Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran terhadap WSSV dan SPF (Specific Pathogen Free)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran terhadap WSSV dan SPF (Specific Pathogen Free)"

Transkripsi

1 Aquacultura Indonesiana (2009) 10 (2) : ISSN Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran terhadap WSSV dan SPF (Specific Pathogen Free) Haryanti, Ida Komang Wardana, Gusti Ngurah Permana, Fahrudin, Sari Budi Moria dan Ketut Mahardika Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO box 140 Singaraja Bali haryanti@indosat.net.id Abstract Haryanti, Ida Komang Wardana, Gusti Ngurah Permana, Fahrudin, Sari Budi Moria and Ketut Mahardika Selective breeding of black tiger shrimp Penaeus monodon: study on fast growth, WSSV tolerance and SPF (specific pathogen free) traits. Aquacultura Indonesiana, 10 (2): Shrimp selective breeding research focused on fast growth, WSSV tolerance and SPF (Specific Pathogen Free) traits was important to develop better phenotypic and genotypic characters on black tiger shrimp spawners. The aim of research was to evaluate shrimp breeding to produce selected fry with fast growth, WSSV tolerance and SPF (Specific pathogen Free) traits. Selection method was initiated from breeding of wild shrimp spawners (F 0) applied with full sib mating, probiotics, biosecurity, and viral diseases diagnosis. Diagnosis was tested on 7 viruses (TSV, WSSV, IHHNV, YHV, BP, MBV, and HPV). Result showed that 9 families of the first generation (F 1) shrimp phenotypically was varied (big, regular and small size). First shrimp generation shrimp produced from phenotypic selection with fast growth was % of the total fry population while regular and slow growths were 51.71% and 10.62% respectively. Genotypic performance of shrimp broodstock (F 0) and the first generation (F 1) showed different genetic variation. Heterozigosity values of shrimp broodstock (F 0) were (female) and (male) respectively, while on the first generation (F 1) with fast growth trait was and regular and slow growth was and respectively. Result of challenge test to WSSV infection with applied of deeping and feeding has shown different of tolerance effect on first generation shrimp fry. Keywords: Fast growth; Genotype; Penaeus monodon; Phenotype; Selective breeding; WSSV tolerance Abstrak Riset selektif breeding dengan mengutamakan seleksi famili untuk karakter pertumbuhan, toleran terhadap WSSV dan bebas penyakit (SPF) menjadi prioritas agar diperoleh calon induk udang windu dengan karakter fenotype dan genotype yang lebih baik. Tujuan riset adalah mendapatkan Metode selektif breeding dan induk udang hasil seleksi famili dengan karakter tumbuh cepat, toleran terhadap WSSV serta bebas penyakit (SPF). Metode seleksi diawali dengan pembenihan menggunakan induk udang windu berasal dari alam (F 0) mengikuti kaidah full sib mating, mengaplikasikan probiotik dalam pemeliharaan larva, biosecurity dan pemantauan infeksi virus. Diagnosis bebas penyakit (SPF) dilakukan dengan pengujian 7 jenis virus (TSV, WSSV, IHHNV, YHV, BP, MBV, HPV). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 9 famili udang generasi pertama (F 1) memberikan keragaman fenotype yang bervariasi (ukuran besar, sedang/reguler dan kecil). Benih udang generasi pertama (F 1) hasil seleksi fenotype pertumbuhan cepat sebesar 37,67%, sedangkan pertumbuhan sedang/ regular dan lambat masing-masing sebesar 51,71% dan 10,62% dari populasi benih udang yang dihasilkan. Keragaman genotype induk udang (F 0) jantan dan betina dan generasi pertama (F 1) menunjukkan keragaman genetik yang berbeda. Nilai heterozigositas pada induk udang jantan dan betina (F 0) masing-masing sebesar 0,6091 dan 0,2872. Sementara, pada generasi pertama (F 1) pada udang dengan tumbuh cepat sebesar 0,6633, sedangkan tumbuh sedang/reguler dan lambat masing-masing 0,6627 dan 0,5512. Hasil uji tantang terhadap WSSV dengan perendaman maupun pemberian pakan menunjukkan adanya perbedaan toleransi pada benih udang turunan F 1. Kata kunci: Pertumbuhan cepat; Genotip; Penaeus monodon; Fenotip; Selektif breeding; Toleran terhadap WSSV Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

2 Aquacultura Indonesiana, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 : Pendahuluan Dengan keterpurukan bisnis udang windu Penaeus monodon di Indonesia oleh karena kegagalan budidaya, mengakibatkan volume eksport udang tersebut juga mengalami penurunan sangat tajam. Walaupun demikian beberapa praktisi masih melakukan kegiatan budidaya secara tradisional (Jawa Timur, Kalimantan dan Sulawesi Selatan), semi intensif (Kalimantan, Sulawesi Selatan) maupun intensif (Pulau Seram, Ambon). Bila ditelusuri, kegagalan budidaya udang windu banyak disebabkan oleh penurunan kualitas lingkungan, sehingga sangat rentan terhadap penyakit infeksi terutama virus (Gunarto et al., 2006). Menurut data dari FAO, produksi udang dari Indonesia estimasi pada tahun 2005 adalah ton, sedangkan pada tahun 2007 sebanyak ton dan pada tahun 2008 adalah ton dengan perbandingan 70% udang vannamei dan 30% udang windu (FAO, 2005). Sementara pada tahun 2007 berubah menjadi 80% udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dan 20% udang windu, P. monodon (Permana, 2009). Adanya penurunan produksi udang windu di tambak, maka kegiatan bisnis beralih pada budidaya udang L. vannamei. Diketahui bahwa induk udang L. vannamei diimport dari USA dan merupakan udang hasil selektif breeding. Dengan Keterbatasan karakter genetik pada udang tersebut, maka sulit untuk dikembangbiakan dalam jangka panjang, sehingga Ketergantungan import sangat tinggi. Akibat lanjut dari akivitas tersebut devisa negara akan mengalir sangat besar ke negara lain. Dalam upaya mengembalikan kejayaan budidaya udang windu, maka langkah perbaikan dan antisipasi serta pencegahan terhadap faktor kegagalan terus dilakukan. Satu di antara upaya yang mendapatkan perhatian adalah penanganan terhadap karakter genetik udang windu. Diawali dengan pemetaan (mapping) keragaman genetik udang windu di perairan Indonesia (Benzie et al., 2002; Sugama et al., 2002), domestikasi induk udang dari perairan berbeda melalui pembenihan dan mengevaluasi benih turunannya (Moria et al., 2002; Moria et al., 2003), serta selektif breeding secara fenotip ataupun genotype pada udang windu (Haryanti et al., 2006; Haryanti dan Sugama, 2007). Menurut Benzie (2000) dan Lester (1983) berpendapat bahwa pengembangan metode domestikasi pada udang Penaeid dimaksudkan untuk mengantisipasi tekanan terhadap stock induk alam, sehingga telah direalisasikan perbaikan mutu udang melalui seleksi breeding dengan memerlukan hitungan variasi genetik yang tepat pada populasi induk. Hal ini mengingat bahwa perairan Indonesia mempunyai sumber keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia dan diperkirakan pada perairan tersebut juga mempunyai tingkat keragaman populasi P. monodon yang secara genetik juga besar, dengan keunggulan fenotip (ukuran udang besar) dan genotip (heterozigositas tinggi) (Klinbunga et al., 1998; Duda dan Palumbi, 1999; Benzie, 2000). Skala prioritas dalam pembenihan untuk target keberhasilan budidaya adalah perbaikan mutu induk dan benih udang windu melalui selektif breeding. Benih yang dihasilkan dari induk udang windu hasil seleksi diharapkan akan menghasilkan kualitas benih yang baik secara genotip maupun fenotip. Beberapa riset terhadap benih dan induk udang telah difokuskan melalui teknik selektif breeding dengan mengedepankan sifat-sifat yang menguntungkan bagi budidaya (tumbuh cepat, toleran-resisten terhadap infeksi virus, reproduksi, dll). Penggunaan penciri gen untuk karakter tersebut di atas dalam seleksi (Marker Assisted Selection/MAS) akan sangat bermanfaat. Dari beberapa hasil uji pendahuluan yang telah diperoleh dalam breeding pada udang windu yang bersifat SPF dengan pendeteksian terhadap 7 jenis infeksi virus, nampak bahwa calon induk udang turunan F-1 yang bersifat SPF dengan Metode pemeliharaan yang mengaplikasikan biosekuriti sebesar 85-90%. Sementara, untuk induk udang windu yang berasal dari alam, sifat SPF tersebut menunjukkan angka yang lebih kecil, oleh karena adanya infeksi virus selama penampungan di tempat pengumpul. Riset selektif breeding melalui seleksi famili dengan mengutamakan karakter tumbuh cepat dan bebas penyakit (SPF) serta toleran terhadap infeksi WSSV menjadi pilihan mendesak untuk mendapatkan calon induk udang windu dengan sifat fenotype dan genotype yang lebih baik. Dari keberhasilan upaya tersebut diharapkan dapat memotivasi praktisi untuk menggunakan udang windu sabagai species andalan dalam bisnis budidaya per ikanan. Terobosan ini untuk mengantisipasi penurunan karakter genetik udang dan ketergantungan induk alam serta import induk udang dari luar negeri. Dampak lanjut adalah 76 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2009

3 Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran (Haryanti et al.) memberikan peluang industri hatchery skala komersial untuk memasok kebutuhan benih bagi budidaya tambak. Keragaman Fenotip Materi dan Metode Pelaksanaan riset dilakukan dalam 3 tahapan yaitu: pembenihan dengan menggunakan induk udang windu turunan F-0 yang berasal dari alam. Pembenihan mengacu pada kaidah full sib mating dengan ratio jantan : betina adalah 1:1 agar diperoleh benih dengan famili yang berbeda. Semua aktivitas pembenihan mengacu pada penggunaan induk dengan kondisi SPF yang dilakukan melalui Metode deteksi bebas penyakit terhadap 7 jenis patogen virus, yaitu: TSV, WSSV, IHHNV, YHV, BP, MBV dan HPV. Semua hasil pengujian tersebut harus bersifat negatif terhadap semua infeksi jenis virus. Di samping itu induk udang windu dievaluasi keragaan genetiknya, selanjutnya dipijahkan dengan perangsangan hormonal melalui ablasi tangkai mata. Dalam breeding ini induk udang windu diberikan pakan segar berupa cumi, cacing laut dan kerang sebanyak 15% dari berat total induk udang per hari. Larva udang windu dipelihara dengan pemberian pakan berupa Chaetoceros ceratosporum, Skeletonema sp., Artemia sp. dan pakan buatan mikroencapsulasi. Kepadatan awal C. ceratosporum pada stadia awal larva sebanyak sel/ml, sedangkan pada stadia lanjut diberikan Skeletonema sp. ( sel/ml) dan Artemia sp. (5 15 naupli/larva). Sementara, dosis pakan buatan diberikan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam kemasan. Pergantian air dimulai saat stadia zoea 3 hingga stadia postlarva dengan tingkat yang berbeda (15 50%). Riset ini mengaplikasikan seleksi famili yang diperoleh melalui pemijahan induk betina secara terpisah dan benih yang dihasilkan dari masing-masing induk udang windu betina tersebut dipelihara dan diseleksi dengan memilih karakter pertumbuhan, sehat dan keragaan morfologi yang baik. Pada tahap kedua, benih (F-1) yang diperoleh dari hasil pemijahan induk F-0, diseleksi setelah mencapai stadia juvenil (berat sekitar 5-10 g) berdasarkan karakter pertumbuhan (tumbuh cepat, regular dan lambat). Karakter tersebut diindikasikan dari ukuran besar, sedang dan kecil. Pada waktu yang sama juga dilakukan penandaan (tagging) menggunakan Visible Implants of fluorescent Elastomer (VIE). Benih yang tumbuh cepat dan regular serta bersifat SPF, dipelihara hingga mencapai ukuran calon induk dalam bak terkontrol dan dipertahankan dalam kondisi biosecure. Pemantauan adanya infeksi virus melalui deteksi secara berkala selalu dilakukan, untuk tindakan pencegahan infeksi. Setiap melakukan tahapantahapan tersebut di atas, penerapan Metode biosecurity menjadi bagian utama untuk mengkondisikan sarana dan prasarana hatchery dalam situasi bersih, yaitu melalui sterilisasi peralatan, penggunaan air melalui ultra membran filter, kebersihan hatchery, teknisi dan lain-lain. Tahap selanjutnya adalah challenge test infeksi WSSV terhadap benih udang yang mempunyai variabilitas pertumbuhan. Pada tahapan tersebut udang diinfeksikan secara oral dan perendaman dalam waktu 96 jam. Penyediaan pakan dalam uji dimulai dengan menginfeksikan WSSV pada udang sehat secara kohabitasi. Udang yang mati digunakan sebagai pakan pada benih udang windu yang diujikan secara oral. Sementara, infeksi melalui perendaman, benih udang dengan variasi pertumbuhan direndam selama 2 jam pada air laut 30 L yang telah diinfeksikan inokulan WSSV. Pengamatan mortalitas dilakukan dengan interval waktu setiap 24 jam pemaparan. Keragaman Genotip Pengujian karakter genotip dilakukan dengan mengekstrasi total DNA induk udang windu (F-0) dan benih udang generasi pertama (F-1) ukuran besar, sedang dan kecil mengikuti Metode Ovenden (2000) dengan beberapa modifikasi. Purifikasi genome DNA dengan menggunakan Kit QIA quick Purification (Cat. No QIAGEN) dan metode mengikuti manual yang ada dalam kit (kemasan). Hasil purifikasi merupakan genom DNA yang murni dengan konsentrasi tinggi untuk amplifikasi PCR. Amplifikasi DNA dengan speedy PCR dengan menggunakan kit Go taq polymerase (Promega). Primer yang digunakan adalah universal primer 2AAM2, AS-15, AS-14 dan LS-21 dengan kosentrasi 25 pmol. Reaksi PCR dengan total volume 10 µl digunakan 5x Buffer (2,0 µl); 0,2 µl dntp mix (10 mm); 1,5 µl MgCl 2 (25 mm); 1,0 µl Primer (25 pmol); 0,2 µl Taq polimerase; H 2 O sebanyak 4,1 µl dan genom DNA: 1.0 µl Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

4 Aquacultura Indonesiana, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 : (15 20 ng/µl). Thermocycle PCR sebanyak 35 siklus, dengan awal denaturasi 95ºC selama 120º detik, denaturasi dengan suhu 95ºC (5 detik), annealing 55ºC (10 detik) dan ekstensi 72ºC (30 detik), sedangkan ekstensi akhir 72ºC (120 detik). Lama amplifikasi PCR ini hanya memerlukan waktu sekitar 45 menit. Selanjutnya analisis genotip menggunakan metode SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism). Dalam analisis tersebut digunakan Gel polyacrilamid (Genegel Clean Excel 15/24) yang telah mengalami rehydration. Fragmentasi hasil amplifikasi PCR dielektroforesis dengan Genphore yang telah dimediasi oleh ddh 2 O agar gel tidak melekat langsung pada chamber Genphore. Selanjutnya sampel uji dimasukkan ke dalam sumuran yang ada pada polyacrilamid gel sebanyak 6 ul. Arus listrik dialirkan dari negatip ke positip digunakan 2 lembaran blot paper yang berfungsi sebagai jembatan (bridge) buffer. Fragmentasi gen dalam polyacrilamid gel dikondisikan pada suhu 15 o C selama 45 menit. Pada proses pewarnaan dengan kit metode silver staining, setiap tahap perendaman gel polyacrilamid menggunakan shaker agar larutan dapat merendam seluruh permukaan gel. Tahapan pewarnaan meliputi fixing (90 menit), pewarnaan (staining) selama 30 menit, developing (8-10 menit) dan penghentian proses pewarnaan (30 menit). Preservasi gel polyacrilamid dengan cara dikeringanginkan pada suhu ruang dengan posisi vertikal. Setelah gel polyacrilamid kering, dilakukan penghitungan dan pembacaan pita (fragmen) DNA yang terekspresi. Hasil pengamatan fenotip dan genotip dianalisis dengan menggunakan software genetic TFGPA (Tool for Genetic Population) serta analisa data secara deskriptif dan tabulasi. Hasil dan Pembahasan Keragaman Karakter Fenotip Hasil pembenihan yang dilakukan menggunakan induk alam, berasal dari perairan Aceh (F-0) dengan panjang 25,09 25,60 cm dan berat 153,40 166,90 g pada induk betina dan 19,64 21,20 cm dan 69,68 82,0 g pada induk jantan, menunjukkan fekunditas telur dan laju penetasan telur (HR) yang bervariasi (Tabel 1). Induk udang sebanyak 35 pasang, setelah dilakukan ablasi pada induk betina, tidak semua induk udang betina memberikan respon kematangan gonad dan mengalami pemijahan serta menghasilkan fekunditas dan daya tetas telur yang tinggi. Seringkali induk udang tidak memijah dan gonad diserap kembali atau induk udang memijah secara partial, jumlah telur sedikit, telur tidak dibuahi (infertil) atau telur tidak dapat berkembang sempurna untuk menetas menjadi larva. Dari induk yang ada hanya 16 ekor yang memberikan respon kematangan gonad. Tabel 1.Hasil pemijahan induk P. monodon dan persentase penetasan telur menjadi nauplii pada tahap pembenihan Induk Pemijahan (telur) Jumlah Nauplii (ekor) I II III I II III (75%) (7,77%) unhatch (61,2 %) unhatch (71,19%) (84 %) ( 63%) (15,14%) unhatch unhatch unhatch (29,7%) (73,7%) unhatch (50,41%) (43,96%) (26,5 %) (100%) unhatch (44,42%) unhatch unhatch unhatch unhatch (6,05 %) unhatch (84 %) (20%) unhatch unhatch unhatch 78 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2009

5 Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran (Haryanti et al.) Tabel 2.Hasil analisis karakter SPF (Specific Pathogen Free) melalui deteksi tujuh jenis virus pada induk alam (F-0) dan benih generasi pertama (F-1) udang windu P. monodon Sampel Deteksi Virus BP HPV IHHNV MBV TSV WSSV YHV Induk (F-0) Benih generasi pertama F Tabel 3. Prosentase populasi benih udang windu (P. monodon) generasi pertama (F-1) dengan perbedaan pertumbuhan dari hasil seleksi breeding INDUK Ukuran Besar Ukuran Sedang Ukuran Kecil Jumlah ekor (%) size ekor (%) size ekor (%) (17,16%) 651 (60,39%) 242 (22,45%) (50,11%) 189 (41,54%) 38 (8,35%) (33,12%) 529 (55,98%) 103 (10,90%) (49,23%) 516 (43,95%) 80 (6,81%) (42,52%) 490 (49,89%) 75 (7,63%) (37,36%) 348 (55,32%) 46 (7,31%) (33,47%) 527 (54,78%) 113 (11,75%) (43,21%) 261 (46,03%) 61 (10,76%) (32,83%) 374 (57,54%) 58 (9,61%) 630 Total (37,67%) (51,71%) 816 (10,62%) Rata rata fekunditas telur yang diperoleh antara butir dengan daya tetas telur berkisar 7,7 100%. Namun, hingga akhir pembenihan ternyata hanya 9 famili yang dapat menghasilkan benih hingga dilakukan seleksi pertumbuhan. Pada udang Penaeid, fekunditas telur sangat dipengaruhi oleh nutrisi, lingkungan dan proses hormonal pada tubuh udang. Induk udang dengan pemberian nutrisi yang baik dan seimbang serta lingkungan yang memadai, dimungkinkan akan menghasilkan fekunditas telur yang tinggi. Sementara, daya tetas telur sangat dipengaruhi oleh pr oses perkembangan embrio dalam telur, ketersediaan energi untuk pembelahan. Selektif breeding yang telah dilakukan terhadap sifat SPF pada udang P. monodon pada turunan F-1 melalui deteksi 7 virus (WSSV, TSV, YHV, BP, IHHNV, HPV, MBV ) menunjukkan udang bersifat SPF. Dari sejumlah benih yang dihasilkan dan merupakan calon induk, dipelihara dengan aplikasi biosekuriti yang ketat dan penggunaan air melalui membran ultra filter (0,05 µm). Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

6 Aquacultura Indonesiana, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 : Hasil analisis terhadap karakter SPF pada induk udang windu (F-0) pada saat akan dipijahkan dan benih udang windu generasi pertama (F-1) yang dihasilkan terhadap 7 jenis virus (BP, HPV, IHHNV, MBV, TSV, WSSV, YHV) menunjukkan bahwa induk -9 terinfeksi IHHNV. Namun bila dilihat dari hasil deteksi pada benih generasi per tama (F-1) turunan induk betina -9 terlihat negatif terinfeksi IHHNV (Tabel 2). Hal ini nampaknya bahwa induk induk F-0 yang terinfeksi IHHNV tidak menularkan pada generasi pertama (F-1). Terlihat bahwa benih udang windu generasi pertama (F-1) tidak ada infeksi virus, sehingga dapat dikatakan bahwa benih bersifat SPF Adanya hasil deteksi positip terinfeksi virus IHHNV kemungkinan disebabkan oleh kontaminasi dan bukan adanya replikasi copy DNA virus pada sel udang. Kontaminasi virus pada tubuh udang seringkali terjadi pada promoter yang tidak dapat dikode oleh DNA sel udang atau DNA virus, sehingga tidak terjadi replikasi copy DNA virus. Sementara, bila terjadi replikasi, maka DNA virus akan mengkode promoter DNA sel udang sehingga akan menghasilkan sejumlah copy DNA virus yang eksponensial dalam waktu tertentu. Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa populasi udang stadia juvenil dengan pertumbuhan cepat sebesar 37,67%, sedangkan udang dengan pertumbuhan lambat sebesar 10,62% dan udang dengan pertumbuhan sedang/reguler sebesar 51,71%. Dengan kenyataan populasi udang tumbuh cepat relatif rendah, maka seleksi breeding yang dilakukan harus menghasilkan banyak famili, sehingga jumlah individu udang berukuran besar dapat terkumpul lebih banyak. Dari hasil seleksi tahap pertama tersebut, maka pemeliharaan juvenil udang selalu dipantau karakter SPF dan pertumbuhannya serta dilakukan penandaan (tagging) menggunakan VIE. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan udang generasi F-1 udang windu hasil seleksi menunjukkan berat dan panjang rata-rata antara 18,80 27,9 g dan 12,9 15,5 cm untuk ukuran besar, sedangkan untuk ukuran sedang diperoleh berat dan panjang antara 10,2 16,2 g dan 10,1 13,4 cm. Udang berukuran kecil hasil seleksi hanya menunjukkan berat 4,6 6,9 g dan panjang 4,6 6,9 cm. Nampak bahwa calon induk udang generasi pertama (F-1) dari semua turunan induk betina (F-0) menunjukkan pertumbuhan yang pesat kecuali induk -2. Hal ini sangat berhubungan dengan persentase hasil seleksi yang diperoleh pada awal dimulainya seleksi. Induk udang dengan kode -2, memberikan persentase pertumbuhan cepat sebesar 17,16% dalam populasi keseluruhan udang yang dipelihara dalam bak yang sama. Dengan indikator keragaan fenotipe yang tercermin dari besar persentase tumbuh cepat tersebut, maka terlihat kecenderungan bahwa generasi pertama (F-1) berpotensi membawa karakter genotipe dengan pertumbuhan cepat. Pertumbuhan calon induk hasil seleksi terlihat meningkat tajam mulai bulan ke dua pemeliharaan. Kondisi ini kemungkinan berhubungan dengan dilakukan seleksi secara berkala, sehingga kepadatan udang dalam bak pemeliharaan semakin berkurang, menyebabkan persaingan pakan, ruang dan lingkungan menjadi sedikit. Hasil uji tantang terhadap infeksi WSSV pada udang generasi F-1 yang tumbuh cepat, sedang dan lambat menunjukkan hasil yg relatif berbeda, seperti tertera pada Tabel 4. Terlihat bahwa uji tantang WSSV melalui oral memberikan efek mortalitas yang lebih tinggi dari pada perendaman. Pada pemaparan 72 jam, benih ukuran besar mengalami mortalitas 12 80%, sedangkan mortalitas benih ukuran sedang dan kecil masing-masing sebanyak 42 82% dan 28 72%. Hanya benih udang dari turunan induk -20 mortalitas tinggi pada infeksi oral terlihat pada pemaparan 96 jam. Sementara pada perendaman hampir semua benih udang ukuran besar, sedang dan kecil mengalami mortalitas pada pemaparan WSSV selama 96 jam, walaupun juga diperoleh benih udang yang bertahan hidup hingga akhir waktu pemaparan secara oral. Hal ini diduga dengan jumlah copy DNA virus dalam tubuh benih udang yang dapat ditoleransi secara individual, sehingga infeksi WSSV hanya bersifat latent. Disamping itu, diduga benih udang hasil seleksi breeding ada yang mempunyai gen pengontrol terhadap toleransi terhadap WSSV. Menurut pendapat Silverstein (2005) bahwa dalam populasi ikan yang diinfeksikan dengan jenis penyakit tertentu yang mematikan, maka ada beberapa individu yang bertahan hidup. Bila dilakukan analisa molekuler (AFLP/microsatelit) maka terekspresi gen tertentu pengontrol ketahanan terhadap infeksi penyakit (Dong et al., 2008). Keberhasilan pemeliharaan spesies udang akan langsung berhubungan dengan potensinya beradaptasi terhadap lingkungan. Demikian pula adanya spesifik pathogen dapat juga menginfeksi 80 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2009

7 Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran (Haryanti et al.) Tabel 4. Mortalitas komulatif (%) udang windu P.monodon setelah diuji tantang dengan WSSV melalui infeksi oral. No.Family Ukuran benih Mortalitas (%) 24 H 48 H 72 H 96 H Oral Rendam Oral Rendam Oral Rendam Oral Rendam -1 Besar Sedang Kecil Besar Sedang Kecil _ -3 Besar Sedang Kecil Besar Sedang Kecil Besar Sedang Kecil Tabel 5. Genotip dan allel frekuensi pada lokus yang terdeteksi pada induk (F-0) dan generasi pertama (F-1) udang P. monodon hasil seleksi famili Generasi udang N Genotipe Frekuensi Allel Heterosigositas B C D E F-0 14 B 0,5185 0,0000 0,0000 0, C 0,0000 0,2963 0,0000 0,0000 0, D 0,0000 0,0000 0,1852 0,0000 F-0 1 B 0,0323 0,0000 0,0000 0, C 0,0000 0,8387 0,0000 0,0000 0, D 0,0000 0,0000 0,0645 0, E 0,0000 0,0000 0,0000 0,0645 F-1 besar 5 B 0,3571 0,0000 0,0000 0, C 0,0000 0,0714 0,0000 0,0000 0, D 0,0000 0,0000 0,4286 0, E 0,0000 0,0000 0,0000 0,1429 F-1 sedang 4 C 0,0000 0,3077 0,0000 0, D 0,0000 0,0000 0,3846 0,0000 0, E 0,0000 0,0000 0,0000 0,3077 F-1 kecil 1 C 0,0714 0,0000 0,0000 0, D 0,0000 0,4286 0,0000 0,0000 0, E 0,0000 0,0000 0,5000 0,0000 semua populasi bila terjadi homogenitas genetik pada kondisi yang memadai, sehingga dapat terjadi tidak ada individu yang resisten terhadap penyakit (Gitterle et al., 2005a) Nampak dari hasil perhitungan heterozigositas, bahwa udang generasi pertama (F-1) dengan pertumbuhan cepat mempunyai nilai yang lebih tinggi (0,6633) yang tidak berbeda nyata dengan benih F-1 ukuran sedang (0,6627) sedangkan benih ukur an kecil sebesar 0,5512. Nilai heterosigositas generasi pertama yang lebih tinggi dari pada induk F-0, dimungkinkan adanya segregasi gen pada turunan F-1 yang terekspresi secara jelas dalam analisis. Selain itu, mengingat adanya perkawinan udang dalam kondisi random mating dan masal, sehingga peluang terjadinya mating antara jantan dan betina dengan genotipe berbeda sangat besar, akibatnya akan menghasilkan turunan Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

8 Aquacultura Indonesiana, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 : Gambar 1. Genotype udang windu, P. monodon generasi pertama (F-1) ukuran besar (A), sedang (B) dan kecil (C) yang dianalisis dengan menggunakan Metode SSCP yang mempunyai heterosigositas lebih bervariasi. Dengan demikian akan terjadi benih turunan generasi pertama F-1 yang mempunyai keragaman genetik lebih baik atau menyerupai induk udang F-0. Dari Tabel 5 terlihat bahwa heterosigositas benih generasi pertama (F-1) tumbuh cepat, regular dan lambat nampak tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dimengerti bahwa kemungkinan ada aliran gen yang dominan dari F-0 jantan mengingat induk jantan mempunyai heterosigositas yang tinggi dibandingkan induk betina. Namun demikian, genotipe induk udang betina (F-0) dan benih F-1 yang tumbuh cepat lebih variatif dibandingkan induk jantan (F-0) dan benih F-1 tumbuh regular dan lambat. Keragaan genetik udang P. monodon terlihat jauh lebih baik bila dibandingkan dengan keragaan genetik udang L. vannamei, mengingat udang ini belum mengalami selektif breeding. Dari beberapa sumber induk yang telah dipetakan secara genetik 82 Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2009

9 Selektif Breeding Udang Windu Penaeus monodon : Studi Karakter Tumbuh Cepat, Toleran (Haryanti et al.) (Sugama et al., 2002), maka induk yang berasal dari perairan Aceh dan Timika (Papua) mempunyai heterozigositas yang tinggi. Hal ini sebenarnya sangat menguntungkan bagi aktifitas seleksi, baik individu atau famili. Walaupun pada turunan F-1, benih udang sudah mengalami penur unan heterozigositas sebesar 26,5% (Imron et al., 1999). Terbukti pula bahwa keragaan genetik pada udang P. monodon dengan perbedaan pertumbuhan, ternyata ukuran besar pada calon induk udang mempunyai heterozigositas yang tinggi. Hal ini sangat menguntungkan bagi selektif breeding, sementara induk yang bersifat homozigot cenderung menghasilkan benih yang berukuran kecil. Selama proses pembenihan dapat menyebabkan hilangnya beberapa alel penting yang disebabkan oleh adanya penghanyutan gen dan frekuensi alel secara gradual dalam populasi yang kecil (Kenway et al., 2006). Demikian pula nilai heterosigositas yang berfluktuasi akan berpengaruh terhadap pola pertumbuhan dan bentuk tubuh (asymetry) serta terdapat korelasi yang positip antara rata-rata heterozigositas dengan keragaman morfologi (Gitterle et al., 2005). Data dari 97 spesies krustasea yang ada, menunjukkan bahwa level polimorfisme kelompok tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok ikan yang mempunyai nilai heterozigositas rata-rata lebih tinggi. Proses terjadinya bottleneck dari material genetik harus dipertimbangkan, yaitu dengan adanya pengurangan porsi total genetic pool yang tersedia pada populasi alam dan populasi induk yang ada dari hasil pemeliharaan. Di samping itu juga masalah dalam proses domestikasi melalui selektif breeding, yaitu peningkatan tingkat kekerabatan antar individu. Dalam jangka panjang effek ini dapat memberikan perbedaan nyata terhadap reduksi genetik diversitas pada stok kultur (Anonymous, 2003). Dengan diketahui adanya perbedaan ekspresi gen pada analisis SSCP maka nampak bahwa fragment DNA pada udang yang tumbuh cepat lebih banyak dan mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan fragment DNA pada udang yang tumbuh regular maupun lambat. Perbedaan berat molekul pada udang tumbuh cepat antara bp, sedangkan pada udang tumbuh lambat hanya sekitar bp (Gambar 1). Setelah dilakukan cluster terlihat bahwa ada beberapa pasangan basa yang tidak terlihat pada udang tumbuh lambat. Hal ini dimungkinkan bahwa pertumbuhan cepat dikontrol oleh gen yang dapat digunakan sebagai penanda genetik dalam selektif breeding. Hingga kini domestikasi untuk perbaikan mutu genetik pada udang P. monodon melalui selektif breeding masih berlangsung, dengan proporsi produksi masih rendah dari stok domestikasi (< 5%). Dengan demikian belum memberikan dampak nyata pada produksi. Sementara, pada udang L. vannamei, semua produksi di Asia dan Amerika merupakan hasil dari stock domestikasi, pada saat sekarang mencapai kisaran 50-80%. Namun demikian, stok domestikasi merupakan derivat dari perbaikan lines (galur) sedangkan perbaikan genetic belum direalisasikan hingga pada rantai penyediaan benih unggul. Upaya merealisasikan pengontrolan karakter genetik induk P. monodon melalui selektif breeding untuk mengantisipasi ketergantungan eksploitasi di alam terus dilakukan. Keterpaduan institusi riset, perekayasa dan pembudidaya harus ditingkatkan untuk mendukung keberhasilan penyediaan induk melalui selektif breeding. Kesimpulan 1. Seleksi famili udang windu (P. monodon) dari induk alam (F-0) menghasilkan 9 famili benih generasi pertama (F1) dengan keragaaan fenotype tumbuh cepat dan bersifat SPF sebanyak ekor dengan rata-rata panjang 12,9 15,5 18,8 27,9 cm dan berat tubuh 18,8 27,9 g. 2. Keragaan genotip induk udang (F-0) jantan dan betina mempunyai heterozigositas masingmasing sebesar 0,6091 dan 0,2872. Benih generasi pertama (F-1) tumbuh cepat, sedang/ regular dan lambat mempunyai heterozigositas masing-masing sebesar 0,6633; 0,6627 dan 0, Penanda gen untuk tumbuh cepat dengan fingerprinting ditunjukkan pada gen dengan berat molekul bp serta susunan sequence DNA yang berbeda bila dibandingkan pada penanda gen udang tumbuh lambat. Ucapan Terima Kasih Kepada rekan-rekan teknisi litkayasa kelompok Bioteknologi BBRPBL Gondol, diucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan bantuannya dengan penuh tanggung jawab sehingga riset ini dapat terlaksana dengan baik. Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia

10 Aquacultura Indonesiana, Vol. 10, No. 2, Agustus 2009 : Daftar Pustaka Anonymous Genetic improvement of Litopenaeus vannamei in Brazil. Global Aquaculture Advocate, (February): Benzie, J.A.H Population genetic structure of penaeid prawns. Aquaculture.Res., 31: Benzie, J.A.H., E. Ballment, A.T. Forbes, N.T. Dementriades, K. Sugama, Haryanti and S.B. Moria Mt DNA variation in Indo-Pacific populations of the giant tiger prawn, Penaeus monodon. Molecular Ecology, 11: Dong, S., J. Kong, X. Meng, Q. Zhang, T. Zhang and R. Wang Microsatellite DNA markers associated with resistance to WSSV in Penaeus (Fenneropenaeus) chinensis. Aquaculture, 282: Duda Jr., T.F. and S.R. Palumbi Population structure of the black tiger prawn, Penaeus monodon among Western Indian Ocean and Western Pacific populations. Mar. Biol., 134: FAO Yearbook of Fisheries Statistics, Fishery commodities. Gitterle, T., M. Rye, R. Salte, J. Cock, H. Johansen, C. Lozano, J.A. Suarez and B. Djerde Genetic (co)variation in harvest body weight and survival in Penaeus (Litopenaeus) vannamei under standard commercial conditions. Aquaculture, 243: Gitterle, T., R. Salte, B. Gjerde, J. Cock, H. Johansen, M. Salazar, C. Lozano and M. Rye. 2005a. Genetic (co)variation in resistance to white spot syndrome virus (WSSV) and harvest weight in Penaeus (Litopenaeus) vannamei. Aquaculture, 246: Gunarto, Muslimin, Muliani dan Sahabuddin Analisa kejadian serangan white spot syndrome virus (WSSV) dengan beberapa parameter kualitas air pada budidaya udang windu menggunakan sistim tandon dan probiotik. Jurnal Riset Akuakultur, 1(2): Haryanti, I.G.N. Permana, I.K. Wardana, A. Muzaki dan Fachrudin Selektif breeding SPF (Specifik Pathogen Free) untuk udang windu, Penaeus monodon F-1. Laporan Teknis Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol. 11 hlm. Haryanti dan Sugama Perbaikan mutu dan genetika udang. Kumpulan makalah Bidang Riset Perikanan Budidaya. Simposium Kelautan dan Perikanan Hotel Bidakara Jakarta, 7 Agustus 2007: 8 hlm. Imron, K. Sugama, K. Sumantadinata and K. Soewardi Genetic variation in cultured stocks of tiger shrimp (Penaeus monodon) in Indonesia. Indonesian Fisheries Research Journal, 5(1): Kenwey, M., M. Macbeth, M. Salmon, C. McPhee, J. Benzie, K. Wilson and W. Knibb Heritability and genetic correlations of growth and survival in black tiger prawn P. monodon reared in tanks. Aquaculture, 259: Klinbunga, S., D.J. Penman, B.J. Mc Andrew, A. Tassanakajon and P. Jarayabhand Genetic variation, population differentiation, and gen flow of the giant tiger shrimp (Penaeus monodon) inferred from mtdna-rflp data. In Flegel, TW. (Ed.), Advances in Shrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok, pp Lester, L.J Developing a selective breeding program for penaeid shrimp mariculture. Aquaculture, 33: Moria, S.B., Haryanti, I.G.N. Permana dan K. Sugama Markah genetik untuk variabilitas pertumbuhan udang windu, Penaeus monodon dari sumber induk berbeda melalui analisa mt-dna RFLP. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 8(5): 1 9. Moria, S.B., I.G.N. Permana dan Haryanti Analisa mt-dna dari benih asal induk udang windu, Penaeus monodon dari perairan yang berbeda. Aquaculture Indonesia, 4(1): Ovenden, J Development of restriction enzyme markers for red snapper (Lutjanus erythropterus and Lutjanus malabaricus) stock discrimination using genetic variation in mitochondria DNA. Molecular Fisheries Laboratory, Southern Fisheries Centre. 20 pp. Permana Analisa sifat toleran udang Litopenaeus vannamei terhadap infeksi taura syndrome virus (TSV). Thesis Magister Program Pasca Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang. 65 hlm. Silverstein, J.T Genetic improvement aquaculture. Global Aquaculture Advocate, 6(1): Sugama, K., Haryanti, J.A.H. Benzie and E. Ballment Genetic variation and population of the giant tiger prawn, Penaeus monodon, in Indonesia. Aquaculture, 205: Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2009

PROFIL GENOTIP BENIH UDANG WINDU Penaeus monodon HASIL SELEKSI DENGAN KARAKTER TOLERAN TERHADAP INFEKSI WHITE SPOT SYNDROME VIRUS

PROFIL GENOTIP BENIH UDANG WINDU Penaeus monodon HASIL SELEKSI DENGAN KARAKTER TOLERAN TERHADAP INFEKSI WHITE SPOT SYNDROME VIRUS PROFIL GENOTIP BENIH UDANG WINDU Penaeus monodon HASIL SELEKSI DENGAN KARAKTER TOLERAN TERHADAP INFEKSI WHITE SPOT SYNDROME VIRUS Haryanti, Fahrudin, Ida Komang Wardana, Sari Budi Moria, Gusti Ngurah Permana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil produk perikanan budidaya kategori ikan, crustacea dan moluska ketiga terbesar di dunia setelah China dan India. Pada tahun 2014,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus monodon Fabricius,1798) merupakan komoditas primadona dan termasuk jenis udang lokal yang berasal

Lebih terperinci

KONFIRMASI GEN PENYANDI TUMBUH CEPAT PADA BENIH DAN INDUK IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus)

KONFIRMASI GEN PENYANDI TUMBUH CEPAT PADA BENIH DAN INDUK IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) Konfirmasi gen penyandi tumbuh cepat pada... (Sari Budi Moria Sembiring) KONFIRMASI GEN PENYANDI TUMBUH CEPAT PADA BENIH DAN INDUK IKAN KERAPU SUNU (Plectropomus leopardus) Sari Budi Moria Sembiring, Ketut

Lebih terperinci

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT Media Akuakultur Vol. 10 No. 2 Tahun 2015: 65-70 SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT Didik Ariyanto Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Jl. Raya 2 Pantura Sukamandi, Patokbeusi, Subang 41263, Jawa

Lebih terperinci

Pemeliharaan Larva Litopenaeus vannamei Melalui Aplikasi Bakteri Probiotik Alteromonas sp. BY-9

Pemeliharaan Larva Litopenaeus vannamei Melalui Aplikasi Bakteri Probiotik Alteromonas sp. BY-9 Aquacultura Indonesiana (25) 6 (3) : 93 99 ISSN 216 749 Pemeliharaan Larva Litopenaeus vannamei Melalui Aplikasi Bakteri Probiotik Alteromonas sp. Haryanti, Bagus Komang Wardana, Gusti Ngurah Permana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XI (2): ISSN: PEMBENIHAN SELEKTIF KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis TURUNAN KE-2 (F-2)

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XI (2): ISSN: PEMBENIHAN SELEKTIF KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis TURUNAN KE-2 (F-2) Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XI (2): 138-143 ISSN: 0853-6384 Full Paper PEMBENIHAN SELEKTIF KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis TURUNAN KE-2 (F-2) 138 SELECTIVE BREEDING OF F-2 HUMPBACK GROUPER, Cromileptes

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Kegiatan seleksi famili yang dilakukan telah menghasilkan dua generasi yang merupakan kombinasi pasangan induk dari sepuluh strain ikan nila, yaitu TG6, GIFT F2 dan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fenotipe morfometrik Karakteristik morfometrik ikan nilem meliputi 21 fenotipe yang diukur pada populasi ikan nilem hijau (tetua) dan keturunannya dari hasil perkawinan

Lebih terperinci

PENTINGNYA POPULASI KONTROL INTERNAL DALAM EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM SELEKSI

PENTINGNYA POPULASI KONTROL INTERNAL DALAM EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM SELEKSI Media Akuakultur Vol. 0 No. Tahun 05: -6 PENTINGNYA POPULASI KONTROL INTERNAL DALAM EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM SELEKSI Didik Ariyanto Balai Penelitian Pemuliaan Ikan Jl. Raya Pantura Sukamandi, Patokbeusi,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

PERFORMA LARVA UDANG WINDU, Penaeus monodon TRANSGENIK DAN TANPA TRANSGENIK PMAV PASCA UJI VITALITAS DAN MORFOLOGI\

PERFORMA LARVA UDANG WINDU, Penaeus monodon TRANSGENIK DAN TANPA TRANSGENIK PMAV PASCA UJI VITALITAS DAN MORFOLOGI\ 21 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 20 PERFORMA LARVA UDANG WINDU, Penaeus monodon TRANSGENIK DAN TANPA TRANSGENIK PMAV PASCA UJI VITALITAS DAN MORFOLOGI\ Samuel Lante, Andi Tenriulo, dan Andi

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan Cyprinid salah satu yang populer diantaranya adalah ikan mas atau common carp (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan cukup

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%.

Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 60 0 C selama 45 detik, dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

PENGARUH TIPE PERSILANGAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN POPULASI BENIH UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii)

PENGARUH TIPE PERSILANGAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN POPULASI BENIH UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) 591 Pengaruh tipe persilangan terhadap sintasan dan pertumbuhan... (Imron) PENGARUH TIPE PERSILANGAN TERHADAP SINTASAN DAN PERTUMBUHAN POPULASI BENIH UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii) Imron *), Harry

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar

Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Benih udang windu Penaeus monodon (Fabricius, 1798) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK)

KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) KERANGKA ACUAN KEGIATAN (KAK) PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN IPTEK PERIKANAN TAHUN ANGGARAN 2017 Pengadaan Pakan Ikan Tuna Sirip Kuning, Kerapu Sunu Dan Bandeng Pada Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) JANTAN ALAM DAN DOMESTIKASI TAMBAK

PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) JANTAN ALAM DAN DOMESTIKASI TAMBAK 693 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 PERFORMA REPRODUKSI INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) JANTAN ALAM DAN DOMESTIKASI TAMBAK ABSTRAK Samuel Lante, Asda Laining, dan Andi Parenrengi

Lebih terperinci

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 41/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperkaya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

Keragaan Genetik Taura Syndrome Virus (TSV) yang Menginfeksi Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) dan Udang Windu (Penaeus monodon)

Keragaan Genetik Taura Syndrome Virus (TSV) yang Menginfeksi Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) dan Udang Windu (Penaeus monodon) Aquacultura Indonesiana (2007) 8 (3) : 163 168 ISSN 0216 0749 (Terakreditasi SK Nomor : 55/DIKTI/Kep/2005) Keragaan Genetik Taura Syndrome Virus (TSV) yang Menginfeksi Udang Vanname (Litopenaeus vannamei)

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Profil RAPD Keanekaragaman profil RAPD meliputi jumlah fragmen dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan tiga primer (OPA-2, OPC- 2, dan OPC-5)

Lebih terperinci

OPTIMALISASI REPRODUKSI INDUK UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN POPULASI UDANG WINDU DI PERAIRAN TARAKAN KALIMANTAN UTARA

OPTIMALISASI REPRODUKSI INDUK UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN POPULASI UDANG WINDU DI PERAIRAN TARAKAN KALIMANTAN UTARA OPTIMALISASI REPRODUKSI INDUK UNTUK MENJAGA KESEIMBANGAN POPULASI UDANG WINDU DI PERAIRAN TARAKAN KALIMANTAN UTARA Muhammad Amien H 1), Heppi Iromo 1) 1) Staf Pengajar Jurusan Budidaya Perairan Fakultas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SALINA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PROFIL HETEROGENITAS GENETIK INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) TURUNAN F1 MELALUI ANALISIS DNA MITOKONDRIA-RFLP DAN RAPD

PROFIL HETEROGENITAS GENETIK INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) TURUNAN F1 MELALUI ANALISIS DNA MITOKONDRIA-RFLP DAN RAPD Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XI (1): 2530 ISSN: 08536384 25 Full Paper PROFIL HETEROGENITAS GENETIK INDUK UDANG WINDU (Penaeus monodon) TURUNAN F1 MELALUI ANALISIS DNA MITOKONDRIARFLP DAN RAPD GENETIC

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING MIPA LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING KARAKTERISASI GENETIK UDANG PUTIH (Penaeus vanamei) PADA 2 FILIAL MENGGUNAKAN PCR-RFLP YANG DIANALISA DENGAN COIL- COIH PADA mt- DNA Oleh: 1. YUNI KILAWATI, S.Pi.,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) SAGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga PENDAHULUAN Latar Belakang Udang windu merupakan salah satu komoditas ekspor non migas dalam sektor perikanan. Kegiatan produksi calon induk udang windu merupakan rangkaian proses domestifikasi dan pemuliaan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN SINTASAN LARVA DAN BENIH IKAN KERAPU SUNU Plectropomus leopardus TURUNAN KETIGA (F-3) DARI INDUK HASIL SELEKSI

PERTUMBUHAN DAN SINTASAN LARVA DAN BENIH IKAN KERAPU SUNU Plectropomus leopardus TURUNAN KETIGA (F-3) DARI INDUK HASIL SELEKSI Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/jra PERTUMBUHAN DAN SINTASAN LARVA DAN BENIH IKAN KERAPU SUNU Plectropomus leopardus TURUNAN KETIGA (F-3) DARI INDUK HASIL SELEKSI Ahmad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Udang laut merupakan salah satu komoditas utama di sektor perikanan yang

BAB I PENDAHULUAN. Udang laut merupakan salah satu komoditas utama di sektor perikanan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udang laut merupakan salah satu komoditas utama di sektor perikanan yang memberikan kontribusi paling besar dalam penerimaan devisa negara. Permintaan pasar terhadap

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.78/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME UNGGUL NUSANTARA I

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.78/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME UNGGUL NUSANTARA I KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.78/MEN/2009 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG VANAME UNGGUL NUSANTARA I MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan tumpuan harapan yang diandalkan oleh pemerintah untuk ikut berperan dalam upaya pemulihan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perikanan. Produk domestik bruto (PDB) dari produk perikanan ini pada tahun

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perikanan. Produk domestik bruto (PDB) dari produk perikanan ini pada tahun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi yang besar di bidang perikanan. Produk domestik bruto (PDB) dari produk perikanan ini pada tahun 2009 telah mencapai nilai

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Januari sampai Mei 2011 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN GURAMI (OSPHRONEMUS GORAMY) GALUNGGUNG SUPER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.15/MEN/2002 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG ROSTRIS SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.15/MEN/2002 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG ROSTRIS SEBAGAI VARIETAS UNGGUL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.15/MEN/2002 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG ROSTRIS SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperkaya

Lebih terperinci

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were.

II. METODOLOGI. a) b) Gambar 1 a) Ikan nilem hijau ; b) ikan nilem were. II. METODOLOGI 2.1 Materi Uji Sumber genetik yang digunakan adalah ikan nilem hijau dan ikan nilem were. Induk ikan nilem hijau diperoleh dari wilayah Bogor (Jawa Barat) berjumlah 11 ekor dengan bobot

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Pertumbuhan Turunan Hibrid Huna Pertumbuhan bobot tubuh turunan hibrid antara huna capitmerah dengan huna biru sampai umur 4 bulan relatif sama, pada umur 5 bulan mulai tumbuh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi

PENDAHULUAN. dikenal dengan sebutan sapi kacang atau sapi kacangan, sapi pekidulan, sapi I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Pasundan merupakan sapi lokal di Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 2014 oleh Menteri pertanian (mentan), sebagai rumpun baru berdasarkan SK Nomor 1051/kpts/SR.120/10/2014.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha peternakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum telah dilakukan secara turun temurun meskipun dalam jumlah kecil skala rumah tangga, namun usaha tersebut telah

Lebih terperinci

EVALUASI BUDIDAYA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) DENGAN MENINGKATKAN KEPADATAN TEBAR DI TAMBAK INTENSIF

EVALUASI BUDIDAYA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) DENGAN MENINGKATKAN KEPADATAN TEBAR DI TAMBAK INTENSIF EVALUASI BUDIDAYA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) DENGAN MENINGKATKAN KEPADATAN TEBAR DI TAMBAK INTENSIF S u p o n o, Wardiyanto PS Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung ABSTRACT

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR

II. BAHAN DAN METODE. Betina BEST BB NB RB. Nirwana BN NN RN. Red NIFI BR NR RR II. BAHAN DAN METODE Ikan Uji Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila hibrida hasil persilangan resiprok 3 strain BEST, Nirwana dan Red NIFI koleksi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Sempur, Bogor.

Lebih terperinci

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60

2011) atau 25,10% ternak sapi di Sulawesi Utara berada di Kabupaten Minahasa, dan diperkirakan jumlah sapi peranakan Ongole (PO) mencapai sekitar 60 BAB 1 PENDAHULUAN Di wilayah Indonesia, sejauh ini,ditemukan keturunan tiga bangsa besar ternak sapi potong yaitu bangsa sapi Ongole, bangsa sapi Bali dan bangsa sapi Madura serta peranakan beberapa bangsa

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA

ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA Jurnal Galung Tropika, September, hlmn. 7-1 ANALISIS UJI TANTANG BENUR WINDU (Penaeus monodon Fabricius) YANG TELAH DIBERI PERLAKUAN PROBIOTIK DAN ANTIBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA ANALYSIS CHALLENGE TEST

Lebih terperinci

Keragaman genetik benih ikan kerapu sunu... (Gusti Ngurah Permana)

Keragaman genetik benih ikan kerapu sunu... (Gusti Ngurah Permana) KERAGAMAN GENETIK BENIH IKAN KERAPU SUNU, Plectrophomus leopardus TURUNAN PERTAMA (F1) DENGAN ANALISIS RESTRICTION FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (RFLP) MT-DNA Gusti Ngurah Permana *), Sari Budi Moria Sembiring

Lebih terperinci

Kisi-kisi Soal Uji Kompetensi Program studi Agribisnis Sumberdaya Perairan. Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Essensial

Kisi-kisi Soal Uji Kompetensi Program studi Agribisnis Sumberdaya Perairan. Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Essensial Kisi-kisi Soal Uji Kompetensi Program studi Agribisnis Sumberdaya Perairan Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator Essensial 1. Mengidentifikasi potensi dan peran budidaya perairan 2. Mengidentifikasi

Lebih terperinci

TEKNIK PEMBENIHAN UDANG WINDU APLIKASI PROBIOTIK. Balai Riset Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan

TEKNIK PEMBENIHAN UDANG WINDU APLIKASI PROBIOTIK. Balai Riset Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan TEKNIK PEMBENIHAN UDANG WINDU APLIKASI PROBIOTIK Balai Riset Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Praktek Kerja Lapang Terpadu Mahasiswa Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas

PRAKATA. Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas PRAKATA Alhamdulillah syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt., atas segala nikmat dan karunia-nya, penulisan Tugas Akhir dengan judul Keragaman Genetik Abalon (Haliotis asinina) Selat Lombok

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN Nomor: KEP. 42/MEN/2001 TENTANG PELEPASAN VARIETAS UDANG GALAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan

BAB I PENDAHULUAN. Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan ekosistem mangrove dengan laguna yang unik dan langka yang terletak di antara Pantai Selatan Kabupaten Cilacap dan Pulau Nusakambangan (Saputra,2005).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Sapi Perah FH 62 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama sembilan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA 853 Upaya peningkatan produksi pada budidaya... (Gunarto) UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) POLA TRADISIONAL PLUS DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG TAPIOKA ABSTRAK Gunarto

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan.

BAHAN DAN METODE. Percobaan 1. Pengaruh pemberian bahan aromatase inhibitor pada tiga genotipe ikan nila sampai tahap pendederan. 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika dan kolam percobaan pada Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Jl. Raya 2 Sukamandi,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /KEPMEN-KP/2017 TENTANG PELEPASAN IKAN TAWES (PUNTIUS JAVANICUS) JOIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar

Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia SNI 7311:2009 Produksi benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional SNI 7311:2009 Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii

Lebih terperinci

Teknik Pembenihan Udang Putih Penaeus merguiensis Dengan Penggunaan Probiotik Alteromonas sp. BY 9

Teknik Pembenihan Udang Putih Penaeus merguiensis Dengan Penggunaan Probiotik Alteromonas sp. BY 9 Aquacultura Indonesiana (2006) 7 (1) : 37 44 ISSN 0216 0749 (Terakreditasi SK Nomor : 55/DIKTI/Kep/2005) Teknik Pembenihan Udang Putih Penaeus merguiensis Dengan Penggunaan Probiotik Alteromonas sp. BY

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit

HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi DNA Mikrosatelit Amplifikasi DNA mikrosatelit pada sapi Katingan dianalisis menggunakan tiga primer yaitu ILSTS073, ILSTS030 dan HEL013. Ketiga primer tersebut dapat mengamplifikasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segara Anakan merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri dari badan air (laguna) bersifat payau, hutan mangrove dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut. Ekosistem

Lebih terperinci

APLIKASI PERBAIKAN MANAJEMEN DALAM PERBENIHAN TIRAM MUTIARA (Pinctada Maxima)

APLIKASI PERBAIKAN MANAJEMEN DALAM PERBENIHAN TIRAM MUTIARA (Pinctada Maxima) Aplikasi perbaikan manajemen dalam perbenihan tiram mutiara...(ida Komang Wardana) APLIKASI PERBAIKAN MANAJEMEN DALAM PERBENIHAN TIRAM MUTIARA (Pinctada Maxima) Ida Komang Wardana, Sari Budi Moria Sembiring,

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) HASIL BUDIDAYA

MENGENAL LEBIH DEKAT KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) HASIL BUDIDAYA Media Akuakultur Vol. 10 No. 1 Tahun 2015: 23-29 MENGENAL LEBIH DEKAT KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) HASIL BUDIDAYA Ida Komang Wardana dan Tridjoko Balai Besar Penelitian dan Pengambangan Budidaya

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PROSES DAN INFRASTRUKTUR HATCHERY UDANG AIR PAYAU (Windu, Vannamei dan Rostris) Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah jenis udang yang pada awal kemunculannya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh :

EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh : EMBRIOGENESIS IKAN SYNODONTIS Synodontis eupterus (Boulenger, 1901) Disusun oleh : FIRMAN HIKMAWAN C14103067 SKRIPSI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Budidaya Perairan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan nasional Indonesia menyimpan potensi perikanan yang besar untuk dikembangkan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terus meningkat, maka sektor perikanan

Lebih terperinci

JURNAL GROUPER 3.1. PREVALENSI PENYAKIT PADA KOMODITI UDANG VANAME (Penaeus vaname) DENGAN METODE Multipleks Polymerase chain reaction (PCR)

JURNAL GROUPER 3.1. PREVALENSI PENYAKIT PADA KOMODITI UDANG VANAME (Penaeus vaname) DENGAN METODE Multipleks Polymerase chain reaction (PCR) PREVALENSI PENYAKIT PADA KOMODITI UDANG VANAME (Penaeus vaname) DENGAN METODE Multipleks Polymerase chain reaction (PCR) FAISOL MAS UD Dosen Manajemen Sumber Daya Perairan ABSTRAK Indonesia dan dalam rangka

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

KERAGAMAN MORFOLOGI UDANG PAMA (Penaeus semisulcatus) DARI PERAIRAN SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI TENGGARA

KERAGAMAN MORFOLOGI UDANG PAMA (Penaeus semisulcatus) DARI PERAIRAN SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI TENGGARA Keragaman morfologi udang pama... (Andi Parenrengi) KERAGAMAN MORFOLOGI UDANG PAMA (Penaeus semisulcatus) DARI PERAIRAN SULAWESI SELATAN DAN SULAWESI TENGGARA Andi Parenrengi *), Sulaeman *), Wartono Hadie

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Persiapan Wadah Persiapan dan Pemeliharaan Induk Peracikan dan Pemberian Pakan II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur Percobaan ini dilakukan di Kolam Percobaan Babakan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB, Dramaga. Percobaan dilakukan dari bulan Mei hingga Agustus 2011. 2.1.1 Persiapan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

Pengujian Apilkasi Probiotik Pada Penggelondongan Calon Induk Bandeng Strain Barru Pada Bak Beton

Pengujian Apilkasi Probiotik Pada Penggelondongan Calon Induk Bandeng Strain Barru Pada Bak Beton Pengujian Apilkasi Probiotik Pada Penggelondongan Calon Induk Bandeng Strain Barru Pada Bak Beton Sirajuddin, Syamsul Bahri, Akmal, Mohd. Syaichudin Kualitas benih yang rendah menjadi penyebab lambatnya

Lebih terperinci

PERIKANAN BUDIDAYA: PENGANTAR. Oleh: M.Husni Amarullah. Ikan Nila (Oreochromis niloticus)

PERIKANAN BUDIDAYA: PENGANTAR. Oleh: M.Husni Amarullah. Ikan Nila (Oreochromis niloticus) PERIKANAN BUDIDAYA: PENGANTAR Oleh: M.Husni Amarullah Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Wikipedia: free encyclopedia (2012) Launching Program Kuliah Umum Ma had Aliy - Ponpes Madinatunnajah, Tangerang

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ASRI SUTANTI SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2012. Penelitian dilaksanakan di Balai Budidaya Laut Lombok, Dusun Gili Genting, Kecamatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai 2.1.1 Klasifikasi tanaman kedelai Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai jenis liar Glycine ururiencis, merupakan kedelai yang

Lebih terperinci

SILABUS MATAPELAJARAN TEKNIK PEMBENIHAN IKAN (PAKET KEAHLIAN BUDIDAYA IKAN)

SILABUS MATAPELAJARAN TEKNIK PEMBENIHAN IKAN (PAKET KEAHLIAN BUDIDAYA IKAN) SILABUS MATAPELAJARAN TEKNIK PEMBENIHAN IKAN (PAKET KEAHLIAN BUDIDAYA IKAN) Satuan Pendid : SMK Negeri 61 Jakarta Kelas : XI Kompetensi Inti : KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama dianutnya.

Lebih terperinci