BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari, a fundamental images a dicipline has

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari, a fundamental images a dicipline has"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Sosial Paradigma dalam bahasa Inggris paradigma yang berarti model pola. Friedrichs mengatakan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari, a fundamental images a dicipline has of its subject matter. George Ritzer mendefenisikan paradigma adalah, what is the subject matter of science. Vardiansyah mendefenisikan, paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkahlaku (kognaktif). Dalam Online Dictionary disebutkan, paradigma dapat juga berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual (Vardiansyah, 2008). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperlukan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dari beberapa pengertian tersebut dapat dirangkum bahwa, paradigma adalah suatu kerangka konseptual, termasuk nilai, teknik dan metode yang disepakati dan digunakan oleh suatu komunitas dalam memahami atau mempersepsikan segala sesuatu. Dengan demikian fungsi utama dari paradigma adalah sebagai acuan dalam mengarahkan tindakan baik tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Sebagai acuan, maka lingkup suatu paradigma 16

2 mencakup berbagai asumsi dasar yang berkaitan dengan aspek ontologis, epistemiologis, dan metodologis. Dengan perkataan lain paradigma dapat diartikan sebagai cara berfikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view). Seorang individu / pribadi dapat mempunyai sebuah cara pandang yang spesifik tetapi cara pandang itu bukanlah paradigma, karena paradigma harus dianut oleh suatu komunitas. Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1985), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda. Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Ritzer menilai bahwa

3 sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut Ritzer, secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni: Paradigma Fakta Sosial Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini, akhirnya Durkheim membangun konsep fakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.

4 Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritis yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah. Masyarakat mengontrol individu. Individu harus beradaptasi terhadap masyarakat setempat sehingga manusia tidak bisa eksis, yang terjadi dalam masyarakat poko yang menang. Jadi individu atau masyarakat harus dipaksa terlebih dahulu sehingga akan muncul kesadaran yaitu norma-norma atau aturan. Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata (material) saja, melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu: a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.

5 b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam din manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini. Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik. Struktur sosial menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perbaikanperbaikan dalam masyarakat. Masyarakat berada dalam kondisi statis dan bergerak dalam kondisi seimbang. Teori konflik dibangun untuk menentang secara langsung teori sosial. Masyarakat tersebut berada dalam perubahan yang ditandai pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Secara tegas Durkheim membedakan antara fakta sosial dengan fakta psikologi, yang berangkat dari asumsi dasarnya mengenai masyarakat sebagai sistem yang mengikat kehidupan orang-orang dan merupakan lingkungan yang menguasai segala kehidupan sosial. Fakta psikologi adalah fenomena yang dibawa manusia sejak lahir, dengan demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyarakat. Fakta sosial tidak dapat diterangkan dengan fakta psikologi, ia hanya dapat di terangkan dengan fakta sosial, tidak keseluruhan fakta sosial itu merupakan barang sesuatu yang nyata atau material, sebagian juga berbentuk non

6 material misalnya opini, egoisme, yang hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba, yang hanya ada dalam kesadaran manusia dan dapat berpengaruh terhadap individu maupun kelompok. Fakta sosial yang dikemukakan Durkheim juga menjelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat adanya cara bertindak manusia yang umumnya terdapat pada masyarakat tertentu yang sekaligus memiliki eksistensi sendiri, dengan cara dan dunianya sendiri terlepas dari manifestasi- manifestasi individu. Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai kesatuan integrasi dari fakta-fakta sosial analisa Durkheim terhadap gejala yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya berhenti sampai disitu. Ia juga mencoba untuk melihat agama sebagai fakta sosial yang dijelaskannya dengan teorinya tentang solidaritas sosial dan integrasi masyarakat. Menurutnya, agama dan masyarakat adalah satu dan sama, agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dalam bentuk fakta sosial non material.penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interviewkuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain Paradigma Definisi Sosial Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action). Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.

7 Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial. Karya Weber membantu menimbulkan minat dikalangan penganut paradigma ini dalam mempelajari cara atau mendefenisikan situasi sosial mereka, dan mempelajari pengaruh defenisi sosial terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Metode observasi adalah metode khusus dalam penelitian penganut paradigma definisi sosial. Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori etnometodologi dan teori eksistensialisme. Paradigma ini lahir sebagai respon atas paradigma fakta sosial yang menganalisis fenomena sosial secara komprehensif. Analisis paradigma ini menitikberatkan pada tindakan sosial yang dilakukan berdasarkan atas kesadaran penuh seseorang. Yang dimaksudkan tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang mengandung makna bagi dirinya sendiri dan tindakan itu diarahkan pada pihak lain. Tindakan yang diarahkan pada pihak lain akan mendapatkan respon atau reaksi balik yang berupa tindakan juga.

8 Paradigma ini bertolak dari asumsi bahwa manusia mempunyai kemampuan yang kreatif, inovatif, dan daya selektif yang kuat, sehingga apa yang diperbuat bersumber dari dalam dirinya. Tindakan seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri dan mereka bebas untuk melakukan perbuatan tanpa terpengaruh oleh sistem atau struktur sosial di luar dirinya. Diri manusia merupakan sumber inspirasi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dan tanpa ada sifat-sifat itu tidak akan ada perubahan dalam peradaban manusia. Jadi menurut paradigma ini, system atau struktur di luar diri manusia tidak mempunyai kemampuan mempengaruhi potensi dalam diri manusia. Tokoh utama paradigma ini adalah Max Weber yang telah melahirkan teori Aksi Sosial atau social action. Menurut paradigma ini, dalam mengamati tindakan sosial diperlukan pemahaman atau penafsiran dari tindakan sosial tersebut. Karena itu yang menjadi perhatian paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi perhatian paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi keinginan dari si aktor dalam melakukan suatu tindakan dan mengapa ia melakukan tindakan itu. Sehubungan dengan itu Weber menggunakan istilah verstehen atau interpretative understanding, yaitu suatu konsep untuk memahami makna sedalam-dalamnya dari fenomena yang muncul atas tindakan sosial manusia. Untuk mendapatkan makna dari suatu tindakan sosial, seorang peneliti harus menempatkan dirinya seolah-olah sebagai actor atau pelaku. Tanpa mengambil peran seperti itu kemungkinan besar ia sulit mengungkap motif dari suatu tindakan sosial. Selain itu, peneliti juga harus berupaya memberikan

9 interpretasi terhadap tindakan sosial itu sesuai dengan maksud dan tujuan pelaku atas tindakannya itu. Tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan di arahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa di hubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seorang melempar batu ke sungai itu bukan tindakan sosial. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut di maksudkannya untuk menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang memancing. Paradigma definisi sosial dikemukakan oleh Weber sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial, maksud dari tindakan sosial yakni tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa ada hubungan dengan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan sosial yang memaknai suatu tindakan individu tersebut kemudian diarahkan kepada orang lain. Manusia diposisikan sebagai pelaku yang bebas dan bertanggung jawab, dengan perkataan lain aksi dan interaksi sosial terjadi karena kemauan manusia itu sendiri. Ada tiga teori dari paradigma defenisi sosial yakni teori aksi, teori interaksionisme dan fenomenologi. Ketiganya mempunyai pandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realita sosial. Realita sosial bukan alat yang statis yang

10 dipaksakan sepenuhnya oleh fakta sosial, tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu : 1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata. 2. Tindakan nyata dan yang bersifat, membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif. 3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu. Untuk mempelajari tindakan sosial itu Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding), atau menurut terminology Weber disebut dengan verstehen. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja, dia tidak akan meyakini bahwa perbuatan itu mempunyai arti subyektif dan diarahkan kepada orang lain. Maka yang perlu dipahami adalah motif dari tindakan tersebut. Menurut Weber ada 2 cara memahami motif tindakan yaitu: 1) kesungguhan, 2) mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor. Peneliti menempatkan dirinya dalam posisi si aktor serta mencoba memahami sesuatu yang dipahami si aktor. Atas dasar

11 rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya dalam empat tipe, dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami, empat tipe itu adalah : a. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. b. Werktrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan, namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap cara-cara sudah menentukan tujuan yang diinginkan. c. Affectual action, adalah tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami kurang atau tidak rasional. d. Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaankebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja. Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi. Konsep kedua dari Weber adalah konsep tentang antar hubungan sosial (social relationship). Hubungan sosial didefinsikan sebagai tindakan yang beberapa orang aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna

12 dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Tidak semua kehidupan kolektif memenuhi syarat sebagai antar hubungan sosial, dimana tidak ada saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang lain meskipun ada sekumpulan orang yang diketemukan bersamaan. Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini, yakni: Teori aksi (action theory), teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini mempunyai kesamaan ide dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial. Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial menganggap bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial (social behavior) adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan penggunaaan kekuatan (re-enforcement). Masyarakat sebagai sebuah struktur sosial terdiri atas jaringan hubungan sosial yang kompleks antara anggota-anggotanya. Satu hubungan sosial antara dua orang anggota tertentu pada suatu waktu tertentu, di tempat tertentu, tidak

13 dipandang sebagai satu hubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu jaringan hubungan sosial yang lebih luas, yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang di atas harus dilihat sebagai bagian dari satu struktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajian ilmu sosial, menurut RB. Individu-individu yang menjadi komponen dari sebuah struktur sosial bukanlah dilihat dari sudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel-sel dan cairan, tetapi sebagai person yang menduduki posisi, atau status, di dalam struktur sosial tersebut. (G.Ritzer, 1985) Penganut paradigma Definisi Sosial cenderung menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk dapat memahami realitas intrasubjective dan intersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial. Namun kelemahan teknik observasi adalah ketika kehadiran peneliti di tengahtengah kelompok yang diselidiki akan mempengaruhi tingkah laku subyek yang diselidiki itu. Lagi pula tidak semua tingkah laku dapat diamati, seperti tingkah laku seksual misalnya Teori Aksi (Action Theory) Beberapa asumsi dasar fundamental dari Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson sebagai berikut: a. Tidakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi ekternal dalam posisinya sebagai obyek. b. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.

14 c. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. d. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya. e. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya. f. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan. g. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subjektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience). Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusankeputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemua itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas Teori Interaksionisme Simbolik Interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakekat manusia sebagai makhluk relasional. Manusia muncul dari dalam dan melalui interaksi global dan

15 luar dirinya. Interaksi itu membutuhkan simbol-simbol tertentu dan simbol itu biasanya disepakati dalam sekala kecil maupun skala besar, misalnya bahasa, tulisan, dan simbol-simbol lain yang bersifat dinamis dan unik. Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersikaf aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik dan sulit diramalkan. (Mulyana, 2009). Interaksionisme simbolik membedakan antara interaksi adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan atau struktur sosial dan luar dirinya oleh karena itu teori berkembang melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap merupakan variabel yang penting dalam menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkapkan realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dan awalnya jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok, karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan tercermin

16 melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut. Hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori ini yakni G.H. Mead yang bermaksud untuk membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori behavioralisme radikal. Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglahlaku (behavior) manusia secara obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat perilaku manusia itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata merupakan hasil rangsangan dari luar. Menurut Mead, Interaksionisme Simbolik mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik intropeksi untuk dapat mengetahui sesuatu yang melatar belakangi tindakan sosial dari sudut aktor dengan pengggunaan bahasa serta kemampuan belajar yang tidak dimiliki oleh binatang. Menurut teori Interaksionisme Simbolik, fakta sosial bukanlah sesuatu yang mengendalikan dan memaksa tindakan manusia. Fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbolsimbol interaksi manusia. Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial (social behavior) yang tidak mengakui arti penting kedudukan individu. Padahal kenyataannya manusia mampu menciptakan dunianya sendiri. Ketika teori aksi berhenti di tengah jalan baik secara teoritis maupun empiris, kalau di lihat dari segi intensitas aplikasi teorinya, maka dalam keadan kosong itu muncul suatu perspektif baru yang kemudian menjadi kekuatan utama ilmu sosiologi. Perspektif yang di maksud adalah interaksionisme simbolik.

17 Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial dengan alasan yang sama. Keduanya tidak mengakui arti penting kedudukan individu. Bagi paradigma fakta sosial individu di pandangnya sebaagai orang yang terlalu mudah di kendalikan oleh kekuatan yang berasal dan luar dirinya seperti kultur, norma dan peranan-peranan sosial. Sehingga pandangan ini cenderung mengingkari kenyataan bahwa manusia mempunyai kepribadian sendiri sedangkan paradigma perilaku sosial melihat tingkah laku manusia semata- mata di tentukan oleh suatu rangsangan yang datang dari luar dirinya. Kenyataan bahwa manusia mampu menciptakan dunianya sendiri, di ingkari oleh kedua paradigma itu. Oleh karena itu mengikuti jalan pikiran penganut interaksionisme simbolik, pernyataan-pernyataan individu merupakan sebuah fakta ilmiah. Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran/ mahzab yaitu aliran/mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalamannya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikutnya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan

18 pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari hubungan sosial. Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada "sesuatu" itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari "interaksi sosial seseorang dengan orang lain", dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat "proses interaksi sosial" berlangsung. "Sesuatu" - alihalih disebut "objek" ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis. Bagi H. Blumer, "sesuatu" itu - biasa diistilahkan "realitas sosial" - bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut "dimaknakan". Sebagai realitas sosial, hubungan "sesuatu" dan "makna" ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas

19 bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh "kekuatan luar" (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh "kekuatan dalam" (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada din individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakantindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada... "karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia." Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya. Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya "proses mental" atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak.

20 Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus - respon, melainkan stimulus - proses berpikir - respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah

21 yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah "interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol." Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural. Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu "Symbolic Interactionism; Perspective, and Method" Herbert Blumer (1969), menegaskan bahwa ada tiga asumsi yang mendasari tindakan manusia. Tiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Human being act toward things on the basic of the meaning that the things have for them; 2) The meaning of the things arises out of the social interaction one with one's fellow; 3) The meaning of things are handled in and modified through an interpretative process used by the person in dealing with the thing he encounters. Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini. Pertama, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian, maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut bagi mereka. Kedua, makna tadi diberikan oleh manusia sebagai hasil interaksi dengan sesamanya. Jadi, makna tadi tidak inherent, tidak terlekat pada benda ataupun

22 fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia. Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbolsimbol yang di pahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi tindakan itu merupakan hasil dari pada proses interpretasi terhadap stimulus, jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbolsimbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu. Meskipun normanorma, nilai- nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan

23 pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan- tujuan yang hendak di capainya. Beberapa asumsi teori Interaksionisme Simbolik menurut Blumer (1997): a. Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan tanggapan terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam masyarakat. Kemampuan manusia berkomunikasi, belajar, serta memahami simbol-simbol itu merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan binatang. b. Melalui simbol-simbol manusia berkemampaun menstimulir orang lain dengan cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain. c. Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai, dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain. d. Terdapat satuan-satuan kelompok yang mempunyai simbol-simbol yang sama atau akan ada simbol kelompok. e. Berfikir merupakan proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan untuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir keuntungan dan kerugian relativ menurut individual, di mana satu diantaranya dipilih untuk dilakukan. Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahaminya melalui proses belajar. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada

24 dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. Orang mampu melakukan modifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Secara ringkas interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis tersebut: 1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung, komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanis. Tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Respon mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefenisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. 2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegoisasikan melalui pengguna bahasa. Negoisasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu). Namun juga gagasan yang abstrak.

25 3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan (Mulyana, 2008). Menurut Blumer (1997) ada beberapa premis interaksionisme simbolik yang yang perlu dipahami peneliti sosial (budaya), yaitu sebagai berikut: pertama: manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan kepada mereka. Dalam suatu kerumunan yang memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua: dasar interaksionisme simbolik adalah makna yang berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefenisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga: dari interaksionisme simbolik, makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi. Disamping tiga premis tersebut, Muhajir (2000) menambahkan tujuh lagi proposisi yakni pertama: perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang menggejala. Kedua: pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya kedalam interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga. Keempat, pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia berkembang secara dialektik.

26 Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna. Melalui premis dan proporsi dasar diatas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu : 1. Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks. 2. Karena simbol bersifat personal diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subjek penelitian. 3. Peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya. 4. Perlu direkam situasi yang melukiskan simbol. 5. Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. 6. Perlu menangkap makna dibalik fenomena. 7. Ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subjek, akan lebih baik. Memang harus disadari bahwa interaksionis simbolik tetap memiliki berbagai kelemahan dasar. Antara lain, seringkali model penelitian ini kurang memperhatikan masalah emosi dan gerak bawah sadar manusia dalam interaksi interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang konkret dalam interaksi dan ditafsirkan, padahal di balik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak nampak. Namun demikian, interaksionis simbolik tetap memiliki kekuatan empiris yang patut dipuji. Di samping itu, melalui pemaknaan

27 simbol berdasarkan interkasi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya. Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antara kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a 'minding process that interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980). Sebenarnya, dalam pandangan mereka, Interaksi Simbolik lebih dipengaruhi oleh pendekatan nominalis dan bahkan tidak konsisten dengan realisme filosofis. Pemikiran nominalis adalah bahwa meskipun fenomena levelmakro itu ada, mereka tidak memiliki efek yang independen dan menentukan atas kesadaran dan atas perilaku individu. Lebih tepatnya lagi, pandangan itu,

28 Memahami individu sendiri sebagai agen yang secara eksistensi bebas yang bisa menerima,menolak, memodifikasi, atau sebaliknya, menegaskan norma, peran, kepercayaan masyarakat, dan sebagainya, sesuai dengan kepentingan dan rencana mereka sendiri pada waktu itu. Sebaliknya, dalam pandangan realisme sosial, lebih menekankan pada masyarakat dan bagaimana itu bisa membentuk dan mengendalikan proses mental individu. Lebih tepatnya mungkin sebagai agen bebas; para pelaku sadar bahwa perilaku mereka dikendalikan oleh komunitas yang lebih luas. (Ahmadi, 2005 : 303) Teori Fenomenologi (Phenomenological Sociology) Persoalan pokok yang hendak yang diterangkan oleh teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan bermasyarakat itu dapat terbentuk. Ada empat unsur pokok dari teori fenomenologi yaitu : a. Perhatian terhadap aktor dengan memahami makna tindakan aktor yang ditujukan kepada dirinya sendiri. b. Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan kepada sikap. yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu. c. Memusatkan perhatian kepada masalah makro. Maksudnya mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial

29 pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu. d. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya Etnometodologi Istilah etnometodologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti "metode" yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. "Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa dapat memahami, mencari tahu, dan betindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan diri mereka sendiri." ( Blumer 1997) Etnometodologi memusatkan perhatian pada kehidupan sehari-hari. Etnometodologi sebagai realitas objektif yang terdapat fakta sosial didalamnya. Etnometodologi mencari capaian praktis yang dihasilkan pada tingkat lokal dan endogen. Hal ini, dapat diorganisasikan secara ilmiah, dilaporkan secara reflektif, berkesinambungan, pencapaian praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, melampaui, atau menunda. Para aktornya menekankan pada analisis maupun cara yang diberikan dan diterima (atau di tolak) oleh orang lain. Dalam menganalisis penjelasan para pakar

30 etnometodologi menganut pendirian ketak acuhan etno metodologis. Artinya, mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis. Mereka memperhatikan penjelasan dan metode yang digunakan pembicara dan pendengar untuk mengajukan, memahami dan menerima atau menolak penjelasan. 2.2 Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan kemampuan memengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya sasaran.seorang pemimpin akan diakui manakala berhasil memengaruhi dan mampu mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pemimpin memiliki tiga pola dasar gaya kepemimpinan, yaitu mementingkan pelaksanaan tugas, mementingkan hubungan kerjasama, dan mementingkan hasil yang dapat dicapai (Rivai, 2004). Kepemimpinan juga dibatasi sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas tentang pekerjaan anggota kelompok. Implikasi penting dalam hal ini ialah kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan pemimpin dengan anggota secara seimbang karena anggota bukanlah tanpa daya dan adanya kemampuan menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda dalam memengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara (Bambang, 2012). Menurut Bass (1997), kepemimpinan menyangkut hal-hal untuk mengatasi perubahan yang tidak dikehendaki dalam organisasi. Pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi tentang masa depan, mengkomunikasikannya kepada setiap orang, dan mengilhami orang-orang dalam mengatasi segala

31 rintangan. Perilaku pemimpin yang istimewa ialah (1) kemampuan memberi inspirasi bersama (inspirational motivation),yaitu memberi gambaran ke masa depan dan membantu orang lain dan (2) kemampuan membuat pemecahan (idealized influence), yaitu memberi keteladanan dan merencanakan keberhasilankeberhasilan kecil. Semuanya untuk memahami transformational leadership, yaitu pemimpin mentransformasikan bawahan melalui caraidealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration. Menurut Terry (1999) berpendapat bahwa seorang pemimpin ditingkat individu terlibat dalam pemberian nasihat, bimbingan inspirasi, dan pemberian motivasi kepada bawahan. Pemimpin membangun tim, menciptakan kesatuan dan menyelesaikan perselisihan ditingkat kelompok, mempengaruhi dan tidak memaksa, dan mampu membujuk bawahan untuk bertindaksecara sukarela dalam mencapai tujuan. Dalam pengertian mendasar, kepemimpinan berada dibarisan terdepan, mampu menggerakkan, dan terampil berkomunikasi untuk mengarahkan orang lain tentang jalan yang harus ditempuh. Robbins (2001) mengusulkan empat pendekatan kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan atribusi, yakni kepemimpinan semata-mata ialah atribusi yang dibuat orang bagi individu-individu lain. Kedua, kepemimpinan karismatik, yakni para pengikut membuat atribusi dari kemampuan pemimpin yang heroik atau luar biasa jika mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Ketiga, kepemimpinan transaksional vs kepemimpinan transformasional: kepemimpinan transaksional, yaitu pemimpin memandu/memotivasi pengikut dalam penegakan tujuan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas, tetapi kepemimpinan transformasional,

32 yaitu pemimpin memberi pertimbangan dan rangsangan intelektual, dan memiliki karisma. Keempat, kepemimpinan visioner, yakni kemampuan menciptakan dan mengartikulasikan visi atraktif, terpercaya, dan realistis tentang masa depan suatu organisasi atau unit yang terus bertumbuh dan membaik sampai saat ini. Fungsi kepemimpinan, menurut Kartono (2008), adalah memandu, menuntun, membimbing, memberi, atau membangkitkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, membangun jaringan komunikasi yang baik, memberikan supervisi atau pengawasan yang efisien, mendelegasikan dan melimpahkan wewenang, dan membawa para pengikutnya menuju sasaran yang ingin ditujusesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan. Konsep-konsep kepemimpinan dari para pakar tersebut pada hakikatnya mengandung beberapa pokok pikiran. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan. Kedua, kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan pemimpin yang terkait dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri. Ketiga, kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi. Kepemimpinan sebagai kemampuan, seperti yang dikemukakan di atas, menyiratkan bahwa setiap pemimpin hendaknya mempunyai visi dan misi yang jelas tentang tugas dan tanggung jawab. Tercapainya tujuan yang diinginkan didukung oleh visi dan misi dari setiap pemimpin. Oleh sebab itu, motivasi setiap pemimpin tidak lain ialah mewujudkan efektivitas kepemimpinannya dengan membulatkan tekad dan niat menjadi pemimpin yang efektif ( Handoko, 2003).

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak P A R A D I G M A (Penelitian Sosial) I Paradigma Merton universalisme, komunalisme, pasang jarak/ tanpa keterlibatan emosional, skeptisisme

Lebih terperinci

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial Filsafat Ilmu Sosial 1 Positivistik (Value free) Fenomenologi (Value Bound) Perbedaan Paradigma dalam Sosiologi 2 3 Ilmu-ilmu sosial (seperti Sosiologi) telah

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER. Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER. Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL MAX WEBER A.Kajian Teori Pada bab dua ini akan membahas mengenai teori sosiologi yang relevan dengan temapembahasan dalam penelitian ini dengan menggunakan teori tindakan sosial

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB II MODERNISASI DAN PERGESERAN BUDAYA SALAMAN DALAM TINJAUAN TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT BLUMER

BAB II MODERNISASI DAN PERGESERAN BUDAYA SALAMAN DALAM TINJAUAN TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT BLUMER BAB II MODERNISASI DAN PERGESERAN BUDAYA SALAMAN DALAM TINJAUAN TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT BLUMER A. Teori Interaksionisme Simbolik Yang menjadi objek kajian sosiologi adalah masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan

BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER. Setiap manusia mempunyai naluri untuk berinteraksi dengan BAB II TEORI TINDAKAN SOSIAL-MAX WEBER Manusia merupakan anggota masyarakat yang akan senantiasa berusaha agar selalu bisa bergaul dengan sesama. Sehingga setiap individu akan bertindak dan berusaha untuk

Lebih terperinci

Modul ke: TEORI INTERPRETIF 15FIKOM INTERAKSIONAL SIMBOLIK. Fakultas. Dr. Edison Hutapea, M.Si. Program Studi Public Relations

Modul ke: TEORI INTERPRETIF 15FIKOM INTERAKSIONAL SIMBOLIK. Fakultas. Dr. Edison Hutapea, M.Si. Program Studi Public Relations Modul ke: TEORI INTERPRETIF INTERAKSIONAL SIMBOLIK Fakultas 15FIKOM Dr. Edison Hutapea, M.Si. Program Studi Public Relations Interaksionisme Simbolik Teori interaksionisme simbolik sangat berpengaruh dalam

Lebih terperinci

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli

BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER. ketuhanan). Ia dididik dengan tradisi idealisme Jerman dan perduli BAB II TINDAKAN SOSIAL MARX WEBER Max Weber (1864-1920), ia dilahirkan di Jerman dan merupakan anak dari seorang penganut protestan Liberal berhaluan sayap kanan. Weber berpendidikan ekonomi, sejarah,

Lebih terperinci

Interaksionisme Simbolik dalam Penelitian Kualitatif

Interaksionisme Simbolik dalam Penelitian Kualitatif Salah satu jenis pendekatan utama dalam sosiologi ialah interaksionisme simbolik. Interaksionisme simbolik memiliki perspektif dan orientasi metodologi tertentu. Seperti halnya pendekatan-pendekatan lain

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. dijadikan sebagai suatu temuan penelitian yang akan mengupas

BAB IV ANALISIS DATA. dijadikan sebagai suatu temuan penelitian yang akan mengupas BAB IV ANALISIS DATA Salah satu proses analisis data ini telah dikembangkan lebih lanjut yang materinya diambil dari hasil deskripsi data penelitian untuk nantinya dijadikan sebagai suatu temuan penelitian

Lebih terperinci

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL Memahami Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi. Dalam meneliti,

Lebih terperinci

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

SOSIOLOGI KOMUNIKASI SOSIOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: Teori Teori Sosiologi Komunikasi Fakultas ILMU KOMUNIKASI Yuliawati, S.Sos, M.IKom Program Studi HUBUNGAN MASYARAKAT http://www.mercubuana.ac.id SOSIOLOGI = SOCIOLOGY= Socius

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN Modul ke: 14Fakultas Dr. PSIKOLOGI SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN BAB XIII Metode Penelitian KUALITATIF Antonius Dieben Robinson Manurung, MSi Program Studi PSIKOLOGI Menurut Banister, dkk (1994) penelitian

Lebih terperinci

BAB II INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT MEAD. dahulu dikemukakan oleh George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh

BAB II INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT MEAD. dahulu dikemukakan oleh George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh 50 BAB II INTERAKSIONISME SIMBOLIK HERBERT MEAD A. Interaksionisme Simbolik Teori yang relevan untuk menjelaskan judul ini adalah interaksionisme simbolik. Istilah interaksionisme simbolik pertama kali

Lebih terperinci

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan 33 BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD Kehidupan social itu sendiri tidak pernah terlepas dari adanya sebuah interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

Lebih terperinci

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik Pokok Bahasan Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak

BAB II. Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku. Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak 53 BAB II Tindakan Sosial Max Weber dan Relevansinya dalam Memahami Perilaku Peziarah di Makam Syekh Maulana Ishak Untuk menjelaskan fenomena yang di angkat oleh peneliti yaitu ZIARAH MAKAM Studi Kasus

Lebih terperinci

Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. Teori Sosiologi Kontemporer

Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. Teori Sosiologi Kontemporer Kuliah ke-7 Amika Wardana, PhD. a.wardana@uny.ac.id Teori Sosiologi Kontemporer Asumsi Dasar Interaksionisme-Simbolik Akar kesejarahan Interaksionisme-Simbolik Max Weber: Verstehen (Pemahaman Subyektif)

Lebih terperinci

A. Filasafat Ilmu sebagai Akar Metodologi Penelitian

A. Filasafat Ilmu sebagai Akar Metodologi Penelitian A. Filasafat Ilmu sebagai Akar Metodologi Penelitian Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat yang banyak digunakan sebagai batu pijakan dalam mengembangkan ilmu. Filsafat ilmu menurut Sumantri (1998)

Lebih terperinci

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI

PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI MODUL PERKULIAHAN PENGENALAN PANDANGAN ORGANISASI Pokok Bahasan 1. Alternatif Pandangan Organisasi 2. Perkembangan Teori Dalam Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Ilmu Komunikasi Public

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme

Pengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme Ada tiga hal penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita; Yakni: Apa yang perlu kita ketahui dan pahami tentang Sosiologi dan Politik? Mengapa kita perlu mengetahui dan memahami Sosiologi dan Politik?

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran

Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran Posisi Semiotika dan Tradisi-tradisi Besar Filsafat Pemikiran Paradigma Memandang Realitas : Sebuah Fondasi Awal Pemahaman semiotika tidak akan mudah terjebak pada urusan-urusan yang teknik metodologi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definsi Sampah Sampah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia tetapi

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

TEORI KOMUNIKASI. Teori Berdasarkan Pendekatan Subyektif. SUGIHANTORO, S.Sos, M.IKom. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI

TEORI KOMUNIKASI. Teori Berdasarkan Pendekatan Subyektif. SUGIHANTORO, S.Sos, M.IKom. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI Modul ke: TEORI KOMUNIKASI Teori Berdasarkan Pendekatan Subyektif Fakultas ILMU KOMUNIKASI SUGIHANTORO, S.Sos, M.IKom. Program Studi MARKETING COMMUNICATIONS & ADVERTISING www.mercubuana.ac.id Teori Pendekatan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Pola Asuh Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (dalam Isni Agustiawati, 2014), kata pola berarti model,

Lebih terperinci

BAB II TINDAKAN SOSIAL - MAX WEBER. yang menonjol, dan setiap gagasan yang mengancamnya akan disingkirkan

BAB II TINDAKAN SOSIAL - MAX WEBER. yang menonjol, dan setiap gagasan yang mengancamnya akan disingkirkan BAB II TINDAKAN SOSIAL - MAX WEBER A. Paradigma Definisi Sosial Sejarah suatu ilmu pengetahuan adalah sejarah bangun dan jatuhnya paradigma-paradigma. Untuk suatu masa mungkin hanya satu paradigma yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno : pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang

BAB II LANDASAN TEORI. dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kinerja Kinerja menurut Soetjipto (1997) merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil ekspresi atau ungkapan kejiwaan seorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil ekspresi atau ungkapan kejiwaan seorang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil ekspresi atau ungkapan kejiwaan seorang yang diekspresikan dalam wujud media tulis. Untuk itu, karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan

Lebih terperinci

BAB II TEORI INTERAKSI SIMBOLIK GEORGE HERBERT MEAD. Blumer sekitar tahun Dalam lingkup sosiologi, idea ini sebenarnya

BAB II TEORI INTERAKSI SIMBOLIK GEORGE HERBERT MEAD. Blumer sekitar tahun Dalam lingkup sosiologi, idea ini sebenarnya 35 BAB II TEORI INTERAKSI SIMBOLIK GEORGE HERBERT MEAD Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, idea ini sebenarnya sudah lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia berinteraksi dengan lingkungannya (Tirtarahardja &Sula, 2000: 105).

BAB I PENDAHULUAN. manusia berinteraksi dengan lingkungannya (Tirtarahardja &Sula, 2000: 105). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia dilahirkan dengan sejumlah kebutuhan yang harus dipenuhi dan potensi yang harus dikembangkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya itu maka manusia berinteraksi

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinasi, kemudian tercipta suatu pemikiran imajinatif yang akan tercermin lewat

BAB I PENDAHULUAN. imajinasi, kemudian tercipta suatu pemikiran imajinatif yang akan tercermin lewat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra pada dasarnya mengungkapkan kejadian, namun kejadian tersebut bukanlah fakta yang sesungguhnya melainkan fakta dari hasil pemikiran pengarang. Pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Teori ini digunakan oleh peneliti untuk menganalisis pesantren dan pangajian taaruf (studi kasus eksistensi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIK. Dalam penelitian ini peneliti mengunakan paradigma definisi sosial sebagai

BAB II KERANGKA TEORITIK. Dalam penelitian ini peneliti mengunakan paradigma definisi sosial sebagai 37 BAB II KERANGKA TEORITIK A. Teori Tindakan sosial Max Weber Dalam penelitian ini peneliti mengunakan paradigma definisi sosial sebagai mana Paradigma definisi sosial tidak berangkat dari sudut pandang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori Landasan teori adalah teori-teori yang relevan dan dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian. Landasan teori ini juga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Kasoos. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang apa

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Kasoos. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang apa BAB II TINJAUAN TEORITIS Tinjauan teoritis merupakan pendekatan teori yang akan digunakan untuk menjelaskan persoalan penelitian. Dalam bab II ini akan membahas pengertian mengenai komunikasi, interaksi

Lebih terperinci

Perspektif dalam Ilmu Komunikasi

Perspektif dalam Ilmu Komunikasi TEORI KOMUNIKASI MODUL 4 Perspektif dalam Ilmu Komunikasi Membicarakan teori pada dasarnya membicarakan perspektif yang melatarbelakanginya. Dalam materi ini, kita menggunakan perspektif dan paradigma

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK BAB II KAJIAN TEORITIK A. Tindakan Sosial Max Weber Dalam hal ini kaitanya antara teori tindakan sosial dengan persepsi masyarakat tentang calon bupati mantan koruptor adalah termasuk relevan. Yang mana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. socialnya (action theory), yaitu mengenai tindakan yang dilakukan seseorang

BAB II TINJAUN PUSTAKA. socialnya (action theory), yaitu mengenai tindakan yang dilakukan seseorang BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Teori Interaksi Simbolik Untuk mempelajari interaksi sosial digunakan suatu pendekatan yang di kenal dengan pendekatan interaksional simbolik. Salah satu tokoh pelopor teori

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan judul penelitian ini, Motivasi Individu Bergabung dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan judul penelitian ini, Motivasi Individu Bergabung dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan judul penelitian ini, Motivasi Individu Bergabung dalam Komunitas Penggemar Tim Sepakbola (studi kasus: Lima Anggota Fansclub United Indonesia chapter

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Dalam Penelitian ini, peneliti menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2010 hlm.6) : Penelitian kualitatif

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni BAB IV ANALISIS DATA Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni peorganisasin data kedalam pola-pola yang saling berhubungan, serta setiap kategori maupun sistem yang ada. Pada tahap

Lebih terperinci

Pendekatan penelitian disebut juga dengan desain penelitian yakni rancangan, pedoman ataupun acuan penelitian yang akan dilaksanakan (Soemartono,

Pendekatan penelitian disebut juga dengan desain penelitian yakni rancangan, pedoman ataupun acuan penelitian yang akan dilaksanakan (Soemartono, Pendekatan penelitian disebut juga dengan desain penelitian yakni rancangan, pedoman ataupun acuan penelitian yang akan dilaksanakan (Soemartono, 2003). Desain Penelitian ini harus memuat segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung selain di kenal sebagai kota Fashion, tapi di kenal juga sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung selain di kenal sebagai kota Fashion, tapi di kenal juga sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota Bandung selain di kenal sebagai kota Fashion, tapi di kenal juga sebagai kota pendidikan karena banyaknya mahasiswa luar Bandung yang kuliah di sana. Kota

Lebih terperinci

Oleh: Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si KONSEP, MATERI DAN PEMBELAJARAN SOSIOLOGI

Oleh: Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si KONSEP, MATERI DAN PEMBELAJARAN SOSIOLOGI Oleh: Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si KONSEP, MATERI DAN PEMBELAJARAN SOSIOLOGI Sekolah diharapkan mampu memenuhi tuntutan masyarakat, merintis transformasi yang diinginkan masyarakat (melestarikan), menemukan

Lebih terperinci

Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif

Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif Teori-Teori Penunjang dalam Penelitian Kualitatif Fenomenologi Hermeneutik Interaksi Simbolik Etnometodologi Teori Budaya Tri Nugroho Adi,M.Si./MPK Kual. 1 FENOMENOLOGI Perspektif ini mengarahkan bahwa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Fokus utama penelitian ini yaitu mengenai strategi kelangsungan industri kripik tempe yang ada di Desa Karangtengah

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Fokus utama penelitian ini yaitu mengenai strategi kelangsungan industri kripik tempe yang ada di Desa Karangtengah BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Fokus utama penelitian ini yaitu mengenai strategi kelangsungan industri kripik tempe yang ada di Desa Karangtengah Prandon. Peneliti mengkaji strategi produksi dan strategi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ. akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmuilmu

BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ. akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmuilmu 37 BAB II TEORI FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ A. Teori Fenomenologi Alfred Schutz lahir di Wina pada tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun 1959. Ia menyukai musik, pernah bekerja di bank mulai berkenalan

Lebih terperinci

PANDANGAN HIDUP SISTEM

PANDANGAN HIDUP SISTEM PANDANGAN HIDUP SISTEM SEPERTI APA REALITAS YANG EKOLOGIS? Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi FE UPN Veteran Jatim) Pemahaman Hidup Sistem Visi atau pandangan hidup akan realitas

Lebih terperinci

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi UPN Veteran Jawa Timur Pengantar Epistemologi merupakan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PRAGMATISME Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui

Lebih terperinci

BAB V. PENUTUP. memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak

BAB V. PENUTUP. memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan Sebagian besar hak-hak anak dalam kelima keluarga dalam penelitian ini memiliki kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing keluarga. Hanya hak anak untuk hidup dan hak anak

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Icek Ajzen dan Martin Fishbein bergabung untuk mengeksplorasi cara untuk memprediksi

Lebih terperinci

Etika dan Filsafat. Komunikasi

Etika dan Filsafat. Komunikasi Modul ke: Etika dan Filsafat Komunikasi Pokok Bahasan Fakultas Ilmu Komunikasi Pengantar Kepada Bidang Filsafat Dewi Sad Tanti, M.I.Kom. Program Studi Public Relations www.mercubuana.ac.id Pengantar Rasa

Lebih terperinci

Tujuan Instruksional Khusus

Tujuan Instruksional Khusus Sosiologi Tujuan Instruksional Khusus Agar mahasiswa mengenal, mengerti, dan dapat menerapkan konsep-konsep sosiologi dalam hubungannya dengan psikologi SUMBER ACUAN : Soekanto, S. Pengantar Sosiologi.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Kinerja Karyawan Kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan

Lebih terperinci

KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI: Perspektif Teoritik dan Metodologi

KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI: Perspektif Teoritik dan Metodologi Ulas Balik (Review) 1 KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI: Perspektif Teoritik dan Metodologi (Leadership in Organization: Theory and Methodology Perspectives) Oleh/By Suci Wulandari Peneliti pada Puslitbang

Lebih terperinci

BAB II INTERAKSIONISME SIMBOLIK. teori interaksi simbolik, istilah interaksi simbolik diciptakan oleh Herbert

BAB II INTERAKSIONISME SIMBOLIK. teori interaksi simbolik, istilah interaksi simbolik diciptakan oleh Herbert BAB II INTERAKSIONISME SIMBOLIK A. Pikiran, Diri, dan Masyarakat Dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori interaksi simbolik, istilah interaksi simbolik diciptakan oleh Herbert

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. akumulasi dari berbagai faktor dimulai dari faktor awal proses sampai denga hasil.

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. akumulasi dari berbagai faktor dimulai dari faktor awal proses sampai denga hasil. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Hakikat Hasil Belajar Hasil belajar merupakan salah satu faktor penting untuk mengukur keberhasilan seseorang dalam belajar, hasil

Lebih terperinci

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc.

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF. By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc. PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF By: Nur Atnan, S.IP., M.Sc. Paradigma dalam Penelitian Kualitatif Paradigma Interpretif Paradigma Konstruktivisme Paradigma Kritis Paradigma Positivis Positivisme dibidani

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang meliputi pengetahuan sikap dan keterampilan yang merupakan hasil aktivitas belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

Perspektif / Paradigma Komunikasi. Drs. Alex Sobur, M.Si. Tine A. Wulandari, S.I.Kom.

Perspektif / Paradigma Komunikasi. Drs. Alex Sobur, M.Si. Tine A. Wulandari, S.I.Kom. Perspektif / Paradigma Komunikasi Drs. Alex Sobur, M.Si. Tine A. Wulandari, S.I.Kom. PARADIGMA Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan baik secara jasmani maupun rohani dimana kita lahir secara turun-temurun, membawa

Lebih terperinci

PSIKOLOGI KOMUNIKASI. Ruang Lingkup Psikologi. Komunikasi. Oni Tarsani, S.Sos.I., M.Ikom. Komunikasi. Modul ke: Fakultas Ilmu

PSIKOLOGI KOMUNIKASI. Ruang Lingkup Psikologi. Komunikasi. Oni Tarsani, S.Sos.I., M.Ikom. Komunikasi. Modul ke: Fakultas Ilmu PSIKOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: 01 Fakultas Ilmu Komunikasi Ruang Lingkup Psikologi Komunikasi Oni Tarsani, S.Sos.I., M.Ikom Program Studi Public Relation www.mercubuana.ac.id Psychology: * The science

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO by Stephen K. Sanderson KETERKAITAN antara sosiologi mikro dengan sosiologi makro akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para sosiolog dari berbagai aliran. Untuk

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Teknologi di Indonesia kini semakin maju, serta kondisi perekonomiannya

BAB I. Pendahuluan. Teknologi di Indonesia kini semakin maju, serta kondisi perekonomiannya BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penelitian Teknologi di Indonesia kini semakin maju, serta kondisi perekonomiannya pun semakin membaik. Terbukti adanya data peningkatan perekonomian Indonesia tahun

Lebih terperinci

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Sosiologi lahir manakala muncul perhatian terhadap masyarakat karena perubahan yang terjadi Terdapat peristiwa besar di

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.

Lebih terperinci

EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG PARADIGMA, KONSEP, DALIL, DAN TEORI

EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG PARADIGMA, KONSEP, DALIL, DAN TEORI EKSPLORASI PEMIKIRAN TENTANG PARADIGMA, KONSEP, DALIL, DAN TEORI Apa Itu Paradigma? Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme, istilah tersebut berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 8 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 8 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 8 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan manfaat sosiologi dalam kehidupan. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan

Lebih terperinci

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA Skim tidak dapat dilepaskan dari bagaimana pengetahuan itu dibangun. Teori tentang pembentukan pengetahuan akan dapat diketahui apabila kita memahami teori pembentukan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika

BAB II KERANGKA TEORI. yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Gaya hidup Menurut Max Weber, gaya hidup merupakan persamaan status kehormatan yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol gaya hidup yang sama. Ketika seorang individu berada

Lebih terperinci

TEORI TEORI BELAJAR. Oleh : Jumari Ismanto, M.Ag 1 BAB I PENDAHULUAN

TEORI TEORI BELAJAR. Oleh : Jumari Ismanto, M.Ag 1 BAB I PENDAHULUAN TEORI TEORI BELAJAR Oleh : Jumari Ismanto, M.Ag 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia memperoleh sebagaian besar dari kemampuannya melalui belajar. Belajar adalah suatu peristiwa yang terjadi didalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu

TINJAUAN PUSTAKA. mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Konsumen Motivasi berasal dari kata latin mavere yang berarti dorongan/daya penggerak. Yang berarti adalah kekuatan penggerak dalam diri konsumen yang memaksa bertindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kegiatan yang esensial didalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Seperti yang dikutip penulis dalam Fadwa El Guindi (2005:30), jilbab

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Seperti yang dikutip penulis dalam Fadwa El Guindi (2005:30), jilbab BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hijab sebagai Pemaknaan Sosial Seperti yang dikutip penulis dalam Fadwa El Guindi (2005:30), jilbab secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu veil. Veil mempunyai empat

Lebih terperinci

MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS

MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS Walaupun teori adalah suatu abstraksi dari realitas, penting disadari akan hubungan antara keduanya. Teori bukanlah murni abstrak, tanpa berdasarkan pengalaman yang nyata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih 1 BAB I PENDAHULUAN 1 Latar belakang Banyak kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia dan dijadikan trend bagi masyarakat Indonesia. Kebudayaan yang masuk pun datang dari barat dan timur dunia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB III Metodologi Penelitian. waktu, merupakan suatu upaya untuk menemukan

BAB III Metodologi Penelitian. waktu, merupakan suatu upaya untuk menemukan BAB III Metodologi Penelitian 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma Penelitian pada hakikatnya ada konteks khusus atau dimensi waktu, merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk membenarkan

Lebih terperinci

Ringkasan Materi Teori-Teori Sosial Budaya

Ringkasan Materi Teori-Teori Sosial Budaya Ringkasan Materi Teori-Teori Sosial Budaya BAB 8 Teori Pertukaran, Teori Jaringan, dan Teori Pilihan Rasional Pada bab 8 dalam buku Teori Sosiologi Modern ini perhatiannya lebih dipusatkan pada tiga teori

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sehingga pendidikan saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan pendidikan di

BAB 1 PENDAHULUAN. sehingga pendidikan saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan pendidikan di BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan saat ini berkembang begitu pesat dari waktu ke waktu, sehingga pendidikan saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan pendidikan di masa lalu.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

Lebih terperinci

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14 Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : 2008 Pertemuan 14 MASYARAKAT MATERI: Pengertian Masyarakat Hubungan Individu dengan Masyarakat Masyarakat Menurut Marx Masyarakat Menurut Max Weber

Lebih terperinci