BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvenional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam melaksanakan kegiatannya, BPR berpedoman kepada Peraturan Bank Indonesia. Namun, sebagai Wajib Pajak, BPR juga dituntut untuk mematuhi peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Di lain pihak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu instansi di bawah Kementerian Keuangan memiliki tugas untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Melalui kebijakan dan rencana strategis yang telah disusun, DJP berupaya memberikan pedoman bagi internal instansi maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan dan memenuhi ketentuan perpajakan. Namun, dalam praktiknya terdapat permasalahan yang dijumpai. Salah satunya perbedaan penafsiran peraturan perpajakan dengan peraturan terkait bidang usaha tertentu. Perbedaan penafsiran yang saat ini masih menjadi polemik terjadi pada Peraturan DJP dan Bank Indonesia (BI) dalam hal penghapusbukuan piutang tak tertagih. Perbedaan tersebut akan memengaruhi penentuan penghasilan kena pajak menurut aparat pajak (fiskus) dan Wajib Pajak (BPR) serta menimbulkan kemungkinan terjadinya 1

2 2 sengketa setelah dilakukan pemeriksaan pajak. Pada praktiknya, jumlah kasus sengketa pajak dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Tabel 1.1 Penyelesaian Sengketa Pajak Tahun No. Hasil Putusan Jumlah 1 Pencabutan Tidak dapat diterima Menolak Menambah pajak yang harus dibayar Mengabulkan sebagian Mengabulkan seluruhnya Membatalkan Total Sumber: Tabel 1.2 Jumlah Berkas Sengketa Pajak Menurut Terbanding/Tergugat Tahun No. Terbanding/Tergugat Jumlah Berkas Masuk Dirjen Pajak Dirjen Bea & Cukai Pemda Total Sumber: Di samping kasus sengketa pajak yang semakin banyak, jumlah pengaduan Wajib Pajak kepada Komite Pengawas Perpajakan juga cenderung meningkat. Yang terbanyak adalah keberatan dan banding dari Wajib Pajak. Ketua Komite Pengawas Perpajakan, Daeng Muhammad Nazier menyatakan bahwa berdasarkan pengaduan yang diterima, terdapat tiga pokok bidang yang dipersoalkan. Pertama, peraturan dan kebijakan kerap tidak selaras dan berpotensi menimbulkan multitafsir dan tumpang tindih. Kedua, organisasi, kepegawaian, serta kemampuan berkomunikasi dengan Wajib Pajak kurang baik dan ada kekhawatiran kriminalisasi. Ketiga, sistem, prosedur, serta bank data internal perpajakan yang

3 3 sulit diakses oleh pegawai pajak. Selain itu, penerapan electronic faktur belum mampu menciptakan secara otomatis sistem pengumpulan data (Setyowati, 2016). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perbedaan penafsiran yang saat ini masih terjadi dan menimbulkan peluang terjadinya sengketa pajak, yaitu terkait pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih untuk kepentingan pelaporan fiskal di antara perbankan dan perpajakan, khususnya pada BPR. Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu elemen penting dalam kegiatan usaha BPR ialah pengelolaan piutang atau penempatan dana di masyarakat yang merupakan sumber pendapatan utama bagi BPR. Piutang tak tertagih atau macet menjadi risiko terbesar dalam pengelolaan piutang. Untuk itu diperlukan persiapan dana dalam bentuk penyisihan penghapusan piutang tak tertagih (Margono, 2014). Pembentukan dana cadangan atau dikenal juga sebagai PPAP (Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif) pada BPR berpedoman kepada Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif BPR. BPR dalam peraturan ini ialah Bank Perkreditan Rakyat yang telah melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Selain itu, secara fiskal pembentukan dana cadangan diatur dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

4 4 Peraturan ini menyatakan bahwa untuk menentukan besaran penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang. Mekanisme pembentukan PPAP juga diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 Tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan sebagai Biaya. Pada dasarnya pembentukan PPAP berdasarkan peraturan perpajakan dan perbankan tidak begitu terdapat perbedaan. Namun, permasalahan timbul dalam hal penentuan saldo buku PPAP pada akhir periode menurut Wajib Pajak dan fiskus ketika terdapat penghapusbukuan piutang. Dalam praktik BPR, saldo buku PPAP diperoleh dari hasil pengurangan total PPAP pada periode tersebut dengan hapus buku kredit. Perbedaan terjadi karena dalam perbankan dikenal istilah penghapusbukuan kredit dan penghapusan hak tagih kredit, Selain dalam perpajakan hanya terdapat istilah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. Ketika BPR melakukan hapus buku kredit, maka tidak menghilangkan hak tagih atas kredit tersebut. Padahal dalam UU PPh Pasal 6 ayat (1) huruf h dinyatakan bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan dapat dibebankan sebagai biaya merupakan hasil upaya-upaya yang maksimal atau terakhir dari Wajib Pajak. Dalam hal ini, untuk dapat mengakui biaya piutang tak tertagih sebagai pengurang penghasilan kena pajak, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi yaitu

5 5 Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP (sebagai lampiran dalam SPT Tahunan Badan). Daftar piutang tersebut harus telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang antara kreditur dan debitur, telah dipublikasikan dalam penerbitan umum/khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Dengan tidak diakuinya hapus buku kredit sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan tidak bisa dipenuhinya persyaratan piutang tak tertagih oleh BPR, maka hal ini akan menjadi koreksi bagi fiskus atas kelebihan pembentukan PPAP dan berpengaruh pada meningkatnya penghasilan kena pajak BPR. BPR Laporan fiskal SPT Tahunan Kantor Pelayanan Pajak UU PPh Pasal 6 ayat 1 Besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeridan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan brutodikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memeliharapenghasilan, termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat Perbedaan Penafsiran Pedoman Akuntansi BPR & Peraturan Bank Indonesia Penghapusan kredit macet terdiri atas dua tahap yaitu hapus buku dan hapus tagih UU PPh dan peraturan pelaksana Tidak menyebutkan secara spesifik katagori pengakuan piutang tak tertagih perbankan Koreksi fiskal Pajak terutang BPR Sengketa pajak Gambar 1.1 Gambaran Umum Perbedaan Penafsiran

6 6 Pada dasarnya, ketentuan pasal 6 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan telah memberikan panduan secara umum kepada Wajib Pajak untuk melakukan rekonsiliasi fiskal. Dalam kedua pasal tersebut diuraikan konsep biaya yang dapat dijadikan pengurang (deductible expense) dan biaya yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible expense) untuk menghitung nilai penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Namun, salah satu jenis biaya yang dalam praktiknya cukup menimbulkan kebingungan di lapangan adalah piutang tak tertagih (Wijaya,2016). Penghapusbukuan kredit adalah penghapusbukuan secara administratif, yaitu kredit yang telah dihapusbukukan, tetapi tidak dihapustagihkan karena tetap ditagih oleh bank. Dalam penerapannya, terdapat berbagai permasalahan dalam tindakan penghapusbukuan industri perbankan, terutama dalam perpajakan. Hal ini terlihat pada kasus sengketa perpajakan yang terjadi karena perbedaan penafsiran antara Direktorat Jenderal Pajak dan perbankan dalam menafsirkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan beserta peraturan pelaksananya (Taufiqurrakhman dan Santoso, 2013). Polemik di atas juga terjadi pada PD (Perusahaan Daerah) BPR (Bank Perkreditan Rakyat) Bank Klaten. PD BPR Bank Klaten adalah Wajib Pajak Badan yang terdaftar di KPP Pratama Klaten sejak tanggal 30 November Untuk kewajiban perpajakannya, PD BPR Bank Klaten juga berkewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan beserta lampirannya yang diserahkan kepada KPP. Pada tahun 2015, dilakukan pemeriksaan pajak oleh KPP untuk pelaporan tahun pajak 2010, 2011, Dari hasil pemeriksaan

7 7 tersebut ternyata untuk tahun pajak 2012 timbul sengketa di antara BPR dan KPP. BPR menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh yang diterbitkan berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak. Koreksi dilakukan pemeriksa disebabkan PD BPR Bank Klaten terlalu tinggi membebankan biaya penghapusan piutang dan tidak terpenuhinya persyaratan Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang- Undang Pajak Penghasilan. Atas koreksi tersebut BPR mengajukan permohonan keberatan terhadap SKPKB PPh yang telah diterbitkan. Dalam hal ini, dampak lebih lanjut apabila BPR mengajukan keberatan atas hasil pemeriksaan, BPR dapat dikenai sanksi tambahan berupa denda 50% Pasal 25 ayat 9 UU KUP dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. 1.2 Rumusan Masalah Dalam rangka melakukan mitigasi risiko atas kerugian yang mungkin timbul akibat tidak tertagihnya pinjaman yang diberikan, maka BPR membentuk dana cadangan aktiva produktif. Selain itu, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia, BPR juga dapat melakukan hapus buku atas pinjaman atau kredit yang diberikan berdasarkan lama tunggakan dan tingkat kolektibilitasnya. Namun pada kenyataannya, pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih oleh BPR menimbulkan permasalahan dan perbedaan penafsiran antara industri perbankan dengan aparat pajak. Permasalahan tersebut terjadi karena terdapat perbedaan dalam penafsiran Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya mengenai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

8 8 Fiskus tidak mengakui piutang tak tertagih bank yang telah dihapusbukukan secara akuntansi, namun belum memenuhi penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih secara fiskal. Dengan tidak diakuinya keberadaan penghapusbukuan, pencadangan yang sebelumnya dibentuk untuk piutang tersebut akan dikoreksi melalui pemeriksaan pajak. Penghasilan kena pajak menurut BPR dan aparat pajak juga akan berbeda dan pada akhirnya dapat menimbulkan sengketa pajak. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ialah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah koreksi fiskal atas pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih pada PD BPR Bank Klaten? 2. Apakah permasalahan-permasalahan yang memicu sengketa pajak antara BPR dan kantor pajak terkait pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih pada sektor perbankan? 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut. 1. Menjelaskan perlakuan perpajakan atas pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih sektor perbankan, khususnya pada bank perkreditan rakyat.

9 9 2. Menjelaskan permasalahan-permasalahan yang memicu terjadinya sengketa pajak antara perbankan dan kantor pajak terkait pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih pada sektor perbankan. 1.5 Motivasi Penelitian Penelitian ini didasarkan pada keinginan untuk menyelesaikan permasalahan atau polemik yang masih terjadi antara Wajib Pajak BPR dan aparat pajak terkait penentuan penyisihan penghapusan aktiva produktif atau pembentukan dana cadangan yang dapat dikurangkan sebagai biaya, serta pengakuan piutang tak tertagih untuk meminimalisasi timbulnya sengketa pajak. Selanjutnya, penelitian diharapkan dapat memberikan masukan atas permasalahan tersebut kepada pihakpihak terkait dalam perumusan kebijakan dan alternatif solusi yang lebih sesuai. 1.6 Kontribusi Penelitian 1. Kontribusi dari segi praktis: memberikan pemahaman yang lebih mendalam untuk mengatasi polemik atas perbedaan penafsiran antara peraturan perbankan dan peraturan perpajakan. 2. Kontribusi dari segi kebijakan: menjadi dasar pertimbangan dalam perbaikan regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan penyisihan penghapusan aktiva produktif atau pembentukan dana cadangan dan piutang tak tertagih yang boleh dikurangkan sebagai biaya dalam penentuan penghasilan kena pajak BPR. 1.7 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut.

10 10 1. Penentuan pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih PD BPR Bank Klaten berdasarkan Peraturan DJP dan BI. 2. Pelaporan pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih dalam laporan fiskal BPR yang memengaruhi besaran penghasilan kena pajak BPR. 3. Tindak lanjut atas pelaporan yang telah disampaikan dan koreksi fiskal yang dilakukan oleh fiskus. 1.8 Sistematika Penulisan Untuk memudahkan mengomunikasikan hasil penelitian, laporan penelitian ini ditulis dan dipaparkan dengan sistematika sebagai berikut. Bab I Pendahuluan Pada bab ini disajikan informasi terkait gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian ini yang terdiri atas latar belakang, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Menguraikan tinjauan pustaka mengenai konsep-konsep dan landasan teori yang terkait pembentukan dana cadangan dan penghapusbukuan piutang tak tertagih yang bisa dikurangkan sebagai biaya dalam penentuan penghasilan kena pajak serta perbedaan dalam akuntansi komersial dan pajak. Dalam bab ini juga diuraikan penelitian terdahulu yang relevan, serta rerangka pemikiran penelitian.

11 11 BAB III Metode Penelitian Bab ini menjelaskan gambaran umum PD BPR Bank Klaten sebagai objek penelitian. Dengan mengunakan metode kualitatif dan pendekatan studi kasus, digambarkan secara menyeluruh tentang perlakuan perpajakan atas pembentukan dana cadangan dan pengakuan penghapusbukuan piutang tak tertagih pada objek penelitian BPR. Dalam hal ini, data primer dan sekunder akan diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini menyajikan hasil temuan yang ditelaah menurut landasan teori dan dilakukan analisis data. Kemudian, hasil yang diperoleh dirumuskan atau disimpulkan secara komprehensif dan dijelaskan dalam kaitannya dengan pertanyaan penelitian. BAB V Penutup Berdasarkan perolehan data dan analisis yang telah dilakukan, dipaparkan simpulan, keterbatasan, dan rekomendasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.