PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA"

Transkripsi

1 PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT SAGU (Metroxylon spp.) DI PULAU SERAM, MALUKU SRI GOSLEANA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

3 RINGKASAN SRI GOSLEANA. Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram Maluku. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan LILIK BUDI PRASETYO. Sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu tumbuhan pangan tropika Indonesia. Indonesia mempunyai areal penanam sagu cukup luas sagu, bahkan diperkirakan sekitar 60% areal penanaman sagu dunia. Salah satu wilayah yang banyak ditemukan sagu adalah Pulau Seram, Maluku. Besarnya potensi sagu yang terdapat di Pulau Seram dapat dijadikan modal pengelolaan sagu bagi Indonesia. Namun informasi terkait sagu, terutama mengenai data spasial sagu masih kurang. Oleh karenanya dilakukan penelitian dengan tujuan mengidentifikasi habitat, menganalisis faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kesesuaian habitat serta menentukan pemodelan spasial kesesuaian habitat sagu yang tepat. Penelitian didasarkan oleh penelitian sebelumnya yaitu oleh Botanri (2010) dengan menggunakan data berupa citra Lansat -5 TM terdiri dari path 107/row 062, path 107/row 063, path 108/row 062 dan path 109/row 062, yang direkam pada 6 Juli 2007, 17 Juli 2007, 15 Agustus 2007 dan 29 July Peta tematik lain yang digunakan antara lain: peta jenis tanah, peta sungai dan titik distribusi sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram Maluku serta citra ASTER GDEM Pulau Seram, Maluku, pengambilan pada 17 November Data tersebut diolah dengan menggunakan software ArcGIS 9.3 dan ERDAS 9.1. Proses analisis spasial dari ASTER GDEM menghasilkan peta ketinggian dan kemiringan lereng. Sedangkan proses spectral enhancement pada citra Pulau Seram menghasilkan peta Normalize Difference Vegetation Index (NDVI) Pulau Seram. Sehingga didapatkan faktor penentu kesesuaian yang digunakan yaitu: peta ketinggian, kemiringan lereng, jenis tanah, jarak dari sungai dan NDVI. Kemudian dengan SPSS 19.0 dilakukan analisis komponen utama dan analisis regresi logistik untuk meyusun model kesesuaian habitat berdasarkan kelima factor tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa Metroxylon spp. menyebar hampir merata di Pulau Seram Maluku. Metroxylon spp. dapat ditemukan pada daerahdaerah dengan karakteristik seperti: 1). Ketinggian tempat antara meter diatas permukaan laut. 2). Kemiringan lereng yang datar yaitu 0 8%. 3). Pada jenis tanah Alluvial. 4). Jarak dari sungai < 300 m. 5). Dengan nilai NDVI kisaran -0,25 hingga 0,25. Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. yang didapat berdasarkan kedua analisis menunjukkan validasi 65,62% dengan perkiraan luas areal sagu sebesar ,31 Ha untuk model kesesuaian berdasarkan analisis komponen utama dan 82,81% dengan perkiraan luas areal sagu sebesar ,31 Ha untuk model kesesuaian berdasarkan analisis regresi logistik. Maka dapat dikatakan bahwa model kesesuaian berdasarkan analisis regresi logistik yang tepat digunakan untuk pembuatan pemodelan spasial kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku. Kata Kunci : Metroxylon spp, kesesuiaan habitat, pemodelan spasial

4 SUMMARY SRI GOSLEANA. Spatial Modeling for Habitat Suitability of Sago (Metroxylon spp.) in Seram Island, Maluku. Under Supervision of AGUS HIKMAT and LILIK BUDI PRASETYO Sago (Metroxylon spp.) is one of tropical staple food in Indonesia. About 60% of sago plantations areas of the world is located in Indonesia. One of the area which is found sago is Seram Island, Maluku. The magnitude of sago, in Seram Island can be used as capital for sago management in Indonesia. Unfortunately, information on its habitat and spatial distribution are very limited. The objective of this research is to identify the habitats, analyze the physical factors that affect habitat suitability and determine the spatial modeling of habitat suitability for sago. The study was based on previous research conducted by Botanri (2010). Analysis was made based on 4 scenes data of Landsat -5 TM imagery namely path 107/row 062, path 107/row 063, path 108/row 062 and path 109/row 062, which were taken on July 6 th 2007, July 17 th 2007, August 15 th 2007 and July 29 th 2007, respectively. Another thematics were soil type maps, river maps and sago distribution points (Metroxylon spp.) and ASTER GDEM imagery taken on 17 November The data were processed by the software ArcGIS 9.3 and Erdas 9.1. ASTER GDEM were analyzed to produce elevation and slope maps. Meanwhile Vegetation Index (NDVI) was generated based on Landsat-5 TM. Two technique statistical analysis were performed, namely principal component analysis and logistic regression by SPSS The result showed that Metroxylon spp. spread almost evenly on the Seram Island in Maluku. Metroxylon spp. can be found in areas with characteristics such as: 1).Altitude from 0 to 250 meters above sea level. 2). A flat slope or 0-8%. 3). On Alluvial soils. 4). The distance from the river <300 m. 5). With NDVI values range to Habitat suitability models for Metroxylon spp. showed the validation 65.62% with an estimated area of 489, hectares for sago suitability models based on principal component analysis and 82.81% with an estimated area of 617, hectares for sago suitability models based on logistic regression analysis. It can concluded that the suitable model for Metroxylon spp. habitat suitability on Seram Island, Maluku is the model based on logistic regression analysis. Key words : Metroxylon spp, habitat suitability, spatial model

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai Karya Ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, April 2012 Sri Gosleana E

6 Judul Skripsi Nama NIM : Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku : Sri Gosleana : E Menyetujui: Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. NIP Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Insitut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP Tanggal Pengesahan:

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi yang termuat dalam bentuk peta mengenai penyebaran dan kesesuaian habitat sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. Sehingga dapat menjadi acuan dalam pengelolaan sagu di Pulau Seram, Maluku dengan menggunakan permodelan spasial. Pada kesempatan kali ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini sehingga besar harapan adanya kritik dan saran yang dapat membangun bagi penulisan selanjutnya Bogor, April 2012 Sri Gosleana

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Kediri pada tanggal 17 Agustus 1988 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Sugito dan Siti Marzukah. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah di SMAN 2 Kediri. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif di berbagai kepanitiaan dan organisasi mahasiswa, seperti pernah aktif di organisasi mahasiswa kedaerahan Kediri (KAMAJAYA). Kemudian setelah masuk departemen, penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Penulis aktif sebagai anggota Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM Tarsius ) HIMAKOVA ( ). Beasiswa yang pernah didapatkan oleh penulis selama kuliah di IPB antara lain adalah, beasiswa Alumni Peduli dari Himpunan Alumni SMA Negeri 2 Kediri, beasiswa Astaga dari Himpunan Alumni Angkatan Tiga Belas IPB, beasiswa Persatuan Orangtua Mahasiswa dan beasiswa Pertamina Foundation. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Pangandaran-SM Gunung Sawal, Jawa Barat (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi (2010). Selain itu juga penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB), Jawa Tengah (2011). Selain itu penulis juga melakukan Ekplorasi Flora Fauna dan Ekowisata (RAFLESIA) di CA Gunung Burangrang, Jawa Barat (2010) dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah (2010) bersama HIMAKOVA. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Sagu Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

9 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan anugrah-nya penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Ibuku, Siti Marzukah, yang selalu menyayangi dan sabar mendidikku, Mas Adis, Dek Apri, Mba Siswi dan keluarga besar Rakidi atas dukungan, doa serta kasih sayang yang telah tercurah untukku. 2. Dr. Ir. Agus Hikmat M.Sc.F. dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu dan arahan dalam membimbing. 3. Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc sebagai dosen penguji dan Ir. Edhi Sandra, M.Si sebagai ketua sidang. 4. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.Si. selaku pembimbing akademik sejak masuk Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 5. Dr. Samin Botanri, yang telah bersedia memberikan data penelitian doktoralnya sebagai data dasar bagi penelitian ini. 6. Prof. H.M.H. Bintoro yang telah sudi meluangkan waktu untuk berbagi ilmu mengenai sagu di Indonesia. 7. Teman-teman Spatial Database Analysis Facilities/SDAF 44 (Irham, Reza, Agus, Mahdi, Age, Ardi dan Aga); Kak Beibi, Kak Arif, Kak Amri, Kak Age atas kerjasama dan bantuan yang diberikan. 8. Teman-teman KSHE 44 KOAK (Helarctos malayanus) atas kebersamaan dan rasa persaudaraan. 9. Teman-teman Kelompok Pemerhati Mamalia (KPM) Tarsius dan seluruh teman-teman pengurus HIMAKOVA. 10. Teman-teman Wisma Edelweis Bara 6 (Retno, Yusufa, Rischa, Nendy, Mey, Rinda, Mba Irriwad) atas kebersamaan dan kekeluargaan di wisma. 11. Sahabatku Irham Fauzi, Dwi Pravita Ganatri dan Nini Sriani atas semua bantuan dan motivasi yang diberikan. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

10 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i RIWAYAT HIDUP ii UCAPAN TERIMA KASIH.. iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL.. v DAFTAR GAMBAR.. vi DAFTAR LAMPIRAN... vii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Sagu Klasifikasi Morfologi Ekologi Penyebaran Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi SIG Aplikasi SIG dalam konservasi sumberdaya hutan... 7 BAB III METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Penelitian Pengumpulan data Pengolahan data Analisis Data Analisis komponen utama (Priciple Component Analysis/PCA) 10

11 3.5.2 Analisis regresi logistik (Logistic Regression Analysis) Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp Kelas kesesuaian Metroxylon spp Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp Validasi model 13 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Fisik Kondisi Iklim Topografi Sumberdaya Air Kondisi Biotik Kondisi Masyarakat. 17 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Sagu (Metroxylon spp.) Ketinggian tempat Kemiringan lereng Jenis tanah Jarak dari sungai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Analisi Data Analisis komponen utama (Priciple Component Analysis/PCA) Model kesesuaian habitat Metroxylon spp Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp Analisis regresi logistik (Logistic Regression Analysis) Model kesesuaian habitat Metroxylon spp 39

12 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp Validasi model BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 44 DAFTAR PUSTAKA. 45 LAMPIRAN 48

13 DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Penyebaran sagu di Kepulauan Maluku 3 2 Penutupan lahan di Pulau Seram, Maluku 19 3 Luas tiap kelas ketinggian Luas tiap kelas kemiringan lereng Jenis tanah di Pulau Seram beserta luasannya Jarak dari sungai beserta luasannya Keragaman total komponen utama 35 8 Vektor ciri PCA Koefisien tiap variabel kesesuaian habitat Metroxylon spp Skor variabel/faktor kesesuaian habitat Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. beserta luas areal Koefisien regresi dan taraf signifikansi variable kesesuaian habitat 39 Metroxylon sp Skor variabel/faktor kesesuaian habitat Kelas kesesuaian habitat Metroxylon sp. beserta luas areal Hasil validasi model kesesuaian habitat Metroxylon spp. 42

14 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Morfologi Metroxylon spp Tahapan pengerjaan peta NDVI Bagan alir tahapan penelitian Peta tutupan lahan Pulau Seram, Maluku Tegakan sagu Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai ketinggian Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai kemiringan lereng 24 8 Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai ketinggian di Pulau Seram, Maluku Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai jenis tanah Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai jenis tanah di Pulau Seram, Maluku Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai jarak dari sungai Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada berbagai jarak sungai di Pulau Seram, Maluku Peta sebaran titik Metroxylon sp. pada NDVI di Pulau Seram, Maluku Jumlah titik Metroxylon sp. pada berbagai nilai NDVI Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku berdasarkan Analisis Komponen Utama Peta pendugaan habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku berdasarkan Analisis Regresi logistik.. 43

15 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Data Faktor kesesuaian untuk menyusun model Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis) Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA) Data faktor kesesuaian untuk menyusun model regresi logistik Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model regresi logistik Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp 62 6 Foto-foto Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku di berbagai lokasi

16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sagu merupakan salah satu tumbuhan tropika yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan utama oleh masyarakat terutama di Asia Tenggara dan di Papua New Guinea (PNG). Pemanfaatan sagu sebagai bahan makanan utama masih dapat ditemui, meskipun sekarang ini beras merupakan bahan pangan yang utama bagi mayoritas penduduk Indonessia. Hal tersebut dapat ditemui di beberapa daerah bagian Indonesia timur seperti Maluku dan Papua. Sagu yang merupakan komoditi pangan utama bagi masyarakat Indonesia bagian timur, pada dasarnya sangat potensial sebagai obyek diversivikasi pangan dan bioenergi. Sebagaimana disebutkan Bintoro (2003) bahwa produksi tepung sagu sangat besar, yaitu kg pati/pohon, bahkan hingga 700 kg/pohon. Apabila pengusahaan sagu dilakukan secara intensif pada lahan-lahan yang sesuai, maka kebutuhan bahan pangan nasional tidak akan tergantung pada produksi beras saja. Selain sebagai bahan pangan, sagu memiliki banyak manfaat lainnya seperti sebagai bahan pembuat gula cair, penyedap makanan, bahan pembuat perekat, bahkan sebagai penghasil etanol. Indonesia merupakan salah satu negara yang memanfaatkan sagu untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan mempunyai areal penanam sagu cukup luas. Suryana (2007) menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai luas areal penanaman sagu yang diperkirakan sekitar 60% dari luas areal sagu di dunia. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bintoro (2002) yang mengemukakan bahwa Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan yang potensial sebagai tempat tumbuh sagu. Bahkan menurut Oates dan Hicks (2002), sejak abad ke 13 dan awal abad ke 14 sagu merupakan hasil pertanian yang utama dari daerah Mindanao, Borneo, Sulawesi dan Kepulauan Maluku. Salah satu lokasi yang terdapat di Kepulauan Maluku yang banyak ditemukan tumbuhan sagu adalah Pulau Seram. Besarnya potensi sagu yang terdapat di Kepulauan Maluku, khususnya Pulau Seram tersebut pada dasarnya dapat menjadi modal pengelolaan sagu bagi Indonesia. Namun data potensi sagu baik berupa data spasial ataupun temporal,

17 2 belum dapat diketahui secara pasti. Untuk data spasial, sebenarnya dapat diketahui dengan menggunakan data citra satelit, namun penggunaannya masih sangat terbatas, baik data persebaran ataupun kesesuaian habitat sagu. Padahal data mengenai persebaran dan kesesuaian habitat sagu dapat menjadi acuan untuk penentuan lahan yang berpotensi sebagai tempat tumbuh sagu. Sehingga pengembangan pemanfaatan sagu dapat dioptimalkan pada lahan-lahan yang potensial tersebut. Selain itu, pada umumnya sagu dapat tumbuh di tempat yang relatif datar dan kecenderungan masyarakat untuk membuka lahan tersebut sebagai lokasi pemukiman cukup tinggi. Oleh karenanya diperlukan penelitian untuk mendapatkan data persebaran sagu yang akurat sehingga dapat diketahui kesesuaian habitatnya dan pada akhirnya dapat dibuat suatu permodelan spasial mengenai kesesuaian habitat sagu. Dengan demikian akan didapatkan pengelolaan lahan untuk sagu yang optimal. 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengidentifikasi karakteristik tempat tumbuh (habitat) sagu. 2. Menganalisis faktor-faktor fisik yang mempengaruhi kesesuaian habitat sagu. 3. Menentukan pemodelan spasial kesesuaian habitat sagu yang tepat. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi untuk mengetahui penyebaran dan pengelolaan sagu di Pulau Seram, Maluku dengan menggunakan permodelan spasial.

18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Sagu Klasifikasi McClatchey et. al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum (H. Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M. salomonensse (Warburg) Beccari, 5). M. vittiense (H. Wendland) H. Wendland ex Bentham dan Hooker F, dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Penyebaran wilayah jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau di Micronesia dan Polynesia. Indonesia memiliki keanekaragaman jenis sagu yang tinggi. Di Maluku awalnya terdapat lima jenis sagu. Namun sekarang dapat ditemukan sembilan jenis sagu. Pertambahan ini dikarenakan terjadi penyerbukan silang pada jenisjenis tersebut. Berikut ini disajikan beberapa jenis sagu dan lokasi penyebarannya di Kepulauan Maluku. Tabel 1 Penyebaran sagu di Kepulauan Maluku Tipe Sagu Nama Latin Penyebaran Sagu Tuni Metroxylon rumphii Mart Piru, Kairatu, Amahai, Buru, Werinama Seram, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan Sagu Ilhur M. sylvester Mart Piru, Amahai, Buru, Werinama Seram, Aru, Oba, Bacan Sagu Makanaru M. microcantum Mart Piru, Kairatu, Amahai, Werinama Seram, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan Sagu Duri Rotan M. microcantum Mart Werinama, Seram, Kao, Bacan Sagu Suanggi Werinama, Seram Sagu Molat Berduri Piru Sagu Molat Merah Berduri Sagu Molat M. sagu Rottb Piru, Kairatu, Amahai, Buru, Aru, Kao, Oba, Wasile, Bacan Sagu Molat Merah Sumber : Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Bintoro (2002)

19 4 Klasifikasi lebih lanjut dari tumbuhan sagu menurut USDA (2005), adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan vascular) Superdivisi Divisi Klass Subkelas Ordo Famili Genus : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) : Liliopsida (monokotil) : Archidae : Arecales : Arecaceae (Palmae) : Metroxylon Rottb Spesies : Metroxylon sagu Rottb (sago palm), M. rumpii, M Morfologi sylvester, M. microcantum Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan yang mengandung pati, kandungan pati dapat ditemukan pada bagian batang. Rumalatu (1981) Gambar 1 Morfologi Metroxylon spp. Sumber: Flach dan Rumawas (1996) pada tanaman sagu bisa mencapai 160 cm hingga 172 cm. menyebutkan bahwa tinggi batang pohon sagu berkisar m, diameter antara cm dan berat mancapai 1,2 ton. Tajuk pohon sagu pada umumnya terdiri dari 6 hingga 15 rangkaian daun dan setiap daun terdapat pelepah daun, tangkai, dan kirakira terdapat 20 pasang helaian daun yang panjangnya berkisar cm. Letak daun relatif berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 cm, panjang lembaran daun mencapai 1,5 m dan lebar daun sekitar 7 cm. Namun Nitta et al. (2006) menyebutkan bahwa panjang helaian daun Kemudian pada bagian bunga, menurut Flach (1996), tumbuhan sagu merupakan tanaman hapaxantik (berbunga satu kali dalam satu siklus hidup) dan

20 5 soboliferous (anakan). Bunga berpasangan dan penataan yang membentuk spiral, tiap pasang bunga terdiri dari satu bunga jantan dan satu bunga hermafrodit, dan lebih dari setengah bagian susunan bunga pada umumnya adalah bunga jantan. Bunga merupakan bunga trimerous dengan enam stamen. Sedangkan bagian akar tumbuhan sagu merupakan akar serabut dan terbagi menjadi dua bagian yaitu akar primer dan akar sekunder Ekologi Pada umumnya sagu (Metroxylon spp.) dapat tumbuh pada lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika berlangsung musim hujan dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Suhardi et al.(1999) menyebutkan bahwa lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah berlumpur, dimana akar napas tidak terendam, kaya mineral dan bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak asam. Pertumbuhan sagu air tawar membutuhkan beberapa zat antara lain potasium, fosfat, kalsium dan magnesium. Di daerah rawa pantai dengan salinitas tinggi, tumbuhan sagu masih dapat hidup, tumbuh berdampingan dengan nipah. Namun pertumbuhan sagu tidak optimal, seperti pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Ditambahkan oleh Mofu et al. (2005) diacu dalam Barahima (2006) bahwa tanaman sagu dapat tumbuh pada tanah rawa, gambut dan mineral. Selain itu, sagu juga dapat hidup pada lahan kering, lahan basah dan lahan sangat basah. Menurut Flach (1996), tumbuhan sagu merupakan spesies tumbuhan daerah dataran rendah tropis yang lembab, secara alamiah dapat ditemui pada lahan dengan ktinggian hingga 700 m dpl. Kondisi tumbuh terbaik adalah pada suhu rata-rata 26 o C, kelembaban relatif pada level 90% dan radiasi matahari sekitar 9 MJ/m 2 per hari. Bintoro (2008) menambahkan, tanaman sagu dapat tumbuh baik pada ketinggian sampai 400 m dpl. Lebih dari 400 m dpl pertumbuhan sagu terhambat dan kadar patinya rendah. Pada ketinggian di atas 600 m dpl, tinggi tanaman sagu sekitar 6 meter. Tegakan sagu secara alamiah ditemukan sampai pada ketinggian 1000 m dpl. Pertumbuhan dan produksi tanaman sagu yang tumbuh pada tanah mineral dan tanah rawa atau gambut, menunjukkan bahwa pada tanah mineral tanaman

21 6 sagu dapat tumbuh lebih cepat dan menghasilkan pati lebih banyak dibanding tanaman sagu yang tumbuh pada tanah rawa. Sebagaimana dijelaskan oleh Bintoro (1999) bahwa di Papua dan Maluku, sagu tumbuh liar di rawa-rawa, dataran rendah dengan daerah yang luas. Menurut Suhardi et al. (1999), tanaman sagu banyak tumbuh dengan baik secara alamiah pada tanah liat berawa dan kaya akan bahan-bahan organik seperti di hutan mangrove atau nipah. Selain itu sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial hidromorfik kelabu. Sedangkan kondisi tumbuh yang sesuai untuk tanaman sagu adalah pada suhu rata-rata sedikit diatas 25 o C dengan kelembaban 90% dan radiasi matahari 900J/cm 2 /hari. Djumadi (1989) menyebutkan bahwa tanaman sagu dapat tumbuh di semua hutan hujan tropis dengan curah hujan berkisar mm/tahun Penyebaran Secara astronomis, sagu dapat tumbuh diantara 10 o LS-15 o LU dan 90 o o BT (Suhardi et al. 1999). McClatchey (2006) menyebutkan bahwa sagu dapat ditemukan di hutan hujan tropis, hutan dataran tinggi dan hutan gambut Asia Tenggara, Melanesia dan beberapa pulau vulkanik di Micronesia dan Polynesia. Tanaman sagu juga ditemukan di areal gambut di Thailand, semenanjung Malaysia, Indonesia dan Philipina. Selanjutnya McClatchey percaya bahwa sagu endemik di Papua New Guinea, New Britain dan pulau-pulau di Maluku. Namun Becari (1981) diacu dalam Barahima (2006) berkesimpulan bahwa pusat biodiversitas tanaman sagu terdapat di kepulauan Maluku. Menurut Kertopermono (1996), luasan lahan sagu pada beberapa pulau di Indonesia yaitu: Papua seluas Ha, Sulawesi seluas Ha, Kalimantan seluas Ha, Sumatera seluas Ha dan Maluku seluas Ha. Lebih spesifik pada Maluku, Papilaya (2009) mencatat persebaran sagu khusus untuk Propinsi Maluku adalah sebagai berikut, Kabupaten Seram Bagian Timur dengan Ha (29,50% dari luas Provinsi Maluku); Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Ha; Kabupaten Maluku Tengah Ha; Kabupaten Buru Ha; Kabupaten Aru Ha; Kodya Ambon 255 Ha dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat seluas 245 Ha.

22 7 Sagu merupakan tumbuhan asli Indonesia. Sagu dapat tumbuh dengan baik dari daerah Filipina bagian selatan sampai Pulau Rote atau dari kisaran lintang 10 o LU 10 o LS dan dari Kepulauan Pasifik (Barat Indonesia) sampai ke India Bagian Timur (Timur Indonesia). Di kawasan tersebut hutan sagu dapat ditemukan pada lahan-lahan dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl, di sepanjang tepi sungai, di tepi danau ataupun di daerah rawa-rawa dangkal. (Bintoro, 2008) 2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) Definisi SIG Menurut Prahasta (2001), Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai suatu sitem yang menangani masalah informasi yang bereferensi geografis dalam berbagai cara dan bentuk. Masalah informasi yang yang dimaksud mencakup tiga hal, yaitu: 1. Pengorganisasian data dan informasi. 2. Penempatan informasi pada lokasi tertentu. 3. Melakukan komputasi, memberikan ilustrasi keterhubungan antara satu dengan lainnya, serta analisa-analisa spasial lainnya. Sistem Informasi Geografis memiliki fungsi sebagai fungsi analisis. Fungsi analisis tersebut ada dua macam yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut. Fungsi analisis spasial antara lain: klasifikasi, network (jaringan), overlay, buffering, 3D analisis dan Digital Image Processing. Sedangkan fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sitem pengelolaan basis data (Data Based Management System) dan perluasannya Aplikasi SIG dalam konservasi sumberdaya hutan Penggunaan SIG dalam bidang konservasi sumberdaya hutan sudah mulai digunakan dalam beberapa topik penelitian. Salah satunya adalah mengenai kesesuaian habitat baik tumbuhan maupun satwa. Penelitian dengan judul Pemetaan Kesesuian Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Gamasari, 2007). Penelitian ini menggunakan peta dasar berupa peta: citra landsat, Peta CA dan TWA Pangandaran, peta tata batas, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungaidi CA dan TWA Pangandaran.

23 8 Dengan menggunakan analisis regresi linier berganda, penelitian ini menghasilkan peta kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di CA dan TWA Pananjung Pangandaran beserta tingkat kesesuaian habitatnya (kesesuaian tinggi, sedang ataupaun rendah). Kemudian, dengan objek yang sama yaitu Rafflesia patma Blume namun di lokasi lain, dilakukan penelitian oleh Hediyanti (2009). Penelitian tersebut berjudul Pemetaan Kesesuaian Habitat Raflessia patma Blume. di Cagar Alam Leuweng Sancang Garut Jawa Barat, dengan menggunakan peta dasar yaitu: Citra lansat, peta topografi, peta batas CA, peta kontur, peta jenis tanah dan peta jaringan sungai. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis komponen utama dengan keragaman kumulatif sebesar 84,506%. Hasil penelitian berupa peta kesesuian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuwung Sancang Garut Jawa Barat beserta tingkat kesesuaian habitatnya (kesesuaian tinggi, sedang ataupaun rendah) dengan nilai validasi sebesar 93%. Disamping kesesuaian habitat tumbuhan, SIG juga dapat diaplikasikan pada penelitian dengan objek satwa. Sebagai contoh Koeswara (2010) dengan penelitian Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat. Penelitian ini menggunakan data dasar berupa Peta Tata Batas Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Peta Rupa Bumi Indonesia, Citra Landsat TM5 path 127 row 61, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta jarak dari sungai, peta jarak dari jalan, peta jarak dari tepi hutan dan peta NDVI (Normalized Difference Index). Analisis yang digunakan adalah analisis komponen utama dan hasil yang didapatkan adalah Model sebaran spasial habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat dengan validasi sebesar 42,86%.

24 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian adalah bulan September - November Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : seperangkat PC beserta software ArcGIS 9.3, Erdas Imagine 9.1 dan SPSS Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian yaitu Citra Landsat TM 5, peta-peta digital berupa peta batas administrasi, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta sistem lahan, peta jenis tanah, peta iklim, peta buffer sungai dan peta distribusi sagu di Pulau Seram, Maluku. 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain; Citra Landsat, peta-peta digital berupa peta batas administrasi, peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta sistem lahan, peta jenis tanah, peta iklim, peta buffer sungai dan peta distribusi sagu di Pulau Seram, Maluku. 3.4 Metode Penelitian Pengumpulan data Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh dari peneliti Botanri (2010). Data yang digunakan berupa peta ketinggian, peta kemiringan lereng, peta buffer sungai, peta jenis tanah, dan peta Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) Pengolahan data Pengolahan data yang dilakukan yaitu berupa pembuatan peta ketinggian dan kelerengan berdasarkan ASTER GDEM dan perhitungan data kerapatan vegetasi berdasarkan citra Landsat-5 TM. Pembuatan peta ketinggian dan

25 10 kelerengan tersebut dilakukan dengan analisis spasial pada citra ASTER GDEM di ArcGIS 9.3. Pada citra landsat dilakukan pengukuran dan pemetaan kepekatan warna hijau vegetasi dengan menggunakan spectral enhancement di ERDAS 9.1. Metode ini disebut Normalization Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI adalah nilai tengah dari spektral yang didapat dari gelombang elektromagnetik merah (red) atau Band 3 dan inframerah dekat (Near Infrared) atau Band 4 (Weier dan Herring 2010). Pengolahan data tersebut menggunakan Software Erdas Imagine 9.1. Tahapan pembuatan peta NDVI, dapat dilihat dibawah ini (Gambar 2). Citra Landsat Pulau Seram Koreksi Geometrik Penyaringan Awan Pemotongan Sesuai Area Studi Pemilihan Indeks Nilai Spektral Peta NDVI Berdasarkan deskripsi dari NDVI diatas, maka untuk perhitungan NDVI dapat dirumuskan sebagai berikut: Gambar 2 Tahapan Pengerjaan Peta NDVI. 3.5 Analisis Data Analisis komponen utama (Principle Component Analysis) Analisis komponen utama dilakukan dengan menggunakan software SPSS Analisis komponen utama dilakukan untuk mengetahui faktor fisik yang

26 11 paling berpengaruh terhadap sebaran Metroxylon spp., berdasarkan letak ditemukan Metroxylon spp. pada masing-masing layer yaitu ketinggian, kemiringan lereng, buffer sungai dan NDVI. Selanjutnya dari hasil PCA dapat ditentukan bobot masing-masing faktor yang paling berpengaruh terhadap sebaran Metroxylon spp. Hasil analisis PCA digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variabel yang diteliti untuk analisis spasial sehingga diperoleh persamaan kesesuaian habitat sebagai berikut: F(x) = ax1 + bx2 + cx3 + dx4 + ex5 Dengan F(x) adalah indeks kesesuaian habitat; a-e adalah nilai bobot setiap variable; x1 adalah variabel ketinggian; x2 adalah variabel kemiringan lereng; x3 adalah variabel jenis tanah: x4 adalah variabel buffer sungai; dan x5 adalah variabel NDVI Analisis regresi logistik Analisis regresi logistik adalah salah satu pengembangan dari model fungsi regresi pada umumnya. Analisis regresi logistik digunakan dalam permodelan ini karena analisis ini telah umum penggunaannya untuk data variabel respon yang bersifat kategori dan data variabel masukan berupa data kontinyu (Whittaker 1990). Oleh karena itu untuk menunjukkan hubungan variabel masukan (ketinggian, kemiringan lereng, buffer sungai, NDVI dan jenis tanah) dengan variabel respon (distribusi Metroxylon spp.) maka digunakan model regresi logistik untuk kesesuaian habitat sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. Data-data dalam analisis pengaruh variabel yang diuji dengan jumlah Metroxylon spp. berupa continous multivariate data yang terdiri atas, ketinggian, kemiringan lereng, buffer sungai, NDVI dan jenis tanah serta distribusi sagu (Metroxylon spp.). Oleh karenanya, digunakan analisis regresi logistik. Model persamaan regresi logistik yang digunakan adalah sebagai berikut, 5 5 Dengan, P : Peluang Metroxylon spp.

27 12 a : konstanta bn : koefisien X1 : variabel ketinggian X2 : variabel kemiringan lereng X3 : variabel jenis tanah X4 : variabel jarak dari sungai X5 : variabel NDVI. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS Hasil penghitungan menggunakan regresi logistik berupa persamaan dengan diketahui besar konstanta (a) dan koefisien (bn). Berdasarkan persamaan tersebut, maka dengan mengguanakan software ArcGIS 9.3, digabungkan berbagai variabel bebas (Xn) sehingga didapatkan peta kesesuaian habitat Metroxylon spp Kelas kesesuaian Metroxylon spp. Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. akan digolongkan ke dalam tiga kelas yaitu, kesesuaian rendah, sedang dan tinggi. Nilai selang klasifikasi kesesuaian habitat sebagaimana disebutkan Supranto (2000) diacu dalam Putri (2010), dihitung dan dinilai tertinggi dikurangi nilai terendah dimana hasilnya kemudian dibagi dengan banyaknya klasifikasi kesesuaian habitat. Kalimat matematika dari penentuan selang dapat dilihat sebagai berikut: Dengan, Smaks : nilai indeks kesesuaian habitat tertinggi Smin : nilai indeks kesesuaian habitat terendah K : banyaknya kelas keseuaian habitat Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat dengan analisis regresi logistik dapat dilakukan dengan menurunkan nilai -2 Log-likelihood serta uji Hosmer and Lemeshow hasil pengolahan data menggunakan SPSS 15.0 berdasarkan penurunan nilai -2 Log-likelihood, model diterima jika signifikansi penurunan nilai -2 Log-Likelihood kurang dari 0,05. Sedangkan dengan uji Hosmer and Lemeshow, maka akan diketahui kesesuaian habitat Metroxylon spp. dengan model yang dibangun. Variabel bebas (jenis tanah, ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai dan NDVI)

28 13 dinyatakan sesuai dengan model jika signifikansi dari hasil Hosmer and Lemeshow lebih besar dari 0,05. Kemudian kemampuan variabel yang digunakan dalam model untuk menjelaskan kesesuaian habitat Metroxylon spp. dapat ditunjukkan dengan nilai Negelkerke R Validasi model Validasi model dilakukan untuk mengetahui nilai akurasi klasifikasi kesesuaian habitat. Validasi dilakukan dengan menggunakan titik Metroxylon spp. Validasi dilakukan dengan membandingkan jumlah seluruh individu Metroxylon spp. yang terdapat pada tiap kelas kesesuaian habitat dengan jumlah seluruh individu yang digunakan untuk validasi. Dengan, n adalah jumlah M. sagu Rottb pada satu kelas kesesuaian dan N adalah jumlah Metroxylon spp. secara keseluruhan.

29 14 Peta ketinggian Peta kemiringan lereng Peta jenis tanah Peta buffer sungai Peta NDVI Analisis Komponen Utama Skoring Overlay Summarize zone Analisis Regresi Logistik Variable signifikan Model Kesesuaian Habitat Metroxylon spp. Uji Kelayakan Model Kesesuaian Habitat Metroxylon spp. Peta Kesesuaian habitat Metroxylon spp. Gambar 3 Bagan Alir Tahapan Penelitian. Peta Kesesuaian habitat Metroxylon spp. Data Persebaran Metroxylon spp. Validasi Akurasi Tidak Ya Model Diterima

30 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Secara administratif, Pulau Seram merupakan wilayah Provinsi Maluku. Pulau ini terbagi menjadi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Timur. Sedangkan secara astronomis, Pulau Seram terletak antara 2 o 69 LS 4 o 38 LS dan antara 127 o 44 BT 131 o 32 BT. Pulau Seram diapit oleh perairan Laut Banda dan Laut Seram. Pulau ini merupakan pulau terbesar di provinsi Maluku dengan luasan mencapai Ha. 4.2 Kondisi Iklim Kondisi iklim di Pulau Seram menurut Zona Agroklimat dan Klasifikasi Oldeman (LTA-72, 1986 dalam Parera 2005) memliki karakteristik iklim sebagai berikut: 1. Dataran rendah (<500 m dpl) dengan temperatur 25,8 o 27,2 o C, curah hujan antara mm/tahun. Pada zona ini terdapat wilayah dengan tipe hujan yang merata dan wilayah dengan bulan basah antara 3 9 bulan pertahun. 2. Dataran tinggi (> 500 m dpl) dengan temperatur sekitar 22 o C, curah hujan antara mm/tahun dan bulan basah lebih dari 9 bulan. Dibagian selatan Pulau Seram adalah iklim laut tropis dan iklim muson. Di Pulau Seram, musim Timur/Tenggara berlangsung bulan Mei April dan memuncak pada bulan Juni Agustus, dimana banyak turun hujan. Curah hujan tahunan di Pulau Seram berkisar antara mm/tahun. Curah hujan tertinggi terdapat di sekitar Teluk Laut, Kecamatan Werinama. Curah hujan semakin rendah ke arah utara dan timur, demikian juga ke arah barat. Di ujung pulau bagian barat juga mempunyai curah hujan yang relatif tinggi mencapai mm/tahun. Pada 10 tahun terkhir curah hujan rata-rata mencapai mm/tahun serta hari hujan rata-rata 212,60 hari/tahun dan jumlah hari hujan 22,9 hari. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juni

31 16 dengan rata-rata 528,04 mm/bulan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Nopember dengan rata-rat 47,28 mm/bulan dan jumlah hari hujan 16,10 hari. 4.3 Topografi Wilayah Pulau Seram memiliki topografi atau ketinggian yang cukup bervariasi. Secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu m dpl, m dpl, dan lebih dari 1000 m dpl. Dilihat dari ketinggiannya, wilayah Pulau Seram sebagian besar didominasi oleh wilyah dengan ketinggian m dpl yaitu seluas ha, kemudian wilayah dengan ketinggian m dpl seluas ha dan wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpl seluas ha. Karakteristik ketinggian tersebut merupakan gambaran umum kondisi keseluruhan kabupaten yang terdapat di Pulau Seram, dimana wilayah dengan ketinggian antara m dpl mendominasi. 4.4 Sumberdaya Air Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi makhluk hidup. Berdasarkan keberadaannya, air dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) air permukaan, (2) air tanah dan (3) air hujan. Pulau Seram memiliki debit air yang cukup besar karena memiliki luas lahan dan hutan yang cukup besar, juga dengan curah hujan yang cukup besar yaitu antara mm/tahun. Sumber air permukaan terdapat dalam jumlah yang besar karena Pulau Seram memilik ± 98 sungai yang tersebar di seluruh wilayah dengan debit air yang cukup bear dan mengalir sepanjang tahun, sedangkan sumberdaya air tanah, tergolong daerah dengan air tanah yang langka. Hanya saja di sepanjang pantai pada beberapa wilayah, air tanah tergolong cukup, terutama pantai utara dan daerah Masohi. Di wilayah ini air tanah berpotensi sedang dengan debit sumur pada umumnya sangat kecil yaitu kurang dari 5 liter/detik. 4.5 Kondisi Biotik Kondisi lingkungan biotik mencakup potensi sumberdaya hutan dan keanekaragaman hayatinya. Pulau Seram memiliki iklim tropis basah, sehingga hutan dapat tumbuh dengan baik. Hasil hutan yang utama adalah kayu dan hasil nonkayu antara lain damar, madu, gaharu, kayu putih dan bambu.

32 17 Berbagai jenis flora dapat tumbuh subur di Pulau Seram. Sumberdaya flora yang terdapat di Pulau Seram antara lain, pohon kenari (Canangium sulvestre), Angsana (Pterocarpus indicus), Leda/ampupu (Eucalyptus deglupta), jambujambuan (Eugenia sp.), Kayu malam (Diospyros hermaproditica), jenitai (Eleocarpus sphaericus), Kasei (Pometia pinata), agatis (Agathis damara), sengon (Paraserienthes falcataria), merbau (Instia bijuga), medang (Litsea sp.), kayu putih (Melaleuca cajuput), rotan, bambu, nipah (Nypa sp.) dan sagu (Metroxylon spp.). Pulau Seram merupakan pusat asal usul tegakan alam sengon dan kayu putih. Selain itu Pulau Seram merupakan lahan yang potensial untuk tempat tumbuh tumbuhan sagu, mengingat Maluku merupakan salah satu pusat persebaran sagu di Indonesia. Keanekaragaman spesies satwa di Pulau Seram sedang. Mamalia sedikitnya terdapat 80 spesies dengan 14 spesies (17,5%) diantaranya adalah endemik Maluku. Terdapat 41 spesies reptil endemik Maluku. Terdapat 450 spesies burung dengan 90 spesies (19,80%) merupakan spesies endemik Maluku. Beberapa satwa yang terdapat di Pulau seram antara lain : kuskus (Phelanger orientalis dan Ph. maculatus), babi hutan (Sus celebensis), musang luwak (Paradoxurus hermaproditus), rusa timor (Cevus timorensis), kanguru pohon atau wallaby (Tylogale spp.), kakatua seram (Cacatua mollucensis), kakatua raja (Probosciger atterimus), kakatua jambul kuning besar (Cacatua galerita tritton), penyu hijau (Celonia mydas), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis) dan kadal panana (Tiliqua gigas). 4.6 Kondisi Masyarakat Masyarakat yang tinggal di Pulau Seram, mayoritas adalah masyarakat pendatang. Masyarakat tersebut datang melalui program transmigrasi yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Suharto. Penduduk asli yang masih tinggal di Pulau Seram adalah Suku Alauru yang pada umumnya mereka tinggal di Pulau Seram Bagian Timur. Jumlah penduduk Pulau Seram secara keseluruhan berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku (2009) adalah jiwa. Jumlah tersebut terbagi kedalam tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tengah (Seram Bagian Tengah) jiwa, Kebupaten Seram Bagian Barat jiwa dan

33 18 Kabupaten Seram Bagian Timur jiwa. Mayoritas penduduk beragama Islam 66,45% dan Kristen Protestan 31,69%. Tingkat pendididkan pada umumnya adalah Sekolah Menengah Pertama yaitu 37,23%. Mata pencaharian utama bagi penduduk Pulau Seram adalah petani padi, para petani tersebut pada umumnya adalah penduduk transmigran dari Pulau Jawa (Badan Pusat Statistik 2009).

34 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti sebelumnya, berdasarkan Citra Landsat TM5 path/row 107/062 tanggal 6 Juli 2007, 107/063 tanggal 17 Juli 2007, 108/062 tanggal 15 Agustus 2007 dan 109/062 tanggal 29 Juli Citra tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 9 kategori, yaitu unclassified(di luar Pulau Seram, hutan, mangrove, kebun campuran, lahan terbangun, badan air, dan tidak ada data (awan dan bayangan awan), dengan nilai overall classification accuracy yaitu 76%. Tipe penutupan dan penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 2: Tabel 2 Penutupan lahan di Pulau Seram, Maluku No Tipe Penutupan Lahan Luas (Ha) Presentase Luas (%) 1. Hutan ,06 68,72 2. Mangrove ,27 0,78 3. Kebun Campuran ,07 1,74 4. Lahan Terbangun 6.125,94 0,35 5. Sagu ,76 1,05 6. Tanah Terbuka ,91 6,39 7. Air ,92 2,14 8. Tidak Ada Data ,23 18,83 Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa hutan memiliki luasan areal tertinggi dari tipe tutupan lahan yang lainnya yaitu 68,72% atau sebesar ,06 Ha. Lahan terbangun memiliki areal yang terendah yaitu 0,35% atau sebesar 6.125,94 Ha. Sedangkan untuk luasan areal sagu yang ditemukan yaitu ,76 Ha atau 1,05%. Luasan ditemukannya tumbuhan sagu tersebut terdistribusi pada wilayah pesisir di dataran rendah pada tanah-tanah endapan, di tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, dan lembah-lembah bukit. Untuk lebih jelasnya, penutupan lahan di Pulau Seram tersaji pada Gambar 4.

35 20 Gambar 4 Peta penutupan lahan Pulau Seram Maluku.

36 21 Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, disertasi oleh Botanri (2010), didapatkan peta distribusi spasial tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Peta distribusi Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku dapat dilihat pada Gambar 4. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Menurut Botanri (2010) peta distribusi sagu tersebut jika dikaitkan dengan sifat-sifat lahan, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu menyukai kondisi lahan dengan ciri-ciri yaitu: 1) lahan datar-curam, 2) dekat pesisir, 3) dekat sungai, 4) pada tanah-tanah aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan 5) pada ketinggian m dpl. Sifat-sifat tersebut kemudian dijadikan indikator untuk menentukan lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu di Pulau Seram, Maluku. Berikut disajikan beberapa foto sagu yang menjadi contoh pengambilan titik distribusi sagu, yaitu sagu yang tumbuh pada dataran dan di pinggir sungai. a b Gambar 5 Tegakan Metroxylon spp. : a) Tegakan sagu di dataran dan b) Tegakan sagu di pinggir sungai. Sumber : Prasetyo (2009), dokumen pribadi. 5.2 Faktor Penentu Kesesuaian Habitat Metroxylon spp. Faktor-faktor penyusun dalam habitat atau faktor yang mempengaruhi habitat satu spesies dapat dipetakan dan dianalisis hubungan antara spesies dengan faktor-faktor habitatnya (Miller 1996). Sehingga faktor-faktor habitat yang mempengaruhi kesesuaian habitat suatu spesies dalat juga dipetakan dan dianalisis hubungan antara faktor-faktornya kemudian dibuat suatu model kesesuaian habitat

37 22 dari spesies tersebut. Berlaku juga untuk spesies Metroxylon spp. yang terdapat di Pulau Seram, Maluku. Faktor penentu kesesuaian habitat Metroxylon spp. yang digunakan dalam penelitian ini ada lima faktor antara lain ketinggian tempat, kemiringan lereng, jenis tanah, jarak dari sungai dan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Ketinggian tempat Faktor topografi yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah bergunung adalah ketinggian, kemiringan lereng dan aspect atau sudut arah datang sinar matahari (Titshal et al diacu dalam Putri 2010). Dalam penelitian ini, faktor topografi yang digunakan adalah ketinggian dan kemiringan lereng. Ketinggian Pulau Seram dapat diamati dari peta DEM (Digital Elevation Model), kemudian peta tersebut diklasifikasikan ketinggiannya menjadi beberapa kelas ketinggian. Peta ketinggian menunjukkan bahwa Pulau Seram memiliki 51,39% wilayah dengan ketinggian m dpl, 23,33% wilayah dengan ketinggian m dpl, dan sisanya 25,28% adalah wilayah dengan ketinggan > 500 m dpl (Tabel 3). Tabel 3 Luas tiap kelas ketinggian N0. Kelas Ketinggian (m dpl) Luas (Ha) % Luas m dpl m dpl > 500 m dpl Ketinggian suatu wilayah berpengaruh terhadap spesies yang dapat tumbuh di wilayah tersebut. Tumbuhan Metroxylon spp. dapat ditemui hingga pada ketinggian 500 m dpl (Flach 1983). Meskipun pada kenyataan di alam, masih ditemukan Metroxylon spp. hingga ketinggian mencapai 1000 m dpl, namun hal tersebut relatif jarang. Karena pada ketinggan >400 m dpl pertumbuhannya akan lambat (Bintoro 2008). Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa berdasarkan faktor ketinggian tempat pulau Seram memiliki potensi yang tinggi sebagai tempat tumbuh sagu. Berdasarkan data titik lokasi Metroxylon spp. yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta ketinggian sehingga didapatkan sebaran titik Metroxylon spp. pada tiap kelas ketinggian (gambar 8). Titik Metroxylon spp. sebanyak 84

38 23 atau 80,77 % ditemukan pada kelas ketinggian m dpl, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat Gambar m dpl (%) m dpl (%) > 500 m dpl (%) Gambar 6 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai ketinggian Kemiringan lereng Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kemiringan lereng termasuk salah satu dari faktor utama dari topografi yang digunakan dalam penyusunan model kesesuaian habitat sagu pada penelitian ini. Peta kemiringan lereng Pulau Seram didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas lereng. Kelas tersebut adalah kemiringan 0-8 % (datar), kemiringan 8-15 % (landai), kemiringan % (agak curam), kemiringan % (curam), kemiringan > 40 % (sangat curam). Lebih lanjut untuk kelas kemiringan beserta luasannya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas tiap kelas kemiringan lereng No. Kemiringan Lereng Luas (Ha) % Luas % ,49 36, % ,60 29, % ,71 24, % ,03 8,42 5 > 40% ,32 1,30 Tabel 4 menunjukkan bahwa kemiringan 0-8 %, memiliki luasan terbesar yaitu ,49 Ha atau sekitar 36,07% dari luas keseluruhan Pulau Seram.

39 24 Secara umum untuk kemiringan 0-40% di Pulau Seram yaitu seluas ,83 Ha atau 98,70% dari luas total dari Pulau Seram. Luasan terendah yaitu 1,30 % atau ,32 Ha untuk kemiringan > 40%. Botanri (2010) menyatakan bahwa kondisi kemiringan yang sesuai untuk tempat tumbuh Metroxylon spp. adalah 0-40%, pada kemiringan lereng yang lebih dari 40% tidak sesuai bagi pertumbuhan Metroxylon spp.. Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Seram yang memiliki 98,70 % luas dengan kemiringan lereng 0-40%, merupakan tempat tumbuh yang baik bagi Metroxylon spp. Gambar 7 merupakan grafik yang memuat jumlah Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku. Titik Metroxylon spp. yang didapatkan menunjukkan bahwa sebanyak 92 titik atau 88,46 % ditemukan berada pada kemiringan lereng 0-8%, 9 titik pada kemiringan lereng 8-15% dan 1 titik pada kemiringan lereng 15-25% dan 25-40%, sedangkan pada kemiringan >40% tidak ditemukan tumbuhan sagu. % % 8-15% 15-25% 25-40% >40% Kelas kemiringan lereng Gambar 7 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng. Titik Metroxylon spp. yang didapatkan, kemudian dioverlaykan dengan peta kemiringan lereng. Sehingga dapat ditunjukkan distribusi Metroxylon spp. pada berbagai kemiringan lereng di Pulau Seram, Maluku. Overlay titik-titik lokasi sagu dengan peta kemiringan lereng disajikan pada Gambar 10.

40 Gambar 8 Peta sebaran titik Metroxylon spp. pada berbagai ketinggian di Pulau Seram, Maluku. 25

41 Gambar 9 Peta sebaran titik Metroxylon spp. pada berbagai kelerengan di Pulau Seram Maluku. 26

42 Jenis tanah Arsyad (2006) mendefinisikan tanah sebagai suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas yang mempunyai sifat dan perilaku dinamik. Tanah terbentuk secara alami oleh hasil kerja interaksi antara iklim, dan jasad hidup terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk dan waktu. Pulau Seram pada umumnya terdiri dari jenis tanah Alluvial, Phylite, Sandstone, Limestone. Jenis-jenis tanah yang terdapat di Pulau Seram beserta luasannya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis tanah di Pulau Seram beserta luasannya No. Jenis Tanah Luas (Ha) % Luas 1 Alluvial ,98 17,33 2 Basalt ,76 3,13 3 Clay ,52 14,97 4 Coral 6.012,48 0,35 5 Granite 2.490,67 0,14 6 Limestone ,81 16,47 7 Marl ,92 6,27 8 Phylite ,43 19,81 9 Sandstone ,45 17,14 10 Schist ,81 4,11 11 Serpentinite 4.821,48 0,28 Jenis tanah aluvial memiliki luasan ,98 Ha atau 17,33% dari seluruh luas Pulau Seram. Luasan tertinggi yaitu jenis tanah Phylite dengan luas sebesar ,43 Ha atau 19,81% dari luas keseluruhan Pulau Seram. Kemudian luasan terendah yaitu jenis tanah granite dengan luas 2.490,67 Ha atau sebesar 0,14% dari luas Pulau Seram. Metroxylon spp. dominan tumbuh pada tanah alluvial (96,09%) dibandingkan pada tanah jenis lainnya yaitu sebesar 3,91% (Gambar 10).

43 28 % Aluvial (%) Phyllite; schist; gneiss; sandstone (%) Jenis tanah Gambar 10 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai jenis tanah. Hampir keseluruhan titik Metroxylon spp. yang ditemukan terdapat pada jenis tanah alluvial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bintoro (1999), jenis tanah yang memungkinkan sagu untuk tumbuh dengan baik adalah pada tanah vulkanik, podzolik merah kuning, alluvial dan hidromofik. Wiranegara (2000) menjelaskan bahwa tanah alluvial merupakan jenis tanah muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk alluvium, dengan tekstur beraneka ragam, struktur belum terbentuk, konsistensi dalam keadaan basah lekat dan memiliki tingkat kesuburan sedang hingga tinggi. Limestone; alluvium, recent riverine (%) Ciri-ciri tanah aluvial tersebut dapat dikatakan sepadan dengan jenis tanah Entisol dan Inceptisol pada sistem klsifikasi tanah menurut USDA. Foth (1988) mendeskripsikan jenis tanah Entisol sebagai tanah baru (recent soil) yang dicirikan oleh kenampakan kurang muda dan tanpa horizon genetik alamiah atau hanya memiliki horizon permulaan, bahan penyusunnya berasal dari bahan endapan baru yang terbawa olah aliran permukaan dari daerah yang lebih tinggi. Pada Inceptisol, tanah permulaan (inceptum soil) yang dicirikan dengan sudah mulai berkembangnya horizon genetik, bahan penyusunnya dari endapan baru yang berlapis-lapis. Ciri-ciri jenis tanah tersebut cukup mendukung untuk ketersediaan kebutuhan nutrisi pertumbuhan sagu. Sebagaimana dikatakan Bintoro (2010) bahwa lingkungan yang tumbuh yang baik untuk sagu adalah daerah yang agak berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam.

44 29 Gambar 11 Peta sebaran Metroxylon spp pada berbagai jenis tanah di Pulau Seram Maluku.

45 Jarak dari Sungai Air merupakan kebutuhan yang vital bagi makhluk hidup. Salah satu sumber air permukaan di alam adalah sungai. Pada umumnya banyak ditemukan tumbuhan yang tumbuh berada di sekitar sungai. Hal ini terkait dengan kebutuhan hidupnya terhadap air. Tidak terkecuali bagi Metroxylon spp., air merupakan kebutuhan vital. Haryanto dan Pangloli (1992) diacu dalam Bintoro (2010) menyatakan Metroxylon spp. tumbuh di daerah rawa yang berair tawar, rawa bergambut, sepanjang aliran sungai, sekitar air dan hutan-hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi. Berdasarkan data luasan daerah yang berada pada jarak tertentu dari sungai yang terdapat di Pulau Seram. Jarak m memiliki luasan sebesar ,36 Ha atau sebesar 27,03% luas Pulau Seram. Luasan terbesar yaitu pada jarak m dengan ,33 Ha atau 52% luas Pulau Seram (Tabel 6). Tabel 6 Jarak dari sungai berikut luasannya No. Jarak Sungai Luas % Luas m ,36 27, m , > 600 m ,93 20,98 Hasil analisis peta sungai Pulau Seram dengan titik Metroxylon spp. menggunakan Euclidean distance dalam ArcGIS, didapatkan sebaran Metroxylon spp. terhadap sungai seperti tersaji pada Gambar13. Sedangkan untuk jumlah titik Metroxylon spp. sample terhadap sungai tersaji pada Gambar 12 titik % m m > 600 m Jarak dari sungai Gambar 12 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai jarak dari sungai.

46 31

47 32 Gambar 12 menunjukkan bahwa titik Metroxylon spp. banyak ditemukan pada jarak m dari sungai yaitu sebanyak 60,94 %, kemudian pada jarak m sebanyak 28,13 % dan terakhir pada jarak lebuh dari 600 m sebanyak 10,93 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa Metroxylon spp. memiliki kecenderungan menyukai habitat yang tidak terlalu jauh dari sungai. Sebagaimana telah disebutkan bahwa Metroxylon spp. membutuhkan cukup air bahkan lebih menyukai tempat berair seperti rawa air tawar, daerah berlumpur namun tidak sampai merendam akar napasnya. Jika akar napas terendam maka dapat menganggu pertumbuhan Metroxylon spp. sebagaimana dikatakan oleh Sitaniapessy (1996) bahwa bila akar napas Metroxylon spp. terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan dan pembentukan karbohidrat Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) digunakan untuk mengetahui tutupan vegetasi suatu kawasan. NDVI merupakan indeks yang dapat menunjukkan tutupan vegetasi dengan metode standar yaitu membandingkan tingkat kehijauan pada image (Boone 2000). Ditambahkan oleh USGS (2000), bahwa NDVI telah digunakan selama bertahun-tahun untuk mengukur dan memantau pertumbuhan tanaman (vigor), tutupan vegetasi, dan produksi biomassa berdasarkan citra multispektral. Image yang digunakan dalam pembangunan NDVI ini adalah citra landsat TM5 Pulau Seram, sebanyak 4 scene yaitu path 107/row 062; path 107/row 063; path 108/row 062; path 109/row 062. NDVI Pulau Seram memiliki kisaran nilai pada -0, hingga 0, (Gambar 14). NDVI sendiri dihitung berdasarkan besarnya pantulan sinar tampak dan sinar infra merah dekat yang terpantul dari tumbuhan hijau. Berdasarkan data sebaran titik Metroxylon spp. dapat diketahui bahwa pada umumnya Metroxylon spp. menyukai dareah dengan nilai NDVI pada kisaran hingga 0,25. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 7 yang menunjukkan jumlah sebaran Metroxylon spp. pada berbagai nilai NDVI.

48 Gambar 14 Peta sebaran titik Metroxylon spp pada berbagai nilai NDVI di Pulau Seram Maluku. 33

49 34 % (-1) - (-0,5) (-0,5) - (-0,25) (-0,25) - 0,25 0,25-0,5 0,5-1 (%) Nilai NDVI Gambar 15 Jumlah titik Metroxylon spp. pada berbagai nilai NDVI. 5.3 Analisis Data Penelitian ini menggunakan dua analisis data yaitu Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis/PCA) dan Analisis Regresi Logistik (Logistic Regression Analysis). Pengolahan data menggunakan software SPSS 19. Kemudian kelayakan metode analisis yang digunakan diuji dengan beberapa uji kelayakan model. Kedua metode analisis tersebut telah sering digunakan untuk mengetahui kesesuaian habitat suatu spesies Analisis komponen utama (Principle Component Analysis/PCA) Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Principle Component Analysis (PCA) menurut Gasperz (1992) adalah struktur varian-kovarian (kombinasi data multivariat yang beragam) melalui kombinasi linier dari variable-variabel tertentu. Tujuan dari PCA yaitu mereduksi data dan kemudian menginterpretasikannya. Berdasarkan hasil PCA diperoleh 3 dari 4 komponen utama dengan keragaman total disajikan pada Tabel 7. Komponen utama yang dapat digunakan dan mewakili yaitu komponen utama ketiga dengan nilai keragaman kumulatif 85, 658%. Nilai kumulatif keragaman tersebut termasuk tinggi mengingat bahwa nilai keragaman kumulatif yang dianggap mewakili total keragaman data jika keragaman kumulatif mencapai 70%-80% (Timm 1987 diacu dalam Sekolah Tinggi Ilmu Statistik 2006).

50 35 Tabel 7 Keragaman total komponen utama Komponen Akar Ciri (Initial Eigen Values) Total % Keragaman %Kumulatif Keragaman 1 1,325 33,137 33, ,072 26,805 59, ,029 25,717 85, ,574 14, ,00 Hasil analisis tersebut (nilai total dari akar ciri) kemudian digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variable. Keeratan hubungan antara keempat variable kesesuaian habitat Metroxylon spp. dengan kompponen utama seperti disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Vektor ciri PCA Variabel Komponen Utama Sungai 0,545-0,709-0,235 Slope 0,866 0,037 0,003 Elevasi 0,403 0,734-0,434 NDVI 0,340 0,172 0,886 Bobot masing-masing variabel untuk mendapatkan model kesesuian habitat Metroxylon spp. diperoleh dari nilai vektor ciri PCA masing-masing variabel yang mempunyai nilai positif tertinggi terhadap komponen utama yang dihasilkan. Hasil di atas menunjukan bahwa variabel NVDI dan curah hujan mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama. Sedangkan variabel ketinggian dan kelompok tanah mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua, dan terakhir variabel nilai Jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing variabel sajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Koefisien tiap variable kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. variabel Nilai Bobot 1. Sungai (js) 1, Slope (slp) 1, Elevasi (elv) 1, Tutupan Vegetasi (ndvi) 1,029 Bobot dari tiap variabel kemudian digunakan untuk menentukan indeks kesesuaian habitat Metroxylon spp. Sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan klasifikasi pada tiap variabel guna menentukan

51 36 skor tiap kelas dari variabel tersebut. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya terdapat titik-titik keberadaan dari habitat Metroxylon spp. Skor dari kelas variabel disajikan pada Tabel 11. Tabel 10 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat No. Variabel Kelas Skor 1 Ketinggian m dpl m dpl 2 > 500 m dpl 1 2 kemiringan lereng 0-8% % % % 2 > 40% 1 3 Jarak sungai m m 2 > 600 m 1 4 Tutupan Vegetasi (NDVI) (-1) - (-0,5) 1 (-0,5) - (-0,25) 3 (-0,25) - 0,25 5 0,25-0,5 4 0,5 1 2 Berdasarkan hasil penghitungan dari masing-masing variabel yang digunakan dengan menggunakan SPSS 19, maka dapat disusun persamaan untuk model kesesuaian habitat Metroxylon spp. sebagai berikut: Persamaan diatas menunjukkan bahwa jarak dari sungai dan kemiringan lereng mempunyai koefisien (bobot) yang paling tinggi diantara variabel yang lain, kemudian disusul oleh variabel ketinggian (elv), dan bobot terkecil adalah variabel tutupan vegetasi (ndvi) Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. Berdasarkan persamaan atau model kesesuaian yang telah didapatkan, dihitung nilai maksimum dan nilai minimum kesesuaian. Hasil penghitungan menunjukkan nilai maksimum sebesar 18,96. Sedangkan nilai minimum sebesar 4,75. Kemudian dilakukan penghitungan selang kelas kesesuian yaitu dengan membagi tiga selisih nilai indeks kesesuaian habitat yang tertinggi dan terendah,

52 37 Kesesuaian Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas kesesuaian yang disajikan pada Tabel 11, sedangkan peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. disajikan pada Gambar 17. Tabel 11 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. beserta luas areal No. Kelas Kesesuaian Habitat Selang Luas (Ha) 1 Kesesuaian rendah 1,029 6, ,32 2 Kesesuaian sedang 6,123 11, ,45 3 Kesesuaian tinggi 11,217 16, ,31

53 Gambar 16 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku berdasarkan Analisis Komponen Utama. 38

54 Analisis regresi logistik (Logistic Regression Analysis) Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Logistic Regression Analysis didefinisikan oleh Gotelli dan Ellison (2004) sebagai satu bentuk khusus dari persamaan regresi dengan variable respon bersifat kategoris, dan variabel masukan bersifat kuntinyu. Variabel masukan yaitu variabel kesesuaian yang digunakan dalam membangun model regresi logistik yaitu enam data spasial antara lain jenis tanah, jarak sungai, ketinggian, kemiringan lereng, dan nilai tutupan vegetasi (NDVI). Titik obyek Metroxylon spp. pada lampiran 3, digunakan untuk mngetahui kedudukan Metroxylon spp. pada setiap variabel data spasial. Kemudian nilai digital number dari kedudukan titik Metroxylon spp. pada tiap variabel data spasial diolah dengan menggunakan analisis regresi logistik biner pada SPSS 19. Hasil perhitungan dengan SPSS 19 dengan taraf kepercayaan 95%, kelima variable kesesuaian yang digunakan memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 (lampiran 4). Konstanta persamaan regresi yang didapatkan (β 0 ) sebesar -10,182, dengan koefisian pada setiap variabelnya dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Koefisien regresi dan taraf signifikansi variable kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. Variabel kesesuaian Koefisien regresi Signifikansi 1. Jenis tanah (tn) 2,537 0, Kemiringan lereng (slp) 0,463 0, Ketinggian (elv) -0,008 0, Jarak sungai (js) -0,005 0, Tutupan vegetasi (ndvi) ,000 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka didapatkan bentuk persamaan regresi logistic biner seperti dibawah ini: Z= -10,182+(2,537*tn)+( 0,463*slp)+( -0,008*elv)+( -0,005*js)+( 5.836*ndvi) Z= -10,182+(2,537*tn)+( 0,463*slp)-( 0,008*elv)-(0,005*js)+( 5.836*ndvi) Kemudian persamaan P= [e z /(1+e z )] Semua variabel memberikan nilai yang signifikan terhadap model kesesuaian habitat yaitu kurang dari 0,05. Dapat diartikan bahwa semua variable berpengaruh nyata terhadap model kesesuaian habitat. Pada variabel jenis

55 40 tanah(tn), kemiringan lereng (slp), dan tutupan vegetasi (ndvi) mempunyai korelasi positif terhadap model, sedangkan untuk variabel ketinggian (elv) dan variabel jarak sungai (js) mempunyai korelasi negative dengan model kesesuaian. Bobot dari tiap variabel kemudian digunakan untuk menentukan indeks kesesuaian habitat Metroxylon spp, sebelum dilakukan perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan klasifikasi pada tiap variabel guna menentukan skor tiap kelas dari variabel tersebut. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya ditemukan titik-titik keberadaan dari habitat Metroxylon spp pada kelas-kelas yang telah ditentukan. Skor dari kelas variabel disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Skor variabel/faktor kesesuaian habitat No. Variabel Kelas Skor 1 Ketinggian m dpl m dpl 2 > 500 m dpl 1 2 kemiringan lereng 0-8% % % % 2 > 40% 1 3 Jarak sungai m m 2 > 600 m 1 4 Tutupan Vegetasi (NDVI) (-1) - (-0,5) 1 (-0,5) - (-0,25) 3 (-0,25) - 0,25 5 0,25-0,5 4 0, Jenis Tanah Aluvial 3 Phyllite 2 Limestone Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. Berdasarkan persamaan atau model kesesuaian yang telah didapatkan, dihitung nilai maksimum dan nilai minimum kesesuaian. Hasil penghitungan menunjukkan nilai maksimum P = 1. Sedangkan nilai minimum P = 0,21. Kemudian dilakukan penghitungan selang kelas kesesuian yaitu dengan membagi tiga selisih nilai indeks kesesuaian habitat yang tertinggi dan terendah.

56 41 Kesesuaian Metroxylon sp. di Pulau Seram dikelompokkan menjadi tiga kelas kesesuaian yang tersaji pada Tabel 14 berikut luasan arealnya. Tabel 14 Kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. beserta luas areal No. Kelas Kesesuaian Habitat Selang Luas (Ha) 1 Kesesuaian rendah 0 0, ,61 2 Kesesuaian sedang 0,33 0,67 114,75 3 Kesesuaian tinggi 0, , Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat Metroxylon spp. Pengujian kelayakan model kesesuaian habitat dengan analisis regresi logistik dapat dilakukan dengan menurunkan nilai -2 Log-likelihood serta uji Hosmer and Lemeshow hasil pengolahan data menggunakan SPSS 19.0 berdasarkan penurunan nilai -2 Log-likelihood, model diterima jika signifikansi penurunan nilai -2 Log-Likelihood kurang dari 0,05. Berdasarkan hasil analisis regresi logistik yang terlampir pada lampiran 4, dapat dilihat bahwa nilai -2 Loglikelihood adalah 70,177 dengan signifikansi 0,000 atau kurang dari 0,05. Berdasarkan Uyanto (2006), jika taraf signifikansi (P-value) <0,05 maka hasil uji signifikan dan model layak untuk digunakan. Uji Hosmer and Lemeshow digunakan untuk mengetahui kesesuaian variabel masukan yang digunakan untuk membangun model kesesuaian dengan model yang dihasilkan. Nilai uji Hosmer and Lemeshow adalah 8,704 dengan taraf signifikansi uji adalah 0,368. Hal ini berarti bahwa variabel masukan (jenis tanah, ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari sungai dan NDVI) dinyatakan sesuai dengan model, karena taraf signifikansi lebih besar dari 0,05. Kemudian kemampuan variabel untuk menjelaskan kesesuaian habitat Metroxylon sp. dalam penyusunan model dapat ditunjukkan dengan nilai Negelkerke R 2. Hasil penghitungan nilai Negelkerke R 2 sebesar 0, 563 (56,3%). Hal ini menunjukkan bahwa kesesuaian habitat Metroxylon spp. dapat dijelaskan oleh variable yang dipergunakan dalam penyusunan model Validasi Validasi model dilakukan dengan menguji model menggunakan data validasi. Data validasi yang digunakan sebanyak 128 titik terdiri dari titik 64 titik

57 42 ditemukan sagu dan 64 titik tidak ditemukan sagu (Lampiran 5). Validasi dilakukan dengan mengoverlaykan data titik validasi Metroxylon spp. dengan peta kesesuaian yang telah dibuat. Baik peta kesesuaian berdasarkan hasil analisis komponen utama ataupun analisis regresi logistik. Nilai validasi diperoleh dengan membagi banyaknya titik Metroxylon spp. pada suatu kelas kesesuaian terhadap jumlah total titik Metroxylon spp. yg ditemukan. Hasil validasi tiap kelas kesesuaian habitat Metroxylon spp. dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil validasi model kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. Kelas Kesesuaian Model Berdasarkan Analisis Komponen Utama Model Berdasarkan Analisis Regresi Logistik Jumlah Titik Metroxylon spp. Persentase (%) Jumlah Titik Metroxylon spp. Persentase (%) 1. Tinggi 42 65, ,81 2. Sedang 19 29, Rendah 3 4, ,06

58 Gambar 17 Peta kesesuaian habitat Metroxylon spp. di Pulau Seram Maluku berdasarkan Analisis Regresi Logistik. 43

59 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Metroxylon spp. dapat ditemukan pada daerah-daerah dengan karakteristik seperti: 1) Ketinggian tempat antara 0 m dpl hingga 250 mdpl. 2) Kemiringan lereng yang datar yaitu 0 8%. 3) Pada jenis tanah Alluvial. 4) Jarak dari sungai < 300 m. 5) Dengan nilai NDVI kisaran -0,25 hingga 0,25. Kelima faktor fisik tersebut mempengaruhi kesesuaian habitat Metroxylon spp. secara signifikan dengan nilai signifikansi kurang dari 0,05 atau lebih dari 95%. 2. Model kesesuaian habitat Metroxylon spp. yang dipilih adalah model kesesuaian berdasarkan Analisis Regresi Logistik, dengan persen validasi 82,81%, yang berarti model sangat baik untuk digunakan. Model regresi logistik yang dihasilkan adalah: 6.2 Saran 1. Melakukan inventarisasi Metroxylon spp. di Pulau Seram secara menyeluruh untuk mendapatkan data sebaran Metroxylon spp. dan secara temporal agar dapat diketahui kondisi sebaran Metroxylon spp. dari waktu ke waktu. 2. Luas areal potensial Metroxylon spp. berdasarkan prediksi model analisis regresi untuk lahan sesuai tinggi sebesar ,225 Ha, sedang luas aktual sebesar ,76 Ha. Hal ini menunjukkan masih banyak lahan potensial Metroxylon spp. belum dimanfaatkan. Oleh karenanya perlu menggalakkan revitalisasi Metroxylon spp.

60 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Penduduk Provinsi Maluku. Statistik Sektoral Badan Pusat Statistik Maluku. [6 Juni 2011] Sosial Pendidikan Penduduk Provinsi Maluku. Statistik Sektoral Badan Pusat Statistik Maluku. [6 Juni 2011] Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Barahima Keragaman Gentik Tanaman Sagu di Indonesia berdasarkan penanda molekular genom inti [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bintoro MH, D Setiadi, D Allorerung, WY Mofu, A Pinem Laporan Hasil Penelitian Pembibitan dan Karakteristik Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian. Bintoro MH Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebuanan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Sago in Indonesia. Poster Presentations pada New Frontiers of Sago Palm Studies. Tokyo: Universal Academy Press Potensi Pemanfataan Sagu untuk Industri dan Pangan. Makalah Kunci pada Seminar Nasional Sagu untuk Ketahanan Pangan. Manado : CV. Indoba. Bintoro. MH, Purwanto MYJ, Amarilis S Sagu di Lahan Gambut. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Boone RB, KA Galvin, et al Generalizing El Nino effects upon Maasai livestock using hierarchical clusters of vegetation patterns. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing 66 (6): [28 Januari 2012] Botanri S Distribusi Spasial, Autekologi dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Djumadi A Sistem Pertanian Sagu di Daerah Luwu Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

61 Flach M The Sago Palm Metroxylon sago Rottb. Rome: Food Agriculture Organization of United Nation. Flach M dan F Rumawas Plant Resources ao South-East Asia No.9 Plants yielding non-seed carbohydrayes. Prosea Foundation. Bogor. P: 122 Foth DH Fundamental of Soil Science. England: John Wiley & Sons. Gamasari AS Pemetaan Kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman wisata Alam Pangandaran dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis. [Skripsi]. Bogor: Departemen Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Gasperz V Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Edisi pertama. Bandung: Tarsito. Gotelli NJ dan Ellison AM A Primer of Ecological Statistics. Massachusetts: Sinauer Associates Incorporates Publisher. Herdiyanti PR Penentuan Kesesuaian Habitat Raflessia patma Blume di Cagar Alam Leuweng Sancang Garut Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan ekowisata. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Kertopermono AP Inventory and Evaluation on Sago Palm (Metroxylon sp.) Distribution. Sixth International Sago Symposium. Riau. Koeswara DA Permodelan Spasial Kesesuaian Habitat Tapir (Tapirus indicus Desmarest 1819) di Resort Batang Suliti Taman Nasional kerinci Seblat [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Lilik BP Dokumen Pribadi. Bogor McClatchey W, Manner HI, Elevitch CR Metroxylon amicarmium, M. Paulcoxii, M. Sagu, M. Solomonensis, M. Vitiesse and M. Warburgii (sago palm). Species Profile for Pacific Island agroforestry. Traditional Tree Initiative. [10 Desember 2010] Miller RI Mapping the Diversity of Nature. London: Chapman & Hall. Nitta Y, T Matsuda, R Miura, S Nakamura, Y Goto, M Watanabe Anatomical Leaf Structure Relatedto Photosynthetic and Conductive activities of Sago Palm. Script Presentation pada Proceeding of the Eight International Sago Symposium. Universitas Negeri Papua. Manokwari Oates C, Hicks A Sago Starch Production in Asia and the pasific-problems and prospects. Poster Presentations pada New Frontiers of Sago Palm Studies. Universal Academy Press. Tokyo.

62 Papilaya EC Sagu Untuk Pendidikan Anak Negeri. Bogor : Institut Pertanian Bogor Press. Prahasta, E Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung : Informatika Bandung. Putri AMM GIS dan Remote Sensing untuk Analisis Kesesuaian Habitat Harimau Sumatera (Pathera tigris sumatrae) Di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Sekitarnya. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rumalatu FJ Distribusi dan Potensi Produk Pati dari Batang Beberapa Jenis Sagu (Metroxylon Sp.) di daerah Seram Barat [Thesis]. Fakultuas Pertanian Kehutanan Universitas Pattimura. Afiliasi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Analisis Komponen Utama. [14 Desember 2011] Sitaniapessy PM Sagu: Suatu Tinjauan Ekologi. Prosiding Simposium Nasional Sagu ketiga; Pekanbaru, Februari Pekanbaru. Universitas Riau. Suhardi, Sabarudin S, Soedjoko SA, Dwijono HD, Minarningsih, Widodo A Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Departemen Kehutanan-Perkebunan-departemen Pertanian. Suryana A Arah dan Strategi pengembangan sagu di indonesia. Makalah disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu indonesia. Batam, Juli United State Department of Agriculture query=metroxylon+sagu&go.x=0&go.y=0&go=go [10 Desember 2010] USGS The Normalized Vegetation Index (NDVI). [28 Jnuari 2012] Weier J, D Herring Measuring Vegetation (NDVI & EVI). NASA-Earth Observatory. [24 Juni 2011] Whittaker J Graphical Models, In Applied Multivariate Statistic. England : John Wiley & Sons. Wiranegara SH Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

63 LAMPIRAN

64 Lampiran 1 Data Faktor kesesuaian untuk menyusun model Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis) No. Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine

65 Lanjutan lampiran 1 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis) No. Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Limestone; alluvium, recent riverine Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

66 Lanjutan lampiran 1 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Analisis Komponen Utama (Priciple Component Analysis) No. Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

67 Lampiran 2 Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model Analisis Komponen Utama (Principel Component Analysis) Factor Analysis Communalities Initial Extraction Sungai Slope Elevasi NDVI Extraction Method: Principal Component Analysis. Total Variance Explained Compon Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings ent Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % Extraction Method: Principal Component Analysis. Component Matrix a Component Sungai Slope Elevasi NDVI Extraction Method: Principal Component Analysis. a. 3 components extracted.

68 Lampiran 3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Regresi Logistik Biner No. x y p Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Phyllite; schist; gneiss; sandstone Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

69 Lanjutan lampiran 3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Regresi Logistik Biner No. x y p Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Limestone; alluvium, recent riverine Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat

70 Lanjutan lampiran 3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Regresi Logistik Biner No. x y p Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

71 Lanjutan lampiran 3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Regresi Logistik Biner No. x y p Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Phyllite; schist; gneiss; sandstone Phyllite; schist; gneiss; sandstone Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium-recent riverine; alluvium, estuarine marine; alluvium, fan deposit, peat Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

72 Lanjutan lampiran 3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Regresi Logistik Biner No. x y p Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Limestone; alluvium, recent riverine Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

73 Lanjutan lampiran 3 Data faktor kesesuaian untuk menyusun model Regresi Logistik Biner No. x y p Sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

74 Lampiran 4 Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model regresi logistik biner Logistic Regression Case Processing Summary Unweighted Cases a N Percent Selected Cases Included in Analysis Missing Cases Total Unselected Cases 0.0 Total a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value Block 0: Beginning Block Iteration History a,b,c Iteration -2 Log likelihood Coefficients Constant Step a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: c. Estimation terminated at iteration number 1 because parameter estimates changed by less than.001. Classification Table a,b Predicted p Percentage Observed Correct Step 0 p Overall Percentage 50.0 a. Constant is included in the model. b. The cut value is.500 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant Variables not in the Equation Score df Sig. Step 0 Variables Tanah Slope Elevasi Jarak Sungai NDVI Overall Statistics

75 Lanjutan lampiran 4 Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model regresi logistik biner Block 1: Method = Enter Iteration History a,b,c,d -2 Log Coefficients Iteration likelihood Constant Tanah Slope Elevasi Jarak Sungai NDVI Step a. Method: Enter b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: d. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than.001. Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square df Sig. Step 1 Step Block Model Model Summary -2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R Step likelihood Square Square a a. Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than.001. Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df Sig Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test p =.00 p = 1.00 Observed Expected Observed Expected Total Step

76 Lanjutan lampiran 4 Hasil Perhitungan faktor kesesuaian menggunakan SPSS 19 untuk menyusun model regresi logistik biner Classification Table a Predicted p Percentage Observed Correct Step 1 p Overall Percentage 81.3 a. The cut value is.500 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 1 a Tanah Slope Elevasi Jarak Sungai NDVI Constant Variables in the Equation 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper Step 1 a Tanah Slope Elevasi Jarak Sungai NDVI Constant a. Variable(s) entered on step 1: Tanah, Slope, Elevasi, Jarak Sungai, NDVI. Correlation Matrix Constant tn slp elv js ndvi Step 1 Constant Tanah Slope Elevasi Jarak Sungai NDVI

77 Lampiran 5 Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. X y p sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

78 Lanjutan lampiran 5 Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. X y p sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

79 Lanjutan lampiran 5 Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. X y p sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

80 Lanjutan lampiran 5 Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. X y p sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

81 Lanjutan lampiran 5 Data validasi kesesuaian habitat Metroxylon spp. No. X y p sungai Slope Elevasi NDVI Jenis Tanah Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic Alluvium, fan deposits alluvium, recent volcanic

82 Lampiran 6 Foto-foto Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku di berbagai lokasi

83 Lanjutan lampiran 6 Foto Metroxylon spp. di Pulau Seram, Maluku di berbagai lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Sagu 2.1.1 Klasifikasi McClatchey et. al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum (H.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN PENDAHULUAN Potensi Sagu Indonesia BESAR Data Potensi Kurang Latar Belakang Sagu untuk Diversifikasi Pangan Tujuan Penelitian: Mengidentifikasi penyebaran sagu di Pulau Seram Menganalisis faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan dan Distribusi Sagu (Metroxylon Spp.) di Pulau Seram, Maluku Penutupan lahan dan penggunaan lahan di Pulau Seram sesuai dengan hasil analisis dari peneliti

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG),

Lebih terperinci

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT

12/29/2010. PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (Tapirus indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT PEMODELAN SPASIAL KESESUAIAN HABITAT TAPIR (us indicus Desmarest 1819) DI RESORT BATANG SULITI- TAMAN NASIONAL KERINCI-SEBLAT Dieta Arbaranny Koeswara / E34050831 1. Latar Belakang Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

Manfaat METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi sumber data dan informasi untuk menentukan langkah-langkah perencanaan dan pengelolaan kawasan dalam hal pemanfaatan bagi masyarakat sekitar. METODE Lokasi dan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data untuk membuat model kesesuaian habitat orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) dilakukan di Suaka Margasatwa Sungai Lamandau.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Diagram alir penelitian 12/20/2011. Tujuan. Manfaat

METODE PENELITIAN. Diagram alir penelitian 12/20/2011. Tujuan. Manfaat Priska Rini Herdiyanti E34104056 Holoparasit dan Diaceous Dosen Pembimbing: Dr.Ir.Lilik B Prasetyo, MSc. Dr.Ir.Agus Hikmat, MSc.F CagarAlam Leuweung Sancang Tumbuhan langka DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3 1. Tempat perlindungan Orang utan yang dilindungi oleh pemerintah banyak terdapat didaerah Tanjung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG GARUT JAWA BARAT PRISKA RINI HERDIYANTI

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG GARUT JAWA BARAT PRISKA RINI HERDIYANTI PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT Rafflesia patma Blume DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG GARUT JAWA BARAT PRISKA RINI HERDIYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP

METODOLOGI. Gambar 4 Peta area studi Resort Cibodas TNGGP IV. METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan selama 1 (satu) bulan yaitu pada bulan Mei 2012 di kawasan Resort Pengelolaan Taman Nasional Model Mandalawangi pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pleurotus spp. PADA MEDIA SERBUK GERGAJIAN KAYU SENGON (Paraserianthes falcataria) ALWIAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia:

Beberapa fakta dari letak astronomis Indonesia: Pengaruh Letak Geografis Terhadap Kondisi Alam dan Flora Fauna di Indonesia Garis Lintang: adalah garis yang membelah muka bumi menjadi 2 belahan sama besar yaitu Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Vegetasi 5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Luas HPGW secara geografis terletak diantara 6 54'23'' LS sampai -6 55'35'' LS dan 106 48'27'' BT sampai 106 50'29'' BT. Secara administrasi pemerintahan HPGW

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas 23 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Resort Pugung Tampak pada bulan Januari September 2012. Resort Pugung Tampak

Lebih terperinci

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT

PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT PERUBAHAN DARATAN PANTAI DAN PENUTUPAN LAHAN PASCA TSUNAMI SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL DI PANTAI PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS JAWA BARAT YUNITA SULISTRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI

LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI LINGKUNGAN KEHIDUPAN DI MUKA BUMI Indonesia terdiri atas pulau-pulau sehingga disebut negara kepulauan. Jumlah pulau yang lebih dari 17.000 buah itu menandakan bahwa Indonesia merupakan suatu wilayah yang

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan Areal konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera merupakan areal bekas tebangan dari PT. Tjirebon Agung yang berdasarkan SK IUPHHK Nomor

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara 4.1.1 Kondisi Geografis Propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terletak di bagian selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN KARO

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN KARO IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN KARO SKRIPSI OLEH : NICO LERYSONE 020308027/TEP DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN DELI SERDANG

IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN DELI SERDANG IDENTIFIKASI IKLIM, TANAH DAN IRIGASI PADA LAHAN POTENSIAL PERTANIAN DI KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI OLEH : BERNAT FERNANDO SIDABUTAR DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4

Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Pemetaan Pola Hidrologi Pantai Surabaya-Sidoarjo Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu dan Peristiwa Lapindo Menggunakan Citra SPOT 4 Oleh : Linda Ardi Oktareni Pembimbing : Prof. DR. Ir Bangun M.S. DEA,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN PERMODELAN SPASIAL DAERAH RAWAN BANJIR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DELI DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN ANALITYCAL HIERARCHY PROCESS SKRIPSI Oleh : ROSMAWATI SITOMPUL 041201016/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Muhamad Adnan Rivaldi, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sancang, Kecamatan Cibalong,, Jawa Barat, merupakan kawasan yang terletak di Selatan Pulau Jawa, yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hutan Sancang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora maupun fauna. Salah satu famili dari flora yang menjadi ciri khas di Indonesia adalah Rafflesiaceae

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta Tematik untuk Pembuatan Model Spasial 5.1.1 Peta Ketinggian Ketinggian di lokasi penelitian berkisar antara 0-1351 meter dpl dengan tiga puncak gunung yaitu gunung Tangkoko,

Lebih terperinci

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA KONDISI HABITAT Rafflesia sp DI IUPHHK PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk SEKTOR TELE, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH: HANA FERONIKA SIREGAR 071201022/ MANAJEMEN HUTAN JURUSAN MANAJEMEN HUTAN PROGRAM

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

KONDISI UMUM PERUSAHAAN KONDISI UMUM PERUSAHAAN Sejarah Kebun PT. National Sago Prima dahulu merupakan salah satu bagian dari kelompok usaha Siak Raya Group dengan nama PT. National Timber and Forest Product yang didirikan pada

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 15 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Sub DAS Model DAS Mikro (MDM) Barek Kisi berada di wilayah Kabupaten Blitar dan termasuk ke dalam Sub DAS Lahar. Lokasi ini terletak antara 7 59 46 LS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penilaian Titik Kehadiran dan Ketidakhadiran Titik objek kehadiran dan ketidakhadiran kirinyuh yang berhasil dikumpulkan di seluruh plot pengamatan adalah sebanyak 255 titik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Rotan adalah salah satu jenis tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) yang memiliki peranan ekonomi yang sangat penting (FAO 1997). Sampai saat ini rotan telah dimanfaatkan sebagai

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota

IV. GAMBARAN UMUM. Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun Hutan Kota 23 IV. GAMBARAN UMUM A. Status Hukum Kawasan Kawasan Hutan Kota Srengseng ditetapkan berdasarkan surat keputusan Gebernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 202 tahun 1995. Hutan Kota Srengseng dalam surat keputusan

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, TINJAUAN PUSTAKA Cagar Alam Dolok Sibual-buali Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Hutan Suaka Alam ialah kawasan hutan yang karena sifatnya diperuntukkan secara khusus untuk

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) HUDI WIDYARTA

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) HUDI WIDYARTA IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA PULAU DI INDONESIA (Studi Kasus Kota Batam, Kota Tarakan Dan Kota Ternate) HUDI WIDYARTA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO

ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO ANALISIS PENGELUARAN ENERGI PEKERJA PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT AVIANTO SUDIARTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bengkalis merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Wilayahnya mencakup daratan bagian pesisir timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan,

Lebih terperinci

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec BAB III KONDISI UMUM LOKASI Lokasi penelitian bertempat di Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala, Kabupaten Kota Banjarbaru, Kabupaten Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. IV. GAMBARAN UMUM A. Kondisi Umum Kabupaten Lampung Tengah Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Luas wilayah Kabupaten Lampung Tengah sebesar 13,57 % dari Total Luas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian

III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian 16 III. METODOLOGI 3.1 Ruang Lingkup dan Batasan Kajian Ruang lingkup dan batasan-batasan kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wilayah kajian adalah wilayah administratif Kabupaten b.

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci