KAJIAN HUBUNGAN KONDISI TERUMBU KARANG DENGAN KELIMPAHAN IKAN CHAETODONTIDAE DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH PULAU LIWUTONGKIDI, KABUPATEN BUTON

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN HUBUNGAN KONDISI TERUMBU KARANG DENGAN KELIMPAHAN IKAN CHAETODONTIDAE DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH PULAU LIWUTONGKIDI, KABUPATEN BUTON"

Transkripsi

1 1 KAJIAN HUBUNGAN KONDISI TERUMBU KARANG DENGAN KELIMPAHAN IKAN CHAETODONTIDAE DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH PULAU LIWUTONGKIDI, KABUPATEN BUTON SIGIT PRIYO UTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Sigit Priyo Utomo NIM. C

3 3 ABSTRACT SIGIT PRIYO UTOMO. Study the Correlation of Coral Reefs Condition with the Abundance Chaetodontidae s Fish in Local Marine Conservation Areas Liwutongkidi Island, Buton Regency. Under the direction of MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL and NEVIATY PUTRI ZAMANI Local Marine Conservation Area of Liwutongkidi Island, Buton Regency has a great potential of coral reefs and coral reef fishes. One of the coral reef fishes that important in coral reefs are butterflyfishes (Chaetodontidae). This family has been considered as bioindicator for the health of coral reefs due to their close association with coral reefs habitat. Data on coral reefs was done by using Line Intercept Transect Method that were distributed in the coral reefs substrat and visual census for looking abundance the coral reef fishes. Data coral reefs and coral reef fishes were done carried between the various reefs sites using diversity, evenness, dominance and species abundance. Studies were conducted to determine the relationship between coral reef conditions with abundance of Chaetodontidae. Statistical analysis using linier regression indicated there were significant difference between both number of percentage corals cover and species Chaetodon diversity. Observation at Local Marine Conservation Areas of Liwutongkidi Islans showed the percentage cover of hard corals recorded 50.03% (good condition). The pattern of linier relationship between percentage hard corals cover with abundance of Chaetodontidae show a positive correlation that is the abundance of Chaetodontidae influenced by percentage hard corals cover (r = 0.73, R 2 = 53.70%, significant on p<0.05). The characterictics of habitat are grouped based on substratum with Bray-Curtis similarity index. Chaetodontidae fish species are grouped based on the observation station to see the Sorensen s similarity coefficient. Consistency for the presence of certain group fish in the habitat of this fish showed that the groups were present in a habitat that has particularizes that are not found in other groups. Based on constancy and fidelity indices in general term the Chaetodontidae fish spread on variety of group habitats. Keyword: local marine conservation area, coral reefs, percentage corals cover Chaetodontidae

4 4 RINGKASAN SIGIT PRIYO UTOMO. Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton. Dibawah bimbingan MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL dan NEVIATY PUTRI ZAMANI. Luasan terumbu karang di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dan kerusakan akibat faktor alam dan tekanan akibat pemanfaatan oleh manusia. Salah satu cara menyelamatkan sumberdaya terumbu karang adalah dengan pembentukan kawasan konservasi laut. Sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau liwutongkidi memiliki peran dalam mendukung kelestarian sumberdaya perikanan yang dalam hal ini terumbu karang dan ikan. Ikan Chaetodontidae tergolong ikan yang penting dalam berasosiasi dengan terumbu karang, banyak jenisnya yang memiliki ketergantungan hidup terutama dalam hal makanan utama terhadap karang (Bouchon-Navaro 1986) dan kelimpahan Chaetodontidae berhubungan juga dengan sumber makanan tersebut (Robert et al. 1992). Hal ini juga yang menyebabkan ikan Chaetodontidae disarankan untuk dipergunakan sebagai indikator utama dalam melakukan penelitian terhadap kondisi karang (Hourigan 1989). Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton. Penelitian ini berlangsung sejak bulan April - Juni Pengambilan data terumbu karang dilakukan dengan metode Line Intercept Transect (LIT). Pengambilan data ikan Chaetodontidae dilakukan dengan metode visual sensus. Pengambilan data parameter lingkungan dengan dilakukan secara in-situ. Analisa isi perut atau jenis makanan ikan Chaetodontidae dilakukan di Laboratorium Eko- Biologi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP). Berdasarkan pengamatan bahwa kualitas perairan di Pulau Liwutongkidi masih dalam batas toleran terhadap pertumbuhan terumbu karang dan biota laut yang berasosiasi didalamnya. Kondisi terumbu karang di Pulau Liwutongkidi termasuk ke dalam kondisi baik (Gomes & Yap 1988). Persentase tutupan karang keras sebesar 50.03% dan karang mati 21.53%. Namun terdapat juga persentase tutupan karang mati, pecahan karang dan pasir yang menunjukkan tingginya tekanan terhadap ekosistem terumbu karang di Pulau Liwutongkidi. Persentase tutupan karang Acropora berkisar antara % dengan rata-rata persen tutupan 20.15%. Persentase tutupan tertinggi adalah dari jenis karang Acropora Brancing. Sedangkan persentase tutupan karang Non-Acropora berkisar antara % dengan rata-rata persentase tutupan sebesar 29.88%. Persentase tutupan terbesar adalah dari jenis Coral Branching yang terdapat pada setiap stasiun pengamatan. Nilai Indeks Mortalitas karang di Pulau Liwutongkidi berkisar antara Tingkat kematian karang paling tinggi terjadi di Stasiun 1 dengan nilai sebesar 0.88 dan yang terendah terdapat di Stasiun 5 dengan nilai sebesar Persentase tutupan karang keras memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kelimpahan ikan Chaetodon dengan nilai korelasi (r) adalah 0.73 (signifikan pada p<0.05) dengan model regresi adalah Y = x. Sedangkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang didapatkan dari model regresi

5 5 sebesar 53.7%. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan ikan Chaetodontidae meningkat dengan meningkatnya tutupan karang hidup. Secara umum karakteristik stasiun pengamatan di Pulau Liwutongkidi terbagi kedalam 4 kelompok habitat. Pengelompokan habitat berdasarkan persentase tutupan substrat dasar. Hasil pengelompokan ikan terlihat pengelompokan spesies ikan Chaetodontidae menjadi 4 (empat) kelompok ikan. Kelompok ikan tersebut terdiri dari Kelompok I (C. baronessa), kelompok II (C. lunulatus, C. kleinii dan H. varius), kelompok III (C. rafflesii dan F. flavissimus) dan kelompok IV (C. trifascialis). Pengelompokan ini berdasar kepada kelimpahan jenis ikan Chaetodontidae pada setiap stasiun pengamatan. Untuk melihat ketertarikan kelompok ikan terhadap kelompok habitat maka dilakukan analisis konstansi dan fidelitas. Kelompok ikan I dan III terlihat hadir secara konstan pada kelompok habitat III dan IV, namun kehadiran kelompok ikan ini tidak serta merta memiliki tingkat kesukaan yang khas terhadap kelompok habitat III dan IV. Dari semua kelompok ikan yang hadir pada habitat III dan IV hanya kelompok ikan I yang memiliki indeks fidelitas yang tertinggi (46.2), hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kelompok ikan I terhadap habitat III berdasarkan kekhasan/ keunikan jenis yang ada di habitat itu yaitu persentase tutupan karang keras sebesar rata-rata 68.15% yang didominasi Acropora Branching (ACB) sebesar rata-rata 42.42% dan persentase karang keras Non- Acropora sebesar rata-rata 22.09% yang didominasi oleh Coral Branching (CB) sebesar 10.58%. Berdasarkan jenis-jenis ikan yang terdapat pada pengelompokan, bahwa kelompok ikan I dan III hanya konstan hadir dan terdapat pada kelompok habitat III dan IV yang mempunyai karakteristik dalam jumlah persentase tutupan karang keras yang tinggi terutama pada ACB, Acropora Tabulate (ACT) dan Non- Acropora Coral Mushroom (CMR) serta biota lainnya, seperti soft coral, sponge dan hewan bentik lainnya yang terdapat di substrat pada stasiun ini. Kelompok ikan I dan IV merupakan tipe pemakan karang obligat (C. baronessa dan C. trifascialis) yang tergantung keberadaannya terhadap Acropora yang menyediakan makanan terhadap ikan jenis ini, Pratchett (2005) menyatakan bahwa C. baronessa merupakan pemakan karang obligat, menyukai jenis karang Acropora (A. hyacinthus dan P. damicornis). Sedangkan kelompok ikan III (C. raflesii dan Forcipiger flavissimus) yang merupakan pemakan karang fakultatif lebih terdistribusi berdasar jenis makanan yang terdapat pada semua kelompok habitat yang memiliki tutupan karang keras sampai karang beralga dan habitat pasir. Berdasarkan hasil perhitungan konstansi dan fidelitas bahwa kelompok ikan yang memiliki nilai konstansi 100 belum tentu memiliki nilai fidelitas yang mencapai 100. Tingkat kesukaan yang paling baik adalah jika nilai konstansi dan fidelitasnya mencapai 100. Tidak ditemukan secara bersamaan untuk nilai konstansi dan fidelitas yang mencapai 100 menandakan bahwa tidak adanya kesukaan yang khas dari Famili Chaetodontidae terhadap kelompok habitat dasar. Secara umum ikan Chaetodontidae menyebar ke berbagai kelompok habitat. Kata kunci: kawasan konservasi laut daerah, terumbu karang, persentase tutupan karang dan ikan Chaetodontidae.

6 6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

7 7 KAJIAN HUBUNGAN KONDISI TERUMBU KARANG DENGAN KELIMPAHAN IKAN CHAETODONTIDAE DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH PULAU LIWUTONGKIDI, KABUPATEN BUTON SIGIT PRIYO UTOMO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc 8

9 9

10 10 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Kajian Hubungan Kondisi Terumbu Karang dengan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton tepat pada waktunya. Penelitian dan proses penulisan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas prakarsa berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membantu dan memberikan perhatian, arahan, tenaga, waktu dan saran dalam penyusunan tesis ini. 2. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran dan perbaikan dalam penyusunan tesis ini. 3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staf pengajar yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman terkait pengelolaan pesisir dan lautan. 4. Staf sekretariat SPL (Pak Zainal, Mbak Olla, Mas Dindin dan Aji) yang telah banyak membantu selama perkuliahan di SPL-IPB. 5. COREMAP II World Bank, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan beasiswa S2 pada PS SPL-IPB. 6. Ir. Ansori Zawawi, MMA selaku Direktur Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan, Ditjen. P2SDKP-KKP dan Ir. Sere Alina Tampubolon M.PSt selaku Kasubdit Pengawasan dan Pengendalian Ekosistem Perairan yang telah memberikan izin untuk mengikuti Program Beasiswa ini. 7. Ayahanda H P. Wiryotaruno, Ibunda Hj. Kasiyem dan Kakak-kakak yang telah memberikan doa dan bantuan baik secara moril maupun materiil. 8. Istriku Yayan Sugiyanti S.Kep dan putraku Marin Muhammad Warsita Utomo yang telah memberikan semangat dan doa dalam mengikuti pendidikan ini. 9. Rekan-rekan kuliah SANDWICH IPB Universität Bremen Ryukyus University atas kebersamaan dan kerjasamanya. 10. Teman-teman yang telah membantu selama penelitian di Buton (La Ila, Haris Lain, Yusniar, Gunawan Guns, Kapten Ais, Dedy, Samsul) dan La Yono sekeluarga yang telah membantu akomodasi selama penelitian. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, untuk itu. Penulis berharap semoga penulisan tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan pada masa yang akan datang. Bogor, September 2010 Sigit Priyo Utomo

11 11 RIWAYAT HIDUP Sigit Priyo Utomo dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1977 sebagai anak kesembilan dari sembilan bersaudara dari Bapak H. P. Wiryotaruno dan Ibu Hj. Kasiyem. Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di TK Cendrawasih Serdang pada tahun 1982 dan kemudian dilanjutkan di SD Negeri 13 Pagi Serdang Jakarta ( ). Pada tahun penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 79 Jakarta dan pada tahun dilanjutkan di SMA Negeri 5 Jakarta. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 1995 dan memilih Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan tamat pada tahun Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan. Pada tahun 2008, penulis mendapat beasiswa dari program COREMAP II - World Bank, Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melanjutkan studi Pascasarjana pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB ZMT Universität Bremen. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Kajian Hubungan Kondisi Terumbu Karang dan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton.

12 12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiii xiv xv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Terumbu Karang Ikan Karang Ikan Chaetodontidae Distribusi dan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae Kebiasaan Makan, Wilayah dan Perilaku Ikan Chaetodontidae Karakteristik Daur Hidup Ikan Chaetodontidae Hubungan Ikan Karang dengan Terumbu Karang Ikan Chaetodontidae sebagai Bioindikator Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Daerah METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Jenis Data yang Dikumpulkan Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang Kondisi Ikan Famili Chaetodontidae Identifikasi Makanan Parameter Lingkungan Analisis Data Kondisi Terumbu Karang Ikan Chaetodontidae Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pulau Liwutongkidi Kualitas Perairan Pulau Liwutongkidi Kondisi Terumbu Karang xi

13 xii Kondisi Ikan Karang Komposisi Ikan Karang Komposisi Ikan Chaetodontidae Indeks Keanekaragaman (H), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Ikan Chaetodontidae Analisis Makanan Hubungan antara Persentase Penutupan Karang Keras dengan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae Ketertarikan Ikan Chaetodontidae terhadap Habitat Tertentu Pengelompokan Habitat Pengelompokan Ikan Ketertarikan Ikan Chaetodontidae pada Habitat Pengelolaan kawasan Konservasi Laut Daerah KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

14 14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Beberapa jenis ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) dan tipe kebiasaan makannya (Yusuf et al dan Fishbase 2009) Posisi geografis stasiun pengamatan Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya (English et al.1997) Metode dan peralatan untuk pengambilan data parameter perairan Parameter kondisi perairan Indeks mortalitas karang Indeks struktur komunitas ikan karang Kelimpahan per spesies ikan Chaetodontidae (ind/350m 2 ) Indeks struktur komunitas ikan Chaetodontidae Persentase dan rerata isi perut ikan Chaetodontidae Karakteristik pengelompokan spesies ikan Chaetodontidae Indeks konstansi dan fidelitas kelompok ikan terhadap kelompok habitat xiii

15 15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Peta Lokasi Penelitian Ilustrasi teknik pengumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT Kategori persen tutupan karang (Dahl 1981 in English et al. 1997) Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan metode sensus visual Persentase penutupan substrat dasar Persentase penutupan karang keras Acropora Persentase penutupan karang keras Non-Acropora Kelimpahan ikan karang tertinggi di lokasi penelitian (ind/350m 2 ) Bentuk mulut ikan Chaetodontidae: A) pada saat normal dan B) pada saat memangsa Hubungan antara persentases penutupan karang keras dengan kelimpahan famili Chaetodontidae Dendogram pengelompokan habitat Dendogram pengelompokan ikan xiv

16 16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Persentase penutupan substrat dasar pada stasiun pengamatan Komposisi ikan karang Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi ikan Chaetodontidae Tabel perhitungan regresi linier antara kelimpahan ikan karang dan persentase tutupan karang keras Tabel perhitungan cluster analysis pengelompokan ikan Chaetodontidae xv

17 17 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di dalam laut merupakan salah satu sumberdaya alam yang bernilai tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumberdaya terumbu karang yang tersebar hampir di seluruh perairannya. Luas terumbu karang Indonesia sekitar km 2 (Burke et al. 2002) dengan keanekaragaman hayati tertinggi dunia dengan 70 genera dan 450 spesies (Veron 1995). Saat ini lebih dari 480 jenis karang batu telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan. Selain itu keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia ditemukan di Indonesia, dengan lebih dari jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur (Suharsono & Purnomohadi 2001 in Burke et al. 2002). Ekosistem terumbu karang banyak menyumbang berbagai biota laut seperti ikan konsumsi, ikan hias, kerang dan udang bagi masyarakat pesisir, selain itu terumbu karang menjadi sumber mata pencaharian bagi nelayan dan masyarakat pesisir baik ketika musim penangkapan ikan maupun waktu paceklik. Para nelayan menangkap berbagai jenis ikan dari komunitas terumbu karang seperti kerapu, baronang, napoleon, kakap, lobster, kima, teripang dan ikan hias lainnya. Dengan banyaknya sumberdaya ikan yang berasosiasi di daerah terumbu karang maka dapat dikatakan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem yang paling kaya di dasar laut. Kelompok ikan merupakan organisme terbesar dari hewan-hewan vertebrata yang berasosiasi dengan terumbu karang. Salah satu diantara banyak suku (famili) ikan yang penting dari ordo Perciformes di terumbu karang adalah kelompok ikan kepe-kepe (butterfly fishes) dari suku Chaetodontidae. Ikan Chaetodontidae merupakan komponen penting dari ikan-ikan yang terdapat di terumbu karang tropis, dikarenakan beberapa dari taksa ikan tersebut memakan karang scleractinian (Glynn 1990). Chaetodontidae mempunyai variasi makanan yang luas, termasuk alga, karang dan alcyotaceans, hidrozoa, sponge, polychaeta dan krustacea. Namun begitu, kebanyakan spesies ini makanan

18 18 2 utamanya adalah karang (Pratchett 2005). Zekeria et al. (2002) menyatakan bahwa Chaetodontidae yang memakan karang adalah jenis pemangsa karang (a) Obligatif, yang memangsa khusus hanya karang; (b) fakultatif, yang memangsa karang namun juga memangsa invertebrata; dan (c) bukan pemangsa karang, jenis ini lebih menyukai organisme bentik daripada karang. Beberapa studi yang pernah dilakukan bahwa ikan Chaetodontidae merupakan jenis ikan indikator dan keberadaannya dapat dipakai untuk menduga kondisi terumbu karang, sehingga penurunan jumlah populasi atau ketidak hadiran dari jenis ini merupakan petunjuk bahwa terumbu karang telah mengalami tekanan. Ikan Chaetodontidae sangat sensitif terhadap perubahan dan kerusakan karang, karena ikan ini sangat terikat terhadap makanan dan tempat berlindung yang disediakan oleh karang (Harmelin-Vivien & Bouchon-Navaro1983). Dari jenis ikan Chaetodontidae, ikan pemakan karang secara obligatif merupakan jenis yang paling sensitif dan paling baik digunakan sebagai indikator kesehatan karang. Jenis ikan obligatif terdapat pada terumbu karang yang memiliki kualitas perairan, keanekaragaman karang, keragaman habitat relatif baik dan pergerakan air relatif terjamin. Disamping itu bahwa berdasarkan bentuk pertumbuhan karang, jenis ikan Chaetodontidae obligatif dapat berasosiasi dengan Acropora bercabang (Bawole 1998). Kelimpahan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) yang merupakan jenis pemangsa karang memiliki hubungan positif dengan persentase karang hidup di perairan Kepulauan Seribu, sehingga ikan ini dapat dijadikan sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang (Madduppa 2006). Ikan Chaetodontidae merupakan ikan yang memiliki penyebaran luas, ditemukan hidup berasosiasi dan menetap di terumbu karang. Kelimpahan ikan Chaetodontidae (Chaetodon trifasciatus, C. trifascialis, C. baronessa dan C. octofasciatus) dapat mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan, selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehadiran ikan Chaetodontidae mempunyai korelasi yang positif dengan persen penutupan karang hidup di beberapa perairan Indonesia (Laut Flores, perairan Teluk Ambon dan Kepulauan Seribu) (Adrim & Hutomo 1989; Bawole 1998; Madduppa 2006). Suharsono (1998), menyatakan bahwa kondisi terumbu karang di kepulauan Indonesia bagian timur lebih baik daripada di bagian barat, secara umum karang

19 19 3 yang tumbuh di perairan Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara didominasi oleh Acropora spp. Kondisi terumbu karang yang baik menggambarkan tingginya keanekaragaman dan kelimpahan ikan karang. Berdasarkan keberadaan ikan Chaetodontidae yang termasuk jenis ikan pemakan karang di perairan Indonesia Timur belum banyak dipelajari maka penelitian ini memfokuskan kepada hubungan kondisi terumbu karang dengan kelimpahan ikan Chaetodontidae di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton. 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan secara terpadu memerlukan informasi dasar tentang potensi ekosistem pendukungnya seperti ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis ikan yang berasosiasi didalamnya. Informasi-informasi tersebut berupa permasalahan dan kondisi terumbu karang serta ikan karang. Keterkaitan ikan karang terhadap terumbu karang sangat tinggi karena fungsi ekologis terumbu karang sebagai penyedia makanan, tempat hidup dan tempat perlindungan. Ikan karang merupakan organisme yang jumlah biomassanya terbesar dan mencolok, yang dapat ditemui dalam ekosistem terumbu karang. Banyak celah dan lubang di terumbu karang sebagai tempat tinggal ikan, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan yang berada di sekitarnya. Salah satu ikan karang yang berasosiasi erat dengan terumbu karang dan sebagai indikator kondisi karang karena kesukaannya terhadap terumbu karang adalah jenis ikan Chaetodontidae. Ikan-ikan Chaetodontidae merupakan kelompok penting dari iktiofauna yang berasosiasi dengan terumbu karang di seluruh dunia. Kebanyakan ikan Chaetodontidae hanya makan karang dan kelimpahannya memiliki hubungan pada sumber makanan ini (polip-polip karang) (Harmelin-Vivien & Bouchon- Navaro1983). Keberadaan ikan Chaetodontidae di kawasan konservasi dapat dijadikan indikasi terhadap perubahan kondisi terumbu karang. Kerusakan ekosistem terumbu karang umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia, walaupun tak bisa dipungkiri alam juga berperan cukup besar dalam hal ini. Kerusakan tersebut akan

20 20 4 menyebabkan berkurangnya atau bahkan hilangnya fungsi dan manfaat terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kawasan konservasi merupakan salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sekaligus melindungi ekosistem terumbu karang beserta keanekaragaman biota yang terkandung didalamnya. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mengetahui kondisi kawasan konservasi salah satunya diperlukan analisa hubungan antara terumbu karang dengan ikan karang, terutama ikan Chaetodontidae sebagai ikan bioindikator. Penilaian tersebut dapat didekati melalui pendekatan ekologi dengan menjawab permasalahan sebagai berikut : (a) Bagaimana kondisi terumbu karang di perairan Pulau Liwutongkidi? (b) Bagaimana hubungan persentase tutupan karang dengan kelimpahan ikan Chaetodontidae? (c) Bagaimana pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi? 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Suatu kenyataan bahwa luasan terumbu karang di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dan kerusakan akibat faktor alam dan tekanan akibat pemanfaatan oleh manusia. Kondisi ini semakin lama akan sangat mengkhawatirkan dan apabila keadaan ini tidak segera ditanggulangi akan mengakibatkan perubahan terhadap ekosistem terumbu karang dan kehidupan biota laut lainnya. Kelestarian terumbu karang sepenuhnya ditentukan oleh kepedulian manusia untuk mengelolanya dengan tetap menjamin keberlanjutannya. Salah satu cara menyelamatkan sumberdaya terumbu karang adalah dengan pembentukan kawasan konservasi laut. Pengelolaan kawasan konservasi laut diharapkan dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dalam menjaga ekosistem terumbu karang. Untuk menilai pengelolaan kawasan konservasi laut dapat dilihat dari faktor ekosistem dan masyarakat, namun dalam penelitian ini akan dianalisis faktor ekosistem yang ada di kawasan konservasi laut terutama terumbu karang dan ikan karang (Chaetodontidae). Ikan karang merupakan taksa terbesar dari hewan-hewan vertebrata yang berasosiasi dengan terumbu karang. Salah satu diantara banyak famili ikan

21 21 5 penting dari ordo Perciformes di terumbu karang adalah ikan Chaetodontidae. Ikan Chaetodontidae tergolong ikan yang penting dalam berasosiasi dengan terumbu karang. Banyak jenisnya yang memiliki ketergantungan hidup terutama dalam hal makanan utama terhadap karang (Bouchon-Navaro 1986) dan kelimpahan Chaetodontidae berhubungan juga dengan sumber makanan tersebut (Robert et al. 1992). Hal ini juga yang menyebabkan ikan Chaetodontidae disarankan untuk dipergunakan sebagai indikator utama dalam melakukan penelitian terhadap kondisi karang (Hourigan 1989). Interaksi antara ikan Chaetodontidae sebagai penghuni perairan karang dengan terumbu karang dapat dijadikan referensi bagi kondisi yang terjadi di terumbu karang dan faktor pendukung lainnya. Dalam analisis ikan Chaetodontidae sebagai indikator kondisi terumbu karang dibahas juga tentang keanekaragaman, keseragaman, dominansi jenis, analisa isi perut dan kehadiran serta kesukaan ikan terhadap karang tertentu. Hasil ini diharapkan dapat berguna sebagai data dalam pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Atas dasar pemikiran tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam rangka mencari rekomendasi yang tepat dalam mendukung pengelolaan terumbu karang dan ikan karang di perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton. Selengkapnya kerangka pemikiran penelitian digambarkan pada Gambar 1 berikut ini.

22 22 6 Tekanan alami Ekosistem terumbu karang Perubahan kondisi ekosistem terumbu karang Kegiatan manusia Ikan karang Terumbu karang Kualitas perairan Interaksi ikan dan karang Jenis dan kelimpahan ikan Chaetodontidae pemakan karang Kondisi terumbu karang Analisis karang dan ikan: Persentase penutupan karang Indeks mortalitas karang Isi perut ikan Keanekaragaman ikan Keseragaman ikan Dominansi ikan Hubungan kondisi terumbu karang dan ikan Chaetodontidae Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Rekomendasi bagi pengelolaan karang

23 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adanya keanekaragaman terumbu karang dan ikan karang di kawasan konservasi laut daerah. Hipotesis kedua adalah kelimpahan ikan Chaetodontidae berhubungan dengan persentase tutupan karang keras. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : (a) Mengetahui kondisi terumbu karang dan kelimpahan ikan Chaetodontidae di kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi. (b) Mengetahui hubungan antara kelimpahan ikan Chaetodontidae terhadap persentase penutupan karang keras. (c) Merekomendasikan pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi. (a) (b) Manfaat dari penelitian ini adalah: Memberikan tambahan informasi mengenai keterkaitan ikan Chaetodontidae dengan terumbu karang. Dapat menjadi dasar dalam pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi.

24 24 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut merupakan: (a) tempat tumbuh biota laut (tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut), dan menjadi sumber protein bagi masyarakat pesisir; (b) plasma nutfah; (c) sumber bahan baku berbagai bangunan, perhiasan dan penghias rumah; dan (d) objek wisata bahari. Selain itu, ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan gelombang sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan dan pelabuhanpelabuhan kecil (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan keanekaragaman jenis biota laut seperti (a) beraneka ragam avertebrata: terutama karang batu (stony coral), berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan serta ekinodermata seperti bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut dan lili laut; (b) beraneka ragam ikan: terutama 50 70% ikan karnivora, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; (c) reptil seperti ular laut dan penyu laut; dan (d) ganggang dan rumput laut seperti alga koralin, alga hijau berkapur dan lamun (Dahuri et al. 2001). Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh aktifitas hewan karang (Filum Cnidaria, Klas Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Struktur bangunan batuan kapur (CaCO 3 ) cukup kuat, sehingga koloni karang mampu menahan gelombang air laut, sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian koral adalah algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Thamrin 2006). Secara umumnya karang hidup berkoloni sehingga dapat membentuk terumbu, namun tidak semua karang dapat menghasilkan terumbu. Karang dibagi menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan ahermatipik. Karang ahermatipik adalah karang yang tidak dapat menghasilkan terumbu dan jenis

25 25 9 karang ini tersebar di seluruh dunia, sebaliknya karang hermatipik merupakan karang yang dapat menghasilkan terumbu dimana jenis karang ini hanya ditemukan di wilayah yang beriklim tropis. Perbedaan yang mencolok antara kedua jenis karang ini terdapat pada jaringan tubuhnya, jaringan karang hermatipik mempunyai sel-sel tumbuhan yang dapat bersimbiosis dengan zooxanthellae sedangkan ahermatipik kebanyakan bersifat karnivora sehingga tidak ditemukan zooxanthellae (Nybakken 1993). Zooxanthellae merupakan tumbuhan bersel satu (unicelluler) yang termasuk kedalam jenis dinoflagellata dan berada pada individu karang (polip). Polip karang berbentuk tabung, mempunyai tentakel untuk menangkap mangsa, terdiri dari dua lapisan tubuh yaitu lapisan epidermis dan lapisan gastrodermis yang dipisahkan oleh mesoglea. Dalam lapisan gastrodermis inilah terletak zooxanthellae yang dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis kemudian disekresikan sebagian kedalam usus polip sebagai makanan. Zooxanthellae karang menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbon dioksida, fosfat dan nitrogen yang sangat berguna dalam proses fotosintesis dan pertumbuhannya (Nontji 1993). Aktifitas zooxanthellae sangat membutuhkan cahaya matahari sehingga terumbu karang umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Disamping itu untuk hidupnya karang membutuhkan suhu air yang hangat dengan suhu optimum berkisar antara o C (Supriharyono 2000). Menurut Nybakken (1993), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah: (a) Kedalaman Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0 25 meter dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara meter. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua atau pulau. (b) Suhu (Temperatur) Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23 o C 25 o C. Tidak ada terumbu karang yang dapat

26 10 26 berkembang pada suhu di bawah 18 o C. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36 o C 40 o C. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang. (c) Cahaya Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15 20% dari intensitas di permukaan. (d) Salinitas Karang tidak dapat bertahan pada salinitas diluar / 00. Namun di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidup pada salinitas 42 0 / 00. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas lebih rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairan yang didalam tubuhnya akan keluar. (e) Pengendapan Pengendapan yang terjadi di dalam air atau di atas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan dapat mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang. Menurut Nybakken (1993) tipe pertumbuhan karang dan karakteristik masing-masing genera dari terumbu karang adalah: (a) Tipe bercabang (branching) Karang ini memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya. (b) Tipe padat (massive) Karang ini berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari karang tersebut mati, karang ini akan berkembang menjadi tonjolan, sedangkan bila

27 11 27 (c) (d) (e) (f) berada didaerah dangkal bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan terumbu adalah halus dan padat. Tipe kerak (encrusting) Karang seperti ini tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu. Karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubang-lubang kecil. Tipe meja (tabulate) Karang ini berbentuk menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. Tipe daun (foliose) Karang ini tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar. Tipe jamur (mushroom) Karang ini berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. Menurut bentuk dan letaknya, pertumbuhan ekosistem terumbu karang dikelompokkan menjadi tiga tipe terumbu karang (Nybakken 1993) yaitu: (a) Terumbu karang pantai (fringing reefs) Terumbu karang ini berkembang di pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu karang ini tumbuh keatas dan kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat di bagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan dan banyaknya endapan yang datang dari darat. (b) Terumbu karang penghalang (barrier reefs) Terumbu karang ini terletak agak jauh dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 meter). Terumbu karang ini berakar pada kedalaman yang melebihi kedalaman maksimum dimana karang batu pembentuk terumbu dapat hidup. Umumnya terumbu tipe ini memanjang menyusuri pantai dan biasanya

28 12 28 (c) berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Terumbu karang cincin (atoll) Terumbu karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari suatu goba (Lagon). Menurut Sukarno et al. (1983) kedalaman rata-rata goba didalam atol sekitar 45 meter, jarang sampai 100 meter. Terumbu karang ini juga bertumpu pada dasar laut yang dalamnya diluar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang hidup. Berdasarkan pada tipe ekosistem terumbu karang diatas ditemukan tiga macam bentuk permukaan dasar yaitu: (a) Bentuk permukaan dasar mendatar di tempat dangkal, yaitu daerah rataan terumbu (reef flat). (b) Bentuk permukaan dasar yang miring ke arah tempat yang lebih dalam dan landai atau curam, yaitu lereng terumbu (reef slope). (c) Bentuk permukaan dasar yang mendatar di tempat yang dalam, yaitu goba (lagoon floor) atau teras dasar (submarine terrace). Aktifitas pembangunan di wilayah pesisir seperti pertanian, industri, pengerukan pantai, penangkapan ikan (bahan peledak dan sianida), tumpahan minyak dan didukung dengan peristiwa alam seperti badai, gempa bumi, kenaikan suhu (El Nino) dapat mengganggu ekosistem terumbu karang. Fenomena El Nino dapat mengakibatkan terumbu karang menjadi mati akibat proses bleaching. Di samping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang mempunyai andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (Echinometra mathaei, Diadema setosum, dan Tripneustes gratilla), dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua (Scarrus spp.), kepe-kepe (Chaetodon spp.) dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang (Supriharyono 2000).

29 Ikan Karang Ikan-ikan yang terdapat di terumbu karang memiliki variasi bentuk, ukuran, warna, perilaku dan ekologi dari ikan karang memperlihatkan keunikannya. Ukuran tubuh ikan karang dari jenis Gobidae yang hanya 1 cm panjangnya sampai ikan hiu Carcharhinidae yang dapat mencapai panjang 9 m bisa terdapat di terumbu karang (Kuiter & Tonozuka 2001). Keberadaan ikan karang di sekitar terumbu karang tergantung dari kondisi terumbu karang itu sendiri. Persentasi tutupan karang hidup yang tinggi tentunya akan berdampak pada kelimpahan ikan-ikan karang. Sebaliknya, bila presentasi tutupan karang buruk tentunya kelimpahan ikan karang akan sangat berkurang. Habitat ikan di daerah tropis mempunyai jumlah spesies yang lebih banyak daripada di daerah subtropis dan yang paling banyak jumlah ikannya adalah spesies ikan karang yang diduga ada sebanyak spesies (Allen et al. 1998). Sedangkan menurut Hixon (2009) dari data yang tercatat bahwa 30% dari spesies ikan laut mendiami terumbu karang dan ratusan spesies dapat hidup berdampingan di terumbu karang yang sama. Perairan Indonesia sendiri terdapat sekitar jenis yang termasuk dalam 17 ordo dan 100 famili (Kuiter & Tonozuka 2001). Kebanyakan famili ikan yang berada di laut tropis sebagian besar hidup dan hanya dapat ditemukan di daerah terumbu karang. Famili Chaetodontidae, Scaridae dan Labridae merupakan famili ikan yang hidup di daerah terumbu. Sedangkan famili Acanthuridae, Holocentridae, Balistidae, Ostraciodontidae, Pomacentridae, Serranidae, Blennidae dan Muraenidae merupakan komponen famili ikan demersal dan termasuk kedalam jenis ikan pemakan benthos (epibentis). Beberapa famili ikan yang hidup di daerah pelagis (epipelagis) dan mempunyai hubungan erat dengan terumbu karang adalah ikan genus Sphyrena dan famili Carangidae. Ikan-ikan karang tersebut rata-rata memiliki warna yang cerah dan mempunyai ciri khusus yang dapat membantu kita dalam mengidentifikasi species ikan tersebut. Selain itu, warna dan ciri tersebut dapat berfungsi untuk melindungi diri dari predator yang selalu mencari kesempatan untuk memakannya. Kelompok ikan karnivor di daerah terumbu karang sekitar 50-70% dan hampir meliputi jenis ikan di daerah terumbu karang sedangkan kelompok ikan

30 14 30 pemakan karang dan herbivor sekitar 15%. Ikan-ikan dari kelompok ini sangat tergantung kepada kondisi terumbu karang untuk mengembangkan populasinya. Kelompok planktivor dan omnivor hanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (Choat & Bellwood 1991). Sedangkan menurut Adrim (1993) kelompok ikan karang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (a) Kelompok ikan target, yaitu ikan karang yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti ikan Famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae. (b) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae. (c) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae. Menurut Longhurst dan Pauly (1987) ikan karang dibedakan kedalam dua kategori, yaitu ikan nocturnal dan ikan diurnal. Ikan diurnal merupakan ikan yang sering muncul pada siang hari dimana ikan-ikan tersebut memiliki bentuk tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan nocturnal yang sering muncul pada malam hari. Ikan diurnal memiliki warna yang lebih terang dibandingkan dengan ikan nocturnal. Namun ikan nocturnal biasanya hidup soliter. Ikan karang nocturnal biasanya tidak memiliki warna yang mencolok dan mempunyai mata yang besar (squirrelfishes dan Holocentridae). Ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat hewan dan tumbuhan terutama ikan karang yang memiliki densitas terbesar. Struktur komunitas ikan karang didominasi oleh ikan dari famili Labridae dan Pomacentridae. Menurut Nybakken (1993) bahwa pada siang hari di daerah reef flat ditemukan 336 spesies yang termasuk kedalam 45 famili dengan jumlah ikan karang yang paling dominan adalah famili Pomacentridae kemudian Labridae. Umumnya setiap spesies ikan mempunyai kesukaan habitat tertentu (Hutomo 1993). Terumbu karang sendiri tidak hanya terdiri dari dari karang saja,

31 15 31 tetapi juga daerah berpasir, teluk dan celah, daerah alga dan juga perairan dangkal dan dalam serta zona-zona berbeda yang melintasi karang. Habitat yang beranekaragam ini dapat menerangkan peningkatan jumlah ikan-ikan tersebut (Nybakken 1993). Distribusi spasial ikan karang berhubungan dengan karakteristik habitat dan interaksi diantara ikan-ikan itu sendiri, baik yang bersifat hubungan antar spesies (interspesies) maupun hubungan antara individu dengan spesies tertentu (intraspesies). Diversitas dan densitas ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang. Ikan-ikan tersebut memiliki relung ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya dapat bergerak dalam area tertentu. Sebagai akibat dari keadaan ini, ikanikan terbatas pada area tertentu pada terumbu karang. Selain itu juga diantara ikan-ikan ada yang dapat bermigrasi dan bahkan beberapa spesies menetap tanpa berpindah tempat untuk melindungi wilayahnya (Nybakken 1993). Sebaran secara geografis dari ikan karang mengikuti terumbu pembentuk karangnya, biasanya terbatas di perairan tropis yang dangkal dengan suhu 20 o C isotherm (atau kira-kira antara garis lintang 30 o utara dan selatan). Pusat keanekaragaman ikan karang terdapat di kepulauan Indo-Australia, wilayah Indo- Pasifik (Hixon 2009). Berdasarkan Adrim dan Allen (2003) bahwa di perairan Indonesia didapatkan kelimpahan dari beberapa famili ikan karang yaitu Gobiidae (272 spesies), Labridae (178), Pomacentridae (152), Apogonidae (114), Blenniidae (107), Serranidae (102), Muraenidae (61), Syngnathidae (61), Chaetodontidae (59), dan Lutjanidae (43). Sepuluh famili ikan karang ini menyumbang sekitar 56% dari total ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang 2.3 Ikan Chaetodontidae Ikan Chaetodontidae merupakan salah satu jenis ikan karang yang kecil, mempunyai tubuh yang ramping dan berwarna-warni. Ikan ini kebanyakan mencari makan disiang hari dan memakan polip karang dan hewan invertebrata lainnya (Findley & Findley 2001). Ikan Chaetodontidae ini mudah untuk dikenali dan dijumpai di terumbu karang pada perairan dangkal tropis pada kedalaman kurang dari 60 feet (18 m). Sehingga ikan ini banyak diteliti untuk mengetahui

32 16 32 pola distribusinya, kebiasaan makan, batasan habitat dan keterkaitannya dengan terumbu karang Distribusi dan Kelimpahan Ikan Chaetodontidae Ikan Chaetodontidae merupakan bagian yang sangat penting dari keberadaan jenis-jenis ikan karang di perairan tropis dan subtropik, terutama akan keeratan hubungan dengan terumbu karang. Secara umum di dunia terdapat sekitar 116 species Chaetodontidae dalam 10 genus dan keanekaragaman terbanyak terdapat di Indo-Pasifik terutama di wilayah Asia Tenggara (Allen et al in Zekerie 2003). Sementara itu penelitian ekologi dan biologi ikan Chaetodontidae banyak pula dilakukan di Indo-Pasifik (Ohman et al. 1998), Laut Merah (Zekerie 2003; Alwany et al. 2007), dan Kepulauan Karibia (Collin 1989). Sangat sedikit penelitian yang dilakukan di Samudera Hindia bagian barat (Righton et al. 1996). Berdasarkan pusat data base Fishbase (Froese & Pauly 2004) mencatat bahwa Mozambik mempunyai keanekaragaman ikan Chaetodontidae yang tertinggi. Menurut Pereira dan Videira (2005) terdapat 24 species ikan Chaetodontidae yang tercatat di perairan Mozambik, namun yang teridentifikasi hanya 19 species dari empat genus ikan Chaetodontidae. Keanekaragaman dan distribusi dari ikan Chaetodontidae di terumbu karang secara umum ditentukan oleh proses pembentukan terumbu karang terutama di daerah tropis dan berdasarkan kondisi tutupan karangnya. Area dengan tutupan karang yang tinggi sangat mungkin dihuni oleh lebih banyak ikan Chaetodontidae dibandingkan dengan area yang tutupan karangnya kurang (Harmelin-Vivien & Bouchon-Navaro 1983). Akan tetapi kelimpahan beberapa spesies Chantodontid sangat mungkin berhubungan dengan distribusi dari jenis karang tertentu dan tidak berhubungan dengan total tutupan karang. Sebagai contoh di bagian timur Indo Pasifik kelimpahan Chaetodon trifascialis berhubungan dengan Acropora. Ikan ini secara spesifik memakan Acropora (Robert et al. 1992) Kebiasaan Makan, Wilayah dan Perilaku Ikan Chaetodontidae Ikan Chaetodontidae biasanya terdapat di dekat substrat dan mempunyai kebiasaan makan pada siang hari. Menurut Robert et al. (1992) terdapat lima kategori kebiasaan makan dari ikan Chaetodontidae yaitu: (a) Pemakan karang

33 17 33 obligate; (b) pemakan invertebrata sessil dan menetap (termasuk juga beberapa polip karang); (c) pemakan invertebrata bentik; (d) generalist omnivores termasuk alga; dan (e) pemakan plankton (terutama zooplankton). Mayoritas ikan Chaetodontidae termasuk jenis pemakan karang obligat dan pemakan invertebrata sessil dan menetap (Harmelin-Vivian & Bouchon-Navaro 1983). Hanya beberapa jenis Chaetodontidae yang memakan invertebrata bentik atau zooplankton. Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe-kepe ke dalam famili Chaetodontidae berdasarkan desain giginya yang mirip sisir. Bentuk tubuh ikan dari famili Chaetodontidae memiliki mulut lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil dan tajam yang berguna untuk mematok polip karang dan mencari makan di celah-celah karang. Jenis-jenis dan tipe makanan ikan Chaetodontidae dapat dilihat pada Tabel 1. Kebiasaan makan ikan Chaetodontidae tersebar berdasarkan kondisi geografik. Di Great Barrier Reef, Australia sekitar 80% dari ikan Chaetodontidae merupakan pemakan karang dan kebisaan makan ini lebih banyak dilakukan pada selama siang hari (Gregson et al. 2008). Di Samudera Hindia bagian barat proporsi kategori pemakan karang sekitar 72%. Sedangkan di perairan Jepang hanya terdapat 31% dari 32 spesies ikan Chaetodontidae yang termasuk jenis pemakan karang, kebanyakan jenis ikan Chaetodontidae termasuk jenis pemakan zooplankton dan alga (Sano 1989). Ikan Chaetodontidae termasuk jenis ikan yang cenderung soliter, dapat berpasangan, atau terdapat dalam kumpulan kecil (Allen et al in Zekerie 2003). Sumber makanan tampaknya menjadi faktor yang menentukan terhadap kebiasaan perilaku dan sistem perkawinan dari ikan Chaetodontidae. Jenis pemakan karang sebagian besar hidup berpasangan sedangkan ikan Chaetodontidae jenis pemakan plankton biasanya hidup bergerombol (Hourigan 1989).

34 18 34 Tabel 1 Beberapa jenis ikan Chaetodontidae dan tipe kebiasaan makannya (Yusuf 2006; Fishbase 2009) No. Nama Ikan Kebiasaan Makan 1. Chaetodon collare obligate corallivores 2. C. octofasciatus obligate corallivores 3. C. baronessa obligate corallivores 4. C. andamanensis obligate corallivores 5. C. bennetti obligate corallivores 6. C. citrinellus obligate corallivores 7. C. collare obligate corallivores 8. C. striatus obligate corallivores 9. C. ephippium obligate corallivores 10. C. paucifasciatus obligate corallivores 11. C. plebeius obligate corallivores 12. C. trifascialis obligate corallivores 13. C. trifasciatus obligate corallivores 14. C. triangulum obligate corallivores 15. C. aureofasciatus obligate corallivores 16. C. austriacus obligate corallivores 17. C. multicinctus obligate corallivores 18. C. octofasciatus obligate corallivores 19. C. ornatissimus obligate corallivores 20 C. punctatofasciatus obligate corallivores 21. Heniochus singularis obligate corallivores 22. C. refflesi facultative corallivores 23. C. melannotus facultative corallivores 24. C. decussates facultative corallivores 25. C. auriga facultative corallivores 26. C. lineolatus facultative corallivores 27. C. klenii facultative corallivores 28. C. lunulatus facultative corallivores 29. C. reticulates facultative corallivores 30. C. vagabundus facultative corallivores 31. Chelmon rostratum facultative corallivores 32. Coradion altivelis facultative corallivores 33. Coradion chrysozonus facultative corallivores 34. Heniochus acuminiatus facultative corallivores 35. H. plurotaenia facultative corallivores Karakteristik Daur Hidup Ikan Chaetodontidae Ikan Chaetodontidae merupakan jenis ikan yang bertelur, melepaskan telur pada kolom air, mengalami pembuahan di air dan tersebar oleh arus. Ikan Chaetodontidae betina dapat bertelur mencapai ratusan hingga ribuan dalam satu waktu. Waktu bertelur dapat terjadi setiap dua hari atau dua kali per bulan.

35 19 35 Biasanya waktu bertelur tergantung masa bertelur dan musim bertelurnya sekitar empat bulan (Thresher 1984). Masa menetas embrio sekitar 30 hari setelah bertelur (Suzuki et al. 1980) dan larva menghabiskan waktu sekitar 40 hari sebagai plankton sebelum bermetamorfosis dan menetap pada karang (Hourigan 1989). Karakteristik daur hidup sebagai telur pelagik dan larvae menunjukkan ketiadaan dari induk Chaetodontidae dalam perawatannya. Keuntungan dari tipe daur hidup ini memungkinkan luasnya sebaran telur dan larva ikan Chaetodontidae, meskipun tingkat kematian dari masa telur dan larva yang cukup tinggi. Kematian telur dan larva yang tinggi ini dapat diimbangi oleh tingginya fekunditas ikan Chaetodontidae betina. Ikan Chaetodontidae dapat mencapai 70-75% dari ukuran maksimumnya dan mencapai usia matang dalam waktu satu tahun. Pemangsaan terhadap ikan Chaetodontidae hanya terjadi pada ikan yang muda tetapi tekanan pemangsaan dari predator relative rendah terhadap ikan Chaetodontidae dewasa. Bentuk tubuh yang pipih pada ikan dewasa dan duri yang tajam pada bagian dorsal dan sirip ekor menghindari ikan Chaetodontidae dari pemangsaan predator (Zekerie 2003). Berdasarkan pengamatan Allen et al. (1998) terhadap ikan Chaetodontidae di akuarium bahwa usia hidupnya dapat mencapai 25 tahun, usia ikan Chaetodontidae yang tercatat di habitat alami dapat lebih rendah. Sebagai contoh, sepasang C. paucifasciatus yang terdapat di utara Laut Merah dapat hidup hingga kurang lebih enam tahun (Zekerie 2003). 2.4 Hubungan Ikan Karang dengan Terumbu Karang Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup di tepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan. Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan kelompok ikan. Oleh karena itu, interaksi intra dan inter spesies berperan penting dalam penentuan penguasaan ruang (spacing) sehingga banyak ikan yang menempati ruang tertentu. Tiap kelompok ikan

36 20 36 masing-masing mempunyai habitat yang berbeda, tetapi banyak spesies mempunyai habitat yang lebih dari satu. Pada umumnya setiap spesies mempunyai kesukaan dan referensi terhadap habitat tertentu (Hutomo 1993). Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan recruit secara langsung dalam terumbu karang. Ikan-ikan ini terdiri dari Scarids, Acanthurids, Sigarids, Chaetodontids, Pomacantids dan banyak spesies Labrids dan Pomacentrids. Anggota dari populasi ini tidak terlalu berasosiasi dengan karang tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan struktur dan keadaan biotik karang. Keberadaan ikan karang dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas air sebagai habitatnya (Nybakken 1993). Interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang sebagai habitat telah dipelajari oleh Choat dan Bellwood (1991) yang membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang dan menyimpulkan tiga bentuk umum hubungan, yaitu: (a) Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda. (b) Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga. (c) Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen. Karang glomerate (jenis Porites sp.) pada umumnya tidak memiliki celah yang dalam. Di daerah tersebut banyak terdapat ikan pemakan polip seperti ikan pakol (Balistidae) dan ikan Chaetodontidae. Karang bercabang (Acropora sp.) merupakan tempat berlindung bagi ikan kecil (seperti ikan gobi dan ikan betok laut) yang berenang keluar mencari zooplankton sebagai makanannya dan segera kembali lagi ke terumbu (Nybakken 1993). Kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan di wilayah terumbu karang memperlihatkan hubungan yang positif dengan penutupan karang hidup (Adrim & Hutomo 1989). Satmanatran (1992) mengemukakan kekayaan jenis ikan berkolerasi tidak nyata dengan berbagai komponen-komponen penutupan karang (Acropora, Non-Acropora, total karang hidup dan total karang mati) sedangkan

37 21 37 kelimpahan individu berkolerasi sangat nyata dengan komponen Non-Acropora dan total karang hidup. Interaksi ikan karang lainnya yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993) adalah: (a) Pemangsaan, dimana ada dua kelompok ikan yang secara aktif memakan koloni-koloni karang, yaitu spesies memakan polip-polip karang mereka sendiri, seperti ikan buntal (Tetraodontidae), ikan kuli pasir (Monacanthidae), ikan pakol (Balistidae) dan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) dan sekelompok multivora (omnivora) yang memindahkan polip karang untuk mendapatkan baik alga di dalam kerangka karang atau sebagai invertebrata yang hidup dalam lubung kerangka (Acanthuridae dan Scaridae). (b) Grazing, dilakukan oleh ikan-ikan famili Siganidae, Pomacentridae, Acanthuridae dan Scaridae yang merupakan herbivora grazer pemakan alga sehingga pertumbuhan alga yang bersaing ruang hidup dengan karang dapat terkendali. Tipe pemangsaan yang paling banyak di terumbu karang adalah karnivora, yakni ± % dari spesies ikan. Ikan herbivora dan pemakan karang merupakan kelompok besar kedua yaitu ± 15 % dari spesies yang ada dan yang paling penting dari kelompok ini adalah famili Scaridae dan Acanthuridae. Sisanya diklafisikasikan sebagai omnivora atau multivora yaitu ikan-ikan dari famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Pomachantidae, Monacanthidae Ostaciontidae dan Tetraodontidae. Ikan-ikan pemakan zooplankton memiliki ukuran tubuh yang kecil, yaitu ikan dari famili Clupidae dan Atherinidae (Nybakken 1993). 2.5 Ikan Chaetodontidae sebagai Bioindikator Reese (1991) merupakan peneliti pertama yang melakukan percobaan untuk mengidentifikasi spesies indikator dengan memakai ikan butterfly fishes (Chaetodontidae) jenis pemakan karang untuk penilaian kondisi terumbu karang. Ikan Chaetodontidae memungkinkan untuk dijadikan sebagai bioindikator karena hubungannya yang erat dengan karang yang mereka makan dan fungsi

38 22 38 morphology dari organ-organ tubuh ikan ini yang memungkinkan memakan jaringan karang tanpa merusak susunan dasar koral (Crosby & Reese 1996). Ikan Chaetodontidae dapat dijadikan sebagai bioindikator bagi karang berdasarkan kriteria yaitu: (a) salah satu dari jenis ikan karang yang keberadaannya sangat banyak di terumbu karang dan terdapat di beberapa bagian dunia; (b) mudah untuk dikenali dan diamati karena aktifitasnya yang bersifat diurnal; (c) secara taksonomi sangat mudah dipelajari dan diidentifikasi oleh orang yang tidak berpengalaman; (d) memiliki wilayah sebaran yang luas dan dapat mencapai usia yang panjang sehingga individu yang sama dapat diteliti berulang-ulang (Hourigan 1989). Ikan Chaetodontidae sebagai indikator juga menunjukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu ikan Chaetodontidae sangat territorial sehingga akan sangat mudah memantaunya secara periodik. Untuk teritori dari ikan Chaetodontidae ditentukan oleh jumlah makanan karang yang tersedia. Jika ketersediaan makanan karang sedikit di suatu area terumbu karang, maka ikan ini akan memperluas daerah teritorinya (Crosby & Reese 1996). Perubahan tingkah laku sosial tersebut menyediakan indikasi dini yang sensitif bahwa terjadi ketidakstabilan dan perubahan di dalam ekosistem terumbu karang. 2.6 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang menyediakan sumber makanan tidak hanya kepada organisme yang berada disekitarnya, namun merupakan sumber vital bagi ketersedian makanan bagi ratusan juta manusia di dunia. Terumbu karang merupakan sumber utama bagi mata pencaharian penduduk pesisir dan pantas menerima perhatian dari seluruh dunia. Terumbu karang menutupi hampir kurang lebih 1% dari wilayah lautan, terumbu karang juga merupakan tempat hidup bagi hampir sepertiga spesies ikan laut di dunia, menyediakan sekitar 10% dari total konsumsi ikan oleh manusia, disamping itu bahwa terumbu karang menjadi fokus utama dari industri pariwisata (Rinkevich 2008). Ketika perusakan berlangsung, maka terumbu karang akan kehilangan fungsi ekologi dan biologinya. Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang akibat dari alam dan kegiatan manusia, maka diperlukan

39 23 39 pengelolaan ekosistem terumbu karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan oleh manusia, agar kerusakan oleh alam dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan ikan karang yang berasosiasi di dalamnya dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kelestarian lingkungan (Rinkevich 2008). Berdasarkan UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa perikanan merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan (potensi semua jenis ikan) dan lingkungannya (perairan tempat hidup ikan, termasuk faktor alamiah sekitarnya), maka pemanfaatan sumberdaya perikanan oleh manusia harus memperhatikan adanya interaksi antara ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai pengguna. Dengan adanya interaksi tersebut diperlukan sebuah pengelolaan agar dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna perairan (Nikijuluw 2002). Menurut Bengen (2005) bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa pengelolaan dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan. Sedang keberlanjutan ekonomi berarti bahwa kegitan pengelolaan dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Mengingat begitu besarnya peranan terumbu karang bagi manusia dan untuk mencegah kerusakannya, maka pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak lepas dari beberapa aspek sebagai berikut (Supriharyono 2000) :

40 24 40 (a) (b) (c) (d) Pertimbangan fisik, pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi area/ lokasi, kondisi geologis, tipe arus pasang surut utama di daerah tersebut dan gambaran awal lokasi Pertimbangan biologis, meliputi kondisi biota (penyebaran, kelimpahan, komposisi); perubahan, indikator kerusakan, indikator pemanfaatan dan eksploitasi; pertimbangan khusus pada lokasi pembesaran atau pemijahan spesies langka yang endemik dan ekonomis. Pertimbangan sosio-ekonomis, meliputi pemanfaatan ekosistem terumbu karang; konflik faktual dan potensial yang akan terjadi diantara pemanfaat. Pertimbangan budaya, meliputi asal usul pemanfaat ekosistem terumbu karang secara tradisional; tradisi pemanfaatan; perubahan konsep pemanfaatan secara tradisional ke modern. 2.7 Kawasan Konservasi Laut Daerah Salah satu bentuk kepedulian masyarakat pesisir dalam melestarikan ekosistem terumbu karang adalah dengan menjadikan suatu kawasan perairan menjadi suatu kawasan konservasi dalam bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah. Melalui otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, daerah diberi kewenangan dalam pengelolaan pesisir dan laut. Pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam memilih dan menentukan cara yanng lebih baik dalam mengelola potensi sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dan kapasitas yang dimilikinya. Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) merupakan suatu alternatif pengelolaan kawasan konservasi yang terdesentralisasi dalam usaha mengatasi permasalahan degradasi lingkungan yang terjadi di daerah. Menurut Tulungen et al. (2002) fungsi dari kawasan konservasi adalah untuk: (a) meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan disekitar kawasan konservasi; (b) menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan organisme lainnya; (c) dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah tujuan wisata; dan (d) meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat setempat.

41 25 41 Penetapan lokasi dan ukuran ideal suatu kawasan konservasi laut daerah merupakan gabungan antara prinsip-prinsip ekologis dan pertimbangan efektifitas pengelolaan ditingkat lokal. Berdasarkan Pedoman Umum Pembentukan Daerah Perlindungan Laut COREMAP (2004), zona perlindungan yang terdapat di Daerah Perlindungan Laut terdiri dari 3 (tiga) zona sebagai berikut: (a) Zona inti Merupakan kawasan yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya. Kunci utamanya adalah adanya suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti yaitu zona larang ambil permanen. Zona inti penekanan pengelolaannya dikonsentrasikan pada upaya perlindungan. Kegiatan yang boleh dilakukan terbatas dan hanya mengarah pada kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. (b) Zona penyangga Zona ini berada di luar kawasan konsevasi yang berfungsi untuk menyangga keberadaan jenis biota laut beserta ekosistem yang terdapat didalamnya terhadap adanya gangguan dari luar yang dapat membahayakan keberadaan potensinya. Selain fungsi pengamanan juga berfungsi sebagai kawasan pengembangan budidaya maupun pelaksanaan pembangunan dalam bentuk pengembangan pemanfaatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang berada di sekitarnya. (c) Zona pemanfaatan tradisional Zona ini berada di luar zona penyangga yang dialokasikan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional oleh masyarakat setempat dalam upaya mendukung pembangunan sosial, ekonominya. Disamping pemanfaatan secara tradisional, zona ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sarana prasarana rekreasi dan pariwisata secara lestari.

42 42 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Pemilihan lokasi berdasarkan pertimbangan bahwa perairan tersebut telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah dan memiliki ekosistem terumbu karang dan ikan karang berdasarkan data baseline study CRITC-LIPI tahun Stasiun pengambilan data dipilih untuk mewakili kondisi terumbu karang dan keberadaaan ikan Chaetodontidae. Stasiun pengambilan data ditetapkan pada 10 lokasi seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Posisi geografis stasiun pengamatan Stasiun Posisi geografis Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) ST ST ST ST ST ST ST ST ST ST Pengamatan isi perut untuk mengetahui jenis makanan yang dikonsumsi ikan Chaetodontidae dilakukan di Laboratorium Ekobiologi, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan dari bulan April - Juni Penelitian ini meliputi: (a) persiapan, survey dan penentuan lokasi stasiun penelitian; (b) pengumpulan data primer; (c) pengumpulan data sekunder; (d) analisis data dan penulisan laporan.

43 ' ' P. P. Kadatua Siompu ' 5 34' 5 36' 2 # # # # # 10 # # # # 6 # 7 P. Liwutongkidi ' 5 38' Peta Lokasi Penelitian Pulau Liwutongkidi Kab. Buton N ' P. Siompu Kadatua ' 5 38' Keterangan: # Stasiun Pengamatan Garis Pantai Daratan Rataan Terumbu Skala 1 : m Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

44 Bahan dan Alat Pengambilan data terumbu karang, ikan karang dan parameter fisik lingkungan diperlukan bahan-bahan dan peralatan pendukung agar mendapatkan hasil yang cukup optimal. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat selam Self Contain Underwater Breathing Aparatus (SCUBA), Global Positioning System (GPS), kapal motor, rollmeter 100 m, sabak dan pensil, kamera bawah air, buku identifikasi karang (Allen & Steene 2003; Suharsono 2004) dan buku identifikasi ikan (Allen 2004; Kuiter & Tonozuka 2001), deep gauge, secchi disc, thermometer, refraktometer dan floating drough. Dalam identifikasi jenis makanan dalam perut ikan digunakan botol dan bahan pengawet formalin. 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, dimana dilakukan pengamatan secara seksama pada objek pengamatan di lapangan. Adapun jenis data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Jenis data primer yang dikumpulkan yaitu: persentase tutupan karang, kelimpahan ikan Chaetodontidae, jenis makanan yang dikonsumsi ikan Chaetodontidae dan parameter lingkungan. Data sekunder dikumpulkan dengan penelusuran pustaka, jurnal, laporan penelitian dan data yang telah tersedia di instansi pemerintah. 3.4 Metode Pengumpulan Data Kondisi Terumbu Karang Untuk mendapatkan kondisi terumbu karang yang sesuai dengan kriteria Gomez dan Yap (1988), maka dilakukan pemantauan awal dengan menggunakan metode Manta Tow. Setelah stasiun dipastikan, maka kondisi terumbu karang diamati dengan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect Method) mengikuti English et al. (1997). Setiap lokasi diambil titik koordinatnya menggunakan GPS. Pengambilan data persen tutupan karang hidup dengan transek garis menyinggung adalah dengan membentangkan rollmeter sepanjang 70 meter. Rollmeter ini digunakan untuk membuat garis transek dengan ukuran panjang

45 29 45 transek 10 meter dengan tiga kali ulangan yang diletakkan pada kedalaman 10 meter dan sejajar garis pantai, posisi daratan/pulau berada di sebelah garis transek mengikuti English et al. (1997) dengan beberapa modifikasi dari COREMAP- LIPI (2006). Rollmeter yang sudah terpasang, kemudian ditentukan transek pertama dari titik 0-10 meter. Kemudian diberi interval/jarak 20 meter, transek kedua dimulai dari titik meter, dan seterusnya transek ketiga dari titik meter (Gambar 3). Koloni karang yang terletak di bawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang. Semua bentuk pertumbuhan, biota dan substrat yang berada di bawah garis transek dicatat dengan ketelitian mendekati sentimeter. Kategori persen tutupan karang hidup, karang mati dan substrat berdasarkan skema gambaran kategori persen tutupan karang pada Gambar 4. Penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang seperti disajikan dalam Tabel 3. I II III 0 m 10 m 30 m 40 m 60 m 70 m Gambar 3 Ilustrasi teknik pegumpulan data kondisi terumbu karang dengan menggunakan metode LIT. Kategori % Kategori % Kategori % Kategori % Kategori % Gambar 4 Kategori persentase tutupan karang (Dahl 1981 in English et al. 1997).

46 30 46 Tabel 3 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun komunitas karang berdasarkan lifeform karang dan kodenya (English et al. 1997) Kategori Kode Keterangan Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor Dead Coral with Alga DCA Karang mati yang masih tampak bentuknya, tapi sudah mulai ditumbuhi alga halus Branching ACB Bentuk bercabang seperti ranting pohon Encrusting Bentuk merayap, biasanya merupakan dasar dari bentuk ACE acropora belum dewasa Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji Acropora Digitate Bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari ACD tangan Tabulate Bentuk bercabang dengan arah mendatar, rata seperti ACT meja datar Branching CB Bentuk bercabang, seperti ranting pohon. Non-Acropora Encrusting Bentuk merayap, hamper seluruh bagian besar menempel CE pada substrat (mengerak). Foliose Karang terikat pada satu atau lebih titik, bentuk CF menyerupai lembaran daun, atau berupa piring. Massive CM Seperti batu besar atau gundukan yang padat. Submassive Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji dengan tonjolantonjolan atau kolom-kolom CS Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera seperti jamur Other Fauna Alga Abiotik Heliopora CHL Karang biru Millepora CML Karang api Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil Soft Coral SC Karang bertubuh lunak Sponge Bertubuh lunak, terlihat dalam berbagai bentuk seperti SP tabung, vas, pipih, membulat. Zoanthids Seperti anemon tetapi lebih kecil, biasanya hidup ZO sendiri/koloni seperti hewan kecil menempel pada substratum seperti platythoa Others OT Ascidians, anemon, gorgonian, kima dan lain-lain Alga assemblage AA Terdiri lebih dari satu jenis algae Coralline alga CA Dinding tubuh mengandung kapur Halimeda HA Alga dari genus Halimeda Macroalga MA Berbagai jenis alga, alga coklat, hijau, merah Turf alga TA Alga halus berspiral lebat Sand S Pasir Rubble R Patahan karang yang ukurannya kecil Silt SI Pasir berlumpur Water WA Celah dengan kedalaman lebih dari 50 cm Rock RCK Batu

47 Kondisi Ikan Famili Chaetodontidae Untuk mengetahui kelimpahan dan keanekaragaman ikan famili Chaetodontidae metode yang digunakan adalah metode sensus visual ikan karang (coral reef fish visual census) yang dikemukakan oleh English et al. (1997). Pemasangan garis transek ikan karang (70 meter) di lokasi yang sama dengan LIT. Tujuannya agar data ikan karang yang diperoleh dapat juga mendeskripsikan secara rinci daerah terumbu karang yang sedang diteliti. Kelimpahan ikan tiap spesies dihitung dalam batasan jarak 2,5 meter ke kiri dan 2,5 meter ke kanan (Gambar 5). Pembatasan jarak pandang berkaitan dengan kemampuan dan keterbatasan mata dalam mengidentifikasi ikan karang. Kegiatan sensus dimulai setelah periode normal (tenang) kurang lebih 15 menit setelah transek dipasang. Semua jenis ikan Chaetodontidae yang ada dicatat pada kertas atau lembaran data yang sudah disediakan. Pengambilan data ikan per masing-masing stasiun pengamatan dilakukan sebanyak satu kali dan dibantu dengan penggunaan foto bawah air untuk mempermudah dan menkonfirmasi identifikasi spesies. 2.5 m 0 m 70 m 2.5 m Gambar 5 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan metode sensus visual Identifikasi Makanan Untuk mengetahui jenis pemangsaan ikan Chaetodontidae terhadap karang, maka dilakukan analisa isi perut berupa jenis makanan yang dimangsa ikan Chaetodontidae. Kegiatan ini berupa penangkapan terhadap 32 ekor ikan Chaetodontidae dengan menggunakan jaring/panah di stasiun pengamatan. Ikan yang tertangkap terdiri dari 3 jenis yaitu (C. baronessa, C. kleinii dan C. lunulatus) yang mewakili jenis pemangsa karang obligat dan fakultatif, setelah tertangkap ikan segera dibedah perutnya untuk diambil usus dan diawetkan menggunakan formalin. Isi sampel dimasukkan kedalam botol untuk kemudian dianalisa di laboratorium menggunakan mikroskop.

48 Parameter Lingkungan Pengambilan data parameter lingkungan dilakukan secara in situ di lokasi penelitian. Metode/alat yang digunakan untuk mendapatkan data parameter lingkungan selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Metode dan peralatan untuk pengambilan data parameter lingkungan Parameter Unit Metode/Alat Keterangan Kedalaman m Deep Gauge in situ Kecerahan m Secchi disc in situ Suhu o C Thermometer in situ Salinitas ppt Refraktometer in situ Kecepatan Arus m/dt Floating drough in situ 3.5 Analisa Data Kondisi Terumbu Karang (a) Persentase Tutupan Persentase tutupan karang hidup dihitung menurut persamaan yang dikemukakan dalam English et al. (1997) : A % tutupan = x 100% B Keterangan : % tutupan = Persentase tutupan karang hidup A = Panjang total komponen karang hidup (cm) B = Panjang total transek garis (cm) Gomes dan Yap (1988) mengkategorikan kriteria persentase tutupan karang hidup sebagai berikut : 1. Kondisi sangat baik, persentase tutupan karang hidup : % 2. Kondisi baik, persentase tutupan karang hidup : 50 74,9 % 3. Kondisi cukup, persentase tutupan karang hidup : 25 49,9 % 4. Kondisi rusak, persentase tutupan karang hidup : 0 24,9 %.

49 33 49 (b) Indeks Mortalitas Karang Nilai Indeks Mortalitas karang didapatkan dari persentase tutupan karang mati dan patahan karang dibagi dengan persentase karang hidup (modifikasi dari Gomez & Yap 1998). MI A = A + B Keterangan : MI = Indeks Mortalitas Karang A = Persentase karang mati dan patahan karang (%) B = Persentase karang hidup (%) Ikan Chaetodontidae (a) Kelimpahan Kelimpahan ikan famili Chaetodontidae yang diperoleh melalui pendataan visual sensus sepanjang transek 70 m dan lebar 5 m (70 x 5 = 350 m 2 ) dihitung dengan rumus: ni N = A Keterangan : N = Kelimpahan ikan (individu/350 m 2 ) ni = Jumlah individu ikan jenis ke-i A = Luas area sensus ikan (350 m 2 ) (b) Indeks Keanekaragaman (H ) Indeks Keanekaragaman (H ) digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi melalui jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas (Odum 1994). Keanekaragaman jenis mengikuti Formula Shannon-Wiener (Odum 1994). Indeks keanekaragaman Shannon digunakan untuk mengukur keanekaragaman ikan di masing-masing stasiun penelitian. H ' = s i= 1 ni pi = N pi ln pi Keterangan : H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener pi = proporsi jumlah individu pada spesies ikan karang ni = jumlah spesies jenis ke-i N = jumlah spesies seluruh jenis ke-i

50 34 50 (c) Indeks Keseragaman (E) Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengukur keseimbangan komunitas. Hal ini didasarkan pada ukuran kesamaan jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Rumus Indeks Keseragaman (Pielou 1975 in Magurran 2004) adalah sebagai berikut: H ' E = H max Keterangan : E = Indeks Keseragaman H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Hmax = ln S S = Jumlah individu dalam spesies ke-i Keanekaragaman maksimum (Hmax) terjadi bila kelimpahan spesies di semua stasiun merata. Nilai Indeks Keseragaman berkisar antara 0-1, indeks yang mendekati 0 menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Hal ini dapat diartikan ada beberapa jenis ikan yang memiliki jumlah individu relatif banyak, sementara jenis lainnya memiliki jumlah yang relatif sedikit. Nilai Indeks Keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula kelimpahan ikan Chaetodontidae. Hal ini menunjukkan adanya penyebaran kelimpahan ikan setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu jenis mendominasi kelimpahan ikan Chaetodontidae di stasiun pengamatan. (d) Indeks Dominansi (C) Jika nilai H menurun, maka nilai E juga menurun, menandakan adanya dominansi suatu spesies terhadap spesies-spesies lainnya. Besarnya dominansi akan mengarahkan kondisi komunitas menjadi labil atau tertekan. Rumus yang dipergunakan untuk mengetahui indeks dominansi suatu spesies mengacu pada indeks dominansi modifikasi Simpson (Simpson 1949 in Magurran 2004). s C = ( ni / N ) i= 1 2 Keterangan : C = Indeks dominansi ni = Jumlah individu/koloni dari spesies Chaetodontidae ke-i N = Jumlah total individu untuk semua spesies

51 35 51 (e) Analisis makanan Untuk mengetahui jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan Chaetodontidae maka perlu dilakukan analisa makanan. Dengan mengetahui jenis dan jumlah makanan ikan, maka dapat disusun urutan kebiasaan makanan ikan. Urutan makanan tersebut adalah makanan utama (makanan yang dimanfaatkan dalam jumlah besar), makanan pelengkap (makanan yang ditemukan dalam pencernaan dalam jumlah sedikit), makanan tambahan (jenis makanan dalam jumlah sangat sedikit) dan makanan pengganti (makanan yang dikonsumsi jika makanan utama tidak ada). Cara identifikasi makanan yang dikonsumsi oleh ikan Chaetodontidae (Madduppa 2006) adalah sebagai berikut: 1. Ikan Chaetodon ditangkap di alam menggunakan jaring/panah untuk kemudian dilakukan pembedahan isi perut. 2. Dilakukan pengambilan usus dan diawetkan menggunakan formalin. 3. Sampel usus ikan dibersihkan dari bahan pengawet. 4. Isi usus dikerik kemudian usus dipisahkan dengan daging usus. 5. Isi usus diencerkan sekitar 20 ml. 6. Proses pengamatan di bawah mikroskop dengan mengambil satu tetes dari usus yang sudah diencerkan. 7. Pengamatan dilakukan dengan 3 x ulangan dengan lima strip lapang pandang. 8. Jenis makanan diidentifikasi dan jumlah organisme dicatat. Metode yang digunakan dalam analisis makanan adalah metode perkiraan dalam persen yaitu dengan mengambil sebagian makanan yang terdapat dalam isi perut ikan dan menaruh ke dalam cawan petri, kemudian diperiksa isi perut dengan mikroskop. Organisme yang tampak pada cawan petri diidentifikasi dan di catat kedalam persen. Pengamatan dilakukan pada lima sudut pandang dan kemudian dibuat rata-ratanya dan dinyatakan dalam persen. Metode ini baik untuk makanan ikan yang ukurannya agak besar atau kalau makanan ikan ini sudah menjadi potongan-potongan tetapi masih dapat dikenali misalnya bagian tubuh dari suatu organisme atau bagian dari tumbuhan. Sedangkan untuk makanan yang ukurannya kecil-kecil susah memperkirakannya (Effendie, 1979).

52 Analisis Statistik (a) Hubungan persen tutupan karang dengan kelimpahan ikan karang Hubungan persen tutupan karang dengan kelimpahan ikan dianalisa dengan analisis korelasi Pearson (Bell & Galzin 1984) dengan menggunakan software microsoft excel, kemudian hasil korelasi tersebut diuji dengan uji t-student untuk mengetahui tingkat signifikansinya. Setelah memenuhi syarat signifikansi maka dilanjutkan dengan analisis regresi dengan software microsoft excel. Regresi merupakan model matematika yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu variabel dengan variabel lainnya. Variabel yang diprediksi disebut variabel dependent yang umumnya tertulis dengan lambang y, sedangkan variabel yang memprediksi disebut variabel independent yang biasa ditulis dengan simbol x. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yang menjadi variabel dependent adalah kelimpahan famili dan spesies ikan Chaetodontidae, sedangkan yang menjadi variabel independent adalah persentase tutupan karang. Secara matematik rumus regresi dapat ditulis sebagai berikut: y = f (x) +ε y = a + bx + cx 2 Dalam menginterpretasi model regresi digunakan koefisien determinasi (R 2 ). Koefisien determinasi menunjukkan berapa besar peubah pada variabel dependent yang dapat dijelaskan oleh variabel independent. (b) Ketertarikan ikan Chaetodontidae terhadap habitat terumbu karang Untuk mengetahui ketertarikan ikan Chaetodontidae terhadap habitatnya maka data kelimpahan ikan dan substrat dasar dikelompokkan dengan analisa pengelompokkan (Cluster analysis). Analisa ini dimaksudkan untuk mengelompokkan unit-unit statistik ke dalam kelompok-kelompok yang homogen dari sejumlah variabel atau karakter. Metode ini bersifat deskriptif, dimana tidak satu pun variabel mempunyai peran yang lebih penting dari variabel yang lain. Tehnik ini bertujuan untuk membentuk kelompok-kelompok individu yang memiliki karakteristik yang sama. Klasifikasi yang digunakan dalam cluster analysis ini menggunakan metode hierarki, dimana mempresentasikan individuindividu kedalam kelompok-kelompok yang secara hierarki tersusun. Hierarki

53 37 53 yang tersusun dipresentasikan dalam bentuk dendogram, kemudian dilanjutkan dengan analisa nodul, Indeks Konstansi dan Indeks Fidelitas. (c) Pengelompokan spesies ikan Pengelompokan spesies ikan Chaetodontidae dibuat dengan metode analisis pengelompokan (cluster analysis) pada skala Unwighted Paired Group Method Arithmetic Average-Linkage clustering (UPGMA). Data numerik individu ikan dikelompokkan berdasarkan Indeks Kesamaan Sorensen. Indeks Kesamaan Sorensen digunakan untuk mengelompokkan ikan karang dan menyusunnya pada tingkat spesies dengan menggunakan analisa pengelompokan. Untuk dapat menghitung Indeks Kesamaan Sorensen dari data numerik jumlah individu ikan karang ditransformasikan menjadi bentuk binary (ada dan tidak). Indeks Kesamaan Sorensen dihitung melalui persamaan: 2a So = 2 a + b + c Keterangan: So = Indeks Kesamaan Sorensen a = jumlah stasiun yang ada spesies ikan A dan B b = jumlah stasiun yang hanya ada spesies ikan A c = jumlah stasiun yang hanya ada spesies ikan B Kisaran nilai Indeks Kesamaan Sorensen berkisar antara 0 sampai 1. Tingkat kesamaan akan semakin tinggi jika nilai indeks mendekati nilai 1 dan semakin rendah kesamaannya jika mendekati nilai 0. Kumpulan Indeks Sorensen digunakan untuk membuat matriks yang akan membentuk dendogram berdasarkan metode keterkaitan rata-rata kelompok ikan. (d) Pengelompokkan habitat dasar Pengelompokan substrat dasar penyusun habitat digunakan persamaan Indeks Kesamaan Bray-Curtis. Indeks Bray-Curtis digunakan untuk menentukan pola pengelompokan habitat berdasarkan analisa kelompok yang menggunakan data persentase komposisi habitat dasar (parameter biologi). Data parameter yang biologi digunakan untuk mengelompokan habitat ini adalah persentase tutupan substrat dasar (Lagendre dan Lagendre 1983). Kisaran Indeks Bray-Curtis adalah 0 1 dengan ketentuan B = 0.0 menunjukkan tingkat kesamaan 0% dan B = 1 menunjukkan kesamaan 100%. Indeks Bray-Curtis dihitung melalui persamaan:

54 38 54 B Keterangan: B = Indeks Bray-Curtis xij = jumlah parameter ke-i dalam setiap pengamatan ke-j xik = jumlah parameter ke-i dalam setiap pengamatan ke-k n = jumlah parameter yang dibandingkan S = koefisien kesamaan (e) n i= 0 = n i= 0 Analisis Nodul, Indeks Konstansi (Cij) dan Indeks Fidelitas (Fij) Hasil pengelompokkan habitat dan ikan Chaetodontidae digunakan dalam analisis nodul. Tehnik yang digunakan untuk menggabungkan kedua analisa pengelompokan adalah pembentuk matriks data binary dua arah, kelompok habitat pada sisi baris dan kelompok ikan menempati sisi kolom. Data binary hasil analisa nodul kemudian digunakan untuk menganalisa tingkat kekonstanan keberadaan suatu kelompok ikan pada habitat tertentu berdasarkan Indeks Konstansi dengan rumus (Hazel 1977 in Brewster-Wingard et al. 2001): xij xik ( xij + xik) S = (1 B) x 100% Cij= aij ni x nj Keterangan: x 100 Cij = Indeks Konstansi aij = jumlah keberadaan anggota pada kelompok spesies ikan kei dan pada kelompok habitat ke-j ni = jumlah elemen pada kelompok spesies ikan ke-i nj = jumlah elemen pada kelompok habitat ke-j Semakin mendekati 100 maka setiap jenis ikan secara konstan selalu hadir atau ada dalam kelompok tersebut. Dari indeks konstansi dapat dilihat tingkat kekhasan/kebenaran (fidelitas) kelompok ikan ke-i pada habitat ke-j (Hazel 1977 in Brewster-Wingard et al. 2001) dengan rumus sebagai berikut: Cij Fij = Cij x 100

55 39 55 Keterangan: Fij = Indeks Fidelitas Cij = nilai konstansi kelompok spesies ke-i kelompok habitat ke-j Nilai Fidelitas menunjukkan keterkaitan antara jenis spesies ikan terhadap habitatnya berdasarkan kekhasan atau keunikan jenis spesies yang hidup pada suatu habitat. Semakin mendekati 100 maka menunjukkan preferensi kesukaan yang kuat antara kelompok ikan ke-i pada anggota kelompok habitat ke-j.

56 56 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Pulau Liwutongkidi Pulau Liwutongkidi merupakan pulau kecil dan tak berpenghuni yang terletak di antara Pulau Kadatua dan Pulau Siompu, Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Secara geografis pulau Liwutongkidi terletak pada 05 o LS - 05 o LS dan 122 o BT 122 o BT dengan batas wilayah sebelah barat berbatasan dengan Selat Sulawesi, sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kadatua, sebelah timur berbatasan dengan Pulau Buton, dan sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Siompu. Secara umum Pulau Liwutongkidi memiliki topografi datar sampai curam. Pada bagian datar kondisi substrat pasir bercampur tanah sedangkan pada bagian curam umumnya berupa batu cadas. Pada topografi datar (bagian timur Pulau Liwutongkidi) umumnya ditemukan vegetasi berupa pandan, berbagai macam spesies golongan rumput-rumputan, tumbuhan merambat dan kelapa. Pada topografi curam (bagian barat Pulau Liwutongkidi) umumnya banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan semak. Sedangkan ke arah dalam pulau (tengah pulau) ditumbuhi vegetasi dengan yang lebih bervariasi. Pada Pulau Liwutongkidi ditemukan pula beberapa spesies hewan seperti ketam kenari, kepiting dan beberapa jenis ular. Sementara disebelah barat perairan Pulau Liwutongkidi merupakan jalur migrasi lumba-lumba, tuna dan penyu. Pada Pulau Liwutongkidi juga terdapat sumur air tawar yang merupakan sumber air tawar bagi masyarakat yang ada di sekitar pulau utamanya masyarakat Desa Kapoa (Kecamatan Kadatua). 4.2 Kualitas Perairan Pulau Liwutongkidi Kualitas perairan di Pulau Liwutongkidi diketahui melalui pengukuran terhadap suhu, salinitas, kecepatan arus, kecerahan dan kedalaman. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil pengukuran kualitas perairan menunjukkan bahwa kisaran dari suhu, salinitas dan arus bervariasi. Kisaran pengukuran secara berturut-turut adalah o C, ppt dan cm/detik. Kisaran suhu dan salinitas air laut di Pulau Liwutongkidi masih dalam batas toleran terhadap pertumbuhan

57 41 57 terumbu karang dan biota laut yang berasosiasi didalamnya. Menurut Nybakken (1993) terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23 o C 25 o C, sedangkan suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36 o C 40 o C. Terumbu karang tidak dapat bertahan pada salinitas diluar ppt. Kondisi perairan di Pulau liwutongkidi memperlihatkan tingkat kecerahan yang tinggi yaitu 100% yang menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian berair sangat jernih sehingga nampak sampai kedalaman 10 m. Terumbu karang hidup pada kedalaman kurang dari 25 m dan tidak dapat berkembang dengan baik pada kedalaman yang lebih dari m, sehingga banyak terumbu karang yang berada pada pinggiran pulau (Nybakken, 1993). Perairan Pulau Liwutongkidi dipengaruhi oleh musim angin barat yang terjadi pada bulan Desember sampai Maret, dimana pada musim ini terjadi gelombang besar dan angin sangat kencang. Sedangkan pada musim angin timur yang terjadi pada bulan Maret sampai November, angin dan gelombang kecil atau teduh. Pada bulan April, arah angin tidak menentu demikian pula curah hujan sehingga pada bulan ini dikenal sebagai bulan atau musim pancaroba. Tabel 5 Parameter kualitas perairan Stasiun Pengamatan Parameter ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 ST 5 ST 6 ST 7 ST 8 ST 9 ST 10 Suhu ( 0 C) Salinitas (ppt) Arus (cm/detik) Kecerahan (%) Kedalaman (m) Kondisi Terumbu Karang Pulau Liwutongkidi berada diantara Pulau Siompu dan Kadatua sehingga memiliki pantai yang terlindung dan landai. Terumbu karang di Pulau Liwutongkidi merupakan tipe terumbu tepi (fringing reef), dari arah pantai menuju tubir membentuk paparan (reef flat). Tipe terumbu karang tepi ini terlihat berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m.

58 42 58 Tipe terumbu karang tepi di Pulau Liwutongkidi memperlihatkan komposisi substrat dasar yang terdapat pada 10 stasiun penelitian terdiri atas tutupan karang keras, karang mati, karang mati tertutup algae, biota lainnya dan abiotik (pecahan karang dan pasir) sedangkan persentase tutupan substrat dasar dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil pengamatan komposisi substrat dasar berdasarkan tutupan karang terhadap 10 stasiun yang tersebar di sekeliling Pulau Liwutongkidi dapat dilihat pada Gambar 6. Persentase tutupan karang keras (hard coral) berkisar antara % dengan rata-rata persentase tutupannya adalah 50.03%. Persentase tutupan karang mati (death coral) berkisar antara % dengan rata-rata 21.53%, tutupan abiotik berkisar antara % dengan rata-rata 23.22%. Sedangkan persentase tutupan substrat dasar oleh biota lainnya berkisar antara %. Dari hasil pengamatan di 10 stasiun penelitian terhadap persentase tutupan karang keras dan karang mati bahwa rata-rata persentase tutupan 50.03% pada karang keras dan 21.53% pada karang mati menunjukkan kondisi terumbu karang di Pulau Liwutongkidi termasuk ke dalam kondisi baik (Gomes & Yap 1988). Persentase tutupan karang keras yang tertinggi terdapat di Stasiun 3 yaitu sebesar 72.5%. Sedangkan persentase tutupan karang keras yang terendah terdapat di Stasiun 1, hal ini ditunjukkan dengan tingginya persentase pecahan karang dan pasir yang tertinggi dari semua stasiun (75.8%). Terdapatnya persentase tutupan karang mati, pecahan karang dan pasir pada semua stasiun pengamatan, terutama tingginya persentase di Stasiun 1 menunjukkan tingginya tekanan terhadap kesehatan terumbu karang di Pulau Liwutongkidi. Tekanan terhadap terumbu karang yang terjadi di Pulau Liwutongkidi banyak disebabkan oleh kegiatan manusia dalam mencari ikan di sekitar Pulau. Banyak nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan yang merusak, seperti penggunaan bahan peledak dan pemasangan bubu ikut mengurangi kesehatan dari terumbu karang. Disamping itu penangkapan terhadap hewan invertebrata seperti teripang dan alga yang tumbuh pada terumbu mempunyai efek langsung terhadap keragaman dan kelimpahan karang. Penangkapan berlebih terhadap spesies ikan predator dapat menjadi efek samping terhadap kelimpahan organisme yang dimangsa dan fungsi ekologis terumbu karang (Dulvy et al. 2004)

59 43 59 Gambar 6 Persentase tutupan substrat dasar. Substrat dasar dari ekosistem terumbu karang di Pulau Liwutongkidi tersusun dari kelompok karang keras yang dibagi dalam dua kategori lifeform yakni karang Acropora dan Non-Acropora. Komposisi dan persentase tutupan dasar dari dua lifeform ini akan menentukan baik atau tidaknya kondisi terumbu karang di lokasi tersebut. Lifeform Acropora yang ditemukan yaitu: Acropora Branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Submassive (ACS) dan Acropora Tabulate (ACT). sedangkan lifeform Non-Acropora yang ditemukan adalah Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS). Coral Mushroom (CMR), Coral Heliopora (CHL). Persentase tutupan karang Acropora pada 10 stasiun penelitian di Pulau Liwutongkidi berkisar antara % dengan rata-rata persen tutupan 20.15%. Persentase tutupan karang tertinggi adalah dari jenis karang ACB dengan nilai 48% yang terdapat di Stasiun 8, jenis karang ini dijumpai pada hampir semua stasiun. Persentase tutupan karang kedua terbanyak adalah ACT dengan persentase sebesar 8.33% yang terdapat di Stasiun 5. ACD mempunyai persentase tutupan hanya 5.0% yang terdapat di Stasiun 5. Sedangkan persentase tutupan ACS hanya ditemukan di Stasiun 7 dengan tutupan sebesar 4.17%. Persentase tutupan karang Acropora selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 24 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut merupakan: (a) tempat tumbuh biota laut (tempat memijah,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia

PENDAHULUAN. Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia PENDAHULUAN Latar belakang Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perairan laut Indonesia memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut yang hidup di sekitarnya. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO 3 ). Terumbu karang terdiri atas binatang karang (coral) sebagai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; 5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau Kecil Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Sumberdaya Pesisir dan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA http://7.photobucket.com Oleh: Rizka Widyarini Grace Lucy Secioputri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo

Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Korelasi Tutupan Terumbu Karang dengan Kelimpahan Relatif Ikan Famili Chaetodontidae di Perairan Pantai Pasir Putih, Situbondo Indrawan Mifta Prasetyanda 1505 100 029 Tugas Akhir (SB 091358) Pembimbing:

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara.

Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang. berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan udara. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Arah dan Kecepatan Angin Angin memiliki pola pergerakan yang bervariasi sesuai dengan musim yang berlangsung di suatu perairan akibat adanya perbedaan tekanan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. 2:(3), September 2014 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. 2:(3), September 2014 ISSN: KONDISI IKAN KARANG FAMILI CHAETODONTIDAE DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BAHOI KECAMATAN LIKUPANG BARAT KABUPATEN MINAHASA UTARA The Condition of Reef Fish Family Chaetodontidae In Marine Protected Areas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR Bab mengenai kemanfaatan pemetaan entitas-entitas ekosistem dalam perspektif pembangunan wilayah pesisir

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Laut Bagian laut terdiri dari dua bagian yaitu bagian dasar dan bagian yang berair atau pelagik (dari kata Yunani pelages = laut). Secara vertikal laut dibagi dalam

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang

Pencacahan Langsung (Visual Census Method) dimana lokasi transek ikan karang Usep Sopandi. C06495080. Asosiasi Keanekaragaman Spesies Ikan Karang dengan Persentase Penutupan Karang (Life Form) di Perairan Pantai Pesisir Tengah dan Pesisir Utara, Lampung Barat. Dibawah Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan

KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan INTISARI Terumbu karang adalah sumberdaya perairan yang menjadi rumah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kerapu Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

2. TINJAUAN PUSTAKA. Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Geografi Kepulauan Seribu Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa di sebelah utara, di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Sebelah

Lebih terperinci

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Fikri Firmansyah, Adib Mustofa, Estradivari, Adrian Damora, Christian Handayani, Gabby Ahmadia,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 POLA DISTRIBUSI URCHIN (ECHINOIDEA) PADA EKOSISTEM TERUMBU KARANG (CORAL REEFS) DI PERAIRAN IBOIH KECAMATAN SUKAKARYA KOTA SABANG SEBAGAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang 2.1.1 Biologi Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi(

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( Biologi) oleh : Yosephine Tuti Puslitbang Oseanologi - LIPI EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (BIOLOGI) I. EKOSISTEM TERUMBU KARANG / CORAL REEFS II. EKOSISTEM LAMUN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Menjangan Kecil terletak di sebelah selatan Pulau Karimunjawa, yang memiliki luas 56,0 ha dengan 0,79% daratan. Pulau Menjangan Kecil

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 55 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Potensi Sumberdaya Kecamatan Betoambari Kecamatan Betoambari dengan panjang garis pantai sekitar 10.30 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Sumberdaya

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

Apakah terumbu karang?

Apakah terumbu karang? {jcomments on} Apakah terumbu karang? Terumbu Karang adalah bangunan ribuan karang yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Bayangkanlah terumbu karang sebagai sebuah kota yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem daerah tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas yang pemanfaatannya harus lestari. Ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia

BAB I PENDAHULUAN. kurang dari pulau dengan luasan km 2 yang terletak antara daratan Asia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki tidak kurang dari 17.500 pulau dengan luasan 4.500 km 2 yang terletak antara daratan Asia

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi Oleh THOMAS F. PATTIASINA RANDOLPH HUTAURUK EDDY T. WAMBRAUW

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI

POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI POTENSI EKOLOGIS KEANEKARAGAMAN HAYATI Ekosistem Pesisir dan Laut 1. Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa endapan kalsium karbonat (CaCO 3) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI

PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI PEMETAAN KONDISI TERUMBU KARANG DI DESA SUMBERKENCONO KABUPATEN BANYUWANGI Muhammad Yunan Fahmi 1, Andik Dwi Muttaqin 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sunan Ampel Surabaya

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU

STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU STUDI KEPADATAN DAN PENYEBARAN ECHINODERMATA DI SEKITAR RATAAN TERUMBU KARANG DI DESA WAEURA KECAMATAN WAPLAU KABUPATEN BURU Cornelia Pary Jurusan Pendidikan Biologi, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

ANALYSIS OF BUTTERFLY FISH (CHAETODONTIDAE) ABUNDANCE IN THE CORAL REEF ECOSYSTEM IN BERALAS PASIR ISLAND BINTAN REGENCY ABSTRACT

ANALYSIS OF BUTTERFLY FISH (CHAETODONTIDAE) ABUNDANCE IN THE CORAL REEF ECOSYSTEM IN BERALAS PASIR ISLAND BINTAN REGENCY ABSTRACT ANALYSIS OF BUTTERFLY FISH (CHAETODONTIDAE) ABUNDANCE IN THE CORAL REEF ECOSYSTEM IN BERALAS PASIR ISLAND BINTAN REGENCY By: Surya Asri Simbolon 1), Thamrin 2), and Elizal 2) ABSTRACT Observation was conducted

Lebih terperinci