BAB IV PENUTUP. identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis.

Transkripsi

1 BAB IV PENUTUP Kesimpulan Kemunculan karya sastra Indonesia yang mengulas tentang kolonialisme dalam khazanah sastra Indonesia diprediksi sudah ada pada masa sastra Melayu Rendah yang identik dengan bacaan-bacaan liar dan cabul yang mempunyai corak realisme-sosialis. Sastra Melayu Rendah pun padam semangatnya karena kolonial Belanda memberangusnya lewat pendirian Balai Pustaka. Balai Pustaka berdiri untuk menunjukkan hegemoni dan dominasi pemerintah kolonial terhadap rakyat Indonesia. Balai Pustaka sebagai kepanjanganganan pemerintah kolonial berdiri sebagai upaya melakukan kontrol sosial dan politik terhadap bacaan-bacaan sastra Melayu Rendah. Tahun 1933, muncul angkatan Pujangga Baru sebagai bentuk reaksi atas perlakuan Balai Pustaka yang selalu menyensor karya tulis sastrawan pada masa itu, sehingga karya sastra yang bertema nasionalisme dan kesadaran kebangsaan tenggelam. Pada era inilah sastra Indonesia modern mulai dianggap eksistensinya, bukan pada era Balai Pustaka. Karya sastra angkatan Pujangga Baru, termasuk juga karya-karya sesudah zaman perang, tampaknya sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia paska penjajahan yang menampilkan berbagai masalah. Novel Burung-burung Manyar (BbM) karya Y.B. Mangunwijaya menjadi salah satu contoh karya sesudah zaman perang (terbit pada tahun 1981) yang masih

2 membawa semangat Pujangga Baru. Novel BbM mengisahkan tentang revolusi Indonesia yang mengambil setting masa penjajahan Belanda dan Jepang. Selain jejakjejak kolonial di dalam ceritanya, pemilihan BbM menjadi objek materi adalah Y.B. Mangunwijaya sebagai pengarangnya, dikenal sebagai esais, kolumnis, dan sastrawan yang banyak menganalisis nilai-nilai sosial masyarakat Indonesia saat masih dikuasai pemerintah kolonial, sampai pada sesudah perang kemerdekaan yang rupanya jejakjejak kolonial masih kuat menempel di kehidupan pribumi. Dalam menanggapi isu poskonialisme di Indonesia Y.B. Mangunwijaya mencatatkan kekagumannya secara ambigu terhadap produk-produk sistem pendidikan kolonial, terhadap mereka yang pernah berjuang melawan kolonialisme dengan senjata intelektual, kultural dan linguistik kolonialisme itu sendiri, demi kepentingan bangsa Indonesia. Walaupun terkesan berterima kasih atas penguasaan bahasa-bahasa asing demi kemerdekaan bangsa, Mangunwijaya tetap menyatakan bahwa kolonialisme adalah musuh yang menyertai masa lalu. Mangunwijaya mengamati pada masa Orde Baru, kekuasaan kolonialisme tentang perbudakan masih tampak pada pribumi Indonesia, namun cara berpikir modern diwariskan kolonial berupa sistem pendidikan yang secara paradoks menjanjikan pembebasan yang sempat direbut oleh generasi Sukarno-Hatta. Paradoks tersebut juga tertanam dalam novel-novel dan esai-esai yang ditulis Mangunwijaya, seperti ambiguitas dan formasi-formasi budaya hibrida. Tokoh Teto dalam novel BbM terbukti merupakan gempuran kontroversial terhadap keyakinan

3 yang umum bahwa orang Indonesia tidak mampu mengidentifikasikan diri dengan bangsa Indonesia. Teto setengah Belanda, dalam perang kemerdekaan Indonesia berjuang di pihak Belanda. Namun, dalam perkembangan cerita novel ini Teto mewakili kekayaan potensial yang oleh bangsa ini diambil dari asal-usulnya yang heterogen dan hibrida. Seperti yang Bhabha jelaskan dalam konsep mimikrinya, seseorang yang termarjinalkan dalam suatu lingkungan, baik itu dalam konteks penjajah dan terjajah, tidak akan pernah menjadi sama dengan orang yang ditirunya. Proses mimikri tidak akan pernah sempurna. Hal ini terjadi juga pada Setadewa, si tokoh utama. Meskipun dia berhasil menjadi tentara KNIL dan terangkat posisinya, namun keberadaannya tetap sebagai liyan bagi orang-orang Belanda totok. Di satu sisi, Setadewa juga menjadi liyan bagi pribumi Indonesia karena dia berpikiran berbeda dengan yang lainnya. Pada akhirnya Setadewa terjebak dalam apa yang disebut Bhabha sebagai ruang ketiga. Untuk dapat bertahan di ruang ketiga, Setadewa melakukan mimikri-mimikri untuk menyetarakan diri dengan Belanda totok. Dalam novel ini peneliti menemukan setidaknya tiga perilaku mimikri yang dilakukan oleh tokoh utama, antara lain mimikri pemikiran Barat, mimikri sistem mata pencaharian hidup, dan mimikri penggunaan bahasa. Yang paling mencolok dari ketiganya adalah mimikri pemikiran Barat dan mimikri sistem mata pencaharian hidup. Pada mimikri pemikiran Barat, Setadewa kecil bangga dengan status inlandernya. Ayahnya bernama Brajabasuki, letnan kelas satu, adalah seorang keturunan

4 ningrat Jawa Mangkunegaran, dan ibunya bernama Marice adalah seorang totok Belanda Vaderland. Namun, kebanggaan Setadewa terhadap status inlander-nya berangsur hilang karena Jepang yang masuk ke Indonesia berhasil mengalahkan KNIL, menangkap ayahnya, berhasil menggandeng mesra pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Soekarno-Hatta untuk bersekutu, bahkan menjadikan Marice gundik Jepang untuk menjamin keselamatan suaminya. Setadewa memilih menanggalkan status pribuminya dan bergabung menjadi tentara KNIL. Melalui proses distorsi identitas, Setadewa menjadi Leo dan terungkap perilaku mimikri yang dilakukan tokoh utama dalam novel ini. Sebagai Leo, Teto menyadari bahwa pemikiran Belanda terhadap jajahannya, yaitu pribumi Indonesia yang bodoh sebagai benar adanya. Pemikiran Setadewa tentang rendahnya martabat orang-orang Indonesia merupakan perilaku mimikri atau peniruan terhadap pemikiran bangsa penjajah. Profesi Leo sebagai tentara KNIL berpangkat letnan II ini termasuk dalam perilaku mimikri Sistem Mata Pencaharian Hidup. Leo meniru profesi Belanda sebagai tentara kerajaan, namun karena Leo bukan seorang Belanda totok, maka ia hanya mendapat jabatan di tentara KNIL. Setidaknya status setengah Belanda Leo tetap dihargai lebih tinggi oleh Mayoor Verbruggen daripada tentara KNIL dari pribumi asli yang hanya menjadi prajurit rendahan saja. Dalam mimikri penggunaan bahasa, Leo berusaha menyerupai komandannya, Mayoor Verbruggen, terutama saat mengepalai anak buahnya. Mayoor Verbruggen

5 yang menjadi panutan Leo, sering berkata kasar dan mengumpat kepada serdadunya. Leo pun melakukan peniruan penggunaan bahasa saat serdadunya tidak serius menanggapi komandonya. Melalui mimikri penggunaan bahasa, Leo semakin menunjukkan bahwa dirinya memang layak berstatus seorang Belanda, walaupun bukan Belanda totok. Selain mimikri, penelitian ini juga membahas ambivalensi yang ada pada tokoh utama novel BbM, yaitu Setadewa. Penggambaran ambivalensi didasarkan pada pembagian tiga periode bagian, antara lain: bagian I ( ), bagian II ( ), dan bagian III ( ). Pembagian ini perlu diulas karena Setadewa cenderung mendistorsi identitasnya sebagai Teto, sebagai Leo, dan kembali lagi sebagai Teto. Konsep mimikri Bhabha ini mengandung ambivalensi karena di satu sisi kaum pribumi ingin membangun identitas persamaan dengan kaum penjajah, sedangkan mereka juga mempertahankan perbedaannya. Mimikri disebabkan adanya hubungan ambivalen antara penjajah dan terjajah. Sikap ambivalen tersebut dipicu oleh adanya kecintaan terhadap suatu hal sekaligus membencinya. Menurut Bhabha, ambivalensi tidak hanya dapat dibaca sebagai petanda trauma subjek kolonial, melainkan juga mengungkapkan bahwa kehadiran kolonial itu selalu ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya sebagai asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan. Dengan kata lain, identitas kolonial itu tidak stabil, meragukan, dan selalu terpecah.

6 Ambivalensi pada Setadewa terjadi sejak ia masih kecil. Setadewa bukan seorang Belanda totok atau pribumi asli karena Setadewa merupakan keturunan campuran dari Brajabasuki dan Marice. Brajabasuki adalah letnan kelas I keturunan ningrat Jawa dari kerajaan Mangkunegaran dan Marice adalah istri Brajabasuki yang seorang Belanda totok. Saat menjelang dewasa, diungkap lagi ambivalensi Setadewa yang memutuskan menjadi Leo. Berangkat dari dendamnya terhadap penindasan keluarganya oleh Jepang, ditambah pribumi Indonesia yang pernah dibanggakannya ternyata memilih memihak Jepang, Setadewa pun menanggalkan status inlander-nya dan berganti dengan sosok yang semakin mendekati kutub Belanda (Barat), yaitu menjadi Leo. Ambivalensi berikutnya yang ada pada Setadewa adalah saat ia sukses berkarier di Amerika Serikat. Jabatannya sebagai manajer ini juga menunjukkan bahwa Setadewa semakin ambivalen. Setadewa menjadi warga negara Amerika Serikat, berasal dari keturunan Jawa-Belanda, termasuk golongan priyayi dari ningrat Jawa, mantan letnan I KNIL yang membenci kaum nasionalis, menjadi manajer di perusahaan tambang minyak berbasis di Amerika Serikat, namun menyimpan rasa cinta dan kerinduan mendalam terhadap Indonesia.