BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. struktur dimana individu mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disabilitas adalah adanya kelemahan akibat masalah fungsi tubuh atau struktur dimana individu mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas ataupun melakukan suatu tindakan (WHO, 2014).Cakupan dari disabilitas terdiri dari mereka yang memiliki keterbatasan dalam fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka waktu yang cukup lama. Hal ini dapat mengahalangi partisipasi penuh dan efektivitas mereka dalam bermasyarakat (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Disabilitas dikelompokkan menjadi beberapa diantaranya adalah disabilitas mental (retardasi mental). Dalam Diagnostic and Stastitical Manual of Disorder edisi ke V(DSM V) nama retardasi mental diubah menjadi disabilitas intelektual (disabilitas mental) karateristik memiliki kerusakan pada seluruh kemampuan mental yang berdampak pada fungsi adaptifnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak disabilitas sekitar 7-10% dari total populasi anak yang ada.menurut data WHO pada tahun 2011 di Indonesia jumlah anak disabilitas mentalsebanyak 6,6 juta jiwa (Retnaningsih, 2013).Disabilitas mental merupakan masalah dunia yang besar terutama bagi negara berkembang, diperkirakan lebih dari 120 juta orang didunia menderita disabilitas mental.menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 dari 222 juta penduduk di Indonesia sebanyak 0.7% atau 2.8 juta jiwa adalah penyandang disabilitas.menurut data Riskesdas pada tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia yang mengalami disabilitas sebesar 8.3% dari total penduduk di Indonesia. 1

2 2 Dari data tersebut anak disabilitas mental menempati angka paling besar dibandingkan jumlah anakketerbatasan lainnya. Di Indonesia disabilitas mental merupakan masalah yang cukup besar yaitu sebanyak 1-3% dari jumlah penduduk indonesia menderita disabilitas mental, dari hal tersebut berarti 1000 pendudukdiperkirakan 30 penduduk menderita disabilitas mental kriteria disabilitas mental berat 1%, disabilitas mental sedang 12%, dan disabilitas mental ringan 80% (Risnawati dkk,2010). Berdasarkan kelompok usia sekolah menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 yang menyandang kelainan disabilitas mental sebanyak anak presentase 60% dialami oleh anak laki-laki dan 40% dialami oleh anak perempuan (Risnawati dkk, 2010). Jumlah seluruh siswasekolah dasar luar biasa kelas C (disabilitas mental) di Provinsi DIY pada tahun pelajaran 2016/2017 sebanyak 1816 siswa. Siswa tersebut terdistribusi di beberapa SLB di Wilayah Yogyakarta diantaraya,kabupaten Bantul (617), Kabupaten Sleman (575), Kabupaten Gunung Kidul (233), Kabupaten Kulonprogo (200), Kabupaten Kota Yogyakarta (191). Disabilitas mentaltermasuk salah satu masalah kesehatan mental anak yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perkembangan anak.selain itu American Association of Intellectual and Developmental Disabilities dalam Pateletal., (2010) menyatakan bahwa disabilitas mental merupakan bentuk kecacatan ciri adanya keterbatasan mengenai fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang diwujudkan dalam bentuk sosial, konsep, dan kemampuan adaptif.

3 3 Disabilitas mental dibagi dalam empat kategori berdasarkan tingkat intelegensinya, yaitu disabilitas mental ringan, disabilitas mental sedang, disabilitas mental berat, dan disabilitas mental sangat berat. Insidensi tertinggi pada penderita disabilitas mental adalah pada anak usia sekolah sampai usia puncak dibawah 18 tahun (Hai bo dkk., 2012). Disabilitas mental 1,5 kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibanding anak perempuan (Jurwanto, 2009). Anak disabilitas mentalmemiliki keterbatasan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya salah satunya adalah kebutuhan tidur. Tidur merupakan sebuah komponen yang penting bagi perkembangan dan pertumbuhan anak (Zahara, 2013). Tidur merupakan hal yang sangat esensial untuk fungsi sehari-hari (Mannion et al., 2014 cit Puspitasari 2016). Pola tidur berkembang sesuai usianya, pada saat bayi baru lahir akan tidur hampir sepanjang waktunya dan setelah umur 6 bulan bayi membutuhkan waktu tidur sebanyak 13 jam dalam sehari. Anak usia 2-4 tahun memerlukan waktu tidur sebanyak jam dalam sehari(selinaet al.,2012). Pada anak usia sekolah membutuhkan waktu tidur sebanyak 10 jam dalam sehari, dan biasanya jarang mengantuk pada siang hari. Masalah tidur dapat mengganggu pertumbuhan fisik, emosional, kognitif, dan sosial anak (Zahara, 2013).

4 4 Masalah tidur pada anak usia sekolah disabilitas dilaporkan lebih tinggi dibandingkan anak normal. Dari hasil yang dilakukan oleh Hai-bo danyuan-yuan (2012), masalah tidur pada anak retardasi mental lebih tinggi dibandingkan anak normal. Masalah tidur sering terjadi terutama pada masa anak-anak dan mungkin bisa bersifat sementara, intermiten ataupun kronis(selinaet al., 2012).Masalah tidur yang kronis dan dalam waktu yang lama mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak dan orangtua terutama masalah perilaku, dan prestasi anak serta masalah mental pada orangtuanya (Ayu, 2013).Masalah tidur juga dapat memperparah perilaku maladaptif seperti mencederai diri sendiri, tantrum, dan agresi (Goldmaan et al., 2011). Menurut yang dilakukan oleh Richdle dan Schreck (2009) pada anak yang mengalami gangguan perkembangan dan pertumbuhan diantaranya yaitu ASD mendapatkan hasil bahwa masalah tidur dapat terjadi karena berbagai faktor diantaranya adalah faktor psikologis, biologis, faktor sosial/lingkungan dan keluarga.beberapa anak disabilitas mental mempunyai berbagai macam masalah tidur diantaranya yaitu, kesulitan dalam memulai tidurnya, kesulitan dalam menjaga tidurnya, sering terbangun pada saat tidur dimalam hari, kekacauan dalam ritme sikardian, apnea, mendengkur, dan lain-lain. Semua kejadian itu menyebabkan buruknya kualitas tidur pada anak disabilitas mental.masalah tidur pada anak usia yang lebih kecil lebih mengalami penolakan tidur, kecemasantidur, parasomnias, dan bangun di malam hari (Goldman et al., 2012). Prevalensi masalah tidur diestimasikan 35-40% pada anak

5 5 usia sekolah (Oerkermann et al., 2007).Masalah tidur pada anak usia sekolah dilaporkan sekitar 9 % (Allik et al., 2006), 30-32% (Richdall, 1995; Krakowack, 2008), dan 50% (Polimeni et al., 2005). Masalah tidur juga dialami pada anak disabilitas. Anak usia 6-16 tahun disabilitas intelektual mengalami masalah pada tidurnya diantara adalah 53% kesulitan menjaga waktu tidur setiap harinya, 32% menangis berlebihan, 56,5% sering terbangun dimalam hari (Bartlett et al., 1985; Sue Cotton et al., 2006). Penelitian sebelumnya juga dilaporkan bahwa 44-46% (Wiggs et al., 1996; Krakowack, 2008) dan 73% anak disabilitas lain juga mengalami masalah tidur. Di Indonesia, masalah tidur pada anak dan remaja dilaporkan sekitar 37-38% (Nur ani, 2014). Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 23 Juni 2016 kepada 8 orangtua dan wali siswa kelas C SLB N 1 kuesioner The Chidren s Sleep Habit Quistionnaire (CSHQ) dan wawancara singkat pada saat pengisian kuesioner didapatkan hasil bahwa anak sering mengantuk pada siang hari, bisa tertidur sendiri saat sedang menonton televisi. Terdapat orangtua yang mengatakan apabila anak mengalami kelelahan setelah aktivitas yang dilakukan, pada malam hari saat anak akan memulai tidurnya anak sering rewel, dan lebih sulit dibangunkan pada pagi harinya, selain itu juga terdapat beberapa anak yang masih mengompol, selain itu juga didapatkan masalah tidur yang dialami pada anak disabilitas mental diantaranya kantuk pada siang hari(daytime sleepness) sekitar 8%, parasomnias sekitar 7% dan penolakan tidur (bedtime resistance) sekitar 6%.

6 6 Masalah tidur dipengaruhi banyak faktor diantaranya yaitu, menurut Berman et al.,(2008) dalam Prasetyo (2010) kualitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kondisi sakit, lingkungan, gaya hidup, stres emosional, stimulasi dan alkohol, diet, merokok, motivasi, pengobatan, latihan fisik dan kelelahan. Faktorlain yang juga dapat mempengaruhi masalah tidur pada anak adalah pada periode perinatal diantaranya proses kelahiran yang terlalu lama, berat badan lahir rendah kurang dari 2500 gram, prematirutas (< 37 minggu), umur kehamilan dan pendidikan, berat lahir, skor APGAR yang rendah (Touchette, 2011). Dari berbagai faktor yang mempengaruhi masalah tidur tersebut terdapat suatu yang dilakukan oleh Liuet al., (2012) kelelahan dan masalah tidur pada anak-anak dapat mempengaruhi kinerja kognitif yang buruk. Frekuensi tidur yang kurang dapat menyebabkan kelelahan. Masalah tidur yang berhubungan kelelahan biasanya oleh faktor-faktor seperti kebisingan, pencahayaan, dan lainnya. Apabila seorang individu mengalami kekurangan tidur, individu akan mengalami kelelahan (Andiningsari, 2009).Kelelahan dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur karena kelelahan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur (Apriana, 2015). Seseorang yang mengalami kelelahan akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya atau Non Rapid Eye Movement (NREM) menjadi lebih pendek (Hidayat, 2008). Menurut Lisa et al., (2015) kelelahan dan kantuk saling berkaitan, kantuk adalah keadaaan fisiologis normal dan mencerminkan

7 7 kecenderungan individu untuk tidur, sedangkan kelelahan merupakan kekurangan energi yang berhubungan gangguan fungsi fisik atau kognitif.kelelahan melibatkan aspek multidimensi fisik, emosi, kognitif, dan sosial (Arini, 2015).Adanya kelelahan dapat menyebabkan masalah yang berhubungan kesehatan mental (Arini, 2015). Selain itu juga kelelahan dan mengantuk dapat menyebabkan gangguan pada kognitif, gangguan pemusatan perhatian, dan gangguan konsentrasi (Neu etal.,2011). Sampai saat ini literatur, sumber informasi maupun kepustakaan yang lain tentang kelelahan dan masalah tidur pada anak disabilitas mental sangat terbatas. Masalah tidur pada anak disabilitas mental perlu dipelajari lebih lanjut, karena adanya gangguan tidur pada anak disabilitas mental akan dapat dilakukan terapi agar gangguan tidur dapat terkontrol dan mendapatkan hasil yang memuaskan saat setelah dilakukan terapi (Hendrianiet al.,2012) Berdasarkan latar belakang tersebut dan berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh, dapat disimpulkan bahwa anak disabilitas mental memiliki masalah tidur lebih tinggi dibandingkan anak normal. Masalah tidur yang sering muncul diantaranya adalah kantuk pada siang hari (daytime sleepness), parasomnias, penolakan tidur (bedtime resistance).oleh karena itu tertarik untuk melakukan dan mengetahui lebih lanjut mengenai masalah tidur pada anak disabilitas mental dan faktor yang mempengaruhi di SLB yang berada Kabupaten Bantul.

8 8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumusan permasalahan yaitu Bagaimana Hubungan Kelelahan Masalah Tidur Pada Anak Disabilitas Mental di Kabupaten Bantul?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kelelahan masalah tidur pada anak disabilitas mental di Kabupaten Bantul. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran kelelahan pada anak disabilitas mental di Kabupaten Bantul. b. Mengetahui gambaran masalah tidur pada anak disabilitas mental di Kabupaten Bantul. c. Mengetahui prevalensi masalah tidur pada anak disabilitas mental di Kabupaten Bantul. D. Manfaat Penelitian Manfaat ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis : Menambah keragaman pengetahuan dan yang dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu keperawatan anak tentang gangguan tidur dan kelelahan pada anak disabilitas mental.

9 9 2. Manfaat praktis : a. Bagi, dari hasil yang dilakukan diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang masalah tidur dan kelelahan pada disabilitas mental, serta dapat menambah pengalaman, melatih kemampuan dalam hal, khususnya anak disabilitas. b. Bagi partisipan, dapat dijadikan informasi bagi keluarga anak disabilitas mental sehingga keluarga lebih bisa memberi perhatian yang lebih terhadap kebutuhan tidurnya. c. Bagi perawat, diharapkan hasil ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan asuhan keperawatan pada anak disabilitas mental ketika mereka mengalami masalah dalam memenuhi kebutuhan tidurnya. d. Bagi instansi kesehatan, sebagai tambahan informasi kepada pihak instansi kesehatan terkait masalah tidur pada anak, khususnya anak gangguan perkembangan (disabilitas mental). e. Bagi masyarakat khususnya orang tua anak disabilitas mental, hasil ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi masyarakat mengenai masalah tidur pada anak khususnya pada keluarga anak yang mengalami retardasi mental.

10 10 E. Keaslian Penelitian Beberapa yang berhubungan Hubungan Kelelahan Masalah Tidur pada Anak Disabilitas Mental. : NO Judul Metode 1. Iwadare, et al (2013) Study of the sleep patterns, sleep habits, and sleep problem in Japanese elementary school children using the CSHQ- J Penelitian deskriptif subyek adalah 330 orangtua dari 296 siswa yang mengembalikan kuisioner (154 laki-laki dan 142 perempuan). Subjek dibagi menjadi 3 kelompok berdasakan kelas (Low-grade untuk kelas 1-2, middle grade untuk kelas 3-4, High grade untuk kelas 5-6). Menggunakan metode kuisioner Children's Sleep Habits Questionnaire versi Jepang (CSHQ- J) yang telah dikembangkan di jepang. Hasil Hasil menunjukkan bahwa pada kelompok kelas tinggi terjadi masalah tidur yaitu durasi tidur lebih pendek, dan pada kelompok kelas tengah lebih tinggi terjadi masalah durasi tidur dibandingkan kempok kelas rendah selain itu juga masalah tidur kantuk disiang hari terjadi lebih tinggi pada kelompok kelas tengah dibandingkan kelompok kelas tinggi sedangkan pada kelas rendah terjadi masalah tidur yaitu penolakan tidur, kecemasan tidur lebih, kantuk di siang hari lebih tinggi terjadi pada kelompok kelas rendah pada ini juga terletak pada subyek dan lokasi. Peneliti melakukan pada disabilitas mental sedangkan penulis melakukan pada normal. anak anak

11 11 Tabel 1. Lanjutan No Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian dibandingkan kelompok kelas tinggi. 2. Zahara (2013) Hubungan Antara Gangguan Tidur Pertumbuhan pada Anak Usia 3-6 tahun di Kota Semarang Penelitian observasional analitik desain crosssectional. Subjek adalah orangtua anak yang memiliki anak berusia 3-6 tahun di beberapa TK/TPA dan PAUD di Kota Semarang. Pengambilan data dilakukan metode wawancara kuesioner Disturbances Scale For Children (SDSC) yang terdiri dari 26 pertanyaan dan dikategorikan menjadi dua berdasarkan jumlah skor yang didapat, yaitu disebut gangguan tidur apabila skor 39 dan tidak gangguan tidur apabila skor 39. Dari total sampel 183 anak pada ini, didapatkan 146 anak (79,8%) mengalami gangguan tidur dan 37 anak (20,2%) tidak mengalami gangguan tidur. Gangguan memulai dan mempertahankan tidur merupakan jenis gangguan tidur yang terbanyak. yang akan dilakukan adalah pada responden dan instrument. Penulis subjek pada anak normal dari usia 3-6tahun, sedangkan subjek pada anak disabilitas mental usia 4-10 tahun. Penulis kuesioner.

12 12 Tabel 1. Lanjutan No Judul Penelitian Metode Penelitian sebanyak 183 anak, terdiri atas 146 anak mengalami gangguan tidur. Hasil Penelitian SDSC, sedangkan kuesioner CSHQ. 3. Rzepecka Halina, et al., Sleep, anxiety and challeging behaviour in children with intellectual disability and/or autism spectrum disorder Developmental Disabilities, : Penelitian ini metode cross sectional. Menggunakan metode kuesioner berdasarkan tiga varibel yang dikukur diantaranya adalah masalah tidur, kecemasan dan perilaku menantang. Subjek pada ini adalah orang tua atau wali dari anak-anak Intellectual Disability dan ASD dari Skotlandia yang direkrutberdasarkan perwakilan di masing-masing daerah. Semua peserta anak ID dan ASD yang berusia 5-18 tahun. Terdapat 187 orangtua dari anak ID dan ASD yang menyelesaikan Hasil dari ini menemukan korelasi positif yang signifikan antara masalah tidur, kecemasan, dan perilaku menantang pada anak-anak ID dan ASD. Berdasarkan analisis regresi didapatkan bahwa 42% masalah tidur dan kecemasan merupakan prediktor kuat. yang akan dilakukan adalah pada variabel dan lokasi.

13 13 Tabel 1. Lanjutan No Judul Penelitian Metode Penelitian dalam menjawab kuesioner.penilaian dilakukan kuesioner dari masing-masing variabel yang diteliti, masalah tidur : diukur CSHQ, kecemasan : diukur Spence Anak kecemasan Skala- Parental Version (SCAS-P) yang dikembangkan oleh Nauta et al., (2004), Perilaku Menantang: ini diukur menyimpang Perilaku Checklist- Community (ABC- C). Hasil Penelitian 4. Jin et al., Sleep Behaviour and Sleep Quality in Children with Autism Spectrum Disorder Elsevier Penelitian ini metode crosssectional. Dilakukan pada 84 anak autis dan 91 anak typicaldevelopment yang Hasil ini menyebutkan bahwa 75% anak ASD memiliki banyak gangguan tidur dan kualitas tidur yang buruk. penulis yaitu pada sampel, penulis sampel

14 14 Tabel 1.Lanjutan No Judul Penelitian Metode Penlitian Masson, (5): Tri Arini (2015) Hubungan antara Kelelahan Aktvitas Bermain pada Anak Leukimia Limfoblastik Akut yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sarjidto Yogyakarta, Indonesia berusia 3-12 tahun. Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dilakukan kuisioner CSHQ (Children s Sleep Habits Quistionaire) dan sleep diary. Metode yang digunakan dalam ini adalah cross sectional. Instrumen yang digunakan yaitu PedsQL MFS. Responden yang digunakan pada ini adalah anak kanker. Hasil Penelitian Hasil menunjukkan rerata skor total kelelahan laporan langsung dari anak dan orangtua berada pada skor antara 50-70, yang menunjukkan bahwa anak kadangkadang menuju hampir tidak pernah kelelahan. Skor total kelelahan berdasar laporan langsung dari anak (70,50) sedikit lebih rendah berdasarkan lapiran langsung orangtua (70,93). dan lokasi. Penulis melakukan pada anak autis sedangkan melakukan pada anak disabilitas mental di wilayah Yogyakarta. pada terdapat pada variabel. Peneliti melakukan variabel kelelahan dan masalah tidur sedangkan Arini (2015) variabel yang digunakan adalah kelelahan dan aktivitas bermain.