BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa
|
|
- Djaja Dharmawijaya
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 10 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Konformitas Santrock (2003:249) mendefenisikan konformitas sebagai perubahan dalam sikap atau pendapat individu sebagai hasil dari tekanan yang nyata atau diimajinasikan oleh individu atau kelompok. Pendapat tersebut diartikan bahwa konformitas dapat terjadi pada individu bila mendapat tekanan dari kelompoknya baik secara nyata maupun secara tidak nyata. Minsalnya dalam bentuk ancaman fisik maupun abstrak dari individu atau kelompok individu lain minsalnya perasaan takut dijauhi oleh anggota kelompok. Baron dan Byrne (2005:53) menyatakan bahwa konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial dimana individu mengubah keyakinan dan tingkah laku agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Hal senada juga dikemukakan oleh Willis (dalam Sarwono, 1995: ), bahwa konformitas merupakan usaha terus-menerus dari individu untuk selalu selaras dengan norma-norma yang diharapkan kelompok. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas menekankan adanya suatu perubahan sesuai dengan tuntutan yang dikehendaki individu lainnya, perubahan tersebut dapat berupa persepsi, sikap dan perilaku. Asch (dalam Sarwono, 1995:80), mengatakan bahwa konformitas adalah situasi dimana individu mengikuti tekanan kelompok walaupun tidak ada tuntutan atau permintaan lansung dari kelompok. Demikian pula halnya dengan Kiesler (dalam Sarwono, 1999:172), yang mengatakan bahwa konformitas adalah perilaku 10
2 11 atau keyakinan karena adanya tekanan dalam kelompok, baik yang sungguh ada maupun yang dibayangkan. Kedua pendapat tersebut mengartikan bahwa konformitas merupakan keadaan yang menuntut individu untuk mengikuti individu lainnya yang dianggapnya sebagai tekanan. Menurut David dan O Sears (1999:53) bahwa bila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena disebabkan oleh karena orang lain menampilkan perilaku tersebut, disebut konformitas. Menurut Baron dan Byrne (2005:53) konformitas remaja adalah penyesuaian perilaku remaja untuk menganut pada norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan yang menunjukkan bagaimana remaja berperilaku. Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka yang dimaksud konformitas teman sebaya adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan tindakan berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya dianggap dapat membahayakannya di depan teman sebaya. 2.2 Aspek-aspek Konformitas adalah: Wiggins (1991:132) mengemukakan bahwa aspek aspek konformitas 1) Kerelaan : rela mengikuti pendapat kelompok yang diinginkan atau diharapkan agar memperoleh reward berupa pujian dan untuk menghindari
3 12 celaan, keterasingan, cemooh yang mungkin dijatuhkan jika tidak mengerjakan keinginan kelompok. 2) Perubahan : saat terjadi perubahan sikap, dalam suatu konformitas ketidak hadiran seorang anggota kelompok lebih dianggap sesuai dengan pikiran dan tindakan anggota kelompok yang hadir. Konformitas sebuah kelompok acuan dapat mudah terlihat dengan adanya ciri-ciri yang khas. O Sears (1991:135) mengemukakan secara eksplisit bahwa konformitas remaja ditandai dengan adanya tiga hal sebagai berikut : 1. Kekompakan Kekuatan yang dimiliki kelompok acuan menyebabkan remaja tertarik dan ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari keanggotaannya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. a. Penyesuaian Diri Kekompakan yang tinggi menimbulkan tingkat konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok lain, akan semakin menyenangkan bagi mereka untuk mengakui kita, dan semakin menyakitkan bila mereka mencela kita.
4 13 Kemungkinan untuk menyesuaikan diri akan semakin besar bila kita mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi anggota sebuah kelompok tertentu. b. Perhatian terhadap Kelompok Peningkatan koformitas terjadi karena anggotanya enggan disebut sebagai orang yang menyimpang. Seperti yang telah kita ketahui, penyimpangan menimbulkan resiko ditolak. Orang yang terlalu sering menyimpang pada saat-saat yang penting diperlukan, tidak menyenangkan, dan bahkan bisa dikeluarkan dari kelompok. Semakin tinggi perhatian seseorang dalam kelompok semakin serius tingkat rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil kemungkinan untuk tidak meyetujui kelompok. 2. Kesepakatan Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga remaja harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. a. Kepercayaan Penurunan melakukan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan oleh faktor kepercayaan. Tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun bila terjadi perbedaan pendapat, meskipun orang yang berbeda pendapat itu sebenarnya kurang ahli bila dibandingkan anggota lain yang membentuk mayoritas. Bila seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok, maka
5 14 hal ini dapat mengurangi ketergantungan individu terhadap kelompok sebagai sebuah kesepakatan. b. Persamaan Pendapat Bila dalam suatu kelompok terdapat satu orang saja tidak sependapat dengan anggota kelompok yang lain maka konformitas akan turun. Kehadiran orang yang tidak sependapat tersebut menunjukkan terjadinya perbedaan yang dapat berakibat pada berkurangnya kesepakatan kelompok. Jadi dengan persamaan pendapat antar anggota kelompok maka konformitas akan semakin tinggi. c. Penyimpangan terhadap pendapat kelompok Bila orang mempunyai pendapat yang berbeda dengan orang lain dia akan dikucilkan dan dipandang sebagai orang yang menyimpang, baik dalam pandangannya sendiri maupun dalam pandangan orang lain. Bila orang lain juga mempunyai pendapat yang berbeda, dia tidak akan dianggap menyimpang dan tidak akan dikucilkan. Jadi kesimpulan bahwa orang yang menyimpang akan menyebabkan penurunan kesepakatan merupakan aspek penting dalam melakukan konformitas. 3. Ketaatan Tekanan atau tuntutan kelompok acuan pada remaja membuatnya rela melakukan tindakan walaupun remaja tidak menginginkannya. Bila ketaatannya tinggi maka konformitasnya akan tinggi juga.
6 15 a. Tekanan karena Ganjaran, Ancaman, atau Hukuman Salah satu cara untuk menimbulkan ketaatan adalah dengan meningkatkan tekanan terhadap individu untuk menampilkan perilaku yang diinginkan melalui ganjaran, ancaman, atau hukuman karena akan menimbulkan ketaatan yang semakin besar. Semua itu merupakan insentif pokok untuk mengubah perilaku seseorang. b. Harapan Orang Lain Seseorang akan rela memenuhi permintaan orang lain hanya karena orang lain tersebut mengharapkannya. Dan ini akan mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Gejala ini sangat mudah dilihat bila permintaan diajukan secara langsung. Misalnya, bila kita menyatakan kepada teman kita bahwa mereka harus menyumbang sejumlah uang, dan memberikan peringatan kepada teman kita apabila dia tidak menyumbangkan sejumlah uang maka kita akan memberikan uang yang lebih banyak. Harapan-harapan orang lain dapat menimbulkan ketaatan, bahkan meskipun harapan itu bersifat implisit. Salah satu cara untuk memaksimalkan ketaatan adalah dengan menempatkan individu dalam situasi yang terkendali, dimana segala sesuatunya diatur sedemikian rupa sehingga ketidaktaatan merupakan hal yang hampir tidak mungkin timbul. Berdasarkan beberapa aspek konformitas dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah keadaan dimana individu menyikapi dan melakukan tindakan berdasarkan pengaruh teman sebaya, yang bila tidak dilakukannya dianggap dapat membahayakannya dihadapan teman sebaya. Berdasarkan beberapa aspek
7 16 tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek konformitas adalah : kekompakan, kesepakatan dan ketaatan. 2.3 Faktor-faktor yang Mempengruhi Konformitas O Sears (1991:80-91) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas yaitu: 1. Perilaku Individu Yang Memberikan Informasi Dan Bermanfaat Individu merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali membuat individu mengetahui sesuatu yang individu lainnya tidak tahu, maka individu itu akan memperoleh manfaat dari hal tersebut. Informasi yang dimiliki oleh kelompok dapat dipercayai individu. Oleh karena itu, semankin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai informasi yang benar, semankin besar pula keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kelompok. Bila individu baranggapan bahwa kelompok selalu benar maka individu akan mengikuti apapun yang dilakukan oleh kelompok tanpa memperdulikan pendapatnya sendiri. Demikian bila kelompok memiliki informasi yang penting yang belum dimiliki individu, konformitas akan sangat meningkat. Salah satu faktor penentu kepercayaan adalah tingkat keahlian kelompok itu dalam hubungan antara individu. Semankin tinggi tingkat kepercayaan dan penghargaan individu terhadap pendapatnya. Faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan individu tersebut pada kemampuan sendiri untuk menapilkan satu reaksi. Konformitas dapat diturunkan dengan cara membuat individu lebih menguasai suatu persoalan. Segala sesuatu yang
8 17 meningkatkan rasa percaya individu terhadap penilaian sendiri akan menurunkan konformitas karena kemudian kelompok bukanlah informasi yang unggul lagi. 2. Individu Berkonformitas Karena Ingin Diterima Secara Sosial. Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan sebagai faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Individu ingin agar kelompok dimana individu berada menyukai, menerima serta memperlakukan secara baik. Individu cendrung menyesuaikan diri untuk menghindari perselisihan paham. terkadang individu berkonformitas demi memperoleh persetujuan atau menghindari celaan individu lain atau kelompok. Kurangnya kepercayaan individu pada penadapat sendiri membuat individu menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebaya. Semakin tinggi perhatian individu terhadap kelompok maka semakin tinggi rasa takutnya terhadap penolakan, dan semakin kecil untuk tidak menyetujui kelompok. Individu diharapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapatkan tekanan kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun bila kelompok tidak bersatu maka akan tampak adanya penurunan konformitas. Penurunan konformitas yang drastis karena hancurnya kesepakatan disebabkan beberapa faktor, pertama tingkat kepercayaan terhadap mayoritas akan menurun jika terjadinya penbedaan. Kedua, bila anggota kelompok lain mempunyai pendapat yang sama, keyakinan individu terhadap pendapat sendiri, akan semakin kuat, dimana keyakinan yang kuat akan menurunkan konformitas. Menurut Baron dan Byrne (2005:56), faktor-faktor yang mempengaruhi konformitas sebagai berikut:
9 18 1. Kohesivitas Individu menerima pengaruh dari individu lain yang disukainya. Kohesivitas dapat di defenisika sebagai kertarikan yang dirasakan individu terhadap suatu kelompok. Jika tingkat kohesivitas tinggi maka tekanan untuk berkonformitas semakin besar. 2. Ukuran Kelompok Penelitian-penelitian terdahulu seperti Asch, Gerard, Wilhemy, dan Conely (dalam Baron dan Byrne, 2005:57), menemukan bahwa konformitas meningkat sejalan dengan bertambahnya anggota kelompok, namun hanya penambahan sekitar tiga anggota kelompok, lebih dari itu, nampaknya tidak akan berpengaruh atau mungkin menurun. Namun penelitian terbaru yang dilakukan Smith (dalam Baron dan Byrne 2005:57) menemukan bahwa konformitas cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kelompok hingga berjumlah delapan anggota. 3. Norma Sosial Deskriptif dan Sosial Injungtif Norma sosial deskriptif merupakan norma yang hanya mendeskripsikan sebagian besar yang individu lakukan pada situasi tertentu. Norma-norma ini mempengaruhi tingkah laku dengan cara memberitahu diri mengenai apa yang umumnya dianggap efektif pada suatu situasi. Norma Injungtif menetapkan apa yang harus dilakukan, tingkah laku yang dapat diterima atau tidak dapat di terima pada situasi tertentu. Kedua pengaruh tersebut dapat memberikan pengaruh yang kuat pada tingkah laku. Cialdini (dalam Baron dan Byrne, 2005:57) mempercayai
10 19 bahwa pada situasi-situasi tertentu, terutama tingkah laku anti sosial cenderung mencul, norma injungtif dapat memberikan pengaruh yang kuat. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas diantaranya adalah adanya individu yang memberikan informasi yang bermanfaat, keinginan untuk diterima secara sosial, kohesivitas kelompok, ukuran kelompok, serta norma-norma yang bersifat Deskriptif dan Injungtif. 2.4 Pengertian Asertif Dalam kehidupan sosial, adanya kecendrungan sikap asertif sangat membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu lain yang sangat dibutuhkan guna dalam meningkatkan profesionalime dalam kompetensi individu dalam kehidupan sehari-hari. Asertif berasal dari kata assert (sadar) yang berarti menegaskan, yang mengandung satu atau lebih hal seperti ; hak azazi manusia, kejujuran, atau ekspresi emosi yang tepat. Istilah asertif menunjukan pada suatu tingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Wilis dan Daisley (1990:23) bahwa perilaku asertif merupakan suatu bentuk tingkah laku dan bukan merupakan sifat dari kepribadian (personality trait). Menurut Cawwod (1997:13) perilaku asertif adalah ekspresi yang lansung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak anda tanpa kecamasan yang tidak beralasan. Pesan yang ditampikan jelas, terfokus dan wajar, tidak menghakimi. Berbicara tidak berputar-putar, tidak mengemas ulang atau memanipulasi individu lain. Jujur adalah perilaku yang selaras, semua isyarat
11 20 cocok, kata-kata, gerak-gerik, dan perasaan semuanya mengatakan hal yang sama. Atkinson (1997:124) berpendapat bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku yang timbul apabila individu mengetahui hak-haknya, atau apa yang diinginkannya, sekaligus tidak melanggar hak individu lain. Sebaliknya dengan individu non asertif adalah individu yang terlihat mudah mengalah, mudah tersinggung, cemas, kurang percaya diri, sukar mengungkapkan masalah atau halhal yang diinginkan. Demikian pula dengan pendapat Lange Jakubowski (dalam Calhoun dan Acocella, 1990:384) bahwa perilaku asertif menuntut hak pribadi dalam menyatakan pikiran, perasaan dan keyakinan dengan cara jujur dan tepat. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diuraikan bahwa individu yang menampilkan perilaku asertif mampu mengungkapkan perasaan dan pikirannya dihadapan individu lain. Schroeder Black (dalam Craighead dkk, 1994:112) menyatakan bahwa perilaku asertif dapat didefenisikan sebagai usaha individu untuk merespon atau mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu tingkah laku dan menolak permintaan yang tidak masuk akal. Pendapat yang senada juga di kemukan oleh Craighead dkk (1994:113), bahwa perilaku asertif berkaitan dengan usaha individu untuk mempertahankan hak-haknya. Secara umum pendapat mengenai perilaku asertif yang dikemukakan para ahli di atas mengacu pada hal yang sama, yaitu tingkah laku para ahli di atas sacara umum mengatakan hal yang sama dikatakan bahwa perilaku asertif menuntut individu untuk merespon, mengungkapkan serta bertingkah laku secara tegas dan jujur terhadap individu
12 21 tidak sesuai dengan apa yang dirasakan individu tidak menyinggung dan merugikan individu lain. Menurut Fensterheim dan Baer (Ardiah, 2003:85) kata asertif berasal dari Bahasa Inggris to assert, yang diartikan sebagai suatu ungkapan sikap positif, dimana sikap positif tersebut dinyatakan dengan tegas atau terus terang. Perilaku asertif menurut Lloyd (1991:78), dikatakan sebagai gaya yang wajar, langsung, jujur, penuh respon dalam interaksi individu lain, dapat diekspresikan baik secara verbal maupun dengan menampilkan bahasa tubuh yang serasi. Rimm dan Masters (Rakos, 1991:134) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta mengekspresikan pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap memperhitungkan kondisi sosial yang ada. Orang yang berperilaku asertif dapat disebutkan sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri, karena orang yang percaya diri selalu bersikap positif pada dirinya sendiri dan orang lain. Sikap ini akan menjadikan seseorang menjadi tegas, jujur dan terbuka, kritis, langsung dan nyaman, akan tetapi mampu menghormati orang lain (Townend, 1991:23). Menurut Fensterheim & Baer ( 1995:14) dapat diketahui bahwa pribadi yang cenderung menampilkan perilaku asertif dapat memiliki 4 (empat) ciri antara lain adalah a. Merasa bebas untuk mengemukakan diri sendiri melalui kata kata dantindakan mampu mengeluarkan pernyataan inilah diriku, inilah yang saya rasakan, saya fikirkan dan saya ingini.
13 22 b. Dapat berkomunikasi dengan individu lain dari semua tingkatan baik individu yang tidak dikenal, sahabat-sahabat maupun keluarga. komunikasi ini selalu terbuka, langsung, jujur dan sebagaimana mestinya. c. Mempunyai pandangan aktif tentang hidup, mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi. d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri, karena sadar bahwa dirinya tidak dapat selalu menang, maka individu menerima keterbatasannya, akan tetapi dirinya selalu berusaha mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaik-baiknya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan perilaku asertif adalah keinginan individu untuk dapat menampilkan dan mengungkapkan pikiran, perasaan, kehendak, serta kebutuhan secara tegas, jujur dan terus terang melalui cara-cara yang dapat diterima dan sesuia dengan sopan santun tanpa melanggar harga diri dan hak-hak pribadi dan individu lain. 2.5 Aspek-aspek Perilaku Asertif Aspek-aspek perilaku asertif menurut Galassi (dalam Porpitasari 2007) ada tiga kategori yaitu: 1) Mengungkapkan perasaan positif (expressing positive feelings) Pengungkapan perasaan positif antara lain: a) Dapat memberikan pujian dan mengungkapkan penghargaan pada orang lain dengan cara asertif adalah keterampilan yang sangat penting.
14 23 Individu mempunyai hak untuk memberikan balikan positif kepada orang lain tentang aspek-aspek yang spesifik seperti : perilaku, pakaian, dan lain-lain, memberikan pujian berakibat mendalam dan kuat terhadap hubungan antara dua orang, ketika seorang di puji kecil kemungkinan mereka merasa tidak dihargai. Menerima pujian minimum dengan ucapan terima kasih, senyuman, atau seperti saya sangat menghargainya. b) Meminta pertolongan termasuk di dalamnya yaitu meminta kebaikan hati dan meminta seseorang untuk mengubah perilakunya. Manusia selalu membutuhkan pertolongan orang lain dalam kehidupannya, seperti misalnya meminjam uang. c) Mengungkapkan perasaan suka, cinta, sayang kepada orang yang disenangi. Kebanyakan orang mendengar atau mendapatkan ungkapan tulus merupakan hal yang menyenangkan dan hubungan yang berarti serta selalu memperkuat dan memperdalam hubungan antara manusia. d) memulai dan terlibat percakapan. Aspek ini diindikasikan oleh frekuensi senyuman dan gerakan tubuh yang mengindikasi reaksi perilaku, respon, kata-kata yang menginformasikan tentang diri/pribadi, atau bertanya langsung. 2) Afirmasi diri (self affirmations) Afirmasi diri terdiri dari tiga perilaku yaitu: a. Mempertahankan hak Mengekspresikan mempertahankan hak adalah relevan pada macammacam situasi dimana hak pribadi diabaikan atau dilanggar. Misalnya situasi
15 24 orang tua dan keluarga, seperti anak tidak diizinkan/dibolehkan menjalani kehidupan sendiri, tidak mempunyai hak pribadi sendiri, dan situasi hubungan teman dimana hakmu dalam membuat keputusan tidak dihormati. b. Menolak permintaan Individu berhak menolak permintaan yang tidak rasional dan untuk permintaan yang walaupun rasional, tapi tidak begitu diperhatikan. Dengan berkata tidak dapat membantu kita untuk menghindari keterlibatan pada situasi yang akan membuat penyesalan karena terlibat, mencegah terjadinya suatu keadaan dimana individu akan merasa seolah-olah telah mendapatkan keuntungan dari penyalah gunaan atau memanipulasi ke dalam sesuatu yang diperhatikan untuk dilakukan. c. Mengungkapkan pendapat Setiap individu mempunyai hak untuk mengungkapkan pendapatnya secara asertif. Mengungkapkan pendapat pribadi termasuk di dalamnya dapat mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang lain, atau berpotensi untuk menimbulkan perselisihan pendapat dengan orang lain, contohnya adalah mengungkapkan ketidak sepahaman dengan orang lain. 3) Mengungkapkan perasaan negatif (expressing negative feelings) Perilaku ini meliputi pengungkapan perasaan negatif tentang orang perorang. Perilaku-perilaku yang termasuk dalam kategori ini adalah: a. Mengungkapkan ketidaksenangan Ada banyak situasi dimana individu berhak jengkel atau tidak menyukai perilaku orang lain, seseorang melanggar hak mu, teman meminjam barang tanpa
16 25 permisi, teman yang selalu datang terlambat ketika berjanji, dan lain-lain. b. Mengungkapkan kemarahan Individu mempunyai tanggung jawab untuk tidak merendahkan, mempermalukan, atau memperlakukan dengan kejam kepada orang lain pada proses ini. Banyak orang telah mempelajari bahwa mereka seharusnya tidak mengekspresikannya. Rimm dan Masters (Rakos, 1991:45) menyatakan bahwa perilaku asertif adalah suatu perilaku dalam hubungan interpersonal yang bersifat jujur serta mengekspresikan pikiran dan perasaan secara langsung dengan tetap memperhitungkan kondisi sosial yang ada. Alberti dan Emmons (2002:76-80) juga menyebutkan beberapa komponen-komponen dari perilaku asertif. Komponen-komponen tersebut adalah: a) Kontak Mata (Eye Contact) Saat berbicara individu yang asertif menunjukkan kontak mata dengan menatap langsung dengan lawan bicaranya, sehingga akan membantu dalam mengkomunikasikan ketulusan, menunjukkan perhatian dan penghormatan kepada orang lain serta meningkatkan kelangsungan pesan yang disampaikan. b) Sikap Tubuh (Body Posture) Sikap tubuh yang ditunjukkan oleh individu yang asertif adalah sikap tubuh yang aktif dan tegak. Sikap berdiri yang membungkuk dan pasif, menandakan kurangnya keasertifan seseorang. c) Jarak atau Kontak Fisik (Distance atau Physical Contact)
17 26 Individu yang asertif mempunyai kemampuan dalam menjaga jarak ketika berinteraksi dengan orang lain. Kedekatan diantara orang-orang yang terlibat pembicaraan akan memiliki dampak yang cukup besar dalam komunikasi. Akan tetapi apabila terlalu dekat mungkin dapat menyinggung perasaan orang lain. d) Isyarat (Gesture) Isyarat yang ditunjukkan oleh individu yang asertif dapat menambah ketegasan, keterbukaan, kehangatan, rasa percaya diri dan spontanitas dalam berkomunikasi dengan orang lain. e) Ekspresi Wajah (Facial Expression) Dalam berbicara dengan orang lain, individu yang asertif mampu mengekspresikan wajah sesuai dengan pesan atau hal apa yang akan disampaikan. f) Nada, Modulasi, Volume Suara Saat mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal, individu yang asertif menggunakan intonasi suara yang tepat. g) Penetapan Waktu (Timing) Individu yang asertif mampu menyatakan sesuatu kepada orang lain secara tepat sesuai dengan waktu dan tempat. h) Mendengarkan (Listening) Individu yang asertif mempunyai kemampuan untuk mendengarkan dengan seksama ketika lawan bicaranya sedang berbicara, sehingga mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan diri sesaat.
18 27 i) Isi (Content) Individu yang asertif mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpuklan bahwa beberapa aspek-aspek perilaku asertif diantaranya adalah kontak mata, sikap tubuh, jarak atau kontak fisik, gesture, ekspresi wajah, volume suara, penetapan waktu, pendengaran, serta mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan memilih kalimat yang tepat dalam berkomunikasi. 2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif Faktor faktor yang mempengaruhi perilaku asertif menurut Allport (dalam Suryabrata, 1988:87-88) adalah sebagai berikut : a) Kepribadian Kepribadian ialah organisasi dinamis dalam diri Individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Kepribadian yang dimiliki seseorang juga mempengaruhi perilaku asertif dalam berinteraksi dengan individu lain di lingkungan sosial. b) Jenis Kelamin Jenis kelamin pria lebih asertif dibandingkan wanita. Perbedaan perilaku asertif ini terutama jika berada dalam suatu kelompok. c) Sikap Orang Tua Orang tua yang agresif maupun pasif tidak akan menghasilkan anak yang asertif dalam perkembangan kepribadian anak tersebut. Sebaliknya, orang tua
19 28 yang tegas atau asertif besar kemungkinan bahwa anak-anaknya berprilaku asertif, sebab orang tua yang asertif selalu terbuka, mantap dalam bertindak, penuh kepercayaan diri dan tenang dalam mendidik anak anak. Maslow (dalam Goble, 1987:77) mengatakan bahwa cara mengasuh anak yang disarankan ialah pemberian kebebasan dangan batas batas yang fleksibel, artinya orang tua harus memikirkan sampai dimana batas batas dalam mengontrol anak. Orang tua yang ingin berhasil perlu mengetahui kapan mengatakan ya dan kapan mengatakan tidak. Ada saatnya orang tua harus bersikap keras tegas dan berani sehingga anak dapat mencontoh perilaku orang tuanya, sehingga membentuk anak menjadi asertif. Selain itu perilaku tidak asertif sering terjadi dikarenakan orang tua terlalu menekankan pada anak untuk lebih mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. d) Pendidikan Lingkungan pendidikan mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan perilaku, khususnya perilaku asertif. Pendidikan mempunyai tujuan untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan perubahan, lebih mampu untuk menghasilkan individu yang mudah menerima dan menyesuaikan diri terhadap perubahan perubahan, lebih mampu untuk mengungkapkan pendapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan lebih berorientasi kependapatnya, memiliki rasa tanggung jawab dan lebih kemasa depan.
20 29 e) Kebudayaan Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu merupakan salah satu faktor yang kuat dalam mempengaruhi sikap, nilai dan cara individu berperilaku. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan perilaku asertif ditentukan oleh faktor kepribadian masing masing individu, jenis kelamin, sikap orang tua terhadap anak anaknya, pendidikan individu itu sendiri dan kebudayaan dimana individu itu berada. 2.7 Hubungan Kecendrungan Perilaku Asertif Dengan Konformitas Remaja merupakan masa peralihan anak-anak menuju dewasa, dimana pada masa tersebut remaja memiliki tugas perkembangan untuk menjalin hubungan dengan teman-teman sebayanya. Kondisi demikian menyebabkan remaja lebih senang berada atau menghabiskan waktu diluar rumah untuk berkumpul dan berkelompok dengan teman sebayanya, di bandingkan berada dirumah bersama keluarga. Banyak remaja/siswa berusaha melakukan berbagai cara untuk dapat diterima oleh kelompok teman sebayanya termasuk untuk conformitas dengan harapan dan nilai-nilai yang berlaku pada kelompok teman sebayanya. Remaja takut bila dirinya tidak mengikuti harapan dan nilai-nilai yang dianut teman sebayanya, maka dirinya akan mendapatkan penolakan atau tidak diterima, sehingga untuk dapat diterima oleh teman sebayanya remaja rela mengorbankan harapan, keinginan dan hak-hak dirinya untuk kemudian conformitas terhadap nteman-teman sebayanya. Hal ini didukung oleh Lange dan Jakubowski (dalam
21 30 Calhoun dan Acocella, 1990:385), mengemukakan bahwa perilaku tidak tegas ditampilkan untuk menghindari hal-hal yang buruk. Bandura (dalam Santrok, 2003:223), mengatakan bahwa untuk mengatasi konformitas terhadap tekanan teman sebaya maka remaja/siswa perlu memiliki rasa kepemilikan dan kontrol atas dirinya sendiri, walaupun teman-teman semankin berusaha mengontrol dirinya, namun remaja atau siswa dapat memunculkan kontrol pribadi atas tindakan dan pengaruh teman-temannya. Kemudian Schroeder dan Black (dalam Craighead dkk, 1994:112), menyatakan bahwa tingkah laku asertif didefenesikan sebagai usaha individu untuk merespon dan mengatasi situasi yang bermasalah dengan cara meminta individu lain untuk mengubah tingkahlaku dan menolak permintaan yang tidak masuk akal. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat ditarik garis penghubung bahwa perilaku asertif dapat berfungsi sebagai bentuk kontrol atas individu lain terhadap dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa remaja/siswa yang memiliki asertivitas dapat mengontrol tekanan, harapan dan pengaruh teman sebayanya, sehingga tidak mudah konformitas. Dapat di artikan juga bahwa individu yang memiliki perilaku asertif tinggi maka konformitasnya akan rendah dan begitupun sebaliknya, semankin rendah perilaku asertif yang dimiliki individu maka akan semankin tinggi tingkat konformitas individu terhadap teman sebaya. 2.8 Kaitan Dengan Bimbingan dan Konseling Sebagai calon guru bimbingan dan konseling tidak menutup kemungkinan akan berhadapan dengan siswa SMP/SMA dimana pada masa ini siswa disebut
22 31 masa remaja. Pada masa remaja tidak akan terlepas dari masalah konformitas, jika dalam penelitian ini terdapat hubungan antara kecenderungan perilaku asertif dengan konformitas terhadap teman sebanya, maka ini bisa jadi masukan bahwa kecenderungan perilaku asertif dapat menekan konformitas terhadap teman sebaya. 2.9 Hipotesis Penelitian Berpijak pada adanya konsep teori yang mengaitkan variabel yang hendak diteliti, maka dapat dirumusan hipotesis sebagai berikut : Terdapat hubungan antara kecenderungan prilaku asertif dengan konfornitas terhadap teman sebaya pada siswa-siswi Kelas XI SMA Negeri 1 Telaga Biru Kabupaten Gorontalo.
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku assertif adalah perilaku antar perorangan yang melibatkan aspek kejujuran dan keterbukaan pikiran dan perasaan. Perilaku assertif
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. PERILAKU ASERTIF 1. Pengertian Perilaku Asertif Kata asertif berasal dari bahasa Inggris assertive yang berarti tegas dalam pernyataannya, pasti dalam mengekspresikan dirinya atau
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pertanyaan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Asertif menurut Corey (2007) adalah ekspresi langsung, jujur dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Asertif. jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Asertif 1. Pengertian Perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung kepada tujuan, jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006).
BAB II LANDASAN TEORI 1.1. Konformitas 2.1.1.Pengertian Konformitas Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan sesuai
Lebih terperinciPENDAHULUAN. membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sosial, adanya kecenderungan perilaku asertif sangat membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu lain yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konformitas Negatif Pada Remaja 2.1.1 Pengertian Konformitas Negatif Pada Remaja Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Apabila seseorang menampilkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif
BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari pelaporan penelitian yang membahas tentang latar belakang penelitian yang dilakukan, adapun yang menjadi fokus garapan dalam penelitian ini adalah masalah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku asertif sangat penting bagi setiap orang guna memenuhi segala kebutuhan dan keinginan, terutama pada mahasiswa, dimana harus menyelesaikan tugas perkembangan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara
BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk kemajuan pembangunan. Salah satu lembaga pendidikan yang penting adalah perguruan tinggi.
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Arikunto (2006: 12) menjelaskan bahwa pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. perasaan dan pendapat kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang itu,
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1 Pengertian Asertif Individu yang asertif menurut Sumihardja (Prabowo 2000) mempunyai pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan langsung mampu mengungkap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tak akan terlepas dari kodratnya, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, yang mana ia harus hidup berdampingan dengan manusia lainnya dan sepanjang hidupnya
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat.
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Vandalisme 2.1.1 Pengertian Vandalisme. Menurut Sarwono (2006) masa remaja merupakan periode yang penuh gejolak emosi tekanan jiwa sehingga remaja mudah berperilaku menyimpang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Asertif 2.1.1. Pengertian Perilaku Asertif Menurut Smith (dalam Rakos, 1991) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Prokrastinasi Akademik 2.1.1 Pengertian prokrastinasi Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan pro yang berarti mendorong maju atau bergerak
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA AKTIVIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA. Skripsi
HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA AKTIVIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Dalam Mencapai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan pendapatnya, berani tampil di muka umum, memiliki kepedulian sosial, dan memiliki kemampuan
Lebih terperinciPENGARUH PELATIHAN RESILIENSI TERHADAP PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA. Vita Ristinawati Irwan Nuryana K INTISARI
PENGARUH PELATIHAN RESILIENSI TERHADAP PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA Vita Ristinawati Irwan Nuryana K INTISARI Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh pelatihan resiliensi
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORITIS
BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional mengharapkan upaya pendidikan formal di sekolah mampu membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang sehat dan produktif. Pribadi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah dan Masalah 1. Latar Belakang Pada hakekatnya manusia merupakan mahkluk sosial, sehingga tidak mungkin manusia mampu menjalani kehidupan sendiri tanpa melakukan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah
Lebih terperinciPERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI
PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI Masa awal remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin
Lebih terperinciPERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK
PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat sarjana S-1 Diajukan Oleh : UMIYATI F 100 050 239 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, sering
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Peserta didik pada usia remaja di sekolah sebagai individu yang sedang berkembang mencapai taraf perkembangan pribadi secara optimal dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku seseorang adalah hasil interaksi antara komponen fisik, pikiran, emosi dan keadaan lingkungan. Namun, untuk memperkuat kontrol manusia terhadap perilakunya
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. dalam mengekspresikan perasaan, sikap, keinginan, hak, pendapat secara langsung,
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Asertif Alberti & Emmons (1990) mendefinisikan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku kompleks yang ditunjukan oleh seseorang dalam hubungan antar pribadi, dalam mengekspresikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang pertama kali kita masuki dimana didalamnya kita mendapatkan pembelajaran mengenai norma-norma, agama maupun proses sosial
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. didapatkan 10 siswa termasuk dalam kategori sangat rendah dan rendah yang
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Salatiga. Subjek dalam penelitian ini adalah kelas IX A dan Kelas IX B yang berjumlah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai
Lebih terperinciBAB 2 TINJUAN PUSTAKA. dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi
BAB 2 TINJUAN PUSTAKA 2.1 Kepribadian Secara umum kepribadian (personality) suatu pola watak yang relatif permanen, dan sebuah karakter unik yang memberikan konsistensi sekaligus individualis bagi perilaku
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada setiap individu tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau statusnya sebagai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki era globalisasi sekarang ini, manusia dituntut untuk dapat menggunakan waktu dengan efektif sehingga efisiensi waktu menjadi sangat penting, namun sampai sekarang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat bagi setiap individu untuk menimba ilmu dan tempat untuk berinteraksi dengan teman-teman, guru, dan yang lainnya. Sekolah juga merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar terhadap kehidupan remaja baik yang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Populasi / Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Bandung yang berlokasi di Jalan. Dr. Setiabudi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adanya suatu periode khusus dan periode sulit, dimana pada tahun-tahun awal. masa dewasa banyak merasakan kesulitan sehingga mereka
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sedang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Menurut Hurlock, masa dewasa awal dimulai pada umur
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kompetensi Interpersonal 2.1.1 Pengertian Kompetensi Interpersonal Kompetensi interpersonal yaitu kemampuan melakukan komunikasi secara efektif (DeVito, 1989). Keefektifan dalam
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tindakan Vandalisme Berikut ini akan di uraikan beberapa landasan teori tentang tindakan vandalisme dan konformitas negatif yang menjadi dasar atau landasan dalam penelitian
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Perilaku Asertif Perilaku asertif adalah perilaku hubungan antar pribadi yang menyertakan kejujuran dan berterus terang secara sosial dalam mengekspresikan pemikiran
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia perlu berkomunikasi dan berinteraksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siswa SMA berada pada usia remaja yaitu masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis. Dengan adanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembentukan kepribadian akan sangat ditentukan pada masa perkembangan dimana manusia berada pada rentan umur 12 hingga 21 tahun. Masa transisi dari kanak-kanak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist &
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist & Feist, 2006), remaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kurang memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh dirinya.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Gelar Sarjana S-1 Psikologi Oleh : Nina Prasetyowati F
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Menghadapi lingkungan yang memiliki perbedaan pola pikir, kepribadian serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat menimbulkan berbagai
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010).
BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kecemasan Komunikasi Interpersonal 2.1.1. Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal Burgoon dan Ruffner (1978) kecemasan komunikasi interpersonal adalah kondisi ketika individu
Lebih terperinciO u t l I n e. T P U & T P K P e n d a h u l u a n P e m b a h a s a n
Proses Komunikasi O u t l I n e T P U & T P K P e n d a h u l u a n P e m b a h a s a n T P U Diharapkan mampu ampu menjelaskan dan menerapkan konsep-konsep dasar dalam komunikasi, jenis dan teknik komunikasi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi. Dalam mahasiswa terdapat beberapa golongan remaja.
Lebih terperinciMENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN LATIHAN ASERTIF PADA SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 SALATIGA
MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEHAVIORAL DENGAN LATIHAN ASERTIF PADA SISWA KELAS IX SMP NEGERI 2 SALATIGA Ertik Indrawati, Setyorini dan Sumardjono Padmomartono Program Studi S1
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata dan bukan menurut tuntutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kecerdasan awalnya dianggap sebagai kemampuan general manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang mempunyai tujuan dan berpikir dengan cara yang rasional.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan orang lain. Kehidupan manusia mempunyai fase yang panjang, yang di dalamnya selalu mengalami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Masing-masing individu yang berinteraksi akan memberikan respon yang berbeda atas peristiwa-peristiwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti melewati tahap-tahap perkembangan yaitu masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa dewasa. Namun ada suatu masa dimana individu
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka
147 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan: a. Remaja kelas XII SMA PGII 1 Bandung tahun ajaran 2009/2010
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal 2.1.2 Definisi Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan
Lebih terperinciINVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD. Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan
L A M P I R A N 57 INVENTORI TUGAS PERKEMBANGAN SISWA SD Berikut ini 50 rumpun pernyataan, setiap rumpun terdiri atas 4 pernyataan Anda diminta untuk memilih 1 (satu) pernyataan dari setiap rumpun yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan antara individu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dimana kedua aspek tersebut terjadi secara bersama-sama. Sebagai makhluk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dilahirkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimana kedua aspek tersebut terjadi secara bersama-sama. Sebagai makhluk individu ditandai dengan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan
BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial yang setiap harinya menjalin hubungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial yang setiap harinya menjalin hubungan dengan individu lain merupakan bagian yang tidak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari.
Lebih terperinciTINGKAT KEMAMPUAN ASERTIF PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 1 IX KOTO KABUPATEN DHARMASRAYA ABSTRACT
1 TINGKAT KEMAMPUAN ASERTIF PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 1 IX KOTO KABUPATEN DHARMASRAYA Erni Walini 1, Alfaiz 2, Hafiz Hidayat 2 1 Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatera Barat
Lebih terperinciPELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM
PROGRAM PENGABDIAN PADA MASYARAKAT BAGIAN PSIKOLOGI KLINIS FAKULTAS PSIKOLOGI UNDIP BEKERJASAMA DENGAN RS. HERMINA BANYUMANIK SEMARANG PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM SEMARANG, 23 AGUSTUS 2014
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja juga merupakan priode yang penting, dimana pada masa remaja
A. Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN Masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat. Masa remaja juga merupakan priode yang penting, dimana pada masa remaja sebagai masa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, disadari atau tidak remaja akan kehilangan hak-hak pribadi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa dimana seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang
Lebih terperinciTine A. Wulandari, S.I.Kom.
Tine A. Wulandari, S.I.Kom. Komunikasi verbal atau lisan yang efektif tergantung pada sejumlah faktor dan tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari kecakapan antarpribadi yang penting lainnya seperti komunikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beranjak dewasa. Selain tugas-tugas akademis yang dikerjakan, mahasiswa juga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa memiliki tugas yang beragam meliputi tugas-tugas kehidupannya yaitu sebagai seorang remaja ataupun seseorang yang sedang beranjak dewasa. Selain tugas-tugas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alrefi, 2014 Penerapan Solution-Focused Counseling Untuk Peningkatan Perilaku Asertif
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa awal remaja adalah masa seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukannya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri dan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Setiap aktivitas yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas. perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya. Siswa
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Percaya Diri Sikap dan perilaku manusia sangatlah dipengaruhi oleh kondisi perasaannya, salah satunya adalah sikap percaya diri. Menurut Santrock (2002)
Lebih terperinciBAB II TINJAUN PUSTAKA. Asertivitas adalah kemampuan mengkomunikasikan keinginan, perasaan,
BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1.1. Asertivitas Asertivitas adalah kemampuan mengkomunikasikan keinginan, perasaan, dan pikiran kepada orang lain tanpa rasa cemas, dengan tetap menjaga dan menghargai hakhak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN Bagian pendahuluan merupakan pemaparan mengenai dasar dilakukannya penelitian, yaitu terdiri dari latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan
BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. daya manusia melalui kegiatan pengajaran, kegiatan pengajaran ini
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia melalui kegiatan pengajaran, kegiatan pengajaran ini diselenggarakan pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa peralihan atau masa transisi di mana para remaja belum bisa sungguh-sungguh dikatakan
Lebih terperinci