DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK WISATA BAHARI DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT SUKENDI DARMASYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK WISATA BAHARI DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT SUKENDI DARMASYAH"

Transkripsi

1 DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK WISATA BAHARI DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT SUKENDI DARMASYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari di Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramyu Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2010 Sukendi Darmasyah C

3 ABSTRACT SUKENDI DARMASYAH. Carrying Capacity of Coral Reef Ecosystem for Marine Tourism in Biawak Island Waters and Its Surrounding Area, Indramayu District- West Java Province. Supervised and under direction of ARIO DAMAR and YUSLI WARDIATNO Coastal and marine tourism has become a big business which is a significant part of the growing global tourist industry. Marine tourism activity, namely diving tourism is very important and is international tourism market. Increased activity of diving tourism if not managed in a sustainable manner will cause damage to coral reefs as its object. The main goals of this research are: 1) Identify the biophysical conditions of coral reef for marine tourism, 2). To analyze the coral reef s carrying capacity for diving tourism development, 3) Formulating the strategic direction of diving tourism development based on the biophysical carrying capacity of coral reef. The survey was conducted at 5 sites with each site into 3 and 10 m depth, percentage of live coral cover using the Line Intercept Transect (LIT) method, shows that life cover coral is ranging from 22.73% to 45.72% of the sites. The composition of reef fishes community using the Underwater Visual Census (UVC) is 18 families with 85 species of reef fishes. All sites are suitable to be developed for diving tourism areas. The Carrying Capacity of area for diving tourism is ranging from 10 until 17 people per/day. From 30 images with Scenic Beauty Estimation (SBE) values are 17 types of high category, while 12 species are medium category and 1 species is low category. Residents and visitors alike have a positive view for the marine tourism development. They would like to see the conservation of the coral reef and economic benefits. Key words: coral reef, carrying capacity, ecotourism, diving tourism, management strategy.

4 RINGKASAN SUKENDI DARMASYAH, Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang untuk Wisata Bahari di Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan YUSLI WARDIATNO Terumbu karang memiliki berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Salah satu pemanfaatan tidak langsung dari ekosistem terumbu karang yang relatif lebih ramah lingkungan adalah kegiatan pariwisata, yaitu wisata bahari (khusunya wisata selam). Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui kondisi biofisik terumbu karang terkait sebagai daerah wisata selam, 2) menganalisis kesesuaian kawasan dan daya dukung biofisik terumbu karang untuk pengembangan wisata selam, dan 3) merumuskan arahan strategi pengembangan wisata selam berdasarkan daya dukung biofisik terumbu karang. Kondisi terumbu karang pulau Biawak dan sekitarnya dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) diperoleh total persentase tutupan karang hidup berkisar antara 22.73% %. Seluruh stasiun penelitian umumnya dalam kondisi sedang ( %), dan dua lokasi dalam kondisi rusak ( %) yaitu di stasiun 3 (sebelah utara pulau Biawak) pada kedalaman 10 meter dan stasiun 5 (pulau Candikian) pada kedalaman 3 meter. Analisis penilaian kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam memperlihatkan bahwa seluruh stasiun masuk dalam kategori sesuai (suitable) karena nilai IKW berada pada kisaran 50 - < 83%. Adapun total nilai skor tertinggi berada pada stasiun 1 dan 4 kedalaman 10 meter dengan nilai IKW 70.37%, terendah berada pada stasiun 4 kedalaman 3 meter dengan nilai IKW 50%. Nilai DDK wisata bahari kategori selam berkisar antara 10 orang/hektar sampai dengan 17 orang/hektar. Hasil analisis Visual Objek wisata bahari dengan metode Scenic Beauty Estimation (SBE), kategori tinggi ada 17 jenis, sedang 12 jenis dan rendah 1 jenis. Nilai SBE tertinggi dari jenis ikan karang Chepalopholis sp sebesar , terendah dari jenis OT (Diadema sp) sebesar 0,00. Untuk jenis life-form karang tertinggi diduduki oleh ACB (Acropora sp) dengan nilai SBE Hasil analisis SWOT diperoleh arahan strategi pengelolaan kawasan wisata bahari sebagai berikut: 1) pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang sebagai kawasan wisata bahari kategori selam secara optimal, 2) pengelolaan kawasan wisata bahari dengan berbagai upaya pencegahan kerusakan ekosistem terumbu karang, 3) mengembangkan system informasi dan kelembagaan serta meningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan wisata bahari, dan 4) menjalankan dan menegakkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku Kata kunci: terumbu karang, daya dukung, ekoturisme, selam, strategi pengelolaan

5 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

6 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang untuk Wisata Bahari di Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramayu - Jawa Barat : Sukendi Darmasyah : C : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Ketua Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian: 27 September 2010 Tanggal Lulus :

7

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan penelitian yang berjudul Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang untuk Wisata Bahari di Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya, Kabupaten Indramayu Jawa Barat yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan laporan penelitian ini, namun tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangan yang membutuhkan masukan baik berupa kritik maupun saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. yang telah membimbing dan memberikan arahan dan saran dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, Ibu Sri Kholiyasih, SE serta seluruh dosen dan staf SPL yang telah banyak memberikan kemudahan penulis dalam menyelesaikan pendidikan. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Bapak Ir. H.A. Rosyid Hakim, Ka. BAPPEDA Bapak Ir. Apas Fahmi Permana, Anggota DPRD Bapak Syaifudin dan Bapak Letkol (purn) Drs. Didi Royandi, SH, Bapak Oni, S.hut, Bapak Engkos, Bapak Tashid, masyarakat desa Brondong dan Karang Song yang telah banyak membantu kelancaran penelitian. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada Direktur COREMAP II Bapak. Ir. Agus Darmawan, M.Si, Sekretaris Eksekutif Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, seluruh staf COREMAP II, rekan-rekan mahasiswa Sandwich COREMAP II World Bank Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Bogor, September 2010 Sukendi Darmasyah

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu-Jawa Barat pada tanggal 3 Pebruari 1967 dari ayah Abandi Darmasyah dan ibu Kalimah, merupakan putera pertama dari dua bersaudara. Tahun 1988 penulis lulus dari SMA Negeri Kandanghaur Kabupaten Indramayu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Riau melalui jalur Penulusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) Universitas Riau Program Studi Ilmu Kelautan. Penulis bekerja sebagai pelaksana pada program COREMAP II Kementrian Kelautan dan perikanan yang berkantor di Jakarta. Tahun 2008, penulis memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pada program Sandwich Pascasarjana IPB yaitu program kerja sama antara COREMAP II Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan program pasca sarjana IPB pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan serta University of The Ryukyus Okinawa-Jepang,. Program ini dilaksanakan selama empat semester yang terdiri dari tiga semester dilaksanakan di IPB dan satu semester dilaksanakan di University of The Ryukyus.

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Rumusan Permasalahan Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Terumbu Karang Wisata Bahari Kategori Selam Konsep Daya Dukung Kawasan Pariwisata METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Alat dan Bahan Pelaksanaan penelitian Tahapan penelitian Pengambilan data Analisis Data Persentase tutupan karang Kelimpahan ikan karang Analisis matriks kesesuaian lokasi dan indeks kesesuaian wisata selam Analisis daya dukung kawasan Analisis nilai visual objek wisata bahari (SBE) Analisis SWOT untuk strategi pengelolaan HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Terumbu Karang Kelimpahan Ikan Karang Parameter Lingkungan Perairan Kesesuaian Kawasan Wisata Selam Daya Dukung Kawasan Nilai SBE Arahan Strategi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Bahari xii xiii xiv

12 xviii 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA. 54 LAMPIRAN... 56

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai ekonomi terumbu karang. 9 2 Jenis dan sumber data penelitian Parameter lingkungan dan alat ukur Komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan life-form dan kodenya 19 5 Matrik kesesuaian wisata bahari kategori selam 22 6 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) 24 7 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Matrik perhitungan nilai SBE 26 9 Parameter lingkungan perairan pada masing-masing stasiun Perhitungan nilai SBE Nilai SBE dari setiap jenis life-form/biota yang ada di terumbu karang dan lokasi life-form/biota tersebut dijumpai Bobot, rangking, dan skoring unsur internal kawasan wisata selam di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Bobot, rangking, dan skoring unsur eksternal kawasan wisata selam di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Formulasi arahan strategi pengelolaan kawasan wisata bahari di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Matrik hasil analisis SWOT../ Rangking prioritas strategi pengelolaan 47

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian: Daya dukung ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari kategori di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya. 5 2 Peta lokasi penelitian Metode LIT dan UVC Persentase tutupan karang tahun 2003 dan Persentase tutupan karang pada masing-masing stasiun penelitian Persentase sebaran kelompok ikan karang pada masing-masing stasiun pengamatan Kelimpahan ikan karang pada masing-masing stasiun pengamatan Analisis kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam Nilai daya dukung kawasan untuk wisata bahari kategori selam pada masing-masing stasiun pengamatan Nilai SBE berdasarkan jenis life-form atau biota lain... 40

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data tutupan substrat dasar Karang batu yang ditemukan di stasiun penelitian berdasarkan bentuk pertumbuhan (life-form) Distribusi kehadiran kelompok ikan indikator pada stasiun pengamatan Distribusi kehadiran kelompok ikan target pada stasiun pengamatan Kelimpahan ikan 65 6 Indeks kesesuaian wisata bahari kategori selam 73 7 Perhitungan daya dukung kawasan 74 8 Daftar rekapitulasi kuisioner SBE Foto biota/life-form terumbu karang pada kuesioner SBE Perhitungan nilai SBE Kuesioner persepsi masyarakat.. 87

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut berupa deposit kalsium karbonat yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria. Yang disebut sebagai karang (coral) mencakup karang dari Ordo Scleractinia dan Sub Kelas Octocoralia (kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa. Ekosistem terumbu karang dan segala kehidupan yang ada di dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Indonesia merupakan segitiga terumbu karang dunia (The Coral Triangle), tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota perairan dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indonesia memiliki sekitar 18% terumbu karang dunia, dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (dengan lebih dari 18% terumbu karang dunia, serta lebih dari 2500 jenis ikan, 590 jenis karang batu, 2500 jenis Moluska, dan 1500 jenis udang-udangan). Ekosistem terumbu karang sangat produktif dan memiliki peranan penting bagi kelangsungan kehidupan baik di laut maupun di darat. Secara ekologi terumbu karang menjadi tempat mencari makan (feeding grounds), tempat berkembang biak (breeding grounds), daerah asuhan (nursery grounds), dan tempat berlindung berbagai jenis ikan dan avertebrata laut lainnya (Wilkinson 1993; Sp.alding et al. 2001). Disisi lain terumbu karang juga merupakan ekosistem yang sangat sensitif dan rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan secara fisik, kimia, maupun biologi. Terumbu karang memiliki berbagai manfaat yang sangat besar dan beragam, baik secara ekologi maupun ekonomi. Manfaat dari terumbu karang yang langsung dapat dimanfaatkan oleh manusia adalah pemanfaatan sumberdaya ikan, batu karang, pariwisata, penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya

17 2 yang terkandung di dalamnya. Sedangkan dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya. Besarnya manfaat dan potensi terumbu karang menjadi daya tarik dari berbagai pihak untuk memanfaatkannya. Berbagai industri atau perusahaan yang terkait dan terlibat dalam pemanfaatan terumbu seperti : industri perikanan, perhubungan, pertambangan, farmasi, pendidikan dan pariwisata. Secara ekonomi, luasan dan kondisi terumbu karang Indonesia dapat memberikan keuntungan bersih yang cukup besar, yaitu US$ juta/km 2 (Cesar 1997 in Burke et al. 2004). Terumbu karang di Indonesia memberikan keuntungan pendapatan sebesar US$ 1.6 milyar/tahun. Nilai keseluruhan pelayanan dan sumber dayanya sendiri diperkirakan mencapai setidaknya US$ 61.9 milyar/tahun. Salah satu kegiatan pemanfaatan terumbu karang yang relatif lebih ramah lingkungan adalah kegiatan pariwisata, Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ketempat-tempet alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemar) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini (Hector Ceballos-Lascurain 1987). Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahtraan penduduk setempat (TIES 1990). Aktivitas wisata ini terkait erat dengan keberadaan dan kondisi terumbu karang yang menjadi objek kegiatan wisata. Wisata selam memanfaatkan keindahan, keunikan, keanekaragaman dan kealamiahan terumbu karang sebagai daya tariknya (Davis dan Tisdell 1995a). Kegiatan wisata bahari memiliki nilai keuntungan ekonomi paling tinggi dalam pemanfaatan terumbu karang jika pemanfaatannya secara lestari dibanding sektor lain, yaitu US$ 23,100 - US$ 270,000 per km 2 pertahun (Cesar 1997 in Burke et al. 2004). Davis dan Tisdell (1995a) menyatakan bahwa aktivitas selam merupakan aktivitas yang paling pesat pertumbuhannya sepanjang sejarah pariwisata. Hal ini disebabkan karena aktivitas tersebut merupakan gabungan antara olahraga, wisata

18 3 dan pendidikan, serta mudah dan sederhana dalam melakukannya. Aktivitas selam juga menjadi pundi-pundi ekonomi bagi para pengusaha pariwisata. Wisata selam mendorong pertumbuhan sektor perikanan dan pertanian sebagai pensuplai bahan konsumsi wisatawan, begitu juga dengan sektor perdagangan dan perhubungan (penyedia kapal atau sampan) sebagai pendukung keberlanjutan pariwisata. Wisata selam membuka lapangan pekerjaan baru di berbagai sektor yang dapat menyerap banyak pekerja dan memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian wilayah (Davis dan Tisdell 1995b). Banyaknya pihak atau sektor yang terlibat dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang menyebabkan seringkali terjadi konflik dalam pemanfaatan baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Pada akhirnya berdampak langsung dan tidak langsung mengancam keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang tersebut (Kunzmann 2001). Hal ini terbukti dari hasil monitoring terumbu karang Asia Tenggara bahwa 85% kerusakan terumbu karang disebabkan oleh aktivitas manusia dan sisanya merupakan dampak alami (Burke et al. 2004). Oleh karena itu diperlukan suatu kegiatan pemanfaatan yang dapat mengintegrasikan berbagai pemanfaatan terumbu karang sehingga dapat menjamin kelestarian terumbu karang dan keberlanjutan pemanfaatannya (Hawkins et al. 2005). Beberapa studi melaporkan bahwa wisata selam menyebabkan kerusakan terumbu karang secara fisik, bilogis dan kimia (kehancuran karang, pemutihan karang atau bleaching, tergores dan patahnya fragmen karang) (Hawkins dan Robert 1992; Milazzo et al. 2002; Zakai dan Chadwaick-Furman 2002; Anthony et al. 2004). Kerusakan tersebut akan mengakibatkan penurunan produktivitas, keanekaragaman dan kelimpahan biota penyusun ekosistem terumbu karang (Burke et al. 2004; Davis 1995; Kunzmann 2001). Degradasi ekosistem terumbu karang cepat atau lambat akan mengancam keberlanjutan aktivitas wisata selam serta perekonomian kawasan pada umumnya (Hawkins et al. 2005). Hal ini mendorong perlunya suatu strategi perencanaan pengembangan pariwisata khusunya wisata selam yang dapat menjamin kelestarian ekosistem terumbu karang yang menjadi objek aktivitas dan keberlanjutan perekonomian khusunya wisata selam. Yaitu suatu strategi yang berdasarkan atas daya dukung kawasan terutama daya dukung biofisik terumbu

19 4 karang sebagai objek wisata. Daya dukung biofisik merupakan kemampuan ruang dan lingkungan suatu sumberdaya untuk menampung sejumlah aktivitas pemanfaatan tanpa mengurangi atau mengganggu keberlanjutan sumberdaya alam tersebut (WTO 1981 in Lim LC. 1998) Kerangka Pemikiran Kegiatan wisata selam dewasa ini berkembang cukup pesat dan merupakan sumber pundi-pundi ekonomi yang sangat besar. Akan tetapi apabila tidak dikelola dengan baik sesuai dengan daya dukung kawasan terutama daya dukung biofisik terumbu karang, maka secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan degradsi atau kerusakan hingga kepunahan terumbu karang. Potensi sumberdaya alam di Pulau Biawak dan sekitarnya terdiri dari komunitas terumbu karang, ikan karang, hutan bakau (mangrove), padang lamun, dan biota yang menjadi ciri khas Pulau Biawak yaitu biawak ((Varanus salvator ). Pulau Biawak dan sekitarnya, masuk kategori Kawasan Wisata Laut. Penetapan status kawasan dimaksud bertujuan untuk pelestarian alam (konservasi), peningkatan pendapatan masyarakat setempat dan peningkatan pendapatan daerah. Pulau Biawak tersusun dari batu-batu karang dan hancuran batu karang, pasir putih/kersik lumpur dan humus terutama dijumpai di bagian Barat Laut dan Utara dan merupakan hutan bakau dengan Bruguiera sp.. yang berakar jangkar pendek. Formasi geologi wilayah pesisir pantai utara Indramayu tersusun atas batuan sedimen yang terdiri dari campuran hancuran bahan literit serta jenis batuan pliocene sedimentary facies serta aluvium. Degradsi terumbu karang yang akan timbul di gugusan perairan Pulau Biawak dan sekitarnya apabila dijadikan kawasan wisata selam secara cepat atau lambat akan mempengaruhi aktivitas wisata selam itu sendiri maupun aktivitas perekonomian kawasan tersebut secara umum. Diperlukan suatu strategi pemanfaatan yang dapat menjamin kelestarian terumbu karang dan keberlanjutan wisata selam, yaitu strategi pengembangan wisata selam yang berdasarkan daya dukung biofisik. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut:

20 5 Ekosistem Terumbu Karang Peranan dan Fungsi Ekologi Permasalahan Barang Jasa 1. Kondisi kekinian biofisik terumbu karang di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya 2. Kesesuaian kawasan dan daya dukung biofisik terumbu karang untuk kawasan wisata bahari kategori selam 3. Strategi pengembangan wisata selam berdasarkan daya dukung biofisik Potensi Ekonomi Pendekatan Biofisik Terumbu Karang Pendekatan Sosial Ekonomi Masyarakat Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan (DDK) Analisis Persepsi dan Nilai Visual Objek Wisata (SBE) Wisata Bahari Ketegori Selam Rencana Pengelolaan Kawasan Wisata Bahari Kategori Selam Strategi Pengembangan Wisata Bahari Kategori Selam yang berkelanjutan berdasarkan Daya Dukung Kawasan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian: Daya dukung ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari kategori selam di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya.

21 Rumusan Permasalahan Wilayah Kabupaten Indramayu yang memiliki luas daratan + 204,000 hektar berhadapan langsung dengan garis pantai sepanjang 114 km, dari gambaran tersebut Kabupaten Indramayu memiliki keanekargaman hayati (biodiversity) yang tinggi sehingga mutlak untuk dilindungi, salah satunya sumberdaya alam yang terdapat di kabupaten Indramayu adalah sumberdaya alam di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya. Upaya pengelolaan dan pengembangan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya harus dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dengan strategi kebijakan pembangunan daerah. Dengan mengarah pada kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan maka perlu dilakukan upaya perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi laut (marine protected area) Pulau Biawak secara sistematis dan berkesinambungan. Pulau Biawak saat ini menjadi salah satu tujuan wisata unggulan Kabupaten Indramayu dengan beberapa pertimbangan antara lain; pertama kondisi terumbu karangnya relatif masih baik dan serupa dengan strukutur terumbu karang Karimun Jawa di Jawa Tengah dan beberapa objek wisata alam lain seperti biawak, hutan mangrove dan mercusuar peninggalan penjajahan Belanda. Kepulauan Biawak, itulah nama pulau karang yang banyak menyimpan potensi bahari. Kepulauan Biawak, merupakan satu dari tiga gugusan pulau yang ada di wilayah perairan pantai utara (Pantura) Kabupaten Indaramyu. Dua pulau lainnya, yaitu Pulau Candikian dan Pulau Gosong. Pulau itu memiliki pesona wisata yang unik, karena karangnya yang masih perawan dan hidup, memiliki luas dataran karang sekitar 1560 hektar dan pantainya berpasir. Di antara ketiga pulau itu, hanya Pulau Biawak yang masih utuh dalam segalanya. Sedangkan dua pulau lainnya hanya berupa hamparan pulau karang semata. Daya tarik yang dapat dijual Pulau Biawak, merupakan satu-satunya gugusan pulau di Jawa yang masih memiliki tanaman bakau relatif lengkap dengan11 jenis bakau (DKP 2003). Daya tarik lain, memiliki koleksi ikan hias, sehingga keunikan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu tempat alternatif untuk wisatawan yang memiliki hobi snorkling atau olahraga selam. Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Indramayu belum secara optimal melakukan eksp.loitasi wisata Pulau Biawak. Namun demikian, sudah dilakukan promosi

22 7 melalui buklet yang disebar kepada agen-agen dan biro wisata di kota-kota besar. Bahkan, dalam setiap promosi selalu diperkenalkan objek-objek wisata yang menjadi andalan Kabupaten Indramayu. Sebagai tempat wisata konservasi, juga sudah menawarkan kepada Kementerian Pariwisata dan JICA. Daya tarik yang ada mendorong pihak Pemkab sudah melakukan penawaran kepada asosiasi olahraga selam yang ada di Jakarta untuk mendukung rencana pengembangan kawasan wisata bahari.. Dari kondisi tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang terkait dengan daya dukung ekologi (khususnya kondisi biofisik) sebagai kawasan wisata bahari, yang perlu dikaji dan dicari solusi pemecahannya, antara lain : 1) Kondisi kekinian biofisik terumbu karang di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya. 2) Kesesuaian kawasan dan daya dukung biofisik terumbu karang untuk kawasan wisata bahari kategori selam. 3) Strategi pengembangan wisata selam ke depan berdasarkan daya dukung biofisik dengan tetap menjaga kelestarian terumbu karang Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui kondisi biofisik terumbu karang terkait sebagai daerah wisata selam di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya. 2) Menganalisis kesesuaian kawasan dan daya dukung biofisik terumbu karang untuk pengembangan wisata selam di kawasan tersebut. 3) Merumuskan arahan strategi pengembangan wisata selam berdasarkan daya dukung biofisik terumbu karang Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pelaku wisata dan pemerintah daerah dalam rangka pengembangan kegiatan wisata bahari khusunya wisata selam dengan pemanfaatan secara lestari ekosistem terumbu karang yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan

23 8 masyarakat yang tinggal di sekitar perairan Pulau Biawak dan bermata-pencarian dengan memanfaatkan ekosistem terumbu karang.

24 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut polyp dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan Zooxanthellae dan organism lain yang mengekskresikan kalsium karbonat (Barnes et al. 1971). Terumbu karang Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan hayati laut yang luar biasa. 51% terumbu karang di Asia Tenggara, dan 18% terumbu karang dunia berada di perairan Indonesia. Saat ini, lebih dari 480 jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan (Hopley dan Suharsono 2000). Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia ditemukan di Indonesia, dengan lebih dari 1650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur saja (Dahuri 2000 in Burke et al. 2004). Ekosistem terumbu karang juga dikenal dengan ekosistem yang paling sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan yang ada baik akibat manusia atau secara alami. Perubahan lingkungan akan mempengaruhi kondisi terumbu karang dan penyebarannya. Perubahan lingkungan dapat berupa fisik, kimia, dan biologi. Faktor fisik-kimia yang menjadi pembatas kehidupan terumbu karang adalah cahaya matahari, terkait dengan kedalaman (0-30 meter), suhu (25-32 o C), salinitas (32-35 ppm), dan sedimentasi. Sedangkan faktor biologi yang berpengaruh adalah mangsa (prey) dan predator (Nybakken 1982). Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang paling kompleks dan paling prduktif, serta ekosistem yang atraktif bila dibandingkan dengan ekosistem lain di dunia (Spurgeon 1992). Berbagai organism hidup dan berasosiasi di terumbu karang; mikroorganisme, ikan, moluska, krustasea, ekinodermata, dan berbagai jenis alga. Terumbu karang merupakan tempat mencari makan (feeding grounds), berkembang biak (breeding grounds), mengasuh (nursery grounds), dan berlindung (protecting grounds) berbagai jenis ikan dan avertebrata lain (Stoddart 1969; Odum 1971).

25 10 Secara ekonomi terumbu karang memegang peranan penting dan sangat potensial terutama bagi sektor perikanan, pariwisata dan kesehatan karena diperkirakan lebih dari 12% perikanan dunia merupakan perikanan karang (Lim 1998; Hopley dan Suharsono 2000). Terumbu karang juga menjadi daya tarik utama dalam sektor pariwisata bahari terutama wisata selam. Karena dari berbagai studi melaporkan lebih dari 40% wisatawan dunia melakukan penyelaman (Davis dan Tisdell 1995a; Green et al. 2003). Cesar (1997) in Burke et al. (2004) nilai ekonomi terumbu karang seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Nilai ekonomi terumbu karang Penggunaan Sumberdaya (Langsung atau Tidak Langsung) Kisaran Produksi Potensi Keuntungan Bersih Pertahun (US$) Perikanan secara lestari ton 12,000 36,000 (konsumsi lokal) Perikanan secara lestari (ekspor ton 2,500 5,000 ikan hidup) Perlindungan pantai (mencegah _ 5, ,000 erosi) Pariwisata dan rekreasi ind ,000 Nilai estetika dan ind. 2,400 8,000 keanekaragaman hayati Total (untuk perikanan dan perlindungan pantai) 20, ,000 Total (untuk potensi pariwisata dan estetika) 23, ,000 Sumber : Cesar (1997) in Burke et al. (2004) Wisata Bahari Kategori Selam Kegiatan wisata bahari, yaitu wisata selam sangat penting dan merupakan pasar wisata internasional. Tabata (1992) dan Dignam (1990) mengidentifikasi bahwa penyelaman merupakan olah raga yang paling cepat perkembangannya di dunia, bersamaan dengan itu juga semakin banyaknya pelayanan perjalanan untuk wisata penyelaman sebagai salah satu asp.ek olah raga. Data pertumbuhan ini diambil dari data jumlah peserta pelatihan penyelaman di Professional Association of Dive Instructors (PADI) yang merupakan organisasi pelatihan penyelaman terbesar di dunia. Dari sejak organisasi tersebut berdiri pada tahun

26 sampai dengan Pebruari 1994 terdapat lebih dari 5,000,000 orang peserta yang bersertifikat. Kecepatan pertumbuhan wisata selam karena selam merupakan kombinasi olahraga, wisata dan pengetahuan serta didukung oleh relatif murahnya harga perlengkapan selam (Davis dan Tisdell 1995b). Menurut Davis dan Tisdell (1995a), ada dua pertanyaan yang sangat penting untuk menilai meningkatnya permintaan (demand) akan wisata selam, yaitu : a) Mengapa orang senang atau mau melakukan wisata selam? b) Faktor penting apa sehingga orang memilih lokasi tertentu untuk melakukan penyelaman? Dari beberapa hasil studi juga dilaporkan bahwa faktor yang menyebabkan orang atau wisatawan senang melakukan wisata selam adalah : a) Keinginan untuk berpetualangan di dunia liar perairan. b) Pada umumnya menyukai (interest) pada ekologi laut. c) Secara umum melihat (image) bahwa olahraga ini beda dan sangat sp.esial. d) Karena faktor menyukai geologi laut, atau kehidupan laut. e) Hobi fotografi bawah laut. f) Sederhana atau mudah untuk melakukannya (terkait dengan perlengkapan). g) Bisa mendapatkan penghargaan dengan adanya petualangan yang cukup beresiko. Pesatnya perkembangan wisata bahari khusus penyelaman memberikan kontribusi ekonomi yang cukup besar dalam sejarah pariwisata. Di Carribean setiap penyelaman dihasilkan US$ 2-3/orang. Tiap tahun diperkirakan total pemasukan US$ 1-2 juta (Green et al. 2003). Peningkatan aktivitas wisata selam jika tidak dikelola secara lestari akan menyebabkan kerusakan terumbu karang sebagai obyeknya. Beberapa studi melaporkan bahwa aktifitas penyelaman menyebabkan kerusakan, hancurnya fragmen terumbu karang (Hawkins dan Roberts 1992; Milazzo et al. 2002; Zakai dan Chadwick-Furman 2002). Hubungan signifikan antara itensitas penyelaman dengan tingkat kerusakan suatu lokasi penyelaman. Semakin tinggi itensitas penyelaman di suatu kawasan maka semakin besar penutupan karang yang rusak, berkurangnya

27 12 keanekaragaman sp.esies, menurunnya fisibilitas lokasi penyelaman dan lain sebagainya (Dixon et al. 1993). Perubahan yang sangat dramatis terjadi pada ekosistem terumbu karang akibat aktivitas rekreasi ditambah dengan sistem manajemen yang kurang baik sehingga faktor perusak menjadi semakin terakumulasi. Manajemen untuk mengidentifikasi dan mengurangi penyebab kerusakan akan lebih efektif dibandingkan dengan pembatasan wilayah pemanfaatan sangat diperlukan (Rouphael et al. 1997), yaitu suatu manajemen yang dapat memadukan antara kebutuhan ekonomi dengan kelestarian ekologi dalam pengelolaan wisata selam, sehingga dapat menjamin keberlanjutannya. Menurut Davis dan Tisdell (1995a), gambaran bersama mengenai ekonomi dengan ekologi wisata selam di kawasan konservasi ada beberapa pertimbangan yang muncul, antara lain : a) Sumberdaya alam kawasan konservasi merupakan milik publik dan tidak dapat diperjual belikan. b) Lokasi penyelaman merupakan salah satu faktor penentu besarnya permintaan. c) Batas kritis kemampuan kawasan konservasi ditandai dengan terjadinya kerusakan ekologi, adanya resp.on wisatawan penyelam terhadap kelebihan jumlah penyelam (terlalu padat atau banyak) dan berkurangnya nilai kenyamanan. d) Kemampuan konsumen untuk membayar tergantung dari lokasi penyelaman. Hubungan antara batasan kritis dengan kemauan untuk membayar konsumen merupakan suatu pertanyaan bagaimana mengatur penyelaman agar mencapai efisiensi lokasi pemanfaatan sumberdaya (artinya memaksimalkan keuntungan sosial setiap lokasi yang digunakan untuk menyelam) (Davis dan Tisdell 1995b; Hawkins et al. 2005) Konsep Daya Dukung Kawasan Pariwisata Daya dukung suatu kawasan pariwisata adalah jumlah pengunjung (wisatawan) suatu kawasan yang dapat diakomodasikan dengan tingkat kepuasan pengunjung yang tinggi dan berdampak minimal pada sumberdaya (WTO 1992 in Lim 1998). Sedangkan Bengen et al. (2002) mengemukakan pengertian daya dukung, terbagi atas :

28 13 a) Daya dukung: Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. b) Daya dukung ekologis: Tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasikan oleh suatu kawasan atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis. c) Daya dukung fisik: Jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diadopsi oleh suatu kawasan atau zona tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas fisik. d) Daya dukung sosial: Tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan atau zona akibat adanya penggunaan lain dalam waktu bersamaan. e) Daya dukung ekonomi: Tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Daya dukung untuk wisata alam merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pemanfaatan jasa sumberdaya alam dan lingkungan secara lestari berdasarkan kemampuan sumberdaya alam itu sendiri. Konsep ini dikembangkan dengan tujuan untuk mengurangi atau meminimalisir kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya sehingga dapat dicapai pengelolaan sumberdaya alam yang optimal secara kuantitatif maupun kualitatif dan berkelanjutan (Davis dan Tisdell 1995a; Hawkins et al. 2005). Lim (1998), ada beberapa hal yang harus diperhitungkan dalam penentuan daya dukung biofisik terumbu karang untuk aktivitas wisata selam, antara lain : a) Ukuran dan bentuk terumbu karang Bentuk dan ukuran terumbu karang sangat mempengaruhi daya minat penyelam. Lokasi penyelaman yang cenderung heterogen bentuk dan ukuran terumbu karangnya akan menarik bagi wisatawan dan tingkat kerentanannya lebih tinggi di banding lokasi yang homogen (Salim 1986 in Lim 1998). b) Komposisi komunitas karang Karang branching dan foliose akan lebih disukai oleh penyelam dan akan

29 14 lebih rapuh dan mudah patah dibanding bentuk massive akibat penyelam, perenang ataupun kapal. Dampak aktivitas juga tergantung pada luasan penutupan karang terutama karang hidup, semakin luas tutupan karang hidup maka semakin besar dampak kerusakan yang akan ditimbulkan, sehingga nilai daya dukung semakin besar. Komunitas karang lunak lebih tahan terhadap kontak fisik dengan penyelam atau perenang karena bentuknya lebih fleksibel. c) Kedalaman, arus dan kecerahan Terumbu karang yang lokasinya cukup dalam dan atau arus air laut cukup kuat, maka diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi. Kecerahan perairan (pandangan) sangat mempengaruhi kepuasan penyelam dalam menikmati terumbu karang dan juga peluang resiko kerusakan yang akan ditimbulkan akan lebih besar. d) Tingkat keahlian atau pengalaman penyelam Tingkat keahlian atau pengalaman penyelam sangat mempengaruhi daya dukung terumbu karang. Karena peluang kerusakan yang akan ditimbulkan oleh seorang pemula akan lebih besar dibandingkan penyelam yang sudah ahli. Sehingga perlu adanya pembagian lokasi penyelam yang sudah ahli berdasar tingkat kesulitan terkait dengan kualitas terumbu karang yang ada. e) Aksesibilitas Aksesibilitas sangat ditentukan oleh jarak ke lokasi penyelaman, jika lokasi penyelaman tidak ditandai tambatan (mourring bouys), maka pengetahuan lokal atau penggunaan GPS sangat dibutuhkan. f) Atraksi dan frekuensi penyelaman Bentuk atraksi obyek penyelaman (obyek hiu, penyu, ubur-ubur, karang atau ikan dan lain-lain) sangat menentukan nilai resiko dan nilai ekonomi penyelaman. Semakin besar frekuensi kunjungan penyelaman maka semakin besar peluang kerusakan yang akan ditimbulkan. Nilai daya dukung wisata selam juga ditentukan oleh kebutuhan ruang setiap wisatawan untuk dapat menikmati jasa terumbu karang tanpa menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebutuhan standar ruang yang dibutuhkan oleh penyelam adalah 1000 m 2 (10 m x 100 m) untuk 2 (dua) orang penyelam (Lim 1998).

30 15 3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan laut pulau Biawak dan sekitarnya kabupaten Indramayu propinsi Jawa Barat (Gambar 2). Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa pada lokasi ini terdapat gugusan pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang yang belum dimanfaatkan secara optimal. Lokasi penelitian terdiri dari 3 pulau karang dengan lima stasiun penelitian dimana pada masing-masing stasiun dilakukan pengambilan data pada dua kedalaman yaitu 3 dan 10 meter. Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan mulai akhir Juni sampai Juli 2010 dalam tiga tahapan : (1) survey awal, bertujuan untuk memperoleh data skunder dan pengambilan beberapa gambar karang dan spesies ikan untuk bahan kuesioner, (2) pengumpulan data primer, meliputi pengumpulan data kondisi terumbu karang, ikan karang, parameter lingkungan, (3) analisis data dan penulisan laporan Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data skunder (Tabel 2). Secara garis besar data yang diperlukan adalah : - Data biofisik terumbu karang, antara lain luas tutupan, kondisi karang (rusak, patah, hancur atau tergores) dan jenis ikan karang, biota lain yang dapat menjadi daya tarik wisatawan, serta data parameter lingkungan yang meliputi kedalaman, salinitas, arus, dan kecerahan. - Data wisata bahari perairan Pulau Biawak dan sekitarnya (wisata selam), antara lain lokasi penyelaman, persepsi dan resp.on wisatawan, kesesuaian kawasan serta daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata bahari.

31 16 Sta. 5 Sta. 4 Sta. 1 Sta. 3 Sta. 2 - Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

32 17 Tabel 2. Jenis dan sumber data penelitian Data Jenis Data Sumber Data Biofisik Primer Pengukuran langsung di lapangan Jumlah wisatawan Sekunder Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Indramayu Peta lokasi penelitian Primer Biotrop Persepsi dan resp.on Primer Wisatawan dan pelaku usaha wisata selam 3.3. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta dasar, peralatan selam, GPS, kapal motor, pita berskala (roll meter), patok besi, tali nylon, pelampung, palu, alat tulis bawah air, kamera bawah air, buku identifikasi karang (Suharsono 2004) dan buku identifikasi ikan karang (Allen 2000) Pelaksanaan Penelitian Tahapan penelitian Tahapan penelitian secara umum meliputi 4 (empat) tahap yaitu : (1) Identifikasi potensi terumbu karang dan pelaku wisata selam, (2) Analisis kesesuaian kawasan dan daya dukung biofisik terumbu karang untuk wisata selam, (3) Evaluasi kondisi pemanfaatan terumbu karang sebagai obyek wisata selam berdasarkan kesesuaian kawasan, daya dukung biofisik, dan (4) Merumuskan arahan pengembangan wisata bahari kedepan berdasarkan daya dukung biofisik terumbu karang, dengan tujuan untuk mendapatkan skenario pemanfaatan yang berkelanjutan Pengambilan data Penelitian terhadap kondisi biofisik dilakukan secara langsung di lapangan sehingga data yang diperoleh merupakan data primer yang dilakukan pada bulan Juni dan Juli Data biofisik meliputi terumbu karang, ikan karang dan parameter lingkungan di lakukan di pulau Biawak, pulau Gosong dan pulau Candikian. Kondisi terumbu karang yaitu persentase tutupan dan jenis life-form serta kelimpahan ikan karang. Parameter lingkungan meliputi: suhu, salinitas, kecepatan arus, dan kecerahan.

33 18 Data skunder meliputi: letak geografi, tofografi, morfologi, monografi, hidrologi, data perikanan, dan kondisi terumbu karang di peroleh dari instansi pemerintah seperti: Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta instansi terkait seperti: DPRD, Perguruan Tinggi, dan LSM. - Parameter lingkungan Kondisi lingkungan perairan seperti salinitas, kedalaman, kecepatan arus, dan kecerahan dilakukan pengukuran dan pengamatan pada tiap lokasi pengambilan data karang dan ikan karang. Data parameter lingkungan perairan dan alat ukur yang digunakan seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Parameter lingkungan perairan dan alat ukur Parameter Satuan Alat dan Bahan Keterangan Posisi stasiun Kecerahan Suhu Salinitas Kecepatan arus Lintang-Bujur GPS In situ % Sechhi disk In situ o C o / oo Termometer In situ Refractometer In situ Meter/det Current meter In situ - Terumbu karang Pengambilan data bertujuan untuk mengetahui profil potensi biofisik terumbu karang sebagai obyek wisata selam. Pengambilan data dilakukan dengan penyelaman (Scuba Dive) pada lokasi yang sudah ditentukan berdasarkan hasil identifikasi lokasi penyelaman. Metode pengambilan data biofisik terumbu karang untuk menentukan komunitas bentik sesil di terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan (lifeform) dalam satuan persen, dan mencatat jumlah biota bentik yang ada sepanjang garis transek menggunakan metode line intercept transect (LIT) mengikuti English et al. (1997). LIT ditentukan pada garis transek 0-70 m. Seluruh biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian tiap sentimeter.

34 19 Identifikasi biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (life-form) dengan kode identifikasi mengacu pada English et al. (1997) dan Veron (2000) seperti tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan lifeform dan kodenya Kategori Kode Keterangan Dead Coral Dead Coral with Algae Branching Acropora Encrusting Submassive Digitate Tabulate Branching Encrusting Foliose Non-Acropora Massive Submassive Mushroom Heliopora Millepora Tubipora Soft Coral Sp.onge Zoanthids Others Algae Assemblage Coralline Algae Algae Halimeda Macroalgae Turf algae Sand Rubble Abiotik Silt Water Rock Sumber: English et al. (1997). DC DCA ACB ACE ACS ACD ACT CB CE CF CM CS CMR CHL CML CTU SC SP. ZO OT AA CA HA MA TA S R SI W RCK Baru mati, warna putih atau putih kotor Masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat Minimal 2 cabang, memiliki axial dan radial oralit Biasanya merupakan dasar dari bentuk Acropora belum dewasa Tegak, bentuk seperti baji Bercabang tidak lebih dari 2 Bentuk seperti meja datar Minimal 2 cabang, memiliki radial oralit Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak) paling tidak 2 percabangan Terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring Seperti batu besar atau gundukan Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji Soliter, hidup bebas dari genera Karang biru Karang api Bentuk sepeti pipa-pipa kecil Karang lunak Ascidians, anemone, gorgonian, dan lain-lain Pasir Patahan karang yang berukuran kecil Pasir berlumpur Air Batu - Ikan karang Pengamatan terhadap ikan karang menggunakan metode Underwater Fish Visual Census (UVC), dimana ikan yang dijumpai pada jarak 2.5 m di sebelah kiri dan kanan garis transek sepanjang 70 meter dicatat jenis dan jumlahnya. Luas

35 20 bidang yang diamati per transek 5 m x 70 m = 350 m 2. Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada buku identifikasi ikan karang dari Allen (2000). Persentase tutupan karang dengan metode LIT dan komunitas ikan karang dengan metode UVC seperti pada Gambar 3. 5 m = = Belt transek ikan Line transect tutupan karang 2,5 m 70 m Gambar 3 Metode LIT dan UVC. - Persepsi masyarakat Metode penarikan contoh resp.onden terhadap persepsi atau pengunjung dalam aktifitas wisata bahari dan untuk mengetahui nilai visual suatu objek dari terumbu karang yang ada di pulau Biawak dan sekitarnya secara purposive sampling. Resp.onden yang diambil contoh tidak hanya yang tinggal di sekitar pulau Biawak, akan tetapi juga diambil dari daerah lain dalam hal ini dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Hal ini agar data yang diperoleh lebih obyektif. Pemilihan resp.onden untuk analisis SWOT dilakukan terhadap semua stakeholder dari seluruh lapisan masyarakat (pemerintah, DPRD, akademisi/ahli, swasta, LSM, masyarakat yang potensial untuk berwisata, tokoh masyarakat, dan nelayan) Analisis Data Persentase tutupan karang Persentase tutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentase karang hidup (life-form), semakin tinggi persen tutupan karang hidup maka

36 21 kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik, dan semakin penting pula untuk dilindungi. Data persentase tutupan karang hidup yang diperoleh berdasarkan metode LIT mengacu English et al. (1997) yang dihitung berdasarkan persamaan: Keterangan : C = Persentase tutupan karang a = Panjang life-form/jenis ke-i A = Panjang total transek (70 m) Data kondisi penutupan terumbu karang yang diperoleh dari persamaan di atas kemudian dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu: a % : Sangat baik b ,9% : Baik c ,9% : Sedang d. 0 24,9% : Rusak Kelimpahan ikan karang Kelimpahan komunitas ikan karang adalah jumlah ikan karang yang dijumpai pada suatu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan karang dapat dihitung dengan rumus yang diformulasikan dalam Odum (1971) sebagai berikut: Keterangan : Xi = Kelimpahan ikan ke-i (ind/ha) ni = Jumlah total ikan pd stasiun pengamatan ke-i A = Luas transek pengamatan Analisis matriks kesesuaian lokasi dan indeks kesesuaian wisata selam Setiap aktifitas wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Kegiatan wisata bahari mempunyai persyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan objek wisata yang akan dikembangkan. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata bahari

37 22 berbasis konservasi mencakup penyusunan matriks kesesuaian setiap kategori ekowisata bahari yang ada pada setiap stasiun pengamatan, pembobotan dan pengharkatan serta analisis indeks kesesuaian setiap kategori. Kriteria, bobot dan skor ditentukan berdasarkan hasil kajian empiris dan justifikasi para ahli (expert) dibidang ekowisata bahari. Langkah awal yang dilakukan adalah membangun sebuah matrik kriteria kesesuaian pemnfaatan untuk mempermudah pembobotan (weighting) dan pengharkatan (scoring). Analisis kesesuaian lokasi wisata bahari kategori wisata selam menggunakan pendekatan kualitas kondisi biofisik lokasi, antara lain : luas tutupan komunitas karang, jenis life-form, jumlah jenis ikan, kedalaman terumbu karang, kecerahan perairan dan kecepatan arus. Parameter-parameter tersebut diberi nilai berdasarkan matrik kesesuaian wisata selam seperti yang tertera pada Tabel 5. Tabel 5 Matriks kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam No. Parameter Bobot Standar Parameter 1 Kecerahan Perairan (%) 5 > < 20 2 Tutupan komunitas karang 5 > 75 (%) Jumlah jenis life-form karang < 25 3 > < 4 4 Jumlah jenis ikan karang 3 > < 20 5 Kecepatan arus (cm/det) > 50 6 Kedalaman terumbu karang (m) Sumber: Yulianda (2007) ; > 30; < 3 Skor Σ N = Σ Nmaks = 54 IKW = N (Bobot x Skor)

38 23 Untuk menentukan indeks kesesuaian pemanfaatan wisata selam (Yulianda 2007), diformulasikan sebagai berikut : IKW = Dimana : IKW Ni Nmaks = Indeks kesesuaian wisata = Nilai parameter ke-i (bobot x skor) = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata Ketentuan untuk kelas kesesuaian aktivitas wisata selam (modifikasi dari Yulianda 2007) adalah sebagai berikut: S1 = Sangat sesuai, dengan IKW % S2 = Sesuai, dengan IKW 50 < 83% N = Tidak sesuai, dengan IKW < 50% Berdasarkan parameter tersebut disusun matrik kesesuaian. Kelas-kelas kesesuaian pada matriks tersebut menggambarkan tingkat kecocokan dari suatu bidang untuk pemanfaatan tertentu. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi dalam 3 kelas yaitu: 1) Kelas S1: Sangat sesuai (highly suitable), yaitu kawasan ekosistem terumbu karang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari (diving) secara lestari, atau hanya mempunyai faktor pembatas yang kurang berarti dan tidak terpengaruh secara nyata terhadap kondisi kawasan tersebut, serta tidak menambah masukan (input) untuk dikembangkan sebagai objek wisata bahari. 2) Kelas S2: Sesuai (suitable), yaitu kawasan ekosistem terumbu karang yang mempunyai pembatas agak berat untuk pemanfaatan sebagai kawasan wisata bahari secara lestari. Faktor pembatas tersebut akan mengurangi pemanfaatan kawasan tersebut, sehingga diperlukan upaya tindakan tertentu dalam membatasi pemanfaatan dan mengupayakan konservasi dan rehabilitasi. 3) Kelas N: Tidak sesuai (not suitable), yaitu kawasan ekosistem terumbu karang yang mengalami tingkat kerusakan yang tinggi, sehingga tidak memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari.

39 24 Untuk itu sangat disarankan untuk dilakukan perbaikan dengan teknologi tinggi dengan tambahan biaya dan perlu waktu yang lama untuk memulihkannya melalui konservasi dan rehabilitasi kawasan tersebut Analisis daya dukung kawasan Analisis daya dukung biofisik mengacu pada Bouillon (1985); Huttche et al. (2002) yaitu Daya Dukung Kawasan (DDK) yang merupakan jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut: DDK = K x x Dimana : DDK = Daya dukung kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk suatu kegiatan tertentu Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan (Yulianda 2007). Potensi ekologis pengunjung dan luas area kegiatan seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis kegiatan Σ Pengunjung (org) Unit area (Lt) Keterangan Selam (Diving) m Setiap 2 orang dalam 200 m x 10 m Sumber : Yulianda (2007). Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian tetap terjaga. Setiap melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak 2

40 25 yang cukup luas untuk melakukan aktivitas seperti selam (diving) untuk menikmati keindahan pesona alam bawah laut, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata seperti tersaji pada Tabel 7 berikut: Tabel 7 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Jenis kegiatan Waktu yang dibutuhkan Total waktu 1 hari WP-(jam) WT-(jam) Selam (Diving) 2 8 Sumber : Yulianda (2007) Analisis nilai visual objek wisata bahari (SBE) Nilai visual pengembangan wisata bahari menggunakan metode SBE. Tahapan yang dilakukan dalam menentukan nilai SBE diawali dengan penentuan titik pengamatan, pengambilan foto, seleksi foto, dan penilaian oleh resp.onden (Tabel 8). Perhitungan nilai visual dengan tabulasi data : frekuensi tiap skor (f), frekuensi komulatif (cf), dan cumulative probabilities (cp). Dengan menggunakan table z ditentukan nilai z untuk setiap nilai cp. Untuk nilai cp = 1.00 atau cp = (z=± ) digunakan rumus perhitungan cp = 1/(2n). Rata-rata nilai z yang diperoleh untuk setiap foto kemudian dimasukkan dalam rumus SBE sebagai berikut : SBEx = (Zx Zo) x 100 Dimana : SBEx Zx Zo = nilai penduga nilai keindahan objek ke-i = nilai rata-rata z untuk objek ke-i = nilai rata-rata suatu objek tertentu sebgai standar Klasifikasi sebaran menjadi 3 yaitu nilai SBE tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan jenjang sederhana (simplified rating) menurut Hadi (2001); diacu dalam Khakim (2009) dengan rumus: I = Nilai Tertinggi Nilai Terendah Jumlah Kelas

41 26 Nilai SBE Kategori Rendah Sedang Tinggi Tabel 8 Matrik perhitungan nilai SBE Objek/Foto ke- x Skor F Cf Cp Z dst. SBE = (Zx Zo) x 100 =.. ΣZ =. Z = Analisis SWOT untuk strategi pengelolaan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi (Rangkuti, 1997). Analisis strategi pengelolaan merupakan analisis untuk memperoleh strategi yang akan dilakukan dalam mengelola kawasan konservasi dan kawasan wisata bahari. Atas dasar hasil suatu analisis yang didapat selanjutnya dilakukan analisis rencana pengelolaan kawasan sumberdaya terumbu karang di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan wisata selam. Analisis dilakukan dengan menerapkan kriteria kesesuaian data kuantitatif dan deskripsi keadaan.

42 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Indramayu adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Indramayu. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut Jawa. Indramayu dilintasi jalur pantura, yakni salah satu jalur terpadat di Pulau Jawa, terutama pada musim mudik. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas utara Pulau Jawa, dengan stasiun terbesar di Jatibarang. Luas wilayah 2, km 2, Kabupaten Indramayu merupakan sebuah wilayah administratif yang luas. Apabila dilihat dari letak geografis Kabupaten Indramayu terletak pada Bujur Timur dan Lintang Selatan. Sedangkan berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0-2 %. Keadaan ini berpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan cukup tinggi, maka di daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air. Berdasarkan topografinya sebagian besar wilayah Kabupaten Indramayu merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanah rata-rata 0-2%. Keadaan ini terpengaruh terhadap drainase, bila curah hujan tinggi maka daerahdaerah tertentu akan terjadi genangan air. Secara garis besar morfologi wilayah Kabupaten Indramayu di bagi menjadi daerah perbukitan rendah bergelombang dan dataran rendah. Perbukitan rendah bergelombang menempati daerah sempit di bagian barat daya membentuk perbukitan yang memanjang dengan arah barat laut - tenggara sedangkan dataran rendah menempati bagian tengah sampai ke utara. Ketinggian wilayah Kabupaten Indramayu umumnya berada antara 0-18 m di atas permukaan laut (dpl), dimana wilayah dataran rendah menempati bagian terluas dari wilayah Kabupaten Indramayu yaitu ± 90%. Ketingian dataran rendah berada antara 0-6 m dpl berupa rawa, tambak, sawah, pekarangan, dan

43 28 sebagainya. Permukaan tanah di Kabupaten Indramayu sebagian besar berupa daratan dengan kemiringan 0%-3% dengan luas 201,285 hektar (98.66%) jadi seluruh luas wilayah Kabupaten Indramayu. Pada akhir tahun 2009 berdasarkan hasil registrasi penduduk jumlah penduduk Kabupaten Indramayu tercatat sebanyak 1,757,739 jiwa sedangkan pada akhir Pebruari 2010 angka tersebut telah berubah menjadi 1,761,451 jiwa. Adapun komposisi jumlah penduduk Indramayu tahun 2010 sampai dengan Pebruari terdiri dari laki-laki 880,998 jiwa dan perempuan 880,453 jiwa, dengan Sex Ratio Letak Kabupaten Indramayu yang membentang sepanjang posisi pantai utara pulau jawa membuat suhu udara di Kabupaten Indramayu cukup tinggi. Tipe iklim di Indramayu termasuk iklim tropis, menurut klasifikasi schmidl dan ferguson termasuk iklim tipe D (iklim sedang). Karakter iklim tersebut untuk Tahun 2008 adalah: (1) suhu udara harian berkisar antara 22,9 ºC-30 ºC, (2) kelembaban antara 7-80%, (3) curah hujan ratarata tahunan 1587 mm pertahun dengan jumlah hari hujan 91 hari, (4) curah hujan tertinggi ± 2008 mm dengan hari hujan 84 hari sedangkan curah hujan terendah ± 1063 mm dengan hari hujan 68 hari, dan (5) angin barat dan angin timur tertiup secara bergantian setiap 5-6 bulan sekali. Sebagai daerah yang berada di wilayah pesisir, kabupaten Indramayu berpotensi untuk kegiatan perikanan dan kelautan. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan yang perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengelolaan hasil perikanan dan jasa perikanan lainnya. Pada tahun 2008 banyaknya nelayan di Kabupaten Indramayu sekitar 35,.407 orang, dimanan dalam menangkap ikan antara lain para nelayan menggunakan jenis alat pukat kantong, pukat pantai, purse saene cinci, gill nett, jaring klitik, pancing, sero dan lain-lain. Produksi perikanan tahun 2008 tercatat 133, ton dan produksi perikanan tersebut dihasilkan dari tangkap produksi ikan di laut 80,685 ton, produksi tambak 35, ton, produksi kolam 15, ton, produksi sungai 1324 ton, dan produksi waduk / rawa ton. Hasil laut di Indramayu yang memiliki potensi untuk di kembangkan adalah bawal putih, sirip hiu, sedangkan untuk perikanan darat adalah udang windu dan

44 29 bandeng. Selain itu saat ini juga di Kecamatan Cantigi juga telah di kembangkan budi daya biota laut berupa budi daya rumput laut. Keindahan Pulau Biawak dan sekitarnya yang dimaksud adalah keindahan pulau dan perairan laut sekitarnya sebagai satu kesatuan. Seperti diketahui bahwa Pulau Biawak dan sekitarnya hanya dihuni oleh beberapa orang penjaga mercusuar, sehingga aktivitas manusia relatif jarang dan karenanya keindahan lokasi tersebut nampak terlihat dengan adanya terumbu karang, pantai yang bersih serta mangrove dalam kondisi baik. Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Keberadaan habitat bakau yang masih asli, terumbu karang beserta biota penghuni mempunyai potensi untuk pengembangan wisata, rekreasi, perikanan dan laboratorium alam untuk penelitian Kondisi Terumbu Karang Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003, kondisi terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya cukup baik. Rataan persen penutupan karang hidup sebesar 31.4% sedangkan karang mati sebesar 12.2 %. Pada kedalaman 7 meter rataan persen penutupan karang lebih rendah dari pada kedalaman 3 meter yaitu sebesar 14.5 % sedangkan karang mati 37.86%. Persen penutupan karang hidup di Pulau Candikian pada kedalaman 3 meter adalah % sedangkan karang mati sebesar 29.29%. Pada kedalaman 7 meter rataan persen penutupan karang lebih rendah dari pada kedalaman 3 meter yaitu sebesar 53.73% sedangkan karang mati lebih besar yaitu 47.25%. Di wilayah Pulau Gosong dan Pulau Candikian jarang ditemukan terumbu karang yang berukuran besar, akibat dari pengerukan dan penangkapan ikan dengan menggunaan bom serta sianida. Kebanyakan terumbu karang yang tumbuh berukuran cm. Hal ini menunjukkan bahwa terumbu karang pada daerah tersebut sedang mengalami recovery. Kondisi terumbu karang Pulau Biawak dan sekitarnya diperoleh dari penelitian langsung yang dilaksanakan pada bulan Juni 2010 diperoleh total persentase tutupan karang hidup berkisar antara 22.73%-45.72%. Kondisi terumbu

45 30 karang pada 10 lokasi transek dari lima stasiun penelitian umumnya dalam kondisi sedang ( %), dua lokasi dalam kondisi rusak ( %) yaitu di stasiun 3 (sebelah utara Pulau Biawak) pada kedalaman 10 meter dan stasiun 5 (pulau Candikian) pada kedalaman 3 meter. Persentase live hard coral cover adalah persentase dari jumlah karang keras hidup di sebuah lokasi, dan ini diketahui dapat mempengaruhi minat berekreasi ke suatu lokasi penyelaman (Pendleton 1994; Williams dan Polunin 2000). Persentase karang keras mencakup juga informasi yang paling sering digunakan oleh para ilmuwan dan pengelola kawasan wisata untuk menilai kesehatan karang (Hill dan Wilkinson 2004). Ada perbedaan kondisi terumbu karang pada tahun 2003 dan tahun Hal ini dimungkinkan karena lokasi atau stasiun pengamatan yang berbeda. Kondisi terumbu karang dapat dilihat pada Gambar % Tutupan Karang m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m % Karang Hidup Tahun 2003 % Karang Hidup Tahun 2010 % Karang Mati Tahun 2003 % Karang Mati Tahun 2010 P. Biawak P. Candikian P. Gosong Lokasi Gambar 4 Persentase tutupan karang tahun 2003 dan Data tahun 2010 (data hasil pengamat langsung) yaitu stasiun 1 (Pulau Biawak), Stasiun 4 (Pulau Gosong), dan stasiun 5 (Pulau Candikian). Distribusi persentase tutupan karang pada tiap stasiun hasil penelitian dapat di lihat pada Gambar 5.

46 31 % Tutupan Karang 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Biota Lain (%) Pasir (%) Patahan Karang (%) Karang Lunak (%) Alga (%) Karang mati (%) Karang Hidup (%) Sta. 1 Sta. 2 Sta. 3 Sta. 4 Sta. 5 Lokasi Gambar 5 Persentase tutupan karang pada masing-masing stasiun penelitian 4.3. Kelimpahan Ikan Karang Hasil pengamatan ikan karang dengan menggunakan metode Underawater Visual Census di seluruh stasiun pengamatan diperoleh 18 famili dengan 85 sp..esies yang terdiri dari ikan mayor (kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu karang dan berukuran kecil) 7 famili, ikan target (Kelompok ikan yang menjadi target, umumnya merupakan ikan pangan dan bernilai ekonomis ) 10 famili dan ikan indikator (kelompok ikan yang dijadikn senagai indicator kesehatan terumbu karang) 1 famili. Kelompok ikan mayor selalu hadir di setiap stasiun pengamatan dan mendominasi dari kelompok ikan lainnya. Persentase sebaran kelompok ikan karang berdasarkan stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6. Persentase sebaran kelompok ikan 1%4% 95% Ikan indikator Ikan target Ikan mayor Gambar 6 Persentase sebaran kelompok ikan karang pada masing-masing stasiun pengamatan.

47 32 Kelimpahan ikan karang tertinggi pada stasiun 5 yang berlokasi di pulau Candikian kedalaman 10 meter sebesar 12,422 individu/hektar dan terendah pada stasiun 3 bagian Utara Pulau Biawak kedalaman 3 meter sebesar 2133 individu/hektar. Kelimpahan ikan karang dapat dilihat pada Gambar 7. Kelimpahan Ikan Karang (ind/ha) , , , , , , ,00-3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m St. 1 Sta. 2 Sta. 3 Sta. 4 Sta. 5 Lokasi Gambar 7 Kelimpahan ikan karang pada masing-masing stasiun pengamatan. Ikan-ikan karang juga merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan penyelaman. Semakin tinggi jumlah family dan sp..esies serta diversitas ikan yang ada pada suatu ekosistem terumbu karang, maka semakin tinggi pula daya tarik wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata bahari baik kategori snorkeling maupun selam (diving) Parameter Lingkungan Perairan Kondisi lingkungan perairan di Pulau Biawak dan sekitarnya masih dalam kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang dan biota lain yang hidup di dalamnya. Salinitas berkisar antara 28 33, Suhu antara o C, kecepatan arus antara m/det, dan kecerahan perairan antara %. Ekosistem terumbu karang dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan karang. Hasil pengukuran parameter lingkungan tersaji pada Tabel 9.

48 33 Tabel 9 Parameter lingkungan perairan pada masing-masing stasiun Lokasi Salinitas Suhu Kecepatan Arus Kecerahan ( ) ( C) (m/det) (%) Sta Sta Sta Sta Sta Kesesuaian Kawasan Wisata Selam Hasil analisis kesesuaian kawasan wisata bahari kategori wisata selam mempertimbangkan enam parameter dengan empat klasifikasi penilaian antara lain kecerahan perairan, tutupan komunitas karang (karang keras, karang lunak dan biota lain), jenis life form, jenis ikan karang, kecepatan arus, dan kedalaman terumbu karang. Hasil analisis kesesuaian wisata bahari kategori wisata selam dapat dilihat pada Gambar 8. Torurism Suitability Index (TSI) of Diving m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m Sta. 1 Sta. 2 Sta. 3 Sta. 4 Sta. 5 Lokasi Gambar 8 Analisis kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam.

49 34 Dari data analisis penilaian kesesuaian kawasan wisata bahari kategori selam terlihat bahwa seluruh stasiun pengamatan masuk dalam kategori sesuai (suitable) karena nilai IKW berada pada kisaran 50 - < 83%. Adapun total nilai skor tertinggi berada pada stasiun 1 dan 4 ( Barat P. Biawak kedalaman 10 meter) dan stasiun 4 (P. Gosong kedalaman 10 meter) dengan nilai IKW 70.37%, terendah berada pada stasiun 4 (P. Gosong kedalaman 3 meter) dengan nilai IKW 50%. Dari enam parameter yang dinilai untuk kesesuaian wisata selam pada seluruh stasiun pengamatan sesuai untuk dikembangkan sebagai wisata bahari kategori selam. Apabila dilihat dari parameter kesesuaian, seluruh stasiun mempunyai nilai indeks keseuaian yaitu 50.0 sampai 70.37, nilai ini masuk kategori sesuai/suitable (S2). Secara umum kondisi lingkungan perairan Pulau Biawak masih dalam kondisi baik, begitu juga dengan jumlah ikan karang dan tutupan serta life-form terumbu karang masih mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata karena fackor-faktor tersebut sangat penting untuk dapat memberikan kepuasan bagi wisatawan, hal ini sesuai dengan beberapa survey yang dilakukan para peneliti secara khusus terhadap wisatawan yang melakukan penyelaman dimana berbagai karakteristik biofisik dapat dilihat dalan satu lokasi snorkeling atau penyelaman, dan juga anatara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbedaan karakteristik biofisik seperti itu memberikan peluang bagi wisatawan untuk mengunjungi suatu lokasi penyelaman pada berbagai kesempatan menyelam (Miller 2005). Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki terumbu karang yang beragam/heterogen, ini berarti bahwa lokasi tersebut mampu memberikan pengalaman dan sensasi tersendiri bagi wisatawan yang melakukan penyelaman. Seluruh lokasi untuk dikembangkan sebagai objek wisata selam pada kedalaman 10 meter, karena pada kedalaman ini penyelam dapat menikmati keindahan yang ada pada ekosistem terumbu karang dengan sedikit gangguan. Berbeda jika menyelam pada kedalaman rendah, penyelam akan tidak nyaman karena pengaruh arus dan ombak yang kemungkinan besar, begitu juga pada kedalaman lebih tinggi, disamping keanekaragaman terumbu karang dan ikan

50 35 karang kecil, juga semakin rendahnya tingkat kecerahan perairan sehingga visibilitasnya rendah. Tingkat spesialisasi penyelam merupakan faktor kunci untuk pengelolaan pariwisata menyelam (Dearden et al. 2006; Miller 2005). Perlu juga diperhatikan kerentanan dari life-form pengisi substrat dasar kawasan yang akan dijadikan lokasi wisata selam, karena masing-masing lifeform mampunyai daya tahan yang berbeda terhadap kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas selam, berdasarkan penelitian terdahulu mengindikasikan bahwa karang bercabang (coral branching) paling sensitif terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan akibat trampling (menginjak) dibandingkan bentuk pertumbuhan karang massive, digitate, submassive ataupun karang lunak (Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000; Walters dan Samway 2001; Zakai dan Chadwick-Furman 2002; Hasler dan Ott 2008). Sedangkan karang lunak kurang sensitif dibandingkan dengan jenis life-form lainnya (Rielg dan Rielg 1996; Plathong et al. 2000; Schleyer dan Tomalin 2000; Tratalos dan Austin 2001), dan karang encrusting cenderung paling tidak sensitif (Rielg dan Rielg 1996; Schleyer dan Tomalin 2000) Daya Dukung Kawasan Daya dukung kawasan (DDK) ditujukan untuk menentukan jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Untuk menentukan daya dukung kawasan untuk wisata selam di perairan Pulau Biawak dan sekitar pada masing-masing stasiun dihitung luas area pemanfaatan berdasarkan kedalaman. Nilai DDK untuk wisata bahari kategori selam pada kawasan perairan Pulau Biawak dan sekitarnya berkisar antara 10 orang/hektar dengan luas area pemanfaatan 125 hektar (sebelah Utara P. Biawak) sampai dengan 17 orang/hektar dengan luas area pemanfaatan 50 hektar (P. Gosong). Nilai DDK untuk masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9.

51 36 Daya Dukung Kawasan (org/ha) Sta. 1 Sta. 2 Sta. 3 Sta. 4 Sta. 5 Lokasi Gambar 9 Nilai daya dukung kawasan untuk wisata bahari kategori selam pada masing-masing stasiun pengamatan. Sudut pandang ekologi, soial-ekonomi, dan estetika, daya dukung wisata bahari, dalam hal ini jumlah total penyelam yang dapat ditampung suatu kawasan berkaitan langsung dengan tersedianya lokasi selam yang berkualitas tinggi; kawasan yang keanekaragaman sp..esiesnya tinggi dan jumlah karang, ikan dan organisme lainnya yang banyak dengan sedikit dampak negatif dari manusia. Daya dukung dimaksud adalah kemampuan kawasan secara fisik untuk menerima sejumlah wisatawan dengan intensitas maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara berkesinambunangan tanpa merusak lingkungan. Dengan demikian kebutuhan masyarakat lokal dan wisatawan yang datang pada suatu sumberdaya dapat berjalan secara seimbang. Pemanfaatan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai lokasi wisata bahari hendaknya mengacu kepada daya dukung masing-masing lokasi penyelaman, karena degradasi terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan penyelaman telah dinilai dalam hal penurunan persentase life hard coral cover (Hawkin et al. 1999) atau meningkatnya kerusakan karang (Schleyer dan Tomalin 2000). Kerusakan terumbu karang akan menjadi minimal jika di suatu kawasan dikelola dengan pemanfaatan di bawah daya dukung, akan meningkatkan kerusakan terumbu karang (Chadwick-Furman 1997; Hawkin dan Roberts 1997).

52 Nilai SBE Hasil dari penilaian kualitas visual oleh resp..onden merupakan skor untuk masing-masing foto. Rata-rata nilai yang diperoleh dari hasil penilaian resp..onden kemudian dimasukkan dalam rumus SBE Tabel 10. Keseluruhan nilai visual untuk masing-masing foto dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 10 Perhitungan nilai SBE Foto 8 Foto 16 Foto 27 Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Skor f cf cp Z Jumlah Z = 14.,93 Jumlah Z = Jumlah Z = 7.90 Z = 1.66 Z = 1.97 Z = 0.87 SBE = SBE = SBE = 0.0.Hasil perhitungan nilai SBE untuk seluruh foto dapat dilihat pada lampiran 7. Skor tinggi menunjukkan bahwa objek tersebut paling banyak dipilih sebagai objek yang indah, sedangkan skor rendah menggambarkan objek yang jelek (tidak disukai).

53 38 Dari sebaran apabila dibuat menjadi 3 klasifikasi yaitu nilai SBE tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan njenjang sederhana (simplified rating) menurut Sutrisno Hadi (2001) dalam Khakim 2009, dengan rumus: Nilai Tertinggi Nilai Terendah I = = = Jumlah Kelas 3 Nilai SBE Kategori Rendah Sedang Tinggi Hasil pengklasifikasian menggunakan jenjang sederhana tersebut maka masing-masing foto objek dengan nilai SBE yang menunjukkan life-form atau biota yang ada pada terumbu karang dan lokasi dapat dibuat tabel seperti yang tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai SBE dari setiap jenis life-form/biota yang ada di terumbu karang dan lokasi life-form /biota tersebut dijumpai Kelas SBE Nilai SBE Jenis Life-form Lokasi Ikan karang (Chepalopholis sp..) Barat P. Biawak (6 m), Utara P. Biawak (10), P. Candikian (6 m), P. Gososng (6 m) Ikan karang (Amphiprion ocellaris) Barat P. Biawak (6 dan 10 m), P. Gososng (10 m) ACB (Acropora sp..) Seluruh stasiun CS (Physogira sp..) Barat P. Biawak (6 m), Selatan P. Biawak (10 m), P. Gosong (6 m) Tinggi Ikan karang (Platax orbicularis) Utara P. Biawak (10 m) Ikan karang (Ostracion cubicus) Utara P. Biawak (10 m) ACB (Acropora sp..) Seluruh stasiun Ikan karang (Pterois volitants) Barat P. Biawak (10 m) CM (Goniopora sp..) P. Candikian (3 dan 6 m), P. Gosong (6 m), Utara P. Biawak (6 dan 10 m) Ikan karang (Plectorinchus sp..) P. Candikian (3 m) Ikan karang (Halichoeres leucurus) Seluruh stasiun di Pulau Biawak CM (Platygyra sp..) P. Gosong (6 m), Utara P. Biawak (6 dan 10 m)

54 CE (Montipora sp..) Barat P. Biawak (10 m), P. Candikian (6 m), P. Gosong (10 m), Utara P. Biawak (6 dan 10 m) CE (Montiphora sp..) Barat P. Biawak (10 m), P. Candikian (6 m), P. Gosong (10 m), Utara P. Biawak (6 dan 10 m) ACB (Acropora sp..) Seluruh stasiun OT (Amplexidiscus sp..) Barat P. Biawak (10 m), Selatan P. Biawak (3 m), P. Candikian (3 dan 6 m), P. Gosong (6 dan 10 m), Utara P. biawak (6 dan 10 m) 76,00 Ikan karang (Amphiprion clarkii) Barat P. Biawak (10 m), P. Candikian (6 m) Tabel 11 (lanjutan) Kelas SBE Nilai SBE Jenis Life-form Lokasi Sedang Ikan karang (Heniochus sp..) Utara P. Biawak (10 m) CS (Pavona sp..) Hampir seluruh stasiun kecuali di P. Gosong (6 m) OT (Sp..onge) P. Candikian (6 m) Ikan karang (Pomacentrus sp..) Seluruh stasiun OT (Trdagna gigas) P. Gosong (10 m) CM (Favites sp..) CM (Favites sp..) CE (Astreopora sp..) Hampir seluruh stasiun kecuali di P. Gosong dan Utara P. Biawak (3 m) Hampir seluruh stasiun kecuali di P. Gosong dan Utara P. Biawak (3 m) Selatan P. Biawak (3 m), P. Gosong (10 m), Utara P. Biawak (6 m) OT (Xestosp..ongia sp..) P. Gosong (10 m) CMR (Fungia s.) Barat P. Biawak (6 m), Selatan P. Biawak (3 m), P. Candikian (6 m), P. Gosong (6 dan 10 m), Utara P. Biawak (6 m) CM (Symphyllia sp..) Barat P. Biawak (6 m), Selatan P. Biawak (3 dan 10 m), P. Candikian (6 m), P. Gosong (10 m), Utara P. Biawak (6 m) CMR (Ctenactis sp..) Utara P. Biawak (6 m) Rendah 0.00 OT (Diadema) Barat P. Biawak (6 m), Utara P. Biawak (10 m), Tiga puluh (30) foto dibagi dalam tiga jenis yaitu life-form karang, ikan karang dan biota lain yang dinilai oleh resp..onden. Nilai SBE kategori tinggi ada

55 40 17 jenis, sedang 12 jenis dan rendah 1 jenis. Nilai SBE tertinggi dari jenis ikan karang Chepalopholis sp.. sebesar , terendah dari jenis OT (Diadema sp..) sebesar Jenis life-form karang tertinggi diduduki oleh ACB (Acropora sp..) dengan nilai SBE (Gambar 10). Berdasarkan nilai visual suatu objek atau biota ada kecenderungan terutama bagi karang yang dapat terlihat polyp-nya dan karang lunak dengan berbagai warna yang menarik juga ikan karang yang mendominasi nilai SBE tertinggi. Warna karang diketahui secara nyata dapat mempengaruhi kepuasan pengunjung yang berpengalaman (Shafer et al. 1998). Popularitas atau status ikonik suatu organisme didorong oleh berbagai faktor, termasuk daya tarik fisik, dan/atau publisitas yang telah diterima dalam media publik (Reynolds dan Braithwaite 2001). Life-form/Biota Lain CS CM ACB ACB CM CM CS CMR CE CMR CE CE ACB CM CM Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang Ikan karang OT OT OT OT OT Nilai SBE Rendah Nilai SBE Sedang Nilai SBE Tinggi Nilai SBE Gambar 10 Nilai SBE berdasarkan jenis life-form atau biota lain.

56 41 Dari 30 gambar orgainsme yang disurvey dalam penelitian ini ikan kerapu karang (Chepalopholis sp..), ikan badut (Amphiprion ocellaris), dan karang Acropora sp. yang dianggap khas karena memiliki warna yang indah dan popularitas atau status ikonik mereka. Jika organisme yang cukup dikenal dan familiar bagi penyelam, organisme tersebut memiliki kesempatan lebih besar untuk dilihat dan diidentifikasi lebih awal Arahan Strategi Pengelolaan Kawasan Ekowisata Bahari Arahan strategi pengelolaan kawasan ekowisata bahari menggunakan metode analisis SWOT, dimana asp..ek biofisik, lingkungan, sosial dan ekonomi dilakukan identifikasi sebagai faktor internal dan eksternal pengembangan ekosistem terumbu karang. Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut kemudian dilakukan pembobotan secara linear dengan kisaran nilai 0.0 sampai 1.0. Nilai 0.0 berarti tidak penting dan nilai 1.0 berarti sangat penting, kemudian diperhitungkan juga tingkat/rangking untuk masing-masing faktor antara 1 sampai 4 untuk unsur kekuatan dan peluang serta kelemahan dan ancaman. Selanjutnya antara bobot dan tingkat/rangking dikalikan untuk menghasilkan skor. Proses-proses dari unsur SWOT (strength, weakness, opportunity, threats) tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 12 dan 13. Tabel 12 Bobot, rangking, dan skoring unsur internal kawasan wisata selam di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Kode Unsur Internal Bobot Rangking Skor S Kekuatan (Strength) Kondisi perairan ekosistem terumbu karang yang cukup baik Kondisi karag dan ikan karang serta biota laut lainnya Keinginan dan partisipasi yang tinggi dari masyarakat W Kelemahan (Weakness) 1 Lemahnya pengawasan dan sulitnya penegakan hukum Belum memadainya sarana dan prasarana untuk

57 42 3 pengembangan kegiatan wisata bahari Masih rendahnya tingkat pendapatan masyarakat Jumlah Tabel 13 Bobot, rangking, dan skoring unsur eksternal kawasan wisata selam di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Kode Unsur Eksternal Bobot Rangking Skor O Peluang (Opportunity) Pengalokasian Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi Letak geografis Pulau Biawak dan sekitarnya dekat dengan Cirebon dan Jakarta Peluang alternatif peningkatan ekonomi masyarakat di bidang pariwisata T Ancaman (Threats) 1 2 Masih beroperasinya alat tangkap dan perilaku penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing) Penggunaan jangkar yang merusak terumbu karang Sampah dan sanitasi lingkungan Jumlah Tabel 14 Formulasi arahan strategi pengelolaan kawasan wisata bahari di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Kekeuatan (Strength) Kelemahan (Weakness) Faktor Eksternal Faktor Internal 1. Kondisi perairan ekosistem terumbu karang yang cukup baik 2. Kondisi karang, ikan karang dan biota laut lainnya 3. Keinginan dan partisipasi yang tinggi 1. Lemahnya pengawasan dan sulitnya penegakan hukum 2. Belum memadainya sarana dan prasarana untuk pengembangan kegiatan wisata bahari kategori selam 3. Masih rendahnya

58 43 Peluang (Opportunities) 1. Pengalokasian Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi 2. Letak geografis Pulau Biawak dan sekitarnya dekat dengan Cirebon dan Jakarta 3. Peluang alternatif peningkatan ekonomi masyarakat di bidang pariwisata Ancaman (Threats) 1. Masih beroperasinya alat tangkap dan perilaku penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing) 2. Penggunaan jangkar yang merusak terumbu karang 3. Sampah dan sanitasi lingkungan masyarakat Strategi SO Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang sebagai kawasan wisata bahari secara optimal (S1, S2, S3, O1, TO, O3) Strategi ST Pengelolaan kawasan wisata dengan berbagai upaya pencegahan kerusakan ekosistem terumbu karang (S1, S2, S3, T1, T2, T3) tingkat pndapatan masyarakat Strategi WO Mengembangkan Ssistem informasi dan kelembagaan serta sarana dan prasarana pengelolaan wisata bahari (W2, W3, O1, O2, O3) Strategi WT Menjalankan dan menegakkan hukum serta perundang-undangan yang berlaku (W2, W3, T1, T2, T3) Setelah masing-masing unsur SWOT diberi bobot atau nilai, unsur-unsur tersebut dihubungkan keterkaitannya untuk memperoleh strategi pengelolaan. Strategi pengelolaan tersebut kemudian dijumlahkan bobotnya untuk mendapatkan rangking dari tiap-tiap strategi pengelolaan. Strategi pengelolaan yang mendapat nilai tertinggi merupakan strategi prioritas. Berdasarkan matrik formulasi arahan strategi pengelolaan kawasan wisata bahari di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya dapat dirumuskan matrik hasil analisis SWOT (Tabel 14 dan 15). Tabel 15 Matrik hasil analisis SWOT Unsur Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness) Peluang (Opportunity) SO (S1, S2, S3, O1, O2, O3) WO (W2, W3, O1, O2, O3) Ancaman (Threats) ST (S1, S2, S3, T1, T2, T3) WT (W1, W2, T1, T2, T3)

59 44 Untuk menentukan prioritas strategi pengelolaan yang harus dilaksanakan, dilakukan penjumlahan bobot yang berasal dari keterkaitan antar unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam satu alternatif pengelolaan. Secara rinci penentuan rangking prioritas pengelolaan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Rangking prioritas strategi pengelolaan No Unsur Keterkaitan Skor Rangking 1 Strategi SO S1, S2, S3, O1, O2, O Strategi WO W1, W2, O1, O2, O Strategi ST S1, S2, S3, T1, T2, T Strategi WT W1, W2, T1, T2, T Hasil identifikasi beberapa unsur kekuatan (strength): a. Kondisi perairan ekosistem terumbu karang yang cukup baik Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan, menunjukkan bahwa kualitas perairan Pulau Biawak dan sekitarnya masih tergolong baik dan masih sesuai dengan standar baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut umumnya. b. Kondisi terumbu karang, ikan karang dan biota laut lainnya Kondisi dan struktur karang komunitas karang dan ikan karang secara umum masuk kategori sedang (>24% penutupan karang hidup) dan kelimpahan ikan karang yang cukup tinggi. Di beberapa lokasi juga ditemukan biota langka seperti kima (Tridagna sp..) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Hal ini membuktikan bahwa kondisi perairan Pulau Biawak dan sekitarnya masih dalam kondisi yang memungkinkan untuk berkembangnya kehidupan terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. c. Keinginan dan partisipasi Dari hasil pertemuan kuesioner kepada instansi terkait dan masyarakat desa Karang song dan desa sekitarnya, mereka menghendaki dikembangkannya

60 45 kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan wisata bahari yang melibatkan masyarakat, seperti pelibatan masyarakat dalam pengelolaan KKLD (Perda Indramayu No. 14 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Penataan Fungsi Pulau Biawak, Gosong dan Pulau Candikian). Dengan adanya kegiatan wisata bahari akan menumbuhkan mata pencarian alternatif (Alternative livelihoods) masyarakat dan dengan sendirinya akan turut menjaga ekosistem yang ada khususnya ekosistem terumbu karang di kawasan pulau itu. Identifikasi unsur kelemahan (weakness): a. Lemahnya Pengawasan dan sulitnya penegakan hukum Belum adanya pengawasan yang melibatkan masyarakat secara langsung karena keterbatasan dana selain itu karena jauhnya lokasi Pulau Biawak dan sekitarnya dari pemukiman penduduk sehingga pengawasan hanya dilakukan oleh pemerintah atau instansi terkait yang kurang didukung sarana dan prasarana yang memadai dan biaya operasional yang sangat sedikit. b. Belum memadainya sarana dan prasarana untuk pengembangan kegiatan wisata bahari. Belum adanya pusat informasi bagi pengunjung, serta belum adanya penghuni sehingga sarana dan prasarana di kawasan Pulau Biawak seperti infrastruktur dan sarana transp..ortasi belum ada, selama ini transp..ortasi hanya menggunakan kapal nelayan dengan waktu tempuh 4 jam dari Indramayu, sarana akomodasi hanya bisa menggunakan mess jaga petugas mercusuar serta pengunjung yang akan datang berwisata ke Pulau Biawak juga harus membekali diri dengan keperluan konsumsi. c. Kurangnya mata pencarian alternatif masyarakat Tingginya ketergantungan nelayan mencari ikan di sekitar kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya menyebabkan nelayan hanya menangkap ikan yang hidup di sekitar terumbu karang.

61 46 Identifikasi unsur peluang (Opportunity); a. Pengalokasian Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi Rencana dan Tata Ruang (RTRW) Kabupaten Indramyu , Pulau Biawak merupakan area pengelolaan kawasan khusus. Pulau Biawak dibagi menjadi 2 (dua) zona, yakni Zona Inti dan Zona Pengembangan. Zona Inti merupakan perlindungan biota maupun fauna laut dan darat, serta dilarang menjadi fungsi lain. Sedangkan Zona Pengembangan, kawasan Pulau Biawak difungsikan untuk pengembangan obyek wisata ekonomi, seperti budidaya laut terbatas, penangkapan ikan terbatas, dan Wisata Bahari. b. Letak geografis Pulau Biawak dan sekitarnya dekat dengan Cirebon dan Jakarta, dari dermaga Marina Ancol, Jakarta, atau kawasan Kepulauan Seribu, Pulau Biawak dapat ditempuh dalam waktu tujuh hingga delapan jam menggunakan sp..pedboat atau kapal pribadi jenis catamaran. Kondisi ini perairan Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari. c. Peluang alternatif peningkatan ekonomi masyarakat di bidang pariwisata Pariwisata merupakan peluang alternatif bagi masyarakat untuk memanfaatkan ekosistem terumbu karang, disamping letak dari Jakarta yang dekat sehingga mudah dijangkau dan dengan adanya kawasan wisata bahari dapat memberikan keuntungan secara ekonomi masyarakat sekitar. Jika masyarakat sekitar memperoleh keuntungan finasial dari kegiatan wisata bahari, maka dengan sendirinya masyarakat akan menjaga keberadaan dan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sebagai mata pencarian alternatif masyarakat. Unsur ancaman (threats) yang teridentifikasi: a. Masih beroperasinya alat tangkap dan perilaku penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing) Penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan penggunaan jaring arad (semacam pukat) merupakan masalah utama dalam pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya. Menurut masyarakat lokal, pelaku utama dari kegiatan destructif fishing dilakukan oleh nelayan dari luar daerah. Akibat penggunaan bahan peledak telah menyebabkan kerusakan pada

62 47 ekosistem terumbu karang, hal ini dibuktikan banyaknya hancuran dan patahan karang di seluruh pulau yang ada di kawasan perairan Pulau Biawak. Penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad dilakukan oleh masyarakat lokal, dimana operasional jaring ini mirip dengan operasional pukat (trawl) sehingga sering menimbulkan kerusakan terumbu karang jika dioperasikan di perairan sekitar terumbu karang. b. Penggunaan jangkar yang merusak terumbu karang Penggunaan jangkar perahu oleh nelayan ketika menambatkan perahu di daera terumbu karang dapat mengakibatkan dampak negatif dengan rusaknya terumbu karang apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. Aktifitas ini banyak dilakukan oleh nelayan yang singgah di sikitar Pulau Biawak setelah melakukan penangkapan ikan atau nelayan yang secara langsung melakukan penangkapan ikan karang. c. Sampah dan sanitasi lingkungan Masalah sampah merupakan masalah umum di daerah pantai, begitu juga masyarakat yang tinggal berdekatan dengan Pulau Biawak dan sekitarnya karena belum adanya tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Selain sampah, masalah pembuangan air dan kotoran manusia juga banyak dilakukan di sungai dan pantai, sehingga mempengaruhi estetika desa dan dari segi sanitasi akan timbulnya berbagai penyakit, seperti diare, kolera, muntaber, malaria dan berbagai penyakit lainnya. Rencana Strategi Pengelolaan Kawasan Ekowisata di Perairan Pulau Biawak dan sekitarnya Berdasarkan rangking prioritas strategi pengelolaan dirumuskan kebijakan strategi pengelolaan kawasan wisata bahari kategori selam di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya. 1. Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang sebagai kawasan wisata bahari kategori selam secara optimal Ekosistem terumbu karang merupakan kekayaan alam yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi sebagai modal dasar dalam pembangunan khususnya di sektor kelautan dan perikanan serta pariwisata. Perumusan strategi menggunakan seluruh komponen/faktor kekuatan yang dimiliki untuk

63 48 memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Terumbu karang dapat memberikan manfaat ekonomi yang maksimal dalam waktu lama bagi masyarakat yang tinggal sekitar ekosistem terumbu karang jika dikelola dengan baik dan bijaksana. Namun jika dieksp..loitasi belebihan, terumbu karang dan ekosistemnya perubahan yang cepat menuju kerusakan (degradasi). Agar tetap berkelanjutan dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang, maka perlu upaya pengelolaan dengan memprtimbangkan daya dukung (carying capacity) ekosistem terumbu karang, dengan cara: a. Penetapan secara formal zonasi kawasan pemanfaatan ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari kategori selam yang disesuaikan dengan karakteristik dan daya dukungnya. Kawasan yang memilki IKW sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2) untuk kegiatan selam dapat dilakukan aktivitas wisata sesuai dengan daya dukungnya, perairan Pulau Biawak dan sekitar walaupun masuk dalam kategori sesuai (S2) dengan nilai IKW di bawah 60%, jika tetap dilakukan aktivitas wisata selam disarankan untuk mengurangi pemanfaatannya di bawah daya dukung kawasan tersebut. b. Melakukan tindakan preventif terhadap ekosistem karang dari dampak yang diakibatkan oleh aktivitas selam. Dengan mengetahui karakteristik lokasi penyelaman diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan akibat kegiatan selam. c. Memperkuat pendidikan lingkungan bagi pemandu selam maupun wisatawan yang akan melakukan penyelaman. d. Pengelolaan baik terhadap akses maupun pemanfaatan lokasi penyelaman yang dikoordinasikan dengan para pemangku kepentingan. 2. Pengelolaan kawasan wisata bahari dengan berbagai upaya pencegahan kerusakan ekosistem terumbu karang Kerusakan ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya umumnya disebabkan oleh penangkapan ikan dengan cara destruktif seperti bom. Perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan seperti: a. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan arti penting ekosistem terumbu karang, dampak dan akibat penggunaan alat tangkap yang merusak.

64 49 b. Pengendalian atas pembuangan jangkar, pemasangan tambatan (mooring bouys) yang lebih tepat di kawasan yang akan dijadikan lokasi penyelaman. c. Perbaikan sarana dan prasaran yang sudah ada dan pembuatan sarana dan prasarana yang belum ada. Untuk menghindari dampak negatif, baik secara alami maupun buatan, perlu adanya instansi yang bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap ekosistem terumbu karang dalam waktu yang panjang. Pengawasa juga harus melibatkan masyarakat, pengawasan tidak hanya dilakukan pada perairan saja tetapi juga seluruh aktivitas manusia di peisir yang berdampak terhadap terumbu karang. 3. Mengembangkan sistem informasi dan kelembagaan serta meningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan wisata bahari Tujuan pengelolaan terumbu karang untuk wisata bahari adalah untuk dapat memanfaatkan segenap sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Informasi sumberdaya terumbu karang sangat penting dalam pengelolaan suatu kawasan wisata bahari. Informasi dapat berupa: 1) data potensi kawasasan selam berdasarkan karakteristik sumberdaya, 2) data daya dukung tingkat pemanfaatan terumbu karang untuk kegiatan wisata selam, 3) informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan wisatawan sperti musin dan pola arus. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat berupa : a. Pelatihan standar dengan sertifikasi kelulusan dan ijin resmi untuk bekerja di kawasan penyelaman. b. Penyuluhan pengelolaan usaha wisata dan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) serta pelaksanaan sapta pesona. c. Pelatihan pengelolaan usaha wisata d. Pelatihan keterampilan kerajinan tangan e. Penguatan dan efektifitas kelompok sadar wisata (POKDARWIS) f. Pengelolaan operasional perahu dan pengadan perlengkapan selam g. Kursus dasar bahasa asing kepada Pokdarwis, pemandu dan pengelola usaha wisata. h. Studi banding ekowisata ke daerah ekowista lain yang sudah maju.

65 50 4. Menjalankan dan menegakkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku Dalam rangka penerapan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkelanjutan sangat diperlukan instrument hukum dan perundang-undangan yang memadai. Selama ini implementasi dan penegakkan hukum masih sangat rendah. Sangsi hukum bagi perusak terumbu karang dan sumberdaya perikanan selama ini belum setimpal dengan perbuatannya bahkan tidak ada sama sekali.. Peningkatan efektifitas upaya penegakkan hukum melibatkan masyarakat dalam hal ini perlu dibentuk kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai pengawas.

66 51 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dibuat, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Jenis karang yang paling banyak dijumpai dari seluruh stasiun pengamatan adalah Acropora sp., sedangkan ikan karang adalah kerapu karang (Chepalopholis sp.). Persentase tutupan karang hidup secara umum dalam kondisi sedang. 2. Berdasarkan kondisi terumbu karang, ikan karang, dan biota lainnya serta hasil analisis kesesuain dan daya dukung kawasan, ekosistem terumbu karang yang ada di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya khususnya pada lokasi penelitian dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata bahari kategori selam dengan tetap menjaga kelestariannya. 3. Arahan strategi pengelolaan kawasan pengembangan ekowisata di perairan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai berikut: - Pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang sebagai kawasan wisata bahari secara optimal - Pengelolaan kawasan wisata dengan berbagai upaya pencegahan kerusakan ekosistem terumbu karang - Mengembangkan sistem informasi dan kelembagaan serta meningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan wisata bahari - Menjalankan dan menegakkan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. 5.2 Saran Beberapa saran yang dapat disampaikan berkaitan hasil penelitian dalam rangka pengembangan wisata bahari kategori selam, yaitu: 1. Berdasarkan daya dukung kawasan perairan Pulau Biawak dan sekitarnya diperlukan pengaturan jumlah orang yang akan melakukan penyelaman agar tidak melebihi daya dukung kawasan.

67 52 2. Perlu ditetapkan secara formal kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai daerah tujuan wisata bahari, serta melakukan pemetaan potensi karakteristik serta biota-biota yang menarik pada masing-masing kawasan 3. Terumbu karang di perairan Pulau Biawak karena kondisinya mendekati kerusakan sehingga diperlukan upaya-upaya konservasi, disamping itu juga potensi tersebut harus dikembangkan untuk tujuan wisata dengan konsep wisata yang ramah lingkungan (ekowisata) yang melibatkan peran aktif masyarakat yang hidupnya bergantung pada ekosistem yang ada di Pulau Biawak dan sekitarnya.

68 53 DAFTAR PUSTAKA Allen GR, Steene R Indo-Pacific Coral Reef Field Guide. Singapore: Tropical Reef Research. 378 P. Anthony B, Inglis J Increased Spatial and Temporal Variability in Coral Damage Caused by Recreational Scuba Diving. Ecological Applications: Vol. 12, No. 2, Pp Baker VJ, Moran PJ, Mundy CN, Reichelt RE, Speare PJ A Guide to The Reef Ecology Database. The Crown-Of-Thorns Study. Australia Institute Of Marine Science: Townsville. pp 48. Barnes J, Bellamy DJ, Jones DJ, Whitton BA, Morphology and Ecology of The Reef front of Aldabra. Symp. Zool. Soc. London 28, Bengen DG Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Laporan Akhir. Kantor Menneg LH Dan FPIK IPB. Jakarta. Bouillon J Essai de Classification des Hydropolypes. Hydromeduses (Hydrozoa - Cnidaria). Indo-Malayan Zool. 1: Burke L, Selig E, Spalding M Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute. Burke L, Selig E, Spalding M Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. Ringkasan Untuk Indonesia. Kerjasama WRI, UNEP, WCMC, ICLARM dan ICRAN. Ceballos-Lascurain H Ecological and Cultural Tourism in Mexico as a Means of Conservation and Socioeconomic Development. In Proceedings of the International Forum 'Conservation of the Americas, held in Indianapolis, November 18-20, Partners for Livable Places, Washington, DC, USA. Cesar H Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs. Environment Department. Toward Environmentally and Socially Sustainable Development. Chadwick-Furman NE Effects of SCUBA Diving on Coral Reef Invertebrates in The U.S. Virgin Islands: Implications for The Management of Diving Tourism. In: Den Hartog J.C. (Ed), Proceedings of The Sixth International Conference on Coelenterate Biology. National Nature Histories Museum. Pp Dahuri R Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Masyarakat., LISPI. Jakarta. Davis D, Tisdell C. 1995a. Recreational Scuba Diving and Carrying Capacity in Marine Protected Areas. Ocean and Coastal Management Journals 26, Davis D, Tisdell C. 1995b. Economic Management of Recreational Scuba Diving and The Environment. Journal of Environmental Management 48: Dearden P, Bennett M, Rollins R Implications for Coral Reef Conservation of Diver Specialization. Environmental Conservation 33:

69 54 Dignam D Scuba Gaining among Mainstream Travellers. Tourism and Travel News;26: [Dit. KTNL-DKP] Direktorat Konservasi dan Taman nasional Laut-Departemen Kelautan dan Perikanan Inventarisasi dan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah di Indramayu Jawa Barat. Jakarta. 54 hlm. Dixon JA, Scura LF, Van Hof T Meeting Ecological and Economic Goal; Marine Park In Caribbean. Ambio 22, English S, Wilkinson C, Baker VJ. (editors) (1994). Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEANAustralia. Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science, Townsville. English S, Wilkinson C, Baker VJ nd Ed. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia; ASEAN-Australia Marine Science Project. 368+Xii Pp. Green E, Donnelly R Recreational Scuba Diving in Caribbean Marine Protected Areas; Do The Users Pay? Ambio 32: 2. Gomes ED, Yap HY Monitoring Reef Condition. In : Kenchingston RA, Hudson BET, Editor. Coral Reef Management Handbook. Jakarta; UNESO Regional Office Science And Technology For Southeast Asia. Pp Hasler H, Ott JA Diving Down The Reef. Intensive Diving Tourism Threatens The Reef of The Northern Red Sea. Marine Pollution Bulletin 56: Hawkins JP, Roberts CM Effect of Recreational Scuba Diving on Fore Reef-Slope Communities. Biology Conservations Journal 62 : Hawkins JP, Roberts CM Estimating The Carrying Capacity of Coral Reefs for SCUBA Diving. Proceedings of The Eighth International Coral Reef Symposium 2: Hawkins JP, Roberts CM Effect of Recreational SCUBA Diving on Coral and Fish Communities. Conservation Biology 13: Hawkins JP, Roberts CM, Buchan K, Susan White Sustainability of Scuba Diving Tourism on Coral Reefs of Saba. Coastal Management. Volume 33, Number 4/October-December Hill J, Wilkinson C. (2004). Methods for Ecological Monitoring of Coral Reefs. Townsville: Australian Institute of Marine Sciene. Hopley D, Suharsono The Status of Coral Reefs in Eastern Indonesia. Global Coral Reef Monitoring Network (GCRMN). Australian Institute for Marine Science (AIMS). Huttche CM, While AT, Flores Sustainable Coastal Tourism Handbook for The Philippines. Cebu City. Philippine. Khakim N Kajian Tipologi Fisik Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta untuk Mendukung Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. (disertasi). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian bogor.

70 55 Kunzmann A Coral, Fishermen, and Tourists. Jurnal Pesisir dan Lautan 4: Lim LC The Concepts and Analysis of Carrying Capacity: A Management Tool for Effective Planning. Part I. Report Produce Under Bay f Bengal Programme. Madras, India. Milazzo M, Chemello R, Badalamenti F, Camarda R, Riggio S The Impact of Human Recreational Activities in Marine Protected Areas: What Lesson Should Be Learnt in The Mediterranean Sea. Marine Ecology 23: Miller KD Toward Sustainable Wildlife Tourism Experiences for Certified Scuba Divers on Coral Reef. (Disertasi) In The Schools of Business And Tropical Environmental Studies And Geography James Cook University Australia. 353 P. Nybakken JW Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M., Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S, penerjemah: Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Marine Biology and Ecological Approach. 480 hlm. Odum EP Fundamental of Ecology (3 Th Edition). WB. Sounders Company. Phyladelphia. Xiv+574h. Pendleton LH Environmental Quality and Recreational Demand in A Caribbean Coral Reef. Coastal Management 22: Plathong S, Inglis G, Huber M Effect of Self-Guided Snorkelling Trail on Corals in A Tropical Marine Park. Conservation Biology 14: Rangkuti F Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis-Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Cetakan Ke-10. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Reynolds PC, Braithwaite D Toward A Conceptual Framework for Wildlife Tourism. Tourism Management 22: Riegl B, Riegl A Study on Coral Community Structure and Damage as A Basis for Zoning Marine Reserve. Biological Conservation 77: Rouphael, Anthony, Inglis, Graeme J Impacts Of Recreational Scuba Diving At Sites With Different Topographies, Elsevier Science, Australia, 8P. Schleyer M, Tomalin B Damage on South African Coral Reefs and An Assessment of Their Sustainable Diving Capacity Using A Fisheries Approach. Bulletin of Marine Science 67: Shafer SC, Inglis GJ, Johnson VY, Marshall NA Visitor Experiences and Perceived Condition on Day Trips to The Great Barrier Reef. Technical Report No. 21. Townsville: CRC Reef Research Center. Shafer SC, Inglis GJ Influence of Social, Biophysical, and Managerial Condition on Tourism Experiences within The Great Barrier Reef World Heritage Area. Environmental Management 26:

71 56 Spalding MD, Ravilious C, Green EP World Atlas of Coral Reefs. Prepared at The UNEP World Conservation Monitoring Center. University of California Press, Berkeley, USA. Spurgeon JP The Economic Valuation of Coral Reefs. Mar. Poll. Bull. 24: Suharsono Jenis-Jenis Karang Di Indonesia. Pusat Penelitian Osenografi. LON-LIPI. Stoddart DR, Johanes RE Coral Reefs: Research Methods. United Nation Educational, Scientific, And Cultural Organization (UNESCO). United Kingdom: Page Brother (Norwich) Ltd. Xv+581pp. Tabata R Scuba Diving Holidays. In Weiler B, and Hall C. (Eds.) Special interest tourism (pp ). London, UK: Belhaven Press. [TIES] The International Ecotourism Society TIES Definition of Ecotourism. BEB9/What_is_Ecotourism The_International_Ecotourism_Society.htm. [23 September 2010]. Tratalos J, Austin T Impacts of Recreational SCUBA Diving on Coral Communities of The Caribbean Island of Grand Cayman. Biological Conservation 102: Veron JEN Corals of The World, Vol. 1, 2, 3 (Ed. M. Stafford-Smith). Townsville Australian Institute of Marine Science. Walters R, Samways M Sustainable Dive Ecotourism on A South African Coral Reef. Biodiversity And Conservation 10: Wilkinson CR Coral Reefs of The World are Facing Widespread Devastation: Can We Prevent This Through Sustainable Management Practices. Proc. 7th Intl. Coral Reef Symp. 1: Wilkinson CR Status of Coral Reefs in Southeast Asia; Threats and Responses, Dalam RN. Ginsburg Ed. Global Aspects of Coral Reefs: Health, Hazards, and History (Miami, Florida: University of Miami): Wells JW The Coral Reef of the Marshall Islands. Prof. Pap. U.S. geol. Surv., 260-1: White AT, Vogt HP, Arin T Philippine Coral Reefs under Threat: The Economic Losses Caused By Reef Destruction. Mar. Poll. Bull. 40: Williams I, Polunin N Differences between Protected and Unprotected Reefs of The Western Caribbean in Attributes Preferred by Dive Tourists. Environmental Conservation 27: Yulianda F Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Departemen Manejemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor. Zakai D, Chadwick-Furman NE Impacs of Intensive Recreational Diving on Coral Reefs at Elliat, Northern Red Sea. Biological Conservation 105:

72 LAMPIRAN 57

73 Appendix 1 Data of substrate cover Site Longitude Latitude Depth (m) Live Coral (%) Dead Coral (%) Algae (%) Soft Coral (%) Rubble (%) Sand (%) Other Biota (%) '14.3'' E 05 55'43.38'' S 3 36,97 43,98 3,75-4,22 10,88 0, ,38 2,5 1,37 0,32 68, '54.5'' E 05 56'16.9'' S 3 39,15 15,28 9,53 36, ,3 30,98 0,28 20,3 6, '52.5'' E 05 55'27.3'' S 3 26,4 10,37 0,98 62, ,93 32,03 0,1 0,07 41,52 0,2 1, '22.4'' E 05 51'49.9'' S 3 42,35 22,55 1,25 2,43 31, ,97 22, , '34.2'' E 05 48'19.5'' S 3 22,73 58,87-3,62 13,27 1, ,72 9,18-0,97 41,78 2,15

74 Lampiran 2 Karang batu yang ditemukan di stasiun penelitian berdasarkan bentuk pertumbuhan (life-form) Stasiun No. Life-Form Jenis m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 1 ACB Acropora sp ACT Acropora clathrata Porites sp Seriatopora sp Anacropora sp Hydnophora sp CB Pocillopora sp Millepora sp Psammocora sp Leptoseris sp Diploastrea sp Cyphastrea sp Alveopora sp Galaxea sp Pachyseris sp Echinopora sp Leptoseris sp CE Cyphastrea sp Echynopora sp Euphyllia sp Astreopora sp Agaricia sp Merulina sp Siderastrea sp Montipora sp Turbinaria sp Echynopora sp CF 28 Pachyseris sp Sandalolitha sp

75 Lampiran 2 (lanjutan) Stasiun Life- No. Jenis Form 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 30 Favites sp Physogira sp Favia sp Symphyllia sp Lobophyllia sp CM Goniopora sp Coeloseries sp Goniastrea sp Blastomussa sp Plerogyra sp Platygira sp Porites lobata CMR Fungia sp Ctenactis sp Pavona sp Porites rus Coeloseries sp Montastrea sp CS Euphyllia sp Physogira sp Madracis sp Psammocora sp Barabattoia sp MA Padina sp SC Soft coral OT Diadema sp SP Sponge + +

76 Lampiran 3 Distribusi kehadiran kelompok ikan indikator pada stasiun pengamatan Family Spesies Stasiun m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus 1 1 Chaetodon anchorago Heniochus varius 1 Chaetodontoplus sp 2 Chaetodon baronessa Jumlah

77 Lampiran 4 (lanjutan) Family Spesies Stasiun m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m Pomacentridae Labridae Abudefduf bengalensis 1 Abudefduf sexfasciatus Abudefduf vaigiensis 1 Ambliglyphidodon sp Ambliglyphidodon sp Amphiprion clarkii 1 2 Amphiprion ocelaris Amphiprion sp 4 Chromis analis Chromis atripectoralis Chromis cyanea Chromis notata Chromis sp 1 Chromis ternatensis Chrysiptera cyanea 2 1 Dischistodus sp 1 Dischistodus sp Neoglyphidodon sp Neoglyphidodon sp Neopomacentrus sp 1 Pomacentrus sp Pomacentrus sp Plectroglyphidodon sp 1 Pomacentrus smithi Pomacentrus sp 1 Pomacentrus sp 2 3 Pomacentrus sp 2 Jumlah Bodianus sp 1 Cheilinus fasciatus Chlorurus sordidus 2 Diproctacanthus sp Epibulus insidator 1 Gomphosus varius 1 Halichoeres sp 4 Halichoeres sp Hemigymnus sp Halichoeres sp 1 Halichoeres sp 1 Halichoeres sp 1 Halichoeres sp Halichoeres vrolikii 1 Labroides dimidiatus Thalassoma lunare Jumlah

78 Lampiran 5 (lanjutan) Family Species Jml Ind. Kelimpahan (ind/ha) Serranidae Epinephelus hexagonatus 1 28,57 Cephalopholis argus 1 28,57 Lutjanidae Lutjanus lunulatus 1 28,57 Pomacentridae Chromis cyanea 8 228,57 Pomacentrus alexanderae ,71 Abudefduf sexfasciatus 2 57,14 Chromis atripectoralis 2 57,14 Dischistodus prosopotaenia 1 28,57 Ambliglyphidodon curacao 2 57,14 Ambliglyphidodon leucogaster 2 57,14 Chromis analis 4 114,29 Chromis ternatensis ,71 Pomacentrus burroughi ,71 Neoglyphidodon bonang 4 114,29 Chrysiptera cyanea 2 57,14 Caesionidae Caesio cuning ,43 Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus 3 85,71 Labridae Hemigymnus melapterus 1 28,57 Labroides dimidiatus 1 28,57 Thalassoma lunare 4 114,29 Cheilinus fasciatus 6 171,43 Halichoeres trimaculatus 1 28,57 Halichoeres purpuracens 1 28,57 Diproctacanthus xanthurus 1 28,57 Nemipteridae Scolopsis bilineatus 2 57,14 Scolopsis trilineatus 1 28,57 Scaridae Scarus rivulatus 1 28,57 Serranidae Cephalopholis argus 2 57,14 Cephalopolis boenak 1 28,57 Pomacentridae Chromis cyanea 1 28,57 Pomacentrus alexanderae ,00 Chromis atripectoralis ,43 Dischistodus prosopotaenia 1 28,57 Ambliglyphidodon curacao 5 142,86 Ambliglyphidodon leucogaster 3 85,71 Amphiprion ocelaris 1 28,57 Chromis analis 4 114,29 Chromis ternatensis ,29 Chromis notata 2 57,14 Neoglyphidodon melas 1 28,57 Chromis taeniometopon 1 28,57 Chrysiptera cyanea 1 28,57

79 Lampiran 6 Indeks kesesuaian wisata bahari kategori selam Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 No. Parameter Bobot 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S Skor B x S 1 Tutupan Karang Kecerahan Perairan Jenis Life form Jenis Ikan Karang Kecepatan Arus Kedalaman Terumbu N = Ni/Nmaks = 0,0926 0,0926 0,0926 0,0926 0, ,093 0,093 0,093 0,2778 0,2778 0,2778 0,2778 0,2778 0,278 0,2778 0,278 0,185 0,185 0,1111 0,1667 0,1667 0,1111 0,1667 0,167 0,1111 0,167 0,167 0,167 0,0556 0, ,0556 0,056 0,0556 0,056 0,056 0,056 0,0556 0,0556 0,0556 0,0556 0,0556 0,056 0,0556 0,056 0,056 0, , , , , ,056 Ʃ (Ni/Nmaks) = 0,5926 0,7037 0,5926 0,5926 0,6481 0,611 0,5 0,704 0,556 0,611 IKW = 59,259 70,37 59,259 59,259 64,815 61,11 50,00 70,37 55,56 61,11 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2 S2

80 Lampiran 7 Perhitungan daya dukung kawasan Lokasi Luas Terumbu Karang (ha) Tutupan Karang Hidup (%) Kategori IKW K Lp (m 2 ) Lt Lp/Lt Wt Wp Wt/Wp DD Sta. 1 78,88 32,18 S Sta. 2 67,96 40,73 S Sta. 3 91,48 24,67 S Sta. 4 27,50 42,66 S Sta. 5 85,06 34,23 S

81 Lampiran 8 Daftar rekapitulasi kuisioner SBE Penilaian Responden Terhadap Nilai Visual Terumbu Karang, Ikan dan Biota Lain di Perairan Pulau Biawak dan Sekitarnya Nomor Gambar Skor Jumlah Responden

82 No. Ikan Karang Nilai Ketertarikan Visual Skor Responden OT (Sponge) 27 OT (Diadema) 28 OT (Amplexidiscus sp) 29 OT (Trdagna gigas) 30 OT (Xestospongia sp)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data

3. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Jenis dan Sumber Data 5. METODOLOGI.. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di perairan laut pulau Biawak dan sekitarnya kabupaten Indramayu propinsi Jawa Barat (Gambar ). Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian selama 6 (enam) bulan yaitu pada bulan Mei sampai Oktober 2009. Lokasi penelitian dan pengamatan dilakukan di Pulau

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT)

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT) LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT) Metode pengamatan ekosistem terumbu karang Metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang menggunakan transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN

KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN KONDISI TUTUPAN KARANG PULAU KAPOPOSANG, KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN, PROVINSI SULAWESI SELATAN Adelfia Papu 1) 1) Program Studi Biologi FMIPA Universitas Sam Ratulangi Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Pelaksaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU

KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU JOURNAL OF MARINE RESEARCH KESESUAIAN PERAIRAN UNTUK WISATA SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BIAWAK, KABUPATEN INDRAMAYU Oscar Leonard J *), Ibnu Pratikto, Munasik Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 39 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung (Gambar 2). Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Hari Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Lokasi penelitian ditentukan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG SEBAGAI EKOWISATA BAHARI DI PULAU DODOLA KABUPATEN PULAU MOROTAI Kismanto Koroy, Nurafni, Muamar Mustafa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

By : ABSTRACT. Keyword : Coral Reef, Marine Ecotourism, Beralas Pasir Island

By : ABSTRACT. Keyword : Coral Reef, Marine Ecotourism, Beralas Pasir Island INVENTORY OF CORAL REEF ECOSYSTEMS POTENTIAL FOR MARINE ECOTOURISM DEVELOPMENT (SNORKELING AND DIVING) IN THE WATERS OF BERALAS PASIR ISLAND BINTAN REGENCY KEPULAUAN RIAU PROVINCE By : Mario Putra Suhana

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo 1.2 Sandrianto Djunaidi, 2 Femy M. Sahami, 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 dj_shane92@yahoo.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan

KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan KONDISI TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG PERAIRAN TULAMBEN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/288367/PN/11826 Manajemen Sumberdaya Perikanan INTISARI Terumbu karang adalah sumberdaya perairan yang menjadi rumah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU Urip Rahmani 1), Riena F Telussa 2), Amirullah 3) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan USNI Email: urip_rahmani@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik

TINJAUAN PUSTAKA. Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik 6 TINJAUAN PUSTAKA Pulau-Pulau Kecil Pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10.000 km 2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 orang. Secara ekologis terpisah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Tabel 1. Letak geografis stasiun pengamatan

3 METODE PENELITIAN. Tabel 1. Letak geografis stasiun pengamatan 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei hingga awal Agustus 2009. Lokasi penelitian berada di Zona Inti III (P. Belanda dan P. Kayu Angin

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN P. K o mo do Lab ua n Ba jo ROV. USA TENG GAR A B ARAT KA B. M AN G A RA IB A RA T P. R in ca S l t S m a e u a b KA B. SU M BA B AR A T Wa ik ab uba k P. SU MBA Wa in ga pu KA B. SU M BA T IM UR Ru ten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Fahror Rosi 1, Insafitri 2, Makhfud Effendy 2 1 Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura 2 Dosen Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata dan Ekowisata Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah memilikikontribusi ekonomi yang cukup penting bagi kegiatan pembangunan. Olehkarenanya, sektor ini

Lebih terperinci

Parameter Fisik Kimia Perairan

Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter Alat Kondisi Optimum Karang Literatur Kecerahan Secchi disk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan

Jenis data Indikator Pengamatan Unit Sumber Kegunaan 31 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lanskap wisata TNB, Sulawesi Utara tepatnya di Pulau Bunaken, yang terletak di utara Pulau Sulawesi, Indonesia. Pulau

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI

STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI STUDI KESESUAIAN PANTAI LAGUNA DESA MERPAS KECAMATAN NASAL KABUPATEN KAUR SEBAGAI DAERAH PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KONSERVASI Oleh Gesten Hazeri 1, Dede Hartono 1* dan Indra Cahyadinata 2 1 Program Studi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU Andri, Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji Ita Karlina,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 13 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Santolo, Kabupaten Garut. Pantai Santolo yang menjadi objek penelitian secara administratif berada di dua

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Firman Farid Muhsoni, S.Pi., M.Sc 1 Dr. HM. Mahfud Efendy, S.Pi, M.Si 1 1) Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian berlokasi di Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan yang berada di kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra, Desa Gili Indah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN KARANG DI PERAIRAN MAMBURIT DAN PERAIRAN SAPAPAN KABUPATEN SUMENEP PROVINSI JAWA TIMUR

PERSENTASE TUTUPAN KARANG DI PERAIRAN MAMBURIT DAN PERAIRAN SAPAPAN KABUPATEN SUMENEP PROVINSI JAWA TIMUR Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 6, No. 2, Agustus 21 ISSN :286-3861 PERSENTASE TUTUPAN KARANG DI PERAIRAN MAMBURIT DAN PERAIRAN SAPAPAN KABUPATEN SUMENEP PROVINSI JAWA TIMUR CORAL COVER PERCENTAGE

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH. Agus Indarjo

PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH. Agus Indarjo Jurnal Harpodon Borneo Vol.7. No.. Oktober. 04 ISSN : 087-X PEMETAAN KAWASAN EKOWISATA SELAM DI PERAIRAN PULAU PANJANG, JEPARA, JAWA TENGAH Agus Indarjo Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

THE CORAL REEF CONDITION IN BERALAS PASIR ISLAND WATERS OF GUNUNG KIJANG REGENCY BINTAN KEPULAUAN RIAU PROVINCE. By : ABSTRACT

THE CORAL REEF CONDITION IN BERALAS PASIR ISLAND WATERS OF GUNUNG KIJANG REGENCY BINTAN KEPULAUAN RIAU PROVINCE. By : ABSTRACT THE CORAL REEF CONDITION IN BERALAS PASIR ISLAND WATERS OF GUNUNG KIJANG REGENCY BINTAN KEPULAUAN RIAU PROVINCE By : Fajar Sidik 1), Afrizal Tanjung 2), Elizal 2) ABSTRACT This study has been done on the

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PULAU PONCAN KOTA SIBOLGA, SUMATERA UTARA 1

ANALISIS PENGELOLAAN TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PULAU PONCAN KOTA SIBOLGA, SUMATERA UTARA 1 ANALISIS PENGELOLAAN TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PULAU PONCAN KOTA SIBOLGA, SUMATERA UTARA 1 (Analysis of the Coral Reef Management for the Marine Ecotourism Development in Poncan

Lebih terperinci

Gambar 3 Lokasi penelitian.

Gambar 3 Lokasi penelitian. . METODOLOGI PENELITIAN.. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 8 yang berlokasi di Pulau Menjangan dan Teluk Terima dalam area Taman Nasional Bali Barat,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar. Potensi sumberdaya ini perlu dikelola dengan baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO

Lebih terperinci

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG

TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TEKNIK PENGUKURAN DAN ANALISIS KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG Oleh : Amrullah Saleh, S.Si I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo

KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH. Agus Indarjo Jurnal Harpodon Borneo Vol.8. No.. April. 05 ISSN : 087-X KESESUAIAN EKOWISATA SNORKLING DI PERAIRAN PULAU PANJANG JEPARA JAWA TENGAH Agus Indarjo Universitas Diponegoro Jl. Prof.Soedarto,SH. Tembalang.Semarang.Tel/Fax:

Lebih terperinci