HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahap I: Fermentasi Campuran BIS dan Onggok

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Tahap I: Fermentasi Campuran BIS dan Onggok"

Transkripsi

1 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I: Fermentasi Campuran BIS dan Onggok Jumlah koloni kapang Trichoderma harzianum Kultur murni kapang T. harzianum Rifai LIPIMC 732 diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Biakan inokulum kapang T. harzianum pada media PDA terlihat pada Gambar 6. Tabel 6 menunjukkan rata-rata jumlah koloni kapang T. harzianum. Gambar 6 Biakan kapang Trichoderma harzianum Rifai LIPI MC 732 Tabel 6 Jumlah spora Trichoderma harzianum selama pertumbuhan Umur pertumbuhan Jumlah koloni (jam) (CFU/ml) 24 belum terlihat 30 2,03x ,25x ,55x ,90x ,15x ,60x ,60x ,60x10 6

2 21 Penghitungan Total Plate Count (TPC) dilakukan pada isolat yang telah ditumbuhkan pada media PDA dalam cawan petri berdiameter 9 cm, dan diinkubasi jam pada suhu kamar. Penghitungan jumlah spora dan viabilitas spora dilakukan setiap 6 jam dan dimulai pada 24 jam pertama, karena sampai pada 24 jam pertama belum terlihat pertumbuhan koloni kapang yang berarti. Hal ini disebabkan masih dalam fase adaptasi dan pertumbuhan awal. Jumlah koloni kapang mulai konstan (stationary phase), dicapai pada umur 60 jam yakni mencapai jumlah koloni 2,6 x 10 6 CFU/ml. Jumlah awal sel yang tinggi akan mempercepat fase adaptasi. Mulai umur pertumbuhan 30 jam, jumlah koloni kapang semakin banyak hingga pada umur 60 jam masa pertumbuhan, tercapai jumlah koloni yang maksimal. Setelah 60 jam jumlah koloni tidak bertambah lagi. Hal ini disebabkan kapang sudah memasuki fase statis. Pada fase stationary ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Hasil pembuatan inokulum padat Gambar 7 menunjukkan hasil pembuatan inokulum padat. Pemanenan inokulum padat dilakukan pada hari ke 7, kemudian dikeringkan dengan pengeringan hampa (vacuum dry) pada suhu 40 0 C. Penyimpanan inokulum padat menggunakan cara vacuum. Gambar 7 Inokulum padat T. harzianum.

3 22 Hasil Uji Enzim Selulase Hasil uji enzim selulase menunjukkan hasil positif karena terbentuknya warna merah bata pada tabung reaksi 1, 2 dan 3 (inokulum padat), sedangkan pada tabung reaksi kontrol (K= substrat tanpa penambahan T. harzianum) berwarna kuning atau negative (Gambar 8). Gambar 8 Hasil uji enzim selulase. Penampilan makroskopis BISOF (Bungkil Inti Sawit Onggok Fermentasi) Penampilan secara makroskopis, pertumbuhan kapang T. harzianum pada 24 jam pertama fermentasi belum terlihat pertumbuhan hifa. Pertumbuhan hifa dimulai pada umur 48 jam dengan adanya titik-titik putih di permukaan media fermentasi, kemudian pertumbuhan hifa terlihat seperti kapas putih tipis di permukaan. Selanjutnya pada jam ke 120, mulai terjadi perubahan warna dari putih kapas menjadi putih kehijauan dan selanjutnya hijau muda. Perubahan warna terus berlangsung menjadi hijau tua pada jam ke 192, dan jam 240 warna hijau tua dan kusam. Penampilan makroskopis BISOF selama inkubasi seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Gambar 9 Penampilan makroskopis BISOF pada masa inkubasi 4-10 hari.

4 23 Kandungan nutrisi hasil fermentasi Tabel 7 menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 6 dan 8 hari terjadi penurunan serat kasar, namun pada masa inkubasi 10 hari terjadi peningkatan serat kasar. Persentase penurunan serat kasar tertinggi dicapai pada perlakuan T8 yaitu 44,28% (Tabel 8). Selama masa inkubasi 6, 8 dan 10 hari terjadi penurunan lemak secara konsisten. Penurunan lemak tertinggi dicapai pada masa inkubasi 10 hari sebesar 38,6 % (Tabel 8). Tabel 7 Rataan kandungan nutrisi pada masing-masing perlakuan sebelum dan setelah difermentasi (% bobot kering) Kandungan nutrisi (%) Perlakuan SF T6 T8 T10 Abu 4,85 5,08±0,11 a 5,06±0,14 a 5,27±0,10 b Protein kasar 12,35 14,94±0,14 a 15,74±0,12 b 16,16±0,16 c Serat kasar 16,78 11,23±0,21 b 9,35±0,22 a 10,93±0,07 b Lemak 9,04 6,09±0,17 b 5,70±0,10 a 5,55±0,80 a BETN 56,98 62,67±0,38 a 64,15±0,11 b 62,09±0,29 a - Glukosa 1,049 1,401 1,576 1,565 Keterangan : Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan adanya perbedaan nyata antara perlakuan (p<0.05) SF = Sebelum fermentasi T6 = Inkubasi 6 hari T8 = Inkubasi 8 hari T10 = Inkubasi 10 hari Tabel 8 Persentase penurunan kandungan serat kasar dan lemak (%) Komponen Perlakuan T6 T8 T10 Serat kasar 33,07 44,28 34,86 Lemak 32,63 36,94 38,6 PEMBAHASAN Campuran 80% BIS dan 20% onggok merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan kapang, karena selain onggok kaya akan pati sebagai sumber karbon, onggok berongga sehingga memperbaiki sifat fisik media. Sifat porusitas akan mempengaruhi transfer oksigen (penetrasi udara) kapang dalam substrat sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh bagian medium.

5 24 Hasseltine (1977) dalam Nagai (1979) juga menekankan bahwa fermentasi substrat padat harus dalam bentuk yang memungkinkan berlangsungnya sirkulasi udara. Butiran substrat padat harus sedikit berongga (retak) supaya spora dapat menempel dengan cepat pada permukaan butiran substrat dan segera setelah germinasi, penetrasi ke dalam butiran akan berlangsung dengan cepat pula. Fermentasi BIS dengan kapang T harzianum menyebabkan perubahan kandungan beberapa nutrien. Kandungan serat kasar mengalami penurunan secara konsisten pada masa inkubasi 6 dan 8 hari. Persentase penurunan serat kasar tertinggi dicapai pada masa inkubasi 8 hari yaitu sebesar (44,28%). Hal ini dikarenakan aktivitas enzim selulase T. harzianum mencapai titik optimum, sehingga mampu mendegradasi selulosa menjadi glukosa (Kim et al. 1994). Peningkatan glukosa tertinggi dicapai pada masa inkubasi 8 hari, seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Lama inkubasi 10 hari, terjadi peningkatan kandungan serat kasar, hal ini disebabkan berkurangnya enzim selulase dan kehilangan dari sejumlah padatan lainnya (Shutleff & Aoyagi 1979). Lama inkubasi 8 hari merupakan masa inkubasi yang optimal untuk menurunkan serat kasar. Hasil ini memperkuat simpulan Ginting dan Krisnan (2006) bahwa penurunan serat kasar BIS yang optimal diperkirakan tercapai pada lama fermentasi antara 6-9 hari. Hasil penurunan serat kasar pada penelitian ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Ginting dan Krisnan (2006), dengan menggunakan BIS dan kapang yang sama terjadi penurunan serat kasar 33%, sedangkan Siregar (2004) melaporkan penurunan serat kasar sebesar 13,27% pada fermentasi BIS dengan T. viridae. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Pamungkas (2010), yang melakukan penelitian yang sama dengan penambahan enzim cairan rumen domba, penurunan serat kasarnya mencapai 56,47%. Perbedaan hasil tersebut diduga disebabkan perbedaan sumber enzim yang digunakan. Hal ini dikarenakan jenis enzim selulase dari genus Trichoderma hanya sedikit memproduksi enzim selobiase (β -glukosidase) yang akan menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa. Enzim selulase utama yang dihasilkan dari genus Trichoderma adalah selobiohidrolase (endoglukanase, eksoglukanase) yang akan mendegradasi selulosa menjadi selobiosa (Juhasz et al. 2003).

6 25 T. harzianum menghasilkan enzim C1(β -exoglukanase) 0,307U/ml, dan Cx (β - endoglukanase) sebesar 0,655U/ml (Wizna et al. 2007). Penurunan serat kasar menggunakan T. harzianum membutuhkan masa inkubasi yang lebih lama dibandingkan dengan menggunakan crude enzyme (enzim kasar) secara langsung. Hal ini dikarenakan dalam pertumbuhannya, kapang mengalami beberapa fase antara lain: fase lag (adaptasi) untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya, fase pertumbuhan awal, fase logaritmik, fase statis dan fase kematian. Kapang mempunyai waktu generasi yang lebih lama dibandingkan dengan bakteri dan khamir (Fardiaz 1988). Oleh karena itu untuk penurunan serat kasar BIS perlu dicoba penggunaan crude enzyme (enzim kasar) dari T. harzianum, agar masa inkubasi lebih efektif. Kandungan NDF, ADF, selulosa, lignin, hemiselulosa Gambar 15 menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 8 hari (T8), terjadi penurunan fraksi ADF, selulosa dan lignin, sedangkan fraksi NDF dan hemiselulosa mengalami peningkatan. Analisis fraksi serat hanya dilakukan pada perlakuan T8, dengan pertimbangan penurunan serat kasarnya tertinggi (44,28%). 80 Kandungan fraksi serat 70 58,67 60,02 Kadar fraksi serat (%) ,65 28,59 28,68 18,05 11,02 31,43 18,97 10,54 Sebelum fermentasi Setelah fermentasi 10 0 NDF ADF Selulosa Hemiselulosa Lignin Gambar 10 Kandungan fraksi serat sebelum dan setelah fermentasi selama 8 hari.

7 26 Fermentasi dengan T. harzianum dapat menurunkan fraksi serat ADF, selulosa dan lignin, namun NDF dan hemiselulosa mengalami peningkatan. Terjadinya penurunan ADF, selulosa dan lignin menunjukkan kemampuan T. harzianum kapang dalam menghasilkan enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa. T. harzianum adalah fungi yang menghasilkan enzim selulase dan dapat menghidrolisis selulosa (Hamelinck et al. 2005). Kandungan NDF pada BISOF terjadi peningkatan, dikarenakan pertumbuhan kapang yang ikut menyumbangkan dinding sel. Gandjar et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu komponen dinding sel kapang adalah kitin (polisakarida). Peningkatan NDF juga terjadi pada fermentasi BIS dengan Trichoderma reesei (Jaelani et al. 2008). Menurut Daud (1995), kandungan NDF di atas 52% mengindikasikan bahwa tinggi akan komponen dinding sel, sedangkan Chong et al melaporkan bahwa kandungan NDF dari BIS berkisar 67,95-74,25%. Tahap II: Uji Kecernaan Pada Ikan Nila Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai kecernaan pakan acuan lebih baik dibandingkan dengan pakan uji. Penggantian sebagian pakan acuan dengan 30% BIS dan 30% BISOF menurunkan kecernaan dari pakan tersebut. Namun demikian kecernaan total BISOF yang ditambahkan 30% masih jauh lebih tinggi daripada penambahan BIS 30%. Ini menunjukkan bahwa BISOF mempunyai kecernaan lebih baik. Data ini didukung oleh kecernaan bahan BISOF (54,72%) dibandingkan BIS (30,75%). Tabel 9 Nilai kecernaan total, protein, fosfor, kalsium, energi dan bahan Perlakuan Kecernaan (%) Pakan Pakan Uji Acuan (30% BISOF) Pakan Uji (30% BIS) Total 72,92±0,92 a 60,27±0,18 b 67.46±0,13 c Protein 88,71±0,19 a 80,19±0,52 b 86,85±0,2 b Fosfor 64,04±1,70 a 53,6±0,48 b 61,12±0,38 c Kalsium 69,10±0,70 a 53,03±0,15 b 63,93±1,30 c Energi 84,44±0,55 a 69,4±0,4 b 75,47±0,70 c Bahan - 30,75±3,07 54,72±0,61 Ket : huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan antar perlakuan (p<0.05).

8 27 PEMBAHASAN Terjadinya penurunan serat kasar pada BISOF dapat meningkatkan kecernaan nutrien dan bahan tersebut. Perbedaan kecernaan BIS dan BISOF diduga karena kualitas bahannya terutama kandungan serat kasar. Hal ini didukung data perbedaan serat kasar yang signifikan antara BIS dan BISOF (Tabel 7). Perbedaan serat kasar dalam pakan akan mempengaruhi kecernaan nutrien, karena serat kasar menghambat kerja enzim pencernaan. Kecernaan yang tinggi pada BISOF menyebabkan kerja enzim di saluran usus ikan nila lebih rendah, sehingga nutrien yang diserap lebih banyak. Ikan mempunyai keterbatasan untuk mencerna serat, hal ini berkaitan dengan terbatasnya ketersediaan enzim selulolitik dalam saluran pencernaan. Menurut Fitriliyani (2010), enzim selulase yang dihasilkan dalam saluran pencernaan ikan nila sebesar 0,0176 unit/ml/menit, enzim amilase sebesar 0,2341 unit/ml/menit dan enzim protease 0,425 unit/ml/menit. Profil aktivitas enzim pada saluran pencernaan ikan nila tersebut merupakan indikator dari kemampuan mencerna dan memanfaatkan nutrisi dalam pakan. Serat kasar terdiri dari selulosa dan lignin yang sulit dicerna. Komponen tersebut dalam saluran pencernaan hanya dapat dihidrolisis oleh enzim selulase. Menurut Clarke & Bouchop (1977) dalam Affandi et al. (2009), menyimpulkan bahwa aktivitas enzim selulase ada hubungannya dengan kebiasaan ikan mengkonsumsi bagian dari tumbuhan yang sedang mengalami penghancuran. Penggantian sebagian pakan acuan dengan BISOF pada pakan nila memberikan hasil kecernaan yang lebih baik dibandingkan dengan BIS. Pakan yang mengandung serat kasar tinggi akan menghasilkan feses yang lebih banyak, karena serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa zat-zat makanan yang dapat dicerna. Secara umum batas toleransi ikan terhadap kandungan serat dalam pakan sampai 8%. Kandungan serat yang terlalu tinggi akan menekan pertumbuhan (Buhler and Halver, 1961; Leary and Lovell, 1975; Edwards et al., 1977; Hilton et al., 1983; Poston, 1986 dalam NRC 1993). Serat yang melebihi batas maksimal akan menurunkan nilai gizi pakan. Penurunan nilai gizi tersebut disebabkan sebagian besar zat-zat makanan keluar bersama ekskreta sebelum diserap oleh usus. Hal ini terlihat pada perlakuan pakan uji BIS, yang mempunyai

9 28 kandungan serat kasar lebih dari 8%, secara visual fesesnya lebih banyak dikeluarkan dan lebih cepat diekskresikan dibandingkan pakan uji BISOF, yang mempunyai kandungan serat kasar lebih rendah (5,61%). Fakta menunjukkan bahwa kandungan nutrisi dalam serat kasar rendah, namun keberadaannya dalam pakan mutlak diperlukan. Kandungan serat kasar dalam jumlah sedikit dapat meningkatkan gerak peristaltik usus, namun apabila jumlahnya berlebih maka menyebabkan proses penyerapan makanan menjadi tidak efisien (Guillame et al. 1999). Kirchgessener (1986) juga melaporkan bahwa peningkatan kadar serat kasar dalam komposisi pakan akan menurunkan kecernaan nutrisi. Sesuai pendapat Cho et al. (1985) yang menyatakan bahwa serat kasar yang tinggi menyebabkan porsi ekskreta lebih besar, sehingga menyebabkan semakin berkurangnya penyerapan protein yang dapat dicerna. Selain itu, serat kasar tinggi akan memberikan rasa kenyang karena komposisi karbohidrat kompleks yang menghentikan nafsu makan sehingga mengakibatkan turunnya konsumsi makanan (Piliang 2006). Keberadaan serat kasar yang semakin meningkat menyebabkan terganggunya penyerapan nutrien. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan viskositas digesta dan berpengaruh pada kesempatan nutrien untuk dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan menjadi lebih singkat (Choct et al. 1996). NRC (1983) juga menyatakan bahwa tingginya serat kasar pada pakan dapat mempengaruhi kecernaan nutrien lainnya. Penggantian sebagian pakan acuan dengan BIS dan BISOF 30%, kecernaannya belum setara dengan pakan acuan. Untuk itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai jumlah BIS dan BISOF sebagai bahan pengganti pakan acuan, hingga memiliki tingkat kecernaan yang setara. Kecernaan bahan BISOF lebih baik dibandingkan dengan BIS, karena proses fermentasi dengan T. harzianum dapat menurunkan serat kasar. Teknologi fermentasi merupakan cara untuk dapat memperbaiki nilai kecernaan bahan menjadi lebih baik, karena mikroorganisme (kapang) mampu memecah komponen yang komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Hardjo et al. 1989).

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Efektivitas Cairan Rumen Domba Penelitian Tahap 1 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui volume enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi yang tepat untuk penurunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana, 2012). Tauge 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Tauge Kacang Hijau Limbah tauge kacang hijau merupakan sisa produksi tauge yang terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge kacang hijau (Christiana,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. Pemanfaatan limbah industri gula tebu sebagai pakan alternatif merupakan

Lebih terperinci

EVALUASI KECERNAAN CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN ONGGOK YANG DIFERMENTASI OLEH Trichoderma harzianum Rifai UNTUK PAKAN NILA Oreochromis sp

EVALUASI KECERNAAN CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN ONGGOK YANG DIFERMENTASI OLEH Trichoderma harzianum Rifai UNTUK PAKAN NILA Oreochromis sp EVALUASI KECERNAAN CAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN ONGGOK YANG DIFERMENTASI OLEH Trichoderma harzianum Rifai UNTUK PAKAN NILA Oreochromis sp NUR INDARIYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id II. TELAAH PUSTAKA Koloni Trichoderma spp. pada medium Malt Extract Agar (MEA) berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua. Trichoderma spp. merupakan kapang Deutromycetes yang tersusun atas banyak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dibutuhkan Larva 35% Benih konsumsi 25-30%

TINJAUAN PUSTAKA. dibutuhkan Larva 35% Benih konsumsi 25-30% 4 TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan Nutrisi Ikan Nila Untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan serta kelangsungan hidupnya ikan memerlukan pakan yang cukup dari segi kualitas dan kuantitas. Pakan yang bermutu baik,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Perubahan kandungan nutrisi daun mata lele Azolla sp. sebelum dan sesudah fermentasi dapat disajikan pada Gambar 1. Gambar1 Kandungan nutrisi daun mata lele Azolla

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pakan sangat penting bagi kesuksesan peternakan unggas karena dalam budidaya ternak unggas secara intensif biaya pakan menduduki urutan pertama yaitu mencapai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Gambar 2 menunjukkan adanya penambahan biomass dari masing-masing ikan uji. Biomass rata-rata awal ikan uji perlakuan A (0 ml/kg) adalah sebesar 46,9 g sedangkan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang

I. PENDAHULUAN. peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan jumlah populasi dan produksi unggas perlu diimbangi dengan peningkatan ketersediaan bahan pakan. Bahan-bahan pakan konvensional yang selalu ada di dalam ransum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi produksi ternak ruminansia. Pakan ruminansia sebagian besar berupa hijauan, namun persediaan hijauan semakin

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke

1. PENDAHULUAN. kelapa sawit terbesar di dunia. Luas perkebunan sawit di Indonesia dari tahun ke 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bungkil inti sawit (BIS) merupakan salah satu hasil samping agroindustri dari pembuatan minyak inti sawit. Perkebunan sawit berkembang pesat di Asia Tenggara, termasuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perubahan Kualitas Gizi Kulit Kopi Keterbatasan pemanfaatan bahan baku yang berasal dari limbah agroindustri yaitu keberadaan serat kasar yang tinggi dan zat anti nutrisi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al., PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar populasi ternak sapi di Indonesia dipelihara oleh petani peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al., 2011). Usaha peningkatan produktivitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan pakan khususnya pakan hijauan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan usaha peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah pakan. Davendra, (1993) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan berat badan maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus Kedudukan taksonomi kapang Rhizopus oligosporus menurut Lendecker & Moore (1996) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisio Kelas Ordo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan

I. PENDAHULUAN. luas. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler adalah pakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam broiler mempunyai potensi yang besar dalam memberikan sumbangan terhadap pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia, karena sifat proses produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak ramah lingkungan dalam bidang industri (Falch, 1991).

BAB I PENDAHULUAN. tidak ramah lingkungan dalam bidang industri (Falch, 1991). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemakaian enzim yang sifatnya efisien, selektif, mengkatalis reaksi tanpa produk samping dan ramah lingkungan meningkat pesat pada akhir dekade ini. Industri enzim

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Minyak daun cengkeh merupakan hasil penyulingan daun cengkeh dengan menggunakan metode penyulingan (uap /steam). Minyak daun cengkeh berbentuk cair (oil) dan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF NDF adalah bagian dari serat kasar yang biasanya berhubungan erat dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. nutrisi suatu bahan pakan, meningkatkan kecernaan karena ternak mempunyai

I PENDAHULUAN. nutrisi suatu bahan pakan, meningkatkan kecernaan karena ternak mempunyai 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan teknologi pengolahan pakan di bidang peternakan sudah banyak dilakukan sekarang. Teknologi pengolahan pakan menjadi penting karena memiliki beberapa keuntungan,

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Produk pertanian yang melimpah menyediakan limbah hasil pertanian yang melimpah pula. Umumnya limbah hasil pertanian ini masih mengandung sejumlah nutrien,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan populasi ternak unggas di Indonesia semakin hari semakin

I. PENDAHULUAN. Perkembangan populasi ternak unggas di Indonesia semakin hari semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan populasi ternak unggas di Indonesia semakin hari semakin meningkat, tetapi hal ini tidak didukung sepenuhnya oleh sumber bahan pakan yang tersedia. Padahal,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering 33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian mengenai pengaruh biokonversi biomassa jagung oleh mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk

Lebih terperinci

UJI PENDAHULUAN: EFEKTIVITAS Bacillus sp. UNTUK PENINGKATAN NILAI NUTRISI BUNGKIL KELAPA SAWIT MELALUI FERMENTASI

UJI PENDAHULUAN: EFEKTIVITAS Bacillus sp. UNTUK PENINGKATAN NILAI NUTRISI BUNGKIL KELAPA SAWIT MELALUI FERMENTASI 769 Uji pendahuluan: efektivitas Bacillus sp.... (Wahyu Pamungkas) UJI PENDAHULUAN: EFEKTIVITAS Bacillus sp. UNTUK PENINGKATAN NILAI NUTRISI BUNGKIL KELAPA SAWIT MELALUI FERMENTASI ABSTRAK Wahyu Pamungkas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan

I. PENDAHULUAN. Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri peternakan di Indonesia khususnya unggas menghadapi tantangan yang sangat berat akibat biaya pakan yang mahal. Mahalnya biaya pakan disebabkan banyaknya industri

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PRODUKSI INOKULUM 1. Karakteristik Substrat Inokulum Substrat yang digunakan terdiri dari onggok (ampas tapioka), bekatul, bungkil kacang tanah dan ampas tahu. Substrat tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. nabati seperti bungkil kedelai, tepung jagung, tepung biji kapuk, tepung eceng

TINJAUAN PUSTAKA. nabati seperti bungkil kedelai, tepung jagung, tepung biji kapuk, tepung eceng II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Nila BEST Ikan nila adalah ikan omnivora yang cenderung herbivora sehingga lebih mudah beradaptasi dengan jenis pakan yang dicampur dengan sumber bahan nabati seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti

I. PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi protein hewani seperti daging, telur dan susu, semakin meningkat seiring meningkatnya pengetahuan dan pendapatan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan

I. PENDAHULUAN. Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan usaha peternakan pakan selalu menjadi permasalahan utama yang dialami oleh peternak. Hal tersebut dikarenakan harga pakan yang cukup mahal yang disebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum

I. PENDAHULUAN.. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kulit pisangmerupakan limbah dari industri pengolahan pisang yang belum banyak diminati masyarakat untuk dijadikan sebagai pakan alternatif. Produksi pisang di Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak. peternakan. Gulma tanaman pangan mempunyai potensi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak. peternakan. Gulma tanaman pangan mempunyai potensi untuk dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak merupakan suatu cara untuk menekan biaya produksi dalam pengembangan usaha peternakan. Gulma tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Salah satu contoh sektor pertanian yang memiliki produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian Peranan Pleurotus ostreatus pada Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi dengan Pleurotus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus memikirkan ketersediaan pakan. Pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) merupakan ikan air tawar yang memiliki gizi tinggi dan nilai ekonomis penting. Ikan gurame juga banyak digemari oleh masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan

I. PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan dalam kegiatan budidaya ikan. Kebutuhan pakan ikan akan meningkat seiring

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sudah tidak layak jual atau busuk (Sudradjat, 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya aktivitas pembangunan menyebabkan jumlah sampah dan pemakaian bahan bakar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen

BAB I PENDAHULUAN. pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan produk pertanian diikuti pula oleh meningkatnya limbah hasil pertanian seperti wortel, kentang, dan kubis yang merupakan sayur sisa panen para petani

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola pertumbuhan Bacillus mycoides yang ditumbuhkan dalam medium Nutrien Broth

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola pertumbuhan Bacillus mycoides yang ditumbuhkan dalam medium Nutrien Broth ABSORBANSI BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola pertumbuhan Bacillus mycoides yang ditumbuhkan dalam medium Nutrien Broth Hasil pengukuran nilai absorbansi pertumbuhan bakteri Bacillus mycoides dalam dua

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Onggok merupakan limbah padat agro industri pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Ketersedian onggok yang melimpah merupakan salah satu faktor menjadikan onggok sebagai pakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan

BAB I PENDAHULUAN. samping itu, tingkat pencemaran udara dari gas buangan hasil pembakaran bahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi berupa bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil seperti solar, bensin dan minyak tanah pada berbagai sektor ekonomi makin meningkat, sedangkan ketersediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Jamur ini bersifat heterotrof dan saprofit, yaitu jamur tiram BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur tiram putih ( Pleurotus ostreatus ) atau white mushroom ini merupakan salah satu jenis jamur edibel yang paling banyak dan popular dibudidayakan serta paling sering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan

I. PENDAHULUAN. sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan, karena sekitar 60% biaya produksi berasal dari pakan. Salah satu upaya untuk menekan biaya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. PREPARASI SUBSTRAT DAN ISOLAT UNTUK PRODUKSI ENZIM PEKTINASE Tahap pengumpulan, pengeringan, penggilingan, dan homogenisasi kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, kulit durian,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. enzim selulase dari campuran kapang Trichoderma sp., Gliocladium sp. dan Botrytis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. enzim selulase dari campuran kapang Trichoderma sp., Gliocladium sp. dan Botrytis Aktivitas Enzim Selulase (U/ml) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas Selulase Berdasarkan penelitian yang dilakukan, data pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim selulase dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini

I. PENDAHULUAN. ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas ternak ruminansia adalah ketersedian pakan yang kontiniu dan berkualitas. Saat ini ketersediaan hijauan makananan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya sepanjang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien dan Asam Fitat Pakan Pakan yang diberikan kepada ternak tidak hanya mengandung komponen nutrien yang dibutuhkan ternak, tetapi juga mengandung senyawa antinutrisi.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi keseluruhan kecernaan ransum. Nilai kecernaan yang paling

Lebih terperinci

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan

BAB IV HASIL. Pertumbuhan. Perlakuan A (0%) B (5%) C (10%) D (15%) E (20%) gurame. Pertambahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Bobot Mutlak dan Laju Pertumbuhan Bobot Harian Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang

Gambar 4. Grafik Peningkatan Bobot Rata-rata Benih Ikan Lele Sangkuriang Bobot ikan (g) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan penambahan jumlah bobot ataupun panjang ikan dalam satu periode waktu tertentu. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Tepung Onggok Karakterisasi tepung onggok dapat dilakukan dengan menganalisa kandungan atau komponen tepung onggok melalui uji proximat. Analisis proximat adalah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa

METODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa 17 METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap 1 adalah uji efektivitas enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Uji Tahap 2 adalah mengevaluasi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam

PENGANTAR. Latar Belakang. kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam PENGANTAR Latar Belakang Peningkatan produksi peternakan tidak terlepas dari keberhasilan dalam kegiatan produksi antara lain manajemen pemeliharaan dan pakan. Pakan dalam kegiatan produksi ternak sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan pada tiap tahunnya dari ekor pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan pada tiap tahunnya dari ekor pada tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat, salah satunya adalah peternakan unggas ayam pedaging. Populasi ayam pedaging mengalami peningkatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar 37 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan diartikan sebagai nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses dimana nutrien lainnya diasumsikan diserap oleh

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae

IV PEMBAHASAN. 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Protein Produk Limbah Udang Hasil Fermentasi Bacillus licheniformis Dilanjutkan oleh Saccharomyces cereviseae Rata-rata kandungan protein produk limbah udang hasil fermentasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku utama dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis kering yang diperoleh dari daerah Leuwiliang, Bogor. Kapang yang digunakan untuk

Lebih terperinci

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki

Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di. kemarau untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan ternak ruminansia di negara-negara tropis seperti di Indonesia, dihadapkan pada kendala pemberian pakan yang belum memenuhi kebutuhan ternak. Ketersediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi

I. PENDAHULUAN. peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan, karena lebih dari separuh biaya produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pakan. Oleh karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para peternak selayaknya memanfaatkan bahan pakan yang berasal dari hasil ikutan produk sampingan olahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada tahun 2012 menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Segala penciptaan Allah SWT dan fenomena alam yang terjadi pasti terdapat petunjuk ilmu maupun manfaat tersendiri dan kewajiban manusia sebagai ulil albab yaitu mempelajari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditumbuhkan dalam substrat. Starter merupakan populasi mikroba dalam jumlah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fermentasi Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Proses

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Kecernaan adalah banyaknya zat makanan yang tidak dieksresikan di dalam feses. Bahan pakan dikatakan berkualitas apabila

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang

I. PENDAHULUAN. Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum,

Lebih terperinci

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.

BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. 22 A. Kecernaan Protein Burung Puyuh BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kecernaan Protein

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Limbah hasil ekstraksi alginat yang digunakan pada penelitian ini dikeringkan sebelum digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Analisis yang dilakukan terhadap limbah ekstraksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati banyak didapatkan di hutan. Hutan yang terdapat di seluruh dunia beragam jenisnya,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN. Bahan dan Alat 36 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu mulai 8 Maret sampai 21 Agustus 2007 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Inokulum Terhadap Kadar Serat Kasar dan Protein Kasar Onggok

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jenis Inokulum Terhadap Kadar Serat Kasar dan Protein Kasar Onggok BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jenis Inokulum Terhadap Kadar Serat Kasar dan Protein Kasar Onggok Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data kadar serat kasar dan protein

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat makanan yang

I. PENDAHULUAN. yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat makanan yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakan adalah campuran berbagai macam bahan organik dan anorganik yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan, perkembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini pengembangan di bidang peternakan dihadapkan pada masalah kebutuhan pakan, yang mana ketersedian pakan khususnya untuk unggas harganya dipasaran sering

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan ternak ruminansia di Indonesia akan sulit dilakukan jika hanya

I. PENDAHULUAN. Pengembangan ternak ruminansia di Indonesia akan sulit dilakukan jika hanya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan ternak ruminansia di Indonesia akan sulit dilakukan jika hanya mengandalkan hijauan. Karena disebabkan peningkatan bahan pakan yang terus menerus, dan juga

Lebih terperinci

dilakukan lisis sel untuk memperoleh enzimnya. Kerja enzim ekstraseluler yaitu memecah atau mengurai molekul-molekul kompleks menjadi molekul yang

dilakukan lisis sel untuk memperoleh enzimnya. Kerja enzim ekstraseluler yaitu memecah atau mengurai molekul-molekul kompleks menjadi molekul yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang mempunyai hasil pertanian dan perkebunan yang cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu sumber penghasil selulosa utama

Lebih terperinci

tepat untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan setelah larva berumur 15 hari. Penggunaan pakan alami yang terlalu lama dalam usaha pembenihan

tepat untuk mengganti pakan alami dengan pakan buatan setelah larva berumur 15 hari. Penggunaan pakan alami yang terlalu lama dalam usaha pembenihan 145 PEMBAHASAN UMUM Peranan mikroflora dalam fungsi fisiologis saluran pencernaan ikan bandeng telah dibuktikan menyumbangkan enzim pencernaan α-amilase, protease, dan lipase eksogen. Enzim pencernaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jerami Jagung Jerami jagung merupakan sisa dari tanaman jagung setelah buahnya dipanen dikurangi akar dan sebagian batang yang tersisa dan dapat diberikan kepada ternak, baik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci