PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA"

Transkripsi

1 PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA Oleh RAMDHAN NURBIANTO F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 Ramdhan Nurbianto. F Pengaruh Perlakuan Oven Gelombang Mikro Terhadap Mortalitas Tribolium castaneum Herbst dan Kandungan Tepung Tapioka. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dyah Wulandari, MSi dan Drs. Sunjaya. Ringkasan Tepung tapioka merupakan bahan pangan yang banyak digunakan dalam rumah tangga maupun industri. Tercatat adanya kecenderungan peningkatan permintaan tepung tapioka di Indonesia karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Sebagai bahan baku maupun bahan tambahan pada industri maupun untuk keperluan rumah tangga, tepung tapioka akan melewati tahap penyimpanan sebelum dibentuk menjadi produk lanjutan. Pada tahap inilah tepung tapioka sangat rentan terhadap kerusakan diantaranya akibat serangan hama gudang seperti serangga, tungau, dan kapang. Serangan akibat serangga relatif lebih banyak menimbulkan kerusakan dibanding kerusakan yang ditimbulkan selainnya. Pada penelitian ini, pengelolaan kondisi lingkungan dengan menggunakan oven gelombang mikro dipakai untuk pengendalian serangan hama gudang. Jumlah serangga hama gudang (Tribolium castaneum Herbst) yang diujikan adalah sebanyak 20 ekor (10 ekor jantan dan 10 ekor betina) dan tepung tapioka sebanyak 5 gram. Adapun perlakuan oven gelombang mikro diujikan pada berbagai tingkatan daya (240 W, 480 W, dan 720 W) dan waktu (30 s, 60 s, 90 s, 120 s). Dari hasil uji, perlakuan oven gelombang mikro pada berbagai tingkatan daya dan waktu memberikan pengaruh yang berbanding lurus terhadap kenaikan suhu bahan (tepung tapioka), kenaikan mortalitas Tribolium castaneum Herbst, kenaikan kadar abu bahan (tepung tapioka), kenaikan penggunaan energi, penurunan kadar air bahan, penurunan kadar pati bahan (tepung tapioka), dan penurunan derajat putih. Adapun dari hasil uji LSD dengan nilai α < 5% menunjukkan bahwa daya dan waktu mempengaruhi perubahan suhu tepung tapioka, kadar air bahan, mortalitas Tribolium castaneum Herbst, serta tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar pati bahan, derajat putih, dan kadar abu. Pada perlakuan dengan oven gelombang mikro dibutuhkan waktu 120 detik dan energi 57.6 kj untuk mendapatkan mortalitas Tribolium castaneum 100% dan kemunculan F1 Tribolium castaneum 0 %, sementara oven pengering udara panas membutuhkan waktu 25 menit dan energi 2640 kj untuk mendapatkan mortalitas Tribolium castaneum 100% dan kemunculan F1 Tribolium castaneum 0%. Adapun perlakuan oven gelombang mikro yang relatif efektif untuk mereduksi hama dan mencegah keturunan F1 Tribolium castaneum adalah pada 480 watt 120 detik di mana pengaruh perubahan kadar air, massa bahan, kadar abu, derajat putih, kandungan pati masih berada dalam Standar Nasional Indonesia , dengan penggunaan energi dan waktu yang relatif kecil serta dapat memberikan mortalitas dan mencegah munculnya F1 dengan efektifitas 100%. Kata kunci : pemanasan, oven gelombang mikro, Tribolium castaneum

3 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... ii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 3 III. TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Singkong dan Tapioka... 4 B. Pati... 7 C. Serangga Hama Gudang Sifat Umum Tribolium castaneum Kerusakan yang Ditimbulkan Tribolium castaneum D. Gelombang Mikro E. Oven Gelombang Mikro II. METODOLOGI A.Tempat dan Waktu B.Bahan dan Alat C.Parameter yang Diukur Massa Bahan Kadar Air Bahan Suhu Bahan Mortalitas Tribolium castaneum Kandungan Pati Tepung Tapioka Derajat Keputihan Tepung Tapioka Kadar Abu Bahan Energi yang Digunakan Perlakuan Pembanding... 26

4 10. Rancangan percobaan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Suhu Tapioka B.Kadar Air Bahan C.Mortalitas Tribolium castaneum D.Kadar Pati Bahan E. Derajat Putih F. Kadar Abu Bahan G.Energi H.Jumlah Keturunan F I. Penerapan Skala Industri V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran VI. DAFTAR PUSTAKA VII. LAMPIRAN... 50

5 DAFTAR TABEL Tabel 1. Informasi pemanfaatan tapioka dalam skala industri. 1 Tabel 2. Susunan kandungan nutrisi pada singkong mentah bobot 100 gram... 5 Tabel 3. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap laju perubahan kadar air pada berbagai variasi daya dan waktu 32 Tabel 4. Data mortalitas Tribolium castenum dengan oven pengering udara panas 37 Tabel 5. Data penggunaan energi oven pengering udara panas dan pengaruhnya terhadap mortalitas 38 Tabel 6. Energi yang digunakan dalam perlakuan Tribolium castenum dengan oven gelombang mikro. 43 Tabel 7. Penggunaan energi oven pengering udara panas pada variasi daya dan pengaruhnya terhadap mortalitas Tribolium casteneum. 45 Tabel 8. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap jumlah keturunan (F1) imago Tribolium castaneum. 46 Tabel 9. Pengaruh perlakuan oven pengering udara panas terhadap munculnya keturunan F1 Tribolium castaneum. 47

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ketela pohon... 4 Gambar 2. Imago Tribolium castaneum... 8 Gambar 3. Penampang tubuh Tribolium castaneum jantan Gambar 4. Skema aliran arus oven gelombang mikro Gambar 5. Skema bagian kendali oven gelombang mikro Gambar 6. Skema kerja oven gelombang mikro secara keseluruhan Gambar 7. Oven gelombang mikro Gambar 8. Desikator Gambar 9. Oven Pengering Udara Panas Gambar 10. Bagan alir pengukuran massa bahan Gambar 11. Bagan alir pengukuran kadar air Gambar 12. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap suhu tepung tapioka Gambar 13. Laju perubahan suhu tapioka dengan perlakuan oven gelombang mikro Gambar 14. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap kadar air bahan (tepung tapioka) Gambar 15. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap mortalitas Tribolium castaneum.. 33 Gambar 16. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap mortalitas Tribolium castaneum jantan Gambar 17. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap mortalitas Tribolium castaneum betina. 35 Gambar 18. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap kadar pati bahan (tapioka) Gambar 19. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap laju perubahan pati bahan (tapioka) 40 Gambar 20. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap derajat putih bahan.. 41 Gambar 21. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap kadar abu bahan... 42

7 Gambar 22. Penggunaan energi gelombang mikro dalam perlakuan Tribolium castaneum.. 44

8 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tepung tapioka merupakan bahan pangan yang banyak digunakan dalam rumah tangga maupun industri. Industri yang umum menggunakan tepung tapioka adalah industri makanan, pakan, dekstrim, dan glukosa (Tabel 1). Dekstrim digunakan dalam industri tekstil, farmasi, dan industri perekat sebagai ekstender kayu lapis atau industri lainnya. Glukosa digunakan dalam industri makanan, kimia seperti etanol dan senyawa organik lainnya ( Secara keseluruhan, industri tapioka banyak tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Terlebih hal ini didukung oleh produksi umbi kayu nasional yang relatif besar (terbesar kedua setelah padi) yakni sebesar ton pada tahun 2002 dengan luas panen lebih dari 122 juta hektar (BPS, 2003). Tabel 1. Informasi pemanfaatan tapioka dalam skala industri. ( No. Industri Aplikasi 1 Tekstil Meningkatkan kecerahan dan bobot kain Bahan baku makanan seperti mi, campuran pemanis 2 Industri makanan susu, pelengkap/pengisi makanan bayi maupun biskuit. 3 Industri kertas Sebagai perekat/lem untuk kekuatan dan kecerahan 4 Pabrik es krim Sebagai pelengkap es krim dan produksi susu 5 Industri lem dan Bahan baku utama adhesive 6 Industri farmasi Bahan pelengkap dan pengikat untuk membuat tablet 7 Industri kosmetik Bahan baku tepung 8 Industri pati dan turunannya Bahan baku 9 Industri modifikasi pati Membuat dekstrin, SMS, CMC, dan lain lain 10 Industri karet dan busa Untuk mendapatkan busa dan warna yang lebih baik Tercatat adanya kecenderungan peningkatan permintaan tepung tapioka di Indonesia karena peningkatan jumlah industri makanan yang menggunakan bahan baku tapioka. Selama ini, sebagian besar hasil produksi tapioka hanya mampu

9 memenuhi kebutuhan beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Surabaya, Bogor, Indramayu dan Tasikmalaya ( 2007) Pada tahun 1996 sampai 2001 Indonesia menghasilkan rata rata 15 sampai 16 juta ton tapioka dari industri tapioka yang berlokasi di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Jumlah produksi tapioka yang terserap pasar dalam negeri sebanyak 13 juta ton dan permintaan dalam negeri mengalami peningkatan 10% per tahun. Saat ini, produksi tapioka Indonesia belum dapat memenuhi pasar dengan maksimal karena setiap tahun meningkat 10% atau 1,3 juta ton pertahun. Sementara 70% produksi dihasilkan dari Pulau Sumatra, sedangkan 30% merupakan produksi Pulau Jawa dan Sulawesi. Hal tersebut mengindikasikan masih luasnya potensi usaha dan permintaan tapioka di Indonesia ( 2007) Sebagai bahan baku maupun bahan tambahan pada industri maupun untuk keperluan rumah tangga, tepung tapioka akan melewati tahap penyimpanan sebelum dibentuk menjadi produk lanjutan. Pada tahap inilah tepung tapioka sangat rentan terhadap kerusakan diantaranya akibat serangan hama gudang seperti serangga, tungau, dan kapang. Serangan akibat serangga relatif lebih banyak menimbulkan kerusakan dibanding kerusakan yang ditimbulkan selainnya. Dalam menyerang bahan pangan, serangga tidak hanya memakan bahan (tepung tapioka) tapi juga menjadi sumber kontaminasi berupa feces, webbing, potongan, dan sisa tubuh serangga sehingga akan menyebabkan susut kualitas dan penurunan nilai estetika serta dapat mengundang hama yang lainnya seperti kapang. Di wilayah Jawa Barat, jenis hama gudang yang banyak menimbulkan kerusakan pada bahan simpan berupa serelia maupun tepung adalah Tribolium castaneum, Carpophilus pusillus, Sitophillus oryzae, Oryzaephilus surinamensis, Rhyzopertha dominica, dan carpophilus dimidiatus (Mulyo Sidik dan Yun Cahyana, 1991). Tribolium castaneum merupakan hama sekunder yang bersifat kosmopolitan, yakni hama yang biasa menyerang biji bijian yang sudah patah atau rusak dan jarang menyerang biji bijian yang masih utuh (Grist dan Lever, 1969). Tribolium castaneum pun relatif banyak ditemukan di daerah tropis seperti Indonesia. Industri tapioka maupun industri yang menggunakan tepung tapioka sebagai bahan baku atau bahan tambahan adalah salah satu pihak yang mengalami

10 masalah akibat gangguan hama gudang. Dari tahap pengiriman (transportasi), penyimpanan dalam gudang, pengemasan, bahkan sampai pengiriman hasil kepada konsumen memungkinkan terjadinya resiko serangan hama gudang. Hal ini mengingat serangga hama gudang merupakan salah satu penyebab susut kuantitatif maupun kualitatif pada bahan pangan (Sidik, 1997). Selama ini, usaha pengendalian yang sering dilakukan adalah mengatasi serangan serangga hama gudang dengan insektisida. Penanganan dengan cara demikian ternyata membawa masalah baru, yakni adanya resiko timbulnya resistensi serangga pada insektisida yang disemprotkan. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, serangga perusak memerlukan kondisi lingkungan tertentu agar mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Dengan demikian pengelolaan kondisi lingkungan merupakan salah satu cara untuk pengendalian serangan serangga hama gudang (Ekoputro, 1990). Pengeringan dengan menggunakan gelombang mikro merupakan salah satu alternatif untuk menghentikan pertumbuhan dan perkembangan serangga hama gudang termasuk Tribolium castaneum yang relatif banyak ditemukan di berbagai negara tropis seperti Indonesia (Handerson dan Perry, 1976). B. TUJUAN 1. Mengetahui pengaruh pemanasan oven gelombang mikro dengan berbagai tingkat daya dan waktu terhadap mortalitas dan perkembanganbiakan keturunan (F1) hama gudang Tribolium castaneum Herbst. 2. Mengetahui pengaruh perlakuan daya dan waktu oven gelombang mikro dengan berbagai tingkat daya dan waktu terhadap kadar air, suhu bahan, derajat putih, kadar abu, dan kadar pati bahan (tapioka)

11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. SINGKONG DAN TAPIOKA Singkong, yang juga dikenal sebagai ketela pohon adalah pohon tahunan tropika dan subtropika yang umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat (Gambar 1). Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Rasanya sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan racun glukosida yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih segar dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis, proses pemasakan sangat diperlukan untuk menurunkan kadar racunnya. Dari umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka. Kandungan terbesar pada singkong adalah karbohidrat, air, dan protein (lihat Tabel 2). Sumber protein yang baik justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin ( ) Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 184 juta ton pada tahun Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika sebesar 99.1 juta ton dan 33.2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia. Sementara di wilayah Indonesia, singkong ditanam secara komersial pada sekitar tahun 1810 (waktu itu Hindia Belanda) setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke 16 ke Nusantara dari Brasil. ( 2007) Gambar 1. Ketela pohon (Sumber:

12 Tabel 2. Susunan kandungan nutrisi pada singkong mentah bobot 100 gram (Riana, 2000). Kandungan Jumlah Kandungan Jumlah Air gr Niacin mg Energi 669 kj Asam panthotenic mg Protein 1.36 gr Folate 27 mcg Total lemak 0.28 gr Vitamin B12 0 mcg Karbohidrat gr Asam lemak jenuh gr Serat 1.8 gr Asam lemak tak jenuh gr Ampas 0.62 gr Asam lemak tak jenuh 0.048gr Kalsium (Ca) 16 mg Kolesterol 0 mg Besi (Fe) 0.27 mg Tryptophan gr Magnesium (Mg) 21 mg Threonine gr Phospor (P) 27 mg Isoleucine gr Potassium (K) 271 mg Lysine gr Sodium (Na) 14 mg Methionine gr Seng (Zn) 0.34 mg Cystine gr Tembaga (Cu) 0.1 mg Phenylalanine gr Mangan (Mn) mg Tyrosine gr Selenium (Se) 0.7 mcg Valine gr Vitamin C 20.6 mg Arginine gr Thiamin mg Histidine 0.02 gr Riboflavin mg Alanine gr Proline gr Asam aspartic gr Serine gr Asam glutamic gr Glycine gr Secara taksonomi, tanaman singkong termasuk ke dalam kelas monocotyledonae. Setidaknya hal ini terlihat secara fisik dari bentuk batangnya yang tak bercabang, daunnya yang menjari, serta hanya memiliki satu keping kotiledon pada tiap bijinya. Berikut susunan taksonomi tanaman singkong; Kerajaan : Plantae Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Malpighiales Familia : Euphorbiceae Subsuku : Crotonoideae Tribe : Manihoteae Genus : Manihot

13 Tapioka adalah pati (amylum) yang diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilisima POHL atau Manihot usculenta Crantz) setelah melalui cara pengolahan tertentu, dibersihkan, dan dikeringkan. Tapioka terdiri dari granula granula pati yang berwarna putih, mengkilat, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa. Semakin putih warna tepung pati maka akan tampak mengkilat dan terasa licin (SNI ). Dalam perdagangan, tepung tapioka digolongkan dalam tiga mutu yakni mutu 1, mutu 2, dan mutu 3. Penggolongan ini didasarkan pada syarat organoleptik dan syarat teknis. Syarat organoleptik dinilai berdasarkan alat alat indra manusia seperti penampakan bersih, putih, kering, dan tidak berbau masam atau apek serta tidak kelihatan ampas dan/atau benda asing (lihat Tabel 3). Tabel 3. SNI No Jenis uji Satuan Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3 1 Kadar air (b/b) % Maks. 15 Maks. 15 Maks Kadar abu (b/b) % Maks. 0.6 Maks. 0.6 Maks Serat dan benda asing % Maks. 0.6 Maks. 0.6 Maks Derajat putih (BaSO 4 = 100 %) % Min 94.5 Min < Kekentalan o Engler < Derajat asam 7 9 Cemaran logam *: a. Timbal (Pb) b. Tembaga (Cu) c. Seng (Zn) d. Raksa (Hg) Cemaran mikroba*: a. Angka lempeng total b. Estericia colli ml 1 N NaOH/ 100 gr mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Koloni/gr Koloni/gr Koloni/gr Maks. 3 Maks. 3 Maks. 3 Maks. 1.0 Maks Maks Maks Maks. 1x10 6 Maks. 1x10 1 Maks. 1x10 4 Maks. 1.0 Maks Maks Maks Maks. 1x10 6 Maks. 1x10 1 Maks. 1x10 4 c. Kapang Catatan: * dipersyaratkan bila digunakan bagi bahan makanan (Sumber: SNI ) Maks. 1.0 Maks Maks Maks Maks. 1x10 6 Maks. 1x10 1 Maks. 1x10 4 Kandungan pati umbi kayu adalah hal penting dalam pengolahan tepung tapioka. Kandungan pati ini dipengaruhi oleh umur tanaman, varietas, keadaan

14 tanah, dan iklim tempat penanaman umbi kayu. Kandungan pati umbi kayu berkisar antara persen, sementara pada saat akan panen kandungan patinya berkisar antara persen (Winarno, 1980). B. PATI Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting (Wikipedia, 2007) Pati tersusun dari dua macam karbohidrat yakni amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda beda. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket. Amilosa memberikan warna ungu pekat pada tes iodin sedangkan amilopektin tidak bereaksi. Penjelasan untuk gejala ini belum pernah bisa tuntas dijelaskan. Pati digunakan sebagai bahan yang digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil (Wikipedia, 2007) Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, hal ini tergantung dari panjang rantai karbonnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α (1.4) D glukosa sementara amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α (1.4) D glukosa (Winarno, 1980). C. SERANGGA HAMA GUDANG Walaupun berukuran hanya dalam hitungan milimeter, serangga hama gudang berpotensi mengundang kerugian besar. Pada tahap penyimpanan diperkirakan lebih dari tiga persen produksi biji bijian menjadi hancur, rusak, dan tak dapat dikonsumsi. Di negara negara berkembang dan beriklim tropis

15 basah seperti Indonesia, resiko kerusakan tersebut lebih tinggi. Sebagian besar kerusakan yang terjadi pada tahap penyimpanan (Sarita, 1997). Secara umum, serangga merupakan hewan kecil yang memiliki tiga pasang kaki dan mempunyai kulit luar yang keras, ukurannya berkisar antara mm (lihat Gambar 2). Tubuhnya terdiri atas bagian kepala, bagian thoraks di mana terdapat tiga pasang kaki, serta dua pasang sayap, dan bagian bagian abdomen. Serangga hama gudang biasanya mengalami metamorfosis sempurna yaitu proses perkembangan serangga yang mengalami fase telur, larva pupa, dan dewasa (imago) (Brooker et al, 1992). Menurut Morallo Rejesus (1984), kerusakan akibat serangga mencapai 5 10% dari bahan pangan yang disimpan. Hal ini disebabkan serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar, dan dapat mengundang pertumbuhan cendawan (Halid dan Yudawinata, 1983). Eden (1967) membagi dua golongan hama serangga, yakni golongan hama serangga primer dan golongan hama serangga sekunder. Hama serangga pemakan primer menyerang atau memakan butiran butiran serelia seperti beras, gandum, jagung, atau serealia lainnya yang masih utuh. Hama serangga sekunder menyerang atau memakan butiran serealia yang pecah atau rusak. Dalam kehidupan kedua golongan hama ini diketahui adanya hubungan timbal balik bahkan saling berpengaruh dan secara tak langsung akan menentukan derajat kerusakan yang akan diderita oleh bahan makanan yang diserangnya. Gambar 2. Imago Tribolium castaneum (sumber:

16 Tanda tanda kerusakan tergantung dari jenis produk dan jenis serangga yang menyerang. Sebagai contoh, kacang hijau yang telah diserang serangga akan menampakkan lubang jika serangga telah berkembang atau biji kacang hijau berbintik bintik. Bintik bintik tersebut sebenarnya merupakan telur serangga. Jagung kering yang telah diserang Sitophilus oryzae juga akan tampak berlubang lubang dan jika jagung kering tersebut ditaruh dalam wadah, akan tampak di dasar wadah sejenis tepung yang merupakan sisa sisa makanan dan kotoran (frass). Sementara itu, beras yang diserang Plodia interpunctella akan banyak menunjukkan gumpalan yang padat atau jaring. Sedangkan tepung terigu yang diserang oleh Tribolium castaneum akan berubah warnanya, menjadi agak gelap (Sarita, 1997). Biji bijian yang telah diserang serangga hama gudang akan memperlihatkan penurunan kualitas, yaitu pada mutu pemasakan (cooking quality) dan mutu pembakaran (baking quality). Misalnya, roti yang terbuat dari tepung terigu sisa hama, akan bertekstur lebih kasar dan agak bantat, karena baking quality tepung menurun. Pangan yang terserang serangga, nyatanya tidak aman untuk dikonsumsi karena produk selama perkembangan serangga antara lain menghasilkan asam urat yang merugikan tubuh manusia (Sarita, 1997). 1. Sifat umum Tribolium castaneum Tribolium castaneum termasuk ordo Coleopatra famili Tenebrionidae. Serangga dewasa memiliki bentuk pipih berukuran cm, berwarna coklat kemerahan dengan antena yang mempunyai tiga ruas ujung yang membesar secara khusus. Mata Tribolium castaneum memiliki 3 4 bintik (facet) dan dipisahkan oleh bagian samping dari kepala. Dibandingkan dengan Tribolium confusum, ukuran mata Tribolium castaneum terlihat lebih besar (Kartasapoetra, 1987). Serangga ini pemakan segala (general feeder) pada bahan makanan khususnya yang telah bersifat bubuk. Rata rata masa hidupnya sekitar satu tahun tapi ada kalanya dapat mencapai tiga tahun sembilan bulan (Eden, 1967). Dari segi penampakan, Tribolium castaneum hampir serupa dengan Tribolium confusum. Perbedaan yang paling mencolok adalah dari bentuk mata dan antena. Antena Tribolium castaneum memiliki tiga bagian bulatan

17 sementara antena Tribolium confusum semakin menebal menuju apes. Perbedaan jantan dan betina Tribolium castaneum terlihat dari ada keberadaan lubang bulu pada anterior femur (tulang paha) (lihat Gambar 3). Tribolium castaneum jantan memiliki lubang tersebut sementara Tribolium castaneum betina tidak memilikinya. (Haines, 1991 dalam Doni, Rama 2005). Gambar 3. Penampang tubuh Tribolium castaneum jantan (Sumber: Serangga betina bertelur di antara butir butir komoditas pertanian yang diserangnya. Tiap induk betina mampu bertelur mencapai 450 butir sepanjang siklus hidupnya. Telur telur itu diletakan dalam tepung atau pada bahan bahan lain yang sejenis yang merupakan pecahan pecahan kecil. Telur Tribolium castaneum bentuknya relatif kecil, memanjang berbentuk oval dengan ukuran 0.6 x 0.4 mm dan berwarna keputihan (Eden, 1967). Permukaan telur senantiasa diliputi oleh zat yang lengket sehingga akan mudah dilekati oleh bubuk dan mudah menempel pada sisi sisi karung atau tempat bahan makanan disimpan. Apabila tempat tadi dipakai kembali untuk media penyimpanan bahan makanan baru maka bahan ini akan mudah terjangkit. Telur menetas setelah 3 hari. Larva Tribolium castaneum menyerupai cacing, apabila telah berumur penuh akan berukuran 8 11 mm dengan garis garis kuning/jingga yang melintang intersegmentasi pada tubuhnya. Masa dari telur sampai dengan dewasa rata rata enam minggu (Eden, 1967). Larva dapat bergerak aktif karena memiliki fungsi kaki thoracal. Larva larva ini selama perkembangannya mengalami pergantian kulit antara 6 11 kali. Menjelang masa berkepompong, larva ini akan muncul

18 di permukaan material tetapi setelah imago (dewasa) akan kembali (masuk) ke dalam material. Siklus hidupnya adalah sekitar hari (Eden, 1967). Pupa Tribolium castaneum berwarna putih agak kekuningan, dengan bentuk bersahaja berukuran mm. Serangga dewasa (imago) Tribolium castaneum bersifat kanibal pada sesamanya maupun pada spesies lain. Serangga dewasa jantan memangsa pupa dan serangga dewasa betina memangsa telur. Di samping itu, serangga dewasa memakan telur, larva muda, dan pupa serangga Oryzaephilus surinamensis. Tribolium castaneum juga menyerang ngengat hama gudang seperti Plodia interpunctella, Ephestia cautella, dan Corcyra cephalonica (Haines 1991). Kondisi optimum Tribolium castaneum adalah pada suhu 35 o C dan kelembaban 70%. Adapun batas suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah 22 o 40 o C dan rentang kelembaban 10 90% (Howe, 1956 dalam Haines, 1991). Tribolium castaneum memiliki siklus hidup yang pendek pada kondisi yang optimum. Dengan kondisi yang demikian maka populasi Tribolium castaneum mengalami peningkatan hingga 70 kali per hari (Haines, 1991). 2. Kerusakan yang ditimbulkan Tribolium castaneum Di daerah beriklim tropis dan sub tropis, serangga hama gudang merupakan salah satu penyebab utama pada penyimpanan bahan pangan serelia. Ada beberapa hal yang yang memberikan kontribusi akan munculnya serangga hama gudang, diantaranya adalah penyimpanan yang terlampau lama, ketidakseragaman dan tingginya (kadar air) biji bijian yang disimpan, serta ketahanan serangga dari zat kimia pengontrol (Brooker et al, 1992). Menurut Cotton dan Wilbur (1974), kerusakan yang diakibatkan serangga pada serelia dapat dibagi atas dua jenis, yakni kerusakan langsung dan tak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga dewasa, pupa, larva, telur, dan kulit. Kerusakan tak langsung berupa kenaikan suhu pada bahan yang disimpan akibat metabolisme serangga pada bahan tersebut. Kerusakan yang ditimbulkan Tribolium castaneum selain memberikan efek kerusakan fisik (berkurangnya bahan serelia, peningkatan suhu bahan, dan

19 sebagainya) juga memberikan efek kimiawi, yakni adanya asam urat yang ditimbulkannya. Asam urat inilah yang mencemari bahan serelia yang disimpan (Sarita, 1997). D. GELOMBANG MIKRO Sebagaimana juga cahaya, gelombang mikro adalah sebuah gelombang elektromagnet yang spektrum frekuensinya berada pada level 300 MHz 300 GHz. Spektrum frekusnsi tersebut berada di antara gelombang radio dan inframerah. Menurut Industrial Science and Medical Medical Frequences (ISM) frekuensi gelombang mikro yang aman bagi manusia adalah berkisar antara 900 MHz 2450 MHz (Copson D. A., 1975). Gelombang mikro memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, gelombang ini akan dipantulkan logam. Kedua, gelombang ini tidak dapat dipantulkan oleh bahan bahan non logam, dan ketiga, gelombang ini diserap oleh air. Gelombang mikro adalah gelombang elektromagnetik yang bergerak dengan kecepatan cahaya (c = x 10 8 m/s) dan memiliki frekuensi yang sama dengan gelombang yang dipakai dalam penyiaran televisi atau radio. Tenaga elektromagnetik dapat digambarkan dengan apa yang terjadi ketika suatu kerikil yang bergerak di dalam sebuah kolam air. Kerikil membentur permukaan air sehingga menyebabkan air berpindah, mengalami gerakan naik turun dalam wujud riak atau gelombang. Gerakan ini terus menerus dan mengalami naik turun dalam posisi sudut 90 o terhadap arah gerakan gelombang (gelombang transversal). Maka dapat disamakan gelombang mikro adalah sampel gelombang transversal. (Gallawa, 2007 dalam Priyana, 2005) Gelombang mikro tidak sama dengan radiasi radioaktif. Gelombang mikro digunakan pada peralatan radar, telepon, komunikasi radio, dan televisi yang semuanya itu termasuk penyiaran elektromagnetik yang non ionizing.

20 E. OVEN GELOMBANG MIKRO Oven microwave, seperti halnya radio, siaran televisi, telepon seluler, juga telepon antar kota, adalah alat yang memanfaatkan energi gelombang pendek. Ketika dikonsentrasikan pada bidang yang kecil, gelombang tersebut akan memanaskan air dan bahan lainnya dalam makanan secara efisien. Oven ini dilengkapi tabung elektromagnetik yang memancarkan radiasi megahertz atau 2,45 gigahertz. Gelombang mikro pada oven mikrowave memiliki rentang panjang gelombang mulai dari 1 mm sampai dengan 30 cm. Saat ini, gelombang mikro telah diaplikasikan secara luas, seperti pada radio, televisi, radar, perangkat meteorologi, satelit komunikasi, dan alat pengukuran jarak jauh (Gallawa, 2000). Oven gelombang mikro bekerja menggunakan berbagai kombinasi rangkaian elektris dan mekanis untuk menghasilkan dan mengendalikan out put energi gelombang mikro yang dapat digunakan untuk memanaskan dan memasak. Oven gelombang mikro dapat dibagi menjadi dua bagian pokok, yakni bagian kendali dan bagian tegangan tinggi. Bagian kendali terdiri dari suatu pengatur waktu elektris yakni suatu sistem untuk mengendalikan keluaran daya dan berbagai sambungan serta alat perlindungan. Sementara bagian tegangan tinggi ditujukan untuk meningkatkan voltase rumah (induk) ke tegangan tinggi (Gambar 4). Tegangan tinggi ini yang kemudian dikonversi menjadi energi gelombang mikro (Gallawa, 2000). Gambar 4. Skema aliran arus oven gelombang mikro. (Sumber:

21 Listrik dari saluran arus (catu daya) pada dinding mengalir sepanjang kabel dan masuk ke oven gelombang mikro melalui suatu rangkaian proteksi sirkuit dan sumbu (sekering). Sirkuit ini meliputi berbagai sumbu (sekering) dan pelindung (protektor) panas yang dirancang untuk menonaktifkan oven gelombang mikro bila terjadi hubungan elektris yang pendek (konsleting) atau bilamana kondisi pemanasan berlebih terjadi (Gallawa, 2000). Jika semua sistem normal, arus listrik akan mengalir melalui kabel dan sirkuit pengatur waktu (timer sirkuit). Jika pintu oven tertutup, maka akan terbentuk aliran arus elektris yang mengalir melalui tombol rangkaian keselamatan. Penentuan pengaturan waktu dan pengaktifan oven gelombang mikro pada proses pemasakan sangat terkait dengan besaran aliran voltase pada sirkuit kendali. Bagian kendali terdiri atas sebuah relai elektromekanis dan sebuah tombol elektris pencatu triac yang berfungsi seperti sakelar bertegangan tinggi sebagaimana ditunjukan pada gambar 5. Gambar 5. Skema bagian kendali oven gelombang mikro (Sumber: Saat semua sistem berjalan, sirkuit pengendali mengeluarkan satu isyarat yang menyebabkan relai atau triac menjadi aktif, demikianlah produksi satu alur

22 voltase kepada trafo (transformer) tegangan tinggi. Dengan menyesuaikan rasio on off dari sinyal aktivasi ini, sistem kontrol (kendali) dapat mengendalikan voltase aplikasi kepada trafo/transformer tegangan tinggi, dengan demikian rasio on off tabung magnetron (tabung vakum) dan daya keluaran dari oven gelombang mikro dapat terkendali. Beberapa model menggunakan suatu relai pengendali daya berkecepatan tinggi pada sirkuit tegangan tinggi untuk mengendalikan daya keluaran itu (Gallawa, 2000). Pada bagian tegangan tinggi (Gambar 6), trafo tegangan tinggi bersama dengan suatu dioda khusus dan kapasitor pengatur bekerja untuk meningkatkan voltase skala rumah (induk) yakni sekitar 115 volt menjadi voltase yang lebih tinggi yakni kira kira 3000 volt. Akan tetapi voltase yang kuat ini menimbulkan efek yang kurang baik bagi kesehatan bahkan dapat menimbulkan kematian pada manusia. Untuk itulah diperlukan peran dari tabung magnetron (tabung vakum) yakni dengan dengan mendinamiskan konversi tegangan tinggi menjadi gelombang berombak dari energi masakan elektromagnetis. Selain itu, tabung vakum elektronik (magneteron) juga menghasilkan pancaran gelombang radio yang sangat pendek (microwave). Gelombang tersebut dipancarkan ke sebuah kincir yang terbuat dari logam yang disebut stirrer atau pengaduk (lihat Gambar 9) (Gallawa, 2000). Gambar 6. Skema kerja oven gelombang mikro secara keseluruhan (Sumber:

23 Energi gelombang mikro ditransmisikan ke dalam satu saluran logam yang disebut pengendali gelombang (waveguide) di mana pemberian input energi dalam area masak menghadapi mata pisau logam yang secara perlahan lahan memutari mata pisau stirrer. Stirrer ini berputar selama magnetron memancarkan gelombang radio sehingga gelombang radio tersebut terpancarkan dan terdistribusi secara merata ke dalam ruang masak dari oven gelombang mikro. Dalam ruang masak, gelombang gelombang mikro yang sudah didistribusikan tersebut akan mengubah orientasi atau arah molekul molekul bahan makanan (terutama air). Perubahan tersebut terjadi dengan sangat cepat yaitu sekitar megahertz atau 2.45 milyar siklus perdetik. Perubahan sedemikian cepat menimbulkan panas yang akhirnya memasak makanan tersebut. Beberapa model menggunakan suatu jenis antena yang berputar sementara yang lain memutari makanan melalui gelombang energi. Pada beberapa kasus, efeknya adalah adanya dispersi energi gelombang mikro pada seluruh kompartmen dari area masak. Beberapa gelombang bergerak secara langsung ke arah makanan, sementara yang lainnya memantul lantai dan dinding. Gelombang mikro juga memiliki reflek buka tutup pada pintu. Maka energi gelombang mikro menjangkau semua permukaan makanan dari tiap tiap arah (Gallawa, 2000). Selama proses pemasakan, semua energi gelombang mikro berada di dalam rongga/celah masakan dan getaran gelombang mikro akan terserap oleh molekul air pada bahan pangan. Molekul air, lemak, dan gula dalam makanan akan menyerap energi dari gelombang mikro tersebut dalam sebuah proses yang disebut pemanasan dielektrik. Kebanyakan molekul adalah dipol listrik, yang berarti mereka memiliki sebuah muatan positif pada satu sisi dan sebuah muatan negatif di sisi lainnya, oleh karena itu mereka akan berputar pada saat mereka mecoba mensejajarkan diri mereka dengan medan listrik yang berubah ubah yang diinduksi oleh pancaran gelombang mikro. Molekul molekul ini akan tervibrasi dan bergerak cepat sehingga akan timbul gesekan antar molekul. Gesekan ini akan menimbulkan panas yang digunakan untuk memasak makanan. Perambatan panas selama proses pemasakan microwave terjadi melalui radiasi, yaitu perambatan panas melalui pancaran langsung dari sumber

24 panas ke bahan makanan yang dimasak. Proses inilah yang menjadikan bahan pangan mentah menjadi matang. Manakala pintu terbuka atau pengatur waktu menunjukan nilai nol, energi gelombang mikro akan berhenti seperti mematikan tombol lampu (Gallawa, 2000). Di samping memiliki banyak manfaat dan keunggulan, oven mikrowave bukan berarti tanpa titik lemah. Setidaknya hal ini telah diuji dan diteliti beberapa ahli yang menekuni gelombang mikro. Pada tahun 1991, dilakukan penelitian uji keamanan pangan oleh Hans Ulrich Hertel, seorang peneliti di perusahaan makanan Nestle, Swis. Hertel merekrut sejumlah relawan yang dibagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok yang disuguhi menu yang dimasak secara biasa, kelompok yang lain menyantap makanan yang diolah dalam oven gelombang mikro, dan kelompok yang lain sebagai kontrol pembanding. Hertel juga mengambil dan menganalisis sampel darah responden sebelum dan sesudah makan. Hasilnya cukup mengejutkan., komposisi darah responden yang menyantap makanan microwave berubah. Terjadi kemerosotan kadar unsur unsur yang amat penting dalam darah yakni hemoglobin yang bertugas menyebarkan oksigen ke seluruh sel tubuh, kolesterol yang baik (high density lipoprotein), dan sel limfosit atau sel darah putih yang bertugas melawan penyakit. Menurut Hertel kemerosotan ini muncul karena microwave mengacaukan struktur molekul dan muatan listrik makanan dengan dahsyat. Tak ada satu pun molekul yang bisa tahan diguncang kekuatan microwave. Kekacauan molekul ini akhirnya meluas dan mempengaruhi metabolisme tubuh manusia penyantap makanan, yang juga tersusun dari kumpulan senyawa bermuatan listrik ( 2000). Penelitian lainnya dilakukan oleh Profesor Jean Monro, spesialis penyakit dalam dari Rumah Sakit Breakspear, King Langsley, Inggris. Sejak 1980 an, ia menyelidiki kaitan antara medan elektromagnetik dan berbagai kemunculan gejala semisal migrain akut, asma, gatal pada kulit, juga demam tanpa sebab. Tes medis yang dilakukan pada para pasien awalnya dalam keadaan sehat, setelah diuji dengan paparan gelombang mikro pasien bereaksi menampakkan gejala gejala tadi. Kemudian Monro menyimpulkan bahwa paparan gelombang

25 pendek memang menurunkan kinerja sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan reaksi alergi ( 2000). Aspek resiko lainnya yang bisa muncul dari oven gelombng mikro adalah bilamana terjadi kebocoran pada pintu oven gelombang mikro yang memungkinkan radiasinya menyebar ke luar oven. Bila radiasi radioaktif akan membuat bagian tubuh yang terkena mengalami mutasi maka radiasi microwave akan memasak/memanaskan bagian tubuh yang terkena radiasinya ( ).

26 III. METODOLOGI PENELITIAN A. TEMPAT DAN WAKTU Penelitian ini dilakukan di laboratorium hama (pest and disease management) SEAMEO BIOTROP, Bogor, laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian (EEP) Departemen Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan laboratorium kimia pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran. Penelitian ini dimulai mulai bulan November B. BAHAN DAN ALAT Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tepung tapioka dan serangga hama gudang Tribolium castaneum berumur 1 7 hari yang diambil dari labortorium pest and disease management, SEAMEO BIOTROP, Bogor. Adapun peralatan yang akan digunakan anatara lain adalah, 1. Oven gelombang mikro (oven microwave) merk elektrolux tipe EME 1920, kisaran daya W dan input tegangan V. 2. Timbangan digital merk AND tipe EK 1200 A dengan kapasitas 1200 gr x 0.1 gr 3. Oven pengering (oven dryer) merk IKEDA RIKA tipe SS 204 D (220V, 8A) 4. Termokopel 5. Silica gel 6. Hybrid recorder 7. Cynhos recorder 8. Kuas 9. Cawan seng 10. Cawan porselen 11. Kertas saring 12. Erlenmeyer 13. Alat labu ukur 14. Alat kjedhal 15. Desikator

27 16. Whiteness meter C Tanur listrik 18. Neraca analitik Gambar 7. Oven gelombang mikro Gambar 8. Desikator Gambar 9. Oven pengering udara panas

28 C. PARAMETER YANG DIUKUR 1. Massa Bahan Pengukuran massa bahan meliputi massa awal dan massa akhir bahan. Pengukuran massa bahan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Berikut tahap tahap pengukuran massa bahan (lihat Gambar 10); a. Massa awal bahan (5 gram tepung tapioka) ditimbang dengan timbangan digital b. Tepung tapioka yang telah siap kemudian dimasukan ke dalam oven microwave c. Tepung tapioka hasil uji tersebut dimasukan ke dalam desikator + 10 menit d. Kemudian timbang kembali tepung tapioka setelah dikeluarkan dari desikator. Tepung tapioka Pengukuran massa awal Tepung tapioka (dalam cawan tertutup) dimasukan dalam oven gelombang mikro Dimasukan ke dalam desikator selama + 10 menit Pengukuran kembali massa bahan

29 (Gambar 10. Bagan alir pengukuran massa bahan) 2. Kadar Air Bahan Sebagaimana pengukuran massa bahan, pengukuran kadar air bahan meliputi kadar air bahan awal dan akhir bahan (Gambar 11). Pengukuran dilakukan dengan metode oven sesuai ISO 1968 dengan waktu yang paling singkat adalah selama 6 jam. Bilamana berat bahan yang dikeringkan belum stabil maka diperlukan pengukuran berat bahan secara periodik hingga stabil. Dalam penelitian ini, waktu 24 jam dipilih karena pada saat itu berat bahan telah stabil berdasarkan ISO Penentuan kadar air akhir ditentukan dengan perhitungan berat bahan yang dikeringkan dengan menggunakan persamaan 1 dan 2. Tepung tapioka Pengukuran massa awal Tepung tapioka (dalam cawan tertutup) dimasukan dalam oven microwave Cawan kosong dan tutupnya Dikeringkan di dalam Oven pengering udara panas (100 o C, 10 menit) Didinginkan dalam desikator (+ 10 menit) Dimasukan ke dalam desikator selama + 10 menit Tepung tapioka dimasukan ke dalam cawan Penimbangan massa tapioka Dimasukan dalam oven pengering udara panas (24 jam;100 o C) Penentuan kadar air Penimbangan massa akhir tapioka Dimasukan ke dalam desikator selama + 10 menit

30 (Gambar 11. Bagan alir pengukuran kadar air) Berikut persamaan untuk perhitungan kadar air, Kadar air (bb%) = ((Wo Wd)/Wo) x 100%...(1) *) Catatan Wo = Massa bahan awal (gram) Wd = Massa bahan setelah dikeringkan (gram) Wp = Berat padatan (gram) 3. Suhu Suhu bahan (tepung tapioka) diukur dengan menghubungkan bahan dengan termokopel CC ke pencatat suhu hybrid recorder atau cynhos recorder. Termokopel tidak dapat dimasukan ke dalam ruang oven selama oven gelombang mikro beroperasi karena gelombang mikro yang diberikan ketika oven gelombang mikro beroperasi akan diserap oleh termokopel sehingga akan menimbulkan percikan api yang dapat menimbulkan kebakaran atau ledakan di ruang oven gelombang mikro. Terkait dengan hal tersebut maka pengukuran suhu dilakukan sesaat setelah oven gelombang mikro berhenti beroperasi dan memasukan termokopel ke dalam tumpukan bahan pada tiga titik (dua di bagian pinggir dan satu di bagian tengah bahan). 4. Mortalitas Tribolium castaneum Tribolium castaneum yang digunakan sebagai sampel untuk tiap perlakuan adalah sebanyak 20 ekor dengan 10 ekor jantan dan 10 ekor betina. Adapun penentuan jenis kelamin Tribolium castaneum adalah dengan melihat keberadaan lubang bulu pada anterior femur (tulang paha) melalui bantuan mikroskop. Tribolium castaneum berjenis kelamin jantan bilamana terdapat lubang bulu pada tulang pahanya dan berjenis kelamin betina bilamana tidak terdapat lubang bulu pada tulang pahanya.

31 Prosentase kematian (mortalitas) dilakukan dengan cara menghitung jumlah Tribolium castaneum yang mati dalam setiap tingkatan suhu dan waktu yang diujikan. Untuk memastikan serangga tersebut mati, maka dibiarkan beberapa menit sehingga serangga tersebut tidak bergerak sama sekali. 5. Kandungan Pati Tepung Tapioka Pengujian kandungan pati dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap kandungan pati pada tepung tapioka. Adapun pengukuran kandungan pati hanya dilakukan pada sampel yang mendapat perlakuan waktu pemanasan terlama pada setiap tingkatan daya. Hal ini diasumsikan bahwa bilamana pada sampel yang mendapat pemanasan dengan waktu terlama pada masing masing tingkatan daya kandungan patinya tidak rusak sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sampel yang mendapat pemanasan dengan waktu di bawahnya pada tingkatan daya yang sama juga tidak akan rusak. Pengujian kandungan pati tepung tapioka dilakukan denganb metode trimetri. Dasar penetapan kandungan pati ini adalah hidrolisa pati menjadi gula yang kemudian ditetapkan secara Luff Schoorl. Berikut tahap tahap pengujian kandungan pati, a. Kurang lebih 3 gram contoh (tepung tapioka) ditimbang dan dimasukan ke dalam erlenmeyer 500 ml b. Ditambahkan HCL 3% sebanyak 200 ml dan beberapa batu didih. c. Lalu dihubungkan dengan refluks kondensor/alat pendingin balik (autoclaf) dan didihkan selama 3 jam dengan api kecil. d. Dinetralkan dengan NaOH 4 N dan tambahkan 1 ml asam asetat pekat. e. Dimasukan ke dalam labu ukur 250 ml dan tepatkan sampai tanda tera. f. Disaring dengan penyaring berlipat kering lalu pipet 10 ml saring ke dalam erlenmeyer 300 ml. g. Tambahkan 25 ml larutan Luff, 15 ml air suling dan beberapa batu didih. h. Dihubungkan dengan alat pendingin balik dan didihkan selama 10 menit i. Ditambahkan 25 ml H 2 SO 4 4 N.

32 j. Ditambahkan 10 ml KI 30% dan langsung titrasi dengan larutan thio 0.1 N dan sebagai indikator gunakan larutan pati 1% sehingga proses titrasi berjalan k. Bila penetasan kanji tidak memberikan warna biru dan larutan berwarna putih susu, titrasi selesai. l. Blanko dikerjakan dengan menggunakan 26 ml larutan Luff dan 10 ml air suling. m. Pengenceran dilakukan sebanyak 14 kali. Adapun perhitungan kandugan pati tepung tapioka dengan metode Titrimetri dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut Blanko Vol. Titer = ml thio sulfat...(2) (N thio sulfat x delta glikosa) + ml glukosa = ml...(3) (ml x pengenceran x 100%) W sampel (gr) = W glukosa...(4) W pati = W glukosa x (5) 6. Derajat keputihan tepung tapioka Pengukuran derajat putih tepung dilakukan dengan menggunakan alat whiteness meter Kett electric laboratory tipe C Sampel dimasukan ke dalam alat pada tempat yang sudah disediakan. Nilai derajat putih dapat dilihat pada monitor dan derajat putih sampel akan semakin tinggi dengan semakin besarnya nilai. Derajat putih = (derajat putih sampel/100)x100%...(6) 7. Kadar Abu Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui kadar/keberadaan abu dalam tepung tapioka. Berikut metode pengukurannya.

33 1. Karingkan cawan porselen dalam tanur pada suhu 550 o C selama 15 menit lalu dinginkan dalam desikator. 2. Timbang cawan menggunakan neraca analitik (= a gram) 3. Timbang 2 3 gram contoh (tepung tapioka) ke dalam cawan porselen/platina yang sudah diketahui bobotnya. 4. Bakar di atas hot plate sampai tidak berasap. 5. Masukan ke dalam tanur suhu 550 o C selama 6 jam hingga diperoleh abu putih 6. Dinginkan dalam desikator 7. Timbang Perhitugan kadar abu sebagai berikut Massa abu (gr) per 100 gr bahan = [(W1 W2)/W] x 100%...(7) W = bobot contoh sebelum diabukan (gram) W1= bobot contoh dan cawan sesudah diabukan (gram) W2= bobot cawan kosong (gram) 8. Energi yang digunakan Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kebutuhan energi pada tiap tiap perlakuan pada bahan (tepung tapioka). Adapun perhitungannya dilakukan dengan persamaan sebagai berikut, W = P x t...(8) W = Energi yang dibutuhkan untuk pemanasan (Wh) P = Daya yang digunakan (W) t = Waktu pemanasan 9. Jumlah keturunan F1 Tribolium castaneum Salah satu cara untuk melihat tingkat efektifitas oven gelombang mikro dalam menaggulangi serangga hama gudang Tribolium castaneum adalah dengan melihat jumlah keturunannya (F1). Dengan demikian maka akan

34 terlihat efek perlakuan oven gelombang mikro terhadap keberlanjutan generasi F1 yang akan sangat memungkinkan menjadi hama di waktu berikutnya. Adapun perhitungan keturunan F1 Tribolium castaneum (imago) dilakukan setelah diinkubasi selama 42 hari. Masa inkubasi selama 42 hari karena rentang maksimal masa fase telur hingga imago adalah selama 42 hari. Dengan demikian nilai keakuratan penentuan variabel jumlah keturunan F1 pada Tribolium castaneum akan maksimal pula. 10. Perlakuan pembanding Perlakuan ini dilakukan untuk melihat rasio tingkat efisiensi dan efektifitas oven gelombang mikro dalam menangguangi hama gudang Tribolium castaneum, yakni dengan melakukan uji perbandingan dengan menggunakan oven pengering udara panas. Oven pengering udara panas dipilih dengan pertimbangan bahwa metode penanggulangan oven pengering udara panas memiliki prinsip yang relatif sama dengan oven gelombang mikro yakni dengan menggunakan perlakuan fisik (menggunakan efek panas) untuk penanggulangan hama gudang dan tidak menggunakan.perlakuan kimiawi (seperti insektisida). Adapun parameter yang dilakukan uji rasio dengan perlakuan oven pengering udara panas adalah mortalitas Tribolium castaneum, penggunaan energi, dan jumlah keturunan F1 Tribolium castaneum. D. RANCANGAN PERCOBAAN Percobaan dilakukan dengan beberapa tingkatan waktu dan daya masukan oven gelombang mikro yang berbeda dengan tiga kali ulangan pada tiap perlakuan. Massa tepung dalam setiap sampel tetap (5 gr, luasan permukaan cm 2, dan tinggi 3.5 cm) dan jumlah serangga yang diujicobakan pada setiap sampel tetap (20 ekor dengan 10 ekor jantan dan 10 ekor betina). Perlakuan: 1. Daya masukan oven gelombang mikro A1: 240 W

35 A2: 480 W A3: 720 W 2. Waktu pemanasan dengan oven gelombang mikro B1: 30 detik B2: 60 detik B3: 90 detik B4: 120 detik

36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUHU TAPIOKA Suhu bahan merupakan parameter utama yang umum digunakan dalam mengontrol proses dalam oven gelombang mikro. Dalam percobaan pengaruh oven gelombang mikro terhadap suhu tepung tapioka, didapatkan adanya perubahan suhu tepung tapioka akibat perlakuan oven gelombang mikro pada variasi daya dan waktu (Gambar 12). Suhu (C) Daya (Watt) 30 detik 60 detik 90 detik 120 detik Gambar 12. Pengaruh perlakuan oven gelombang mikro terhadap suhu tepung tapioka. Dari histogram tersebut terbaca adanya kenaikan suhu permukaan tapioka pada setiap kenaikan daya dan waktu yang sama. Pada perlakuan waktu 30 detik terlihat adanya kenaikan suhu pada tiap tingkatan dayanya yakni o C (pada daya 240 W), o C (pada daya 480 W), dan o C (pada 720 W). Hal serupa (kenaikan suhu permukaan tapioka pada setiap kenaikan daya dan waktu yang sama) terjadi pada perlakuan variasi waktu 60 detik, 90 detik, dan 120 detik pada masing masing tingkatan daya. Suhu tepung tapioka meningkat pada setiap penambahan waktu dengan daya yang sama. Pada daya 240 W, terjadi peningkatan suhu permukaan tapioka pada tiap selang penambahan waktu yakni o C (pada 30 detik), o C (pada 60 detik), o C (pada 90 detik), dan o C (pada 120 detik). Hal serupa

37 terjadi pada perlakuan variasi daya 480 W dan 720 W pada masing masing tingkatan waktu. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa daya dan waktu berpengaruh nyata (memberikan pengaruh yang signifikan) terhadap suhu tepung tapioka dengan nilai α kurang dari 5% sedangkan hasil uji Duncan didapatkan perlakuan yang paling baik adalah pada perlakuan 240 w 30 s (Lampiran 15). Dilihat dari laju perubahan suhu di tiap tiap variasi daya dan waktu perlakuan maka akan didapatkan kecenderungan naiknya laju perubahan suhu seiring dengan meningkatnya daya pada waktu perlakuan yang sama. Dengan semakin meningkatnya waktu pada daya yang sama didapatkan laju perubahan suhu yang semakin menurun. Laju perubahan suhu tertinggi terjadi pada perlakuan dengan daya 720 watt dan waktu 30 detik (1.16 o C/detik), sementara yang terendah adalah pada perlakuan 240 watt dengan waktu 120 detik (0.15 o C/detik) (lihat Gambar 13). Laju perubahan suhu (C/detik detik 60 detik 90 detik 120 detik Daya (watt) Gambar 13. Laju perubahan suhu tapioka dengan perlakuan oven gelombang mikro. Perlakuan dengan gelombang mikro mempunyai efek peningkatan panas pada suhu bahan akibat interaksi bahan dengan gelombang elektromagnetik. Tepung tapioka yang memiliki kandungan (kadar) air di dalamnya akan sangat

PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA

PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA PENGARUH PERLAKUAN OVEN GELOMBANG PADA BERBAGAI TINGKATA DAYA DAN WAKTU TERHADAP MORTALITAS Tribolium castaneum Herbst DAN KANDUNGAN TEPUNG TAPIOKA Oleh RAMDHAN NURBIANTO F14103066 2008 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tapioka Tapioka merupakan salah satu bentuk olahan berbahan baku singkong, Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. digilib.uns.ac.id 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tribolium castaneum Herbst. Klasifikasi dari kumbang tepung (T. castaneum) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari kulit pisang dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari bonggol nanas dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. hijau atau tauge. Nata yang dihasilkan kemudian diuji ketebalan, diukur persen

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. hijau atau tauge. Nata yang dihasilkan kemudian diuji ketebalan, diukur persen 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari kulit singkong dengan penggunaan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau atau tauge. Nata yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari limbah cair tapioka dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak. Nata yang dihasilkan kemudian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat 16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gaplek (Manihot esculenta Crantz) Gaplek (Manihot Esculenta Crantz) merupakan tanaman perdu. Gaplek berasal dari benua Amerika, tepatnya dari Brasil. Penyebarannya hampir

Lebih terperinci

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA

KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA KADAR GLUKOSA DAN BIOETANOL PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA POHON (Manihot utilissima Pohl) DENGAN DOSIS RAGI DAN WAKTU FERMENTASI YANG BERBEDA SKRIPSI Untuk Memenuhui sebagian persyaratan Guna mencapai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk

BAB I PENDAHULUAN. masih bertumpu pada beras. Meskipun di beberapa daerah sebagian kecil penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cakupan pangan di Indonesia secara mandiri masih merupakan masalah serius yang harus kita hadapi saat ini dan masa yang akan datang. Bahan pokok utama masih bertumpu

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1. BAB III METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN A.1. Alat yang digunakan : A.1.1 Alat yang diperlukan untuk pembuatan Nata de Citrullus, sebagai berikut: 1. Timbangan 7. Kertas koran 2. Saringan 8. Pengaduk 3. Panci

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN GULA MERAH DENGAN SUKROSA DAN PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG, UBI JALAR DENGAN KACANG HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK JENANG

PENGARUH PERBANDINGAN GULA MERAH DENGAN SUKROSA DAN PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG, UBI JALAR DENGAN KACANG HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK JENANG PENGARUH PERBANDINGAN GULA MERAH DENGAN SUKROSA DAN PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG, UBI JALAR DENGAN KACANG HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK JENANG Devy Nur Afiah 123020120 Pembimbing Utama :Dr. Tantan Widiantara,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis

Lebih terperinci

TANAMAN PENGHASIL PATI

TANAMAN PENGHASIL PATI TANAMAN PENGHASIL PATI Beras Jagung Sagu Ubi Kayu Ubi Jalar 1. BERAS Beras (oryza sativa) terdiri dari dua jenis, yaitu Japonica yang ditanam di tanah yang mempunyai musim dingin, dan Indica atau Javanica

Lebih terperinci

METODE Lokasi dan Waktu Materi Bahan Pakan Zat Penghambat Kerusakan Peralatan Bahan Kimia Tempat Penyimpanan

METODE Lokasi dan Waktu Materi Bahan Pakan Zat Penghambat Kerusakan Peralatan Bahan Kimia Tempat Penyimpanan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, dimulai pada bulan September hingga bulan Desember 2008 dan berlokasi di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Percobaan 4.1.1. Jumlah larva (30 HSA) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis beras tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah larva pada 30 HSA, sedangkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumping Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di Indonesia sumping dikenal dengan kue nagasari. Sumping umumnya dibuat dari tepung beras, santan,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

Lampiran 1 Formulir organoleptik

Lampiran 1 Formulir organoleptik LAMPIRA 55 56 Lampiran Formulir organoleptik Formulir Organoleptik (Mutu Hedonik) Ubi Cilembu Panggang ama : o. HP : JK : P / L Petunjuk pengisian:. Isi identitas saudara/i secara lengkap 2. Di hadapan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club wheat) dan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras varietas Cisadane dan daun mindi, serta bahan-bahan kimia seperti air suling/aquades, n-heksana

Lebih terperinci

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN

PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN PERBANDINGAN TEPUNG SINGKONG DENGAN TEPUNG TALAS DAN KONSENTRASI SERBUK TEH HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK COOKIES (KUE KERING) BERBASIS UMBI- UMBIAN TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Sidang Program

Lebih terperinci

3.1. Tempat dan Waktu Bahan dan Aiat Metode Penelitian

3.1. Tempat dan Waktu Bahan dan Aiat Metode Penelitian in. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Riau, Laboratorium Kimia

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kimia Analisis. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 18 hingga

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. 3.2 Alat Alat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Beras analog merupakan beras tiruan yang terbuat dari tepung lokal non-beras. Disebut beras analog karena bentuknya yang oval menyerupai beras, tapi tidak terproses

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan

III. BAHAN DAN METODE. Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Aplikasi pengawet nira dan pembuatan gula semut dilakukan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, analisa dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya status ekonomi masyarakat dan banyaknya iklan produk-produk pangan menyebabkan perubahan pola konsumsi pangan seseorang. Salah satunya jenis komoditas pangan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,

PENDAHULUAN. (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Alur penelitian ini seperti ditunjukkan pada diagram alir di bawah ini: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 22 23 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung tapioka merk ROSE BRAND". Dari hasil analisa bahan baku (AOAC,1998), diperoleh komposisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso Ayam Bakso merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari daging. Dihasilkan dengan mencampur daging, garam, bawang, dan tepung tapioka menjadi adonan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Durian (Durio zibethinus Murr.) adalah salah satu buah yang sangat popular

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Durian (Durio zibethinus Murr.) adalah salah satu buah yang sangat popular 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buah Durian Durian (Durio zibethinus Murr.) adalah salah satu buah yang sangat popular di Indonesia. Buah dengan julukan The King of Fruits ini termasuk dalam famili Bombaccaceae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai 13 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai penjual di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang dan Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang peran pemberian metionin dan linoleat pada tepung kaki ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

KAJIAN PENERAPAN ALAT PENEPUNG PISANG UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

KAJIAN PENERAPAN ALAT PENEPUNG PISANG UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN KAJIAN PENERAPAN ALAT PENEPUNG PISANG UNTUK PENINGKATAN NILAI TAMBAH DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Susy Lesmayati 1 dan Retno Endrasari 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan 2 Balai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jagung (Zea mays) Sumber genetik tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Konon bentuk liar tanaman jagung disebut pod maize, telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di Pegunungan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang, Kegiatan penelitian ini dimulai pada bulan

Lebih terperinci

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor

Gambar 1. Beberapa varietas talas Bogor II. TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas Bogor (Colocasia esculenta (L.) Schott) termasuk famili dari Araceae yang dapat tumbuh di daerah beriklim tropis, subtropis, dan sedang. Beberapa kultivarnya dapat beradaptasi

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ampas Tahu Ampas tahu merupakan limbah dari pembuatan tahu. Bahan utama pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan protein sekitar 33-42% dan kadar

Lebih terperinci

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA

PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA PRODUKSI GULA CAIR DARI PATI SAGU SULAWESI TENGGARA Agus Budiyanto, Abdullah bin Arif dan Nur Richana Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian n Disampaikan Pada Seminar Ilmiah dan Lokakarya Nasional 2016

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alpukat Apokat (KBBI: Avokad), alpukat, atau Persea americana Mill merupakan buah yang berasal dari Amerika Tengah, termasuk famili Lauraceae, yaitu suatu famili tanaman

Lebih terperinci

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.

Atas kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Lampiran 1. Lembar Uji Hedonik Nama : Usia : Pekerjaan : Pengujian organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma, rasa dan kekentalan yoghurt dengan metoda uji kesukaan/hedonik. Skala hedonik yang digunakan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April sampai September 2015 dengan tahapan isolasi selulosa dan sintesis CMC di Laboratorium Kimia Organik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5-6 bulan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Kimia Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan (1.7) Tempat dan Waktu Penelitian. Jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Plerotus

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan (1.7) Tempat dan Waktu Penelitian. Jamur tiram putih atau dalam bahasa latin disebut Plerotus I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Masalah, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian dan

Lebih terperinci

Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 )

Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 ) Bulan Lampiran 1. Data Iklim Wilayah Dramaga pada Bulan Februari hingga Mei 2011 Suhu Rata-rata ( o C) Curah Hujan (mm) Intensitas Penyinaran (cal/cm 2 ) Penguapan (mm) Kelembaban Udara (%) Februari 25.6

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Materi Prosedur Pembuatan MOL Tapai dan Tempe Pencampuran, Homogenisasi, dan Pemberian Aktivator MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai pembuatan pupuk cair dan karakteristik pupuk cair ini dilaksanakan dari bulan November sampai Desember 200 yang dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI

PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI MAKALAH PENELITIAN PEMBUATAN SUSU DARI BIJI BUAH SAGA ( Adenanthera pavonina ) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI NUTRISI PROTEIN SUSU SAPI DAN SUSU KEDELAI Oleh : Arnoldus Yunanta Wisnu Nugraha L2C 005 237

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan komoditas strategis yang secara. kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan komoditas strategis yang secara. kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan komoditas strategis yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sebagian besar penduduk Indonesia, karena itu program peningkatan produksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. biji cempedak ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, dimana. kriteria tertentu yang diharapkan dalam penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. biji cempedak ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, dimana. kriteria tertentu yang diharapkan dalam penelitian. BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian tentang perbandingan gizi tahu dari kedelai dan tahu biji cempedak ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, dimana jenis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 24 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 14 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pemerintah menghimbau masyarakat dan pengusaha untuk meningkatkan ekspor non migas sebagai sumber devisa negara. Sangat diharapkan dari sektor pertanian,

Lebih terperinci

Desikator Neraca analitik 4 desimal

Desikator Neraca analitik 4 desimal Lampiran 1. Prosedur Uji Kadar Air A. Prosedur Uji Kadar Air Bahan Anorganik (Horwitz, 2000) Haluskan sejumlah bahan sebanyak yang diperlukan agar cukup untuk analisis, atau giling sebanyak lebih dari

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) LAMPIRAN 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) METODE PENGUJIAN Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Untuk pengujianan total oksalat ke dalam Erlenmeyer ditambahkan larutan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci