PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO"

Transkripsi

1 PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA Adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2008 Sri Tjahjorini Sugiharto NIM. P

3 ABSTRACT SRI TJAHJORINI SUGIHARTO, 2008 : Profiles of Street the Children and Strategies for Elimination in Bandung, Bogor and the Jakarta (THE ADVISORY TEAM ARE SUMARDJO AS CHAIRMAN : MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO, and DARWIS S. GANI AS MEMBERS). The street child problem, like iceberg phenomenon of which the regional pockets, the distribution and the age of the children are increasing. Since 1997 the government of Indonesia through the Social Department and the community have been carrying out efforts to overcome the problems, but up to now the efforts have not yet achieved the expected results because of the limited informations of the problem. This study was carried out to provide informations on the profiles of the street children and strategies for elimination in Bandung, Bogor and Jakarta. Data were collected using structured interviews, focus group discussion and direct observation. The collected data were analysed using parametric and nonparametric statistics. Population were street children, 5-21 years old. Sample in each region was consisted of 75 respondent, 50 males and 25 famales, drawn using accidental sampling technique, and 25 parents of the respondens each of the regions as a cross check. Street child profiles in Bandung, Bogor and Jakarta were not significantly different one to each other for family background, environmental background, physical, psychological, sociological characteristics and their behaviour as well. However, significant gender differences was indicated for such variables as physical and sociological characteristics and the family background. The influence of family background on the street children behaviour, direct or indirectly, was more obvious compared to that of environmental background. The latter was indirect through sociologic characteristics of the street children particularly on the non formal education. Strategy for elimination of the street children phenomenon could be equally applied for the whole regions, except for its approach, which can use the Indonesian language, the local dialects, or the street children group dialects. TRIDAYA, which means Human Empowering, Environmental Empowering and Activity Empowering could be employed. Key Words : street children, family, environment, physical, psychological, sociological characteristics, behaviour.

4 RINGKASAN SRI TJAHJORINI SUGIHARTO, 2008 : Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. KOMISI PEMBIMBING : SUMARDJO (KETUA), MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO dan DARWIS S. GANI (ANGGOTA). Permasalahan anak jalanan, merupakan fenomena gunung es yang dari waktu ke waktu, kantong-kantong wilayah, penyebaran dan selang usianya semakin meningkat. Sejak tahun 1997 pemerintah melalui Departemen Sosial serta masyarakat telah melakukan upaya pengentasan anak jalanan, namun hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan, karena keterbatasan informasi tentang permasalahan terkait. Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang profil anak jalanan dan strategi pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. Pengumpulan data menggunakan wawancara berstruktur, Focus Group Discussition, dan pengamatan langsung. Analisis data menggunakan statistik parametrik dan non parametrik. Populasi penelitian ini adalah anak jalanan yang berusia antara 5-21 tahun. Sampel di tiap wilayah 75 orang terdiri dari 50 laki-laki dan 25 perempuan, yang diambil menggunakan teknik accidental sampling, serta 25 orang tua responden di tiap wilayah sebagai bahan cross check. Profil anak jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta tidak berbeda nyata, baik dalam latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan tempat tinggal, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik maupun perilakunya. Namun, terdapat perbedaan nyata antara pria dan wanita, yaitu pada peubah ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarganya. Pengaruh latar belakang keluarga terhadap perilaku anak jalanan, baik langsung maupun tidak langsung lebih dominan, dibandingkan dengan pengaruh latar belakang lingkungan. Lingkungan berpengaruh tidak langsung terutama melalui ciri sosiologik anak jalanan khususnya pada pendidikan non formal. Strategi pengentasan anak jalanan dapat diberlakukan cenderung sama baik di Bogor, Bandung dan Jakarta, kecuali dalam pendekatan, selain menggunakan bahasa Indonesia juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah setempat, dan bahasa kelompok anak jalanan, dengan menggunakan pendekatan TRIDAYA : Pemberdayaan Manusia, Pemberdayaan Lingkungan dan Pemberdayaan Kegiatan. Kata-kata kunci : anak jalanan, keluarga, lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik, perilaku.

5 @ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

7 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Suprihatin Guharsa. MSi (Staf Pengajar pada Departemen Giji Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. H. Pang S. Asngari (Staf Pengajar Departemen Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Fakultas Ekologi Manusia IPB) 2. Dr. Makmur Sunusi (Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial Republik Indonesia)

8 Judul Disertasi : Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. Nama Mahasiswa : Sri Tjahjorini Sugiharto. Nomor Pokok : P Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Ketua Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, MSc Anggota Prof.(Ris). Dr. Ig. Djoko Susanto,SKM,APU Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA Anggota Anggota Diketahui Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Hj. Siti Amanah,MSc Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal Ujian : 26 Nopember 2007 Tanggal Lulus : Januari 2008

9 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, karena atas berkah dan ridhonya penulis dapat menyusun disertasi yang berjudul : Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor dan Jakarta. Disertasi ini disusun untuk memenuhi syarat bagi pencapaian gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Profil anak jalanan menjadi perhatian penulis, sesuai dengan bidang tugas penulis sebagai salah satu pegawai di jajaran Departemen Sosial yang berupaya melakukan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) bagi para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Termasuk di dalamnya permasalahan yang terkait dengan anak, salah satunya masalah anak jalanan. Meski penulis tidak terlibat secara langsung dalam memberikan pelayanan kepada penyandang masalah (direct services), karena penulis berkiprah di jajaran Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial, namun perkembangan masalah sosial yang ada di masyarakat tetap menjadi perhatian penulis. Termasuk di dalamnya permasalahan sosial anak jalanan yang merupakan fenomena gunung es. Dalam hal ini hasil penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menjadi masukan dan solusi bagi para pengambil kebijakan juga bagi masyarakat (indirect services) yang peduli terhadap permasalahan anak jalanan, untuk dapat melakukan upaya pengentasan dengan menggunakan strategi dan cara-cara yang efektif secara konseptual dan empirik. Sekaligus dengan hasil penelitian dapat diketahui sejauhmana pengaruh latar belakang keluarga dan latar belakang lingkungan bagi seorang anak pada masa pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini penting mengingat pada akhirakhir ini lembaga keluarga semakin rapuh dan fungsi-fungsinya semakin tidak dapat dijalankan dengan baik dan seimbang. Demikian pula lembaga masyarakat yang ada di lingkungan.

10 Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada : (1) Bapak Dr. Ir. H. Sumadjo. MS selaku Ketua Komisi Pembimbing ; Bapak Prof. Dr. H. R. Margono Slamet, MSc ; Bapak Prof. (Ris). Dr. Ig. Djoko Susanto, SKM, APU dan Prof. Dr. H. Darwis S. Gani, MA, masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah membimbing, mendorong serta memberi masukan sehingga disertasi ini dapat terwujud. (2) Ibu Dr. Hj. Suprihatin Guharsa, MSi sebagai Penguji pada Ujian Tertutup, Bapak Prof. Dr. H. Pang S. Asngari dan Dr. Makmur Sanusi sebagai Penguji pada Ujian Terbuka. (3) Dinas Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta, Kepala Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, serta kepada rekan-rakan satu angkatan yang telah berjuang bersama, saling dorong, saling bantu dalam susah dan senang. (4) Pimpinan di jajaran Departemen Sosial khususnya di lingkungan Badan Pendidikan dan Penelitian serta Kapusdiklat Kesejahteraan Sosial yang telah memberikan peluang dan kesempatan untuk mengikuti program Strata Tiga. (5) Pada keluarga terutama Ibu Hj. Sugiarti dan Bapak Gofir Suharto (almarhum) dan suami Drs. Budi Martono, MSi serta anggota keluarga lainnya. (6) Pihak-pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan di sini, tetapi telah memberi andil dalam proses pencapaian gelar Doktor yang saya peroleh. Pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna tanpa kesalahan, tak ada sesuatu yang baik tanpa kekurangan. Karenanya, untuk kekurangan yang ada dalam Disertasi ini, penulis mengharap kiranya berkenan memberikan saran konstruksif untuk perbaikan. Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat dan Alloh SWT ridho dengan hal-hal yang telah kita lakukan dan hasilkan bagi kebaikan kita bersama di masa-masa yang akan datang. Amin. Bogor, Januari 2008 Penulis Sri Tjahjorini Sugiharto

11 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bandung pada tanggal 12 Agustus 1967 sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Gofir Suharto (almarhum) seorang purnawirawan Perwira ABRI dan Ibu Hj. Sugiarti seorang Bidan di Kota Kembang Bandung. Jenjang pendidikan yang penulis ikuti hingga program Strata Satu secara keseluruhan dilaksanakan di Bandung, yaitu SD Negeri Sukaraja I, SMP Angkasa, SMAN 2 dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung lulus tahun Pada tahun 1999 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata Dua di Insitut Pertanian Bogor lulus tahun Pada tahun 2003 penulis kembali mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata Tiga di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan yang sama Ilmu Penyuluhan Pembangunan, setelah tiga bulan sebelumnya penulis diangkat sebagai Pejabat Fungsional Widyaiswara Muda. Selama mengikuti pendidikan dari pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan Strata Tiga, meski tidak pernah mendapat posisi nomor satu tetapi posisi lima besar selalu diraih penulis. Setelah penulis lulus dari Strata Satu, pada tahun 1992 penulis bekerja di swasta sebagai Cost Accounting. Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dengan penempatan pertama di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Grahita KARTINI Temanggung Jawa Tengah. Tahun 1996 penulis pindah tugas ke Balai Diklat Profesi Pekerjaan Sosial Lembang Bandung Jawa Barat. Pada tahun 2002 penulis pindah tugas ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Jakarta dan saat ini menjabat sebagai Widyaiswara Madya, setelah menjalani kenaikan pangkat pada Bulan April Diklat yang pernah diikuti penulis di antaranya Diklat : Metodologi Pembelajaran, Metodologi Penelitian, Diklat Penyegaran Fasilitator Tenaga Kesejahteran Sosial Masyarakat (TKSM), TOT Pelatihan Keahlian Pekerjaan Sosial (PKPS), Diklat Penelitian dan Pengkajian Masalah Kesejahteraan Sosial,

12 TOT Pelatihan Dasar Pekerjaan Sosial (PDPS), TOT Pengembangan Fungsional Pekerja Sosial, dan TOT Petugas Pemberdayaan Fakir Miskin. Pengalaman mengajar penulis di Balai Diklat Profesi Pekerjaan Sosial Lembang Bandung, Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, Dinas Sosial Propinsi DKI, Pusdiklat Departemen Dalam Negeri Jakarta, Pusdiklat Tenaga Kesejahteraan Sosial Masyarakat dan Pusdiklat Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial. Beberapa karya tulis yang telah dihasilkan penulis, diantaranya : Uji Coba Model Pengembangan Profesionalisme Pelayanan Sosial di Panti Sosial Percontohan, Kajian tentang Eksistensi Pekerja Sosial Pasca Otonomi Daerah, Kajian tentang Pekerja Sosial Koreksional, Kajian tentang Kurikulum Diklat Bagi Korban Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kajian tentang Evaluasi Kinerja Alumni Diklat dan Kajian tentang Pelatihan Keahlian Pekerjaan Sosial. Karya tulis penulis yang sudah dipublikasikan, diantaranya : Komunikasi dan Perubahan Sosial (Studi Kasus pada Suku Baduy Dalam), Istilah Penyuluhan dan Implikasinya pada Penyuluhan Sosisl bagi Komunitas Adat Terpencil, Komunikasi dalam Seminar, Teori Komunikasi dan Perubahan Sosial sebagai Strategi perubahan Perilaku Anak jalanan, Masalah kemiskinan : Keluarga Miskin dan Dampaknya pada Pekerja Anak dan Anak Jalanan, komunikasi yang Efektif Sehingga Tidak Terputus, Pengukuran Hasil Belajar, Penyuluhan dan Implikasinya pada Penyuluhan Sosial, Struktur dan Organisasi Masyarakat Tihingan : Sebuah Desa di Bali, Persepsi Anak Jalanan terhadap Bimbingan Sosial pada Rumah Singgah di Bandung, Implementasi teori motivasi dalam pendidikan di lembaga diklat, dan lain-lain. Penulis juga sebagai Anggota Tim Penyusun Pedoman dan Modul di Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, Direktorat Pemberdayaan Keluarga, Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Lingkungan Departemen Sosial. Di samping Anggota Tim Penyusun Modul Diklat tentang Kesejahteraan Sosial di Departemen Dalam Negeri Jakarta. Bogor, Januari 2008 Penulis Sri Tjahjorini Sugiharto

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.. DAFTAR GAMBAR. DAFTAR LAMPIRAN... Halaman viii ix x PENDAHULUAN... Latar Belakang Masalah Penelitian..... Tujuan Penelitian..... Manfaat Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan tentang Anak Jalanan Pengertian tentang Anak dan Anak Jalanan.... Batasan Usia Anak Jalanan.. Penyebab Munculnya Anak Jalanan. Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan.. Pola Hubungan Sosial Anak Jalanan Sub Kultur Anak Jalanan..... Kreativitas dan Kemandirian Anak Jalanan. Kebutuhan Anak Jalanan. Motivasi Anak Jalanan. Kelompok Anak Jalanan.. Perilaku Anak Jalanan... Tinjauan tentang Keluarga... Tinjauan tentang Lingkungan.. Lingkungan atau Situasi Sosial Anak Jalanan. Tinjauan tentang Pemberdayaan... Jenis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak... Hasil Penelitian Terdahulu Tentang Anak Jalanan... KERANGKA BERPIKIR... Kerangka Berpikir Identifikasi Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan.. Identifikasi Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan... Identifikasi Ciri Anak Jalanan.... Identifikasi Perilaku Anak Jalanan... Hipotesis Penelitian... Asumsi Penelitian

14 METODE PENELITIAN... Rancangan Penelitian.... Lokasi dan Waktu Penelitian.. Sampel Penelitian.. Pengumpulan Data Validitas dan Reliabilitas.. Alat Analisis. Definisi Operasional dan Pengukuran... HASIL DAN PEMBAHASAN... Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta... Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan... Strategi Pengentasan Anak Jalanan... KESIMPULAN DAN SARAN... Kesimpulan... Saran DAFTAR PUSTAKA. 168

15 DAFTAR TABEL 1. Halaman Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan Perilaku Sosial Anak yang Hidup di Jalanan dan Anak yang Bekerja di Jalanan..... Model Holistik-Komperhensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak... Identifikasi Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan... Identifikasi Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan... Identifikasi Ciri Anak Jalanan... Identifikasi Perilaku Anak Jalanan... Jumlah Responden Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Kelamin... Jumlah Responden Orang Tua Anak Jalanan..... Definisi Operasional dan Pengukuran... Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian... Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan... Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian... Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian... Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian... Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Masingmasing Wilayah Penelitian

16 Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Fisik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian... Sebaran Ciri Fisik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian... Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Psikologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian... Sebaran Ciri Psikologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian... Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian... Sebaran Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian... Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Normal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sebaran Perilaku Normal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian... Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian... Sebaran Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian... Hasil Uji Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan.. Nilai Koefisien Regresi Berganda Peubah Bebas (X) yang Berpengartuh pada Perilaku Anak Jalanan... Hasil Uji SEM Nilai Pengaruh dan Hubungan Sub Peubah Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik Terhadap Perilaku Anak Jalanan... Penjabaran Tahapan Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan... Peran Masing-masing Pihak Terkait dalam Upaya Pengentasan Anak Jalanan

17 DAFTAR GAMBAR Halaman Anak Jalanan Dalam Situasi Sosial dan Pola Sosial Anak Dalam Lingkungan Sosial..... Profil Anak Jalanan (Anjal) dan Kaitannya dengan Beberapa Peubah. Profil Anak Jalanan dan Kaitannya dengan Beberapa Peubah... Model Hipotesis kesatu... Model Hipotesis kedua Model Analisis Jalur... Model Efektif Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan... Hasil Uji Structural Equation Model dari Profil Anak Jalanan... Hasil Uji Structural Equation Model Pengaruh Indikator Sub Peubah Pelaksanaan Fungsi Keluarga... Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan

18 DAFTAR LAMPIRAN 1. Halaman Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan. Hasil Uji Structural Equation Model Profil Anak Jalanan... Hasil Uji Structural Equation Model Pelaksanaan Fungsi Keluarga Anak Jalanan... Data Anak Jalanan Jawa Barat Tahun Rekapitulasi Data Anak Terlantar Jawa Barat Tahun Gambar Profil Anak Jalanan, Keluarga dan Lingkungannya... Gambar Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan... Gambar Pembinaan yang Dilakukan Pada Anak Jalanan

19 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Akibat terjadinya bencana alam kekeringan serta krisis ekonomi yang berkepanjangan pada akhir tahun 1997 permasalahan anak jalanan makin mencuat kepermukaan. Hasil penelitian menunjukkan permasalahan anak jalanan diakibatkan oleh adanya : ketidakserasian keluarga (33 persen), kekerasan dalam keluarga (23 persen) dan kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga (98 persen), yang seringkali juga bersifat ganda (Tjahjorini, 2001). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sulistiati (2001) yang mengemukakan alasan anak berada di jalan antara lain karena kemiskinan (membantu orang tua), broken home, tidak betah di rumah/di sekolah dan ingin bebas di jalan serta budaya malas. Kedua hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa penyebab utama dari turunnya anak ke jalan adalah kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga. Akibat lebih lanjut dari kondisi ini, orang tua melibatkan anak dalam upayanya mencukupi kebutuhan keluarga. Bila dikaji lebih jauh upaya penghapusan kemiskinan sesungguhnya sudah merupakan komitmen dunia yang tertuang dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Sosial di Kopenhagen 1995 yang menegaskan bahwa pembangunan Bidang Sosial dilaksanakan sejalan dengan pembangunan bidang lainnya. Tiga butir penting KTT Kopenhagen, yaitu : (1) Pengentasan kemiskinan, (2) Perluasan lapangan kerja, dan (3) Integrasi sosial. Komitmen dunia lainnya terkait dengan upaya penghapusan kemiskinan tertuang dalam Millenium Development Goal yang ditandatangai oleh 189 negara di Geneva tahun 2000 dan diperkirakan akan tercapai pada tahun Delapan butir yang disepakati untuk dilakasanakan oleh negara yang turut serta menandatangani, termasuk Indonesia, yaitu : (1) Penghapusan kemiskinan, (2) Pendidikan untuk semua, (3) Persamaan gender, (4) Perlawanan terhadap penyakit, (5) Penurunan angka kematian anak, (6) Peningkatan kesehatan ibu, (7) Pelestarian lingkungan hidup, (8) Kerjasama global.

20 2 Berdasarkan kenyataan di lapangan serta komitmen global di atas, upaya penghapusan kemiskinan menjadi prioritas utama yang fatal dan vital untuk sesegera mungkin dilaksanakan. Hal ini terkait dengan kondisi empirik bahwa permasalahan sosial yang muncul seringkali bersumber pada masalah kemiskinan atau ketidakmampuan keluarga, termasuk permasalahan sosial anak jalanan. Berdasarkan hasil survei dan pemetaan sosial anak jalanan pada tahun 1999 yang dilakukan oleh Unika Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial dengan dukungan Asia Development Bank, jumlah anak jalanan adalah orang, yang tersebar di 12 kota besar. Pada tahun 2004, menurut Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial, jumlah anak jalanan sebesar orang, yang tersebar di 30 provinsi. Khusus di wilayah Bandung kurang lebih berjumlah anak jalanan (Data Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, 2006) ; di wilayah Bogor orang (Data Dinas Sosial Pemda Bogor, 2006) ; dan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta kurang lebih berjumlah orang (Data Dinas Sosial DKI Jakarta, 2006).. Sangat boleh jadi keadaan nyata di lapangan jumlah anak jalanan jauh lebih besar dari jumlah di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa permasalahan anak jalanan merupakan fenomena gunung es, yang dari tahun ke tahun terjadi peningkatan baik dalam jumlah maupun wilayah penyebarannya. Disisi lain masalah anak jalanan, merupakan patologi sosial yang mempengaruhi behavior anak, dengan pola dan sub kultur yang berkembang di jalanan sebagai daya tarik bagi anak yang masih tinggal di rumah tetapi rentan menjadi anak jalanan, untuk turun ke jalanan. Kecenderungannya bila tidak ada upaya mengatasi bukan hanya sekedar turun, tetapi lambat laun bekerja dan hidup di jalan menyatu dengan anak jalanan lain. Masalah sosial anak jalanan terkait pula dengan ketidakmampuan anak memperoleh haknya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 23 (1) yang mengamanatkan bahwa negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak, khususnya Departemen Sosial

21 3 untuk melakukan perlindungan anak melalui penanganan kasus anak yang memerlukan perlindungan khusus. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak menjadi salah satu kewajiban negara dan pemerintah untuk memujudkannya. Hal tersebut dipertegas pada Pasal 59 Tahun 2002 yang mengamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kapada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Terkait dengan permasalahan sosial anak jalanan, Pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial telah melakukan upaya penanganan melalui kerjasama dengan : Pesantren yang menitipkan beberapa anak jalanan (maksimal 10 orang di pesantren-pesantren) dan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan didirikannya rumah singgah-rumah singgah yang melakukan pembinaan pada anak-anak jalanan serta Mobil Sahabat Anak (MSA). Di sisi lain Pemerintah Daerah sudah melakukan upaya-upaya penertiban pula. Seperti yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) DKI Jakarta Nomor 3 tahun 1972 yang bertujuan menegakkan keamanan dan ketertiban di tempat-tempat umum, melakukan penggarukan dan penertiban terhadap permasalahan sosial termasuk anak jalanan dari tempattempat umum. Pada kenyataannya anak jalanan justru menggunakan tempattempat umum sebagai lokasi kegiatannya, sehingga anak jalanan menjadi sorotan dan dipermasalahkan bahkan dianggap sebagai pelanggaran. Demikian pula yang terjadi di daerah lain dengan PERDA wilayahnya, seringkali terjadi hal yang sifatnya dilematis. Meski upaya telah dilakukan pemerintah, namun hingga kini upaya-upaya tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan dan anak jalanan

22 4 belum dapat terentaskan dari jalanan. Demikian pula rumah perlindungan anak yang tersedia baru satu milik Departemen Sosial yakni di Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur. Seperti disinyalir oleh Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak yang mendesak pemerintah daerah untuk menyediakan rumah perlindungan bagi anak yang terlantar (Warta Kota, 22 November 2005). Terkait dengan kondisi di atas serta keterbatasan pemerintah dan luasnya permasalahan, upaya memahami dan mengatasi anak jalanan perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat sebagai bagian dari sistem. Masyarakat dalam hal ini dipandang sebagai suatu sistem sosial yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu bentuk equilibrium. Upaya masyarakat mencapai Equilibrium hanya mungkin terjadi apabila ada konsensus di antara para anggota masyarakat untuk bersama-sama mengupayakannya. Hal di atas terkait dengan pernyataan Irwanto (1999) bahwa pemahaman terhadap situasi anak jalanan saja tidak akan memberikan jalan keluar yang efektif untuk mengatasi permasalahan anak jalanan. Agar sebuah intervensi efektif, maka diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan keluargakeluarga anak jalanan. Pemahaman makro (struktural) dan mikro (dinamika keluarga) sangat dibutuhkan. Intervensi efektif seyogyanya dilakukan dengan melihat situasi dan kondisi di luar sistem terkait dengan (extra systemic system) atau pemahaman secara makro dan di dalam sistem (intra sytemic system) atau pemahaman secara mikro sebagai suatu kesatuan. Diharapkan dengan hal di atas, model pendekatan yang di tawarkan guna terjadinya perubahan perilaku ke arah yang dikehendaki pada diri anak jalanan, dapat berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (1979) bahwa sikap seseorang tidak hanya ditentukan oleh pribadi orang yang bersangkutan, tetapi juga ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, artinya sikap orang-orang di sekelilingnya terhadap diri orang yang bersangkutan. Dalam hal ini perubahan perilaku anak jalanan tidak dapat terjadi bila tidak ada dukungan dari lingkungan. Dukungan dan kepedulian lingkungan tidak

23 5 dapat muncul, manakala masyarakat tidak memahami profil anak jalanan dan strategi pengentasannya yang efektif dan efisien. Terkait dengan hal di atas diperlukan pemahaman lebih mendasar tentang profil anak jalanan secara akurat. Kejelasan, kecermatan dan kebenaran penyajian data tentang profil anak jalanan tersebut merupakan informasi dasar untuk merencanakan suatu pendekatan. Termasuk pendekatan penyuluhan sebagai salah satu strategi upaya pengentasan. Sekaligus menunjang keefektifan pelaksanaan penanggulangan bagi pemerintah dan masyarakat yang terpanggil dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan anak jalanan. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, dapat dirumuskan masalah pokok penelitian ini yaitu Bagaimana Profil Anak Jalanan dan Strategi Pengetasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta. Adapun masalah khusus penelitian, adalah : (1) Bagaimana perbedaan profil anak jalanan dilihat dari daerah penelitian (Bandung, Bogor, dan Jakarta) dan jenis kelamin terkait dengan peubah Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik, dan Perilaku Anak Jalanan. (2) Seberapa besar Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik berpengaruh terhadap Perilaku Anak Jalanan. (3) Bagaimana strategi pengentasan anak jalanan berdasarkan hasil penelitian. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan, maka secara umum penelitian ini bertujuan menemukan profil anak jalanan khususnya di Bandung, Bogor dan Jakarta, yang dapat memberikan gambaran kecenderungan kondisi anak jalanan di Indonesia. Diharapkan dengan diketahuinya profil anak jalanan secara jelas dan akurat, upaya penanggulangan dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yang berminat menangani dengan lebih terbuka, termasuk menemukan strategi pengentasan yang relatif lebih efektif dan efisien berdasarkan

24 6 hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan penyuluhan. Secara lebih rinci tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : (1) Mengidentifikasi profil anak jalanan di tiga tempat yang berbeda (Bandung, Bogor, dan Jakarta) dan perbedaan jenis kelamin dalam kaitannya dengan penyebab, kondisi kini dan dampaknya bagi perilaku mereka. (2) Mengkaji pengaruh latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik terhadap perilaku anak jalanan. (3) Merumuskan unsur-unsur penting yang dapat digunakan untuk membangun strategi pengentasan anak jalanan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan bagi para praktisi yang berkecimpung dalam upaya mengatasi permasalahan sosial, khususnya yang terkait dengan anak jalanan. Lebih khusus diharapkan bermanfaat bagi : (1) Pemerintah dan Pihak Terkait. (a) Sebagai bahan pertimbangan penyusunan kebijakan dalam upaya meningkatkan pelayanan dan pengaturan untuk mengembangkan kualitas perilaku sumber daya anak jalanan. (b) Memberikan kejelasan kepada pihak-pihak terkait untuk mengambil sikap serta menentukan pilihan dan bertindak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, untuk berpartisipasi mengembangkan kualitas sumber daya anak jalanan sesuai tuntutan pembangunan. (c) Sebagai bahan acuan bagi petugas sosial yang bergerak dalam upaya mengatasi masalah anak jalanan. (2) Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebagai bahan acuan/pertimbangan bagi pendamping/petugas sosial dalam upaya meningkatkan pelayanan dan mengatasi masalah anak jalanan. (3) Perguruan Tinggi. (a) Memberi sumbangan teoritis berupa tambahan khasanah keilmuan di bidang penyuluhan pembangunan dan penerapan berbagai teori baik teori

25 7 sistem, teori konflik maupun teori pertukaran dalam kelompok kecil anak jalanan. (b) Sebagai bahan pembanding bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam mengembangkan perilaku sumber daya manusia anak jalanan selaku subyek dalam pembangunan sektor sosial. (c) Mendorong peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan permasalahan anak jalanan.

26 8 TINJAUAN PUSTAKA Upaya pengentasan masalah sosial anak jalanan tidak dapat dilakukan hanya oleh pemerintah tanpa melibatkan peran serta masyarakat beserta penyandang masalah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pada dasarnya masyarakat terintegrasi atas dasar kata sepakat dari para anggotanya akan nilainilai kemasyarakatan tertentu. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium, yang dikenal dengan teori struktural fungsional. Menurut Berghe (Demerath, 1967), anggapan dasar dari teori fungsional struktural adalah sebagai berikut : (1) Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagianbagian yang saling berhubungan satu sama lain. (2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antar bagian bersifat ganda dan timbal balik. (3) Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis ; menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan mempertahankan agar perubahanperubahan yang terjadi di dalam sistem beserta akibatnya hanya akan mencapai derajat yang minimal. (4) Sekalipun disfungsi, ketegangan dan penyimpangan senantiasa terjadi, akan tetapi di dalam jangka yang panjang keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan perkataan lain, sekalipun integrasi sosial pada tingkatnya yang sempurna tidak pernah tercapai, tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah tersebut. (5) Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner. Perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis pada umumnya hanya

27 9 mengenai bentuk luarnya saja, sedangkan unsur-unsur sosial budaya yang menjadi bangunan dasarnya tidak seberapa mengalami perubahan. (6) Pada dasarnya, perubahan sosial timbul atau terjadi melalui tiga macam kemungkinan : penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial tersebut terhadap perubahan yang datang dari luar (extra systemic change) ; pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional ; serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat. (7) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilainilai kemasyarakatan tertentu. Di dalam setiap masyarakat, selalu terdapat tujuan dan prinsip dasar, yang menjadi sistem nilai. Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan berkembangnya integrasi sosial, akan tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang menstabilisir sistem sosial budaya iu sendiri. Hal di atas terkait dengan Teori Fungsional dari Parsons (Johnson, 1988; Ritzer, et al, 2004) yang memuat empat fungsi yang diperlukan bagi kehidupan semua sistem yang dikenal sebagai skema A G I L, yaitu : (A) adaptation, sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengakses lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhannya, (G) goal attaiment, atau pencapaian tujuan : sebuah sistem harus mendefenisikan dan mencapai tujuan utamanya, (I) integration, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagianbagian yang menjadi komponennya. Sistem harus juga mengelola hubungan antara ketiga fungsi AGIL lainnya, (L), latensi, atau pemeliharaan pola : sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Upaya masyarakat mencapai Equilibrium hanya mungkin terjadi apabila ada konsensus di antara para anggota masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi dan mengupayakannya. Termasuk adanya konsensus anggota masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi permasalahan sosial anak jalanan.

28 10 Terkait dengan anggapan dasar teori struktural fungsional dan skema AGIL di atas, keberadaan anak di jalanan menunjukkan adanya ketegangan, penyimpangan, konflik dan disfungsi dari sub sistem yang ada di dalam masyarakat. Dalam hal ini anggapan dasar teori konflik yang terkait dengan perubahan sosial yang terjadi akibat faktor-faktor yang ada di dalam sistem sosial (intra systemic change) (Dahrendorf, 1959) adalah sebagai berikut : (1) Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. (2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan perkataan lain, konflik adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. (3) Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. (4) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain. Berdasarkan anggapan dasar dari teori konflik di atas, kemunculan kasus anak jalanan salah satunya juga disebabkan oleh adanya konflik, baik dalam diri anak, keluarga, maupun lingkungan, sehingga memicu anak untuk turun ke jalan. Konflik juga disebabkan adanya penguasaan orang tertentu yang kemudian mengeksploitir tenaga anak untuk kepentingannya, dengan akibat lebih lanjut muncul masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Masalah sosial (Kartono, 1992 ; Poplin 1978) adalah : (1) semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau memperkosa, mengancam ketenangan/ ketentraman masyarakat dan adat istiadat (dan adat istiadat tersebut diperlukan untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama), (2) situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki, berbahaya dan merugikan orang banyak. Boguslaw, et al (1977) dan Vembriarto (1981) menjelaskan masalah sosial adalah suatu kondisi obyektif atau proses di dalam masyarakat, yang dipandang oleh beberapa anggota masyarakat dari suatu sudut sebagai suatu masalah yang tidak diinginkan.

29 11 Akibat adanya kontak sosial dengan lingkungan, masalah sosial ini kemudian berkembang menjadi patologi sosial. Vembriarto (1981) dan Asyari (2000) mengartikan patologi sosial sebagai penyakit-penyakit masyarakat atau keadaan abnormal pada suatu masyarakat. Kartono (1992) mengartikan patologi sosial sebagai ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap sakit, disebabkan oleh faktor-faktor sosial. Dalam hal ini patologi sosial muncul akibat adanya masalah sosial yang mengenai individu sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi karena keberadaan individu sebagai anggota masyarakat tidak dapat dipisahkan dari interaksinya dengan lingkungan sekitarnya, maka tingkah laku sosial yang salah tersebut mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat karena adanya saling keterkaitan satu sama lain. Tinjauan tentang Anak Jalanan Pengertian Anak dan Anak Jalanan Anak bukanlah manusia dalam bentuk mini. Anak adalah anak, mereka bukan orang dewasa dalam bentuk mini ; mereka mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat yang berbeda dengan orang dewasa. Anak harus dianggap dan diperlakukan sebagai anak. Selain itu setiap anak adalah unik, yang berbeda satu dengan lainnya (Goode, 1985). Pengertian di atas memperlihatkan bahwa setiap anak, selain ia sebagai mahluk sosial yang keberadaannya terkait dengan lingkungannya, ia juga adalah mahluk individual yang berbeda antara satu dengan yang lain. Akibatnya, manakala orang dewasa akan berinteraksi dengan seorang anak, ia harus memahami kondisi yang menyertainya. Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, selain ia mahluk sosial, ia juga adalah mahluk pribadi yang unik dan berbeda dari anak yang lain. Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial, 1999).

30 12 Lusk dalam Journal of Sociology & Social Welfare (Departemen Sosial, 1999) mengemukakan anak jalanan adalah... setiap anak perempuan atau lakilaki... yang memanfaatkan jalanan, tempat umum, tempat kosong sebagai tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan, tidak mendapat perlindungan, pendampingan ataupun penataan/pengaturan oleh orang dewasa yang bertanggung jawab. Lebih lanjut Lusk mengemukan anak jalanan terbagi ke dalam tiga kategori : anak yang mempunyai resiko tinggi, anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan : (1) Anak yang mempunyai resiko tinggi (chidren-at-high-risk) adalah anak yang mempunyai resiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Mereka belum menjadi anak jalanan murni, tetapi masih tinggal dengan orang tuanya. Kerentanan ini bisa dilihat dari kondisi ekonomi orang tuanya yang rentan, sehingga suatu saat bisa menjadi anak jalanan. Anak-anak seperti ini hidup di lingkungan kemiskinan absolut atau daerah slum. (2) Anak yang bekerja di jalan (children on the street) yaitu mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja, yang penghasilannya digunakan untuk membantu keluarganya. Anak-anak tersebut mempunyai kegiatan ekonomi (sebagai pekerja anak) di jalan dan masih berhubungan kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. (3) Anak-anak yang hidup di jalan (children of the street) adalah mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, tetapi hanya sedikit waktu yang digunakan untuk bekerja. Mereka jarang berhubungan dengan keluarganya. Beberapa di antara mereka tidak memiliki rumah tinggal (homeless), mereka hidup di sembarang tempat. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, lari atau pergi dari rumah. Anak-anak ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Yohanes (1996) mengemukakan bahwa anak jalanan adalah anak yang menggunakan sebagian waktunya di jalanan baik bekerja maupun tidak, yang

31 13 terdiri dari anak-anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau terputus hubungannya dengan keluarga dan anak-anak yang hidup mandiri sejak kecil karena kehilangan orang tua atau keluarga. Menurut UNICEF, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja atau beraktivitas lain. Mereka tinggal di jalanan karena tercampakkan atau dicampakkan oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu menanggung beban hidup, terdesak oleh kemiskinan dan kehancuran keluarga. Pengertian tersebut memperlihatkan adanya gangguan terhadap fungsi sosial (Social Functioning) anak. Konsep social functioning ini mengacu pada situasi dan relasi anak-anak yang melahirkan tugas atau peranan tertentu. Dalam hal ini seorang anak diharapkan berada dalam lingkungan rumah, sekolah, dan lingkungan bermain, yang di dalamya berelasi dengan orang-orang dalam situasi tersebut dan mempunyai peranan tertentu seperti belajar, mematuhi orang tua, bermain, dan lain-lain. Akibatnya, keberadaan anak bekerja mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan jelas suatu kondisi yang tidak sesuai dengan social functioning anak secara umum. Indikator yang jelas dari fungsi sosial ini adalah kemampuan mengatur diri sendiri, kemampuan berhubungan dengan orang lain, dan mengendalikan kesulitan. Dari sudut pandang ini, terlihat bahwa anak jalanan bermasalah karena ada beberapa situasi, relasi dan peranan anak yang tidak dapat dilakukan olehnya. Penyimpangan lain terlihat dari adanya beberapa hak anak yang tidak terpenuhi, di antaranya : hak akan pelayanan kesehatan, kehidupan yang standar seperti makanan, air bersih, dan tempat untuk hidup, pendidikan, bermain dan waktu luang, mempelajari kebudayaan, terlindung dari eksploitasi seks, terbebas dari penggunaan dan peredaran obat bius, mendapat perlindungan hukum, bebas berekspresi dan memperoleh informasi, bimbingan untuk memainkan peranan pada masyarakat sesuai dengan tingkat usia dan kematangannya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Penyimpangan-penyimpangan tersebut menjadi lebih berbahaya bagi proses tumbuh kembang anak karena di jalanan mereka menghadapi berbagai ancaman seperti eksploitasi seks maupun ekonomi, penyiksaan fisik, kecelakaan

32 14 lalu lintas, ditangkap polisi, korban kejahatan dan penggunaan obat, konflik dengan anak-anak lainnya, terlibat pelanggaran hukum baik sengaja maupun tidak (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Meski demikian, ada beberapa anak yang mampu menyerap kehidupan positif jalanan, seperti pandai membaca peluang, tahan kerja keras karena terbiasa panas dan hujan, mempunyai solidaritas yang tinggi sesama teman, belajar bekerja, menempa kesabaran, mudah belajar membuat sesuatu (ketrampilan) bersikap terbuka dan percaya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Hasil pengamatan, banyak orang yang sekarang ini sukses, di masa kecilnya lebih banyak di jalanan. Pada beberapa bagian kehidupan di jalanan juga menyediakan kegiatan usaha bagi anak seperti pedagang atau pengemudi kendaraan. Kecenderungan yang terdapat pada anak jalanan, mereka memiliki ciri fisik dan psikis yang berbeda dengan anak-anak lain pada umunya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), ciri tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan Bersifat Fisik Bersifat Psikis Warna kulit kusam Mobilitas tinggi Rambut kemerah-merahan Acuh tak acuh Kebanyakan berbadan kurus Penuh curiga Pakaian tidak terurus Berwatak keras Kreatif Semangat hidup tinggi Berani menanggung resiko Mandiri Interaksi terbatas Memunculkan istilah sendiri Mengembangkan jaringan antar anak jalanan Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999). Penjelasan tentang anak jalanan yang terkait dengan keberadaannya di jalanan, selain ada dampak negatif yang ditimbulkannya, juga ada dampat positif yang bisa diperoleh anak dalam masa perkembangannya. Hal ini menjadi pengalaman berharga bagi tumbuh kembang anak selanjutnya, sekaligus menjadi pengalaman baginya di saat dewasanya kelak.

33 15 Batasan Usia Anak Jalanan Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Faktor usia anak dalam masalah anak jalanan berkisar antara 6-18 tahun. Rentang usia ini dianggap rawan karena mereka belum mampu berdiri sendiri, labil, mudah terpengaruh, dan belum mempunyai bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk hidup di jalanan, yang berarti masih membutuhkan pendampingan dari orang lain (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Di jalanan terdapat anak-anak berusia di bawah 5 tahun, tetapi mereka biasanya dibawa oleh orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya yang lebih besar, sedangkan anak yang berusia tahun dianggap pandai bekerja dan mengontrak rumah sendiri maupun bersama teman-temannya. Meskipun demikian ada beberapa rentang usia yang berbeda yang disesuaikan dengan kepentingan analisis masalah atau program (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam menentukan batasan usia anak jalanan, seringkali masih dipengaruhi oleh tujuan analisis masalah atau tujuan program. Akibatnya antara satu program dengan program lainnya seringkali berbeda. Namun demikian, dalam penelitian ini usia anak jalanan yang diteliti (menjadi objek penelitian) dibatasi pada kisaran usia antara 5-21 tahun, mengacu pada Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 seperti dikemukakan di atas, dengan pertimbangan bahwa anak jalanan yang berusia remaja semakin meningkat jumlahnya. Penyebab Munculnya Anak Jalanan Dalam berbagai penelitian anak jalanan, faktor salah asuh di rumah sangat berperan dalam mendorong anak keluar dari rumah dan hidup di jalanan serta mencari makan sendiri sebagai tukang koran, menyemir sepatu, pemintaminta dan lain-lain (Irwanto, 1996). Akan tetapi, selain faktor salah asuh dalam keluarga, permasalahan anak jalanan juga terkait erat dengan faktor kemiskinan.

34 16 Akibat lebih lanjut mereka menjadikan hidup di jalanan sebagai tempat penyaluran rasa ketidakpuasan mereka terhadap kondisi yang dialaminya. Oleh karenanya masalah anak jalanan cenderung mempunyai banyak dimensi, sehingga memerlukan penanganan yang multi disipliner dan lintas sektoral. Secara umum ada tiga tingkatan sebab masalah anak jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), yakni : (1) Tingkat Mikro (Immediate causes) yakni faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya bisa saling terkait tetapi bisa juga berdiri sendiri. Sebab yang dapat diidentifikasi, yaitu : (a) Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik masih sekolah maupun sudah putus sekolah, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman. (b) Sebab dari keluarga adalah terlantar, katidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, penolakan, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan atau terpisah dengan keluarga, sikap salah terhadap anak, yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. (2) Tingkat Mezzo (Underlying causes) yakni faktor di masyarakat. Sebab yang dapat diidentifikasi, yaitu : (a) Pada masyarakat miskin, anak adalah asset untuk membantu peningkatan penghasilan keluarga, anak diajarkan bekerja yang berakibat drop out dari sekolah. (b) Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti (c) Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminalis. (3) Tingkat makro (Basic causes) yakni faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Sebab yang dapat diidentifikasikan, yaitu : (a) Faktor ekonomi yakni adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkkan modal dan keahlian, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.

35 17 (b) Faktor pendidikan yakni adanya biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar. (c) Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak jalanan sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan yang menganggap anak jalanan sebagai troublemaker/pembuat masalah (security approach/pendekatan keamanan). Hal di atas senada dengan yang dikemukakan Sudrajat (1996) tentang tiga tingkatan penyebab permasalahan anak jalanan, yaitu : (1) Tingkat Mikro (immadiate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga. Sebab yang diidentifikasi adalah lari dari rumah, disuruh bekerja baik masih sekolah maupun sudah putus sekolah, berpetualang, bermain-main atau diajak teman. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan pokok, kondisi psikologis serta ditolak orang tua, kekerasan rumah, terpisah dari orang tua. (2) Tingkat Messo (underlying cause) yaitu faktor di masyarakat. Sebab yang diidentifikasi yaitu anak adalah asset untuk membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Karenanya anak diajarkan untuk bekerja sehingga meninggalkan sekolah. Ada juga masyarakat yang menolak anak jalanan berada di lingkungannya karena dianggap kriminalis. (3) Tingkat makro (basic cause) yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro. Sebab yang diidentifikasi secara ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak memerlukan modal dan keahlian yang banyak. Faktor penyebab timbulnya anak jalanan adalah : (1) Terkait dengan adanya kekerasan dalam keluarga 23 persen, kadang terjadi kekerasaan dalam keluarga 32 persen, dan tidak terjadi kekerasan dalam keluarga 45 persen ; (2) Terkait dengan adanya ketidakserasian dalam keluarga 33 perssen, kadang terjadi ketidakserasian dalam keluarga 22 persen, dan tidak terjadi ketidakserasian dalam keluarga 45 persen ; (3) Terkait dengan ketidakmampuan keluarga 97 persen,

36 18 kekurangmampuan keluarga 2 persen dan 1 persen menyatakan dari keluarga mampu (Tjahjorini, 2001). Dari kenyataan di atas, terlihat bahwa hal yang mendorong anak turun ke jalanan seringkali disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus, dan bukan hanya disebabkan oleh salah satu faktor semata. Namun demikian, kecenderungannya faktor yang utama menyebabkan anak turun ke jalanan adalah ketidakmampuan ekonomi keluarga (Departemen Sosial, 1999 ; Tjahjorini, 2001 ; Sulistiati, 2001). Ketidakmampuan keluarga secara tidak langsung menjadi pemicu utama anak turun ke jalanan atau tempat umum lainnya di wilayah perkotaan. Akan tetapi bila ketidakmampuan keluarga ini terjadi dalam masyarakat perdesaan, sangat boleh jadi dengan terlaksananya dengan baik fungsi keluarga dan kuatnya nilai yang dimiliki masyarakat perdesaan, hal ini tidak akan menjadi pemicu anak turun ke jalanan dan berkembang menjadi masalah sosial. Dapat diasumsikan bahwa fenomena turunnya anak ke jalanan, terutama terjadi karena orang dewasa termasuk orang tua anak jalanan dalam keluarga, tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Oleh karena, masalah anak jalanan tidak disebabkan semata-mata oleh faktor ekonomi, maka upaya mengatasi tidak semata-mata dengan cara meningkatkan perekonomian keluarga, melainkan melalui social capital keluarga dan lingkungan di sekitar anak yang perlu dibenahi. Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan Aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan individu dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini aktivitas anak jalanan yang terkait dengan faktor sosial ekonominya dapat dikaji dari sudut pandang kelompok. Di mana hampir semua anak jalanan melakukan pekerjaan secara berkelompok atau meski sendiri-sendiri, teman-teman kelompoknya melakukan pekerjaan yang sama (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Pekerjaan anak jalanan secara umum terbagi dua, yakni pekerjaan yang memerlukan modal dan jasa. Jenis pekerjaan yang memerlukan modal adalah pengasong, tukang koran, penyemir sepatu, dan beberapa pekerjaan lainnya yang

37 19 memerlukan bahan. Jenis pekerjaan jasa meliputi mengamen, mengemis, pemulung, parkir, polisi cepek, pengelap/pencuci bis, dan pekerjaan lainnya yang memerlukan tenaga (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Dari bentuk keduanya sering kali terjadi sistem patron-klien atau adanya hubungan antara atasan dan bawahan, antara Bos dan anggota. Dari bentuk keduanya terdapat eksploitas, bentuk pertama anak diberi/dipinjami modal oleh Bos dan setor padanya, lalu jatah anak seenaknya diatur Bos dengan keuntungan besar tetap pada Bos. Eksploitasi bentuk kedua adalah Bos memegang wilayah serta jenis pekerjaan dan anak-anak menjual jasa padanya seperti pada pengemis dan pemulung atau pengelap/pencuci Bis. Bagi anak jalanan yang telah mampu bekerja sendiri tanpa bergantung pada si Bos, lebih dapat mengatur pekerjaannya juga pendapatannya. Mereka umumnya bisa menabung dan pada periode tertentu diberikan pada orang tuanya atau digunakan sendiri. Bagi anak yang berada dalam kungkungan Bos, pendapatan lebih terbatas dan tidak dapat menabung (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Cara menggunakan dan menyimpan uang merupakan masalah yang penting bagi anak jalanan. Hal ini disebabkan jarang ada anak jalanan yang secara konsisten menabung terus menerus karena meskipun penghasilannya besar, terjadi fluktuasi dan tidak tetap. Akibatnya uang yang disimpan tidak lama diambil lagi untuk membeli kebutuhannya. Sebagian anak jalanan bahkan menghabiskan uang untuk berjudi baik remi maupun karambol atau menonton film di bioskop kelas murah. Mereka seperti halnya orang-orang dewasa jalanan, yang menghabiskan uang untuk judi atau pelacuran, menganggap uang dapat segera di dapat di jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Jalanan juga menyediakan suatu karir bagi anak jalanan. Tersedianya suatu karir di jalanan merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam kehidupan mereka. Anak yang sejak kecil sudah di jalanan menjadi penyemir sepatu, pengelap/pencuci bis, kemudian seiring dengan bertambahnya usia mereka belajar otomotif dan mengemudikan kendaraan secara mandiri dari teman-teman

38 20 yang telah dewasa. Kelompoknya itu yang kemudian memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk mencoba memperbaiki kendaraan, mengemudikan dan meminjamkan. Hal yang sama dapat terjadi pada para pengasong atau penjual koran. Jika sungguh-sungguh, mereka dapat menjadi sub agen dan agen, yang dapat mengkoordinir beberapa anak jalanan lain (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Penjelasan di atas memperlihatkan, bahwa kehidupan di jalanan membuka peluang dan kesempatan bagi anak jalanan untuk dapat menjadi seseorang yang mungkin lebih baik kondisinya di masa datang. Dibandingkan bila mereka tidak pernah menjalani kehidupan tersebut sebelumnya. Hal ini disebabkan jalanan selain menempa anak dengan nilai-nilai negatif, jalanan juga menempa anak dengan nilai-nilai positif, sehingga mereka dapat lebih survive dalam menjalani kehidupannya yang keras. Pola Hubungan Sosial Anak Jalanan Pola hubungan sosial yang terjadi dalam situasi sosial anak jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999) dapat dilihat sebagai berikut : (1) Tinggal dengan orang tua sampai putus hubungan dengan orang tua : Terdapat tiga hubungan anak jalanan dengan orang tuanya, yang dapat mengelompokan anak jalanan, yaitu sebagai berikut : (a) Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di jalanan, disebut anak yang hidup di jalanan atau Children of the Street. Berada selama 24 jam sehari di jalanan atau fasilitas umum, serta memiliki latar belakang non ekonomi sehingga menyebabkan mereka turun ke jalanan, aktivitas ekonomi sering berganti serta dilakukan agar mereka tetap hidup di jalanan, serta berpindah-pindah. (b) Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya. Tidak sekolah, sewaktu-waktu kembali ke orang tuanya disebut anak yang bekerja di jalanan atau Children on the Street.

39 21 (c) Anak masih tinggal dengan orang tua, mereka sekali waktu turun ke jalanan dan bekerja di jalanan. Tiap hari pulang ke rumah. Masih atau sudah putus sekolah, disebut anak yang rentan menjadi anak jalanan atau Vulnerable to be Street Children. Pengelompokan anak jalanan dapat menunjukan tingkat kesulitan penanganannya. Anak jalanan yang hidup di jalanan apalagi sudah lama di jalanan sangat sulit ditangani dan memakan waktu lama karena tiada kelompok pendamping dan sudah terinternalisasinya nilai-nilai jalanan dalam sikap dan perilaku mereka. Dalam hal ini terdapat perbedaan sikap dan perilaku sosial antara anak yang hidup dan anak yang bekerja di jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), disajikan pada Tabel 2. (2) Kesadaran membantu ekonomi orang tua sampai eksploitasi oleh orang tua : Hubungan anak dengan orang tua dapat pula dilihat dari latar belakang anak di jalanan. Beberapa latar belakang yang muncul adalah : (a) Kesadaran anak sendiri menolong orang tua dan dirinya. (b) Anak disuruh bekerja dengan kewajiban menyerahkan hasilnya pada orang tua. Jika tidak, mereka memperoleh hukuman (Child Abuse). (c) Anak meninggalkan rumah karena orang tua bercerai atau tidak tahan dengan tindak kekerasan atau anak ditolak atau diusir dari rumah. Dari aspek tersebut terlihat tingkat eksploitasi orang tua terhadap anak yang menunjukan pula tingkat kesulitan pelibatan keluarga dalam mengatasi permasalahan anak jalanan.

40 22 Tabel 2. Perilaku Sosial Anak yang Hidup dan Anak yang Bekerja di Jalanan. No Aspek-aspek Anak yang Hidup di Jalanan Anak yang Bekerja di Jalanan 1 Waktu 24 jam penuh Temporal menurut jam kerja 2 Ruang hidup Semua fasilitas jalan dan public places Tertentu menurut tempat kerja 3 Tempat tinggal Jalanan dan public places Orang tua, mengontrak, atau di tempat kerja 4 Hubungan dengan orang tua Terputus Pulang ke rumah tiap hari atau secara periodik 5 Latar belakang Non ekonomi di antaranya : Ekonomi : mencari uang, kekerasan, penolakan, penyiksaan, membantu keluarga, meme- perceraian nuhi kebutuhan sendiri 6 Aktivitas Berkeliaran dan bergantiganti pekerjaan diantaranya : mengamen, mengemis, menyemir sepatu Aktivitas ekonomi cenderung tetap : menyemir sepatu, mengasong, mengamen, menjual koran, mencuci bus dll 7 Sifat hidup Berpindah-pindah (nomaden) Menetap 8 Sikap Curiga, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, tertutup, bebas Lebih lunak 9 Perilaku norma Mengembangkan nilai sub Masih normative kultur jalanan untuk survival 10 Jenis masalah Diantaranya : Eksploitasi pekerjaan, seksual, kriminalitas, kesehatan, napza Biaya sekolah, kebutuhan & eksploitasi keluarga, biaya hidup, pengaruh teman. 11 Frekuensi masalah Sering dan banyak terjadi. Kurang kontrol orang tua/ LSM Jarang dan sedikit terjadi. Masih ada kontrol orang tua/ LSM 12 Motivasi kerja Untuk terus hidup Untuk memperoleh uang 13 Minat kembali pada keluarga Umumnya tidak berminat Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999). Masih tinggal dengan orang tua (3) Peduli anak jalanan sampai eksploitasi : Beberapa bentuk hubungan sosial antara anak jalanan dengan kelompokkelompok lainnya dapat dilihat sebagai berikut : (a) Ada yang peduli dan mau melindungi anak secara baik. (b) Ada yang menganggap mereka sebagai calon kriminal sehingga perlu digaruk dan diberi hukuman dengan kekerasan jika mereka mencuri atau dirazia, sedangkan barang-barangnya dirampas serta harus membayar denda bila akan dilepas. (c) Ada yang menganggap sebagai sumber nafkah sehingga mereka dikuasai untuk kepentingan pribadi. Penguasaan dapat berupa penguasaan wilayah

41 23 sehingga anak jalanan secara tetap setiap hari harus setor demi keamanan dan perlindungan. (d) Ada penguasaan bersifat pekerjaan, yakni pekerjaan milik seseorang (pemulung) dan anak jalanan dipekerjakan dengan pembagian, lebih besar bagi si pemilik. Ada juga penguasaan bersifat mutlak yakni modal dan bahan pekerjaan dari Bos bahkan tempat tinggal, anak memperoleh jatah semaunya Bos. Meskipun demikian, ada anak jalanan yang telah mandiri dan lepas dari penguasaan pihak lain. Sebagian juga berteman dengan aparat polisi sehingga lepas dari garukan. (4) Dari pertemanan hingga penggarukan : Anak jalanan masih dipandang secara dikotomi, disatu pihak, diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat memandang sebagai kelompok yang memerlukan perlindungan dan wajib dipenuhi hak-haknya. Pihak lainnya, seperti ditunjukan petugas keamanan dan ketertiban memandang mereka sebagai calon kriminalitas yang menganggu. Keduanya merefleksikan potret kehidupan anak jalanan dengan kepentingan yang berbeda. Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan, bahwa pola hubungan sosial anak jalanan berada dalam suatu kontinum. Mulai dari tinggal dengan orang tua sampai putus hubungan dengan orang tua, menolong orang tua sampai dengan eksploitasi orang tua. Serta mulai dari peduli hingga eksploitasi lingkungan, dan pertemanan hingga penggarukan. Oleh karena pola hubungan sosial anak jalanan tidak hanya berada dalam satu titik kontinum, maka upaya penangananpun seyogyanya menyesuaikan dengan keadaannya. Sub Kultur Anak Jalanan Salah satu fenomena penting anak jalanan adalah adanya sub kultur di antara mereka. Sebagian ciri sub kultur terdapat pada penjelasan tentang kelompok anak jalanan, serta terdapat ciri yang lainnya, di samping adanya faktorfaktor pembentuk sub kultur dan konsekuensi dari sub kultur (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999), di antaranya :

42 24 Ciri-ciri sub kultur : (1) Uang yang diperoleh biasanya habis saat itu juga untuk ngelem (menghisap aibon, atau yang lain, yang dapat timbulkan efek melayang atau fly), nonton film, atau main dengan WTS. Kalau tersisa disimpan rapat-rapat untuk menghindari perampasan dari teman atau preman. (2) Interaksi / bergaul terbatas dengan sesamanya. (3) Mengembangkan sikap curiga kepada orang yang baru dikenal. (4) Memunculkan istilah-istilah sendiri untuk pergaulan seperti ngelem, ngebong, dan lain-lain. (5) Mempunyai gagasan kreatif yang lahir dari mekanisme hidup di jalanan dan sekat-sekat sosial yang tidak atau sedikit menyentuh mereka. (6) Mengembangkan jaringan-jaringan diantara mereka. Faktor-faktor pembentuk sub kultur : (1) Fungsi keluarga yang tidak berjalan. (2) Penolakan masyarakat. (3) Keengganan anak untuk pulang ke rumah karena lebih senang di jalanan. (4) Tekanan kekerasan hidup di jalanan, sehingga mereka perlu cara untuk lebih save hidup di jalanan. (5) Peluang pekerjaan sektor informal yang terus meningkat yang juga melibatkan partisipasi anak-anak. (6) Keberanian anak untuk hidup di jalanan dan terpisah dari orang tua. (7) Tekanan di jalanan masih lebih enak dibandingkan dengan di rumah, karena jalanan masih memberikan kebebasan kepada anak. (8) Kompensasi karena frustrasi dengan kondisi masyarakat secara umum dan pelecehan yang diterima. Konsekuensi sub kultur anak jalanan : (1) Terbentuknya peluang untuk hidup dan mempertahankan kebebasan dan liar di jalan yang mengarah pada kriminalitas sehingga muncul stigma atau penilaian negatif mereka calon kriminalis. (2) Bisa dimanfaatkan secara negatif oleh kelompok tertentu. (3) Berkembang nilai-nilai dan perilaku a normatif.

43 25 (4) Ada kecenderungan jalanan menjadi lembaga pengganti dan mengundang anak-anak bermasalah lainnya dalam keluarga untuk lari ke jalanan. (5) Tercipta kelompok baru pada masyarakat kota yang dapat menambah permasalahan. (6) Bisa mengarah pada munculnya keluarga-keluarga jalanan. (7) Menjauhkan mereka dari masyarakat umum. Dari penjelasan di atas dapat diformulasikan bahwa sub kultur yang muncul dan terbentuk dalam lingkungan anak jalanan, dengan ciri dan konsekuensi yang ditimbulkannya lebih bersifat negatif. Hal ini terkait dengan kurangnya filter system yang dimiliki anak jalanan. Terkait pula dengan ketiadaan aturan, nilai dan norma yang ditanamkan orang dewasa, yang bertujuan mengarahkan perilaku yang pantas dan kurang pantas bagi anak. Akibatnya, anak jalanan menjadi hidup bebas dengan sub kultur yang mereka kembangkan sendiri dalam kelompok-kelompoknya. Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani secara komprehensif, dapat menyebabkan rusaknya sendi-sendi nilai dan norma masyarakat. Lebih dari itu, juga dapat menarik anak rumahan yang tertekan dan terkekang di rumah untuk turun ke jalan dan menjadi anak jalanan. Kreativitas dan Kemandirian Anak Jalanan Anak jalanan memiliki potensi yang potensial untuk menjadi sumberdaya, apabila dilakukan sentuhan dengan pendekatan yang tepat. Potensi tersebut bisa menjadi modal sosial atau social capital bagi anak jalanan dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupannya di masa mendatang. Potensi tersebut terlihat pada persentase responden yang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi (53 persen) dan tingkat kemandirian juga tinggi 63 persen (Tjahjorini, 2001). Hal ini salah satunya disebabkan mereka harus lebih survive hidup di jalanan dengan jumlah tantangan yang tidak lebih kecil dibandingkan dengan jumlah tantangan bila mereka hidup di rumahan seperti anak-anak lain pada umumnya. Dalam hal ini kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan ide-ide baru, menemukan cara baru untuk memahami problem yang dihadapi dan

44 26 memahami adanya peluang (Wirawan, 2003). Dari penjelasan tersebut dapat dijelaskan, kreativitas adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu yang berbeda dari orang lain atau dari yang sudah ada, dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Kemandirian diartikan sebagai kemampuan mengakomodasi sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan dalam sikap dan perilaku yang tepat berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi (Sumardjo, 1999). Raharjo (1992) mengartikan kemandirian sebagai upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan akan kemampuan diri dan pada sumberdaya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat didefinisikan, kemandirian adalah bentuk perilaku yang menunjukan ketidakbergantungan seseorang kepada sesuatu yang berada di luar dirinya, dan mengupayakan segala sesuatu dengan berdasarkan, terutama pada kemampuan atau potensi yang ada dan dimilikinya. Kebutuhan Anak Jalanan Kebutuhan anak jalanan menurut Departemen Sosial RI (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 1999) adalah sebagai berikut : (1) Kebutuhan makan 3 kali sehari, (2) Kebutuhan pakaian tiga stel atau lebih, (3) Kebutuhan kesehatan, (4) Kebutuhan tempat tinggal/tempat berlindung, (5) Kebutuhan pendidikan, (6) Kasih sayang/perhatian dari orang tua, (7) Uang saku/ jajan, dan (8) Harapan dan cita-cita. Kebutuhan anak jalanan tersebut terangkum dalam teori kebutuhan menurut Maslow (1984) terdiri dari : (1) Kebutuhan fisiologis (Faali), berkaitan dengan kebutuhan yang sifatnya fisik ; (2) Kebutuhan akan keselamatan, dapat dikategorikan ke dalam kebutuhan akan keselamatan (keamanan, kemantapan, ketergantungan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas, kekalutan dan sebagainya) ; (3) Kebutuhan akan rasa memiliki dan rasa cinta ; (4) Kebutuhan akan harga diri, kebutuhan yang menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, kuat dan bermutu tinggi, dihormati dan dihargai ; (5) Kebutuhan akan

45 27 perwujudan diri, kebutuhan seseorang untuk dapat menjadi seperti yang diinginkannya sesuai dengan kemampuannya. Penjelasan tentang kebutuhan terkait pula dengan teori kebutuhan dasar manusia. Pendekatan kebutuhan dasar manusia bertujuan memenuhi kebutuhan dasar seluruh penduduk di dalam setiap negara, secara memadai menurut Thee Kian Wie (1981). Dalam kebutuhan dasar ditentukan dua perangkat sasaran yang terpisah, namun saling melengkapi (complementary) menurut Thee Kian Wie (1981), yaitu : (1) Perangkat sasaran pertama mencakup kebutuhan konsumsi perorangan (personal consumption items), seperti pangan, sandang dan pemukiman ; dan (2) Perangkat sasaran kedua mencakup penyediaan jasa umum dasar (basic public services), seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, saluran air minum, pengangkutan dan kebudayaan. Menurut Gibson, dkk (1994), orang seringkali menanggapi tertutupnya kemungkinan mencapai kebutuhan dan tujuan dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri (ego-defense mechanism). Termasuk juga pada anak jalanan dengan munculnya sub-sub kultur pada kelompoknya. Hal tersebut bertujuan agar mereka tetap dapat bertahan hidup di jalanan. Sekaligus dapat mengembangkan diri, agar bisa keluar dari kehidupannya di jalanan. Keterpenuhan kebutuhan anak jalanan meliputi, variabel kebutuhan fisiologis ; 46 persen menyatakan terpenuhi dengan baik, 27 persen menyatakan terpenuhi dengan kurang baik dan 27 persen, menyatakan terpenuhi dengan tidak baik. Untuk variabel kebutuhan akan rasa aman ; 28 persen menyatakan terpenuhi dengan baik, 40 persen menyatakan terpenuhi dengan kurang baik dan 32 persen menyatakan terpenuhi dengan tidak baik. Untuk variabel kebutuhan akan rasa memiliki ; 62 persen menyatakan terpenuhi dengan baik, 3 persen menyatakan terpenuhi dengan kurang baik dan 15 persen menyatakan terpenuhi dengan tidak baik (Tjahjorini, 2001). Dari kondisi empirik tersebut terlihat bahwa pada dasarnya anak jalanan memiliki kebutuhan yang sama dengan kebutuhan anak pada umumnya. Namun karena satu dan lain hal, kebutuhan tersebut menjadi kurang bahkan tidak terpenuhi bila mereka tetap berada dalam lingkungan keluarganya.

46 28 Motivasi Anak Jalanan Motif adalah sesuatu yang ada pada diri seseorang atau individu yang menggerakan atau membangkitkan sehingga individu itu berbuat sesuatu. Sedang motivasi yang berasal dari kata motif dan asi (action), berarti usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan (Padmowihardjo, 1994). Dalam hal ini motivasi adalah suatu driving force, yaitu kekuatan yang mengendalikan dan menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu. Motif bisa muncul dari luar diri maupun dari dalam diri seseorang. Motivasi berhubungan erat dengan bagaimana perilaku itu dimulai, dikuatkan, disokong, diarahkan, dihentikan dan reaksi subyektif macam apakah yang timbul pada organisme ketika semua itu berlangsung (Jones, 1955). Motif yang kuat menjadi faktor yang mendasari dan menjadi sebab utama munculnya tingkah laku manusia, sedangkan yang lemah, hampir tidak mempunyai pengaruh pada sebab utama munculnya tingkah laku individu. Kekuatan motif tidak sama dalam setiap situasi, suatu saat motif berprestasi kuat dan motif persahabatan lemah, tetapi pada saat tertentu kekuatannya berubah, atau ada motif lainnya yang lebih kuat. Dari penjelasan tersebut dapat diformulasikan motivasi adalah usaha/daya dorong yang berasal dari dalam atau luar diri individu, yang membuat orang yang bersangkutan mau dan mampu berusaha memenuhi atau mencapai hal-hal yang diinginkan dan dibutuhkan dengan tujuan menghasilkan suatu imbalan yang diharapkan. Kelompok Anak Jalanan Anak jalanan umumnya hidup dalam kelompok, dengan ciri yang menonjol adalah ikatan antar anggota dalam satu kelompok sangat kuat, sedangkan dengan kelompok lain yang berbeda sangat lemah. Kelompok dapat terbentuk karena kesamaan tempat tinggal/asal daerah, hobby dan jenis pekerjaan. Oleh karenanya, persaingan diantara kelompok anak jalanan sangat tinggi dan tidak jarang diakhiri dengan kekerasan/perkelahian. Begitupun tidak mudah bagi

47 29 seorang anak untuk masuk ke dalam kelompok lain, untuk ikut bekerja atau bergabung. Kelompok tersebut biasanya melakukan sosialisasi terhadap anak baru. Dalam kelompok, mereka belajar bersahabat sehingga secara emosional dekat, sebaliknya antar kelompok mereka belajar keras dan bersaing untuk mempertahankan hidup. Dalam kelompok dengan dinamika dan kepemimpinan seorang pemimpin, terjadi pertukaran antara masing-masing individu anak jalanan dengan individu anak jalanan lainnya. Dalam hal ini terkait dengan kelompok kecil anak jalanan, Homans (Johnson, 1988) mengemukakan tentang Teori Pertukaran Sosial Dalam Kelompok Kecil dengan interaksi tatap muka yang bersifat langsung, bahwa pola-pola pertukaran harus dianalisa menurut motif-motif dan perasaan-perasaan mereka yang terlibat dalam transaksi itu, dengan melihat tiga konsep utamanya menurut Homans (Johnson, 1988), yaitu : Kegiatan, adalah perilaku aktual yang digambarkan pada tingkat yang sangat kongkret, mengenai kegiatan para anggotanya saja ; Interaksi, adalah kegiatan apa saja yang merangsang atau dirangsang oleh kegiatan orang lain ; Perasaan, sebagai suatu tanda yang bersifat eksternal atau yang bersifat perilaku yang menunjukan suatu keadaan internal, dengan kata lain perasaan adalah keadaan internal yang dimanifestasikan dalam suatu tipe perilaku yang dapat diamati. Antara elemen-elemen yang ada dalam kelompok tersebut, membentuk suatu keseluruhan yang terorganisai dan berhubungan secara timbal balik. Upaya melihat kelompok anak jalanan dilakukan dengan menitik beratkan pada pendekatan sosiologis yang berupaya melihat hubungan perilaku antar individu atau individu dengan kelompoknya dalam suatu interaksi dengan lingkungan sosialnya. Pendekatan sosiologis dipergunakan mengingat kelompok yang terbentuk dalam kehidupan anak jalanan, merupakan produk dari situasi sosial, yang muncul karena adanya interaksi di antara sesama anak jalanan. Dalam kelompok berdasarkan elemen sebagaimana dikemukakan Homans (Johnson, 1988) terbentuklah kebiasaan yang diharapkan dapat diikuti oleh anggota kelompok. Hal ini lambat laun terpola dalam kehidupan anak jalanan dan menjadi cikal bakal munculnya sub-sub kultur.

48 30 Perilaku Anak Jalanan Setiap individu dalam kehidupannya senantiasa menunjukkan perilakuperilaku tertentu baik ekplisit maupun implisit. Perilaku merupakan respon atau reaksi dari seseorang, yang tidak hanya berupa reaksi dan gerakan lahiriah atau fisik, tetapi juga pernyataan-pernyataan verbal dan pengalaman subyektif. Ancok (1986) mendefinisikan perilaku sebagai kegiatan/tindakan (action) yang sudah dilakukan seseorang. Sedang Sarwono (1992) mendefinisikan perilaku sebagai perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat indera) maupun yang tertutup (tak kasat indera). Perilaku terbuka (overt behavior) meliputi semua perilaku yang bisa ditangkap langsung dengan indera. Perilaku yang tak kasat indera (covert behavior) harus diselidiki dengan metode atau instrumnen khusus. Perilaku ini misalnya motivasi, sikap, berpikir, beremosi, minat, dan lain-lain. Perilaku individu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara umum perilaku dipengaruhi oleh faktor dalam (inside factor) dan faktor luar (outside factor). Menurut pendekatan ini, kondisi situasional luar mempengaruhi sikap dalam, dan selanjutnya sikap ini mempengaruhi perilaku terbuka (overt behavior). Faktor dalam yang mempengaruhi perilaku adalah karakteristik internal, yakni sesuatu yang dimiliki oleh seseorang secara unik, baik yang bersifat fisik maupun psikis (kejiwaan). Faktor dalam yang bersifat fisik terutama adalah otak, hormon, sistem syaraf dan gen ; sedang yang bersifat psikis adalah persepsi, kepribadian, mental, intelektual, ego, moral, keyakinan dan motivasi. Dalam penelitian ini perilaku anak jalanan yang menjadi pusat perhatian adalah perilaku terbuka (overt behavior) seperti berani menanggung resiko, mandiri, kreatif, liar, bebas, masa bodoh dan lain-lain yang kemunculannya bisa disebabkan oleh faktor yang bersifat fisik, psikis maupun sosial. Hal ini terkait dengan pernyataan Zimbardo et al., (1977), Franken (1982), Ancok (1986), Soekanto (1995) dan Thohir (1991) yaitu : bahwa faktor luar yang dapat mempengaruhi perilaku adalah faktor sosial budaya, sosial ekonomi, dan lingkungan fisik seperti pendidikan, pengetahuan, penghargaan sosial, hukuman, kebudayaan, norma sosial, tekanan lingkungan (kemiskinan, diskriminasi dan

49 31 sebagainya), model (panutan), input informasi, kohesi kelompok, dukungan sosial (social reinforcement), agama, ekonomi, politik, pola perilaku kelompok (patterns of behavior), status dan peranan individu dalam kelompok. Tinjauan tentang Keluarga Orang tua dalam keluarga adalah lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya. Oleh karena itu orang tua dalam keluarga merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Keluarga merupakan pranata sosial dan wadah yang secara dini para warganya dikondisikan dan disiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan sebagai orang dewasa. Peran dan tingkah laku yang dipelajari dalam keluarga, merupakan contoh atau prototip peran dan tingkah laku yang diperlukan bagi seorang anak dalam menghadapi masa depannya. Sekaligus keluarga sebagai unit kesatuan sosial terkecil adalah wadah yang paling tepat dan efektif untuk menanamkan dan membina nilai-nilai budaya (social capital), karena di dalam lingkungan keluargalah hubungan emosianal terjalin dengan baik dan intensif, sehingga memungkinkan berlangsungnya proses pendidikan sedini mungkin (preventif) kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus (Sudrajat, 1999 dan Departemen Sosial 1999). Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Geertz (1993) dan Search, et al (1976), melalui keluarga anak belajar mengenai nilai, peran sosial, norma, adat istiadat, tingkah laku pengasuhan, perawatan serta pelatihan yang ditanamkam orang tuanya. Dalam proses belajar ini juga terdapat tindakan penyediaan waktu, perhatian dan dukungan orang tua guna memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial anak. Di samping orang tua juga merupakan pengatur norma-norma masyarakat kepada anaknya atau keluarga merupakan jembatan antara individu dengan kebudayaannya. Hal ini disebabkan kebudayaan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan pewarisan tersebut bukan melalui genetika (secara biologis), melainkan melalui pendidikan (sosialisasi), terutama yang berlangsung di dalam keluarga-keluarga (Achlis, 1995).

50 32 Melalui proses pendidikan di lingkungan keluarga, anak-anak dipersiapkan dan dilatih untuk memenuhi fungsi dan peranannya masing-masing, serta dipersiapkan untuk memasuki lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat. Dengan demikian, setiap anggota keluarga harus belajar memahami dan menghayati nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan pandangan yang berlaku dalam masyarakatnya sebagai pedoman dalam hidup selanjutnya. Penanaman nilai-nilai budaya pada anggota masyarakat di lingkungan keluarga merupakan modal yang amat berharga sebelum seseorang dilepas ke dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas. Dalam proses sosialisasi di lingkungngan keluarga inilah peranan orang tua dirasakan amat penting, sebab melalui anak-anak mereka, terlihat wujud dari orang tua dalam mendidik anakanaknya. Dengan kata lain anak adalah cerminan dari orang tuanya. Terkait dengan hal tersebut Mulder (1995) mengemukakan bahwa orang tua akan dinilai dari penampilan anak-anaknya. Namun permasalahan timbul manakala anak kurang berinteraksi dengan orang tua atau bahkan tidak berinteraksi dan tidak tinggal dengan orang tua seperti yang terjadi pada sebagian besar anak jalanan, sehingga muncul figur-figur tandingan bagi orang tua. Kalau pada mulanya orang tua adalah orang-orang yang menjadi pelaku utama dalam penanaman dan pembinaan nilai-nilai budaya dalam keluarga, maka dengan munculnya figur-figur tandingan, peranan orang tua cenderung melemah. Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan anak jalanan. Figur orang tua cenderung melemah, terlebih pada anak jalanan yang hidup di jalanan (children of the street), di mana interaksi dengan orang tua dalam keluarga sudah mulai jarang mereka lakukan, karena umumnya mereka sudah tidak berhubungan lagi dengan keluarga. Mereka berinteraksi, mencari dan memperoleh figur tandingan di jalan, seperti pada orang dewasa jalanan, preman, dan lain-lain. Hal ini seperti terlihat pada Setting yang dimiliki anak jalanan (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999) yaitu :

51 33 Setting kedua adalah lingkungan jalanan yang merupakan lingkungan kedua bagi anak. Di jalanan, anak berinteraksi dengan berbagai orang baik sebagai pribadi maupun atas nama dinas. Seperti DLLAJ, orang dewasa jalanan, preman dll. Proses interaksi ini dapat menghasilkan bentuk kepribadian tertentu. Munculnya figur-figur tandingan orang tua di luar keluarga menunjukkan kurang berfungsinya keluarga dengan baik sebagai salah satu prasyarat mutlak dalam menciptakan modal sosial, yang dibutuhkan anak guna mendukung proses perkembangannya. Fukuyama (1999) mengatakan bahwa keluarga pada dasarnya merupakan sumber yang paling penting dalam menciptakan modal sosial (social capital) yang merupakan prasyarat bagi terciptanya masyarakat madani (civil society). Lebih lanjut Fukuyama (1999) mengartikan social capital sebagai seperangkat nilai atau norma yang terdapat di antara anggota kelompok yang memungkinkan lahirnya kerjasama di antara mereka. Nilai dan norma yang diperlukan dalam membangun social capital tersebut adalah kejujuran (trust). Kejujuran ini menjadi minyak pelumas yang dapat mengencerkan atau mengentalkan interaksi yang dibangun dalam keluarga. Coleman (Fukuyama, 1999) mengartikan social capital sebagai seperangkat sumber daya yang inheren dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial seorang anak. Pentingnya modal sosial bagi keluarga dalam upaya melahirkan kualitas sumber daya manusia juga dinyatakan Dasgupta dan Serageldin (1999) bahwa selain human capital orang tua dan financial capital yang dimiliki keluarga, social capital (yang diartikan sebagai hubungan antara orang tua dan anak) sangat penting dalam perkembangan intelektual anak. Namun demikian, hal tersebut tidak dapat dicapai manakala dalam keluarga sebagai sistem tidak saling dukung antar sub sistem yang menjadi anggotanya (dalam hal ini dengan anak dan istri). Juga saling dukung antar kelurga-keluarga sebagai sub sistem yang merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yaitu masyarakat. Dukungan keluarga bisa diberikan oleh keluarga inti (nuclear family) atau oleh keluarga luas (extended family). Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu dan anak-

52 34 anaknya, sedangkan keluarga luas terdiri atas keluarga inti yang merupakan saudara sekandung, orang tua dan anak-anaknya yang hidup di bawah satu atap atau dalam lingkungan yang sama (Broom, 1981). Dalam hal ini bentuk keluarga dipengaruhi oleh kebudayaan tempat keluarga tersebut berada, dan sebaliknya bentuk keluarga juga mempengaruhi kebudayaan (Achlis, 1995). Karenanya keluarga dapat dipandang sebagai kesatuan yang berdiri sendiri dan sekaligus sebagai bagian dari lingkungan (kebudayaan) di sekitarnya yang harus selalu berinteraksi dengan supra sistem yang mengelilinginya. Analisis sosiologi tentang keluarga bisa dilakukan pada tiga tingkatan (Molo, 1993). Pertama, keluarga sebagai lembaga berhubungan dengan lembaga dan struktur sosial lainnya. Kedua, keluarga sebagai lembaga sosial yang relatif, didalamnya terdapat interaksi antar individu. Keluarga mempunyai karakteristik yang bervariasi, seperti adanya struktur usia dan jenis kelamin, adanya hubungan personal, adanya pengaruh dari satu generasi terhadap generasi selanjutnya, dan adanya perkembangan kepribadiaan dari para anggotanya. Ketiga, keluarga sebagai proses, di mana diperlukan jangka waktu melalui tingkatan-tingkatan dalam menjalani kehidupan keluarga, jadi bukan unit yang statis. Terkait dengan penjelasan di atas bahwa dalam keluarga terjadi interaksi antar unsur yang ada di dalamnya, Megawangi (1999) menjelaskan bahwa dalam interaksi dengan sub-sub sistem (sub sistem ekonomi, politik, pendidikan dan agama) keluarga berfungsi untuk memelihara keseimbangan sosial dalam masyarakat (equilibrium state). Manakala fungsi atau peranan salah satunya bergeser, baik di dalam masyarakat maupun dalam keluarga, maka akan menyebabkan pergeseran pula pada fungsi dan peranan yang lain, yang tujuannya adalah menyeimbangkan. Peranan adalah tindakan atau perilaku yang perlu dilaksanakan oleh seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam suatu struktur sosial (Slamet, 1985). Selanjutnya fungsi adalah sekelompok perilaku yang diharapkan dari suatu peranan. Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa antara fungsi keluarga dan peranan orang tua yang dilakukan dalam rumah tangga, merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Sekelompok perilaku yang diharapkan dari pelaksanaan peranan

53 35 orang tua inilah yang menjadi fungsi keluarga. Beberapa fungsi keluarga di antaranya : (1) Fungsi reproduksi, yakni memenuhi kebutuhan seksual dan mendapatkan keturunan. Menurut Popenoe (1989), fungsi ini terkait dengan tanggung jawab keluarga terhadap anggota keluarganya agar tidak melakukan hubungan seks bebas di dalam masyarakat. Selain itu fungsi biologi juga termasuk perlindungan fisik bagi kelangsungan hidupnya seperti kesehatan, perlindungan dari lapar, haus, kepanasan, kedinginan, dan sebagainya (Soelaiman, 1994). (2) Fungsi ekonomi menurut Koetjaraningrat (1981) dan Gillbert dan Specht (1996) tidak hanya dilihat dari keberhasilan materi saja tetapi juga kemampuan keluarga untuk melaksanakan konsumsi dan distribusi. Oleh karena itu indikator keberhasilan ekonomi tidak hanya dilihat dari kekayaan semata, tetapi juga dari kemampuan keluarga untuk mengatur keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran. (3) Fungsi sosialisasi merupakan proses penanaman nilai-nilai, norma dan pengetahuan mengenai kelompok atau masyarakat agar manusia bisa hidup (Popenoe, 1989 ; Goode, 1993). Goode (1993) mengatakan sosialisasi sebagai proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai-nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosial yang cocok dengan kedudukannya. Dalam melaksanakan fungsi mengasuh dan mendidik anak ini dibutuhkan peranan orang tua, yaitu ayah dan ibu (Engle dan Haddad, 1997), yang dapat merangsang kecerdasan anak dan bagaimana memenuhi kebutuhan anak sehingga dapat merangsang perkembangan pendidikan anak. Dengan demikian orang tua dapat berperan dalam merangsang atau mematikan kreativitas anak (Gordon, 1983). (4) Fungsi perlindungan erat kaitannya dengan fungsi sosialisasi. Perlindungan yang diberikan oleh keluarga kepada anggotanya tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan moral. Dalam fungsi ini keluarga menjaga dan memelihara anak serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari dalam maupun dari luar keluarga.

54 36 Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bahwa latar belakang keluarga, termasuk di dalamnya pelaksanaan fungsi keluarga memiliki pengaruh yang tidak bisa diabaikan, dalam melihat munculnya permasalahan sosial. Sekaligus dalam menciptakan generasi penerus yang handal di masa datang. Demikian pula dalam kehidupan anak jalanan, situasi dan kondisi keluarga tentunya memiliki pengaruh yang juga tidak dapat diabaikan pada masa-masa perkembangan anak selanjutnya. Hal di atas terkait dengan pernyataan Hurlock (1979) bahwa dengan bertambah besarnya anak dan banyaknya waktu yang dihabiskan dengan teman, di lingkungan tempat tinggal dan sekolah, pengaruh rumah pada awal kehidupan masih tetap tampak nyata, sehingga perubahan yang terjadi relatif kecil. Hal ini berarti lingkungan tempat anak hidup pada periode awal kehidupannya mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan bawaan mereka. Tinjauan tentang Lingkungan Kota sebagai tempat konsentrasi penduduk dan pusat aktivitas perekonomian seperti industri, perdagangan dan jasa, pada dasarnya merupakan sebuah sistem bersifat tidak statis, sewaktu-waktu dapat menjadi tidak teratur dan susah dikontrol (Watt, 1973 ; Stearns dan Montag, 1974). Sedang Bintarto (1983) mengemukakan kota merupakan suatu jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk dan heterogenitas masyarakat yang tinggi. Kota sebagai satuan wilayah permukiman juga merupakan tempat bekerja dan tempat rekreasi. Oleh sebab itu demi kelangsungan suatu kota diperlukan sarana dan prasarana yang memadai : ada kawasan pemukiman, kawasan perdagangan, pemerintahan, industri, sarana-sarana kebudayaan, kesehatan, rekreasi, pasar dan lainnya. Wilayah urban (kota) terjadi saat perkampungan neolitik menjadi kota kecil lalu menjadi kota besar ketika pertanian lebih produktif, perubahan ini disebut urban evolution menurut Childe (Popenoe, 1989). Juga adanya kemajuan atau perbaikan dalam bidang pertanian dan transportasi, pembukaan lahan baru dan rute perdagangan, peningkatan kegiatan produksi, serta peningkatan berbagai

55 37 kegiatan yang terorganisir dengan baik, serta perubahan yang cepat dalam bidang industri dengan menggunakan mesin-mesin. Kemudian menjadi kota besar dengan pusat kotanya merupakan fokus dari berkumpulnya orang dan jaringan transportasi lokal serta merupakan lokasi yang baik untuk industri dan jasa seperti periklanan, penerbitan, keuangan, hiburan dan layanan ritel, sehingga mendorong bergeraknya/berpindahnya orang dari wilayah non urban ke wilayah urban (Popenoe, 1989). Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa berkembangnya kota, termasuk berkembangnya permasalahan sosial dapat ditelusuri dari perubahan masyarakat agraris menuju masyarakat modern. Juga dapat terjadi sebagai dampak dari terjadinya urbanisasi masyarakat desa ke kota akibat adanya daya tarik kota dan adanya kemudahan dalam mengakses sistem sumber daya yang ada di wilayah kota. Di samping akibat pertambahan penduduk yang terus meningkat. Rahardjo (1989) dalam hal ini mengungkapkan pertumbuhan penduduk perkotaan dari tahun meningkat menjadi 22 kali lipat, sedang pedesaan 3 kali lipat. Kondisi ini menimbulkan berbagai permasalahan seperti lahan pertanian produktif menjadi berkurang, persoalan pengembangan dan pengelolaan lahan perkotaan di samping munculnya permasalahan sosial lain sebagai ekses. Di sisi lain kondisi kota diperparah dengan tingginya arus urbanisasi, yang selain disebabkan oleh adanya daya tarik kota, juga disebabkan oleh semakin sempitnya lahan pertanian yang dapat digarap di desa, yakni sebagian besar masyarakat desa hanya bertindak sebagai buruh tani, dengan pemilik-pemilik lahan yang justru orang kota. Dampak sosial yang timbul dari urbanisasi ini, muncul masyarakat minoritas yang merupakan masyarakat miskin yang tinggal di daerah slums, dengan wilayah yang berada di bawah standar, serta perumahan yang padat dan penuh sesak, serta lingkungan yang kumuh dan sanitasi lingkungan yang juga dibawah standar (Popenoe, 1989). Lingkungan yang padat/penuh sesak dan tidak kondusif, tanpa sarana dan ruang untuk bermain bagi anak, serta lingkungan yang kurang nyaman dan secara kondusif dapat mendukung proses tumbuh kembang anak, akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang dan perilaku seorang anak.

56 38 Hal di atas sebagaimana dikemukakan oleh Popenoe (1989) bahwa kepadatan penduduk yang tinggi diasosiasikan dengan tingkat kematian yang tinggi, tingkat kelahiran yang tinggi, tekanan-tekanan di dalam rumah, kurang efektifnya perhatian terhadap anak dan timbulnya kenakalan anak, juga munculnya masalah-masalah lain yang menyertai. Lebih lanjut Popenoe menjelaskan bahwa kepenuhsesakan di rumah, dapat menimbulkan efek yang mengganggu/merusak fisik dan psikologi masyarakat, dan secara umum dapat menimbulkan perasaan kegagalan (Popenoe, 1989). Meski tidak tertutup kemungkinan pada kasus dan orang tertentu tidak menimbulkan efek apapun. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Ancok (1986) permasalahan-permasalahan yang timbul di perkotaan antara lain kesempatan kerja, transportasi, pemukiman, kesehatan, keamanan, pelayanan, solidaritas sosial dan lain-lain. Ketidakmampuan kota menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh warganya ini dapat menyebabkan timbulnya permasalahan-permasalahan kota. Hal ini terkait pula dengan efek kepenuhsesakan di rumah dan lingkungan yang bisa berbeda-beda pada masing-masing individu dan keluarga. Bagi sebagian orang, kepenuhsesakan yang terjadi meski tidak mengenakan, tidak berpengaruh pada munculnya perilaku patologis. Bagi kelompok yang lainnya, kepenuhsesakan yang terjadi justru menyebabkan munculnya efek-efek yang mengganggu/ merusak fisik dan psikologi masyarakat, dan secara umum dapat menimbulkan perasaan kegagalan yang mengarah pada timbulnya patologi sosial (Popenoe, 1989). Hal ini disebabkan adanya interaksi yang bersifat timbal balik, antara individu dengan lingkungannya (baik lingkungan keluarga maupun lingkungan di luar keluarga). Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan dan keluargakeluarga anak jalanan. Penjelasan di atas juga memperlihatkan betapa besar pengaruh keluarga dan lingkungan. Baik secara fisik maupun non-fisik (psikologis dan sosioligis) dalam menghasilkan perilaku yang normatif dan tidak normatif atau perilaku menyimpang (deviant behavior) dalam masyarakat. Deviasi atau penyimpangan diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciriciri karakteristik rata-rata rakyat kebanyakan/populasi. Hal ini identik dengan

57 39 diferensiasi yang diartikan sebagai tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum (Kartono, 1992). Studi Popenoe ini memperlihatkan bahwa permasalahan sosial yang mengarah pada patologi sosial (social pathology), salah satunya dimunculkan oleh ketidakberfungsian dan ketidaknyamanan lingkungan dan keluarga bagi individu yang ada di dalamnya. Ketidakberfungsian dan ketidaknyamanan dianggap dapat mengganggu atau mengurangi kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat lingkungannya (maladjustment). Keadaan seperti ini oleh Gillin dan Gillin (Asyari, 2000) disebut sebagai social disorganization atau social pathology, yang melihat patologi sosial sebagai kondisi masyarakat yang maladjustment. Lingkungan yang padat dan penuh sesak di kota dengan permasalahan sosial yang komplek, semakin diperparah oleh munculnya daerah sub-urban, dengan komunitas yang relatif kecil yang terletak di dekat atau tergantung pada sebuah pusat kota. Sub-urban merupakan produk dari pertumbuhan urban yang pesat, yang dipermudah dengan semakin pesatnya kemajuan di bidang transportasi. Pada masyarakat sub urban di Amerika, biasanya mereka memiliki perilaku dan gaya hidup yang tegang, pesimis terhadap seks dan cenderung suka minuman keras. Munculnya sifat ini disebabkan keunikan dari sub-urban, densitasnya yang rendah, kesamaan kultural dan jauhnya mereka dari pekerjaan dan pelayanan di kota (Popenoe, 1989). Hasil pengamatan empirik dari sebagian kota di Indonesia, biasanya masyarakat sub-urban tersisih oleh hadirnya masyarakat pendatang ke wilayahnya. Akibatnya, seringkali mereka menjadi masyarakat kelas dua, dengan penghasilan dan pekerjaan serabutan yang tidak jelas serta dengan sikap mental yang cenderung malas. Bila masyarakat ini memiliki keluarga, dengan kondisi sosial ekonomi yang tidak jelas, maka akibatnya anaklah yang menjadi tumpuan untuk dapat menopang perekonomian keluarga. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya masalah anak jalanan bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di kota kecamatan dan kabupaten.

58 40 Selain daya dukung kota serta sarana dan prasarana yang cukup memadai yang harus dimiliki kota, diperlukan pula norma, nilai dan aturan-aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Norma, nilai dan aturan-aturan ini diberlakukan untuk menyelenggarakan suatu kehidupan masyarakat yang teratur, dengan penerapan sanksi yang jelas, tegas dan nyata bagi mereka yang melanggarnya. Lingkungan atau Situasi Sosial Anak Jalanan Anak jalanan hidup dan berada dalam lingkungan/situasi sosial yang terdiri dari berbagai setting terlihat pada Gambar 1, sedangkan lingkungan sosial untuk anak pada umumnya (Francois Doamekpor, Dokumen Proyek UNDP- Departemen Sosial, 1999) disajikan pada Gambar 2. Setting yang dimiliki anak jalanan seperti diperlihatkan pada Gambar 1 (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999) adalah : Setting pertama adalah lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga, sekolah dan masyarakat dimana anak jalanan tinggal. Ini adalah lingkungan pertama bagi anak, sebelum perubahan yang terjadi menyebabkan anak keluar dari lingkungannya dan menjadi anak jalanan. Perubahan tersebut antara lain kesulitan ekonomi, perceraian orang tua, biaya sekolah yang tinggi, atau penolakan masyarakat sekitarnya yang menyebabkan anak menjadi korban dan tidak lagi dapat hidup layak untuk dapat tumbuh kembang secara wajar. Setting kedua adalah lingkungan jalanan yang merupakan lingkungan kedua bagi anak. Di jalanan, anak berinteraksi dengan berbagai orang baik sebagai pribadi maupun atas nama dinas. Seperti DLLAJ, dll. Proses interaksi ini dapat menghasilkan bentuk kepribadian tertentu. Misalnya bagi anak jalanan yang baru digaruk / dirazia merasa traumatis, sedangkan yang sudah biasa dianggap biasa saja. Bagi yang sudah akrab dengan polisi, menjadikan polisi pelindung mereka dari eksploitasi preman. Dalam lingkungan jalanan, anak juga berinteraksi dengan berbagai norma dari pemegang otoritas jalanan serta bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya. Mereka biasa main kucing-kucingan jika dilihat petugas atau harus merelakan barang-barang asongannya jika tertangkap (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999).

59 41 LINGKUNGAN SOSIAL Teman-teman, Kenalan, Preman, Teman-teman, Agen/Bos/Abang, Kenalan, Perek Perek, Preman, Paedofil, Agen/Bos/Abang, Kelompok marginal Paedofil, lainnya. Kelompok marginal Keluarga lainnya Kelompok sebaya LINGKUNGAN Sekolah JALANAN Masyarakat Anak Jalanan Otoritas jalanan / Public spaces Kepolisian Trantib LSM Faktor-faktor pengaruh : 1. Kategori anak jalanan 2. Kesamaan asal daerah, jenis pekerjaan, nasib 3. Hubungan sosial 4. Nilai & norma jalanan 5. Persaingan 6. Peluang ekonomi 7. Krisis ekonomi Gambar 1 : Anak Jalanan Dalam Situasi Sosial dan Pola Hubungan Sosial Sumber : Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999). MASYARAKAT LUAS Kelompok sebaya, teman- Teman-teman, kenalan, Kenalan, atau lingkungan Preman, Agen/Bos/Abang, dekat Perek, Paedofil, Kelompok Keluarga marginal lainnya. Anak Sekolah Pemerintah Masyarakat Pengadilan Kepolisian LSM/Orsos Faktor yang mempengaruhi : 1. Lingkungan social 2. Relasi-relasi 3. Norma dan nilai masyarakat 4. Lingkungan tetangga 5. Lingkungan keluarga 6. Resesi ekonomi 7. Kemiskinan 8. Pasar kerja Gambar 2 : Anak Dalam Lingkungan Sosial Sumber : Francois Doamekpor, Dokumen Proyek UNDP-Depsos (1999).

60 42 Setting yang lebih khusus dari lingkungan jalanan adalah kehidupan kaum marginal. Jalanan adalah ruang yang terbuka, dimana siapapun bisa masuk dan mengadu nasib. Jenis-jenis pekerjaan di jalanan tidak membutuhkan persyaratan formal, kecuali kondisi fisik yang kuat, keberanian, dan modal usaha yang tidak banyak. Karena bersifat terbuka dan longgar terhadap norma sosial, maka ragam pekerjaan mereka bervariasi baik positif maupun negatif. Pemulung, pengamen, dan pengasong tergolong positif, yang negatif adalah pemalak, penodong, pemeras, preman dan pelacur jalanan. Anak jalanan dengan kemampuan yang terbatas, sulit membedakan antara positif dan negatif, sehingga ada beberapa perilaku yang terinternalisasi dalam pola perilaku mereka yang juga didorong untuk survival. Kaum marginal juga menjadi situasi tandingan bagi anak jalanan sehingga meskipun ada tekanan dari pemegang otoritas jalanan, mereka selalu mendapat tempat dimana keberadaan mereka dapat diterima dan seolah-olah mengesahkan sikap dan nilai-nilai yang dianutnya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Lebih spesifik dari kaum marginal adalah kehidupan kelompok sebaya diantara anak-anak jalanan. Rata-rata anak jalanan hidup dalam suatu kelompok yang terbentuk karena kesamaan asal daerah, kesamaan jenis pekerjaan, kesamaan nasib, kesamaan kesenangan, dan sebagainya. Dalam kelompoknya, mereka mengembangkan cara / strategi agar dapat terus hidup di jalanan, mampu bersaing, dan menguasai wilayah pekerjaan. Tidak jarang mereka menciptakan suatu sub kultur yang diadopsi dari kultur jalanan, misalnya menggunakan antinganting, tato, menciptakan bahasa dan istilah sendiri, mencari ruang dan cara yang aman jika tidur seperti di atas pohon, dan sebagainya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Situasi sosial dan berbagai settingnya di atas bersifat dinamis dan rentan terhadap pengaruh luar. Krisis ekonomi misalnya mempengaruhi situasi di jalanan secara luar biasa. Jumlah kaum marginal dan anak-anak jalanan meningkat pesat padahal peluang ekonomi sempit. Persaingan memuncak, anak-anak harus memperpanjang waktu di jalanan untuk mempertahankan pendapatan, yang berarti memperpanjang resiko. Kejahatan jalanan meningkat, di mana anak jalanan bisa

61 43 menjadi korban atau sebagai pelaku, baik secara sendiri, berkelompok, atau diperalat preman. Situasi sosial anak jalanan secara tetap juga berkorelasi dengan faktor-faktor pengaruh lainnya seperti kategori anak jalanan, kesamaan asal daerah, jenis pekerjaan, dan nasib, hubungan sosial, nilai dan norma jalanan, persaingan, peluang ekonomi dan sebagainya (Departemen Sosial dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999). Dari kedua situasi sosial di atas terlihat, bahwa lingkungan pertama anak jalanan adalah kelompok sebayanya, dengan lingkungan keduanya adalah lingkungan yang justru secara dominan dapat menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak selanjutnya. Hal ini jelas terlihat berbeda dengan lingkungan anak pada umumnya, di mana keluarga sebagai lingkungan pertama bagi anak. Namun demikian, sejauhmana lingkungan pertama dan kedua akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang anak, perlu diteliti lebih lanjut. Tinjauan tentang Pemberdayaan Pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhan (Pranarka dan Moeljarto, 1996). Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata empowerment, memberi daya, memberi power (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat sebagai suatu sistem yang mampu mengorganisir dirinya. Senada dengan hal di atas Payne (1997) mengemukakan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan kekuatan (daya) untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya pemberian kesempatan, kewenangan dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan sesuai dengan profesi, peranan serta fungsinya.

62 44 Pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani, 2004). Berdasarkan pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/ kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi, sekaligus memilih alternatif pemecahan dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki. Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah individu, kelompok dan masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Makna "memperoleh" daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata "memperoleh" mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari individu, kelompok dan masyarakat itu sendiri. Makna kata "pemberian" menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari individu, kelompok dan masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya (Sulistiyani, 2004). Hal ini senada dengan sesuatu yang dikemukakan oleh Pranarka dan Moeljarto (1996) bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan : (1) proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada individu, kelompok dan masyarakat agar mereka lebih berdaya. (2) menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu,

63 45 kelompok dan masyarakat agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Kartasasmita (1995) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu : (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinan potensi individu, kelompok dan masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya/kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. (2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, baik iklim maupun suasananya. (3) Memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat. Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu, kelompok dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian individu, kelompok dan masyarakat merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lain yang bersifat fisik-material. Proses pemberdayaan tidak terjadi selamanya melainkan sampai target mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi (Sumodiningrat, 2000). Hal ini berarti pemberdayaan dilakukan melalui proses belajar hingga mencapai status mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi, dan kemampuan secara terus menerus supaya

64 46 tidak mengalami kemunduran. Pencapaian tujuan tersebut membutuhkan upaya dan kerja keras yang serius dari semua pihak sebagai pelaku pemberdayaan (stakeholders) yang berperan sebagai motivator, mediator dan fasilitator. Lima bentuk kemampuan yang dianggap sangat relevan dengan kualitas pelaku pemberdayaan (Tjokrowinoto, 2001) yaitu: (1) Kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada. (2) Kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi dan tujuan yang ingin dicapai. (3) Kemampuan mengidentifikasikan subjek-subjek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses pembangunan. (4) Kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin; dan (5) Kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri. Keterpaduan kelima kemampuan pelaku pemberdayaan (stakeholders) tersebut patut dijadikan rujukan atau pedoman oleh seluruh unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan pembangunan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat. Keberhasilan pelaku pemberdayaan (stakeholders) dalam memfasilitasi proses pemberdayaan juga dapat diwujudkan melalui peningkatan partisipasi aktif individu, kelompok dan masyarakat. Menurut Jamasy (2004), setidaknya ada tujuh syarat kemampuan umum yang harus dimiliki pelaku pemberdayaan (stakeholders) dan kesemuanya harus terefleksi dalam kegiatan yang dilakukan, yaitu : (1) Kemampuan untuk mempertahankan keadilan. (2) Kemampuan untuk mempertahankan kejujuran. (3) Kemampuan melakukan problem solving. (4) Kemampuan

65 47 mempertahankan misi (sense of mission atau mission driven profesionalism). (5) Kemampuan memfasilitasi. (6) Kemampuan menjual inovasi, social marketing (termasuk kemampuan melakukan asistensi dan promosi), dan (7) Kemampuan fasilitasi yang bertumpu kepada kekuatan individu, kelompok dan masyarakat sendiri (self-reliant development). Jenis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak Upaya peningkatan kesejahteraa sosial bagi anak semakin ramai dibicarakan. Pemerintah melalui Departemen Sosial bersama dengan instantsi terkait, LSM dan masyarakat bekerja bersama untuk dapat mewujudkannya. Namun pada kenyataannya (das sein) situasi dan kondisi kesejahteraan sosial anak masih belum selaras dengan apa yang dicita-citakan (das sollen), kesejahteraan sosial anak jalanan. Keadaan ini memerlukan penanganan sehingga kuantitas dan kualitas kesejahteraan sosial anak dapat lebih ditingkatkan. Upaya penanganan terutama difokuskan pada permasalahan yang secara umum menghinggapi anak-anak yaitu Perlakuan Salah Terhadap Anak (PSTA) / child abuse yang juga termasuk di dalamnya penelantaran anak (child neglect), eksploitasi anak (child exploitation), penolakan terhadap anak (child rejection) dan perawatan/pengasuhan salah terhadap anak (child maltreatment). PSTA adalah perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, maupun orang-orang di luar keluarga yang ada di lingkungan sekitar anak. Dalam hal ini anak jalanan seringkali mengalami permasalahan secara komprehensif dan berkesinambungan sehingga menimbulkan luka batin yang relatif sulit untuk dapat disembuhkan. PSTA meliputi PSTA secara fisik (physical abused) secara psikis (mentally abused), secara seksual (sexually abused) dan secara sosial (social abused), yaitu : (1) PSTA secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas

66 48 gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar atau berpola seperti sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan di daerah paha, pipi, dada, perut, punggung, atau daerah bokong. Terjadinya PSTA secara fisik biasanya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orang tuanya. (2) PSTA secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan film, buku dan gambar pornografi pada anak. Anak yang mendapat perlakukan ini umumnya menunjukkan gejala-gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri pemalu, menangis bila didekati, takut keluar rumah, takut bertemu dan berhubungan dengan orang lain, dan lain-lain. (3) PSTA secara seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar, melalui kata-kata, sentuhan, gambar visual, maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa, seperti hubungan incest, perkosaan, eksploitasi seksual dan berbagai bentuk pelecehan seksual lainnya. (4) PSTA secara sosial meliputi dua bentuk, yaitu penelantaran anak (child neglect) dan eksploitasi anak (child exploitation), yaitu : (a) Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap pemenuhan kebutuhan dasar anak untuk kelangsungan hidup, proses tumbuh kembang dan perlindungan fisik, mental dan sosial anak. Misalnya : anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, tidak diberi pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak dan lain-lain. (b) Eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif dan atau perlakuan sewenangwenang terhadap anak yang dilakukan baik di dalam lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan keluarga. Salah satu bentuk eksploitasi anak adalah memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingankepentingan ekonomi, sosial maupun politik tanpa memperhatikan hakhak anak untuk mendapat perlindungan sesuai dengan kondisi, peran, dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk berperang, bekerja di pabrik-pabrik dengan upah rendah, bekerja di jalan atau fasilitas umum

67 49 lainnya tanpa memperhatikan keamanan, atau dipaksa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya, dan lain-lain. PSTA umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti : (1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa ; (2) Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, banyak anak ; (3) Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi ; (4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan cara mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistik, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir di luar nikah ; (5) Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi ; (6) Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah pula anak-anaknya. (7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil. Berdasarkan data yang dikumpulkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia/YKAI sampai Desember 1996 (Suharto, 1997), ditemukan 476 kasus PSTA dengan rata-rata pelaporan 39 kasus per bulan atau satu kasus setiap harinya. Dilihat dari umur korban terlihat bahwa kebanyakan kasus terjadi pada

68 50 anak berusia 0-13 tahun (63,26 persen). Berdasarklan jenis kelamin PSTA lebih sering terjadi pada anak perempuan (79,8 persen) dibandingkan anak laki-laki (20,2 persen). Pada akhir tahun 1996, PSTA secara seksual dilaporkan terjadi sebanyak 289 kasus dan 62,41 persen diantaranya terjadi pada gadis berusia 13 tahun ke bawah. Sejalan dengan perubahan sosial dewasa ini, selain kasus-kasus PSTA di atas terdapat pula masalah-masalah khusus yang dihadapi anak, seperti anak yang hidup di jalanan (street children) yang sangat boleh jadi muncul akibat PSTA dan juga rentan terhadap terjadinya PSTA, juga anak yang bekerja di sektor informal (working children), pekerja anak di sektor formal (child labour), prostitusi anak, pengangkatan anak, penculikan anak dan jual beli anak (child trafficing), anak tertular HIV AIDs, dan lain-lain. Menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (Suharto, 1997) kesulitan dalam mengungkapkan kasus-kasus PSTA dalam keluarga, terutama disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : (1) Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa hal tersebut adalah aib mereka sendiri dan memalukan bila diungkap secara umum ; (2) Anggapan bahwa tidak sepatutnya masyarakat mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri atau orang tua anak ; (3) Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda fisik pada tubuh anak yang mengalami PSTA sehingga sulit mengenali korban, terutama pada kasus PSTA secara seksual, sebab tidak ada tanda-tanda fisik yang jelas terlihat. (4) Belum memasyarakatnya sistem dan prosedur pelaporan dari polisi yang baku untuk menagani korban PSTA. Kasus PSTA dalam keluarga menunjukkan bahwa keluarga gagal dalam menjalankan fungsi-fungsinya terkait dengan pelaksaan peranan-peranan orang tua dalam keluarga. Kegagalan orang tua dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya terhadap anak ini menimbulkan hak substitusi atau hak ketiga yang disebut hak negara. Ini didasari asumsi bahwa negara dan bangsa sebagai suatu nation-state dibentuk atas dasar kontrak sosial antara berbagai kepentingan dan

69 51 kelompok masyarakat. Negara dalam konsepsi makro adalah sebuah masyarakat atau keluarga besar yang memiliki hak dan tanggung jawab seperti halnya keluarga dalam arti yang sebenarnya. Campur tangan negara dalam hak substitusi ini adalah untuk menjamin terpeliharanya kebutuhan dasar akan hak politik dan sosial masyarakat, termasuk pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan terutama bagi anak. Costin (1979) mengemukakan negara memiliki hak untuk mencampuri (mengganti) tanggung jawab orang tua yang bertindak sebagai pelindung terhadap anak-anak yang belum dewasa dengan menggunakan legitimasi hukum melalui pengadilan untuk merawat dan menyembuhkan anak-anak yang bermasalah secara lebih baik. Secara lebih baik mengandung arti bila orang tua tidak mampu melakukan peran dan tanggung jawabnya secara baik. Terkait dengan penjelasan di atas pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak secara umum yang ditawarkan, seyognyanya bersifat holistik-komprehensif, yakni menempatkan anak dalam konteks situasi total keluarga, masyarakat dan negara. Model holistik-komprehensif pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak secara umum ini, seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Model Holistik-Komprehensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak Pendekatan dan Sasaran Strategi Program Individual Anak (1) Child Based Services (2) Institutional Based Services Konseling, Perawatan Medis, Rehabilitasi Sosial, Pemisahan Sementara/Permanen Kelompok : Keluarga inti dan keluarga besar Msyarakat : Komunitas lokal Negara : Pemerintah Sumber : Suharto (1997). (3) Family Based Services (4) Community Based Services (5) Location Based Services (6) Half-way House Services (7)State Based Services Konseling Keluarga dan Perkawinan, terapi kelompok, Program UEP Pengembangan masyarakat, Terapi Sosial, Kampanye Sosial, Akasi Sosial, Rumah Singgah, Rumah Belajar Perumusan Kebujakan, Law Emforcement.

70 52 Berdasarkan model tersebut di atas, terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, yaitu : (1) Child Based Services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan. Anak yang mengalami luka-luka pisik dan psikis perlu segera diberikan pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan medis, konseling, atau dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya. (2) Institutional Based Services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam lembaga/panti. Pelayanan yang diberikan meliputi, fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan, dan pelatihan ketrampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya. (3) Family Based Services. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan. Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis dan sosial dalam menumbuhkembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak. Misalnya, melalui program Usaha Ekonomi Produktif (UEP), diterapkan pada keluarga yang mengalami masalah keuangan, terapi perkawinan diberikan pada keluarga yang mengalami permasalahan emosional dan sosial. (4) Community Based Services. Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang. (5) Location Based Servises. Pelayanan yang diberikan di lokasi anak yang mengalami masalah. Strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak yang bekerja di jalan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik

71 53 atau tempat-tempat dimana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang di disekitarnya sebagai fasilitas dan media pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di jalan, strategi ini sering disebut sebagai Street Based Services (Pelayanan Berbasiskan Jalanan) (Yohanes, 1996). (6) Half-way House Services. Strategi ini disebut juga strategi semi-panti yang lebih terbuka dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan sub kultur tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan pendampingan dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah. (7) State Based Services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and indirect services). Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan sosial dan perangkat hukum untuk perlindungan anak merupakan bentuk program dalam strategi ini. Jenis pelayanan kesejahteraan sosial lain bagi anak menurut Skidmore dan Thakeray (1982) diantaranya : (1) Perawatan pengganti untuk membantu perkembangan anak, terdiri dari : (a) Perawatan rumah pengganti, (b) Perawatan kelembagaan, (c) Perawatan non kelembagaan, (d) Gerakan-gerakan orang tua asuh ; 2) Kehidupan kelompok bagi anak ; dan 3) Pelayanan-pelayanan adopsi Dasar pemilihan strategi yang tepat sangat dipengaruhi oleh jenis masalah yang dihadapi oleh anak. Strategi pelayanan tersebut juga tidak selalu bersifat alternatif, melainkan dapat dilakukan secara terintegrasi dan simultan sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini penanganan permasalahan sosial (termasuk permasalahan sosial anak jalanan) tidak mungkin dapat hanya ditangani oleh disiplin ilmu pekerjaan sosial, tetapi harus melibatkan ilmu-ilmu lainnya (Compton dan Galaway, 1979). Termasuk ilmu penyuluhan pembangunan yang merupakan disiplin ilmu yang dibutuhkan hampir di semua bidang pelayanan yang mempunyai sasaran masyarakat.

72 54 Ilmu penyuluhan pembangunan terutama diperlukan dalam proses mengubah perilaku, khususnya pada proses penyadaran individu, kelompok atau masyarakat akan masalah, potensi, kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki (Rogers, 1983). Sedangkan pengertian penyuluhan (Mardikanto, 1992) dapat diartikan sebagai : (1) proses penyebar luasan informasi, (2) proses penerangan, (3) proses perubahan perilaku, (4) proses pendidikan, dan (5) proses rekayasa sosial. Di dalam pengertian penyuluhan tersebut terkandung unsur dan upaya penyadaran. Penyadaran disini bukanlah proses penyadaran yang hanya terjadi pada tahap awal tetapi proses penyadaran yang berlangsung selama penanganan masalah dilakukan, baik pada tahap awal, tahap pelaksanaan hingga tahap akhir. Semua tahapan membutuhkan proses penyadaran hingga tumbuh sikap dan perilaku untuk mau bertindak dan berbuat. Proses penyadaran dilakukan dengan menggunakan beberapa metode (Ashman, 1993 ; Mardikanto, 1992 ; Kartasapoetra, 1994 ; Sudjana, 1993) yaitu : (1) Personal Approach Method (Metode Pendekatan Perorangan) Dengan metode ini dilakukan hubungan atau pendekatan-pendekatan secara langsung pada/dengan sasaran. Biasanya dilakukan dengan cara berdialog langsung, anjang sana, surat menyurat, hubungan telephon dengan pihakpihak terkait. Metode ini sangat efektif, karena sasaran dapat secara langsung memahami maksud dan tujuan kegiatan. (2) Group Approach Method (Metode Pendekatan Kelompok) Pendekatan dilakukan terhadap kelompok sasaran, dimana sasaran diajak serta diarahkan secara berkelompok untuk suatu kegiatan yang tentunya lebih produktif atas dasar kerjasama dan komitmen. Pelaksanaanya dapat dilakukan dengan cara berdiskusi, saling tukar menukar pendapat dan pengalaman, dan lain-lain kegiatan yang sifatnya kelompok. Metode ini biasanya lebih berdaya dan berhasil guna untuk memudahkan proses kegiatan. Dapat pula dengan melakukan pendekatan terlebih dahulu pada tokoh kunci (gate keper).

73 55 (3) Mass Approach Method (Metode Pendekatan Massal/Umum) Dengan metode ini dilakukan pendekatan-pendekatan kepada sasaran secara umum atau massal. Dipandang dari segi penyampaian informasi metode ini baik, akan tetapi dipandang dari keberhasilannya adalah kurang efektif. Karena pada dasarnya hanya dapat menimbulkan tahap kesadaran dan tahap minat dari sasaran. Itupun kalau pendekatan-pendekatan dapat dilakukan dengan baik. Untuk memantapkan pada saat pelaksanaan di lapangan metode ini perlu dilanjutkan dengan metode-metode terdahulu (Group Approach Method dan Personal Approach Method) yang jumlah sasarannya lebih sedikit. Dapat dilakukan dengan media surat kabar, majalah/brosur, radio, televisi, film, slide dan media lainnya Van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan beberapa metode diantaranya : (1) Kewajiban atau pemaksaan, (2) Pertukaran, (3) Nasehat atau saran, (4) Mempengaruhi sikap dan pengetahuan secara terbuka, (5) Manipulasi, (6) Penyediaan sarana, (7) Pemberian Jasa, dan (8) Mengubah struktur sosial ekonomi. Pada prinsipnya penggunaan metode yang dikemukan van den Ban, dalam prakteknnya juga menggunakan ketiga pendekatan metode di atas. Penggunaan ketiga metode dapat berjalan sendiri-sendiri atau simultan antara ketiganya. Hasil Penelitian Terdahulu tentang Anak Jalanan Beberapa hasil penelitian tentang anak jalanan yang dilakukan oleh Departemen Sosial (1999), diantaranya : (1) Studi Masalah Sosial Anak Jalanan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang dilaksanakan pada tahun 1989/1990 kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial dengan Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa : a) Usia mulai anak menjadi anak jalanan berkisar antara 9-18 tahun dan masih mempunyai orang tua lengkap, namun sebagian besar tidak tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. b) Kegiatan ekonomi dilakukan di

74 56 persimpangan/perempatan jalan, pusat pertokoan/pasar, terminal/stasiun dan tempat rekresasi dengan berbagai jenis kegiatan di sektor informal. (2) Hasil penelitian Masalah Sosial Ketelantaran Anak Jalanan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bandung, Semarang dan Cirebon, yang dilaksanakan pada tahun 1993 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial bekerjasama dengan Laboratorium Antropologi Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengungkapkan/menyarankan : (a) Untuk mengurangi jumlah anak jalanan dan meningkatkan kemampuan anak dalam kapasitasnya sebagai potensi sumber daya manusia untuk Indonesia di masa yang akan datang, sebaiknya diberikan bantuan kepada anak jalanan dalam bentuk beasiswa mencakup biaya uang sekolah, uang alat, dan uang transport dan jajan. Dengan adanya beasiswa ini, maka pemerintah mempunyai alasan moral yang kuat untuk melarang anak bekerja sebagai anak jalanan. (b) Beasiswa diberikan kepada anak di rumah dan diserahkan kepada orang tua dengan disaksikan oleh anak yang bersangkutan serta pejabat kelurahan setempat. (c) Keluarga miskin, terutama keluarga dengan anak jalanan sebaiknya dibantu kehidupan ekonomi keluarganya dengan memberikan pinjaman modal uang, bimbingan keterampilan dalam menggunakan modal dan pengetahuan teknis, dan fasilitas-fasilitas untuk bekerja atau berdagang. Kesemuanya ini sebaiknya dijadikan sebagai sebuah proyek pengentasan kemiskinan yang sejalan dan mendukung program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. (d) Departemen Sosial dapat melakukan kegiatan penanggulangan anak jalanan secara kualitatif dengan menciptkan satuan tugas (satgas) dan memilih salah satu daerah penelitian untuk dijadikan proyek percontohan. Keberhasilan atau ketidakberhasilannya dapat dikaji untuk menciptakan model yang lebih sempurna dalam tindakan penanggulangan dengan biaya seminimal mungkin.

75 57 (e) Penelitian mengenai anak jalanan yang perantauan patut segera dilakukan untuk segera ditangani mengingat besarnya dampak kegiatan mereka dalam kehidupan di perkotaan, khususnya dampak terhadap kesejahteraan hidup anak jalanan dan terhadap citra bangsa Indonesia. (3) Penelitian Uji Coba Standar Penanganan Masalah Sosial Anak Jalanan yang Masih Punya Ikatan dengan Keluarga, dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun Mengungkapkan pola standar penanganan masalah sosial anak jalanan yang masih punya ikatan keluarga dengan titik masuk bimbingan/pelatihan keterampilan dan usaha ekonomi produktif teruji dapat mengendalikan kecenderungan sikap patologis/anti sosial serta mewujudkan kembali sikap normatif anak jalanan, dan kondisi siap untuk melakukan pemecahan masalah serta berperan dalam pengembangan dinamika kelompok. (4) Studi efektivitas Rumah Singgah dan Mobil Sahabat Anak/MSA dalam Pelayanan Anak Jalanan, yang dilaksanakan di daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Bandung pada tahun 1998, mengungkapkan bahwa : (a) Program pelayanan anak melalui rumah singgah pada dasarnya sudah dapat diterima masyarakat walaupun sebelumnya masyarakat di lingkungan rumah singgah menaruh curiga, bahkan menolak kehadiran rumah singgah. Dipandang efektif, yang ditunjukkan oleh adanya anak yang menetap, tinggal/singgah, dan datang secara rutin. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk pembinaan/konseling. Dari segi kuantitas dipandang tidak efektif pembinaan secara individual yang dilakukan oleh para pendamping karena harus mendampingi anak jalanan dengan ratio 1 : 175 anak. (b) Program Mobil Sahabat Anak dengan hasil penelitian sebagai berikut : ada keterbatasan jangkauan karena mobil yang beroperasi hanya satu buah di setiap propinsi sedangkan wilayah penyebaran anak jalanan cukup luas, ditambah dengan biaya operasional yang cukup besar, sehingga frekuensi kehadiran di kantong-kantong masalah rendah dan kurang diketahui baik oleh anak jalanan maupun oleh masyarakat.

76 58 (5) Penelitian Tentang Profil Anak Jalanan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dilaksanakan pada tahun 1998, mengungkapkan : (a) Sebagian besar anak jalanan masih tergolong usia sekolah, namun demikian kondisi ekonomi keluarga anak jalanan tidak kondusif untuk menunjang perkembangan baik fisik, mental, maupun sosial secara wajar, sehingga tidak jarang anak jalanan tereksploitasi untuk membantu ekonomi keluarga. Karenanya untuk menunjang keberhasilan pelayanan kepada anak jalanan seyogyanya ditunjang dengan program pemberdayaan bagi orang tua anak jalanan, yang pada tahap awal diprioritaskan pada orang tua anak jalanan yang anaknya masih berkeinginan untuk melanjutkan sekolah. (b) Secara umum aspirasi anak jalanan untuk memperoleh masa depan yang lebih baik dapat digolongkan menjadi dua besaran yaitu peningkatan sumber daya manusia melalui sekolah dan pembekalan keterampilan yang ditunjukkan dengan adanya keinginan mempunyai modal usaha. Dengan demikian pelayanan anak jalanan disesuaikan dengan aspirasi tersebut, dengan cara menumbuh kembangkan peran masyarakat dan instansi terkait baik pemerintah maupun LSM secara sinergis sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban. (c) Untuk pembinaan yang mempunyai misi sebagai penyiapan anak untuk meraih masa depan dilakukan dengan anjuran menabung, pelatihan keterampilan, usaha ekonomis produktif merujuk ke tempat kursus, penyaluran ke tempat kerja, pembinaan mental spiritual, penyuluhan dan bimbingan untuk mengikuti norma yang berlaku perlu terus dikembangkan. Anak-anak terus didorong dan diarahkan menjadi wirausaha dan diberikan petunjuk tentang resiko dan dampak negatif menjadi anak jalanan. (6) Pemetaan Profil Anak Jalanan dan Orang Tuanya, yang dilaksanakan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Bandung, Semarang, Daerah Istimewa Yoyakarta, Surakarta, Surabaya dan Malang pada awal tahun Hasil

77 59 penelitian mengembangkan model dualistik upaya penanganan anak jalanan, yaitu : (a) Dualitik pertama, upaya penyelamatan dan pemberdayaan bagi anak jalanan diberikan dalam bentuk pemberian bantuan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, bantuan beasiswa bagi anak yang masih sekolah dan yang putus sekolah, bantuan pelatihan keterampilan kerja, praktek kerja (sesuai dengan minat dan bakat anak yang bersangkutan), dan peluang kerja atau kerja mandiri bagi yang telah mencapai usia kerja. (b) Dualistik kedua, upaya penyelamatan dan pemberdayaan bagi para orang tua anak jalanan. Karena sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal, maka bantuan modal dan bimbingan usaha berkelompok dapat dipertimbangkan. Bagi mereka yang menganggur akibat Pemutusan Hubungan Kerja berbagai upaya penyelamatan dan pemberdayaan dapat ditawarkan sesuai dengan minat, bakat dan keterampilan masing-masing, sebaiknya juga dalam kelompok kecil, karena tempat tinggal mereka berdekatan atau dalam satu komunitas. Hal ini perlu karena ternyata sumber permasalahannya adalah keterpurukan kehidupan orang tuanya. Hasil penelitian Tjahjorini (2001) tentang Persepsi Anak Jalanan terhadap Bimbingan Sosial di Rumah Singgah yang mendapat dana bantuan dari pemerintah dengan yang tidak mendapat dana bantuan dari pemerintah di Kotamadya Bandung, mengungkapkan : (1) Terdapat dua faktor yang berbeda secara nyata di kedua jenis rumah singgah, yaitu yang berkaitan dengan type kepribadian pembina rumah singgah khususnya kemauan berkorban dan kemampuan berkomunikassi, sedang type kepribadian lain yaitu penuh perhatian, penuh motivasi, memberi contoh, dinamis, tangguh dan hubungan informal cenderung tidak berbeda nyata ada di kedua jenis rumah singgah. (2) Persepsi anak jalanan di kedua jenis rumah singgah terhadap bimbingan sosial (pembinaan fisik, pembinaan mental, pembinaan sosial dan pembinaan keterampilan) cenderung tidak berbeda nyata dan berada pada persepsi yang tidak baik. Namun terdapat pembinaan yang dirasa paling penting yaitu

78 60 pembinaan mental dan yang paling dipahami yaitu pembinaan keterampilan, sedangkan yang paling tidak dianggap penting dan tidak dipahami yaitu pembinaan fisik di kedua jenis rumah singgah. Berdasar hasil penelitian Sulistiati (2001) di Yayasan Bahtera Bandung dikembangkan Model Pendekatan Terpadu Untuk Memecahkan Masalah Anak Rawan, anak rawan disini adalah anak jalanan. Model yang dilakukan adalah dengan PIPS (Pendekatan Ilmu Pengetahuan Sosial) yaitu memberikan materi/mata pelajaran tertentu serta pemberian Modul Literasi yang dibagi dalam beberapa siklus, yaitu : (1) Siklus I Pendekatan PIPS bagi anak di jalan (Street Based Approach) materi PIPS dengan beberapa Modul Literasi Tahap I dan II meliputi : a) Penyadaran akan hak-hak anak, b) Penyadaran akan hak-haknya sebagai warga negara, identitas diri dan nasional, c) Penyadaran akan perlunya kerjasama dan tolong menolong, d) Penyadaran akan perlunya menghargai waktu/disiplin diri, e) Penyadaran akan perlunya cita-cita, f) Penyadaran akan perlunya agama, g) Penyadaran perlunya belajar, h) Penyadaran perlunya merubah nasib, i) Penyadaran perlunya memiliki keterampilan. (2) Siklus II Pendekatan PIPS bagi keluarga dan teman sebaya (Family-Peer Groups Approach) dengan materi Modul Literasi Tahap I dan II serta PIPS : Agama, PPKN, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi. (3) Siklus III Pendekatan PIPS kepada masyarakat, LSM, dan Keluarga Asuh (Community Shelter Based-Child Approach) dengan materi Modul Literasi Tahap I dan II serta PIPS : Agama, PPKN, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi. (4) Siklus IV Pendekatan PIPS kepada Pemerintah/Negara (Goverment Approach) dengan materi hasil pelaksanaan program ujicoba Siklus I-III, Modul Literasi (Tahap I dan II) serta PIPS : Agama, PPKN, Sejarah, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi. Hasil penelitian lain di kelurahan Cibangkong Kota Bandung Penanganan Masalah Anak Jalanan berbasis Komunitas (Rahmawati, 2005) mengungkapkan bahwa :

79 61 (1) Program penanggulanagan anak jalanan yang berasal dari pemerintah masih bersifat top down dan hanya mengejar pemenuhan target proyek/kegiatan, masyarakat tidak dilibatkan dalam kegiatan apalagi dalam pembuatan rencana kegiatan. (2) Peran-peran program pengembangan masyarakat masih pada tahap penanganan masalah pada satu segmen/bagian, belum menyeluruh dan tidak berkesinambungan. Penetapan program masih dilihat dari kebutuhan pengelola program dan bukan pada sudut pandang subyek. Terkait dengan hasil penelitian di atas diperlukan suatu pendekatan/ strategi/model pengentasan anak jalanan yang bersifat bottom up atau hybrid yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan di satu sisi serta dapat memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan. Di sisi lain pendekatan/ strategi/model juga bersifat komprehensif dan berkesinambungan dan tidak hanya menyentuh ranah kognitif, afektif atau psikomotorik semata dan mengabaikan pengaruh sistem sosial yang ada di sekitar anak jalanan. Diharapkan dengan pendekatan yang sifatnya komprehensif dan berkesinambungan, harkat dan martabat anak jalanan sebagai manusia (human dignity) dapat dikembalikan, sehingga mereka dapat keluar dari jalanan karena kesadarannya sendiri dan sekaligus menyadari bahwa jalanan bukan satu-satunya solusi untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi.

80 62 KERANGKA BERPIKIR Kerangka Berpikir Anak jalanan sebagai individu memiliki sistem nilai, perilaku dan sikap tertentu yang berbeda dari sebagian besar anak pada umumnya, ini terkait dengan sifat individu yang unik. Di sisi lain, ia juga memiliki sifat sebagai mahluk sosial yang membutuhkan dan hidup di antara dan bersama orang-orang lain yang berpengaruh pada perilakunya. Secara umum, dapat dikatakan bahwa perilaku seseorang termasuk anak jalanan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang ada padanya. Gambaran situasi dan kondisi dari suatu obyek tertentu dalam hal ini obyeknya adalah anak jalanan, terkait dengan faktor internal dan eksternalnya inilah merupakan profil. Upaya menggambarkan individu sebagai obyek terkait dengan faktor internal dan eksternalnya ini, tidak terlepas dari sistem tempat individu tersebut berada. Termasuk individu anak jalanan, tidak terlepas dari sistem sebagai suatu kesatuan tempat anak jalanan tersebut berada. Hal ini disebabkan individu adalah bagian dari sistem, yang antara satu sub sistem dengan sub sistem lainnya saling berhubungan secara timbal balik. Terkait dengan hal di atas Achlis (1995) mengemukakan sistem sosial mencakup kesatuan-kesatuan yang saling berinteraksi, masing-masing kesatuan memiliki bagian-bagian dan setiap kesatuan adalah bagian dari kesatuan-kesatuan yang lebih besar. Lebih lanjut dijelaskan Achlis (1995) bahwa suatu sistem merupakan suatu kompleks yang terdiri dari unsur-unsur atau komponenkomponen yang secara langsung ataupun tak langsung berkaitan sehingga membentuk jaringan kerja yang nyata dan relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini sistem tidak pernah berada dalam kondisi yang benar-benar berubah ataupun sama sekali stabil. Sistem pada setiap saat selalu berubah dan sekaligus juga stabil (menjaga kestabilan). Sistem kehidupan mempunyai dua

81 63 kecenderungan yaitu kecenderungan memelihara struktur (morphostatis) dan kecenderungan mengubah struktur (morphogenesis) sekaligus. Jika sistem mencapai salah satu kutub berarti eksistesinya lenyap. Namun sistem bisa bergerak antara keduanya, dan mungkin cenderung mendekati salah satu dari kedua kutub, atau berada pada kondisi steady state yang merupakan suatu keadaan dimana keseluruhan dari sistem berada dalam keseimbangan (balance). Atau pada kondisi equilibrium dan homeostatis yang mengacu pada keseimbangan yang mantap (fixed) dimana penyesuaian dipelihara dan struktur sistem dapat dikatakan tidak berubah secara berarti. Manakala terjadi ketidakseimbangan dari sub sistem dalam sistem, maka akan terjadi upaya penyesuaian dari sub sistem lain untuk menyeimbangkannya. Hal ini terkait dengan anggapan dasar teori fungsional struktural dan skema AGIL dari Parsons. Apabila upaya menyeimbangkan tidak berhasil, maka akan mengakibatkan munculnya perilaku yang menyimpang (deviant behavior) yang cenderung tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, dan mengarah pada terjadinya social pathology (Popenoe, 1989). Demikian pula yang terjadi pada sistem kehidupan anak jalanan, perilaku menyimpang lebih merupakan upaya penyesuaian anak (ego defence mechanism) untuk dapat memenuhi kebutuhankebutuhannya dan mempertahankan diri dari kerasnya kehidupan di jalanan. Hal tersebut disebabkan tiap sub sistem yang ada dalam sistem berupaya saling menyesuaikan (adaptation) untuk mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhannya (goal attainment), dan saling berhubungan (integration) antar bagian sebagai satu kesatuan, serta berupaya memelihara pola yang telah dibentuknya (latensi). Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, mereka melakukan penyesuaian dengan lingkungan jalanan, termasuk melakukan upaya pemeliharaan terhadap pola yang telah dibentuk dalam kelompoknya dan menjadi sub kultur tersendiri yang tidak terlepas dari kultur yang ada di lingkungan sekitarnya. Pernyataan di atas memperlihatkan bahwa selain faktor bawaan (herediter) atau faktor pribadi individu bersangkutan, ada faktor di luar individu termasuk faktor keluarga dan lingkungan yang penting pula dipahami pengaruhnya.

82 64 Termasuk pengaruhnya terhadap diri individu anak jalanan yang mewakili pihak/individu dalam masyarakat yang kurang beruntung, yang biasa disebut Penyandang Masalah Sosial (PMS). Berkaitan dengan kondisi tersebut dapat digambarkan hal yang terkait dengan upaya memahami profil anak jalanan dalam kaitannya dengan beberapa peubah seperti disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Tingkat Kebutuhan Anjal Perilaku Anjal Aktivitas Sosial Ekonomi Anjal Pola Hubungan Dalam Kelompok Karakteristik Anjal (Individu, Psikologik, dan Sosiologik) Tingkat Mobilitas Anjal Profil Anak Jalanan Tingkat Kreativitas Anjal Tingkat Motivasi Tingkat Kemandirian Anjal Pola Hubungan dgn Lingkungan Situasi Sosial Anjal Sub Kultur Anjal Pola Hubungan dengan Keluarga Gambar 3. Profil Anak Jalanan (Anjal) Kaitannya dengan Beberapa Peubah Dari Gambar 3 terlihat bahwa upaya memahami anak jalanan merupakan sesuatu yang komplek. Hal ini disebabkan selain sebagai individu yang unik, anak jalanan juga merupakan mahluk sosial yang keberadaannya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Terkait dengan keberadaannya itulah menjadi hal penting untuk digali lebih dalam tentang bagaimana profil anak jalanan dan beberapa peubah yang berpengaruh terhadap profil tersebut.

83 Gambar 4. Profil Anak Jalanan Kaitannya dengan Beberapa Peubah 65

84 66 Upaya mengetahui bagaimana profil anak jalanan pengaruhnya terhadap beberaba peubah menjadi penting mengingat situasi dan kondisi tidak muncul dengan sendirinya, terlepas tanpa ada kaitan dengan lingkungannya. Demikian pula yang terjadi dalam kehidupan anak jalanan. Situasi dan kondisinya saat ini tidak terlepas dari hal-hal yang melatarbelakangi kemunculannya, yang sekaligus menyebabkan situasi dan kondisi tertentu sebagai akibat. Gambar 4 memperlihatkan situasi dan kondisi anak jalanan terkait dengan ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologiknya, yang tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang mendorong kemunculan ciri-ciri tersebut. Selanjutnya, situasi dan kondisi tersebut mengakibatkan munculnya perilaku tertentu yang membedakan anak jalanan dengan anak lainnya secara umum. Identifikasi Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan Latar belakang keluarga anak jalanan memperlihatkan kondisi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan diperoleh anak secara umum, seperti disajikan pada Tabel 4. Baik yang terkait dengan kondisi fisik keluarga, maupun non fisik terkait dengan aspek : perlakuan terhadap anak, pendidikan orang tua, pelaksanaan fungsi keluarga, dan profesi/pekerjaan orang tua. Identifikasi Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan Latar belakang lingkungan di sekitar anak jalanan pada dasarnya rata-rata tidak sesuai dengan situasi serta kondisi yang diharapkan ada dan dapat mendukung proses tumbuh kembang anak, seperti terlihat pada Tabel 5.

85 67 Kondisi Fisik Keluarga Tabel 4. Identifikasi Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan Sub Peubah Saat ini Yang diharapkan -Kumuh/daerah slum yang padat -Rumah tanpa ventilasi dan sanitasi lingkungan yang buruk, MCK tidak hygienis, tempat bermain tidak tersedia/sempit Perlakuan terhadap anak Pendidikan Orang Tua -Kesadaran anak menolong orang tua dan dirinya dengan bekerja di jalanan -Anak di suruh bekerja dengan kewajiban menyerahkan hasilnya pada orang tua, jika tidak dapat hukuman (child abuse) Tidak memiliki dasar pendidikan yang cukup -Meski padat tetapi tertata serasi -Rumah dengan ventilasi dan sanitasi lingkungan yang baik, MCK hygienis, tempat bermain tersedia dengan baik, memanfaatkan sumber daya secara tepat -Anak hidup di keluarga yang harmonis dan orang tua memenuhi kebutuhan-kebutuhannya -Anak belajar mempersiapkan kondisi dalam lingkungan keluarga -Anak membantu orang tua untuk pekerjaan domestik Memiliki dasar pendidikan cukup Pelaksanaan Fungsi Keluarga Pola Hubungan dengan Keluarga Profesi/Pekerjaan Orang Tua Orang tua tidak dapat laksanakan fungsi keluarga, baik fungsi reproduksi, ekonomi, pengawasan/perlindungan, pendidikan/sosialisasi dengan baik dan seimbang -Anak putus hubungan dengan orang tua (Children of the Street) -Anak berhubungan tidak teratur (Children on the Street) -Anak rentan menjadi anak jalanan (Vulnerable to be Street Children) -Serabutan/sekenanya -Tetap, tetapi tidak didukung ke-ahlian/kemampuan Orang tua dapat melaksanakan fungsi keluarga, dengan baik dan seimbang Anak hidup dalam keluarga dengan hubungan yang dilakukan setiap hari secara harmonis, serta menjalankan tugas utamanya sebagai anak yaitu sekolah, memperoleh pendidikan yang layak dan mampu belajar sambil membantu orang tua -Jelas dan tersalur (punya keahlian) -Tetap dan didukung oleh keahlian/ kemampuan

86 68 Tabel 5. Identifikasi Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan Sub Peubah Saat ini Yang diharapkan Pendidikan Non Formal yang diberikan lingkungan Tidak ada aktifitas memperoleh ilmu/pendidikan yang dilakukan lingkungan di luar sekolah Ada aktifitas memperoleh suatu ilmu/pendidikan yang dilakukan lingkungan di luar sekolah Kondisi Fisik Lingkungan -Di jalanan dan fasilitas umum lain dengan tingkat polusi yang tinggi, dan kemacetan yang tinggi -Rentan terhadap bahaya fisik (kecelakaan, eksploitasi, penindasan) Penerapan Sanksi Tidak ada tindakan atau sanksi yang diberikan serta tidak ada upaya untuk hindari terjadinya pelanggaran dari lingkungan di sekitar anak jalanan terhadap pelanggaran yang dilakukan Penanaman Nilai dan Norma Masyarakat Situasi Lingkungan -Tidak ada upaya memelihara pola perilaku, tidak ada aturan, ketentuan serta halhal yang dipandang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan secara umum di lingkungan sekitar anak jalanan -Tidak ada keyakinan terhadap sesuatu yang dipandang tinggi/ bermutu Terancam, penuh konflik, kekerasan, tekanan dan adanya cap negatif (stigma) dari lingkungan -Di tempat yang tidak mengganggu ketertiban -Di tempat yang dapat melindungi secara fisik Tidak ada tindakan atau sanksi yang diberikan serta tidak ada upaya untuk hindari terjadinya pelanggaran dari lingkungan di sekitar anak jalanan terhadap pelanggaran yang dilakukan -Ada upaya memelihara pola perilaku, ada aturan, ketentuan serta hal-hal yang dipandang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan secara umum di lingkungan sekitar anak jalanan -Ada keyakinan terhadap sesuatu yang dipandang tinggi/ bermutu Terkendali, tidak terjadi konflik, kekerasan dan tekanan, juga tidak di cap negatif oleh lingkungan Identifikasi Ciri Anak Jalanan Ciri anak jalanan baik ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik pada dasarnya rata-rata tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang diharapkan ada pada anak secara umum, seperti terlihat pada Tabel 6.

87 69 Ciri Fisik Anak Jalanan Tabel 6. Identifikasi Ciri Anak Jalanan Peubah Saat ini Yang diharapkan Adanya ciri fisik anak jalanan terkait dengan jenis kelamin, pakaian, penampilan fisik, penyakit yang diderita dan umur, yang cenderung berbeda dari anak pada umumnya Ciri Psikologik Anak Jalanan Ciri Sosiologik Anak Jalanan Adanya ciri psikologik anak jalanan terkait dengan kapan umur pertama anak turun ke jalan, mobilitas mental, motivasi berada di jalan, pengalaman jadi anak jalanan, pola pikir (mind set), riwayat jadi anak jalanan, tingkat kreativitas, dan tingkat kebutuhan yang cenderung berbeda dari anak pada umumnya Adanya ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan aktivitas sosial ekonomi, asal daerah, bahasa, interaksi, jaringan, kelompok anak jalanan, mobilitas fisik, pendidikan formal, pendidikan non formal, dan sub kultur yang cenderung berbeda dari anak pada umumnya Anak jalanan memiliki ciri fisik seperti anak pada umumnya Anak jalanan memiliki ciri psikologik seperti anak pada umumnya Anak jalanan memiliki ciri sosiologik seperti anak pada umumnya Identifikasi Perilaku Anak Jalanan Anak jalanan umumnya memperlihatkan perilaku-perilaku tertentu baik yang normal maupun abnormal, seperti terlihat pada Tabel 7. Kemunculan perilaku-perilaku tersebut dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar anak jalanan berada. Tabel 7. Identifikasi Perilaku Anak Jalanan Sub Peubah Saat ini Yang diharapkan Perilaku Normal Adanya perilaku-perilaku yang Tetap dipertahanlan bahkan normal seperti berani menanggung ditingkatkan perilaku-perilaku resiko, mandiri, semangat hidup dan sensitifitas yang cenderung berbeda dari anak pada umumnya normal yang dimiliki, termasuk saat anak jalanan keluar dari jalanan di masa mendatang Perilaku Abnormal Adanya perilaku-perilaku yang abnormal seperti bebas, liar, masa bodoh, penuh curiga, reaktif, dan susah diatur yang cenderung berbeda dari anak pada umumnya Hilangnya perilaku abnormal dari anak jalanan dan berubah menjadi perilaku normal lawannya. Sumber : Secara keseluruhan situasi dan kondisi saat ini, Departemen Sosial kerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia(1999).

88 70 Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan penelitian disusun hipotesis penelitian sebagai berikut : (1) Terdapat profil anak jalanan yang nyata berbeda dilihat dari Daerah Penelitian (Bandung, Bogor, dan Jakarta) serta dari Jenis Kelamin terkait dengan peubah: Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkungan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, Ciri Sosiologik dan Perilaku Anak Jalanan. Model hipotesis disajikan pada Gambar 5, diuji dengan menggunakan Uji ANOVA. Daerah Penelitian Bandung Bogor DKI Jakarta Jenis Kelamin Pria Wanita X1. Latar Belakang Keluarga X2. Latar Belakang Lingkungan X3. Ciri Individu Anak Jalanan X4. Ciri Psikologik Anak Jalanan X5. Ciri Sosiologik Anak Jalanan Y1. Perilaku Anak Jalanan Gambar 5. Model Hipotesis Kesatu (2) Terdapat pengaruh yang nyata peubah bebas latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik terhadap peubah terikat perilaku anak jalanan. Adapun model hipotesis disajikan pada Gambar 6, yang diuji dengan menggunakan analisis jalur (path analysis). X3. Ciri Individu Anjal X1.Latar Belakang Keluarga X2.Latar BelakangLingkungan X4. Ciri Psikologik Anjal X5. Ciri Sosiologik Anjal Y1. Perilaku Anak jalanan Gambar 6. Model Hipotesis Kedua

89 71 (3) Terdapat strategi pengentasan anak jalanan berdasarkan hasil penelitian yang diuji dengan menggunakaan persamaan model stuktural (Structural Equation Modeling/SEM). Asumsi Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini adalah anak jalanan dan keluarganya sebagai bahan cross-check terhadap data yang diperoleh dari anak jalanan. Diasumsikan anak jalanan yang diteliti adalah anak jalanan yang berada di jalanan dan fasilitas umum lainnya, tanpa melihat apakah ia sedang dalam pembinaan salah satu lembaga. Baik anak jalanan yang hidup di jalanan atau Children of the Street, anak jalanan yang bekerja di jalanan atau Children on the Street atau anak yang rentan menjadi anak jalanan atau Vulnerable to be Street Children/ children-at-high-risk. Adapun keluarga anak jalanan adalah keluarga yang memiliki anak yang hidup dan atau bekerja di jalan atau di tempat-tempat umum lainnya serta menjadi responden penelitian.

90 72 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif. Secara harfiah metode deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan menjelaskan dengan benar mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini merupakan interpretasi terhadap berbagai data yang telah ada dan yang secara sengaja dikumpulkan. Dalam penelitian deskriptif dipelajari masalah-masalah serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat, serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta prosesproses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 1985). Menurut Nawawi (1998), metode deskriptif merupakan langkah melakukan representasi obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diselidiki. Lebih lanjut Nawawi (1998) menjelaskan ciri pokok metode deskriptif adalah : (1) Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual. (2) Menggambarkan fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang adequate. Adapun bentuk metode deskritif yang digunakan (Nawawi, 1998) adalah Studi Hubungan (Interrelationship Studies) khususnya Studi Sebab Akibat dan Perbandingan (Causal-Comparative Studies). Dalam studi ini dilakukan usaha untuk memahami alasan suatu gejala terjadi atau mencari sebabnya suatu peristiwa, keadaan atau situasi berlangsung. Pada dasarnya metode ini bermaksud menemukan hubungan sebab akibat di dalam suatu peristiwa atau keadaan yang sedang atau sudah berlangsung (Nawawi, 1998). Alasan dipilihnya metode Deskriptif Interrelationship Causal- Comparative Studies penelitian ini adalah sifat dari penelitian yang bermaksud mengetahui dan menggambarkan profil anak jalanan serta keterkaitannya dengan

91 73 beberapa peubah yang mempengaruhinya. Sekaligus juga melihat perbedaan di antara berbagai peubah. Lokasi dan Waktu Penelitian Waktu penelitian dilakukan selama 6 bulan, di mulai sejak bulan Februari 2006 sampai Juli Penelitian dilakukan di Bandung, Bogor dan Jakarta, dengan masing-masing mewakili Daerah Provinsi, Daerah Penyangga Ibu Kota dan Daerah Khusus Ibu Kota yang merupakan daerah metropolitan. Asumsi yang mendasari penentuan lokasi penelitian : Jakarta merupakan Daerah Khusus Ibukota yang merupakan pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan, yang apabila permasalahan sosial anak jalanan di daerah ini tidak dapat teratasi dengan baik terlebih lagi di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan. Alasan di pilihnya wilayah Bogor, karena merupakan daerah Penyangga Ibukota Jakarta yang relatif memiliki jumlah anak jalanan terbanyak kedua setelah Bandung untuk Provinsi Jawa Barat (lampiran 5) yaitu untuk Kota Bogor sebesar orang dan Kabupaten Bogor sebesar 828 orang. Alasan dipilihnya wilayah Bandung, karena merupakan salah satu Ibukota Provinsi yang relatif dekat dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta memiliki jumlah anak jalanan terbanyak untuk Provinsi Jawa Barat, untuk Kota Bandung orang dan Kabupaten Bandung 802 orang. Masing-masing wilayah (Bandung, Bogor) relatif merupakan daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan yang apabila permasalahan sosial anak jalanan di wilayah ini tidak dapat teratasi dengan baik, maka diduga di daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan akan semakin sulit. Di samping itu adanya keterbatasan dana untuk melakukan penelitian di wilayah dengan cakupan yang lebih luas. Sampel Penelitian Populasi ialah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya diduga (Singarimbun dan Effendi, 1989). Dalam hal ini populasi sasaran atau populasi penelitian adalah seluruh anak jalanan yang ada di Bandung (± 5.500

92 74 orang), Bogor (± orang) dan Jakarta (± orang) yang terpilih secara kebetulan. Teknik pengambilan sampel dari populasi adalah teknik nonprobability sampling yakni penentuan jumlah atau ukuran sampel dilakukan secara perkiraan atau estimasi telah mencukupi untuk mewakili populasi atau dianggap cukup sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian (Nawawi, 1998). Khususnya teknik sampling aksidental (accidental sampling) yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan (Sugiyono, 1997 ; Nawawi, 1998) yaitu siapa saja anak jalanan yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti di wilayah penelitian dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang cocok sebagai sumber data. Sampel penelitian yang dijadikan responden pada masing-masing wilayah berjumlah 75 orang untuk anak jalanan, terbagi menjadi 50 orang responden pria dan 25 orang responden wanita. Dengan asumsi jumlah anak jalanan wanita secara empirik lebih sedikit dibandingkan jumlah anak jalanan pria berdasarkan data yang dimiliki Departemen Sosial (2005). Dalam hal ini pengambilan sampel dari populasi anak jalanan dilakukan tidak proporsional berdasarkan jumlah di masing-masing wilayah penelitian, dengan asumsi anak jalanan memiliki homogenitas yang relatif tinggi, sehingga sampel yang dipilih diperkirakan sudah dapat mewakili populasi. Total jumlah responden anak jalanan dari tiga wilayah menjadi 225 orang. Pengelompokkan responden anak jalanan untuk tiap daerah berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Responden Anak Jalanan Berdarkan Jenis Kelamin Kota Responden Pria Responden Wanita Total Responden Bandung Bogor Jakarta Jumlah

93 75 Dari Tabel 8 diambil orang tua responden sebagai bahan cross check untuk masing-masing kota 25 orang, sehingga jumlah total responden orang tua dari tiga wilayah adalah 75 orang. Pengelompokkan responden orang tua untuk masingmasing daerah disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Responden Orang Tua Anak Jalanan Kota Responden Orang Tua Anjal Bandung 25 Bogor 25 Jakarta 25 Jumlah 75 Total jumlah responden anak jalanan dan orang tua anak jalanan dalam penelitian ini adalah sebanyak 300 orang. Dalam hal ini penentuan jumlah responden tidak dilakukan berdasarkan persentase secara proporsional dengan melihat banyaknya populasi, disebabkan penyebaran anak jalanan yang sangat berfluktuasi antar daerah. Pengumpulan Data Untuk mengkaji profil anak jalanan, digunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan membuat secara tepat dan terinci semua pertanyaan dan urutan penyampaian pertanyaan (Wasistiono, 1999), dengan daftar pertanyaan yang dipersiapkan terlebih dahulu. Disamping menggunakan pedoman wawancara (interview guide) untuk mengumpulkan informasi yang tidak dapat dijaring dengan menggunakan cara pertama. Pengumpulan data juga dilakukan dengan cara Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion) untuk melihat dinamisasi kelompok anak jalanan. Dilakukan pula pengamatan terlibat (participant observation) sebagai pelengkap dan alat untuk mengecek data yang dihasilkan. Pengambilan data sekunder dimaksudkan untuk menunjang informasi yang dibutuhkan dalam penelitian sekaligus sebagai cheking terhadap data yang dihasilkan dari cara-cara di atas. Dilakukan melalui studi dokumentasi dan studi literatur.

94 76 Validitas dan Reliabilitas Validitas berkaitan dengan sejauhmana suatu alat pengukur dapat mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan Effendi, 1989 ; Nazir, 1985 ; Nawawi, 1998). Dalam hal ini penulis menggunakan validitas konstruk yaitu menguji alat ukur dengan cara mencari kerangka dari konsep, kemudian menyusun tolok ukur operasional konsep atas dasar pengetahuan ilmiah dimana isi kuesioner disesuaikan dengan konsep dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli dan melakukan konsultasi secara intensif dengan dosen pembimbing dan ilmuwan lain yang dianggap menguasai materi kuesioner yang digunakan. Uji coba alat ukur di lapangan dilakukan guna melihat konsistensi antar komponen yang satu dengan yang lainnya, sehingga tiap komponen konstruk yang memiliki validitas tetap dapat digunakan dan mengeluarkan komponen konstruk yang tidak memiliki validitas. Hasilnya terjadi saling keterkaitan antar indikator dalam konsep yang diukur. Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi, 1989 ; Nazir, 1985). Dalam hal ini uji reliabilitas yang digunakan adalah teknik belah dua dengan cara membelah pertanyaan ganjil dari yang genap kemudian menggabungkan seluruh item tanpa dibelah untuk peubah-peubah yang diukur. Hasil analisis menunjukkan angka korelasi sebesar untuk peubah X dan untuk peubah Y yang berarti instrumen memiliki keterandalan yang cukup tinggi. Alat Analisis Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji statistik non parametrik serta parametrik. Parametrik dengan menggunakan model analisis jalur (path analysis) sebagai metode guna mengkaji pengaruh-pengaruh langsung dan tak langsung dari variabel bebas terhadap sesama variabel bebas dan terhadap variabel terikat yang telah diduga atau diandaikan (Kerlinger, 1971). Lebih lanjut dijelaskan Kerlinger, untuk mencapai tujuan-tujuannya, analisis jalur menggunakan diagram kausal atau diagram jalur (path) serta analisis regresi.

95 77 Untuk mempermudah pengolahan data digunakan program SPSS. Model analisis jalur yang akan digunakan (Sugiyono, 1998) digambarkan seperti disajikan pada Gambar 7. X Y Y X Gambar 7. Model Analisis Jalur Disamping menggunakan model persamaan struktural (Srtuctural Equation Model). Menurut Ferdinand (2002), yang dimaksudkan dengan persamaan struktural/sem (Structural Equation Model) adalah sekumpulan teknik statistik yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan yang relatif rumit secara simultan. Hubungan rumit itu dapat dibangun antara satu peubah dependen dengan satu atau beberapa peubah independen. Masing-masing peubah dependen dan independen dapat berbentuk faktor (konstruk) yang dibangun dari beberapa peubah indikator. Penggunaan SEM bukan untuk menghasilkan teori, tetapi untuk menguji model yang mempunyai pijakan teori yang benar dan baik. Teknis analisis structural equation modeling (SEM) merupakan pendekatan terintegrasi antara analisis faktor, model struktural dan analisis Path. Di sisi lain SEM juga merupakan pendekatan yang terintegrasi antara analisis data dengan konstuksi konsep. Didalam SEM peneliti dapat melakukan tiga kegiatan secara serentak, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara dengan faktor analisis confirmatory), pengujian model hubungan antara peubah laten (setara dengan analisis Path), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prakiraan (setara dengan model struktural atau analisis regresi) menurut Solimun (2002). Software yang tersedia untuk menganalisis di antaranya LISREL dan AMOS.

96 78 Software yang digunakan untuk menganalisisi data dalam penelitian ini adalah LISREL. LISREL adalah satu-satunya program SEM yang tercanggih dan yang dapat mengestimasi berbagai masalah SEM yang bahkan hampir tidak mungkin dapat dilakukan oleh program lain, seperti AMOS, EQS dan lain sebainya. Di camping itu, LISREL merupakan program yang paling informatif dalam menyajikan hasil-hasil statistik, sehingga modifikasi model dan penyebab tidak fit atau buruknya suatu model dapat dengan mudah diketahui. Apabila model belum baik perlu diadakan modifikasi. Penggunaan indeks modifikasi adalah sebagai pedoman untuk melakukan modifikasi terhadap model yang diujikan dengan syarat harus terdapat justifikasi teoritis yang cukup kuat untuk modifikasi. Dalam hal ini tujuan penggunaan SEM adalah untuk menemukan apakah model masuk akal (plausible) atau fit. Pengertian fit adalah model dikatakan benar berdasarkan data yang dimiliki. Sekaligus SEM bertujuan menguji berbagai hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Definisi Operasional dan Pengukuran Skala pengukuran dibuat dengan menggunakan cara Semantic Differentiasi yang dikembangkan oleh Osgood (Vredenbregt, 1978 ; Sugiyono, 1998) yaitu suatu teknik untuk meneliti arti yang terkandung dalam suatu konsep, berusaha mengukur arti obyek atau konsep bagi seorang responden (Singarimbun dan Effendi, 1989). Vredenbergt (1978) menjelaskan teknik ini bersifat self-rating-scale, artinya responden menilai sejumlah konsep berdasarkan suatu skala yang terdiri dari ajektif-ejektif yang berkutub dua (bi-polar) seperti baik-jelek, tinggi-rendah, berperanan-tidak berperanan, fungsional-disfungsional, dan lain-lain. Ajektifajektif bi-polar kemudian dibagi ke dalam point yang berjalan dari positif sampai ke negatif. Cara ini dapat digunakan untuk mengukur tiga dimensi sikap (Singarimbun dan Effendi, 1989 ; Vredenbergt, 1978), yaitu : 1) Evaluasi responden tentang obyek atau konsep yang sedang diukur, 2) Persepsi responden

97 79 tentang potensi obyek atau konsep tersebut, 3) Persepsi responden tentang aktivitas obyek. Berdasarkan skala pengukuran dengan menggunakan cara Semantic Differentiasi yang dikembangkan Osgood yang berkutub dua (bi-polar), dibuat indikator-indikator untuk mengukur peubah dalam penelitian, seperti tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Definisi Operasional dan Pengukuran X1.1 Kondisi Fisik Keluarga X1.2 Perlakuan terhadap anak X1.3 Pendidikan Orang Tua X1.4 Pelaksanaan Fungsi No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor X1 Latar Suatu keadaan yang Belakang Keluarga menggambarkan situasi dan kondisi lingkungan terdekat di mana anak jalanan yang menjadi responden penelitian tinggal sejak lahir hingga pengukuran dilakukan dan menjadi bagian di dalamnya, meliputi : Keadaan yang nyata ada dan terlihat dalam lingkungan terdekat di mana anak jalanan tinggal. Salah satu alasan anak berada dan bekerja di jalanan, karena keinginan meringankan beban orang tua sampai karena adanya tekanan dan paksaan baik dengan kekerasan atau tanpa kekerasan dari orang tua. Jumlah tahun orang tua pernah memperoleh ilmu pengetahuan di sekolah umum. Sekumpulan perilaku yang merupakan gambaran dari peranan yang Diukur dengan melihat keadaan rumah dan sekitar rumah keluarga anak jalanan Diukur dengan melihat hal-hal yang dirasakan /dilakukan orang tua yang mendorong anak untuk turun ke jalanan Diukur dengan menghitung jumlah tahun orang tua mengikuti pendidikan di sekolah Diukur dengan melihat hal-hal yang dirasakan - Tertata serasi, ada ventilasi dan sanitasi lingkungan yang baik, MCK memiliki sendiri, tempat bermain tersedia dengan baik. - Meski padat tetapi tertata serasi, ada ventilasi dan sanitasi lingkungan yang agak baik, MCK memiliki sendiri tetapi kurang hygienis, tempat bermain tersedia tapi tidak memadai. - Rumah kumuh/penuh sesak/ padat tidak tertata rapi, tanpa ventilasi dan sanitasi lingkungan yang buruk, MCK tidak hygienis, tempat bermain tidak tersedia/ sempit. -Anak belajar mempersiapkan kondisi dalam lingkungan keluarga dan membantu orang tua untuk pekerjaan domestik -Kesadaran anak menolong orang tua dan dirinya dengan bekerja di jalanan -Anak di suruh bekerja dengan kewajiban menyerahkan hasilnya pada orang tua, bila tidak menyerahkan dapat hukuman (child abuse) - 10 tahun -Antara 7-9 tahun - 6 tahun pendidikan Fungsi Reproduksi -Orang tua bertanggung jawab terhadap keluarga agar tidak lakukan

98 80 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor X1.4 Pelaksanaan harus dimainkan terutama anak terkait hubungan seks di luar nikah Fungsi oleh orang tua, terka- it dengan kedudukannya dengan perilaku/peranan -Orang tua kadang bertanggung jawab terhadap keluarga agar tidak 2 Keluarga dalam rumah tangga yang dilakukan lakukan hubungan seks di luar orang tua dalam kehidup nikah -Orang tua tidak bertanggung jawab 3 an seharí- terhadap anggota keluarga untuk hari melakukan seks di luar nikah Fungsi Ekonomis -Orang tua mencari nafkah secara memadai -Orang tua kurang mampu penuhi kebutuhan anggota keluarga -Orang tua tidak memadai dalam mencari nafkah dan tergantung pada anggota keluarga -Orang tua membelanjakan penghasilan untuk penuhi kebutuhan keluarga,berorientasi pada penghematan dan saving investasi. -Orang tua kadang membelanjakan penghasilan untuk penuhi kebutuhan keluarga kadang berorientasi pada penghematan dan saving investasi. -Orang tua tidak belanjakan penghasilan untuk penuhi kebutuhan keluarga dan tidak berorientasi pada penghematan dan saving investasi. Fungsi Sosialisasi -Orang tua berikan bimbingan dan pendidikan informal pada anak -Orang tua kadang berikan bimbingan dan pendidikan informal pada anak -Orang tua tidak berikan bimbingan dan pendidikan informal pada anak -Orang tua fasilitasi pendidikan non formal -Orang tua kadang fasilitasi pendidikan non formal -Orang tua tidak fasilitasi pendidikan non formal -Orang tua fasilitasi pendidikan formal -Orang tua kadang fasilitasi pendidikan formal -Orang tua tidak fasilitasi pendidikan formal

99 81 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor -Orang tua memberi dorongan dan membangkitkan semangat anggota keluarga -Orang tua kadang memberi dorongan dan membangkitkan semangat anggota keluarga -Orang tua tidak memberi dorongan dan membangkitkan semangat anggota keluarga -Orang tua memberi teladan sesuai norma dan nilai yang berlaku -Orang tua kadang memberi teladan sesuai norma dan nilai yang berlaku -Orang tua tidak memberi teladan sesuai norma dan nilai berlaku -Orang tua menanamkan disiplin pada anggota keluarga -Orang tua kadang menanamkan disiplin pada anggota keluarga -Orang tua tidak menanamkan disiplin pada anggota keluarga Fungsi Perlindungan/Pengawasan -Orang tua melindungi dan mengawasi perilaku anggota keluarga -Orang tua kadang melindungi dan mengawasi perilaku anggota keluarga -Orang tua tidak melindungi dan mengawasi perilaku anggota keluarga -Orang tua menjaga anggota keluarga dari bahaya fisik dan non fisik -Orang tua kadang menjaga anggota keluarga dari bahaya fisik dan non fisik -Orang tua tidak menjaga anggota keluarga dari bahaya fisik dan non fisik -Orang tua memberikan perasaan aman dan damai berada di dalam lingkungan keluarga -Orang tua kadang memberikan perasaan aman dan damai berada di dalam lingkungan keluarga -Orang tua tidak memberikan perasaan aman dan damai berada di dalam lingkungan keluarga

100 82 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor X1.5 Pola Sesuatu terkait dengan Diukur dengan -Anak tinggal dengan orang tua, 1 Hubungan kebiasaan anak jalanan melihat jumlah sesekali bekerja/bermain di jalan dalam melakukan inter- dan mutu in- /Vulnerable to be Street Children) dengan aksinya dengan lingkungan teraksi yang -Anak berhubungan tidak teratur 2 Keluarga terdekat dimana dilakukan oleh dengan orang tua dan bekerja di anak tinggal. anak dengan jalan Children on the Street) orang tuanya -Anak putus hubungan dengan orang tua, hidup dan bekerja di jalanan 3 X1.6 Profesi/ pekerjaan orang tua X2 Latar Belakang Lingkungan X2.1 Pendidikan Non Formal yang diberikan lingkungan X2.2 Kondisi Fisik Lingkungan Suatu aktivitas yang biasa dilakukan oleh orang tua untuk memperoleh penghasilan guna menghidupi keluarganya. Suatu keadaan yang menggambarkan situasi dan kondisi yang berada di luar/di sekitar kehidupan anak jalanan, tetapi masih berhubungan dan anak jalanan yang bersangkutan menjadi bagian di dalamnya, meliputi : Aktivitas memperoleh ilmu atau pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dilakukan di luar sekolah dalam lingkungan masyarakat. Sesuatu yang secara nyata ada dan terlihat di luar diri dan keluarga anak jalanan. Diukur dengan melihat hal-hal yang dilakukan orang tua yang dapat menghasilkan uang/ materi untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya Diukur dengan menghitung jumlah hari dan kegiatan memperoleh ilmu yang diterima anak di luar sekolah dari lingkungan masyarakat Diukur dengan melihat hal-hal yang nyata ada di sekitar anak jalanan di luar lingkungan keluarganya /Children of the Street) -Jelas, tetap, tersalur dan didukung oleh keahlian/ kemampuan -Tetap, tetapi tidak didukung keahlian/kemampuan -Serabutan/sekenanya -Ada aktifitas memperoleh suatu ilmu yang dilakukan di luar sekolah -Kadang ada aktifitas memperoleh suatu ilmu yang dilakukan di luar sekolah -Tidak ada aktifitas memperoleh ilmu yang dilakukan di luar sekolah -Di jalanan dan fasilitas umum lain dengan tingkat polusi yang rendah, kemacetan yang rendah, dll -Di jalanan dan fasilitas umum lain dengan tingkat polusi yang sedang, kemacetan yang sedang, dll -Di jalanan dan fasilitas umum lain dengan tingkat polusi yang tinggi, kemacetan yang tinggi, dll Tidak rentan terhadap bahaya fisik (kecelakaan, eksploitasi, penindasan, dan lain-lain) -Kadang rentan terhadap bahaya fisik (kecelakaan, eksploitasi, penindasan, dan lain-lain) -Rentan terhadap bahaya fisik 1 2 3

101 83 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor -Ditempat yang tidak mengganggu ketertiban -Ditempat yang kadng mengganggu ketertiban -Ditempat yang mengganggu ketertiban X2.3 Penerapan Sanksi Sesuatu hukuman yang diberikan oleh masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota-anggotanya. Diukur dengan melihat tindakan-tindakan yang telah dilakukan masyarakat, atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh anggota-anggotanya -Di tempat yang dapat melindungi secara fisik -Di tempat yang kadang dapat melindungi secara fisik -Di tempat yang tidak dapat melindungi secara fisik -Ada tindakan atau sanksi yang diberikan lingkungan di sekitar anak jalanan karena pelanggaran yang dilakukan -Kadang ada tindakan atau sanksi yang diberikan lingkungan di sekitar anak jalanan karena pelanggaran yang dilakukan -Tidak ada tindakan atau sanksi yang diberikan lingkungan di sekitar anak jalanan karena pelanggaran yang dilakukan X2.4 Penanaman Nilai dan Norma Masyarakat Upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memelihara hal-hal yang dianggap pantas dan tidak pantas sebagai acuan berperilaku dalam kehidupan bersama. Diukur dengan melihat hal-hal yang dilakukan masyarakat untuk menegakkan disiplin berperilaku sebagai acuan pada para anggotanya -Ada upaya lingkungan di sekitar anak jalanan untuk hindari terjadinya pelanggaran -Kadang ada upaya lingkungan di sekitar anak jalanan untuk hindari terjadinya pelanggaran -Tidak ada upaya lingkungan di sekitar anak jalanan untuk hindari terjadinya pelanggaran -Ada aturan yang secara umum disepakati dan dipatuhi bersama di lingkungan sekitar anak jalanan -Kadang ada aturan yang secara umum disepakati dan dipatuhi bersama di lingkungan sekitar anak jalanan -Tidak ada aturan yang secara umum disepakati dan dipatuhi bersama di lingkungan sekitar anak jalanan Ada hal-hal yang dipandang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan secara umum -Kadang ada hal-hal yang dipandang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan secara umum -Tidak ada hal-hal yang dipandang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan secara umum 1 2 3

102 84 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor -Ada ketentuan yang secara umum mengikat satu sama lain -Kadang ada ketentuan yang secara umum mengikat satu sama lain -Tidak ada ketentuan yang secara umum mengikat satu sama lain Ada upaya memelihara pola perilaku yang berlaku umum dalam lingkungan di sekitar anak jalanan -Kadang ada upaya memelihara pola perilaku yang berlaku umum dalam lingkungan di sekitar anak jalanan -Tidak ada upaya memelihara pola perilaku yang berlaku umum dalam lingkungan di sekitar anak jalanan X2.5 Situasi Lingkungan anak jalanan X3 Ciri Fisik Anak Jalanan X3.1 Jenis Kelamin X3.2 Penampilan fisik Hal yang ada di sekitar anak jalanan yang berkaitan dengan perilakunya dan tidak sematamata bersifat fisik. Hal-hal yang terkait dengan kondisi lahiriah yang terlihat secara nyata dari anak jalanan, meliputi : Suatu keadaan yang secara fisik membedakan antara seorang pria dan seorang wanita Kondisi yang terlihat secara lahiriah dari anak jalanan terkait dengan keadaan tubuhnya. Diukur dengan melihat kondisi yang dirasakan anak jalanan yang membuat kehidupannya di jalanan terasa nyaman Diukur dengan melihat perbedaan fisik anak jalanan Diukur dengan melihat hal-hal yang terlihat secara nyata dengan keadaan tubuh anak jalanan -Ada keyakinan terhadap sesuatu yang dipandang tinggi/ bermutu -Kadang ada keyakinan terhadap sesuatu yang dipandang tinggi/ bermutu -Tidak ada keyakinan terhadap sesuatu yang dipandang tinggi/bermutu -Terkendali sehingga tidak terjadi konflik, kekerasan dan tekanan, juga tidak di cap negatif dari lingkungan -Kadang terkendali sehingga tidak terlalu banyak konflik, kekerasan dan tekanan. -Terancam, penuh konflik, kekerasan, tekanan dan adanya cap negatif (stigma) dari lingkungan -Pria -Wanita -Rambut hitam, tidak berkutu dan terata rapih -Rambut sedikit merah, tidak berkutu dan tidak tertata rapih -Rambut merah, banyak kutu dan tidak tertata rapih -Kulit berseri -Kulit agak kusam -Kulit kusam dan tidak berseri

103 85 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor -Badan proporsional dan segar -Badan sedang dan agak kuyu -Badan kurus kering dan kuyu X3.3 Pakaian Sesuatu yang digunakan oleh anak jalanan untuk menutupi anggota tubuhnya. Diukur dengan melihat kondisi/cara anak jalanan menutupi anggota tubuhnya -Mata sedikit merah dan agak kuyu -Mata berseri dan bersinar -Mata merah dan kuyu -Kondisi pakaian rapih, bersih, utuh, layak, kontinyu ganti pakaian setiap dua hari -Kondisi pakaian kdang rapih, kadang bersih, kadang utuh, kadang layak, sesekali ganti pakaian -Kondisi pakaian tidak rapih, tidak bersih, tidak utuh, tidak layak, seadanya,/seenaknya, jarang ganti pakaian X3.4 Penyakit yang Diderita Suatu prevalensi gangguan kesehatan yang dialami oleh anak jalanan dalam kehidupannya di jalanan. X3.5 Umur Jumlah tahun kalender usia sesungguhnya hingga saat pengukuran dilakukan. Diukur dengan melihat daya tahan dan kondisi terkait dengan jenis gangguan kesehatan yang sedang atau pernah dialami anak jalanan Diukur dengan menghitung jumlah/banyak nya tahun anak jalanan sudah menjalani kehidupannya, sejak dilahirkan hinggá pengukuran dilakukan, berkisar antara 6 hingga 21 tahun -Jarang sakit -Kadang sakit -Sering sakit -Kalau sakit, berobat ke puskesmas/dengan petunjuk medis -Kalau sakit, diobati sendiri dengan obat dari warung -Kalau sakit, tidak diobati tahun tahun tahun X4 Ciri Psikologik Anak Jalanan X4.1 Kapan (umur) Mulai Jadi Anak Jalanan Hal-hal yang terkait dengan kondisi kejiwaan yang diperlihatkan oleh anak jalanan dalam kehidupannya sehari-hari, meliputi : Tahun di mana seorang anak untuk pertama kalinya turun dan menjalani kehidupannya di jalanan. Diukur dengan melihat usia berapa pertama kali anak memulai aktivitas di jalanan - 10 tahun tahun - 5 tahun 1 2 3

104 86 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor X4.2 Mobilitas Mental Pergerakan/perubahan kondisi batin yang dialami Diukur dengan menanyakan -Jarang terjadi perubahan rasa terkait dengan adanya rasa sayang, 1 oleh anak jalanan dari hal-hal yang senang, benci, kecewa, tidak puas waktu ke waktu. dirasakan anak dan lainnya dari waktu ke -Kadang terjadi perubahan rasa terkait 2 waktu setiap dengan adanya rasa sayang, hari terkait dengan senang, benci, kecewa, tidak puas kebera- dan lainnya daannya di jalanan -Sering terjadi perubahan rasa terkait dengan adanya rasa sayang, senang, benci, kecewa, tidak puas dan lainnya 3 X4.3 Motivasi Berada di jalanan 1 2 Sesuatu yang mendorong seorang anak berada di jalanan atau di fasilitas umum lainnya. Diukur dengan melihat hal-hal apa yang menyebabkan anak saat ini berada di jalanan -Adanya motivasi persahabatan/- mencari teman -Kadang ada motivasi persahabatan/ mencari teman -Tidak ada motivasi persahabatan/ mencari teman -Adanya motivasi kerja/mencukupi kebutuhan materi -Kadang ada motivasi kerja/ mencukupi kebutuhan materi -Tidak ada motivasi kerja/ mencukupi kebutuhan materi X4.4 Pengalaman Anak Jalanan X4.5 Pola Pikir (Mind Set) Jumlah tahun sudah berapa lama seorang anak berada di jalanan atau di fasilitas umum lainnya. Cara pandang anak jalanan dalam melihat diri dan lingkungannya. Diukur dengan menghitung jumlah dalam tahun anak be-rada di jalanan Dilihat dari citra diri, harapan, idealisme yang dimiliki oleh anak jalanan dalam memandang diri dan masa depannya -Adanya motivasi kekuasaan/ keinginan untuk menguasai atau anak dikuasai oleh anak jalanan lain -Kadang ada motivasi kekuasaan/ keinginan untuk menguasai atau anak dikuasai oleh anak jalanan lain -Tidak ada motivasi kekuasaan/ keinginan untuk menguasai atau anak dikuasai oleh anak jalanan lain - 4 tahun -5-9 tahun - 10 tahun -Pola pikir positif, optimis, punya harapan masa depan -Pola pikir kadang negatif, kadang pesimis, kadang punya harapan masa depan -Pola pikir negatif, pesimis, tidak punya harapan masa depan

105 87 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor X4.6 Riwayat Anak Jalanan 1 2 X4.7 Tingkat Kreativitas X4.8 Tingkat Kebutuhan Suatu proses yang mengantarkan seorang anak untuk menjadi anak jalanan dan menjalani kehidupannya di jalanan. Kemampuan anak jalanan untuk mengembangkan sesuatu yang baru, atau memodifikasi dari sesuatu yang lama. Ukuran tertentu yang merupakan keadaan di mana segala sesuatu yang diinginkan oleh anak jalanan pada waktu tertentu tercukupi. Diukur dengan melihat kondisi yang mengantarkan anak pada keberadaannya di jalanan Diukur dengan melihat kemampuan anak menghasilkan sesuatu dan tidak hanya mengikuti pola yang sudah ada Diukur dengan melihat sejauh mana keinginan-keinginan anak jalanan dapat tercukupi dengan keberadaanya di jalanan -Turun ke jalan karena coba-coba diajak teman/orang tua -Turun ke jalanan karena kebutuhan materi -Turun ke jalanan karena menghindari dari siksaan dan tekanan keluarga -Menemukan ide-ide/cara kerja baru -Kadang memodifikasi cara kerja -Mengikuti saja cara kerja lama -Menemukan ide-ide/cara bermain baru -Kadang memodofikasi cara bermain lama -Mengikuti cara bermain lama -Terpenuhi kebutuhan sandang 5 stel baju dengan kondisi baik -Terpenuhi kebutuhan sandang 5 stel baju, tapi kondisinya tidak baik -Tidak terpenuhi kebutuhan sandang 5 stel baju -Terpenuhi kebutuhan pangan 2 kali sehari dengan gizi yang baik -Kadang terpenuhi kebutuhan pangan 2 kali sehari, tapi gizinya rendah -Tidak terpenuhi kebutuhan pangan 2 kali sehari Terpenuhi kebutuhan papan dan tidak terkena panas dan hujan dengan baik -Kadang terpenuhi kebutuhan papan, dan tidak terkena panas dan hujan -Tidak terpenuhi kebutuhan papan, terkena panas dan hujan X4.8 Tingkat Kebutuhan Ukuran tertentu yang merupakan keadaan di mana segala sesuatu yang diinginkan oleh anak jalanan pada waktu tertentu tercukupi. Diukur dengan melihat sejauh mana keinginan-keinginan anak jalanan dapat tercukupi dengan keberadaanya di jalanan -Terpenuhi kebutuhan kesehatan dengan baik dengan berobat ke puskesmas -Kadang terpenuhi kebutuhan kesehatan dengan mengobati sendiri -Tidak terpenuhi kebutuhan kesehatan -Terpenuhi kebutuhan sandang 5 stel baju dengan kondisi baik -Terpenuhi kebutuhan sandang 5 stel baju, tapi kondisinya tidak baik -Tidak terpenuhi kebutuhan sandang 5 stel baju -Terpenuhi kebutuhan pangan 2 kali sehari dengan gizi yang baik -Kadang terpenuhi kebutuhan pangan 2 kali sehari, tapi gizinya

106 88 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor rendah -Tidak terpenuhi kebutuhan pangan 3 2 kali sehari -Terpenuhi kebutuhan papan dan tidak terkena panas dan hujan dengan baik -Kadang terpenuhi kebutuhan papan, dan tidak terkena panas dan hujan -Tidak terpenuhi kebutuhan papan, terkena panas dan hujan -Terpenuhi kebutuhan kesehatan dengan baik dengan berobat ke puskesmas -Kadang terpenuhi kebutuhan kesehatan dengan mengobati sendiri -Tidak terpenuhi kebutuhan kesehatan -Terpenuhi kebutuhan pendidikan dengan mengikuti kusrus dan pelatihan di lingkungan dan di sekolah -Kadang terpenuhi kebutuhan pendidikan dengan mengikuti kusrus dan pelatihan di lingkungan -Tidak terpenuhi kebutuhan pendidikan -Terpenuhi kebtuhan sarana transportasi dengan baik dan memiliki uang untuk memanfaatkannya - Kadang terpenuhi kebutuhan sarana transportasi karena tiak memiliki uang untuk memanfaatkannya Tidak terpenuhi kebutuhan sarana transportasi karena tidak tau, tidak bisa dan tidak memiliki uang untuk memanfaatkannya -Terpenuhi kebutuhan rasa aman dan terlindungi, bebas dari rasa takut, cemas, kalut, dan lain-lain dengan baik -Kadang terpenuhi kebutuhan rasa aman dan terlindungi, bebas dari rasa takut, cemas, kalut, dll -Tidak terpenuhi kebutuhan rasa aman dan terlindungi, bebas dari rasa takut, cemas, kalut, dll -Diterima oleh lingkungan sekitarnya -Kadang diterima oleh lingkungan sekitarnya

107 89 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor -Tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya 3 X5 Ciri Sosiologik Anak Jalanan X5.1 Aktivitas Sosial Ekonomi X5.2 Asal Daerah Hal-hal yang terkait dengan interaksi sosial yang diperlihatkan oleh anak jalanan dalam hubungannya dengan lingkungan di sekitarnya, meliputi : Kegiatan yang dilakukan anak jalanan dalam lingkungannya untuk memperoleh penghasilan atau pendapatan. Tempat dari mana seorang anak jalanan untuk pertama kalinya datang X5.4 Interaksi Sosial Hubungan yang dilakukan oleh seseorang dengan lingkungan di sekitarnya. X5.5 Jaringan Hubungan kerjasama yang dibuat/dibina oleh anak jalanan untuk mempermudah gerak langkahnya. Diukur dengan melihat hal apa yang dilakukan anak jalanan untuk menghasilkan/ memperoleh materi /uang di jalanan Diukur dengan melihat tempat dari mana anak jalanan datang X5.3 Bahasa Suatu alat komunikasi yang biasa dipergunakan sehari-hari untuk menyampaikan informasi, pesan dan lain-lainnya. Diukur dengan melihat katakata yang biasa digunakan dan berkembang serta di mengerti oleh anak jalanan dengan kelompoknya Diukur dengan melihat hubungan yang dilakukan oleh anak jalanan dengan lingkungan disekitarnya Diukur dengan melihat kerjasama yang dikembangkan oleh anak jalanan dengan sesamanya dan dengan lingkungannya -Dihormati dan dihargai sebagai sesama manusia -Kadang dihormati dan dihargai sebagai sesama manusia -Tidak dihormati dan dihargai sebagai sesama manusia -Kegiatan menggunakan alat bersama teman-teman -Kegiatan dengan menggunakan alat dilakukan sendiri -Kegiatan tanpa alat dilakukan sendiri -Dalam kota tempat anak jalanan berdomisili -Sekitar kota tempat anak jalanan berdomisili -Di luar propinsi tempat anak jalanan berdomisili -Menggunakan bahasa yang dipergunakan secara umum -Menggunakan bahasa yang merupakan penggabungan antara bahasa yang digunakan kelompok dengan bahasa yang digunakan secara umum -Menggunakan bahasa yang hanya di mengerti oleh anggota kelompoknya -Selalu melakukan hubungan dengan lingkungan secara intensif -Kadang berhubungan dengan lingkungan sekitarnya -Tidak pernah berhubungan dengan lingkungan sekitarnya, hanya dengan kelompok anak jalanan -Kerjasama dilakukan juga dengan orang dewasa jalanan, orang tua dan dinas terkait -Kerjasama dilakukan dengan sesama anak jalanan termasuk yang di luar kelompok -Kerjasama hanya dengan sesama anak jalanan dalam satu kelompok

108 90 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor X5.6 Kelompok Anak Ikatan antara tiga orang atau lebih anak jalanan, Diukur dengan melihat kegiatan, -Ada bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan bersama dalam kelom- 1 Jalanan yang antara satu dengan interaksi pok lainnya terdapat keterikatan, dan perasaan -Kadang ada bentuk-bentuk kegiat- 2 baik secara fisik yang dimiliki an yang dilakukan bersama dalam maupun psikis. oleh anggota kelompok kelompok -Tidak ada bentuk-bentuk kegiatan 3 yang dilakukan bersama dalam kelompok -Ada hubungan yang dilakukan oleh anak jalanan dengan sesama anggota kelompok -Kadang ada hubungan yang dilakukan oleh anak jalanan dengan sesama anggota kelompok -Tidak ada hubungan yang dilakukan oleh anak jalanan dengan sesama anggota kelompok Ada rasa memiliki kelompok dalam diri anak jalanan -Kadang ada rasa memiliki kelompok dalam diri anak jalanan -Tidak ada rasa memiliki kelompok dalam diri anak jalanan Ada kesetiaan terhadap nilai yang terbentuk dalam kelompok -Kadang ada kesetiaan terhadap nilai yang terbentuk dalam kelompok -Tidak ada kesetiaan terhadap nilai yang terbentuk dalam kelompok Ada rasa kebersamaan dalam kelompok -Kadang ada rasa kebersamaan dalam kelompok -Tidak ada rasa kebersamaan dalam kelompok X5.7 Mobilitas Fisik Suatu keadaan dimana seseorang melakukan aktivitas untuk bepindah tempat. Diukur dengan melihat berapa banyak dan luas gerak perpindahan anak jalanan -Ada rasa senang dan tidak senang berada dan menjadi bagian dari kelompok -Kadang ada rasa senang dan tidak senang berada dan menjadi bagian dari kelompok -Tidak ada rasa senang dan tidak senang berada dan menjadi bagian dari kelompok - 11 kali kali - 5 kali -Hanya dalam satu wilayah sesuai domisili

109 91 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor -Antar wilayah di sekitar domisili -Antar provinsi 2 3 X5.8 Pendidikan Suatu aktivitas untuk Diukur dengan - 6 tahun pendidikan 1 Formal memperoleh ilmu pe- melihat jumlah -Antara 7-9 tahun 2 anak ngetahuan yang dilakukan dalam tahun - 10 tahun 3 jalanan dalam lingkungan telah meng- sekolah ikuti pendidikan di sekolah umum X5.9 Pendidikan Suatu aktivitas untuk Diukur dengan -Ada aktifitas memperoleh suatu 1 Non memperoleh ilmu pe- melihat jumlah ilmu yang dilakukan di luar se- Formal ngetahuan yang dilakukan dalam hari, kolah, diikuti oleh sebagian besar anak jalanan di luar sekolah di dalam masyarakat. minggu, bulan dari suatu jenis kegiatan yang diikuti anak jalanan, lebih dari 2 minggu -Kadang ada aktifitas memperoleh suatu ilmu yang dilakukan di luar sekolah, tapi hanya diikuti oleh sebagian kecil anak jalanan, tidak lebih dari 2 minggu -Tidak ada aktifitas memperoleh ilmu yang dilakukan di luar seko- 2 3 X5.10 Sub Kultur Y1 Perilaku Anak jalanan Y1.1 Perilaku Normal Anak jalanan Y1.1.1 Berani menanggung resiko Nilai atau norma yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam diri dan kehidupan anak jalanan, baik secara pribadi maupun secara kelompok. Suatu tindakan atau perbuatan yang cenderung secara menetap dilakukan oleh anak jalanan dalam kehidupannya meliputi : Perbuatan yang secara menetap dilakukan oleh anak jalanan dalam kehidupannya yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku Kemampuan untuk bertanggung-jawab atas apa yang dilakukan dan tidak melempar kesalahan pada orang lain Diukur dengan melihat cara, kebiasaan, tata kelakuan, nilai, norma yang berkembang di lingkungan anak jalanan Diukur dengan melihat perilaku normal yang diperlihatkan anak jalanan, di antaranya : Diukur dengan melihat kemampuan anak untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan tidak melempar kesalahan pada orang lain lah yang diikuti anak jalanan -Ada kebiasaan, cara hidup, tata kelakuan, nilai, norma yang berkembang di lingkungan anak jalanan -Kadang ada kebiasaan, cara hidup, tata kelakuan, nilai, norma yang berkembang di lingkungan anak jalanan -Tidak ada kebiasaan, cara hidup, tata kelakuan, nilai, norma yang berkembang di lingkungan anak jalanan -Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan tidak melempar kesalahan pada orang lain -Kadang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan tidak melempar kesalahan pada orang lain -Tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya dan melempar kesalahan pada orang lain

110 92 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor Y1.1.2 Mandiri Kemampuan untuk tidak Diukur dengan -Tidak bergantung pada orang lain 1 bergantung pada orang melihat kemampuan dan berusaha memenuhi/ melaku- lain dan berusaha memenuhi/melakukan anak kan segalanya dengan upaya sen- segalanya untuk tidak diri terlebih dahulu dengan upaya sendi- ri terlebih dahulu bergantung pada orang lain -Kadang bergantung pada orang lain dan kadang berusaha memenuhi/ 2 dan berusaha melakukan segalanya dengan memenuhi/melakukan segalanya upaya sendiri terlebih dahulu -Bergantung pada orang lain dan 3 dengan tidak berusaha memenuhi/ mela- upaya sendiri kukan segalanya dengan upaya terlebih dahulu sendiri terlebih dahulu Y1.1.3 Y1.1.4 Semangat hidup Sensitivitas anak jalanan Y1.2 Perilaku Abnormal Kemampuan untuk tidak mudah menyerah dengan tantangan dan kesulitan yang dihadapi Kemampuan untuk peduli terhadap keadaan disekitarnya Perbuatan yang secara menetap dilakukan oleh anak jalanan dalam kehidupannya yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku Y1.2.1 Bebas Keadaan dimana segala sesuatu yang disenangi/ diingini, dilakukan tanpa memperhatikan kaidah, norma, serta nilai yang berlaku Y1.2.2 Liar Keadaan yang semaunya sendiri Y1.2.3 Masa bodoh Tidak peduli dengan a- papun yang terjadi di lingkungan sekitarnya Diukur dengan melihat kemampuan untuk tidak mudah menyerah pada tantangan dan kesulitan yang dihadapi Diukur dengan melihat kemampuan untuk peduli terhadap keadaan di sekitarnya Diukur dengan melihat perilaku abnormal yang dipelihatkan anak jalanan, diantaranya Diukur dengan melihat perilaku yang disenangi/diinginkan, dilakukan tanpa perhatikan norma serta nilai yang berlaku Diukur dengan melihat perilaku yang semaunya sendiri Diukur dengan melihat kepedulian anak dengan apapun yang terjadi di lingkungan sekitarnya -Tidak mudah menyerah dengan tantangan dan kesulitan yang dihadapi -Kadang mudah menyerah dengan tantangan dan kesulitan yang dihadapi -Mudah menyerah dengan tantangan dan kesulitan yang dihadapi -Peduli terhadap keadaan di sekitarnya -Kadang peduli terhadap keadaan di sekitarnya -Tidak peduli terhadap keadaan di sekitarnya -Hal-hal yang dilakukan anak memperhatikan kaidah, norma serta nilai yang berlaku -Hal-hal yang dilakukan anak kadang memperhatikan kaidah, norma serta nilai yang berlaku -Hal-hal yang dilakukan anak tidak memperhatikan kaidah, norma serta nilai yang berlaku -Hal-hal yang dilakukan anak mengikuti aturan yang berlaku -Hal-hal yang dilakukan anak kadang semaunya sendiri, kadang ikut aturan -Hal-hal yang dilakukan anak semaunya sendiri, tanpa ada aturan -Anak peduli dengan hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya -Anak kadang peduli dengan hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya -Anak tidak peduli dengan hal-hal yang terjadi di lingkungannya

111 93 Tabel 10. (lanjutan) No Peubah Definisi Operasional Indikator Parameter Skor Y1.2.4 Penuh Keadaan yang tidak mudah Diukur dengan -Anak mudah mempercayai hal-hal 1 curiga mempercayai hal-hal melihat peri- yang ada di sekitarnya yang ada disekitarnya laku yang tidak -Anak kadang mudah mempercayai 2 mudah hal-hal yang ada di sekitarnya mempercayai -Anak tidak mudah mempercayai 3 hal-hal yang hal-hal yang ada di sekitarnya ada di sekitarnya Y1.2.5 Reaktif Keadaan yang cepat menanggapi apa yang terjadi/dirasakan dan cenderung bersifat emosional -Anak cepat menanggapi apa yang terjadi/dirasakan dan cenderung bersifat emosional -Anak kadang cepat menanggapi apa yang terjadi/dirasakan dan cenderung 1 2 bersifat stabil Diukur dengan melihat perilaku yang cepat menanggapi apa yang terjadi/dirasakan dan cenderung bersifat emosional -Anak tidak cepat menanggapi apa yang terjadi/dirasakan dan cenderung bersifat apatis 3 Y1.2.6 Susah diatur Anak Jalanan Profil Strategi Pengentasan Anak Jalanan Keadaan yang tidak mudah untuk diarahkan Individu berusia 5-21 tahun yang menghabiskan waktu minimal 5 (lima) jam dalam sehari, untuk melakukan kegiatan hidup di jalanan baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran. Gambaran yang ada dan dimiliki oleh suatu obyek, terkait dengan faktor internal dan eksternal. Cara-cara yang relatif teryakini untuk dapat menghilangkan anak dari jalanan atau fasilitas umum lainnya secara lebih efektif dan efisien. Diukur dengan melihat perilaku yang tidak mudah untuk diarahkan -Anak mudah untuk diarahkan -Anak kadang mudah untuk diarahkan -Anak tidak mudah untuk diarahkan 1 2 3

112 94 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta Profil anak jalanan pada semua peubah di tiga wilayah penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, baik antara DKI Jakarta dengan Bogor, Bogor dengan Bandung dan Bandung dengan DKI Jakarta. Hal ini terlihat dari angka signifikansi yang kesemua memiliki nilai di atas (α) 0.05 yang menunjukkan bahwa hasil perbandingan peubah penelitian antar wilayah penelitian tidak berbeda nyata atau menunjukkan hasil yang sama, tersaji pada Tabel 11 (hasil uji analisis ANOVA terdapat pada Lampiran 1). Tabel 11. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian Peubah Kota Mean difference Signifikansi (α) Latar belakang keluarga (X 1 ) DKI Bogor Bogor Bandung Bandung - DKI Latar belakang lingkungan (X 2 ) DKI Bogor Bogor Bandung Bandung - DKI Ciri fisik anak jalanan (X 3 ) DKI Bogor Bogor Bandung Bandung - DKI Ciri psikologik anak jalanan (X 4 ) DKI Bogor Bogor Bandung Bandung - DKI Ciri sosiologik anak jalanan (X 5 ) DKI Bogor Bogor Bandung Bandung DKI Perilaku anak jalanan (Y 1 ) DKI Bogor Bogor Bandung Bandung - DKI Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01 * Nyata pada α 0,

113 95 Pada Tabel 11 terlihat perbandingan peubah latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik dan perilaku anak jalanan di antara ketiga lokasi penelitian Bandung, Bogor dan Jakarta secara umum tak tampak berbeda nyata, kecuali beberapa peubah terkait dengan perbandingan jenis kelamin terlihat ada perbedaan nyata pada peubah ciri fisik dengan nilai nyata di bawah α 0.01, ciri sosiologik dengan nilai nyata di bawah α 0.1 dan latar belakang keluarga dengan nilai nyata di bawah α 0.05, tersaji pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan Peubah F Signifikansi(α) Latar belakang keluarga (X 1 ) ** Latar belakang lingkungan (X 2 ) Ciri fisik anak jalanan (X 3 ) *** Ciri psikologik anak jalanan (X 4 ) Ciri sosiologik anak jalanan (X 5 ) * Perilaku anak jalanan (Y 1 ) Keterangan : *** Sangat nyata pada α 0.01 ** Nyata pada α 0.05 * Nyata pada α 0.1 Hal di atas mengandung makna bahwa strategi pengentasan anak jalanan dengan memperhatikan profil dari anak jalanan, dapat dilakukan dengan melihat peubah-peubah yang cenderung sama di ketiga wilayah penelitian. Di samping memperhatikan peubah ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarga yang cenderung berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin anak jalanan di ketiga wilayah penelitian Bandung, Bogor dan Jakarta. Diharapkan dengan memperhatikan ketiga peubah yang berbeda nyata berdasarkan jenis kelamin, strategi untuk mengubah anak jalanan dapat lebih mengenai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Nilai tiap sub peubah di masing-masing wilayah penelitian serta nilai ratarata masing-masing peubah dari ketiga wilayah penelitian, termasuk di dalamnya perbedaan antara jenis kelamin, tersaji dalam penjelasan berikut :

114 96 Latar Belakang Keluarga (X 1 ) Secara umum latar belakang keluarga anak jalanan di tiga wilayah penelitian berada pada situasi dan kondisi yang buruk, terutama untuk kondisi fisik keluarga sebesar 85 persen dan pelaksanaan fungsi keluarga sebesar 75 persen, tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Kondisi (%) Jumlah Baik Sedang Buruk (%) Kondisi fisik keluarga Perlakuan terhadap anak Pendidikan orang tua Pelaksanaan fungsi keluarga Pola hubungan dengan keluarga Profesi/pekerjaan orang tua Secara lebih rinci kondisi masing-masing sub peubah latar belakang keluarga anak jalanan di tiga wilayah penelitian, tersaji pada Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Latar Belakang Keluarga Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Kondisi fisik keluarga Tidak kumuh Kumuh Sangat kumuh Perlakuan orang tua Keinginan sendiri Kadang dipaksa Disuruh/dipaksa Pendidikan orang tua Berpendidikan Kurang berpendidikan Tidak berpendidikan Pelaksanaan fungsi keluarga Mampu laksanakan Kurang mampu laksanakan Tidak mampu laksanakan Pola hubungan dengan keluarga Selalu berhubungan Sesekali berhubungan Putus hubungan Profesi/pekerjaan orang tua Tetap Tidak tetap Seadanya Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%)

115 97 Tabel 13 dan 14 memperlihatkan 85 persen anak jalanan di tiga wilayah penelitian tinggal dan berasal dari daerah yang kumuh/padat/penuh sesak/daerah slum serta berhimpitan. Halaman rumah rata-rata sempit bahkan tidak ada, biasanya halaman rumah merangkap juga sebagai jalan umum. Tempat pembuangan limbah kurang terpelihara, bahkan banyak yang dibuang di tempattempat yang kurang terpelihara. Umumnya memanfaatkan fasilitas MCK umum sebagai sarana MCK keluarga. Sarana dan prasarana untuk menunjang lingkungan bersih dan sehat masih kurang. Sanitasi maupun kebersihan lingkungan kurang mendapat perhatian. Di samping tidak tersedianya sarana dan prasarana tempat bermain yang leluasa bagi anak di lingkungan sekitar rumahnya. Di satu sisi kondisi fisik keluarga yang buruk dan berada pada lingkungan yang kumuh, padat dan penuh sesak sudah berpotensi untuk menimbulkan permasalahan dan ketidaknyamanan. Di sisi lain terdapat permasalahanpermasalahan dalam keluarga yang juga menimbulkan permasalahan tersendiri seperti adanya konflik, kekerasan baik fisik maupun psikis dalam keluarga dan lain-lain. Akibatnya, baik anak maupun keluarga anak jalanan menanggapinya dengan perilaku yang sering kali dinilai abnormal seperti semaunya sendiri, bebas dan tidak mau ikut aturan serta liar. Terutama pada anak jalanan pria yang cenderung lebih berani mengekpresikan kekecewaan dan tekanan yang dialami dan dirasakan dalam perilakunya sehari-hari, dibandingkan dengan anak jalanan wanita. Fakta memperlihatkan keluarga anak jalanan cenderung tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan seimbang sebesar 75 persen, baik fungsi ekonomi, perlindungan, pendidikan maupun pengawasan. Pelaksanaan fungsi keluarga anak jalanan yang buruk disebabkan salah satunya oleh rendahnya tingkat pendidikan orang tua sebesar 52 persen berada pada kriteria lulus SD, tidak lulus SD atau bahkan tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali, sehingga kemampuan orang tua terbatas dalam menjabarkan peranan-peranan yang seyogyanya dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Redfield (1982) yang menyatakan adanya perbedaan antara kebudayaan yang tinggi dan kebudayaan yang rendah. Oleh karena itu, pembinaan kebudayaan pada keluarga yang

116 98 berpendidikan tinggi akan berbeda dengan pembinaan kebudayaan pada keluarga yang berpendidikan rendah. Keterbatasan pendidikan orang tua anak jalanan berpengaruh pada kemampuannya memperoleh pekerjaan seadanya (sebesar 48 persen) dan tidak tetap (sebesar 49 persen), dengan penghasilan yang kurang dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini terkait dengan pernyataan Salamun (1995) bahwa selain pendidikan, pekerjaan/profesi, dan keadaan ekonomi orang tua, pengalaman pribadi yang diterima orang tua pada masa kanak-kanak yang terkait dengan adat istiadat, berpengaruh pada cara orang tua mendidik anak-anaknya dan menjalankan fungsi dan peranannya sebagai orang tua dalam keluarga. Akibat buruknya pelaksaan fungsi keluarga, pola hubungan antara orang tua dengan anakpun menjadi relatif kurang baik yaitu sebesar 38 persen terputus dan 23 persen sesekali (seminggu sekali, sebulan sekali atau saat dibutuhkan saja), terutama terdapat pada anak jalanan pria tetapi relatif jarang terdapat pada anak jalanan wanita. Anak jalanan yang tetap menjalin hubungan dengan orang tuanya sebesar 40 persen. Pola hubungan antara anak jalanan dengan orang tuanya yang terputus atau dilakukan sesekali disebabkan anak cenderung kurang merasakan peranan orang tua dalam melaksanakan fungsi-fungsinya baik fungsi ekonomi, fungsi pendidikan maupun fungsi pengawasan bagi diri dan kehidupannya. Terlebih lagi orang tua banyak menghabiskan waktunya (10-14 jam sehari) untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga di sektor-sektor non formal dengan penghasilan yang tidak tetap dan kadang tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarga. Akibat lebih lanjut dari kondisi tersebut, orang tua menjadikan anak sebagai aset yang dapat membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan mempekerjakannya dan menyerahkan hasilnya pada keluarga guna memenuhi kebutuhan keluarga, terutama untuk anak jalanan wanita yang harus menyerahkan 75 persen penghasilannya. Fakta memperlihatkan pola perlakuan/pola asuhan yang dilakukan orang tua anak jalanan terhadap anak cenderung otoriter dengan pemaksaan/eksploitasi, tekanan serta tindakan kekerasan berupa hukuman bila anak tidak mengikuti

117 99 kehendak orang tua (29 persen), termasuk untuk mencari uang di jalanan, atau sebaliknya membebaskan anak tanpa adanya aturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat (39 persen), termasuk untuk bebas turun ke jalanan. Pola perlakuan/pola asuhan di atas muncul disebabkan pengalaman yang diperoleh orang tua anak jalanan dalam asuhan keluarganya yang juga cenderung buruk. Perlakuan orang tua yang buruk terhadap anak cenderung disebabkan adanya pola-pola yang diwariskan secara kultural dalam keluarga (Salamun,1995) termasuk dalam keluarga anak jalanan. Wallace (1996) mengemukakan bahwa pengalaman yang diterima pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh susunan atau tata lingkungan tempat ia dibesarkan, sedangkan susunan tata lingkungan dipengaruhi masyarakat. Dalam kehidupan anak jalanan pengertian keluarga sebagai lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak serta sebagai dasar pertama pembentukan pribadi anak dan keluarga sebagai wadah yang secara dini para warganya dikondisikan dan disiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan sebagai orang dewasa (Goode, 1985), umumnya tidak didapatkan oleh anak jalanan. Demikian pula pengertian keluarga sebagai unit kesatuan sosial terkecil yang paling tepat dan efektif untuk menanamkan dan membina nilai-nilai budaya (social capital), yang di dalamnya terjalin hubungan emosianal dengan baik dan intensif, serta memungkinkan berlangsungnya proses pendidikan sedini mungkin (preventif) kepada anak-anaknya sebagai generasi penerus (Sudrajat, 1999 ; Departemen Sosial, 1999), umumnya juga tidak didapatkan oleh anak jalanan. Demikian pula upaya keluarga mempersiapkan dan melatih anak untuk memasuki lingkungan yang lebih luas melalui penanaman nilai budaya pada anggota keluarga sebagai modal yang amat berharga sebelum anak dilepas ke dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas (Goode, 1985), umumnya tidak didapatkan oleh anak jalanan. Penelitian tentang keluarga anak jalanan terkait dengan kondisi fisik keluarga yang buruk, menguatkan sesuatu yang dikemukakan Popenoe (1989), yakni sebagian dari mereka merupakan masyarakat urban/masyarakat minoritas yang miskin dan tinggal di daerah-daerah slums, dengan wilayah yang berada di

118 100 bawah standar, serta perumahan yang padat dan penuh sesak, serta lingkungan yang kumuh dan sanitasi lingkungan yang juga di bawah standar. Lingkungan yang padat/penuh sesak dan tidak kondusif, tanpa sarana dan ruang untuk bermain bagi anak, serta lingkungan yang kurang nyaman dan secara kondusif dapat mendukung proses tumbuh kembang anak, akan berpengaruh pada proses tumbuh kembang dan perilaku seorang anak (Popenoe, 1989). Ada pula keluarga anak jalanan yang merupakan penduduk asli di wilayah penelitian (36 persen), namun menjadi masyarakat kelas dua karena tersisih oleh keadaan. Penghasilan dan pekerjaan orang tua seadanya, tidak jelas serta tidak mencukupi kebutuhan keluarga, di tambah sikap mental yang cenderung pasrah dengan keadaan. Kondisi sosial ekonomi yang tidak jelas ini memicu orang tua menjadikan anak sebagai tumpuan untuk dapat menopang perekonomian keluarga. Hal ini terlihat dari semakin meluasnya masalah anak jalanan bukan hanya di pusat kota, tetapi juga di kota kecamatan dan kota kabupaten. Penelitian ini membuktikan pula kemunculan masalah yang terkait dengan keluarga anak jalanan, salah satunya dipicu oleh kurang mampunya orang tua melaksanakan fungsi dan peranan-peranannya dengan baik dan seimbang (75 persen). Orang tua terlalu memaksakan kehendak dengan cara melakukan kekerasan, tekanan dan hukuman yang mengarah pada pola asuhan yang sifatnya otoriter karena mengandung pemaksaan, seperti anak di paksa untuk mencari uang dan menyerahkan hasilnya pada orang tua, bahkan disiksa dengan berbagai hukuman baik yang bersifat fisik maupun psikis bila tidak dapat menyerahkan uang pada orang tua (38 persen). Di sisi lain orang tua dalam keluarga anak jalanan terlalu membebaskan anggota keluarganya tanpa ada aturan dan ketentuan yang mengikat dan menjadi pedoman bersama dalam berperilaku. Kondisi ini mengarah pada pola asuhan yang sifatnya laisses faire (39 persen). Hasil penelitian ini sekaligus menguatkan hasil penelitian Tjahjorini (1991) bahwa pola asuhan yang paling efektif bagi seorang anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya adalah pola asuhan yang demokratis, yakni ada upaya yang seimbang dari orang tua terhadap anak untuk memberikan hadiah

119 101 dan hukuman dalam melaksanakan pola asuhannya, sehingga memunculkan perilaku positif yang ade kuat dalam diri anak. Latar Belakang Lingkungan (X 2 ) Latar belakang lingkungan anak jalanan pada umumnya berada pada situasi dan kondisi yang buruk, seperti terlihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Keadaan lingkungan yang buruk ini tampaknya terkait dan menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam diri anak jalanan. Tabel 15. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Kondisi (%) Jumlah Baik Sedang Buruk (%) Pendidikan non formal yg diberikan lingkungan Kondisi fisik lingkungan Penerapan sanksi Penanaman nilai dan norma masyarakat Situasi lingkungan Tabel 16. Sebaran Latar Belakang Lingkungan Anak Jalanan di masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Pendidikan non formal yg diberikan ling Ada Kadang ada Tidak ada Kondisi fisik lingkungan Polusi suara Rendah Sedang Tinggi Polusi udara Rendah Sedang Tinggi Polusi air Rendah Sedang Tinggi Tingkat kecelakaan Rendah Sedang Tinggi Tingkat kemacetan Rendah Sedang Tinggi Penerapan sanksi Tindakan memberi sanksi

120 Tabel 16. (lanjutan) Ada Kadang ada Tidak ada Upaya hindari pelanggaran Ada Kadang ada Tidak ada Penanaman nilai & norma masyarakat Aturan yang dipatuhi/disepakati Ada Kadang ada Tidak ada Ketentuan yang mengikat Ada Kadang ada Tidak ada Perilaku yg dipandang pantas/ tidak pantas Ada Kadang ada Tidak ada Situasi lingkungan Konflik fisik Tidak ada Kadang ada Ada Pertentangan Tidak ada Kadang ada Ada Perbedaan pendapat Tidak ada Kadang ada Ada Eksploitasi tenaga Tidak ada Kadang ada Ada Eksploitasi seks Tidak ada Kadang ada Ada Penindasan fisik Tidak ada Kadang ada Ada Tekanan mental Tidak ada Kadang ada Ada Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%). 102

121 103 Fakta memperlihatkan kondisi fisik lingkungan di sekitar anak jalanan cenderung buruk (63 persen), di mana anak jalanan berada di tempat-tempat yang memiliki tingkat polusi yang tinggi baik polusi udara, air maupun suara serta memiliki tingkat kecelakaan dan kemacetan yang cenderung tinggi pula. Kondisi ini memperlihatkan rentannya kondisi anak jalanan, bila tidak ada upaya perlindungan hukum yang kuat. Selain perlindungan hukum yang kuat, kehidupan jalanan juga menuntut adanya penerapan sanksi bagi para anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran, termasuk bagi anak jalanan. Fakta pada Tabel 15 dan Tabel 16 memperlihatkan tindakan penerapan sanksi yang jelas, tegas, nyata dan konsisten oleh lingkungan terhadap perilaku-perilaku yang melanggar dari anak jalanan cenderung lemah (61 persen), kalaupun ada biasanya berupa pengucilan. Demikian pula upaya menghindari pelanggaran, biasanya berupa penyesuaian diri dari anak jalanan sebagai salah satu pelaku. Di jalanan belum ada tindakan/sanksi yang tegas, nyata dan konsisten terutama dari pihak pemerintah terhadap individuindividu yang dipandang mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan yang dapat memunculkan efek jera bagi pelaku. Lingkungan tidak menyediakan wadah yang kondusif bagi anak jalanan untuk berkembang dan mengembangkan perilaku-perilaku yang normal, salah satunya melalui pendidikan non formal. Fakta memperlihatkan pendidikan non formal yang diberikan lingkungan di sekitar anak jalanan cenderung tidak ada (71 persen). Meski pendidikan non formal ada tidak diikuti oleh seluruh anak jalanan, tetapi diikuti oleh sebagian kecil anak jalanan. Pendidikan non formal yang diselenggarakan Pemerintah melalui Departemen Sosial dan Dinas Sosial maupun Lembaga Swadaya Masyarakat serta swasta pada anak jalanan, biasanya dilakukan dalam bentuk pembinaan dan penyuluhan, yang dirasakan kurang manfaatnya karena sulit untuk dapat diaplikasikan langsung guna mengubah hidup dan meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Faktanya situasi dan kondisi latar belakang lingkungan yang dialami oleh anak jalanan pria dan anak jalanan wanita di tiga wilayah penelitian tidak berbeda nyata.

122 104 Hasil penelitian tentang latar belakang lingkungan anak jalanan menguatkan hal-hal yang dikemukakan Doamekpor (Dokumen Proyek UNDP- Departemen Sosial, 1999) bahwa anak jalanan hidup dan berada dalam lingkungan/situasi sosial yang terdiri dari berbagai setting. Setting pertama adalah lingkungan yang terdekat dengan diri anak jalanan (bisa keluarga, atau kaum marginal jalanan yaitu kelompok sebaya diantara anak-anak jalanan). Setting kedua adalah lingkungan selanjutnya setelah lingkungan terdekat yang ada di sekitar anak jalanan. Di jalanan, melalui setting inilah anak jalanan melakukan interaksi dengan lingkungan dan memperoleh banyak pengalaman baik positif maupun negatif bagi hidup dan kehidupan selanjutnya. Fakta memperlihatkan dalam setting seperti dikemukakan Doamekpor di atas, anak jalanan hidup dengan situasi lingkungan yang cenderung penuh dengan konflik fisik, pertentangan, perbedaan pendapat, eksploitasi tenaga, eksploitasi seks, penindasan fisik dan tekanan mental (45 persen). Pada situasi lingkungan tersebut anak jalanan bisa menjadi korban atau sebagai pelaku, baik secara sendiri, berkelompok atau diperalat preman. Hal tersebut menjadi salah satu pencetus munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam diri anak jalanan yang merupakan mekanisme pertahanan diri (ego defence mechanism) bagi anak jalanan dan kelompoknya, agar tetap survive hidup di jalanan guna menghadapi situasi dan kondisi lingkungan yang keras. Munculnya perilaku-perilaku tertentu dalam kehidupan anak jalanan dipicu pula oleh longgarnya upaya penerapan sanksi dan kurangnya upaya penanaman norma dan nilai (45 persen) tentang hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan/dipatuhi/disepakati bersama serta kurang adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat dalam lingkungan masyarakat. Terlebih lagi lingkungan masyarakat kurang berupaya memberikan pendidikan non formal untuk dapat mengubah pola pikir, wawasan serta mentalitas anak jalanan. Anak jalanan dibiarkan hidup dan menjadi bagian dari anggota masyarakat kelas dua yang tersisih hak-haknya. Kondisi ini dialami oleh anak jalanan dari tiga wilayah penelitian, baik anak jalanan pria maupun anak jalanan wanita.

123 105 Ciri Fisik Anak Jalanan (X 3 ) Penampilan fisik anak jalanan cenderung buruk, terutama mata (76 persen), rambut (68 persen) dan kulit (52 persen), terlihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Hal ini disebabkan sebagian besar waktu anak jalanan (± 14 jam/hari) dihabiskan di jalanan atau fasilitas umum lainnya di luar rumah. Tabel 17. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Fisik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Penampilan fisik : Kulit Rambut Badan Mata Kondisi (%) Baik Sedang Buruk Jumlah (%) Cara Berpakaian Kondisi kesehatan Tabel 18. Sebaran Ciri Fisik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Kulit Berseri Agak kusam Kusam Rambut Terawat Agak terawat Tidak terawat Badan Gemuk Sedang Kurus Mata Bening Agak merah Merah Pakaian Rapih Kurang rapih Tidak rapih Kondisi kesehatan Sehat Kadang sakit Sering sakit Pengobatan Diobati dengan pentujuk medis Diobati sekenanya Tidak diobati Umur 6-10 tahun tahun tahun Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).

124 106 Penampilan anak jalanan yang buruk salah satunya disebabkan oleh kebiasaan anak jalanan untuk duduk dan tidur di sembarang tempat, termasuk di tempat yang tidak bersih, serta jarang mandi. Akibatnya penampilan fisik anak jalanan terkesan kotor. Fakta di atas memperlihatkan bahwa anak jalanan cenderung memiliki kulit yang kusam, rambut yang tidak terawat dan mata yang cenderung merah. Fakta penampilan fisik anak jalanan yang cenderung buruk ini terlihat nyata terutama pada anak jalanan pria dibanding dengan anak jalanan wanita. Akan tetapi tubuh anak jalanan cenderung dalam kondisi sedang/ proporsional (54 persen) dan kurus (46 persen). Tabel 17 dan 18 memperlihatkan rata-rata cara berpakaian anak jalanan cenderung buruk (77 persen), karena keterbatasan kemampuan anak untuk dapat memiliki dan membeli pakaian dan memenuhi kebutuhan sandang yang layak dan pantas. Ada kebiasaan anak jalanan untuk tidak ganti pakaian selama berhari-hari dan berpakaian seadanya. Kondisi kesehatan rata-rata anak jalanan secara fisik terkesan cenderung baik, dengan daya tahan tubuh yang relatif kuat dan sehat serta jarang terkena sakit, meski sebagian besar waktunya dipergunakan di tempat terbuka di bawah sinar matahari. Kalaupun ada yang sakit berkisar pada kondisi penyakit yang sedang atau ringan, dan cenderung tidak diobati atau diobati seadanya, tanpa petunjuk medis, karena keterbatasan biaya dan keterbatasan kemampuan untuk mengakses sistem sumber. Fakta memperlihatkan kondisi pakaian yang buruk dan kesehatan yang relatif baik ini, pada anak anak jalanan pria terlihat sangat nyata dibanding pada anak jalanan wanita. Umur anak jalanan cenderung menyebar secara merata pada masingmasing kelompok usia antara 6-10 tahun sebesar 35 persen, tahun sebesar 32 persen, dan tahun sebesar 33 persen. Meski pada awal merebaknya permasalahan anak jalanan pada tahun 1997 cenderung berkisar pada usia 6-10 tahun. Hal ini disebabkan akhir-akhir ini, jalanan menjadi alternatif solusi dari sulitnya lapangan kerja serta semakin tertariknya anak usia dewasa mencari nafkah dan bekerja di sektor non formal yang tidak menghendaki keterampilan khusus dan dapat dengan mudah menghasilkan uang, baik untuk memenuhi

125 107 kebutuhannya atau untuk sekedar santai. Di samping karena adanya keterbatasan dana dan kemampuan anak usia dewasa serta keluarganya, untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi serta untuk bekerja di sektor formal. Beberapa ciri fisik anak jalanan seperti yang telah dikemukakan Departemen Sosial bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1999) masih sama hingga saat ini, baik penampilan fisik, cara berpakaian maupun penyakit yang diderita, kondisi ini terlihat lebih nyata pada anak jalanan pria. Akan tetapi ciri fisik terkait dengan umur anak jalanan terjadi pergeseran dari yang semula cenderung berusia di bawah 10 tahun menjadi menyebar merata pada masing-masing kelompok umur. Ciri Psikologik Anak Jalanan (X 4 ) Ciri psikologik anak jalanan tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di tiga wilayah penelitian. Hal ini tersaji salah satunya pada Tabel 19 yang memperlihatkan rata-rata mobilitas mental anak jalanan cenderung tinggi (62 persen), di mana anak jalanan sering mengalami perubahan kejiwaan. Anak jalanan cenderung sering mengalami mobilitas mental berupa perubahan perasaan, dari rasa benci, senang, marah, sedih, susah, bahagia, sayang, tidak puas, tidak berguna, dan lain-lain. Tingginya mobilitas mental ini mengakibatkan labilnya temperamen anak jalanan. Di sisi lain kondisi ini mengakibatkan munculnya perilaku yang berubah-ubah dari anak jalanan, menyesuaikan dengan kondisi kejiwaan yang dialaminya. Hal ini memperkuat hasil penelitian Departemen Sosial (1999) yang menunjukkan tingginya sifat acuh tak acuh anak jalanan, yang salah satunya dipicu oleh situasi kejiwaan anak yang bersangkutan. Tabel 19. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Psikologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Kondisi (%) Tinggi Sedang Rendah Mobilitas mental Tingkat kreativitas Tingkat kebutuhan Jumlah (%)

126 108 Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah ciri psikologik anak jalanan di tiga wilayah penelitian terdapat pada Tabel 20. Tabel 20. Sebaran Ciri Psikologik Anak Jalanan di Masing-masing Daerah No Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Mobilitas mental Sering Kadang Tidak pernah Tingkat kreativitas Tinggi Sedang Rendah Motivasi berada di jalan Pertemanan Materi Kesenagan Riwayat jadi anak jalanan Coba-coba Terdesak Ikut-ikutan Tingkat kebutuhan Terpenuhi Kadang terpenuhi Tidak terpenuhi Pengalaman anak jalanan < 4 tahun = 5-7 tahun > 8 tahun Umur pertama turun ke jalan < 10 tahun = tahun > 16 tahun Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%). Tingkat pemenuhan kebutuhan anak jalanan cenderung tinggi (58 persen), di mana dengan keberadaannya di jalanan kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik. Dibandingkan bila mereka berada dalam lingkungan keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya terutama kebutuhan dasar, seperti kebutuhan pangan 3 kali sehari, sandang dengan memiliki 4-6 stel baju, dan papan untuk dapat berteduh dan berlindung di tempat-tempat yang luas dan tidak penuh sesak seperti di dalam rumahnya. Meski keberadaan anak di jalanan ini di satu sisi menyelesaikan masalah tapi di sisi lain mendatangkan masalah. Fakta memperlihatkan tingkat kebutuhan anak jalanan cenderung terpenuhi dengan baik karena berada di jalan, dibandingkan bila mereka tinggal dan berada dalam keluarga. Terutama untuk kebutuhan dasar anak jalanan seperti

127 109 dikemukakan Maslow (1984), yaitu kebutuhan fisiologis (Faali), berkaitan dengan kebutuhan yang sifatnya fisik. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Thee Kian Wie (1981) tentang kebutuhan dasar, yakni anak jalanan baru dapat memenuhi kebutuhan dasar mencakup kebutuhan konsumsi perorangan (personal consumption items), seperti pangan, sandang dan pemukiman (dengan tinggal di mana saja yang ia merasa nyaman). Sedangkan kebutuhan pada tingkatan selanjutnya dari Maslow (1984) dan Thee Kian Wie (1981), relatif masih harus diperjuangkan karena belum diperoleh anak dengan keberadaanya di jalanan. Meski kebutuhan dasar di atas saat ini dapat dipenuhi dengan baik, namun upaya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, membutuhkan perjuangan yang relatif lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan jumlah jam berada di jalanan yang lebih lama serta lokasi mencari nafkah yang dikuasai oleh lebih banyak anak jalanan. Hal ini disebabkan semakin banyaknya jumlah anak jalanan, di samping semakin meluasnya permasalahan anak jalanan sampai ke kota kabupaten, sehingga persaingan di antara sesama anak jalanan semakin kuat. Hasil penelitian ini, sekaligus kurang dapat membuktikan hasil penelitian Tjahjorini (2001) tentang pemenuhan kebutuhan anak jalanan, terutama untuk kebutuhan akan rasa aman dan rasa memiliki. Hal tersebut disebabkan anak jalanan harus lebih ketat menjaga wilayah tempatnya mencari nafkah bersama dengan kelompoknya dari kemungkinan masuknya anak jalanan dari kelompok lain. Kondisi ini mengakibatkan anak jalanan mengembangkan mekanisme pertahanan diri (ego-defense mechanism) (Gibson dan Donnelly, 1994). Mekanisme pertahanan diri, dilakukan anak jalanan dengan mengembangkan subsub kultur yang dikembangkan dalam kelompoknya seperti dikemukakan Departemen Sosial (1999) yang ditujukan agar tetap dapat survive hidup di jalanan. Tingkat kreativitas anak jalanan cenderung rendah (58 persen), karena umumnya mereka mengikuti kebiasaan dalam bekerja dan bermain dengan pola yang sudah ada dan ditemukan/dilakukan oleh anak jalanan yang telah lebih dahulu turun ke jalanan. Tingkat kreativitas yang rendah ini mengakibatkan kemampuan anak jalanan untuk melakukan dan menemukan inovasi baru relatif

128 110 rendah. Akibatnya mereka terbiasa dengan pola kegiatan dan pola perilaku yang merupakan rutinitas, kalaupun ada yang memiliki kreativitas tinggi (17 persen) cenderung sedikit jumlahnya, dibanding dengan yang menjadi pengikut. Fakta memperlihatkan terjadi pergeseran tingkat kreativitas anak jalanan yang semula tinggi (Departemen Sosial dan Yayasan kesejahteraan Anak Indonesia, 1999 ; Tjahjorini, 2001) menjadi cenderung rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar anak jalanan saat ini cenderung mengikuti pola-pola, baik pola bermain, bekerja, berperilaku dan lain-lain mengikuti pola yang ada serta telah dilakukan oleh anak jalanan lain yang lebih dahulu turun ke jalanan. Sebagian anak jalanan cenderung kurang memiliki kreativitas karena kurang mampu menciptakan ide-ide baru, menemukan cara baru untuk memahami problem yang dihadapi dan kuranag memahami adanya peluang (Wirawan, 2003), meski tetap ada anak jalanan yang memiliki kreativitas tinggi. Rata-rata motivasi anak berada di jalanan di tiga wilayah penelitian cenderung dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup atau memenuhi kebutuhan materi (64 persen). Dibanding karena tujuan mencari dan diajak teman (18 persen) atau mencari kesenangan (18 persen), yang bukan bertujuan untuk mempertahankan hidup dan dilakukan sewaktu-waktu sehingga lebih mudah untuk dapat diatasi. Umumnya anak jalanan berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak mampu dan serba kekurangan. Akibatnya keberadaan anak di jalanan meski ada tujuan lain, selalu disertai oleh tujuan ekonomi, guna memenuhi kebutuhankebutuhan hidupnya. Hal ini memperlihatkan manakala orang tua dapat menjalankan fungsi ekonomi dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga, fenomena anak jalanan ini dapat ditekan seminim mungkin. Saat kondisi kekurangan ekonomi ini berada di perdesaan, orang tua lebih bisa menerima kehidupan apa adanya dan cenderung melindungi/mengawasi anakanaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang mereka nilai kurang pantas, seperti meminta-minta dan turun ke jalanan. Motivasi yang merupakan usaha yang mendorong anak jalanan untuk berbuat atau melakukan tindakan turun ke jalanan (Padmowihardjo, 1994) dan

129 111 melakukan aktivitas di jalanan, cenderung disebabkan oleh kebutuhan materi. Faktor ekonomi inilah yang cenderung menjadi motif yang kuat, sebagai penyebab turunnya anak ke jalanan, disamping adanya motif yang lemah seperti karena diajak atau mencari teman, mencari kesenangan, menghindari tekanan dan tidak adanya pengawasan dalam keluarga. Kenyataannya kekuatan motif tidak sama dalam setiap situasi (Jones, 1955), suatu saat motif ekonomi anak jalanan yang tinggi, motif lainnya rendah atau sebaliknya motif lain tinggi seperti motif mencari kesenangan dan motif ekonomi rendah. Rata-rata riwayat anak menjadi anak jalanan di tiga wilayah penelitian cenderung dengan alasan yang menyebar merata. Penyebaran berkisar antara coba-coba (25 persen) karena adanya daya tarik jalanan, terdesak keadaan (50 persen) karena alasan ekonomi atau karena adanya tindak kekerasan dan tidak nyamannya suasana dan lingkungan rumah yang sesak dengan jumlah penghuni yang banyak. Di samping alasan ikut-ikutan (25 persen) karena diajak teman, kakak, adik atau orang tua/orang dewasa. Riwayat anak turun ke jalanan pada dasarnya memiliki penyebab yang identik dengan motif anak turun ke jalanan, yaitu karena terdesak oleh keadaan ekonomi/faktor kemiskinan. Hal ini disebabkan keluarga dengan penghasilan yang seadanya dan diperoleh dari pekerjaan/profesi yang cenderung tidak jelas, tidak mampu memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Hasil penelitian ini, sekaligus menguatkan hasil penelitian Sudrajat (1996) ; Departemen Sosial (1999); Tjahjorini (2001) ; dan Sulistiati (2001). Masalah kekurangan ekonomi inilah yang kemudian berpengaruh terhadap pola pikir anak jalanan dengan keberadaannya di jalanan, yaitu agar dapat uang banyak dan dapat memenuhi keinginan serta kebutuhan-kebutuhan yang selama ini tidak dapat dipenuhinya. Riwayat anak jalanan umumnya berkaitan pula dengan pengalaman yang diperoleh oleh anak di jalanan. Rata-rata pengalaman anak menjadi anak jalanan di tiga wilayah penelitian berkisar antara 2 sampai 10 tahun. Umumnya pertama kali turun ke jalanan di usia yang relatif muda (60 persen) pada usia 5 sampai 6 tahun. Walau ada pula anak yang turun ke jalan untuk pertama kalinya pada usia yang relatif dewasa. Rata-

130 112 rata anak berada di jalanan bukan dalam waktu yang singkat. Hal ini memiliki konsekuensi terhadap kemungkinan terinternalisasinya nilai dan norma jalanan dalam diri dan kehidupan anak jalanan. Terlebih bagi anak yang sudah turun ke jalan pada usia yang relatif muda. Pengalaman anak berada di jalanan yang sudah cukup lama, umumnya berpengaruh pada pola pikir (mind set) anak jalanan dengan pola pikir untuk dapat sukses dan memiliki uang banyak. Meski aktivitas sosial ekonomi yang dilakukan anak jalanan di sektor non formal, tidak dapat menjanjikan hal tersebut dapat terwujud tanpa usaha dan kerja keras. Ciri Sosiologik Anak Jalanan (X 5 ) Ciri sosiologik anak jalanan untuk beberapa sub peubah cenderung tinggi, yaitu yang terkait dengan aktivitas sosial ekonomi (65 persen), interaksi (67 persen), Jaringan (79 persen) dan mobilitas fisik (66 persen). Beberapa sub peubah lain cenderung rendah seperti pendidikan formal anak jalanan (73 persen) dan pendidikan non formal anak jalanan (78 persen), tersaji pada Tabel 21 dan secara lebih rinci pada Tabel 22. Tabel 21. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Kondisi (%) Tinggi Sedang Rendah Aktivitas Sosial Ekonomi Interaksi Jaringan Mobilitas fisik Pendidikan formal anjal Pendidikan non formal anjal Jumlah (%) Pendidikan formal dan non formal anak jalanan cenderung rendah, bahkan sebagian ada yang drop out pada tingkat Sekolah Dasar atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali (73 persen). Hal ini disebabkan akses anak jalanan sangat minim terhadap kedua hal tersebut, akibat terbatasnya sumber dana dan sumber daya yang mereka miliki serta kurangnya kesempatan dan adanya penyebab lain, seperti ketidakmampuan dan ketidaksiapan keluarga untuk membiarkan anaknya mengikuti program pendidikan. Kondisi ini terjadi baik pada anak jalanan pria maupun wanita, namun pada anak jalanan wanita

131 113 lebih nyata, yang menganggap anak wanita tidak memerlukan pendidikan, cukup dapat mengurus rumah tangga dan keluarga. Tabel 22. Sebaran Ciri Sosiologik Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian No Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Aktivitas sosial ekonomi Ada aktivitas sosial ekonomi Kadang ada aktivitas sosial ekonomi Tidak ada aktivitas sosial ekonomi 2 Interaksi Berinteraksi dengan teman/ kelompoknya Berinteraksi dengan petugas/ orang di luar kelompok Berinteraksi dengan keluarga Jaringan Jaringan kerjasama dengan sesama Jaringan dengan orang dewasa jalanan/orang tua Jaringan kerjasama dengan dinas terkait Mobilitas fisik Mobilitas fisik dalam wilayah Mobilitas fisik antar wilayah Mobilitas fisik antar provinsi Pendidikan formal anak jalanan DO SMA/ Tamat SMA DO SMP/ Tamat SMP Tidak sekolah/do SD/Tamat SD Pendidikan non formal anak jalanan Ada Kadang ada Tidak ada Bahasa Gunakan bahasa yang umum Gabungkan antara yang dimengerti kelompok dan yang dipakai secara umum Gunakan bahasa yang hanya dimengerti kelompok Asal daerah Asal dari dalam wilayah Asal dari sekitar wilayah Asal dari luar provinsi Kelompok anak jalanan Ada aktivitas kelompok Kadang ada aktivitas kelompok Tidak ada aktivitas kelompok Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%).

132 114 Keberadaan anak di jalanan umumnya dilakukan dengan aktivitas sosial ekonomi yang tertentu dan tidak semata-mata untuk bersantai (65 persen). Namun demikian rendahnya pendidikan yang dimiliki anak jalanan mengakibatkan saat anak melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung pada sektor-sektor non formal yang tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu yang sifatnya khusus. Aktivitas sosial ekonomi yang biasa dilakukan di antaranya menjadi pengamen, pemulung, jual koran, semir sepatu, nyapu kereta, dan lain-lain. Di sisi lain saat anak melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung dieksploitir karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini menonjol terutama pada anak jalanan wanita. Terlebih anak jalanan berinteraksi dan membentuk jaringan kerjasama dengan intensitas yang tinggi terutama dengan rekan sesama anak jalanan yang berpengetahuan dan berkemampuan cenderung sama dan terbatas, sehingga tidak ada penambahan pengetahuan dan kemampuan baru. Mobilitas fisik anak jalanan cenderung tinggi (66 persen) terutama pada anak jalanan pria, terutama mobilitas fisik dalam satu wilayah serta antar wilayah di sekitar tempat anak jalanan berdomisili, walau ada sebagian anak yang melakukan mobilitas fisik antar provinsi, tetapi persentasenya relatif kecil. Mobilitas fisik ini dilakukan anak jalanan untuk melakukan aktivitas sosial ekonomi atau sekedar bersantai. Mobilitas fisik anak jalanan ditunjang oleh asal daerah yang memperlihatkan anak jalanan lebih banyak berasal dari daerah di mana anak jalanan berdomisili (66 persen) dan mereka cenderung melakukan mobilitas fisik sesuai dengan domisilinya, berasal dari sekitar wilayah penelitian (33 persen) dengan jumlah anak jalanan berasal dari luar provinsi yang relatif kecil (1 persen). Asal daerah anak jalanan umumnya berpengaruh pada bahasa yang digunakan dalam melakukan komunikasi. Dalam hal ini bahasa yang digunakan cenderung merupakan penggabungan dari bahasa daerah, bahasa yang umum digunakan (bahasa Indonesia), serta bahasa yang digunakan oleh kelompoknya (90 persen). Fakta memperlihatkan jumlah anak jalanan wanita lebih tinggi dibandingkan anak jalanan pria dalam menggunakan bahasa yang merupakan

133 115 penggabungan. Penggunaan bahasa saat anak jalanan berkomunikasi dan berinteraksi, dilakukan salah satunya untuk melakukan aktivitas dalam kelompok. Aktivitas kelompok dilakukan dengan melibatkan sebagian besar anak jalanan (50 persen responden menyatakan ada aktivitas kelompok, 30 persen responden menyatakan kadang ada aktivitas kelompok) baik untuk bermain, bernyanyi atau kegiatan lainnya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi dan interaksi inilah yang kemudian menguatkan ikatan antar anak jalanan dalam komunitas kelompoknya. Hasil penelitian ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan aktivitas sosial ekonomi, asal daerah, bahasa, interaksi, jaringan, mobilitas fisik, pendidikan formal, pendidikan non formal dan sub kultur anak jalanan secara umum menguatkan hasil-hasil penelitian terdahulu (Sudrajat, 1996 ; Departemen Sosial, 1999 ; Tjahjorini 2001), yang meski sudah berjalan beberapa tahun situasi dan kondisinya tidak berbeda nyata. Demikian pula ciri sosiologik anak jalanan terkait dengan kelompok anak jalanan. Hasil penelitian tentang kelompok anak jalanan menguatkan pernyataan Homans (Johnson, 1988) terkait dengan Teori Pertukaran dalam Kelompok Kecil. Terkait dengan teori ini memperlihatkan sebagian besar anak jalanan melakukan aktivitas/kegiatan dalam kelompok, yang didalamnya juga terjadi interaksi serta adanya perasaan-perasaan tertentu sebagai anggota kelompok. Aktivitas/kegiatan ditujukan untuk memperkuat ikatan dalam kelompok, dilakukan dengan cara bermain, bernyanyi, melakukan aktivitas tertentu atau sekedar santai. Dalam kelompok terdapat komunikasi, rasa memiliki, kesetiaan terhadap nilai yang dibentuk, kebersamaan antar individu anak jalanan, serta ada rasa senang dan terhindar dari tekanan yang timbul dari luar kelompok. Dalam kelompok ini berkembang pula sub kultur dengan nilai-nilai kebersamaan, saling bantu, dan saling berbagi, serta ada kebiasaan yang melembaga di lingkungan anak jalanan, di antaranya : jarang mandi, jarang ganti baju dan tidur di mana saja, sehingga dengan kebiasaan tersebut keberadaan anak jalanan mudah dikenali di manapun. Tata kelakuan yang biasa dilakukan, diantaranya : saling berbagi, waspada dan setia dengan teman kelompoknya

134 116 (Departemen Sosial, 1999). Keterikatan anak jalanan dengan kelompoknya terlihat lebih nyata pada anak jalanan pria dibandingkan pada anak jalanan wanita. Terkait dengan penjelasan tentang ciri-ciri anak jalanan Linton (1984) menyatakan bahwa tingkah laku seorang individu tidak hanya dibentuk oleh kebudayaan dan oleh kontak pribadinya dengan anggota masyarakat lainnya, melainkan juga dibentuk oleh pengalaman individu tersebut. Demikian pula anak jalanan, tingkah laku dan ciri-ciri (ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik) yang dimiliki dan muncul saat ini adalah juga merupakan produk dari pengalamannya bertahun-tahun berada di jalanan. Semakin lama pengalaman anak berada di jalanan, semakin terinternalisasi ciri-ciri dan nilai-nilai jalanan pada diri dan kehidupan anak jalanan. Perilaku Anak Jalanan (Y 1 ) Anak jalanan memiliki beberapa perilaku yang nampak cenderung tinggi, baik perilaku normal maupun perilaku abnormal. Perilaku normal anak jalanan yang cenderung tinggi diantaranya keberanian menanggung resiko (67 persen), kemandirian (64 persen), semangat hidup (69 persen), tersaji pada Tabel 23. Tabel 23. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Indikator Sub Peubah Perilaku Normal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Kondisi (%) Jumlah (%) Tinggi Sedang Rendah Aspek kepekaan Keberanian menanggung resiko Kemandirian Semangat hidup Perilaku normal anak jalanan seperti keberanian menanggung resiko, diperlihatkan anak dalam bentuk perilaku yang bertanggung jawab atas hal-hal yang dilakukannya, dengan tidak melempar kesalahan pada orang lain. Kemandirian, diperlihatkan dalam bentuk kemampuan mereka untuk tidak tergantung kepada orang lain dan berusaha sendiri terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Semangat hidup, ditunjukkan dalam bentuk perilaku tidak mudah menyerah pada situasi dan kondisi yang dihadapi di jalanan, dalam upaya memenuhi kebutuhan-

135 117 kebutuhannya. Ketiga kondisi sub peubah tersebut menunjukkan hasil persentase yang cenderung tinggi, sedang perilaku normal aspek kepekaan cenderung menyebar merata pada ketiga kategori kondisi. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah perilaku normal anak jalanan di tiga wilayah penelitian tersaji pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Perilaku Normal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Aspek kepekaan Peduli Kadang peduli Tidak peduli Keberanian menanggung resiko Bertanggung jawab Kadang bertanggung jawab Tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Kemandirian Tidak tergantung Kadang tergantung Tergantung Semangat hidup Tidak mudah menyerah Kadang mudah menyerah Mudah menyerah pada keadaan Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%). Fakta memperlihatkan perilaku normal anak jalanan merupakan produk dari kehidupan jalanan, di mana mereka harus tetap survive dalam situasi dan kondisi jalanan yang cenderung keras. Perilaku normal anak jalanan tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di ketiga wilayah penelitian. Perilaku normal yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan diantaranya keberanian menanggung resiko yang diartikan juga sebagai kesediaan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Tanggung jawab ini diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatu, bila hal tersebut dituntut, dipermasalahkan, diperkarakan (Poerwadarminta dan Walters, 1993), dalam hal ini anak jalanan cenderung konsekuen dengan resikonya berada di jalanan. Selain keberanian menanggung resiko, perilaku normal lain yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan adalah tingkat kemandirian yang tinggi. Kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri

136 118 (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Kata kemandirian dimaksudkan bahwa seseorang dapat menguasai dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri tidak tergantung atau mengandalkan bantuan orang lain. Pengertian mandiri ini bersifat relatif, tidak dapat diartikan secara kaku, tergantung pada siapa yang melakukan atau menjalankan. Pada sebagian orang perilaku mandiri dapat dimiliki atau terbentuk dalam dirinya apabila sudah dibiasakan atau dilatih sejak kecil atau sejak usia kanak-kanak. Demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan, sejak kecil mereka cenderung dituntut oleh situasi dan kondisinya untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa tergantung pada bantuan orang lain. Akibatnya anak menjadi terbiasa tidak tergantung pada bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannnya, terutama pada anak jalanan yang terbiasa hidup di jalanan (Children of the Street). Hal di atas terkait dengan pendapat Koentjaraningrat (1994) yang mengatakan bahwa perbedaan antara keluarga priyayi yang tinggal dekat keraton, dengan keluarga petani yang jauh dari keraton, dalam tahun pertama anak keluarga priyayi sangat menggantungkan diri pada pembantu untuk segala keperluannya. Oleh karena itu anak priyayi biasanya kurang mampu melakukan segala sesuatunya sendiri, bila dibandingkan dengan anak petani. Anak Jalanan dalam hal ini diumpamakan sebagai anak petani, yang sejak usia kanak-kanak dibiasakan untuk mandiri, sehingga setelah remaja atau dewasa mereka juga cenderung memiliki kemandirian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya. Perilaku normal yang dilakukan oleh anak jalanan merupakan perilaku yang adekuat (serasi, tepat) yang bisa diterima oleh masyarakat serta sesuai dengan norma-norma sosial tempat anak jalanan berada, seperti dikemukakan Kartono (1992). Perilaku normal yang cenderung ada pada sebagian besar anak jalanan di antaranya semangat hidup yang tinggi, di mana sejak usia belia sudah hidup dan berada di jalanan dan di fasilitas umum lain yang cenderung keras. Di lingkungan yang keras anak jalanan harus tetap survive, dengan panas terik, hujan, tingkat polusi yang tinggi, serta tingkat kekerasan yang tinggi pula. Kondisi tersebut tidak mungkin bisa dilalui oleh orang-orang yang semangat

137 119 hidupnya lemah, tanpa optimisme, dan cenderung pesimis dalam memandang hidup dan kehidupan yang dijalaninya. Walau mungkin pada sebagian anak muncul rasa pesimisme, tapi karena keadaan keras jalanan menempa mereka, rasa tersebut lambat laun terkikis. Perilaku abnormal anak jalanan yang cenderung tinggi diantaranya bebas (63 persen), liar (70 persen), masa bodoh ( 68 persen), penuh curiga (77 persen), susah diatur ( 69 persen), tersaji pada Tabel 25. Tabel 25. Rata-rata Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Sub Peubah Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Tiga Wilayah Penelitian Sub Peubah Kondisi (%) Rendah Sedang Tinggi Bebas Liar Masa bodoh Penuh curiga Reaktif Susah diatur Jumlah (%) Perilaku abnormal anak jalanan yang cenderung menonjol, di antaranya perilaku bebas dan semaunya sendiri dalam bersikap dan bertingkah laku berdasarkan pada apa yang dikehendaki/diinginkannya. Liar, semaunya sendiri, serta susah diatur terutama bagi anak yang sudah terbiasa hidup di jalanan (Children of the Street). Walau tetap ada anak yang mau ikut aturan, terutama terdapat pada anak yang rentan menjadi anak jalanan (Vulnerable to be Street Children) serta biasanya masih tinggal dan berhubungan dengan orang tua/keluarganya. Masa bodoh, terutama terhadap sesuatu yang tidak menyangkut kepentingan dan kebutuhannya. Penuh curiga, terutama terhadap orang yang baru dikenal dan bukan anggota kelompoknya. Perilaku reaktif cenderung menyebar merata pada ketiga kategori kondisi di atas. Kondisi ini tidak berbeda nyata antara anak jalanan pria dan wanita di ketiga wilayah penelitian. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sub peubah perilaku abnormal anak jalanan di tiga wilayah penelitian tersaji pada Tabel 26.

138 120 Tabel 26. Sebaran Perilaku Abnormal Anak Jalanan di Masing-masing Wilayah Penelitian Sub Variabel Bandung Bogor Jakarta Rataan di tiga wilayah 1 Bebas Tidak bebas Kadang bebas Bebas Liar Ikut aturan yang ada Kadang semaunya sendiri Semaunya sendiri Masa bodoh Tidak masa bodoh Kadang masa bodoh Masa bodoh Penuh curiga Tidak curiga Kadang curiga Curiga Reaktif Cepat tanggap Kadang cepat tanggap Tidak cepat tanggap Susah diatur Mudah diarahkan Kadang mudah diarahkan Tidak mudah diarahkan Keterangan : Angka dalam tabel menunjukkan jumlah dalam persen (%). Perilaku abnormal/menyimpang adalah perilaku yang tidak adekuat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Kartono, 1992). Pada umumnya mereka terpisah hidupnya dari masyarakat, sering didera oleh konflik batin, dan tidak jarang dihinggapi gangguan mental, demikian pula yang terjadi dengan anak jalanan. Sebagian anak jalanan cenderung menunjukkan perilaku abnormal yang tidak taat dan tidak patuh terhadap aturan, ketentuan dan tata tertib yang berlaku umum. Ketaatan diartikan sebagai suatu sikap kepatuhan atau kesetiaan terhadap sesuatu hal. Kata ketaatan ini berasal dari kata taat yang berarti patuh, menurut dan setia (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Kata taat ini identik dengan disiplin yang diartikan sebagai suatu latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib. Tata tertib diartikan sebagai peraturan-peraturan yang harus dituruti atau dilakukan (Poerwadarminta dan Walters, 1993). Dapat diformulasikan tata tertib adalah suatu peraturan yang mengatur perilaku dan perbuatan manusia di dalam hidup bermasyarakat, agar

139 121 tindakan dan perilakunya tidak menyimpang dari peraturan-peraturan yang berlaku. Seyogyanya konsepsi taat, patuh dan disiplin berfungsi sebagai pengarah seseorang dalam menentukan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat, demikian pula untuk anak jalanan. Upaya mendapatkan perilaku taat dan disiplin diperoleh manusia salah satunya melalui pembinaan dan pelatihan sejak dini, yaitu sejak masa kanakkanak, agar setelah dewasa anak terbiasa hidup berdisiplin. Hal ini menjadi tugas dan kewajiban orang tua sesuai dengan peran dan fungsinya dalam keluarga untuk membina dan melatih anak-anaknya. Akan tetapi pada orang tua anak jalanan sebagian besar kurang bahkan tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan seimbang. Akibatnya pada sebagian besar anak jalanan tidak terbiasa hidup berdisiplin (indisipliner), seperti terbiasa hidup bebas, liar, dan susah diatur, di samping terdapat pula perilaku-perilaku abnormal lainnya. Perilaku tersebut cenderung menunjukkan penyimpangan dari aturan, ketentuan, tata tertib dan kebiasaan yang berlaku umum. Sesungguhnya perilaku abnormal yang ditunjukkan anak jalanan terkait dengan proses simbolisasi diri atau penamaan-diri atau konsepsi-diri (Kartono, 1992). Hal ini terjadi saat anak-anak tumbuh dan berkembang di tengah-tengah lingkungan sosial yang kriminal dan a-susila. Anak jalanan mentransfer warisanwarisan sosial yang buruk dari masyarakat akibat adanya interaksi sosial dan kontak sosial. Kontak sosial yang dilakukan menanamkan konsepsi mengenai nilai-nilai moral dan kebiasaan bertingkah laku yang buruk, baik secara sadar maupun tidak sadar, sehingga anak-anak terkondisi untuk bertingkah laku serupa. Bila anak melakukan proses penamaan-diri atau simbolisasi-diri dengan melambangkan dirinya, dipersamakan dengan tokoh-tokoh tertentu yang dikagumi di jalanan, maka konsep tersebut ditransfer dan terjadi proses imitasi pada dirinya. Proses konsepsi-diri atau simbolisasi-diri umumnya berlangsung secara berangsur-angsur serta perlahan-lahan. Bersamaan dengan proses tersebut, berlangsung pula proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang dalam diri anak, sejak usia mereka masih sangat muda, sampai remaja dan dewasa. Berlangsung pula pembentukan pola tingkah laku deviatif yang progresif sifatnya,

140 122 yang kemudian dirasionalisasi secara sadar, untuk kemudian dikembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis dan menyimpang dari tingkah laku umum (Kartono, 1992). Demikian pula dengan anak jalanan, dalam dirinya terjadi proses penamaan-diri atau simbolisasi-diri yang melambangkan dirinya dipersamakan dengan tokoh-tokoh jalanan seperti preman jalanan, dengan perilaku yang menyimpang dan cenderung mengarah pada kriminalitas dan a-susila. Lambat laun baik sadar maupun tidak sadar anak jalanan akan melakukan proses imitasi terhadap perilaku tokoh yang dikagumi dan merasionalisasinya, untuk kemudian mengembangkan menjadi kebiasaan-kebiasaan patologis dan menyimpang dari tingkah laku anak pada umumnya. Proses simbolisasi dan proses sosialisasi dari tingkah laku menyimpang yang ada dalam lingkungan, secara berangsur-angsur membentuk pola tingkah laku yang deviatif serta progresif, kemudian berkembang dalam diri anak jalanan. Munculnya tingkah laku menyimpang pada anak jalanan juga disebabkan adanya transfer/warisan sosial yang buruk dari masyarakat akibat adanya interaksi sosial dan kontak sosial anak jalanan dengan lingkungan, baik lingkungan terdekat dalam hal ini keluarga maupun lingkungan di luar keluarga. Perilaku abnormal yang ditunjukkan anak jalanan dan keluarganya, mulanya merupakan respon atas situasi dan keadaan yang menghimpit. Akan tetapi disebabkan tidak adanya sarana yang kondusif untuk mereka dapat menyalurkan permasalahan yang dihadapi, yang terakumulasi dari waktu ke waktu, mengakibatkan perilaku tersebut menjadi melembaga dan terinternalisasi dalam diri anak jalanan maupun keluarganya. Hasil penelitian tentang perilaku anak jalanan ini memperkuat hasil penelitian terdahulu (Departemen Sosial, 1999), yakni anak jalanan cenderung memiliki semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, mandiri (yang merupakan perilaku normal), di samping memiliki perilaku curiga, susah diatur, liar, reaktif, sensitif, tertutup dan bebas (yang merupakan perilaku abnormal).

141 123 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Perilaku anak jalanan secara nyata baik langsung maupun tidak langsung banyak dipengaruhi oleh peubah latar belakang keluarga (22 persen) dibanding oleh peubah latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik maupun oleh ciri sosiologiknya, tersaji pada Tabel 27 dan Tabel 28. Tabel 27. Hasil Uji Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Model B Std. Error Beta T Sig. 1 (Constant ) 14,681 3,490 4,207,000 X1,075,025,222 2,973,003 X2,036,038,069,989,324 X3,003,034,006,091,928 X4,032,033,066,963,336 X5,003,039,005,077,939 a Dependent Variable: Y1 Rumusan model efektif faktor yang mempengaruhi perilaku anak jalanan dengan menggunakan uji regresi berganda. Persamaan regresinya adalah : Y 1 = β 0 + β 1 X 1 + β 1 X 2 + β 1 X 3 + β 1 X 4 + β 1 X 5 Hasil Uji regresi berganda diperoleh nilai koefisien regresi seperti yang disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Nilai Koefisian Regresi Berganda Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Perilaku Anak Jalanan (Y 1 ) Faktor-faktor Berpengaruh Koefisien Regresi Latar Belakang Keluarga (X 1 ) 0.075** Latar Belakang Lingkungan (X 2 ) Ciri Fisik Anak Jalanan (X 3 ) Ciri Psikologik Anak Jalanan (X 4 ) Ciri Sosiologik Anak Jalanan (X 5 ) Konstanta R 2 0,045 F hitung Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01

142 124 Tabel 27 memperlihatkan hanya peubah bebas latar belakang keluarga yang berpengaruh nyata secara langsung relatif cukup besar terhadap peubah terikat perilaku anak jalanan (p= 0.222) dibanding peubah bebas lain terhadap perilaku anak jalanan. Hal ini dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 22 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor keluarga berperan besar pada terbentuk dan munculnya perilaku anak jalanan, baik perilaku positif maupun negatif. Di samping disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, yang berpengaruh terutama terhadap ciri psikologik dan ciri sosiologik anak jalanan. Tabel 28 memperlihatkan F hitung sebesar dengan taraf nyata (di bawah α 0.1), maka model regresi ini dapat dipakai untuk memperkirakan perilaku anak jalanan. Uji regresi linear berganda yang dilakukan menghasilkan R 2 sebesar (4.5%). Koefisien ini tergolong kecil, hal ini berarti perilaku anak jalanan banyak dipengaruhi oleh faktor lain. Hal tersebut terlihat pula dari nilai kostanta model regresi di atas yang bernilai positif, dengan makna bahwa perilaku anak jalanan selain dipengaruhi oleh peubah bebas latar belakang keluarga (X 1 ), latar belakang lingkungan (X 2 ), ciri fisik (X 3 ), ciri psikologik (X 4 ) dan ciri sosiologik anak jalanan (X 5 ) juga dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Peubah bebas yang masuk dalam model adalah latar belakang keluarga (X 1 ). Empat peubah lainnya : latar belakang lingkungan (X 2 ), Ciri Fisik (X 3 ), Ciri Psikologik (X 4 ) dan Ciri Sosiologik (X 5 ) dikeluarkan (excluded) dari model, sehingga persamaan regresi untuk model tersebut menjadi : Y 1 = β 0 + β 1 X 1 Persamaan regresi model tersebut Y 1 = X 1

143 ** Latar belakang keluarga (X 1 ) 0.262** 0.349** Latar belakang lingkungan (X 2 ) 0.182** 0.198** 0.154* 0.148* Ciri Fisik Anjal (X 3 ) Ciri Psikologik Anjal (X 4 ) Ciri Sosiologik Anjal (X 5 ) Perilaku anak jalanan (Y 1 ) E= * Keterangan : ** Sangat nyata pada α 0,01 * Nyata pada α 0,05 Gambar 8. Model Efektif Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Anak Jalanan Gambar 8 memperlihatkan latar belakang keluarga berhubungan nyata pada taraf nyata α 0,01 dengan latar lingkungan (p=0.262). Hal ini mengindikasikan bahwa seseorang dari latar belakang keluarga yang buruk (seperti tersaji pada Tabel 13 dan Tabel 14), kecenderungannnya memiliki latar belakang lingkungan di luar keluarga yang buruk pula (seperti tersaji pada Tabel 15 dan Tabel 16). Demikian pula sebaliknya seseorang yang berada pada latar belakang lingkungan yang buruk cenderung berasal dari latar belakang keluarga yang buruk. Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang termasuk anak jalanan dan keluarganya yang berada pada suatu habitat tertentu, cenderung memilih dan memiliki habitat lain yang cenderung tidak berbeda dari habitatnya.

144 126 Pengaruh latar belakang keluarga terhadap perilaku anak jalanan melalui ciri fisik menyumbang sebesar p = 0.182, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 18 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri fisik anak jalanan. Pengaruh latar belakang keluarga melalui ciri psikologik menyumbang sebesar p = 0.198, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 20 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri psikologiknya. Pengaruh latar belakang keluarga melalui ciri sosiologik menyumbang sebesar p = 0.349, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 35 persen dipengaruhi oleh latar belakang keluarga melalui ciri sosiologik anak jalanan. Gambar 8 memperlihatkan bahwa latar belakang lingkungan mempunyai pengaruh langsung yang relatif kecil (p= 0.069) terhadap perilaku anak jalanan. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan sebanyak 7 persen dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan. Pengaruh latar belakang lingkungan terhadap perilaku anak jalanan melalui ciri fisik relatif kecil sebesar 0,01 persen. Latar belakang lingkungan melalui ciri psikologik menyumbang sebesar 15,4 persen. Latar belakang lingkungan melalui ciri sosiologik menyumbang sebesar 14,8 persen. Gambar 8 memperlihatkan bahwa ciri fisik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif kecil (p= 0.006), dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 0.06 persen dipengaruhi oleh ciri fisiknya. Ciri psikologik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif lebih besar dibandingkan ciri fisik dan ciri sosiologik anak jalanan, yaitu sebesar p= Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 7 persen dipengaruhi oleh ciri psikologiknya. Ciri sosiologik anak jalanan mempunyai pengaruh langsung yang relatif paling kecil dibanding dua ciri yang lain yaitu sebesar p= 0.005, dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 0.05 persen dipengaruhi oleh ciri sosiologiknya. Meski ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik memiliki pengaruh yang relatif kecil terhadap perilaku anak jalanan, namun tetap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan saat akan dilakukan upaya pengentasan anak jalanan, karena model berdasarkan hasil uji statistik merupakan model yang efektif.

145 127 Diharapkan dengan memperhatikan ciri anak jalanan yang berpengaruh terhadap perilakunya ini, perubahan yang terjadi lebih bersifat komprehensif, mendasar dan menetap. Gambar 8 memperlihatkan untuk melakukan perubahan perilaku anak jalanan (Y 1 ) dapat dilakukan terutama dengan membenahi latar belakang keluarga (X 1 ) baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak langsung dengan cara membenahi latar belakang keluarga (X 1 ) agar ciri fisik (X 3 ), ciri psikologik (X 4 ) dan ciri sosiologik (X 5 ) anak jalanan berubah. Di samping membenahi latar belakang lingkungan (X 2 ) agar ciri psikologik (X 4 ) dan ciri sosiologik (X 5 ) anak jalanan berubah, dengan harapan hal tersebut dapat memberikan dampak lebih lanjut pada terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Gambar 8 juga memperlihatkan secara keseluruhan peubah bebas dalam penelitian secara total menyumbang pengaruh sebesar p= terhadap perilaku anak jalanan. Dapat diartikan bahwa perilaku anak jalanan, sebanyak 36,8 persen dipengaruhi oleh peubah penelitian. Selebihnya, sebesar E= atau sekitar 63,2 persen dipengaruhi oleh peubah lain. Peneliti menduga pengaruh peubah lain salah satunya adalah adanya masalah kemiskinan yang dialami oleh anak jalanan dan keluarganya. Di sisi lain juga adanya struktur sosial dalam masyarakat, yang menyebabkan terjadinya differensiasi sosial sebagai dampak adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Stratifikasi sosial diartikan Sorokin (Sajogyo, 1985) sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis). Manifestasi dari gejala stratifikasi sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Sajogyo (1985) lebih lanjut menjelaskan dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat ini adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak, kewajiban dan tanggung jawab, serta dalam pembagian nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara para anggota masyarakat. Stratifikasi sosial ini memberikan gambaran mengenai adanya ketidaksamaan (inequality) dalam kehidupan masyarakat. Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah grassroots dengan

146 128 status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang tidak jelas. Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki kemampuan untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004). Weber (Svalastoga, 1989) membedakan empat sistem tingkatan sosial, di mana anak jalanan berada pada tingkatan sosial paling bawah, tingkatan sosial tersebut adalah :1) Tingkatan kekayaan yang menimbulkan kelas-kelas kekayaan. Kelas atas adalah orang yang hidup dari hasil kekayaannya. Kelas bawah adalah orang yang terbatas kekayaannya atau mereka sendiri mungkin menjadi milik orang lain. 2) Tingkatan menurut kekuatan ekonomi yang menimbulkan kelaskelas pendapatan : kelas atas adalah bankir, pemodal ; kelas bawah adalah buruh. 3) Tingkatan yang tercermin menurut kekayaan dan pendidikan. 4) Tingkatan status sosial : kelas atas adalah orang yang memiliki gaya hidup yang paling dapat diterima, berpendidikan tinggi, dan memegang posisi dengan gengsi sosial yang tinggi pula, serta anak keturunan orang yang berstatus sosial tinggi. Lebih lanjut Weber (Svalastoga, 1989) membedakan empat faktor yang menentukan status sosial, yaitu : 1) Gaya hidup atau cara hidup. 2) Pendidikan atau latihan formal berkenaan dengan kemampuan, sikap dan aktivitas. 3) Asal usul keturunan, dan 4) Gengsi pekerjaan. Terkait dengan status sosial inipun, anak jalanan beserta keluarganya cenderung berada pada status yang tidak jelas pula. Peneliti menduga, di samping struktur sosial peubah lain yang turut berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan adalah adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahaan sosial merupakan perubahan pada segi struktur sosial dan hubungan sosial (Iskandar, 1995). Perubahan sosial diartikan sebagai suatu proses yang berlangsung dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial (Rogers, 1969). Diartikan pula sebagai segala yang berlaku dalam suatu jangka waktu, pada peranan institusi atau hal lainnya yang meliputi struktur sosial, termasuk kemunculan dan kemusnahannya. Perubahan sosial juga berarti perubahan dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas (Sajogyo, 1985). Penjelasan di atas memperlihatkan perubahan sosial adalah suatu kondisi yang bisa terjadi di semua lini, sebagai akibat adanya pergeseran/perubahan dalam

147 129 masyarakat, dengan norma, sistem nilai (value system), kebiasaan (adat istiadat), pola interaksi, pola komunikasi, struktur dan hal-hal lain yang ada di dalamnya, yang turut berubah seiring dengan perubahan yang terjadi. Peubah lain yang juga berpengaruh adalah tidak adanya perhargaan sosial (social rewards) atau tidak adanya pengakuan sosial (social recognition) yang mengakui eksistensi, harkat dan martabat anak jalanan sebagai manusia, baik dari pihak keluarga maupun lingkungan, karena walaupun mereka sering dinilai negatif tetap ada sisi-sisi positif. Hal ini terkait dengan pernyataan Skinner (Zimbardo dan Maslach, 1977) yang secara tegas menunjuk penghargaan sosial (social rewards) sebagai faktor yang dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku. Termasuk perilaku anak jalanan salah satunya diduga dibentuk oleh perlakuan yang ditunjukkan dalam bentuk penghargaan dan pengakuan keluarga serta lingkungan yang diterima oleh anak jalanan. Pada prinsipnya kehadiran anak jalanan dengan ciri-ciri serta perilakunya terkait dan tidak terlepas dari sistem yang ada di sekitarnya, serta berhubungan saling pengaruh mempengaruhi, baik dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Masing-masing sub sistem menjalani dan mengalami perubahan-perubahan serta menanggapi perubahan yang ada di dalam sistem atau di luar sistem, dalam derajat yang minimal. Sekaligus masing-masing melakukan upaya penyesuaian dari ketegangan, disfungsi serta penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Daya yang dapat mengintegrasikan sub sistem tersebut adalah konsensus dari semua anggota masyarakat, untuk dapat mengatasi permasalahan yang ada. Termasuk mengatasi permasalahan sosial anak jalanan secara bersamasama, sehingga tercapai stabilitas sosial di dalam masyarakat. Hal di atas sekaligus membuktikan Teori Fungsional dari Parsons (Johnson, 1988; Ritzer dan Godman, 2004) dengan skema A G I L nya, yaitu : (A) adaptation (G) goal attainment (I) integration (L) latency. Di dalamnya sekaligus terjadi upaya-upaya pemeliharan terhadap pola yang terbentuk guna menstabilisir keadaan.

148 130 Penelitian ini membuktikan teori konflik (Dahrendorf, 1959) terjadi pula dalam kehidupan anak jalanan dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Hal ini terkait dengan perubahan sosial yang terjadi akibat faktor-faktor yang ada di dalam sistem (intra systemic change). Anak jalanan dan lingkungan di sekitarnya senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau dengan perkataan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. Manakala hal-hal dalam keluarga anak jalanan mengalami perubahan, maka akan terjadi perubahan pula dalam diri anak jalanan serta dalam lingkungannya. Begitupun sebaliknya, manakala anak jalanan mengalami perubahan maka keluarga akan berubah demikian pula lingkungan. Dalam hal ini manakala terjadi perubahan dalam keluarga, misalnya ayah terkena Pemutusan Hubungan Kerja, ibu terpaksa keluar rumah untuk membantu menopang ekonomi keluarga. Manakala hasil yang diperoleh ibu tidak mencukupi kebutuhan anggota keluarga dan ayah belum memperoleh pekerjaan pengganti, maka anak menjadi aset untuk dapat menopang ekonomi keluarga dengan turun ke jalanan. Manakala anak sudah terlalu sering berada di jalanan dan nilai jalanan sudah terinternalisasi dalam diri anak jalanan, maka hubungan anak dengan orang tua menjadi kurang/tidak intensif. Semakin terinternalisasinya nilai jalanan dalam diri anak jalanan, lingkungan di sekitar anak jalanan relatif semakin menganggap kehadiran anak jalanan sebagai troublemaker dan memberi stigma atas keberadaannya di jalanan. Saat mengalami perubahan terkandung pula konflik-konflik di dalamnya, yang disumbang oleh sub-sub sistem sebagai unsur yang ada dalam masyarakat. Setiap sub sistem (anak jalanan, keluarga, lingkungan) menyumbang bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Di sisi lain masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain, yang terjadi pula dengan kehidupan anak jalanan. Di mana terdapat penguasaan atau dominasi anak jalanan terhadap anak jalanan lain atau anak jalanan oleh orang dewasa jalanan atau oleh orang tuanya. Akibat lebih lanjut dari adanya dominasi atau penguasaan terhadap anak jalanan muncul masalah-masalah sosial, yang merupakan kondisi obyektif yang

149 131 dipandang oleh beberapa anggota masyarakat dari suatu sudut sebagai suatu masalah yang tidak diinginkan (Vembriarto, 1981). Masalah sosial ini dapat berkembang menjadi patologi sosial yang merupakan penyakit-penyakit masyarakat atau keadaan abnormal pada suatu masyarakat (Vembriarto, 1981 dan Asyari, 2000), karena adanya kontak sosial. Patologi sosial anak jalanan ini terlihat dari ciri dan perilaku anak jalanan yang menyimpang dari norma yang berlaku umum. Baik buruknya perilaku seorang anak cenderung merupakan cerminan dari perilaku orang tuanya (orang terdekatnya), karena anak cenderung meniru/ meneladani apa yang dilihat, dirasa dan dialami pada masa-masa perkembangannya terutama dari lingkungan terdekatnya, dalam hal ini orang tua dalam keluarga. Akibatnya manakala terjadi hal-hal yang kurang pantas pada diri anak baik dalam bersikap, berperilaku dan berbahasa, orang tua/orang terdekatlah yang pertama kali dipermalukan. Bagi anak tidak ada pemberian yang lebih baik dari orang tua, kecuali pendidikan yang baik dalam menanamkan budi pekerti yang luhur, juga bimbingan untuk belajar mengucapkan kata-kata yang baik dan diajarkan cara untuk menghormati orang lain serta menghormati dirinya sendiri. Faktor terpenting sebagai upaya menanamkan tata krama dan membentuk perilaku yang baik pada anak adalah dengan memberi contoh langsung melalui keteladanan dari sikap orang tua sehari-hari. Melalui keteladanan anak melihat bagaimana sikap dan perilaku orang tua ketika bergaul dengan orang yang lebih tua, lebih muda dan sebayanya serta bagaimana caranya bersikap, bertutur kata/ berbahasa, makan, duduk, dan berpakaian sehingga anak akan cenderung bersikap seperti itu pula. Hasil penelitian ini juga memperkuat sesuatu yang dikemukakan oleh Linton (1984) bahwa pembinaan budaya tidak sama bentuknya pada setiap suku bangsa bahkan keluarga, karena hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor kebudayaan pendukungnya, antara lain : latar belakang pendidikan, mata pencaharian, keadaan ekonomi, dan adat istiadat. Selain hal-hal yang dikemukakan oleh Linton Wallace (1996) mengemukakan bahwa pengalaman yang diterima pada masa kanak-kanak

150 132 dipengaruhi oleh susunan atau tata lingkungan di mana ia dibesarkan, sedangkan susunan tata lingkungan dipengaruhi oleh masyarakat. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa ada saling pengaruh mempengaruhi antara individu terhadap keluarga dan lingkungan, lingkungan terhadap keluarga dan individu, keluarga terhadap individu dan lingkungan. Antara masa lalu dan masa kini, serta masa kini dan masa yang akan datang, serta apa yang dilakukan/diberikan dengan apa yang pernah diterima seseorang. Demikian pula kemampuan orang tua dalam menjalankan fungsinya dengan baik sehingga keseimbangan (equilibrium) dapat dicapai dan terhindar dari terjadinya difungsional yang dapat mengakibatkan broken home dan kondisi homeless dipengaruhi oleh pengalaman orang tua di masa lalu. Hasil penelitian lapangan sekaligus memperkuat teori yang dikemukakan oleh Popenoe (1989) tentang rumah dan lingkungan yang padat/penuh sesak, bahwa kondisi tersebut dapat memunculkan berbagai masalah yang berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang dan perilaku anak selanjutnya. Penjelasan Popenoe memperlihatkan bahwa perilaku yang diperlihatkan anak jalanan saat ini, adalah merupakan produk dari situasi kondisi keluarga dan lingkungan yang ada disekitarnya. Produk perilaku yang abnormal muncul salah satunya akibat kondisi fisik keluarga dan lingkungan yang tidak aman, tidak nyaman, padat penuh sesak dan menimbulkan perasaan kegagalan pada individu-individu yang berada di dalamnya, terutama pada anak-anak dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak selanjutnya (Popenoe, 1989), di samping akibat tidak adanya penerapan sanksi bagi para pelanggar peraturan, terhadap pelanggaran yang dilakukan baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat. Keluarga dan lingkungan berjalan dengan bebas nilai (value free), tanpa ada disiplin dan rasa tanggung jawab dari warganya, sehingga memunculkan permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan adalah hadirnya anak-anak jalanan, yang oleh sebagian orang dirasakan mengganggu keamanan, ketertiban dan keindahan kota. Kehadiran anak jalanan dianggap tidak patuh dengan ketentuan-ketentuan dan

151 133 aturan-aturan yang ada, dengan berada di tengah jalan, di kendaraan-kendaraan, di perempatan-perempatan dan di fasilitas umum lainnya. Hal di atas terkait dengan pernyataan Soekanto (1991), manusia sebagai pengguna jalan raya memerlukan disiplin dan kebebasan. Artinya manusia dapat menggunakan jalan raya dengan bebas, asal tidak mengganggu kebebasan orang lain sesama pengguna jalan raya. Ketertiban dan disiplin jalan raya terletak pada kepatuhan pengguna jalan raya untuk tidak menimbulkan gangguan terhadap orang lain, sedangkan kehadiran anak di jalanan dengan berbagai aktivitasnya, seringkali dirasakan menganggu sebagian orang. Anak jalanan dengan berbagai aktivitasnya di jalanan merupakan produk dari tidak jelasnya penerapan sanksi hukum bagi mereka yang dinilai melanggar ketertiban, keamanan dan kenyamanan. Hal ini disebabkan belum adanya undangundang atau peraturan pemerintah yang memberikan sanksi hukum yang jelas bagi mereka yang mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan di jalanan atau di fasilitas umum lainnya. Akibatnya situasi dan kondisi anak untuk turun ke jalan menjadi salah satu solusi serta kebiasaan, yang semakin melembaga bagi anak yang terdesak dan merasa tidak nyaman berada dalam lingkungan keluarganya, karena berdomisili di daerah slum yang padat/penuh sesak dengan situasi dan kondisi yang berada di bawah standar. Hasil penelitian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan membuktikan teori fungsional struktural (Berghe dalam Demerath, 1967) terjadi pula dalam hidup dan kehidupan anak jalanan. Anak jalanan sebagai sub sistem yang langsung maupun tidak, dipengaruhi dan mempengaruhi sub sistem lain yang ada dalam sistem sosialnya. Sistem ini secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium yang bersifat dinamis, yang antar bagian sistem terjadi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat bolak-balik (reciprocal) satu sama lain.

152 134 Strategi Pengentasan Anak Jalanan Gambar 9 memperlihatkan peubah latar belakang keluarga memiliki pengaruh yang nyata lebih besar terhadap perilaku anak jalanan, dibandingkan peubah lainnya. Hal ini memperlihatkan buruknya perilaku anak jalanan disebabkan terutama oleh buruknya latar belakang keluarga. Di samping buruknya perilaku anak jalanan juga disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, serta adanya pengaruh ciri-ciri anak jalanan terhadap perilaku yang ditampilkan oleh anak. Strategi pengentasan anak jalanan disusun berdasarkan komponenkomponen sub peubah dari peubah profil anak jalanan yang secara nyata berpengaruh dan berhubungan terhadap munculnya perilaku tertentu pada diri anak jalanan, tersaji pada Gambar 9. Diharapkan dengan memperhatikan sub peubah yang berpengaruh dan berhubungan terhadap munculnya perilakuperilaku tertentu pada anak jalanan, dapat dilakukan dan terjadi perubahan perilaku pada diri anak jalanan karena kesadarannya sendiri. Perubahan perilaku yang terjadi diharapkan dapat mengantarkan anak jalanan pada pola perilaku baru yang dapat mendorongnya keluar dari jalanan karena malu dengan pola perilakunya yang lama. Hasil uji SEM pada Gambar 9 memperlihatkan beberapa sub peubah dari peubah eksogen dan endogen memiliki nilai C.R (critical ratio) yang menunjukkan adanya pengaruh dan hubungan terhadap munculnya perilakuperilaku tertentu pada diri anak jalanan. Hasil pengujian model pada Gambar 9 menunjukkan bahwa model tersebut nyata pada α = 0,05, dengan tingkat nyata chi-square model menunjukkan angka 762, 98<1418,57 ini berarti data secara empiris sesuai dengan model. Data secara nyata tidak berbeda dengan model dan teori-teori yang mendasarinya (Cochran dalam Ghozali dan Fuad, 2005).

153 Gambar 9. Hasil Uji Structural Equation Model dari Profil Anak Jalanan 135

154 136 Gambar 9 memperlihatkan nilai indeks RMSEA (root mean square error of approximation) sebesar 0,060<0,08 mengindikasikan adanya model yang fit. Nilai indeks GFI (goodness of fit index) sebesar 0,82 dan AGFI (adjusted goodness of fit index) sebesar 0,79 keduanya mendekati 0,9 yang menunjukkan bahwa model cukup fit (Diamantopaulus dan Siguaw dalam Ghozali dan Fuad, 2005). Nilai Indeks PGFI (parsimony goodness of fit index) sebesar 0.70 menunjukkan bahwa model fit. Menurut Byrne (Ghozali dan Fuad, 2005) model yang baik apabila memiliki nilai PGFI lebih besar dari 0,6. Analisis descriptive statistic ini menunjukkan bahwa data layak digunakan dan dinyatakan masuk akal (plausible) atau fit termasuk model diterima dan tidak perlu dilakukan modifikasi, dengan Standardized RMR (Root Mean Square Residual) sebesar Gambar 9 memperlihatkan nilai C.R (Critical Ratio) peubah independence (eksogen) latar belakang keluarga berpengaruh nyata terhadap perilaku anak jalanan baik langsung maupun tidak langsung melalui peubah antara (bisa menjadi eksogen atau endogen) ciri fisik anak jalanan (-0.13), ciri psikologik anak jalanan (-0,30) dan ciri sosiologik anak jalanan (-0,52), serta pada peubah terikat (endogen) perilaku anak jalanan (-0,03), dengan nilai indek lebih kecil daripada pada taraf nyata α Angka pada Gambar 9 memperlihatkan nilai pengaruh latar belakang keluarga cenderung lebih besar melalui ciri sosiologik anak jalanan, kemudian melalui ciri psikologik, selanjutnya melalui ciri fisik anak jalanan. Dibandingkan dengan yang berpengaruh langsung terhadap perilaku anak jalanan. Hasil uji dengan menggunakan Stuctural Equation Model ini, sekaligus memperkuat hasil pengujian dengan menggunakan Path Analysis pada hipotesis kedua. Nilai C.R peubah latar belakang lingkungan kurang tampak nyata terhadap perilaku anak jalanan, baik langsung maupun tidak langsung melalui peubah ciri fisik anak jalanan (0.10), ciri psikologik anak jalanan (0,13) dan ciri sosiologik anak jalanan (0,15), serta pada peubah terikat (endogen) perilaku anak jalanan (0,01). Meski kurang nyata, pengaruh latar belakang lingkungan tetap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan dan strategi.

155 137 Demikian pula dengan ciri anak jalanan, meski pengaruhnya kurang nyata terhadap perilaku anak jalanan, namun dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menyusun strategi, mengingat standardized model yang cukup masuk akal (plausible) atau fit berdasarkan teori dan data empiris yang diperoleh. Gambar 9 memperlihatkan peubah latar belakang keluarga menunjukkan pengaruh yang nyata lebih besar terhadap perilaku anak jalanan, dibandingkan aspek lainnya. Hal ini memperlihatkan buruknya perilaku anak jalanan disebabkan terutama oleh buruknya latar belakang keluarga. Di samping buruknya perilaku anak jalanan juga disebabkan oleh buruknya latar belakang lingkungan, serta adanya pengaruh ciri-ciri anak jalanan terhadap perilaku yang ditampilkan oleh anak. Nilai C.R. sub-sub peubah yang berpengaruh dan berhubungan terhadap munculnya perilaku anak jalanan tersaji pada Tabel 29, yang telah disusun berdasarkan besarnya tingkat pengaruh. Tabel 29. Hasil Uji SEM Nilai Pengaruh dan Hubungan Sub Peubah Latar Belakang Keluarga, Latar Belakang Lingkangan, Ciri Fisik, Ciri Psikologik, dan Ciri Sosiologik Terhadap Perilaku Anak Jalanan Peubah Sub Peubah Nilai C.R Latar Belakang keluarga X 1 Kondisi fisik keluarga (X 1.1 ) -0,28 Perlakuan terhadap anak (X 1.2 ) -0,30 Pelaksanaan fungsi keluarga (X 1.4 ) 1,00 Latar Belakang Lingkungan X 2 Pendidikan non formal yang diberikan -0,05 lingkungan (X 2.1 ) Kondisi fisik lingkungan (X 2.2 ) -0,17 Penerapan sanksi (X 2.3 ) 1,00 Ciri Fisik X 3 Penampilan fisik (X 3.3 ) -0,20 Jenis kelamin (X 3.1 ) -0,29 Umur (X 3.5 ) -0,33 Pakaian (X 3.2 ) -0,45 Penyakit yang diderita (X 3.4 ) 1,00 Ciri Psikologik X 4 Mobilitas mental (X 4.2 ) -0,04 Tingkat kreativitas (X 4.7 ) -0,35 Pengalaman anak jalanan (X 4.4 ) 1,00 Ciri Sosiologik X 5 Asal daerah (X 5.2 ) -0,50 Mobilitas fisik (X 5.7 ) 1,00 Perilaku Anak Jalanan Y 1 Perilaku normal (Y 1.1 ) 1,00 Perilaku abnormal (Y 1.2 ) -0,81 Keterangan : C. R = Critical Ratio.

156 138 Tabel 29 memperlihatkan latar belakang keluarga dipengaruhi oleh sub peubah Kondisi fisik keluarga (X 1.1 ), Perlakuan terhadap anak (X 1.2 ) dan Pelaksanaan fungsi keluarga (X 1.4 ). Kondisi fisik keluarga (X 1.1 ) mengindikasikan bahwa semakin buruk sanitasi dan ventilasi rumah, serta semakin sempit tanpa adanya sarana, prasarana serta fasilitas yang memadai bagi anak untuk dapat bermain dan mengekpresikan diri, di rumah dari mana anak jalanan berasal semakin menonjol perilaku abnormal yang ditampilkan oleh anak jalanan. Perlakuan terhadap anak (X 1.2 ) mengindikasikan bahwa semakin besar keinginan anak untuk membantu keluarga dan semakin besar eksploitasi keluarga terhadap anak untuk membantu perekonomian keluarga dengan adanya hukumanhukuman yang diperoleh anak bila mereka menolak eksploitasi, semakin menonjol perilaku yang ditampilkan oleh anak jalanan seperti perilaku liar, bebas dan susah diatur. Pelaksanaan fungsi keluarga (X 1.4 ) secara timbal balik mengindikasikan semakin buruk dan tidak seimbang pelaksanaan fungsi keluarga oleh orang tua anak jalanan semakin nampak nyata perilaku abnormal anak jalanan, begitupun sebaliknya. Di sisi lain semakin abnormal perilaku anak jalanan, semakin buruk dan tidak seimbang pelaksanaan fungsi keluarga oleh orang tua. Hal ini disebabkan antara ayah dan ibu menjadi saling menyalahkan, dan saling mencari pembenaran atas hal-hal yang dilakukan, sehingga tidak ada keseimbangan dalam pelaksanakan fungsi keluarga, baik fungsi ekonomi, fungsi perlindungan atau pengawasan dan fungsi pendidikan. Hal ini berhubungan dengan perilaku anak di satu sisi, dan di sisi lain perilaku anak jalanan berpengaruh terhadap cara orang tua dalam melaksanakan fungsi keluarganya. Seyogyanya dengan adanya keseimbangan dan meningkatnya pelaksanaan fungsi keluarga oleh orang tua, dapat ditekan perilaku abnormal dan lebih memunculkan perilaku normal yang positif pada anak jalanan. Latar belakang lingkungan dipengaruhi oleh sub peubah Pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (X 2.1 ), Kondisi fisik lingkungan (X 2.2 ), Penerapan sanksi (X 2.3 ).

157 139 Pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (X 2.1 ) mengindikasikan semakin jarang anak jalanan menerima/melakukan kegiatan belajar di lingkungan/ masyarakatnya (yang merupakan pendidikan non formal, yang bisa dilakukan atau diberikan dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan) semakin nampak nyata perilaku yang ditampilkan anak jalanan. Hal ini memperlihatkan bahwa pengaruh lingkungan terhadap perilaku anak jalanan, sangat efektif bila dilakukan melalui pendekatan pendidikan non formal (penyuluhan) yang berkesinambungan, serta dilakukan oleh para penyuluh/pendamping di lapangan guna mengubah/ menghilangkan perilaku yang abnormal dan meningkatkan perilaku normal dari anak jalanan. Di sinilah peran penyuluh dengan penyuluhan yang dilakukan sebagai pendidikan non formal menjadi sangat penting untuk dapat mengubah perilaku anak jalanan. Kegiatan/proses penyuluhan dilakukan dengan upaya pemberian penghargaan dan hukuman yang bisa menjadi penguat bagi tingkah laku anak jalanan. Kondisi fisik lingkungan (X 2.2 ) mengindikasikan semakin kumuh/padat/ sesak daerah asal anak, di samping semakin banyak polusi suara, udara, air dan tindak kekerasan di lingkungan sekitar anak jalanan semakin menonjol perilaku yang ditampilkan anak jalanan. Hal ini memiliki makna bahwa strategi untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memperbaiki/ memanfaatkan lingkungan di sekitar anak jalanan berasal. Penerapan sanksi (X 2.3 ) secara timbal balik mengindikasikan bahwa semakin longgar atau tidak adanya sanksi dalam masyarakat semakin menonjol perilaku anak jalanan. Kondisi ini disebabkan tanpa adanya penerapan sanksi, anak jalanan menjadi leluasa untuk melakukan hal-hal yang diinginkan dan mengekpresikan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada aturan yang membatasi. Hal ini memiliki makna bahwa strategi untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan lingkungan di sekitar anak jalanan. Di antaranya dengan cara memberikan sanksi bagi anak-anak yang berada di jalanan untuk tidak membentuk sub kultur tersendiri yang berbeda dari yang ada di sekitarnya. Di samping adanya penerapan sanksi hukum bagi anak-anak yang berada di jalanan agar tidak menggangu dan menimbulkan

158 140 ketidakamanan, ketidaknyamanan dan ketidaktertiban. Dalam hal ini penerapan sanksi penting dilakukan agar perilaku anak jalanan terkendali dan patuh terhadap aturan yang berlaku umum, di sisi lain terkendalinya perilaku anak jalanan akan berdampak pada kurangnya hukuman yang diperoleh anak jalanan akibat pelanggaran yang dilakukan. Ciri fisik anak jalanan dipengaruhi oleh sub peubah Penampilan fisik (X 3.3 ), Jenis kelamin (X 3.1 ), Umur (X 3.5 ), Pakaian (X 3.2 ) dan berhubungan dengan Kondisi kesehatan atau Penyakit yang diderita (X 3.4 ) oleh anak jalanan. Hal ini memiliki makna untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan/memperbaiki ciri fisik anak jalanan, terkait dengan penampilan fisik untuk berpenampilan yang pantas dipandang mata dengan pembiasaan menjaga penampilan dengan mencuci pakaian dan mandi dua kali sehari pada masing-masing jenis kelamin di semua kelompok umur anak jalanan. Di samping memperhatikan kondisi kesehatan anak jalanan yang berpengaruh terhadap ciri fisik yang ditampilkan, di satu sisi, dan di sisi lain tampilan ciri fisik merupakan pengaruh dari kondisi kesehatan yang dimiliki anak jalanan. Ciri psikologik dipengaruhi oleh sub peubah Mobilitas mental (X 4.2 ), Tingkat Kreativitas (X 4.7 ) dan Pengalaman anak jalanan (X 4.4 ). Mobilitas mental (X 4.2 ) mengindikasikan untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan memanfaatkan/memperbaiki ciri psikologik anak jalanan. Khususnya sub peubah mobilitas mental, agar anak tidak terlalu sering mengalami mobilitas mental dan lebih stabil emosinya sehinggga berdampak pada seimbang dan stabilnya kondisi kejiwaan anak. Diharapkan dengan kondisi jiwa yang stabil, perilaku yang ditampilkan stabil dan tidak emosional. Tingkat kreativitas (X 4.7 ) mengindikasikan semakin banyak kegiatan yang dapat menggali dan mengembangkan daya kreativitas anak jalanan, semakin potitif ciri psikologik anak jalanan yang akan berdampak pada positifnya perilaku anak jalanan, begitupun sebaliknya. Pengalaman anak jalanan. (X 4.4 ) secara timbal balik mengindikasikan semakin lama anak tinggal di jalan dengan pengalaman yang negatif akan berpengaruh terhadap ciri psikologik, dan selanjutnya berpengaruh pada perilaku

159 141 yang ditampilkan. Dalam hal ini pengalaman terkait dengan lamanya anak tinggal di jalan berpengaruh pada ciri psikologik anak dan selanjutnya pada perilaku anak. Di sisi lain secara timbal balik perilaku anak dapat dilihat dari pengalaman lamanya anak tinggal di jalan. Semakin lama anak tinggal di jalanan dengan pengalaman-pengalaman yang negatif, semakin abnormal perilaku yang di tampilkannya. Di samping semakin terinternalisasinya nilai-nilai dan kehidupan jalanan dalam diri anak, sehingga upaya untuk mengentaskannya relatif menjadi lebih sulit. Ciri sosiologik anak jalanan dipengaruhi oleh sub peubah Asal daerah (X 5.2 ) dan Mobilita fisik (X 5.7 ). Asal daerah (X 5.2 ) mengindikasikan upaya untuk mengubah perilaku anak jalanan dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan terkait dengan asal daerah anak jalanan. Baik dalam hal bahasa, nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan. Diharapkan dengan pendekatan menggunakan atribut sesuai dengan daerah asal anak jalanan, seperti bahasa dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di daerah anak jalanan, agent of change lebih dapat diterima oleh anak jalanan, di samping penyesuaian anak jalanan terhadap kegiatan serta program/treatment menjadi lebih mudah. Mobilitas fisik (X 5.7 ) secara timbal balik mengindikasikan semakin sering anak jalanan melakukan mobilitas fisik semakin nyata perilaku-perilaku yang di tampilkanya. Hal ini disebabkan, dengan semakin seringnya anak melakukan mobilitas fisik, semakin sering pula anak berinteraksi dengan lingkungan dan orang yang berbeda. Ini berarti semakin besar pula pengaruh lingkungan terhadap diri dan perilakunya. Perilaku normal (Y 1.1 ) anak jalanan berhubungan nyata secara timbal balik dengan sub-sub peubah dari peubah seperti dikemukakan di atas. Hal ini mengindikasikan perilaku normal dipengaruhi dan di sisi lain mempengaruhi peubah dengan sub-sub peubah di atas. Perilaku abnormal (Y 1.2 ) dipengaruhi oleh peubah dengan sub-sub peubah di atas. Baik peubah latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan maupun ciri-ciri anak jalanan.

160 142 Diharapkan dengan memperhatikan pengaruh dan hubungan sub peubah dari tiap peubah, perubahan yang terjadi lebih bersifat komprehensif, mendasar dan menetap. Hal ini bermakna, upaya mengentaskan anak dari jalanan dengan cara mengubah perilakunya, dapat dilaksanakan melalui pendekatan keluarga, pendekatan lingkungan serta dengan memperhatikan ciri-ciri yang dimiliki oleh anak jalanan. Berdasarkan hasil analisis SEM seperti terlihat pada Gambar 9, dibahas pengaruh indikator dari sub peubah pelaksanaan fungsi keluarga. Meliputi pelaksanaan fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi/pendidikan dan fungsi pengawasan tersaji pada Gambar 10. Gambar 10 memperlihatkan bahwa Pelaksanaan fungsi keluarga dalam kaitannya dengan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anak jalanan, secara nyata dan berurutan dipengaruhi oleh Pelaksanaan fungsi perlindungan/ pengawasan keluarga (X ), Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga (X ) dan Pelaksanaan fungsi sosialisasi keluarga (X ). Pelaksanaan fungsi reproduksi keluarga X Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga X142 Pelaksanaan fungsi sosialisasi keluarga X Pelaksanaan fungsi i keluarga X14 Pelaksanaan fungsi pengawasan keluarga X144 Gambar 10. Hasil Uji SEM Pengaruh Indikator Sub Peubah Pelaksanaan Fungsi Keluarga

161 143 Pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan (X ) dengan nilai C.R sebesar lebih kecil dari -1.96, yang menunjukkan adanya pengaruh pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi keluarga. Fungsi pengawasan/perlindungan diberikan keluarga tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan moral. Pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan ini ditujukan untuk menjaga dan memelihara anak serta anggota keluarga lainnya dari tindakan negatif yang timbul, baik dari dalam maupun dari luar keluarga. Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga dengan nilai C.R sebesar Fungsi ekonomi ini dilihat selain dari kemampuan materi juga dari kemampuan keluarga untuk mengatur keseimbangan antara penghasilan dan pengeluaran. Pelaksanaan fungsi sosialisasi keluarga dengan nilai C.R sebesar -0.88, yang merupakan proses penanaman nilai, norma dan pengetahuan mengenai kelompok atau masyarakat dari orang tua pada anak-anaknya. Di samping belajar mengenai peran sosial yang cocok dengan kedudukannya. Fungsi reproduksi tidak berpengaruh nyata terhadap pelaksanaan fungsi keluarga dalam kaitannya dengan munculnya perilaku-perilaku tertentu pada anak jalanan. Hal ini memiliki makna berfungsi atau tidak berfungsi, fungsi reproduksi orang tua dalam keluarga tidak memberi pengaruh yang nyata bagi muncul dan berkembangnya perilaku-perilaku tertentu pada diri anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM tentang pengaruh indikator sub peubah pelaksanaan fungsi keluarga terhadap munculnya perilaku-perilaku anak jalanan, maka untuk menyeimbangkan dan mengharmonisasi pelaksanaan fungsi keluarga dapat dilakukan dengan prioritas utama mengubah/memperbaiki pelaksanaan fungsi perlindungan/pengawasan orang tua terhadap anak, kedua mengubah/ memperbaiki fungsi ekonomi keluarga dan ketiga mengubah/memperbaiki fungsi sosialisasi atau fungsi pendidikan. Berdasarkan hasil analisis SEM seperti terlihat pada Gambar 9 tentang pengaruh serta hubungan masing-masing sub peubah terhadap peubah eksogen dan endogen, disusun Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan. Sekaligus Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan secara terurut memuat tahapan-

162 144 tahapan berdasarkan skala prioritas perubahan yang dapat dilakukan, disajikan pada Gambar 11. Strategi TRIDAYA Pengentasan anak Jalanan seperti disajikan pada Gambar 11 memperlihatkan bahwa upaya pengentasan anak jalanan dilaksanakan dengan melakukan Pemberdyaan Manusia baik manusia anak jalanan, keluarga anak jalanan dan pendamping anak jalanan, Pemberdayaan Lingkungan dan Pemberdayaan Kegiatan. Pemberdayaan manusia anak jalanan dilakukan dengan cara mengubah ciri fisik, ciri psikologik maupun ciri sosiologik dari anak jalanan terkait dengan beberapa sub peubah yang berpengaruh nyata. Di antaranya dengan mengubah ciri fisik terkait dengan sub peubah penampilan fisik, cara berpakaian, dan kesehatan dengan memperhatikan jenis kelamin serta umur anak jalanan. Ciri psikologik dengan mengubah pengaruh mobilitas mental, tingkat kreativitas dan pengalaman menjadi anak jalanan. Ciri sosiologik dengan mengubah pengaruh asal daerah dan mobilitas fisik anak jalanan. Pemberdayaan keluarga anak jalanan dilakukan dengan mengubah kondisi fisik keluarga, perlakuan keluarga terhadap anak serta pelaksanaan fungsi keluarga. Bina pendamping anak jalanan dilakukan dengan upaya mengubah perilaku melalui pemberian pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan tugas dan peranan sesuai dengan tanggung jawabnya serta dilakukan sertifikasi bagi para penyuluh sosial/pekerja sosial/pendamping sosial yang menangani permasalahan sosial anak jalanan. Pemberdayaan lingkungan dilakukan dengan mengubah/memperbaiki/ meningkatkan pendidikan non formal yang diberikan oleh lingkungan, mengubah/ memperbaiki kondisi fisik lingkungan dan upaya penerapan sanksi yang nyata, jelas, tegas dan konsisten.

163 Gambar 11. Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan 145

164 146 Kegiatan Pemberdayaan Manusia dan Pemberdayaan Lingkungan dilakukan melalui Pemberdayaan Kegiatan. Pemberdayaan Kegiatan dilakukan dengan cara penyuluhan/pendidikan non formal dan sosialisai Strategi TRIDAYA serta konsolidasi dengan pihak-pihak terkait. Kegiatan diselenggarakan secara bersama dan berkesinambungan antara Pemerintah, Swasta, LSM dan Masyarakat di bawah koordinasi Departemen Sosial. Tujuan dari ketiga bina di atas adalah terjadinya perubahan perilaku anak jalanan dari abnormal menjadi normal, serta dari perilaku normal semakin meningkat. Diharapkan dengan terjadinya perubahan perilaku, anak jalanan dapat menyadari bahwa jalanan bukan satu-satunya solusi untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Dampak lebih lanjut diharapkan dengan adanya perubahan perilaku muncul kesadaran dari anak jalanan untuk dapat keluar dari kehidupannya di jalanan dan mencari kehidupan yang lebih layak dengan ciri diri yang berubah. Upaya menyusun strategi pengetasan anak jalanan penting dilakukan guna menjawab hal-hal yang selama ini belum dapat diatasi oleh Pemerintah terutama melalui Departemen Sosial. Tersedianya strategi pengentasan anak jalanan yang efektif dan efisien, diharapkan dapat menjadi langkah perbaikan/perubahan situasi dan kondisi anak jalanan. Hal ini penting menjadi sasaran target perubahan, karena terbukti program-program pengentasan anak jalanan yang selama ini dilakukan kurang dapat mengubah situasi dan kondisi kehidupan anak jalanan. Hal di atas penting dilakukan mengingat situasi dan kondisi kehidupan anak jalanan bila tidak diubah, dapat meluas dan menarik anak rumahan yang rentan menjadi anak jalanan untuk turun ke jalanan. Anak yang rentan menjadi anak jalanan ini, lambat laun menyerap nilai jalanan sehingga terinternalisasi dan kemudian menjadi anak jalanan baru dengan nilai jalanan yang melembaga dalam diri. Di sisi lain, bila permasalahan anak jalanan tidak diatasi dapat memancing muncul dan berkembangnya permasalahan sosial lain yang lebih serius dan komplek, seperti terjadinya eksploitasi tenaga, eksploitasi seks, paedofilia, penyalahgunaan obat dan zat adiktif lainnya, child trafficing dan lain-lain.

165 147 Berdasarkan hasil pengamatan serta beberapa hasil penelitian, kurang berhasilnya upaya mengatasi permasalahan anak jalanan dan keluarganya yang selama ini telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain, disebabkan program/upaya yang dilaksanakan terlalu bersifat Top down masih kental warna pemerintah, serta project oriented mengejar pemenuhan berdasarkan pada target proyek dan economic oriented di mana kegiatan/program terselenggara bila ada dana bantuan dari pemerintah, sedang manakala dana bantuan dihentikan, program/kegiatan cenderung terhenti. Belum merupakan upaya pemberdayaan yang bersifat bottom up atau hybrid, subject oriented dan social oriented. Namun demikian di tiga wilayah penelitian telah dilaksanakan upaya pengentasan anak jalanan meski warna situasi dan kondisi di atas masih tetap kental, yang melibatkan baik Pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Akan tetapi peran serta swasta dan masyarakat secara individu relatif masih kecil. Di sisi lain masih ada upaya penyeragaman program, serta belum adanya upaya menerima keberagaman program yang memberikan keleluasaan pada pihak daerah untuk dapat mengembangkan program sesuai dengan kemampuan, situasi, kondisi dan lingkungan strategis yang ada di wilayahnya. Selain itu program kegiatan belum dilakukan secara komprehensif masih pada tahap penanganan masalah pada satu segmen/bagian-bagian tertentu dengan disiplin ilmu yang banyak terlibat adalah disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial dan tidak berkesinambungan. Seyogyanya penanganan permasalahan sosial (termasuk permasalahan sosial anak jalanan) dapat melibatkan berbagai disiplin ilmu. Hal ini senaga dengan yang dikemukakan oleh (Compton dan Galaway, 1979) bahwa tidak mungkin penanganan permasalahan sosial ditangani oleh disiplin Ilmu Pekerjaan Sosial saja, tetapi harus melibatkan ilmu-ilmu lainnya. Termasuk Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang merupakan disiplin ilmu yang dibutuhkan hampir di semua bidang pelayanan yang mempunyai sasaran masyarakat. Ilmu Penyuluhan Pembangunan terutama diperlukan dalam proses mengubah perilaku, khususnya pada proses penyadaran individu, kelompok atau

166 148 masyarakat akan masalah, potensi, kekuatan dan sumber-sumber yang dimiliki (Rogers, 1983). Penyadaran disini bukanlah proses penyadaran yang terjadi pada tahap awal tetapi proses penyadaran yang berlangsung selama penanganan masalah dilakukan, baik pada tahap awal, tahap pelaksanaan hingga tahap akhir. Semua tahapan membutuhkan proses penyadaran hingga tumbuh sikap dan perilaku untuk mau bertindak dan berbuat. Demikian pula yang dilakukan dengan upaya pengentasan anak jalanan yang disusun dalam strategi-strategi tertentu berdasarkan hasil penelitian, tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu disiplin ilmu tertentu, serta hanya oleh Departemen Sosial. Perlu ada kerjasama antar berbagai disiplin ilmu serta berbagai pihak terkait, baik Pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat di semua lini secara bersama-sama dan berkesinambungan. Diharapkan dengan mekanisme yang jelas serta metode yang tepat, tumbuh kesadaran dan kepedulian untuk mau bertindak dan berbuat dari pihak-pihak yang berkompeten juga dari penyandang permasalahan itu sendiri guna mengatasi permasalahan dan menolong dirinya sendiri (self help) secara nyata. Kesadaran dan kepedulian untuk mau bertindak dan berbuat yang dibangun berdasarkan hasil penelitian, salah satunya dengan menggunakan uji SEM yang memperlihatkan kondisi fisik keluarga anak jalanan dan kondisi fisik lingkungan anak jalanan ternyata berpengaruh nyata pada perilakunya, sekaligus hal ini memperkuat pernyataan Popenoe (1989) tentang pengaruh negatif keluarga dan lingkungan yang padat/penuh sesak/berada di daerah slum, pada muncul dan berkembangnya perilaku-perilaku negatif. Hasil penelitian terkait dengan strategi pengentasan anak jalanan yang dilakukan melalui uji SEM, sekaligus membuktikan bahwa kegagalan keluarga menjalankan fungsinya cenderung disebabkan yang pertama oleh tidak terlaksananya dengan baik fungsi pengawasan/perlindungan, kemudian disebabkan tidak terlaksananya dengan baik fungsi ekonomi dan selanjutnya tidak terlaksananya fungsi sosialisasi/pendidikan. Berdasarkan hasil uji lapangan ini dapat disimpulkan bahwa meski faktor kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga menjadi penyebab utama turunnya

167 149 anak-anak ke jalanan (Tjahjorini, 2001 ; Sulistiati, 2001), namun bukan sematamata kemiskinan dan ketidakmampuan keluarga yang menyebabkan munculnya perilaku anak jalanan yang mendorongnya lebih senang berada di jalanan. Ada faktor lain yang utama yaitu tidak berfungsinya dengan baik fungsi pengawasan/ perlindungan keluarga. Orang tua cenderung membiarkan anak lepas bebas tanpa ada aturan yang dapat membatasi dan mengarahkan perilaku anak pada hal-hal yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Orang tua lebih menekankan pola asuhannya pada cara yang membebaskan anak tanpa ada aturan-aturan yang mengikat perilakunya (laisses faire). Pola asuhan dari orang tua anak jalanan seperti inilah yang dapat memicu anak turun ke jalanan, dan hidup bebas, lepas, liar dan masa bodoh dengan apa yang terjadi pada lingkungan. Sekaligus hal tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi anak yang rentan untuk turun ke jalan, karena adanya tekanan di mana anak dipaksa turun ke jalan baik dengan siksaan maupun tidak kemudian menyerahkan hasilnya pada orang tua, serta adanya rasa tidak senang berada dalam lingkungan keluarga dan mencari kebebasan serta kesenangan di jalanan. Pemerintah tidak dapat ditunjuk sebagai satu-satunya pihak yang dipersalahkan atas makin maraknya masalah anak jalanan, akibat gagalnya upaya pengentasan kemiskinan. Namun keluarga serta lingkunganpun turut andil terhadap semakin maraknya masalah anak jalanan, sehingga untuk mengatasinya diperlukan kerjasama berbagai pihak secara berkesinambungan, dengan mengembangkan Strategi TRIDAYA yang memberdayakan anak jalanan, keluarga, pendamping dan lingkungan secara komprehensif. Penerapan upaya pengentasan anak jalanan seperti tersaji pada Gambar 11 dapat dilaksanakan dengan memadukan Strategi TRIDAYA dengan Strategi Model Holistik-Komprehensif Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak (Suharto, 1997) bahkan dipadukan dengan strategi lain. Diharapkan dengan menggunakan strategi yang refresentatif dan komprehensif, upaya pengentasan anak jalanan dapat lebih berhasil dan berdaya guna, yang dapat memunculkan perilaku normal dan menekan bahkan menghilangkan perilaku abnormal. Perubahan perilaku diharapkan lambat laun dapat terjadi dan melembaga dalam

168 150 diri anak, yang dapat mengantarkannya pada kehidupan normal sebagai anggota masyarakat serta dapat mengantarkan anak untuk keluar dari kehidupannya di jalanan karena kesadaran sendiri dan adanya rasa malu dengan perilaku lama. Penjabaran dari masing-maing Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak jalanan pada Gambar 11, yang dapat dilaksanakan guna mengentaskan anak dari jalanan, tersaji pada Tabel 30. Di dalamnya memuat tentang kegiatan-kegiatan apa yang dapat dilakukan, pihak-pihak mana yang terlibat dalam kegiatan, alasan mengapa kegiatan tersebut dilakukan, di mana dilakukan, bagaimana kegiatan dapat dilakukan serta bagaimana metode yang dapat digunakan

169 Tabel 30. Penjabaran Tahapan Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan Tahap Mengapa harus diubah Bagaimana cara mengubahnya Berdasarkan hasil uji SEM latar belakang keluarga merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar baik langsung maupun tidak terhadap perubahan perilaku anak jalanan A.1.Pemberdayaan Keluarga Anak Jalanan, dilakukan dengan : a.mengubah kondisi fisik keluarga b.mengubah Perlakuan terhadap anak Berdasarkan hasil uji SEM kondisi fisik keluarga (-0,28) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar terhadap upaya mengubah latar belakang keluarga. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah latar belakang keluarga anak jalanan, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM Perlakuan terhadap anak (-0,30) merupakan faktor yang menyumbang pengaruh nyata terbesar kedua terhadap upaya mengubah latar belakang keluarga anak jalanan, sehingga menjadi prioritas kedua, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan Cara mengubah latar belakang keluarga anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu : 1) Melibatkan pihak pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah setempat) sebagai inisiator, LSM, swasta dan masyarakat untuk menata pemukimanpemukiman yang padat/kumuh dan penuh sesak menjadi tertata rapih dan bersih. 2) Dilakukan penyuluhan-penyuluhan oleh lembaga/instansi terkait secara kontinyu melalui media masa atau langsung terhadap keluarga-keluaraga anak jalanan, terkait dengan pentingnya lingkungan dan suasana rumah yang bersih dan sehat. 1) Upaya dilakukan baik oleh pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Tanaga Kerja dan Pemerintah Daerah setempat), LSM, swasta dan masyarakat, untuk menyadarkan dan mengembalikan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan dimilikinya kesadaran dari masingmasing pihak akan hak dan kewajibannya, manakala hal tersebut tidak diperoleh ia bisa menuntut atau melaporkan ke lembaga terkait agar pihak yang melalaikan kewajibannya bisa ditindak jelas, nyata dan tegas. Masing-masing pihak juga disadarkan akan kewajibannya sehingga dengan segala resiko dapat menjalankannya dengan penuh rasa tanggung jawab. 2) Dibentuk lembaga tempat pengaduan yang disyahkan oleh pemerintah sehingga secara hukum kuat dan manakala orang tua atau anak tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik, dapat diberikan tindakan hukum yang nyata, jelas dan tegas yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. 151

170 Tabel 30. (lanjutan) ) Dilakukan penyuluhan-penyuluhan oleh lembaga terkait melalui media masa secara kontinyu, tentang pentingnya memberikan hak-hak pada anak pada masa perkembangannya dan tidak mengeksploitir anak. c.mengubah pelaksanaan fungsi keluarga Berdasarkan hasil uji SEM pelaksanaan fungsi keluarga (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan latar belakang keluarga anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. 1) Bersama pemerintah (Departemen Sosial, BKKBN, Meneg PP, Pemerintah Daerah setempat dan Departemen Agama), LSM, swasta dan masyarakat, membentuk/lebih mengaktifkan lembagalambaga konsultasi keluarga, hingga ke daerah-daerah kecamatan, seperti yang dimiliki Departemen Sosial dengan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3). Tujuan utamanya adalah menjadi wadah ventilasi/penyaluran permasalahan keluarga yang diakibatkan tidak terlaksananya dengan baik fungsi-fungsi keluarga terutama fungsi pengawasan/ perlindungan disamping fungsi ekonomi dan fungsi pendidikan/sosialisasi, sebelum permasalahan itu sendiri menjadi besar dan menghancurkan lembaga keluarga. 2) Melibatkan keluarga-keluarga anak jalanan dalam usaha ekonomis produktif melalui kelompokkelompok yang ada di daerah, yang telah lebih dahulu maju berkembang sehingga dapat memberikan motivasi. Baik melalui program KUBE (Kelompok Usaha Bersama) maupun PKH (Program Keluarga Harapan) yang digulirkan oleh Departemen Sosial. Diharapkan dengan usaha ekonomis produktif yang dilakukan oleh keluarga-keluarga anak jalanan dapat meningkatkan taraf perekonimian dan kesejahterannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga terutama anak-anak. 3) Melibatkan masyarakat terutama keluarga-keluarga yang mampu secara ekonomi untuk mau menjadikan keluarga anak jalanan sebagai keluarga angkat dan bersedia membantu perekonomian keluarga anak jalanan dengan memberikan modal usaha sesuai dengan kemampuan keluarga anak jalanan, demikian pula pengembalian modal usaha sesuai dengan kemampuan keluarga anak jalanan. Diharapkan dengan program keluarga angkat ini keluarga anak jalanan dapat belajar langsung bagaimana mengelola keuangan dengan prinsip-prinsip kekeluargaan. Di antaranya dengan prinsip : membeli hanya yang betul-betul dibutuhkan keluarga, membiasakan anggota keluarga untuk cukup puas dengan makan di rumah dan tidak membelanjakan uang untuk makan di luar rumah sehingga dapat menekan pengeluaran, membiasakan untuk puasa Senin Kamis selain untuk ibadah, kesehatan juga penghematan 152

171 Tabel 30. (lanjutan) ) Memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendididikan yang sifatnya informal oleh keluarga penting dilakukan terutama dalam kaitannya untuk menumbuhkan sikap dan perilaku yang normal. Hal ini perlu diimbangi dengan realisasi ketentuan-ketentuan yang ada dengan jelas dan tegas, khususnya dalam hal penerapan sanksi. Kontrol eksternal berupa penerapan sanksi sangat membantu untuk meminimalisir atau menghilangkan perilaku-perilaku yang abnormal dari anak jalanan. Upaya kegiatan terutama dilakukan guna menyentuh aspek afektif anak. 5) Lebih menggalakkan kegiatan pada Hari Keluarga Nasional oleh Bapak Presiden, dengan motto tertentu yang menggambarkan tentang pentingnya harmonisasi dan keseimbangan fungsi dan peran orang tua dalam keluarga, serta penanaman pentingnya nilai-nilai keluarga bagi kesejahteraan dan kesehatan jasmani dan rohani para anggota keluarga. 6) Dilakukan penyuluhan-penyuluhan oleh lembaga/instansi terkait secara kontinyu melalui media masa atau secara langsung tentang pentingnya menciptakan harmonisasi dan keseimbangan fungsi keluarga dan peranan orang tua dalam keluarga. Sekaligus dengan penyuluhan dilakukan upaya menghilangkan image tabu dalam masyarakat untuk berani mengkonsultasikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam keluarga kepada orang lain yang dapat membantu mengeluarkan dari permasalahan. Terlebih bila sudah mengarah pada terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menunjukkan adanya ketidakseimbangan dan disharmoni keluarga. A.2.Pemberdayaan Anak Jalanan dilakukan dengan mengubah : 2.1.Mengubah ciri fisik anak jalanan Berdasarkan hasil uji SEM ciri fisik anak jalanan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Namun karena model merupakan model yang fit, peubah ini tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mengentaskan anak dari jalanan Cara mengubah ciri fisik anak jalanan dilakukan melalui aspek-aspek yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu : 153

172 Tabel 30. (lanjutan) a.penampilan fisik Berdasarkan hasil uji SEM penampilan fisik (-0,20) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar terhadap upaya mengubah ciri fisik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah ciri fisik anak jalanan, yang dapat memberi efek perubahan perilaku. b.jenis kelamin Berdasarkan hasil uji SEM jenis kelamin (-0,29) merupakan faktor kedua terbesar berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri fisik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas kedua untuk mengubah ciri fisik anak jalanan c.umur Berdasarkan hasil uji SEM umur (- 0,33) merupakan faktor ketiga terbesar berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri fisik, sehingga menjadi prioritas ketiga untuk mengubah anak jalanan d.pakaian Berdasarkan hasil uji SEM cara berpakaianan anak jalanan (-0,45) merupakan faktor keempat yang berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri fisik anak jalanan dan menjadi prioritas keempat. 1) Upaya mengubah penampilan fisik anak jalanan (kulit, rambut, mata, postur tubuh) dilakukan dengan cara mensosialisasikan kepada anak jalanan dan anak yang berpotensi menjadi anak jalanan, tentang pentingnya menjaga tubuh dari kondisi yang tidak sedap dipandang mata. Salah satunya melalui kebiasaan mandi dua kali sehari pagi sore. 2) Proses sosialisasi, penyuluhan dan pembiasaan dilakukan secara berkesinambungan dengan menyediakan sarana dan prasarananya. Seperti menyediakan kamar mandi umum di mana anak jalanan bisa menggunakannya, serta dibiasakan bagi anak yang menggunakan sarana umum ini untuk menjaga kebersihan dengan membagi piket-piket kebersihan. 1) Cara mengubah anak jalanan wanita relatif lebih mudah dibanding pria. Dilakukan dengan memberi penjelasan, sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan secara berkesinambungan tentang hal-hal/kondisi/situasi yang dikehendaki untuk berubah. Baik terkait dengan perubahan ciri fisik maupun ciri psikologik dan ciri sosiologik. 2) Sedangkan pada anak jalanan pria dilakukan selain melalui memberian penjelasan, sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan secara berkesinambungan tentang hal-hal/kondisi/situasi yang dikehendaki untuk berubah, juga dilakukan pemantauan dan pendampingan langsung. Baik terkait dengan perubahan ciri fisik maupun ciri psikologik dan ciri sosiologik. 1) Cara mengubah ciri fisik anak jalanan terkait dengan umur anak jalanan dilakukan dengan cara memberi contoh dan keteladanan tentang bagamana cara berpakaian dan berpenampilan yang baik, dapat dilakukan di semua kelompok umur anak jalanan. 2) Serta dengan cara persuasif guna menumbuhkan kesadaran dan keinginan anak jalanan untuk mengubah ciri fisik dirinya menjadi lebih positif. Dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan secara berkesinambungan, sehingga kondisi bisa terjaga seperti yang diharapkan. 1) Dilakukan dengan cara membiasakan mencuci/berganti pakaian setiap hari/dua hari sekali. 2) Mengumpulkan baju layak pakai dari warga masyarakat dan membagikannya kepada anakanak jalanan, terutama yang berpakaian lebih seadanya dibandingkan anak-anak jalanan lain. 3) Kegiatan di atas dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan secara berkesinambungan, karena bila kegiatan hanya sesekali, dan anak jalanan tidak memiliki pakaian pengganti maka penampilan pakaian anak jalananpun akan kembali menjadi seadanya. 154

173 Tabel 30. (lanjutan) e.penyakit yang Berdasarkan hasil uji SEM diderita penyakit yang diderita (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri fisik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. 2.2.Mengubah ciri psikologik anak jalanan Berdasarkan hasil uji SEM ciri psikologik anak jalanan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Namun karena model merupakan model yang fit, tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mengentaskan anak dari jalanan a.mobilitas mental Berdasarkan hasil uji SEM mobilitas mental (-0,04) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terbesar terhadap upaya mengubah ciri psikologik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah ciri psikologik anak jalanan, yang dapat memberi efek perubahan perilaku. b.tingkat kreativitas Berdasarkan hasil uji SEM tingkat kreativitas (-0,35) merupakan faktor kedua terbesar berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri psikologik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas kedua untuk mengubah ciri psikologik. 1) Kondisi anak jalanan cenderung jarang sakit, sehingga pada kondisi ini cara yang dilakukan adalah bagaimana menjaga agar kondisi ini tetap bertahan. Dilakukan dengan cara menjaga asupan makanan yang teratur dan seimbang. 2) Kegiatan dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan Cara mengubah ciri psikologik anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu : 1) Cara mengubah kondisi mental anak jalanan yang cenderung sering berubah di antaranya melalui pembinaan, penyuluhan dan bimbingan mental spiritual tentang budi pekerti tentang bagaimana menekan perasaan tanpa harus menjadi tertekan, secara bertahap sesuai dengan tingkat kematangan anak jalanan. 2) Pembinaan dan penyuluhan psikologi kejiwaan tentang bagaimana mengendalikan stress dan tekanan, tanpa harus lari pada hal-hal yang negatif. 3) Pembinaan dan penyuluhan agama tentang hal yang baik dan buruk, yang pantas dan tidak pantas dilakukan, sebagai ekspresi dari suasana jiwa yang sedang dialami. 1) Cara mengubah tingkat kreativitas anak jalanan yang cenderung rendah pada sebagian besar anak dengan cara antara lain memberikan kegiatan-kegiatan seperti kegiatan membuat hasta karya dan pelatihan keterampilan tertentu, yang dapat memancing daya kreativitas. 2) Sedangkan pada sebagian kecil anak jalanan yang memiliki tingkat kreativitas relatif tinggi, dapat dilakukan kegiatan-kegiatan untuk dapat mengembangkan daya kreativitasnya dengan cara membaurkan mereka pada kelompok anak yang memiliki tingkat kreativitas rendah untuk bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan. 155

174 Tabel 30. (lanjutan) c.pengalaman jadi Berdasarkan hasil uji SEM anak jalanan pengalaman menjadi anak jalanan (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri psikologik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. 2.3.Mengubah ciri sosiologik anak jalanan a.asal daerah Berdasarkan hasil uji SEM ciri sosiologik anak jalanan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan. Namun karena model merupakan model yang fit, tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya mengentaskan anak dari jalanan Berdasarkan hasil uji SEM asal daerah (-0,50) merupakan faktor yang cenderung berpengaruh nyata terhadap upaya mengubah ciri sosiologik anak jalanan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah ciri sosiologik anak jalanan, yang dapat memberi efek perubahan perilaku. b.mobilitas fisik Berdasarkan hasil uji SEM mobilitas fisik anak jalanan (1,00) merupakan faktor yang berhubungan nyata dengan ciri sosiologik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. Mengisi pengalaman jiwa berada di jalan dengan hal-hal positif yang dapat memunculkan perilakuperilaku normal dalam diri anak jalanan. Seperti mandi sehari dua kali, berkata dan bersikap yang sopan, ganti dan mencuci baju secara rutin paling tidak dua hari sekali, pentingnya persahabatan, menabung, saling berbagi dengan kawan dalam susah serta senang, dan lain-lain. Di samping mengubah perilaku anak jalanan dengan membuka wawasan untuk meraih peluang di luar jalanan. Cara mengubah ciri sosiologik anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu : Kesamaan asal daerah anak jalanan berpengaruh terhadap ciri sosiologiknya sehingga untuk mengubah perilaku anak jalanan, asal daerah ini dapat dijadikan sebagai pintu masuk upaya mengubah perilaku. Dilakukan dengan cara melakukan pendekatan pada anak jalanan menggunakan kebiasaan-kebiasaan serta bahasa daerah setempat, sehingga pendamping sebagai agent of change dapat lebih diterima oleh anak jalanan di wilayahnya. 1) Mobilitas fisik anak jalanan cenderung tinggi di dalam wilayah kotanya sehingga, dengan ini bisa lebih mudah dilakukan pembinaan dan penyuluhan dengan di fokuskan pada suatu wilayah tertentu yang dapat dijangkau oleh anak jalanan dari sekitar wilayahnya. 2) Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan dilakukan dengan memperhatikan tingkat kreativitas dan asal daerah anak jalanan, dengan menggunakan pendekatan, bahasa dan kebiasaan sesuai dengan asal daerahnya. Dengan pembinaan yang di fokuskan pada daerah tertentu dan melihat potensi yang ada pada anak jalanan, diharapkan dapat menekan mobilitas fisik anak jalanan sehingga biaya dan energi yang digunakan untuk melakukan mobilitas fisikpun dapat ditekan 156

175 Tabel 30. (lanjutan) A.3.Pemberdayaan Berdasarkan hasil uji SEM 1) Dilakukan rekruting pendamping anak jalanan di lingkungan Pemerintahan, yang dilakukan Pendamping mobilitas fisik anak jalanan (1,00) oleh Departemen Sosial dan menjadi Penyuluh Sosial/Pekerja Sosil yang akan menjadi Anak Jalanan merupakan faktor yang pendamping sosial anak jalanan dan ditempatkan pada posisi strategis di pokja-pokja yang dilakukan melalui : 3.1.Diklat 3.2.Pelaksanaan peran sesuai dengan tugas dan tanggung jabanya 3.3. Sertifikasi berhubungan nyata dengan ciri sosiologik anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. dekat dengan kantung-kantung masalah anak jalanan. 2) Disamping dilakukan rekruting pendamping anak jalanan dari kalangan LSM, swasta dan masyarakat yang pemantauannya ada di bawah Departemen Sosial. 3) Memberikan pendidikan dan pelatihan pada Pendamping atau Pekerja Sosial/Penyuluh Sosial anak jalanan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan saat melakukan pendampingan. Seperti memberi pendidikan dan pelatihan tentang : konseling, case conference, penggalian dan pendayagunaan sumber, dan lain-lain. Guna meningkatkan kompetensi dan profesionalisme Pendamping atau Pekerja Sosial/Penyuluh Sosial anak jalanan dalam menangani permasalahan anak jalanan terutama dengan menggunakan Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan 4) Pelaksanaan peran sesuai tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendamping atau penyuluh sosial anak jalanan, diantaranya peran sebagai : (a) Mediator, (b) Advokator, (c) Fasilitator, (d) Dinamisator, (e) Evaluator, (f) Enabler, dan lain-lain 5) Melakukan sertifikasi bagi para Penyuluh Sosial/Pekerja Sosial sebagai pendamping sosial anak jalanan dengan terlebih dahulu mendirikan Asosiasi Penyuluh Sosial/Asosiasi Pekerja Sosial kemudian bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) melakukan Sertifikasi, sehingga penempatan individu dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan/ kompetensi yang dimiliki berdasarkan standar tertentu. Dengan tipe kepribadian yang diharapkan ada pada diri seorang pendamping anak jalanan (Tjahjorini, 2001) dimanapun mereka berada, diantaranya : (a) Penuh perhatian, (b) Penuh motivasi, (c) Memberi contoh, (d) Dinamis, (e) Tangguh, (f) Mau berkorban, (g) Hubungan informal, (h) B.Pemberdayaan Lingkungan Anak Jalanan Berdasarkan hasil uji SEM latar belakang lingkungan kurang nyata berpengaruh terhadap perilaku, namun karena model merupakan model yang fit, tetap dapat dijadikan pertimbangan dalam upaya pengentasan anak dari jalanan. Memiliki kemampuan berkomunikasi Cara mengubah latar belakang lingkungan anak jalanan dilakukan melalui sub-sub peubahnya yang cenderung menyumbang pengaruh dan hubungan nyata, yaitu : 157

176 Tabel 30. (lanjutan) a.pendidikan non formal yang diberikan lingkungan b.mengubah kondisi fisik lingkungan Berdasarkan hasil uji SEM pendidikan non formal yang diberikan lingkungan (-0,05) merupakan faktor terbesar yang cenderung secara nyata pengaruh terhadap upaya mengubah latar belakang lingkungan. Sehingga menjadi prioritas utama untuk mengubah latar belakang lingkungan anak jalanan, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Berdasarkan hasil uji SEM kondisi fisik keluarga (-0,17) merupakan faktor yang berpengaruh nyata terbesar kedua terhadap upaya mengubah latar belakang lingkungan. Sehingga menjadi prioritas kedua mengubah latar belakang lingkungan anak jalanan, yang dapat memberi efek terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. 1) Meningkatkan dan melaksanakan kegiatan belajar/pendidikan non formal berupa penyuluhanpenyuluhan, pembinaan maupun pemberian keterampilan di lingkungan masyarakat. Hal ini penting dilakukan terutama mengenai aspek psikomotorik, guna meningkatkan bargaining position anak jalanan dalam dunia kerja serta memberi masa depan yang lebih baik. 2) Pendidikan non formal berupa pendidikan dan pelatihan (Diklat) dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Sosial bekerja sama dengan Balai Diklat di daerah serta dengan Pemerintah Daerah setempat. 3) Penyuluhan dan pembinaaan dapat dilakukan oleh Departemen Sosial melalui Pusat Penyuluhan Sosial dan Direktorat Anak, bekerjasama dengan instansi dan pihak terkait. 1) Upaya dilakukan dengan meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya lingkungan yang bersih, sehat, aman, dan nyaman terhindar dari polusi, tindak kekerasan dan lain-lain. Salah satunya seperti yang dicanangkan pemerintah untuk memperhatikan gas emisi buangan tidak hanya pada kendaraan-kendaraan umum tapi juga terhadap kendaraan-kendaraan pribadi, yang akan mulai diberlakukan. Juga dengan membentuk taman-taman kota yang sejuk dan bersih. Terlebih dengan adanya anak-anak di jalanan, hal tersebut menjadi semakin penting untuk mendapat perhatian. 2) Kesadaran semua pihak tidak akan muncul dengan sendirinya tanpa upaya nyata secara bersama dari pihak pemerintah (Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah setempat), LSM, swasta dan masyarakat, melalui peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak pemerintah serta melalui penyuluhan-penyuluhan tentang pentingnya lingkungan yang aman dan nyaman bagi kesehatan. Juga tentang pentingnya mematuhi rambu-rambu jalan raya untuk keamanan dan kenyamanan bersama. 158

177 Tabel 30. (lanjutan) c.penerapan sanksi Berdasarkan hasil uji SEM 1) Upaya penerapan sanksi secara tegas, jelas, nyata dan konsisten oleh lingkungan terhadap penerapan sanksi (1,00) pelanggaran yang dilakukan anggota masyarakat penting dilakukan sehingga dapat menimbulkan merupakan faktor yang efek jera bagi pelaku, termasuk pada anak jalanan, dan tidak membiarkan leluasa para pelaku. berhubungan nyata dengan latar 2) Hukuman atau sanksi yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan proses perkembangan anak, belakang lingkungan anak jalanan terhadap perilaku anak jalanan. tidak menimbulkan kehancuran bagi mental dan tidak menghambat proses tumbuh kembang mereka selanjutnya. Mengingat usia mereka yang masih belia dan sedang mencari jati diri. 3) Penyuluhan penting dilakukan oleh pihak pemerintah, LSM, swasta dan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bersama akan pentingnya penerapan sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku dengan jelas, tegas, nyata dan konsisten tetapi menyesuaikan dengan usia dan tidak merusak mental yang bersangkutan serta dapat menimbulkan efek jera dan dapat mencegah turunnya anak ke jalanan. Di sini dilibatkan para penegak hukum, di antaranya Aparat Kepolisian, Aparat Dinas Keamanan dan C.Pemberdayaan Kegiatan dilakukan melalui : 1.Penyuluhan/ pendidikan non formal 2.Sosialisasi dan konsolidasi Bina usaha penting dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak terkait untuk bersama-sama melakukan kegiatan secara berkesinambungan Ketertiban Kota, dan instansi lain yang terkait. Menyosialisasikan/memasarkan gagasan/ide sosial (Social Marketing) dengan berbagai cara, di antaranya melalui kampanye di media massa. Dilakukan oleh Departemen Sosial khususnya Pusat Penyuluhan Sosial (Puspensos) dan Direktorat Anak kepada Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Tenaga Kerja, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Swasta dan Masyarakat, tentang Strategi TRIDAYA 1) Kegiatan proaktif dari Departemen Sosial khusunya Pusat Penyuluhan Sosial (Puspensos) dan Direktorat Anak dengan membentuk lembaga atau Badan Koordinasi berupa Kelompok Kerja Perbaikan Nasib Anak Jalanan. 2) Mengukuhkan Pokja menjadi Forum Koordinasi antar organisasi terkait. 3) Menumbuhkembangkan kesepakatan bersama dalam upaya mengentaskan permasalahan sosial khususnya anak jalanan antar anggota Forum yang dikuatkan dengan adanya MOU. 4) Dari Pokja Pusat, kemudian dibentuk Pokja-Pokja di daerah dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan Dinas Sosial yang ada di daerah, dengan berdasar pada uraian tugas yang jelas dan tegas yang disepakati bersama oleh pusat dan daerah. 5) Membentuk Forum Koordinasi antar Pokja. 6) Melakukan upaya perubahan perilaku sebagai esensi utama dari kegiatan penyuluhan, bukan semata-mata hanya pada obyek penyandang masalah, tetapi juga pada stakeholder terkait. 159

178 Tabel 30. (lanjutan) Berdasarkan hasil uji SEM dipengaruhi oleh sub peubah dari peubah di atas untuk perilaku abnormal. Serta berhubungan dengan sub peubah dari peubah di atas untuk perilaku normal. D.Perubahan perilaku anak jalanan a.perilaku normal Berdasarkan hasil uji SEM perilaku normal anak jalanan (1,00) secara nyata berhubungan dengan peubah peubah eksogen b.perilaku abnormal Berdasarkan hasil uji SEM perilaku abnormal anak jalanan (-1,81) secara nyata dipengaruhi oleh peubah independen/peubah eksogen Metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan Ada tiga metode alternatif yang dapat digunakan baik secara terpisah maupun simultan pada tiap tahap Cara mengubah perilaku anak jalanan dengan memperhatikan sub-sub peubah dari peubah eksogen yang cenderung memiliki pengaruh dan hubungan nyata di atas Untuk perilaku normal berhubungan dengan peubah eksogen dengan sub-sub peubah yang memiliki pengaruh dan hubungan nyata, yang akan meningkatkan perilaku normal anak jalanan diantaranya : semangat hidup yang tinggi, keberanian menanggung resiko, mandiri, dan kepekaan. Untuk perilaku abnormal dipengaruhi oleh peubah eksogen dengan sub-sub peubah yang memiliki pengaruh dan hubungan nyata, yang akan mengubah perilaku abnormal anak jalanan diantaranya : bebas, liar, masa bodoh, curiga, reaktif, dan susah diatur. 1) Metode Pendekatan Perorangan (Personal Approach Method ) 2) Metode Pendekatan Kelompok (Group Approach Method ) 3) Metode Pendekatan Massal/Umum (Mass Approach Method ) 160

179 161 Penjabaran peranan dari masing-masing pihak terkait dalam Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan, tersaji pada Tabel 31. Tabel 31. Peran Masing-Masing Pihak Terkait dalam Upaya Pengentasan Anak Jalanan Pihak Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Peran 1) Memberikan fasilitasi terhadap berbagai pihak yang peduli, baik dalam bentuk keuangan, dukungan secara politik dan informasi kebijakan serta program terkait dengan upaya pengentasan anak jalanan. 2) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang peduli terhadap upaya pengentasan anak jalanan, termasuk dengan pihak daerah. 3) Meningkatkan/menciptakan jaringan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, untuk dapat konsisten melaksanakan upaya-upaya pengentasan anak jalanan dengan komitmen yang tinggi. 4) Melakukan penyuluhan-penyuluhan melalui media massa seperti televisi, guna meningkatkan kesadaran dan kepedulian berbagai pihak untuk mau berbuat dan bertindak nyata dalam upaya mengatasi permasalahan anak jalanan. 5) Memfasilitasi terselenggaranya Training of the Trainers (TOT) bagi berbagai pihak terkait tentang permasalahan dan upaya pengentasan anak jalanan. Termasuk di dalamnya bagaimana menggalang dan menggali dana baik dari masyarakat yang diorganisir melalui lembaga khusus bekerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah setempat atau murni diorganisir masyarakat. Juga menggalang dan menggali bantuan dana dari luar negeri yang diakses melalui jaringan internet. 6) Melakukan pembinaan secara berkesinambungan. 1) Melakukan mediasi antara pemerintah pusat dengan pihak-pihak terkait yang peduli terhadap upaya pengentasan anak jalanan di daerah. 2) Melakukan mediasi dalam pemanfaatan fasilitas, dukungan dan informai dari pusat untuk daerah. 3) Berkoordinasi dengan pemerintah pusat serta pihak-pihak yang ada di daerah yang peduli terhadap pemasalahan anak jalanan. 4) Memfasilitasi terselenggaranya Pendidikan dan Pelatihan bagi berbagai pihak terkait di daerah tentang permasalahan dan upaya pengentasan anak jalanan. Termasuk di dalamnya bagaimana menggalang dan menggali dana baik dari masyarakat yang diorganisisr melalui lembaga khusus yang ada di daerah bekerjasama dengan pihak Pemerintah Daerah setempat atau murni diorganisir masyarakat. Juga menggalang dan menggali bantuan dana dari luar negeri yang diakses melalui jaringan internet. Sebagai kelanjutan dari Training of the Trainers (TOT) yang dilakukan di Pemerintah Pusat. 5) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan di daerahnya, dengan mengacu pada kebijakan dan program dari pemerintah pusat.

180 162 Tabel 31. (lanjutan) Pihak Swasta Lembaga Swadaya Masyarakat Masyarakat Peran 1) Memanfaatkan potensi dan sistem sumber yang dimiliki guna membantu Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatasi permasalahan anak jalanan. 2) Memanfaatkan dukungan politis serta informasi kebijakan dan program yang disediakan Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi permasalahan anak jalanan. 3) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan anak jalanan yang ditanganinya, mengacu pada kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 1) Memanfaatkan potensi dan sistem sumber yang dimiliki masyarakat dan penyandang dana lain, guna membantu Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatasi permasalahan anak jalanan. 2) Memanfaatkan dukungan politis serta informasi kebijakan dan program yang disediakan Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi permasalahan anak jalanan. 3) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan anak jalanan yang ditanganinya, mengacu pada kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 1) Memanfaatkan potensi dan sistem sumber yang dimiliki masyarakat dan penyandang dana lain, guna membantu Pemerintah Daerah setempat untuk dapat mengatasi permasalahan anak jalanan. 2) Memanfaatkan dukungan politis serta informasi kebijakan dan program yang disediakan Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Daerah dalam rangka mengatasi permasalahan anak jalanan. 3) Mengembangkan kebijakan dan program kegiatan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan anak jalanan yang ditanganinya, mengacu pada kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diharapkan dengan menggunakan strategi yang refresentatif dan komprehensif, upaya pengentasan anak jalanan dapat lebih berhasil dan berdaya guna, yang dapat memunculkan perilaku-perilaku normal dan menekan bahkan menghilangkan perilaku-perilaku abnormal. Dengan hal tersebut, diharapkan lambat laun terjadi perubahan perilaku yang melembaga terutama dalam diri anak, yang dapat mengantarkannya pada kehidupan normal sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut dengan munculnya perilaku baru yang melembaga dalam diri anak, diharapkan dapat mengantarkan anak untuk keluar dari kehidupannya di jalanan karena kesadaran sendiri dan adanya rasa malu dengan perilaku lamanya.

181 163 Pelaksanaan strategi pengentasan anak jalanan dengan melibatkan berbagai pihak sesuai dengan perannya, dilakukan dengan memperhatikan situasi, kondisi, kemampuan, kebijakan serta sumber daya yang dimiliki oleh daerah. Penelitian yang dilakukan memberikan strategi/alternatif/solusi berdasarkan pada hasil penelitian bukan keseragaman. Pelaksanaan tergantung pada komitmen daerah, sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi keberagaman dalam pemilihan strategi/alternatf/solusi di tiap wilayah.

182 164 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1) (a)profil anak jalanan memperlihatkan bahwa umumnya di manapun anak jalanan berada baik di Bandung, Bogor atau Jakarta, memiliki kecenderungan yang relatif sama, baik dilihat dari latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan, ciri fisik, ciri psikologik, ciri sosiologik maupun perilakunya. (b)terdapat beda nyata antara anak jalanan pria dan wanita dalam hal ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarga, dan hal ini terjadi di tiga wilayah penelitian. (c)ciri fisik memperlihatkan anak jalanan pria relatif lebih buruk dengan perilaku yang cenderung abnormal dibandingkan anak jalanan perempuan. (d) Pada ciri sosiologik terlihat anak jalanan pria relatif lebih banyak hidup berkelompok bersama teman-temannya dan cenderung tidak berhubungan lagi dengan keluarganya dibanding wanita. Akibatnya pada anak jalanan laki-laki nilai jalanan lebih terinternalisasi dalam perilakunya. Anak jalanan perempuan lebih dituntut keluarga untuk menyerahkan pendapatan yang diperoleh di jalanan, sedang anak jalanan pria relatif lebih leluasa untuk menggunakan pendapatan bagi kepentingannya sendiri. (2) (a)latar belakang keluarga merupakan faktor penentu utama terhadap perilaku anak jalanan. (b)perilaku anak jalanan dipengaruhi secara nyata oleh latar belakang lingkungan tidak melalui ciri fisik, melainkan melalui ciri psikologik dan ciri sosiologik. (c)perilaku anak jalanan meskipun kurang tampak dipengaruhi secara langsung oleh ciri fisik, ciri psikologik dan ciri sosiologik, dibanding oleh latar belakang keluarga dan latar belakang lingkungan, namun ciri-ciri tersebut tetap berperan penting dalam pembentukan perilaku anak jalanan.

183 165 (3) Strategi TRIDAYA Pengentaskan Anak Jalanan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut : (a) Pemberdayaan Manusia terdiri dari : Pemberdayaan Anak Jalanan, Pemberdayaan Keluarga Anak Jalanan dan Pemberdayaan Pendamping Anak Jalanan. Pemberdayaan Anak Jalanan dilakukan dengan memperhatikan komponen ciri-ciri anak jalanan yang berpengaruh dan berhubungan nyata terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Pemberdayaan Keluarga Anak Jalanan dilakukan dengan memperhatikan komponen latar belakang keluarga yang berpengaruh dan berhubungan nyata terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. Pemberdayaan Pendamping Anak Jalanan dilakukan agar tersedia sumber daya manusia yang memahami dan mampu menggerakkan kegiatan guna terjadinya perubahan positif pada diri anak jalanan. (b) Pemberdayaan Lingkungan dilakukan dengan memperhatikan komponen latar belakang lingkungan yang berpengaruh dan berhubungan nyata terhadap terjadinya perubahan perilaku anak jalanan. (c) Pemberdayaan Kegiatan dilaksanakan dengan cara melakukan penyuluhan/ pendidikan non formal serta sosialisasi dan konsolidasi. Saran (1) Upaya pengentasan anak jalanan tidak dapat diberlakukan sama antara pria dan wanita terkait dengan ciri fisik, ciri sosiologik dan latar belakang keluarga. Namun untuk ciri psikologik dan latar belakang lingkungan untuk kedua jenis kelamin dapat diberlakukan sama terutama di daerah penelitian. (2) (a)latar belakang keluarga menjadi prioritas utama dalam upaya mengentaskan anak jalanan, di samping tetap memperhatikan latar belakang lingkungan dan ciri-ciri anak jalanan. (b)mengingat masih ada faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap perilaku anak jalanan, maka penting dilakukan penelitian lebih mendalam untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor lain tersebut diantaranya :

184 166 masalah kemiskinan, struktur sosial, perubahan sosial, tidak adanya penghargaan dan pengakuan sosial terhadap munculnya permasalahan anak jalanan yang dalam penelitian ini masih belum banyak digali. (3) Strategi pengentasan anak jalanan hendaklah dilakukan melalui : (a)pemberdayaan yang ditujukan pada Anak Jalanan, dilakukan dengan prioritas utama untuk ciri fisik, mengubah penampilan fisik anak jalanan menjadi lebih baik dan pantas dipandang mata sehingga lebih bisa diterima oleh lingkungan masyarakat secara umum. Untuk ciri psikologik, dengan prioritas utama mengubah/menekan mobilitas mental anak jalanan sehingga emosi kejiwaan menjadi lebih stabil, disamping mengubah mental anak jalanan agar tidak di jalanan lagi. Untuk ciri sosiologik prioritas utama domisili anak, dengan memperhatikan situasi dan kondisi dari mana anak jalanan berasal, saat perlakuan/treatment diberikan. Terjadinya perubahan ciri anak jalanan ini diharapkan dapat berdampak pada ditinggalkannya perilaku-perilaku abnormal dan meningkatnya perilaku normal. Pemberdayaan Keluarga Anak Jalanan dengan prioritas utama memperbaiki/ mengubah kondisi fisik keluarga anak jalanan menjadi lebih tertata rapih dan bersih sehingga dapat memberikan efek aman dan nyaman tinggal dalam keluarga. Di samping menyediakan sarana dan prasarana tempat bermain bagi anak di dekat lingkungan rumah yang merupakan salah satu kebutuhan anak. Menyadarkan anak dan orang tua akan hak dan kewajibannya dalam keluarga. Memperhatikan faktor yang berhubungan, yaitu pelaksanaan fungsi keluarga terutama terkait dengan fungsi perlindungan/pengawasan, fungsi ekonomi dan fungsi sosialisasi/ pendidikan menjadi lebih berfungsi seimbang dan harmonis. Pemberdayaan Pendamping Anak Jalanan dengan penekanan pada pemberian pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan saat melakukan pendampingan, pelaksanaan peranan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pendamping. Di samping dilakukan

185 167 sertifikasi bagi para pendamping agar penempatan sesuai dengan kemampuan/kompetensi berdasarkan standar tertentu. (b)pemberdayaan Lingkungan hendaklah dilakukan, dengan prioritas utama melaksanakan/meningkatkan pendidikan non formal melalui pembinaan atau penyuluhan-penyuluhan yang ditujukan pada anak jalanan, keluarga serta lingkungan sekitarnya; mengubah/memperbaiki kondisi fisik lingkungan dengan menyediakan taman-taman kota yang dilengkapi sarana dan prasarana tempat bermain bagi anak yang merupakan salah satu kebutuhan anak. Memperhatikan faktor yang berhubungan, yaitu penerapan sanksi yang tegas, jelas, nyata dan konsisten terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat termasuk anak jalanan, sehingga bisa menimbulkan efek jera dan mencegah turunnya anak ke jalanan (c) Pemberdayaan Kegiatan dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak terkait baik Pemerintah Pusat dengan peran utamanya fasilitasi, inovasi, koordinasi dan pengembangan kebijakan, Pemerintah Daerah dengan peran utamanya fasilitasi, mediasi, koordinasi dan pengembangan kebijakan, swasta, LSM dan masyarakat dengan peran utamanya memanfaatkan fasilitas, potensi, berkoordinasi dan mengembangkan kebijakan, untuk bersama-sama melakukan penyuluhan/pendidikan non formal dan sosialisasi Strategi TRIDAYA serta konsolidasi untuk menggalang kekuatan dan kerjasama secara berkesinambungan. (d) Perlu dilakukan uji coba Strategi TRIDAYA Pengentasan Anak Jalanan pada beberapa wilayah sebagai percontohan untuk mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi strategi dalam upaya pengentasan anak jalanan.

186 168 DAFTAR PUSTAKA Achlis Studi Perilaku dan Lingkungan Sosial Manusia (HBSE). Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Ancok, D Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan. Universitas Gadjah Mada. Ashman, Karen, K. Krist, dan Grafton H. Hull, Jr Understanding General Practice. Chicago : Nelson-Hill Publishers. Asyari, Imam Patologi Sosial. Surabaya : Usaha Nasional. Bintarto Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Boguslaw, Robert & George R. Vicker Prologue to Sociology. Santa Monica,. California : Goodyear Publishing Company, Inc. Broom, Leonard Sociology : A Text with adapted Reading. New York. : Harper dan Row Publishers. Compton, Beulah Roberts, dan Burt Galaway Social Work Processes. Homewood. Illinois : The Dorsey Press. Dahrendorf, Ralf Case and Class Conflict in Industria Society. Stanford- California : Stanford University Press. Dasgupta, Partha, dan Ismail Serageldin Social Capital. A Multifaceted Perspective. Washington : The Word Bank. Demerath, N. J System, Change, and Conflict. New York : The Free Press. London. Colliert-Macmillan Limited. Departemen Sosial Pola Penyuluhan Sosial. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial Hasil Penelitian Tentang Anak Jalanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia Modul TOT Pemberdayaan Anak Jalanan melalui Rumah Singgah. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Masyarakat. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial. Engle P.L., Menon,. dan L. Haddad Care and Nutrition ; Concepts and Measurement. Washington DC : International Food Policy Research Institute. Ferdinand Structural Equation Modeling (SEM). Dalam Penelitian Manajemen. Program Magister Manajemen Universitas Diponegoro. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

187 169 Franken, E.P Human Motivation. California : Brooks Cole Publishing Company Moneterey. Fukuyama, F The Great Disruption Human Nature and The Reconstitution of Social Order. New York, London, Toronto, Synedy, Singapore : A Touchstone Book, Published by Simon and Schuster. Geertz, Hildred Keluarga Jawa. Jakarta. PT Grafiti Pars. Ghozali, Imam, dan Fuad Structural Equation Modeling. Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program LISREL Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gibson, Ivancevich, dan H. J. Donnelly Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur dan Proses. Jakarta : Penerbit Erlangga. Gilbert, Neil, dan Hary, Specht Dimension of Social Welfare Policy. New Jersey : Prentice Hall Englewood Cliffs. Goode, William J Alih bahasa Lailahanoum Hasyim. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bina Aksara Anak dan Pola Perilakunya. Jakarta : Rajawali pers. Gordon, Thomas Menjadi Orang Tua Efektif. Jakarta : Gramedia. Hair JF. JR. Anderson R.E. Tatham R.L dan Black W.C Multivariate Data Analysis. Fifth Edition. Printed in The United States of America : Prentice Hall International. INC. Hurlock, Elizabeth B, Personality Development. New Delhi : Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Ltd. Ife, Jim Community Development : Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice. Australia : Longman. Iskandar, Jusman Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat. Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Irwanto Pekerja Anak di Tiga Kota Metropolitan : Jakarta, Surabaya dan Medan. Jakarta : Pusat Penelitian Atmajaya., Mohammad Farid dan Jeffry Anwar Ringkasan Analisa Situasi Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus. Jakarta : PKPM Atmajaya. Departemen Sosial. UNICEF. Jones, S.T The Dynamics of Discussion : Communication in Small Groups. New York : Harper & Row Publisher. Johnson, Paul Doyle Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert M. Z. Lawang. Jakarta : Penerbit PT Gramedia. Jamasy, O Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta : Blantika. Kartono, Kartini Patologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pers.

188 170 Kartasapoetra Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Bumi Aksara. Kerlinger, F. N Foundation of Behavioral Research, 2th Ed,. New York : MacMillan. Klenden Berpikir Strategis Tentang Kebudayaan. Jakarta : Prisma. Koetjaraningrat Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian Rakyat Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia. Kartasasmita, G Power and Empowerment : Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Linton, Ralph The Study of Man. Bandung : Yam Mars. Maslow, Abraham H Motivasi dan Kepribadian. Jakarta : PT Pustaka Binaman Presindo. Gramedia. Mardikanto, Totok Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Megawangi, Ratna Membiarkan Berbeda : Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung : Mizan. Molo, Marcelius Wanita Aktivitas Ekonomi dan Domestik. Yogyakarta : PP Kependudukan UGM. Mulder, Niels Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta : Sinar Harapan. Nazir Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Nawawi, Hadari Metode Penelitiaan Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Padmowihardjo, Soedijanto Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta : Universitas Terbuka. Poplin, Dennis E, Social Problems. London, England, Illinois Glenciew : Scott Foresman and Company. Popenoe, D Sociology. 7 th ed. New Jersey : Prentice Hall, Englewood Cliffs. Poerwadarminta. W. J. S, dan J. B. Wolters Kesusastraan Jawa. Groningngen Batavia : Mitgevers- Maatschopij. NV. Pranarka dan Moeljarto Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Disunting oleh Priyono dan Pranarka. Jakarta : Certer for Strategic and International Studies. Payne, M Social Work and Community Care. London : McMillan.

189 171 Rahardjo, S. P Urbanisasi di Indonesia : Mencari Model Perkotaan Indonesia. Jakarta : Universitas Indonesia Depok. Rahardjo, Dawam M Keswadayaan Dalam Pembangunan Social Ekonomi. Diedit oleh Wirosardjono. Jakarta : Pengembangan Swadaya Nasional. LP3ES. Rahmawati, Heny Penanganan Masalah Anak Jalanan Berbasis Komunitas. (Kasus di Kelurahan Cibangkong Kecamatan Batununggal Kota Bandung. Bogor : (Tesis). Institut Pertanian Bogor. Rogers, E.M The Modernization Among Peasant. New York : Holt Rinehart and Winston, Inc Diffusions of Innovations, Third Edition. London : The Free Press, Collier Macmillan Publishers. Redfield, Robert The Little Community, Peasant Society and Culture. Rajawali dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial/YIIS : The University of Chicago Press/CV. Ritzer, George,. dan Douglas J. Godman Teori Sociology Modern. Diterjemahkan oleh Tribuwono B. S. Jakarta : Kencana. Sajogyo, Pudjiwati Sosiologi Pembangunan. Jakarta : Fakultas Pascasarjana IKIP Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Sarwono, S. W Psikologi Lingkungan. Jakarta : Grasindo. Salamun Pembinaan Budaya dalam Lingkungan Keluarga Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Santoso, Singgih SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Search, R.R,. E. E. Maccoby,. dan H. Levin Patterns of Child Rearing. California : Stanford University Press. Siagian Pendekatan Pokok dalam Mempertimbangkan Remaja Masa Kini. Jakarta : Prisma. Singarimbun, Masri. dan Sofian Effendi Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Skidmore dan Milton G. Thakeray Introduction to Social Work. Prentice Hall. Slamet, Margono Mahasiswa dalam Pembangunan : Peranan Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata dalam Pembangunan Pedesaan dan Perubahan Sosial. Bandar Lampung : Penerbit Universitas Lampung. Soelaiman, M.I Pendidikan dalam Keluarga. Bandung : CV Alfabeta. Solimun Structural Equation Modeling., LISREL dan AMOS. Malang : Fakultas MIPA Universitas Brawijaya.

190 172 Steanrs, F. W., dan T. Montag The Urban Ecosystem. Pennsylvania : John Wiley and Sons. Stroudsburg. Sukanto, Soejono Beberapa Permasalahan di Jalan Raya. Dalam Masyarakat dan Kebudayaan : Kumpulan Karangan untuk Prof Dr. Selo Soemardjan. Jakarta : Djambatan Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Sudibja Dampak Peran Ganda terhadap Konflik Peran yang Dialami Wanita Kerja yang Berkeluarga. Bandung : (Tesis). Universitas Pajajaran. Sudjana Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung : Nusantara Press. Sudrajat, Tata Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia/YKAI) dalam Menangani Masalah Anak Jalanan. Seminar Sehari. Bandung : Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Suharto, Edi Pembangunan, Kebijakan dan Pekerjaan Sosial. Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Sugiyono Metode Penelitian Aministrasi. Bandung : Penerbit Alfabeta. Sumardjo Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Propinsi Jawa Barat). Bogor : (Disertasi). Institut Pertanian Bogor. Sumodiningrat, Gunawan Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan, dalam Seminar Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Menyongsong Indonesia Baru, 20 Mei Yogyakarta : IDEA. Sulistiati Model Pendekatan Terpadu untuk Memecahkan Masalah Anak Rawan. Bandung : (Disertasi). Universitas Pendidikan Indonesia. Sulistiyani, A. T Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta : Gaya Media. Svalastoga, Kaare Diferensiasi Sosial. Jakarta : Bina Aksara. Thee Kian Wie Pemerataan Kimiskinan Ketimpangan. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan. Thohir, K. A Butir-Butir Tata Lingkungan. Jakarta : Penerbit Rineke Cipta. Tirtosudarmo Dinamika Sosial Pemuda di Perkotaan : Studi Kasus di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Tjahjorini, Sri Pola Asuhan Orang Tua Pengaruhnya Terhadap Disiplin Anak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bandung : (Skripsi). Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Persepsi Anak Jalanan Terhadap Bimbingan Sosial di Rumah Singgah di Kotamadya Bandung. Bogor : (Tesis). Institut Pertanian Bogor.

191 173 Tjokrowinoto, Moeljarto Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Van den Ban dan Hawkins Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Vembriarto, S. T Pathologi Sosial. Yayasan Pendidikan Paramita. Vredenbregt, Jacob Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Watt, K. E. F Principles of Environmental Science. New York. San Francisco. Toronto : McGraw-Hill. Wallace, Anthony Culture and Personality. New York : Random House. Wasistiono, Sadu Bahan Penataran Metode Penelitian Sosial. Bandung : (tidak di publikasikan). Lembaga Administrasi Negara. Perwakilan Jawa Barat. Wirawan, Sarlito Sarwono Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka. Wirawan Kapita Selekta Teori Kepemimpinan. Jakarta : Penerbit Yayasan Bangun Indonesia dan UHAMKA Press. Yohanes, Ferry Penanganan Anak Jalanan di Indonesia. Seminar Sehari Penanganan Anak Jalanan. Bandung : Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Zimbardo, P.G., E.B. Ebbesen., dan C. Maslach Influencing Attitudes and Changing Behavior : An Introduction to Method, Theory, and Applications of Social Control and Personal Power. Illinois : Addison-Wisley Publishing.

192 174 Lampiran 1 : Hasil Uji Beda Peubah Penelitian Berdasarkan Daerah Penelitian Multiple Comparisons Dependen t Variable (I) KOTA (J) KOTA X1 Tukey DKI HSD X2 X3 X4 Mean Differe nce (I- J) 95% Confidence Interval Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound Bogor Bandung Bogor DKI Bandung Bandung DKI Bogor Bonferroni DKI Bogor Bandung Bogor DKI Bandung , Bandung DKI Bogor , Tukey DKI Bogor HSD Bandung Bogor DKI Bandung Bandung DKI Bogor Bonferroni DKI Bogor , Bandung , Bogor DKI , Bandung , Bandung DKI , Bogor , Tukey HSD DKI Bogor Bandung Bogor DKI Bandung Bandung DKI Bogor Bonferroni DKI Bogor , Bandung , Bogor DKI , Bandung , Bandung DKI , Tukey HSD DKI Bogor , Bogor Bandung

193 175 X5 Y1 Bogor DKI Bandung Bandung DKI Bogor Bonferroni DKI Bogor , Tukey HSD Bandung Bogor DKI , Bandung , Bandung DKI DKI Bogor , Bogor Bandung Bogor DKI Bandung Bandung DKI Bogor Bonferroni DKI Bogor , Bandung , Tukey HSD Bogor DKI , Bandung , Bandung DKI , Bogor , DKI Bogor Bandung Bogor DKI Bandung Bandung DKI Bogor Bonferroni DKI Bogor , Bandung , Bogor DKI , Bandung , Bandung DKI , Bogor ,

194 176 Lampiran 2 : Hasil Uji Beda Peubah Penelitian antara Pria dan Wanita Anak Jalanan Descriptives N Mean Std. Deviation Std. Error Between- Component Variance X1 LAKI WANITA Total Model Fixed Effects Random Effects X2 LAKI WANITA Total Model Fixed Effects Random Effects.243(a) X3 LAKI WANITA Total Model Fixed Effects Random Effects X4 LAKI WANITA Total Model Fixed Effects Random Effects X5 LAKI WANITA Total Model Fixed Effects Random Effects Y1 LAKI WANITA Total Model Fixed Effects Random Effects a Warning: Between-component variance is negative. It was replaced by 0.0 in computing this random effects measure.

195 177 Lampiran 2. (lanjutan) ANOVA X1 X2 X3 X4 X5 Y1 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 159, ,609 4,427,036 Within Groups 7763, ,814 Total 7923, Between Groups,109 1,109,001,980 Within Groups 3096, ,886 Total 3096, Between Groups 113, ,502 7,053,008 Within Groups 3449, ,467 Total 3562, Between Groups 23, ,576 1,383,241 Within Groups 3802, ,051 Total 3825, Between Groups 43, ,556 2,995,085 Within Groups 2958, ,268 Total 3002, Between Groups 6, ,242 1,619,204 Within Groups 896, ,020 Total 902,

196 178 Lampiran 3 : Hasil Uji Structural Equation Model Profil Anak Jalanan DATE: 7/10/2007 TIME: 12:47 L I S R E L 8.72 BY Karl G. J reskog & Dag S rbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800) , (847) , Fax: (847) Copyright by Scientific Software International, Inc., Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: The following lines were read from file D:\FMA\Analisis\Rini\SEM\OlahSEM.spj: SEM OBSERVED VARIABLES X11 X15 X12 X14 X16 X13 X1 X22 X25 X23 X24 X21 X2 X35 X33 X32 X31 X34 X3 X42 X47 X48 X41 X44 X4 X58 X59 X54 X53 X55 X52 X57 X56 X5 Y11 Y12 Y1 CORRELATION MATRIX FROM FILE D:\FMA\ANALISIS\RINI\SEM\KORELASI.COR SAMPLE SIZE 221 LATENT VARIABLES LX1 LX2 LX3 LX4 LX5 LY1 RELATIONSHIPS X11 = LX1 X15 = LX1 X12 = LX1 X14 = 1*LX1 X16 = LX1 X13 = LX1 X22 = LX2 X25 = LX2 X23 = 1*LX2 X24 = LX2 X21 = LX2 X35 = LX3 X33 = LX3 X32 = LX3 X31 = LX3 X34 = 1*LX3

197 179 X42 = LX4 X47 = LX4 X48 = LX4 X41 = LX4 X44 = 1*LX4 X58 = LX5 X59 = LX5 X54 = LX5 X53 = LX5 X55 = LX5 X52 = LX5 X57 = 1*LX5 X56 = LX5 Y11 = 1*LY1 Y12 = LY1 LX3 LX4 LX5 = LX1 LX2 LY1 = LX1 LX2 LX3 LX4 LX5 SET THE ERROR VARIANCE OF X14 TO 0.05 SET THE ERROR VARIANCE OF X57 TO 0.05 SET THE ERROR VARIANCE OF X23 TO 0.05 SET THE ERROR VARIANCE OF LY1 TO 0.05 PATH DIAGRAM OPTIONS: AD=OFF END OF PROBLEM Sample Size = 221 W_A_R_N_I_N_G: Matrix to be analyzed is not positive definite, ridge option taken with ridge constant = SEM Covariance Matrix X35 X33 X32 X31 X34 X X X X X X X X X X

198 X X X X X X X X X Y Y X X X X X X X X X X X Covariance Matrix X47 X48 X41 X44 X58 X X X X X X

199 X X X X X X X Y Y X X X X X X X X X X X Covariance Matrix X54 X53 X55 X52 X57 X X X X X X X Y

200 Y X X X X X X X X X X X Covariance Matrix Y11 Y12 X11 X15 X12 X Y Y X X X X X X X X X X X Covariance Matrix

201 183 X16 X13 X22 X25 X23 X X X X X X X X Covariance Matrix X X SEM Number of Iterations = 50 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations X35 = *LX3, Errorvar.= 1.95, Rý = (0.27) (0.19) X33 = *LX3, Errorvar.= 1.98, Rý = (0.25) (0.19) X32 = *LX3, Errorvar.= 1.91, Rý = (0.30) (0.20) X31 = *LX3, Errorvar.= 1.96, Rý = (0.26) (0.19) X34 = 1.00*LX3, Errorvar.= 1.57, Rý = 0.21 (0.31) 5.13 X42 = *LX4, Errorvar.= 2.00, Rý = (0.16) (0.19) X47 = *LX4, Errorvar.= 1.91, Rý = 0.043

202 184 (0.19) (0.19) X48 = *LX4, Errorvar.= 1.91, Rý = (0.20) (0.19) X41 = 0.013*LX4, Errorvar.= 2.00, Rý = 0.00 (0.16) (0.19) X44 = 1.00*LX4, Errorvar.= 1.28, Rý = 0.36 (0.38) 3.40 X58 = 0.024*LX5, Errorvar.= 2.00, Rý = (0.069) (0.19) X59 = 0.055*LX5, Errorvar.= 1.99, Rý = (0.069) (0.19) X54 = 0.11*LX5, Errorvar.= 1.98, Rý = (0.069) (0.19) X53 = 0.055*LX5, Errorvar.= 1.99, Rý = (0.069) (0.19) X55 = 0.036*LX5, Errorvar.= 2.00, Rý = (0.069) (0.19) X52 = *LX5, Errorvar.= 1.50, Rý = 0.25 (0.060) (0.14) X57 = 1.00*LX5, Errorvar.= 0.050, Rý = 0.98 X56 = 0.086*LX5, Errorvar.= 1.99, Rý = (0.069) (0.19) Y11 = 1.00*LY1, Errorvar.= 1.90, Rý = (0.20) 9.48 Y12 = *LY1, Errorvar.= 1.63, Rý = 0.18 (1.37) (0.35) X11 = *LX1, Errorvar.= 1.85, Rý = (0.067) (0.18)

203 X15 = *LX1, Errorvar.= 1.83, Rý = (0.066) (0.17) X12 = 0.12*LX1, Errorvar.= 1.97, Rý = (0.069) (0.19) X14 = 1.00*LX1, Errorvar.= 0.050, Rý = 0.98 X16 = 0.22*LX1, Errorvar.= 1.90, Rý = (0.068) (0.18) X13 = 0.11*LX1, Errorvar.= 1.98, Rý = (0.069) (0.19) X22 = *LX2, Errorvar.= 1.95, Rý = (0.068) (0.19) X25 = 0.036*LX2, Errorvar.= 2.00, Rý = (0.069) (0.19) X23 = 1.00*LX2, Errorvar.= 0.050, Rý = 0.98 X24 = 0.022*LX2, Errorvar.= 2.00, Rý = (0.069) (0.19) X21 = *LX2, Errorvar.= 1.99, Rý = (0.069) (0.19) Structural Equations LX3 = *LX *LX2, Errorvar.= 0.38, Rý = (0.064) (0.063) (0.28) LX4 = *LX *LX2, Errorvar.= 0.53, Rý = 0.26 (0.066) (0.064) (0.36) LX5 = *LX *LX2, Errorvar.= 1.41, Rý = 0.28 (0.060) (0.060) (0.14) LY1 = *LX *LX *LX *LX *LX2, Errorvar.= 0.050, Rý = 0.56

204 186 (0.049) (0.35) (0.14) (0.044) (0.069) Reduced Form Equations LX3 = *LX *LX2, Errorvar.= 0.38, Rý = (0.064) (0.063) LX4 = *LX *LX2, Errorvar.= 0.53, Rý = 0.26 (0.066) (0.064) LX5 = *LX *LX2, Errorvar.= 1.41, Rý = 0.28 (0.060) (0.060) LY1 = *LX *LX2, Errorvar.= 0.11, Rý = (0.039) (0.035) Covariance Matrix of Independent Variables LX1 LX LX (0.19) LX (0.14) (0.19) Covariance Matrix of Latent Variables LX3 LX4 LX5 LY1 LX1 LX LX LX LX LY LX LX

205 187 Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 426 Minimum Fit Function Chi-Square = (P = 0.0) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = (P = 0.0) Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = Percent Confidence Interval for NCP = ( ; ) 1.90) ) ) Minimum Fit Function Value = 3.53 Population Discrepancy Function Value (F0) = Percent Confidence Interval for F0 = (1.20 ; Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.053 ; P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = Expected Cross-Validation Index (ECVI) = Percent Confidence Interval for ECVI = (3.77 ; ECVI for Saturated Model = 4.51 ECVI for Independence Model = 4.80 Chi-Square for Independence Model with 465 Degrees of Freedom = Independence AIC = Model AIC = Saturated AIC = Independence CAIC = Model CAIC = Saturated CAIC = Normed Fit Index (NFI) = 0.22 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.27 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.20 Comparative Fit Index (CFI) = 0.33 Incremental Fit Index (IFI) = 0.38 Relative Fit Index (RFI) = 0.15 Critical N (CN) = Root Mean Square Residual (RMR) = 0.17 Standardized RMR = Goodness of Fit Index (GFI) = 0.82 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.79 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.70 The Modification Indices Suggest to Add the Path to from Decrease in Chi-Square New Estimate X33 LX X32 LX

206 188 X59 LX LX4 LX LX5 LX The Modification Indices Suggest to Add an Error Covariance Between and Decrease in Chi-Square New Estimate LX5 LX X54 X X53 X X57 X X57 X X57 X X57 X X11 X X11 X X15 X X15 X X12 X X14 X X14 X X14 X X25 X X23 X X23 X X21 X Time used: Seconds

207 189 Keterangan : Latar Belakang Keluarga (LX1) : Kondisi Fisik Keluarga (X1.1), Menolong sampai Eksploitasi Keluarga (X1.2), Pendidikan Orang Tua (X1.3), Pelaksanaan Fungsi Keluarga (X1.5), Pola Hubungan dengan Keluarga (X1.5), Profesi/Pekerjaan Orang Tua (X1.6). Latar Belakang Lingkungan (LX2) : Kegiatan Belajar/Pendidikan Non Formal (X2.1), Kondisi Fisik Lingkungan (X2.2), Penerapan Sanksi (X2.3), Penanaman Nilai dan Norma Masyarakat (X2.4), Situasi Lingkungan (X2.5). Ciri Fisik Anak Jalanan (LX3) : Jenis Kelamin (X3.1), Pakaian (X3.2), Penampilan Fisik (X3.3), Penyakit yang Diderita (X3.4), Umur (X3.5). Ciri Psikologik Anak Jalanan (LX4) : Kapan (umur) Mulai Jadi Anjal (X4.1), Mobilitas Mental (X4.2), Motivasi Berada di Jalanan (X4.3), Pengalaman Jadi Anjal (X4.4), Riwayat Jadi Anak Jalanan (X4.6), Tingkat Kreativitas (X4.7), Tingkat Kebutuhan (X4.8). Ciri Sosiologik Anak Jalanan (LX5) : Aktivitas Sosial Ekonomi (X5.1), Asal Daerah (X5.2), Bahasa (X5.3), Interaksi (X5.4), Jaringan (X5.5), Kelompok Anjal (X5.6), Mobilitas Fisik (X5.7), Pendidikan Formal (X5.8), Pendidikan Non Formal (X5.9), Sub Kultur (X5.10). Perilaku Anak Jalanan (LY1) : Normal (Y1.1), Y1.2. Abnormal (Y1.2).

208 190 Lampiran 4 : Hasil Uji SEM Pengaruh Indikator Sub Peubah Pelaksanaan Fungsi Keluarga DATE: 7/23/2007 TIME: 8:31 L I S R E L 8.72 BY Karl G. J reskog & Dag S rbom This program is published exclusively by Scientific Software International, Inc N. Lincoln Avenue, Suite 100 Lincolnwood, IL 60712, U.S.A. Phone: (800) , (847) , Fax: (847) Copyright by Scientific Software International, Inc., Use of this program is subject to the terms specified in the Universal Copyright Convention. Website: The following lines were read from file D:\FMA\Analisis\Rini\SEM\OlahSEM X14.spj: SEM OBSERVED VARIABLES X141 X142 X143 X144 CORRELATION MATRIX FROM FILE D:\FMA\ANALISIS\RINI\SEM\KOR_X14.COR SAMPLE SIZE 225 LATENT VARIABLES X14 RELATIONSHIPS X141 X142 X143 X144 = X14 PATH DIAGRAM OPTIONS: AD=OFF END OF PROBLEM Sample Size = 225

209 191 SEM Correlation Matrix X141 X142 X143 X X X X X SEM Number of Iterations = 5 LISREL Estimates (Maximum Likelihood) Measurement Equations X141 = 0.50*X14, Errorvar.= 0.75, Rý = 0.25 (0.068) (0.076) X142 = *X14, Errorvar.= 0.41, Rý = 0.59 (0.064) (0.061) X143 = *X14, Errorvar.= 0.22, Rý = 0.78 (0.063) (0.065) X144 = *X14, Errorvar.= 0.70, Rý = 0.30 (0.067) (0.072) Correlation Matrix of Independent Variables X

210 192 = 0.44) 6.93) Goodness of Fit Statistics Degrees of Freedom = 2 Minimum Fit Function Chi-Square = 1.64 (P = 0.44) Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square = 1.62 (P Estimated Non-centrality Parameter (NCP) = Percent Confidence Interval for NCP = (0.0 ; 0.031) ) 0.11) Minimum Fit Function Value = Population Discrepancy Function Value (F0) = Percent Confidence Interval for F0 = (0.0 ; Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA) = 90 Percent Confidence Interval for RMSEA = (0.0 ; P-Value for Test of Close Fit (RMSEA < 0.05) = 0.62 Expected Cross-Validation Index (ECVI) = Percent Confidence Interval for ECVI = (0.080 ; ECVI for Saturated Model = ECVI for Independence Model = 1.33 Chi-Square for Independence Model with 6 Degrees of Freedom = Independence AIC = Model AIC = Saturated AIC = Independence CAIC = Model CAIC = Saturated CAIC = Normed Fit Index (NFI) = 0.99 Non-Normed Fit Index (NNFI) = 1.00 Parsimony Normed Fit Index (PNFI) = 0.33 Comparative Fit Index (CFI) = 1.00 Incremental Fit Index (IFI) = 1.00 Relative Fit Index (RFI) = 0.98 Critical N (CN) = Root Mean Square Residual (RMR) = Standardized RMR = Goodness of Fit Index (GFI) = 1.00 Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) = 0.98 Parsimony Goodness of Fit Index (PGFI) = 0.20 Time used: Seconds

211 193 Keterangan : Pelaksanaan fungsi Keluarga (X14), Pelaksanaan fungsi reproduksi keluarga (X141), Pelaksanaan fungsi ekonomi keluarga (X142), Pelaksanaan fungsi sosialisasi/pendidikan keluarga (X143), Pelaksanaan fungsi perlindungan/ pengawasan keluarga (X144).

212 194 Lampiran 5 : Data Anak Jalanan Jawa Barat Tahun 2006 No Kabupaten/Kota Jumlah 1 Kota Bandung orang 2 Kabupaten Bandung 802 orang 3 Kota Cirebon 552 orang 4 Kabupaten Cirebon orang 5 Kabupaten Majalengka orang 6 Kabupaten Garut 557 orang 7 Kota Bekasi orang 8 Kabupaten Bekasi orang 9 Kota Bogor orang 10 Kabupaten Bogor 828 orang 11 Kota Sukabumi 391 orang 12 Kabupaten Sukabumi 276 orang 13 Kota Tasikmalaya orang 14 Kabupaten Tasikmalaya 276 orang 15 Kabupaten Ciamis 886 orang 16 Kabupaten Kuningan 78 orang 17 Kabupaten Indramayu 158 orang 18 Kabupaten Sumedang 364 orang 19 Kabupaten Karawang 556 orang 20 Kabupaten Subang 552 orang 21 Kabupaten Purwakarta 246 orang 22 Kota Depok 466 orang 23 Kabupaten Cianjur 315 orang 24 Kota Cimahi 280 orang 25 Kota Banjar 212 orang Jumlah orang

213 195 Lampiran 6 : Rekapitulasi Data Anak Terlantar Jawa Barat Tahun No Status Anak Jumlah 1 Balita terlantar orang 2 Anak terlantar orang 3 Remaja putus sekolah orang 4 Anak jalanan orang 5 Korban trafficing 158 orang

214 Lampiran 7 : Gambar Profil Anak Jalanan, Keluarga dan Lingkungannya. 196

215 Lampiran 8 : Gambar Tempat Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan 197

216 Lampiran 9 : Gambar Pembinaan yang Dilakukan pada Anak Jalanan 198

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Akibat terjadinya bencana alam kekeringan serta krisis ekonomi yang berkepanjangan pada akhir tahun 1997 permasalahan anak jalanan makin mencuat kepermukaan. Hasil penelitian

Lebih terperinci

PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO

PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO PROFIL ANAK JALANAN DAN STRATEGI PENGENTASANNYA DI BANDUNG, BOGOR DAN JAKARTA SRI TJAHJORINI SUGIHARTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

Lebih terperinci

Perilaku Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta

Perilaku Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta Jurnal Penyuluhan, Maret 2009 Vol. 5 No.1 Perilaku Anak Jalanan dan Strategi Pengentasannya di Bandung, Bogor, dan Jakarta Street Children Behavior and Strategies For Improvement of Street Children Living

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR Kerangka Berpikir 62 KERANGKA BERPIKIR Kerangka Berpikir Anak jalanan sebagai individu memiliki sistem nilai, perilaku dan sikap tertentu yang berbeda dari sebagian besar anak pada umumnya, ini terkait dengan sifat individu

Lebih terperinci

Bab 2 KONSEP ANAK JALANAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 11

Bab 2 KONSEP ANAK JALANAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 11 Bab 2 KONSEP ANAK JALANAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 11 Bab 2 KONSEP ANAK JALANAN Dalam ketentuan umum pasal 1 ayat 1 UU RI No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan anak adalah seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, yang sekaligus merupakan tunas, potensi dan generasi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK ANAK

PERLINDUNGAN HAK ANAK PERLINDUNGAN HAK ANAK oleh Elfina Lebrine Sahetapy, SH., LLM Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Surabaya Sebelum kita membahas lebih lanjut permasalahan tentang perlindungan anak, maka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai. jumlah masyarakat penyandang masalah sosial di daerah perkotaan.

I. PENDAHULUAN. ekonomi merosot hingga minus 20% mengakibatkan turunnya berbagai. jumlah masyarakat penyandang masalah sosial di daerah perkotaan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak yang luas bagi masyarakat sampai saat ini. Pertumbuhan ekonomi merosot

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Salah satu masalah sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Salah satu masalah sosial yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk di kota besar di Indonesia saat ini cukup besar, sehingga terdapat berbagai masalah yang cukup besar pula. Di antaranya: masalah sosial,

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi)

PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI. (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) PENGUATAN KELEMBAGAAN TANI IKAN MINA SARI (Studi Kasus di Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi) RONALD FRANSISCO MARBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

1. Fungsionalisme Struktural Perkembangannya

1. Fungsionalisme Struktural Perkembangannya PENDEKATAN TEORETIK Menurut Slamet Margono : Masyarakat sebagai sistem sosial dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut, 1. Ekologi, lokasi, dan geografi di mana masyarakat tsb berada 2. Demografi,

Lebih terperinci

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PRESTASI KERJA PEGAWAI PUSDIKLAT PEGAWAI DEPARTEMEN SOSIAL RI SURYA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PENGARUH KEPEMIMPINAN

Lebih terperinci

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS

KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS KONVERGENSI KEEFEKTIVAN KEPEMIMPINAN (Kasus Anggota Gabungan Kelompok Tani Pandan Wangi Desa Karehkel, Leuwiliang-Bogor) SKRIPSI FERRI FIRDAUS PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 10 TAHUN

PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 10 TAHUN SALINAN BUPATI TOLITOLI PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KESEJAHTERAAN SOSIAL KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah) YUDO JATMIKO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

KEBERDAYAAN KELUARGA DI PERKOTAAN DAN PEDESAAN: KASUS KELUARGA DI KECAMATAN DUREN SAWIT DAN KECAMATAN JASINGA ASTRIANA BAITI SINAGA

KEBERDAYAAN KELUARGA DI PERKOTAAN DAN PEDESAAN: KASUS KELUARGA DI KECAMATAN DUREN SAWIT DAN KECAMATAN JASINGA ASTRIANA BAITI SINAGA KEBERDAYAAN KELUARGA DI PERKOTAAN DAN PEDESAAN: KASUS KELUARGA DI KECAMATAN DUREN SAWIT DAN KECAMATAN JASINGA ASTRIANA BAITI SINAGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah

PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA. Lia Nurjanah PENGARUH PEMENUHAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA REMAJA TERHADAP PENCAPAIAN TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA Lia Nurjanah DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) Nurul Hidayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam 1 A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Mereka bersih seperti kertas putih ketika

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN USAHATANI: KASUS PETANI SAYURAN DI KABUPATEN BONDOWOSO DAN KABUPATEN PASURUAN ABDUL FARID

KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN USAHATANI: KASUS PETANI SAYURAN DI KABUPATEN BONDOWOSO DAN KABUPATEN PASURUAN ABDUL FARID KEMANDIRIAN PETANI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN USAHATANI: KASUS PETANI SAYURAN DI KABUPATEN BONDOWOSO DAN KABUPATEN PASURUAN ABDUL FARID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG

EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG EVALUASI PENINGKATAN SUMBERDAYA MANUSIA DALAM PROGRAM PENDANAAN KOMPETISI MELALUI KEGIATAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL DI KABUPATEN KARAWANG ASEP AANG RAHMATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan yang umum di Indonesia adalah masalah perekonomian yang tidak merata. Terutama semenjak terjadinya Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan

Lebih terperinci

MARIA BINUR FRANSISKA MANALU

MARIA BINUR FRANSISKA MANALU KOMPETENSI PEMILIK RUMAH MAKAN TRADISIONAL KELAS C DALAM PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN MAKANAN DI DAERAH TUJUAN WISATA JAKARTA TIMUR MARIA BINUR FRANSISKA MANALU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ

PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ PERILAKU KOMUNIKASI APARAT PEMDA KABUPATEN DALAM PENGARUSUTAMAAN GENDER DI ERA OTONOMI DAERAH (Kasus pada Kabupaten Lampung Timur) ABDUL KHALIQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi

BAB I PENDAHULUAN. tertuang dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni melindungi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkembang seperti Indonesia, secara berkelanjutan melakukan pembangunan baik fisik maupun mental untuk mencapai tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus generasi di masa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anakanak merupakan fase dimana

Lebih terperinci

Dr. Alamsyah, M.Hum. Drs. Sugiyarto, M.Hum

Dr. Alamsyah, M.Hum. Drs. Sugiyarto, M.Hum POTRET DI JEPARA Dr. Alamsyah, M.Hum Drs. Sugiyarto, M.Hum Penerbit Madina dan Pemda Kabupaten Jepara. Desember 2012 i Permasalahan Sosial dan Strategi Penanganan Potret di Jepara Diterbitkan Desember

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGASUHAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TAPIN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) CHANDRA APRINOVA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 @ Hak Cipta

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PELATIHAN PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (TKSM)

EFEKTIVITAS PELATIHAN PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL MASYARAKAT (TKSM) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak sebagai penerus bangsa merupakan salah satu komunitas yang harus diperhatikan dan dilindungi serta dijamin hak-haknya sebagai seorang anak. Berdasarkan data dari

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 1

Bab 1 PENDAHULUAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 1 Bab 1 PENDAHULUAN FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN 1 2 FENOMENA SOSIAL ANAK JALANAN Bab 1 PENDAHULUAN Berbagai dampak sosial, politik dan budaya telah mencuat sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL KOTA BATU DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI MASA LALU ANAK DAN PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK NINA TRIANA

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI MASA LALU ANAK DAN PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK NINA TRIANA HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI MASA LALU ANAK DAN PARTISIPASI IBU DI POSYANDU DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK NINA TRIANA PROGRAM STUDI S1 GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR

KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI MASYARAKAT ACEH DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN DAMPAK TSUNAMI YUSNIDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS SOSIAL KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami

I. PENDAHULUAN Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai ibukota negara, Jakarta telah mengalami pembangunan fisik dan ekonomi yang berjalan pesat, menjadi suatu kota metropolitan. Namun pada sisi lain, Jakarta juga terkena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keterlibatan ibu rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga merupakan fenomena yang tidak asing lagi di dalam kehidupan masyarakat. Kompleksnya kebutuhan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMBACA DALAM MEMPEROLEH INFORMASI GAYA HIDUP SEHAT

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMBACA DALAM MEMPEROLEH INFORMASI GAYA HIDUP SEHAT FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PEMBACA DALAM MEMPEROLEH INFORMASI GAYA HIDUP SEHAT (Studi Kasus Pembaca Tabloid Senior di Kecamatan Bogor Utara) Oleh : ENDANG SRI WAHYUNI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Anak adalah sumber daya bagi bangsa juga sebagai penentu masa depan dan penerus bangsa, sehingga dianggap penting bagi suatu negara untuk mengatur hak-hak

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN, PELAYANAN DAN PEMULIHAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA KEMANDIRIAN NELAYAN IKAN DEMERSAL DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI SULAWESI TENGGARA M A R D I N PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan seiring dengan itu, angka kemiskinan terus merangkak. Kenaikan harga

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan seiring dengan itu, angka kemiskinan terus merangkak. Kenaikan harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia mengalami permasalahan di bidang sosial, politik, ekonomi. Permasalahan yang paling umum dirasakan masyarakat adalah permasalahan ekonomi dan seiring

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN BIMBINGAN LANJUT DAN RUJUKAN BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi

I. PENDAHULUAN. melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan potensi masa depan

Lebih terperinci

KOMPETENSI PENYULUH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI JAWA BARAT. Bambang Gatut Nuryanto

KOMPETENSI PENYULUH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI JAWA BARAT. Bambang Gatut Nuryanto KOMPETENSI PENYULUH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI JAWA BARAT Bambang Gatut Nuryanto SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 21 tahun dan belum menikah (www.google.com). Menurut UU No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 21 tahun dan belum menikah (www.google.com). Menurut UU No. 23 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konsep anak didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan ciri serta sifat-sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan atas Eksploitasi dan Tindak Kekerasan Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, SALINAN BUPATI PATI PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diukur berdasarkan kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) berdasarkan hasil survei oleh Badan Pusat Statistik (bps.go.id:

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

KERAWANAN SOSIAL PENGEMIS ANAK DI SITUBONDO. (Studi Diskriptif di Kota Situbondo) THE SOCIAL ANXIOUSNESS OF CHILDREN BEGGAR IN SITUBONDO

KERAWANAN SOSIAL PENGEMIS ANAK DI SITUBONDO. (Studi Diskriptif di Kota Situbondo) THE SOCIAL ANXIOUSNESS OF CHILDREN BEGGAR IN SITUBONDO KERAWANAN SOSIAL PENGEMIS ANAK DI SITUBONDO (Studi Diskriptif di Kota Situbondo) THE SOCIAL ANXIOUSNESS OF CHILDREN BEGGAR IN SITUBONDO (Descriptive Study In Situbondo City) Oleh Emi Kartikaningtias Nim.

Lebih terperinci

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BLITAR, Menimbang : a. bahwa Kota Blitar memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS SOSIAL KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG,

PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS SOSIAL KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG, PERATURAN BUPATI SUBANG NOMOR : TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS SOSIAL KABUPATEN SUBANG BUPATI SUBANG, Menimbang : a. bahwa Dinas Sosial Kabupaten Subang telah dibentuk dengan Peraturan

Lebih terperinci

KERAWANAN SOSIAL PENGEMIS ANAK DI SITUBONDO. (Studi Diskriptif di Kota Situbondo) THE SOCIAL ANXIOUSNESS OF CHILDREN BEGGAR IN SITUBONDO

KERAWANAN SOSIAL PENGEMIS ANAK DI SITUBONDO. (Studi Diskriptif di Kota Situbondo) THE SOCIAL ANXIOUSNESS OF CHILDREN BEGGAR IN SITUBONDO KERAWANAN SOSIAL PENGEMIS ANAK DI SITUBONDO (Studi Diskriptif di Kota Situbondo) THE SOCIAL ANXIOUSNESS OF CHILDREN BEGGAR IN SITUBONDO (Descriptive Study In Situbondo City) Oleh Emi Kartikaningtias Nim.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 94 HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Anak Jalanan di Bandung, Bogor dan Jakarta Profil anak jalanan pada semua peubah di tiga wilayah penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata, baik antara DKI

Lebih terperinci

Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) , Fax (0370) Kode Pos TELAAHAN STAF

Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) , Fax (0370) Kode Pos TELAAHAN STAF PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) 681150, 681156 Fax (0370) 681156 Kode Pos 83363 TELAAHAN STAF Kepada : Bapak

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO PEMBERDAYAAN KOMUNITAS BAKUL PASAR TRADISIONAL DESA BANTUL MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PERMODALAN YOHANES ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS SOSIAL PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Daya Mas Media Komunikasi dan Informasi Hasil Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat Volume 1 Nomor 2 September 2016; ISSN :

Daya Mas Media Komunikasi dan Informasi Hasil Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat Volume 1 Nomor 2 September 2016; ISSN : SOSIALISASI PENCEGAHAN PENELANTARAN DAN EKSPLOITASI TERHADAP ANAK Zulin Nurchayati 1 1 Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Madiun Abstract Law No. 23 of 2002 on child protection.

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak 7 Perbedaan dengan Undang Undang Perlindungan Anak Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam Undang Undang Perlindungan Anak? Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI RUKUN TETANGGA UNTUK MENINGKATKAN KEBERDAYAAN ANGGOTA ( Kasus Desa Kudi, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah ) RAHMAT IMAM SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG SEKOLAH RAMAH ANAK

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG SEKOLAH RAMAH ANAK WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 49 TAHUN 2016 TENTANG SEKOLAH RAMAH ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus: Rumahtangga Nelayan Tradisional Di Kecamatan Kasemen Kabupaten Serang Propinsi Banten) RANTHY PANCASASTI SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena merebaknya anak jalanan merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah

I. PENDAHULUAN. dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda, sudah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak sebagai sumber daya manusia dan bagian dari generasi muda,

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN SALINAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA,

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM)

ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) ANALISIS KEPUASAN PENGGUNA JASA PELAYANAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP), BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL (BKPM) EPI RATRI ZUWITA PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 83 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL, PENGENDALIAN PENDUDUK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 44 TAHUN 2012 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) BIDANG SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

PELAYANAN SOSIAL BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH

PELAYANAN SOSIAL BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH PELAYANAN SOSIAL BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH Elita Metica Tamba Dra. Hetty Krisnani, M.Si. Arie Surya Gutama,S,Sos., SE.,M.Si Email: elitametica@yahoo.com ABSTRAK Setiap anak Indonesia berhak mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlantaran baik anak maupun lanjut usia, kecacatan, ketunasosialan,

Lebih terperinci

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN

PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN PENDAYAGUNAAN KELEMBAGAAN USAHA KESEJAHTERAAN SOSIAL (UKS) DALAM UPAYA MENSEJAHTERAKAN KELUARGA MISKIN (Kasus di Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung) ERNA SUSANTY SEKOLAH PASCA SARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PMKS secara umum dan secara khusus menangani PMKS anak antara lain, anak

BAB I PENDAHULUAN. PMKS secara umum dan secara khusus menangani PMKS anak antara lain, anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Permasalahan sosial secara umum di Indonesia mencakup berbagai jenis masalah yang berkaitan dengan anak. Saat ini Departemen Sosial menangani 26 jenis PMKS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Anak Jalanan Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Data Anak Jalanan Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Anak jalanan merupakan fenomena kota besar dimana saja. Perkembangan sebuah kota akan mempengaruhi jumlah anak jalanan. Semakin berkembang

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI (Kasus di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang NTT) IRIANUS REJEKI ROHI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Perilaku 1.1. Pengertian Perilaku Perilaku menurut Oktaviawan (2003) adalah orientasi yang dipelajari terhadapat objek, atau predi posisi untuk bertindak dengan satu cara terhadap

Lebih terperinci

PERANAN FAKTOR EKSTERNAL DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PRAKTEK KETERAMPILAN PADA AKADEMI KEBIDANAN KLATEN SUGITA NIM:

PERANAN FAKTOR EKSTERNAL DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PRAKTEK KETERAMPILAN PADA AKADEMI KEBIDANAN KLATEN SUGITA NIM: PERANAN FAKTOR EKSTERNAL DALAM PELAKSANAAN PROGRAM PRAKTEK KETERAMPILAN PADA AKADEMI KEBIDANAN KLATEN SUGITA NIM: 99735047 Tesis Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Magister

Lebih terperinci