Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI"

Transkripsi

1

2 Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Ind p 2012 Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Pedoman penerapan kajian Farmakoekonomi,-- Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. ISBN Judul I. PHARMACOPOEIAS

3 PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2013

4 PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI TIM PENYUSUN Pengarah : Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes Penanggung Jawab : Dra. Engko Sosialisne M.,Apt Narasumber/Ahli : Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH Ahmad Fuad Afdhal. Ph.D dr. Jarir At Thobari, Ph.D Pelaksana : dr. Zorni Fadia Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, MKM Rengganis Pranandari, S.Farm, Apt Dina Sintia Pamela, S.Si, Apt Dra. Agusdini B. Saptaningsih, Apt, MARS Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt Yusi Anggriani, Apt, M.Si Vetty Yulianti, M.Si, Apt Dra. Ardiyani, Apt, M.Si Helsy Pahlemi, Apt, M.Si Roy Himawan, S.Farm, Apt Editor : Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt dr. Zorni Fadia Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, MKM

5 KATA PENGANTAR Memperhitungkan biaya obat dalam upaya mengendalikan biaya kesehatan merupakan hal penting dalam pembangunan kesehatan. Untuk menganalisa biaya obat dalam dekade terakhir ini ilmu farmakoekonomi telah semakin berkembang, termasuk di negara negara Asia-Pasifik. Data farmakoekonomi semakin dibutuhkan di banyak negara, seperti Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Taiwan, terutama sebagai bukti pendukung dalam pengambilan keputusan obat apa saja yang akan dimasukkan dalam daftar obat yang digunakan dalam jaminan kesehatan masyarakat, daftar obat esensial atau untuk persetujuan obat baru. Sedangkan di Indonesia, ilmu ini masih baru berkembang, sehingga penerapannya belum banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan penggunaan obat. Dalam penerapan Sistem Jaminan Sosial Nasional pada tahun 2014, termasuk untuk jaminan kesehatan, dengan terbatasnya anggaran yang tersedia, maka aspek pengendalian mutu sekaligus biaya obat, menjadi salah satu hal penting yang mendapatkan perhatian. Sehingga penerapan hasil kajian farmakoekonomi dalam pemilihan dan penggunaan obat secara efektif dan efisien sangat dibutuhkan, bukan hanya oleh Pemerintah, namun juga bagi industri, pendidikan, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada tahun 2011, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian telah menyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan. Pedoman ini merupakan langkah awal dari pemerintah dalam menerapkan ilmu farmakoekonomi dalam pengambilan keputusan. Kami mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun dan semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Pedoman ini. Semoga Pedoman ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi dan referensi yang mendasar tentang kajian farmakoekonomi bagi pihak yang membutuhkan. Diharapkan Pedoman ini dapat dikembangkan lebih lanjut agar penerapan kajian farmakoekonomi dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan akan optimal, sehingga Visi Masyarakat Sehat dan Berkeadilan dapat terwujud. Desember Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi i

6 SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Visi Mewujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan menjadi arah setiap kebijakan Kementerian Kesehatan RI dalam melaksanakan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pencapaian visi ini didukung dengan strategi meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan, terutama dalam rangka mendukung peningkatan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, berkeadilan dan berbasis bukti. Penyusunan buku Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini merupakan salah satu implementasi dari strategi tersebut. Farmakoekonomi telah tumbuh menjadi salah satu metode yang senantiasa diperhatikan dalam penyusunan standar-standar pengobatan, terutama bila menggunakan pembiayaan dari pihak ketiga (misalnya asuransi, jaminan kesehatan masyarakat, dan lainlain). Metode ini memungkinkan pengambil kebijakan kesehatan membuat keputusan terkait obat dan juga untuk berbagai intervensi kesehatan lainnya- yang memiliki nilai efektivitas sebanding dengan biayanya, terutama dalam perspektif kesehatan masyarakat. Pemilihan obat yang cost-effective memungkinkan penggunaan dana pelayanan kesehatan dengan lebih rasional, sehingga kualitas maupun cakupan pelayanan dapat semakin ditingkatkan. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi merupakan acuan yang dapat dimanfaatkan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan agar pelayanan kesehatan berkualitas, menyeluruh, dan berkesinambungan. Buku ini disusun dengan upaya semaksimal mungkin untuk dapat dimengerti oleh setiap tenaga kesehatan yang bergerak di bidang pelayanan, termasuk oleh tenaga kefarmasian. Dengan demikian, diharapkan buku ini dapat menjadi pembuka jalan penerapan aspek farmakoekonomi dalam pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat atau menjadi literatur yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu farmakoekonomi di ii Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

7 Indonesia. Saya berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam penyusunan pedoman ini. Melalui penggunaan obat berbasis farmakoekonomi, pengendalian biaya pelayanan kesehatan yang seimbang dengan luaran (outcome) terapi akan lebih mudah dilakukan, sehingga semakin mewujudkan Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Jakarta, Desember 2012 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi iii

8 DAFTAR ISI Kata Pengantar i Sambutan Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ii Daftar Isi iv Daftar Tabel vi Daftar Gambar vii BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Sasaran Ruang Lingkup Publikasi Pengertian BAB II. TINJAUAN TEORI FARMAKOEKONOMI Perspektif Penilaian Hasil Pengobatan (outcome) Biaya Metode Kajian Farmakoekonomi Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB) Analisis Efektivitas-Biaya (AEB) Analisis Utilitas-Biaya (AUB) Analisis Manfaat-Biaya Penyesuaian Nilai (Discounting) Analisis Sensitivitas BAB III. PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI DI INDONESIA Langkah-langkah Pelaksanaan Kajian Farmakoekonomi Tahap Persiapan Tahap Analisis Contoh Penerapan Kajian Farmakoekonomi Analisis Minimalisasi Biaya Analisis Efektivitas-Biaya Analisis Utilitas-Biaya iv Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

9 BAB IV. INSTRUMEN KAJIAN FARMAKOEKONOMI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Lampiran 1 : SK Dirjen Binfar dan Alkes Nomor HK.03.05/III/502.1/2011 tentang Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi Lampiran 2 : Contoh Formulir Perhitungan Biaya Akibat Sakit Lampiran 3 : Daftar Beberapa Alamat Situs Internet Untuk Penelusuran Jurnal/ Bukti Ilmiah Lampiran 4 : Critical Appraisal Worksheet for Economic Analysis Lampiran 5 : Critical Appraisal Checklist for Economic Evaluations Lampiran 6 : Daftar Narasumber dan Peserta Rapat Finalisasi Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi v

10 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Jenis Biaya menurut Perspektif Tabel 2.2 Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi Tabel 2.3 Kelompok Alternatif berdasarkan Efektivitas-Biaya Tabel 2.4 Contoh Perhitungan RIEB Tabel 2.5 Perhitungan Penyesuaian Nilai Tabel 3.1 Contoh Perhitungan AMiB Tabel 3.2 Langkah Perhitungan Analisis Efektivitas-Biaya Tabel 3.3 Langkah Perhitungan Analisis Utilitas-Biaya vi Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

11 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Diagram Efektivitas-Biaya Gambar 2.2 Diagram JTKD/QALY (Quality-adjusted life years) Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi vii

12

13 BAB I PENDAHULUAN

14

15 BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kesehatan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin bahwa setiap penduduk Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhan, tanpa memandang kemampuan membayar. Sebagai anggota dari komunitas peradaban dunia, Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) Komitmen pencapaian MDGs ini telah dituangkan dalam berbagai target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan periode Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai saat ini Indonesia masih terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut. Jumlah penduduk miskin dengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan tekanan beban ganda penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi. Dengan masuknya berbagai teknologi baru yang umumnya lebih mahal, membuat biaya pelayanan kesehatan terus meningkat. Di sisi lain, anggaran kesehatan yang tersedia masih terbatas dan belum memadai. Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang tidak dapat diimbangi dengan peningkatan anggaran tersebut membuat pencapaian target MDGs, bahkan upaya pembangunan kesehatan secara umum, menghadapi kendala. Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan reformasi di bidang kesehatan, termasuk reformasi pembiayaan kesehatan. Reformasi Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu prioritas nasional dijabarkan dalam beberapa area perubahan yang antara lain meliputi pembiayaan untuk pemenuhan kebutuhan dasar pelayanan medis dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar promotif dan preventif; penyediaan obat esensial KIA/KB, malaria, tuberkulosis, HIV/AIDS, dan penyakit lainnya; serta penyediaan sumberdaya kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar. Titik tolak reformasi kesehatan yang dilakukan Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 1

16 secara terpadu tersebut adalah untuk meniadakan, atau setidaknya mempersempit, disparitas derajat kesehatan di antara berbagai kelompok masyarakat. Ruang lingkup Reformasi Kesehatan Masyarakat mencakup antara lain penyusunan kebijakan strategis dan perencanaan berbasis bukti yang dapat menjamin terlaksananya alokasi sumber daya yang efektif. Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan efisiensi guna mencapai efektivitas-biaya (cost-effectiveness) setinggi mungkin, yang ditunjukkan dengan perolehan hasil terbaik dengan biaya terendah. Guna mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah ini perlu digunakan kaidah farmakoekonomi sebagai alat bantu. Dalam penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) atau Formularium Rumah Sakit, misalnya untuk pemilihan jenis obat yang akan dimasukkan ke dalamnya perlu dilakukan pembandingan efektivitas terapi, termasuk frekuensi manfaat dan efek samping yang tidak diinginkan dari dua atau lebih obat yang berbeda, sekaligus biaya (dalam unit moneter) yang diperlukan untuk satu periode terapi dari masing-masing obat tersebut. Dalam hal ini, biaya obat untuk satu periode terapi adalah banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk pembelian obat atau pembayaran perawatan kesehatan sampai seorang pasien mencapai kesembuhan. Dengan demikian, pemilihan obat tidak hanya didasarkan pada harga per satuan kemasan. Dalam sistem jaminan kesehatan masyarakat yang berlaku di Indonesia saat ini, Jamkesmas dan/atau Jamkesda, proporsi biaya obat dialokasikan maksimal 30% dari biaya perawatan kesehatan. Kenyataannya, konsumsi obat nasional mencapai 40% dari belanja kesehatan secara keseluruhan dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (Kementerian Kesehatan, 2009). Karena itu, peningkatan efektivitas-biaya obat, bahkan di tingkat pemerintah daerah atau tingkat lokal rumah sakit, pada ujungnya akan memberikan dampak yang berarti terhadap efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional. Dan, dengan menerapkan peningkatan efektivitasbiaya dan upaya lain berdasarkan kaidah farmakoekonomi pada penetapan kebijakan kesehatan secara menyeluruh, peningkatan efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional yang dicapai akan maksimal. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini disusun terutama untuk membantu para pengambil kebijakan baik di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maupun 2 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

17 fasilitas pelayanan (Rumah Sakit) serta instansi yang terkait pelayanan kesehatan, termasuk asuransi kesehatan lainnya, dalam memilih obat yang secara obyektif memiliki efektivitas-biaya paling tinggi. Contohcontoh perhitungan yang diberikan terutama menampilkan analisis yang terkait dengan biaya obat. Namun demikian, Pedoman yang merupakan bagian dari Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK Health Technology Assessment, HTA) ini dapat juga digunakan sebagai salah satu pedoman untuk melakukan analisis ekonomi yang lebih luas, hingga mencakup teknologi kesehatan secara keseluruhan, dan dengan metode yang lebih dari sekadar efektivitas biaya Tujuan Secara umum tujuan pedoman ini adalah menyediakan acuan bagi para pengambil kebijakan, baik di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maupun fasilitas pelayanan (Rumah Sakit) dalam mengembangkan sistem pelayanan kesehatan dengan menerapkan kajian farmakoekonomi, dalam rangka pemilihan dan penggunaan obat yang efektif dan efisien. Tujuan Khusus 1. Meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan dengan tetap mempertahankan kualitas, 2. Memperluas akses terhadap obat dan pelayanan kesehatan pada umumnya di tengah keterbatasan sumberdaya, 3. Melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang murah dan tidak berkualitas, 4. Memberikan pedoman untuk meningkatkan Penggunaan Obat secara Rasional (POR) Sasaran Sasaran dari pedoman ini adalah para pengambil kebijakan di bidang yang terkait dengan pelayanan kesehatan, terutama di sektor publik. Tetapi, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini dapat pula digunakan oleh para pengambil kebijakan di sektor swasta maupun peneliti dan profesional lainnya di bidang kesehatan yang membutuhkan. Secara lebih rinci, kalangan yang termasuk dalam sasaran pedoman ini adalah: Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 3

18 1. Pengambil kebijakan di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), terutama yang terkait dengan kebijakan obat, seperti seleksi obat untuk Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), registrasi obat, dan lain-lain; 2. Pengambil kebijakan di tingkat Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota), terutama yang terkait dengan seleksi obat dalam rangka pengadaan obat; 3. Lembaga Asuransi Kesehatan lainnya baik milik pemerintah maupun swasta; 4. Pengambil kebijakan di fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit), terutama yang terlibat dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit; 5. Profesional di bidang kesehatan (dokter, apoteker, dll); 6. Peneliti dan pengamat di bidang ekonomi kesehatan; 7. Industri farmasi, terutama untuk swa-kajian sebagai upaya awal peningkatan daya saing produk maupun untuk tujuan lainnya Ruang Lingkup Pedoman ini mencakup penerapan kajian farmakoekonomi untuk pengambilan keputusan pada seleksi dan/atau penggunaan obat pada suatu daerah atau fasilitas pelayanan kesehatan. Prioritas pelaksanaan kajian farmakoekonomi terutama pada penyakit yang mempunyai dampak besar terhadap biaya kesehatan. Kajian farmakoekonomi dilakukan untuk mengidentifikasi obat yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih tinggi dengan harga lebih rendah sehingga secara signifikan memberikan efektivitas-biaya yang tinggi. Pedoman ini memberikan contoh-contoh praktis analisis minimalisasi-biaya (AMiB) dan analisis efektivitas-biaya (AEB). Penerapan Pedoman Kajian Farmakoekonomi ini sangat dianjurkan. Pada lima tahun pertama, penerapannya oleh instansi terkait bersifat sukarela, belum merupakan keharusan. Kajian Farmakoekonomi dilakukan berdasarkan perspektif pihak yang memprakarsai pelaksanaan kajian. Pada pedoman ini intervensi kesehatan yang dikaji masih dibatasi untuk obat saja. 4 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

19 1. 5 Publikasi Hasil kajian farmakoekonomi yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit dan/atau Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota yang disampaikan kepada Kementerian Kesehatan akan dianalisis lebih lanjut untuk kepentingan bersama lintas-daerah dan lintas-institusi. Dengan demikian, hasil kajian yang disampaikan tersebut dapat menunjukkan capaian instansi yang bersangkutan. Untuk mempermudah analisis lanjut, hasil kajian hendaknya mencantumkan secara jelas perhitungan biaya dan penghematan yang dapat dilakukan. Analisis yang dilakukan hendaknya mencakup segala masalah yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan, termasuk informasi epidemiologis (pola penyakit, prevalensi dan insidensi penyakit, populasi pasien), dan pilihan terapi yang tersedia. Bahan pertimbangan yang digunakan dalam analisis pada Kajian Farmakoekonomi diambil dari publikasi ilmiah dalam jurnal yang peerreviewed. Studi dari dalam negeri yang belum dipublikasi dapat digunakan sejauh metodologinya dapat dipertanggungjawabkan dan data yang diperoleh dapat menunjang kajian yang akan dilakukan Pengertian Pedoman ini menggunakan istilah-istilah yang lazim dalam Kajian Farmakoekonomi. Berbagai istilah tersebut dan pengertiannya adalah sebagai berikut: 1. Analisis biaya (AB cost analysis, CA) adalah metode atau cara untuk menghitung besarnya pengorbanan (biaya, cost) dalam unit moneter (rupiah), baik yang langsung (direct cost) maupun tidak langsung (indirect cost), untuk mencapai tujuan. 2. Analisis (kajian) biaya sakit (ABS cost of illness evaluation, COI) dimaksudkan untuk memperkirakan biaya yang disebabkan oleh suatu penyakit pada sebuah populasi. 3. Analisis efektivitas-biaya (AEB cost-effectiveness analysis, CEA) adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan biaya dan hasil (outcomes) relatif dari dua atau lebih intervensi kesehatan. Pada AEB, hasil diukur dalam unit non-moneter, seperti jumlah kematian yang dapat dicegah atau penurunan mm Hg tekanan darah diastolik. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 5

20 4. Analisis manfaat-biaya (AMB cost-benefit analysis, CBA) adalah teknik untuk menghitung rasio antara biaya intervensi kesehatan dan manfaat (benefit) yang diperoleh, dimana outcome (manfaat) diukur dengan unit moneter (rupiah). 5. Analisis minimalisasi-biaya (AMiB cost-minimization analysis, CMA ) adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan dua pilihan (opsi, option) intervensi atau lebih yang memberikan hasil (outcomes) kesehatan setara untuk mengidentifikasi pilihan yang menawarkan biaya lebih rendah. 6. Analisis sensitivitas (sensitivity analysis) adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengukur ketidakpastian (uncertainty) dari berbagai data yang digunakan maupun dihasilkan dalam kajian farmakoekonomi. 7. Analisis utilitas-biaya (AUB cost-utility analysis, CUA) adalah teknik analisis ekonomi untuk menilai utilitas (daya guna) atau kepuasan atas kualitas hidup yang diperoleh dari suatu intervensi kesehatan. Kegunaan diukur dalam jumlah tahun dalam keadaan sehat sempurna, bebas dari kecacatan, yang dapat dinikmati umumnya diekspresikan dalam qualityadjusted life years (QALY), atau jumlah tahun berkualitas yang disesuaikan. 8. Didominasi (dominated) adalah suatu obat (atau pelayanan kesehatan) yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih rendah dan biayanya lebih tinggi sehingga secara signifikan memberikan efektivitas-biaya yang rendah. 9. Dominan (dominant) adalah obat (atau pelayanan kesehatan) yang menawarkan efektivitas (effectiveness) lebih tinggi dengan biaya lebih rendah sehingga secara signifikan memberikan efektivitas-biaya yang tinggi. 10. Efektivitas (effectiveness) mengacu pada kemampuan suatu intervensi kesehatan dari praktek klinis rutin dalam mencapai perbaikan kesehatan. Suatu intervensi kesehatan dikatakan efektif bila memberikan hasil yang diharapkan (expected outcomes). 11. Efikasi (efficacy, kemanjuran) mengacu pada kemampuan suatu intervensi kesehatan, umumnya obat, di bawah kondisi optimal dalam menghasilkan perubahan yang menguntungkan 6 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

21 atau efek terapetika yang diinginkan. 12. Efisien (efficient) mengacu pada kecilnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. 13. Formularium adalah daftar obat dalam nama generik berdasarkan kelas terapi. Formularium disusun dengan memasukkan rentang obat yang mencukupi, yang memungkinkan dokter, dokter gigi, dan, kalau diizinkan oleh peraturan perundangundangan, praktisi lain untuk meresepkan obat yang sesuai dengan kondisi penyakit. 14. Hasil (outcomes) pengobatan adalah hasil yang diperoleh dari suatu intervensi kesehatan sebaliknya, tidak dilakukannya intervensi kesehatan yang secara langsung mempengaruhi panjang usia (mortalitas) atau kualitas hidup seseorang, sekelompok orang, atau sebuah populasi. 15. Intervensi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan (misalnya, melalui pemberian obat atau perawatan kesehatan) dan perilaku kesehatan yang baik seperti olahraga atau menghindari perilaku kesehatan yang buruk antara lain merokok, menggunakan obat-obatan terlarang, mengkonsumsi alkohol secara berlebihan. 16. Jumlah tahun kehidupan berkualitas yang disesuaikan (JTKDquality-adjusted life years, QALY) adalah suatu hasil yang diharapkan dari suatu intervensi kesehatan yang terkait erat dengan besaran kualitas hidup. QALY dapat dikatakan sebagai jumlah tahun pertambahan usia dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati. Atau dengan kata lain, pertambahan usia (dalam tahun) sebagai hasil intervensi disesuaikan nilainya dengan kualitas hidup yang diperoleh. 17. Kemauan untuk membayar (Willingness to pay, WTP), adalah suatu teknik untuk mengukur nilai manfaat kesehatan dengan secara langsung menunjukkan preferensi individual yang diwakili oleh populasi sampel dari masyarakat umum yang diminta menjawab pertanyaan berapa banyak mereka bersedia membayar untuk memperoleh manfaat atau menghindari halhal tertentu. 18. Pengambilan kebijakan (decision-making) adalah proses Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 7

22 pengambilan keputusan yang selektif secara intelektual ketika dihadapkan pada beberapa alternatif kompleks yang memiliki sejumlah variabel, dan biasanya menentukan arah tindakan atau ide. 19. Penilaian teknologi kesehatan (PTK health technology assessment, HTA) adalah metode kajian multidisipliner yang sistematik, transparan, tidak bias, dan berdasarkan bukti ilmiah kuat guna memberikan masukan (input) tentang implikasi medis, ekonomi, sosial, dan etis dari hal-hal yang terkait dengan pengembangan, difusi, dan penerapan teknologi kesehatan biasanya obat, alat kesehatan, atau prosedur klinis/ pembedahan. Bagi pembuat keputusan, PTK dimaksudkan untuk memberikan informasi objektif yang dapat digunakan dalam formulasi kebijakan kesehatan yang aman, efektif, terfokus pada pasien, dan memberikan nilai terbaik (best value for money). 20. Penyesuaian nilai (discounting) adalah metode yang digunakan untuk menyesuaikan biaya dan manfaat di masa depan dengan nilai saat ini. 21. Rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB incremental costeffectiveness ratio, ICER) adalah suatu ukuran biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitas-biaya. 22. Tukaran (trade-off) adalah kondisi dimana perlunya dilakukan pemilihan antara intervensi/strategi yang tersedia, karena masing masing intervensi/strategi memiliki biaya dan hasil pengobatan (outcome) yang sebanding. 23. Utilitas (daya guna utility), adalah tingkat kepuasan yang diperoleh pasien setelah mendapatkan suatu intervensi kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan biasanya adalah QALY (Quality-adjusted life years), atau JTKD. 8 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

23 BAB II TINJAUAN TEORI FARMAKOEKONOMI

24

25 BAB 2 TINJAUAN TEORI FARMAKOEKONOMI Setiap institusi pelayanan kesehatan, bahkan semua negara di seluruh dunia, memiliki keterbatasan sumberdaya dan dana yang kebutuhannya terus meningkat, sumber daya manusia (terutama tenaga ahli), waktu, fasilitas dan peralatan dalam menjalankan sistem pelayanan kesehatan. Keterbatasan ini memaksa dilakukannya pemilihan prioritas terhadap teknologi kesehatan, terutama obat, yang digunakan dan mengalokasikan sumberdaya yang tersedia seefisien mungkin, sesuai skala prioritas yang dibuat secara obyektif. Untuk pemilihan obat, faktor efikasi merupakan salah satu pertimbangan yang penting. Agar tercapai peningkatan kesehatan yang maksimal di tengah keterbatasan yang ada, setiap pengambil kebijakan di bidang kesehatan setidaknya harus memberikan jawaban memuaskan terhadap empat pertanyaan berikut: 1. Apakah obat (atau, secara umumnya teknologi kesehatan) yang akan digunakan itu efektif? 2. Siapa yang akan menerima manfaat dari penggunaan obat (teknologi kesehatan) itu? 3. Berapa biaya yang diperlukan untuk penggunaan obat (teknologi kesehatan) itu? 4. Bagaimana efektivitasnya jika dibandingkan dengan obat (teknologi kesehatan) yang telah digunakan? Kajian farmakoekonomi yang mempertimbangkan faktor klinis (efektivitas) sekaligus faktor ekonomi (biaya) dapat membantu para pengambil kebijakan mendapatkan jawaban obyektif terhadap keempat pertanyaan tersebut. Dengan demikian, Ilmu Farmakoekonomi dapat membantu pemilihan obat yang rasional, yang memberikan tingkat kemanfaatan paling tinggi. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 9

26 2.1 Perspektif Penilaian Perspektif penilaian merupakan hal penting dalam Kajian Farmakoekonomi, karena perspektif yang dipilih menentukan komponen biaya yang harus disertakan. Seperti yang telah disampaikan, penilaian dalam kajian ini dapat dilakukan dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu: 1. Perspektif masyarakat (societal). Sebagai contoh Kajian Farmakoekonomi yang mengambil perspektif masyarakat luas adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, seperti program penurunan konsumsi rokok, untuk memperkirakan potensi peningkatan produktivitas ekonomi (PDB, produk domestik bruto) atau penghematan biaya pelayanan kesehatan secara nasional dari intervensi kesehatan tersebut. 2. Perspektif kelembagaan (institutional). Contoh kajian farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain penghitungan efektivitas-biaya pengobatan untuk penyusunan Formularium Rumah Sakit. Contoh lain, di tingkat pusat, penghitungan AEB untuk penyusunan DOEN dan Formularium Nasional. 3. Perspektif individu (individual perspective). Salah satu contoh kajian farmakoekonomi dari perspektif individu adalah penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup tertentu sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan cukup bernilai atau tidak dibanding kebutuhan lainnya (termasuk hiburan). Karena pertanyaan yang harus dijawab oleh ketiga perspektif itu berbeda, jenis biaya yang diperhitungkan dalam Kajian Farmakoekonomi masing-masing perspektif tersebut juga tak sama. Secara ringkas, jenis biaya yang harus diperhitungkan dan kategorisasinya menurut beberapa perspektif yang lazim melakukan dalam Kajian dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dalam konteks Indonesia, kajian farmakoekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Kemenkes), Pemerintah Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/Kota) dan asuransi kesehatan semesta (BPJS 10 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

27 Kesehatan) yang akan mulai diterapkan pada 2014 akan lebih banyak mengambil perspektif penyedia pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat. Untuk seleksi obat dalam perencanaan, misalnya, titik tolak awalnya adalah pola epidemiologis penyakit di daerah terkait. Tabel 2.1. Jenis Biaya Menurut Perspektif Komponen biaya Biaya Langsung Medis: Masyarakat Perspektif Pasien Penyedia yankes Pembayar - Biaya pelayanan kesehatan Biaya pelayanan kesehatan lainnya Biaya cost sharing patient + Biaya Langsung Non Medis: - Biaya transportasi Biaya pelayanan informal (tambahan) + Biaya Tidak Langsung: - Biaya hilangnya produktivitas + + Keterangan: + disertakan + disertakan (bila ada) tidak disertakan Diadaptasi dari Rascati et al., 2009 dan Shafie, Hasil Pengobatan (outcome) Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat (benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan. Efektivitas merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan peningkatan kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin (penggunaan sehari-hari di dunia nyata, bukan di bawah kondisi optimal penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya (cost- Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 11

28 effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun nonklinis (misalnya, dalam mg/dl penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin kecil unit moneter yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indikator kesehatan (klinis maupun non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-biaya suatu obat. Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat dinikmati dalam keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu obat. Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati (katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan memberikan unit yang disebut Quality Adjusted Life Years-QALY atau jumlah tahun yang disesuaikan (JTKD). Dikaitkan dengan aspek biaya, Kajian Farmakoekonomi ini akan memberikan unit utilitas-biaya (cost-utility) yang menunjukkan unit moneter yang harus dikeluarkan untuk setiap JTKD yang diperoleh. Semakin kecil jumlah rupiah yang harus dibayar untuk mendapatkan tambahan JTKD, semakin tinggi utilitas-biaya suatu obat. Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang diperoleh pasien dari penggunaan suatu obat. Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam besaran moneter setelah dilakukan konversi dengan menggunakan nilai rupiah yang rela dibayarkan untuk mendapat kepuasan tersebut (willingness to pay). Semakin tinggi willingness to pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin layak obat tersebut dipilih. 2.3 Biaya Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang, opportunity cost) didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan pada ahli farmakoekonomi, biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh pasien sendiri. Dalam proses produksi atau pemberian pelayanan kesehatan, biaya dapat dibedakan menjadi sebagai berikut: 12 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

29 1. Biaya rerata dan biaya marjinal Biaya rerata adalah jumlah biaya per unit hasil yang diperoleh, sementara biaya marjinal adalah perubahan biaya atas penambahan atau pengurangan unit hasil yang diperoleh (Bootman et al., 2005). Sebagai contoh, jika sebuah cara pengobatan baru memungkinkan pasien pulang dari rumah sakit sehari lebih cepat dibanding cara pengobatan lama mungkin akan terpikir untuk menghitung biaya rerata rawat inap sebagai penghematan sumberdaya. Kenyataannya, semua biaya tetap yang terhitung ke dalam biaya tetap tersebut (misalnya, biaya laboratorium tidak mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah biaya yang terkait dengan lamanya pasien dirawat (biaya makan, pengobatan, jasa dokter dan perawat, inilah biaya marjinal, biaya yang betul-betul megalami perubahan. 1. Biaya tetap dan biaya variabel Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah dengan perubahan kuantitas atau volume produk atau layanan yang diberikan dalam jangka pendek (umumnya dalam rentang waktu 1 tahun atau kurang), misalnya gaji karyawan dan depresiasi aset. Sementara itu, biaya variabel berubah seiring perubahan hasil yang diperoleh, seperti komisi penjualan dan biaya penjualan obat (Bootman et al., 2005). 2. Biaya tambahan (ancillary cost) Biaya tambahan adalah biaya atas pemberian tambahan pelayanan pada suatu prosedur medis, misalnya jasa laboratorium, skrining sinar-x, dan anestesi. (Berger et al., 2003). 3. Biaya total Biaya total adalah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk memproduksi serangkaian pelayanan kesehatan. Biaya untuk perawatan kesehatan seringkali bukan hanya biaya obat ditambah biaya langsung lain. Selain berbagai biaya langsung tersebut, ada pula biaya tidak langsung yang harus ditanggung, termasuk biaya transportasi, hilangnya produktivitas karena pasien tidak bekerja, dan lain- Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 13

30 lain termasuk depresi dan rasa sakit yang sangat sulit dikonversikan ke unit moneter. Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Biaya langsung Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya. 2. Biaya tidak langsung Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien). (Bootman et al., 2005). 3. Biaya nirwujud (intangible cost) Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya. 4. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost) Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Berger et al., 2003). Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis terkait dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya yang juga sering diperhitungkan dalam telaah ekonomi kesehatan tersebut antara lain: 14 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

31 1. Biaya perolehan (acqusition cost) Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan dan/atau intervensi kesehatan, baik bagi individu pasien maupun institusi (Berger et al., 2003). 2. Biaya yang diperkenankan (allowable cost) Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau teknologi kesehatan yang masih dapat ditanggung oleh penyelenggara jaminan kesehatan atau pemerintah pasien maupun institusi (Berger et al., 2003). 3. Biaya pengeluaran sendiri (out-of-pocket cost) Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh individu pasien dengan uangnya sendiri. Sebagai contoh, iur biaya peserta asuransi kesehatan (Berger et al., 2003). 4. Biaya peluang (opportunity cost) Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan yang mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien memutuskan untuk membeli obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat menggunakan uangnya untuk hal terbaik lainnya, termasuk pendidikan, hiburan, dan sebagainya (Bootman et al., 2005). Identifikasi jenis-jenis biaya dapat berkembang sesuai kasus yang dikaji. Jenis biaya yang disertakan dalam kajian farmakoekonomi tergantung pada pertanyaan yang ingin dijawab. Terkait dengan hal ini, secara umum hasil Kajian Farmakoekonomi dapat diukur dari tiga perspektif: masyarakat, kelembagaan (pengambil kebijakan, penyedia pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan), dan individu (misalnya pasien). 2.4 Metode Kajian Farmakoekonomi Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang dapat dilihat pada table 2.2. Empat metode analisis ini bukan hanya mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas jumlahnya. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 15

32 Tabel 2.2. Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi Metode analisis Analisis minimalisasi biaya (AMiB) Analisis efektivitas biaya (AEB) Analisis utilitas-biaya (AUB) Analisis manfaat-biaya (AMB) Karakteristik analisis Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/ biaya dalam rupiah. Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan diukur dalam unit alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah. Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality-adjusted life years (QALY), valuasi/ biaya dalam rupiah. Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah. Diadaptasi dari Newby and Hill, Di antara empat metode tersebut, analisis minimalisasi-biaya (AMiB) adalah yang paling sederhana. AMiB digunakan untuk membandingkan dua intervensi kesehatan yang telah dibuktikan memiliki efek yang sama, serupa, atau setara. Jika dua terapi atau dua (jenis, merek) obat setara secara klinis, yang perlu dibandingkan hanya biaya untuk melakukan intervensi. Sesuai prinsip efisiensi ekonomi, jenis atau merek obat yang menjanjikan nilai terbaik adalah yang membutuhkan biaya paling kecil per periode terapi yang harus dikeluarkan untuk mencapai efek yang diharapkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda, dapat digunakan analisis efektivitasbiaya (AEB). Pada AEB, hasil pengobatan tidak diukur dalam unit moneter, melainkan didefinisikan dan diukur dalam unit alamiah, baik yang secara langsung menunjukkan efek suatu terapi atau obat (misalnya, penurunan kadar LDL darah dalam mg/dl, penurunan tekanan darah diastolik dalam mm Hg) maupun hasil selanjutnya dari efek terapi tersebut (misalnya, jumlah kematian atau serangan jantung yang dapat dicegah, radang tukak lambung yang tersembuhkan). Metode lain yang juga banyak digunakan adalah analisis utilitasbiaya (AUB). Seperti AEB, biaya pada AUB juga diukur dalam unit moneter (jumlah rupiah yang harus dikeluarkan), tetapi hasil pengobatan dinyatakan dalam unit utilitas, misalnya JTKD. Karena hasil pengobatannya tidak bergantung secara langsung pada keadaan penyakit (disease state), 16 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

33 secara teoretis AUB dapat digunakan untuk membandingkan dua area pengobatan yang berbeda, misalnya biaya per JTKD operasi jantung koroner versus biaya per JTKD erythropoietin pada penyakit ginjal. Namun demikian, pembandingan antar-area pengobatan ini tidak mudah, karena JTKD diperoleh pada waktu dan dengan cara berbeda sehingga tak dapat begitu saja diperbandingkan. Untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan hasil pengobatan dengan unit berbeda, dapat digunakan analisis manfaatbiaya (AMB). Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat (benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter. Namun demikian, karena alasan etika serta sulitnya mengkuantifikasi nilai kesehatan dan hidup manusia, AMB sering menuai kontroversi. Sebab itu, AMB juga agak jarang digunakan dalam kajian farmakoekonomi, bahkan dalam kajian ekonomi kesehatan yang lebih luas pun masih jarang sekali dilakukan. Sebagai edisi awal, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi ini memfokuskan bahasan pada metode analisis yang sederhana, yaitu analisis minimalisasi-biaya (AMiB) dan analisis efektivitas-biaya (AEB). 2.5 Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB) Merupakan metode kajian farmakoekonomi paling sederhana, analisis minimalisasi-biaya (AMiB) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya. Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum menggunakan AMiB adalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaan AMiB agak terbatas, misalnya untuk: 1. Membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 17

34 telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitasbioekuivalen (BA/BE). Jika tidak ada hasil uji BA/BE yang membuktikan kesetaraan hasil pengobatan, AMiB tidak layak untuk digunakan. 2. Membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara. Terdapat banyak jenis biaya dan jenis biaya yang harus dimasukkan berbeda untuk setiap perspektif analisis. Untuk menggunakan metode AMiB secara baik tetap diperlukan keahlian dan ketelitian. 2.6 Analisis Efektivitas-Biaya (AEB) Analisis efektivitas biaya (AEB) cukup sederhana. Dan banyak digunakan untuk kajian farmakoekonomi untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009). Dengan analisis yang mengukur biaya sekaligus hasilnya ini, pengguna dapat menetapkan bentuk intervensi kesehatan yang paling efisien membutuhkan biaya termurah untuk hasil pengobatan yang menjadi tujuan intervensi tersebut. Dengan kata lain, AEB dapat digunakan untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya, misalnya: 1. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikan besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat antihipertensi yang memiliki kemampuan penurunan tekanan darah diastolik yang berbeda. 2. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda, misalnya obat golongan proton pump inhibitor dengan H2 antagonist untuk reflux oesophagitis parah. Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam atau mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam mulai dari mmhg penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat antihipertensi), banyaknya katarak yang dapat dioperasi dengan sejumlah biaya tertentu (dengan prosedur yang berbeda), sampai jumlah 18 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

35 kematian yang dapat dicegah (oleh program skrining kanker payudara, vaksinasi meningitis, dan upaya preventif lainnya). Sebab itu, AEB hanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki tujuan sama, atau jika intervensi tersebut ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan yang muaranya sama (Drummond et al., 1997). Jika hasil intervensinya berbeda, misalnya penurunan kadar gula darah (oleh obat antidiabetes) dan penurunan kadar LDL atau kolesterol total (oleh obat antikolesterol), AEB tak dapat digunakan. Oleh pengambil kebijakan, metode Kajian Farmakoekonomi ini terutama digunakan untuk memilih alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat yang digunakan, yaitu sistem yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah tertentu dana. Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata dan rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-effectiveness ratio/icer). Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitasbiaya. Selain itu, untuk mempermudah pengambilan kesimpulan alternatif mana yang memberikan efektivitas-biaya terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel efektivitas-biaya. Dengan menggunakan tabel efektivitas-biaya (tabel 2.3), suatu intervensi kesehatan secara relatif terhadap intervensi kesehatan yang lain dapat dikelompokkan ke dalam satu dari empat posisi, yaitu: 1. Posisi Dominan Kolom G (juga Kolom D dan H) Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah (Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah (Kolom G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB. 2. Posisi Didominasi Kolom C (juga Kolom B dan F) Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 19

36 3. Posisi Seimbang Kolom E Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien, misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari versus tablet yang harus diminum 3 x sehari. Sehingga dalam kategori ini, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan, misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain. 4. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitasbiaya Kolom A dan I Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya, menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan RIEB. 20 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

37 Tabel 2.3. Kelompok Alternatif berdasarkan Efektivitas-Biaya Efektivitas-biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi Efektivitas lebih rendah A (Perlu perhitungan RIEB) B C (Didominasi) Efektivitas sama D E F Efektivitas lebih tinggi G (Dominan) H I (Perlu perhitungan RIEB) Alat bantu lain yang dapat digunakan dalam AEB adalah diagram efektivitas-biaya. Suatu alternatif intervensi kesehatan, termasuk obat, harus dibandingkan dengan intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini, jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran I (Tukaran, Trade-off). Pemilihan intervensi Kuadran I memerlukan pertimbangan sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumberdaya yang tersedia mencukupi. Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori Tukaran, tetapi di Kuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada di Kuadran III memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana yang tersedia lebih terbatas. Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran II (Dominan) dan menjadi pilihan utama. Sebaliknya, suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak layak untuk dipilih. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 21

38 Gambar 2.1. Diagram Efektivitas-Biaya Contoh Perhitungan RIEB Skenario: Untuk terapi sebuah penyakit dapat digunakan tiga macam obat yang masing-masing memiliki kinerja sebagai berikut: 1. Obat A membutuhkan biaya Rp /100 pasien, tingkat survival 3% 2. Obat B membutuhkan biaya Rp /100 pasien, tingkat survival 5% 3. Obat C membutuhkan biaya Rp /100 pasien, tingkat survival 1% Berapa RIEB jika terapi dialihkan dari menggunakan Obat A ke Obat B? 22 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

39 Tabel 2.4. Contoh Perhitungan RIEB (dalam rupiah) Obat Biaya per 100 pasien Kematian yang dihindarkan per 100 pasien Rasio efektivitas-biaya, REB (rupiah per kematian yang dicegah) A /3 = B /5 = C /1 = Dari perhitungan di atas, ditemukan rasio efektivitas-biaya (REB) untuk setiap alternatif obat. Dengan membandingkan REB Obat B dengan REB Obat A, RIEB untuk pindah obat dari A ke B dapat dihitung seperti berikut: RIEB A = ( ) / (5 3) = /2 kematian B yang dicegah Dengan demikian, RIEB untuk pindah obat dari A ke B adalah Rp untuk setiap dua kematian yang dicegah, atau Rp / kematian yang dicegah. 2.7 Analisis Utilitas-Biaya (AUB) Metode analisis utilitas-biaya (AUB) mirip dengan AEB, tetapi hasil (outcome)-nya dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau perubahan kualitas akibat intervensi kesehatan yang dilakukan. Menurut Bootman (1996), hasil pengobatan dalam bentuk kuantitas dan kualitas hidup itu mencerminkan keadaan berikut: 1. Apakah penyakit yang diderita atau pengobatan terhadap penyakit yang diberikan secara kuantitas akan memperpendek usia pasien? 2. Apakah kondisi penyakit yang diderita pasien atau pengobatan terhadap penyakit tersebut tidak seperti yang diinginkan? Kalau jawabannya ya, sebesar apa? 3. Apakah dampaknya terhadap usia? Berapa banyak berkurangnya usia (kuantitatif) dan kepuasan (kualitas) hidup? Dalam praktek, AUB hampir selalu digunakan untuk membandingkan Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 23

40 alternatif yang memiliki tujuan (objective) sama, seperti: 1. Membandingkan operasi versus kemoterapi; 2. Membandingkan obat kanker baru versus pencegahan (melalui kampanue skrining). Beberapa istilah yang lazim digunakan dalam AUB, termasuk: 1. Utilitas (utility) Analisis utilitas-biaya (AUB) menyatakan hasil dari intervensi sebagai utilitas atau tingkat kepuasan yang diperoleh pasien setelah mengkonsumsi suatu pelayanan kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan kanker atau penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan dalam Kajian Farmakoekonomi biasanya Jumlah Tahun yang Disesuaikan (JTKD) atau quality-adjusted life years (QALY). 2. Kualitas hidup (quality of life, QOL) Kualitas hidup dalam AUB diukur dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitas (duration of life) dan pendekatan kualitas (quality of life). (Bootman et al., 1996). Kualitas hidup merupakan sebuah konsep umum yang mencerminkan keadaan yang terkait dengan modifikasi dan peningkatan aspek-aspek kehidupan, yaitu fisik, politik, moral dan lingkungan sosial. 3. QALY (quality-adjusted life years) Quality-adjusted life years (QALY) atau Jumlah Tahun yang Disesuaikan (JTKD) adalah suatu hasil yang diharapkan dari suatu intervensi kesehatan yang terkait erat dengan besaran kualitas hidup. Pada QALY, pertambahan usia (dalam tahun) sebagai hasil intervensi disesuaikan nilainya dengan kualitas hidup yang diperoleh (Bootman et al., 1996). AUB menambah dimensi dari titik pandang atau perspektif pihak tertentu (biasanya pasien). Pandangan yang bersifat subyektif inilah yang memungkinkan pengukuran utilitas (preference/value). Unit utilitas, termasuk JTKD, merupakan sintesis dari berbagai hasil (outcome) fisik yang dibobot menurut preference terhadap masing-masing hasil pengobatan tersebut. 24 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

41 JTKD didasarkan pada keyakinan bahwa intervensi kesehatan dapat meningkatkan survival (kuantitas hidup) ataupun kemampuan untuk menikmati hidup (kualitas hidup). Pada penghitungan besaran utilitas yang paling banyak dipakai ini, dilakukan pembobotan kualitas terhadap setiap tahun pertambahan kuantitas hidup yang dihasilkan suatu intervensi kesehatan. Dengan demikian, JTKD merupakan penggabungan dari kedua elemen tersebut. Secara teknis, JTKD diperoleh dari perkalian antara nilai utilitas dan nilai time preference, dimana nilai utilitas menggambarkan penilaian pasien terhadap kualitas hidupnya saat itu. Penilaian yang dilakukan secara subyektif oleh pasien didasarkan pada berbagai atribut kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan, sementara time preference menggambarkan perkiraan pertambahan usia (dalam tahun) yang diperoleh karena pengobatan yang diterima. Terkait teknis perhitungan, pengertian adjusted atau disesuaikan pada JTKD adalah penyesuaian pertambahan usia yang akan diperoleh dengan utilitas. Dengan penyesuaian ini, diperoleh jumlah tahun pertambahan usia dalam kondisi sehat penuh. Nilai utilitas berkisar dari 1 (hidup dalam keadaan sehat sempurna) sampai 0 (mati). Jadi, jika seorang pasien menilai bahwa keadaannya setelah periode terapi yang diperoleh setara dengan 0,8 keadaan sehat sempurna utilitas = 0,8 dan pertambahan usianya 10 tahun, pertambahan usia yang berkualitas bukanlah 10 tahun, melainkan 0,8 x 10 tahun = 8 tahun (Drummond et al., 1987). 1 0,8 Utilitas JTKD = 0,8 x 10 = 8 0 Time preference = 10 tahun Gambar 2.2. Diagram JTKD/QALY (Quality-adjusted life years) Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 25

42 2.8 Analisis Manfaat-Biaya Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah suatu teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan membandingkan surplus biaya suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat diekspresikan dalam satuan moneter (misal. Rupiah, US Dollar). Suatu program kesehatan selalu diperbandingkan dengan beberapa alternatif, baik dengan program/intervensi kesehatan lainnya maupun dengan tidak memberikan program/ intervensi. Nilai manfaat dari suatu program/intervensi adalah meningkatnya hasil pengobatan (outcome) bila dibandingkan dengan hasil serupa dari program / intervensi lain. Outcome dapat berupa nilai terkait pasien (misal : kesembuhan, pulihnya abilitas fisik, dll), nilai pilihan (manfaat keberadaan program/intervensi saat dibutuhkan), dan nilai altruistik (manfaat peningkatan kesehatan orang lainnya). Parameter outcome diukur dengan satuan moneter (mata uang), umumnya dengan Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP). Dan untuk menghitung surplus biaya program/intervensi, biaya dari program / intervensi dan hal-hal terkaitnya (misal. obat, dokter, rumah sakit, home care, biaya pasien dan keluarga, biaya kehilangan produktivitas, biaya lain karena hilangnya waktu, dll) dikurangi biaya yang serupa dari program/intervensi lainnya. Dasar dari AMB adalah surplus manfaat, yaitu manfaat yang diperoleh dikurangi dengan surplus biaya. Surplus manfaat adalah kriteria dasar dalam AMB. Bila surplus manfaat suatu intervensi/program bernilai positif, maka umumnya intervensi/program tersebut dapat diterima untuk dilaksanakan. AMB menggunakan perspektif sosial (masyarakat) dan mencakup seluruh biaya dan manfaat yang relevan. Namun, perhitungan dari biaya (terutama biaya tidak langsung) yang terkait biasanya diperdebatkan/ kontroversial. AMB jarang digunakan untuk membandingkan obat atau alternatif terapi medis karena pertimbangan etika. Penilaian kondisi kesehatan menggunakan nilai moneter dan metode yang dipakai untuk hal tersebut seringkali diperdebatkan. AMB memiliki dua keuntungan, yang salah satunya bersifat unik/khas AMB. Keuntungan pertama, AMB memungkinkan adanya perbandingan antara program/intervensi dengan outcome yang sangat berbeda (misal. program klinik antikoagulan atau program klinik antidiabetes), sehingga memungkinkan perbandingan dengan nilai moneter antar program/ 26 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

43 intervensi yang sama sekali tidak berkaitan. Ketentuan pengambilan keputusannya adalah memilih program/intervensi dengan surplus manfaat yang paling besar. Keuntungan kedua, AMB adalah satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk membandingkan internal satu program/intervensi. Bila surplus manfaatnya bernilai positif, maka program/intervensi tersebut harus dipilih/didanai/dilakukan. Kesulitan AMB adalah melakukan konversi/menerjemahkan kondisi klinis non-moneter dan outcome kualitas hidup (misal. tahun hidup terselamatkan) menjadi nilai moneter. Lebih lanjut, metode yang umum digunakan untuk melakukan konversi/ penerjemahan tersebut Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP) mengundang perdebatan etika karena condong kepada preferensi kekayaan. Oleh karenanya, teknik analisa ini tidak umum digunakan dalam perumusan kebijakan kesehatan. AMB umumnya dilakukan berdasarkan model dan menggunakan asumsi-asumsi yang signifikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan analisa sensitivitas untuk memvalidasi model dan asumsi yang digunakan serta untuk menilai kekuatan dari hasil analisisnya. 2.9 Penyesuaian Nilai (Discounting) Interpretasi hasil kajian farmakoekonomi seringkali mengkaitkan durasi waktu (time horizon) yang panjang. Hasil perhitungan rasio manfaat terhadap biaya biasanya melibatkan durasi waktu lebih dari setahun, terutama pada terapi-terapi yang hasilnya baru dapat dinikmati dalam jangka panjang, misalnya imunisasi. Di sisi lain, masyarakat umumnya lebih mengharapkan manfaat tersebut dapat diterima segera, pada saat ini, sehingga nilai suatu parameter baik biaya maupun efektivitas terapi harus dapat diinterpretasikan untuk kondisi masa sekarang. Untuk mendapatkan nilai sekarang atau nilai saat ini, diperlukan penyesuaian nilai dengan faktor koreksi yang disebut discounting. Didasarkan pada tingkat inflasi, baik yang telah terjadi (retrospektif) maupun yang diharapkan (prospektif) faktor koreksi ini dapat digunakan untuk menyesuaikan nilai pada masa lalu maupun masa datang menjadi nilai saat ini. Dengan menghitung nilai saat ini (atau nilai pada tahun tertentu yang sama), dapat dilakukan pembandingan biaya dan/atau hasil yang setara (apple to apple). Untuk sebagian kajian farmakoekonomi yang memiliki dampak pengobatan jangka panjang memerlukan informasi Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 27

44 discounting. Untuk pengobatan jangka waktu kurang dari satu tahun tidak memerlukan penyesuaian nilai atau discounting. Untuk mendapatkan nilai sekarang atau nilai saat ini, diperlukan penyesuaian nilai dengan faktor koreksi yang disebut discounting. Tingkat diskonto (discounting rate) tidak sama dengan tingkat inflasi; keduanya berbeda secara konsep. Inflasi menggambarkan perubahan harga, sementara discounting terkait dengan preferensi waktu yang diperhitungkan dengan nilai uang. Artinya, penyesuaian nilai layak dilakukan manakala sebuah program memiliki rentang waktu beberapa tahun walau tingkat inflasi 0%. Jika tingkat diskonto dinyatakan 5%, sebuah intervensi kesehatan yang setahun yang akan datang bernilai Rp dihitung dari sisi biaya, pada saat ini (tersesuaikan selama 1 tahun) adalah Rp /1,05 = Rp , berapa pun tingkat inflasinya. Tabel 2.5. Perhitungan Penyesuaian Nilai Tahun biaya Perkiraan biaya discounting Perhitungan discounting Nilai saat ini Tahun I / Tahun II /1, Tahun III /(1,05) Total Keterangan: nilai dalam rupiah, perkiraan inflasi 5% / tahun Diadaptasi dari Rascati et al., Beberapa pakar berpendapat bahwa tingkat diskonto biaya sama dengan tingkat diskonto manfaat (benefits). Tetapi beberapa pakar lain, menyatakan bahwa tingkat diskonto manfaat lebih kecil dari tingkat diskonto biaya. Manfaat jauh lebih sulit diukur dibanding biaya, karena itu penyesuaian penilaian manfaat juga sering menimbulkan silang-pendapat Analisis Sensitivitas Kajian farmakoekonomi memperhitungkan aspek ketidakpastian (uncertainty) dari berbagai data yang digunakan maupun dihasilkan. Ketidakpastian timbul antara lain karena: 28 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

45 1. Kurangnya ketersediaan data, sehingga prediksi yang dihasilkan kurang tajam (precise). 2. Hasil Kajian terhadap parameter umumnya berupa nilai diskrit (single point, misalnya rerata), sementara dalam realita parameter tersebut berupa nilai kontinyu yang terdistribusi acak dalam suatu kisaran tertentu. 3. Model analisis yang digunakan, misalnya yang terkait dengan metode pengkombinasian parameter atau penggeneralisasian hasil kajian. Agar ketidakpastian yang ada dapat diperhitungkan dengan baik, dampak dari unsur ketidakpastian harus diidentifikasi, dinilai, dan diinterpretasi terutama untuk parameter yang paling dominan pada hasil kajian. Untuk menganalisis dampak ketidakpastian, lazim digunakan analisis sensitivitas. Terdapat beragam metode analisis sensitivitas, mulai dari yang sederhana seperti analisis sensitivitas satu arah, analisis sensitivitas dua arah atau lebih, analisis ambang batas (threshold analysis) dan analisis skenario, sampai yang kompleks semacam simulasi Monte Carlo dan analisis bootsrapping. Metoda yang paling sederhana, analisis sensitivitas satu arah, dilakukan dengan mengubah nilai suatu variabel dalam kisaran yang memungkinkan dengan menjaga nilai variabel lainnya konstan. Hasil metode analisis sensitivitas satu arah ini sering ditampilkan dalam diagram tornado, dimana variabel yang berdampak paling besar ditempatkan di puncak diagram, dan seterusnya sampai ke bawah sesuai urutan besarnya dampak (Berger et al., 2003). Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 29

46

47 BAB III PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI DI INDONESIA

48

49 BAB 3 PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI DI INDONESIA Kajian farmakoekonomi dalam pelayanan kesehatan, khususnya dalam seleksi dan pendaftaran obat baru, telah diterapkan di banyak negara, termasuk negara yang menjadi tetangga dekat kita di Asia Tenggara, seperti Korea, Filipina, Thailand, dan Malaysia. Dengan meningkatkan biaya obat nasional, penerapan Kajian ini juga diperlukan di Indonesia agar sumberdaya yang ketersediaannya terbatas dapat memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Kajian Farmakoekonomi menjadi lebih mendesak dengan akan diterapkannya Jaminan Kesehatan Semesta (universal coverage). Dalam pemilihan obat, termasuk revisi Formularium, selama ini kriteria yang biasa digunakan untuk menyeleksi obat adalah efikasi, keamanan, dan kualitas. Analisis yang dilakukan untuk penyusunan daftar obat yang digunakan di rumah sakit juga masih terbatas pada AMiB (analisis minimalisasi-biaya), misalnya dalam pemilihan obat dengan nama dagang dan generik (dengan zat aktif sama). Bila ada obat baru dengan zat aktif baru, AEB (analisis efektivitas-biaya) belum menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk memasukkan obat tersebut ke dalam Formularium. Guna memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal di tengah keterbatasan sumberdaya yang ada, sudah saatnya AEB atau kajian farmakoekonomi lain yang lebih mendalam diterapkan dalam proses pemilihan obat. Penerapan kajian farmakoekonomi dilakukan untuk memilih dan menjalankan program atau pengobatan yang memiliki efektivitas-biaya paling tinggi. Pada fasilitas pelayanan kesehatan, seperti Rumah Sakit, kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit. Formularium ini memegang peran penting dalam penggunaan obat secara rasional. Penerapan kajian farmakoekonomi di instansi pemerintah dalam kaitannya dengan pelayanan kesehatan dapat dilakukan di tingkat Nasional (Kementerian Kesehatan), Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/ Kab/Kota), dan fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit dan fasilitas Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 31

50 pelayanan kesehatan lainnya). 1. Tingkat Nasional (Kementerian Kesehatan) Kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Program Jamkesmas, Formularium Nasional, obat program, asuransi kesehatan, dan lain-lain; 2. Tingkat Daerah (Dinas Kesehatan Provinsi/ Kabupaten/Kota) Kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam pemilihan obat yang akan digunakan di Puskesmas; 3. Tingkat Fasilitas Pelayanan (rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya) Di fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, kajian farmakoekonomi dapat digunakan dalam penyusunan Formularium Rumah Sakit dan pemilihan obat dalam pengobatan. Formularium ini memegang peran penting dalam pengobatan yang rasional. Penerapan Kajian Farmakoekonomi dapat dilakukan oleh tim yang telah ada di dalam setiap institusi, misalnya Komite Nasional (KomNas) Penyusunan DOEN (di Tingkat Pusat), Tim Evaluasi Obat (di PT. Askes), Panitia Farmasi dan Terapi (PFT, di rumah sakit), dan Tim Pengadaan Obat Terpadu (TPOT, di Dinas Kesehatan). Tim tersebut dianjurkan untuk mengikuti pelatihan/pembekalan pemahaman Farmakoekonomi agar memiliki kesamaan persepsi. Jika belum ada tim yang sesuai dan dimungkinkan untuk dibentuk tim tersendiri atau menjadi bagian dari tim yang sudah ada, anggota tim yang diutamakan adalah tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang farmakoekonomi, minimal terdiri atas dokter klinisi dan apoteker yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan. Akan lebih baik jika mengikutsertakan farmakolog, epidemiolog, dan ahli statistik, dari dalam maupun luar instansi. Selanjutnya Tim dianjurkan untuk menyampaikan secara tertulis tentang rencana untuk melakukan kajian farmakoekonomi dan mengirimkan 32 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

51 hasil kajian tersebut kepada Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Hal ini dianjurkan agar terbentuk koordinasi yang baik antar institusi pelaksana sehingga hasil kajian yang dilakukan memberikan manfaat yang lebih besar secara Nasional. 3.1 Langkah-langkah Pelaksanaan Kajian Farmakoekonomi Langkah-langkah pelaksanaan dan contoh yang disajikan berikut merupakan pedoman mendasar yang dapat diterapkan dalam melakukan penerapan kajian farmakoekonomi di institusi yang membutuhkan. Namun secara teknis pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi pada masing-masing instansi Tahap Persiapan Sebelum melakukan kajian Farmakoekonomi, perlu dilakukan langkah-langkah awal untuk mempersiapkan proses kajian. Langkahlangkah persiapan yang perlu dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan personil atau membentuk Tim Kajian Farmakoekonomi; 2. Mengikutsertakan anggota Tim dalam suatu pelatihan/ pembekalan pemahaman tentang Kajian Farmakoekonomi di dalam maupun luar instansi ; 3. Menyampaikan secara tertulis tentang rencana pelaksanaan penerapan Kajian Farmakoekonomi ke Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; 4. Mengumpulkan bahan yang dibutuhkan dalam kajian, antara lain : a. Data tentang pengalaman institusi terkait efektivitas obat yang akan dikaji (bila ada); b. Bukti ilmiah terpublikasi mengenai efektivitas-biaya (Costeffectiveness), efikasi/efektivitas dari obat yang akan dikaji, dan melakukan telaah kritis (penilaian) atas bukti ilmiah tersebut. Untuk mengumpulkan bukti ilmiah dari jurnal yang peer-reviewed ini dapat digunakan mesin pencari (search engine) seperti pada Lampiran 5. Pada Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 33

52 telaah kritis, harus diperhatikan berbagai faktor, termasuk jenis, dosis, formulasi, dan rute pemberian obat; c. Data epidemiologis penyakit terkait obat yang akan dikaji; d. Daftar harga obat dan biaya pengobatan. 5. Melakukan analisis dengan menyajikan hasil AMiB, AEB dan RIEB Tahap Analisis Dalam tahap pelaksanaan penerapan Kajian Farmakoekonomi, beberapa langkah pokok harus diambil. Langkah-langkah dalam kajian ekonomi untuk program intervensi kesehatan atau pemilihan dan penggunaan obat tersebut adalah: 1. Identifikasi masalah dan menentukan tujuan Pada tahap ini harus ditentukan masalah apa yang akan diatasi. 2. Identifikasi alternatif pemecahan masalah Pada tahap ini ditentukan alternatif pengobatan apa yang akan digunakan. Untuk menentukan alternatif ini beberapa faktor yang harus diperhatikan termasuk jenis, dosis, formulasi, dan rute pemberian obat. 3. Identifikasi besarnya efektivitas pilihan pengobatan Tim mendapatkan informasi tentang efektivitas dari literatur uji klinik. Setiap jenis penyakit dan pengobatan dapat memiliki tingkat efektivitas yang berbeda. Salah satu cara untuk mendapatkan data/literatur tentang efektivitas obat tersebut adalah melalui produsen dari obat yang akan dikaji. Cara yang umum adalah dengan melakukan penelusuran literatur atau jurnal ilmiah melalui situs internet resmi yang ada. 4. Identifikasi biaya Identifikasi biaya yang dikeluarkan untuk setiap pilihan pengobatan, termasuk biaya langsung dan tidak langsung serta biaya medis dan non-medis. 34 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

53 a. Biaya langsung, Yaitu biaya yang dikeluarkan atau terkait langsung dengan hasil pengobatan yang dinikmati oleh pasien, antara lain terdiri dari: - Biaya perawatan (cost of treatment). Berdasarkan clinical pathway, biaya perawatan adalah biaya medis yang dikeluarkan selama dirawat-inap sesuai pola penyakit berdasarkan diagnosis-related group (DRG), misalnya biaya operasi, biaya obat, biaya kamar, dan biaya dokter. - Di rumah sakit dan puskesmas, data tentang biaya ini dapat diambil dari tagihan yang dibayar oleh pasien atau penjamin/asuransi. b. Biaya tidak langsung, Yaitu biaya yang dikeluarkan pasien dalam tahapan pengobatan suatu penyakit atau terkait langsung dengan hasil pengobatan yang dinikmati pasien. Termasuk dalam komponen biaya ini adalah biaya transportasi, biaya konsumsi, biaya tunggu, hilangnya produktivitas. c. Biaya total akibat sakit (cost of illness, COI), Yaitu biaya keseluruhan yang dikeluarkan oleh pasien, meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung. 5. Melakukan analisis minimalisasi-biaya (AMiB) Yaitu jika obat (atau, lebih luas lagi, intervensi kesehatan) yang akan dibandingkan memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara - atau dapat diasumsikan setara. Contoh perhitungan AMiB dapat dilihat pada Tabel Melakukan analisis efektivitas-biaya (AEB) Contoh dapat dilihat pada Tabel 3.2. Sebelum melakukan AEB, beberapa tahap penghitungan harus dilakukan, yaitu: a. Penghitungan rasio efektivitas-biaya rerata pengobatan (REB average cost-effectiveness ratios, ACER) b. Menetapkan posisi alternatif pengobatan dalam Tabel Efektivitas-Biaya atau Diagram Efektivitas-Biaya. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 35

54 c. Melakukan perhitungan RIEB sesuai dengan posisi yang telah ditentukan. 7. Interpretasi Hasil Obat yang didominasi oleh obat lain bukan merupakan alternatif yang layak dipilih. Untuk alternatif obat yang memerlukan perhitungan RIEB, hasil perhitungan yang diperoleh merupakan gambaran besarnya biaya lebih yang harus dikeluarkan jika dilakukan pemindahan dari obat standar ke alternatif. Di sini, pemegang kebijakan harus mempertimbangkan apakah biaya lebih yang dikeluarkan sebanding dengan efektivitas yang diperoleh. Jika cukup sebanding, maka alternatif tersebut layak untuk dipertimbangkan. Sebaliknya, jika tidak, maka alternatif pengganti tidak dipertimbangkan, dan yang akan dipilih tetap merupakan obat yang sudah standar. 3.2 Contoh Penerapan Kajian Farmakoekonomi Untuk memudahkan dalam melakukan penerapan Kajian Farmakoekonomi, berikut ini disajikan beberapa contoh berdasarkan perspektif pasien Analisis Minimalisasi Biaya Dapat dilihat contoh perhitungan AMiB di sebuah rumah sakit. Dibandingkan 2 (dua) jenis intervensi, yaitu pemberian onkoplatin inj IV dengan dosis terbagi, dan onkoplatin inj IV dosis lengkap + antimual, memberikan efek yang sama. Contoh perhitungan AMiB yang diberikan pada Tabel 3.1. sangat disederhanakan, tidak mengikutsertakan langkah-langkah awal. Pada contoh ini, langkah 1 sampai 4 dianggap telah cukup jelas sehingga tidak diuraikan. Contoh yang lebih terinci, langkah demi langkah, diberikan pada perhitungan AEB (Tabel 3.2.) dan perhitungan AUB (Tabel 3.3.). Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa pemberian onkoplatin inj IV dosis lengkap + antimual membutuhkan biaya yang lebih sedikit dibandingkan onkoplatin inj IV dengan dosis terbagi, sehingga intervensi ini yang dipilih untuk digunakan dalam pelayanan. 36 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

55 Contoh Perhitungan Analisis Minimalisasi-Biaya (AMiB) Skenario: Onkoplatin adalah agen kemoterapi yang relatif baru, diberikan secara intravena di suatu rumah sakit. Karena efek mual yang timbul pada kemoterapi ini, onkoplatin kerap diberikan menurut dua pilihan cara: 1. Pemberian dosis yang mestinya setiap bulan, dapat dibagi menjadi setiap 15 hari (2 x sebulan) 2. Pemberian dosis setiap bulan, tetapi dengan penambahan obat antimual Efektivitas kedua cara pemberian adalah sama. Untuk mengetahui biaya pengobatan yang paling minimal di antara kedua cara pemberian tersebut, dilakukan analisis minimalisasi-biaya (AMiB). Dari analisis struktur biaya didapatkan hasil berikut: Tabel 3.1. Contoh Perhitungan AMiB (dalam rupiah) Komponen biaya Onkoplatin dosis terbagi Onkoplatin dosis lengkap + antimual Onkoplatin (rerata) Antimual (rerata) Jasa pemberian onkoplatin IV Jasa klinik & kunjungan dokter Biaya total per pasien Dari struktur biaya terlihat, biaya rerata onkoplatin relatif sama untuk kedua cara pemberian. Tetapi, pada kelompok onkoplatin dosis terbagi, tidak ada biaya antimual karena tidak diberikan antimual. Sebaliknya, pada pemberian dosis terbagi, biaya untuk jasa pemberian onkoplatin IV menjadi dua kali lipat dari pemberian dosis lengkap. Begitu pula biaya untuk jasa klinik dan kunjungan dokter, menjadi dua kali lipat. Dengan demikian, biaya total pemberian dosis lengkap dengan tambahan antimual lebih murah Rp , atau 2,71%, dibanding pemberian onkoplatin dosis terbagi Analisis Efektivitas-Biaya Berikut dapat dilihat contoh perhitungan AEB yang diambil dari Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 37

56 kasus rawat jalan yang diadaptasi dari Rascati et al. Dibandingkan 3 (tiga) jenis intervensi dalam terapi asma, yaitu pemberian inhalasi kortikosteroid tunggal, pemberian kombinasi inhalasi kortikosteroid dengan obat A dan pemberian kombinasi inhalasi kortikosteroid dan obat B. Contoh Perhitungan Analisis Efektivitas-Biaya (AEB) Skenario: Asma merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh bronkokonstriksi (penyempitan saluran nafas). Inhalasi kortikosteroid telah menjadi cara pengobatan rutin. Tetapi, pengobatan inhalasi kortikosteroid tunggal kadang tidak cukup efektif untuk mengontrol gejala asma. Dua pengobatan baru digunakan sebagai terapi penunjang, yaitu BreatheAgain dan AsthmaBeGone. Pada kasus ini akan dibandingkan efektivitas-biaya pengobatan dari: 1. Pemberian inhalasi kortikosteroid tunggal 2. Pemberian kombinasi inhalasi kortikosteroid + BreatheAgain 3. Pemberian kombinasi inhalasi kortikosteroid + AsthmaBeGone Diadaptasi dari Sculpher and Price, Tabel 3.2. Langkah Perhitungan Analisis Efektivitas-Biaya No. Langkah Contoh 1. Tentukan tujuan. 2. Buat daftar cara untuk mencapai tujuan tersebut. Membandingkan biaya dan efektivitas dua terapi penunjang baru bagi pasien asma yang mendapat pengobatan inhalasi kortikosteroid, yaitu terapi penunjang BreatheAgain dan AsthmaBeGone Membandingkan: Inhaler kortikosteroid + Plasebo (A) Inhaler kortikosteroid + BreatheAgain (B) Inhaler kortikosteroid + AsthmaBeGone (C) Membandingkan jumlah pasien dari masingmasing terapi yang meningkatkan FEV (forcedexpiration volume)-nya > 12% 38 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

57 No. Langkah Contoh 3. Identifikasi tingkat efektivitas. Hasil studi literatur menunjukkan: Efektivitas Pengobatan A = 35% Efektivitas Pengobatan B = 60% 4. Identifikasi dan hitung biaya pengobatan. 5. Hitung dan lakukan interpretasi efektivitasbiaya dari pilihan pengobatan. Efektivitas Pengobatan C = 61% Biaya yang teridentifikasi dan diukur adalah biaya medikasi, biaya kunjungan tak terjadwal, biaya kunjungan ke unit gawat darurat, biaya rawat inap: Biaya rerata Pengobatan A = Rp / pasien Biaya rerata Pengobatan B = Rp / pasien Biaya rerata Pengobatan C = Rp / pasien a. Hitung rasio efektivitas-biaya (REB) setiap pengobatan. Rumus: Biaya / Efektivitas REB Pengobatan A = Rp / 0,35 = Rp REB Pengobatan B = Rp / 0,60 = Rp REB Pengobatan C = Rp / 0,61 = Rp b. Tentukan posisi alternatif pengobatan dalam Tabel atau Diagram Efektivitas-Biaya. Biaya yang dilihat adalah biaya pengobatan, bukan rerata efektivitas-biaya. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 39

58 No. Langkah Contoh Efektivitasbiaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi Efektivitas lebih rendah A terhadap B A terhadap C (lakukan RIEB) Efektivitas sama C terhadap B B terhadap C Efektivitas lebih tinggi B terhadap A C terhadap A (lakukan RIEB) c. Hitung rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB) setiap pengobatan: Untuk Pengobatan C terhadap B, atau sebaliknya, tidak dilakukan perhitungan RIEB. RIEB Pengobatan B terhadap A = (Rp Rp ) / (0,60 0,35) = Rp RIEB Pengobatan C terhadap A = (Rp Rp ) / (0,61 0,35) = Rp Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

59 No. Langkah Contoh 6. Interpretasi. a. Antara Pengobatan B dan C harus dipilih Pengobatan C, karena dengan efektivitas yang sama Pengobatan C lebih murah. b. Antara Pengobatan A dan B, bila dipilih Pengobatan B harus dikeluarkan biaya lebih sebesar Rp untuk peningkatan 1 unit efektivitas. c. Antara Pengobatan A dan C, bila dipilih Pengobatan C harus dikeluarkan biaya lebih sebesar Rp untuk peningkatan 1 unit efektivitas. d. Bila Pengobatan B atau C akan dipilih, pengambil kebijakan di fasilitas pelayanan kesehatan harus mempertimbangkan apakah biaya lebih yang harus dikeluarkan sebanding dengan peningkatan efektivitas yang diperoleh. 7. Lakukan analisis sensitivitas dan ambil kesimpulan. Analisis dilakukan dengan melihat standar deviasi dari efektivitas setiap pengobatan, limit atas, dan limit bawah. Setelah itu, hitung biaya satuan dengan mempertimbangkan variasi volume obat yang digunakan Analisis Utilitas-Biaya Berikut dapat dilihat contoh perhitungan AUB yang diambil dari kasus pengobatan kanker malignant melanoma stadium II di suatu Rumah Sakit. Dibandingkan 2 (dua) jenis intervensi, yaitu program A yang dilakukan tanpa uji skrining dan tanpa pemberian interferon, dengan program B yang dilakukan dengan uji skrining dan pemberian interferon. Contoh yang digunakan di sini pada prinsipnya hampir sama dengan contoh AEB, karena pada dasarnya AUB juga termasuk AEB, dimana hasil pengobatan (outcome) yang diperhitungkan adalah dalam bentuk QALY. Sehingga langkah analisis dan perhitungan yang dilakukan sama dengan langkah dan perhitungan yang dilakukan dalam AEB. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 41

60 Contoh Perhitungan Analisis Utilitas-Biaya (AUB) Skenario: Guna mengendalikan biaya pelayanan kesehatan, coba dikembangkan program skrining dengan uji Sentinel lymph-node biopsy (SLN). Mereka yang ditemukan positif mikrometastase (terkena malignant melanoma stadium II) diberi pengobatan interferon. Pada kasus ini akan dibandingkan utilitas-biaya dari: 1. Program A: Tanpa uji, tanpa interferon 2. Program B: Uji SLN, interferon untuk mereka yang positif Lakukan analisis utilitas-biaya (AUB). Tabel 3.3. Langkah Perhitungan Analisis Utilitas-Biaya No. Langkah Contoh 1. Tentukan tujuan. Menentukan alternatif program untuk penanggulangan malignant melanoma yang memberikan utilitas -biaya, dalam QALY tertinggi Program A: Tanpa uji, tanpa interferon 2. Buat daftar cara untuk mencapai tujuan tersebut. 3. Identifikasi utilitas masingmasing alternatif. Program B: Uji SLN, interferon untuk pasien yang positif Membandingkan: Program A: Tanpa uji, tanpa interferon Program B: Uji SLN, interferon untuk mereka yang positif Data yang dari produsen interferon dan/atau literatur menunjukkan bahwa utilitas masingmasing program adalah: Program A QALY = 3,06 Program B QALY = 3,37 42 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

61 No. Langkah Contoh 4. Identifikasi dan hitung biaya pengobatan. 5. Hitung dan lakukan interpretasi utilitas-biaya dari pilihan pengobatan. Biaya yang teridentifikasi menunjukkan: Biaya rerata Program A = Rp / pasien Biaya rerata Program B = Rp / pasien a. Hitung rasio utilitas -biaya ( RUB ) setiap pengobatan. Rumus: Biaya / Utilitas RUB Program A =Rp / 3,06 = Rp RUB Program B =Rp / 3,37 =Rp b. Tentukan posisi alternatif pengobatan dalam Tabel atau Diagram Utilitas-Biaya. Biaya yang dilihat adalah biaya pengobatan, bukan rerata utilitas- biaya. Utilitas biaya Biaya lebih rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi Utilitas lebih rendah A (lakukan RIUB) B C (Didominasi) Utilitas sama D E F Utilitas lebih tinggi G (Dominan) H I (lakukan RIUB) Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 43

62 No. Langkah Contoh c. Hitung rasio inkremental utilitas-biaya ( RIUB ) pengalihan program. RIUB Program B terhadap A : = (Rp Rp ) / (3,37 3,06) = Rp /QALY 6 Interpretasi. Program B memerlukan tambahan biaya Rp /QALY, namun masyarakat mendapat tambahan usia 0,31 (survival years) atau 3,72 bulan. 7 Lakukan analisis sensitivitas dan ambil kesimpulan. Analisis dilakukan dengan mengukur kualitas hidup pasien setelah pengobatan sampai meninggal, dengan memperhitungkan variasi utilitas dan variasi biaya. Selain itu, perlu dipertimbangkan perubahan nilai inflasi biaya dan hasil pengobatan. 44 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

63 BAB IV INSTRUMEN KAJIAN FARMAKOEKONOMI

64

65 BAB 4 INSTRUMEN KAJIAN FARMAKOEKONOMI Salah satu tahap dalam melakukan penerapan Kajian Farmakoekonomi adalah telaah kritis (critical appraisal) terhadap bukti ilmiah/jurnal/artikel terpublikasi sebagai hasil penelusuran literatur Kajian Farmakoekonomi yang akan digunakan. Hasil telaah kritis berbagai artikel ilmiah ini akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan untuk memilih alternatif pengobatan. Telaah kritis adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematik dan hati-hati dalam memeriksa dan menilai validitas dan hasil dari suatu artikel ilmiah, serta hubungannya dengan masalah terkait. Berikut ditampilkan contoh instrumen yang umum digunakan dalam telaah kritis artikel ilmiah (evidenced based medicine) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, agar dapat lebih mudah dipahami. Instrumen asli dalam versi Bahasa Inggris dapat dilihat pada Lampiran. Beberapa instrumen lain yang juga biasa digunakan dalam penelusuran literatur, tidak ditampilkan dalam Pedoman ini. Lembar Kerja Untuk Penelaahan Kritis Artikel Farmakoekonomi Pertanyaan berikut akan membantu Anda dalam penelaahan halhal yang terkait metodologi pada Artikel Farmakoekonomi. Terdapat tiga bagian, yaitu: validitas, hasil dan penerapan (applicability) A. VALIDITAS 1. Berbasis apakah struktur model yang digunakan untuk analisis? Apakah model tersebut melakukan pembandingan yang sesuai? Analisis ekonomi seharusnya berbasis suatu model pengambilan keputusan yang disusun berdasarkan kemungkinan efek dari keputusan klinis tersebut. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 45

66 Hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan: Kesesuaian preferensi waktu yang digunakan (misalnya, satu tahun atau seumur hidup) Kepentingan klinis dan ketepatan strategi yang dipilih Kejelasan identifikasi semua kemungkinan hasil yang dapat terjadi karena pilihan intervensi Perspektif yang digunakan (pasien, asuransi, pemerintah atau masyarakat) Ya Tidak jelas Tidak 1. Apa strategi pengobatan yang dibandingkan dalam analisis? Apakah ada strategi pengobatan penting lain yang tidak disertakan dalam analisis? Jika ada, jelaskan! Apakah kemungkinan hasil yang bisa terjadi karena pilihan intervensi digambarkan? Jika ya, apakah merefleksikan semua hasil pengobatan yang potensial (potential outcome) dari setiap intervensi tersebut? Ya Tidak jelas Tidak Perspektif apa yang digunakan ketika menghitung biaya? (pasien, asuransi, pemerintah, masyarakat, atau lainnya) 46 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

67 Berapa lama preferensi waktu yang digunakan? 2. Apakah kemungkinan hasil pengobatan (probabilitas) diukur secara tepat? Peneliti perlu melakukan estimasi secara akurat kemungkinan (likelihood) setiap kemungkinan hasil pengobatan pada pilihan pengobatan. Kemungkinan (probabilitas) hasil pengobatan sedapat mungkin harus didasarkan pada bukti ilmiah. Hal berikut yang perlu dipertimbangkan: Lihat kualitas data yang digunakan oleh peneliti untuk menghitung perkiraan efektivitas. Ya Tidak jelas Tidak Apa tipe data yang digunakan untuk menetapkan efektivitas setiap pilihan pengobatan (RCT, systematic review, atau lainnya)? Apakah data terlihat sesuai? Ya Tidak jelas Tidak 3. Apakah komponen biaya diukur secara tepat? Peneliti perlu melakukan estimasi secara akurat biaya yang digunakan pada setiap pilihan pengobatan, melalui perkiraan biaya dari setiap hasil pengobatan yang mungkin terjadi. Tipe data apa yang digunakan untuk menetapkan biaya yang akan dianalisis? Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 47

68 Apakah data tersebut sesuai? Ya Tidak jelas Tidak 4. Apakah dilakukan analisis tambahan untuk mengantisipasi ketidakpastian dalam analisis? Hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan: Apakah dilakukan analisis sensitivitas? Analisis sensitivitas merupakan metode utama untuk mengatasi ketidakpastian dalam analisis. Pada analisis ini, peneliti akan mengulangi data analisis setelah mengubah nilai beberapa variabel untuk melihat dampak jika variabel tersebut diubah terhadap hasil secara keseluruhan. Hal ini dilakukan terutama untuk variabel yang estimasinya dilakukan berdasarkan data dengan kualitas buruk, atau variabel yang kemungkinan berbeda disetiap setting atau dipengaruhi oleh dampak internesi yang lain. Lihat analisis sensitivitas berdasarkan prevalensi penyakit dan perbedaan estimasi efikasi dari setiap pilihan obat Ya Tidak jelas Tidak Apakah analisis sensitivitas melibatkan semua kemungkinan ketidakpastian yang terjadi? Ya Tidak jelas Tidak 48 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

69 B. HASIL 1. Bagaimana menghitung biaya inkremental dan hasil pengobatan inkremental dari setiap pilihan pengobatan? Ini adalah hasil utama. Lihat keseluruhan hasil dan bagaimana hal tersebut ditampilkan. Lihat apakah model yang digunakan tepat dalam analisis sensitivitas. Hal ini menunjukkan bahwa variasi dari variabel yang utama tidak secara esensial mengubah hasil secara keseluruhan. Apakah hasil secara keseluruhan (estimasi biaya) berubah secara esensial setelah dilakukan analisis sentivitas? Ya Tidak jelas Tidak Pada kondisi apa estimasi tersebut berubah? Bagaimana hasil secara keseluruhan? Gambarkan bagaimana ketidakpastian mengubah biaya inkremental dan hasil pengobatan inkremental dari setiap pilihan pengobatan? C. PENERAPAN (APPLICABILITY) 1. Apakah manfaat dari pengobatan lebih besar dibandingkan risiko dan biaya yang dikeluarkan? Hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan: Berapa besar manfaat atau risiko yang ditimbulkan? Apakah biaya yang diestimasi sesuai dengan biaya pada situasi dan kondisi lokal Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 49

70 Ya Tidak jelas Tidak 2. Apakah hasil bisa diterapkan pada pasien saya? Hal-hal berikut yang perlu dipertimbangkan: Kondisi dan karakteristik pasien. Bagaimana penanganan penyakit tersebut? Tarif/biaya Utilitas (utility), apakah merefleksikan nilai dari populasi yang akan diterapkan? Bagaimana pasien menggunakan sumber daya kesehatan? Kemudahan akses terhadap sumber daya? Ya Tidak jelas Tidak Akankah analisis ini mengubah cara menangani pasien saya? Mengapa/mengapa tidak? Jelaskan. Ya Tidak jelas Tidak 50 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

71 DAFTAR PUSTAKA Afdhal, A. F Farmakoekonomi: Pisau Analisis Terbaru Dunia Farmasi, Sanitra Media Utama & Center for Socio-Economic Studies in Pharmacy. Brent, R.J., 2003, Cost-benefit Analysis and Health Care Evaluations, hal , Edward Elgar Publishing Ltd. : UK Bootman J.L, et al, 2005, Principles of Pharmacoeconomics, 3rd ed, Harvey Whitney Books Company : USA Berger, M.L., Bingefors, K., Hedblom, E., Pashos, C.L., Torrance, G., Smith, M.D., 2003, Health Care Cost, Quality, and Outcomes : ISPOR Book of Terms, ISPOR: USA. Drummond, M.F., M.J. Sculpher, G.W. Torrance, B.J. O Brien, and G.L. Stoddard, Methods for the Economic Evaluation of Health Care Programmes, 3rd Edition, Oxford University Press, Oxford. Gattani, S.G., A.B. Patil, and S.S. Kushare, Pharmacoeconomics: A Review, Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research, 2(3): Newby, D and S. Hill, Use of Pharmacoeconomics in Prescribing Research. Part 2: Cost-minimization analysis when are two therapies equal?, Journal of Clinical Pharmacy and Therapeutics, 28: Rascati, K.L., et al, 2009, Essentials of Pharmacoeconomics, Lippincott Williams & Wilkies, Philadelphia. Shafie, A.A., 2011, Introduction to Economic Evaluation, disampaikan pada Workshop Farmakoekonomi dalam Pelayanan Kesehatan, Universitas Pancasila, Jakarta Wiedenmayer, K., R.S. Summers, C.A. Mackie, A.G.S. Sous, M. Everard, and D. Tromp, Developing Pharmacy Practice: A Focus on Patient Care, World Health Organization Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 51

72

73 LAMPIRAN

74

75 LAMPIRAN 1 KEMENTERIAN KESEHATAN R.I DIEKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kavling 4-9 Jakarta Telepon : (021) Pesawat 2029, 8011 Faksimile: (021) Kotak Pos : 203 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN NOMOR HK.03.05/III/502.1/2011 TENTANG TIM PENYUSUN PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN, Menimbang : a. bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan, perlu dilakukan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional; b. bahwa salah satu upaya peningkatan penggunaan obat secara rasional adalah melalui pemilihan dan penggunaan obat yang efektif dan efisien dengan menerapkan kajian farmakoekonomi; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu disusun suatu Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi; d. bahwa dalam rangka menyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi perlu dibentuk Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi melalui Keputusan Direktur Jenderal; Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 53

76 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3781); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5044); 4. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara; 5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/MENKES/ SK/III/ 2006 tentang Kebijakan Obat Nasional; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/MENKES/ PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 54 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

77 MEMUTUSKAN : Menetapkan : Kesatu Kedua : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN TENTANG TIM PENYUSUN PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI. : Membentuk Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi dengan susunan keanggotaan sebagai berikut: Pengarah : Dra. Sri Indrawaty, Apt, M.Kes (Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan) Penanggung Jawab : Dra. Engko Sosialine M., Apt (Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian) Narasumber/Ahli : 1. Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH 2. Ahmad Fuad Afdhal. Ph.D 3. dr. Jarir At Thobari, Ph.D Pelaksana Ketua : dr. Zorni Fadia Wakil Ketua : Erie Gusnellyanti, SSi,Apt Sekretaris I : Rengganis Pranandari,S.Farm,Apt Sekretaris II Anggota Sekretariat : Dina Sintia Pamela, S.Si, Apt : 1. Dra. Agusdini B. Saptaningsih, Apt, MARS 2. Drs. Prih Sarnianto, M.Sc, Apt 3. Yusi Anggriani, Apt, M.Kes 4. Vetty Yulianti, M.Si, Apt 5. Dra. Ardiyani, Apt, M.Si 6. Helsy Pahlemi, Apt, M.Si 7. Roy Himawan, S.Farm, Apt, : 1. Rizki Machdiawati, S.Farm, Apt 2. Vitri Sariati, AMF 3. Badrun Samsi Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 55

78 Ketiga : Tugas Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi sebagai berikut: 1. Narasumber/Ahli: a. memberikan masukan dan saran kepada Tim Penyusun terkait isi Pedoman; b. membahas dan memeriksa draf Pedoman; c. memberikan masukan dan saran kepada Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terkait tindak lanjut dan penerapan Pedoman. 2. Pelaksana: a. menyiapkan bahan/materi dan literatur yang dibutuhkan; b. menyiapkan usulan draf Pedoman; c. mengadakan rapat pembahasan draf; d. melakukan perbaikan draf hasil pembahasan; e. melakukan finalisasi draf; f. melakukan pencatatan dan pelaporan. Keempat : Penyusunan Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi dilaksanakan selama Tahun Kelima Keenam Ketujuh Kedelapan : Dalam melaksanakan tugasnya Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. : Masa tugas Tim Penyusun Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi terhitung mulai tanggal ditetapkannya Keputusan ini sampai dengan akhir Tahun : Biaya penyelenggaraan kegiatan dibebankan pada DIPA Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Tahun 2011 : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. 56 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

79 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 September 2011 DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 57

80 CONTOH FORMULIR PERHITUNGAN BIAYA AKIBAT SAKIT LAMPIRAN 2 Biaya langsung Jumlah (Rupiah) Biaya tidak langsung Jumlah (Rupiah) 1. Biaya kamar 2. Biaya obat 3. Biaya visit dokter 4. Biaya konsultasi dokter 5. Biaya operasi 6. Biaya pemeriksaan penunjang 7. Biaya administrasi 8. Biaya lain-lain 1. Biaya transportasi 2. Biaya konsumsi 3. Biaya pendamping 4. Biaya kehilangan pekerjaan Total Biaya (A) (cost of treatment) Total Biaya (B) Biaya akibat sakit (cost of illness) Total Biaya (A) + Total Biaya (B) Catatan : Untuk perhitungan biaya tidak langsung : komponen disesuaikan dengan kebijakan institusi yang akan menggunakan. 58 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

81 LAMPIRAN 3 DAFTAR BEBERAPA ALAMAT SITUS INTERNET UNTUK PENELUSURAN JURNAL/BUKTI ILMIAH 1. Search engine : Meta analysis dan systematic review: 3. Journal (British Medical Journal) (New England Journal Medicine) (Lancet) (Value in Health) Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 59

82 Lampiran 4 Critical Appraisal Worksheet for Economic Analysis The following questions will help focus your attention on the important methodological issues related to articles on economic analysis. They are divided into three sections: validity, results, applicability. Note three types of economic analyses: a. Cost - effectiveness analysis (CEA) is the most common, and is used to compare cost differences between 2 clinical strategies, it often reports cost per quality-adjusted lifeyear (QALY) b. Cost-benefit analysis (CBA) is used to measure the full economic costs and benefits of various strategies, where benefits are measured economically (based on money related to employment etc). c. Cost-utility analysis (CUA) is a type of CEA which includes patient preferences in the analysis. The terms CUA and CEA are often used interchangeably VALIDITY: 1. What was the structure of the model on which the analysis was based? Did the model provide a reasonable comparison of health care strategies? An economic analysis is fundamentally based on a decision model, which maps out the possible downstream effects of a clinical decision. Consider the following issues: The timeline utilized and whether it is reasonable (e.g. 1 year, lifetime) The clinical relevance and appropriateness of the strategies Look for a decision tree, on which the analysis is based 60 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

83 Whose viewpoint was used (patient, insurer, government, society)? Yes Not Clear No What were the major strategies compared in the analysis? Are there other important health care strategies that were not included? If so what were they? Is there a decision tree or is it described? If so, does it reasonably reflect the potential outcomes of each treatment strategy? Whose viewpoint was used when considering costs? (Patient, In Government, etc) What is the timeline? (often lifetime) 2. Were the outcomes (probabilities) property measured? The investigators need to accurately estimate the likelihood of each outcome in their model. These probabilities should be as evidence-based as possible. Consider if the analysis did the following: a. Look at the quality of the data the authors use to estimate effectiveness. Yes Not Clear No Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 61

84 What type of data was used to establish efficacy (RCTs, Systematic Reviews, other)? Does this data seem reasonable? 3. Were utilities properly measured? Investigators need to accurately estimate utilities, which assign values to various health states, where Imperfect health and 0=death. A year of life with a chronic illness (e.g. s/p stroke) will be given a value <1. There are studies which estimate utilities for common health states. Was data used to establish utilities? Do these utilities seem reasonable? 4. Were costs properly measured? Investigators need to accurately estimate the cost of each strategy, through estimates of the cost of each possible outcome. What type of data was used to establish costs? Does the data 5. Was appropriate allowance made for uncertainties in the analysis? Consider the following issues: Was sensitivity analysis performed? This is the major method for addressing uncertainties. In sensitivity analysis the authors will re-analysis the data after changing values for different variables, to see if these changes impact the overall result. This is particulary important for variables for which estimates are based on poor quality data, or for variables which might differ among settings or which might be impacted by other interventions. Look for sensitivity analysis based on disease prevalence as well as differences in efficacy estimates. 62 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

85 Yes Not Clear No Did the sensitivity analysis indude all possible uncertainties? RESULTS 1. What were the incremental cost and outcomes of each strategy? This is the main result. Look for an overall result and how it is expressed (usually cost per QALY in a CEA) Look for whether the modal was robust in the substantially analysis. This indicates that variations in important variables did NOT subtanstially change the overall result. Threshold values are values of variables which change the result of the model (usually meaning that the intervention crosses the line of : cost-effectiveness ) Did the overall result (the cost estimates) change substantially in the sensitivity analysis? Under which conditions change? What was the overall result? Describe how uncertainty changes the incremental costs and outcomes of each strategy? APPLICABILITY 1. Are the treatment benefits worth the harms and costs? Consider the following issues: What was the magnitude of the benefit or harm? Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 63

86 Are cost estimates in the study similar to local costs? Yes Not Clear No 2. Can the results be applied to my patients? Consider if the study population and the study sites are similar to yours in terms of: Patients How diseases are clinically managed Prices/costs Utilities- do they reflect the values of our population? How patients use the healthcare resources Accessibility of resources Yes Not Clear No Will this analysis change your practice? Why or why not? Deborah Korestein, MD Department of Medicine Mount Sinai School of Medicine 64 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

87 Lampiran 5 CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST FOR ECONOMIC EVALUATIONS. Study Design: Any research design incorporating an economic evaluation? Adapted from: Critical Appraisal Skills Programme (CASP), Public Health Resource Unit, Institute of Health Science, Oxford. Drummond et al. Methods for the economic evaluation of health care programmes. 2nd Edition. Oxford: Oxford Medical Publications, Dept. of General Practice University of Glasgow Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 65

88 THE ECONOMIC EVALUATION LIKELY TO BE USABLE? 1. Was a well-defined question posed in an answerable form? Consider Is it clear what the authors were trying to do? Yes Can t tell No 2. Was a comprehensive description of the competing alternatives given (i.e. can you tell who did what to whom, where and how often)? 3. Was there evidence that the programme s effectiveness had been established? Consider: Was the study attached to the economic evaluation an RCT? How valid was the study design used? (N.B. You may want to appraise it using an appropriate checklist). HOW WERE OUTCOMES AND COSTS ASSESSED AND COMPARED? 4. Were all the important and relevant outcomes and costs for each alternative identified? Consider: What perspectives) was/were taken, e.g. health service, patient, society. Yes Can t tell No 5. Were outcomes and costs measured accurately in appropriate units (e.g. hours of nursing time, number of physician visits, years-of-life gained) prior to evaluation? 6. Were the outcomes and costs valued credibly? Consider: Were opportunity costs considered? 7. Were outcomes and costs adjusted for different times at which they occurred (discounting)? 8. Was an incremental analysis of the outcomes and costs of alternatives performed? 9. Was a sensitivity analysis performed? Consider: Were all the main areas of uncertainty considered? 66 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

89 WILL THE RESULTS HELP IN PURCHASING FOR LOCAL PEOPLE? 10. Did the presentation and discussion of the results include all, or enough, of the issues that are of concern to purchasers? Yes Can t tell No 11. Were the conclusions of the evaluation justified by the evidence presented? 12. Can the results be applied to the local population? Consider: Are the patients similar enough to your population? Is your local setting similar to that in the study? Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 67

90 JARGON BUSTER. Economic evaluation Cost-minimisation analysis (CMA) Cost-effectiveness analysis (CEA) Cost-utility analysis (CUA) Cost-benefit analyses (CBA) Involve the explicit measurement and valuation of resource consumption or cost and health outhcomes (often referred to as consequences or benefits) so that they can be related to the costs of alternative treatment strategies. N.B The economic evaluation needs to be set in the context of the overall quality and relevance of the study. This may mean appraising the study as well. e.g. If the RCT is of poor quality, there s no point pursuing an appraisal of the economic evaluation. Used when the effect of both interventions is identical (or assumed to be identical). Thus, there is no outcome measure - only costs are accounted for. Used when the effect of the interventions can be expressed in terms of one main outcome measurable in natural units, e.g. improvement in cholesterol level. Used when the effect of the interventions on health status has two or more important dimensions, e.g. benefit and side effects of treatment. The outcome is a utility unit, e.g. QALY, which combines a quantitative and qualitative measure. Used to compare interventions for two different conditions, e.g. hip replacement and CABG. 68 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

91 Both costs and outcomes have to be measured in monetary terms. Perspective Opportunity cost Marginal costs Incremental analysis Sensitivity analysis Discounting The viewpoint of the economic evaluation. This may be the health service, the patient, society. Generally, broader viewpoints are more relevant to questions about the allocation of resources, but also need careful thought to identify all the relevant outcomes and costs. Addresses the idea that if resources are used in one way, they cannot be used for something else. Resources may be monitory, but may reflect other areas e.g. staff time, operating theatre use. The change in total costs resulting from a one-unit increase or decrease in the service, e.g. the cost of one additional patient. The additional costs that one service or intervention imposes over another compared with the additional benefits it delivers The standard method of allowing for uncertainty in economic evaluations. Involves varying the values of key parameters, one at a time, to see if the results of the evaluation are sensitive to the assumptions made. Discounting makes current costs and benefits worth more than those occurring in the future because there is an opportunity cost to spending money Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 69

92 now and a desire to enjoy benefits now rather than in the future, e.g. If the money was invested (wisely) now it would be worth more in one year s time. Quality-adjusted life-year (QALY) A measure which tries to combine a quantitative measure (months gained, years gained etc) with a qualitative measure of the quality of that time. 70 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

93 DAFTAR KONTRIBUTOR PEDOMAN PENERAPAN KAJIAN FARMAKOEKONOMI 1. Dra. Engko Sosialine M, Apt, Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian 2. Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, Universitas Indonesia 3. Ahmad Fuad Afdhal, PhD, Universitas Indonesia 4. DR. Dr. Jarier At Thobari, Universitas Gajah Mada 5. Drs. Prih Sarnianto, Apt, MSc, Universitas Pancasila 6. Vetty Yulianti, Apt, MPH, Universitas Indonesia 7. Yusi Anggriani, Apt, M.Kes, Universitas Pancasila Lampiran 6 8. Dra. Agusdini B Saptaningsih, Apt, MARS, RS Kanker Dharmais 9. Dra. Yulia Trisna, Apt, M.Pharm, RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta 10. Dra. Debbie Daniel, Apt, Rumah Sakit Umum Fatmawati, Jakarta 11. dr. Maya Rusadi, M.Kes, PT. Askes (Persero) 12. Dra. Rabiatul, Apt, PT. Askes (Persero) 13. Ully Adhie Mulyani, S.Si, Apt, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbangkes 14. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan 15. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Kementerian Kesehatan 16. RSUD Kab Ciawi, Bogor 17. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat 18. Dinas Kesehatan Kota Bogor 19. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 20. Dra. Sa diah, Apt, Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 21. dr. Zorni Fadia, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 22. Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 23. Dra. Ardiyani, Apt, M.Si, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 24. Helsy Pahlemy, Apt, M.Farm, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi 71

94 25. Rohayati Rahafat, S.Si, Apt, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 26. Roy Himawan, S.Farm, Apt, MKM Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alkes 27. Dina Sintia Pamela, M.Farm, Apt, MKM Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 28. Rengganis Pranandari, S.Farm, Apt, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 29. Rizki Machdiawati, S.Farm, Apt, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 30. Ria Astuti, S.Farm, Apt, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 31. Yenni, S.Si, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 32. Vitri Sariati, AMF, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 72 Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi

95

96

PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMIK PADA PEMILIHAN TERAPI

PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMIK PADA PEMILIHAN TERAPI PERTIMBANGAN FARMAKOEKONOMIK PADA I. Pengertian Farmakoekonomik PEMILIHAN TERAPI Farmakoekonomik merupakan salah satu cabang dalam bidang farmakologi yang mempelajari mengenai pembiayaan pelayanan kesehatan,

Lebih terperinci

COST EFFECTIVE ANALYSIS DALAM PEMILIHAN BARANG FARMASI. Oleh: Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS

COST EFFECTIVE ANALYSIS DALAM PEMILIHAN BARANG FARMASI. Oleh: Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS COST EFFECTIVE ANALYSIS DALAM PEMILIHAN BARANG FARMASI Oleh: Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS ISSUE STRATEGIS ERA JKN FARMAKOEKONOMI 1. Era JaminanKesehatanNasional, membuat diberlakukannya

Lebih terperinci

WORKSHOP. DISAMPAIKAN OLEH TIM Dr. Dra Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS Dra Yuri Pertamasari, Apt., MARS

WORKSHOP. DISAMPAIKAN OLEH TIM Dr. Dra Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS Dra Yuri Pertamasari, Apt., MARS WORKSHOP DISAMPAIKAN OLEH TIM Dr. Dra Agusdini Banun Saptaningsih, Apt., MARS Dra Yuri Pertamasari, Apt., MARS Cost Minimization Analysis (CMA) Cost Benefit Analysis(CBA) Cost Effectiveness Analysis(CEA)

Lebih terperinci

Telaah Kritis Penelitian Farmakoekonomi. Dra. Yulia Trisna, Apt., M.Pharm

Telaah Kritis Penelitian Farmakoekonomi. Dra. Yulia Trisna, Apt., M.Pharm Telaah Kritis Penelitian Farmakoekonomi Dra. Yulia Trisna, Apt., M.Pharm Tipe analisis Farmakoekonomi Cost Minimisation Analysis (CMA) Cost Effectiveness Analysis (CEA) Cost Utility Analysis (CUA) Cost

Lebih terperinci

EVALUASI EKONOMI PADA PELAYANAN KESEHATAN

EVALUASI EKONOMI PADA PELAYANAN KESEHATAN EVALUASI EKONOMI PADA PELAYANAN KESEHATAN Elsa Pudji Setiawati 140 223 159 BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNPAD DAFTAR ISI DAFTAR ISI. Pendahuluan... Evaluasi Ekonomi Pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu serta pemerataan

Lebih terperinci

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN Sekretaris Ditjen Binfar Alkes Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan 9-12 November 2015

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1. Definisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Defenisi Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universal Health Coverage (UHC) sebagai bagian dari reformasi sistem kesehatan pada saat ini telah dilaksanakan oleh hampir setengah negara di dunia dengan berbagai

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI LAY OUT LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan menentukan mutu kehidupan dalam pembangunan nasional. Menurut World Health Organization (WHO),

Lebih terperinci

CURICULUM VITAE. : Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt.,MARS Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 20 September :

CURICULUM VITAE. : Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt.,MARS Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 20 September : Personal Data : Nama Lengkap / Gelar CURICULUM VITAE : Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt.,MARS Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 20 September 1966 Alamat Phone : 085882909848 Email : Graha Bintaro

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS PENULISAN RESEP OBAT DI LUAR FORMULARIUM NASIONAL PADA PESERTA BPJS NON PBI DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK III BENGKULU TAHUN 2015

ANALISIS PENULISAN RESEP OBAT DI LUAR FORMULARIUM NASIONAL PADA PESERTA BPJS NON PBI DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK III BENGKULU TAHUN 2015 ANALISIS PENULISAN RESEP OBAT DI LUAR FORMULARIUM NASIONAL PADA PESERTA BPJS NON PBI DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK III BENGKULU TAHUN 2015 Henni Febriawati 1, Riska Yanuarti 2, Rini Puspasari 3 1,2,3 Fakultas

Lebih terperinci

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016

Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 Rencana Kerja Tahunan Tahun 2016 DIREKTORAT PELAYANAN KEFARMASIAN Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan KEMENTERIAN KESEHATAN RI KATA PENGANTAR Kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MenKes/SK/XI/1992, rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi

Lebih terperinci

Kebijakan Umum Prioritas Manfaat JKN

Kebijakan Umum Prioritas Manfaat JKN Kebijakan Umum Prioritas Manfaat JKN dr. Sigit Priohutomo, MPH KETUA DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL (DJSN) Jakarta, 8 April 2017 1 Mengenal DJSN UU 40 Tahun 2004 tentang SJSN Untuk penyelenggaraan SJSN

Lebih terperinci

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1. Defenisi Rumah Sakit Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur,

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT. Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur, BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Rumah sakit merupakan suatu unit yang mempunyai organisasi teratur, tempat pencegahan dan penyembuhan

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP

GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI HEMODIALISA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011 SKRIPSI Oleh: ATIKAH DWI ERLIANA

Lebih terperinci

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi atau disebut juga tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh darah meningkat secara kronis. Tekanan darah pasien

Lebih terperinci

[ ] Peranan Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan

[ ] Peranan Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan 2016 WORKING PAPER OF DEXA MEDICA GROUP Raymond R. Tjandrawinata Peranan Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan [ ] Ilmu farmakoekonomi telah berkembang menjadi disiplin

Lebih terperinci

Peran Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan

Peran Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan medical review Peran Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat-Obatan Raymond R. Tjandrawinata Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Group, Jakarta, Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan evaluasi ekonomi kesehatan yang bersifat eksperimen kuasi dengan rancangan penelitian pretest - posttest. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009 pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan

Lebih terperinci

KOMITE FARMASI DAN TERAPI. DRA. NURMINDA S MSi, APT

KOMITE FARMASI DAN TERAPI. DRA. NURMINDA S MSi, APT KOMITE FARMASI DAN TERAPI DRA. NURMINDA S MSi, APT STANDARD PELAYANAN FARMASI Keputusan MenKes no. 1197/MenKes/SK/X/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili

Lebih terperinci

Cost Effectiveness Analysis (CEA) Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

Cost Effectiveness Analysis (CEA) Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH Cost Effectiveness Analysis (CEA) Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Pendahuluan Evaluasi Ekonomi dalam sektor kesehatan Konsep Cost Effectiveness Analysis (CEA) Pengukuran Outcome Manfaat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT DAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1 Rumah Sakit 2.1.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Menurut Undang-undang Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Evaluasi pelaksanaan..., Arivanda Jaya, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Evaluasi pelaksanaan..., Arivanda Jaya, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana telah diamanatkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Sejalan dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak azasi manusia, dimana setiap orang berhak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya, termasuk didalamnya hak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIDIABETIK ORAL PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 RAWAT JALAN PESERTA BPJS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI Oleh : ALISA PRIHARSI K 100110045

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna (pelayanan kesehatan yang meliputi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah sakit adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan memiliki peran sangat strategis dalam mempercepat

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN KELAS III PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, No.16, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Pelayanan Kesehatan. Di Fasilitas Kawasan Terpencil. Sangat Terpencil. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang salah satunya adalah kesehatan. Pengertian dari kesehatan tidak hanya sebatas sehat secara jasmani dan rohani, namun sehat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

Lebih terperinci

olahraga secara teratur, diet pada pasien obesitas, menjaga pola makan, berhenti merokok dan mengurangi asupan garam (Tedjasukmana, 2012).

olahraga secara teratur, diet pada pasien obesitas, menjaga pola makan, berhenti merokok dan mengurangi asupan garam (Tedjasukmana, 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi atau lebih dikenal dengan istilah tekanan darah tinggi merupakan suatu keadaan dimana seseorang mempunyai tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmhg dan tekanan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpijak dari kesehatan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, dimana hal tersebut merupakan indikator bagi pengukuran kesejahteraan manusia. Maka dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, 31 Januari 2013 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan SEKRETARIS,

KATA PENGANTAR. Jakarta, 31 Januari 2013 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan SEKRETARIS, KATA PENGANTAR Laporan Akuntabilitas Kinerja Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2012 disusun dalam rangka memenuhi Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

POTENSI PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DALAM RANGKA UNIVERSAL COVERAGE DI KOTA BANDUNG

POTENSI PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DALAM RANGKA UNIVERSAL COVERAGE DI KOTA BANDUNG POTENSI PARTISIPASI MASYARAKAT MENUJU PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DALAM RANGKA UNIVERSAL COVERAGE DI KOTA BANDUNG Henni Djuhaeni Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Unpad LATAR BELAKANG

Lebih terperinci

KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN

KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN UUS SUKMARA, SKM, M.Epid. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Bandung, 24 Agustus 2015 DASAR HUKUM UU 40/ 2004 UU 24 Tahun 2011 tentang

Lebih terperinci

DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN

DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM PENINGKATAN MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN Andrie Fitriansyah D I S A M PA I K A N PA D A : P E RT E M U A N P E N I N G K ATA N MUTU P E L AYA N A N K E FA R M A S I A N G O R O

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19,

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan dan fungsi rumah sakit sebagai sarana yang semata mata hanya melakukan aktiftas pelayanan kesehatan baru dimulai pada akhir abad ke -19, dimana dimasa masa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.693,2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.693,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.693,2012 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 029 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 416/MENKES/PER/II/2011 TENTANG

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. derajat kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya salah satunya dengan

PENDAHULUAN. derajat kesehatan dilakukan dengan berbagai upaya salah satunya dengan PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia yang semakin modern dalam berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan lambat laun seiring dengan perkembangan zaman menuntut masyarakat juga untuk

Lebih terperinci

GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011

GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011 GAMBARAN PENGOBATAN DAN ANALISIS BIAYA TERAPI PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2011 SKRIPSI Oleh: FERDIANA DYAH FATMAWATI K100080201 FAKULTAS

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Di masa yang lampau sistem kesehatan lebih banyak berorientasi pada penyakit, yaitu hanya

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN PADA LABORATORIUM KESEHATAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT. Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah BAB II TINJAUAN UMUM RUMAH SAKIT 2.1 Definisi Rumah Sakit Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah Institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan BAB TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan adalah pekerjaan yang menyangkut penyusunan konsep serta kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan demi masa depan yang lebih baik (Le

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

BAB I PENDAHULUAN. kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilakukan rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol (Chobanian,

I. PENDAHULUAN. dilakukan rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol (Chobanian, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah arteri secara terus menerus (Saseen & Maclaughlin, 2008). Peningkatan tekanan darah dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran umum Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar efisiensi biaya obat pasien JKN rawat jalan RS Swasta Yogyakarta melalui

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya

BAB I PENDAHULUAN. orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kesehatan merupakan salah satu indikator suksesnya pembangunan suatu bangsa sehingga diperlukan adanya suatu upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan

Lebih terperinci

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan I. Latar Belakang Beberapa pertimbangan dikeluarkannya Permenkes ini diantaranya, bahwa penyelenggaraan Pusat Kesehatan Masyarakat perlu ditata ulang untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MANAJEMEN PELAYANAN HOSPITAL HOMECARE DI RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT

2016 GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MANAJEMEN PELAYANAN HOSPITAL HOMECARE DI RSUD AL-IHSAN PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan berjalannya waktu, beragam permasalahan kesehatan mulai timbul. Masyarakat mulai khawatir terhadap berbagai penyakit di lingkungan sekitarnya. Akibat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Puskesmas Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah krisis ekonomi melanda Indonesi tahun 1997/1998. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. setelah krisis ekonomi melanda Indonesi tahun 1997/1998. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya biaya pelayanan kesehatan di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius karena sangat membebani masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan. Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan

BAB I PENDAHULUAN. sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dimulai sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan antara lain oleh ketersediaan biaya kesehatan. Biaya kesehatan ditinjau dari sisi pemakai jasa pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN OBAT RASIONAL DIREKT0RAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN ARAH KEBIJAKAN Program peningkatan pelayanan kefarmasian diarahkan untuk

Lebih terperinci

EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) )

EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) ) EKONOMI KESEHATAN (HEALTH ECONOMICS) ) BANDI Ilmu Kesehatan Masyarakat UNS 04/01/2017 bandi.staff.fe.uns.ac.id 1 Cost Effectiveness Analysis (CEA) Sesi 8 04/01/2017 bandi.staff.fe.uns.ac.id 2 PRINCIPLES

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas kehidupan manusia. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Perwujudan komitmen tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu kebijakan pemerintah bidang kesehatan yang terintegrasi dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi untuk keberhasilan pembangunan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan pembangunan

Lebih terperinci

OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA*

OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA* OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA* Soewarta Kosen, Tati Suryati dan Muh. Karyana PusLitBang Sistem dan Kebijakan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diamanatkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana yang tercantum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pendanaan kesehatan merupakan kunci utama dalam suatu sistem kesehatan di berbagai negara. Meskipun masih terdapat pro-kontra, laporan WHO tahun 2000 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi akan pelayanan kesehatan yang bermutu, maka sebuah pelayanan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hak atas kesehatan ini dilindungi oleh konstitusi, seperti : tercantum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hak atas kesehatan ini dilindungi oleh konstitusi, seperti : tercantum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kesehatan adalah merupakan hak dan investasi bagi semua warga negara Indonesia. Hak atas kesehatan ini dilindungi oleh konstitusi, seperti : tercantum dalam

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Instalasi farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit, merupakan suatu unit atau bagian yang menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya kesehatan merupakan kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, maka tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, maka tuntutan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemangku kepentingan pemberi pelayanan kesehatan. Semakin tingginya tingkat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. ekonomis (Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009) (1). Pada saat ini telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. ekonomis (Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009) (1). Pada saat ini telah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang penting dan menjadi hak semua orang. Kesehatan yang dimaksud tidak hanya sekedar sehat secara fisik atau jasmani, tetapi juga secara mental,

Lebih terperinci