Disintegrasi Ekonomi. Pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah banyak orang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Disintegrasi Ekonomi. Pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah banyak orang"

Transkripsi

1 Edisi Mei-Juni 2013 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah Merajut Kerjasama Daerah, Menghindari Disintegrasi Ekonomi Disintegrasi Ekonomi. Pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah banyak orang pesimis kalau otonomi daerah akan berhasil. Sebagian pihak bahkan sampai ber kir extrim, jika otonomi daerah ini justru akan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Memang dalam masa awal pelaksanaan otonomi daerah, ada beberapa praktik negatif yang memperlihatkan gejala ke arah disintegrasi dalam arti ekonomi. Beberapa keb akan daerah yang menghambat lalul intas perdagangan antar wilayah, dan maraknya pemekaran daerah, memang bisa dilihat sebagai salah satu bentuk egoisme daerah. Dari sini kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi muncul. Barangkali bukan disintegrasi dalam arti pemisahan diri dari wilayah NKRI, namun disintegrasi pada tataran kesatuan ekonomi nasional. Indonesia sebagai satu kesatuan ekonomi nasional, seolah-oleh kemudian terpecah-pecah ke dalam wilayah ekonomi yang kecil-kecil dan saling berdiri sendiri dalam bentuk daerah-daerah kabupaten/kota, atau propinsi. Economic of Scale. Dilihat dari skala ekonomi (economic of scale), besaran wilayah administratif kabupaten dan kota di Indonesia secara umum tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri sebagai satu kekuatan ekonomi. Ekonomi tidak mengenal wilayah, tetapi ekonomi merupakan keterkaitan dari beberapa mata rantai yang melintasi batas wilayah administratif daerah, bahkan negara. Dalam konteks negara sekalipun tidak ada satupun negara yang bisa melepaskan diri dari ikatan mata rantai ekonomi negaranegara lain, terlebih dalam era globalisasi seperti sekarang. Kerjasama antar negara dalam kawasan-kawasan tertentu, seperti terbentuknya EU, merupakan bentuk regionalisasi ekonomi yang mengarah pada globalisasi. Memperbesar economic of scale akan menciptakan optimalisasi pertumbuhan ekonomi. Terbukti bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, EU telah muncul sebagai satu kekuatan ekonomi yang luar biasa yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi Amerika. Lantas mengapa daerah kabupaten/kota di Indonesia - yang notabene adalah sub national economic area dengan economic of scale jauh lebih kecil dari sebuah negara malah berusaha secara sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitas economi? Co-opetition (competition-cooperation). Persaingan antar daerah adalah suatu keniscayaan, namun selain adanya persaingan (competition), daerah-daerah tersebut juga mesti bekerja sama (inter-regional cooperation). Inilah yang dinamakan gejala co-opetition di era otonomi. Inisiasi untuk co-opetition ditunjukkan oleh beberapa daerah yang menjalin kerjasama. Kesamaan historis dan keterkaitan ekonomi dimanfaatkan bukan untuk melakukan pemekaran dalam bentuk wilayah administratif baru melainkan untuk bekerja sama dan mejadi identitas bersama dan d adikan merek dagang, tanpa kehilangan identitas lama masing-masing daerah. Lepas dari mana munculnya, nampaknya telah muncul budaya corparated diantara pemda dalam membangun wilayahnya, dan menjaga keutuhan ekonomi nasional. Komitmen Nasional. Kerjasama antar daerah diyakini bisa menjadi perekat perekonomian nasional dan mengaselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintah pusat harus mendorong kerjasama antar daerah sebagai pendekatan pembangunan ekonomi. Sayangnya, regulasi nasional justru dituding sebagai penyurut semangat kerjasama antar daerah. Lembaga-lembaga kerjasama antar daerah yang ada saat ini bisa dikatakan sedang mengalami mati suri. Penyebabnya justru karna ketidakjelasan dan ketidakberpihakan regulasi terkait dengan sumber dana sharing untuk kegiatan kerjasama antar daerah. Dari sini, layak untuk kita menggugat komitmen pemerintah pusat dalam mendorong kerjasama antar daerah demi akselerasi pertumbuhan ekonomi.

2 EDITORIAL Tantangan Kerjasama antar Daerah DAFTAR ISI Ringkasan Studi... 3 Review Regulasi Opini Laporan Diskusi Publik Agenda KPPOD Seputar Otonomi Sekilas KPPOD Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani Agus Salim Tata Letak: Rizqiah D Winantyo Alamat Redaksi: Permata Kuningan Building 10 th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan Phone : /53 Fax : Pada era otonomi ini, pola interaksi antardaerah tidak saja berbentuk persaingan (competition) tetapi juga kerja sama (cooperation). Inilah yang dinamakan gejala inter regional co-opetition dalam arah arah baru regionalisasi yang niscaya dewasa ini. Banyak pihak meyakini: masa depan otonomi terletak pada keberhasilan merajut kedua pola relasi tersebut. Rasanya, tak ada perdebatan dan keraguan akan kebenaran pandangan tersebut. Tantangannya sekarang: selain tetap menjaga dinamika persaingan, kita mesti lebih giat pula untuk merajut kerja sama dalam berbagai bidang. Ibarat korporasi bisnis, Indonesia adalah sebuah unit-gabungan banyak perusahaan. Hari ini, setidaknya tercatat 34 Propinsi dan sekitar 500 Kabupaten/Kota bernaung di dalamnya. Besaran jumlah, laju pertambahan, dan kebijakan pemekaran yang terjadi 13 belas tahun ini juga cenderung menghasilkan basis kapasitas lokal yang lemah. Keberadaaan wilayah pemerintahan yang terlampau banyak dan berciri luasan daerah yang kecil-kecil boleh jadi ideal dari sisi pelayanan publik lantaran rentang kendali birokrasi menjadi lebih pendek dan terukur. Namun bagi upaya pembangunan daerah pada skala keseluruhan, skala wilayah yang terlampau kecil hampir pasti berkapasitas terbatas dan cenderung kalah bersaing. Apalagi di era otonomi saat ini, antar daerah cenderung melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seakan terpisah dari relasi integral (misalnya sebagai satu kesatuan ekonomi nasional) dengan daerah-daerah lain. Pada titik ini, pilihan solusi yang efektif, terlembaga dan berjangka panjang mesti diambil: jejaring kerja dan bahkan terbentuknya wadah kerja sama antar daerah. Menyadari urgensi tersebut, KPPODBrief edisi ini menurunkan topik utama terkait kerja sama, khususnya dalam bidang perdagangan antardaerah. Sejumlah tulisan secara mendalam mengupas kompleksitas isu tersebut: arti penting, masalah dan tantangan ke depan. Kami mengangkat persoalan di tingkat nasional terkait kerangka kebijakan nasional, tetapi juga mengetengahkan kerumitan masalah di lapangan terkait kapasitas sumber daya dan komitmen pimpinan daerah. Membaca profil masalah yang diperoleh dari studi lapangan dan dari sumber sekunder lainnya, kami memperoleh gambaran betapa seriusnya tantangan perwujudan kerja sama di era otonomi ini. Semua pihak kenyadari arti pentingnya, bahkan sepakat bahwa masa depan otonomi itu terletak pada keberhasilan merajut jejaring kerja bersama, namun jabaran di level kebijakan dan implementasi justru tak selalu selaras. Tidak heran, sejumlah wadah kerja sama hanya tinggal papan nama, terancam bubar, atau beraktivitas ala kadarnya. Kami berharap, meski masih terbatas, KPPODBrief ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan menawarkan rekomendasi yang pas guna memandu kita mengupayakan realisasi agenda krusial tersebut. Selamat membaca. 2

3 Ringkasan Studi Kerjasama Antar Daerah Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD P enerapan otonomi daerah selama 12 tahun belum mencapai hasil yang diharapakan, yang ada justru menimbulkan lemahnya koordinasi, egosentrisme, mengecilnya skala ekonomi wilayah. Otonomi telah memunculkan praktik dan persepsi bahwa semua aktifitas ekonomi harus ditentukan, dilakukan, dan tersedia di masing-masing daerah. Seolah-olah setiap daerah berjalan sendiri-sendiri, sehingga skala ekonomi daerah menjadi kecil karena terbagi-bagi ke dalam wilayah administratif. Akibatnya, daerah memiliki keterbatasan sumberdaya untuk pembangunan ekonomi. Idealnya, untuk menghadapi keterbatasan sumberdaya daerah, diperukan ada kerjasama antar daerah (KAD). Beberapa bidang atau kegiatan yang dapat dikerjasamakan, antara lain infrastruktur pelayanan publik, pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan, serta perdagangan. Kerjasama di bidang infrastruktur, umumnya berfokus pada pembangunan jalan dan pembangunan batas wilayah seperti jembatan dan tugu. Di bidang perdagangan, misalnya dengan penyediaan pasar bersama, promosi, dan pemasaran bersama produk unggulan daerah. Di bidang perdagangan daerah, sejak otonomi daerah diterapkan, praktik perdagangan yang seharusnya menjadi bagian dari pembangunan ekonomi daerah justru mengahapi berbagai kendala, seperti: 1) Inefisiensi perdagangan yang disebabkan oleh banyaknya perizinan yang harus diurus dan berbagai pungutan, baik pungutan legal maupun illegal. Dari review regulasi yang dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) selama ini menemukan adanya potensi hambatan perdagangan antar wilayah dari sebagian besar (50-60%) perda-perda yang terkait dengan perdagangan komoditi antar daerah. Hambatan perdagangan tersebut merupakan pelanggaran prinsip free internal trade yang mengancap keutuhan perekonomian nasional. Akar persoalannya adalah bahwa aktivitas perdagangan dipersepsikan sebagai hanya memberikan keuntungan bagi para pelakunya dan tidak mempunyai dampak bagi pembangunan daerah. Maka sejumlah pungutan resmi dan tidak resmi, oleh pemerintah mau pun pihak nonpemerintah, seringkali dianggap absah. 2) Volume perdagangan di suatu daerah masih kecil. Implementasi otonomi daerah memunculkan praktik dan persepsi bahwa semua aktifiktas ekonomi termasuk perdagangan dilakukan di masingmasing daerah. Akibat dari perdagangan yang dilakukan secara sendiri adalah volume produk yang diperdagangkan kecil. 3) Kurangnya informasi pasar bagi para pedagang. Hal ini terlihat dari hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilakukan oleh KPPOD menyebutkan bahwa 17% pelaku usaha terkendala dalam proses pemasaran karena kurangnya informasi pasar. Untuk mengatasi berbagai praktik dan kendala yang terjadi di bidang perdagangan, upaya yang dapat dilakukan oleh daerah adalah dengan melakukan KAD di bidang perdagangan. Salah satu bentuk KAD bidang perdagangan yakni promosi dan pemasaran bersama. Dengan pemasaran bersama, penjual (produsen) akan berkumpul bersama di suatu tempat. Kondisi tersebut dapat menciptakan aglomerasi ekonomi dimana daerah akan mendapat keuntungan akibat dari adanya pemusatan tersebut. Keuntungan lain yang akan diperoleh adalah adanya peningkatan volume perdagangan yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian daerah. Berpijak dari kondisi di atas, KPPOD melakukan studi terkait KAD di bidang perdagangan sebagai alternatif kebijakan peningkatan perekonomian daerah. Studi ini fokus pada kerjasama di bidang perdagangan, dengan dua alasan Pertama, momentum penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) perdagangan dimana dalam rancangan tersebut. masih sangat sedikit mengatur perdagangan dalam negeri. Selama ini, konteks perdagangan dalam negeri hanya terfokus pada praktik perdagangan, namun kurang menyentuh aspek kelembagaan yang menangani bidang perdagangan di daerah.. Kedua, perdagangan dapat mempercepat pembangunan ekonomi melalui pengembangan produk unggulan daerah yang dapat menciptakan lapangan kerja. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong daerah melakukan kerjasama di bidang perdagangan dan menganalisis sejauhmana praktik KAD di bidang perdagangan. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan review regulasi dan dokumen terkait serta studi kualitatif di dua lembaga kerjasama antar daerah yakni RM Barlingmascakeb di Jawa Tengah dan RM Jonjok Batur di Nusa Tenggara Barat. Dua lembaga kerjasama ini dipilih karena memiliki fokus kerjasama di bidang perdagangan. TEMUAN-TEMUAN UTAMA STUDI FORMAT KELEMBAGAAN KAD DI INDONESIA Beberapa format kelembagaan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut: 3

4 Ringkasan Studi 1. Badan Kerjasama Antar Daerah Amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 pasal 24 menjelaskan dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan daerah lain yang dilakukan secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat lima tahun, kepala daerah dapat membentuk Badan Kerja sama (BKAD). Badan kerja sama sebagaimana dimaksud adalah bukan perangkat daerah. Salah satu contoh lembaga kerjasama ini adalah Subosukawonosraten. BKAD ini merupakan model KAD yang beranggota Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Tujuan kerja sama ini adalah meningkatkan daya saing ekonomi wilayah melalui penguatan manajemen wilayah, peningkatan pemasaran wilayah, penciptaan iklim bisnis yang kondusif bagi investasi dan dunia usaha, serta memberikan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah, pada sektor-sektor unggulan di wilayah Subosukawonosraten. Kerjasama ini memiliki fokus dalam pelayanan publik di bidang kesehatan, lingkungan hidup, pariwisata dan transportasi. Pengelola BKAD Subosukawonosraten merupakan PNS dari SKPD terkait dan sumber pembiayaan pelaksanaan KAD berasal dari APBD daerah anggota dan swasta. Hal yang dapat dijadikan pembelajaran bersama adalah pada BKAD Subosukawonosraten melahirkan kesepakatan bersama untuk membentuk sebuah badan hukum, yang dikenal dengan PT Solo Raya, yang diharapkan badan hukum ini dapat memperkuat strategi pemasaran regional bagi daerah-daerah di wilayah eks Karisidenan Surakarta. 2. Sekretariat Bersama (Sekber) Bentuk KAD ini pada umumnya bekerjasama di bidang pengelolaan prasarana dan sarana. Salah satu contohnya adalah Sekber Kertamantul di Yogyakarta, Sleman dan Bantul. Hingga kini, sektor yang menjadi fokus kerja sama ketiga daerah tersebut yaitu kerja sama sektor air bersih, jalan, transportasi, drainase, air limbah dan persampahan serta tata ruang. Pada model sekber, sumber daya manusia yang digunakan berasal dari PNS dan Staf Profesional. Koordinator Sekber berasal dari PNS yang biasanya diduduki oleh Sekretaris Daerah yang berketempatan menjadi koordinator Sekber, sedangkan untuk menjalankan operasional sehari-sehari dilakukan oleh seorang staf profesional dengan posisi sebagai direktur. Sumber pembiayaan bagi lembaga Sekber adalah APBD dari daerah masingmasing dengan menggunakan pos hibah serta pos kegiatan program yang sudah ada dari masing-masing SKPD terkait. 3. Regional management (RM) RM merupakan lembaga kerja sama antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan potensi yang dimiliki masing-masing daerah dengan tujuan untuk mensinergikan pelaksanaan pembangunan antar daerah serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemanfaatan sumber daya daerah. Contoh dari kerjasama antara daerah dengan bentuk lembaga ini adalah RM Barlingmascakeb di Jawa Tengah dan RM Jonjok Batur di Pulau Lombok. Pada struktur organisasi RM terdapat tiga komponen, yakni Forum Regional yang terdiri dari para Bupati daerah anggota, Dewan Eksekutif yang terdiri dari perwakilan SKPD dan Regional Manager yang diisi oleh tenaga professional. Forum Regional merupakan pemilik kerjasama dan pengambil kebijakan yang bersifat strategis dan memberikan arahan kepada dewan eksekutif. Selanjutnya, Dewan Eksekutif berfungsi sebagai kelompok pengarah atau steering commite yang menterjemahkan kebijakan forum regional menjadi program strategis. Dewan ini juga bertugas untuk melakukan penguatan internal organisasi agar kerjasama antar daerah bisa berjalan secara efektif dan efisien. Regional Manager merupakan pelaksana harian (operasional) yang melaksanakan program dan kegiatan RM yang telah ditentukan oleh forum regional dan dewan eksekutif. Sumber pembiayaan lembaga ini berasal dari iuran anggota maupun donor. FAKTOR PENDORONG TERBENTUKNYA KERJASAMA KAD dibentuk daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Setiap daerah memiliki potensi sumber daya yang tidak selalu sama dengan daerah lainnya, sehingga tidak semua daerah mampu memenuhi kebutuhannya Sumber: BPS Banyumas dan Purbalingga 4

5 Ringkasan Studi sendiri. Dengan keterbatasan skala ekonominya, daerah memerlukan kerjasama dengan daerah lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya. Sebagai ilustrasi, Purbalingga memiliki kelimpahan produksi jagung dengan rata-rata produksi sebesar ton/tahun. Sementara Banyumas hanya memiliki rata-rata produksi sebesar ton/tahun (BPS, ). Dengan permintaan jagung di Banyumas yang lebih dari ton/tahun, daerah tersebut tidak mampu memenuhi permintaan. Di sisi lain, Banyumas memiliki kelimpahan komoditas kacang tanah. Produksinya mencapai ton/tahun. Sedangkan ratarata produksi kacang tanah di Purbalingga hanya ton/tahun, padahal permintaan komoditas tersebut lebih tinggi. Untuk menjembatani perbedaan kondisi tersebut, diperlukan kerjasama antar kedua daerah khususnya di bidang perdagangan. Dengan adanya kerjasama, kedua daerah dapat melakukan perdagangan atas dua komoditas tersebut. Purbalingga dapat mengekspor jagung ke Banyumas. Sebaliknya Banyumas dapat mengekspor kacang tanah ke Purbalingga. Dengan demikian, kedua daerah tersebut mampu memenuhi permintaan di daerahnya masing-masing. KAD dibentuk untuk memenuhi volume permintaan pasar. Kecilnya skala ekonomi daerah, menyebabkan terkadang tidak mampu untuk memenuhi permintaan pasar. Sebagai contoh, permintaan gula merah dari Desa Cilongok Kabupaten Banyumas sangat tinggi, lebih dari ton/tahun. Namun, produksi gula dari daerah tersebut hanya ± ton/tahun. Untuk mencukupi volume permintaan pasar tersebut, Banyumas bekerjasama dengan Purbalingga. Melalui pengambungan produksi gula merah Banyumas dan Purbalingga dapat memenuhi volume permintaan pasar. Sumber: BPS Banyumas dan Purbalingga KAD dibentuk untuk menciptakan aglomerasi produksi daerah melalui pemasaran bersama. Banyak daerah menghadapi kendala dalam pemasaran komuditi daerahnya. Hal tersebut terjadi karena para pedagang lokal menjual produknya secara individu. Akibatnya, akses dan informasi pasar menjadi terbatas. Oleh karena itu, KAD diperlukan untuk pemasaran bersama para pedagang ldi daerah. RM Jonjok Batur menginisiasi pembangunan pabrik jagung di Lombok Tengah. Pemilihan lokasi pabrikdi Lombok Tengah karena posisi yang strategis (pertengahan) antara Lombok Barat dengan Lombok Timur. Pembangunan pabrik ini dimaksudkan untuk mempermudah petani dalam pemilahan dan pengeringan jagung. Selain itu, ditujukan untuk menampung/mengumpulkan produk jagung di suatu lokasi agar mempermudah proses pemasaran produk. Lombok Tengah Lombok Barat Pabrik Jagung Lombok Timur 1. PROFIL KAD PERDAGANGAN DI DUA DAERAH STUDI RM Barlingmascakeb Barlingmascakep adalah kerjasama antara Kabupaten Banjarnegara, Kebupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen. Kerjasama Barlingmascakeb lahir dari rendahnya investasi yang masuk ke kawasan tersebut, padahal daerah-daerah tersebut mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi. Fasilitas infrastruktur yang belum memadai di dareah-daerah anggotanya, seringkali dipandang menjadi penyebab utama rendahnya investasi yang masuk, Belum adanya kelembagaan yang mantap dan definitif yang menangani urusan investasi di daerah juga menjadi kendala. Dari sisi regulasi, perangkat aturan dan kebijakan yang menjadi pedoman dalam menangani urusan investasi di daerah belum kondusif dan belum ada sinkronisasi perkembangan kegiatan investasi antar daerah. Kondisi tersebut disadari oleh Bupati Purbalingga, yang kemudian pada tahun 2000, berdialog dengan bupatibupati lainnya menginisiasi kerjasama Barlingmascakeb. Forum ini disahkan melalui penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen No.130 A. Tahun 2003 pada tanggal 28 Juni 2003 tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management (RM) Barlingmascakeb. Pemilihan format kelembagaan RM ini diimaksudkan agar semua komitmen kesepakatan-kesepakatan antar daerah dapat terformulasikan dalam bentuk program/ kegiatan dan dapat diimplementasikan secara nyata serta dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selain itu, mereka menganggap bahwal lembaga kerjasama yang dibangun harus dioperasionalkan oleh kelompok kerja yang bekerja secara full time, profesional, yang dilandasi kecerdasan IQ, EQ, dan SQ. 5

6 Ringkasan Studi Struktur organisasi RM Barlingmascakep terdiri dari tiga komponen, yakni Forum Regional, Dewan Eksekutif dan Regional Manager. Pelaksana harian (operasional) RM dilaksanakan oleh regional manager, dipimpin oleh seorang Manajer RM dan dibantu oleh tim ahli, yang terdiri daeri analisis perekonomian, analisis hukum dan perundang-undangan dan analisis pemasaran. Struktur organisasi RM Barlingmascakeb dapat dilhat pada Gambar 4. Sumber: Lekad.org Sumber utama pembiayaan lembaga kerjasama ini berasal dari sharing pendanaan dari APBD Kabupaten Anggota melaui dana hibah. Iuran yang dibayarkan sebesar Rp 100 juta per anggota pada tahun 2004 serta Rp 150 juta pada tahun-tahun selanjutnya. Namun, sharing pendanaan yang berasal dari dana hibah terkendala oleh ketentuan dari Pemerintah Pusat. Akibatnya, pada tahun 2011 RM Barlingmascakeb ini vakum. Program RM Barlingmascakeb berupa promosi potensi daerah, pemasaran produk daerah dan mengupayakan terwujudnya kesepakatan bisnis dan investasi di daerah anggota. Bentuk kegiatannya antara lain pasar lelang forward agro, promosi investasi, promosi pariwisata melalui pengusunan wisata terpadu. Sejumlah capaian dari RM Barlingmascakeb diantaranya adalah pembentukan kelompok kerja (pokja) untuk membangun jejaring publik, yakni Pokja perdagangan dan investasi, Pokja pertanian, pokja pariwisata dan pokja infrastruktur. Dibidang perdagangan telah terselenggara pasar lelang forward komoditas agro sebanyak 19 kali dengan jumlah transaksi sebesar Rp 321 Milyar. Melalui kegiatan-kegiatan RM terjadi perluasan akses pasar bagi para UKM melalui penyelenggaraan gathering stakeholder (pertemuan bisnis). Dalam pelaksanaannya, kerjasama antardaerah tersebut tidak terlepas dari beberapa kendala, seperti adanya benturan dengan regulasi pusat terkait dana hibah daerah sebagai sumber pembiayaan RM serta rendahnya komitmen pemimpin daerah dan rendahnya koordinasi antara RM, Dewan Eksekutif maupun dengan SKPD terkait. RM Jonjok Batur RM Jonjok Batur adalah lembaga kerjasama antar daerah, yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur. Menyusul masuknya Lombok Utara menjadi anggota RM Jonjok Batur pada tahun Kerjasama Jonjok Batur lahir dari kesadaran akan bahaya persaingan yang tidak sehat dalam pembangunan ekonomi antara tiga kabupaten yang berdekatan, yang selanjutnya akan bekerjasama.. Ketiga daerah tersebut memiliki potensi yang sama, baik dalam sektor pertanian maupun pariwisata, namun tidak saling berkoordinasi. Akibatnya muncul persaingan yang tidak sehat, bahkan bisa saling mematikan. Alasan lain yang melatarbelakangi terbentuknya kerjsama adalah infrastruktur yang belum memadai di Pulau. Kendala infrastruktur tersebut sering menjadi alasan rendahnya investasi khususnya di sektor unggulan (pertanian dan pariwisata). Kondisi ini disadari oleh Bappeda Lombok Barat, Lombok Timur dan Lombok Tengah, dan mulai tahun 2005, mereka mengadakan dialog yang dihadiri oleh para Bupati dari ketiga daerah. Selanjutnya forum ini disahkan dengan Peraturan Bersama Bupati Lombok Barat, Bupati Lombok Tengah dan Bupati Lombok Timur Tahun 2006 Tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management Antar Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Sama seperti RM Barlingmascakeb, struktur organisasi RM Jonjok Batur juga terdiri dari 3 komponen, yakni forum regional, dewan eksekutif dan regional manager. Pelaksana harian dipimpin oleh seorang manajer RM dengan dibantu oleh tim dari analisis pengelolaan dan investasi, analisis hukum dan perundangan dan analisis pemasaran. Struktur organisasi RM Jonjok Batur dapat dilhat pada Gambar 5. Sumber pembiayaan lembaga kerjasama ini berasal dari sharing dana atas tugas setiap daerah, dukungan/ bantuan pembiayaan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi serta dukungan anggaran dari pihak lain (lembaga swadaya/ngo). Sharing dana dilakukan saat awal pembentukan RM Jonjok Batur. Selanjutnya, pembiayaan RM ini didukung oleh berbagai donor, yakni dari Pemerintah Pusat (Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Kementerian Koperasi), Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun pihak lain. Ruang lingkup kerjasama RM Jonjok Batur ini meliputi kerjasama bidang infrastruktur, pengembangan dan perdagangan komoditi unggulan, penanganan 6

7 Ringkasan Studi Sumber: Bappeda Lombok Tengah desa-desa perbatasan dan bidang lain sesuai dengan perkembangan kebutuhan daerah. Bentuk kegiatannya antara lain pemasaran produk unggulan daerah kepada para investor, promosi pariwisata, dan pemberdayaan petani tembakau. Dalam pelaksanaannya, kerjasama antardaerah tersebut tidak terlepas dari beberapa kendala, seperti, rendahnya pemahaman kepala daerah mengenai kerjasama antar daerah yang menyebabkan komitmen yang masih rendah. Kendala lain adalah kurangnya koordinasi antara RM dengan Forum Regional, serta nuansa politis yang sangat kuat dalam pelaksanaan RM. Terlepas dari kendala yang dihadapi, sejumlah keberhasilan telah dicapai oleh RM Jonjok Batur diantaranya adalah terjadi perluasan akses pasar bagi para petani tembakau di Lombok; pembangunan pabrik jagung bersama di Lombok Tengah, dan pembentukan Himpunan Petani Lombok (Hipetal) Pasar lelang bersama sebagai bentuk kerjasama peningkatan perdagangan antar daerah. Penyelenggaraan pasar lelang komoditi agro merupakan sebuah upaya positif dalam memajukan sektor perdagangan dan pertanian antar daerah. Tujuannya adalah menciptakan sistem perdagangan yang baik melalui transparansi mekanisme penentuan harga, meningkatan efisiensi dan efektivitas sistem perdagangan, menciptakan insentif bagi peningkatan produksi dan mutu serta meningkatkan pendapatan petani. Sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan, pasar lelang yang dikembangkan dibangun dalam dua bentuk yaitu: Pasar lelang spot dan pasar lelang forward. Dalam pasar lelang spot, penjual langsung penjual langsung membawa komoditas yang akan dijual ke pasar lelang. Kelebihan pasar lelang spot adalah bentuk pasar lelang ini mampu terhindar dari gagal serah dan gagal bayar. Namun, kelemahannya adalah tidak ada mekanisme standarisasi mutu produk. Di pasar lelang spot, pedagang membawa semua produk yang akan diperdagangkan dengan mutu dan kualitas yang berbeda-beda. Kondisi tersebut memungkinkan bahwa produk yang diperdagangkan tidak sesuai dengan kualitas yang diinginkan oleh pembeli. 1) Pasar lelang forward Berbeda dengan pasar lelang spot, dalam pasar lelang forward, penjual cukup membawa contoh komoditas dengan spesipikasi produk yang akan dijual ke pasar lelang, sementara penyerahan barang dan penyelesaian kemudian hari sesuai dengan kontrak jual beli yalngl disepakati. Beberapa kelebihan dalam bentuk pasar lelang forward dibandingkan dengan pasar lelang spot adalah Bagi produsen (petani), menjadi acuan harga sebelum tanam atau panen, sehingga memungkinkan bagi mereka merencanakan pola tanam. Sedangkan bagi kalangan industri pengolah, dapat memperoleh jaminan pasokan bahan baku sesuai kapasitas dan rencana produksi di masa mendatang. Namun, pasar lelang forward juga memiliki kelembahan terutama pada tahap implementasi (problem implementasi), seperti rentan terjadinya kegagalan transaksi (gagal serah, gagal harga dan gagal kualitas). Permasalahan ini terjadi akibat ketidakmampuan dari pihak yang terlibat untuk menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan waktu, harga dan kualitas yang telah disepakati. Gagal serah muncul dikarenakan faktor yang sifatnya alamiah seperti alam yang tidak kondusif dan terjadinya musibah, serta kesalahan para pihak yang bertransaksi dalam mengestimasi kondisi yang akan datang, ketidakmampuan untuk menyusun perencanaan dalam situasi ketidakpastian serta kegagalan yang disengaja lainnya. Gagal harga dapat muncul karena adanya pengingkaran kesepakatan terhadap harga yang telah disepakati. Misalnya, harga jual komoditas saat ini lebih tinggi dari harga jual sebelumnya yang tertera dalam kesepakatan. Oleh karena itu, produsen memutuskan untuk menjual produknya di pasar spot dengan harga saat ini dan mengingkari kontrak jual beli yang sudah disepakati. Sementar gagal kualitas dapat muncul karena kegagalan panen akibat kondisi cuaca dan iklim yang tidak mendukung serta adanya perbedaan persepsi antara penjual dan pembeli terhadap kualitas yang ditetapkan. Di tingkat implementasi kelemahan lain dari pasar lelang forward adalah masih minimnya peran penyelenggara pasar lelang forward baik pemerintah maupun swasta sehingga tidak ada otoritas untuk memberikan sanksi atas wanprestasi para pihak. Akibat dari kegagalan transaksi dan tidak ada otoritas tersebut menyebabkan nilai transaksi yang dibukukan pada saat penyelenggaraan pasar lelang tidak sebesar realisasinya. Kedua kerjasama antar daerah yang menjadi fokus studi ini memiliki program kegiatan di bidang perdagangan dengan membentuk pasar lelang bersama dengan menerapkan system pasar lelang forward. RM Barlingmascakeb memiliki satu kegiatan utama yakni pasar lelang forward komoditi agro. Sementara di Pulau 7

8 Ringkasan Studi Lombok, pasar lelang forward komoditi agro tersebut diselenggarakan oleh pemerintah provinsi NTB. Mekanisme Pasar Lelang Forward di Dua Daerah Studi Mekanisme pasar lelang forward pada prinsipnya terdiri dari dua tahapan, yakni tahapan persiapan dan proses lelang. Tahapan persiapan, yakni sosialisasi, identifikasi dan fasilitasi calon pembeli dan calon penjual (pedagang) dilakukan oleh para penyelenggara. Selanjutnya adalah proses lelang yang dipimpin oleh juru lelang. Pada proses lelang, penjual membawa sampel barang yang dilelang. Kemudian juru lelang memandu jalannya pasar lelang hingga terjadi kesepakatan harga. Setelah harga dan jumlah disepakati, dilakukan penandanganan MoU antara penjual dengan pembeli. Mekanisme pasar lelang forward dapat dilihat pada gambar berikut ini. Sumber: data primer (diolah) Perkembangan Nilai Transaksi Pasar Lelang RM. Barlingmascakeb Pasar lelang komoditas agro telah dilaksanakan RM Barlingmascakeb selama 19 kali dari tahun 2004 hingga tahun Nilai transaksi setiap kali penyelenggaraannya pun berbeda-beda. Di awal tahun penyelenggaraan (2004), nilai transaksi masih sangat kecil, yakni di bawah 9 M. Bahkan pada pasar lelang ke- VII, nilainya Rp 0. Hal ini dikarenakan tahun tersebut merupakan awal penyelenggaraan pasar lelang forward sehingga sosialisasi yang dilakukan masih sangat terbatas. Belum banyak pedagang maupun pembeli yang mengetahui keberadaan pasar lelang ini. Pihak RM dan dinas terkait pun belum memiliki akses yang luas kepada para pedagang dan pembeli. Akibatnya, peserta lelang masih sedikit dan nilai transaksi di tahun tersebut masih rendah. Pada tahun 2006 hingga 2010, nilai transaksi lelang mulai meningkat, walaupun peningkatannya berfluktuasi. Peningkatan tersebut terjadi karena persiapan pelaksanaan yang lebih matang, baik dari pihak penyelenggara (RM dan Dinas terkait) maupun dari peserta lelang. Pihak penyelenggara semakin aktif dalam mencari calon pembeli dan pedagang serta memperbanyak kegiatan sosialisasi. Peningkatan nilai transaksi ini menunjukkan semakin meningkatnya volume perdagangan di beberapa daerah anggota. Dengan kata lain, pasar lelang bersama ini dapat meningkatkan skala ekonomi dari sisi pemasaran. Perekembangan transaksi lelang forward RM Barlingmascakeb dapat dilihat pada Gambar 7. Pasar lelang komoditi agro di Pulau Lombok sudah diselenggarakan sebanyak 48 kali sejak tahun 2005 hingga saat ini. Nilai transaksinya pun berfluktuatif. Peningkatan nilai transaksi terjadi pada akhir hingga awal tahun baru. Hal ini mengindikasikan bahwa pada masa tersebut, terjadi musim panen sehingga volume meningkat. Setelah musim panen, nilai transaksi menurun namun berlahan meningkat kembali. Perkembangan nilai transaksi pasar lelang forward Provinsi NTB dapat dilihat pada Gambar 8. Penyelenggaraan pasar lelang sebagai bentuk kerjasama antar daerah di bidang perdagangan dapat diselenggarakan oleh lembaga kerjasama antar daerah (dalam kasus ini adalah RM) maupun pemerintah provinsi. Untuk melihat lebih lanjut, dilakukan analisis komparasi antara pasar lelang yang diselenggarakan oleh RM dan Provinsi dari sisi kelembagaan dan implementasi. Kelembagaan Pasar Lelang Penyelenggara utama pasar lelang RM dilaksanakan oleh personil dari RM. Namun, dalam pelaksanaannya dibantu oleh SKPD terkait dari setiap kabupaten anggota. SKPD berperan dalam identifikasi calon pedagang masing-masing daerah. Sumber pembiayaan pasar lelang berasal dari iuran anggota melalui dana hibah APBD kabupaten. RM masih belum memiliki otoritas untuk memberikan sanksi atas wanprestasi. Akibatnya, realisasi transaksi tidak sebesar nilai transaksi pada kesepakatan (MoU). Untuk pasar lelang provinsi penyelenggaranya adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi. Untuk sosialisasi pelaksanaan kegiatan dan indentifikasi calon peserta lelang (pedangan dan pembeli), Disperindag Provinsi bekerjasama dengan Disperindag Kabupaten/Kota. Sumber pembiayaan pasar lelang berasal dari dana dekonsentrasi dari Kementerian Perdagangan yang disalurkan melalui 8

9 Ringkasan Studi Pemerintah Provinsi. Disperindag Provinsi memiliki otoritas yang lebih besar daripada RM dalam hal penetapan sanksi,jika terbukti melanggar MoU yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, berupa black list dan pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan pasar lelang. Sumber: RM Barlingmascakeb Sumber: Disperindag Provinsi NTB Implementasi Jadwal penyelenggaraan pasar lelang RM Barlingmascakeb setiap tahunnya berbeda-beda. Pada tahun 2004 dilaksanakan sebanyak tujuh kali, sementara pada tahun 2005 tidak diselenggarakan pelelangan, kemudian pada tahun 2006 dan 2007 dilaksanakan dua kali. Ketidakpastian jadwal penyelenggaraan tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi penjual maupun pembeli, sehingga mereka tidak memiliki persiapan yang maksimal. Penegakan aturan yang dilaksanakan oleh RM sebagai penyelenggarapun masih lemah (belum efektif). Faktor hubungan kedekatan dengan peserta, memperlemah penerapan sanksi, sehingga jika peserta terbukti melanggar kesepakatan, pihak RM tidak menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Keterbatasan akses pasar, mempersempit indentifikasi calon pembeli yang dilakukan oleh RM sehingga penjual maupun pembeli yang hadir tidak bervariasi. Keuntungan dari pasar lelang yang diselenggarakan oleh RM adalah lebih mudah dijangkau oleh para penjual ruang lingkup RM yang hanya menaungi beberapa daerah anggota yang berdekatan. Jadwal kegiatan pasar lelang oleh provinsi, lebih teratur, yakni dua bulan sekali, memberikan kepastian bagi para peserta sehingga mereka memiliki persiapan yang matang untuk mengikuti pasar lelang. Disperindag Provinsi mampu menegakan aturan yang berlaku karena sebagai institusi pemerintahan memiliki otoritas yang besar. Akses pasar pemerintah provinsi lebih luas sehingga mampu menghadirkan pembeli dari luar daerah. Pembeli yang ikut dalam pasar lelang Provinsi NTB banyak berasal dari luar daerah, seperti Jawa Timur dan Bali. Namun, wilayah provinsi yang sangat luas juga menjadi kendala untuk dapat mengakses tempat penyelenggaran khususnya bagi para penjual yang berasal dari daerah yang jauh, terlebih jika infrastruktur jalan yang masih terbatas. Terlepas dari segala kendala dan kegagalannya, sebagai sebuah inisiatif, pasar lelang besama tersebut mampu membuka akses pasar yang lebih luas bagi para pedagangang lokal. Sayangnya, hingga kini kedua kerjasama antar daerah yang menjadi fokus studi belum memiliki aturan bersama yang mendukung kegiatan pasar lelang tersebut. Misalnya aturan bersama untuk pengurangan hambatan perdagangan tarif dan non tarif, standarisasi produk dan kualifikasi peserta yang mengikuti pasar lelang. Hal ini sangat diperlukan guna mendukung pelaksanaan pasar lelang bersama sehingga perdagangan antar daerah lebih efisien yang pada akhirnya mampu meningkatkan skala perekonomian di daerah. Inkonsistensi Regulasi Pusat terkait mekanisme pendanaan justru menghambat perkembangan KAD di beberapa daerah. Keberlangsungan KAD sangat tergantung dari pola pendanaannya. Namun, inkonsistensi regulasi pusat dalam pendanaan KAD justru menjadi faktor penghambat perkembangan KAD di beberapa daerah. Contoh kasus adalah regulasi yang mengatur pendanaan kegiatan KAD. Pasal 8, Permendagri No.22/2009 tentang Petunjuk Teknis Kerjasama Daerah menyebutkan bahwa KAD dapat didanai dari APBD melalui persetujuan DPRD. Selanjutnya dalam poin 3, Permendagri No.37/2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2011 disebutkan bahwa KAD yang berbentuk badan dapat didanai dari dana hibah daerah. Namun, berdasarkan Permendagri No.32/2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial (Pasal 7) disebutkan bahwa dana hibah tidak diperbolehkan diberikan untuk keperluan diluar wilayah administratif daerah. Dana hibah hanya boleh diberikan kepada masyarakat atau lembaga yang berkedudukan dalam wilayah administrasi. Ketentuan pusat inilah yang mematikan perkembangan KAD di banyak daerah. Contoh kasus RM Barlingmascakeb yang vakum karena hambatan penggunaan APBD. 9

10 Ringkasan Studi Pasar Lelang RM Pasar Lelang Provinsi KELEMBAGAAN Pengelola RM & SKPD terkait Disperindag Provinsi dan Disperindag Kabupaten/Kota Pendanaan APBD Kabupaten Anggota APBN dan APBD Provinsi Otoritas RM : fasilitasi pelaksanaan lelang & identifikasi calon pembeli Identifikasi calon pembeli & penjual, menetapkan sanksi Harmonisasi aturan Belum ada Belum ada IMPLEMENTASI Waktu Tidak teratur (tentative) Teratur Penegakan aturan Lemah/tidak efektif Tegas/efektif Pelibatan asosiasi Belum ada Ada (asosiasi, hotel, swalayan, dll) Aksesibilitas tempat penyelenggaraan Sumber: Data primer (diolah) Tabel 1 Perbandingan Pasar Lelang Provinsi dengan Pasar Lelang RM Lebih terjangkau khususnya bagi daerah berkarakter khusus yang memiliki keterbatasan infrastruktur Catatan Penutup Kesadaran akan keterbatasan skala ekonomi daerah dan inefisiensi perdagangan mendorong daerahdaerah untuk melakukan KAD di bidang perdagangan. Terlepas dari segala kendala dan kegagalannya, sebagai sebuah inisiatif, pasar lelang besama di beberapa daerah terbukti relatif dapat membantu pedagang lokal untuk mengakses pasar lebih luas. Namun manajemen kerjasama dan program yang ditawarkan terkadang tidak mampu menjawab persoalan yang akan diselesaikan dengan kerjasama. Di sisi lain pemerintah daerah yang terlibat kerja sama belum melakukan hal yang harus menyertai proses kerjasama, yakni melakukan harmonisasi dan membuat regulasi bersama yang mengatur implementasi program di bidang perdagangan, seperti pengurangan hambatan perdagangan (tarif dan non tariff) dan standarisasi mutu --oo0oo-- Akses sulit dijangkau É kurang efisien produk perdagangan. Tanpa adanya regulasi bersama untuk mengurangi hambatan perdagangan antar daerah, sangat sulit KAD dapat menjawab persoalan perdagangan antar daerah Studi ini juga menunjukkan bahwa dukungan politik, kelembagaan, pendanaan, dan konsistensi regulasi pusat, diperlukan untuk mendorong perkembangan KAD. Selama ini mekanisme pendanaan KAD belum mandiri, sehingga berpotensi mengakibatkan kegagalan dan keberlanjutan program KAD. Ketergantungan pembiayaan dari APBD dan program pemerintah pusat serta lembaga donor, terbukti tidak mampu menjamin keberlanjutan dari KAD. Hal lain adalah komintmen dan dukungan politik dari pimpinan daerah sangat penting. Tanpa dukungan dari pimpinan daerah, KAD tidak akan dapat terjadi dan berjalan dengan optimal sesuai yang diharapkan. Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll). Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan submenu pemesanan perda. Terima kasih Bagian Keperpustakaan 10

11 Review Regulasi Review Regulasi Kajian Perda Sulawesi Tengah No. 3 tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD Sumber: KPPOD Pendahuluan UU No. 28 tahun 2009 bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas bagi daerah tentang pungutan yang boleh dipungut di daerah. Pungutan-pungutan tersebut terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Khusus untuk retribusi, ada tiga jenis retribusi yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan tertentu. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka daerah-daerah mulai menyesuaikan peraturan daerah (perda) tentang pungutan. Namun demikian pasca diberlakukannya UU No.28 tahun 2008, masih dijumpai beberapa daerah yang menerbitkan perda tentang pungutan masih belum sesuai dengan UU tersebut. Salah satu daerah yang baru menerbitkan perda tentang retribusi adalah Provinsi Sulawesi Tengah, yakni Perda No.3 tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha. Dalam perda tersebut diatur mengenai empat retribusi yang termasuk kedalam retribusi jasa usaha, yaitu: retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi tempat pelelangan, retribusi pelayanan kepelabuhanan dan retribusi penjualan produksi usaha daerah. Ringkasan isi Salah satu retribusi dalam perda yang akan disoroti dalam review regulasi ini adalah retribusi pemakaian kekayaan daerah. Retribusi tersebut, bersinggungan langsung dengan komoditas utama Sulawesi Tengah, yaitu kakao. Persinggungan dengan komoditi kakao adalah penetapan retribusi terhadap pemakaian kekayaan daerah, khususnya uji mutu beberapa komoditas, termasuk kakao, yang dikenakan retribusi. Perda ini dapat dikatakan memiliki kelengkapan sebagai sebuah produk hukum. Sesuai UU No.28/2009, sebuah perda yang mengatur tentang pungutan, harus memuat objek dan subjek retribusi, tujuan dari adanya retribusi, cara pengukuran dan lainnya. Selain itu juga diatur mengenai tata cara penagihan, pengenaan sanksi sampai pada insentif pemungutan. Khusus retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi dikenakan pada setiap orang pribadi atau badan yang memakai kekayaan daerah. Kekayaan daerah yang dimaksud dalam perda tersebut adalah penggunaan sarana laboratories yang dimili oleh pemda untuk pengujian mutu komoditi (kakao). Tingkat penggunaan jasa pemakaian kekayaan daerah juga diukur berdasarkan jenis, luas harga satuan dan jangka waktu pemakaian kekayaan daerah. Struktur dan besaran tarif juga diatur di dalam perda ini. Sedangkan besaran retribusi dilandaasi pada tingkat penggunaan jasa berdasarkan jenis, luas, harga satuan dan jangka waktu pemakaian kekayaan daerah. Dalam perda tersebut telah diatur mengenai formulasi tariff yang diatur pada Lampiran Perda ini. Sementara yang dikecualikan dari retribusi adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut. Perda ini juga mengatur mengenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang bayar dan tagih dengan menggunakan STRD. Analisa isi Perda Dilihat dari jenis retribusi yang diatur dalam perda ini telah sesuai dengan jenis retribusi yang boleh dipungut oleh Pemerintah Propinsi, yakni sesuai dengan klasifikasi retribusi jasa usaha. Sehingga dapat dikatakan bahwa perda ini tidak bertentangan dengan peraturan 11

12 Review regulasi perundang-undangan diatasnya. Akan tetapi, setelah diperhatikan lebih mendalam, terdapat beberapa hal yang berpotensi menimbulkan permasalahan di dalam perda ini, khususnya bagi dunia usaha, yaitu: 1. Keharusan melakukan uji mutu biji kakao berpotensi menambah mata rantai perdagangan. Praktek uji mutu kakao sudah menjadi praktek umum yang dilakukan oleh pembeli biji kakao pada setiap transaksinya. Artinya kebutuhan untuk melakukan pengujian mutu kakao yang diperdagangkan ada pada pihak pembeli (pedagang atau pabrik), dan mereka sudah memiliki kemampuan dan infrastruktur untuk itu. Dalam hal ini keharusan melakukan uji mutu dilaboratorium yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) akan menambah rantai nilai perdagangan biji kakao, yang tentunya akan membuat perdagangan kakao menjadi tidak efisien. Dengan tidak efisiennya rantai nilai perdagangan kakao, akan membuat posisi petani kakao menjadi semakin lemah. Keharusan mengenai uji mutu ini juga berpotensi menghambat perdagangan karena disebutkan bahwa setiap perdagangan biji kakao baik ekspor atau antar pulau harus melalui uji mutu. Jika tidak melalui uji mutu, maka biji kakao tidak akan dapat diperjualbelikan keluar Sulawesi Tengah. 2. Ketidakjelasan mekanisme pelayanan pengujian mutu di laboratorium Pemprov. Di dalam Perda ini tidak disebutkan tentang mekanisme pelaksanaan uji mutu tersebut. Bagaimana melakukan uji mutu, institusi apa yang menangani, apa yang harus disiapkan, dan apa hasil dari uji mutu yang dilakukan. Seharusnya, dengan penetapan tariff retribusi, disebutkan juga secara jelas dan nyata apa saja yang di dapat oleh wajib pajak, termasuk hasil uji mutu. 3. Terdapat ketidakjelasan dalam hal klasifikasi jenis barang yang dikenakan retribusi. Untuk uji laboratorium, biasanya yang diujikan adalah sejumlah sampel dari komoditas. Dalam perda ini tidak disebutkan secara eksplisit mengenai banyaknya barang yang akan diuji, apakah keseluruhan atau hanya sampel saja. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan celah penyimpangan dalam pelaksanaannya, karena dapat terjadi seharusnya yang diujikan hanya sampel, tapi ternyata pada prakteknya yang diujikan adalah seluruh volume barang yang akan diperdagangkan. 4. Tidak dijelaskan dasar penentuan tariff retribusi sebesar Rp. 100/kg. Seharusnya tarif retribusi berdasarkan penggunaan alat pengujian dan material apa yang digunakan dalam uji mutu tersebut. Dalam perda ini disebutkan adanya sertifikasi mutu, namun tidak dijelaskan apakah biaya retribusi mencakup sertifikasi dari uji mutu atau tidak. Perda juga tidak menyebukan kegunaan dari sertifikasi dan seperti apa bentuknya. Meskipun tujuannya adalah untuk menjamin kualitas biji kakao, namun sertifikasi tersebut membuka peluang bagi adanya pungutan diluar ketentuan. 5. Penetapan retribusi sebesar Rp. 100/kg untuk biji kakao berpotensi memberatkan pelaku usaha kakao. Besaran retribusi ini memang terlihat kecil, namun jika dikalikan dengan volume yang besar, tentunya akan berdampak pada nilai keseluruhan. Contoh: Jika pedagang pengepul atau petani ingin melakukan penjualan beberapa ton biji kakao, dengan adanya pungutan, untuk setiap per ton biji kakao perlu mengeluarkan biaya sampai Rp /ton. Angka ini tentu akan membengkak jika penjualan biji kakao yang dilakukan volumenya diatas 1 ton. Dengan tambahan biaya ini, ada kemungkinan beban retribusi ini akan dialihkan kepada petani, mengingat posisi tawar petani yang masih lemah pada rantai perdagangan kakao. 6. Tidak ada batasan atau jangka waktu terhadap uji mutu. Jika uji mutu ini dikenakan setiap kali perdagangan dilakukan, maka beban yang harus ditanggung oleh petani kakao, pedagang pengepul sampai pada industri ketika melakukan perdagangan, tentu akan menjadi sangat besar. Semakin besar volume perdagangan, tentunya akan semakin memberatkan para pelaku usaha perdagangan kakao. Analisis Dampak penerapan perda Retribusi Jasa Usaha (Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah) Dari identifikasi awal terhadap potensi permasalahan yang mungkin timbul selanjutnya dilakukan suatu analisis untuk melihat dampak yang timbul dari penerapan perda tersebut. Analisis yang digunakan adalah analisis berbasis perbandingan manfaat-biaya. Sebelum masuk ke dalam analisis manfaat-biaya, terlebih dahulu diidentifikasi stakeholder yang terkena dampak langsung maupun tak langsung dari perda yang bersangkutan. Stakeholder utama dari yang menerima manfaat atupun yang akan terkena dampak dari perda tersebut, yakni antara lain: 1. Petani biji kakao, yakni sebagai pelaku utama dari sektor perkebunan kakao di Sulawesi Tengah. Petani kakao berperan dalam memproduksi dan melakukan penjualan biji kakao. 2. Pedagang pengepul kakao/industri/pedagang besar/eksportir, yakni sebagai pedagang atau pemasaran hasil biji kakao. 3. Konsumen/Industri biji kakao, yakni sebagai pengguna hasil produksi biji kakao 4. Dinas pendapatan daerah (dispenda), yang berfungsi sebagai tempat untuk penerimaan daerah 12

13 Review Regulasi 5. Dinas perkebunan dan kehutanan, yang berfungsi melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani kakao. Ukuran dampak pemberlakuan perda dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni dampak yang terukur dan tidak terukur. Untuk dampak yang terukur dihitung dalam satuan nilai mata uang, atau kerugian waktu dan sebagainya. Karena keterbatasan data pendukung, khusus untuk analisis dampak Perda retribusi ini, tidak dihitung dampak terukur yang timbul dari penerapan perda tersebut. Sedangkan dampak tidak terukur dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu kecil, sedang dan besar. Sedangkan koefisien untuk menentukan arah dari besaran dampak adalah: (+) untuk manfaat dan (-) untuk biaya/kerugian. Dalam menentukan dampak juga dirumuskan berdasarkan besaran dampak yang akan diterima oleh para stakeholder dari setiap alternatif.alternatif tindakan yang dikembangkan terhadap keberadaan perda ini ada dua yakni: 1. Tidak melakukan intervensi apapun terhadap perda yang dimplementasikan, atau tetap memberlakukan perda tersebut. 2. Tidak memberlakukan aturan tentang retribusi pemakaian kekayaan daerah khususnya uji laboratorium Kedua alternatif tersebut disusun dengan asumsi uji mutu ini sudah tersedia oleh pihak swasta. yang ditunjukan oleh tabel I dibawah ini. Ada atau tidak ada perda, pada transaksi jual beli biji kakao pihak perusahaan yang membeli akan melakukan uji mutu dari biji kakao sebagai basis untuk menentukan harga beli. Pemilihan alternatif kebijakan Dari dua penilaian dampak berdasarkan manfaat-biaya diperoleh gambaran untuk analisis masing-masing alternatif kebijakan. Untuk alternatif pertama, jika tidak dilakukan intervensi apapun terhadap perda maka Tabel 1. Analisis Biaya dan Manfaat Perda Retribusi Jasa Usaha (Perda Provinsi Sulawesi Tengah No.3 tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah) No Pemangku Kepentingan Manfaat/Kerugian Tetap memberlakukan Perda Tidak memberlakukan perda Biaya uji mutu kakao (-) Besar (+) Besar Harga biji kakao (-) Besar (+) Besar 1 Petani kakao Kepastian tarif retribusi yang dikenakan untuk uji mutu (+) Besar (+) Besar Standar mutu biji kakao (+) Besar (+) Besar Kemudahan akses laboratorium (+) Besar (+) Besar Dampak tak terukur bagi Petani Kakao (+) Besar 5 (+) Besar Biaya perawatan laboratorium uji mutu (-) Kecil (-) Kecil Ketertiban administratif (+) Besar (+) Besar 2 Dinas Pendapatan Ketersediaan data penerimaan daerah Daerah dari sektor perkebunan kakao (+) Besar (+) Besar Biaya Pungut (-) Sedang (.) Netral Laporan Penerimaan Retribusi (-) Besar (.) Netral Dampak tak terukur bagi Dinas (+) Kecil (+) Besar, (+) Sedang, (+) Kecil 3 Dinas Pertanian dan Kehutanan Tersedianya data mutu kakao (+) Besar (+) Besar Terjaminnya mutu produksi kakao (+) Besar (+) Besar Ketertiban administratif (+) Besar (+) Besar Dampak tak terukur bagi Dinas Pertanian dan Kehutanan 3 (+) Besar 3 (+) Besar Harga Kakao (-) Besar (+) Besar 4 Pedagang Pengepul Terjaminnya mutu biji kakao (+) Besar (+) Besar Dampak tak terukur bagi Pedagang Pengepul (.) Netral 2 (+) Besar 5 Industri makanan/ Harga Kakao (-) Besar (+) Besar olahan coklat Terjaminnya mutu biji kakao (+) Besar (+) Besar Dampak tak terukur bagi Industri makanan/olahan coklat (.) Netral 2 (+) Besar Total Dampak (Tidak terukur) 4 (+) Besar, (+) Kecil 13 (+) Besar, (+) Sedang, (+) Kecil 13

Laporan Penelitian #4. Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah

Laporan Penelitian #4. Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah Laporan Penelitian #4 Kerjasama Antar Daerah di Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebijakan Peningkatan Perekonomian Daerah Tim Peneliti KPPOD: Ig. Sigit Murwito Boedi Rheza Sri Mulyati Elizabeth Karlinda

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Business Enabling Environment of Cocoa Value Chain Mendorong Perbaikan Lingkungan Usaha pada Rantai Nilai Kakao

Business Enabling Environment of Cocoa Value Chain Mendorong Perbaikan Lingkungan Usaha pada Rantai Nilai Kakao Business Enabling Environment of Cocoa Value Chain Mendorong Perbaikan Lingkungan Usaha pada Rantai Nilai Kakao KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah Tentang KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi

Lebih terperinci

PASAR LELANG KOMODITAS

PASAR LELANG KOMODITAS PASAR LELANG KOMODITAS Memperpendek Mata Rantai Perdagangan trade with remarkable % 100 INDONESIA Daftar Isi 2 Kata Pengantar Pasar Lelang Komoditas 3 4 Payung Hukum Pelaksanaan Pasar Lelang Komoditas

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM FORUM FOR ECONOMIC DEVELOPMENT AND EMPLOYMENT PROMOTION DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MADIUN NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH

RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERATURAN DAERAH DAN POTENSI DAMPAKNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TENGAH. Latar Belakang Keluarnya UU No. 22 tahun 999 tentang pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

Lebih terperinci

KEBUTUHAN HIDUP LAYAK PNS DI KABUPATEN KEBUMEN

KEBUTUHAN HIDUP LAYAK PNS DI KABUPATEN KEBUMEN KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) RISET UNGGULAN DAERAH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN TAHUN 2015 KEBUTUHAN HIDUP LAYAK PNS DI KABUPATEN KEBUMEN Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini dimaksudkan untuk menjelaskan urgensi permasalahan penelitian yang diuraikan dengan sistematika (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMEBERIAN INSENTIF DAN PEMEBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KONAWE SELATAN i! DITERBITKAN OLEH BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BOYOLALI NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN ESELON PADA DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KERJA SAMA DAERAH

WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KERJA SAMA DAERAH SALINAN WALI KOTA BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA BANDUNG, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN BLITAR

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 41 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR, Menimbang : a. bahwa untuk pelaksanaan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG [- BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG P embangunan sektor Peternakan, Perikanan dan Kelautan yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Garut dalam kurun waktu tahun 2009 s/d 2013 telah memberikan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN/ATAU KEMUDAHAN KEPADA MASYARAKAT DAN/ATAU PENANAM MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang

Lebih terperinci

Rencana Strategis (RENSTRA)

Rencana Strategis (RENSTRA) Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN TAHUN 2014 Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN - 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAERAH

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAERAH BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan umum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan terbitnya Undang-undang

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 VISI Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 75 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA

Lebih terperinci

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM A. SASARAN STRATEJIK yang ditetapkan Koperasi dan UKM selama periode tahun 2005-2009 disusun berdasarkan berbagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011

BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011 BAB II GAMBARAN UMUM RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA TAHUN 2011 A. Isu Strategis Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Samarinda Tahun 2011 merupakan suatu dokumen perencanaan daerah

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN GUBERNUR MALUKU NOMOR : 21 TAHUN 2009 TENTANG KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI MALUKU GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa percepatan penurunan angka

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 1 TAHUN 2011

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 1 TAHUN 2011 SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN KOPERASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 21 PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI SEKRETARIAT DAERAH KOTA SEMARANG Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH

BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH BOKS RINGKASAN EKSEKUTIF HASIL PENELITIAN ANALISIS DAMPAK PENERAPAN ONE STOP SERVICE (OSS) TERHADAP PENINGKATAN INVESTASI DI JAWA TENGAH Sejak UU Otonomi Daerah diberlakukan tahun 1999, pemerintah daerah

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 13 TAHUN 2009 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 13 TAHUN 2009 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 13 TAHUN 2009 PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN SUMEDANG SEKRETARIAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor B A B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini bangsa Indonesia menghadapi situasi yang selalu berubah dengan cepat, tidak terduga dan saling terkait satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa dalam rangka penyusunan Rancangan APBD diperlukan penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

Kajian Regulasi PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA NO.12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU.

Kajian Regulasi PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA NO.12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU. Kajian Regulasi PERATURAN DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA NO.12 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU Kerjasama: Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Foreign and Commonwealth

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 53 TAHUN 2014 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO,

Lebih terperinci

TENTANG JASA PENILAI PUBLIK MENTERI KEUANGAN,

TENTANG JASA PENILAI PUBLIK MENTERI KEUANGAN, SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 125/PMK.01/2008 TENTANG JASA PENILAI PUBLIK MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan tujuan Pemerintah dalam rangka mendukung perekonomian yang sehat

Lebih terperinci

- 3 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO. dan BUPATI MOJOKERTO MEMUTUSKAN :

- 3 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO. dan BUPATI MOJOKERTO MEMUTUSKAN : PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa Penanaman Modal

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 63 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta; PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 74 TAHUN 2009 TENTANG MEKANISME KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok Program Pengembangan Otonomi Daerah pada tahun 2004, yaitu

Lebih terperinci

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga

2017, No.9 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebaga LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.9, 2017 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Sarana. Prasarana. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6016) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2011 NOMOR 18 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS POKOK, FUNGSI DAN URAIAN TUGAS, SERTA TATA KERJA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU KABUPATEN

Lebih terperinci

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan

Menimbang: a. bahwa Koperasi dan Usaha Kecil memiliki peran dan GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BEUTUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN

Lebih terperinci

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN (disempurnakan) PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH DAERAH DENGAN BADAN USAHA SWASTA DALAM PENGELOLAAN POTENSI DAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa Usaha Mikro,

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara atau wilayah di berbagai belahan dunia pasti melakukan kegiatan pembangunan ekonomi, dimana kegiatan pembangunan tersebut bertujuan untuk mencapai social

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN USAHA MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017 BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 37 TAHUN 2015 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU Menimbang DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Oleh : Benny Rachman Amar K. Zakaria

Lebih terperinci

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN

OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN OSWAR MUNGKASA DIREKTUR TATA RUANG DAN PERTANAHAN Disampaikan dalam Sosialisasi Perpres No. 13 Tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera Padang, 16 April 2014 OUTLINE Definisi, Peran dan Fungsi RTR Pulau Sumatera

Lebih terperinci

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 1 TAHUN RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN ABSTRAKSI : bahwa dalam rangka menata dan mengendalikan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, perlu dilakukan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH

Lebih terperinci

RINGKASAN SUBSTANSI PERUBAHAN UU 32/2004 BIDANG KEUANGAN DAN ASET DAERAH ISU-ISU/BAB UU 32/2004 USULAN DRAFT REVISI

RINGKASAN SUBSTANSI PERUBAHAN UU 32/2004 BIDANG KEUANGAN DAN ASET DAERAH ISU-ISU/BAB UU 32/2004 USULAN DRAFT REVISI RINGKASAN SUBSTANSI PERUBAHAN UU 32/2004 BIDANG KEUANGAN DAN ASET DAERAH ISU-ISU/BAB UU 32/2004 USULAN DRAFT REVISI 7. Keuangan Daerah Pasal 160 Ayat (1) : Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud...bersumber

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 5 TAHUN 2011 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN RETRIBUSI TEMPAT PELELANGAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 57 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENATAAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci