BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS YANG SETORAN MODALNYA BERASAL DARI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS YANG SETORAN MODALNYA BERASAL DARI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG"

Transkripsi

1 48 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS YANG SETORAN MODALNYA BERASAL DARI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 3.1 Perlindungan Preventif Persoran Terbatas Didalam pendirian PT para pihak harus melakukan perjanjian dihadapan Notaris, dan kemudian akan dituangkan dalam akta pendirian. Para pihak melakukan perjanjian berarti para pihak telah melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum dapat dibedakan menjadi perbuatan hukum tunggal atau sepihak dan perbuatan hukum berganda. Perbuatan hukum tunggal atau sepihak adalah perbuatan yang sudah selesai dan memililki akibat hukum dengan 1 (satu) tindakan sepihak oleh 1 (satu) subyek hukum tanpa membutuhkan persetujuan dari subyek hukum yang lain, misalnya wasiat dan hibah. Perbuatan hukum bersama adalah perbuatan yang membutuhkan keterlibatan lebih dari 1 (satu) subyek hukum untuk dapat dikatakan selesai sebagai perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. 87 Gesamtakt atau tindakan bersama adalah kesepakatan yang diambil oleh sekelompok orang untuk menetapkan suatu keputusan tentang sesuatu hal 87 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1313.

2 49 dan keputusan tersebut mengikat semua subyek hukum yang terlibat dalam pengambilan putusan tersebut atau semua anggota kelompok yang bersangkutan, misalnya putusan rapat anggota perkumpulan, putusan rapat umum pemegang saham, putusan dewan perwakilan rakyat, putusan kabinet. Perbuatan hukum Gesamtacht tersebut diwujudkan dalam bentuk sebuah perjanjian. Di dalam pendirian PT termasuk dalam perbuatan Gesamtacht yaitu merupakan tindakan bersama para pendirinya, dimana para pendiri mempunyai tujuan yang sama untuk membentuk suatu persekutuan modal dan memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1618 KUHPer. Tindakan bersama tersebut dituangkan dalam sebuah perjanjian untuk disepakati bersama bagi para pendirinya. Suatu perjanjian dapat dikatakan sah manakala memenuhi syarat sahnya perjanjian, terdapat 4 (empat) syarat sahnya sebuah perjanjian adalah sebagai berikut : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Perjanjian dikatakan sah tidak hanya harus memenuhi 4 syarat di atas, melainkan untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian harus 88 Ibid. Pasal 1320.

3 50 memenuhi kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. 89 Beberapa uraian mengenai syarat sahnya perjanjian ialah sebagai berikut : 1) Sepakat Menurut Mariam Darus Badrulzaman sepakat adalah suatu pernyataan kehendak yang disetujui oleh para pihak, dimana ada pihak yang melakukan penawaran dan ada pihak yang menerima penawaran atau mengakseptasi (acceptie). 90 Terdapat beberapa teori dimana suatu keadaan yang menyatakan saat terjadinya kata sepakat dalam sebuah perjannjian, yaitu : a. Teori Kehendak (Wilstheorie) Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak penerima menyatakan kehendaknya. b. Teori Pengiriman (Verzendtheorie) Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang mengakseptasi mengirim pernyataan kehendaknya. c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie) Teori ini mengajarkan bahwa pihak yang memberikan penawaran seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diakseptasi. d. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie) Teori ini mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat 89 Ibid. Pasal Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hlm 74.

4 51 pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang mengakseptasi. Adanya kesepakatan dapat diartikan terdapat adanya persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas atau sukarela untuk mengikatkan diri, dimana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Dasar hukum kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam diatur dalam Pasal 1347 KUHPer, yang dinyatakan sebagai berikut : Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Dari rumusan pasal tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwasanya sebelum terjadi kesepakatan secara diamdiam telah terdapat perjanjian dalam bentuk tertulis, karena jangka waktu perjanjian tersebut habis, para pihak tidak segera memperpanjang perjanjian tersebut, tetapi kegiatan sebagai pelaksanaan dari perjanjian tersebut tetap berjalan selayaknya perjanjian masih berlaku, maka dengan kegiatan yang tetap berjalan meskipun jangka waktu perjanjian telah habis, dapat diartikan sebagai kesepakatan secara diam-diam dan dengan sendirinya membawa akibat yuridis bahwa perjanjian tersebut berlaku sebagai hukum diantara para pihak. Menurut J. Satrio Dalam mengutarakan kehendak dapat

5 52 dilakukan secara tegas atau secara diam-diam, tertulis (melalui akte otentik atau dibawah tangan) atau dengan tanda. 91 Selain itu, dapat juga ditinjau dari yurisprudensi Mahkamah Agung yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa setelah berakhirnya masa perjanjian kerjasama distributorship yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2003, kedua belah pihak masih tetap melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan beritikad baik seperti transaksi-transaksi pemesanan barang, pembayaran dan sebagainya, selayaknya perjanjian yang belum berakhir. Dalam hal ini mencerminkan adanya faktor Simbiosismutualistis, yaitu para pihak sama-sama membutuhkan peranan salah satu pihak. Dengan adanya perbuatan hukum yang dilakukan berupa transaksi-transaksi perdagangan biasa, maka secara diam-diam kedua belah pihak telah menyatakan sepakat untuk dan oleh karena itu tunduk dan masuk kepada pembaharuan perjanjian distributorship tahap ke-2, yakni sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perjanjian (Vide Bukti P-l) bahwa atas kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperbaharui untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun berikutnya yakni sampai dengan tanggal 31 Desember Kesepakatan itu tidak sah manakala sepakat itu diberikan 91 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm Putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/2008. Perkara antara PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan produk-produk bermerek Philips.

6 53 karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. 93 Kekhilafan atau kekeliruan (dwaling) dapat terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang (subjek hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek hukum). Paksaan (dwang) adalah paksaan terhadap badan, paksaan terhadap jiwa, serta paksaan lain yang dilarang oleh Undang-Undang. Sedangkan penipuan (bedrog) adalah suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar. Suatu perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat karena disebabkan unsur paksaan dan/atau unsur kekeliruan atau kekhilafan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun sejak paksaan itu berhenti dan/atau sejak diketahui kekhilafan dan penipuan. 94 2) Kecakapan Yang dimaksud cakap adalah mampu untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam hal ini mengadakan perjanjian juga merupakan perbuatan hukum. Yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang perseorangan maupun badan hukum yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Dengan dipenuhinya syaratsyarat tersebut maka badan hukum tersebut dapat melakukan hubungan 93 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal Ibid. Pasal 1454.

7 54 hukum dan yang bertanggungjawab atas segala yang terjadi dari perjanjian adalah badan hukum tersebut dan apabila dan apabila badan hukum tersebut tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah, maka yang bertanggungjawab atas segala yang timbul akibat dari adanya perjanjian adalah para pihak dalam hal ini perseorangan yang membuat perjanjian tersebut. Manakala pihak yang membuat perjanjian adalah orang perseorangan, maka orang yang dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Subyek hukum orang perorangan dianggap tidak cakap hukum manakala orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan orang-orang perempuan dalam halhal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh Undang-Undang dilarang membuat perjanjian. 95 Dikatakan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 96 Tetapi pengaturan mengenai kecakapan dalam KUHPer tidak berlaku lagi dengan disahkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana orang dikatakan telah dewasa yang telah 95 Ibid. Pasal Ibid. Pasal 330.

8 55 mencapai umur genap 18 (delapan belas) tahun atau telah melangsungkan perkawinan dan tidak dibawah kekuasaan orang tua atau wali. 97 Dalam hal mereka yang ditaruh dibawah pengampuan artinya setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan dapat juga dikarenakan keborosannya. 98 3) Suatu Hal Tertentu Suatu hal tertentu adalah obyek perjanjian haru terang dan jelas dan dapat ditentukan baik jenis dan jumlahnya. Misalnya dalam perjanjian pendirian PT, para pihak telah sepakat untuk mendirikan sebuah PT yang bergerak dalam bidang jasa bimbingan Ibadah Haji dengan modal dasar sebesar Rp ,00. Obyek perjanjian tersebut jenisnya jelas, pendirian PT yang bergerak dalam bidang jasa bimbingan Ibadah Haji dan begitu juga dengan modal dasarnya. 4) Suatu Sebab Yang Halal Suatu sebab yang halal artinya obyek yang diperjanjikan bukanlah obyek yang terlarang, tetapi diperbolehkan oleh hukum. Suatu sebab yang tidak halal itu meliputi perbuatan melanggar hukum, bertentangan dengan kesusilaan dan melanggar ketertiban umum. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab yang tidak halal maka tidak sah menurut hukum. 97 Undang-Undang tentang Perkawinan, No. 1 Tahun Pasal 47 ayat (1) jo Pasal 50 ayat (1). 98 Op.Cit. Pasal 433.

9 56 Syarat sah perjanjian pada poin 1 (satu) dan 2 (dua) dinamakan sebagai syarat subyektif, karena mengatur mengenai subyek hukum yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat sah perjanjian pada poin 3 (tiga) dan 4 (empat) dinamakan syarat obyektif, karena mengatur mengenai obyek dari suatu perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat-syarat subyektif dan obyektif dapat menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah. Perjanjian yang tidak sah karena tidak terpenuhinya salah 1 (satu) syarat subyektif berakibat perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan oleh salah 1 (satu) pihak. Artinya, salah 1 (satu) pihak dapat menuntut pembatalan itu kepada hakim pada Pengadilan Negeri. Dan apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi salah 1 (satu) dari syarat obyektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya, secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Selain syarat sahnya perjanjian, suatu perjanjian juga baru mengikat para pihak, manakala dalam pembuatan dan pelaksanaannya memenuhi asas-asas perjanjian. Terdapat 5 (lima) asas penting dalam perjanjian antara lain sebagai berikut : a. Asas Kebebasan Berkontrak Yang dimaksud sebagai asas kebebasan berkontrak adalah semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. 99 Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para 99 Ibid. Pasal 1338.

10 57 pihak untuk: - Membuat atau tidak membuat perjanjian; - Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; - Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; serta - Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. b. Asas Konsesualisme Wujud dari asas konsesualisme adalah adanya kata sepakat diantara para pihak sebagaimana dapat dilihat dari salah satu syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPer. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh para pihak. c. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. d. Asas Itikad Baik Yang dimaksud asas itikad baik adalah para pihak harus melaksanakan

11 58 isi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi 2 (dua) macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dipergunakan sebagai ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Asas itikad baik diatur dalam pasal 1338 alinea 3 KUHPer sebagaimana dinyatakan Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. e. Asas Kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. 100 Ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Ketentuan tersebut juga berkaitan dengan ketentuan yang mengatur dimana suatu perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. 101 Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, 100 Ibid. Pasal Ibid. Pasal 1340.

12 59 ketentuan itu terdapat pengecualian, dimana suatu perjanjian dapat pula dipergunakan untuk kepentingan pihak ketiga. 102 Pengaturan ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan terdapat juga suatu pengaturan yang mengatur suatu perjanjian dibuat untuk kepentingan dirinya sendiri ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. 103 Jika dibandingkan dari kedua pengaturan tersebut dimana pengaturan yang pertama mengatur tentang perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, sedangkan pengaturan yang kedua mengatur tentang perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya Surat Pernyataan Dalam Pendirian Perseroan Terbatas Dalam pendirian PT khususnya dalam penyertaan modal dari para pendiri harus terdapat pengaturan yang jelas untuk menghindari atau mencegah praktek TPPU yang dilakukan dengan cara menyertakan modal dalam pendirian PT, sebagaimana telah diterapkan dalam bidang Perbankan, dimana Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI) tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau yang sering disebut Know Your Customer Principles (selanjutnya disebut KYC), 102 Ibid. Pasal Ibid. Pasal 1318.

13 60 penerapan KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian untuk melindungi integritas dan kesehatan bank. Selain itu, dalam perbankan juga terdapat The Financial Action Task Force (FATF) yang mengeluarkan 40 kebijakan berkaitan dengan pencucian uang antara lain mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan penelitian nasabah dan melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan dan 9 (sembilan) kebijakan khusus antara lain mewajibkan lembaga keuangan untuk melaporkan adanya transaksi keuangan mencurigakan. Maka dari itu didalam pendirian PT harus ditambahkan mekanisme dengan menyertakan surat pernyataan pada saat para pendiri melakukan perjanjian pendirian PT dihadapan Notaris, yang menyatakan bahwasannya uang yang akan disetorkan kedalam PT adalah uang yang bukan berasal dari tindak pidana atau dapat dikatakan dari sumber yang sah. Surat pernyataan tersebut dibuat dalam rangka pencegahan terjadinya praktek TPPU dalam penyertaan modal PT dan sekaligus dalam rangka pemberantasan TPPU Akibat Setoran Modal Setelah Diputus Pengadilan Dalam hal yang digunakan sebagai setoran modal adalah uang yang berasal dari tindak pidana dan telah diputus oleh

14 61 pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka sejak saat diputus oleh pengadilan yang telah memiliki hukum tetap setoran modal tersebut dinyatakan tidak sah. Maka dalam hal ini ditinjau dari keabsahan perjanjian yang dibuat telah melanggar unsur obyektif yaitu suatu sebab yang halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, artinya obyek yang diperjanjikan adalah obyek yang dilarang oleh Undang-Undang dan tidak sah menurut hukum. Dimana apabila tidak terpenuhinya salah satu dari unsur obyektif memiliki akibat hukum berupa batal demi hukum, artinya secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Dari penjelasan diatas manakala dalam pendirian sebuah PT X yang terdiri dari 4 pendiri A,B,C dan D membuat perjanjian dihadapan notaris, para pihak menyepakati bahwa modal dasar PT X sebesar Rp ,00 (satu milyar rupiah), dengan rincian A menyetorkan modal ke dalam PT Rp ,00 (seratus juta rupiah), B menyetorkan Rp ,00 (dua ratus juta rupiah), C menyetorkan Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah), dan D menyetorkan Rp ,00 (empat ratus ribu rupiah), maka sepakat untuk menyetorkan modal sebesar Rp ,00 (satu milyar rupiah), perjanjian ditandatangani dan sah. Pada suatu hari D terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan telah diputus oleh Pengadilan dan dinyatakan inkracht, dan diketahui bahwa uang hasil korupsi tersebut adalah uang yang disetorkan untuk pendirian PT X, maka dalam hal ini ditinjau dari keabsahan perjanjian yang dibuat telah melanggar

15 62 unsur obyektif yaitu suatu sebab yang halal, artinya obyek yang diperjanjikan adalah obyek yang dilarang oleh Undang-Undang dan tidak sah menurut hukum. Dimana apabila tidak terpenuhinya salah satu dari unsur obyektif memiliki akibat hukum berupa batal demi hukum, artinya secara hukum sejak awal dianggap tidak pernah ada perjanjian. Maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh D batal demi hukum dan dinyatakan tidak berlaku. 3.2 Perlindungan Represif Perseroan Terbatas Penarikan Modal Yang Telah Disetor Dalam hal yang digunakan sebagai setoran modal adalah uang yang berasal dari tindak pidana dan telah diputus oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka sejak saat diputus oleh pengadilan yang telah memiliki hukum tetap setoran modal tersebut dinyatakan tidak sah. Maka Negara dalam hal ini diwakili oleh Kejaksaan dapat mengambil atau menarik setoran modal yang terbukti hasil dari TPPU, dan PT harus mengeluarkan setoran modal yang terbukti hasil dari TPPU dan mencoret pemegang saham yang terbukti sebagai pelaku TPPU dari daftar pemegang saham Pembubaran Perseroan Terbatas Pembubaran adalah suatu perbuatan yang berakibat berhentinya eksistensi suatu PT, yang artinya tidak ada kegiatan bisnis yang berjalan untuk selama-lamanya. Kemudian diikuti dengan proses penyelesaian administrasi berupa pemberitahuan, pengumuman, dan

16 63 pemutusan hubungan kerja dengan para karyawannya. 104 Beberapa cara terjadinya pembubaran PT, yaitu sebagai berikut : Pembubaran PT berdasarkan keputusan RUPS; 2. Pembubaran PT karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; 3. Pembubaran PT berdasarkan penetapan pengadilan; 4. Pembubaran PT dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit PT tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; 5. Pembubaran PT karena harta pailit PT yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; 6. Pembubaran PT karena dicabutnya izin usaha PT sehingga mewajibkan PT melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uraian dari beberapa cara pembubaran PT sebagaimana disebutkan diatas, adalah sebagai berikut : Pembubaran PT berdasarkan keputusan RUPS Direksi, dewan komisaris, atau 1 (satu) pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari 104 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas : Doktrin, Peraturan Perundang Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media,Yogyakarta, 2009, hlm Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, No. 40 Tahun Pasal 142 ayat (1).

17 64 jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran PT kepada RUPS. 106 Berdasarkan ketentuan tersebut, RUPS hanya dapat membubarkan PT apabila terdapat permohonan yang disebut didalam ketentuan. Keputusan RUPS mengenai pembubaran PT dianggap sah manakala diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat dan dalam RUPS paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar, dan apabila kuorum pada kehadiran tidak tercapai, maka dapat diadakan RUPS kedua, dalam RUPS kedua dapat dikatakan sah, jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. 107 Pembubaran PT dimulai sejak saat ditetapkan saat ditetapkan 106 Ibid. Pasal 144 ayat (1). 107 Ibid. Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1) dan (3).

18 65 dalam keputusan RUPS. 108 Setelah PT dibubarkan sebagaimana ditetapkan oleh RUPS, maka pembubaran wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakuakan oleh likuidator atau kurator dan PT tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan PT dalam rangka likuidasi. 109 Likuidasi yang dilakukan oleh kurator adalah likuidasi yang khusus dilakukan dalam hal PT berada dalam keadaan insolvensi sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pembubaran PT Karena Jangka Waktu Berdirinya Telah Berakhir Sebagaimana telah dinyatakan dalam UU PT bahwa PT dapat didirikan untuk jangka waktu terbatas dan tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. 110 Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa eksistensi PT dapat berakhir manakala jangka waktu berdirinya PT telah ditentukan dalam anggaran dasar. Dengan telah berakhirnya jangka waktu tersebut maka PT tersebut bubar karena hukum. Pembubaran PT karena hukum terjadi apabila jangka waktu berdirinya PT yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir. 111 Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah jangka 108 Ibid. Pasal 144 ayat (3). 109 Ibid. Pasal 142 ayat (2). 110 Ibid. Pasal Ibid. Pasal 145 ayat (1).

19 66 wkatu berdirinya PT berakhir, RUPS harus menetapkan penunjukan likuidator. 112 Kemudian setelah berakhirnya jangka waktu berdirinya PT yang ditetapkan dalam anggaran dasar PT, direksi tidak boleh melakukan perbuatan hukum baru atasanama PT. 113 Pembubaran PT Berdasarkan Penetapan Pengadilan Pembubaran PT berdasarkan penetapan pengadilan memiliki proses yang pada umumnya sama seperti proses perkara perdata, yaitu adanya pihak yang mengajukan permohonan ke pengadilan terlebih dahulu. 114 UU PT mengatur bahwa pengadilan negeri dapat membubarkan PT atas : Permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan; 2. Permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; 3. Permohonan pemegang saham, direksi atau dewan komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. Pembubaran PT dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit PT tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan Manakala harta PT tidak mencukupi untuk membayar biaya 112 Ibid. Pasal 145 ayat (2). 113 Ibid. Pasal 145 ayat (3). 114 Gatot Supramono. Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm Op.cit. Pasal 146 ayat (1).

20 67 kepailitan, maka permohonan pernyataan pailit hendaknya dicabut. Pencabutan kepailitan PT dilaksanakan berdasarkan putusan pengadilan niaga. Dengan dasar harta pailit tidak mencukupi untuk membayar kewajiban PT. Keputusan untuk mencabut kepailitan dibuat berdasarkan penetapan hakim dan diputuskan dalam sidang yang terbuka untuk umum. 116 Setelah permohonan pencabutan kepailitan dikabulkan oleh pengadilan niaga, tahap selanjutnya adalah pembubaran PT yang bersangkutan. Pembubaran PT karena harta pailit PT yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Kepailitan berakhir setelah debitor telah membayar penuh kewajiban terhadap para kreditornya. Namun demikian, manakala setelah berakhirnya pembagian harta pailit ternyata masih terdapat sisa harta kekayaan debitor, maka atas perintah pengadilan niaga, kurator akan membereskan dan mengadakan pembagian terhadap daftar hutang debitor yang pernah dibuat sebelumnya. 117 Setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi, selanjutnya hakim pengawas dapat mengadakan suatu rapat kreditor pada hari, jam, dan tempat yang ditentukan untuk mendengar mereka 116 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, No. 37 Tahun Pasal 18 dan Pasal Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas : Doktrin, Peraturan Perundang Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media,Yogyakarta, 2009, hlm. 333.

21 68 seperlunya mengenai cara pemberesan harta pailit. 118 Pembubaran PT dapat terjadi manakala PT sudah dinyatakan insolven. Maksud dari dinyatakannya keadaan insolven adalah suatu keadaan dimana PT tidak lagi mampu untuk membayar baik hutang maupun biaya kepailitan. Insolvensi terjadi bilamana dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan perdamaian atau perdamaian ditolak. Dengan demikian, selain sudah dinyatakan pailit, keadaan PT tersebut telah berada dalam keadaan insolven. 119 Dalam rapat pencocokan utang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau rencana perdamaian ditolak, sehingga perdamaian ditolak berdasarkan putusan pengadilan niaga atau mahkamah agung dengan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Selanjutnya PT yang bersangkutan langsung dinyatakan bubar. Pembubaran PT karena dicabutnya izin usaha PT sehingga mewajibkan PT melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan RUPS mengenai pembubaran PT sah apabila mengambil keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam hal pembubaran PT, keputusan RUPS sah manakala dihadiri pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari seluruh saham dan disetujui oleh paling sedikit jumlah saham ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara tersebut Op.cit. Pasal 187 ayat (1). 119 Ibid. Pasal 57 ayat (1). 120 Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, No. 40 Tahun Pasal 89 ayat (1).

22 69 Manakala keputusan RUPS tersebut justru tidak membubarkan PT dan tidak mengangkat tim likuidasi, maka keputusan RUPS tidak sah. Keputusan pembubaran dan pembentukan tim likuidasi wajib dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal pencabutan izin usaha. 1) Prosedur Pembubaran Perseroan Terbatas Sejak tanggal pembubaran PT oleh RUPS atau penetapan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran PT, likuidator wajib memberitahukan : Kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan 2. Pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi. Pemberitahuan kepada kreditor harus dilakukan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia harus memuat : 122 a. Pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; b. Nama dan alamat likuidator; c. Tata cara pengajuan tagihan; dan 121 Ibid. Pasal 147 ayat (1) dan penjelasan. 122 Ibid. Pasal 147 ayat (2).

23 70 d. Jangka waktu pengajuan tagihan. Jangka waktu pengajuan tagihan oleh kreditor adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman pembubaran PT, yang dimaksud jangka waktu tersebut dimulai sejak tanggal pengumuman pemberitahuan yang paling terakhir kepada kreditor. 123 Pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pembubaran PT wajib dilengkapi dengan bukti : 124 a. Dasar hukum pembubaran Perseroan; dan b. Pemberitahuan kepada kreditor dalam Surat Kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Manakala pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM tersebut belum dilakukan, maka pembubaran PT tidak berlaku bagi pihak ketiga. 125 Dalam hal likuidator lalai untuk melakukan pemberitahuan, likuidator bertanggungjawab secara tanggung renteng dengan PT atas kerugian yang dialami oleh pihak ketiga ) Pembubaran Perseroan Terbatas Berdasarkan Penetapan Pengadilan UU PT mengatur para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembubaran PT. 127 Para pihak tersebut adalah : 123 Ibid. Pasal 147 ayat (3) dan penjelasan. 124 Ibid. Pasal 147 ayat (4). 125 Ibid. Pasal 148 ayat (1). 126 Ibid. Pasal 148 ayat (2). 127 Ibid. Pasal 146 ayat (1).

24 71 1. Kejaksaan Peran seorang Jaksa dalam permohonan penetapan pembubaran PT kepada pengadilan hanya untuk kepentingan umum, bukan atas pengaduan dari salah satu pemegang saham atau pihak tertentu. Permohonan pihak kejaksaan terhadap pembubaran PT dapat diajukan ke pengadilan dengan disertai alasan yang kuat bahwa PT melanggar kepentingan umum atau PT melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundangundangan. 128 Yang dimaksud PT melanggar kepentingan umum adalah dimana PT telah melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat luas, sebagai contoh PT yang membuang limbah pabrik ke sungai yang berada di tengah-tengah pemukiman masyarakat. Sedangkan yang dimaksud PT melanggar peraturan perundang-undangan adalah dimana PT telah melakukan perrbuatan yang melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku, sebagai contoh sebuah PT haruslah membuat tempat penampungan limbah, tetapi PT tersebut tidak membuatnya, tetapi membuang limbahnya ke sungai yang berada di tengah-tengah pemukiman warga. 2. Pihak yang berkepentingan Pihak lain yang diberi kewenangan oleh UU PT untuk mengajukan permohonan pembubaran PT adalah pihak yang 128 Ibid. Pasal 146 ayat (1) huruf (a).

25 72 berkepentingan dengan disertai alasan cacat hukum dalam akta pendirian. 129 Sebagai contoh dari aplikasi ketentuan tersebut adalah berkaitan dengan prinsip pendirian PT. UU PT mengenal bahwa dalam pendirian PT harus didirikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang. Yang dimaksud didiririkan paling sedikit 2 (dua) orang adalah dimana terhadap masing-masing pendiri tidak ada keterikatan satu sama lain, sebagai contoh suami istri. Merujuk pada prinsip pendirian PT sebagai asosiasi modal, maka suami dan istri dengan kesatuan harta tidak diperbolehkan mendirikan sebuah PT, karena dianggap sebagai 1 (satu) orang. Manakala terdapat sebuah PT yang didirikan oleh 2 (dua) orang dan diketahui ternyata 2 (dua) orang itu adalah pasangan suami istri, maka dapat dianggap sebagai cacat dalam pendirian, sehingga pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembubaran PT tersebut. Selain alasan yang disebut diatas yang dijadikan dasar pengajuan permohonan pailit bagi pihak yang berkepentingan terdapat pula alasan dimana PT yang telah memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau 129 Ibid. Pasal 146 ayat (1) huruf (b).

26 73 PT mengeluarkan saham baru kepada orang lain, manakala dalam jangka waktu 6 (enam) bulan telah dilampaui, sedangkan pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian PT, sehingga pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembubaran PT tersebut Pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris Pihak lain yang diberi kewenangan untuk mengajukan permohonan pembubaran PT adalah pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris berdasarkan alasan PT tidak mungkin untuk dilanjutkan, alasan-alasan tersebut terdiri dari : 131 a. Perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak; b. Dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dipanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS; c. Dalam hal perimbangan pemilikan saham dalam Perseroan demikian rupa sehingga RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang 130 Ibid. Pasal 146 ayat (1) huruf (b) jo Pasal 7 ayat (5) dan (6). 131 Ibid. Pasal 146 ayat (1) huruf (c) dan penjelasan.

27 74 saham memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham; atau d. Kekayaan Perseroan telah berkurang demikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada Perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya. Dalam hal untuk melakukan penetapan pembubaran PT, pengadilan yang berwenang memberi penetapan atas pembubaran PT adalah Pengadilan Negeri, bukanlah Pengadilan Niaga ) Status Hukum Perseroan Terbatas Setelah Pembubaran Dengan bubarnya PT tidak mengakibatkan PT kehilangan status badan hukumnya, karena PT baru akan kehilangan status badan hukumnya, manakala proses likuidasi selesai dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. 133 Sebelum proses likuidasi selesai dan pertanggungjawaban belum diterima RUPS atau pengadilan oleh likuidator, maka status badan hukum tetap melekat pada PT tersebut. Setelah pembubaran dan proses likuidasi belum selesai, PT tersebut masih dapat melakukan perbuatan hukum, tetapi hanya terbatas pada perbuatan hukum yang berkaitan dengan proses likuidasi. 134 Pada dasarnya, PT yang telah dibubarkan tetap eksis, 132 Ibid. Pasal 146 ayat (1). 133 Ibid. Pasal 143 ayat (1). 134 Ibid. Pasal 142 ayat (2).

28 75 tetapi PT tersebut tidak boleh menjalankan bisnis baru, PT tersebut dikatakan tetap eksis sepanjang untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam rangka likuidasi. Ada beberapa konsekuensi hukum menempatkan PT dalam likuidasi, antara lain : Kegiatan usaha PT harus diberhentikan; 2. Semua kekuasaan direksi beralih kepada likuidator; 3. Kekuasaan komisaris dibekukan; 4. Kekuasaan RUPS dibekukan, kecuali untuk laporan terakhir likuidator untuk mempertanggungjawabkan proses likuidasi; 5. PT tetap eksis sejauh untuk kepentingan likuidasi/pemberesan; 6. PT tidak dapat lagi mengubah status kekayaannya, kecuali yang dilakukan likuidator dalam rangka likuidasi/pemberesan. Sebagaimana diuraikan diatas merupakan hal-hal yang berkaitan terhadap status badan hukum pada saat PT dinyatakan bubar sampai pada akhirnya PT tersebut benar-benar bubar. Setelah PT dinyatakan bubar, likuidator wajib memberitahukan mengenai pembubaran PT kepada seluruh kreditor dengan melakukan pengumuman melalui surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia. 136 Likuidator juga harus memberitahukan mengenai 135 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas : Doktrin, Peraturan Perundang Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media,Yogyakarta, 2009, hlm Op.cit. Pasal 147 ayat (1) huruf (a).

29 76 pembubaran PT kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar PT bahwa PT dalam likuidasi. 137 Tanpa diberitahukannya kepada kreditor dan Menteri Hukum dan HAM berkaitan dengan pembubaran PT, maka pembubaran PT tidak berlaku bagi pihak ketiga dan likuidator bertanggungjawab secara tangung renteng dengan PT atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. 138 Dari uraian diatas, manakala dalam pendirian sebuah PT X yang terdiri dari 4 pendiri A,B,C dan D membuat perjanjian dihadapan notaris, para pihak menyepakati bahwa modal dasar PT X sebesar Rp ,00 (satu milyar rupiah), dengan rincian A menyetorkan modal ke dalam PT Rp ,00 (seratus juta rupiah), B menyetorkan Rp ,00 (dua ratus juta rupiah), C menyetorkan Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah), dan D menyetorkan Rp ,00 (empat ratus ribu rupiah), maka sepakat untuk menyetorkan modal sebesar Rp ,00 (satu milyar rupiah), perjanjian ditandatangani dan sah. Dari salah satu pendiri D pada suatu hari diketahui bahwa pendiri tersebut telah melakukan TPPU dan telah diputus oleh pengadilan bahwa D bersalah dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan menyertakan modalnya kedalam PT maka dapat diambil kesimpulan bahwasannya D telah melakukan TPPU, maka Negara dalam hal ini diwakili oleh Jaksa dapat mengambil alih dengan 137 Ibid. Pasal 147 ayat (1) huruf (b). 138 Ibid. Pasal 148 ayat (1) dan (2).

30 77 menyita uang yang disertakan sebagai modal oleh D. Dan PT harus mengeluarkan modal yang disetorkan oleh pendiri dan mencoret dari daftar pemegang saham. Apabila dalam pendirian PT terdapat 3 pendiri A, B, dan C yang bersepakat untuk menyertakan modal dasar sebesar Rp ,00 dengan rincian A sebesar Rp ,00 (lima juta rupiah), B sebesar Rp ,00 (sepuluh juta rupiah) dan C sebesar Rp ,00 (empat puluh lima juta rupiah), pada suatu hari terbukti C melakukan tindak pidana korupsi yang telah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tindak C termasuk dalam TPPU sehingga modal yang disetor dalam PT disita, dengan demikian sisa modal yang ada dalam PT adalah Rp ,00 (lima belas juta rupiah), sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (1) UU PT modal yang harus ditempatkan dan disetor penuh adalah 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar, sebagaimana kasus posisi diatas 25% (dua puluh lima persen) dari Rp ,00 (tujuh puluh juta rupiah) adalah Rp ,00 (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah), maka dapat diambil kesimpulan sisa modal pemegang saham A dan B kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar, maka untuk dapat dianggap sah setoran modalnya, pemegang saham dapat menambah modal atau pencari pemegang saham untuk menambah modal dasar tersebut.

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dalam masyarakat,

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR 2.1. Pembubaran dan Likuidasi Dalam Pasal 1 UU PT tidak dijelaskan mengenai definisi dari pembubaran tetapi apabila ditarik dari rumusan Pasal 142 ayat (2)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas. BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA A. Tinjauan Umum tentang Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Sebelum membahas mengenai aturan jual beli saham dalam perseroan

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN STATUS DAN JANGKA WAKTU MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Yayasan ini bernama [ ] disingkat [ ], dalam bahasa Inggris disebut [ ] disingkat [ ], untuk selanjutnya dalam Anggaran Dasar ini disebut "Yayasan" berkedudukan di

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG BALAI HARTA PENINGGALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Balai Harta Peninggalan merupakan

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk.

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM PASAL 10 PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR YAYASAN GEDHE NUSANTARA

ANGGARAN DASAR YAYASAN GEDHE NUSANTARA ANGGARAN DASAR YAYASAN GEDHE NUSANTARA BAB I NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Yayasan ini bernama Yayasan Gedhe Nusantara (selanjutnya dalam anggaran dasar ini cukup disingkat dengan Yayasan), berkedudukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sehubungan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UU 28-2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) definisi dari Perseroan Terbatas (selanjutnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 16, 1999 BURSA BERJANGKA. PERDAGANGAN. KOMODITI. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. BAPPEBTI. (Penjelasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah

Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah AKTA PENDIRIAN YAYASAN "..." Nomor :... Pada hari ini,..., tanggal... 2012 (duaribu duabelas) pukul... Waktu Indonesia Barat. Berhadapan dengan saya, RUFINA INDRAWATI TENGGONO, Sarjana Hukum, Notaris di

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN 218 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 23 BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 A. Organ Organ Perseroan Terbatas 1. Rapat Umum Pemegang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK. RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.04/2014 Sebelum/ Before Pasal 11 Ayat 5 Pasal 11 Ayat 5 5. (a) Seorang

Lebih terperinci

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN KOMODITI BERJANGKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara R No.374, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. OJK. RUPS. Perusahaan Terbuka. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5644) PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional bertujuan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 115, 2004 KESRA. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah.Wasiat. (Penjelasan dalam Tambahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PP. No. : 45 Tahun 1995 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG

Lebih terperinci

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan ANGGARAN DASAR SAAT INI ANGGARAN DASAR PERUBAHAN PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan PASAL 3 MAKSUD DAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM SETORAN MODAL PERSEROAN TERBATAS YANG TERBUKTI BERASAL DARI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB II AKIBAT HUKUM SETORAN MODAL PERSEROAN TERBATAS YANG TERBUKTI BERASAL DARI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 25 BAB II AKIBAT HUKUM SETORAN MODAL PERSEROAN TERBATAS YANG TERBUKTI BERASAL DARI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 2.1 Modal Perseroan Terbatas Modal awal PT berasal dari kontribusi para pemegang saham PT.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manusia menjadi hal yang tidak terelakkan, terutama dalam memenuhi kebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi maka hubungan antar manusia menjadi hampir tanpa batas, karena pada dasarnya manusia adalah

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN 2008 TATANUSA 1 BULAN ~ Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Apabila setelah melampaui jangka waktu

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.17, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. PERSEROAN. Pengesahan. Badan Hukum. Perubahan. Anggaran Dasar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.143, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Perdagangan. Berjangka. Komoditi. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5548) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

2011, No Mengingat : Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas. 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

2011, No Mengingat : Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas. 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.187, 2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Data PT. Penyampaian. Prosedur. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm

http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp63-2008.htm 1 of 11 11/6/2008 9:33 AM Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan Go Back Tentang Kami Forum Diskusi FAQ Web Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan Mail Email: admin@legalitas.org. PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Anggaran Dasar. Data. Perseroan Terbatas. Pengajuan. Tata Cara.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Anggaran Dasar. Data. Perseroan Terbatas. Pengajuan. Tata Cara. No.392, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Pengesahan Badan Hukum. Perubahan Anggaran Dasar. Data. Perseroan Terbatas. Pengajuan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PP. No. : 45 Tahun 1995 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK

PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK PERATURAN NOMOR IX.J.1 : POKOK-POKOK ANGGARAN DASAR PERSEROAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS DAN PERUSAHAAN PUBLIK I. KETENTUAN UMUM II. 1. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 9 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 9 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 9 /PBI/2012 TENTANG UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN (FIT AND PROPER TEST) BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Bursa Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam.

Bursa Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. PP No. 45/1995 BAB 1 BURSA EFEK Pasal 1 Bursa Efek dapat menjalankan usaha setelah memperoleh izin usaha dari Bapepam. Pasal 2 Modal disetor Bursa Efek sekurang-kurangnya berjumlah Rp7.500.000.000,00 (tujuh

Lebih terperinci

PIAGAM DIREKSI & DEWAN KOMISARIS. PT UNGGUL INDAH CAHAYA Tbk.

PIAGAM DIREKSI & DEWAN KOMISARIS. PT UNGGUL INDAH CAHAYA Tbk. PIAGAM DIREKSI & DEWAN KOMISARIS PT UNGGUL INDAH CAHAYA Tbk. 1 PIAGAM DIREKSI & DEWAN KOMISARIS PT UNGGUL INDAH CAHAYA Tbk. BAGIAN I : DASAR HUKUM Pembentukan, pengorganisasian, mekasnisme kerja, tugas

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA. Perseroan Terbatas. Dr. Achmad Jamil M.Si. Modul ke: 15Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Magister Akuntansi

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA. Perseroan Terbatas. Dr. Achmad Jamil M.Si. Modul ke: 15Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi Magister Akuntansi KEWIRAUSAHAAN, ETIKA dan HUKUM BISNIS Modul ke: 15Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perseroan Terbatas Dr. Achmad Jamil M.Si Program Studi Magister Akuntansi Perseroan Terbatas PERSEROAN TERBATAS atau PT adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BIDANG PASAR MODAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan kegiatan Pasar

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.04/2014 TENTANG RENCANA DAN PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM PERUSAHAAN TERBUKA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.AH.01.01 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI A. Perseroan Terbatas sebagai Badan Hukum Dewasa ini Perseroan Terbatas merupakan

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR PT TRIMEGAH SECURITIES TBK

ANGGARAN DASAR PT TRIMEGAH SECURITIES TBK ANGGARAN DASAR PT TRIMEGAH SECURITIES TBK Sesuai Dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Trimegah Securities Tbk No. 51 tanggal 27 Mei 2015, yang dibuat dihadapan Fathiah

Lebih terperinci

7 Idem, Penjelasan umum alinea 9

7 Idem, Penjelasan umum alinea 9 !"#$%& #$%& UndangUndang mor 40 Tahun 2004 menentukan BPJS adalah Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. 1 BPJS harus dibentuk dengan undangundang. 2 Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci