Yuridis Akta Notaris Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari : a. Bukti tulisan;

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan manusia, sehingga dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatannya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum

BAB I PENDAHULUAN. negara. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban,

Lebih terperinci

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA PERSPEKTIF Volume XX No. 3 Tahun 2015 Edisi September HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA Urip Santoso Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya e-mail: urip_sts@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGATURAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI LINGKUNGAN. Oleh : Nopyandri 1. Abstrak

PENGATURAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI LINGKUNGAN. Oleh : Nopyandri 1. Abstrak PENGATURAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DALAM PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI LINGKUNGAN Oleh : Nopyandri 1 Abstrak Dalam hukum administrasi negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kehadiran notaris sebagai pejabat publik adalah jawaban dari kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum atas setiap perikatan yang dilakukan, berkaitan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan zaman dan era globalisasi saat ini, peran notaris sebagai pejabat umum pembuat akta yang diakui secara yuridis oleh

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan interaksi satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan antara individuindividu yang merupakan

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) PROSES PEMERIKSAAN PERKARA JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH SECARA KREDIT (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Syarat-syarat Guna Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah persoalan hak atas tanah. Banyaknya permasalahan-permasalahan 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Setiap orang sangat mendambakan dan menghargai suatu kepastian, apalagi kepastian yang berkaitan dengan hak atas sesuatu benda miliknya yang sangat berharga

Lebih terperinci

SUMBER WEWENANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SUMBER WEWENANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SUMBER WEWENANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dr. Herlambang P. Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga herlambang@fh.unair.ac.id POKOK PEMBAHASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerja Praktik merupakan suatu proses penerapan disiplin ilmu yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja praktik dilaksanakan. Dalam kerja praktik

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa

BAB I. Pendahuluan. Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pada Harian Kompas tanggal 4 Januari 2016, Adrianto 1 menulis bahwa beban target penerimaan pajak yang terlalu berat telah melahirkan kebijakan pemeriksaan yang menghambat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: (1) bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 diperbaharui dan dirubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris yang untuk selanjutnya dalam penulisan

Lebih terperinci

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan BAB I 1. Latar Belakang Masalah Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan jaminan kepastian atas transaksi bisnis yang dilakukan para pihak, sifat otentik atas akta yang dibuat oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan

BAB I PENDAHULUAN. maupun hukum tidak tertulis. Hukum yang diberlakukan selanjutnya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sistem hukum. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hal yang sangat diperlukan adalah ditegakkannya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Arti Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia Ketentuan Tentang Kekuasaan Kehakiman Diatur Dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG

RANCANGAN UNDANG UNDANG RANCANGAN UNDANG UNDANG RUU-AP VERSI NOVEMBER 2007 (SARAN RAPAT RANCANGAN UNDANG UNDANG NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah, padahal luas wilayah negara adalah tetap atau terbatas 1.

BAB I PENDAHULUAN. tanah, padahal luas wilayah negara adalah tetap atau terbatas 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan hal yang sangat kompleks karena menyangkut banyak segi kehidupan masyarakat. Setiap orang hidup membutuhkan tanah, baik sebagai tempat tinggal maupun

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Urgensi mengadakan suatu badan peradilan administrasi tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan ekstern terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai definisi perusahaan dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah perusahaan untuk pertama kalinya terdapat di dalam Pasal 6 KUHD yang mengatur mengenai penyelenggaraan pencatatan yang wajib dilakukan oleh setiap orang

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat indah membuat investor asing berbondong-bondong ingin berinvestasi di

BAB I PENDAHULUAN. sangat indah membuat investor asing berbondong-bondong ingin berinvestasi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan tanah saat ini sangat meningkat karena tanah tidak hanya digunakan sebagai tempat hunian tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk membuka usaha. Banyaknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Hak Guna Bangunan 1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam Undang Undang Pokok Agraria.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Pintar, Yogyakarta, 2012, hlm. 4 3 Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, ctk.

BAB I PENDAHULUAN. Buku Pintar, Yogyakarta, 2012, hlm. 4 3 Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, ctk. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua Warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum, dan wajib mematuhi hukum yang berlaku

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian hukum hak-hak

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang biak, serta melakukan segala aktifitasnya berada diatas tanah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan suatu hal yang erat hubungannya dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, karena manusia bertempat tinggal, berkembang biak, serta melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan Ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam. merupakan salah satu modal pembangunan yang mempunyai nilai strategis

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam. merupakan salah satu modal pembangunan yang mempunyai nilai strategis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sangat erat sekali hubunganya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) telah ditentukan bahwa bumi, air,

BAB I PENDAHULUAN. di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) telah ditentukan bahwa bumi, air, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sebagai tempat pembangunan dan juga tempat mata pencaharian masyarakat. Tanah merupakan

Lebih terperinci