BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL"

Transkripsi

1 13 BAB II RATIO DECIDENDI PUTUSAN MK 33/PUU-IX/2011 BERKAITAN DENGAN KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 2.1 Wewenang Presiden dalam Pembentukan Perjanjian Internasional Presiden selain sebagai kepala negara juga menjabat sebagai kepala pemerintahan. Selaku kepala negara Presiden adalah simbol represetasi negara dan simbol pemersatu bangsa sementaras selaku kepala pemerintahan Presiden harus bertanggung jawab penuh atas jalannya suatu pemerintahan. 15 Presiden yang memiliki dua fungsi sekaligus yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merupakan salah satu ciri dari sistem presidensial. Sistem presidensial Presiden dan legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu, artinya keduanya bertanggung jawab pada rakyat. Meskipun masa jabatan Presiden telah ditentukan oleh Konstitusi namun rakyat tidak dapat melakukan pengawasan secara langsung maka dari itu anggota legislatif yang juga dipilih secara langsung oleh rakyat mengemban fungsi pengawasan tersebut. 16 Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri sistem presidensial yaitu diantara lain adalah Presiden selain kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan, Presiden dan lembaga legislatif dipilih langsung oleh rakyat. 15 Hendarmin Ranadireksa, Visi Bernegara: Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokus Media, Bandung, 2009, h Ibid. h

2 14 Presiden didasarkan atas kategori mekanisme pelaksanaan wewenang Presiden yang ada maka dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1. Wewenang yang mekanisme pelaksanaannya hanya dilakukan oleh Presiden, dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden yang mandiri (wewenang prerogatif Presiden). 2. Wewenang yang dapat dilaksanakan dengan persetujuan DPR, dalam studi ini kategorikan sebagai wewenang Presiden dengan persetujuan DPR. 3. Wewenang yang dilaksanakan dengan pertimbangan dari lembaga-lembaga negara yang lain, dalam studi ini dikategorikan sebagai wewenang Presiden dengan pertimbangan lembaga negara lain. 17 Bentuk dari wewenang Presiden yang mandiri adalah wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945), wewenang mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD RI 1945), wewenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri, dan sebagainya. Contoh wewenang Presiden yang membutuhkan persetujuan DPR adalah wewenang menyatakan perang dan membuat perdamaian (Pasal 11 UUD NRI 1945 dan Pasal 41 ayat (2) UU No 20/1982), wewenang membuat perjanjian dengan negara lain dan sebagainya. Wewenang Presiden yang menarik untuk dibahas adalah mengenai wewenang pembuatan perjanjian dengan negara lain yang tertuang dalam Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat peramaian dan perjanjian dengan negara lain. Dijelaskan kembali pada ayat 2 bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait 17 Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Studi Mengenai Reposisi MPR,DPR dan, Lembaga Kepresidenan Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2000, h.194.

3 15 dengan beban keuangan engara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanisme internal disetiap negara berbeda-beda dalam meratifikasi suatu perjanjian internasional. Indonesia membutuhkan Persetujuan DPR untuk melakukan mekanisme internalnya (Pasal 11 UUD NRI 1945). Hal demikian berdasarkan pertimbangan bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan hak dan kewajiban terhadap negara sehingga Presiden dalam membuat perjanjian internasional memerlukan persetujuan DPR. Di setiap negara memiliki berbagai macam mekanisme internal, hal ini terdapat pada Konvensi Wina 1969 Pasal 2 ayat 1 huruf b, yang diatur lebih lanjut oleh Pemerintah Indonesia pada Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1945, Persetujuan DPR terhadap Perjanjian Internasional tidak dapat disamakan dengan Persetujuan bersama DPR-Presiden terhadap RUU yang terdapat di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 Persetujuan bersama yang dimaksud dalam pembuatan undang-undang jika diteliti dalam kamus bahasa Indonesia kata persetujuan itu diartikan dengan pernyataan setuju sedangkan kata setuju berarti sepakat, selain itu kata menyetujui dapat juga berarti membenarkan atau mengiyakan. 18 Maka dari itu makna dari persetujuan bersama agar di dalam membentuk undang-undang Dewan Perwakilan Rakyat harus melaksanakannya dengan persetujuan, atau 18 Maria Farida, Op. Cit., h. 134.

4 16 dengan berbarengan, serentak, bersama-sama dengan Presiden mulai dari pembahasan konsideran hingga pasal terakhir. Kedua wewenang tersebut harus dilaksanakan agar undang-undang dapat terbentuk. 19 Konsep persetujuan DPR dan tindakan Presiden tidak sama dengan Persetujuan bersama DPR dengan Presiden. Disini konsep persetujuan DPR hanya terkait pengesahanya saja, DPR tidak berwenang mengubah substansi perjanjian internasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan negara atau organisasi internasional lain. 20 Beda halnya dengan pembuatan Undang-Undang yang normanya dapat dirubah oleh Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat melalui kewenangan persetujuan. Peran DPR disini hanyalah melaksanakan fungsi check and balancesnya bukan fungsi legislasi. 2.2 Undang-Undang Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional Undang-Undang merupakan instrumen penting bagi negara hukum. Sesuai dengan asas Legalitas yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikenai hukuman jika tidak ada hukum yang mengatur. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri negara hukum (rechstaat) yang dikemukakan oleh Jimly Asshidiqie. Terdapat 12 prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di negara hukum yaitu Supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam hukum (Equality before the Law), Asas Legalitas, Pembatasan Kekuasaan, Organorgan Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan tidak memihak, Peradila Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (Constitutional Court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, bersifat demokratis, berfungsi sebagai 19 Ibid. 20 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, bagian Disenting Oppinion.

5 17 sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechstaat), serta Transparansi dan Kontrol Sosial. 21 Kedua belas prinsip tersebut tidak dapat terlepas dari fungsi undangundang yang memiliki peran penting dalam mendukung adanya negara hukum. Undang-Undang merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuanketentuan yang ada dalam UUD NRI Didalam UUD NRI 1945 banyak sekali ketentuan-ketentuan yang masih abstrak dan ketentuan-ketentuan tersebut adalah hal pokok yang mendukung adanya negara hukum, misalnya pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur dalam bab XA UUD NRI Ketetentuan dalam bab tersebut sangatlah abstrak sehingga membutuhkan peraturan lebih lanjut untuk mengaturya. Contohnya pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatua Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dalam ketentuan pasal tersebut konsep menghormati masyarakat adat belumlah konkrit dan jelas melalui mekanisme yang seperti apa, maka dari itu dalam kalimat selanjutnya dijelaskan bahwa ketentuan ini diatur dalam undang-undang. Fungsi undang-undang jika dikaitkan dengan peran undang-undang sebagai peraturan lebih lanjut adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dalam UUD NRI 1945 yang tegas-tegas menyebutkannya, pegaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945, 21 Jimly A., Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006, h

6 18 pengaturan lebih lanjut dalam Ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya, serta pengaturan di bidang materi dalam konstitusi. 22 Menurut UUD NRI 1945 Pasal 20 ayat (2), Undang-Undang merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyatakan bahwa Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dan persetujuan bersama Presiden. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat suatu peraturan dapat disebut sebagai undangundang dilihat dari pembentuknya adalah dibentuk oleh DPR dan mendapat persetujuan bersama Presiden. Syarat ini menjadi karakteristik khusus dalam membedakan undang-undang dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Syarat harus dibentuk oleh DPR dan mendapat persetujuan bersama dengan Presiden dapat mengklasifikasikan undang-undang menjadi 2 macam yaitu pengertian undang-undang selain dalam arti formil (wet in formale zin) dan undang-udang dalam arti materiil (wet in materiele zin). Di Belanda apa yang disebutkan dengan wet in formale zin adalah setiap keputusan yang dibentuk oleh Regering dan Staten General atau dalam konteks Indonesia yaitu dibuat oleh Presiden dengan persetujuan bersama DPR, sedangkan yag disebut dengan wet in materiele zin adalah setiap keputusan yang dibentuk baik oleh Regering atau State General maupun keputusan-keputusan lain yang dibentuk oleh lembaga-lembaga lainnya selain yang dibentuk baik oleh Regeling dan Staten General asalkan isinya 22 Maria F., Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h

7 19 adalah peraturan lain yang mengikat umum (algemene verbidende voorschriften). 23 Dapat diambil kesimpulan bahwa undang-undang dalam arti materiil atau wet in materiele zin merupakan peraturan perundang-undangan yang hanya dibentuk salah satu syarat pembentukan undang-undang dan memuat aturan umum (tidak konkrit). Contohnya adalah Undang-Undang APBN, Undangundang ini tidak mengikat secara umum dan tidak konkrit karena Undang-Undang APBN hanya berisi dua tiga pasal saja, namun lampirannya sangatlah tebal. 24 Rumusan undang-undangnya dapat dikatakan hanya dicantumkan menjadi semacam pengantar saja. Demikian pula dengan undang-undang ratifikasi perjanjian internasional, yang justru lebih penting adalah lampirannya. Tetapi pembentuk Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara telah memenuhi syarat pembentuk undang-undang dalam arti formil. Lain halnya dengan Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang menurut Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 hanya dibentuk oleh Presiden namun materi muatan dan kedudukannya disejajarkan dengan undang-undang. Namun hal ini juga terjadi pada undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan 23 Ibid., h Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, h. 53.

8 20 atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang hasil ratifikasi telah memenuhi syarat pembentukan hasil undang-undang, tetapi apakah materi atau muatan dalam Undang-Undang hasil ratifikasi bersifat umum ataukah konkrit? Untuk memperjelas pembedaan wet in formale zin dengan wet in materiele zin perlu adanya faktor lain yang membedakan yaitu berdasarkan materi muatan suatu peraturan perundang-undangan. Undang-undang memiliki materi muatan yang sangat khas yaitu: 1. Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD NRI 1945 dan TAP MPR; 2. Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI 1945; 3. Yang mengatur hak-hak (asasi) manusia; 4. Yang mengatur hak dan kewajiban warganegara; 5. Yang mengatur pembagian kekuasaan; 6. Yang mengatur organisasi pokok Lembaga-Lembaga Tinggi Negara; 7. Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara; 8. Yang mengatur siapa warganegara dan cara memperoleh/kehilangan kewarganegaraan; 9. Yang dinyatakan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang. 25 Materi muatan ini menentukan apakah suatu masalah dapat ditetapkan dengan peraturan berbentuk undang-undang atau dengan peraturan perundangundangan yang lainnya yaitu Keputusan Presiden jika dalam konteks pengesahan perjanjian internasional. Apabila telah memenuhi salah satu materi muatan yang telah diuraikan diatas maka masalah tersebut dapat diatur dengan undang-undang. 25 Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.242, dikutip dari A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, h. 219.

9 21 Menurut Fajhrul seperti yang dikutip dalam artikel online di Direktorat Jendral Hukum dan HAM, Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian internasional merupakan undang-undang dalam arti materiil maka dari itu tidak dapat diuji karena bukan merupakan Undang-Undang dalam arti formil (wet in formil zein). 26 Pendapat ini didukung dengan adanya fakta bahwa dalam undangundang hasil ratifikasi hanya terdiri dari 2 pasal yaitu pasal 1 yang menyatakan bahwa mengesahkan suatu perjanjian internasional dan pasal 2 menyatakan kapan berlakunya undang-undang tersebut, hal ini mencerminkan bahwa materi muatan undang-undang hasil ratifikasi tidak memiliki norma yang dapat diterapkan secara langsung dan meskipun dalam undang-undang tersebut melampirkan perjanjian internasional yang disahkan, tidak mengubah bahwa norma dalam perjanjian internasional tersebut membutuhkan pengaturan lebih lanjut baru dapat dilaksanakan Proses Pembentukkan Undang-Undang dan Pembentukkan Perjanjian Internasional Dalam Dissenting Opinion oleh Hamdan Zoelfa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang hasil ratifikasi, menyatakan perbedaan yang mendasar antara Undang-Undang materil dengan Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional adalah: (a) Dalam Undang-Undang dalam arti formil, pembahasan norma dapat dibahas dan direvisi, sedangkan Undang-Undang ratifikasi 26 Direktorat Jenderal Kementrian Hukum dan HAM, MK tak Berwenang Menguji UU Hasil Ratifikasi Perjanjin Internasional, 4 Agustus 2011, h.1, dikunjungi pada tanggal 3 Desember 2014.

10 22 merupakan kesepakatan berbagai negara dan tidak dapat direvisi kecuali perjanjian tersebut memberi peluang untuk itu (b) Pemberlakuan Undang-Undang ratifikasi berbeda dengan Undang- Undang formil pada umumnya. Undang-Undang dalam arti formil akan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat semenjak disahkannya Undang-Undang tersebut, sedangkan Undang-Undang hasil ratifikasi perjanjian Internasional membutuhkan metode internal bagi negara peserta Perjanjian Internasional agar dapat mengikat. (Pasal 5 ayat 2 Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional) 27 Secara jelas dalam dissenting opinion Hamdan Zoelfa membedakan proses dalam proses pembuatan undang-undang dengan pembuatan perjanjian internasional. Skema 1 Tahap Pembuatan Undang-Undang Pra-Legislasi Legislasi Pasca Legislasi Penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya undangundang dalam pelaksanaannya terbagi dalam 3 tahap yaitu tahap Pra- Legislasi, tahap Legislasi, dan tahap Pasca Legislasi. 28 Pada tahap Pra- Legislasi dilalu proses: (i) Pencarian Pembentukan UU (RUU), (ii) Persiapan Penyusunan RUU yang terdiri dari pengkajian, penelitian dan penyusunan naskah akademik (iii) teknik dan mekanisme penyusunan RUU (iv) Penyusunan RUU. 27 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang hasil ratifikasi Piagam ASEAN, h Ahmad Ubbs, Mekanisme Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Makalah Tema Konsultasi Pelaksanaan Hukum Di Jajaran DepHak dan HAM, BPHN, Cisarua Bogor, Juni 2005, h. 14.

11 23 Tahap Legislasi akan melalui proses (i) Pembahasan RUU oleh DPR dan Pemerintah, (ii) Pengesahan, penetapan serta pengundangannya. Sedangkan Tahap Pasca Legislasi akan melalui proses (i) Pendokumentasioan UU (ii) Penyebarluasan UU (iii) Penyuluhan (iv) Penerapan UU. 29 Perjanjian Internasional jika ingin memiliki kekuatan mengikat pada para negara peserta pastilah melewati berbagai tahapan/prosedur pembuatan. Prosedur pembuatan Perjanjian Internasional diatur oleh Konvensi Wina 1969 dan Indonesia lebih lanjut mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tahap-tahapan pembuatan Perjanjian Internasional dimulai dari Penjajakan, Perundingan, Adopsi, Authentication, Consent to be Bound dan Entry into Force. 30 Skema 1 Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional Tahap I : Penjajakan Tahap II : Perundingan Tahap III : Adopsi Tahap IV : Otentikasi 29 Sadikin, Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Kaitannya dengan Program Legislasi Nasional. Makalah, h Ulasan ini merupakan intisari perkuliahan Dosen Jany dalam Mata Kuliah Hukum Perjanjian Internasional Semester 5 dengan topik Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional.

12 24 Sesuai skema diatas tahap awal adalah tahapan Penjajakan. Tahap ini tidak diatur di dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986, namun diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasannya yang menyatakan bahwa Penjajakan merupakan tahap awal kemugkinan dibuatnya suatu Perjanjian Internasional. Penjajakan ini muncul didasarkan pada dua faktor yaitu keinginan untuk kerja sama dan jika terjadi sengketa para pihak. Tahapan yang kedua adalah Perundingan, dasar hukum tahapan diatur dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Pada tahapan ini membahas mengenai substansi dan masalah-masalah tekhnis yang disepakati dalam Perjanjian Internasional tersebut. Dalam hal ini setiap negara akan membawa kepentingannya masing-masing untuk dirundingkan, maka dari itu dalam proses perundingan ini setiap negara biasanya menentukan posisi agar dapat meletakkan kepentingan mereka dalam Perjanjian Internasional. Yang dibutuhkan dalam tahap perundingan Perjanjian Internasional adalah: 1. Koordinasi dan kosultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen teknis terkait (Dasar Hukum Pasal 2 dan 5(1) UU 24/2000). 2. Menetapkan Pedoman Delegasi (Dasar hukum Pasal 5 ayat 2 dan ayat (3). 3. Penyusunan Rancangan Perjanjian (Pasal 5 ayat 4)

13 25 4. Penunjukan delegasi yang disertai dengan Full Power Letter (Pasal 7 (1) (2) (4) dan (5) UU 24/2000) atau Credential Letter (Pasal 7 (3) dan (4) UU 24/2000). 31 Yang berwenang melakukan perundingan adalah orang yang mempunyai otoritas/wewenang, jika tidak berwenang maka hasil perundingan tersebut tidak berakibat hukum. Untuk melihat apakah orang tersebut berwenang atau tidak dalam melakukan perundingan maka dapat dilihat dari apakah orang tersebut memiliki Full Power Letter atau Credential Letter untuk menunjukan sejauh mana otoritasnya dalam pembuatan Perjanjian Internasional. 32 Dalam hal ini ada pengecualian untuk yang tidak memerlukan Full Power Letter maupun Credential Letter yaitu Menteri Luar Negeri, Kepala Pemerintahan dan Presiden (The Big Three) serta Duta besar yang ditugaskan di negara tempat perjanjian internasional tersebut dibuat. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Setelah memeriksa apakah orang tersebut memiliki otoritas untuk mewakili negaranya, maka orang tersebut dalam menjalankan tugasnya untuk ikut dalam pembuatan Perjanjian Internasional harus sesuai dengan Pedoman Delegasi yang telah ditentukan. Pedoman Delegasi merupakan panduan bagi delegasi yang mewakili negara Indonesia untuk pembuatan perjanjian Internasional, 33 Pedoman ini dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan departemen teknis terkait, hal ini tercantum dalam Pasal 5 ayat 31 Ulasan dari Slide Perkuliahan Dosen Ibu Aktieva dalam Mata Kuliah Hukum Perjanjian Internasional Semester V dalam topik Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional. 32 Ibid. 33 Ibid.

14 26 (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Substansi pedoman delegasi adalah latar belakang permasalahan, analisa permasalahan dari aspek politis, yuridis, dan aspek lain yang berpengaruh pada kepentingan nasional indonesia dan menetapkan posisi Indonesia, saran dan penyesuaian yang dapatdilakukan untuk mencapai kesepakatan. 34 Hasil dari perundingan adalah draft awal (preliminary draft) yang memuat substansi perjanjian guna dijadikan dasar pembahasan oleh para pihak. Tahap selanjutnya adalah Adopsi, Adopsi di atur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan Konvensi Wina 1969 dan 1986 Article 9. Adopsi merupakan proses merumuskan naskah suatu rancangan perjanjian internasional serta penerimaan substansi perjanjian internasional sebagaimana dituangkan dalam naskah Perjanjian Internasional. Tahap ini menunjukkan bahwa para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian, meskipu kesepakatan itu belum merupakan kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang definitif. 35 Proses adopsi ini adalah menuangkan kesepakatan lisan hasil perundingan dalam format tertulis. Dalam proses adopsi dapat menggunakan voting atau penentuan mayoritas, cara tersebut bergantung dari bagaimana kesepakatan para pihak atau kesepakatan para peserta 34 Ibid. 35 I Wayan P., Perjanjian Internasional: Bagian I, Mandar Maju, Bandung, 2002, h. 106.

15 27 konverensi atau sebagaimana yang ditentukan oleh Organisasi Internasional. Tahap yang keempat adalah Ontetikasi (Authentication) yang diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun Otentikasi merupakan proses penandatanganan/pemarafan setiap hal dalam perjanjian tersebut untuk menyatakan bahwa naskah tersebut bersifat final menurut negara yang bersangkutan. Pegontetikasian atau pengesahan ini akan meningkatkan status dari naskah perjanjian yang sudah melewati tahap penerimaan, menjadi naskah yang final dan definitif. 36 Tata cara otentikasi : sebagaimana disepakatai oleh para pihak, sesuai dengan prosedur yang terdapat pada naskah perjanjian atau dapat dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan atau paraf pada naskah perjanjian. Setelah keempat tahap tersebut dilakukan, maka pernyataan Consent to be Bound berlangsung merupakan tahapan yang tidak terpisahkan setelah pembuatan perjanjian internasional tersebut selesai. Consent to be Bound diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan penjelasan Undang- Undang Nomor 24 tahun Consent to be Bound merupakan pernyataan suatu negara untuk mau menundukkan diri pada ketentuan yang telah dibuat dan sekaligus memberlakuukannya, jadi dapat berefek entry into force. Dengan penandatangan belum tentu berefek Consent to be Bound (Pasal 6(2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000). Banyak cara 36 Ibid., h. 107.

16 28 dalam mekanisme internal suatu negara, mekanisme tersebut bergantung pada pengaturan konstitusi negara tersebut. Macam-macam cara mekanisme internal yang menyatakan Consent to be Bound adalah pertukaran dokumen (exchange document), ratifikasi, akseptasi, aksesi/persetujuan atau dengan signature of referendum. Suatu persetujuan (consent to be bound) terhadap perjanjian internasional dapat dinyatakan dengan cara ratifikasi, akseptasi, atau persetujuan dapat dilihat pada Pasal 14 Kovensi Wina 1969: 1. The Consent of a State to be bound by a treaty is expressed by ratification when: (a) (b) (c) (d) the treaty provides for such consent to be expressed by means of ratification; it is otherwise established that the negotiating States were agreed that ratification should be required; the representative of the State has signed the treaty subject to raitification; or the intention of the State to sign the treaty subject to ratification appears from the full powers of its representative or waas expressed during the negotitation. 2. The Consent of a State to be bound by treaty is expressed by acceptance or approval under conditions similar to those which apply ratification. Selain berefek pengikatan diri terhadap suatu perjanjian internasional, negara pihak tentu ingin perjanjian internasional tersebut dapat berlaku. Langkah terakhir yang perlu dilakukan yaitu Entry into Force (kekuatan memaksa). Dasar hukum dari Entry into Force terdapat pada Article Part II Section III. Entry into force menentukan kapan

17 29 saat mulai berlakunya suatu perjanjian internasional itu sendiri. Kapan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional bergantung pada kesepakatan para pihak yang mengadakan perundingan dan merumuskan perjanjian itu sendiri. 37 Terdapat berbagai cara, sebuah perjanjian internasional entry into force menurut Anthony Aust, yaitu: Pada saat sesuai tanggal yang ditentukan dalam perjanjian. Para pihak bebas untuk menentukan tanggal, atau bahkan untuk menerapkan perjanjian untuk beroperasi secara retroaktif/berlaku surut. Dalam hal perjanjian multilateral dan adanya kebutuhan ratifaksi, memasukkan tanggal tertentu dapat melayani tujuan politik dengan mendorong negaraatau mungkin lebih tepatnya kepada parlemen untuk memenuhi tenggat waktu; 2. Pada saat tanda tangan oleh semua negara negosiasi dilakukan. Hal ini umum untuk perjanjian bilateral yang tidak harus disetujui oleh parlemen, dan kadang-kadang ditemukan dalam perjanjian antara beberapa negara (perjanjian plurilateral) meskipun dengan materi perjanjian yang sangat penting; 3. Pada saat ratifikasi oleh kedua (atau semua) negara yang telah bertanda tangan. Jika perjanjian multilateral membutuhkan ratifikasi oleh semua 37 Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press, Cambridege, 2005, h Ibid., h

18 30 negara negosiasi, maka berlakunya dapat dinyatakan berada pada waktu tertentu setelah penyimpanan instrumen terakhir ratifikasi; 4. Tergantung pada tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) dari negaranegara yang ditentukan oleh nomor, nama atau kategori tertentu; 5. Pada saat tanda tangan (atau biasanya ratifikasi) oleh jumlah minimum dari negara negosiasi (Pasal 84 (1) Konvensi Wina 1961). Biasanya dalam hal perjanjian multirateral, jumlah negara cukup banyak untuk memastikan bahwa perjanjian mendapatkan penerimaan yang luas sebelum diberlakukan; 6. Seperti pada nomor 4 dan 5 di atas, tapi jumlah minimum negara atau organisasi juga harus memenuhi persyaratan lainnya; 7. Pada saat pertukaran instrumen ratifikasi (perjanjian bilateral); 8. Pada saat pemberitahuan oleh setiap negara penandatanganan kepada negara lain atas selesainya persyaratan konstitusional. 9. Dalam kasus perjanjian dibentuk oleh exchange of notes, pada tanggal note balasan/ reply note (note in response). 10. Seperti pada poin 9 di atas, tetapi pada tanggal yang lebih awal atau lebih daripada reply note. 11. Pada tanggal yang akan disepakatai.

19 31 Adanya Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008 tidak serta merta dapat memberlakukan norma Piagam ASEAN, namun hal tersebut begantung pada kapan pemerintah Indonesia menyerahkan instrument of ratification. Sedangkan Indonesia juga tidak dapat serta merta masa mengundurkan diri atau membatalkan perjanjian internasional secara sepihak. Terdapat mekanisme tersendiri untuk kedua hal tersebut. Pembentukan UU dan perjanjian internasional sangatlah berbeda, meskipun sistem pengajuannya berbeda namun jika dapat disimpulkan bahwa UU mulai dari awal pembahasan sampai pengesahan dan pelaskanaan semuanya dibahas dan didiskusikan oleh DPR dan Presiden secara bersama-sama, sedangkan Perjanjian Internasional proses pembahasanannya dan proses penandatanganan hanya diwakili oleh delegasi yang telah membawa pedoman delegasi yang di buat DPR. Meskipun pengesahan perjanjian internasional hampir sama dengan pembentukan UU yaitu dengan adanya peran DPR namun ada beberapa perbedaan prosedur yang tidak berlaku dalam pengesahan perjanjian internasional diantaranya: 39 Pertama, inisiatif pengajuan RUU pengesahan suatu perjanjian internasional hanya berasal dari pemerintah (tidak dari DPR) karena berdasarkan teori pembagian kekuasaa, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki perjanjian internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif. Kedua, DPR tidak mempunyai hak amandemen dalam pengesahan perjanjian internasional, DPR hanya berwenang menyetujui, menerima atau menolak pengesahan suatu perjanjian internasional. Ketiga, pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk UU 39 Sadikin, Loc. Cit, h. 74

20 32 dimungkinkan untuk diajukan ke DPR melalui Daftar Kumulatid Terbuka (DKT) Prolegnas. Namun demikian, akan lebih baik jika RUU pengesahan perjanjian internasional dilakukan secara terencana dan masuk dalam daftar prioritas, agar sejalan dengan politik hukum yang sedang dilaksanakan pemerintahan. Keempat, dalam praktik pengesahan perjanjian internasional baik melalui UU maupun Keputusan Presiden, RUU pengesahan perjanjian internasional selalu dilengkapi dengan sebuah Naskah Penjelasan (Naskah Akademis) yang berisi pejelasan diantaranya mengenai keuntungan dan kerugian/konsekuensi dari pengesahan perjanjian internasional tersebut dan implikasi pengesahan terhadap sistem hukum Konsep Persyaratan dan Penarikan Diri atau Pembatalan dari Kewajiban Hukum Perjanjian Internasional Suatu negara diharapkan dapat menyetujui maupun melaksanakan seluruh isi atau pasal perjanjian, sehingga perjanjian itu mengikat secara utuh dan menyulurh terhadap setiap negara yang telah menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian. 40 Namun setiap negara tentunya memiliki kondisi atau keadaan tertentu daripada negara lainnya. Demi tercapainya pemberlakuan perjanjian internasional maka diberikanlah fasilitas berupa persyaratan atau ada beberapa yang menyebutnya sebagai reservasi. Pada Pasal 2 ayat (1) butir d menyatakan bahwa persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama apapun, yang dibuat oleh suatu negara ketika menandatangani, meratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian 40 I Wayan P., Op. Cit, h. 149.

21 33 internasional, yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara yang bersangkutan. Pernyataan sepihak suatu negara mempunyai 2 bentuk: 1. Menolak untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut, dan/atau; 2. Mengubah atau menyesuaikan isi atau memberikan arti tersendiri atas sah satu atau beberapa ketentuan dari perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan. 41 Namun persyaratan ini memiliki batasan atau larangan, hal ini disebutkan pada Pasal 19 Konvensi Wina 1969 yang berjudul Furmulation of Reservation, sebagai berikut: Suatu negara dapat mengajukan persyaratan, ketika menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi suatu perjanjian internasional, kecuali: (a) (b) (c) Persyaratan itu dilarang oleh perjanjian; Perjanjian itu menentukan, bahwa hanya persyaratan yang khusus, yang tidak termasuk di dalam persyaratan yang merupakan masalah, yag dapat diajukan; atau Dalam hal-hal yang tidak termasuk di dalam subparapraph (a) dan (b) persyaratan itu ternyata tidak sesuai dengan obyek dan tujuan dari perjanjian. Fasilitas persyaratan ini diberikan oleh perjanjian internasional agar negara pihak (contracting states) tidak menggunakan alasan bertentangan dengan hukum nasional agar 41 Ibid., h. 152.

22 34 tidak melaksanakan kewajibannya. Pasal 27 Konvensi Wina 1969, sangat jelas melarang negara untuk menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenar atas kegagalannya melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional. Dalam pengajuan persyaratan atau reservasi, setiap negara tidak dapat langsung disetujui oleh negara-negara lainnya. Secara garis besar, reaksi dari negara-negara itu dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu ada yang menyetujui persyaratan tersebut, ada yang keberatan atau menolaknya, ada yang tidak menyatakan sikap tegas apakah menyetujui atau menolaknya. 42 Pasal 56 ayat 1 Konvensi Wina 1969 menegaskan bahwa negara tidak dapat menarik diri dari perjanjian internasional jika dalam perjanjian internasioal tersebut tidak mengatur pasal yang memperbolehkan, kecuali disetujui oleh semua contracting states. Namun hal ini tidak selaras dengan Pasal 18 huruf h Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang menyatakan, Perjanjian Internasional berakhir apabila: h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Pasal ini tentunya menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan Konvensi Wina 1969 dan membuat Indonesia memiliki peluang untuk tidak konsisten dalam menjalankan perjanjian internasional. 42 I Wayan P., Op.Cit, h. 166.

23 35 Dilihat dari proses pembuatan perjanjian internasional, suatu negara sudah diberi berbagai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan kembali apakah perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan tujuan maupun manfaat yang akan diperoleh oleh negara. Maka dari itu untuk melepaskan diri dari keterikatan suatu negara terhadap perjanjian internasional sangatlah susah Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan-ketentuan yang mempunyai akibat hukum. 43 Dalam mengesahkan suatu Perjanjian Internasional, Indonesia memiliki pengaturan tersendiri. Hal tersebut tertuang pada Pasal 11 UUD NRI 1945 NRI 1945 yang menyebutkan bahwa bentuk hukum perjanjian internasional tidak harus berbentuk Undang-Undang, tetapi dalam konstitusi menyebutkan bahwa Presiden dengan persetujuan DPR yang berhak membuat Perjanjian Internasional. Praktik pembuatan perjanjian internasional dulunya belum memiliki undang-undang yang mengatur khusus mengenai hal itu, maka dari itu dibentuklah Surat Presiden No. 43 Prasetyo Hadi Purwandoko, Januari 2003, Implementasi Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun Justisia Edisi 60 Januari Maret 2003, 6 Desember 2014.

24 /Hk/1960 yang merupakan penafsiran Pasal 11 UUD NRI 1945 oleh Presiden. 44 Namun MPR menyatakan Surat Presiden tersebut bertentangan dengan Tap I/MPR/1983 Pasal 4 (b) yang meyatakan bahwa MPRlah yang berwenang untuk menafsirkan ketetepan-ketepannya (UUD NRI 1945 dianggap sebagai ketetapan) 45. Maka dari itu kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Undang-Undang tersebut diatur kembali lebih terperinci melalui Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang diperkuat dengan adanya Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: (a) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b)perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; (c) Pengesahan perjanjian Internasional tertentu; (d)tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau (e) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional, Bina Ilmu Offset, Surabaya, 1999, h. 45 Ibid., h. 80.

25 37 Agar dapat membedakan bentuk pengesahan dengan UU dan Keputusan Presiden maka diperlukan kriteria yang yang dapat membedakan hal tersebut. Tabel 1. Perbedaan Bentuk Pengesahan Perjanjian Internasional dengan Undang-Undang atau dengan Keputusan Presiden 46 KRITERIA Undang-Undang Syarat Memenuhi kriteria materi muatan yang dapat disahkan dengan undang-undang. Objek Ratifikasi Mayoritas adalah perjanjian multirateral Materi Muatan Sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun Pembentukkannya Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 11 ayat 2 UUD NRI 1945 NRI 1945) Sifat Mengikat yang membuat perjanjian saja, untuk Keputusan Presiden/Peraturan Presiden Dibentuk dengan Keputusan Presiden jika dalam perjanjian internasional disyaratkan adanya pengesahan sebelum berlakunya perjanjian tersebut, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundangundangan nasional. Mayoritas adalah perjanjian bilateral Selain materi yang diatur dalam undang-undang. (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 dan penjelasannya). Dibentuk oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengevaluasi.(pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000) Dalam penjelasan pasal 11 tersebut menjelaskan bahwa DPR dapat membatalkan pengesahan perjanjian internasional tersebut jika merugikan kepentingan nasional. Karena undang-undang perjanjian internasional berlaku 46 Tabel Perbandingan disarikan oleh Penulis dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

26 38 mengikat masyarakat Indonesia diperlukan instumen lebih lanjut. tahun 2000, maka bentuk yang dipakai adalah keputusan presiden. Namun hal ini berubah seiring dengan adanya undang-undang nomor 10 tahun 2004 yang merubah keputusan presiden menjadi peraturan presiden. Hal ini berakibat pada kekuatan mengikat peraturan presiden yaitu mengikat seluruh masyarakat indonesia. Kriteria yang membedakan suatu pengesahan perjanjian internasional dapat dibentuk dengan undang-undang atau keputusan presiden ada beberapa aspek. Aspek yang pertama adalah syarat yang dimuat oleh perjanjian internasional tersebut. Suatu perjanjian internasional dapat disahkan atau di ratifikasi dengan Keputusan Presiden jika perjajian internasional tersebut mensyaratkan adanya pengesahan terlebih dahulu sebelum berlakunya perjanjian tersebut, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi perundangundangan nasional. Hal ini tertuang dalam penjelasan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun Sedangkan untuk bentuk pengesahan berupa undang-undang maka harus memenuhi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yaitu: 1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;

27 39 2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia; 3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara; 4. Hak Asasi Manusia dan Lingkungan hidup; 5. Pembentukan kaidah hukum baru; 6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Contoh pengesahan perjanjian internasional dengan menggunakan undang-undang adalah UU 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik), UU 38/2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN dan Undang-Undang Hasil Raifikasi Perjanjian Internasional yang lainnya. Sedagkan kriteria suatu pengesahan perjanjian internasional dapat dibuat dalam bentuk Keputusan Presiden tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa Pengesahan perjanjian internasional yang menggunakan Keputusan Presiden adalah yang memuat selain materi yang terdapat dalam kriteria materi pengesahan dengan undang-undang. Hal tersebut diperjelas dalam penjelasan pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bahwa pengesahan yang diatur dalam Keputusan Presiden yaitu perjanjian induk yang menyangkut kerja sama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis. Beberapa contoh pengesahan perjanjian internasional dengan Keputusan Presiden yaitu Kepres yang meratifikasi

28 40 1. ASEAN Framework Agreement ASEAN-China FTA (ACFTA) dengan bentuk pengesahan berupa Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 yang disahkan pada 15 Juni ASEAN dengan India untuk mengadakan Free Trade Area yang dibentuk berdasarkan Framework Agreement on Comprehension Economic Cooperation melalui Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun Perjanjian Kopi Internasional (International Coffee Agreement), perjanjian internasional ini adalah perjanjian multilateral dan disahkan oleh Indonesia dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 46 ayat (1) huruf c butir 1 yang berakibat hukum pada pengesahan dengan bentuk Keputusan Presiden tidak lagi dipergunakan tetapi menggunakan Perpres atau Peraturan Presiden. Contoh Peraturan Presiden yang mengesahkan Perjanjian Internasional adalah: 1. ASEAN dengan Korea Selatan untuk mengadakan Free Trade Area yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun ASEAN dengan Australia/New Zealand untuk mengadakan Free Trade Area yang dilakukan berdasarkan Framework Agreement ion Comprehension Economic Cooperation, Indonesia mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun International Convention Maritime Search and Rescue, 1979 with Annex and 1998 Amendements to International Convention on 47 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 38 Tahun 2008 tetang Ratifikasi Piagam ASEAN, h Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2002, (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 60). 49 Ibid., h. 103.

29 41 Maritime Search and Rescue tentang Kovensi Internasional yang memuat mengenai pencarian dan pertolongan di bidang maritim yang diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun Contoh-contoh yang telah disebutkan diatas mencerminkan bahwa terdapat ciri-ciri baru dari pengesahan perjanjian internasional berbentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yaitu mayoritas perjanjian internasional yang disahkan melalui Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden merupakan perjanjian billateral. Beda halnya dengan undang-undang yang notabene meratifikasi atau mengesahkan perjanjian internasioal yang sifatnya multirateral. 2.3 Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam memutus Judicial Review Undang-Undang Hasil Ratifikasi Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945 NRI 1945 yang menyebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan tersebut, yaitu: (1) Menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945; (2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945; (3) Memutus pembubaran partai politik; dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD NRI Dalam UUD NRI 1945 NRI 1945, Mahkamah Konstitusi memang dibenarkan untuk menguji undang-undang namun hal tersebut menjelaskan secara 50 Martitah., Mahkamah Kostitusi : Dari Negative Legislature ke Positive Legislature, Konstitusi Press: Jakarta, 2013, h. 125.

30 42 detil undang-undang apa saja yang dapat diuji. Permasalahan timbul dengan dituangkannya perjanjian internasional dalam sebuah bentuk hukum undangundang, bagaimana hubungannya dengan undang-undang pada umumnya yang berisikan perjanjian internasional. Materi muatan Undang-Undang menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tidak hanya Undang-Undang yang menjadi wewenang pengujian (judicial review) Mahkamah Konstitusi, tetapi juga peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Hal tersebut dapat dinyatakan demikian karena materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang memiliki norma hukum yang kekuatan megikatnya sama dengan Undang-Undang, maka norma yang terdapat dalam Perpu tersebut dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi jika bertentangan secara materiil dengan UUD NRI Dalam Undang-Undang ratifikasi Perjanjian Internasional jika ada yang dipermasalahkan tentunya adalah bagian pada lampirannya. Maka dari itu perlu diketahui bagaimana pengujian pada suatu lampiran undang-undang. Keberadaan undang-undang tidak mungkin lepas maupun dipisahkan dari nasakah lampirannya. 51 Jika undang-undangnya diuji maka lampirannya juga dapat diuji. Namun hal itu berbeda degan lampiran undang-undang ratifikasi internasional. Pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional jika disamakan dengan undang-undang formil ada 2 yaitu secara formil atau 51 Jimly A., Hukum Pengujian Undang-Undang, Oc. Cit, h. 54.

31 43 secara materiil. 52 Jika pengujian dilakukan secara formil, tentu persolannya terbatas pada cara prosedur ratifikasi itu dilakukan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan UUD NRI 1945 atau tidak. Pengujian secara materiil, berarti materi perjanjian internasional yang menjadi lampiran undang-undang itulah yang dipersoalkan. Misalnya jika terbukti lampiran perjanjian internasional tersebut bertentangan, Mahkamah Konstitusi tidak dapat menyatakan undang-undang perjanjian internasional tersebut inkonstitusional. Bukankah perjanjian internasional itu merupakan produk hukum internasional yang oleh Indonesia tidak mungkin ditolak sebagian dan diterima sebagian lainnya. 53 Selain itu kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal ini mengenai pengujian terhadap undang-undang hasil ratifikasi piagam ASEAN patut dipertanyakan, karena Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 ini bukanlah undang-undang dalam arti formil yang dapat diuji dengan mekanisme yang tercantum dalam UUD NRI Kewenangan pembentukannya saja sudah berbeda, bahwa jika undangundang biasa dibutuhkan 2 kewenangan secara bersama yaitu Presiden dan DPR mulai dari pembahasan menimbang, pasal per pasal hingga ketentuan peralihan. Sedangkan untuk pembentukan undang-undang pengesahan perjanjian internasional kewenangan DPR dan Presiden tidak dapat merubah norma yang ada dalam perjanjian internasional melainkan hanya mengenai persetujuan akan disahkan atau ditolak. Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa dalam undang- 52 Ibid. 53 Ibid.

32 44 undang pengesahan perjanjian internasional hanya terdiri dari 2 pasal dan tidak memiliki norma secara konkrit, jika ingin diuji maka apakah berwenang Mahkamah Konstitusi menguji norma yang dibuat oleh negara pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Jika kewenangan tersebut dipaksakan tentunya tetap tidak akan mengubah keterikatan kewajiban Indonesia dengan perjanjian internasional tersebut. Indonesia sebelumnya telah diberi kesempatan untuk mengantisipasi adanya pertentangan dengan perjanjian internasional diantaranya dengan adanya Pedoman Delegasi yang dibuat DPR dan Departemen Terkait agar Indonesia dapat mengantisipasi atau menetapkan posisi Indonesia sebelum meratifikasi perjanjian tersebut. Selain itu juga diberi kesempatan kedua dengan adanya fasilitas persyaratan atau reservasi namun kedua kesempatan ini tidak dipergunakan dengan baik oleh Indonesia. Maka dari itu jika akhirnya bertentangan, untuk keluar ataupun menarik diri dari perjanjian internasional tersebut sangatlah susah untuk dilakukan Legal Standing Pemohon Sebelum sesorang mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, maka perlu diketahui bahwa apakah seseorang tersebut memiliki Legal Standing untuk mengajukan permohonan atau tidak. Istilah Legal Standing dalam Black s Law Dictionary mendefinisikan Standing to sue means that a party has sufficient stake in an otherwise justiciable controvercy to obtain judicial resolusions of that

33 45 controvercy. 54 Melalui definisi tersebut dapat diartikan bahwa pihak yang dapat mengajukan kasus adalah pihak yang memenuhi syarat untuk memperoleh penyelesaian secara hukum di lembaga peradilan terhadap sengketa yang diajukannya. Legal Standing dalam pengujian undangundang jelas memberikan definisi yang lebih spesifik, hal ini disampaikan oleh Sri Soemantri bahwa Legal Standing adalah mereka yang dapat (berhak) megajukan tuntutan atau permintaan agas suatu perundangundangan atau tindakan pemerintah dibatalka dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, atau suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 55 Pemohon dapat mengajukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar harus memenuhi salah satu klasifikasi yang tertera pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi : a) peroragan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); atau b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup da sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang; atau c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Henry C., Law Dictionary with pronounciations, West Publishing: St. Paull, 1990, h. 55 Himawan E, Opcit, h. 189.

34 46 Dalam Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi atau Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) belum mengatur secara teknis mekanisme tata cara beracara atau pedoman beracara dalam hal pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, yaitu dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pegujian Undang-Undang dalam pasal 3 mengulangi kembali pengertian pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. 56 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU- IX/2011 menyatakan bahwa para pemohon yang notabene adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang ekonomi, perburuhan maupun advokasi petani dan lain-lainnya memiliki kedudukan hukum (Legal Standing) dalam mengajukan permohonan karena telah memenuhi syarat sebagai legal standing. Salah satu syarat sesorang dapat mengajukan pengujian undangundang adalah karena hak konstitusionalnya dilanggar. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pasal ini menegaskan bahwa hanya hak-hak yang diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia saja yang termasuk hak konstitusional. 56 Himawan E., Negara Hukum dan Mahkamah Konstitusi : Perwujudan Negara Hukum yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang, Laksbang Grafika Yogyakarta, h. 212.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL I. UMUM Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah

Lebih terperinci

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 1. Penjajakan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional. 2. Perundingan: Merupakan tahap kedua untuk membahas substansi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 185, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisa terhadap judul dan topik pembahasan pada bab sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Pengesahan perjanjian internasional

Lebih terperinci

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1) Chapter Three Pembuatan Perjanjian Internasional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 11 (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian formil dan pengujian materil

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melindungi segenap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013 PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG YANG MERATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL 1 Oleh : Marthina Ulina Sangiang Hutajulu 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme

Lebih terperinci

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI: 1. International Conventions 2. International Customs 3. General Principles of Law 4. Judicial Decisions and Teachings of the most Highly Qualified Publicist Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG BERSIFAT MULTILATERAL

WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG BERSIFAT MULTILATERAL Ni Ketut: Wewenang Mahkmah Konstitusi 103 WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG BERSIFAT MULTILATERAL Ni Ketut Aprilyawathi ketutaprilya@yahoo.co.id

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

Bola Panas Putusan Pengujian Undang-Undang Pengesahan Piagam ASEAN oleh: Ade Irawan Taufik *

Bola Panas Putusan Pengujian Undang-Undang Pengesahan Piagam ASEAN oleh: Ade Irawan Taufik * Bola Panas Putusan Pengujian Undang-Undang Pengesahan Piagam ASEAN oleh: Ade Irawan Taufik * Penantian panjang hampir dua tahun, terjawab sudah pada hari Selasa, tanggal 26 Februari 2013 kemarin. Mahkamah

Lebih terperinci

PENGUJIAN UU TERHADAP UUD. Riana Susmayanti, SH. MH

PENGUJIAN UU TERHADAP UUD. Riana Susmayanti, SH. MH PENGUJIAN UU TERHADAP UUD Riana Susmayanti, SH. MH PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Subyek yg melakukan pengujian a. Hakim (toetsingsrecht van de rechter / judicial review) b. Legislatif (legislative

Lebih terperinci

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969 Konvensi Wina 1969 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Pembukaan/Konsideran (Preambule) dan bagian isi (Dispositive), serta Annex dan dilengkapi dengan dua

Lebih terperinci

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia sebagai negara hukum

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Pendahuluan Mahkamah Konstitusi memutus Perkara Nomor 122/PUU-VII/2009

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman, S.E., MBA.,

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

Ni Ketut: Wewenang Mahkamah Konstitusi. Article history: Submitted 28 October 2014; Accepted 11 January 2015; Available Online 31 January 2015

Ni Ketut: Wewenang Mahkamah Konstitusi. Article history: Submitted 28 October 2014; Accepted 11 January 2015; Available Online 31 January 2015 Ni Ketut: Wewenang Mahkamah Konstitusi 151 Volume 30 No 1, Januari 2015 YURIDIKA DOI : 10.20473/ydk.v30i1.4903 Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya, 60286 Indonesia,

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas negara dan cenderung pada terbentuknya suatu sistem global sehingga mendorong semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebuah lembaga dengan kewenangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017 Ambang Batas Pencalonan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Presidential Threshold) I. PEMOHON Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc dan Ir.

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

PENGHARMONISASIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM PENGHARMONISASIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OLEH: DIREKTUR HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN II Jakarta, 15 Maret 2017 DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

Lebih terperinci

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 Dinamika perkembangan ketatanegaraan di Indonesia terusterjadi. Hal yang kembali mencuat

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online KONSTITUSIONALITAS KETENTUAN KONSULTASI YANG MENGIKAT BAGI PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 19 Juni 2016; disetujui: 8 Agustus 2016 Pasal 9 huruf a dan Pasal 22B huruf a dalam

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016 INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016 Mahkamah Konstitusi (yang selanjunya disebut MK) sebagai lembaga peradilan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diskursus mengenai Mahkamah Konstitusi muncul saat dirasakan perlunya sebuah mekanisme demokratik, melalui sebuah lembaga baru yang berwenang untuk menafsirkan

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) 2.1 Sejarah Singkat Organisasi Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan

Lebih terperinci

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 131/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Ketidakpastian hukum norma-norma UU Pemilu Legislatif I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi Nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disakralkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Mas Soeroso, SE. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Wahyu Naga Pratala, SE. (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis pada abad ke-18 (delapan belas), memunculkan gagasan dari para pakar hukum dan negarawan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 65/PUU-XIV/2016 Konstitusinalitas KPU Sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Pada Rezim Pemilihan Kepala Daerah Bukan Pemilihan Umum I. PEMOHON 1. Muhammad Syukur

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi I. PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016 URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016 Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Pemilu (RUU Kitab

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan I. PEMOHON E. Fernando M. Manullang. II. III. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materil terhadap Undang-Undang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG FUNGSI LEGISLASI DPR DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG Oleh Epita Eridani I Made Dedy Priyanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK The House of Representatives is a real

Lebih terperinci

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PUTUSAN Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama

Lebih terperinci

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018

CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018 CATATAN KRITIS REVISI UNDANG-UNDANG MD3 Oleh : Aji Bagus Pramukti * Naskah diterima: 7 Maret 2018; disetujui: 9 Maret 2018 Undang-undang merupakan salah satu instrumen penting dalam menentukan pembangunan

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016 Bagaimanakah Netralitas Pegawai Negeri Sipil Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIII/2015 Dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 Terkait Syarat Pencalonan Bagi Pegawai Negeri

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.

DAFTAR REFERENSI. . Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia; Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. 112 DAFTAR REFERENSI BUKU Arifin, Firmansyah dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Cet. 1. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHAN), 2005. Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III 52 BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU- IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The Association of Southeast Asian Nations 3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir.

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 4/PUU-XIII/2015 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Iuran) Yang Ditetapkan Oleh Peraturan Pemerintah I. PEMOHON PT. Gresik Migas, dalam hal ini diwakili oleh Bukhari dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akselerasi dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah kehidupan yang berjarak menjadi kehidupan yang bersatu. Pengetian kehidupan yang bersatu inilah yang kita kenal sebagai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA Oleh : Arfa i, S.H., M.H. [ ABSTRAK Undang-undang yang dibuat oleh Lembaga

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online IMPLIKASI PUTUSAN MK NOMOR 92/PUU-XIV/2016 DI DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KPU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah Diterima: 18 Juli 2017, Disetujui: 26 Juli 2017 Pasal yang diuji dan dibatalkan dalam perkara

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 71/PUU-XII/2014 Kewenangan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Di Bidang Tata Ruang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 71/PUU-XII/2014 Kewenangan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Di Bidang Tata Ruang RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 71/PUU-XII/2014 Kewenangan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Di Bidang Tata Ruang I. PEMOHON Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) KUASA HUKUM Prof.

Lebih terperinci

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1 HUKUM PERJANJIAN Ditinjau dari Hukum Privat A. Pengertian Perjanjian Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI DAN RATIFIKASI. A. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai

BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI DAN RATIFIKASI. A. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai BAB III GAMBARAN UMUM DPR RI DAN RATIFIKASI A. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai Lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) adalah salah satu lembaga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI.

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Kurang lebih empat tahun setelah terbentuknya Mahkamah Konstitsi (MK), dimana dalam perkembangan perkaranya, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA EKSISTENSI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN UNDANGAN DI INDONESIA MATERI DISAMPAIKAN OLEH: HAKIM KONSTITUSI MARIA FARIDA

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102

Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102 Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan

Lebih terperinci

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945. RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015 Syarat Pengunduran Diri Bagi Calon Anggota Legislatif dan Calon Kepala Daerah Yang Berasal Dari Pegawai Negeri Sipil I. PEMOHON 1. Fathul Hadie Utsman,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1780, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Perjanjian Internasional. Penyusunan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut termaktub dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "negara Indonesia

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XI/2013 Parlementary Threshold, Presidential Threshold, Hak dan Kewenangan Partai Politik, serta Keberadaan Lembaga Fraksi di DPR I. PEMOHON Saurip Kadi II. III.

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah lembaga baru dengan kewenangan khusus yang merupakan salah satu bentuk judicial

Lebih terperinci

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015. RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 22/PUU-XIII/2015 Pertimbangan DPR Dalam Rangka Pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI Berkaitan Dengan Hak Prerogatif Presiden I. PEMOHON 1. Prof. Denny Indrayana,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Afriady Putra S.,SH., S.Sos. Kuasa Hukum: Virza

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut. BATAS PENCALONAN PRESIDEN DALAM UU NO. 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah Diterima: 2 Oktober 2017, Disetujui: 24 Oktober 2017 RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang disetujui

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017 Presidential Threshold 20% I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Yuda Kusumaningsih (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat I. PEMOHON Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang diwakili oleh Ir. H. Isran

Lebih terperinci

P U T U S A N. Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

P U T U S A N. Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia P U T U S A N Perkara Nomor 007/PUU-II/2004 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus I. PEMOHON Dahlan Pido II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015 RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015 Pembentukan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014, Jaminan Hak Interplasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat DPR, serta Komposisi Wakil Ketua

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online ANALISA MENGENAI JALUR HAKIM NONKARIR DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 20 Juli 2016; disetujui: 19 September 2016 Keberadaan Hakim Agung dari

Lebih terperinci

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 129/PUU-VII/2009 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, MA & MK Pengujian UU dan peraturan di bawahnya dalam satu atap I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira;

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara I. PEMOHON Ir. Sri Bintang Pamungkas, MSISE., Ph.D. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 40 ayat (1)

Lebih terperinci