FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK KAJIAN KUALITAS PERMUKIMAN DI KECAMATAN COLOMADU KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN 2009 Skripsi Oleh : Eko Sapto Nugroho K FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

2 ABSTRAK Eko Sapto Nugroho. K PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK KAJIAN KUALITAS PERMUKIMAN DI KECAMATAN COLOMADU KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret. April Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui kemampuan citra Ikonos untuk kajian kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009, (2) Mengetahui persebaran permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009, (3) Mengetahui kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun Penelitian ini menggunakan metode deskriptif geografis. Pengumpulan data dilakukan dengan interpretasi Citra Ikonos tahun 2009, kerja lapangan dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan analisis ketelitian interpretasi citra, analisis peta persebaran permukiman dan analisis pengharkatan (skoring). Hasil penelitian ini adalah: (1) Dengan rata-rata ketelitian interpretasi sebesar 96%, sedangkan untuk interpretasi citra untuk penggunaan lahan permukiman sebesar 97%, maka dapat disimpulkan bahwa hasil interpretasi Citra Ikonos sebagian besar cocok dengan kondisi di lapangan, dengan demikian hasil interpretasi citra Ikonos tersebut memenuhi syarat untuk dapat digunakan sebagai data masukan untuk Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk Kajian Kualitas Permukiman Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun (2) Permukiman menyebar di tiap-tiap desa tersebut dengan permukiman terbanyak adalah di Desa Malangjiwan, Desa Baturan, Desa Bolon dan Desa Blulukan. Hanya Desa Gajahan yang mempunyai persebaran permukiman mengumpul karena hanya memiliki 2 blok permukiman. (3) Sebagian besar desa di Kecamatan Colomadu memiliki kualitas permukiman yang sedang, hanya ada bebarapa blok permukiman yang baik dan buruk. Blok permukiman baik adalah blok I-3 di Desa Baturan, blok II-3 di desa Blulukan, blok III-3 di Desa Bolon, blok V-5 dan V-3 di Desa Gawanan, blok VI-1 di Desa Gedongan, blok VII-1 dan VII-9 di Desa Klodran, blok VIII-3 di Desa Malangjiwan, blok X-3 di Desa Paulan, dan XI-9 di Desa Tohudan. Sedangkan blok permukiman buruk hanya ada 2 yaitu blok VI-8 di Desa Gedongan dan blok VII-8 di Desa Klodran. Secara keseluruhan sebagian besar Kecamatan Colomadu tahun 2009 memiliki kualitas permukiman sedang dengan luas 388 Ha. Kualitas baik 78,83 Ha dan kualitas buruk 39,26 Ha. v

3 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGAJUAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii HALAMAN PENGESAHAN... iv HALAMAN ABSTRAK... v HALAMAN MOTTO... vii HALAMAN PERSEMBAHAN... viii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR PETA... xviii DAFTAR LAMPIRAN... xix BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Identifikasi Masalah... 5 C. Pembatasan Masalah... 6 D. Perumusan Masalah... 6 E. Tujuan Penelitian... 6 F. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat Praktis... 7 BAB II. LANDASAN TEORI... 9 A. Tinjauan Pustaka Penginderaan Jauh Citra Ikonos Interpretasi Citra xi

4 4. Uji Ketelitian Interpretasi Permukiman Kualitas permukiman Penggunaan lahan Sistem Informasi Geografi... B. Penelitian yang Relevan... C. Kerangka Pemikiran... BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat Penelitian Waktu Penelitian... B. Bentuk dan Strategi Penelitian... C. Sumber Data Data Primer Data Sekunder... D. Populasi dan Teknik Sampling... E. Teknik Pengumpulan Data Interpretasi Citra Observasi Lapangan Dokumentasi... F. Analisis Data... G. Prosedur Penelitian Penyusunan Proposal Penelitian Penyusunan Instrumen Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Penyusunan Laporan Penelitian... BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.. A. Deskripsi Daerah Penelitian Letak Daerah Penelitian Luas Daerah Penelitian xii

5 3. Penggunaan Lahan Kondisi Penduduk Fasilitas Umum... B. Hasil Penelitian dan Pembahasan Kemampuan citra ikonos untuk kajian kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu tahun Persebaran permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun Kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI, dan SARAN... A. Kesimpulan. B. Implikasi. C. Saran... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN xiii

6 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam membicarakan tentang kebutuhan pokok manusia, setiap orang akan menyebut tiga macam kebutuhan, yaitu : kebutuhan akan sandang/pakaian (clothing), kebutuhan akan pangan (food and drinks), dan kebutuhan akan papan untuk menyelenggarakan kehidupannya/tempat tinggal (place for living). Semenjak zaman prasejarah, manusia dalam menyelenggarakan kehidupannya selalu berusaha untuk memenuhi ketiga kebutuhan esensial tersebut. Dibandingkan dengan kualitas kebutuhan ketiga macam hal pokok tersebut pada zaman modern, jelas akan terdapat perbedaan-perbedaan yang berarti. Pentingnya pembicaraan mengenai ketiga hal tersebut sama dengan pentingnya pembicaraan mengenai eksistensi manusia di permukaan bumi ini. Pemenuhan ketiganya sama dengan upaya pelestarian mahluk hidup. Telah banyak diketahui bahwa kadar ancaman dari kelangkaan salah satu dari ketiga unsur pokok tersebut sangat bervariasi dari wilayah yang satu ke wilayah yang lain. Untuk daerah-daerah berlintang tinggi, misalnya peranan sandang dan papan untuk tinggal pada waktu-waktu tertentu hampir sama dengan peranan pangan terhadap ancaman eksistensi manusia, bahkan kadang-kadang jauh lebih tinggi, khususnya pada musim dingin. Manusia masih mampu bertahan tidak makan dan minum sampai beberapa hari kalau berada pada tempat tinggal yang hangat dan nyaman, namun pada masa-masa temperatur berada di bawah derajat celcius, misalnya, orang tidak akan mampu bertahan tanpa sandang dan papan untuk tinggal terhadap cuaca di udara terbuka untuk beberapa hari walaupun kebutuhan akan makan dan minum terpenuhi. Untuk daerah-daerah berlintang rendah keadaannya memang berbeda. Demikianlah sebuah gambaran mengenai betapa pentingnya dan sentralnya masalah tempat tinggal manusia (permukiman dalam arti luas) untuk ditelaah dan dicermati. Permukiman secara umum adalah konsentrasi perumahan yang dilengkapi dengan jaring-jaring jalan sebagai sarana transportasi bagi penduduk yang mendiaminya. Untuk itu jelas bahwa tanpa bangunan tempat tinggal manusia

