ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC
|
|
- Sri Jayadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik Pusat Sains Antariksa, LAPAN ABSTRAK Makalah ini membahas ketelitian peta frekuensi kritis lapisan ionosfer (fof) regional Indonesia, yang ditentukan menggunakan metode Multiquadric. Pengujian telah dilakukan menggunakan data pengamatan di Biak, Pontianak, Kototabang, Sumedang, dan Pameungpeuk selama tahun 6-7 dan 9-, serta menggunakan data yang diturunkan dari model, sehingga diperoleh lima kesimpulan. Pertama, penerapan metode Multiquadric menggunakan data pengamatan menghasilkan peta fof yang relatif lebih teliti dibandingkan dengan menggunakan data asimilasi. Kedua, nilai fof hasil pemetaan berkorelasi linear dengan data pengamatan dan akan semakin mendekati nilai sebenarnya jika jarak antar titik rujukan terdekat juga semakin kecil. Ketiga, penerapan metode Multiquadric menggunakan data pengamatan dengan jarak antar titik rujukan terdekat kurang dari 6 km menghasilkan galat relatif hingga, dengan simpangan baku,4. Sedangkan penerapan dengan data asimilasi menghasilkan galat relatif hampir sama, namun dengan jarak antar titik rujukan terdekat kurang dari km. Keempat, ketelitian peta fof yang dihasilkan dengan metode ini dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan titik rujukan sedemikian sehingga jarak antar titik rujukan terdekat hanya beberapa ratus kilometer saja. Cara ini dapat dilakukan dengan menggunakan data asimilasi. Kelima, mengingat jarak terdekat antar stasiun pengamatan yang ada di Indonesia saat ini adalah sekitar 8 km, maka pembuatan peta fof regional Indonesia perlu dilakukan menggunakan data asimilasi. Kata kunci: frekuensi kritis, Multiquadric, asimilasi, titik rujukan, galat realtif, simpangan baku.. PENDAHULUAN Peta frekuensi kritis lapisan F ionosfer (fof) merupakan salah satu bentuk kemasan informasi kondisi lapisan tersebut di suatu wilayah. Dengan peta dapat diberikan gambaran tentang kondisi lapisan ionosfer, baik yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Informasi ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan mitigasi dampak dinamika
2 ionosfer terhadap komunikasi terestrial, komunikasi satelit, dan sistem navigasi berbasis satelit. Mitigasi dimaksudkan sebagai upaya meminimalkan kemungkinan kegagalan komunikasi dan navigasi akibat perubahan lapisan ionosfer. Pada dasarnya, proses pembuatan suatu peta fof memerlukan informasi nilai parameter tersebut untuk setiap titik dalam wilayah yang akan dipetakan. Terdapat dua cara mendapatkan nilai fof di semua titik dalam peta. Pertama, nilai fof diperoleh dengan cara menjalankan suatu model ionosfer untuk setiap titik dalam cakupan peta yang dibuat. Model yang dapat digunakan misalnya Model Sederhana Ionosfer Lintang Rendah Indonesia (MSILRI) yang telah dikembangkan oleh Muslim et al., (7), atau menggunakan model NeQuick, model IRI (International Reference Ionosphere) (Bilitza, ), ataupun model semi empiris IPS (Fox dan McNamara, 986). Hasil yang diperoleh merupakan peta fof berdasarkan model. Kedua, nilai fof diperoleh dari pengamatan di beberapa titik rujukan dan kemudian nilai untuk titik-titik lainnya dihitung menggunakan metode tertentu. Salah satu metode pemetaan cara kedua adalah Multiquadric. Dengan dua cara tersebut kendala karena kesulitan pengamatan akibat kondisi daerah yang sulit atau kendala pembiayaan yang mahal, dapat diatasi. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan lautan dan hutan belantara yang sulit dijangkau, sehingga pengamatan lapisan ionosfer di lokasi tersebut sulit dilakukan. Akibatnya terdapat banyak lokasi yang tidak dapat diperoleh data ionosfernya. Selain itu, wilayah nusantara yang luas memerlukan cukup banyak stasiun pengamatan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu cara untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan pendekatan menggunakan peta. Multiquadric adalah satu metode untuk membuat peta parameter kerapatan elektron atau frekuensi lapisan ionosfer, misalnya frekuensi kritisnya (fof). Peta fof dan parameter lainnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan praktis, misalnya untuk evaluasi kanal frekuensi komunikasi jarak dekat (NVIS, Near Vertical Incidence Sounding), untuk menentukan lokasi suatu stasiun radio dalam direction finding ataupun surveillance. Dengan penurunan menggunakan persamaan fisis atau empiris, peta fof dapat digunakan untuk menurunkan nilai TEC (Total Electron Content) di lokasi yang tidak teramati oleh perangkat resiver GPS (Global Positioning System). Pembahasan tentang penerapan metoda Multiquadric untuk pemetaan fof regional Indonesia telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa metode ini mampu menunjukkan variasi fof secara temporal dan spasial dengan baik (Jiyo, ). Namun demikian, pengujian dengan menggunakan data hasil pengamatan belum dilakukan. Dengan tersedianya data hasil pengamatan di Biak, Pontianak, Kototabang, Pameungpeuk, dan Sumedang, maka pengujian terhadap peta yang dihasilkan dengan metoda ini dapat dilakukan.
3 Tujuan dari pembahasan ini adalah menguji ketelitian metoda Multiquadric sebagai metode pemetaan fof ionosfer regional. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan konfigurasi titik rujukan yang diperlukan oleh metode Multiquadric sedemikian sehingga tingkat akurasinya memenuhi syarat. Konfigurasi diperoleh dengan menambahkan titik rujukan yang bukan stasiun pengamatan kedalam metode pemetaan. Dengan diketahuinya ketelitian metoda ini, maka penerapannya juga akan dapat memberikan tingkat ketelitian yang dapat mengoptimalkan penggunaan informasi fof dan parameter turunannya.. LANDASAN TEORI Pada awalnya metode Multiquadric dikembangkan untuk membuat pemataan topografi dari permukaan Bumi yang tidak merata (Hardy, 97). Kemudian metode ini diperluas untuk pendekatan potensial gangguan dalam riset fisika Bumi (Hardy dan Nelson, 986). Perkembangan selanjutnya, metoda ini digunakan untuk pemetaan parameter lapisan ionosfer (Teryokin dan Mikhailov, 99). Persamaan dasar dari motode ini adalah sebagai berikut : n f ci i x x y y z z b...( ) i Dengan f adalah nilai parameter ionosfer yang akan dipetakan, c i adalah koefisien yang bergantung kepada daerah pengamatan, b merupakan suatu tetapan, dan n menyatakan jumlah stasiun rujukan. Peubah x, y, dan z dirumuskan berdasarkan persamaan (-) berikut: x ro sin l cosk y ro sin l sin k...( ) z r cosk... o Dengan r o merupakan radius bumi, l adalah 9 o dikurangi derajat lintang dari titik rujukan, dan k menyatakan derajat bujur dari titik rujukan. Di daerah ekuator seperti Indonesia, nilai r o dapat didekati dengan angka 6378,388 kilometer. Syarat batas untuk koefisien c i adalah: n c i i i i. (-3) Penurunan rumus (-), (-), dan (-3) sedemikian sehingga diperoleh matriks sistem persamaan linear dan langkah penyelesainnya telah dibahas pada tulisan terdahulu (Jiyo, ). Solusi persamaan linear dimaksud adalah himpunan {c, c,..., c n } yang kemudian digunakan untuk menghitung nilai f di titik-titik lainnya. Dengan prinsip inilah metode Multiquadric digunakan untuk membuat peta.
4 3. METODOLOGI Dalam melakukan pengujian terhadap keluaran metoda Multiquadric diperlukan data fof rujukan dan pembanding atau data uji. Pengujian dilakukan dalam dua kelompok berdasarkan sumber datanya. Uji pertama dilakukan dengan menggunakan fof hasil pengamatan, baik data rujukan maupun data ujinya. Uji kedua diterapkan dengan menggunakan asimilasi data fof hasil pengamatan dan data turunan dari model. Lokasi titik-titik rujukan dan titik uji ditunjukkan pada Gambar 3-. Gambar 3-. Lokasi stasiun pengamatan dan kota yang digunakan untuk menentukan konfigurasi titik rujukan dan titik pengujian. Dari titik rujukan pada Gambar 3-, lima diantaranya merupakan stasiun pengamatan dan telah menghasilkan data fof. Kelima titik tersebut adalah Biak (-,, 36, ), Pontianak (-,3,9,33 ), Kototabang (-,3,,3 ), Sumedang (-6,9, 7,83 ), dan Pameungpeuk (- 7,6, 7,96 ). Stasiun Manado (,48, 4,8 ) dan Kupang (-,7, 3,8 ) hingga makalah ini disusun belum beroperasi karena perangkat ionosondanya masih dalam persiapan instalasi. Lima lokasi lainnya yakni Makasar (-,, 9,4 ), Ambon (-3,7, 8, ), Merauke (-8,47, 4,33 ), Sorong (-,88, 3, ), dan Manokwari (-,87, 34,8 ), bukan merupakan stasiun pengamatan ionosfer. Misalkan dari peta yang dihasilkan dengan metode Multiquadric, diperoleh nilai fof (m) untuk titik uji. Kemudian dari pengamatan di lokasi titik uji diperoleh nilai fof (o). Selanjutnya, tingkat ketelitian metode pemetaan akan dianalisis melalui galat relatif (e) yang dirumuskan sebagai berikut: e fof ( m) fof fof ( o) ( o)...(3 ) Selain menggunakan galat relatif, analisis tingkat ketelitian peta juga dilakukan dengan menggunakan persamaan linear yang menghubungkan fof (m) dengan fof (o). Misalkan hubungan linear yang diperoleh adalah fof (m) = a fof (o) dengan gradien dari persamaan
5 tersebut. Berdasarkan nilai gradien a dapat diketahui tingkat kesesuaian antara fof (m) dengan fof (o). Pada pengujian menggunakan data pengamatan, peta fof yang dibuat menggunakan metode Multiquadric dengan data fof hasil pengamatan dari 3 atau 4 stasiun rujukan (S r ), akan dibandingkan data pengamatan di stasiun uji (S u ). Lima konfigurasi S r -S u dan jarak minimumnya (d) ditunjukkan pada Tabel 3-. Jarak minimum S u -S r akan menjadi rujukan dalam membandingkan nilai e dan a antar konfigurasi titik rujukan. Secara logis, nilai e untuk konfigurasi dengan d lebih pendek akan lebih kecil pula. Artinya, nilai fof dari titik yang lebih dekat dengan titik rujukan akan lebih mendekati nilainya dari hasil pengamatan. Konfigurasi Tabel 3-. Skema pengujian menggunakan data observasi. Stasiun Rujukan (S r ) Stasiun Uji (S u ) Biak, Pontianak, Kototabang, Sumedang Pameungpeuk 84 Biak, Pontianak, Kototabang Sumedang Biak, Kototabang, Sumedang Pontianak Biak, Pontianak, Sumedang Kototabang 999 Kototabang, Pontianak, Sumedang Biak 967 Jarak d (km) Syarat data yang diperlukan untuk uji ini adalah bahwa data fof dari keempat titik rujukan dan satu titik uji haruslah tersedia. Jika tidak, maka proses pengujian tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, dilakukan seleksi terhadap data fof yang tersedia. Pengujian menggunakan data pengamatan sangat bergantung kepada keberadaan stasiun pengamatan. Faktanya baru ada stasiun pengamatan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Untuk mengatasi hal itu, maka digunakan campuran data fof hasil pengamatan dan yang diperoleh dari model. Untuk titik-titik rujukan yang belum atau tidak ada perangkat pengamatannnya, maka nilai fof ditentukan dari model ionosfer yang ada. Dalam makalah ini model yang digunakan adalah model semi empiris IPS yang terkadung dalam paket program ASAPS (Advanced Stand-Alone Prediction System). Data yang digunakan untuk pengujian cara kedua ini disebut juga data asimilasi. Konfigurasi pengujian ditunjukkan pada Tabel 3-.
6 Konfigurasi Tabel 3-. Skema pengujian dengan data asimilasi. Stasiun Rujukan (S r ) Kototabang, Pontianak, Tanjungsari, Makassar Kototabang, Pontianak, Tanjungsari, Makassar, Kupang, Manado Kototabang, Pontianak, Tanjungsari, Makassar, Kupang, Manado, Ambon, Merauke Kototabang, Pontianak, Tanjungsari, Makassar, Kupang, Manado, Ambon, Merauke, Sorong Kototabang, Pontianak, Tanjungsari, Makassar, Kupang, Manado, Ambon, Merauke, Sorong, Manokwari Stasiun Uji (S u ) Jarak d (km) Biak 899 Biak 7 Biak 98 Biak 8 Biak 4 Selanjutnya, perbedaan antara fof keluaran metoda Multiquadric dengan data pengamatan dari stasiun uji dapat dianalisis sehingga diperoleh tingkat kesalahannya. 4. PENGAMATAN DAN DATA Pengamatan lapisan ionosfer menggunakan radar HF (High Frequency) yang dikenal dengan ionosonda. Tipe ionosonda yang digunakan yaitu IPS7 di Sumedang, IPS di Pameungpeuk, FMCW di Kototabang, dan CADI di Pontianak dan Biak. Data mentah yang dihasilkan ionosonda disebut ionogram yaitu berupa grafik dengan sumbu tegak menyatakan ketinggian (km) dan sumbu mendatarnya menunjukkan frekuensi (MHz). Nilai fof diperoleh melalui proses pembacaan terhadap ionogram dengan prosedur tertentu (Pigott dan Rawer, 978) yang disebut scaling. Gambar 4-. Ionogram dan frekuensi kritis lapisan F (fof).
7 Tabel 4-. Galat relatif e dan konstanta persamaan persamaan linear hasil uji menggunakan data pengamatan. Tabel 4-. Galat relatif e dan konstanta persamaan persamaan linear hasil uji menggunakan data asimilasi. Data ionosfer yang digunakan adalah hasil pengamatan tahun 6-7 dan 9-. Pertimbangannya adalah bahwa tahun 6-7 matahari masih dalam kedaan tenang (bilangan sunspot R maksimum = ) dan tahun 9- aktivitas matahari mulai meningkat (R maksimum = 9). Selain itu, data fof sudah tersedia dalam bentuk numerik yang merupakan hasil scaling dari sebuah tim khusus. Untuk menyederhanakan proses pengolahan, maka data diseleksi berdasarkan kelengkapannya, sehingga terpilih data untuk Februari dan Maret 6; April, Oktober, November, Desember 7; September dan Desember 9; serta Januari, Maret, dan Juni ). Ionosonda mengamati lapisan ionosfer setiap menit sekali. Meskipun demikian dalam penelitian ini data fof yang digunakan untuk pengujian adalah data pengamatan jam-an. Dari proses seleksi data fof diperoleh data tahun 6-7 sejumlah 94 pasang dan tahun 9- sejumlah 33 pasang. Setelah dilakukan pembuatan peta menggunakan metode Multiquadric dan dihitung galat relatifnya, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 4-. Konfigurasi Galat relatif (e) Gradien pers. Rataan Simp. baku linear (a),,9,8,4,6,3 3,,4,9 4,6,8, 4,4,,9 Konfigurasi Galat relatif (e) Gradien pers. Rataan Simp. baku linear (a) 6,4,74,84 7,8,4,69 8,7,6,9 9,4,,6,,,4. PEMBAHASAN Dari grafik hubungan linear antara fof (m) dan fof (o) yang ditunjukkan oleh Gambar - dan Gambar - dapat diketahui bahwa semakin besar jarak d, maka gradien persamaannya semakin besar dan menjauh dari angka. Ini berarti bahwa semakin besar d, maka nilai fof
8 dari peta hasil perhitungan menggunakan metode Multiquadric semakin jauh dari data observasi. Artinya, nilai fof hasil pemetaan untuk titik yang semakin jauh dari titik atau stasiun rujukan, maka akurasinya akan semakin berkurang. Hal ini berlaku baik untuk pemataan menggunakan data pengamatan maupun menggunakan data asimilasi. Uji dengan konfigurasi - menggunakan titik rujukan Biak, Pontianak, Kototabang, dan Sumedang, serta titik uji Pameungpeuk - menghasilkan gradien a =,8 (Gambar -(b)). Nilai ini menunjukkan bahwa fof untuk Pameungpeuk hasil pemetaan dengan metode Multiquadric hampir indentik dengan fof pengamatan di tempat itu. Hal sebaliknya terjadi untuk konfigurasi. Dengan titik rujukan Kototabang, Pontianak, dan Sumedang, dihasilkan fof yang sangat jauh dari hasil pengamatan. Dengan nilai gradien a =,9 (Gambar -(a)), maka fof hasil pemetaan setara dengan kali nilai sebenarnya. Pengujian metode Multiquadric menggunakan data asimilasi juga menghasilkan hal yang hampir sama. Untuk pengujian dengan konfigurasi 6 dengan nilai d = 899 km, diperoleh nilai gradien a =,84 (Gambar -(a)). Nilai fof dari pemetaan hampir 3 kali nilai hasil pengamatannya. Kemudian pengujian dengan konfigurasi untuk nilai d = 4 km diperoleh gradien a =,4 (Gambar -(b)). Dengan konfigurasi ini nilai fof hasil pemetaan menggunakan metode Multiquadric hampir sama dengan hasil pengamatan. 8 7 Konfigurasi (d=8 km) 8 7 Konfigurasi (d=967 km) y =,9x R² =,9 6 6 fof (m) (MHz) 4 3 y =,8x R² =,8 fof (m) (MHz) fof (o) (MHz) fof (o) (MHz) (a) (b) Gambar -. Korelasi antara fof (m) hasil pemetaan menggunakan data pengamatan dengan fof (o) hasil pengamatan.
9 fof (m) (MHz) Konfigurasi 6 (d=899 km) y =,84x R² =, fof (o) (MHz) (a) fof (m) (MHz) Konfigurasi (d=4 km) y =,4x R² =, fof (o) (MHz) (b) Gambar -. Korelasi antara fof (m) hasil pemetaan menggunakan data asimilasi dengan fof (o) hasil pengamatan. Secara lengkap, pengaruh jarak (d) terhadap gradien persamaan linear yang menghubungkan fof hasil pemetaan dengan metode Multiquadric dengan data pengamatan terlihat pada Gambar -3. Baik uji menggunakan data pengamatan maupun menggunakan data asimilasi, keduanya menunjukkan bahwa semakin besar nilai d, maka terjadi kenaikan nilai a. Untuk nilai d hingga sekitar 9 km, gradien a masih cukup dekat dengan. Artinya, hingga jarak 9 km, nilai fof hasil pemetaan dengan metode Multiquadric masih cukup dekat dengan hasil pengamatan. Setelah jarak d lebih besar dari 9 km, maka gradien a sudah mulai naik menjauhi. Dengan demikian, berdasarkan grafik a pada Gambar -3 dapat diperkirakan bahwa jarak 9 km dapat digunakan sebagai jarak maksimal untuk pemetaan dengan metode ini. 6 6 Gradien (a) 4 3 Gradien (a) d (km) d (km) (a) (b) Gambar -3. Gradien persamaan linear antara fof hasil pemetaan dengan pengamatan untuk uji menggunakan data pengamatan (a) dan menggunakan data asimilasi (b). Variasi rataan galat realtif (e) terhadap perubahan d ditunjukkan oleh Gambar -4. Galat relatif hasil pengujian menggunakan data pengamatan seperti Gambar -4(a). Dari grafik ini
10 dapat diperkirakan bahwa nilai e yang masih cukup kecil (ambil,) diperoleh untuk konfigurasi dengan nilai d antara 783 km hingga 999 km. Pada jarak d = 783 km nilai e =, dan pada jarak d = 999 km nilai e =,6. Sementara itu, galat relatif untuk pengujian menggunakan data asimilasi ditunjukkan oleh Gambar -4(b). Dari grafik tersebut dapat diperkirakan nilai e yang masih relatif kecil diperoleh untuk konfigurasi 9 dengan d = 8 km dan konfigurasi 8 dengan d = 98. Pada jarak d = 8 nilai rataan galat relatifnya adalah, dan pad d = 98 nilainya,7. Berdasarkan galat relatif yang diperoleh, maka dapat diperkirakan batas maksimal jarak antara titik rujukan dengan titik dalam peta (d maks ). Untuk pemetaan dengan data pengamatan seluruhnya, maka diperoleh nilai d maks antara 783 km hingga 98 km, atau dapat diambil pendekatan nilai minimum dari selang tersebut yakni 8 km. Kemudian untuk pemetaan dengan data asimilasi, maka diperoleh nilai d maks antara 8 km hingga 98 km, atau dapat diambil hampiran minimum dari selang tersebut yaitu km. 4 Galat Relatif (e) 4 Galat Relatif (e) Rataan d (km) (a) Rataan d (km) Gambar -4. Grafik rataan galat relatif, e untuk uji menggunakan data pengamatan (a) dan data asimilasi (b). (b) Grafik pada Gambar - menunjukkan simpangan baku dari galat relatif e. Untuk konfigurasi titik rujukan pemetaan menggunakan data pengamatan yang ditunjukkan Gambar - (a), pada jarak d = 783 km simpangan bakunya,4, sehingga untuk jarak 8 km nilainya sedikit lebih tinggi namum masih lebih rendah dari,8. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar - (a). Sedangkan untuk konfigurasi titik rujukan pemetaan menggunakan data asimilasi, pada jarak d = 8 nilainya sedikit lebih rendah dari,. Hal ini diperlihatkan pada Gambar -(b).
11 Galat Relatif (e) Galat Relatif (e) Simpangan Baku d (km) (a) Simpangan baku d (km) Gambar -. Simpangan baku dari galat relatif (e) untuk uji menggunakan data pengamatan (a) dan data asimilasi (b). (b) Lebih lanjut, untuk pemetaan menggunakan data pengamatan terlihat bahwa perbedaan nilai e untuk konfigurasi dan tidak terlalu besar. Nilai e pada konfigurasi adalah,6 dan untuk konfigurasi adalah,, sehingga perbedaannya,6. Perbedaan ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan perbedaan antara konfigurasi dengan konfigurasi 4 dengan e =,6. Pada konfigurasi, jarak d = 783 km adalah jarak Pontianak-Sumedang yang menunjukkan perbedaan garis lintang dari kedua titik rujukan tersebut, karena garis bujurnya tidak berbeda jauh. Sementara jarak d = 999 km adalah jarak Pontianak-Kototabang yang merupakan perbedaan garis bujur antara keduanya, karena garis lintangnya hampir sama. Hal ini yang diduga menjadi penyebab besarnya perbedaan nilai e pada konfigurasi 4. Hal demikian semakin diperkuat oleh besarnya nilai e untuk konfigurasi. Pada konfigurasi jarak d = 967 km merupakan representasi perbedaan garis bujur antara Pontianak dengan Biak. Pemetaan fof dengan metode Multiquadric yang dibahas menggunakan rujukan waktu Indonesia Barat (UT+7). Sementara itu, agar mencakup suluruh wilayah Indonesia, maka titik lokasi rujukan yang digunakan berada di wilayah dengan waktu yang berbeda yaitu UT+7, WITA(UT+8) dan WIT(UT+9). Di sisi lain, untuk selang waktu tertentu, perbedaan nilai fof di ketiga wilayah tersebut berbeda. Karena sifat variasi harian dari fof yang bergantung terhadap waktu lokal, maka terjadilah perbedaan hasil uji konfigurasi dan. Contohnya penjelasannya, pada pemetaan fof untuk pukul 6: WIB. Pada saat yang sama di Manado dan Kupang sudah pukul 7: WITA sehingga nilia fof akan lebih tinggi dibandingkan untuk Pontianak. Demikian pula di Biak sudah pukul 8: WIT yang nilai fof-nya akan lebih tinggi dari Manado dan Kupang. Akibatnya, jika peta fof untuk pukul 6: WIB dibuat dengan titik rujukan hanya
12 Pontianak, Kototabang, dan Sumedang, maka peta fof untuk Biak akan lebih rendah dari nilai sebenarnya. Demikian pula jika titik rujukan yang digunakan hanya Biak dan Merauke. Jadi, berdasarkan analisis di atas, maka pemetaan fof ionosfer regional dapat dilakukan menggunakan metode Multiquadric dengan titik rujukan harus mencakup wilayah Barat, Tengah, dan Timur dari Indonesia. Untuk menghasilkan peta fof dengan ketelitian hingga %, maka diperlukan konfigurasi sedemikian sehingga jarak maksimum antar titik rujukan kurang dari kali d maks. Jika menggunakan data fof pengamatan, maka jarak antar titik rujukan harus lebih rendah x 8 km dan jika menggunakan fof gabungan antara data pengamatan dan data penurunan dari model, maka jarak antar titik rujukan harus lebih rendah dari x km. Syarat ini diperlukan untuk menghasilkan d < 8 km atau d < km. Apabila diinginkan peta fof dengan tingkat ketelitian lebih baik (e lebih rendah dari %), maka diperlukan titik rujukan yang lebih banyak dan lebih rapat. 6. KESIMPULAN Dari analisis dapat disimpulkan hal-hal yang terkait dengan penerapan metode Multiquadric untuk pemetaan fof regional Indonesia sebagai berikut: () Secara umum, penerapan metode Multiquadric menggunakan data pengamatan menghasilkan peta fof yang relatif lebih teliti dibandingkan menggunakan data asimilasi. Meskipun demikian, jarak antar stasiun pengamatan yang ada relatif cukup jauh sehingga peta fof yang dihasilkan dengan cara pertama bisa kurang teliti dibandingkan cara kedua. () Nilai fof hasil pemetaan berkorelasi linear dengan data pengamatan dan akan semakin mendekati nilai sebenarnya jika jarak antar titik rujukan terdekat juga semakin kecil. (3) Penerapan metode Multiquadric menggunakan data pengamatan dengan jarak antar titik rujukan terdekat kurang dari 6 km menghasilkan galat relatif hingga, dengan simpangan baku,4. Sedangkan penerapan menggunakan data gabungan antara data pengamatan dan penurunan dari model menghasilkan galat relatif hampir sama, dengan jarak antar titik rujukan terdekat kurang dari km. (4) Ketelitian peta fof yang dihasilkan dengan metode ini dapat ditingkatkan dengan cara menambahkan titik rujukan sedemikian sehingga jarak antar titik rujukan terdekat hanya beberapa ratus kilometer saja. Cara ini dapat dilakukan dengan bantuan model ionosfer yang digunakan untuk menurunkan nilai fof di titik rujukan tambahan. () Mengingat jarak terdekat antar stasiun ionosonda yang ada di Indonesia saat ini adalah sekitar 8 km (Sumedang-Pontianak), maka pembuatan peta fof regional Indonesia perlu dilakukan menggunakan data asimilasi dengan menambahkan data turunan dari model. Khususnya untuk kawasan timur Indonesia, data asimilasi harus digunakan.
13 RUJUKAN Bilitza, D.,, International Reference Ionosphere, Radio Science, Volume 36, Number, halaman 6-7 Fox, M. W. Dan L. F. McNamara, 986, Improved Empirical World Maps of fof, Technical Report IPS-TR-86-3 Hardy, R. L., 97, Multiquadric Equations of Topography and Other Irregular Surfaces, J. Geophysical Reseach, 67, halaman 9 Hardy, R. L., dan Nelson, S., 986, A Multiquadric-Biharmonic Representation and Aproximation of Disturbing Potential, Geophysical Research Letter, 3, 8 Jiyo,, Metode Multiquadric untuk Pemetaan fof Ionosfer Indonesia, Warta LAPAN, Vol., No. 4, halaman 4-8 Jiyo, Dear, V.,, Pengamatan Lapisan Ionosfer Regional Indonesia Menggunakan Radar HF, J. Elektronika dan Telekomunikasi, Vol., No., halaman Muslim, B., Asnawi, D. R. Martiningrum, A. Kurniawan, Syarifudin, 7, Model Sederhana Ionosfer Lintang Rendah Indonesia Untuk Parameter fof (MSILRI versi ), Publikasi Ilmiah LAPAN 7 Piggot, W. R., dan K. Rawer, 978, URSI HandBook of Ionogram Interpretation and Reduction, Report UAG-3A Teryokin, Y., dan Mikhailov, A., 99, A New Approach to The Ionospheric Mapping, Solar- Terrestrial Prediction-IV Proc., Vol. 3, May 8, halaman 8-67
Diterima 6 September 2012; Disetujui 15 November 2012 ABSTRACT
Analisis Ketelitian Metode Multiquadratic... (Jiyo dan Ednofri) ANALISA KETELITIAN PEMETAAN MULTIQUADRATIC UNTUK FREKUENSI KRITIS IONOSFER REGIONAL [ANALYSIS ACCURACY OF MULTIQUADRATIC METHOD FOR MAPPING
Lebih terperinciMETODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW
Metode Pembacaan Data Ionosfer Hasil Pengamatan Menggunakan... (Jiyo) METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN
Lebih terperinciPENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF
PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN e-mail : Varuliant@bdg.lapan.go.id RINGKASAN
Lebih terperinciJiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT
Kemampuan Pantul Lapisan Ionosfer di atas Manado...(Jiyo) KEMAMPUAN PANTUL LAPISAN IONOSFER DI ATAS MANADO BERDASARKAN RENTANG FREKUENSI MINIMUM-MAKSIMUM (REFLECTIVE ABILITY OF THE IONOSPHERE OVER MANADO
Lebih terperinciKAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS
Kajian Hasil Uji Prediksi Frekuensi HF pada Sirkit Komunikasi... (Jiyo) KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,
Lebih terperinciVaruliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN
Berita Dirgantara Vol. 13 No. 1 Maret 2012:28-37 TELAAH PERBANDINGAN HASIL UJI KOMUNIKASI MENGGUNAKAN SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) DENGAN DATA IONOSONDA TANJUNGSARI UNTUK SIRKUIT KOMUNIKASI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Selain pendataan korban, komunikasi merupakan satu masalah utama dalam menghadapi bencana (Kompas, 9 November 2009). Oleh karenanya komunikasi pada saat menghadapi bencana
Lebih terperinciTELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. No. Juni 009 : 0- TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN REKUENSI, DAN 15, PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK J i y o Peneliti
Lebih terperinciRISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN
Riset Ionosfer Regional Indonesia dan Pengaruhnya.....(Jiyo) RISET IONOSFER REGIONAL INDONESIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM KOMUNIKASI DAN NAVIGASI MODERN Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik,
Lebih terperinciPREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI HF TINGKAT PROVINSI DI INDONESIA SELAMA AWAL SIKLUS MATAHARI MINIMUM 25
PREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI HF TINGKAT PROVINSI DI INDONESIA SELAMA AWAL SIKLUS MATAHARI MINIMUM 25 Annis Siradj Mardiani, Buldan Muslim Pusat Sains Antariksa, LAPAN annis.siradj@lapan.go.id, mbuldan@gmail.com
Lebih terperinciPENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL
Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit...(Varuliantor Dear) PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL Varuliantor
Lebih terperinciPROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK
Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN
Lebih terperinciLAPISAN E IONOSFER INDONESIA
LAPISAN E IONOSFER INDONESIA Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN Karakteristik lapisan ionosfer, baik variasi harian, musiman, maupun variasi yang berkaitan dengan
Lebih terperinciSri Suhartini *)1, Irvan Fajar Syidik *), Annis Mardiani **), Dadang Nurmali **) ABSTRACT
Frekuensi Kritis Lapisan F2 di atas...(sri Suhartini et al.) FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 DI ATAS KUPANG: PERBANDINGAN DATA DENGAN MODEL THE INTERNATIONAL REFERENCE IONOSPHERE (IRI) (KUPANG F2 LAYER CRITICAL
Lebih terperinciDiterima 6 Maret 2015; Direvisi 18 Maret 2015; Disetujui 17 April 2015 ABSTRACT
Perbandingan fof2 Keluaran MSILRI... (Sri Suhartini et al.) PERBANDINGAN fof2 KELUARAN MSILRI DENGAN DATA OBSERVASI DI BIAK, MODEL IRI DAN ASAPS [THE COMPARISON OF fof2 OUTPUT OF MSILRI TO BIAK OBSERVATION
Lebih terperinciPENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL
PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL Varuliantor Dear Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Pusat Sains Antariksa,
Lebih terperinciMANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 3 September 2011:110-117 MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER Jiyo, Sri Suhartini, Varuliantor Dear
Lebih terperinciKAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI
Berita Dirgantara Vol. 12 No. 2 Juni 2011: 60-67 KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data sekunder yang diperoleh dari hasil akuisisi data yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan
Lebih terperinciANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU
Analisis Propagasi Gelombang Radio HF dan Radius Daerah Bisu (Jiyo) ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN ABSTRACT In this
Lebih terperinciIMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN
IMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi e-mail : varuliant@yahoo.com RINGKASAN
Lebih terperinciPEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS
PEMODELAN DAN VALIDASI HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KRITIS LAPISAN F2 IONOSFER (fof2) DENGAN TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DARI DATA IONOSONDA DAN GPS Buldan Muslim Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciDAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 8 No. Juni :-9 DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)
Lebih terperinciAnalisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf
Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf Sutoyo 1, Andi Putra 2 1 Dosen Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU 2 Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU Jl HR Soebrantas KM
Lebih terperinciSkripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI
ANALISIS KORELASI SPREAD F IONOSFER DENGAN GEMPA DI SUMATERA BARAT ( STUDI KASUS GEMPA SOLOK TANGGAL 6 MARET 2007 DAN GEMPA PADANG PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009) Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Lebih terperinciPENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 7 No. 1 Maret 2012 :38-46 38 PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T ) Sri Suhartini, Septi Perwitasari, Dadang Nurmali
Lebih terperinciJiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT
Analisis Propagasi Gelombang Radio pada Sirkit Komunikasi...(Jiyo) ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO PADA SIRKIT KOMUNIKASI DISTRIK PAMEUNGPEUK-BANDUNG DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI LAPISAN IONOSFER
Lebih terperinciANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007
ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007 Dwi Pujiastuti 1, Sumi Daniati 1, Badrul Mustafa 2, Ednofri 3 1 Laboratorium Fisika Bumi Jurusan Fisika Universita Andalas 2 Jurusan Teknik
Lebih terperinciANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX]
Analisis Kompatibilitas Indeks Ionosfer Regional... (Sri Suhartini) ANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX] Sri Suhartini Peneliti Bidang
Lebih terperinciKAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE
KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE Varuliantor Dear Peneliti Ionosfer dan Telekomunikasi e-mail : varuliant@yahoo.com
Lebih terperinciRESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN
Lebih terperinciPERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010 : 40-53 PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN
Lebih terperinciSri Suhartini 1, Irvan Fajar Syidik, Slamet Syamsudin Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 15 Februari 2014; Disetujui 17 April 2014
Karakteristik Indeks Ionosfer (Indeks_T)....(Sri Suhartini et al.) KARAKTERISTIK INDEKS IONOSFER (INDEKS_T) JAM-AN DAN BULANAN SUMEDANG DAN BIAK [SUMEDANG AND BIAK HOURLY AND MONTHLY IONOSPHERIC INDEX
Lebih terperinciLAPISAN E SPORADIS DI ATAS TANJUNGSARI
LAPISAN E SPORADIS DI ATAS TANJUNGSARI Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi LAPAN RINGKASAN Pengamatan ionosfer di Stasiun Pengamat Dirgantara LAPAN Tanjungsari - Sumedang (6,5 LS,
Lebih terperinciPEMANFAATAN DOSBox UNTUK MENDUKUNG SCALING DATA IONOSFER
PEMANFAATAN DOSBox UNTUK MENDUKUNG SCALING DATA IONOSFER Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN e-mail: varuliant@yahoo.com RINGKASAN Pemanfaatan DOSBox untuk proses penampilan
Lebih terperinciPENENTUAN INDEKS AKTIV1TAS MATAHARI EKSTRIM HARIAN
PENENTUAN INDEKS AKTIV1TAS MATAHARI EKSTRIM HARIAN Jiyo dan Sri Suhartinl Penslltl Bldang Ionosfer dan Tetekomunlkasl, LAPAN ABSTRACT In this paper we discuss a method to determined extreme solar activity
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terkait Varuliantor Dear (2012) dengan judul Jaringan Stasiun ALE LAPAN Untuk Mendukung Komunikasi Darurat Di Indonesia dengan perangkat komunikasi data digital menggunakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu. Menurut Sri Suhartini Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi LAPAN tentang Komunikasi Radio HF untuk Dinas Bergerak disampaikan bahwa: komunikasi
Lebih terperinciKAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI
Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:86-91 KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,
Lebih terperinciManajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau
Manajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau Sutoyo 1, Rika Susanti 2, Vici Novia Vendlan 3 Dosen Jurusan Teknik Elektro UIN SUSKA RIAU 1,2 Mahasiswa Jurusan Teknik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kelancaran berkomunikasi radio sangat ditentukan oleh keadaan lapisan E
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelancaran berkomunikasi radio sangat ditentukan oleh keadaan lapisan E sporadis yang merupakan bagian dari lapisan ionosfer. Untuk mengetahui keadaan lapisan E sporadis
Lebih terperinciSTUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO
STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO AnwAr Santoso Peneliti Bidang Aplihasi Geomagnet dan Magnet Antariksa, LAPAN ABSTRACT Phenomena of ionospherics irregularities such as process
Lebih terperinciKOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 6 No. 1 Maret 2011 : 12-17 KOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT Sri Suhartini Peneliti Bidang Ionosfer dan telekomunikasi, LAPAN email : sri_s@bdg.lapan.go.id
Lebih terperinciPREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH
PREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH Indah Kurniawati 1*, Irwan Syahrir 2 1 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas
Lebih terperinciANALISIS KARAKTERISTIK FREKUENSI KRITIS (fof2), KETINGGIAN SEMU (h F) DAN SPREAD F LAPISAN IONOSFER PADA KEJADIAN GEMPA PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009
ANALISIS KARAKTERISTIK FREKUENSI KRITIS (fof2), KETINGGIAN SEMU (h F) DAN SPREAD F LAPISAN IONOSFER PADA KEJADIAN GEMPA PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009 ANALYSIS OF IONOSPHER S F-LAYER CRITICAL (fof2), F LAYER
Lebih terperinciKEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF
Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. No. 3 September 2009 : 11-122 KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,
Lebih terperinciUNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA
SISTEM (ALE) UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN email: varuliant@yahoo.com RINGKASAN Sistem Automatic Link Establishment
Lebih terperinciPERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF
PERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF I Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN t i RINGKASAN Komunikasi radio HF (3-30 MHz) dapat mencapai jarak jauh dengan bantuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Matahari mengalami perubahan secara periodik dalam skala waktu pendek dan skala waktu panjang (misalnya siklus Matahari 11 tahunan). Aktivitas dari Matahari
Lebih terperinciSISTEM PENGOLAH PREDIKSI PARAMETER KOMUNIKASI RADIO
Sistem Pengolah Prediksi Parameter Komunikasi Radio (Jiyo) SISTEM PENGOLAH PREDIKSI PARAMETER KOMUNIKASI RADIO Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN Email : jiyo@bdg.lapan.go.id; jiyolpnbdg@yahoo.com
Lebih terperinciVARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F
Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F Mumen Tarigan
Lebih terperinciVaruliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT
Implementasi Software Filter Teks untuk...(varuliantor Dear) IMPLEMENTASI SOFTWARE FILTER TEKS UNTUK MENGOLAH DATA PROPAGASI GELOMBANG RADIO DARI JARINGAN STASIUN AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (IMPLENTETATION
Lebih terperinciLAPISAN E SPORADIS IONOSFER GLOBAL DARI TEKNIK GPS-RO
Lapisan E Sporadis Ionosfer Global dari...(sri Ekawati et al.) LAPISAN E SPORADIS IONOSFER GLOBAL DARI TEKNIK GPS-RO Sri Ekawati, Dyah. R. Martiningrum, N. Ristanti dan D. Marlia Peneliti Bidang Ionosfer
Lebih terperinciProsiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id
Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//www.lapan.go.id ANALISIS EFEK FENOMENA EQUINOKS TERHADAP KOMUNIKASI ALE PADA DAERAH EQUATOR (THE ANALYSIS EFFECTS EQUINOX PHENOMENON WITH COMMUNICATION
Lebih terperinciFREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Sri Suhartini, Jiyo, Nina Kristin Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN srilpnbdg@yahoo.com ABSTRACT
Lebih terperinciIDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN
IDENTIFIKASI MODEL FLUKTUASI INDEKS K HARIAN MENGGUNAKAN MODEL ARIMA (2.0.1) Habirun Peneliti Pusat Pemanlaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT The geomagnetic disturbance level called geomagnetic index.
Lebih terperinciVARIASI LAPISAN E DAN F IONOSFER DI ATAS KOTOTABANG
VARIASI LAPISAN E DAN F IONOSFER DI ATAS KOTOTABANG Ednofri *), Sri Suhartini **) Ednofri_lapan@yahoo.com *) Peneliti Stasiun Pengamat Dirgantara, LAPAN **) Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam bab ini menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk menyelesaikan penelitian dengan menganalisis fonomena ionosfer berdasarkan pengolahan dari data ALE. Oleh karena
Lebih terperinciTELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG
TELAAH INDEKS K GEOMAGNET DI BIAK DAN TANGERANG Sity Rachyany, Habirun, Eddy Indra dan Anwar Santoso Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa LAPAN ABSTRACT By processing and analyzing the K index data
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Desain Penelitian 3.1.1 Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus mempergunakan data semburan radio Matahari tipe II yang
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terkait Penelitian oleh Suyanto dengan judul Analisa Frekuensi kerja Pada Komunikasi Radio HF Model Propagasi Near Vertical Incidence Skywave (Nvis) Sirkuit Pekanbaru-Kototabang
Lebih terperinciPEMANFAATAN PREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK MANAJEMEN FREKUENSI
PEMANFAATAN PREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK MANAJEMEN FREKUENSI Sri Suhartlni Penetiti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN Ketergantungan penggunaan frekuensi HF (High Frequency
Lebih terperinciNEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA
Integrasi Perangkat Monitoring Ionosfer Near (Varuliantor Dear) INTEGRASI PERANGKAT MONITORING IONOSFER NEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA Varuliantor Dear Peneliti Bidang
Lebih terperinciFREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF Di LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF Di LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Sri Suhartinii, Jiyo, Nina Kristini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunlkasi, LAPAN srilpnbdg@yahoo.com RINGKASAN
Lebih terperinciKETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA.
KETERKAITAN AKTIVITAS MATAHARI DENGAN VARIABILITAS IONOSFER DAN DAMPAKNYA PADA KOMUNIKASI RADIO DAN NAVIGASI BERBASIS SATELIT DI INDONESIA. Wilson Sinambela 1, Tiar Dani 1, Iyus Edy Rustandi 1, Jalu Tejo
Lebih terperinciBuldan Muslim Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT
Histeresis Ionosfer Selama Siklus Matahari ke 23...(Buldan Muslim) HISTERESIS IONOSFER SELAMA SIKLUS MATAHARI KE 23 DARI GLOBAL IONOSPHERIC MAP [IONOSPHERIC HYSTERESIS DURING SOLAR CYCLE 23 FROM GLOBAL
Lebih terperinciJurnal Fisika Unand Vol. 2, No. 4, Oktober 2013 ISSN
ANALISIS ANOMALI KETINGGIAN SEMU LAPISAN F IONOSFER (h F) SEBAGAI PREKURSOR TERJADINYA GEMPA LAUT (Studi kasus terhadap 2 sampel gempa laut di Sumatera Barat) Rika Desrina Saragih 1, Dwi Pujiastuti 1,
Lebih terperinciKOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F
KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi Radio, LAPAN e-mail : varuliant@yahoo.com RINGKASAN Pada makalah
Lebih terperinciPENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM
Jurnal Fisika Vol. 3 No. 1, Mei 2013 63 PENGARUH BADAI MATAHARI OKTOBER 2003 PADA IONOSFER DARI TEC GIM Buldan Muslim 1,* Pusat Sains Antariksa Deputi Bidang Pengakajian, Sains dan Informasi Kedirgantaraan,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terkait Penelitian mengenai pengamatan lapisan ionosfer terhadap komunikasi radio HF sebelumnya telah dilakukan beberapa peneliti dari Indonesia. Di antara penelitian
Lebih terperinciVaruliantor Dear 1 dan Gatot Wikantho Peneliti Pusat Sains Antariksa, Lapan. Diterima 8 Maret 2014; Disetujui 14 Juni 2014 ABSTRACT
Analisis Indeks Kualitas...(Varuliantor Dear dan Gatot Wikantho) ANALISIS INDEKS KUALITAS SINYAL PADA MANAJEMEN FREKUENSI BERBASIS DATA AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) [ANALYSIS OF SIGNAL QUALITY INDEX
Lebih terperinciANALISIS MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERDASARKAN POSISI MATAHARI
ANALISIS MOEL VARIASI ARIAN KOMPONEN GEOMAGNET BERASARKAN POSISI MATAARI T-15 abirun Bidang Aplikasi Geomagnet an Magnet Antariksa Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl. r. Junjunan No. 133 Bandung
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Komunikasi Radio HF Sistem komunikasi radio adalah suatu teknologi komunikasi yang mentransmisikan gelombang elektromagnetik sebagai sinyal pembawa yang dilewatkan melalui
Lebih terperinciKEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET
KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DI ATAS PONTIANAK TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI DAN BADAI GEOMAGNET Sri Ekawati 1), Asnawi 1), Suratno 2) 1) Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN
Lebih terperinciANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP
ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP Oleh : Syafril Ramadhon ABSTRAK Metode Real Time Point Precise Positioning (RT-PPP) merupakan teknologi
Lebih terperinciPENENTUAN FREKUENSI MAKSIMUM KOMUNIKASI RADIO DAN SUDUT ELEVASI ANTENA
Penentuan Frekuensi Maksimum Komunikasi Raio an Suut..(Jiyo) PENENTUAN FREKUENSI MAKSIMUM KOMUNIKASI RADIO DAN SUDUT ELEVASI ANTENA J i y o Peneliti iang Ionosfer an Telekomunikasi, LAPAN ASTRACT In this
Lebih terperinciANALISIS PERBANDINGAN ANOMALI FREKUENSI KRITIS LAPISAN E S DAN F 2 IONOSFIR YANG MERUPAKAN PREKURSOR GEMPA ACEH PADA TANGGAL 07 APRIL 2010
ANALISIS PERBANDINGAN ANOMALI FREKUENSI KRITIS LAPISAN E S DAN F 2 IONOSFIR YANG MERUPAKAN PREKURSOR GEMPA ACEH PADA TANGGAL 07 APRIL 2010 Desi Indriani 1, Dwi Pujiastuti 1, Ednofri 2 1 Jurusan Fisika,
Lebih terperinciANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER
Analisis Asosiasi Semburan Radio Matahari...(Suratno et al.) ANALISIS ASOSIASI SEMBURAN RADIO MATAHARI TIPE III DENGAN FLARE SINAR-X DAN FREKUENSI MINIMUM IONOSFER Suratno *) dan Sri Suhartini **) *) Peneliti
Lebih terperincigelombang tersebut dari pemancar ke penerima yang berdampak pada penurunan kualitas sinyal dalam sistem telekomunikasi (Yeo dkk., 2001).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perambatan gelombang elektromagnetik dalam suatu medium akan mengalami pelemahan energi akibat proses hamburan dan penyerapan oleh partikel di dalam medium tersebut.
Lebih terperinciMODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER
MODEL VARIASI HARIAN KOMPONEN H JANGKA PENDEK BERDASARKAN DAMPAK GANGGUAN REGULER Habirun Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) email: h a b i r u n @ b d
Lebih terperinciPENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG
PENENTUAN POLA HARI TENANG UNTUK MENDAPATKAN TINGKAT GANGGUAN GEOMAGNET DI TANGERANG Hablrun, Sity Rachyany, Anwar Santoso, Visca Wellyanita Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Geomagnetic
Lebih terperinciLAPISAN F3 Dl IONOSFER LINTANG RENDAH
LAPISAN F3 Dl IONOSFER LINTANG RENDAH Sri Suhartinl PenelH Biding lonosfer dan Telekomunlkasi Pusfatsalnsa, LAPAN ABSTRACT Calculations using the Sheffield University plasmasphere ionosphere model (SUPIM)
Lebih terperinciSTUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF
Berita Dirgantara Vol. 11 No. 3 September 2010:80-86 STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF Prayitno Abadi Peneliti Bidang Ionosfer dan
Lebih terperinciOPTIMALISASI PENGAMATAN DATA UJI KOMUNIKASI RADIO DENGAN MEMANFAATKAN PERANGKAT LUNAK PrintKey 2000
Optimalisasi Pengamatan Data Uji Komunikasi Radio...(Deden R.H. et al.) OPTIMALISASI PENGAMATAN DATA UJI KOMUNIKASI RADIO DENGAN MEMANFAATKAN PERANGKAT LUNAK PrintKey 2000 Deden R. H., Varuliantor Dear
Lebih terperinciSTUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT
STUDI KORELASI STATISTIK INDEKS K GEOMAGNET REGIONAL MENGGUNAKAN DISTRIBUSI GAUSS BERSYARAT Habirun dan Sity Rachyany Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN ABSTRACT Statistical study on correlation
Lebih terperinciBuldan Muslim Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT
DETEKSI EFEK FLARE SINAR-X PADA IONOSFER DARI DATA TOTAL ELECTRON CONTENT YANG DITURUNKAN DARI PENGAMATAN GPS (DETECTION X-RAY FLARE EFFECT ON IONOSPHERE FROM TOTAL ELECTRON CONTENT DATA DERIVED FROM GPS
Lebih terperinciVARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER
Prosiding SNaPP1 : Sains, Teknologi, dan Kesehatan ISSN 9-35 VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER 1 Mumen Tarigan 1 Peneliti Bidang Teknologi Pengamatan, Pussainsa LAPAN Jl. DR. Junjunan No.
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bab ini akan menjelaskan langkah-langkah ataupun tahapan yang dilakukan dalam penelitian. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan kegiatan dan prosedur yang digunakan
Lebih terperinciDatum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus
Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus 31/03/2015 8:34 Susunan Lapisan Bumi Inside eartth Datum geodetik atau referensi permukaan atau georeferensi adalah parameter sebagai acuan untuk mendefinisikan
Lebih terperinciB A B IV HASIL DAN ANALISIS
B A B IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Output Sistem Setelah sistem ini dinyalakan, maka sistem ini akan terus menerus bekerja secara otomatis untuk mendapatkan hasil berupa karakteristik dari lapisan troposfer
Lebih terperinciMODEL SPASIAL SUDUT ZENITH MATAHARI PADA LAPISAN F IONOSFER
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 010 hal. -6 MODEL SPASIAL SUDUT ZENITH MATAHARI PADA LAPISAN F IONOSFER Slamet Syamsudin Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN Jl.
Lebih terperinciKOMUNIKASI RADIO HF UNTUK DINAS BERGERAK
KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK DINAS BERGERAK Sri Suhartini Peneliti Bidang lonosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN Komunikasi radio yang dilakukan oleh instansi-instansi pengguna bukan hanya antara dua
Lebih terperinciMETODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24
METODE NON-LINIER FITTING UNTUK PRAKIRAAN SIKLUS MATAHARI KE-24 Johan Muhamad Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, LAPAN E-mail: johan_m@bdg.lapan.go.id ABSTRACT A Non-linear Fitting method was
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terkait Penelitian yang terkait dengan tugas akhir ini sebelumnya telah dilakukan beberapa peneliti dari Indonesia. Di antara penelitian yang dilakukan yaitu: 1.
Lebih terperinciDIRGANTARA VOL. 10 NO. 3 SEPTEMBER 2009 ISSN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo
VOL. 10 NO. 3 SEPTEMBER 2009 ISSN 1411-8920 PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo SAMPAH ANTARIKSA MASALAH DI MASA KINI DAN ESOK Errya Satrya PENGARUH
Lebih terperinciJiyo Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung Indonesia
Analisis Kemampuan Sistem Pintar ESIR-CADI...(Jiyo) ANALISIS KEMAMPUAN SISTEM PINTAR ESIR-CADI UNTUK MENDUKUNG RISET DAN LAYANAN INFORMASI IONOSFER (ANALYSIS OF THE ESIR-CADI SMART SYSTEM TO SUPPORT THE
Lebih terperinciSri Ekawati* Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional *
Respon TEC Ionosfer... (Sri Ekawati) RESPON TEC IONOSFER DI ATAS BANDUNG DAN MANADO TERKAIT FLARE SINAR-X MATAHARI KELAS M5.1 DAN M7.9 TAHUN 2015 (IONOSPHERIC TEC RESPONSE OVER BANDUNG DAN MANADO ASSOCIATED
Lebih terperinciBADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA
Badai Matahari dan Pengaruhnya pada Ionosfer...(Clara Y.Yatini et al.) BADAI MATAHARI DAN PENGARUHNYA PADA IONOSFER DAN GEOMAGNET DI INDONESIA Clara Y. Yatini, Jiyo, Mamat Ruhimat Peneliti Pusat Pemanfaatan
Lebih terperinciPENGAMATAN KUAT SINYAL RADIO MENGGUNAKAN S METER LITE
Pengamatan Kuat Sinyal Radio Menggunakan... (Varuliantor Dear) PENGAMATAN KUAT SINYAL RADIO MENGGUNAKAN S METER LITE Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN e-mail : varuliant@yahoo.com
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada saat ini pengguna informasi cuaca jangka pendek menuntut untuk memperoleh informasi cuaca secara cepat dan tepat. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BKMG) telah
Lebih terperinci