Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar"

Transkripsi

1 DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF SPESIALISASI ACCOUNT REPRESENTATIVE TINGKAT DASAR BAHAN AJAR Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar Oleh: T i m Widyaiswara Pusdiklat Pajak KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

2

3 DAFTAR ISI PENDAHULUAN... Error! Bookmark not defined. BAB I KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Pengertian Pembetulan SPT Syarat Pembetulan SPT Jangka Waktu Pembetulan SPT Sanksi Terkait Pembetulan SPT Pembetulan SPT Terkait Rugi Fiskal Tahun Sebelumnya Penetapan dan Ketetapan Pajak Pengertian Penetapan Pajak... Error! Bookmark not defined Pengertian Ketetapan Pajak Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Ketetapan Pajak (SKP) Sanksi STPdan Surat Ketetapan Pajak Ketetapan Pajak Rusak, Tidak Terbaca, Hilang atau Tidak Dapat Ditemukan Pemindahbukuan (Pbk.) Pengertian Pemindahbukuan (Pbk.) Tata Cara Mengajukan Permohonan Pbk Tata Cara Penerbitan Bukti Pbk BAB II PAJAK PENGHASILAN (PPh) Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Objek Pajak Penghasilan Bukan Objek Pajak Penghasilan Biaya yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dikurangkan Biaya yang Boleh Dikurangkan... Error! Bookmark not defined Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan iii

4 3. PPh dengan Tarif Khusus Angsuran PPh Pasal Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 secara umum Angsuran PPh Pasal 25 dalam Hal-hal Tertentu Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Tertentu BAB III PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) Objek Pajak dan Bukan Objek PPN Ketentuan Khusus Objek PPN Fasilitas PPN Fasilitas PPN Tidak Dipungut Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan PPN PPN Ditanggung Pemerintah BAB IV PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SEKTOR P Error! Bookmark not defined. 1. PBB Sektor Perkebunan Objek dan Subjek PBB Sektor Perkebunan Areal-areal di Dalam Perkebunan Standar Investasi Tanaman Perkebunan Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Menghitung PBB Perkebunan Penatausahaan PBB Perkebunan PBB Sektor Perhutanan Objek dan Subjek PBB Sektor Perhutanan Areal-areal di Dalam Perhutanan Standar Investasi Tanaman Perhutanan dan Angka Kapitalisasi Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Menghitung PBB Perhutanan Penatausahaan PBB Perkebunan PBB Sektor Pertambangan... 15Error! Bookmark not defined Objek dan Subjek PBB Sektor Pertambangan Areal-areal di Dalam Pertambangan Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Menghitung PBB Pertambangan Penatausahaan PBB Pertambangan iv

5 BAB V BEA METERAI... 17Error! Bookmark not defined. 1. Objek Bea Meterai Saat Terutangnya Bea Meterai Tarif Bea Meterai Sanksi terkait Bea Meterai Sanksi Administrasi Ketentuan Pidana PENUTUP DAFTAR PUSTAKA v

6

7 P E N D A H U L U A N Peranan Account Representative (AR) dalam era administrasi modern perpajakan sangatlah penting. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98//KMK/.01/2006 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.01/2008, seorang Account Representative (AR) memiliki tugas yang cukup banyak, diantaranya adalah melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak (WP), bimbingan/himbauan dan konsultasi teknik perpajakan kepada WP, penyusunan profil WP, analisis kinerja WP, rekonsiliasi data WP dalam rangka intensifikasi dan melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang berlaku. Disamping tugas utama itu, masih terdapat tugas lain yang sifatnya ad hoc dari atasan yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai tujuan akhir yaitu pengamanan target penerimaan pajak. Dalam menjalankan tugas-tugasnya itu, seorang AR sudah seharusnya mempunyai kemampuan yang baik dan mendalam terutama pemahaman terhadap peraturan-peraturan perpajakan. Dengan demikian seorang AR akan mampu memberikan konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak (WP) dengan baik, mengawasi kepatuhan kewajiban perpajakannya, menganalisis dan mengusulkan tindakan pengawasan selanjutnya dalam kerangka penggalian potensi perpajakan. Selain itu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 233/PJ/2011 tanggal 26 September 2011 tentang cetak biru Manajemen Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak Tahun , salah satu sasaran strategis yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah terciptanya pegawai-pegawai yang memiliki kompetensi, tingkat kepuasan dan integritas yang tinggi, budaya yang kuat, serta tingkat kinerja yang prima dalam berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP 274/PJ/2013 tanggal 24 April 2013 tentang Kamus Kompetensi Teknis Rumpun Jabatan Pelayanan di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, 1

8 terdapat persyaratan kompetensi teknis yang harus dimiliki oleh pejabat Bidang Pelayanan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugasnya. Pembahasan dalam bahan ajar ini lebih ditekankan pada pemahaman dan penerapan terhadap ketentuan umum dan tata cara perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Bea Meterai yang relevan dengan tugas-tugas Account Representative. 2

9 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB 1 1 Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu: menjelaskan Pembetulan SPT dengan baik; menjelaskan Penetapan dan Ketetapan Pajak dengan baik; dan menjelaskan Pemindahbukuan (Pbk) dengan baik Tidak semua materi ketentuan umum dan tata cara perpajakan akan dibahas pada bab ini. Bab satu ini hanya akan membahas materi-materi yang sering ditemui oleh Account Representive dalam menjalankan tugasnya di bidang pelayanan dan pengawasan. 1. Pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) 1.1. Pengertian Pembetulan SPT Berdasarkan sistem self assessment, Wajib Pajak (WP) diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar serta melaporkan sendiri besarnya pajak terutang dalam suatu masa pajak. Salah satu wujud pelaksanaan sistem self assessment tersebut adalah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, dimulai sejak penghitungan hingga pelaporannya tanpa melalui campur tangan pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Untuk selanjutnya dalam modul ini penyebutan Surat Pemberitahuan akan digunakan secara bergantian atau bersama-sama dengan penyebutan SPT. Seiring dengan berjalannya waktu, SPT yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) bisa saja disadari ada yang keliru atau mungkin tidak benar. Kekeliruan dalam SPT tersebut dapat terjadi dalam hal penulisan 3

10 maupun penerapan ketentuan perundang-undangan. Keadaan inilah yang melatarbelakangi Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT dengan cara menyampaikan SPT Pembetulan. Skema Pembetulan dan Pengungkapan Ketidakbenaran Di dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (yang selanjutnya kita sebut dengan UU KUP) terdapat istilah Pembetulan SPT. Wajib Pajak atas kemauannya sendiri diberi hak untuk melakukan pembetulan terhadap kekeliruan dalam pengisian SPTyang telah dibuat dan dilaporkan sebelumnya. Dengan demikian, maksud dari pembetulan SPT ini adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengoreksi kembali apabila masih terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam pengisian SPT yang telah dilaporkan sebelumnya, sepanjang belum dilakukan tindakan pemeriksaan. Pasal 8 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Selanjutnya, 4

11 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (yang selanjutnya akan kita sebut dengan istilah PP 74 Tahun 2011) memberikan pengertian yang lebih luas dari pengaturan yang ada di dalam Pasal 8 ayat (1) UU KUP. Pasal 5 ayat (1) PP 74 Tahun 2011 mengatur bahwa Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan Pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pembetulan SPT Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP 74 Tahun 2011, Wajib Pajak masih diberi kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT melalui mekanisme penyampaian pernyataan tertulis. Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT ini dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT 1.2. Syarat Pembetulan SPT Dalam Pasal 8 ayat (1) UU KUP diatur bahwa Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan. Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk membetulkan Surat Pemberitahunan tersebut adalah: 5

12 a) Menyampaikan pernyataan tertulis, yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. b) Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan: 1) Pemeriksaan; atau 2) Pemeriksaan Bukti Permulaan c) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan Jangka Waktu Pembetulan SPT Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan Pemeriksaan, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan. Yang dimaksud dengan mulai melakukan tindakan Pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Apabila SPT menyatakan rugi atau lebih bayar maka pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. Sedangkan yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat(1) UU KUP Sanksi Terkait Pembetulan SPT Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU KUP, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 6

13 Yang dimaksud dengan "1 (satu) bulan" adalah jumlah hari dalam bulan kalender yang bersangkutan, misalnya mulai dari tanggal 22 Juni sampai dengan 21 Juli, sedangkan yang dimaksud dengan "bagian dari bulan" adalah jumlah hari yang tidak mencapai 1 (satu) bulan penuh, misalnya 22 Juni sampai dengan 5 Juli. Sanksi Terkait Pembetulan SPT Masa Terhadap Wajib Pajak yang membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa dimana mengakibatkanutang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan Pembetulan SPT Terkait Rugi Fiskal Tahun Sebelumnya Kesempatan pembetulan SPT oleh Wajib Pajak berikutnya adalah sesuai dengan Pasal 8 ayat (6) UU KUP yaitu terkait dengan rugi fiskal tahun sebelumnya. Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbedadengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ini, maka Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, 1 Pasal 8 ayat (2a) UU KUP 7

14 Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Wajib Pajak yang membetulkan SPT terkait rugi fiskal tahun sebelumnya yang sudah dikompensasikannya oleh karena menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Bandingatau Putusan Peninjauan Kembali atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Menyampaikan pernyataan tertulis b) Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan c) Pembetulan tersebut harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali. Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan terkait rugi fiskal tahun sebelumnya ini dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan Surat PemberitahuanTahunan meskipun telah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat 8

15 Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali pada saat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan dan Surat Keputusan Pembetulan apabila Direktur Jenderal Pajak sedang melakukan Pemeriksaan, atau Pemeriksaan Ulang, sedang memproses penyelesaian keberatan, sedang memproses penyelesaian pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, sedang memproses penerbitan Surat Keputusan Pembetulan. Dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan banding atau Wajib Pajak/Direktur Jenderal Pajak sedang mengajukan Peninjauan Kembali namun belum diterbitkan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali maka Direktur Jenderal Pajak menyampaikan rugi fiskal tersebut ke badan peradilan pajak atau Mahkamah Agung agar diperhitungkan dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali. Jangka Waktu Pembetulan SPT Terkait Rugi Fiskal Tahun Sebelumnya Wajib Pajak yang membetulkan SPT Tahunannya terkait rugi fiskal tahun sebelumnya sebagaimana terdapat dalam Pasal 8 ayat (6) UU KUP, jangka waktu pembetulannya dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali. Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan SPT Tahunan tersebut dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak. Wajib 9

16 Pajak yang tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ini,maka Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Contoh PT Sukses telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan: Penghasilan Neto Rp ,00 Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2011 Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2011 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 11 Oktober 2013 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal menjadi sebesar Rp ,00. Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, apabila terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 belum dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak harus membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 sehingga penghitungan Penghasilan Kena Pajak Tahun Pajak 2012 menjadi sebagai berikut: Contoh Penghasilan Neto Rp ,00 Rugi menurut surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2011 Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 Demikian halnya apabila hasil Pemeriksaan Tahun Pajak 2011 rugi fiskal untuk surat ketetapan pajak misalnya menjadi sebesar Rp ,00, Wajib Pajak 10

17 juga harus membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 dengan cara yang sama. Sedangkan mengenai jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak. Contoh: a) Apabila Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali pada tanggal 21 September 2010, maka pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan harus dilakukan paling lama tanggal 20 Desember b) Apabila Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali pada tanggal 30 November 2010, maka pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan harus dilakukan paling lama tanggal 28 Februari Untuk memperjelas ketentuan ini diberikan contoh-contoh sebagai berikut: Contoh PT Makmur telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 yang menyatakan: Penghasilan Neto Rp ,00 Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2009 Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 11

18 Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2009 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 12 Oktober 2012 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp ,00. Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan, Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010, Direktur Jenderal Pajak pada saat melakukan Pemeriksaan akan memperhitungkan rugi fiskal tersebut dalam surat ketetapan pajak Tahun Pajak Demikian juga, apabila terhadap surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2010 sedang dalam proses penyelesaian keberatan, maka rugi fiskal Tahun Pajak 2009 langsung diperhitungkan dalam Surat Keputusan Keberatan. Ketentuan ini juga berlaku dalam hal surat ketetapan pajak dalam proses penyelesaian pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. Apabila atas Surat Keputusan Keberatan untuk Tahun Pajak 2010 sedang dalam proses banding di badan peradilan pajak, maka rugi fiskal Tahun Pajak 2009 disampaikan ke badan peradilan pajak untuk diperhitungkan dalam Putusan Banding. Contoh PT Jaya telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 yang menyatakan: Penghasilan Neto Rp ,00 Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2009 Rp ,00 (-) Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2010 telah dilakukan Pemeriksaan dan telah diterbitkan surat ketetapan pajak. Atas surat ketetapan pajak tersebut telah diajukan upaya hukum dan telah diterbitkan putusan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan kompensasi kerugian dari Tahun Pajak 2009 tetap sebesar Rp ,00 karena sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali terbit, atas Tahun Pajak 2009 belum terbit surat ketetapan pajak. Setelah ada Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali terkait dengan Tahun Pajak 2010 tersebut, diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan 12

19 bahwa rugi fiskal Tahun Pajak 2009 dari sebesar Rp ,00 menjadi sebesar Rp ,00. Perlakuan terhadap rugi fiskal berdasarkan surat ketetapan pajak Tahun Pajak 2009 yang belum dikompensasikan sebesar Rp ,00 (Rp ,00 - Rp ,00) dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak 2011 mengingat berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya rugi fiskal dapat dikompensasikan selama 5 (lima) tahun. Kesempatan pembetulan SPT oleh Wajib Pajak berikutnya adalah sesuai dengan Pasal 8 ayat (6) UU KUP dimana terkait dengan rugi fiskal tahun sebelumnya. Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ini, maka Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. 2. Penetapan dan Ketetapan Pajak 2.1 Pengertian Penetapan Pajak Dalam self assessment system, seperti yang dianut dalam UU perpajakan kita, Wajib Pajak diberi kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan membayar sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. 13

20 Kewajiban membayar pajak yang terutang tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak tanpa menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak yang dihitung, diperhitungkan dan dibayar sendiri tersebut kemudian dilaporkan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan. Apabila Surat Pemberitahuan telah disampaikan (telah diterima bukti penerimaan SPT) maka kewajiban perpajakan yang dilaporkan dalam SPT tersebut telah dianggap benar, sebagaimana bunyi Pasal 12 ayat 2 UU KUP yang menyatakan bahwa: Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Misalkan PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang-barang elektronik. PT XYZ melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh selama tahun 2015 dan kredit pajaknya dalam SPT PPh badan Tahun 2015, dengan perincian sbb: Penghasilan Neto: Rp ,00 PPh terutang Rp ,00 Kredit Pajak Rp ,00 Pajak yang kurang dibayar Rp ,00 Pajak Penghasilan terutang sebesar Rp ,00 hasil perhitungan Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sedangkan kredit pajak sebesar Rp ,00 dan PPh yang kurang dibayar sebesar Rp ,00 yang telah dilunasi adalah pembayaran pajak oleh WP tanpa didahului dengan surat ketetapan pajak. Hal ini dikenal dengan penetapan pajak. 2.2 Pengertian Ketetapan Pajak Dalam self assessment system, beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan adalah tidak benar berada pada pihak fiskus (Direktur Jenderal Pajak), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yang menyatakan bahwa: Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan 14

21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Proses pembuktian atau bukti yang diperoleh di atas dapat berasal dari pemeriksaan atau adanya keterangan lain. Maka apabila dari bukti tersebut ternyata jumlah pajak yang terutang menurut Wajib Pajak sebagaimana dilaporkan dalam SPT adalah tidak benar, selanjutnya Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang dengan menerbitkan surat ketetapan pajak. Contoh PT XYZ adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barangbarang elektronik. PT XYZ melaporkan seluruh penghasilan yang diperoleh selama tahun 2015 dan kredit pajaknya dalam SPT PPh badan Tahun 2015, dengan perincian sbb: Penghasilan Neto: Rp ,00 PPh terutang Rp ,00 Kredit Pajak Rp ,00 Pajak yang kurang dibayar Rp ,00 Berdasarkan hasil pemeriksaan, ternyata pajak yang dihitung dan dilaporkan PT XYZ dalam SPT PPh Tahun 2015 tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya sehingga Penghasilan Neto seharusnya adalah Rp dan PPh terutang adalah Rp Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu dengan menerbitkan surat ketetapan pajak. Di dalam Pasal 12 UU KUP disebutkan 3 (tiga) hal terkait konsekuensi sistem Self Assessment, yaitu: a) setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. b) jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 15

22 c) apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah: a) pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga b) pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah c) pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan. Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran. Berdasarkan Undang-Undang KUP, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.Walaupun Wajib Pajak diberi kebebasan untuk menghitung pajaknya sendiri, akan tetapi penghitungan jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2 Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkannya dalam SPT tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun Surat Tagihan Pajak. Namun, apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang menurut SPT tidak benar, 2 Pasal 12 ayat (2) UU KUP 16

23 Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan jumlah pajak yang terutang. 3 Jumlah pajak yang ditetapkan tersebut dapat berasal dari hasil pemeriksaan maupun berdasarkan data atau informasi perpajakan yang diperoleh DJP.Salah satu contoh pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam SPT yang tidak benar adalah pembebanan biaya yang ternyata melebihi dari yang sebenarnya sehinggadjp menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut ataupun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2) UU KUP, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) UU KUP. Dengan demikian, berdasarkan UU KUP ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. STP (Surat Tagihan Pajak) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Dengan demikian, fungsi STP adalah untuk melakukan tagihan pajak dan/atau tagihan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. 4 Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. 5 Diterbitkannya suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu saja yang disebabkanoleh ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Adapun fungsi surat ketetapan pajak, antara lain adalah: 3 Pasal 12 ayat (3) UU KUP 4 Pasal 1 angka 20 UU KUP 5 Pasal 1 angka 15 UU KUP 17

24 a) sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyatanyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban materiil dalam memenuhiketentuanperpajakan. b) sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan. c) sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak. d) sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar. e) sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang. 6 Surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, kecuali terhadap Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap Surat Tagihan Pajak (STP) Terkait dengan Surat Tagihan Pajak, di dalam Pasal 14 UU KUP dinyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila terjadi hal sebagai berikut: a) pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar b) dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung c) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; Sanksi administrasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah: 1) Sanksi denda Pasal 7 ayat (1) UU KUP 2) Sanksi bunga Pasal 8 ayat (2) UU KUP 3) Sanksi bunga Pasal 8 ayat (2a) UU KUP 4) Sanksi bunga Pasal 9 ayat (2a) UU KUP 5) Sanksi bunga Pasal 9 ayat (2b) UU KUP 6 Pembetulan Ketetapan Pajak, Seri KUP ( 7 Pasal 24 ayat (3) PP 74 Tahun

25 6) Sanksi bunga Pasal 19 ayat (1) UU KUP 7) Sanksi bunga Pasal 19 ayat (3) UU KUP 8) Sanksi denda Pasal 25 ayat (9) UU KUP 9) Sanksi denda Pasal 27 ayat (5a) UU KUP d) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; atau e) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain: 1) identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya 2) identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran 3) pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak 4) pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. 8 8 Pasal 14 ayat (2) UU KUP 19

26 2.4. Surat Ketetapan Pajak (SKP) 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. 9 Di dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP, disebutkan bahwa dalam jangka 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut: a) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar b) apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran c) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen) d) apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang e) apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP. 9 Pasal 1 angka 16 UU KUP 20

27 Contoh Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 Pajak yang terutang Rp ,00 Kredit pajak Rp (-) Pajak yang kurang dibayar Rp ,00 Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp ,00) Rp (-) Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp ,00 Ketentuan di Pasal 13 ayat (1) UU KUP ini memberi wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Dengan demikian, hanya terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, antara lain berupa hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan. Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tersebut dibatasi sampai dengan kurun waktu 5 (lima) tahun. Menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar baru diterbitkan jika Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. 21

28 Surat Pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU KUP membawa akibat Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara Jabatan. Terhadap ketetapan seperti ini dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (3) UU KUP. Teguran antara lain dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad baik untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapat disampaikannya Surat Pemberitahuan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force majeur). Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf c UU KUP, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Sedangkan bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU KUP sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf d, Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada Wajib Pajak, sebagai contoh: a) pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran tidak jelas b) dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji 22

29 c) dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. Beban pembuktian tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU KUP. Berdasarkan Pasal 14 PP 74 Tahun 2011, diatur beberapa hal terkait SKPKB, yaitu: a) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan: 1) hasil Pemeriksaan terhadap: i. Surat Pemberitahuan ii. kewajiban perpajakan Wajib Pajak karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP, dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran 2) hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap WajibPajak yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13A UU KUP. b) Keterangan lain sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) huruf a PP 74 merupakan data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa: 1) hasil klarifikasi/konfirmasi faktur pajak 2) bukti pemotongan Pajak Penghasilan 3) data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidakmenyampaikan Surat Pemberitahuan dalamjangkawaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)UU KUP dan setelah ditegur secara tertulissurat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran 23

30 4) bukti transaksi atau data perpajakan yang dapatdigunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak. c) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 10 Sesuai bunyi Pasal 15 ayat (1) UU KUP, disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Contoh Penghasilan Kena Pajak Rp ,00 Pajak yang terutang Rp ,00 Kredit pajak Rp (-) Pajak yang kurang dibayar Rp ,00 Bunga 24 bulan (24 x 2% x Rp ,00) Rp (-) Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp ,00 10 Pasal 1 angka 17 UU KUP 24

31 Contoh Jumlah Pajak Rp ,00 Pajak yang sudah ditetapkan Rp ,00 (-) Tambahan jumlah pajak Rp Sanksi Administrasi (100%) Rp ,00(+) Jumlah pajak yang masih harus dibayar Rp ,00 Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a UU KUP, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data barutermasuk data yang 25

32 semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keteranganmengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. 11 Termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, dengan rincian sebagai berikut: a) tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau b) pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya Jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap. Selanjutnya, masih terkait dengan SKPKBT diperjelas lagi dalam Pasal 15 PP 74 Tahun 2011, yang mengatur antara lain: a) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan: 11 Penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU KUP 26

33 1) hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, termasuk data yang semula belum terungkap; 2) hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang atas data baru berupa Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara; b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. c) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. d) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun terlampaui sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar 27

34 daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 12 Sesuai Pasal 17 UU KUP diatur mengenai penerbitan SKPLB, yaitu: a) Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. b) Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. c) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang Iebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. Contoh PPh Terutang Rp ,00 Kredit Pajak (Rp ,00) Jumlah Kelebihan Bayar (Rp ) Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk: a) Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; b) Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau c) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. 12 Pasal 1 angka 19 UU KUP 28

35 Selanjutnya dalam Pasal 18 PP 74 Tahun 2011 diatur lebih lanjut mengenai SKPLB, sebagai berikut: a) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan: 1) hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP; atau 2) hasil Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang- Undang terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi apabila terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap apabila ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 13 Di dalam Pasal 17A ayat (1) UU KUP diatur mengenai SKPN sebagai berikut: Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk: a) Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; 13 Pasal 1 angka 18 UU KUP 29

36 b) Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. Contoh PPh Terutang Rp ,00 Kredit Pajak (Rp ,00) Pajak yang kurang/(lebih) dibayar Nihil Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak Sanksi STP dan Surat Ketetapan Pajak a. Sanksi STP Bunga 2% Dalam pelaksanaan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b UU KUP, maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga atas Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena: a) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; atau 14 Pasal 17 PP 74 Tahun

37 b) penelitian Surat Pemberitahuan yang menghasilkan pajak kurang dibayar karena terdapat salah tulis dan/atau salah hitung. Contoh Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp ,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008 dibayar tepat waktu sebesar Rp ,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut: Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008 (Rp ,00-Rp ,00) = Rp ,00 Bunga = 3 x 2% x Rp ,00 = Rp ,00 (+) Jumlah yang harus dibayar = Rp ,00 Contoh Hasil penelitian Surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan kurang bayar sebesar Rp ,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009 dengan penghitungan sebagai berikut: Kekurangan bayar Pajak Penghasilan = Rp ,00 Bunga = 6 x 2%x Rp ,00 = Rp (+) Jumlah yang harus dibayar = Rp ,00 b. Sanksi STP Bunga 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Dalam pelaksanaan Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e atau huruf f UU KUP masingmasing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. Dengan demikian, Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat faktur pajak maupun Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak selengkapnya mengisi faktur pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. 31

38 Demikian pula bagi Pengusaha Kena Pajak yang membuat faktur pajak, tetapi melaporkannya tidak tepat waktu, dikenai sanksi yang sama. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak ditagih dengan Surat Tagihan Pajak, sedangkan pajak yang terutang ditagih dengan surat ketetapan pajaksebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU KUP. c. Sanksi STP Denda 50% atas Keputusan Keberatan Wajib Pajak dapat mengajukan hak keberatan apabila menerima surat ketetapan pajak atau pemotongan/pemungutan yang dirasakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan (Pasal 25 ayat (9) UU KUP). Ketentuan ini mengatur Wajib Pajak yang mengajukan keberatan dengan hasil ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat KeputusanKeberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen). Contoh Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp ,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp ,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp ,00. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar: 50% x (Rp Rp ,00) = Rp ,00. 32

39 Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) UU KUP tidak dikenakan. 15 d. Sanksi STP Denda 100% atas Putusan Banding Selanjutnya dalam hal Wajib Pajak Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. 16 Dengan demikian ketika permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini. 15 Pasal 25 ayat (10) UU KUP 16 Pasal 27 ayat (5d) UU KUP 33

40 Contoh Untuk tahun pajak 2008, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajakyang masih harus dibayar sebesar Rp ,00 diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp ,00. Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp ,00 dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp ,00. Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp ,00. Dalam hal ini baik sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) UU KUP tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar: 100%x (Rp ,00 - Rp )=Rp ,00. e. Sanksi Dalam SKPKB Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 ayat (1) huruf e UU KUP ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ketentuan ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf a dan huruf e tersebut. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dicantumkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sanksi administrasi berupa bunga, dihitung dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari 2 (dua) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa 2 (dua) tahun. 34

41 Contoh Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan. Wajib Pajak PT A mempunyai penghasilan kena pajak selama Tahun Pajak 2006 sebesar Rp ,00 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan tepat waktu. Pada bulan April 2009 berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar maka sanksi bunga dihitung sebagai berikut: Dalam hal pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untukdikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, selain harus menyetor pajak yang terutang, pengusaha tersebut juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar yang dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Terkait jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a) 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; b) 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau c) 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. Ketentuan ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar. Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen). 35

42 Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan apabila dalam Jangka waktu 5 (lima) tahunsetelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. Namun, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kembali pajak yang terutang tersebut, dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan Pengadiian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu 5 (lima) dilampaui. f. Sanksi Dalam SKPKBT Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun PajakDirektur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan 36

43 penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Yang termasuk juga dalam kategori data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang: a) tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau b) pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Diperjelas dalam Pasal 16 ayat (1) PP 74 tahun 2011 mengenai sanksi ini terkait pula dengan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, termasuk data yang semula belum terungkap dan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang atas data baru berupa Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana kerena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Sedangkan menurut Pasal 16 ayat (2) PP 74 tahun 2011 diatur mengenai jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagai hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang atas data baru berupa Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara tetap masih dapat diterbitkan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun terlampaui sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dengan ditambah sanksi administrasi 37

44 berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut. g. STP Mengangsur atau Menunda Dalam Pasal 19 ayat (1)UU KUP disebutkan bahwa Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Ketentuan ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saatjatuh tempo pelunasan atau terlambat dibayar. 38

45 Contoh a) Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp ,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp ,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak yang masih harus dibayar =Rp ,00 Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan =Rp ,00(-) Kurang dibayar =Rp ,00 Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp ,00) =Rp ,00 b) Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp ,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut: Pajak yang masih harus dibayar = Rp Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan = Rp (-) Kurang dibayar = Rp 0,00 Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp ,00) = Rp ,00 39

46 Contoh a) Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp ,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2008 Rp ,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut: Pajak yang masih harus dibayar = Rp ,00 Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp (-) Kurang dibayar = Rp ,00 Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp ,00) = Rp ,00 b) Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada huruf a, Wajib Pajak membayar Rp ,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi berupa bunga dihitung sebagai berikut: Pajak yang masih harus dibayar = Rp Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan =Rp (-) Kurang dibayar = Rp 0,00 Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp ,00) = Rp ,00 Contoh a) Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp ,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut: 1) angsuran ke-1: 2% x Rp = Rp ,00. 2) angsuran ke-2: 2% x Rp = Rp ,00. 3) angsuran ke-3: 2% x Rp ,00 = Rp ,00. 4) angsuran ke-4: 2% x Rp = Rp ) angsuran ke-5: 2% x Rp ,00 = Rp 4.480,00. b) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan tanggal 30 Juni Sanksi administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut sebesar 5 x 2% x Rp ,00= Rp

47 h) STP atas Penundaan SPT Tahunan Dalam hal Wajib Pajak yang diperbolehkan untuk melakukan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan diketahui bahwa penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) UU KUP kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c UU KUP sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 17 Contoh PT A meyampaikan secara tertulis kepada DJP untuk melakukan penundaan dalam penyampaian SPT Tahun 2012 hingga Juni Terkait dengan kondisipenundaan itu, PT A telah melakukan penghitungan sementara pajak yang terutang dan sekaligus melunasi pajaknya sebesar Rp ,00. Apabila SPT yang sesungguhnya dimasukkan ke KPP pada tanggal 30 Juni 2013 dengan Pajak terutang sebenarnya sebesar Rp ,00. Maka penghitungan besarnya sanksi bunga: 2% x 2 x Rp ,00 = Rp , Ketetapan Pajak Rusak, Tidak Terbaca, Hilang atau Tidak Dapat Ditemukan Dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dimungkinkan adanya ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengalami rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi, karena keadaan di luar kekuasaannya. Sesuai Pasal 22 PP 74 Tahun 2011, maka atas keadaan tersebut Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya, menerbitkan kembali ketetapan dan/atau keputusan sebagai pengganti ketetapan dan/atau keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi tersebut. Ketetapan dan/atau keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak tersebut mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan ketetapan dan/atau keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebelumnya. 17 Pasal 19 ayat (3) UU KUP 41

48 3. Pemindahbukuan (Pbk.) 3.1 Pengertian Pemindahbukuan (Pbk.) Sebagaimana diatur dalam Permenkeu Nomor 242/PMK.03/2014, dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai. Pemindahbukuan dimaksud meliputi: a. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain; b. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana tertera dalam BPN; c. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan perekaman atas SSP, SSPCP, yang dilakukan Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing; d. Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak; e. Pemindahbukuan dalam rangka pemecahan setoran pajak dalam SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk menjadi beberapa jenis pajak atau setoran beberapa Wajib Pajak, dan/atau objek pajak PBB; f. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSP, BPN, atau Bukti Pbk lebih besar daripada pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan, surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB; g. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSPCP atau Bukti Pbk lebih besar daripada pajak yang terutang dalam pemberitahuan pabean impor, dokumen cukai, atau surat tagihan/surat penetapan; dan h. Pemindahbukuan karena sebab lain yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak. Pemindahbukuan atas pembayaran pajak dengan SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk dapat dilakukan ke pembayaran PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea Meterai. 42

49 Pemindahbukuan atas pembayaran pajak dengan SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk tidak dapat dilakukan dalam hal: a. Pemindahbukuan atas SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN; b. Pemindahbukuan ke pembayaran PPN atas objek pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; atau c. Pemindahbukuan ke pelunasan Bea Meterai yang dilakukan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai digital. Pemindahbukuan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dalam mata uang Dollar Amerika Serikat hanya dapat dilakukan antar pembayaran pajak yang dilakukan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat Tata Cara Mengajukan Permohonan Pbk. a. Permohonan Pemindahbukuan diajukan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat pembayaran diadministrasikan menggunakan surat permohonan Pemindahbukuan. b. Permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pembayaran diadministrasikan; atau melalui pos atau jasa pengiriman dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pembayaran diadministrasikan. c. Permohonan Pemindahbukuan karena kesalahan pembayaran atau penyetoran diajukan oleh Wajib Pajak penyetor. d. Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk, dapat dilakukan secara jabatan oleh Pejabat yang melaksanakan Pemindahbukuan atau dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang semula mengajukan permohonan Pemindahbukuan. e. Permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk yang mencantumkan NPWP dari Wajib Pajak cabang yang telah dihapus dapat diajukan oleh Wajib Pajak pusat. 43

50 f. Permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk yang mencantumkan NPWP dari Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha (merger) diajukan oleh surviving company, entitas baru hasil merger, atau pihak yang menerima penggabungan. g. Pembayaran pajak yang tercantum dalam SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk dapat diajukan permohonan Pemindahbukuan dalam hal pembayaran tersebut belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan, Surat Tagihan Pajak dan/atau surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Tagihan Pajak PBB dan/atau Surat Ketetapan Pajak PBB, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dokumen cukai, atau surat tagihan/surat penetapan. h. Surat permohonan Pemindahbukuan harus dilampiri dengan: 1) asli SSP (lembar ke-1), asli SSPCP (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1), dokumen BPN, atau asli bukti pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Mata Uang Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan; 2) asli surat pernyataan kesalahan perekaman dari pimpinan Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing tempat pembayaran dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan karena kesalahan perekaman oleh petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing; 3) asli pemberitahuan pabean impor, asli dokumen cukai, atau asli surat tagihan/surat penetapan dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan atas SSPCP; 4) fotokopi Kartu Tanda Penduduk penyetor atau pihak penerima Pemindahbukuan, dalam hal permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk yang tidak mencantumkan NPWP atau mencantumkan angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama NPWP; 5) fotokopi dokumen identitas penyetor atau dokumen identitas wakil badan dalam hal penyetor melakukan kesalahan pengisian NPWP; dan 6) surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan NPWP-nya tercantum dalam SSP, yang menyatakan bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan 44

51 pembayaran pajak untuk kepentingannya sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan dalam hal nama dan NPWP pemegang asli SSP (yang mengajukan permohonan Pemindahbukuan) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP. 45

52 CONTOH FORMAT SURAT PERMOHONAN PEMINDAHBUKUAN : Nomor :... (1)... (2) Lampiran :... (3) Hal : Permohonan Pemindahbukuan Yth. Direktur Jenderal Pajak u.b. Kepala KPP......(4) Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama :... (5) NPWP :... (6) Alamat :... (7) Nomor Telepon :... (8) Bertindak selaku : Penyetor/wajib Bayar Pemungut Pajak Menyatakan telah melakukan pembayaran atau penyetoran pajak sebagai berikut: Nama :... (9) NPWP :... (l0) Alamat :... (11) Jenis Pajak :... (12) Masa/Tahun Pajak :... (13) Nomor Ketetapan/ Keputusan/Putusan :... (14) Nomor Objek Pajak :... (15) Jumlah Bayar/Setor :... (16) Terhadap pembayaran atau penyetoran tersebut, saya mengajukan permohonan pemindahbukuan kepada: Nama :... (17) NPWP :... (18) Alamat :... (19) Jenis Pajak :... (20) Masa/Tahun Pajak :... (21) Nomor Ketetapan/ Keputusan/Putusan :... (22) Nomor Objek Pajak :... (23) Jumlah yang dimohonkan Pemindahbukuan :... (24) Adapun permohonan pemindahbukuan dimaksud sebagai akibat adanya (25) Demikian surat permohonan saya sampaikan untuk dapat dipertimbangkan.... (26)... (27) 46

53 3.3 Tata Cara Penerbitan Bukti Pbk. Pada dasarnya Bukti Pbk dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak berfungsi sebagai bukti bahwa suatu pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak telah dipindahbukukan pada penerimaan pajak yang sesuai. Dalam hal permohonan Pemindahbukuan tidak memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Bukti Pbk dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak. Namun, dalam hal permohonan Pemindahbukuan memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Bukti Pbk sebagai berikut: 1. Tanggal pembayaran pajak yang berlaku dalam Bukti Pbk mengacu pada tanggal bayar yang tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada Surat Setoran Pajak yang tertera pada SSP, SPPCP, atau BPN yang diajukan Pemindahbukuan; 2. Asli SSP, SSPCP, atau Bukti Pbk yang telah dipindahbukukan harus dibubuhi cap dan ditandatangani oleh kepala kantor Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan Pemindahbukuan; 3. Bukti Pbk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar penyesuaian atas pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan Wajib Pajak. 47

54 CONTOH FORMAT BUKTI PEMINDAHBUKUAN : KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (1) BUKTI PEMINDAHBUKUAN Nomor :... (2) Berdasarkan penelitian terhadap permohonan Pemindahbukuan dari Wajib Pajak...(3)/berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak*), dengan ini dilakukan Pemindah bukuan : Dari : Nama :... (4) NPWP :... (5) Alamat :... (6) Kode Akun Pajak :... (7) Kode Jenis Setoran :... (8) Jenis Pajak :... (9) Masa/Tahun Pajak :... (10) Nomor Ketetapan/ Keputusan/Putusan :... (11) Nomor Objek Pajak :... (12) Jumlah Bayar/Setor :... (13) Tanggal Bayar :... (14) Kepada/ke : Nama :... (15) NPWP :... (16) Alamat :... (17) Kode Akun Pajak :... (18) Kode Jenis Setoran :... (19) Jenis Pajak :... (20) Masa/Tahun Pajak :... (21) Nomor Ketetapan/ Keputusan/Putusan :... (22) Nomor Objek Pajak :... (23) Jumlah yang dipindahbukukan : Rp... (24) Dengan huruf :... (25) pada tanggal... (26) a.n. DIREKTUR JENDERAL PAJAK... (27)... NIP... (28) 48

55 BAB 3 PAJAK PENGHASILAN (PPH) 2 Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu: menjelaskan objek pajak dan bukan objek pajak penghasilan dengan baik; menjelaskan biaya yang boleh dan yang tidak boleh dikurangkan dengan baik; menjelaskan PPh dengan tarif khusus dengan baik; dan menjelaskan angsuran PPh Pasal 25 dengan baik. Bab ini akan membahas materi-materi Pajak Penghasilan yang sering ditemui dalam pekerjaan Account Representative di lapangan. 1. Objek Pajak dan Bukan ObjekPajak 1.1. Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Ada beberapa hal yang bisa digarisbawahi dari definisi di atas, yaitu a. setiap tambahan kemampuan ekonomis b. yang diterima atau diperoleh wajib pajak c. berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia (world wide income) d. dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak e. dengan nama dan dalam bentuk apapun 49

56 Dari definisi di atas juga tampak bahwa pengertian penghasilan yang digunakan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah konsep penghasilan yang dikemukakan oleh tiga ahli ekonomi fiskal Schanz, Haigh, Simon, yang dikenal dengan SHS Concept (the accretion concept). Menurut konsep ini, pengertian penghasilan tidak melihat sumbernya maupun pemakaian penghasilan tersebut, melainkan menekankan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Konsep ini banyak dianut oleh berbagai negara, karena lebih mencerminkan keadilan sekaligus dapat diterapkan dalam praktik (Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, 2012). Tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran terbaik dalam menentukan gaya pikul wajib pajak. Tambahan kemampuan ekonomis diartikan sebagai tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa selama satu periode tertentu (tahun pajak) yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kata tambahan juga berarti jumlah neto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya terkait untuk memperoleh penghasilan tersebut. Menurut R. Manshury, tambahan kemampuan ekonomis yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah bukan tambahan kemampuan ekonomis yang murni, tetapi tambahan kemampuan ekonomis yang sudah terealisasi. Sebagai contoh : Tuan Parto pada bulan Agustus 2013 membeli sebatang emas dengan harga Rp Pada akhir Desember 2013 harga pasar emas tersebut naik menjadi Rp Sebenarnya pada akhir Desember 2013 kemampuan ekonomis Tuan Parto bertambah sebesar Rp atau harga pasar Rp dikurangi harga beli Rp Namun, tambahan kemampuan ekonomis tersebut belum dikenakan pajak, karena belum terealisasi. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut baru dikenakan pajak kalau sudah terealisasi, yaitu jika emas tersebut dijual. Frase... yang diterima atau diperoleh... terkait dengan stelsel yang dapat digunakan dalam pengakuan penghasilan. Frase... yang diterima... berarti pengakuan penghasilan dapat menggunakan stelsel kas, sedangkan frase atau diperoleh... berarti pengakuan penghasilan dapat juga menggunakan stelsel akrual. Dalam hal wajib pajak menyelenggarakan pencatatan, pengakuan 50

57 penghasilan menggunakan stelsel kas murni. 18 Sedangkan, dalam hal wajib pajak menyelenggarakan pembukuan, pengakuan penghasilan boleh menggunakan stelsel kas campuran maupun stelsel akrual. Yang dimaksud dengan stelsel kas campuran adalah walaupun digunakan stelsel kas, tetapi 1. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan; 2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak hak yang dapat diamortisasi, biaya biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi; 3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten). Selanjutnya, sumber penghasilan tidak dibatasi apakah berasal dari Indonesia atau dari luar Indonesia (world wide income). Seperti dijelaskan pada Kegiatan Belajar 2, bagi subjek pajak dalam negeri ruang lingkup penghasilan yang dikenakan pajak adalah yang bersumber dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi subjek pajak luar negeri berlaku azas sumber, yang menjadi objek pajak hanyalah penghasilan yang berasal dari Indonesia. Dilihat dari pemanfaatannya, penghasilan dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak. Oleh karena itu besarnya penghasilan sebanding dengan jumlah konsumsi dan pertambahan kekayaan dalam satu periode, yang bisa digambarkan dengan formula berikut Y = C + W dimana Y adalah penghasilan, C adalah konsumsi, dan W adalah tambahan kekayaan neto. Selanjutnya, pengertian penghasilan tidak dibatasi dengan nama dan bentuknya. Hal ini dikenal dengan substansi mengungguli bentuk (substance over form). Penghasilan tidak terikat pada apa yang tertulis pada pembukuan atau pencatatan yang disusun oleh wajib pajak, tetapi lebih menekankan pada sifat atau 18 Peraturan Dirjen Pajak Nomor 4/PJ/

58 hakikatnya. Dengan kata lain, Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut pengertian penghasilan dalam arti luas. Jenis penghasilan tidak terbatas pada apa yang tercantum pada Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan s Undang-Undang Pajak Penghasilan. Dengan kata lain, yang tercantum pada Pasal 4 ayat (1) huruf a sampai dengan s tersebut hanya merupakan contoh-contoh penghasilan. Adapun contoh-contoh penghasilan yang diatur pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut : a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya Imbalan sehubungan dengan pekerjaan biasanya diterima oleh pegawai, sedangkan pemberian jasa diterima oleh bukan pegawai, misalnya tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas. Nama penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan atau pemberian jasa bisa berupa gaji, upah, tunjangan transportasi, premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja, honorarium, bonus, gratifikasi, atau imbalan dalam bentuk lainnya. b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala. c) laba usaha; Laba usaha merupakan penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak yang melakukan usaha, seperti usaha di bidang perdagangan, bidang manufaktur, maupun bidang jasa. Yang dimaksud dengan laba usaha adalah penghasilan neto dari kegiatan usaha yang merupakan selisih antara penghasilan bruto dan biaya yang boleh dikurangkan. d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta tersebut termasuk: 52

59 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun. 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. Secara umum, keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta merupakan selisih harga jual atau harga pengalihan dikurangi dengan nilai sisa buku. Jika harta tersebut tidak disusutkan atau tidak diamortisasi, keuntungan dihitung dengan mengurangkan harga perolehan dari harga jual atau harga pengalihan. e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan. f) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila 53

60 misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi. g) Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. h) royalti atau imbalan atas penggunaan hak; Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas: 1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya; 2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah; 3. pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; 4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada 54

61 angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi; 5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan 6. pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. i) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu. Misalnya dalam hal terjadi perceraian, seorang mantan suami diberi kewajiban untuk memberikan nafkah dalam jumlah tertentu mantan istrinya dan kepada anaknya. k) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; Pembebasan utang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera 55

62 (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai Objek Pajak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 130 tahun 2000, yang dimaksud dengan debitur kecil, dimana pembebasan utang bukan merupakan objek pajak, adalah utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari Rp ,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) termasuk, 1. Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), 2. Kredit Usaha Tani (KUT) 3. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS), 4. Kredit Usaha Kecil (KUK), dan 5. Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi. l) Keuntungan Selisih Kurs Mata Uang Asing Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. m) Selisih Lebih Karena Penilaian Kembali Aktiva Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimasud pada Pasal 19 Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan penghasilan. n) Premi Asuransi Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi yang diperoleh oleh asuransi. o) Iuran yang Diterima atau Diperoleh Perkumpulan Dari Anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang Menjalankan Usaha atau Pekerjaan Bebas. Sebagai contoh iuran yang diterima oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dari para anggotanya merupakan penghasilan yang menjadi objek pajak. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, misalnya konsultan pajak, pengacara, dokter. 56

63 p) Tambahan Kekayaan Neto yang Berasal dari Penghasilan yang Belum Dikenakan Pajak Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya terdiri dari akumulasi penghasilan baik yang telah dikenai pajak dan yang bukan Objek pajak serta yang belum dikenai pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenai pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan. q) penghasilan dari usaha yang berbasis syariah; Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun demikian, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak. r) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama 24 bulan. Imbalan bunga yang diterima wajib pajak tersebut merupakan penghasilan yang menjadi objek pajak. s) Surplus Bank Indonesia. PP Nomor 94 Tahun 2010 menyatakan bahwa Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia. Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 57

64 a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, misalnya gaji, tunjangan, horarium, upah Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, misalnya konsultan pajak, pengacara, dokter. b. penghasilan dari usaha dan kegiatan; Penghasilan dari usaha adalah berupa laba usaha yang diperoleh oleh wajib pajak yang menjalankan usaha. Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan, misalnya penyelenggaraan pertandingan tenis, pagelaran musik, seminar, dan sejenisnya. c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, keuntungan selisih kurs, selisih lebih revaluasi aktiva. 58

65 Klasifikasi Penghasilan Berdasarkan Aliran Tambahan Kemampuan Ekonomis 1.2. Bukan Objek Pajak Pada ilustrasi di bawah ini digambarkan bahwa dalam pengenaan Pajak Penghasilan, penghasilan dibedakan menjadi penghasilan yang merupakan objek pajak dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. Bagian ini akan membahas penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. 59

66 Pembagian Penghasilan yang Menjadi Objek dan Bukan Objek Pajak Menurut Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, kebijakan setiap negara dalam menentukan penghasilan kena pajak adalah sesuatu yang unik. Hal ini dipengaruhi oleh sasaran perpajakan dan kondisi negara yang bersangkutan. Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat 3 tersebut bersifat sebagai negative list, artinya hanya penghasilan yang disebutkan pada ayat tersebut yang dikecualikan sebagai objek pajak. Dengan kata lain, semua penghasilan di luar pasal 4 ayat 3 merupakan objek pajak. Adapun penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut : a. Bantuan atau sumbangan dan hibah Bantuan atau sumbangan dan hibah yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah: 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan 60

67 yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak,yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan atau badan pendidikan,badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 mengatur tentang bantuan, sumbangan termasuk zakat dan sumbangan wajib keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang dikecualikan dari objek pajak. Syarat yang harus dipenuhi antara lain: sumbangan wajib keagamaan yang diterima oleh lembaga penerima sumbangan keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sumbangan wajib keagamaan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 33/PJ/2011 diubah terakhir dengan 15/PJ/2012 menetapkan badan-badan atau lembaga penerima zakat atau sumbangam wajib keagamaan yang dibentuk atau disahkan pemerintah, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZN), Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebanyak 15 lima belas lembaga, Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (LAZIS) sebanyak tiga lembaga, Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI) dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisada (BDDN YADP). Selanjutnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 245/PMK.03/2008 mengatur badan-badan dan orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang menerima harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang tidak termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan. Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini adalah orang pribadi yang 61

68 menjalankan usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp b. Warisan Warisan yang diterima oleh ahli waris bukan merupakan objek Pajak Penghasilan. c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun, dalam dunia usaha lazimnya pengganti saham tersebut bukan merupakan Objek Pajak. d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak. Bagi wajib pajak pemberi imbalan, imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut tidak boleh dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto fiskal. Jadi pada hakekatnya, imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan tersebut dikenakan pajak pemberi imbalan. Namun, apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma 62

69 penghitungan khusus (deemed profit), maka imbalan tersebut merupakan objek pajak bagi yang menerima atau memperolehnya. Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatankenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan wajib pajak. e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. Pembayaran atau dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi bukan sebagai objek pajak karena dalam penghitungan pajak penghasilan yang terutang atas wajib pajak orang pribadi tersebut premi asuransi yang dibayar untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan. f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor. Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25%, tidak termasuk objek pajak. Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi 63

70 sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak. Gambar 1 Pengenaan Pajak atas Dividen g. Iuran yang diterima atau yang diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk 64

71 pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2009 mengatur bahwa penghasilan dari penanaman modal yang diterima atau diperoleh oleh dana pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dikecualikan dari objek pajak, yaitu 1) bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia; 2) bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau 3) dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia, i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana diatas merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Dengan kata lain, dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas perseroan komanditer di Indonesia menggunakan non-transparent approach. Beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat menggunakan transparent approach. Pengenaan Pajak Penghasilan atas perseroan komanditer di negara-negara tersebut dikenakan pada para anggotanya, dan bukan pada level badan. Alasan, 65

72 perseroan hanyalah alat untuk menjalankan usaha guna mendapatkan penghasilan, sedangkan yang menanggung beban pajak adalah para anggota perseroan. j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Yang dimaksud dengan perusahaan modal ventura adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternative pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum memiliki akses ke bursa efek. k. Bea siswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008 yang diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2009 mengatur hal-hal berikut 1) Atas penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal dan/atau pendididikan nonformal yang dilaksanakan di dalam negeri dan/atau di luar negeri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. 66

73 2) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 3) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 4) Ketentuan dimaksud tidak berlaku apabila penerima beasiswa mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi; atau pengurusdari Wajib Pajak pemberi beasiswa. 5) Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke sekolah (tuition fee), biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar. l. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Untuk mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan perlu diberikan fasilitas perpajakan, berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu empat tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Badan atau lembaga yang bisa menggunakan fasilitas ini harus memenuhi persyaratan berikut : 1) lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan bersifat nirlaba. 2) Pendidikan, penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja 67

74 3) dan lembaga tersebut telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya. Selanjutnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 mengatur sebagai berikut : 1) Sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan 2) Sisa lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan objek Pajak Penghasilan selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk biaya operasional sehari-hari badan atau lembaga nirlaba 3) Badan atau lembaga nirlaba adalah badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya. 4) Sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut; b) pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; c) pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal 5) Apabila setelah jangka waktu terdapat sisa lebih yang tidak digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, sisa lebih tersebut diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan pada tahun pajak berikutnya, setelah jangka waktu empat tahun tersebut ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. 6) Apabila dalam jangka waktu empat tahun tersebut terdapat sisa lebih yang digunakan selain untuk pengadaan sarana dan prasarana, sisa lebih tersebut 68

75 diakui sebagai penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. m. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.03/2008 mengatur lebih lanjut sebagai berikut : 1) Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b) Perusahaan Perseroan (Persero) Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES); dan/atau e) badan hukum lainnya yang dibentuk untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial. 2) Yang dimaksud dengan Wajib Pajak tertentu tersebut adalah : a) Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu. Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan sesuai dengan kriteria dan data yang ditetapkan oleh Biro Pusat Statistik. b) Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang sedang mengalami bencana alam. Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang sedang tertimpa bencana yang diakibatkan peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor. c) Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tertimpa musibah. Wajib Pajak atau masyarakat yang tertimpa musibah adalah Wajib Pajak dan/atau masyarakat yang tertimpa kecelakaan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membahayakan atau mengancam. 69

76 2. Biaya yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dikurangkan Yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis atau penghasilan neto. Penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara dari penghasilan bruto. Tidak semua biaya yang boleh dikurangkan untuk menghitung laba komersial, boleh dikurangkan untuk tujuan pajak. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan untuk tujuan Pajak Penghasilan disebut juga biaya fiskal. Dalam menentukan penghasilan kena pajak merupakan kebijakan perpajakan yang unik bagi setiap negara. Termasuk dalam hal ini adalah menentukan biayabiaya yang boleh dikurangkan dan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan. 2.1 Biaya / Pengeluaran Yang Boleh Dikurangkan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur pada pasal 6 ayat 1. Beban beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu Biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari satu tahun, perlakuannya merupakan beban pada tahun yang bersangkutan. Misalnya gaji pegawai, biaya alat tulis kantor, dan biaya listrik Biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Berikut biaya-biaya yang dapat dikurangkan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan : a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, biaya-biaya tersebut antara lain : biaya pembelian bahan. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan royalti; 70

77 biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan biaya administrasi. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak tidak final. Dalam akuntansi keuangan hal ini dikenal dengan prinsip matching costs againts revenues, yaitu biaya-biaya yang terkait diakui dalam periode yang sama dengan pengakuan penghasilannya. Namun, biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak final dan bukan objek pajak tidak boleh dikurangkan. Contoh Sebuah dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan pada suatu tahun 2013 memperoleh penghasilan bruto sebagai berikut : Penghasilan objek pajak tidak final Rp Penghasilan objke pajak final Penghasilan bukan objek pajak Total Rp Besarnya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut adalah sebesar Rp Biaya yang boleh dikurangkan adalah sebesar Rp atau 3/5 x Rp Biaya sebesar Rp tidak boleh dikurangkan, karena tidak memiliki hubungan dengan penghasilan yang merupakan objek pajak tidak final. 71

78 Gambar 2 Biaya / Pengeluaran yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dikurangkan Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Apabila terdapat pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Pajak-pajak, selain Pajak Penghasilan, yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Pajak Hotel, dan Pajak Restoran. Pajak Pertambahan Nilai berupa pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang dapat dibuktikan Pajak Masukan tersebut: a. benar-benar telah dibayar; dan b. berkenaan dengan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak tidak final. Sebagai contoh, pembelian alat tulis kantor dari supermarket yang menerbitkan faktur pajak tidak lengkap. Pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Namun, karena berhubungan dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan 72

79 memelihara penghasilan, pajak masukan tersebut boleh dkurangkan dari penghasilan bruto. Jika berhubungan dengan perolehan aset yang manfaatnya lebih dari satu tahun, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut merupakan unsur harga perolehan dan pembebanannya melalui penyusutan atau amortisasi. Sebagai contoh, pajak masukan atas pembelian mobil sedan yang digunakan untuk mobil dinas direksi. Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benarbenar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. b. Penyusutan dan amortisasi Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang digunakan dalam usaha dan masa manfaatnya lebih dari satu tahun, misalnya mesin pabrik, pembebannya melalui penyusutan. Sedangkan pengeluaran untuk memperoleh hak yang masa manfaat lebih dari satu tahun, misalnya hak pengusahaan hutan, pembebanannya melalui amortisasi. Hal ini akan dibahas lebih mendalam pada Kegiatan Belajar 6. Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran biaya dimuka, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi. Sebagai contoh, PT Abang Jaya pada tanggal 2 Januari 2013 membayar sewa gedung untuk tiga tahun sebesar Rp Besarnya beban sewa gedung untuk tahun 2013 adalah sebesar Rp atau Rp dibagi tiga tahun. c. Iuran Pensiun Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya, baik iuran tersebut dibayar oleh pemberi kerja maupun dibayar oleh karyawan. Bagi wajib pajak yang mengikuti program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, program tersebut ada tiga jenis: a. Jaminan Kecelakaan Kerja; b. Jaminan Kematian; dan 73

80 c. Jaminan Hari Tua Program-program pada huruf a dan b pada dasarnya merupakan program asuransi, sehingga perlakuannya sama dengan premi asuransi. Sedangkan program huruf c pada dasarnya adalah program pensiun iuran pasti, sehingga perlakuannya sama dengan iuran pensiun. Dengan demikian BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya menyelenggarakan dua jenis kegiatan usaha, yakni asuransi dan dana pensiun. Sebagai contoh, PT Abang Jaya mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan bagi karyawannya. Pada tahun 2013 PT Abang Jaya membayar iuran Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua untuk karyawannya masing-masing sebesar Rp 50 juta, Rp 75 juta, dan Rp 60 juta. Bagi PT Abang Jaya ketiga jenis iuran tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, karena merupakan pembayaran tunjangan premi asuransi dan iuran pensiun bagi karyawannya. Bagi karyawan iuran Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian sebesar Rp 50 juta dan Rp 75 juta merupakan tunjangan premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja sehingga merupakan objek pajak, sedangkan iuran Jaminan Hari Tua sebesar Rp 60 juta merupakan iuran pensiun yang dibayar oleh pemberi kerja sehingga bukan objek pajak. d. Kerugian penjualan/pengalihan harta Kerugian karena penjualan atau pengalihan aset tetap yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Kerugian tersebut dihitung dengan cara harga jual dikurangi dengan nilai buku. Sebagai contoh, PT Abang Jaya merupakan perusahaan persewaan mobil. Pada bulan April 2013 menjual 10 unit mobil bekas pakai seharga Rp 300 juta. Jika mobil tersebut memiliki nilai sisa buku sebesar Rp 350 juta, maka kerugian atas penjualan mobil sebesar Rp 50 juta atau Rp 300 juta dikurangi Rp 350 juta. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta tidak digunakan dalam perusahaan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Sebagai contoh, PT Abang Jaya memiliki televisi 60 inci yang tidak digunakan dalam usaha. Televisi tersebut dibeli tahun 2010 seharga Rp 45 juta, dan pada tahun 2013 dijual seharga 74

81 Rp 5 juta. Maka kerugian sebesar Rp 40 juta atas penjualan televisi tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. f. Biaya penelitian dan pengembangan Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. g. Bea siswa, magang dan pelatihan Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain. h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak ; c. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus ;atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu ; d. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba rugi 75

82 komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir sebagaimana dinyatakan dalam persyaratan di atas. Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, namun dapat juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya. i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 93 Tahun 2010 mengatur bahwa sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dengan syarat : 1) Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; 2) pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan; 3) didukung oleh bukti yang sah; dan 4) lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. 5) besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk satu tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. 76

83 6) Sumbangan dan/atau biaya tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan dan/atau biaya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa. 2.2 Biaya / Pengeluaran Yang Tidak Boleh Dikurangkan. Tidak semua biaya yang boleh dikurangkan untuk menghitung laba komersial, boleh dikurangkan untuk tujuan pajak. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagai berikut : a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota, Sebagai contoh, perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, Pembentukan atau pemupukan dana cadangan umumnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali untuk usaha-usaha tertentu berikut cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen,dan perusahaan anjak piutang cadangan untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ; cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan ; cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; 77

84 cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan ; cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri Hal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. d. Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi. Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Sedangkan, pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan Objek Pajak. Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak. e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura atau kenikmatan bukan merupakan objek pajak bagi penerimanya. Sedangkan, bagi pemberi kerja penggantian atau imbalan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun, undang-undang memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur imbalan tertentu dalam bentuk natura atau kenikmatan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dan tetap bukan objek pajak bagi penerimanya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2009 mengatur bahwa imbalan sehubungan dengan pekerjaan dalam bentuk natura atau kenikmatan dibawah ini boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pemberi kerja dan bukan objek pajak bagi penerimanya: 1) Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. 78

85 Pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja, atau pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian tersebut, meliputi pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya. 2). Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut. Penggantian atau imbalan adalah sarana dan fasilitas di lokasi kerja untuk : a) tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan keluarganya; b) pelayanan kesehatan; c) pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya; d) peribadatan; e) pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya; f) olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power boating pacuan kuda, danterbang layangsepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri. Daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara. Daerah tertentu tersebut ditetapkan dengan Keputusan Kepala Kanwil. Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dibebankan melalui penyusutan. 3) Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya. Pemberian natura dan kenikmatan meliputi pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya. 79

86 f. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; Pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha. Pengeluaran yang jumlahnya melebihi kewajaran tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Seorang tenaga ahli yang juga pemegang saham perusahaan memberikan jasa profesional kepada perusahaan. Atas pemberian jasa tersebut diberikan imbalan sebesar Rp 50 juta. Imbalan yang wajar atas jasa tersebut jika diberikan oleh tenaga ahli lain adalah Rp 40 juta. Imbalan sebesar Rp 10 juta di atas jumlah wajar tersebut pada hakekatnya merupakan dividen, sehingga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b undang-undang Pajak Penghasilan, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah Jadi sumbangan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 huruf i sampai dengan m, dan sumbangan wajib keagamaan yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. h. Pajak Penghasilan; Pajak Penghasilan yang terutang oleh wajib pajak, baik yang bersifat final maupun tidak final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; 80

87 Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan (konsumsi). Oleh karena itu, biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. j. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; Dalam pendekatan non-transparent seperti yang dianut dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, anggota firma, persekutuan, dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan berupa gaji. Dengan demikian, gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut. k. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan Sanksi terkait dengan perpajakan yang tidak bisa dikurangkan, bukan hanya yang terkait dengan pajak pusat, tetapi juga yang terkait dengan pajak daerah. Sebagai contoh, sanksi administrasi berupa denda karena wajib pajak terlambat membayar pajak kendaraan bermotor. Walaupun terkait dengan pajak daerah, sanksi tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. 3. Pajak Penghasilan dengan Tarif Khusus Penghasilan yang merupakan objek pajak dikelompokkkan menjadi dua: a) Penghasilan yang dikenakan tarif pajak umum, dan b) Penghasilan yang dikenakan tarif pajak khusus. Semua penghasilan yang dikenakan tarif pajak umum, akan digabungkan untuk dihitung penghasilan neto yang akan dikenakan tarif umum Pasal 17. Namun, beberapa jenis penghasilan dikenakan tarif pajak khusus yang bersifat final. Masing-masing jenis penghasilan ini biasanya akan dikenakan tarif pajak yang berbeda, sehingga tidak perlu digabungkan dengan jenis penghasilan yang lain. 81

88 Tabel berikut berisi ikhtisar jenis-jenis penghasilan yang dikenakan tarif pajak khusus. No Penghasilan Tarif Dasar Pengenaan Pajak Dasar Hukum 1. Bunga Deposito/ Tabungan dan 20% Jumlah bruto bagi Wajib Pajak Dalam Negeri P.P No.131 / /KMK.04/ 2001 Diskonto Sertifikat 20% Jumlah bruto bagi W.P. Luar Bank Indonesia (SBI) negeri atau tarif berdasarkan Per 1/PJ/2013 P3B 2 Hadiah Undian 25% Jumlah bruto nilai hadiah yang dibayarkan atau nilai pasarhadiah berupa natura atau kenikmatan. 3. Bunga Simpanan Anggota Koperasi 4 Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Diskonto Obligasi PPh atas penghasilan bunga dan/atau diskonto dari Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh WP reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 5 Penjualan Saham Pendiri dan bukan Pendiri di Bursa Efek 6 Penjualan BBM, BBG dan Pelumas dari produsen atau 0 % 10 % 15% 20% 15% 20% 5% 15% 0,1% 0,5% 0,25% 0,3% Bruto bunga s/d Rp per bulan Lebih dari Rp per bulan dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan Obligasi Bunga bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; dan atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk bunga berjalan; bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap; danatau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 mulai tahun 2021 Jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham Tambahan PPh bagi pemilik saham pendiri, dari nilai saham pada saat penawaran umum perdana BBM Kepada SPBU Pertamina BBM kepada SPBU non Pertamina PP No 132 / 2000 KEP-395/PJ./ 2001, TGL PP No.15 /2009 PP No.16 Thn 2009 diubah PP No. 100 Thn 2013 PMK 85/PMK.03/11 jo. PMK 7/PMK.11/12 PP No.16 TH diubah dg PP No. 100 Thn 2013 PPNo.41/1994 jo PPNo.14/ /KMK.04/ 1997 SE-06/PJ.4/ /PMK.03/10 jo 175/PMK.11/

89 No Penghasilan Tarif Dasar Pengenaan Pajak Dasar Hukum importir kepada penyalur 0,3% 0,3% BBG Pelumas 7. Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan 8. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Persewaan Tanah dan /atau Bangunan 5% Jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau 1% bangunan Rumah sederhana dan rumah susun sederhana 10% Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan baik yang diterima /diperoleh W P Orang Pribadi maupun WP Badan PP 71/08, 243/PMK.33/ 2008 PER 30/PJ./ 2009 PP.29/1996 jo PP no.5 Tahun /KMK.03/ 2002 KEP-227/PJ/ Uang pesangon yang dibayarkan sekaligus Uang manfaat pensiun; Tunjangan hari tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 0% 5% 15% 25% 0% 5% s.d Rp. 50 juta Penghasilan bruto diatas Rp.50 juta s.d. Rp.100 juta Penghasilan bruto diatas Rp.100 juta s.d Rp.500 juta Penghasilan bruto diatas Rp.500 juta s.d Rp. 50 juta Penghasilan bruto diatas Rp.50 juta PP No. 68/ 2009; PP No. 68/ 2009; 10 Honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun atas beban APBN/APBD yang diterima Pejabat Negara,PNS,angg. TNI, POLRI dan pensiunan. 11 Nilai bangunan yang diterima dalam rangka Bangun Guna Serah sehub. dgn berakhirnya masa perjanjian 12 Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura 13 Selisih penilaian kembali aktiva tetap 14 Diskonto Surat Utang Negara)SPBN & ORI) 0% Penghasilan bruto PNS Gol I dan II, TNI / POLRI Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya 5% PNS Gol III, TNI/ POLRI Perwira Pertama, dan 15% pensiunannya PNS Gol IV, TNI/POLRI perwira Menengah dan Tinggi/ Pensiunan 5% Jumlah yang lebih tinggi antara NJOP dan harga akte penyerahan 0,1% Jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal 10% Selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal Psl 21 UU PPh PP 80 tahun /PMK.03/ 2010 Pasal 15 UU PPh 248/KMK.04 / 1995 SE-38/PJ.4 / 1995 PP No.4/ /KMK.04/ 1995 ;SE-33/PJ.4/ Psl 19 UU PPh 79/PMK.03/ /PMK.10/ % Jumlah Diskonto SPN PP.27 Th

90 No Penghasilan Tarif Dasar Pengenaan Pajak Dasar Hukum 15 Dividen / SHU koperasi yang diterima oleh WP orang pribadi 10% Jumlah bruto dividen Ps 17 (2c) UU PPh PP no.19 tahun /PMK.03/10 16 Penghasilan istri semata mata dari satu pemberi kerja Tarif pasal 17 Penghasilan Kena Pajak Pasal 8 ayat (1) UU PPh 4. Angsuran PPh Pasal 25 Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan Pasal 20 Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa pajak yang diperkirakan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, yang meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, dan PPh Pasal 23 pembayaran sendiri oleh wajib pajak, yang dikenal dengan PPh Pasal 25. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan tersebut dikenakan pajak bersifat final. 84

91 4.1. Penghitungan PPh Pasal 25 Secara Umum Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan: a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Contoh : Tuan Susanto (K/2) memiliki usaha bengkel. Pada tahun pajak 2013 memiliki peredaran bruto Rp 6 milyar dan penghasilan neto Rp Penghasilan neto Rp PTKP (K/2) ( ) Penghasilan Kena Pajak Rp PPh terutang x 5% x 15% x 25% Rp Kredit Pajak : PPh yang dipotong/ dipungut/ Kredit Pajak LN PPh Ps.21 Rp PPh Ps.22 Rp PPh Ps.23 Rp PPh Ps.24 Rp ( ) PPh yang harus dibayar sendiri Rp Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2014 adalah sebesar Rp atau : 12. Apabila PPh tersebut diatas berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak, misalnya 6 bulan dalam tahun 2013, maka besarnya angsuran pajak yang harusdibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2014 adalah Rp atau (Rp : 6) Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya sedangkan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak 85

92 berikutnya. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Sebagai contoh SPT Tahunan PPh Tuan Susanto di atas baru disampaikan pada tanggal 15 Maret Besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2013 adalah Rp Maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 Tuan Susanto untuk bulan Januari dan Februari 2014 adalah sebesar Rp Pasal 25 ayat)4) Undang-undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang lalu,maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. Misalnya, berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Pebruari 2010, perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Rp Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp Besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp Penghitungan PPh Pasal 25 dalam Hal-hal Tertentu Selanjutnya, pasal 25 ayat (6) Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menetapkan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam hal-hal berikut : a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan 86

93 e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan f. terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. Hal diatas diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 537/PJ./2000. Contoh Penghasilan neto PT A tahun 2011 Rp Sisa kompensasi kerugian tahun sebelumnya ( ) Penghasilan Kena Pajak tahun Sisa kompensasi kerugian tahun 2011 Rp Penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2012 adalah Penghasilan neto PT A Rp Sisa kompensasi kerugian tahun sebelumnya ( ) Penghasilan Kena Pajak Rp Pajak Penghasilan terutang Rp x 25% Rp Jika dalam tahun pajak 2011 tidak ada PPh yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain, besarnya angsuran PPh Pasal 25 PTA tahun 2012 adalah Rp : 12 bulan = Rp Contoh Dalam tahun 2011 penghasilan neto yang teratur Firma Subur sebesar Rp dan penghasilan neto tidak teratur sebesar Rp Yang digunakan sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25 tahun pajak 2012 adalah penghasilan neto tahun 2011 yang teratur saja. Yang termasuk dalam penghasilan yang tidak teratur adalah keuntungan/kerugian selisih kurs, keuntungan/kerugian penjualan harta tetap, dan penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Dalam hal wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh,besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT sampai dengan bulan sebelum disampaikan SPT adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT sementara yang diajukan untuk permohonan ijin perpanjangan. Setelah menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan 87

94 SPT tersebut. Apabila besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang dihitung kembali lebih besar daripada PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT sementara, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang bunga 2% per bulan. Dalam hal wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan. Apabila besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang dihitung kembali lebih besar, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang bunga 2% per bulan. Apabila sesudah tiga bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, wajib pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh terutang tahun pajak sebelumnya, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP. Apabila dalam tahun berjalan wajib pajak mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang lebih dari 150% dari PPh terutang dasar penghitungan PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan berikutnya dihitung kembali oleh wajib pajak sendiri atau Kepala KPP berdasarkan perkiraan PPh yang akan terutang. 4.3 Penghitungan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Tertentu Pasal 25 ayat (7) Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi a. Wajib Pajak baru b. bank, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari peredaran usaha. Untuk mengatur penghitungan PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Tertentu, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 yang terakhir telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009. Dalam peraturan tersebut antara lain diatur, bahwa besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan 88

95 yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12. Bagi BUMN, angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan laba-rugi fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan tahun berjalan yang sudah disahkan oleh rapat umum pemegang saham. Bagi Wajib Pajak bank dan Sewa Guna Usaha dengan hak opsi, PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan. Bagi Wajib Pajak masuk bursa, PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan. Selanjutnya, angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOPPT) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 32/PJ/2010 sebagai berikut: a. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha yang melakukan: 1) penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau 2) penyerahan jasa, melalui suatu tempat usaha. b. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap tempat usaha di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha tersebut dan di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak. c. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha. Pembayaran angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 ini merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan. Dengan berlakunya PP 46 tahun 2013 mulai tanggal 1 Juli 2013, ketentuan tentang angsuran PPh Pasal 25 bagi WPOPPT ini hanya berlaku bagi WPOPPT yang pada tahun pajak sebelumnya memiliki penghasilan bruto di atas Rp 4,8 milyar setahun. 89

96

97 BAB PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) 3 Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu: menjelaskan objek Pajak Pertambahan Nilai; menjelaskan ketentuan khusus objek Pajak Pertambahan Nilai dengan baik; menjelaskan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai dengan baik; Materi Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas pada bab ini terbatas mengenai objek PPN dan fasilitas dalam PPN. 1. Objek PPN PPN memiliki legal karakter sebagai pajak objektif yang bermakna bahwa timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh tatbestand yaitu peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. PPN tidak membedakan antara konsumen orang pribadi dengan konsumen berbentuk badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan yang berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama. Setelah diberlakukannya Undang-undang No. 42 Tahun 2009, terdapat beberapa perluasan objek sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D. Objek PPN yang bersifat umum diatur dalam Pasal 4 Undang-undang PPN 1984yaitu PPN dikenakan atas : a. penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; b. impor BKP; 91

98 c. penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; d. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; e. pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. ekspor BKP Berwujud oleh PKP; g. ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP; dan h. ekspor JKP oleh PKP. Sedangkan, Objek PPN yang bersifat khusus, diatur di dua pasal yaitu pasal 16C dan pasal 16D Undang-undang PPN, yaitu : a. PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 16C) b. PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c (Pasal 16D) 92

99 Objek PPN Dalam memahami objek PPN, perlu ditekankan pengertian bahwa yang menjadi objek adalah keseluruhan peristiwa hukum / perbuatan hukum (tabestand) atas suatu BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh subjek. Kalau kita cermati dalam Pasal 4 Undang-undang PPN, masing-masing objek pajak didalamnya sudah terkandung tiga kriteria tersebut yaitu : peristiwa hukum, BKP dan atau JKP serta subjeknya. Kriteria tempat dalam daerah pabean menjadi syarat utama untuk menentukan peristiwa hukum tersebut menjadi objek PPN atau tidak, karena salah satu ciri utama PPN adalah Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri. 93

100 Didalam Objek PPN terkandung Peristiwa Hukum, BKP/JKP dan Subjek Pajak a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha PPN dikenakan atas penyerahan BKP yang dilakukan oleh pengusaha, baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan. Suatu penyerahan barang akan dikenai pajak apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : 1) Barang yang diserahkan merupakan BKP, barang ini dapat berupa barang berwujud maupun barang tidak berwujud; 2) penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan 3) penyerahannya dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya. Contoh PT Makmur sebuah perusahaan garmen yang berkedudukan di Bandung menjual sejumlah kain kepada PT Bahagia perusahaan perdagangan yang berkedudukan di Semarang. Termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah: a. penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian; meliputi jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. 94

101 b. pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing); Dalam hal penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, BKP dianggap diserahkan langsung dari PKP pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas BKP; Pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang: 1) tidak terutang PPN; atau 2) mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. e. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan; f. penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar cabang; g. penyerahan BKP secara konsinyasi; dan h. penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP. Selanjutnya perlu diketahui juga peristiwa hukum yang menurut UU PPN tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah: a. penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang; b. penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang; c. Penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang; d. pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan 95

102 pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP; dan e. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Undang Undang PPN. b. Impor Barang Kena Pajak (oleh siapapun) Setiap kegiatan memasukkan BKP dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean dipungut pajak yang pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Siapapun yang memasukkan BKP ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah statusnya sebagai PKP atau bukan, apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai pajak. Contoh a. PT Sejahtera sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan elektronik berkedudukan di Jakarta melakukan impor LCD 45 inch dari korea. b. Ibu Atun yang datang dari Singapura membawa sebuah handycam di Bandara Soekarno Hatta. c. Anang menerima paket peralatan fotografi dari luar negeri, dari pembelian online dengan internet. c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan JKP meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi belum dikukuhkan. Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. jasa yang diserahkan merupakan JKP; b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. 96

103 Termasuk dalam pengertian penyerahan JKP adalah JKP yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma. Contoh a. PT Aman sebuah perusahaan konstruksi bertempat kedudukan di Semarang menyerahkan jasa pembangun gedung kepada PT Bagus yang berkedudukan di Solo. b. PT Bangun, sebuah perusahaan konstruksi membangun gedung sendiri untuk digunakan sebagai mess karyawan. Semua penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha dikenai PPN baik yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean kecuali atas ekspor jasa yang batasannya ditetapkan oleh menteri keuangan. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (oleh siapapun) BKP Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean juga dikenai PPN Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor BKP. Contoh Tuan Harry yang berkedudukan di Jakarta mendirikan Café Rolling Stone dan memperoleh hak menggunakan merek The Rolling Stone dari TRS Inc. di London sebagai pemegang merk. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh Tn. Harry di dalam Daerah Pabean terutang PPN. e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (oleh siapapun) Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenai PPN. Contoh PT. Menara Anugerah di Surabaya akan membangun Surabaya Building 37 lantai di Surabya. Gambar arsitek yang akan dipakai dibuat oleh Tang Jee Inc. yang 97

104 berkedudukan di Hongkong. PT Menara Anugerah memanfaatkan JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang PPN. f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak Pengusaha yang melakukan ekspor BKP Berwujud hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP. Untuk kegiatan ekspor BKP Berwujud dikenakan tarif khusus 0 %, dengan pemberian tarif 0% ini maka eksportir tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Syarat melekat yang harus dipenuhi selanjutnya adalah bahwa subjek pajaknya haruspkp. Contoh PT. Jujur yang berkedudukan di Tangerang telah dikukuhkan sebagai PKP pada bulan Mei 2011 melakukan ekspor pakaian jadi ke Malaysia. g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak Pengusaha yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP. Yang dimaksud dengan "BKPk Tidak Berwujud" adalah : a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya; penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah; b. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial; c. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa : 1) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, 98

105 serat optik, atau teknologi yang serupa; 2) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan 3) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi; d. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan e. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak- hak lainnya sebagaimana tersebut di atas. Contoh PT. Sari Rasa pemegang merk dagang Raos Eco sebuah perusahaan berkedudukan di Jakarta bergerak dalam bidang rumah makan. Pada tahun 2011 merk dagangnya digunakan oleh perusahaan di Australia untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Peristiwa hukum ini termasuk dalam kriteria Ekspor BKP Tidak Berwujud. h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Termasuk dalam pengertian ekspor JKP adalah penyerahan JKP dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh PKP yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean. Dalam ketentuan lanjutannya, ternyata tidak semua peristiwa hukum ekspor jasa diakui sebagai ekspor JKP seperti yang dimaksud dalam Undang-undang PPN, meskipun jasa tersebut termasuk dalam JKP. Jenis JKP yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0 (nol) persen adalah sebagai berikut: a) Jasa Maklon dengan batasan: 1) Pemesan atau penerima JKP berada di luar Daerah Pabean dan 99

106 merupakan WPLuar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya 2) Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima JKP; 3) Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan; 4) Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima JKP; dan pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar Daerah Pabean. b) Jasa Perbaikan dan Perawatan dengan batasan jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean. c) Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, dengan batasan jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean Contoh : PT. Bangun Mandiri, pengusaha kena pajak yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, membangun Malaysia Tower di Kuala Lumpur untuk Malay Sd. Berhad. Jasa yang diserahkan ini termasuk kategori Ekspor Jasa Kena Pajak yang dikenakan PPN 0%. Selain ketiga jenis JKP tersebut di atas, maka tidak diperlakukan sebagai ekspor JKP. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPN yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) jasa yang diserahkan merupakan JKP; b) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan c) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya, maka terutangnya PPN tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsi atau 100

107 dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak. Contoh A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang PPN. Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang PPN. 2. Ketentuan Khusus Objek PPN Kegiatan Membangun Sendiri Yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha Atau Pekerjaan (Pasal 16 C) Berdasarkan pasal 16 C UU PPN PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ketentuan kegiatan membangun sendiri sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010, tetapi dalam rangka mengatur kembali batasan dan tata cara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri sebagaimana pernah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2010, maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.163/PMK.03/2012 tertanggal 22 Oktober 2012 dan diberlakukan terhitung 30 hari sejak tanggal ditetapkan, yaitu 22 November Dalam peraturan menteri keuangan tersebut diatur antara lain : a. Atas kegiatan membangun sendiri terutang PPN bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. b. Kegiatan membangun sendiri sebagaimana dimaksud pada poin a adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri 101

108 atau digunakan pihak lain. c. Bangunan sebagaimana dimaksud berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: 1) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja; 2) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan 3) luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). d. PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 10% (sepuluh persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). e. DPP adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. f. Saat terutangnya PPN atas kegiatan membangun sendiri dimulai pada saat dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai. Dimana kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. g. Tempat PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. h. Pembayaran PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. i. PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke kas negara melalui kantor pos atau bank persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. j. Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada SSP diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut. k. Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan KPP tempat orang pribadi atau badan yang melakukan 102

109 kegiatan membangun sendiri terdaftar, SSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dengan ketentuan sebagai berikut : Kolom NPWP diisi dengan : 1) angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2) angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan 3) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. Pada kotak "WP/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. l. Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak (SSP) diisi dengan ketentuan sebagai berikut : Kolom NPWP diisi dengan : 1) angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2) angka kode KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan 3) angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. Pada kotak "WP/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. m. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran PPN terutang ke KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga SSP, paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. n. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai PKP dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, maka wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN dengan melampirkan lembar ketiga SSP. o. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun 103

110 sendiri telah dikukuhkan sebagai PKP dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan KPP tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, maka selain wajib melaporkan penyetoran PPN terutang, juga wajib melaporkan dalam SPT Masa PPN dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga SSP. p. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala KPP Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. q. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala KPP Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. r. Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan. s. Kegiatan membangun sendiri yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum selesai pembangunannya pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, termasuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dikenakan PPN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010. Sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER - 25/PJ/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 tentang Tata Cara Penetapan Secara Jabatan atas Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan dalam Rangka Kegiatan Membangun Sendiri. Dalam pasal 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 ditegaskan kembali bahwa Pembayaran PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya. Pasal ini tidak dihapus berdasar Peraturan Direktur Pajak Nomor PER-25/PJ/2012, yang diubah berdasarkan peraturan ini adalah Pasal 2, sehingga peraturan terakhir adalah : 104

111 a. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan ke Kas Negara PPN terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan. b. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya. c. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, sehingga: 1) jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih rendah dari nilai terendah data HSBGN, maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data nilai terendah data HSBGN tersebut; atau 2) jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data HSBGN, maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan. d. Penetapan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data HSBGN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a mengacu pada Pedoman Penggunaan HSBGN Dalam Rangka Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan untuk Membangun Bangunan yang Digunakan untuk Menghitung Kewajiban PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri sebagaimana terdapat dalam Lampiran 105

112 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Penyerahan Barang Kena Pajak Berupa Aktiva Yang Menurut Tujuan Semula Tidak Untuk Diperjualbelikan (Pasal 16 D) Berdasarkan pasal 16 D UU PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. Penyerahan BKP, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan, atau BKP lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP dikenai pajak. Namun, PPN tidak dikenakan atas pengalihan BKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan Sebagai pajak objektif PPN menimbulkan dampak regresive yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi dampak regresif ini, terhadap konsumen yang mengonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan PPnBM di samping PPN. 3. Fasilitas PPN Pasal 16B Undang-undang PPN mengatur bahwa Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk : a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu; c. impor BKP tertentu; 106

113 d. pemanfaatan BKP Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan e. pemanfaatan JKP tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional. Secara lebih spesifik poin-poin utama pemberian fasilitas tersebut, oleh Undang- Undang PPN dibatasi pemberian fasilitas PPN hanya untuk: a. mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat, atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut; b. menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya; c. mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka Program Imunisasi Nasional; d. menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal; e. menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional; f. meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat; g. mendorong pembangunan tempat ibadah; 107

114 h. menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana; i. mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara; j. mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak; k. menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri; l. mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk. m. membantu tersedianya BKP dan/atau JKP yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional; n. menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau o. menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi. Berdasarkan Pasal 16B UU PPN, terdapat dua macam fasilitas di bidang PPN yaitu PPN tidak dipungut dan dibebaskan dari pengenaan PPN. PPN Tidak Dipungut diartikan bahwa PPN tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Tidak dipungut disini maksudnya adalah selamanya, tidak sekedar ditunda. Dengan demikian, Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP tetap dapat dikreditkan. Berbeda dengan fasilitas PPN Tidak Dipungut, fasilitas berupa pembebasan dari pengenaan PPN mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak 108

115 Masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP dan/atau JKP yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan Fasilitas PPN tidak dipungut Secara teori, Fasilitas PPN Tidak Dipungut pada hakikatnya sama saja dengan pengenaan PPN dengan tarif 0%. Keduanya sama tidak memungut PPN dan dibolehkan mengkreditkan Pajak Masukan. Sehingga konsumen yang membeli barang atau jasa yang diberi fasilitas PPN Tidak Dipungut sama sekali tidak akan menanggung beban PPN. Jika fasilitas PPN Tidak Dipungut diberikan sebelum pada level konsumsi akhir (yaitu pada bagian hulu dari mata rantai produksi dan distribusi), sejatinya tidak akan memberi manfaat sama sekali dari sisi beban pajak dan penanggung pajaknya. Konsumen akhir tetap akan menanggung PPN sebesar tarif dikali harga beli. Karena itu, fasilitas PPN Tidak Dipungut hanya akan efektif dan bermanfaat bila diberikan pada level konsumsi (pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi) atau pada jenis barang/jasa yang mempunyai karakter sebagai produk akhir (finished goods), bukan intermediary goods. Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Tidak Dipungut paling cocok jika diberikan pada kegiatan ekonomi yang dianggap sebagai prioritas nasional tanpa merugikan sektor usaha yang menjadi konsumen dari sektor prioritas tersebut. Misalkan suatu ketika diputuskan bahwa industri dirgantara merupakan kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas nasional, maka fasilitas PPN Tidak Dipungut dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan industri dirgantara, tanpa harus menyebabkan sektor penerbangan nasional yang merupakan konsumen industri dirgantara menanggung beban tambahan. Atau untuk pembangunan infrastruktur tertentu seperti pelabuhan, mass rapid transit, jembatan, gedung sekolah, perumahan rakyat, dll. sepanjang digunakan bukan untuk proses produksi berikutnya sehingga akan prinsip netralitas tetap dapat terjaga. Fasilitas PPN Tidak Dipungut juga cocok diberikan untuk barang/jasa tertentu yang dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak namun berada pada bagian muara dari mata rantai produksi dan distribusi. Misalnya adalah pakaian seragam sekolah, susu anak, obat anti tetanus, dll. Barang-barang ini cocok diberikan fasilitas PPN Tidak Dipungut jika dianggap sangat penting bagi kemajuan bangsa 109

116 sambil tetap dapat menjaga prinsip netralitas tidak tercederai karena digunakan sebagai bagian dari proses produksi berikutnya. tidak Di dalam UU PPN, pengaturan lebih lanjut mengenai fasilitas PPN tidak dipungut antara lain dapat disajikan sebagai berikut: a) Impor BKP yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk Berdasarkan Keputusan menteri keuangan RI nomor 231/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 27/PMK.011/2012 tentang Perlakuan PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pungutan Bea Masuk, atas impor sebagian Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, tidak dipungut PPN atau PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah untuk barang sebagai berikut: a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; b. Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia; c. barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan; d. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum; e. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; f. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya; g. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; h. barang pindahan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, mahasiswa yang belajar di luar negeri, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas di luar negeri sekurang-kurangnya selama 1 (satu) tahun, sepanjang barang tersebut tidak untuk diperdagangkan dan mendapat 110

117 rekomendasi dari Perwakilan Republik Indonesia setempat; i. barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undanganpabean; j. barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; k. perlengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara; l. barang impor sementara; m. barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri; 2) barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau 3) barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri. Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor, BKP yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk sebagaimana tersebut diatas digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain, baik sebagian atau seluruhnya, maka PPN dan PPnBM yang seharusnya terutang harus disetor ke kas negara oleh Orang pribadi atau Badan yang melakukan importasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak BKP tersebut dipindahtangankan atau digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula, dengan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selamalamanya dua puluh empat bulan, dihitung mulai saat impor sampai dengan dilakukannya penyetoran. Apabila Orang pribadi atau Badan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar PPN yang dibebaskan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat 111

118 bulan, dihitung mulai saat impor sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. b) Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Nomor 42 Tahun 1995 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2001 Tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Pajak Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah Atau Dana Pinjaman Luar Negeri diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang sejak tanggal 1 April 1995 atas impor serta penyerahan Barang dan Jasa dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, tidak dipungut. c) Tempat Penimbunan Berikat Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat dapat di ketahui pengertian dan ketentuan tentang fasilitas di bidang PPN yang berlaku di Tempat Penimbunan Berikat. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk. Tempat Penimbunan Berikat dapat berbentuk: a. Gudang Berikat; b. Kawasan Berikat; c. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat; d. Toko Bebas Bea; e. Tempat Lelang Berikat; atau f. Kawasan Daur Ulang Berikat. Gudang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa 112

119 pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang-barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor. Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu, dengan atau tanpa barang dari dalam Daerah Pabean untuk dipamerkan. Toko Bebas Bea adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang asal impor dan/atau barang asal Daerah Pabean untuk dijual kepada orang tertentu. Tempat Lelang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu untuk dijual secara lelang. Kawasan Daur Ulang Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dalam jangka waktu tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan daur ulang limbah asal impor dan/atau asal Daerah Pabean sehingga menjadi produk yang mempunyai nilai tambah serta nilai ekonomi yang lebih tinggi. Fasilitas PPN di Gudang Berikat a. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Gudang Berikat tidak dipungut PPN. b. Barang yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat ke Gudang Berikat yang merupakan barang retur dan/atau rijek tidak dipungut PPN. Barang sebagaimana dimaksud pada angka (1) dan (2) diatas, bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Gudang Berikat yang bersangkutan. Fasilitas PPN di Kawasan Berikat a. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Berikat tidak dipungut PPN. b. Barang yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Berikat tidak dipungut PPN. Terhadap pemasukan barang dari Tempat 113

120 Penimbunan Berikat ke Kawasan Berikat, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. c. Barang yang dimasukkan dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM. Terhadap pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat, pengusaha di tempat lain dalam daerah pabean wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. Barang sebagaimana dimaksud pada angka (1), (2), dan (3) diatas, bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat yang bersangkutan. d. Barang impor berupa barang modal dan peralatan perkantoran yang dimasukkan ke Kawasan Berikat tidak dipungut PPN. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap peralatan perkantoran yang habis pakai dan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri. e. Pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke Kawasan Berikat lainnya atau tempat lain dalam daerah pabean dalam rangka subkontrak diberikan untuk jangka waktu tertentu dan tidak dipungut PPN. f. Atas pemasukan kembali barang dalam rangka subkontrak dari Kawasan Berikat lainnya atau tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat diberikan penangguhan Bea Masuk dan/atau tidak dipungut PPN. Fasilitas PPN di Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat a. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tidak dipungut PPN. b. Barang yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tidak dipungut PPN. Terhadap pemasukan barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut. 114

121 c. Barang kena pajak berupa barang pameran yang dimasukkan dari tempat lain dalam daerah pabean ke Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM. Terhadap pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat, pengusaha di tempat lain dalam daerah pabean wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. Barang sebagaimana tersebut diatas bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Tempat penyelenggaraan Pameran Berikat yang bersangkutan. Fasilitas PPN di Toko bebas Bea a. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Toko Bebas Bea tidak dipungut PPN. b. Barang yang dimasukkan dari Gudang Berikat ke Toko Bebas Bea tidak dipungut PPN. Terhadap pemasukan barang dari Gudang Berikat ke Toko Bebas Bea, pengusaha Gudang Berikat atau pengusaha di Gudang Berikat wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. c. Barang yang dimasukkan dari tempat lain dalam daerah pabean ke Toko Bebas Bea tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM. Terhadap pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Toko Bebas Bea, pengusaha di tempat lain dalam daerah pabean wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. Barang sebagaimana tersebut diatas bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Toko Bebas Bea yang bersangkutan. Fasilitas PPN di Tempat Lelang Berikat a. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Tempat Lelang Berikat tidak dipungut PPN. b. Barang yang dimasukkan dari tempat lain dalam daerah pabean ke Tempat Lelang Berikat tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM. Terhadap pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Tempat Lelang 115

122 Berikat, pengusaha di tempat lain dalam daerah pabean wajib membuat Faktur Pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. Barang sebagaimana tersebut diatas bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Tempat Lelang Berikat yang bersangkutan. Fasilitas PPN di Kawasan Daur Ulang berikat a. Barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Daur Ulang Berikat tidak dipungut PPN. b. Barang yang dimasukkan dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Daur Ulang Berikat tidak dipungut PPN. Terhadap pemasukan barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Daur Ulang Berikat, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat wajib membuat faktur pajak yang dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. c. Terhadap pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Daur Ulang Berikat tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM. Terhadap pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Daur Ulang Berikat, pengusaha di tempat lain dalam daerah pabean wajib membuat faktur pajak dengan dibubuhi cap PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut. Barang sebagaimana tersebut diatas bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Daur Ulang Berikat yang bersangkutan. d) Kawasan Bebas Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan dari Serta Berada di Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas dapat di ketahui pengertian dan ketentuan tentang fasilitas di bidang PPN yang berlaku di kawasan bebas sebagai berikut : a. Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai PKP. b. Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN. 116

123 c. Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan PPN. d. Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk tidak dipungut PPN. e. Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang tidak melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk dipungut PPN. f. Pemasukan BKP ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk tidak dipungut PPN. g. Pemasukan BKP ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang telah dilunasi PPN dengan menggunakan stiker lunas PPN, dan bahan bakar minyak bersubsidi tidak harus melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk. h. Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lainnya diberikan pembebasan PPN. i. Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya diberikan pembebasan PPN j. Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus diberikan tidak dipungut PPN k. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. l. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. m. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya, dibebaskan dari pengenaan PPN. n. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari Kawasan Bebas ke tempat 117

124 lain dalam Daerah Pabean, dikenai PPN kecuali penyerahan JKP yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN. o. Penyerahan BKP tidak berwujud (termasuk yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN) dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN p. Penyerahan JKP dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, dipungut PPN. q. Penyerahan JKP tertentu (termasuk yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan PPN ) dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN. r. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN. s. Penyerahan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, dipungut PPN. t. Atas penyerahan jasa angkutan udara di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. u. Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, dikenai PPN. v. Atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dikenai PPN. w. Atas penyerahan jasa telekomunikasi di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN. x. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, dikenai PPN. y. Atas penyerahan jasa telekomunikasi dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat, dikenai PPN kecuali 118

125 atas penyerahan jasa telekomunikasi dengan menggunakan jaringan berkabel di Kawasan Bebas. z. Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dicatat sebagai impor Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dicatat sebagai ekspor. A.5. Entrepot Produksi Tujuan Ekspor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 3 Tahun 1996 Tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi Untuk tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB) dapat di ketahui pengertian dan ketentuan tentang fasilitas di bidang PPN yang berlaku Bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi Untuk tujuan Ekspor (EPTE) sebagai berikut: Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor yang selanjutnya disebut EPTE adalah suatu tempat atau bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan ketentuan-ketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang diperuntukkan bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, Kawasan Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor. Kawasan Berikat (Bonded Zone) ialah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang di dalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang pabean, yaitu terhadap barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea, cukai dan/atau pungutan negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor, atau reekspor. Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan penangguhan PPN Barang dan Jasa dan PPnBM. Penyerahan BKP antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, PPN dan PPnBM yang terutang tidak dipungut. Penyerahan BKP oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor. 119

126 3.2. Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan PPN a) Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Dan Atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 38 Tahun 2003 tentang Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Dan Atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN dapat diketahui hal hal sebagai berikut : b) Barang Kena Pajak Tertentu yang atas impor-nya dibebaskan dari pengenaan PPN adalah : a. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) atau oleh pihak lain yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk melakukan impor tersebut, dan komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh PT (PERSERO) PINDAD, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI; b. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); c. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; d. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan 120

127 Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya; e. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional; f. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia; dan g. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI. c) Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN adalah : a. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah; b. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI, dan 121

128 komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh PT (PERSERO) PINDAD untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI; c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya; f. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi Pesawat Udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional; g. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan h. atau pemeliharaan serta prasarana yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia dan komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia; i. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk 122

129 mendukung pertahanan Nasional yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau TNI. Khusus mengenai batasan rumah sederhana dan rumah sangat sederhana, seperti yang dimaksud pada poin a, dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 125/PMK.o11/2012, batasannya adalah, rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: a. luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); b. harga jual tidak melebihi: 1) Rp ,00 (delapan puluh delapan juta rupiah) yang meliputi wilayah Sumatera, Jawa, dan Sulawesi, tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; 2) Rp ,00 (sembilan puluh lima juta rupiah) yang meliputi wilayah Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat; 3) Rp ,00 (seratus empat puluh lima juta rupiah) yang meliputi wilayah Papua dan Papua Barat; 4) Rp ,00 (sembilan puluh lima juta rupiah) yang meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bali, Batam, Bintan dan Karimun; dan c. merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. d) Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahan-nya dibebaskan dari pengenaan PPN adalah : a. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi: 1) Jasa persewaan kapal; 2) Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan 123

130 jasa labuh; 3) Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal; b. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi: 1) Jasa persewaan pesawat udara; 2) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara; c. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia; d. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah; e. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana; dan f. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. e) Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 31 Tahun 2007 tentang Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN dapat diketahui hal hal sebagai berikut : Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah : a. barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang; 124

131 b. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan; c. barang hasil pertanian; yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: 1) pertanian, perkebunan, dan kehutanan; 2) peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau 3) perikanan baik dari penangkapan atau budidaya, yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut. d. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran atau perikanan; e. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum; f. listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas (enam ribu enam ratus) watt; dan g. Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) yaitu bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/wc dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan : 1) luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); 2) harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp ,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah); 3. diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp ,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok WP(NPWP); 4. pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun 125

132 sederhana; dan 5. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa : a. barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut; b. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas, dan ikan; c. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan; d. barang hasil pertanian yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang: 1) pertanian, perkebunan, dan kehutanan; 2) peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau 3) perikanan baik dari penangkapan atau budidaya, yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut. dibebaskan dari pengenaan PPN. Atas penyerahanbkp Tertentu yang bersifat strategis berupa : a. Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan BKP, oleh PKP yang menghasilkan BKP tersebut; b. makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan 126

133 makanan ternak, unggas, dan ikan; c. barang hasil pertanian yaitu barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang : 1) pertanian, perkebunan, dan kehutanan; 2) peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau 3) perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut. d. bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan e. air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh Perusahaan Air Minum ; f. listrik kecuali untuk perumahan dengan daya di atas (enam ribu enam ratus) watt; dan g. Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI) yaitu bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/wc dan dapur, baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah bersubsidi atau tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan : 1) luas untuk setiap hunian lebih dari 21 m2 (dua puluh satu meter persegi) dan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi); 2) harga jual untuk setiap hunian tidak melebihi Rp ,00 (seratus empat puluh empat juta rupiah); 3) diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan tidak melebihi Rp ,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per bulan dan telah memiliki Nomor Pokok WP(NPWP); 4) pembangunannya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai persyaratan teknis pembangunan rumah susun 127

134 sederhana; dan 5) merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. Dibebaskan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan atas perolehan BKP dan atau JKP sehubungan dengan penyerahan BKP Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. Apabila BKP Tertentu bersifat strategis berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, ternyata digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor dan atau perolehannya, maka PPN yang telah dibebaskan tetap wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak barang modal tersebut dialihkan penggunaannya atau dipindahtangankan. Jika dalam jangka waktu 1 (satu) bulan PPN yang dibebaskan tidak dibayar, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku dan PPN yang dibayar, tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan." Dalam hal BKP Tertentu yang bersifat strategis berupa RUSUNAMI yang dibebaskan dari pengenaan PPN, ternyata di gunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain sebagian atau seluruhnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau kurang sejak perolehannya atas PPN yang telah dibebaskan wajib dibayar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak BKP Tertentu yang bersifat strategis tersebut dialihkan penggunaannya atau dipindahtangankandengan ditambah sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan PPN yang dibebaskan tidak dibayar, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan PPN yang dibayar tidak dapat di kreditkan sebagai Pajak Masukan. 128

135 3.3. PPN Ditanggung Pemerintah Di samping dua fasilitas PPN yang diamanahkan oleh Undang-undang PPN sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pemerintah dalam beberapa kasus juga masih membuat kebijakan memberikan kemudahan Pajak Ditanggung Pemerintah. Pajak Ditanggung Pemerintah adalah pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam APBN. Negara memandang perlu untuk memberikan insentif kepada sektor-sektor tertentu yang dipandang strategis. Insentif ini diberikan dalam bentuk subsidi pajak. Sehingga di dalam struktur APBN, pajak ditanggung pemerintah ini berada di kedua sisi, yaitu sisi pendapatan dan sisi belanja sekaligus. Fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah diberikan bukan berdasarkan kuasa Undang-Undang PPN. Insentif berupa subsidi pajak ini ditetapkan di dalam Undang-Undang APBN setiap tahunnya. APBN memberikan pagu, yaitu batas maksimal, anggaran subsidi pajak ini. Tentu besarnya bisa berubah-ubah setiap tahun, bahkan bisa dihilangkan sama sekali, tergantung dari kesepakatan pada saat membuat Undang-Undang APBN tersebut. Kita akan lihat beberapa sektor yang pernah mendapat insentif PPN Ditanggung Pemerintah berikut ini: Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak, Gas, dan Panas Bumi Dalam rangka meningkatkan produksi nasional minyak dan gas bumi serta panas bumi, perlu diberikan insentif fiskal kepada kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi. Insentif ini diberikan salah satunya dalam bentuk PPN Ditanggung Pemerintah yang besarnya ditetapkan dalam Undang-Undang APBN setiap tahunnya. PPN ditanggung Pemerintah diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi dengan ketentuan sebagai berikut: a. barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri; b. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau 129

136 c. barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri. Pengusaha yang diberikan insentif ini meliputi: a. Pengusaha di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mengikat kontrak kerjasama dengan Pemerintah Republik Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. b. Pengusaha di bidang kegiatan usaha panas bumi yang telah mengikat kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia atau mendapat Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi setelah tanggal 31 Desember 1994, atau pengusaha di bidang panas bumi yang mendapatkan penugasan untuk melakukan survei pendahuluan dari Pemerintah Republik Indonesia. Barang yang diberikan insentif ini adalah barang-barang yang tercantum dalam Pemberitahuan Pabean Impor yang telah mendapatkan nomor pendaftaran dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai pelabuhan pemasukan. Permohonan untuk mendapatkan PPN ditanggung Pemerintah diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dilampiri dengan Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selanjutnya membubuhkan cap "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK 22/PMK.011/2011" pada semua lembar Pemberitahuan Pabean Impor dan Surat Setoran Pajak. Berdasarkan Daftar Jumlah Pajak Ditanggung Pemerintah, Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk : a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi pajak ditanggung pemerintah; b. membuat Surat Perintah Membayar; dan c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara untuk 130

137 mendapatkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi Pajak Ditanggung Pemerintah. Minyak Goreng Sawit Curah Dalam rangka mendukung stabilisasi harga pangan, atas penyerahan minyak goreng di dalam negeri perlu diberikan subsidi berupa PPN ditanggung Pemerintah. Minyak goreng sawit curah adalah minyak goreng sawit yang tidak bermerek. PKP yang melakukan penyerahan minyak goreng sawit curah di dalam negeri, wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 29/PMK.011/2011". Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi pajak ditanggung Pemerintah. Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selanjutnya memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk: a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi pajak ditanggung pemerintah; b. membuat Surat Perintah Membayar; dan c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi pajak ditanggung Pemerintah. Minyak Goreng Kemasan Sederhana Dalam rangka mendukung stabilisasi harga pangan dan perbaikan kualitas pangan (higienitas), atas penyerahan minyak goreng sawit kemasan "Minyakita" di dalam negeri perlu diberikan subsidi berupa PPN ditanggung Pemerintah. 131

138 Minyak goreng sawit kemasan sederhana adalah minyak goreng sawit curah yang dikemas dengan merek MINYAKITA, diproduksi oleh produsen yang didaftarkan di Kementerian Perdagangan dengan model desain dan spesifikasi kemasan yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. PKP yang melakukan penyerahan minyak goreng sawit kemasan sederhana di dalam negeri, wajib membuat Faktur Pajak dengan membubuhkan cap "PPN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 26/PMK.011/2011". Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak selaku Kuasa Pengguna Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi pajak ditanggung Pemerintah. Selanjutnya Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masing-masing untuk: a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi pajak ditanggung pemerintah; b. membuat Surat Perintah Membayar; dan c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi pajak ditanggung Pemerintah. Subsidi BBM Tertentu dan LPG Tabung 3 kg Bersubsidi PPN yang terutang atas subsidi BBM Jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg yang dibayarkan kepada Pengusaha ditanggung oleh Pemerintah. Pengusaha yang dimaksud disini adalah Pengusaha Kena Pajak yang mendapat penugasan dari Pemerintah untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM Jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna 132

139 Anggaran untuk melaksanakan pembayaran subsidi pajak ditanggung Pemerintah. Besarnya PPN ditanggung Pemerintah atas subsidi BBM Jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg adalah sebesar tarif PPN yang berlaku dikalikan dengan jumlah subsidi BBM jenis Tertentu dan LPG Tabung 3 Kg yang dibayarkan kepada Pengusaha. Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan selaku Kuasa Pengguna Anggaran memerintahkan kepada Pejabat Pembuat Komitmen dan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sesuai tugasnya masingmasing untuk: a. membuat Surat Permintaan Pembayaran atas realisasi belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah; b. membuat Surat Perintah Membayar; dan c. menyampaikan Surat Perintah Membayar kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, untuk mendapatkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai pelaksanaan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk subsidi pajak ditanggung Pemerintah. 133

140

141 BAB PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) SEKTOR P3 4 Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta mampu: menjelaskan pengenaan PBB sektor perkebunan dengan baik; menjelaskan pengenaan PBB sektor perhutanan dengan baik; dan menjelaskan pengenaan PBB sektor pertambangan dengan baik. Saat ini Pajak Bumi dan Bangunan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak terbatas pada tiga sektor saja, yaitu perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Sedangkan, dua sektor yang lain, yaitu sektor pedesaan dan perkotaan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. 1. PBB Sektor Perkebunan 1.1 Objek dan Subjek PBB Sektor Perkebunan Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tentang Pengenaan PBB Sektor Perkebunan, kita ketahui bahwa yang menjadi objek PBB Sektor Perkebunan adalah objek pajak Bumi dan Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha (HGU) perkebunan. Sedangkan yang menjadi subjek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan dan kepadanya di berikan HGU perkebunan. 135

142 1.2 Areal-Areal di Dalam Perkebunan Yang dimaksud dengan areal disini adalah bumi/tanah yang digunakan di dalam areal perkebunan. Adapun areal-areal yang ada di dalam suatu perkebunan terdiri dari Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Emplasemen, dan Areal Lainnya. a. Areal Produktif adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang telah ditanami dengan komoditas perkebunan baik telah menghasilkan ataupun belum menghasilkan. Nilai tanah untuk areal ini merupakan penjumlahan dari Nilai Dasar Tanah (NDT) dengan Standar Investasi Tanaman (SIT). Nilai Dasar Tanah untuk Areal Produktif diperoleh dari perkalian luas tanah areal produktif dengan nilai dasar tanah areal produktif per meter persegi.nilai dasar tanah areal produktif merupakan hasil penilaian di lapangan oleh pejabat fungsional penilai yang dihitung dalam satuan rupiah per meter persegi sedangkan Standar Investasi Tanamannya dihitung dalam satuan rupiah per hektar. Areal Produktif Perkebunan Sumber: Google.com b. Areal Belum Produktif merupakan suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang terdiri dari areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami dan areal yang belum diolah. Nilai tanah untuk areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami merupakan perkalian luas tanah areal sudah diolah tetapi belum ditanami dengan nilai dasar tanah areal sudah diolah tetapi belum ditanami per meter persegi termasuk di dalamnya biaya pembukaan lahan.sedangkan nilai tanah untuk areal yang belum diolah merupakan 136

143 perkalian luas tanah belum diolah dengan nilai dasar tanah areal belum diolah per meter persegi. Contoh areal belum produktif Belum Poduktif Perkebunan Sumber: Google.com c. Areal Emplasemen adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang diatasnya terdapat bangunan-bangunan dan sarana pelengkap lainnya, seperti perumahan karyawan, kantor perusahaan, gudang, dan lain-lain. Nilai tanah untuk areal emplasemen ini adalah merupakan perkalian luas tanah areal emplasemen dengan nilai dasar tanah emplasemen per meter persegi termasuk di dalamnya biaya pematangan tanah. Contoh areal emplasemen. Areal Emplasemen Perkebunan Sumber: Google.com 137

144 d. Areal Lainnya terdiri dari areal tidak produktif/tidak dapat dimanfaatkan(seperti rawa, cadas, dan jurang) dan areal jalan yang meliputi jalan utama yang terletak di dalam/di luar areal perkebunan, jalan produksi yang berfungsi untuk pengumpulan hasil dan jalan kontrol yang berfungsi untuk pengawasan areal perkebunan. Nilai tanah untuk areal tidak produktif merupakan perkalian luas tanah areal tidak produktif dengan nilai dasar tanah areal tidak produktif per meter persegi.sedangkan nilai tanah areal jalan merupakan perkalian luas tanah areal jalan dengan nilai dasar tanah areal jalan per meter persegi termasuk di dalamnya biaya pematangan tanah. Contoh areal lainnya Areal Lainnya Perkebunan Sumber : Google.com 1.3 Standar Investasi Tanaman Perkebunan Sebagaimana disebutkan di atas, yang dimaksud dengan Standar Investasi Tanaman (SIT) Perkebunan adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman perkebunan. Standar Investasi Tanaman perkebunan ini masing-masing berbeda menurut umur dan jenis tanamannya. Misalnya tanaman karet yang berumursatu tahun akan berbeda dengan yang telah berumur lebih dari satu tahun. Tanaman karet akan berbeda standar investasinya dengan tanaman kelapa sawit walaupun umurnya sama. Demikian juga Standar Investasi Tanaman ini berbeda antara satu daerah dengandaerah lain. Dalam penentuan SIT ini terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui sebagai berikut: 138

145 a. Tanaman berumur panjang adalah tanaman yang berumur lebih dari satu tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan lebih dari satu kali dan tidak dibongkar sekali panen. b. Tanaman berumur pendek adalah tanaman yang berumur sampai dengan satu tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan satu kali dan dibongkar sekali panen. c. Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) adalah tanaman pada fase belum menghasilkan yang dimulai dari umur tanaman satu tahun (TBM1) dan seterusnya sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut belum menghasilkan (TBMn) yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman. d. Tanaman Menghasilkan (TM) adalah tanaman pada fase menghasilkan yang dimulai dari tahun pertama tanaman menghasilkan (TM1) sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut menghasilkan (TMn) yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman. e. Satuan Biaya Tanam (SBT) adalah satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun berdasarkan umur dan jenis tanaman. f. Satuan Biaya Pembangunan Kebun (SBPK) adalah satuan biaya tahunan perkegiatan yang meliputi kegiatan pembukaan lahan dan penanaman yang selanjutnya disebut P0, pemeliharaan tahun pertama yang disebut P1, dan seterusnya sampai dengan pemeliharaan tahun terakhir sebelum tanaman tersebut menghasilkan yang disebut Pn untuk setiap hektar perluasan kebun disuatu wilayah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.SBPK yang diterbitkan ini dikelompokkan menjadi 6 (enam) wilayah, yaitu: 1) Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah IstimewaYogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali 2) Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, Bangka Belitung 3) Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau 4) Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur 5) Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur 139

146 6) Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat Secara empiris besarnya biaya tenaga kerja, bahan dan alat adalah sebesar 71% dari biaya dalam SBPK, sedangkan sisanya sebesar 29% merupakan biaya infrastruktur, sertifikasi lahan, management fee dan administrasi. Contoh SBPK tahun 2009 seperti tabel 1.1. Tabel 4.1 SBPK Tahun 2009 g. Indeks Biaya Tanaman yang selanjutnya disebut IBT adalah angka yang digunakan sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM dan disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tabel

147 Tabel 4.2 Indeks Biaya Tanaman 1. Sumber: SE Dirjen Pajak No.SE-149/PJ/2010 Penghitungan SIT untuk tanaman berumur panjang sebagai berikut: a. SIT pada fase TBM ditetapkan sebagai berikut: 1) SIT pada fase TBM1 merupakan SBT pada fase TBM1 2) SIT pada TBM2 merupakan penjumlahan dari SIT pada fase TBM1 dengan SBT pada fase TBM2. 3) SIT pada fase TBMn merupakan penjumlahan dari SIT pada fase TBMn- 1 dengan SBT pada fase TBMn b. SIT pada suatu tahun dalam fase TM ditetapkan sebesar SIT pada 141

148 fase TBM terakhir (TBMn) ditambah dengan SBT pada fase TM tahun tersebut. c. Rincian fase TBM dan TM sesuai umur tanaman masing-masing jenis tanaman adalah seperti tabel 1.3. Tabel 4.3Rincian Fase TBM dan TM Sumber: SE Dirjen Pajak No. SE-149/PJ/

149 Penghitungan SBT pada tanaman berumur panjang adalah sebagai berikut: a. SBT pada fase TBM: 1) SBT pada fase TBM1 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan P0 dan kegiatan P1 2) SBT pada fase TBM2 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan P2 dan seterusnya 3) SBPK pada angka 1) dan angka 2) di atas adalah SBPKuntuktahun sebelum tahun pajak berjalan. 4) Dalam hal SBPK pada angka 3) di atas tidak diterbitkan, maka SBT pada fase TBM tahun pajak berjalan ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT pada fase TBM tahun pajak sebelumnya dengan tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut: SBT t = SBT t-1 x (1 + i) dimana: SBT t = SBT tahun pajak berjalan SBT t-1 = SBT tahun pajak sebelumnya i = tingkat diskonto yang ditetapkan sebesar 10% b. SBT pada fase TM ditetapkan sebesar SBT pada fase TBM terakhir (TBMn) dikalikan dengan IBT pada fase TM tersebut. 143

150 Contoh perhitungan SIT Kelapa Sawit tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 1.4. Tabel 4.4Contoh Perhitungan SIT Kelapa Sawit Sumber: SE Dirjen Pajak No. SE-149/PJ/2010 Penjelasan: Kolom 1: Fase tanaman dikelompokkan menjadi fase TBM dan fase TM. Fase TBM terdiri dari TBM1 (kegiatan P0 dan P1), TBM2 (kegiatan P2) dan seterusnya. Fase TM terdiri dari TM1 sampai dengan TM22 144

151 Kolom 2: Kolom 3: Kolom 4: Kolom 5: Umur tanaman kelapa sawit mulai dari umur 1 tahun sampai 25 tahun IBT yang digunakan sebagai dasar perhitungan SBT pada fase TM SBPK per ha yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun sebelum tahun pajak berjalan pada fase TBM. SBT per ha pada fase TBM untuk tahun pajak berjalan. Perhitungan SBT untuk fase TBM sebagai berikut: a. SBT TBM1 (P0)= 71% x (SBPK P0) = 71% x = x (1+0,1) = Rp ,00 b. SBT TBM1 (P1)= 71% x (SBPK P1) = 71% x = x (1+0,1) = Rp ,00 c. SBT TBM2 (P2)= 71% x (SBPK P2) = 71% x = x (1+0,1) = Rp ,00 d. SBT TBM3 (P3)= 71% x (SBPK P3) = 71% x = x (1+0,1) = Rp ,00 Kolom 6: SBT per ha pada fase TM untuk tahun pajak berjalan. Perhitungan SBT untuk fase TM sebagai berikut: a. SBT TM1 = (SBT TBM3) x (IBT TM1) = x 0,9514 = Rp ,00 b. SBT TM2 = (SBT TBM3) x (IBT TM2) = x 0,9052 = Rp ,00 c. SBT TM3 = (SBT TBM3) x (IBT TM3) = x 0,8613 = Rp ,00 d. Dan seterusnya. Kolom 7: SIT per ha untuk Tahun Pajak berjalan, merupakan nilai tanaman sesuai umurnya, dihitung dengan cara sebagai berikut: a. SIT TBM1 = (SBT TBM1) = (SBT P0) + (SBT P1) = = Rp ,00 145

152 b. SIT TBM2 = (SIT TBM1) + (SBT TBM2) = = Rp22, ,00 c. SIT TBM3 = (SIT TBM2) + (SBT P3) = = Rp ,00 d. SIT TM1 = (SIT TBM3) + (SBT TM1) = = Rp ,00 e. SIT TM2 = (SIT TBM3) + (SBT TM2) = = Rp ,00 f. SIT TM3 = (SIT TBM3) + (SBT TM3) = = Rp ,00 g. Dan seterusnya Kolom 8: SIT per M 2 sebagai dasar ketetapan nilai tanaman. Penghitungan SIT untuk tanaman berumur pendek ditentukan sebesar biaya pengolahan tanah, penanaman, dan pemeliharaan untuk tanaman tersebut. 1.4 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Menghitung PBB Perkebunan a) Dasar Pengenaan Sesuai dengan Undang-Undang PBB, yang menjadi Dasar pengenaan PBB baik sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan, maupun sektor Pertambangan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah harga transaksi rata-rata yang terjadi di pasaran, dan bilamana tidak terdapat transaksi, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek sejenis, atau nilai perolehan baru atau NJOP Pengganti. b) Tarif Tarif PBB di dasarkan kepada Undang-Undang PBB Pasal 5 yang menyebutkan bahwa tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). 146

153 c) Cara Menghitung PBB Perkebunan Untuk menghitung PBB Perkebunan dipergunakan formula sebagai berikut: PBB = Tarif x NJKP x (NJOP NJOPTKP) Dari formula tersebut terdapat beberapa parameter yang masih perlu diuraikan lagi yaitu: a. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). NJKP merupakan Dasar Penghitungan PBB yang menurut Undang-Undang PBB besarnya adalah minimal 20% dan maksimal 100% dari NJOP. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 besarnya NJKP untuk Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan adalah sebesar 40% dari NJOP. b. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). NJOPTKP merupakan suatu batas besarnya NJOP yang tidak dikenakan pajak. Dalam arti bahwa apabila NJOP berada dibawah atau sama dengan angka NJOPTKP, terhadap objek tersebut besarnya pajak PBB menjadi nihil. Besarnya NJOPTKP diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Peraturan Menteri Keuangan yang terakhir tentang NJOPTKP adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor23/PMK.03/2014 yang mengatur bahwa besarnya NJOPTKP adalah sebesar Rp ,- per Wajib Pajak dalam arti bahwa apabila seorang Wajib Pajak memiliki lebih dari satu objek pajak di dalam suatu wilayah kabupaten/kota, maka yang mendapat pengurangan NJOPTKP hanya satu objek saja. Besarnya NJOPTKP berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat. Dari uraian di atas, maka formula penghitungan PBB menjadi: PBB = 0,5% x 40% x (NJOP NJOPTKP) 147

154 Contoh penghitungan PBB Perkebunan sebagai berikut: PT.Sawit Seberang, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah Sumatera Utara memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari tanah dan bangunan dengan rincian sebagai berikut: A. Bumi/Tanah 1. Areal kebun: a. Usia tanaman 2 tahun : 100 Ha, NDT = Rp1.700,00/M 2 S I T (TBM2) : Rp ,00 per Ha b. Tanaman sudah menghasilkan : 300 Ha, NDT = Rp1.700,00/M 2 SIT (TM1) : Rp ,00 per Ha 2. Areal emplasemen : a. Kantor : 0,5 Ha, NDT = Rp14.000,00/M 2 b. Gudang : 1 Ha, NDT = Rp10.000,00/M 2 c. Pabrik : 2 Ha, NDT = Rp10.000,00/M 2 B. Bangunan : 1. Kantor : 500 M2, Nilai Bangunan = Rp ,00/M 2 2. Gudang : M2, Nilai Bangunan = Rp ,00/M 2 3. Pabrik : M2, Nilai Bangunan = Rp ,00/M 2 Hitung PBB atas perkebunan tersebut bila NJOPTKP : Rp ,00 Jawaban: A. Nilai Tanah: 1. Areal Kebun : a. Usia tanaman 2 tahun : 100 x x Rp1.700,00 =Rp ,00 SIT (TBM2): 100 x Rp ,00 =Rp ,00 b. Tanamanmenghasilkan:300x10.000xRp1.700,00 = Rp ,00 SIT (TM1): 300 x Rp ,00 = Rp ,00 2. Areal Emplasemen : a. Kantor : 0,5 x x Rp14.000,00 = Rp ,00 b. Gudang : 1 x x Rp10.000,00 = Rp ,00 c. Pabrik : 2 x x Rp10.000,00 = Rp ,00 Nilai Tanah (1 + 2) = Rp ,00 Nilai Tanah/M 2 = Rp / = Rp5.001,49 Hasil konversi : Kelas 161 = Rp5.000,00 /M 2 NJOP Tanah seluruhnya = x Rp5.000,00 = Rp ,00 B. Nilai Bangunan : 1. Kantor : 500 x Rp ,00 = Rp ,00 2. Gudang : x Rp ,00 = Rp ,00 3. Pabrik : x Rp ,- = Rp ,00 Nilai Bangunan seluruhnya = Rp ,00 Nilai Bangunan/M 2 = Rp /5.500 = Rp ,09 Hasil konversi : Kelas 068 = Rp ,00 /M 2 NJOP Bangunan seluruhnya = x Rp ,00 =Rp ,00 NJOP Tanah dan Bangunan seluruhnya NJOPTK NJOP untuk penghitungan PBB PBB = 0,5% x 40% x Rp ,00 =Rp ,00 =Rp ,00 =Rp ,00 = Rp ,00 148

155 1.5 Penatausahaan PBB Perkebunan Penatausahaan PBB Perkebunan dapat dibagi dua bagian yaitu Pembentukan Basis Data Objek PBB Perkebunan dan Pemeliharaan Basis Data Objek PBB Perkebunan. a) Pembentukan Basis Data Objek PBB Perkebunan Pembentukan Basis Data Objek PBB Perkebunan dimulai dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) Sektor Perkebunan kepada Wajib Pajak PBB Sektor Perkebunan. Pekerjaan penyampaian SPOP dan LSPOP ini dilaksanakan oleh Account Representative(AR) di KPP Pratama. SPOP dan LSPOP yang telah disampaikan kepada Wajib Pajak dipantau pengembaliannya oleh AR yang bersangkutan. SPOP dan LSPOP tersebut harus dikembalikan ke KPP Pratama paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah diterima oleh Wajib Pajak. Apabila setelah tigapuluh hari tidak kembali, kepada Wajib Pajak dikirim Surat Tegoran untuk mengembalikan SPOP dan LSPOP. Apabila setelah diterima Surat Tegoran oleh Wajib Pajak dan SPOP dan LSPOP tersebut tidak juga dikembalikan sesuai dengan tanggal yang tercantum di dalam Surat Teguran, maka kepada Wajib Pajak akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan dimana besarnya pokok pajak secara jabatan kemudian ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% dari pokok pajak secara jabatan tersebut.skp juga dapat diterbitkan apabila dari hasil pemeriksaan ternyata PBB terutang yang telah diterbitkan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB ternyata lebih kecil dari PBB hasil perhitungan data yang ada di dalam SPOP dan LSPOP. Terhadap selisih besarnya pajak diterbitkan SKP ditambah denda 25% dari selisih utang pajak tersebut. Apabila SPOP dan LSPOP kembali dari Wajib Pajak sesuai waktu yang telah ditentukan, kemudian diadakan penelitian terhadap SPOP dan LSPOP tersebut oleh Kepala Seksi Ekstensifikasi. Penelitian mencakup kelengkapan isian dan kebenaran data isian sesuai dengan data pendukung yang dikirim oleh Wajib Pajak sebagai lampiran SPOP dan LSPOP. Dari hasil penelitian SPOP dan LSPOP serta data pendukungnya kemudian data tersebut dimasukkan ke dalam 149

156 Formulir Data Masukan (FDM) dan dilakukan penilaian oleh Fungsional Penilai pada Lembar Kerja Penilaian/Laporan Penilaian. SPOP dan LSPOP serta data yang ada di dalam FDM kemudian direkam (entry data) ke dalam aplikasi Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (Sismiop) untuk Sektor Perkebunan oleh Operator Console (OC). Setelah selesai direkam oleh OC, kemudian dikirimkan ke Pelaksana Seksi Ekstensifikasi untuk ditatausahakan dan diarsipkan. Dari hasil perekaman data kemudian dapat diterbitkan SPPT PBB Perkebunan dan Daftar Himpunan dan Ketetapan Pajak (DHKP) Perkebunan. Contoh SPOP dan LSPOP sektor perkebunan sebagaimana terdapat dalam Lampiran-3 modul ini. b) Pemutakhiran/Pemeliharaan Basis Data Objek PBB Perkebunan Pemutakhiran/pemeliharaan Basis Data Objek PBB Perkebunan dapat dilakukan dengan cara penyampaian SPOP dan LSPOP kepada Wajib pajak Sektor Perkebunan atau melakukan penilaian kembali data yang sudah ada sesuai dengan hasil analisis dari Kepala Seksi Ekstensifikasi. Apabila pemutakhiran basis data PBB Perkebunan dilakukan dengan cara penyampaian SPOP dan LSPOP, maka dilakukan prosedur seperti yang telah dijelaskan pada point di atas. Namun apabila pemutakhiran basis data PBB Perkebunan dilakukan dengan cara penilaian kembali berdasarkan data yang sudah ada pada basis data, maka penilaian kembali dilakukan oleh Fungsional Penilai dengan cara membuat salinan/copy SPOP dan LSPOP serta FDM yang ada pada basis data kemudian meneruskan ke Seksi Ekstensifikasi. Kepala Seksi Ekstensifikasi menandatangani salinan/copy SPOP dan LSPOP serta FDM dan meneruskannya ke Seksi Pengolahan Data dan Informasi untuk kemudian direkam oleh OC ke dalam aplikasi Sismiop PBB Perkebunan. Setelah selesai direkam oleh OC dikembalikan ke Seksi Ekstensifikasi untuk ditatausahakan dan diarsipkan. 2. PBB Sektor Perhutanan 2.1 Objek dan Subjek PBB Sektor Perhutanan Objek pajak PBB perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan. Subjek 150

157 pajak PBB perhutanan adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan. 2.2 Areal-areal di dalam Perhutanan Yang dimaksud dengan areal disini adalah bumi/tanah yang digunakan di dalam areal perhutanan. Adapun areal-areal yang ada di dalam suatu perhutanan adalah sebagai berikut: a) Areal Produktif adalah areal hutan yang telah ditanami pada hutan tanaman, atau areal blok tebangan pada hutan alam. Hutan tanaman merupakan hutan produksi yang dibangun dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Sedangkan yang dimaksud dengan hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan alam merupakan hutan produksi yang di dalamnya telah bertumbuhan pohonpohon alami dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Nilai tanah pada areal produktif hutan tanaman adalah sebesar nilai dasar tanah (NDT) ditambah standar investasi tanaman (SIT), sedangkan nilai tanah areal produktif hutan blok tebangan pada hutan alam adalah sebesar angka kapitalisasi dikalikan dengan hasil bersih setahun. Nilai dasar tanah merupakan hasil penilaianyang dilakukan oleh pejabat fungsional penilai.contoh areal produktif hutan blok tebangan. 151

158 Areal Produktif Hutan Blok Tebangan Sumber: Google.com b) Areal Belum Produktif merupakan areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman, atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam. Nilai tanah areal belum produktif adalah nilai dasar tanah yang merupakan hasil penilaian pejabat fungsional penilai. Contoh areal belum produktif hutan alam. Areal Belum Produktif Hutan Alam Sumber: Google.com c) Areal Emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang diperkeras. Nilai tanah areal emplasemen adalah nilai dasar tanah yang merupakan hasil penilaian dari pejabat fungsional penilai. d) Areal Lain adalah areal hutan selain dari areal produktif, areal belum produktif dan areal emplasemen.areal lain dapat berupa rawa, cadas, jurang, sungai dan sebagainya. Di dalam areal lain terdapat juga areal 152

159 yang disebut Log Ponds yaitu areal perairan (sungai) tempat penimbunan kayu hasil tebangan, sedangkan areal daratan tempat penimbunan kayu disebut Log Yards. Nilai tanah areal lain adalah nilai dasar tanah yang merupakan hasil penilaian pejabat fungsional penilai. Contoh areal lain. Areal Lain Perhutanan Sumber: Google.com 2.3 Standar Investasi Tanaman Perhutanan dan Angka Kapitalisasi Dalam menentukan Nilai Areal Produktif Hutan Tanaman diperlukan Standar Investasi Tanaman (SIT), sedangkan untuk menentukan Areal Produktif Blok Tebangan Hutan Alam diperlukan Angka Kapitalisasi. a) Standar Investasi Tanaman (SIT) Perhutanan. SIT Perhutanan diperlukan untuk mementukan nilai Areal Produktif Hutan Tanaman karena diperlukan biaya untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Untuk menghitung SIT perlu diketahui beberapa istilah yang berhubungan dengan formula perhitungan SIT tersebut yaitu: Satuan Biaya Tanaman (SBT) yaitu satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun berdasarkan umur dan jenis tanaman. Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman (SBPHT) yaitu satuan biaya tahunan per kegiatan yang meliputi kegiatanpembukaan lahan dan penanaman 153

160 (P0), pemeliharaan tahun pertama (P1),danseterusnya sampai pemeliharaan tahun terakhir (Pn) untuk setiap hektar pembangunan hutan tanaman di suatu wilayah, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan.Selanjutnya formula perhitungan SIT Perhutanan dapat dilihat dibawah ini. Formula Perhitungan SIT Perhutanan Sumber: diolah dari SE Dirjen Pajak No.SE-89/PJ/2011 Dalam hal SBPHTB pada tahun sebelum Tahun Pajak tidak diterbitkan, SBT ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT Tahun Pajak sebelumnya dengan tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut: SBT t = SBT t-1 x (1+i) Dimana: SBT t = SBT Tahun Pajak SBT t-1 = SBT Tahun Pajak sebelumnya i = tingkat diskonto (10%) Indeks WilayahPerhutanan menurut Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan terbagi atas 4(empat) wilayah berikut: 154

161 Indeks Wilayah Perhutanan Wilayah I (0,900) Wilayah II (0,970) Wilayah III (1,030) Wilayah IV (1,100) Banten Sulawesi Selatan Jawa Barat Sulawesi Tengah Jawa Tengah Sulawesi Utara DIY Gorontalo Jawa Timur Sulawesi Tenggara Sumatera Utara Kalimantan Tengah Sumatera Barat Kalimantan Barat Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Jambi Bengkulu Lampung Sumber: Ditjen Bina Usaha Kehutanan Kalimantan Timur Riau NAD Kep. Riau Bangka Belitung Bali NTB Papua Papua Barat Maluku Maluku Utara NTT Indeks Tanaman Perhutanan yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut : Indeks Tanaman Perhutanan No. Jenis Tanaman Indeks Tanaman Jelutung Pulai Rotan Sengon Jabon Akasia Jati Tanaman Lainnya 1,0000 0,8850 0,9380 0,9780 0,8780 1,0120 1,0000 Sumber: SE Dirjen Pajak No. SE-89/PJ/2011 b) Angka Kapitalisasi Sebagaimana dijelaskan di atas, besarnya nilai Areal Blok Tebangan pada Hutan Alam adalah sebesar hasil perkalian antara Angka Kapitalisasi dengan Hasil Bersih. Angka Kapitalisasi adalah angka yang digunakan untuk mengonversi 155

162 pendapatan bersih setahun menjadi nilai tanah/bumi Areal Produktif pada Hutan Alam (Areal Blok Tebangan). Besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. c) Penghitungan Pendapatan Bersih Pendapatan Bersih setahun ditentukan sebesar pendapatan kotor setahun dikurangi biaya produksi setahun sebelum tahun pajak. Pendapatan kotor setahun diperoleh dari jumlah produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu setahun dikalikan dengan harga satuan produksi. Semua data mengenai pendapatan ini dapat dilihat di laporan keuangan dari wajib pajak sektor perhutanan. Biaya produksi setahun ditentukan sebesar Rasio Biaya Produksi dikalikan pendapatan kotor setahun. Rasio Biaya Produksi ditentukan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. 2.4 Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Menghitung PBB Perhutanan a) Dasar Pengenaan Sesuai dengan Undang-Undang PBB, yang menjadi Dasar pengenaan PBB baik sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan, maupun sektor Pertambangan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah harga transaksi rata-rata yang terjadi di pasaran, dan bilamana tidak terdapat transaksi, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek sejenis, atau nilai perolehan baru atau NJOP Pengganti. b) Tarif Tarif PBB di dasarkan kepada Undang-Undang PBB Pasal 5 yang menyebutkan bahwa tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). c) Cara Menghitung PBB Perhutanan Untuk menghitung PBB Perhutanan dipergunakan formula sebagai berikut: PBB = Tarif x NJKP x (NJOP NJOPTKP) Karena tarif dan NJKP sudah tertentu (given) maka formula tersebut di atas menjadi: PBB = 0,5% x 40% x (NJOP NJOPTKP) 156

163 Contoh perhitungan PBB Perhutanan (Hutan Tanaman): 1.1. PT. Wanasetra, sebuah perusahaan pengelola hutan tanaman industri memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sebagai berikut : A. Bumi/Tanah 1. Areal produktif a. Tanah yang ditanami komoditas hutan industri dan telah menghasilkan : Tanaman sonokeling : 500 Ha, Nilai Dasar Tanah: Rp5.000,00/M 2 Standar Investasi Tanaman (SIT) = Rp ,00/Ha. b. Tanah yang belum menghasilkan : Sonokeling tahun ke-4 : 100 Ha, NDT = Rp5.000,00/M 2 SIT = Rp ,00/Ha Sonokeling tahun ke-5 : 200 Ha, NDT = Rp5.000,-00M 2 SIT = Rp ,00/Ha 2. Log Ponds (perairan) : 20 Ha, NDT = Rp140,00 /M 2 3. Areal lainnya (rawa, payau) : 50 Ha, NDT = Rp140,00/M 2 4. Areal Emplasemen : a. Pabrik : M2, NDT = Rp1.200,00/M 2 b. Gudang : M2, NDT = Rp1.200,00/M 2 c. Kantor : M2, NDT = Rp1.200,00/M 2 d. Perumahan : M2, NDT = Rp1.200,00/M 2 B. Bangunan : 1. Pabrik : M2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 2. Gudang : 500 M2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 3. Kantor : 200M2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 4. Perumahan : M2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanasetra tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp ,00 157

164 Jawaban: A. NJOP Bumi/Tanah 1. Areal Produktif a. Tanah sudah menghasilkan tanaman sonokeling : 500 x x Rp5.000,00 = Rp ,00 SIT = 500 x Rp ,00 = Rp ,00 b. Tanaman belum menghasilkan : Sonokeling tahun ke-4 : 100x10.000xRp5.000,00 =Rp ,00 SIT = 100 x Rp ,00 = Rp ,00 Sonokeling tahun ke-5 : 200x10.000xRp5.000,00 = Rp ,00 SIT = 200 x Rp ,00 = Rp ,00 2. Log Ponds = 20 x x Rp140,00 =Rp ,00 3. Areal lainnya = 50 x x Rp140,00 =Rp ,00 4. Areal Emplasemen : a. Pabrik = x Rp1.200,00 = Rp ,00 b. Gudang = x Rp1.200,00 = Rp ,00 c. Kantor = x Rp1.200,00 = Rp ,00 d. Perumahan = x Rp1.200,00 = Rp ,00 Nilai Tanah ( ) = Rp ,00 Nilai tanah/m 2 = / = Rp7.191,22 Hasil konversi: Klas 154 = Rp7.150,-/M 2 NJOPBumi/Tanahseluruhnya = xRp7.150,00 = Rp ,00 B. NJOP Bangunan : 1. Pabrik = x Rp ,00 = Rp ,00 2. Gudang = 500 x Rp ,00 = Rp ,00 3. Kantor = 200 x Rp ,00 = Rp ,0 4. Perumahan = x Rp ,00 = Rp ,00 Nilai Bangunan = Rp ,00 Nilai Bangunan/M 2 = /4.700 = Rp ,02 Hasil konversi: Klas 090 = Rp ,-/M 2 NJOP Bangunan seluruhnya = x Rp ,00 = Rp ,00 NJOP Bumi dan Bangunan = Rp ,00 NJOPTKP = Rp ,00 NJOP sebagai dasar perhitungan PBB = Rp ,00 PBB = 0,5% x 40% x Rp ,00 = Rp ,00 158

165 2.5 Penatausahaan PBB Perhutanan Pendaftaran objek pajak atau pemutakhiran data objek pajak sektor perhutanan dilakukan oleh subjek pajak atau wajib pajak dengancara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) dengan jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh subjek pajak atau Wajib Pajak.LSPOP terdiri dari LSPOP untuk Hutan Alam dan LSPOP untuk Hutan Tanaman. Apabila dikuasakan harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.SPOP dan LSPOP harus dilampiri dengan data pendukung berupa dokumen Hak Pengusahaan Hutan dan Peta Digital. Pekerjaan penyampaian SPOP dan LSPOP ini dilaksanakan oleh Account Representative(AR) di KPP Pratama. SPOP dan LSPOP yang telah disampaikan kepada Wajib Pajak dipantau pengembaliannya oleh AR yang bersangkutan. SPOP dan LSPOP tersebut harus dikembalikan ke KPP Pratama paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah diterima oleh Wajib Pajak. Apabila setelah tigapuluh hari tidak kembali, kepada Wajib Pajak dikirim Surat Tegoran untuk mengembalikan SPOP dan LSPOP. Apabila setelah diterima Surat Tegoran oleh Wajib Pajak dan SPOP dan LSPOP tersebut tidak juga dikembalikan sesuai dengan tanggal yang tercantum di dalam Surat Tegoran, maka kepada Wajib Pajak akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan dimana besarnya pokok pajak secara jabatan kemudian ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% dari pokok pajak secara jabatan tersebut. 3. PBB Sektor Pertambangan 3.1. Objek dan Subjek PBB Pertambangan PBB pertambangan terdiri dari Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas), Pertambangan Panas Bumi, dan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). a) Objek PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasanyang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi. 159

166 Dalampertambangan migas, objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi tersebut. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi. Sedangkan subjek pajaknya adalah orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek PBB Migas b) Objek PBB Pertambangan Panas Bumi adalah adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi.Objek pajak bumi terbagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi yang menjadi subjek pajaknya adalah orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atasbumi, dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Panas Bumi.Objek PBB Migas dan Panas Bumi dapat diilustrasikan sebagai berikut : 160

167 Ilustrasi Objek PBB Migas dan Panas Bumi c) Objek PBB Pertambangan Minerba adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minerba. Objek pajak bumi terbagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi. Subjek pajaknya adalah orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Minerba. 161

168 3.2. Areal-areal di dalam Pertambangan a) Untuk Pertambangan Migas: Permukaan bumi Areal Onshore yang dikenakan PBB Migas meliputi Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Tidak Produktif, dan Areal Emplasemen. 1) Areal Produktif adalah tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi migas. Areal produktif di daratan (onshore) seperti gambar berikut. Areal Produktif Pertambangan Minyak (Onshore) Sumber: Google.com 2) Areal Belum Produktif adalah tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi migas. 3) Areal Tidak Produktif adalah tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi migas dan disebut juga areal bekas tambang. Contoh areal bekas tambang 162

169 Areal Bekas Tambang Sumber: Google.com 4) Areal Emplasemen adalah tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam kawasan yang digunakan untuk usaha pertambangan migas yang di atasnya berdiri bangunan dan sarana pendukungnya, tidak termasuk Areal Produktif. Berikut adalah gambar areal emplasemen Areal Emplasemen Pertambangan Sumber: Google.com Permukaan bumi Areal Onshore yang tidak dikenakan PBB Migas berupa Areal Lainnya. Areal Lainnya ini merupakan tanah,dan/atau perairan pedalaman, di dalam wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang tidak 163

170 dikenakan PBB. Contoh dari areal ini misalnya jalan di dalam areal yang telah digunakan untuk kepentingan umum (fasilitas umum/fasum) atau bangunan musholla yang ada di dalam areal pertambangan migas (fasilitas sosial/fasos). Disamping itu, termasuk areal yang tidak dikenakan PBB adalah areal yang secara nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak untuk kegiatan usaha Pertambangan Migas. Permukaan bumi Areal Offshore(areal perairan lepas pantai) yang dikenakan PBB Migas dan Areal Offshore yang tidak dikenakan PBB Migas berupa Areal Lainnya. Areal Offshore yang dikenakan PBB adalah seperti gambar berikut Areal Offshore Pertambangan Migas Sumber: Google.com Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi. Tubuh bumi eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang memiliki potensi Migas akan tetapi belum dieksploitasi untuk menghasilkan produksi migas. Tubuh bumi eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang telah menghasilkan hasil produksi berupa Migas. Contoh ilustrasi tubuh bumi adalah seperti gambar berikut. 164

171 Ilustrasi Tubuh Bumi b) Untuk Pertambangan Panas Bumi: Permukaan bumi Areal Onshore yang dikenakan PBB Panas Bumi meliputi Areal Produktif, Areal Belum Produktif, Areal Tidak Produktif, dan Areal Emplasemen. Pengertian dari areal-areal ini sama dengan yang diuraikan pada areal pertambangan PBB Migas namun disesuaikan dengan hasil produksinya yaitu Panas Bumi. Permukaanbumi Areal Onshore yang tidak dikenakan PBB Panas Bumi berupa Areal Lainnya. Areal Lainnya ini merupakan tanah, dan/atau perairan pedalaman, di dalam wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang tidak dikenakan PBB seperti jalan umum, musholla.disamping itu juga areal yang secara nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau wajib pajak untuk kegiatan usaha Pertambangan Panas Bumi. Permukaan bumi Areal Offshore yang dikenakan PBB Panas Bumi dan Areal Offshore yang tidak dikenakan PBB Panas Bumi berupa Areal Lainnya. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi. Tubuh bumi eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang memiliki potensi panas bumi akan tetapi belum dieksploitasi untuk menghasilkan produksi panas bumi.tubuh bumi eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di bawah 165

172 permukaan bumi pada wilayah kerja atau wilayah sejenisnya yang telah menghasilkan hasil produksi berupa panas bumi. c) Untuk Pertambangan Minerba Permukaan bumi Areal Onshore meliputi Areal Produktif, Areal Belum Produktif (Areal Cadangan Produksi & Areal BelumDimanfaatkan), Areal Tidak Produktif, Areal Emplasemen, dan Areal Pengaman. 1) Areal Produktif adalah areal yang dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan yang sedang dilakukan pengambilan bahan galian tambang. Contoh areal produktif tambang batubara adalah seperti gambar berikut: Areal Produktif Tambang Batubara Sumber: Google.com 2) Areal Cadangan Produksi adalah areal yang dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan, tetapi belum dilakukan pengambilan galian tambang. Areal ini dapat juga disebut areal siap untuk ditambang. 3) Areal Belum Dimanfaatkan adalah areal yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan atau areal yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan/atau studi kelayakan. 4) Areal Tidak Produktif adalah areal yang sama sekali tidak dapat diusahakan untuk kegiatan penambangan seperti cadas, rawa, payau, atau areal yang telah selesai diusahakan yang biasa disebut areal bekas tambang. 166

173 5) Areal Emplasemen adalah areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan dan/atau pekarangan serta fasilitas penunjangnya. 6) Areal Pengaman adalah areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan. Permukaan bumi Areal Offshore (perairan lepas pantai) Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari Tubuh Bumi Eksplorasi dan Tubuh Bumi Operasi Produksi. Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang memiliki potensi hasil produksi galian tambang berupa sumber daya mineral dan batubara akan tetapi belum dieksploitasi untuk menghasilkan produksi mineral dan batubara a. Tubuh Bumi Operasi Produksi adalah tubuh bumi yang telah menghasilkan hasil produksi galian tambang berupa mineral dan batubara. Berikut gambar tubuh bumi operasi produksi tambang batubara Tubuh Bumi Operasi Produksi Tambang Batubara Sumber: Google.com 3.3. Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Menghitung PBB Pertambangan a) Dasar Pengenaan Sesuai dengan Undang-Undang PBB, yang menjadi Dasar pengenaan PBB baik sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan, maupun sektor Pertambangan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah harga 167

174 transaksi rata-rata yang terjadi di pasaran, dan bilamana tidak terdapat transaksi, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek sejenis, atau nilai perolehan baru atau NJOP Pengganti. b) Tarif Tarif PBB di dasarkan kepada Undang-Undang PBB Pasal 5 yang menyebutkan bahwa tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). c) Cara Menghitung PBB Pertambangan Untuk menghitung PBB Pertambangan dipergunakan formula sebagai berikut: PBB = Tarif x NJKP x (NJOP NJOPTKP) Karena tarif dan NJKP sudah tertentu (given) maka formula tersebut di atas menjadi: PBB = 0,5% x 40% x (NJOP NJOPTKP) Contoh Perhitungan PBB Pertambangan Migas: PT. Mutiara Hitam, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di pedalaman Kalimantan menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sbb: A. Bumi (Tanah) a. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,00/M 2 b. Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,00/M 2 c. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,00/M 2 d. ArealLainnya : 1 Ha; Nilai = Rp150,00/M 2 e. Areal Emplasemen: 1. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,00/M 2 2. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,00/M 2 3. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,00/M 2 4. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,00/M 2 B. Bangunan : 1. Pabrik : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 2. Gudang : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 3. Kantor : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 4. Perumahan : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 C. Hasil penjualan minyak bumi setahun sbb: 168

175 1. Triwulan pertama produksi sebesar: barrel dengan harga US $100 per barrel 2. Triwulan kedua produksi sebesar: barrel dengan harga US $100 per barrel 3. Triwulan ketiga produksi sebesar barrel dengan harga US $100 per barrel 4. Triwulan keempat produksi sebesar barrel dengan harga US $100 per barrel. Angka Kapitalisasi = 10,04 Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp11.000,00 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT.Mutiara Hitam tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp ,00 Jawaban: Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut: Triwulan pertama: x 100 x ,00 = Rp ,00 Triwulan kedua: x 100 x ,00 = Rp ,00 Triwulan ketiga: x 100 x ,00 = Rp ,00 Triwulan keempat: x 100 x ,00 = Rp ,00 + Total hasil penjualan setahun = Rp ,00 A. NJOP Bumi: a. Tubuh bumi eksploitasi = 10,04x = Rp ,00 b. Areal Produktif = 200 x x 300 = Rp ,00 c. Areal Belum Produktif = 300 x x 200 = Rp ,00 d. Areal Tidak Produktif = 100 x x 150 =Rp ,00 e. Areal Lainnya = 1 x x 150 = Rp ,00 f. Areal Emplasemen: 1. Pabrik: 20 x x 900 =Rp ,00 2. Gudang: 2 x x 900 =Rp ,00 3. Kantor: x =Rp ,00 4. Perumahan: 5 x x =Rp ,00 + Jumlah Nilai Bumi: =Rp ,00 Nilai Bumi/M 2 = / = Rp ,63 Hasil konversi: Klas 085 = Rp ,00/M 2 NJOP Bumi seluruhnya x Rp ,00 = Rp ,00 B. NJOP Bangunan: 1. Pabrik: x = Rp ,00 169

176 2. Gudang: x = Rp ,00 3. Kantor: x = Rp ,00 4. Perumahan: x = Rp ,00 + Jumlah Nilai Bangunan: = Rp ,00 Nilai Bangunan/M 2 = / = Rp ,58 Hasil konversi: Klas 082 = Rp ,00/M 2 NJOP Bangunan seluruhnya = x Rp ,00 =Rp ,00 Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp ,00 NJOPTKP: = Rp ,00 NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp ,00 PBB= 0,5% x 40% x = Rp ,00 Contoh perhitungan PBB Pertambangan Panas Bumi PT.Saptapertala, sebuah perusahaan di bidang sumber energi panas bumi di daerah Jawa Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sebagai berikut: A. Bumi (Tanah) 1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,00/M 2 2. Areal Belum Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp350,00/M 2 3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp300,00/M 2 4. Areal Lain : 1 Ha; Nilai = Rp200,00/M 2 5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp3.500,00/M 2 b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp5.000,00/M 2 c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp5.000,00/M 2 d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp10.000,00/M 2 B. Bangunan : 1. Pabrik : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 2. Gudang : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 3. Kantor : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 4. Perumahan : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 C. Hasil penjualan uap panas bumi setahun sbb: 1. Triwulan pertama produksi sebesar: Kwh dengan harga US$0,10 per Kwh 2. Triwulan kedua produksi sebesar: Kwh dengan harga US $0,10 per Kwh 3. Triwulan ketiga produksi sebesar Kwh dengan harga US $0,10 per Kwh 4. Triwulan keempat produksi sebesar Kwh dengan harga US $0,10 per Kwh Angka Kapitalisasi = Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp11.000,00 170

177 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Sapta Pertala tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp ,00 Jawaban: Hasil penjualan uap panas bumi setahun sebagai berikut: 1. Triwulan pertama : x US $0.10 x Rp11.000,00 = Rp ,00 2. Triwulan kedua : x US $0,10 x Rp11.000,00 = Rp ,00 3. Triwulan ketiga : x US $0,10 x Rp11.000,00 = Rp ,00 4. Triwulan keempat : x US $0,10 x Rp11.000,00 = Rp ,00 Jumlah total hasil penjualan uap panas bumi = Rp ,00 A. NJOP Bumi: a. Tubuh Bumi eksploitasi = 10,04 x ,00 = Rp ,00 b. Areal Produktif = 200 x x 400 = Rp ,00 c. Areal Belum Produktif = 200 x x 350 = Rp ,00 d. Areal Tidak Produktif = 100 x x 300 = Rp ,00 e. Areal Lain = 1 x x 200 = Rp ,00 f. Areal Emplasemen: 1. Pabrik : 20 x x = Rp ,00 2. Gudang : 2 x x = Rp ,00 3. Kantor : 1 x x = Rp ,00 4. Perumahan : 5 x x = Rp ,00 + Jumlah Nilai Bumi: = Rp ,00 Nilai Bumi/M 2 = / = Rp929,87 Hasil konversi: Klas 185 = Rp910,00/M 2 NJOP Bumi seluruhnya = x Rp910,00 = Rp ,00 B. NJOP Bangunan: 1. Pabrik : x = Rp ,00 2. Gudang : x = Rp ,00 3. Kantor : x = Rp ,00 4. Perumahan : x = Rp ,00 + Jumlah Nilai Bangunan: = Rp ,00 Nilai Bangunan/M 2 = / = Rp ,46 Hasil konversi: Klas 082 = Rp ,00/M 2 NJOP Bangunan seluruhnya = x Rp ,00 = Rp ,00 Jumlah NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp ,00 NJOPTKP: = Rp ,00 NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp ,00 PBB= 0,5% x 40% x Rp ,00 = Rp ,00 Contoh perhitungan PBB Pertambangan Batubara PT. Equatorial Mining, sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan sebagai berikut : A. Bumi (Tanah) 1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,00/M 2 171

178 2. Areal Belum Produktif : a. Areal Cadangan Produksi : 500 Ha; Nilai = Rp300,00/M 2 b. Areal Belum Dimanfaatkan : 100 Ha; Nilai = Rp300,00/M 2 3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp200,00/M 2 4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,00/M 2 5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp1.200,00/M 2 b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp1.200,00/M 2 c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp5.000,00/M 2 d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp10.000,00/M 2 B. Bangunan : 1. Pabrik : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 2. Gudang : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 3. Kantor : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 4. Perumahan : M 2 ; Nilai = Rp ,00/M 2 C. Hasil bersih penjualan bahan galian tambang setahun = Rp1 Milyar Angka Kapitalisasi = 10,25 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT.Equatorial Mining tersebut apabila NJOPTKP = Rp12 juta Jawaban: A. NJOP Bumi/Tanah : 1. Tubuh Bumi Operasi Produksi =10,25 x Rp1milyar = Rp ,00 2. Areal Produktif = 200 x x 400 = Rp ,00 3. Areal Belum Produktif : a. Areal Cadangan Produksi = 500 x x 300 = Rp ,00 b. Areal Belum Dimanfaatkan = 100 x x 300 =Rp ,00 4. Areal tidak produktif : = 100 x x 200 = Rp ,00 5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20 x x Rp1.200,00 = Rp ,- b. Gudang : 2 x x Rp1.200,00 = Rp ,- c. Kantor : 1 x x Rp5.000,00 = Rp ,- d. Perumahan : 5 x x Rp10.000,00 = Rp ,- Nilai Bumi/Tanah ( ) : = Rp ,- Nilai Bumi/M 2 = / = Rp1.413,15 Hasil konversi: Klas 180 = Rp1.440,00/M 2 NJOP Bumi seluruhnya = x Rp1.440,00 = Rp ,00 B. NJOP Bangunan 1. Pabrik : x Rp ,00 = Rp ,00 2. Gudang : x Rp ,00 = Rp ,00 3. Kantor : x Rp365.00,00 = Rp ,00 4. Perumahan : x Rp ,00 = Rp ,00 Nilai Bangunan ( ) : = Rp ,00 172

179 Nilai Bangunan/M 2 = / = Rp ,98 Hasil konversi: Klas 086 = Rp ,00/M 2 NJOP Bangunan seluruhnya= x = Rp ,00 NJOP Bumi + Bangunan : = Rp ,00 NJOPTKP : = Rp ,00 NJOP untuk perhitungan PBB : = Rp ,00 PBB= 0,5% x 40% x Rp = Rp , Penatausahaan PBB Pertambangan Pendaftaran objek pajak atau pemutakhiran data objek pajak sektor pertambangan dilakukan oleh subjek pajak atau wajib pajak dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) dengan jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh subjek pajak atau Wajib Pajak dan dilengkapi dengan data pendukung. SPOP dan LSPOP terdiri dari SPOP dan LSPOP Onshore, SPOP dan LSPOP Offshore dan SPOP dan LSPOP Tubuh Bumi. Apabila pengisian dan penandatangan SPOP dikuasakan kepada orang lain maka harus dilampiri Surat Kuasa Khusus. Pekerjaan penyampaian SPOP dan LSPOP ini dilaksanakan oleh Account Representative (AR) di KPP Pratama. SPOP dan LSPOP yang telah disampaikan kepada Wajib Pajak dipantau pengembaliannya oleh AR yang bersangkutan. SPOP dan LSPOP tersebut harus dikembalikan ke KPP Pratama paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah tanggal diterima oleh Wajib Pajak. Apabila setelah tigapuluh hari SPOP dan LSPOP tersebut tidak kembali, kepada Wajib Pajak dikirim Surat Tegoran untuk mengembalikan SPOP dan LSPOP. Apabila setelah diterima Surat Tegoran oleh Wajib Pajak dan SPOP dan LSPOP tersebut tidak juga dikembalikan sesuai dengan tanggal yang tercantum di dalam Surat Tegoran, maka kepada Wajib Pajak akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) secara jabatan dimana besarnya pokok pajak secara jabatan kemudian ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% dari pokok pajak secara jabatan tersebut. SKP juga dapat diterbitkan apabila dari hasil pemeriksaan ternyata PBB terutang yang telah diterbitkan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB ternyata lebih kecil dari PBB hasil perhitungan data SPOP dan LSPOP. Terhadap selisih besarnya pajak diterbitkan SKP ditambah denda 25% dari selisih utang pajak tersebut. 173

180

181 BAB BEA METERAI 5 Indikator Keberhasilan Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta dapat: menjelaskan objek bea meterai dengan baik; menjelaskan saat terutang bea meterai dengan baik; dan menjelaskan tarif bea meterai dengan baik. 1. Objek Bea Meterai Pasal 1 UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai menyebutkan bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Objek bea meterai adalah dokumen. Jika tidak dibuat dokumen, maka tidak ada masalah pengenaan bea meterai. Selanjutnya UU Bea Meterai mengisyaratkan bahwa yang menjadi objek bea meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewamenyewa, menerima uang, melakukan pemborongan pekerjaan, dan sebagainya; melainkan dokumen yang dibuat untuk melakukan telah terjadi perbuatan itu, seperti akta jual beli, akta atau surat perjanjian sewa menyewa, kuitansi, surat perjanjian pemborongan pekerjaan, dan sebagainya. Isi surat perjanjian yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, misalnya saja jual beli tanah di bulan atau perjanjian mengenai perbuatan yang dilarang, tidak menjadi penghalang untuk mengenakan bea meterai atas surat perjanjian mengenai hal hal tersebut. Dalam praktik di masyarakat di mungkinkan dua pihak atau lebih mengadakan perjanjian tersebut, tetapi tanpa membuat dokumen yang berkaitan dengan perjanjian dimaksud (tanpa surat perjanjian). Terhadap keadaan ini tidak ada permasalahan mengenai bea meterai karena yang dikenakan bea meterai adalah dokumen, bukan perjanjian yang diadakan tersebut. 1. Dokumen yang DikenakanBea Meterai 175

182 Sesuai dengan pasal 2 UU Bea Meterai dokumen yang dikenakan bea meterai adalah : a. Surat perjanjian dan surat surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata. b. Akta akta notaris sebagai salinannya. c. Akta akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkaprangkapnya. d. Surat yang memuat jumlah Uang, yaitu; 1) Yang menyebutkan penerimaan uang; 2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; 3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dan 4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek. f. Efek dalam nama dan bentuk apapun Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut pada huruf d, e, dan f diatas juga dimaksudkan termasuk jumlah uang atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan bea meterai. Pasal 4 UU Bea Meterai mengatur tidak dikenakan bea meterai atas dokumen berikut: a. dokumen yang berupa : 1) surat penyimpanan barang; 2) konosemen; 3) surat angkutan penumpang dan barang; 4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3); 5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; 6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; 176

183 7) surat surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6). b. segala bentuk Ijazah; c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu; d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank; e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank; f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi; g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut; h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian; i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. Saat Terutangnya Bea Meterai Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda admininistrasi yang terutang. Saat terutang bea meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat. Pasal 5 UU Bea Meterai menentukan saat terutang bea meterai sebagai berikut: a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan; Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud saat dokumen itu diserahkan termasuk juga bahwa pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya. b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. 177

184 Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut. c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. 3. Tarif Bea Meterai Tarif bea meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak disebutkan secara jelas dalam UU Bea meterai, namun secara implisit dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu dokumen yang merupakan surat ya.ng dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi dari dokumen tersebut. Selain itu dokumen yang memuat jumlah uang akan dikenakan tarif bea meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat dalam dokumen itu. Tarif bea meterai ditetapkan dengan undang undang. Berdasarkan tarif tarif yang dikenakan atas dokumen dokumen sebagaimana tersebut pada Pasal 2 UU Bea Meterai, tarif bea meterai adalah Rp 1.000, dan Rp 500,. Selanjutnya dalam Pasal 3 UU Bea Meterai disebutkan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi tingginya enam kali atas dokumen dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Berdasarkan ketentuan ini, seiring dengan adanya perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan dua kali penyesuaian tarif dan besarnya harga nominal yang dikenakan bea meterai, yaitu perbahan pertama dengan Peraturan Pemerinth Nomor 7 tahun 1995, tarif bea meterai diubah menjadi Rp 1.000, dan Rp 2.000, Perubahan kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000,yaitu tarif bea meterai ditentukan sebesar Rp 3.000, dan Rp 6.000,. 178

185 4. Sanksi Terkait Bea Meterai 4.1 Sanksi Administrasi Salah satu daya paksa yang dapat dilakukan oleh fiskus untuk menerapkan pajak terhadap masyarakat atau wajib pajak adalah adanya sanksi yang tegas terhadap barang siapa yang melakukan pelanggaran ketentuan perpajakan. Hal ini juga berlaku dalam pengenaan dan pemungutan bea meterai. Pasal 8 UU Undang Bea Meterai dengan tegas mengatur bahwa dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Pemegang dokumen dimaksud harus melunasi bea meterai yang terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian. Pengenaan sanksi denda ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini. 1. Dokumen yang menurut ketentuan dikenakan bea mcterai Rp 6.000,00 tetapi temyata tidak diberi meterai. Besarnya pemeteraian kemudian yang harus 179

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN I. UMUM 1. Undang-Undang

Lebih terperinci

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP

Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP Self assessment : WP membayar pajak sesuai UU tidak tergantung SKP Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Lebih terperinci

MANAJEMEN PERPAJAKAN

MANAJEMEN PERPAJAKAN MANAJEMEN PERPAJAKAN MODUL 9 Dosen : Jemmi Sutiono Ruang : B-305 Hari : Minggu Jam : 13:30 16:00 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2011 Manajemen Perpajakan Jemmi Sutiono Pusat

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5268 EKONOMI. Pajak. Hak dan Kewajiban. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162) I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak?

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak? Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak? Pendahuluan Seorang teman bertanya kepada saya. Dapatkah Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak berlangsung?

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM. SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan : Pasal 1 1. Wajib Pajak adalah

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA 1. Pembayaran atau Penyetoran Pajak yang Terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa yang Dilakukan Setelah Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran atau Penyetoran Pajak

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

1

1 0 1 2 3 4 SOAL TEORI KUP Menurut Pasal 1 UU KUP, Penelitian adalah serangkaian kegiatan menilai kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya, termasuk penilaian kebenaran penulisan dan perhitungannya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

PERAN KASIH SAYANG DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

PERAN KASIH SAYANG DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA PERAN KASIH SAYANG DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Penulis A, Penulis B RSPI Abstract Tax societies should be well understood about tax regulations. Moreover a tax authority is expected to be able

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam BAB III GAMBARAN DATA A. Pengertian Penagihan Pajak Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayarkan

Lebih terperinci

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG.

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG. PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG. 1 ALUR KUP WP SPT SKP Inkraacht 3 bulan (dikrim) Daftar Inkraacht Pemeriksaan Keberatan Inkraacht 5 tahun 3 bulan(dite rima)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1.Landasan Teori 2.1.1. Definisi Pajak Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang

Lebih terperinci

PENETAPAN DAN KETETAPAN

PENETAPAN DAN KETETAPAN PENETAPAN DAN KETETAPAN Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Lebih terperinci

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi : Account Representative Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pajak Menurut pasal 1 angka 1 Undang-undang perpajakan No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN UMUM 1. Peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.162, 2011 EKONOMI. Pajak. Hak dan Kewajiban. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA

OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA OLEH: Yulazri SE. M.Ak. Akt. CPA Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP) Dasar Hukum : No. Tahun Undang2 6 1983 Perubahan 9 1994 16 2000 28 2007 16 2009 SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) SPT Surat yg oleh

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Materi: 2 & 3 KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Afifudin, SE., M.SA., Ak. (Fakultas Ekonomi-Akuntansi Unisma) Jl. MT. Haryono 193 Telp. 0341-571996, Fax. 0341-552229 E-mail: afifudin26@gmail.com atau

Lebih terperinci

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi : Account Representative Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT

Lebih terperinci

PENGANTAR PERPAJAKAN HAK WAJIB PAJAK

PENGANTAR PERPAJAKAN HAK WAJIB PAJAK PENGANTAR PERPAJAKAN HAK WAJIB PAJAK HAK WAJIB PAJAK 1. Menunda penyampaian surat pemberitahuan 2. Pembetulan Surat Pemberitahuan 3. Mengangsur pembayaran 4. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Restitusi)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012. Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26. Tahun Pajak : 2010 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Pasal 26 Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap

Lebih terperinci

Surat Ketetapan Pajak. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

Surat Ketetapan Pajak. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Surat Ketetapan Pajak Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com Surat ketetapan pajak UU Nomor 28 tahun 2007 Surat ketetapan meliputi Surat ketetapan pajak kurang bayar Surat ketetapan pajak

Lebih terperinci

MENELISIK PERBEDAAN PEMBETULAN SPT DENGAN PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN SPT

MENELISIK PERBEDAAN PEMBETULAN SPT DENGAN PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN SPT MENELISIK PERBEDAAN PEMBETULAN SPT DENGAN PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN SPT Oleh: Irwan Aribowo Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak Abstract Tax societies should understand well about tax regulations. Moreover

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan 1 PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PPA K RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Oleh : 1. Ahmad Satria Very S 2. Bagus Arifianto PPAK KELAS MALAM RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Ketentuan Umum dan Tata Cara

Lebih terperinci

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak? (Oleh : Johannes Aritonang -Widyaiswara Madya pada BDK Pontianak)

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak? (Oleh : Johannes Aritonang -Widyaiswara Madya pada BDK Pontianak) Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak? (Oleh : Johannes Aritonang -Widyaiswara Madya pada BDK Pontianak) Pendahuluan Seorang teman bertanya kepada saya. Dapatkah Wajib Pajak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.902, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Pajak. Surat Ketetapan. Tagihan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA PENERBITAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Penghasilan 2.1.1. Pajak Penghasilan Badan Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan

Lebih terperinci

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP)

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP) KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP) ------------------------------------------------------------------------------------------------------------ BEBERAPA PERUBAHAN POKOK UU

Lebih terperinci

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian BAB 4 Pembahasan Hasil Penelitian 4.1 Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikomsumsi di dalam daerah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.1 Surat Ketetapan Pajak (SKP) Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat

Lebih terperinci

1 of 5 21/12/ :19

1 of 5 21/12/ :19 1 of 5 21/12/2015 14:19 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK DAN SURAT TAGIHAN

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan

2018, No Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan No.180, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. SPT. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 /PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 06/PJ/2012 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 06/PJ/2012 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 06/PJ/2012 TENTANG TATA CARA PENATAUSAHAAN, PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN SEHUBUNGAN DENGAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAK DAN/ATAU PENGUSAHA

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI

KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI KEMENTERIAN KEUANGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SOSIALISASI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 29/PMK.03/2015 TENTANG PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI BUNGA YANG TERBIT BERDASARKAN PASAL 19 AYAT (1) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis

BAB IV PEMBAHASAN. Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis BAB IV PEMBAHASAN Dalam analisa penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai, penulis melakukan pemeriksaan pajak dengan menguji dan memeriksa ketaatan perpajakan, serta kebenaran jumlah dalam SPT

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Materi: 2 KETENTUAN UMUM & TATA CARA PERPAJAKAN Bagian: 1 Afifudin, SE., M.SA., Ak. (Fakultas Ekonomi-Akuntansi Unisma) Jl. MT. Haryono 193 Telp. 0341-571996, Fax. 0341-552229 E-mail: afifudin26@gmail.com

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mengubah: UU 6-1983 lihat: UU 9-1994::UU 28-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 126, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN DATA PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI. namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut

BAB III GAMBARAN DATA PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI. namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut BAB III GAMBARAN DATA PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI A. Saat Terutang Pajak Setiap wajib pajak diwajibkan untuk membayar hutang pajaknya dengan tidak menggantungkan dengan adanya surat ketetapan pajak.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teori dan Literatur 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah sebuah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus dan saling berkesinambungan dengan tujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 7/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 7/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 7/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK, bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15 Peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42997/PP/M.XIII/99/2013. Tahun Pajak : 2010

Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42997/PP/M.XIII/99/2013. Tahun Pajak : 2010 Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.42997/PP/M.XIII/99/2013 Jenis Pajak : Gugatan Tahun Pajak : 2010 Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah gugatan terhadap Keputusan Tergugat Nomor

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Tata Cara Pembetulan

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Tata Cara Pembetulan Kementerian Keuangan RI Direktorat Jenderal Pajak Tata Cara Pembetulan PJ.091/KUP/S/022/2014-00 Dasar Hukum Pasal 16 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2017 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2017 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGURANGAN DENDA ADMINISTRASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN JALAN BINTARO UTAMA SEKTOR V BINTARO JAYA, TANGERANG SELATAN 15222 TELEPON (021) 7361654-58;

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pemahaman Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut: 1. Soemahamidjaja yang dikutip oleh Ilyas

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA 3.1. Gambaran Singkat Operasi Perusahaan Agar perencanaan pajak dapat dilakukan dengan baik dan dipahami oleh pihak-pihak

Lebih terperinci

TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-...(1)...

TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-...(1)... 11 2012, No.526 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN DAN PENCABUTAN PENETAPAN WAJIB PAJAK DENGAN KRITERIA TERTENTU DALAM RANGKA PENGEMBALIAN

Lebih terperinci

BAGIAN 1 NOMOR POKOK WAJIB PAJAK. e-registration melalui laman Direktorat Jenderal Pajak

BAGIAN 1 NOMOR POKOK WAJIB PAJAK. e-registration melalui laman Direktorat Jenderal Pajak BAGIAN 1 Sebagaimana yang dipaparkan pada pertemuan sebelumnya bahwa salah satu inti pengertian pajak adalah dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI ATAS KETERLAMBATAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN, PEMBETULAN SURAT PEMBERITAHUAN, DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup. cukup dalam membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup. cukup dalam membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tugas Akhir Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup masyarakat.dengan demikian, negara diharapkan memiliki penghasilan yang cukup dalam membiayai kepentingan

Lebih terperinci

, No.1645 sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undan

, No.1645 sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undan No.1645, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Sanksi Administrasi. Pengurangan. Pajak Bumi dan Bangunan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 197/PMK.03/2015 TENTANG PENGURANGAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN JALAN BINTARO UTAMA SEKTOR V BINTARO JAYA, TANGERANG SELATAN 15222 TELEPON (021) 7361654-58;

Lebih terperinci

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat, LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 40/PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU...,...20... 1) Nomor :...

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Analisis Terhadap Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai PT. HAJ adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perusahaan dagang yakni barang IT yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha

Lebih terperinci

bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00329/NKEB/WPJ.

bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Surat Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00329/NKEB/WPJ. Putusan : Put-87868/PP/M.VA/99/2017 Nomor Jenis Pajak : Gugatan Masa Pajak : 2014 Pokok Sengketa Menurut Tergugat Menurut Penggugat Menurut Majelis : bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Direktorat Jenderal Pajak (fiskus) melakukan ekstensifikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Direktorat Jenderal Pajak (fiskus) melakukan ekstensifikasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan sumber pendapatan Negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Lebih terperinci

Definisi. SPT (Surat Pemberitahuan)

Definisi. SPT (Surat Pemberitahuan) Definisi SPT (Surat Pemberitahuan) Saiful Rahman Yuniarto adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak

Lebih terperinci

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB II TINJUAN PUSTAKA 28 28 BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Pajak 1. Pengertian Pajak Pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan

Lebih terperinci

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN

NO. URUT WEWENANG DIREKTUR JENDERAL PAJAK DASAR HUKUM DILIMPAHKAN KEPADA KETERANGAN LAMPIRAN I PERATURAN NOMOR : PER165/PJ/2005 TENTANG : PERUBAHAN KETUJUH ATAS KEPUTUSAN NOMOR KEP297/PJ/2002 TENTANG PELIMPAHAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK KEPADA PARA PEJABAT DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

SIAPA PEMBAYAR PAJAK: WAJIB PAJAK

SIAPA PEMBAYAR PAJAK: WAJIB PAJAK KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SIAPA PEMBAYAR PAJAK: WAJIB PAJAK 1. orang pribadi atau badan sebagai: pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 197/PMK.03/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 197/PMK.03/2015 TENTANG Menimbang : PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 197/PMK.03/2015 TENTANG PENGURANGAN SANKSI ADMINISTRASI ATAS SURAT KETETAPAN PAJAK, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, DAN/ATAU

Lebih terperinci

SPT (Surat Pemberitahuan) Saiful Rahman Yuniarto

SPT (Surat Pemberitahuan) Saiful Rahman Yuniarto SPT (Surat Pemberitahuan) Saiful Rahman Yuniarto Definisi adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak

Lebih terperinci

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat,

..., ) Yth. Kepala Kantor Pelayanan Pajak... 3) Di... 4) Dengan hormat, LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-40/PJ./2009 TENTANG : TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU...,...20... 1) Nomor

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KUP KETETAPAN DAN PENAGIHAN PAJAK

KUP KETETAPAN DAN PENAGIHAN PAJAK KUP KETETAPAN DAN PENAGIHAN PAJAK 1 SURAT KETETAPAN PAJAK Besarnya pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak sebagai ketetapan pajak tertuang dalam surat yang diistilahkan dengan Surat Ketetapan Pajak.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis

PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK. Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Modul ke: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Modul ke: PERPAJAKAN I KUASA & KONSULTAN PAJAK, PEMERIKSAAN, PENAGIHAN, RESTITUSI PAJAK Fakultas Ekonomi dan Bisnis Deden Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi www.mercubuana.ac.id PENDAHULUAN

Lebih terperinci

POKOK-POKOK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN. Oleh Bambang Kesit Accounting Department UII Yogyakarta 21 Juni 2010

POKOK-POKOK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN. Oleh Bambang Kesit Accounting Department UII Yogyakarta 21 Juni 2010 POKOK-POKOK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN Oleh Bambang Kesit Accounting Department UII Yogyakarta 21 Juni 2010 PRINSIP DASAR DALAM RANGKA PERUBAHAN SELF ASSESMENT KEADILAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Self Assessment System Self assessment system yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Self assessment

BAB I PENDAHULUAN. Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Self assessment BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemungutan pajak di Indonesia mengacu pada sistem self assessment. Self assessment adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Ads by Style%20Ball X i Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 243/PMK.03/2014, 24 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 243/PMK.03/2014 TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN

Lebih terperinci