Pengantar Kajian Postkolonial

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengantar Kajian Postkolonial"

Transkripsi

1 Contents Pengantar Kajian Postkolonial... 2 Dekolonisasi Ilmu Pengetahuan... 2 Orientalisme... 3 Orientalisme dan Sistem Pengetahuan di Indonesia... 4 Subaltern Studies: Agensi & Bias Representasi Kelompok Subaltern... 5 Subaltern Studies: Negara & Dominasi Atas Kelompok Subaltern... 6 Dekonstruksi Esensialisme Budaya... 7 Psikoanalisa dan Inferior Kompleks... 8 Aktivisme & Kajian Post kolonial... 9

2 Dana Hasibuan MA, Dosen Sosiologi, FISIPOL UGM, Peneliti PSKP-UGM, 2017 Pengantar Kajian Postkolonial Dekolonisasi Ilmu Pengetahuan Formasi ilmu pengetahuan selalu dinamis dan mengalami pergeseran dari satu periode ke periode berikutnya. Hipotesa sederhana namun radikal yang dikemukakan oleh Wallerstein tersebut memiliki dampak yang signifikan bagi institusi pendidikan dan produksi pengetahuan sebab; a) menempatkan pengetahuan sebagai suatu perangkat ide dan praktek yang memproduksi kebenaran; b) dan memposisikan kebenaran tersebut sebagai suatu entitas yang dapat diperdebatkan, dipertanyakan dan bahkan diabaikan. Menelusuri sejarah sistem pemikiran, Wallerstein menunjukkan bahwa pembagian ilmu pengetahuan yang dikenal hari ini yakni: natural science, social science dan humaniora terkait erat dengan konteks global di abad ke 19. Pada saat itu rumpun ilmu sosial dibagi ke dalam 3 bidang yakni: Sosiologi, Ekonomi dan Politik untuk merespon transformasi sistem ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang terjadi di Barat, sedangkan rumpun Humaniora dikategorikan ke dalam Antropologi dan Oriental Studies untuk mempelajari masyarakat di luar Eropa (Barat). Menurut Wallerstein meski ada pemisahan antara Antropologi dan Oriental Studies namun dalam konteks makro tujuan yang melekat di dalam pendirian disiplin Antropologi dan Oriental Studies adalah mempelajari secara keseluruhan seluruh dimensi kehidupan masyarakat yang di luar Eropa. Dan dorongan yang melatarbelakangi keinginan untuk memahami the rest of the world menurut Wallerstein jauh dari nilai objektif, netral, dan bebas kepentingan. Sejak awal terdapat asumsiasumsi implisit yang menempatkan masyarakat di luar Eropa sebagai masyarakat yang terputus dari peradaban, eksotis, dan bahkan berbahaya sehingga pengetahuan yang diproduksi secara halus mereproduksi ketimpangan dan hierarki kekuasaan. Dalam perkembangannya, seiring dengan bergesernya pusat kekuasaan dari Eropa ke Amerika Serikat, Oriental Studies dan Antropologi mengalami perubahan bentuk di dalam pengelolaan sumberdaya dan mode pengetahuan menjadi Area Studies (kajian wilayah). Di dalam Kajian Wilayah, nilai-nilai yang mendasari Oriental Studies dan Antropologi awal diintegrasikan ke dalam 3 bidang rumpun ilmu sosial: Sosiologi, Ekonomi & Politik dengan tujuan memproduksi ilmu sosial yang memiliki spesialisasi pengetahuan atas suatu wilayah. Sejak kebangkitan dunia intelektual Amerika mulai berkembang ilmu politik, sosiologi, dan ekonomi Amerika Latin, Asia Timur, Afrika, dan seterusnya. Dalam sistem pengetahuan dimana nilai Orientalisme tidak hilang tetapi menjadi bertumpuk dan tumpang tindih dengan rumpun ilmu sosial telah membuat batas antara rumpun ilmu sosial dan humaniora menjadi semakin kabur. Hal ini menurut Wallerstein membuat upaya untuk mendeteksi dan membongkar praktek-praktek diskriminasi, bias, dan marjinalisasi di dalam proses produksi pengetahuan menjadi semakin menantang. Implikasinya, otoritas, sumberdaya, hipotesa, ontologi, dan epistemologi yang mengontrol proses produksi pengetahuan menjadi semakin terkait dengan reproduksi hierarki kekuasaan. Di tengah-tengah situasi dimana rumpun ilmu sosial semakin jenuh dengan bias orientalis yang menyebar ke berbagai disiplin mulai muncul gerakan-gerakan yang mulai menuntut adanya dekolonisasi di dalam produksi pengetahuan khususnya sejak Gerakan ini yang kemudian mengilhami studi perempuan (women s studies), studi ras kulit hitam (black s studies), dan termasuk kajian post-kolonial.

3 Orientalisme Apa yang dimaksud dengan budaya Barat-Timur? Siapa yang mendeskripsikan budaya Barat-Timur? Otoritas apa yang dimiliki oleh pihak yang mendeskripsikan Barat-Timur? Dan bagaimana otoritas itu diperoleh? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang menginspirasi Edward Said untuk menulis buku Orientalism. Melalui Orientalism, Edward Said membongkar sistem pengetahuan yang selama ini beroperasi di dalam proses konstruksi dan representasi kebudayaan. Bagi Said, sistem pengetahuan tidak dapat dilihat sebagai entitas yang netral dan bebas kepentingan. Sebaliknya, ada relasi kekuasaan yang membentuk atau mengkondisikan kerangka berpikir atas kebudayaan. Tantangannya adalah seringkali operasi kekuasaan ini bekerja dengan sangat halus dan menyebar sehingga sulit bagi pandangan umum untuk mempertanyakan bias, diskriminasi, eksklusi, dan dominasi yang bekerja melalui kebudayaan. Di level makro, kekuasaan yang bekerja melalui relasi sosial dan tidak terpusat pada satu posisi menciptakan apa yang Foucault sebut dengan rezim Normalitas (1978). Menggunakan pendekatan kritik ideologi, Edward Said membongkar rezim pengetahuan yang selama ini dominan di dalam mendeskripsikan dan merepresentasikan budaya Barat-Timur. Said berpendapat bahwa ilustrasi dan cerita yang kita temukan di literatur-literatur Barat mengenai kebudayaan Timur kontras dengan pengalaman dia yang tumbuh besar di Palestina dan Mesir. Deskripsi literatur Barat tentang kebudayaan Timur yang diwarnai kemalasan, kebodohan, irasional, mistis, dan despotik mendorong kritik Said bahwa di dalam praktek berbahasa, proses deskripsi tidak pernah berhenti sebatas menjelaskan atau menceritakan suatu kondisi sosial politik. Lebih jauh, ada rekayasa sosial yang memproduksi identitas objek pengetahuan. Dan metode rekayasa identitas Timur melalui sistem pengetahuan dilakukan oleh budayawan, ilmuwan, birokrasi dan militer kolonial melalui puisi, novel, buku, lukisan, dokumen, diari dan seterusnya. Orientalisme adalah nama yang digunakan oleh Edward Said untuk mengkategorikan jalinan proses, ide, kepentingan dan aktor yang melakukan kolonisasi melalui sistem pengetahuan. Orientalisme adalah politik perbedaan yang membuat birokrasi, ilmuwan, budayawan, dan militer menganggap bahwa ada satu ras/kebudayaan yang lebih superior dibandingkan ras/kebudayaan lainnya. Politik perbedaan ini merupakan teknik dan metode untuk melanggengkan kekuasaan. Sebagai teknik kekuasaan, satu ciri yang menonjol di dalam paradigma orientalisme adalah praktek esensialisasi budaya yang melayani kekuasaan imperialisme. Esensialisasi budaya yang dimaksud disini adalah suatu proses yang melekatkan unsur-unsur kebudayaan kepada suatu kelompok masyarakat dan menempatkan pengetahuan atau informasi tersebut sebagai kebenaran absolut. Di sisi lain, Said

4 juga mencatat bahwa Orientalisme juga perlu dibedakan berdasarkan wilayah kemunculannya yakni Orientalisme yang berkembang di era kolonial diwakili oleh Eropa dan era pasca kolonialisme (neokolonialisme) diwakili oleh Amerika. Perbedaan antara keduanya cukup menonjol di wilayah kajian dimana Eropa cenderung fokus mempelajari teks-teks klasik Timur tengah sedangkan Amerika fokus mempelajari karakteristik masyarakat Timur Tengah. Perbedaan ini akan menjadi tema pembahasan di sesi berikutnya. Orientalisme dan Sistem Pengetahuan di Indonesia Jika sesi sebelumnya membahas mengenai hubungan antara Imperialisme dengan sistem pengetahuan Orientalisme, cara beroperasi paradigma Orientalisme di dalam membingkai kerangka berpikir, dan premis-premis dasar yang dihasilkan oleh Orientalisme, maka sesi ini akan mengeksplorasi lebih mendalam aplikasi pemikiran Orientalisme Eropa dan Amerika Serikat dengan menggunakan buku yang ditulis oleh Samual Hanneman yang berjudul Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia. Dengan menggunakan Indonesia sebagai ilustrasi, Samuel Hanneman bercerita bagaimana Orientalisme Eropa dan Orientalisme Amerika Serikat berkembang, diadopsi, dan mempengaruhi institusi pendidikan dan ilmu pengetahuan sosial di Indonesia. Seperti apa pengaruh Orientalisme Eropa dan Amerika di Indonesia? Bagaimana paradigma Orientalisme berhubungan dengan sistem kekuasaan di Indonesia? Seperti apa keterputusan dan transisi dari Orientalisme Eropa ke Orientalisme Amerika? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang diajukan oleh Samuel Hanneman untuk mengkaji paradigma Orientalisme yang membentuk ilmu sosial di Indonesia. Di dalam buku Hanneman, kita menemukan bahwa di satu sisi Orientalisme di Indonesia secara konsisten bersandar pada tradisi Weberian yang memandang bahwa Modernitas merupakan suatu perkembangan sosial yang natural dan netral dan dapat diidentifikasi dari terbentuknya integrasi sosial diantara relasi sosial kompleks untuk mencapai suatu tujuan bersama. Di sisi lain, Orientalisme perlu dibedakan antara perspektif Orientalisme yang berkembang di periode kolonial dan pasca kolonial. Meski sama-sama bertolak dari tradisi Weberian, masing-masing perspektif memiliki rumusan, teknik dan metode yang berbeda dalam membayangkan dan merealisasikan masyarakat Modern. Pada periode kolonial, paradigma Orientalisme beroperasi melalui disiplin ilmu yang disebut Indologi yang menghasilkan tiga tesis utama yang berfungsi sebagai landasan untuk menjustifikasi praktek kolonisasi; (a) penggolongan sistem ekonomi masyarakat Hindia Belanda sebagai sistem yang tradisional dan terbelakang; (b) asumsi mengenai keberagaman dan kemajemukan masyarakat Hindia Belanda yang selalu menghasilkan hubungan yang konfliktual dan kekerasan; (c) dan keterbatasan kemampuan masyarakat Hindia Belanda untuk mengembangkan sistem ekonomi, sosial, budaya dan politik sehingga membutuhkan peran negara yang kuat. Melalui tiga tesis utama diatas, Indologi menciptakan ilusi bahwa masyarakat Hindia Belanda tidak akan mampu bertahan tanpa kehadiran pemerintah kolonial dan oleh karena itu Indologi perlu direproduksi secara terus menerus melalui institusi pendidikan untuk mempertahankan relasi kekuasan kolonial. Pasca perang dunia kedua, secara perlahan peran Indologi mulai tergerus dan digantikan oleh kajian wilayah (Area Studies). Momen ini sekaligus mencerminkan pergeseran dari Orientalisme Eropa ke Orientalisme Amerika. Untuk membedakan diri dengan Indologi yang fokus antara hubungan rezim kolonial dan masyarakat Hindia belanda, kajian wilayah tampil sebagai disiplin yang hendak mempelajari keaslian Indonesia sekaligus mengeksplorasi bagaimana rezim kolonial dan Indologi telah mensubordinasi keaslian Indonesia. Meski terkesan berpihak dengan posisi Indonesia, dalam prakteknya Kajian Wilayah menggunakan paradigma struktural fungsionalisme Parsonian yang merupakan turunan langsung pendekatan Weberian. Oleh karena itu disiplin Kajian Wilayah turut mereproduksi meski implisit bias Modernitas yang menganggap bahwa setiap masyarakat akan

5 berkembang dari tipe tradisional ke modern. Perbedaan antara Indologi dengan Kajian Wilayah terletak pada premis-premis dasar yang dihasilkan mengenai Indonesia. Apabila Indologi menggunakan tiga tesis klasik untuk mendeskripsikan keterbatasan masyarakat Hindia Belanda, sebaliknya Kajian Wilayah memproduksi 4 hipotesa yang diadopsi dari sistem Adaptation-Goal Attainment-Integration-Latency (disingkat AGIL) untuk menggambarkan ketertinggalan masyarakat Indonesia. 4 hipotesa mengenai masyarakat Indonesia tersebut adalah; Adaptation dimana secara ekonomi, masyarakat Indonesia masih tergantung pada pola ekonomi subsisten; Goal Attainment atau orientasi politik yang diwarnai instabilitas dan kekacauan akibat tidak mampu mengartikulasikan prinsip demokrasi; Integration yang diterjemahkan sebagai corak kebudayaan yang masih tergantung pada identitas primodial dan absennya kewarganegaraan. Dan Latent yang mengasumsikan bahwa konteks sosial masyarakat Indonesia secara keseluruhan masih tradisional. Dominasi konsep AGIL tidak berhenti di level mendeskripsikan dan merepresentasikan keterbelakangan masyarakat Indonesia tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam merumuskan solusi atas problem-problem AGIL diatas. Berturut-turut, Teori Need for achievement sebagai karakter ekonomi yang baru; Pengukuhan model negara yang sentralistik untuk mengatasi instabilitas; struktur kebudayaan yang berorientasi pembangunan dan; Paradigma Lepas Landas untuk membawa masyarakat Indonesia keluar dari pandangan tradisional menjadi teknik yang melegitimasi kekuasaan Orde Baru selama 30 tahun. Situasi ini menunjukkan bahwa operasi paradigma Orientalisme melalui sistem pengetahuan selalu mengalami modifikasi dan mutasi bentuk yang seringkali terkesan natural dan bebas kepentingan namun dalam prakteknya melayani status quo. Seperti apa kemudian harapan yang dimiliki oleh masyarakat pasca kolonial jika berkaca pada situasi dimana Orientalisme telah mengakar kuat dalam institusi pemerintah, masyarakat sipil, dan pendidikan? Pertanyaan ini akan menjadi topok untuk pertemuan berikutnya. Subaltern Studies: Agensi & Bias Representasi Kelompok Subaltern Siapa yang dimaksud dengan kelompok subaltern? Bagaimana studi mengenai kelompok subaltern berkembang dan menjadi episentrum di dalam kajian postkonial? Meski istilah subaltern merupakan konsep politik yang terus dikontestasikan, secara garis besar subaltern dapat dipahami sebagai suatu kelompok yang mengalami marjinalisasi namun disaat yang bersamaan memiliki agensi untuk melawan meski dalam skala kecil (Chakrabarty, 2000). Penempatan subaltern sebagai episentrum studi postkolonial diinisasi oleh Spivak yang memandang bahwa melalui konsep subaltern, metode dan strategi kekuasaan bekerja di India dapat dikaji, dibongkar, dan dilawan untuk membangun masyarakat yang lebih adil (Spivak, 1988; Karatani, 2010). Salah satu karya Spivak yang paling berpengaruh di dalam menganalisa kekuasaan adalah studinya yang membahas hubungan antara subaltern dan praktek representasi yang berjudul Can The Subaltern Speak? (Spivak, 1988). Dengan menggunakan cerita mengenai Sati tradisi di India dimana perempuan yang berasal dari kasta rendah dituntut oleh untuk membakar diri jika pasangannya meninggal, Spivak mencermati bahwa konstruksi pengetahuan mengenai praktek bunuh diri selalu direpresentasikan oleh dua mode pengetahuan yang saling bersaing untuk menjadi pengetahuan yang dominan. Di dalam kajian mengenai sejarah India, dua mode pengetahuan yang saling berkontestasi adalah pengetahuan Barat & Timur. Wacana Barat melihat bahwa praktek bunuh diri menggambarkan perempuan India sebagai subyek yang tertindas, tidak memiliki agensi dan korban dari budaya lokal. Di sisi lain, wacana Timur atau lokal berusaha memberikan agensi kepada perempuan dengan berpendapat bahwa praktek bunuh diri oleh perempuan justru menunjukkan bahwa perempuan justru aktif berpartisipasi di dalam mempertahankan tradisi. Di tengah-tengah ketegangan dua wacana tersebut akhirnya yang terjadi adalah penindasan terhadap kelompok subaltern (Spivak,

6 1996, hlm 13). Spivak mempertanyakan bagaimana mungkin suara kelompok marjinal dapat diartikulasikan dan diadvokasi tanpa memproblematisasi ketimpangan struktural yang selama ini mendominasi posisi kelompok subaltern. Kondisi ini membuat Spivak berpendapat bahwa di balik praktek representasi terjadi suatu kekerasan simbolik sebab agensi dan suara kelompok subaltern diasumsikan seolah-olah nyata dan terbuka, yang kemudian dapat diakses dan diklaim oleh kelompok-kelompok representatif (kelompok masyarakat sipil, parlemen, eksekutif akademisi). Identitas seperti kelas, gender, usia, agama, etnis, ras, yang selama ini digunakan untuk mendeskripsikan karakter suatu kelompok sosial (Derstallen) tidak dengan serta merta akan menghasilkan kesadaran ideologis di dalam pemikiran subyek (Verstallen). Hanya karena seseorang menunjukkan ciri-ciri miskin, tidak berarti orang tersebut merasa miskin atau bahkan memiliki pengetahuan mengenai konsep miskin. Oleh sebab itu, Spivak menyimpulkan bahwa pada akhirnya proses representasi merupakan rekayasa sosial untuk mengamankan posisi kelas dominan. Argumen lain yang membongkar ilusi representasi dilacak oleh Spivak di dalam karya Marx (1988, hlm 68). Bagi Marx, tindakan dan wacana kelompok yang merepresentasikan seringkali independen atau otonom dari kelompok yang direpresentasikan (Karatani, 2010, hlm 161). Namun, hal ini disebabkan bukan karena ada pembajakan oleh para elite, tetapi lebih disebabkan ada misrekognisi di dalam memahami identitas. Konsep kelas atau golongan yang selama ini digunakan untuk mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi suatu kelompok sosial atau Darstellung (to depict) seringkali diasumsikan telah memiliki kesadaran atau agensi kolektif dan dapat direpresentasikan atau Vertretung (to represent) (Karatani, 2010, hlm 145). Akibatnya, ada ilusi yang selama ini diproduksi yang meyakini bahwa persamaan posisi sosial, seperti kelas, dengan sendirinya akan menghasilkan agensi, kesadaran dan kepentingan kolektif (Spivak, hlm 72, 1988). Padahal dalam kondisi nyatanya, kelas lebih merupakan kelas yang tidak sadar akan keberadaan dirinya (class unconsciousness). Ini artinya, kesadaran kolektif hanya dapat menjadi eksis ketika terdapat gerakan yang berusaha membangun dan mendidik identitas bersama. Analisa Spivak ini memiliki daya kritik yang kuat atas klaim representasi yang dilakukan oleh politisi, kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan elite-elite lainnya sebab meski di permukaan berbagai aktor tersebut terlihat sedang merepresentasikan pandangan yang berseberangan antara satu dengan yang lain. Di saat yang bersamaan elite-elite tersebut berbagi kerangka berpikir yang sama yakni menganggap ada kesadaran atau ideologi yang dapat mereka klaim dan representasikan tanpa pernah mempertanyakan bias ideologi di balik representasi tersebut (who votes who for whom). Lebih lanjut, tidak dipertanyakan juga ada tidaknya resistensi kelompok yang diwakili terhadap model representasi dominan (Konjin, 2005, hlm 145). Hal ini kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan untuk mendominasi atau menjaga status quo di balik setiap klaim representasi. Hal ini diperkuat dari substansi representasi yang selama ini dipromosikan cenderung menempatkan negara dan pasar sebagai pelaku perubahan, producer of welfare/agent of change. Sedangkan, masyarakat adalah penerima sasaran/obyek perubahan yang pasif, consumers of welfare/object of intervention (Harris, 2011 Caroll, 2010, Fergusson, 1994). Subaltern Studies: Negara & Dominasi Atas Kelompok Subaltern Melanjutkan sesi minggu lalu mengenai hubungan antara sistem pengetahuan dengan bias representasi yang kemudian mereproduksi marjinalisasi atas kelompok subaltern, sesi ini akan membahas secara lebih mendalam politik kelompok subaltern dengan fokus membahas konsepkonsep pemikiran Ranajit Guha. Ranajit Guha sendiri bersama-sama dengan Spivak dikenal karena membentuk mahzab pemikiran yang disebut Subaltern Studies. Keberadaan mahzab Subaltern

7 Studies menjadi penting sebab ia merupakan salah satu gerakan intelektual pertama yang cukup sistematis dan konsisten dalam mempromosikan pandangan bahwa perspektif dan konseptualisasi dari institusi pendidikan Barat tidak selalu relevan di dalam menganalisa fenomena sosial di negaranegara Dunia Ketiga oleh karena perbedaan sejarah dan formasi sosial di wilayah non-eropa. Apabila Spivak mengasosiasikan kelompok subaltern dengan perempuan-perempuan kasta rendah oleh sebab tema utamanya adalah sejarah sistem pengetahuan di India, maka Guha memposisikan masyarakat rural sebagai kelompok subaltern karena area fokusnya adalah nasionalisme di India. Ranajit Guha mencermati bahwa politik kelompok subaltern di India sangat berbeda dengan konsep politik yang selama ini dibayangkan dari kacamata politik formal. Praktek politik seperti rasional, konstituen, pemilih, dan warga negara (citizen) yang selama ini digunakan untuk merepresentasi kelompok subaltern, menurut Guha, merupakan manifestasi dari konsep masyarakat sipil yang tumbuh di dalam sistem demokrasi. Di India, berbeda dengan di Barat, hanya sekelompok elite kecil yang memiliki persamaan karakteristik dengan konsep masyarakat sipil di Barat. Mayoritas masyarakat di India yang merupakan masyarakat rural dapat dikategorikan sebagai political society memiliki logika politik yang sepenuhnya berbeda dari logika masyarakat sipil. Mengapa political society lebih popular dibandingkan civil society? Guha memandang bahwa kondisi ini disebabkan oleh sejarah dimana hubungan antara masyarakat dengan negara diawali oleh penindasan dan perlawanan. Mayoritas masyarakat yang notabenenya merupakan komunitas pribumi mengenal negara sebagai rezim kolonial yang menindas dan mengeksploitasi kelompok masyarakat yang berada di luar pusat kekuasaan. Kondisi ini berseberangan dengan konteks di Eropa dimana negara muncul seiring dengan lahirnya masyarakat sipil. Implikasinya, wacana-wacana seperti modern/tradisional, politik/prapolitik, terdidik/terbelakang, dan seterusnya tidak akan pernah mampu menjangkau dan mencerminkan kepentingan kelompok subaltern. Dekonstruksi Esensialisme Budaya Fenomena globalisasi hari ini menghadirkan tantangan baru bagi keberagaman dan perbedaan. Proses pertukaran kebudayaan dan identitas yang dahulu memiliki keterbatasan daya jangkau saat ini mampu melintasi batas negara, komunitas, dan keluarga dalam kecepatan tinggi. Dan dua faktor yang khususnya mempengaruhi perubahan di dalam relasi kebudayaan adalah perkembangan teknologi informasi yang pesat dan arus migrasi yang difasilitasi oleh perkembangan transportasi. Secara bersamaan kedua inovasi tersebut mempengaruhi; pertama, cara kita berinteraksi antara satu dengan yang lain; dan kedua, kemampuan dalam memahami dan mempraktekkan perbedaan dan keberagaman. Pergeseran fundamental ini membuat topik mengenai multikulturalisme menjadi salah satu isu yang paling sentral di dalam masyarakat hari ini. Dan Homi Bhabha melalui bukunya yang berjudul The Location of Culture berupaya merespon pertanyaan-pertanyaan terkait multikulturalisme, perbedaan, keberagaman, dan kebudayaan. Bhabha bertolak dari pertanyaan radikal bagaimana kita dapat memahami kebudayaan melalui relasi sosial yang kompleks dan terus berubah-ubah? Apakah ada materi yang disebut dengan esensi atau inti kebudayaan? Seperti apa bentuknya? Dan apa yang menyebabkan pergeseran suatu kebudayaan? Menggunakan pendekatan kritik ideologi, Bhabha memandang bahwa kebudayaan, termasuk kebudayaan Barat yang selama ini dipandang superior, selalu dibayang-bayangi oleh nuansa ketidakpastian dan kekhawatiran atau yang disebut Ambivalensi. Nuansa Ambivalensi ini bagi Bhabha merupakan sesuatu yang internal dan inheren di dalam setiap kebudayaan dan identitas dan tidak dipicu oleh ancaman eksternal. Ambivalensi merupakan jejak dan narasi identitas yang ditekan, direpresi, dan dihilangkan untuk membuka ruang bagi identitas lain untuk berkembang. Di dalam relasi kekuasaan, ambivalensi ini terlihat dari ambiguitas kelompok dominan. Di satu sisi, kelompok dominan terus menampilkan kesan yang otoritatif, superior, dan rasional di

8 hadapan kelompok yang didominasi. Citra ini namun disisi lain menyembunyikan ketakutan, kecurigaan dan insekuritas terhadap kelompok yang didominasi. Ambivalensi yang cenderung dipandang negatif di dalam teori-teori sosial justru oleh Bhabha disambut positif sebab melalui pendekatan ini Bhabha melihat bahwa setiap relasi kekuasaan, relasi dominasi-didominasi, pada dasarnya merupakan hubungan yang hibrid. Ini artinya bahwa tidak ada pihak yang dapat mendominasi secara absolut dan tidak ada pihak yang tertindas secara permanen. Dengan kata lain, hubungan dominasi-didominasi merupakan relasi yang mempertahankan nilai ketidakadilan melalui wujud dan teknik kekuasaan yang terus menerus berubah dan mengalami modifikasi. Mimikri merupakan salah konsep penting yang mencerminkan relasi kekuasaan yang hibrid. Mimikri yang diartikan sebagai proses dimana perilaku kelompok subaltern meniru kelompok dominan dipandang oleh Bhabha sebagai simbol agensi dan hingga derajat tertentu resistensi dan bukan lambang kekalahan. Agensi dan resistensi di dalam praktek mimikri dibuktikan melalui statemen Meniru tetapi tidak seutuhnya Sama. Kata-kata tidak seutuhnya Sama merefleksikan agensi dan resistensi kelompok subaltern sebab ada upaya untuk terus membedakan diri dari kelompok status quo. Darimana agensi dan pada momen tertentu resistensi muncul? Dengan konsisten Bhabha memandang bahwa agensi kelompok subaltern tidak datang dari luar fenomena sosial sama seperti kasus ambivalensi diatas. Dalam sistem kekuasaan, agensi kelompok subaltern dikonstruksi dengan memanfaatkan ambivalensi identitas kelompok superior. Ambivalensi kelompok superior dimana di satu sisi terus berusaha menjaga jarak dengan memisahkan diri dari kelompok subaltern dan di sisi lain berupaya mendidik kelompok subaltern agar menjadi seperti kelompok dominan adalah celah yang dieksploitasi oleh praktek mimikri. Psikoanalisa dan Inferior Kompleks Jika sesi terdahulu yakni sesi Orientalisme mempelajari hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dan sesi Dekonstruksi Esensialisme Budaya mengeksplorasi konsep kebudayaan dari sudut pandang ambivalensi, maka sesi ini akan mencermati fenomena masyarakat pasca kolonial dari perspektif psikoanalisa. Dan salah satu pemikir yang paling berpengaruh di dalam aliran pemikiran psikoanalsa postkolonial adalah Frantz Fanon yang berjudul Black Skin White Mask. Psikoanalisa sendiri merupakan cabang di dalam ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai alam bawah sadar dan merupakan salah satu metode pengobatan di dalam bidang kejiwaan. Frantz Fanon sendiri yang merupakan seorang psikiater dengan latar belakang pendidikan Eropa namun datang dari ras minoritas (kulit hitam) menggunakan pengalaman pribadinya dan data-data kesehatan ketika bekerja di sebuah rumah sakit di Aljazair (yang pada saat itu merupakan jajahan Prancis) untuk menganalisa ketidakadilan yang terjadi di wilayah kolonial. Sebagai seorang intelektual, aktivis, dan dokter di bidang kejiwaan, Fanon menekankan pengaruh negatif kolonialisme di dalam membentuk hasrat, keinginan, mentalitas, dan identitas individu. Pandangan ini yang membuat Fanon berbeda dan sekaligus melengkapi pemikir-pemikiran Post- Kolonial lainnya. Apabila sesi-sesi terdahulu membahas kaitan kolonialisme dengan kebudayaan seperti Bhabha atau aspek agensi dan perlawanan kelompok Subaltern Spivak. Maka, Fanon memandang bahwa kolonialisme menciptakan trauma yang dapat dikatakan negatif baik bagi pihak yang menjajah dan terutama kelompok yang dijajah. Terutama untuk kelompok yang dijajah, Fanon memandang bahwa trauma yang dialami oleh kelompok Subaltern cukup mendalam sebab kelompok tersebut mengalami dehistorisasi total hingga ke level dimana dirinya tidak lagi mengenali asal usul dan sejarah keberadaan dirinya. Momen ini kata Fanon merupakan situasi dimana masyarakat yang dijajah telah kehilangan identitasnya hingga tidak lagi memiliki latar belakang masa lalu maupun rencana akan masa depan.

9 Di dalam situasi yang hampa akan pengetahuan mengenai dirinya dan dunia yang ditempatinya, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi kelompok Subaltern untuk memiliki jati diri atau identitas adalah dengan menjadi hamba atau pelayan bagi kelompok yang menjajah dan status quo yang lebih luas. Formasi ini yang mendorong Fanon untuk menghasilkan analisanya yang terkenal mengenai disorientasi yang dimiliki oleh kelompok yang dijajah; ras hitam namun dalam pikirannya satusatunya hal yang dibayangkan adalah bagaimana menjadi orang kulit putih. Kritik ini kemudian menjadi terkenal sebagai konsep Black Skin White Mask. Usaha ras hitam untuk menjadi ras lain yang dianggap lebih baik menurut Fanon akan membuat ras hitam selalu memposisikan dan merasa dirinya inferior di dalam struktur sosial yang lebih luas. Nilai inferior yang diinternalisasi inilah yang mereproduksi inferior kompleks dan bahkan kegilaan di antara kelompok Subaltern. Aktivisme & Kajian Post kolonial Rangkuman atas tema-tema yang telah dibahas dapat dirumuskan ke dalam poin-poin sebagai berikut: a). Kajian Post Kolonial merupakan bagian dari tradisi kritis yang berupaya membongkar premis-premis, epistemologi dan ontologi yang dipandang melayani kekuasaan dan sistem status quo. b) Fokus mengangkat formasi sosial-politik negara atau wilayah yang pernah mengalami penjajahan dan berada di luar episentrum kekuasaan, kekuasaan disini seringkali diasosiasikan dengan Eropa dan Amerika Serikat. c) Kajian Post Kolonial berupaya mereinterpretrasi temuan dan pertanyaan yang selama ini membingkai studi-studi sosial, politik, budaya dan politik untuk menghasilkan problematisasi dan pengetahuan baru mengenai masyarakat pasca kolonial. Untuk dua pertemuan berikut, pembahasan akan fokus pada salah satu pilar fundamental di dalam kajian post-kolonial selain kajian teoritik yakni aktivisme atau praksis politik. Di dalam kajian postkolonial, pembahasan mengenai aktivisme tidak dapat diabaikan sebab kajian post kolonial sedari awal memiliki misi untuk mempertanyakan dan mengkritisi bangunan pengetahuan dominan sebagai bentuk keberpihakan terhadap kelompok marjinal. Ini artinya, aktivisme merupakan sesuatu yang inheren di dalam kajian post-kolonial. Dan meski tidak ada definisi tunggal aktivisme dapat dipahami sebagai seperangkat praktek dan ide alternatif yang berupaya; 1. Melakukan kritik ideologi; 2. membangkitkan agensi politik yang saat ini tengah digerus oleh arus depolitisasi. Hal ini mencerminkan bahwa pilihan untuk melakukan advokasi di dalam kajian postkolonial merupakan konsekuensi dari kerangka intelektual yang menunjukkan keengganan untuk berdiam diri melihat ketidakadilan. Oleh karena penindasan bekerja melalui hegemoni dan dominasi di level ide & pengetahuan maka menurut penstudi postkolonial pembebasan pun harus dimulai dari transformasi kesadaran politik yang sebelumnya menaturalisasi proses penindasan dan pemarjinalan menjadi kritik atas ketidakadilan sistem. Namun seperti apa model kritik ideologi yang dapat ditempuh? Strategi dan taktik apa saja tersedia untuk melakukan advokasi menggunakan perspektif post kolonial? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan utama yang diajukan oleh para penstudi post kolonial. Dan sesi pertama tentang aktivisme akan fokus membahas peta model aktivisme dan resistensi yang populer di bidang kajian post-kolonial. Aktivisme di dalam kajian post kolonial merupakan aplikasi dan pengembangan lebih lanjut konsep, analisa serta temuan-temuan masing-masing pemikir post kolonial. Dengan kata lain, artikulasi dan substansi aktivisme berkaitan erat dengan kerangka konseptual yang digunakan untuk menganalisa suatu fenomena sosial. Secara garis besar, model aktivisme dan resistensi di dalam masyarakat post kolonial dapat dibedakan ke dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah aktivisme pragmatis yang menggunakan identitas marjinalitas secara strategis sebagai metode resistensi (strategis esensialisme). Istilah strategis yang dimaksud disini adalah pengakuan bahwa di satu sisi identitas merupakan wacana yang paling efektif untuk merepresentasikan kepentingan kelompok marjinal.

10 Namun di sisi yang lain, terdapat potensi esensialisme dan eksklusivitas ketika menggunakan identitas sebagai instrumen perlawanan sehingga apropriasi identitas untuk kepentingan politik harus strategis. Kategori kedua adalah model aktivisme yang memanfaatkan dan mengeksploitasi kerentanan yang berada di dalam suatu relasi kekuasaan. Kerentanan yang dimaksud disini adalah momen destabilisasi atau ambivalensi yang melekat di dalam setiap identitas dan relasi sosial. Ekstrapolasi celah kerentanan sebagai elemen aktivisme dipandang akan membuka ruang untuk negosiasi antar pihak yang berkuasa dengan kelompok marjinal. Dan kategori ketiga adalah praktek aktivisme yang melegitimasi kekerasan. Pandangan ini yang banyak menyerap pemikiran psikoanalisa memandang bahwa kekerasan dapat diterima keberadaannya sebab rezim kolonial hanya mengenal bahasa kekerasan. Jika kekerasan digunakan oleh penguasa untuk menindas maka kekerasan yang digunakan oleh kelompok terjajah adalah kekerasan yang membebaskan.

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci

KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER)

KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER) KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER) Definisi Postkolonialisme Mendefinisikan istilah postkolonialisme sama susahnya dengan mendefinisikan

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional.

Definisi tersebut dapat di perluas di tingkat nasional dan atau regional. Definisi Global Profesi Pekerjaan Sosial Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi yang berdasar pada praktik dan disiplin akademik yang memfasilitasi perubahan dan pembangunan sosial, kohesi sosial dan pemberdayaan

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra yang banyak diterbitkan merupakan salah satu bentuk dari berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk seni, tetapi sastra juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER) 1 Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER) Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan kekuasaan (power) Dalam tulisan Robert Chambers 1, kekuasaan (power) diartikan sebagai kontrol terhadap

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program CHAPTER V SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY Faculty of Humanities English Department Strata 1 Program 2012 MAIDS' RESISTANCE THROUGH THE BOOK TO EQUALIZE THE RIGHTS AS POTRAYED IN "THE HELP" MOVIE (2011)

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar Wawasan Kebangsaan Dewi Fortuna Anwar Munculnya konsep Westphalian State Perjanjian Westphalia 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun antar agama Katholik Roma dan Protestan di Eropa melahirkan konsep Westphalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat)

Teori Sosial. (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Teori Sosial (Apa Kontribusinya Terhadap Pemahaman Olahraga di Masyarakat) Apa itu Teori dalam Sosiologi? Pada saat kita menanyakan mengapa dunia sosial kita seperti ini dan kemudian membayangkan bagaimana

Lebih terperinci

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH i t a i g k a a n D Sulfikar Amir Edisi 048, Februari 2012 1 Edisi 048, Februari 2012 Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah Tulisan

Lebih terperinci

Gender, Interseksionalitas dan Kerja

Gender, Interseksionalitas dan Kerja Gender, Interseksionalitas dan Kerja Ratna Saptari Disampaikan dalam Seminar Nasional "Jaringan dan Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan Gender: Memastikan Peran Maksimal Lembaga Akademik, Masyarakat Sipil,

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI

8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8 KESIMPULAN DAN REFLEKSI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Transformasi dan Pola Interaksi Elite Transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa berlangsung dalam empat fase utama; tradisional, feudalism,

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat

BAB V. Kesimpulan. Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat BAB V Kesimpulan A. Masalah Cina di Indonesia Studi mengenai etnis Tionghoa dalam penelitian ini berupaya untuk dapat melihat Masalah Cina, khususnya identitas Tionghoa, melalui kacamata kultur subjektif

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam

BAB V P E N U T U P. bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam BAB V P E N U T U P A. Kesimpulan Berdasarkan uraian bab demi bab dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam komunitas Kao, konsep kepercayaan lokal dibangun dalam kepercayaan kepada Gikiri Moi

Lebih terperinci

Movement mudah diterima oleh masyarakat global, sehingga setiap individu diajak untuk berpikir kembali tentang kemampuannya dalam mempengaruhi

Movement mudah diterima oleh masyarakat global, sehingga setiap individu diajak untuk berpikir kembali tentang kemampuannya dalam mempengaruhi BAB IV KESIMPULAN Pemahaman masyarakat global terhadap istilah globalisasi dewasa ini didominasi oleh definisi-definisi yang merujuk pada pengertian globalisasi dari atas. Globalisasi dari atas merupakan

Lebih terperinci

Embrio Sosiologi Militer di Indonesia

Embrio Sosiologi Militer di Indonesia Pengantar Redaksi Embrio Sosiologi Militer di Indonesia GENEALOGI SOSIOLOGI MILITER Kalau diteliti lebih dalam, setiap sosiolog besar pasti pernah berbicara tentang institusi militer, tak terkecuali Marx,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kemunculan karya sastra Indonesia yang mengulas tentang kolonialisme dalam khazanah sastra Indonesia diprediksi sudah ada pada masa sastra Melayu Rendah yang identik dengan bacaan-bacaan

Lebih terperinci

TEORI PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD

TEORI PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD TEORI PSIKOANALISIS Teori psikoanalisis yang dipakai mengacu pada konsep Sigmund Freud tentang kepribadian. Dalam Koswara (1991:109), Abraham Maslow berpendapat bahwa dalam psikologi terdapat tiga revolusi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor

Lebih terperinci

KONSEPSI KEWARGANEGARAAN. By : Amaliatulwalidain

KONSEPSI KEWARGANEGARAAN. By : Amaliatulwalidain KONSEPSI KEWARGANEGARAAN By : Amaliatulwalidain Pengantar Tradisi kewarganegaraan telah ada sejak masa Yunani Kuno, konsepsi modern tentang kewarganegaraan baru muncul pada abad keduapuluh. Konsepsi kewarganegaraann

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah fundamentalisme Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dari era orde lama sampai orde reformasi saat ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika.

KEWARGANEGARAAN GLOBALISASI DAN NASIONALISME. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Teknik Informatika. KEWARGANEGARAAN Modul ke: GLOBALISASI DAN NASIONALISME Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Teknik Informatika www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Abstract : Menjelaskan pengertian globalisasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

Kelas Menengah dalam Bingkai Middle Indonesia

Kelas Menengah dalam Bingkai Middle Indonesia RESENSI Kelas Menengah dalam Bingkai Middle Indonesia WASISTO RAHARJO JATI* Pusat Penelitian Politik LIPI Email: wasisto.raharjo.jati@gmail.com Van Klinken, Gerry. 2015. The Making of Middle Indonesia:

Lebih terperinci

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Leif STENBERG Direktur, AKU- Dalam makalah berikut ini, saya akan mengambil perspektif yang sebagiannya dibangun

Lebih terperinci

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum

Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal. Indriaswati Dyah Saptaningrum Mencari Format Kerangka Kebijakan yang Ramah Bagi Masyarakat Lokal : Sebuah Diskusi Awal Indriaswati Dyah Saptaningrum Pendahuluan Pada jamaknya, suatu kekhasan yang menjadi bagian dari identitas individu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL. Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TELAAH KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang perempuan etnis Tionghoa muslim belum pernah ditulis di penelitian-penelitian di Kajian Wanita Universitas Indonesia.

Lebih terperinci

TEORI-TEORI POLITIK. P. Anthonius Sitepu. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012

TEORI-TEORI POLITIK. P. Anthonius Sitepu. Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 TEORI-TEORI POLITIK Penulis: P. Anthonius Sitepu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2012 Hak Cipta 2012 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. telah mendapatkan legitimasi sebagai karya grafis bersifat internasional dan

BAB V KESIMPULAN. telah mendapatkan legitimasi sebagai karya grafis bersifat internasional dan BAB V KESIMPULAN Persepolis karya Marjane Satrapi merupakan karya francophone yang telah mendapatkan legitimasi sebagai karya grafis bersifat internasional dan dimasukkan ke dalam ranah studi literatur.

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

Sistem Politik Gabriel Almond. Pertemuan III

Sistem Politik Gabriel Almond. Pertemuan III Sistem Politik Gabriel Almond Pertemuan III Teori Fungsionalisme Lahir sebagai kritik terhadap teori evolusi, yang dikembangkan oleh Robert Merton dantalcott Parsons. Teori fungsional memandang masyarakat

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski

BAB V PENUTUP. kebangkitan gerakan perempuan yang mewujud dalam bentuk jaringan. Meski BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kehadiran gerakan perempuan yang ada di Yogyakarta telah dimulai sejak rejim orde baru berkuasa. Dalam tesis ini didapatkan temuan bahwa perjalanan gerakan perempuan bukanlah

Lebih terperinci

Sejarah Muncul dan Berkembangnya Konsep dan Teori tentang Gender. Ida Rosyidah

Sejarah Muncul dan Berkembangnya Konsep dan Teori tentang Gender. Ida Rosyidah Sejarah Muncul dan Berkembangnya Konsep dan Teori tentang Gender Ida Rosyidah Konsep Gender Gender sebagai istilah asing Gender sebagai fenomena sosial budaya Gender sebagai sebuah kesadaran sosial Gender

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari sikap afirmasi penulis terhadap kebutuhan akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua model pemikiran

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini

BAB V KESIMPULAN. Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini BAB V KESIMPULAN Bab ini berisi kesimpulan akhir dari penulisan skripsi ini. Kesimpulan ini merupakan jawaban terhadap perumusan masalah penelitian yang diajukan. Kesimpulan yang didapatkan, adalah: Pertama,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca

BAB II LANDASAN TEORI. Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Simbol Banyaknya penggunaan simbol-simbol dalam puisi menuntut pembaca memiliki pemahaman yang lebih dalam dari segi pemaknaan dan disertai juga adanya wawasan sudut pandang kultural.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Jember fashion..., Raudlatul Jannah, FISIP UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan 7 sub bab antara lain latar belakang penelitian yang menjelaskan mengapa mengangkat tema JFC, Identitas Kota Jember dan diskursus masyarakat jaringan. Tujuan penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi

Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi Bab VI: Kesimpulan dan Rekomendasi 6.1. Kesimpulan Melalui berbagai serangkaian aktivitas pelacakan data dan kemudian menganalisisnya dari berbagai perspektif, beberapa pernyataan ditawarkan dalam uraian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam

BAB V PENUTUP. LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam BAB V PENUTUP Jawaban atas pertanyaan mengapa ruang kuasa yang telah menciptakan LOD DIY sebagai invited space menggunakan formasi kuasa yang ada dalam dirinya untuk menentukan kontur dan corak dari ruang

Lebih terperinci

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si.

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Pertemuan ke-10 (02) Berdasarkan keragka teori dan metode pengkajiannya, teori modernisasi mampu menurunkan berbagai impliaksi kembijakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan

BAB VI PENUTUP. Analisis Percakapan Online atas Diskusi Politik Online tentang pembentukan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil dan pembahasan kajian kritis tentang media sosial, pola komunikasi politik dan relasi kuasa dalam masyarakat kesukuan Flores dengan

Lebih terperinci

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Fungsionalisme Versus Konflik Teori Konflik Analitis (Non-Marxist) Perbedaan Teori Konflik Marxist dan Non- Marxist Warisan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

DEMOKRASI DAN RADIKALISME

DEMOKRASI DAN RADIKALISME l i m e m o k r a t i s EMOKRASI AN RAIKALISME i g i t a AGAMA m o k r a t i s. c o m l Rumadi Edisi 009, Agustus 2011 1 emokrasi dan Radikalisme Agama Prof. John O Voll, guru besar sejarah di Georgetown

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap sub bab akan diuraikan sebagai berikut.

I. PENDAHULUAN. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap sub bab akan diuraikan sebagai berikut. I. PENDAHULUAN Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada beberapa sub bab yang berupa latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain karena mengangkat konsep multikulturalisme di dalam film anak. Sebuah konsep yang jarang dikaji dalam penelitian di media

Lebih terperinci

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni

Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni Hubungan Buruh, Modal, dan Negara By: Dini Aprilia, Eko Galih, Istiarni INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN SOSIAL Industrialisasi menjadi salah satu strategi pembangunan ekonomi nasional yang dipilih sebagai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIK

BAB II KERANGKA TEORITIK BAB II KERANGKA TEORITIK A. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (Empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan) keterangan. Ide utama

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas Wacana yang melingkupi etnisitas di daerah pedalaman di Indonesia banyak diwarnai dengan marginalisasi dan diskriminasi. Tak bisa dipungkiri, lahirnya UU Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Ideologi marxisme pada saat ini telah meninggalkan pemahaman-pemahaman pertentangan antar kelas yang dikemukakan oleh Marx, dan menjadi landasan

Lebih terperinci

PENERAPAN DIMENSI GSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) (120 )

PENERAPAN DIMENSI GSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) (120 ) PAKET 7 PENERAPAN DIMENSI GSI DALAM RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) (120 ) KOMPETENSI DASAR Peserta didik (laki-laki dan perempuan) dapat menyusun komponen RPP ber-gsi. Peserta didik (laki-laki

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Hingga saat ini, relasi antara Pemerintah Daerah, perusahaan dan masyarakat (state, capital, society) masih belum menunjukkan pemahaman yang sama tentang bagaimana program CSR

Lebih terperinci

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan

Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Oleh Hardy Merriman Aksi tanpa kekerasan menjadi salah satu cara bagi masyarakat pada umumnya, untuk memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan. Pilihan tanpa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan (Ainul Yaqin, 2005:

BAB II KAJIAN TEORI. dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan (Ainul Yaqin, 2005: BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Mengenai Multikulturalisme Istilah multikulturalisme berasal dari asal kata kultur. Adapun definisi dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan (Ainul Yaqin, 2005:

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan

BAB V PENUTUP. mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Konstruksi sosial yang dibangun oleh warga RW 11 Kampung Badran mengenai program Kampung Ramah Anak, lahir melalui proses yang simultan dan berlangsung secara dialektis yakni

Lebih terperinci

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi ini disampaikan dalam acara diskusi Penguatan Organisasi Penyelenggara Pemilu, yang dilaksanakan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung

Bab I. Pendahuluan. muncul adalah orang yang beragama Hindu. Dan identitasnya seringkali terhubung Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Jika seseorang mendengar kata pura maka asosiasinya adalah pulau Bali dan agama Hindu. Jika seseorang mengaku berasal dari Bali maka asosiasi yang muncul adalah orang

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Dengan pemaparan dan analisa sebagaimana diuraikan di atas maka dapat disusun beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Latarbelakang lahirnya kontestasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai

BAB I PENDAHULUAN. realitas kehidupan sosial. Karya sastra pada umumnya bersifat dinamis, sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu cipta karya masyarakat, sedangkan masyarakat adalah salah satu elemen penting dalam karya sastra. Keduanya merupakan totalitas

Lebih terperinci

Atika Puspita Marzaman. Recep Tayyib Erdogan:

Atika Puspita Marzaman. Recep Tayyib Erdogan: Atika Puspita Marzaman Recep Tayyib Erdogan: Turki, Islam, dan Uni Eropa HEPTAcentrum Press Recep Tayyib Erdogan: Turki, Islam, dan Uni Eropa Oleh: Atika Puspita Marzaman Copyright 2011 by Atika Puspita

Lebih terperinci

MATA KULIAH S-2 SOSIOLOGI UGM. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Teori Kritik Sosial dan Postmodernisme. Seminar Proposal Penelitian

MATA KULIAH S-2 SOSIOLOGI UGM. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Teori Kritik Sosial dan Postmodernisme. Seminar Proposal Penelitian 1. Teori sosiologi 1 (klasik modern) 2. Teori sosiologi 2 ( Kritik, Postmo Strukturalis) Teori Sosiologi Klasik Modern Teori Kritik Sosial Postmodernisme Langsung merujuk pada materi mata kuliah ini yakni

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan 1 BAB VI KESIMPULAN Sebagaimana proses sosial lainnya, proselitisasi agama bukanlah sebuah proses yang berlangsung di ruang hampa. Ia tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik yang melingkupinya.

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER

Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER Prof. Dr. Drs. H. Budiman Rusli, M.S. Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER 2014 Isu-isu Krusial ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved ISBN :...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya

Pengembangan Budaya memiliki empat Konteks: 2. Melestarikan dan menghargai budaya SETYA ROHADI dan MULYANTO Globalisasi budaya telah mengikuti pola yang sama seperti globalisasi ekonomi. Televisi, musik, makanan, pakaian, film dan yang lainnya merupakan bentuk-bentuk budaya yang serupa

Lebih terperinci

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial

More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial DOI: 10.7454/mjs.v22i2.8245 Resensi More-Than-Human Sociology: Pentingnya Peran Materi dalam Kehidupan Sosial Kevin Nobel Kurniawan Departemen Sosiologi UI Email: KevinNobel93@gmail.com Pyythinen, Olli.

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior

BAB VII KESIMPULAN. dan berkuasa dalam aspek pendidikan dan politik, bahkan dipandang lebih superior BAB VII KESIMPULAN Studi ini berangkat dari dua gejala kontradiktif dari kehidupan orang Makeang. Orang Makeang di masa lalu adalah kaum subordinat dan dipandang kampungan, sedangkan orang Makeang masa

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

11Ilmu ANALISIS WACANA KRITIS. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom

11Ilmu ANALISIS WACANA KRITIS. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Modul ke: ANALISIS WACANA KRITIS Mengungkap realitas yang dibingkai media, pendekatan analisis kritis, dan model analisis kritis Fakultas 11Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Prof. Kamanto Sunarto Guru Besar Emeritus Departemen Sosiologi Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR Prof. Kamanto Sunarto Guru Besar Emeritus Departemen Sosiologi Universitas Indonesia KATA PENGANTAR Prof. Kamanto Sunarto Guru Besar Emeritus Departemen Sosiologi Universitas Indonesia Buku Sosiologi Perubahan Sosial oleh Saudara Nanang Martono mengantarkan mahasiswa ke dalam pemikiran-pemikiran

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN. Film Indonesia sebagai produk industri budaya populer merupakan layar

BAB V SIMPULAN. Film Indonesia sebagai produk industri budaya populer merupakan layar BAB V SIMPULAN Film Indonesia sebagai produk industri budaya populer merupakan layar impian yang dengan prinsip inkorporasi dan artikulasi mampu menyajikan beragam permasalahan sosial, kultural, ekonomi,

Lebih terperinci

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009

9 Penyebaran hate..., Gloria Truly Estrelita, FISIP UI, 2009 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah mengenai peristiwa G30S adalah tema yang sudah banyak digarap dan diangkat. Walau begitu, tema yang berkaitan dengan Lekra belumlah banyak. Padahal para anggota Lekra yang

Lebih terperinci

Politik Global dalam Teori dan Praktik

Politik Global dalam Teori dan Praktik Politik Global dalam Teori dan Praktik Oleh: Aleksius Jemadu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERAN PERSATUAN MAHASISWA DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERAN PERSATUAN MAHASISWA DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PERAN PERSATUAN MAHASISWA DALAM PEMBANGUNAN INDONESIA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan pada Talk Show dan Kompetisi Debat UNTIRTA 2010 Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan organisasi politik namun sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan kesempatan tersebut terjadi baik

Lebih terperinci

Misiologi David Bosch

Misiologi David Bosch Misiologi David Bosch Definisi Sementara Misi. 1. Iman Kristen bersifat misioner, atau menyangkali dirinya sendiri. Berpegang pada suatu penyingkapan yang besar dari kebenaran puncak yang dipercayai penting

Lebih terperinci

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK

BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK BAB II PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK Untuk lebih mendalami hakekat pendidikan politik, berikut ini disajikan lagi beberapa pendapat ahli mengenai pendidikan politik. Alfian (1986) menyatakan pendidikan

Lebih terperinci