7 2 tidak dapat berlindung dan tidak bisa menyelenggarakan hidupnya. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk khususnya di negara-negara yang sedang berkembang menyebabkan timbulnya berbagai masalah permukiman yang serius, khususnya permukiman di daerah-daerah perkotaan. Ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang membutuhkan tempat tinggal dengan ketersediaan tempat tinggal, khususnya di daerah perkotaan merupakan suatu hal yang sangat mendesak untuk dipikirkan upaya pemecahannya. Proses kemunduran kualitas permukiman (settlement deterioraation), kemunduran kualitas lingkungan (envirionmental deterioraation), munculnya squater settlement, terciptanya kantong-kantong kumuh serta permasalahan-permasalahan sosial lainnya sangat erat hubungannya dengan krisis permukiman. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah permasalahan-permasalahan permukiman akan terasa lebih mendesak untuk dipecahkan dibandingkan dengan permasalahan-permasalahan permukiman yang timbul untuk golongan menengah sampai tinggi. Golongan rendah ini terpaksa harus hidup dalam lingkungan yang berada di bawah standar yang tidak layak karena keterpaksaan ekonomis. Hampir semua orang merasakan bahwa kualitas permukiman mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap kualitas penghuninya. Dengan demikian upaya peningkatan kualitas permukiman, khususnya di daerah perkotaan perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari para ilmuwan maupun negarawan dalam rangka meningkatkan kualitas manusia itu sendiri. Sekarang ini perkembangan permukiman mengalami kemajuan yang sangat pesat karena semakin banyaknya jumlah penduduk atau semakin besarnya pertambahan penduduk dari tahun ke tahun. Dalam perkembangannya permukiman mengalami banyak perubahan mulai dari dibangunnya rumah-rumah baru, sampai dibangunnya perumahan-perumahan elite. Semakin besar pertumbuhan penduduk sekarang ini terjadi suatu masalah yang perlu diteliti dalam hal perkembangan permukiman yang semakin bertambah dan padat terutama di Kecamatan Colomadu. Kecamatan Colomadu termasuk wilayah dari Kabupaten Karanganyar yang terletak di sebelah barat commit Kota Surakarta. to user Letak kecamatan ini secara

8 3 geografis terpisah dari kecamatan-kecamatan lainnya. Sebelah barat dan utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan Kota Surakarta, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Kecamatan Colomadu menjadi lalu lintas strategis dari mobilitas orang, nilai, dan barang. Posisi strategi itu menentukan nasibnya sebagai ruang hunian dan ruang kerja untuk hidup. Namun keterpisahan dengan induknya, Kabupaten Karanganyar, membuat Kecamatan Colomadu cenderung memiliki jarak dengan wacana dan kebijakan dari pusat kabupaten. Sepuluh tahun terakhir, lahan sawah di Kecamatan Colomadu banyak mengalami perubahan menjadi permukiman. Puluhan pengembang mulai mengerjakan sawah sebagai lahan membangun rumah sebagai komoditas. Puluhan kompleks perumahan, dengan berbagai kelas, telah berdiri di lahan-lahan bekas sawah. Pemahaman ruang geografis dengan cepat mengalami perubahan definisi. Sawah sebagai ruang untuk tanaman, atau sebagai lahan hidup dan harmonisasi alam (ekologi), sudah hilang. Munculnya perumahan baru di Kecamatan Colomadu perlu diantisipasi, karena dengan begitu cepat dan banyaknya perumahan yang didirikan dapat mengakibatkan pertumbuhan jumlah permukiman yang semakin padat. Dengan kepadatan permukiman yang semakin besar dapat mempengaruhi kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu. Dalam studi geografi, pembahasan permukiman meliputi bagian permukaan bumi yang dihuni oleh manusia menyangkut pula segala sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan manusia serta kapan suatu wilayah mulai dihuni oleh manusia, bagaimana pola persebarannya dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangannya. Permukiman sebagai salah satu bentuk hasil, cipta, karsa dan karya manusia dalam interaksinya dengan alam, merupakan aktivitas yang dinamis dan selalu berkembang. Perubahan yang terjadi dapat diamati, baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya. Perubahan dari segi kuantitas tercermin pada perubahan jumlah permukiman baru yang menempati suatu daerah pada kurun waktu tertentu, jumlahnya akan selalu meningkat, seiring dengan pertumbuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di daerah tersebut. Perubahan dari segi kualitas dapat dilihat pada perubahan kualitas permukiman. Untuk mengetahui commit to kualitas user permukiman dapat ditinjau dari

9 4 beberapa parameter yaitu : persebaran permukiman, pola permukiman, kepadatan permukiman, arah hadap rumah terhadap jalan, lebar jalan, kualitas jalan, jarak rumah dari jalan dan bahaya banjir. Perolehan data fisik yang diperlukan untuk mengetahui kualitas permukiman dapat dilakukan dengan teknik penginderaan jauh. Teknik penginderaan jauh memiliki beberapa manfaat dari segi efisiensi waktu, biaya, dan tenaga jika dibandingkan dengan cara terestrial. Biaya pemetaan teknik penginderaan jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pemetaan secara terestrial dan akan menghemat tenaga. Peningkatan teknologi penginderaan jauh semakin maju, hal ini dibuktikan dengan diluncurkannya satelit yang mampu menghasilkan citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi. Pada era terdahulu, kemampuan citra satelit dalam kemampuan resolusinya sangat rendah, sehingga citra satelit sangat terbatas penggunaanya dalam kajian-kajian untuk daerah perkotaan. Keterbatasan ini disebabkan obyek di daerah perkotaan pada umumnya berukuran kecil serta penggunaan lahannya sangat heterogen. Kemampuan resolusi spasial yang tinggi memberikan harapan baru dalam penggunaan citra satelit bagi berbagai kajian di daerah perkotaan. Citra Ikonos merupakan citra satelit yang mempunyai resolusi spasial yang tinggi. Interpretasi secara visual dapat dilakukan pada skala 1 : 2000, sehingga hasil interpretasi diperoleh cukup detail. Citra Ikonos memiliki sifat yang selalu dimiliki oleh citra satelit yaitu dapat meliputi daerah yang luas, sehingga memudahkan dalam interpretasinya jika dibandingkan dengan foto udara. Pada foto udara, interpretasi dilakukan lembar demi lembar dan hanya pada daerah efektif saja yang memiliki proyeksi orthogonal. Citra Ikonos memiliki cakupan yang luas sehingga interpretasi dilakukan hanya pada satu sheet saja. Keuntungan yang lain adalah citra ini memiliki proyeksi orthogonal pada seluruh bagiannya sehingga citra ini bersifat seperti peta. Seperti pada umumnya citra satelit lainnya, citra Ikonos juga memiliki kelemahan adanya gangguan atmosfer serta liputan awan. Liputan awan tidak dapat dihindari, karena orbit satelit Ikonos berada jauh di luar angkasa, sehingga Citra Ikonos masih sangat commit rentan to terhadap user gangguan-gangguan atmosfer.

10 5 Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini memberikan kemungkinan untuk memperoleh data yang relatif baru, relatif cepat dan efisien dibandingkan dengan survei terestris. Hasil interpretasi citra penginderaan jauh merupakan data spasial (bersifat keruangan) ditambah dengan data-data lain (bersifat atribut) dapat diolah dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang akan menghasilkan informasi baru. Sistem ini mempunyai kemampuan dalam mengelola, memanipulasi, memproses, menganalisis, menyimpan dan menyajikan data. Hasil analisis SIG merupakan informasi baru yang berguna dalam penentuan kualitas permukiman di kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. Dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengambil judul Kemampuan Citra Ikonos Untuk Kajian Kualitas Permukiman Di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar Tahun B. Identifikasi Masalah di Kecamatan Colomadu Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka dapat diidentifikasikan berbagai masalah sebagai berikut: 1. Perkembangan permukiman mengalami kemajuan yang sangat pesat karena semakin banyaknya jumlah penduduk atau semakin besarnya pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun. Khususnya dalam penelitian ini adalah Kecamatan Colomadu. 2. Posisi strategis Kecamatan Colomadu menyebabkan banyak orang untuk memilihnya sebagai tempat tinggal sehingga banyak timbul permukiman baru. 3. Munculnya perumahan baru di Colomadu perlu diantisipasi, karena dengan begitu cepat dan banyaknya perumahan yang didirikan dapat mengakibatkan pertumbuhan jumlah permukiman yang semakin padat. Dengan kepadatan permukiman yang semakin besar dapat mempengaruhi kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu.

11 6 4. Citra Ikonos dengan kelebihannya yang mempunyai resolusi spasial yang tinggi dan datanya disimpan dalam bentuk digital, sehingga dapat memudahkan dalam hal interpretasi yang dimanfaatkan untuk analisis kuantitas permukiman dan di citra Ikonos dapat diperoleh parameterparameter yang diperlukan untuk analisis kualitas permukiman. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah penelitian di atas, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam penelitian ini obyek kajian dibatasi hanya pada kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu. D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1 Bagaimana kemampuan citra Ikonos dalam kajian kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009? 2 Bagaimana persebaran permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009? 3 Bagaimana kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009? E. Tujuan Penelitian Penulis mengadakan penelitian di daerah Colomadu dengan tujuan : 1. Mengetahui kemampuan citra Ikonos untuk kajian kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun Mengetahui persebaran permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun Mengetahui kualitas permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun 2009.

12 7 F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan masukan bagi penelitian sejenis pada masa yang akan datang. b. Sebagai sumbangan ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu geografi, khususnya geografi permukiman. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini sebagai bentuk presentasi yang berupa data tentang informasi permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar yang terkait dengan perkembangan permukiman tersebut pada tahun 2009, serta pola persebaran permukiman di Colomadu. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pemerintah daerah Kabupaten Karanganyar khususnya Kecamatan Colomadu menyangkut pengembangan permukiman. c. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pembelajaran geografi di SMA kelas X, kelas XI (IPS), dan kelas XII (IPS). Standar kompetensi pembelajaran di SMA, dapat dilihat pada tabel 1.

13 Tabel 1. Standar Kompetensi dan Dasar Kompetensi untuk Pembelajaran Geografi SMA Kelas X, Kelas XI (IPS), dan Kelas XII (IPS). Kelas Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Materi Pembelajaran X Kemampuan memahami konsep, Menjelaskan Prinsip Geografi Mengidentifikasi prinsip-prinsip geografi Filsafat Geografi pendekatan, prinsip, dan aspek geografi Menerapkan prinsip geografi dalam kajian gejala geosfer XI Kemampuan menganalisis fenomena biosfer dan antroposfer Menjelaskan pengertian fenomena antroposfer Menganalisis komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin Menghitung sex ratio dan dependency ratio Mengidentifikasi tinggi rendahnya kualitas penduduk berdasar tingkat pendidikan dan kesehatan Menyajikan informasi kependudukan melalui peta, tabel, grafik atau diagram Demografi XII Kemampuan mempraktekan keterampilan dasar peta dan pemetaan Citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) Mendiskripsikan prinsipprinsip dasar peta dan pemetaan Mempraktekanketerampilan dasar peta dan pemetaan Pemanfaatan peta Menjelaskan pemanfaatan sistem informasi geografis Menunjukan komponen-komponen peta Mempraktekan prinsip proyeksi peta ke bidang datar Membuat peta hasil pengukuran langsung di lapangan Merumuskan konsep dasar SIG Mengidentifikasi komponen-komponen SIG Memberi contoh mengoverlaykan peta transparansi Mengidentifikasi beberapa manfaat SIG dalam kajian geografi Kartografi Penginderaan Jauh, Sistem informasi Geografis (SIG) 8

14 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penginderaan Jauh Penginderaaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan suatu obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji. (Lillesand & Kiefer, 1990: 1). Menurut Sutanto (1986), Sistem Penginderaan Jauh ialah serangkaian komponen yang digunakan untuk penginderaan jauh, meliputi : a. Sumber energi (matahari) Matahari merupakan sumber energi yang sangat penting dalam penginderaan jauh. Semua benda yang mempunyai suhu di atas nol derajat absolut ( 0 o K atau -273 o C ) akan memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Oleh karena itu obyek yang ada pada permukaan bumi merupakan sumber energi walaupun besaran dan komposisinya berbeda dengan matahari. Jumlah tenaga yang dipancarkan oleh suatu obyek bervariasi menurut suhu, demikian juga distribusi spektral yang dipancarkan. b. Atmosfer Atmosfer mempunyai pengaruh yang besar terhadap internsitas dan komposisi spektral radiasi yang tersedia bagi sistem penginderaan jauh, pengaruh itu terutama disebabkan oleh mekanisme hamburan (scattering) dan serapan (absorption). Disini terjadi interaksi antara atmosfer dan gelombang elektromagnetik, bagian-bagian spectrum elektromagnetik yang dapat melalui atmosfer dan mencapai permukaan bumi disebut jendela atmosfer. c. Interaksi antara Energi dan Obyek Terdapat tiga kemungkinan apabila tenaga elektromagnetik mengenai suatu obyek yaitu dipantulkan, diserap, dan ditransmisikan. Ketiga interaksi tersebut berbeda commit menurut to user jenis materi dan kondisi benda 9

15 10 sehingga memungkinkan perbedaan obyek yang terekam. Obyek yang dapat memantulkan tenaga elektromagnetik tampak cerah pada citra, sedang obyek yang menyerap tenaga tampak gelap. Pengenalan obyek pada citra berdasarkan atas tingkat kegelapannya yang sering disebut rona, sehingga sangat penting mengetahui sifat-sifat hasil pemantulan dari setiap obyek. d. Sensor Tidak ada satupun sensor yang peka terhadap seluruh panjang gelombang, sensor nyata mempunyai keterbatasan dalam mengenali obyek terkecil yang ada pada permukaan bumi dan dapat dipisahkan dengan lingkungan. Batasan ini dinamakan resolusi spasial. e. Perolehan data Perolehan data dapat dengan cara manual yaitu dengan interpretasi secara visual, dan dapat pula dilakukan dengan numerik atau cara digital yaitu dengan menggunakan komputer. Foto udara pada umunya diinterpretasi secara manual, sedangkan hasil penginderaan jauh dengan cara digital dapat diinterpretasikan dengan manual atau secara numerik. f. Penggunaan data. Keberhasilan penginderaan jauh terletak pada dapat tidaknya hasil penginderaan jauh ini diterima oleh pengguna data, jadi pengguna data merupakan komponen yang penting dalam penginderaan jauh.kerincian, keandalan, dan kesesuaian terhadap kebutuhan pengguna sangat menetukan diterima atau tidak data hasil penginderaan jauh. Selama beberapa dasawarsa ini penginderaan jauh telah berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan karena aktivitas dengan menggunakan sistem penginderaan jauh telah banyak dilakukan, yang pada gilirannya tentu saja akan semakin mendorong pengembangan-pengembangan dalam penggunaan sistem penginderaan jauh itu sendiri, baik dari segi teknis peralatan maupun dari sumberdaya manusianya. Penginderaan jauh sistem fotografi yaitu sistem penginderaan jauh yang di dalam merekam obyek menggunakan commit to kamera user sebagai sensor, menggunakan

16 11 film sebagai detektor, dan menggunakan tenaga elektromagnetik yang berupa spektrum tampak atau perluasannya (Sutanto, 1994: 2). Kegiatan pemotretan dapat dilakukan dari udara dengan menggunakan wahana pesawat terbang hasilnya berupa foto udara, ataupun dari luar angkasa dengan menggunakan wahana satelit hasilnya berupa citra/foto satelit. 2. Citra Ikonos Ikonos adalah satelit milik Space Imaging (USA) yang diluncurkan bulan September 1999 dan menyediakan data untuk tujuan komersial pada awal tahun Karakteristik Satelit Ikonos ditampilkan pada Tabel 2 berikut ini : Tabel 2. Karakteristik Satelit Ikonos Elemen Keterangan Launch Date 24 September 1999 Vandenberg Air Force Base, California Operational Life Over 7 Years Orbit 98.1 degree, sun synchronous Speed on Orbit 7.5 kilometers (4.7 miles) per second Speed Over the Ground 6.8 kilometers (4.2 miles) per second Number of Revolutions Around the Earth 14.7 every 24 hours Orbit Time Around the Earth 98 minutes Altitude 681 kilometers (423 miles) Resolution Nadir: 0.82 meters (2.7 feet) panchromatic 3.2 meters (10.5 feet) multispectral 26 Off-Nadir 1.0 meter (3.3 feet) panchromatic 4.0 meters (13.1 feet) multispectral Image Swath 11.3 kilometers (7.0 miles) at nadir 13.8 kilometers (8.6 miles at 26 off-nadir) Equator Crossing Time Nominally 10:30 a.m. solar time Revisit Time Approximately 3 days at 1-meter resolution, 40 latitude Dynamic Range 11-bits per pixel Image Bands Panchromatic, blue, green, red, near infrared Sumber: Space Imaging (2003: 1) Ikonos adalah satelit dengan resolusi spasial tinggi yang merekam data multispektral 4 kanal pada resolusi 4 m (citra berwarna) dan sebuah kanal pankromatik dengan resolusi 1 m (hitam-putih). Ini berarti Ikonos merupakan satelit komersial pertama yang dapat membuat image beresolusi tinggi (Rovicky, 2006: 1).

17 12 Semua produk Ikonos menggunakan datum WGS 84 dan proyeksi yang digunakan adalah UTM, Tranverse Mecator, Albers Conical Equal Area dan Lambert Conformal Conic (Space Imaging, 2003: 3) Beberapa produk yang dihasilkan oleh satelit Ikonos dapat berupa: 1. Geo poduct Produk ini sudah terkoreksi secara radiometrik dengan ellipsoid dan proyeksi peta tertentu dan memiliki ketelitian horizontal sebesar kurang lebih 50 m. Rektifikasi yang dilakukan menghilangkan distorsi citra akibat kesalahan geometrik waktu perekaman citra dan melakukan resampling citra pada Ground Sample Citra (GSC) yang sama dan proyeksi citra tertentu. 2. Orthorectified Product Produk ini sudah terkoreksi dengan menggunakan Digital Terrain Mode (DTM). (Space Imaging, 2003: 3) Sesuai dengan ketelitian yang diharapkan, produk Ikonos tersebut terbagi dalam 5 jenis, yaitu: a. Referensi: Ketelitian horizontal mencapai +/- 25 m b. Map: Ketelitian horizontal mencapai +/- 12 m c. Pro: Ketelitian horizontal mencapai +/- 10 m d. Precision: Ketelitian horisontal mencapai +/- 4 m e. Precision Plus: Ketelitian horisontal mencapai +/- 2 m. Satelit Ikonos selalu beredar sehingga dapat meliput seluruh bumi. Sensor yang dipakai dapat dimiringkan (maksimum 26 0 ) sehingga dapat meliput area seluas 700 km 2 sepanjang jalur orbitnya untuk data dengan resolusi sampai 2 m. Untuk data dengan resolusi spektral I m dapat meliput seluas 300 km 2 di sepanjang jalur satelit dengan sudut sensor kurang lebih 10 0 (Space Imaging, 2003) 3. Interpretasi Citra Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh merupakan kegiatan mengeksplorasi informasi dari citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek yang tergambar pada citra (Purwadhi, 2001: 25 ). Menurut Sutanto (1994: 92), intepretasi penginderaan jauh dapat commit dilakukan to user dengan dua cara, yaitu:

18 13 a. Intepretasi secara digital Bagian terkecil yang dapat digambarkan oleh sistem penginderaan jauh disebut pixel (picture element). Tiap piksel mempunyai nilai spektral tertentu. Nilai spektral ini sering disebut nilai piksel. Nilai piksel menunjukkan tingkat kegelapan atau rona yang diukur secara numerik yaitu julat tingkat kegelapan antara 0 63, 0 127, dan Intepretasi secara digital ini pada dasarnya berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara berdasarkan statistik. Tiap kelas kelompok piksel tersebut kemudian dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi, artinya tiap kelas itu mencerminkan objek atau gejala. Pengenalan objek dengan cara digital pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara. Bila klasifikasi nilai piksel didasarkan atas daerah contoh yang diketahui jenis objek dan nilai spektralnya disebut klasifikasi teracu (supervised classifikation). Bila klasifikasi dilakukan tanpa daerah contoh yang diketahui jenis objek dan nilai spektralnya disebut klasifikasi tak teracu (unsupervised classification). b. Intepretasi secara visual Vink (1965) dalam Lo (1976) dalam Sutanto (1994: 94) mengutarakan bahwa intepretasi citra dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: 1. Deteksi, yaitu penyadapan data secara selektif atas objek (tampak langsung) dari citra. 2. Pengenalan dan identifikasi 3. Analisis, yaitu pemisahan dengan penarikan garis batas kelompok objek atau elemen yang memiliki kesamaan wujud. 4. Deduksi, dilakukan berdasarkan asas konvergensi bukti untuk prediksi terjadinya hubungan tertentu. 5. Klasifikasi, dilakukan untuk menyusun objek dan elemen ke dalam sistem yang teratur.

19 14 Vink (1965) dalam Lo (1976) dalam Sutanto (1994: 94) hasil intepretasi citra sangat bergantung atas penafsir citra beserta tingkat referensinya. Tingkat referensi adalah keluasan dan kedalaman pengetahuan penafsir citra. Ada tiga tingkat referensi, yaitu: a. Tingkat referensi umum, yaitu pengetahuan atau keakraban penafsir citra tentang gejala dan proses yang diintepretasi. b. Tingkat referensi lokal, yaitu pengetahuan atau keakraban penafsir citra terhadap lingkungan setempat atau daerah yang diintepretasi. c. Tingkat referensi khusus, yaitu pengetahuan yag mendalam tentang proses dan gejala yang diintepreatsi. Intepretasi citra terdiri dari dua proses, yaitu proses perumusan identitas objek dan elemen yang dideteksi pada citra dan proses untuk menemukan arti penting objek dan elemen tersebut (Lo, 1976 dalam Sutanto, 1994: 96). Karakteristik citra seperti ukuran, bentuk, bayangan dan sebagainya digunakan untuk identifikasi objek, sedangkan analisis dan deduksi digunakan untuk menemukan hubungan yang berarti dalam proses yang kedua. Hasilnya berupa klasifikasi untuk menyajikan sejenis keteraturan dan kaitan antara informasi kualitatif yang diperoleh. Klasifikasi ini menuju arah teorisasi. Teorisasi adalah penyusunan teori berdasarkan penelitian yang bersangkutan atau penggunaan teori yang ada sebagai dasar analisis dan penarikan kesimpulan penelitian. Dengan demikian maka intepretasi citra pada dasarnya berupa proses klasifikasi yang bertujuan untuk memasukkan gambaran pada citra ke dalam kelompok yang tepat, sehingga diperoleh pola kelompok dan hubungan timbal baliknya.

20 15 (5) Teorisasi (2) Merumuskan identitas objek dan elemen Intepretasi Citra (1) Deteksi (4) Klasifikasi melalui serangkaian evaluasi berdasarkan kriteria yang ada (3)Analisis dan deduksi Gambar. 0 Proses Intepretasi Citra Sumber: Sutanto (1994: 95) Identifikasi objek yang dilakukan pada saat intepretasi citra secara visual tersebut didasarkan pada unsur-unsur interpretasi (Sutanto, 1994: 121). Unsur interpretasi citra terdiri dari delapan butir, yaitu: a) Rona atau warna, yaitu tingkat kegelapan atau kecerahan objek pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi objek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak, sedangkan warna merupakan wujud yang tampak pada mata dengan menggunakan spektrum sempit. b) Bentuk, merupakan atribut yang jelas, sehingga banyak objek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. c) Ukuran, dapat berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. d) Tekstur, yaitu frekuensi perubahan rona pada citra. e) Pola, yaitu susunan keruangan. f) Bayangan, bersifat menyembunyikan objek yang berada di daerah gelap. Tetapi bayangan merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beberapa objek yang justru tampak dari bayangannya. g) Situs, yaitu lokasi suatu objek commit dalam hubungannya to user dengan lingkungan sekitar.

21 16 h) Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan yang lainnya. Pada saat identifikasi objek pada foto udara atau pada citra dianjurkan untuk menggunakan asas konvergensi bukti yaitu bukti - bukti yang mengarah ke satu titik simpul (Sutanto: 1994: 144). Asas konvergensi bukti menggunakan lebih dari satu unsur interpretasi citra. Semakin banyak unsur interpretasi citra yang digunakan, semakin sempit lingkupnya ke arah titik simpul tertentu. Menurut Sutanto (1994: 103), intepretasi citra pada dasarnya terdiri dari dua kegiatan utama, yaitu: 1. Penyadapan data dari citra. Penyadapan data dari citra berupa pengenalan objek dan elemen yang tergambar pada citra serta penyajianya ke tabel, grafik atau peta tematik. Urutan pekerjaannya dimulai dengan memisahkan objek berdasarkan perbedaan rona atau warna, kemudian delienasi garis batas bagi objek dengan rona atau warna yang sama. Objek dikenali berdasarkan karakteristik spasial dan atau temporalnya, kemudian diklasifikasikan dan digambarkan ke dalam peta sementara. Kegiatan selanjutnya adalah uji lapangan untuk meyakinkan kebenaran hasil intepretasi citra dan menambah data yang diperlukan yang tidak dapat disadap dari citra. Kemudian dilakukan intepretasi ulang dan pengkajian atas pola atau susunan keruangan objek yang menjadi perhatian. 2. Penggunaan data hasil intepretasi untuk tujuan tertentu Bagi penelitian terapan, data yang diperoleh dari citra dipergunakan untuk analisis dalam bidang tertentu seperti, perpajakan, geomorfo;ogi, ekologi dan lainlain. 4. Uji Ketelitian Interpretasi Untuk ketelitian hasil interpretasi citra dapat dilakukan berbagai cara. Menurut Short (1982 :12) ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam uji ketelitian, yaitu: (a) cek lapangan pada titik - titik terpilih, (b) pendugaan kesesuaian antara citra dengan peta acuan atau foto, (c) analisis statistik, dan (d) penghitungan matrik konfusi.

22 17 Uji ketelitian pada penelitian ini menggunakan perhitungan matrik konfusi. Tabel perhitungan matrik konfusi merupakan derivasi dari penjumlahan omisi, komisi dan keseluruhan ketelitian pemetaan (Short: 1982: 14). Omisi adalah jumlah kesalahan interpretasi dari objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi. Komisi adalah jumlah objek lain yang diinterpretasikan sebagai objek X dibagi jumlah seluruh objek yang diinterpretasi, sedangkan ketelitian pemetaan adalah jumlah objek X yang diinterpretasi benar dibagi jumlah objek X yang diinterpretasi benar ditambah jumlah omisi dan komisi. Ketelitian pemetaan dihitung tiap klasifikasi objek. Keseluruhan ketelitian pemetaan dihitung dengan menjumlahkan objek X yang diinterpretasi benar dari semua klasifikasi objek dibagi dengan jumlah seluruh sampel objek. Contoh matrik konfusi disajikan dalam Tabel 3 berikut ini : Tabel 3. Contoh Matrik Konfusi Uji Ketelitian Lapangan Klasifikasi Ikonos Kesalahan A B C D Jml Omisi Komisi Pemetaan Jml A /43 7/43 25/( ) 50 B /63 11/63 50/( ) 68 C /72 18/72 60/( ) 67 D /106 13/ /( ) 84 Jml Ketelitian klasifikasi keseluruhan = ( )/284 = 83% Sumber: Short (1982: 259) Kelebihan melakukan perhitungan dengan matrik konfusi adalah kesalahan omisi dan komisi dapat menggambarkan letak kesalahan interpretasi dan dari kedua jenis kesalahan tersebut dapat diturunkan ketepatan penggunaan dan ketetapan pembuatan [(Sitorus (1994) dalam Simarangkir (2005: 32)]. Oleh karena itu uji ketelitian tersebut tidak termasuk pengukuran tunggal, sehingga disebut sebagai prosedur uji ketelitian yang sangat valid.

23 18 Tingkat ketelitian suatu uji klasifikasi dikatakan baik jika memenuhi syarat tertentu yang tergantung pada tujuan klasifikasinya (Simarangkir, 2005: 32). Pada umumnya ketelitian yang disyaratkan adalah (1) Rata-rata ketelitian > 84 % dan (2) kesalahan komisi < 20% 5. Permukiman Dalam ungkapan yang dipergunakan setiap hari, baik oleh orang awam ataupun yang dimuat dalam media massa bahkan instansi pemerintahan, selalu mencampur-adukkan istilah permukiman dengan istilah pemukiman. Mereka menganggap kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama, padahal dilihat dari segi pembentukan katanya saja sudah berbeda. Secara estimologis, kata permukiman maupun kata pemukiman berasal dari asal kata mukim (Purwadarminto, 1966: 6). Permasalahan dalam pembentukan kata permukiman dan pemukiman terletak pada perbedaan imbuhan dan arti yang dihasilkannya (Ndang Hidayat dan Hanapi Natasasmita, 1986; Gorys Keraf, 1978). Kata permukiman mempunyai imbuhan per-an sedangkan kata pemukiman mempunyai imbuhan pe-an. Kedua macam jenis imbuhan ini mempunyai fungsi pembentukan kata benda. Di antara beberapa arti yang dibentuk oleh imbuhan per-an, ternyata yang paling tepat untuk kata permukiman adalah tempat ber...atau tempat bermukim untuk kata permukiman, sedangkan arti imbuhan pe-an pada kata pemukiman mempunyai arti cara me... atau hal me...dengan demikian kata permukiman haruslah dibedakan dengan kata pemukiman dalam penggunaannya, meskipun makna kedua istilah tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat. Pengertian istilah permukiman secara luas mempunyai arti perihal tempat tinggal atau bangunan tempat tinggal, sedangkan pemukiman banyak menyangkut tentang cara-cara memukimkan atau proses memukimkan dan dapat pula berarti memukimi atau menempati tempat-tempat tertentu.(yunus, 2007: 5)

24 19 Permukiman merupakan konsentrasi perumahan yang dilengkapi dengan jaring-jaring jalan sebagai sarana transportasi bagi penduduk yang mendiaminya. Untuk itu jelas bahwa tanpa bangunan tempat tinggal, manusia tidak dapat berlindung dan tidak bisa menyelenggarakan hidupnya. Permukiman hanya dapat diungkapkan dengan baik apabila permukiman dikaitkan dengan manusia yang bermukim di dalamnya. Manusia dengan tingkat kebudayaan paling sederhana pun pasti membutuhkan rumah sebagai tempat tinggalnya, baik bersifat sementara maupun menetap. Permukiman sebagai obyek material dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu, karena fungsi permukiman sendiri sangat kompleks. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU Nomor 4 Tahun 1992: pasal 1 ayat 3). Menurut Yunus (1989: 9) definisi permukiman adalah sebagai berikut : Permukiman adalah suatu bentukan artificial maupun natural dengan segala kelengkapannya yang dipergunakan oleh manusia, baik secara individual maupun kelompok, untuk bertempat tinggal baik secara sementara maupun menetap dalam rangka penyelenggaraan kehidupannya. Menurut Bintarto (1997: 2) definisi permukiman adalah sebagai berikut : Suatu tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama, dimana mereka membangun rumah-rumah, jalan dan sebagainya guna kepentingan mereka. Pengertian permukiman secara luas mempunyai arti tempat tinggal atau segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan secara sempit berarti daerah tempat tinggal atau tempat tinggal, secara lengkap pengertian permukiman dalam geografi, dapat diartikan sebagai suatu bentukan (man made) maupun natural dengan segala kelengkapannya yang dipergunakan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok, commit untuk to user bertempat tinggal baik sementara

25 20 maupun menetap dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya (Yunus, 1987: 3). 6. Kualitas Permukiman Pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat menyebabkan peningkatan kebutuhan akan aktivitas manusia dan kebutuhan akan ruang tempat tinggal. Kedua hal tersebut memicu berkembangnya lingkungan permukiman. Karena tujuan, hak, saingan, dan perbedaan keinginan, membuat para penduduk yang kurang dalam hal perekonomian memaksakan kehendak mendirikan rumah spontan yang menjadikan munculnya keterbatasan ruang tempat tinggal, maka dari keterbatasan ruang tempat tinggal akan timbul masalah kualitas permukiman. Kualitas permukiman ditentukan oleh beberapa variabel-variabel yang dapat mengetahui kualitas permukiman tersebut. Variabel variabel penentu kualitas permukiman adalah sebagai berikut: a. Pola permukiman Pola permukiman adalah keseragaman arah hadap bangunan terhadap jalan dan tata letak bangunan. Semakin tidak seragam arah hadap dan tata letak bangunan maka semakin buruk kualitas permukiman tersebut, karena tidak terjadi perencanaan pembangunan sebelum terbentuk permukiman tersebut. b. Kepadatan permukiman Kepadatan permukiman adalah persentase luas atap pada seluruh blok permukiman terhadap luas seluruh blok permukiman. Semakin padat suatu permukiman maka semakin buruk kualitas permukiman tersebut, karena permukiman yang padat akan memicu kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat yang buruk pula. c. Ukuran rumah Ukuran rumah dihitung dengan cara pengukuran manual seluruh luasan atap rumah pada setiap blok permukiman di daerah penelitian. Atap atap rumah dihitung dengan bantuan kaca pembesar. d. Jarak rumah dari jalan Jarak rumah dari jalan dapat diartikan sebagai jarak rumah dari jalan utama yang mampu dilewat mobil commit atau alat to transportasi user umum.

26 21 e. Lebar jalan Lebar jalan adalah rerata lebar jalan di dalam permukiman. Semakin sempit lebar jalan di dalam permukiman maka semakin buruk kualitas permukiman tersebut, karena sarana transportasi yang memasuki permukiman tersebut menjadi terbatas sehingga pembangunan menjadi terhambat. f. Kualitas jalan Kualitas jalan adalah kualitas jalan yang dapat dirasakan jika jalan tersebut dilalui. Kenyamanan jalan tergantung pada bahan penutup permukaan jalan, apakah jalan tersebut diperkeras atau tidak. g. Bahaya banjir Bahaya banjir adalah ancaman banjir pada suatu permukiman. Semakin sering permukiman tergenang oleh banjir, maka kualitas prmukiman tersebut akan buruk, karena banjir meyebabkan segala aspek kehidupan menjadi terhambat. (Sumber : Suharyadi 1989 dalam Yudhiono (2006: 45), dengan perubahan) 7. Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaanya (Hardjowigeno, 1978: 43). Menurut Arsyad (1989: 207), lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang atau tempat. Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spritual (Arsyad, 1989: 207). Direktorat Land Use dalam Arsyad (1989: 207), menyatakan penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu : a. Penggunaan Lahan Pertanian Berdasarkan atas air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut. commit Penggunaan to user lahan ini meliputi :

27 22 1) Tegalan 2) Sawah 3) Kebun kopi 4) Kebun karet 5) Padang rumput 6) Hutan produksi 7) Hutan lindung 8) Padang alang-alang b. Penggunaan Lahan Non Pertanian, dibedakan : 1) Penggunaan desa dan kota (permukiman) 2) Industri 3) Rekreasi 4) Pertambangan, dan sebagainya. Data penggunaan lahan di Kecamatan Colomadu diperoleh dari interpretasi Citra Ikonos Kecamatan Colomadu tahn kemudian diolah menggunakan SIG dan digambarkan pada peta menggunakan skala 1 : Hasil interpretasi penggunaan lahan kemudian diklasifikasikan berdasarkan penggunaan lahan yang dikemukakan oleh Arsyad (1989: 207) dengan penyederhaan sesuai kebutuhan dalam penelitian. 8. Sistem Informasi Geografi Sistem informasi geografi adalah suatu sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan data (capturing), menyimpan, memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan data-data yang berhubungan dengan posisi-posisi di permukaan bumi (Prahasta, 2001: 56). Sistem informasi ini tersusun atas berbagai komponen yang saling terkait dan terkoordinasi, antara lain : input data, pemrosesan dan manipulasi data, dan output data (keluaran data). SIG telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini ditandai dengan munculnya banyak perangkat lunak SIG baik yang berbasis raster maupun yan berbasis vektor. Dalam SIG ada beberapa program diantaranya adalah R2V, Arc Info commit dan Arc to user View. R2V dipakai untuk input data

28 23 spasial, Arc Info dipakai untuk pemrosesan data spasial (khususnya pembangunan topologi), sedangkan Arc View untuk output data baik spasial maupun atribut termasuk tool untuk analisis. Untuk membangun data atribut bisa dilakukan di tabel Arc View maupun tabel Exell yang selanjutnya digabungkan (joint) ke dalam tabel Arc View. Sebagai suatu sistem, SIG terdiri dari beberapa subsistem sebagai berikut : a. Masukan Data (Data input) Subsistem masukan data bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini juga bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format-format data asli ke format atau bentuk yang dapat diterima dan dapat dipakai dalam SIG. Pemasukan data dalam SIG dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu : 1) Penyiaman Penyiaman merupakan proses pengubahan data grafis kontinue menjadi data grafis diskrit yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar/piksel. 2) Digitasi Digitasi merupakan proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital. Proses digitasi menghasilkan struktur data vektor. Data vektor disimpan dalam bentuk titik (point), garis atau segmen (line), dan bidang (area, poligon). 3) Tabulasi Tabulasi merupakan pemasukan data atribut (semua informasi non grafis yang dirujukan pada posisi geografis) melalui pembutan tabel. b. Pengelolan Data Subsistem pengelolaan data pada dasarnya dapat dimanfaaatkan untuk menimbun dan menarik kembali arsip data dasar. Fungsi dari pengelolaan data adalah untuk pengorganisasian data keruangan, pengambilan dan analisis data. Masukan data dalam SIG selanjutnya disimpan dalam basis data (data base) pada memori komputer.

29 24 SIG secara bertahap dibangun berdasarkan sistem pengelolaan basis data (data base management system). Ada dua pendekatan dalam menggunakan sistem pengelolaan basis data yaitu (a) sistem pengelolaan basis data yang mengelola data spasial dan data non spasial bersama-sama, dan (b) data non spasial diakses melalui sistem pengelolaan basiss data, sedangkan data spasial dikelola langsung oleh SIG. c. Simulasi dan Analisis Data Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG dan berfungsi untuk membedakan data yang akan diproses dalam SIG. Salah satu kelebihan SIG adalah pada simulasi dan menghasilkan informasi baru berdasarkan data yang ada. Contoh simulasi dan analisis data dalan SIG adalah : 1) Penyuntingan untuk pemukthiran data. 2) Interpolasi spasial. 3) Tumpang susun peta. d. Keluaran Data (Data Output) Subsistem ini berfungsi untuk menayangkan informasi maupun hasil analisis data geografis secara kualitatif ataupun kuantitatif. Keluaran SIG dapat berupa peta cetakan (hard copy), rekaman (softcopy), tayangan (display). Keluaran data ini dapat berwujud dalam bentuk laporan, grafik, peta, tabel, atau hasil olahan statistik. Melalui keluaran ini pengguna dapat melakukan identifikasi informasi yang diperlukan sebagai bahan dalam pengambilan kebijakan maupun perencanaan. SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG terdiri dari komponen-komponen berikut : 1) Perangakat keras (hardware) 2) Perangkat lunak (software) 3) Data dan informasi 4) Manajemen Sistem Informasi Geografi dapat diaplikasikan untuk menentukan analisis kualitas permukiman di commit daerah to user penelitian. Daerah penelitian yang

30 25 dimaksud adalah permukiman di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar tahun Dengan SIG, pengolahan data dapat dilakukan sehingga menghasilkan data output yang dibutuhkan seperti peta persebaran permukiman dan peta kualitas permukiman. B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang berkaitan dengan lingkungan permukiman dengan teknik penginderaan jauh pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian tersebut antara lain : Pradinata (2004), mengadakan penelitian tentang sebaran permukiman kumuh di Kota Yogyakarta dengan judul Kajian Agihan Permukiman Kumuh Dari Citra Satelit Ikonos di Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut menggunakan citra satelit ikonos sebagai sumber data utamanya. Citra ikonos yang digunakan adalah citra yang telah dikoreksi pada tahun Metode yang digunakan adalah adalah interpretasi citra ikonos, pengharkatan dan survey lapangan. Analisis yang digunakan adalah statistik regresi ganda, korelasi ganda, dan uji signifikansi koefisien korelasi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas permukiman di kota Yogyakarta didominasi oleh permukiman dengan kategori sedang, disusul dengan permukiman kualitas baik dan buruk. Permukiman kumuh di Yogyakarta, umumnya berada di bantaran sepnjang Sungai Code dan Sungai Winongo. Yudhiono (2006) mengadakan penelitian tentang sebaran permukiman kumuh di Desa Bandarharjo Kecamatan Semarang Tengah Kota Semarang dengan judul Kajian Sebaran Permukiman Kumuh Dengan Menggunakan Foto Udara Pankromatik Hitam Putih (Studi Kasus di Desa Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang). Penelitian tersebut menggunakan Foto udara pankromatik hitam putih sebagai sumber datanya. Metode yang digunakan adalah interpretasi foto udara pankromatik hitam putih, pengharkatan, analisis, survey lapangan. penelitian ini menggunakan analisis pengharkatan (skoring). Analisis skoring digunakan untuk menentukan

31 26 tingkat kekumuhan dan tingkat kualitas permukiman berdasarkan kelasnya. Hasil dari penelitian tersebut adalah : a. Lingkungan permukiman di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kabupaten Semarang memiliki kualitas lingkungan permukiman II (agak kumuh) dan kualitas lingkungan permukiman III (kumuh). b. Sebaran lingkungan permukiman kumuh terdapat di seluruh Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Luas seluruh daerah penelitian adalah 36,288 ha. Lingkungan permukiman agak kumuh memiliki luas 20,687 ha (57,00%), meliputi RW 1, RW 3, RW 4, RW 5, RW 6, RW 8, dan RW 12. Lingkungan permukiman kumuh mempunyai luas 15,601 (42,99%), meliputi RW 1, RW 2, RW 7, RW 9, RW 10, dan RW 11.

32 27 Tabel 4. Penelitian yang relevan Peneliti Tahun Lokasi Judul Penelitian Dety Eka Pradinata 2004 Kota Yogyakarta Kajian Agihan Permukiman Kumuh Dari Citra Satelit Ikonos Di Kota yogyakarta Jenis Foto Udara Citra satelit Ikonos tahun 2002 terkoreksi Metode Interpretasi citra Ikonos, analisis pengharkatan, survey lapangan, analisis statistik. Hasil Penelitian Kualitas permukiman di kota Yogyakarta didominasi oleh permukiman dengan kategori sedang, disusul dengan permukiman kualitas baik dan buruk. Permukiman kumuh di Yogyakarta, umumnya berada di bantaran sepnjang Sungai Code dan Sungai Winongo. Bimo Yudhiono 2006 Desa Bandarharjo Kecamatan Semarang Tengah Kota Semarang Kajian Sebaran Permukiman Kumuh Dengan Menggunakan Foto Udara Pankromatik Hitam Putih (Studi Kasus Di Desa Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang) Foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : Interpretasi foto udara pankromatik hitam putih, pengharkatan, analisis, survay lapangan. - Lingkungan permukiman di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang memiliki kualitas lingkungan permukiman II (agak kumuh) dan kualitas lingkungan permukiman III (kumuh). - Sebaran lingkungan permukiman kumuh terdapat di seluruh Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Eko Sapto Nugroho 2009 Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar Pemanfaatan Citra Ikonos Untuk Kajian Kualitas Permukiman Di Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar Citra Satelit Ikonos Tahun 2009 Interpretasi Cotra Ikonos, Analisis Pengharkatan, Survey Lapangan.

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK IDENTIFIKASI OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK IDENTIFIKASI OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN VOLUME 1 No. 2, 22 Juni 2012 Halaman 71-143 PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK IDENTIFIKASI OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN Wiji Lestari Pengelolaan Infrastruktur Pembangunan Masyarakat Sekolah Pascasarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH

MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana. fungsi dalam tata lingkungan perkotaan (Nazaruddin, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Penghijauan Kota Kegiatan penghijauan dilaksanakan untuk mewujudkan lingkungan kota menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan lingkungan dengan suasana yang asri, serasi dan sejuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan energi utama yang digunakan hampir diseluruh sisi kehidupan manusia saat ini dimana semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK PENDATAAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA TAHUN 2009

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK PENDATAAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA TAHUN 2009 PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK PENDATAAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KECAMATAN JEBRES KOTA SURAKARTA TAHUN 2009 Skripsi Oleh: Wiji Lestari K5405039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN KOTA YOGYAKARTA BAGIAN SELATAN DENGAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar Penelitian

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

yang tersedia untuk dibangun dan terus meningkatnya harga tanah yang terlalu tinggi serta kesulitan dalam proses pembebasan tanah untuk perumahan

yang tersedia untuk dibangun dan terus meningkatnya harga tanah yang terlalu tinggi serta kesulitan dalam proses pembebasan tanah untuk perumahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Indonesia terus mengalami pertambahan yang sangat pesat, hal ini akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal.

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana keadaan di negara-negara lain, industri keuangan di Indonesia kini tengah mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan yang mendasar tersebut terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah terkait dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin intensifnya aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM UU no. 4 Tahun 2011 tentang INFORMASI GEOSPASIAL Istilah PETA --- Informasi Geospasial Data Geospasial :

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS)

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kompetensi Utama: Kompetensi Inti Guru: Kompetensi Dasar: Profesional Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Disusun Oleh : Adhi Ginanjar Santoso (K3513002) Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Interpretasi Citra dan Foto Udara

Interpretasi Citra dan Foto Udara Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,

Lebih terperinci

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Nisfi Sasmita 1, Rina Reida 1, Ida Parida Santi 1, Daratun Nurahmah 1, Neny Kurniawati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dihindari. Kebutuhan rumah bahkan termasuk ke dalam kebutuhan primer selain makanan dan pakaian. Dengan semakin

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra 67 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra satelit ke dalam peta tematik antara lain sebagai berikut : 1. Bahan a. Data

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada waktu sekarang dalam perekonomian manapun di permukaan bumi ini tumbuh dan berkembang berbagai macam lembaga keuangan. Semua lembaga keuangan tersebut mempunyai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi a. Pengertian Geografi Menurut hasil seminar lokakarya peningkatan kualitas pengajaran geografi di Semarang tahun

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka 8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota

11. TINJAUAN PUSTAKA Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota Pengertian lingkungan, menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 4 tahun 1982 "kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT Lili Somantri Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS, UPI, L_somantri@ymail.com

Lebih terperinci