BAB III KONSEP PERKAWINAN MENURUT AGAMA BUDDHA. 3.1 Hakikat Perkawinan Menurut Agama Buddha

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KONSEP PERKAWINAN MENURUT AGAMA BUDDHA. 3.1 Hakikat Perkawinan Menurut Agama Buddha"

Transkripsi

1 46 BAB III KONSEP PERKAWINAN MENURUT AGAMA BUDDHA 3.1 Hakikat Perkawinan Menurut Agama Buddha Perkawinan menurut Hukum Perkawinan Agama Buddha (HPAB), diartikan sebagai suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki sebagai suami dan seorang perempuan sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna) dan rasa sepenanggungan (mudita) dengan tujuan untuk membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang diberkahi oleh Sang Hyang Adi Buddha, para buddha dan para bodisatwa. 1 Para Teolog agama Buddha juga menambahkan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) bahagia sesuai dhamma. 2 Dalam Anguttara Nikaya III:31, dinyatakan bahwa sebuah keluarga adalah tempat di mana pikiran-pikiran bergabung dan bersentuhan satu sama lain. Apabila pikiran-pikiran itu saling mencintai, rumah itu akan seindah taman bunga yang asri. Sebaliknya, bila pikiran-pikiran itu tidak harmoni, maka keadaannya bagaikan topan badai yang dapat memporak-porandakan rumah dan seisi taman itu. Perkawinan dalam agama Buddha dimaksudkan untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis. 3 1 Departemen Agama Republik Indonesia, Nasehat Perkawinan Agama Buddha, (Jakarta: Depag RI, 1976), h. 9 2 Ibid., h Sasananto Seng Hansun, Rumah Tangga Bahagia dalam Sudut Pandang Agama Buddha, (Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008), h. 25 diakses dari com/pdfpada tanggal 4 Januari 2017, pukul WIB 46

2 47 Dalam agama Buddha perkawinan bukanlah suatu kewajiban/perintah ataupun larangan, melainkan merupakan pilihan pribadi. Jika sepasang umat Buddha sepakat untuk menikah seharusnya tidak melupakan tujuan utama umat Buddha, yaitu mencapai pencerahan (nirvana). Keberhasilan dalam kehidupan pernikahan merupakan salah satu kebahagiaan duniawi yang ditawarkan dalam ajaran Buddha. Kebahagiaan duniawi yang digunakan dengan benar, akan dapat membawa kedua pasangan pada pencerahan sejati, seperti Sumedha dan Sumitta. 4 Hubungan sepasang suami istri dinyatakan berhasil, jika hubungan itu saling menumbuhkan kebaikan hati, keterbukaan hati, dan kecerahan masing-masing. Sedangkan umat Buddha yang tidak menginginkan perkawinan, bisa menjadi samanera, anagarika dan bikkhu. 5 Mereka dapat mencapai nibbana dengan menjalani kehidupan pertapa. 6 Agama Buddha memandang hidup berumah tangga dan hidup membujang sebagai pertapa relatif sama. Masalah terpenting di sini hanyalah kualitas kehidupan. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian dipuji oleh sang Buddha, sesungguhnya mereka seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. 4 Sumedha dan sumitta adalah nama pasangan yang dipercayai sebagai kelahiran masa lalu dari Sidharta dan Yasodhara 5 Samanera adalah bikkhu muda yang berusia dibawah 20 tahun. Anagarika adalah umat buddha yang menempuh kehidupan suci dengan meninggalkan hidup berumah tangga tetapi tidak menjadi anggota sangha atau persekutuan para bikkhu. Bikkhu adalah sebuah gelar yang diberikan kepada seorang pria yang telah ditasbihkan dalam lingkungan biara budhis. Bikkhu juga seringkali dirujukkan sebagai rohaniawan dalam agama Buddha. 6 Hendrick, Cinta, Seks dan Pernikahan dalam Perspektif Buddha Dharma, (Yogyakarta: Vidyasena Production, 2007), h. 9, diakses darihttp:// pada tanggal 15 September 2016, pukul WIB

3 48 Dalam pandangan biksu Prajnavira Mahasthavira, sesuai dengan ajaran Buddha yang universal, perkawinan dianggap sebagai sebuah dharma, sehingga menurutnya, hal yang paling diutamakan dalam suatu hubungan perkawinan adalah perkawinan tidak boleh lepas dari ajaran moral dan etika yang telah diajarkan oleh Buddha Gautama. Ada sebuah pandangan dalam agama Buddha yang menyatakan bahwa untuk memutus siklus reinkarnasi atau mempercepat hilangnya daur samsara dalam kehidupan dunia, maka salah satunya adalah dengan tidak menikah. Namun perkawinan dalam agama Buddha juga dianggap sebagai hubungan suami-istri untuk memperoleh kesucian (vimakirti sutra) yang merupakan salah satu pesan moral dari lima aturan yang menjadi pedoman moral setiap umat Buddha yaitu mereka tidak boleh menyalahgunakan seks. Oleh karena, itu perkawinan dalam agama Buddha juga merupakan jalan agar terhindar dari penyaluran seks yang salah. Hubungan seks diluar perkawinan dianggap sebagai pelanggaran sila ketiga (pelanggaran asusila). 7 Berkaitan dengan masalah perkawinan, Sang Buddha merestui perkawinan antara dua insan yang benar-benar berkomitmen dan mampu menjalankan kehidupan perkawinan mereka sesuai dengan dhamma sehingga berhasil mencapai tingkat kesucian. Ada yang beranggapan bahwa Sidharta Gautama menentang perkawinan dengan meninggalkan istrinya Yasodhara, namun sebenarnya yang terjadi adalah Sidharta meninggalkan istrinya bukan sekedar melepas keduniawian saja, namun untuk tujuan yang lebih mulia, 7 Amri, Budhisme dan Seks, (Yogyakarta: Vidyasena Production, 2007), cet. 1, h. 13, diakses darihttp:// pada tanggal 15 September 2016, pukul WIB

4 49 yaitu membawa istri dan anaknya bersama-sama menuju nirvana dan kebahagiaan abadi. Meskipun secara fisik mereka terpisah, namun batin mereka tidak terpisah dan turut berkembang bersama-sama. Apa yang dilakukan Sidharta, dilakukan pula oleh Yasodhara. Apa yang terjadi dalam diri Yasodhara, terjadi pula pada petapa Siddharta. Ketika Sidharta melakukan pertapaan keras, Yasodhara juga melakukannya sehingga tubuh mereka menjadi kurus. Ketika Sidharta mulai makan kembali, demikian pula yang dilakukan Yasodhara. Ketika Sidharta ditinggalkan dan dicemooh oleh lima petapa temannya, Yasodhara juga diabaikan dan dicemooh oleh orang-orang Sakya. Ketika Sidharta mencapai Pencerahan Sempurna, Yasodhara melahirkan putranya, Rahula. 8 Dalam agama Buddha, menurut pandangan awam seringkali kehidupan perkawinan dipandang sebagai halangan untuk menjalani hidup suci. Namun sebenarnya perkawinan juga mampu menjalani kehidupan suci. Bahkan perkawinan yang dilandasi oleh cinta dapat menjadi kendaraan mencapai pencerahan. Honen Shonin (seorang bhiksu di Jepang) mengatakan: Jika engkau tidak dapat melafalkan nama Buddha sebagai seorang bhiksu, maka ambillah seorang istri dan lafalkanlah nama Buddha. Jika engkau tidak dapat melafalkannya setelah mengambil seorang istri, maka lafalkanlah sebagai seorang bhiksu. 8 Hendrick, Op. Cit., h. 46

5 50 Tsangyang Gyatso 9 menambahkan perkawinan niscaya akan membawa pencerahan, sekiranya perkawinan tersebut dipenuhi oleh dharma Sang Bhagava. 10 Perkawinan dalam agama Buddha haruslah dilandasi oleh rasa cinta. Cinta antara pria dan wanita yang dianjurkan dalam agama Buddha bukanlah cinta yang berorientasi nafsu, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa nafsu selalu mengiringi cinta antara lawan jenis. Cinta dalam agama Buddha sangat erat kaitannya dengan maitri (metta) yang sering didengungkan oleh umat Buddha. Metta merupakan kasih sayang tanpa batas, mutlak harus ada dalam kehidupan pasangan Buddha. Maitri merupakan bahtera dalam menjalani kehidupan perkawinan, karena perkawinan tanpa cinta akan menyakitkan dan hanya akan mendatangkan penderitaan. Maitri juga merupakan kasih sayang saling memberi sehingga nafsu duniawi dapat diubah menjadi welas asih yang murni apabila kita menjalaninya dengan segala kesadaran. 11 Dalam agama Buddha, dikenal empat jenis perkawinan antara suami istri yang merupakan gambaran kehidupan rumah tangga mereka, yaitu: 1. Perkawinan raksasa (chavo) dengan raksesi (chava), sebagai perumpamaan suami isteri/pasangan yang berkelakuan buruk. 2. Perkawinan raksasa dengan dewi, sebagai perumpamaan dimana suami berkelakuan buruk hidup bersama dengan isteri yang berkelakuan baik. 9 Tsangyang Gyatso adalah dalai lama ke 6. Dalai lama diyakini sebagai perwujudan insani dari Avalokiteswara. Avalokiteswara merupakan perwujudan sifat welas asih dari semua buddha. Avalokiteswara merupakan bodisatwa yang paling dimuliakan dalam aliran mahayana. Dalam budaya Tionghoa, avalokiteswara seringkali digambarkan sebagai dewi Kwan Im. 10 Ibid., h Ibid., h. 12

6 51 3. Perkawinan dewa dengan raksesi, sebagai perumpamaan dimana suami yang berkelakuan baik hidup bersama dengan isteri yang berkelakuan buruk. 4. Perkawinan dewa dengan dewi, sebagai perumpamaan suami pasangan yang mulia dan berkelakuan baik. 12 Dalam Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka disebutkan dari keempat jenis pasangan hidup, pasangan ke empatlah yang baik, yaitu pasangan yang berasal dari seorang laki-laki yang baik (deva) dan seorang wanita yang baik (devi). Pasangan hidup yang demikian akan mampu mewujudkan kebahagiaan rumah tangga yang harmonis, rukun dan damai Dasar Hukum Perkawinan Dalam Agama Buddha Tripitaka sebagai kitab suci umat Buddha tidak banyak membicarakan tentang perkawinan. Tripitaka kebanyakan berisi khotbah sang Buddha tentang pencapaian kebahagiaan (nirvana) dan pembebasan diri dari penderitaan (dukkha), baik di kehidupan sekarang maupun di kehidupan mendatang. Meskipun Tripitaka tidak memuat perihal perkawinan secara spesifik, namun Tripitaka memuat norma-norma terkait perkawinan, seperti kewajiban suami terhadap istri begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, perkawinan dalam agama Buddha tampaknya lebih merupakan persoalan pribadi dan sosial ketimbang persoalan peribadatan. 12 Bhikku Khantidaro, Pandangan Agama Buddha tentang Pernikahan, diakses dari Sastravardhana.blogspot.com pada tanggal 6 Januari 2017, pukul WIB 13 Eny Enawati dkk, Keluarga Sejahtera Dan Kesehatan Reproduksi Dalam Pandangan Buddha, (Jakarta: BKKBN, 2011), cet. IV, h. 5

7 52 Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa beliau menentang hidup berumah tangga. Namun beliau menunjukkan segala permasalahan, kesulitan dan kekhawatiran yang akan dihadapi oleh setiap orang ketika mereka mengambil tanggung jawab perkawinan. Hanya karena beliau memperingatkan seseorang akan permasalahan dalam perkawinan tidaklah berarti bahwa sang Buddha tidak menyetujui perkawinan. Menurut sang Buddha, tindakan menikah menyiratkan bahwa seseorang masih terikat pada dunia ragawi, sehingga beliau khawatir permasalahan-permasalahan akan timbul disebabkan oleh tanha dan emosi yang tak terkendali. Oleh karenanya, dalam beberapa kitab suci Buddha, dijelaskan kewajiban suami dan istri dan hal-hal yang perlu dilakukan dalam hidup berumah tangga dalam rangka meminimalisir bahkan menghilangkan segala permasalahan sehingga terciptalah keluarga yang bahagia. 14 Dalam kitab Samyutta Nikaya I: 215 mengenai hak dan kewajiban suami terhadap istri dinyatakan bahwa: kepala keluarga wajib memiliki kejujuran dan selalu menepati janji kepada orang lain (sacca), pengendalian pikiran yang baik (dama), kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan sulit (khanti), dan kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk diberi (caga). Seorang suami hendaknya menjaga ucapan dan tidak berkata-kata buruk pada istrinya dan bekerja sesuai dengan dhamma dengan tujuan membahagiakan istri dan anak-anaknya Sri Dhammananda, A Happy Married Life (A Buddhist Perspective), Terj. Edij, (Jakarta: Dian Dharma, 2013), h Hendrick, op., cit., h. 31

8 53 Dalam Anguttara Nikaya III: disebutkan bahwa Sang Buddha mengajarkan kewajiban seorang istri yaitu: 1. Istri harus bangun lebih dahulu dari suami, bertingkah laku menyenangkan dan berbicara secara bersahabat serta dengan sukarela menolong suami. 2. Menghormati orang-orang yang dihormati oleh suami, seperti orang tua dan teman-temannya. 3. Terampil dan cekatan serta mampu mengolah rumah-tangga sekaligus menyiapkan kebutuhan untuk seluruh anggota keluarga. 4. Dapat mengamankan harta kekayaan dan pendapatan suami, dan tidak berbuat seperti perampok, pencuri atau penggelap. 16 Perkawinan ideal dalam agama Buddha adalah perkawinan yang berazazkan monogami sekaligus menjunjung nilai kesetiaan. Dalam Anguttara Nikaya IV: 55 dinyatakan bahwa perkawinan dengan seorang pria/wanita dan setia kepadanya adalah salah satu bentuk pertapaan. Poligami dikritik Sang Buddha sebagai kegelapan batin dan menambah ketamakan. Poligami atau mendua hanya membawa penderitaan pada mereka yang diduakan. Agama Buddha adalah sebuah ajaran yang mengusahakan kebahagiaan semua makhluk, oleh karena itulah kebiasaan menduaataupun poligami seharusnya dihindari. 17 Berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci Tripitaka, sepertinya Sang Buddha hanya memberikan tuntunan dan norma kehidupan perkawinan, 16 Ibid., h Ibid., h. 16

9 54 tetapi tidak mengatur kelembagaan dan hukum perkawinan, cerai atau waris secara rinci. Sehingga ketentuan agama Buddha mengenai perkawinan diatur oleh pemimpin agama berdasarkan tuntunan dan norma-norma agama dengan mempertahankan pula tradisi atau adat masyarakat yang bersangkutan. 3.3 Tujuan Perkawinan dalam Agama Buddha Menurut pandangan Buddhisme, perkawinan bermakna bahwa sepasang suami istri tidak hanya dapat bersatu dan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan sekarang tetapi juga dalam kehidupan yang akan datang. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia yang diberkahi oleh SangHyang Adi Buddha dan Triratna. Selain itu, perkawinan juga dapat dijadikan jalan mencapai kebuddhaan. Hal ini dinyatakan oleh Bhiksu Nichiren Shonin: Jika di antara kalian berdua (suami-istri) menyerah di pertengahan jalan, maka kalian berdua akan gagal mencapai ke- Buddhaan. Suami isteri itu seperti dua sayap dari seekor burung dan dua mata dari satu orang. Dan istri kalian adalah pendukung kalian. Perempuan menyokong suaminya dan menyebabkan suaminya juga menyokongnya. Ketika seorang suami berbahagia, maka istrinya juga akan berbahagia. 18 Dalam rangka membentuk keluarga bahagia yang menjadi tujuan perkawinan dalam agama Buddha, setiap pasangan harus mengikuti ajaran Sang Buddha tentang praktik kehidupan yang benar. Sang Buddha telah menunjukkan dasar-dasar perkawinan yang harmonis, serasi, selaras, dan 18 Hendrick, op., cit., h. 9

10 55 seimbang. Dengan begitu mereka akan berbahagia di kehidupan sekarang dan mungkin akan terlahir kembali sebagai suami-istri di kehidupan berikutnya. Dalam Digha Nikaya III: 152 dan Anguttara Nikaya II: 32 dinyatakan bahwa ada empat sikap hidup yang harus dipraktekkan oleh pasangan umat Buddha untuk membina keluarga yang harmonis yaitu: pertama, keluarga harus dibangun atas dasar kerelaan (dana), dengan bentuk pengembangan sikap saling pengertian dan saling memaafkan. Kedua, keluarga hendaknya mengembangkan komunikasi yang benar, baik dan halus. Ketiga, setiap pasangan dalam keluarga berupaya untuk saling memberikan manfaat karena pada dasarnya keluarga dibina atas motif saling membahagiakan satu sama lain. Keempat, pasangan suami istri hendaknya mengembangkan sikab bathin seimbang dan dapat mengenyampingkan ego masing-masing demi keutuhan keluarga. 19 Dalam Anguttara Nikaya II: 57 Sang Buddha memberikan petunjuk bahwa perkawinan yang dapat menciptakan keluarga yang harmonis adalah perkawinan yang lahir dari sepasang laki-laki yang baik dan perempuan yang baik pula. Agama Buddha meninggikan prinsip etika dalam ajarannya menyarankan umatnya untuk mencari pasangan yang baik. Dalam Anguttara Nikaya IV: 55 dijelaskan: Bila keduanya memiliki keyakinan (saddha) dan kedermawanan, memiliki pengendalian diri (sila), menjalani kehidupan yang benar, mereka datang bersama sebagai suami dan istri, penuh cinta kasih satu sama lain akan banyak berkah datang kepada mereka, mereka hidup h Karen Amstrong, Buddha Terj. Widiyantoro, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),

11 56 bersama di dalam kebahagiaan. Bila keduanya setara moralitasnya, setelah hidup sesuai dhamma di dunia ini, mereka akan bersuka cita di alam dewa setelah kematian, menikmati kebahagiaan yang melimpah. 20 Berdasarkan hal itu, yang perlu diperhatikan setiap pasangan yang akan menikah dalam agama Buddha haruslah memiliki kesamaan dalam 4 (empat) hal: 1. Kesamaan keyakinan (sadha) Kesamaan keyakinan yang dimaksud bukanlah kesamaan agama, melainkan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup yang sama. Kesamaan keyakinan diantara pasangan suami istri hendaknya membawa keduanya dalam keserasian bertingkah laku. Meskipun agama Buddha tidak melarang perkawinan beda agama, akan lebih baik menikah dengan seseorang yang sama-sama beragama Buddha. Dengan begitu, pasangan tersebut akan dapat berbahagia dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan mendatang Kesamaan moral (sila) Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya dilengkapi dengan kemoralan (sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga. Bagi umat Buddha yang 20 Hendrick, Op. Cit., h Sasananto Seng Hansun, Op. Cit., h. 35

12 57 memilih hidup berumah tangga, Sang Buddha menganjurkan agar melatih diri menghindari sepuluh perbuatan jahat. Pasangan suami istri hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis merupakan lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan Kesamaan kedermawanan (caga) Kesamaan dalam memiliki watak kedermawanan dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan ikhlas dan tanpa syarat. 4. Kesamaan kebijaksanaan (panna) Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar dalam menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat penyelesaian masalah dalam keluarga. Sang Buddha berkata: Jika seorang pria dapat menemukan seorang istri yang cocok dan memahami, dan seorang wanita dapat menemukan seorang suami yang cocok dan memahami; sesungguhnya mereka berdua sangatlah beruntung Situs Budhist, Pancasila Budhist diakses dari pada tanggal 19 Januari 2017, pukul WIB 23 Sasananto Seng Hansun, op., cit., h. 15

13 58 Berkaitan dengan usaha membina keluarga bahagia, dalam buku ikhtisar ajaran Buddha disebutkan bahwa ada lima cara seorang suami memperlakukan istrinya, yaitu: 1. Memperhatikan kebutuhan istrinya 2. Bersikap lembut 3. Setia kepada istrinya 4. Memberi kekuasaan tertentu kepada istrinya 5. Memberi perhiasan kepada istrinya. Selanjutnya ada lima cara seorang istri mencintai suaminya, yaitu: 1. Melakukan tugasnya dengan baik 2. Ramah-tamah kepada keluarga dari kedua belah pihak 3. Setia kepada suaminya 4. Menjaga baik barang yang dimiliki suaminya 5. Pandai dan rajin mengurus rumah tangga. 24 Setiap anggota keluarga hendaknya selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan kewajiban. Pada Anguttara Nikaya I: 87 dinyatakan: Sebaiknya orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya. Pola pandangan hidup ajaran sang Buddha ini apabila 24 Sasananto Seng Hansun, Ikhtisar Ajaran Buddha, (Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008), h. 24 diakses dari pada tanggal 18 Januari 2017, pukul 19.05

14 59 dilaksanakan dapat menjamin ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga. Kebahagiaan dalam perkawinan merupakan tujuan dari semua pasangan yang menikah. Setiap pasangan memiliki cara sendiri dalam usaha mencapai kebahagiaan perkawinan mereka. Dalam agama Buddha terdapat empat macam kebahagiaan bagi umat Buddha yang berkeluarga, yaitu: Atthi Sukha: kebahagiaan karena memiliki kekayaan 2. Bhoga Sukha: kebahagiaan karena mempergunakan kekayaan 3. Anana Sukha: kebahagiaan karena tidak memiliki hutang 4. Anavajja Sukha: kebahagiaan karena tidak melakukan perbuatan tercela Agama Buddha memandang keberhasilan rumah tangga bergantung pada kecukupan materi. Sang Buddha juga mengatakan bahwa penting bagi seorang kepala keluarga memiliki materi yang cukup untuk menjamin kehidupan anak dan istrinya. Untuk mendukung hal tersebut ajaran Buddha telah mengatur empat syarat untuk memperoleh kebahagiaan diantaranya: 1. Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam bekerja untuk mendapatkan penghidupan yang baik 2. Arakkhasampada: menjaga dengan hati-hati kekayaan yang diperoleh secara benar 3. Kalyanamitta: memiliki teman-teman yang baik yang dapat memberikan nasihat dengan penuh keyakinan (saddha), taat aturan (sila), penuh kedermawanan (caga) dan penuh kebijaksanaan (panna) 25 Ibid., h. 31

15 60 4. Samajivikata: hidup sesuai dengan batas-batas kemampuan Di samping itu, terdapat pula beberapa faktor yang akan menghambat tercapainya keluarga harmonis yang menjadi tujuan perkawinan dalam agama Buddha diantaranya: 1. Perbedaan antara suami istri. Untuk menjamin suatu pernikahan yang sukses, pasangan tersebut harus mengharmonisasi hidup mereka dengan memperkecil perbedaanperbedaan apapun yang mungkin mereka miliki di antara mereka. 2. Kurangnya kepercayaan Pasangan suami istri haruslah memperlihatkan rasa percaya satu sama lain dan berusaha untuk tidak punya rahasia. Rahasia menciptakan kecurigaaan, kecurigaan menimbulkan rasa cemburu, rasa cemburu membangkitkan kemarahan, kemarahan menyebabkan permusuhan dan permusuhan dapat berakibat pada perpisahan, bunuh diri atau bahkan pembunuhan. 3. Kebutuhan materi Di dunia materialistis, permasalahan ekonomi menjadi permasalahan mendasar dalam kehidupan rumah tangga. Keadaan seperti ini dinyatakan dalam pepatah berikut: Ketika kemiskinan mengetuk pintu, cinta terbang melayang melalui jendela. Hal ini tidak berarti seseorang mesti kaya raya untuk menikah. Akan tetapi, jika seseorang telah mampu memenuhi kebutuhan dasar hidup yang diperoleh dari pekerjaan yang

16 61 terjamin dan perencanaan matang, maka akan banyak kecemasan dapat disingkirkan dari pernikahan tersebut Proses Pelaksanaan Perkawinan Dalam Agama Buddha Dalam kebiasaan masyarakat terdahulu, seringkali astrologi dipakai untuk menentukan tanggal perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan pada hari baik menurut astrologi, maka akan membawa keharmonisan dan kesejahteraan pada kehidupan rumah tangga. Namun perkawinan dalam agama Buddha tidak terikat oleh astrologi atau hari-hari baik karena menurut Buddha menikahi orang yang kita kasihi sudah merupakan suatu keberuntungan dan hari apapun akan menjadi hari yang baik. Lagi pula kebahagiaan dan keberuntungan dalam agama Buddha ditentukan oleh karma Persiapan Perkawinan Pada dasarnya, tidak ada ritual atau prosedur Buddha tertentu terkait dengan upacara perkawinan. Ajaran Buddha mengakui tradisi dan budaya yang dilaksanakan oleh masyarakat Buddha dalam suatu negara. Oleh karenanya, upacara-upacara ritual Buddha dapat berbeda di antara negara yang satu dengan negara lainnya. Dalam praktek umum, suatu upacara religius untuk pemberkahan dan pemberian nasehat bagi pasangan pengantin biasanya dilaksanakan di sebuah vihara atau di rumah dalam rangka memberikan arti yang lebih besar dalam 26 Sasananto Seng Hansun, Op. Cit., h Hendrick, Op. Cit., h. 34

17 62 perkawinan. Dewasa ini, di banyak negara, yayasan keagamaan Buddha juga diberi wewenang untuk melangsungkan upacara dan mendaftarkan pernikahan bersamaan dengan dikeluarkannya sertifikat pernikahan resmi. 28 Sebelum calon mempelai melaksanakan prosesi upacara perkawinan, calon pengantin terlebih dahulu menyiapkan persyaratanpersyaratan administrasi guna mendapatkan sertifikat perkawinan dari majelis agama Buddha yang berwenang. Selain itu, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan diantaranya: 1. Melaksanakan bimbingan persiapan perkawinan. 2. Calon pengantin harus terlebih dahulu menghubungi pandita dari agama Buddha, atau menghubungi majelis agama Buddha yang mempunyai wewenang untuk memimpin upacara perkawinan. 3. Menyiapkan persembahan-persembahan dan peralatan untuk prosesi pemberkatan perkawinan berupa: a. Altar dimana dilengkapi dengan Buddharupang b. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga) c. Tempat dupa dan dupa wangi sembilan batang d. Gelas atau mangkuk kecil berisi air dan bunga (untuk dipercikkan) e. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai. 28 Sri Dhammananda, Op. Cit., h. 23

18 63 f. Cincin kawin g. Kain kuning berukuran 90 x 125 cm h. Pita kuning sepanjang 100 cm i. Tempat duduk (bantal) untuk pandita dan kedua mempelai. Persembahan-persembahan dalam upacara perkawinan Buddha tersebut memiliki makna tersendiri bagi umat Buddha. Adapun maknamakna dari persembahan tersebut antara lain: Dupa Dupa dengan wangi khasnya selain berguna untuk membersihkan udara dan lingkungan (dharmadatu), juga membuat suasana menjadi religius serta membuat hati menjadi khusuk. Harum dupa yang menyebar ke segenap penjuru sama halnya dengan harumnya perbuatan mulia dan nama baik seseorang, yang bahkan menyebar ke segala penjuru sekalipun berlawanan arah angin. Membakar dupa juga mengandung makna membawa langsung bathin atau hati nurani kehadapan Hyang Adi Buddha. 2. Air Persembahan air mempunyai makna agar pikiran, ucapan dan perbuatan selalu bersih. Air dapat membersihkan segala kotoran bathin (klesa) yang berasal dari keserakahan (lobha), kebencian (dvesa), dan kebodohan/kegelapan bathin (moha) dan ia 29 Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha, (Jakarta: Forum Komunikasi Umat Buddha, 2007), h. 72

19 64 memancarkan kasih sayang (maitri), Welas asih (karuna), memiliki rasa simpati (mudita) dan keseimbangan bathin (upeksa). 3. Bunga Bunga mempunyai makna ketidak-kekalan, semua yang berkondisi adalah tidak kekal atau tidak abadi. Demikian juga dengan badan jasmani adalah tidak kekal; lahir, tumbuh, tua atau lapuk, kemudian meninggal atau hancur. Bunga dan mengingatkan pada ketidak-kekalan, dimana yang tertinggal hanyalah keburukan atau keharuman perbuatan selama hidupnya saja, yang kelak dikenang oleh sanak saudara. 4. Buah Persembahan buah mempunyai makna hasil dari proses kehidupan, bahwa benih perbuatan buruk atau kejahatan akan tumbuh dan berbuah keburukan atau kejahatan pula, begitu juga perbuatan baik akan berbuah kebaikan. Hal ini sesuai dengan ajaran karma, dimana seseorang akan menerima konsekuensi dari perbuatannya. 5. Lilin Lilin merupakan simbol dari cahaya dan penerangan bathin. Menyalakan lilin dalam upacara perkawinan dimaknai untuk melenyapkan kegelapan bathin dan ketidaktahuan (avidya) sebagai sumber dari penderitaan. Lilin merupakan cahaya dharma yang akan membawa umat Buddha pada jalan yang benar. Lilin lima warna

20 65 dalam upacara perkawinan Buddha merupakan warna yang dipakai dalam bendera budhis. Warna-warna tersebut memiliki makna tersendiri. (Biru: Bakti, Kuning: Kebijaksanaan, Merah: Cinta kasih, Putih: Suci, Oranye: Semangat) Buddha Rupang Buddha rupang atau patung buddha bukanlah berhala yang harus disembah oleh Umat Buddha. Buddha rupang merupakan simbol ketenangan bathin. Dengan adanya buddha rupang di altar ketika perkawinan berlangsung diharapkan prosesi perkawinan dapat berjalan dengan penuh khidmat dan mendapat keberkahan Tata Cara Perkawinan dalam Agama Buddha Proses perkawinan dalam agama Buddha diawali dengan memasuki tempat upacara perkawinan. Kedua mempelai memasuki tempat upacara dari pintu utama (dhammasala) menuju ke depan altar Sang Buddha dengan diiringi oleh kedua orang tua atau wali di belakangnya yang berjalan secara dua-dua tiap barisnya. Semua berjalan dengan tertib dan teratur diikuti oleh sanak saudara dan kerabat yang hadir, sedang pandita pemimpin upacara, petugas dan para saksi telah berada di tempat upacara. Kedua mempelai bersama-sama mempersembahkan bunga di altar Sang Buddha kemudian mempersembahkan buah. Setelah itu, 30 Sasananto Seng Hansun, Ikhtisar Ajaran Buddha, Op. Cit., h Ibid., h. 59

21 66 kedua calon mempelai menempati tempat duduk yang telah disediakan, kemudian bersujud kepada Sang Buddha dengan bersikap namakara (bersujud dengan lima titik, yaitu: dahi, kedua lengan, dan kedua lutut menyentuh lantai) sebanyak tiga kali secara bersamaan. Kedua mempelai duduk pada baris pertama. Orang tua/wali dari pihak mempelai pria duduk di sebelah mempelai wanita sedangkan orang tua/wali dari pihak mempelai wanita duduk di sebelah calon mempelai pria. Para sanak saudara dan kerabat yang hadir duduk mulai dari baris kedua hingga baris berikutnya dengan mengisi baris demi baris secara rapi dan teratur. Pandita selaku pemimpin upacara menanyakan kepada masingmasing mempelai apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan secara agama Buddha, jika tidak upacara dilanjutkan. Pandita juga menanyakan kesediaan kedua calon mempelai untuk menjadi pasangan suami istri. Upacara perkawinan dilanjutkan dengan penyalaan lilin lima warna secara berurutan. Lilin biru dinyalakan oleh ayah/wali calon mempelai pria. Lilin kuning dinyalakan oleh ibu/wali calon mempelai pria. Lilin merah dinyalakan oleh pandita pemimpin upacara. Lilin putih dinyalakan oleh ayah/wali calon mempelai wanita. Lilin jingga dinyalakan oleh ibu/wali calon mempelai wanita. Pandita secara resmi membuka upacara perkawinan dengan menyalakan 3 (tiga) batang dupa/hio wangi di altar Sang Buddha.

22 67 Kemudian pandita pemimpin upacara mengucapkan namakarapanha, yang selanjutnya diikuti oleh kedua mempelai bersama segenap hadirin yang hadir tiap kalimatnya: Araham Sammasambudhho Baghava (Sang Baghava, Yang telah mencapai penerangan sempurna) Buddham Baghavantam Abhivademi (Aku bersujud dihadapan Sang Buddha, Sang Baghava) Svakkhato Bhagavata Dhammo (Dhamma telah sempurna oleh Sang Baghava) Dhammam Namassami (Aku bersujud dihadapan Dhamma) Supatipanno Bhagavato Savakasangho (Sangha, siswa Sang Baghava telah bertindak sempurna) Sangham Namami (Aku bersujud dihadapan sangha) Pengucapan namakarapanha secara bersama menjadi suatu bentuk sumbangan spiritual untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah. Setelah itu, pandita akan menyampaikan sabda sang Buddha sebagai berikut: Kebahagian yang dapat dibayangkan oleh seseorang ialah pertalian perkawinan antara dua orang yang saling mencintai, namun yang membahagiakan dari pada itu, ialah jika orang memperhatikan, mengerti, dan hidup dalam dhamma. Oleh karena itu, lakukan perkawinan dalam dharma, yaitu

23 68 dalam kesunyataan yang bersifat kekal. 32 Kemudian dilanjutkan dengan pengucapan ikrar perkawinan. Pandita akan membimbing kedua mempelai untuk mengucapkan ikrar perkawinan secara bergantian sambil memegang 3 (tiga) batang dupa/hio dengan sikap anjali (merangkapkan kedua belah tangan di depan dada dengan jari-jari tangan dirapatkan satu sama lain). Sebelum mengucapkan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana sebagai berikut: Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa (Terpujilah Sang Baghava, Yang Maha Suci, yang telah mencapai penerangan sempurna) Adapun ikrar perkawinan mempelai pria adalah: Saya mohon kepada semua yang hadir di sini untuk menjadi saksi, bahwa pada hari ini saya... (nama mempelai pria)... mengambil... (nama mempelai wanita)... sebagai istri saya yang sah, dan saya berikrar: akan selalu menghormati istri saya, akan bersikap lemah-lembut kepada istri saya, akan setia kepada istri saya, akan memberikan kewenangan tertentu kepada istri saya, akan memberikan perhiasan kepada istri saya, akan rajin dan bersemangat mencari nafkah untuk keluarga. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati saya dan Sang Triratna (Buddha, Dhamma, Sangha) melindungi saya. Sadhu! Sadhu! Sadhu! Setelah ikrar selesai diucapkan, dupa ditancapkan di altar atau dibantu petugas upacara. Dengan cara yang sama mempelai wanita berikrar: akan selalu 2010), h Pandita Lokapalasraya, Upacara Pernikahan Buddhis, (Padang: Vihara Buddhawarman,

24 69 memperhatikan kepentingan seluruh anggota keluarga, akan selalu bersikap ramah kepada sanak keluarga dari kedua belah pihak, akan selalu setia kepada suami saya, akan menjaga dengan baik apa yang diperoleh oleh suami saya, akan selalu belajar agar pandai dan tidak malas dalam bekerja, akan mematuhi semua petunjuk suami saya yang baik. Kemudian kedua mempelai secara bersama-sama bersujud dengan sikap namakara sebanyak tiga kali ke arah altar Sang Buddha. Selanjutnya, Pemasangan cincin kawin pada jari manis masingmasing mempelai, disusul dengan proses pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning. Pandita pemimpin upacara akan mengikat pergelangan tangan kiri mempelai pria dengan pergelangan tangan kanan mempelai wanita dengan pita kuning, kemudian kedua calon mempelai diselubungi dengan kain kuning oleh kedua orang tua/wali dari pihak mempelai pria dan mempelai wanita dibantu petugas upacara. Proses yang terpenting dalam upacara perkawinan Buddha adalah pemercikan air pemberkahan (paritta). Pandita mempersilahkan kedua orang tua/wali dari mempelai pria dan wanita untuk mengambil air pemberkahan dari altar dengan sebelumnya bersujud ke arah altar dan dipersilahkan memercikkan air tersebut kepada kedua mempelai dengan mendoakan kebahagiaan bagi kedua calon mempelai. Penyelubungan kain kuning bermakna bahwa sejak saat itu kedua mempelai yang menikah telah dipersatukan. Badan mereka boleh berbeda, namun batin mereka bersatu dan bersepakat untuk mencapai

25 70 kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan percikan air paritta melambangkan bahwa air hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya dan sekaligus juga merupakan teman hidupnya. Proses akhir dari perkawinan Buddha adalah pelepasan pita dan kain kuning. Kedua mempelai tetap duduk dengan posisi santai untuk mendengarkan wejangan dari pandita, setelah selesai wejangan petugas perkawinan mempersilahkan kepada kedua mempelai, orang tua/wali dari kedua mempelai, kedua orang saksi dan pandita pemimpin upacara untuk menandatangani ikrar perkawinan. Upacara perkawinan secara resmi ditutup oleh pandita dengan mengucapkan namakarapanha yang kemudian diikuti oleh segenap hadirin yang hadir. Segenap hadirin secara bersama-sama bersujud dengan sikap namakara. Upacara selesai Pandita mengucapkan selamat kepada kedua mempelai dan para hadirin juga dipersilahkan memberikan ucapan selamat. Demikianlah proses pelaksanaan perkawinan dalam agama Buddha, sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Pandita Sasanadhaja, Tuntunan Perkawinan dan Hidup Keluarga dalam Perspektif Buddha Dharma, (Naskah Dhamma dalam Samaggi-phala.or.id)

Agama dan Tujuan Hidup Umat Buddha Pengertian Agama

Agama dan Tujuan Hidup Umat Buddha Pengertian Agama Agama dan Tujuan Hidup Umat Buddha Pengertian Agama Kata agama berasal dari kata dalam bahasa Pali atau bisa juga dari kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu dari akar kata gacc, yang artinya adalah pergi

Lebih terperinci

Pemberkahan Perkawinan dan Pengurusan Akta Perkawinan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya

Pemberkahan Perkawinan dan Pengurusan Akta Perkawinan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Pemberkahan Perkawinan dan Pengurusan Akta Perkawinan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya A. Persyaratan Umum Sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 Bab II, persyaratan umum perkawinan adalah

Lebih terperinci

D. ucapan benar E. usaha benar

D. ucapan benar E. usaha benar 1. Keyakinan yang dituntut dalam agama Buddha adalah A. keyakinan tanpa dasar terhadap seluruh ajaran Buddha B. keyakinan yang muncul dari proses pembelajaran, pengalaman, dan perenungan C. keyakinan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup.

Lebih terperinci

Mengapa bhikkhu harus dipotong rambutnya? Mengapa bhikkhu itu tidak boleh beristeri? Mengapa anak perempuan tidak boleh dekat bhikkhu?

Mengapa bhikkhu harus dipotong rambutnya? Mengapa bhikkhu itu tidak boleh beristeri? Mengapa anak perempuan tidak boleh dekat bhikkhu? TENTANG SANG BUDDHA 1. Apa arti kata Buddha? Kata Buddha berarti "Yang telah Bangun" atau "Yang telah Sadar", yaitu seseorang yang dengan usahanya sendiri telah mencapai Penerangan Sempurna. 2. Apakah

Lebih terperinci

Sutta Kalama: Kepada Para Kalama (Kalama Sutta: To the Kalamas)

Sutta Kalama: Kepada Para Kalama (Kalama Sutta: To the Kalamas) 1 Sutta Kalama: Kepada Para Kalama (Kalama Sutta: To the Kalamas) [Anguttara Nikaya 3.65] Demikianlah telah saya dengar. Bhagavan sedang melakukan perjalanan bersama orang-orang Kosala dengan sekumpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci

PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR!

PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR! PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR! 1. Simbol perkawinan bahtera yang sedang berlayar mempunyai makna bahwa perkawinan... A. merupakan perjalanan yang menyenangkan B. ibarat mengarungi samudra luas yang penuh

Lebih terperinci

BAB IV PERKAWINAN MENURUT BUDDHA MAITREYA DI MAHAVIHARADI SURABAYA. tujuan, pikiran dan tindakannya selalu selaras dengan hati nuraninya, sebagian

BAB IV PERKAWINAN MENURUT BUDDHA MAITREYA DI MAHAVIHARADI SURABAYA. tujuan, pikiran dan tindakannya selalu selaras dengan hati nuraninya, sebagian BAB IV PERKAWINAN MENURUT BUDDHA MAITREYA DI MAHAVIHARADI SURABAYA A. Sejarah Mahavihara dan Pusdiklat di Surabaya Vihara sebagai tempat beribadah umat Buddha memiliki peran yang sangat penting didalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan manusia di dunia yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara satu dengan yang lainnya

Lebih terperinci

SUTRA 42 BAGIAN. B. Nyanabhadra

SUTRA 42 BAGIAN. B. Nyanabhadra SUTRA 42 BAGIAN [ ] B. Nyanabhadra RAJA MING DINASTI HAN Tahun 28-75 Mimpi tentang makhluk memancarkan cahaya kuning KASYAPA MATANGA & DHARMARATNA Tahun 67 dari India ke Luoyang Menerjemahkan Sutra 42

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perjalanan hidup manusia tidak terlepas tanpa bimbingan agama. Agama merupakan sumber moral, petunjuk kebenaran dan sebagai pembimbing rohani manusia. Agama

Lebih terperinci

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri pada suatu perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut harus dipenuhi

Lebih terperinci

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Dasar (SD)

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Dasar (SD) 21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Dasar (SD) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan 1 BAB I PENDAHULUAN Pada hakekatnya manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan melangsungkan perkawinan. Perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan, teristimewa pada masa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia sejak zaman kerajaan-kerajaan, teristimewa pada masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan yang berasal dari nenek moyang, keyakinan yang kuat dan luar biasa itu sagat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

Sutta Nipata menyebut keempat faktor sebagai berikut: Lebih lanjut, murid para

Sutta Nipata menyebut keempat faktor sebagai berikut: Lebih lanjut, murid para 1 Ciri-ciri Seorang Sotapanna (The Character of a Stream-enterer) Pada umumnya Tipitaka menjelaskan seorang Sotapanna sehubungan dengan empat faktor. Tiga faktor pertama dari keempat faktor Sotapatti ini

Lebih terperinci

Kasih dan Terima Kasih Kasih dan Terima Kasih

Kasih dan Terima Kasih Kasih dan Terima Kasih Namo tassa bhagavato arahato sammā sambuddhassa. Pada kesempatan yang sangat baik ini saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh jajaran pengurus Dhammavihārī Buddhist Studies (DBS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah 1 BAB I PENDAHULUAN Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah hidupnya karena keturunan dan perkembangbiakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah; BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Perkawinan Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah; sedangkan menurut Purwadarminta (1979), kawin adalah perjodohan laki-laki dan perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk membina keluarga yang bahagia maka semua anggota keluarga harus menunaikan hak dan kewajiban. Hak harus di terima sedang kewajiban harus ditunaikan. Jika ada

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MAHA SANGHA SABHA (PASAMUAN AGUNG) TAHUN 2002 SANGHA THERAVADA INDONESIA. Nomor : 02/PA/VII/2002

KEPUTUSAN MAHA SANGHA SABHA (PASAMUAN AGUNG) TAHUN 2002 SANGHA THERAVADA INDONESIA. Nomor : 02/PA/VII/2002 KEPUTUSAN Nomor : 02/PA/VII/2002 Tentang: PROGRAM KERJA LIMA TAHUN ( TAHUN 2002 2007 ) NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMASAMBUDDHASSA Memperhatikan : Musyawarah dan mufakat dalam Mahã Sangha Sabhã (Pesamuan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA SELIBAT DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN PARA BIKKHU/BIKKHUNI DI BANDAR LAMPUNG

BAB IV MAKNA SELIBAT DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN PARA BIKKHU/BIKKHUNI DI BANDAR LAMPUNG BAB IV MAKNA SELIBAT DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN PARA BIKKHU/BIKKHUNI DI BANDAR LAMPUNG A. Makna Selibat Menurut Bikkhu/ Bikkhuni di Bandar Lampung 1. Sebagai sarana meningkatkan

Lebih terperinci

PERKAWINAN KELUARGA SAKINAH

PERKAWINAN KELUARGA SAKINAH PERKAWINAN KELUARGA SAKINAH I. Pendahuluan Allah SWT menurunkan Agama Islam sebagai rahmatan lil alamin, Agama Islam merupakan tuntunan dan petunjuk bagi umat dalam memelihara hubungan dengan Allah, hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling BAB 1 PENDAHULUAN Allah SWT menciptakan manusia dari dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan dari kedua jenis tersebut Allah menjadikan mereka saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,

Lebih terperinci

Tata Upacara Pernikahan Sipil

Tata Upacara Pernikahan Sipil Tata Upacara Pernikahan Sipil 1 Penyerahan calon mempelai oleh wakil keluarga K Romo yang kami hormati. Atas nama orang tua dan keluarga dari kedua calon mempelai, perkenankanlah kami menyerahkan putra-putri

Lebih terperinci

SĪLA-2. Pariyatti Sāsana hp ; pin!

SĪLA-2. Pariyatti Sāsana  hp ; pin! SĪLA-2 Pariyatti Sāsana www.pjbi.or.id; hp.0813 1691 3166; pin! 2965F5FD Murid-buangan (Upāsakacaṇḍāla) Vs Murid-permata (upāsakaratana) Murid buangan atau pengikut-yang-ternoda (upāsakamala) atau pengikut-kelas-bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT, karena setiap insan manusia yang ada dimuka bumi ini telah ditentukan pasangannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya 1 UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya Kelahiran Bodhisattva berikut menunjukkan bagaimana sebagai seorang pertapa, beliau mempraktikkan kemurahan hati dan pemberian secara terusmenerus,

Lebih terperinci

MENGHIDUPKAN 8 FUNGSI KELUARGA MENUJU KELUARGA SEJAHTERA

MENGHIDUPKAN 8 FUNGSI KELUARGA MENUJU KELUARGA SEJAHTERA Artikel MENGHIDUPKAN 8 FUNGSI KELUARGA MENUJU KELUARGA SEJAHTERA Sunartiningsih, SE Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa keluarga sejahtera didefinisikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pergilah, bekerjalah untuk keselamatan orang banyak, untuk kebahagiaan orang banyak, karena belas kasihan pada dunia, untuk kesejahteraan, untuk keselamatan,

Lebih terperinci

Tugas Seorang. Istri

Tugas Seorang. Istri Tugas Seorang Istri Seorang wanita yang mengetahui bahwa peranannya sebagai istri merupakan suatu tanggung jawab besar, adalah orang yang bijaksana. Ia sudah siap untuk menerima petunjuk dari Allah bagaimana

Lebih terperinci

Dengarkanlah Allah Agar Hidup Selamanya

Dengarkanlah Allah Agar Hidup Selamanya Dengarkanlah Allah Agar Hidup Selamanya Allah seperti ayah yang pengasih. 1Petrus5:6,7 Allah adalah Pencipta kita, dan Ia peduli kepada kita. Seperti ayah yang bijaksana danpengasihmengajar anak-anaknya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada satu objek tertentu agar pikiran dapat lebih fokus. Dalam bahasa Pāli

BAB I PENDAHULUAN. pada satu objek tertentu agar pikiran dapat lebih fokus. Dalam bahasa Pāli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meditasi adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk memusatkan pikiran pada satu objek tertentu agar pikiran dapat lebih fokus. Dalam bahasa Pāli meditasi disebut juga

Lebih terperinci

Level 2 Pelajaran 11

Level 2 Pelajaran 11 Level 2 Pelajaran 11 PERNIKAHAN (Bagian 2) Oleh Don Krow Hari ini kita akan kembali membahas mengenai pernikahan, dan satu pertanyaan yang muncul adalah, Apakah itu pernikahan? Apakah anda pernah memikirkan

Lebih terperinci

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga Suami Rosa biasa memukulinya. Ia memiliki dua anak dan mereka tidak berani berdiri di hadapan ayahnya karena mereka takut akan

Lebih terperinci

Itu? Apakah. Pernikahan

Itu? Apakah. Pernikahan Apakah Pernikahan Itu? Pemikahan adalah hasil dari suam rencana ilahi Itu bukan hasil kerja atau penemuan manusia, melainkan penciptaan Allah. Tempat yang dipilih untuk memulaikannya adalah Taman Eden.

Lebih terperinci

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN 2.1 Pengertian Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Waisak Nasional Tahun 2013, Jakarta, 26 Mei 2013 Minggu, 26 Mei 2013

Sambutan Presiden RI pada Perayaan Waisak Nasional Tahun 2013, Jakarta, 26 Mei 2013 Minggu, 26 Mei 2013 Sambutan Presiden RI pada Perayaan Waisak Nasional Tahun 2013, Jakarta, 26 Mei 2013 Minggu, 26 Mei 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA PERAYAAN WAISAK NASIONAL TAHUN 2013, DI JI-EXPO KEMAYORAN,

Lebih terperinci

PELAJARAN 1 UPACARA PEMBERIAN NAMA PANGERAN SIDDHARTA

PELAJARAN 1 UPACARA PEMBERIAN NAMA PANGERAN SIDDHARTA PELAJARAN 1 UPACARA PEMBERIAN NAMA PANGERAN SIDDHARTA 1. Raja Sudhodhana mengundang 108 pertapa/brahmana, diantara 108 pertapa itu ada 8 orang pertapa bijak 2. Salah satu orang bijak adalah Kondanya 3.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting, diantaranya adalah pembentukan sebuah keluarga yang didalamnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, dari sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu kenyataan atas keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri, saling membutuhkan dan saling tergantung terhadap manusia lainnya, dengan sifat dan hakekat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan atau masyarakat. Sekalipun makna pernikahan berbeda-beda, tetapi praktekprakteknya pernikahan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ASPEK PENDIDIKAN NILAI RELIGIUS DALAM PROSESI LAMARAN PADA PERKAWINAN ADAT JAWA (Studi Kasus Di Dukuh Sentulan, Kelurahan Kalimacan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

Lebih terperinci

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani * Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 24 Oktober 2015; disetujui: 29 Oktober 2015 Perilaku seks menyimpang hingga saat ini masih banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisa Makna Pernikahan di Gereja Bethany Nginden Surabaya. untuk menghasilkan keturunan. kedua, sebagai wujud untuk saling

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisa Makna Pernikahan di Gereja Bethany Nginden Surabaya. untuk menghasilkan keturunan. kedua, sebagai wujud untuk saling BAB IV ANALISA DATA A. Analisa Makna Pernikahan di Gereja Bethany Nginden Surabaya Makna Pernikahan di Gereja Bethany Nginden Surabaya bisa tergolong memiliki makna, Diantara makna tersebut bisa di bilang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia karena dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan kelangsungan generasinya. Pengertian Perkawinan

Lebih terperinci

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim * Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 23a/DIKTI/Kep./2004 Tgl 4 Juni 2004 TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN Dahlan Hasyim * Abstrak Perkawinan,

Lebih terperinci

Mengapa berdana? Pariyatti Sāsana hp ; pin. Friday, April 12, 13

Mengapa berdana? Pariyatti Sāsana  hp ; pin. Friday, April 12, 13 Dāna-3 Mengapa berdana? Pariyatti Sāsana www.pjbi.org; hp.0813 1691 3166; pin 2965F5FD 1 Pandangan Tentang Dāna Kaum materialis: Dāna tidak ada buah karena tidak ada kehidupan setelah ini. Kaum Theis:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Manusia dilahirkan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

Mahā Maṅgala Sutta (1)

Mahā Maṅgala Sutta (1) Mahā Maṅgala Sutta (1) Azimat Buddhis Dhammavihārī Buddhist Studies www.dhammavihari.or.id Pseudo Sebab-Akibat Jangan memindah guci-abu-jenasah yang sudah disimpan di vihāra. Penempatan guci-abu. Ibu mengandung

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGAMBILAN SUMPAH ATAU JANJI PERWIRA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LULUSAN AKADEMI KEPOLISIAN DENGAN

Lebih terperinci

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan hal yang dicita-citakan dan didambakan oleh setiap orang, karena dengan pernikahan adalah awal dibangunnya sebuah rumah tangga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan Pengadilan Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006, merupakan salah satu badan

Lebih terperinci

SILABUS PEMBELAJARAN

SILABUS PEMBELAJARAN Sekolah : SMP... Kelas : VII (tujuh) Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Semester : 1 (Satu) Aspek : Saddha Standar : 1. Memahami komponen dan kriteria agama SILABUS PEMBELAJARAN 1.1 Menjelaskan hakikat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan. Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan adalah untuk dapat membentuk

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN. perkawinan, tujuan hak dan kewajiban dalam perkawinan. BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN Dalam memahami batasan usia seseorang mampu menikah menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974 dan Mazhab Syafi i, maka harus diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan orang lain untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN SIDANG MAHASANGHASABHA (PERSAMUHAN AGUNG) TAHUN 2007 SANGHA THERAVADA INDONESIA. Nomor : 01/PA/VII/2007

KEPUTUSAN SIDANG MAHASANGHASABHA (PERSAMUHAN AGUNG) TAHUN 2007 SANGHA THERAVADA INDONESIA. Nomor : 01/PA/VII/2007 Menimbang : Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jl. Agung Permai XV/12 Jakarta 14350 Vihara Mendut, Kotak Pos 111, Kota Mungkid 56501 Magelang KEPUTUSAN SIDANG Nomor : 01/PA/VII/2007 TATA TERTIB SIDANG MAHASANGHASABHA

Lebih terperinci

Dhamma Inside. Kematian Yang Indah. Orang-orang. Akhir dari Keragu-raguan. Vol September 2015

Dhamma Inside. Kematian Yang Indah. Orang-orang. Akhir dari Keragu-raguan. Vol September 2015 Dhamma Inside Vol. 22 - September 2015 Kematian Yang Indah Akhir dari Keragu-raguan Orang-orang Kematian Yang Indah Oleh : Bhikkhu Santacitto Kematian adalah peristiwa yang tidak dapat dihindari oleh siapapun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang dimaksud dengan "ijab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

Meditasi Mettā (Meditasi Cinta Kasih)

Meditasi Mettā (Meditasi Cinta Kasih) Meditasi Mettā (Meditasi Cinta Kasih) oleh: U Sikkhānanda (Andi Kusnadi) Dari ceramah Dhamma Chanmyay Sayadaw pada retret meditasi vipassanā tanggal 2-3 Jan.2009 di Pusat Meditasi YASATI, Bacom, Cianjur,

Lebih terperinci

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling A. Latar Belakang Masalah Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling membutuhkan dan cenderung ingin hidup bersama. Berdasarkan sifatnya manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR

BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR Setelah mempelajari lebih lanjut mengenai hal-hal yang terkandung

Lebih terperinci

MATERI I MATERI I. subyek yang ikut berperan

MATERI I MATERI I. subyek yang ikut berperan subyek yang ikut berperan 14 1 7. PERTANYAAN UNTUK DISKUSI Menurut Anda pribadi, manakah rencana Allah bagi keluarga Anda? Dengan kata lain, apa yang menjadi harapan Allah dari keluarga Anda? Menurut Anda

Lebih terperinci

ASSIGNMENT AGAMA BUDDHA IBADAT & AMALAN

ASSIGNMENT AGAMA BUDDHA IBADAT & AMALAN ASSIGNMENT AGAMA BUDDHA IBADAT & AMALAN Name : Vickneshvaran A/L Rajasegaran Matric No :3142000611 Code : MPU2323 Subject : Agama-Agama Di Malaysia Group : 1 Lecture : Sir Ahmad Tarmizi Bin Zakari AGAMA

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1 Abstrak Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perkawinan di bawah tangan masih sering dilakukan, meskipun

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Oleh : Abdul Hariss ABSTRAK Keturunan atau Seorang anak yang masih di bawah umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia secara alamiah mempunyai daya tarik antara satu dengan yang lainnya untuk membina suatu hubungan. Sebagai realisasi manusia dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keluarga yang harmonis. Dalam berumah tangga setiap pasang terkadang

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. keluarga yang harmonis. Dalam berumah tangga setiap pasang terkadang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu tradisi dipersatukannya dua insan manusia dalam ikatan suci, dan keduanya ingin mencapai tujuan yang sama yaitu menjadi keluarga yang harmonis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum civil law yang sangat menjunjung tinggi kepastian hukum. Namun dalam perkembangannya Sistem hukum di Indonesia dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGAMBILAN SUMPAH ATAU JANJI PERWIRA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LULUSAN AKADEMI KEPOLISIAN DENGAN

Lebih terperinci

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Aji Wicaksono S.H., M.Hum. Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: 11 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila dan Implementasinya Bagian I Pada Modul ini kita akan mempelajari mengenai keterkaitan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dengan Prinsip pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memeluk suatu ajaran atau agama tersebut. Manusia terikat dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang memeluk suatu ajaran atau agama tersebut. Manusia terikat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agama memiliki pengaruh besar terhadap tindakan dan prilaku manusia yang memeluk suatu ajaran atau agama tersebut. Manusia terikat dengan aturan-aturan dan ideologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki berbagai macam suku, budaya, bahasa dan agama. Hindu adalah salah satu agama yang di akui oleh negara. Keanekaan merupakan ciri khas negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan dambaan setiap orang, yang kehadirannya sangat dinanti-natikan dan tumbuh kembangnya sangat diperhatikan. Tak heran banyak sekali orang yang menunggu-nunggu

Lebih terperinci

Meditasi. Oleh : Taridi ( ) KTP. Standar Kompetensi Mengembangkan meditasi untuk belajar mengendalikan diri

Meditasi. Oleh : Taridi ( ) KTP. Standar Kompetensi Mengembangkan meditasi untuk belajar mengendalikan diri Meditasi Oleh : Taridi (0104510015) KTP Standar Kompetensi Mengembangkan meditasi untuk belajar mengendalikan diri Kompetensi Dasar Mendeskripsikan meditasi sebagai bagian dari jalan mulia berunsur delapan.

Lebih terperinci

DALAM AGAMA BUDDHA AGAMA DIKENAL DENGAN:

DALAM AGAMA BUDDHA AGAMA DIKENAL DENGAN: A. DEFINISI AGAMA 1. Mennurut KBBI : suatu sistem, prinsip kepercayaan kepada tuhan (dewa & sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiba-kewajiban yang bertalian dengan ajaran itu 2. Atau seperangkat

Lebih terperinci

Mari berbuat karma baik dengan mendanai cetak ulang buku ini sebagai derma Dharma kepada sesama dan pelimpahan jasa kepada leluhur.

Mari berbuat karma baik dengan mendanai cetak ulang buku ini sebagai derma Dharma kepada sesama dan pelimpahan jasa kepada leluhur. book Bakti Kepada Bakti Kepada Orangtua merupakan paduan ajaran klasik Buddha yang inspiratif dengan tampilan modern yang atraktif, sehingga merupakan sarana efektif untuk: membelajarkan sifat luhur sejak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG

BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG BAB IV ANALISIS UPAYA GURU PAI DALAM MEMBINA MORAL SISWA SMP NEGERI 1 KANDEMAN BATANG A. Analisis tentang Upaya Guru PAI dalam Membina Moral Siswa SMP Negeri 1 Kandeman Batang Sekolah adalah lingkungan

Lebih terperinci

Pertobatan Sejati Suatu Syarat

Pertobatan Sejati Suatu Syarat Pertobatan Sejati Suatu Syarat Agama Menjamin Kebahagiaan Keluarga. Agama keluarga adalah satu kuasa yang ajaib. Tingkah laku suami terhadap istri dan istri terhadap suami akan membuat kehidupan rumah

Lebih terperinci

SEMUA ORANG BERDOSA. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah.

SEMUA ORANG BERDOSA. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Lesson 3 for October 21, 2017 SEMUA ORANG BERDOSA Seperti ada tertulis: Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan Skripsi. yang pesat dalam dunia industri, serta eksistensi agama Buddha menjadi salah satu

Bab 5. Ringkasan Skripsi. yang pesat dalam dunia industri, serta eksistensi agama Buddha menjadi salah satu Bab 5 Ringkasan Skripsi Jepang adalah salah satu negara maju di dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam dunia industri, serta eksistensi agama Buddha menjadi salah satu faktor penting yang menyertai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 1 tahin 1974 pasal 1 tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: Ikatan lahir dan batin antara seorang

Lebih terperinci

Rahasia Nikah & Rahasia Ibadah (Bagian I)

Rahasia Nikah & Rahasia Ibadah (Bagian I) Rahasia Nikah & Rahasia Ibadah (Bagian I) Setelah Allah selesai menciptakan langit, bumi dan segala isinya maka pada hari ke 6 Allah menciptakan manusia supaya berkuasa atas segala ciptaannya (Kejadian

Lebih terperinci

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Nafsu biologis adalah kelengkapan yang diberikan Allah kepada manusia, namun tidak berarti bahwa hal tersebut

Lebih terperinci

Pernikahan Kristen Sejati (2/6)

Pernikahan Kristen Sejati (2/6) Pernikahan Kristen Sejati (2/6) Nama Kursus   : Pernikahan Kristen yang Sejati Nama Pelajaran : Memilih Pasangan Kode Pelajaran : PKS-P02                    Pelajaran 02 - MEMILIH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci