ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU H A M D A N

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU H A M D A N"

Transkripsi

1 ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU H A M D A N SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2007 Hamdan NIM. C

3 ABSTRAK HAMDAN. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu (Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, JOKO PURWANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan ARI PURBAYANTO Pembangunan perikanan pada masa lalu belum dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, diantaranya adalah rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan dan adanya indikasi tangkap lebih (over fishing) di beberapa wilayah perairan seperti Selat Malaka dan pantai Utara Pulau Jawa. Permasalahan lain yang timbul adalah kecenderungan beberapa daerah menjadikan sumberdaya ikan (SDI) sebagai sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Keadaan ini dikhawatirkan dapat menambah tekanan terhadap SDI akibat penangkapan ikan yang tidak terkendali karena tidak memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memberikan sumbangan terbesar terhadap produksi perikanan yaitu sekitar 43% dari total produksi perikanan tangkap Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2004 tingkat pemanfaatan SDI sebesar 203, 91% dari nilai MSY atau sebesar ton. Penelitian ini bertujuan mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu, mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh serta menentukan strategi pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Metode yang digunakan adalah Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) untuk mengetahui status keberlanjutan perikanan dan Data Envelope Analysis (DEA) untuk mengetahui jumlah alat tangkap yang optimal. Hasil analisis menunjukkan bahwa status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak berkelanjutan baik ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika maupun kelembagaan dengan masing-masing nilai indeknya di bawah 50, yaitu indek ekologi 25,27 26,34; ekonomi 39,72 39,95; sosial 43,10 43,61; teknologi 38,00 38,08; etika 29,33 30,85 dan kelembagaan 37,32 37,44 pada selang kepercayaan 95%. Hasil analisis menunjukkan tekanan lahan mangrove, besarnya subsidi, tingkat pendidikan yang rendah, mitigasi habitat dan transparansi merupakan faktor pengungkit utama. Terdapat 8 jenis alat tangkap utama yang digunakan para nelayan Indramayu yaitu purse seine, gillnet, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai dan dogol. Jumlah alat tangkap tersebut saat ini berdasarkan hasil analisis sudah melampaui carrying capacity yang ada. Alat tangkap yang efisien dengan nilai efisiensi 100% adalah jaring klitik, payang, gillnet, dan purse seine. Sedangkan, Alat tangkap yang tidak efisien adalah dogol (80%), sero (76,83%), pancing (66,55), dan pukat pantai (46,16%). Kondisi ini menunjukan bahwa alat-alat tangkap yang memiliki daerah penangkapan di luar Kabupaten Indramayu umumnya lebih efisien. Langkah-langkah kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu adalah (1) konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, (2) pengaturan jumlah alat tangkap, (3) penanganan pasca panen, (4) modernisasi armada besar yang beroperasi di wilayah lepas pantai, (5) pengurangan armada kecil yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, (6) pengembangan industri pengolahan ikan, (7) peningkatan kapasitas kelembagaan perikanan dan kelautan, (8) penyediaan mata pencaharian alternatif, dan (9) program pengkayaan stok. Kata Kunci: tangkap lebih, prinsip pembangunan berkelanjutan, kebijakan, perikanan tangkap, Indramayu.

4 ABSTRACT HAMDAN. Policy Analysis on Sustainability of Capture Fisheries Management in Indramayu District. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, JOKO PURWANTO, SUGENG BUDIHARSONO, and ARI PURBAYANTO. Fisheries development at past time have not been able to solve encountered problems, such as low fishermen s prosperity and an existing indication of over fishing in a several areas i.e. Malacca Strait and northern of Java island. Other problem occurred is the tendency of some regions to put marine resources as primarily revenue occurred in the regions. These conditions may increase the pressure to fisheries resource due to uncontrolled fishing activity that is not conducted based on sustainability development principle. Indramayu is one of districts in West Java Province which contributes fisheries product that is around 43% of total fish production in West Java Province. In 2004 the level of exploitation was 203,91% of MSY ( tons). The objectives of this study were to review the status of fishing sustainability in Indramayu, to analysis leverage factors that influence on management strategic of capture fisheries in Indramayu. The method used was Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) to clarify the status of sustainability, and Data Envelope Analysis (DEA) to know optimum fishing number can be used in Indramayu water. The analysis result showed that status of capture fisheries in Indramayu was not sustained based on ecology, economic, social, technology, ethic and institutional aspects with index value was less than 50. The value of ecology index was 25,27 26,34; economic index was 39,72 39,95; social index was 43,10 43,61; technology index was 38,00 38,08; ethic index was 29,33 30,85; and institutions index was 37,32 37,44 along with a significant test of confidence limit at 95%. Analysis result showed that the pressures on mangrove trees, subsidies, lower education level, and mitigation habitat were the main leverage factors. Eight types of the main fishing gears were used by Indramayu fishermen that are purse seine, gillnet, lampara, shrimp gillnet, lines, guiding barrier trap, beach seine, and shrimp boat seine net. Based on analysis result, the existing total number of fishing gears had exceeded carrying capacity. The most efficient fishing gear with 100% values are shrimp gillnet, payang gillnet, and purse seine. Where areas inefficient fishing gear are shrimp boat seine net (80%), guiding barrier trap (76,83%), pole and line (66,55%),and beach seine (46,16%). This condition showed that fishing gear with fishing ground in outside Indramayu water were mostly efficient. The alternative policies should be taken for fisheries management in Indramayu District are (1) mangrove conservation and rehabilitation, (2) fishing gear s amount supervision, (3) after harvest handling, (4) offshore operating large vessel modernization, (5) inefficient and responsible small vessel reduction, (6) fisheries Industry development, (7) increasing the capacity of fisheries and marine institution, (8) providing alternative livelihoods, and (9) stock enhancement program. Keywords: overfishing, sustainable development principle, policy, capture fisheries, Indramayu.

5 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.

6 ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KABUPATEN INDRAMAYU H A M D A N Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

7 Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Hamdan : C : Teknologi Kelautan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Ketua Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA (Alm.) Anggota Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 19 Januari 2007 Tanggal Lulus:

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1959 di Cipanas, Cianjur Jawa Barat dari bapak bernama Nanang Abdullah (alm) dan ibu bernama Aan Dasinah (alm). Pada tanggal 9 Desember 1984 penulis menikah dengan Tammani dan sampai saat ini telah dikaruniai satu orang putera yaitu : Oky Zulfikar Rahman dan satu orang puteri yaitu Anisa Hamdan. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri V Cipanas tahun Pada tahun 1975 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama Negeri Cipanas dan selanjutnya menyelesaikan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri di Bogor pada tahun Pada akhir tahun 1979 penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Sejak tahun 1981, penulis mengikuti kuliah S-1 di Fakultas Perikanan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun 1985 penulis diangkat menjadi staf pada Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Kegiatan-kegiatan kursus yang pernah diikuti selama menjadi staf tersebut adalah Orientasi Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) pada tanggal 24 Pebruari sampai 16 Maret 1985; kursus Administrasi dan Manajemen Pembangunan Pertanian di Universitas Indonesia mulai tanggal 23 Juni sampai 30 Agustus Selanjutnya pada tanggal 3 September sampai 27 Nopember 1990 penulis mengikuti General Course in Fisheries Science di Institute of Oceanography and Fisheries di kota Split Yugoslavia. Pada tanggal 13 Desember 1994 Penulis diangkat sebagai Kepala Seksi Pelaksanaan Program pada Direktorat Bina Program Ditjen Perikanan. Dalam jabatan tersebut penulis berkesempatan mengikuti Pelatihan Pemantapan Perencanaan Pembangunan Perikanan yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perikanan dari tanggal 22 sampai 27 Januari Pada tanggal 26 Nopember 1997 sampai 26 Januari 1998 mengikuti Diklat Administrasi Umum (ADUM) yang diselenggarakan di BPLP Bogor. Selanjutnya pada tanggal 8 Juni 1999 mendapat alih tugas sebagai Kepala Seksi Wilayah I. Pada tahun 2000 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Pascasarjana (S-2) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) IPWI Jakarta. Pada tanggal 6 Juni 2000 penulis diangkat sebagai Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DELP.

9 Selanjutnya pada tanggal 5 April 2001 mendapat alih tugas menjadi Kepala Bagian Program karena perubahan nomenlatur organisasi. Pada tanggal 26 Juni 2002 penulis mendapat alih tugas kembali sebagai Kasubdit Inventarisasi Sumberdaya Laut Potensial. Pada masa jabatan ini yakni tanggal 17 sampai 27 Juni 2003 mengikuti Training Marine Protected Area Management di James Cook University kota Townsville Australia. Sehubungan perubahan nomenklatur, pada tanggal 9 Agustus 2005 penulis menjadi Kasubdit Identifikasi dan Pemetaan Konservasi. Pada tanggal 25 sampai 26 Agustus 2005 penulis mengikuti Workshop Sulu Sulawesi Seascape Trinational Collaborator s Discussion di Kota Kinabalu Sabah Malaysia. Sejak tanggal 5 Desember 2005 penulis diangkat menjadi Asisten Deputi Urusan Industri Strategis pada Kantor Menko Bidang Perekonomian. Penulis menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana (S-3) Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor sejak tanggal 20 Oktober 2001 dan pada tanggal 19 Januari 2007 penulis dinyatakan lulus pada sidang Ujian Terbuka dihadapan Dewan Penguji yang terdiri dari Dr. Ir. Kadarwan Supardi (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan selaku pimpinan sidang); Prof. Dr. Daniel R. Monintja (Ketua Komisi Pembimbing); Dr. Ir. Sugeng Budiharsono dan Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc (selaku Anggota Komisi Pembimbing); Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo (mewakili Ketua Program Studi); serta Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc dan Dr. Maman Hermawan, M.Sc (selaku Penguji Luar Komisi).

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T, atas segala limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini berjudul Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Pada kesempatan ini penulis secara tulus menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja, Dr. Ir. Joko Purwanto, DEA. (Alm.), Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc., dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono sebagai Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan semangat, arahan dan bimbingan kepada penulis. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan staf, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, atas segala bantuan, perhatian dan penyediaan fasilitas selama penulis melaksanakan pendidikan. 3. Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. (Ketua Program Studi), Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc dan Dr. Maman Hermawan, M.Sc (Penguji Luar Komisi), Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, MS dan Dr. Ir. Akhmad Fa atas saran-saran penyempurnaan disertasinya. 4. Ir. Bambang Wahyudi, M.Sc yang telah memberikan ijin belajar saat menjabat Sekretaris Ditjen P3K Departemen Kelautan dan Perikanan; 5. Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS., Dr. Ir. V. Nikijuluw, M.Sc, keluarga besar Dit. KTNL dan Deputi IV Kantor Menko Perekonomian atas bantuannya. 6. Akhmad Solihin, S.Pi, Hawis S.Pi, M.Si, Amak Priatna S.Pi, S.Pi; Ir. RIP Lestari serta semua pihak yang telah memberikan sumbangan tenaga, pemikiran, informasi dan data yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. 7. Dra Hj. Tammani isteri setia, Oky dan Nisa ananda tersayang, Hj. Hasunah ibunda tercinta, Muzni Nazar yang dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa dan pengorbanannya. Akhirnya semoga Allah SWT membalas sesuai amal baiknya.. Bogor, Januari 2007 Hamdan i

11 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Pembangunan Berkelanjutan Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Kebijakan Pemerintah Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan Partisipasi Masyarakat Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Tangkap METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Kerangka Metodologi Pengumpulan Data Analisis Data dan Informasi KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Oseanografi ii

12 5.3 Potensi Sumber Daya Hayati Perikanan Sosial, Ekonomi dan Budaya Pulau-pulau Kecil HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Sumber Daya Perikanan Tangkap Analisis Kondisi dan Status Perikanan Tangkap Kabupaten Indramayu Analisis Tingkat Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap Pengukuran Kapasitas Perikanan Tangkap dengan Data Envelopment Analysis (DEA) ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi Faktor Pengungkit Dimensi Sosial Faktor Pengungkit Dimensi Teknologi Faktor Pengungkit Dimensi Etika Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Indikator pembangunan perikanan bertanggung jawab dan berkelanjutan Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.607/ Jenis dan sumber pengambilan data Indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang didaratkan di Kabupaten Indramayu Perkembangan luas lahan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu tahun Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di Kabupaten Indramayu pada tahun Perkembangan jumlah RTP dan armada berbagai jenis kapal di Kabupaten Indramayu pada tahun Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Indramayu pada tahun Jenis mangrove yang tumbuh di Kabupaten Indramayu Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95 % Hasil kajian nilai indeks dan nilai statistik pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu Total produksi aktual tangkapan tahunan seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu (dalam ton) Total produksi aktual tangkapan tahunan alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu (dalam ton) Data input dan output dalam analisis DEA Frontier Hasil analisis DEA Frontier dengan memasukkan seluruh variable Faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu Proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan Kabupaten Indramayu tahun iv

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian Bentuk penyusunan kebijakan publik Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan Lokasi penelitian Kerangka metodologi Prosedur RAPFISH menggambarkan perikanan berkelanjutan Proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan Pembatasan produksi model CCR Pembatasan produksi model BBC Perkembangan total produksi tahunan perikanan laut di Kabupaten Indramayu pada tahun Grafik perkembangan jumlah tangkap utama per tahun di Kabupaten Indramayu tahun Hasil ordinasi RAPFISH: indeks ekologi Kabupaten Indramayu Hasil analisis atribut pengungkit (Leverage Attributes) RAPFISH dimensi ekologi Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi ekologi Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi ekonomi Kabupaten Indramayu Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi ekonomi Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi ekonomi Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi sosial Kabupaten Indramayu Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi sosial v

15 21 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi sosial Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi teknologi Kabupaten Indramayu Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi teknologi Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi teknologi Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi etika Kabupaten Indramayu Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi etika Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi etika Hasil ordinasi RAPFISH indeks dimensi kelembagaan Kabupaten Indramayu Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi kelembagaan Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi kelembagaan Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95% Total produksi aktual tangkapan seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari (dalam ton) Produksi aktual semua alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan tangkap (dalam ton) Total produksi aktual tangkapan alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari (dalam ton) Produksi aktual seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan tangkap (dalam ton) Distribusi efisiensi alat tangkap perikanan di Kabupaten Indramayu Potensi perbaikan efisiensi alat tangkap Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pukat pantai vi

16 39 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pancing Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap sero Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap dogol vii

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Potensi perikanan tangkap Jawa Barat Dimensi dan Atribut RAPFISH Analisis MDS dengan menggunakan RAPFISH di Kabupaten Indramayu Daftar nama responden RAPFISH Daftar nama responden DEA Gambar alat tangkap di Kabupaten Indramayu viii

18 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan perikanan pada masa pemerintahan orde baru belum dapat memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, antara lain rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan dan adanya indikasi overfishing (tangkap lebih) di beberapa wilayah perairan seperti pantai Utara Pulau Jawa dan perairan Selat Malaka. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pada masa lalu yang lebih berorientasi kepada pembangunan di darat (continental oriented), sedangkan sektor perikanan dan kelautan belum mendapat perhatian dan bahkan menjadi sektor pinggiran (pheripheral sector). Memasuki era reformasi, sistem pemerintahan telah bergeser dari sentralistik menjadi desentralistik dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kini diganti oleh Undangundang Nomor 32 Tahun Undang-undang ini mengatur tentang kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (2) pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum; (5) pemeliharaan keamanan; dan (6) pertahanan kedaulatan negara. Pada awal pelaksanaan undang-undang tersebut muncul berbagai permasalahan di wilayah pesisir dan laut yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Contoh dari permasalahan tersebut adalah timbulnya konflik antar nelayan yang domisilinya berbeda kabupaten. Dalam ilmu sosiologi, konflik ini dikenal dengan istilah konflik primordial. Mereka beranggapan bahwa, nelayan dari kabupaten lain tidak boleh melakukan penangkapan ikan di wilayah perairannya. Hal ini merupakan penafsiran yang keliru terhadap Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

19 yang dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 18. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Pasal 3 dan Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 atau Pasal 18 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dimaknai oleh daerah sebagai daerah kekuasaan atau demarkasi. Padahal, makna kedua pasal tersebut adalah sebagai daerah pengelolaan dalam menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) dan bertanggung jawab (responsible fisheries). Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kesalahan penafsiran ini antara lain disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat. Ironisnya, maraknya multi tafsir yang salah yang dilakukan masyarakat daerah terhadap kedua pasal tersebut, pemerintah belum membuatkan aturan turunan atau peraturan pelaksanaan mengenai kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya di wilayah laut. Masalah lain yang timbul di sektor perikanan dan kelautan adalah adanya kecenderungan di beberapa daerah yang menjadikan sumber daya ikan menjadi salah satu sumber utama penghasilan asli daerah (PAD). Hal ini dikhawatirkan dapat menambah tekanan terhadap sumber daya ikan akibat penangkapan yang tidak terkendali karena tidak memperhatikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan. Di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan yang paling menonjol dalam perolehan PAD yang diantaranya dari sub sektor perikanan laut. Sekitar 43% produksi ikan laut Provinsi Jawa Barat berasal dari daerah ini. Namun yang mengkhawatirkan adalah tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pada tahun 2004 yang sudah mencapai 254,89% dari jumlah tangkapan yang 2

20 diperbolehkan (JTB) atau sekitar 203,91% dari hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/msy) yang hanya sebesar ,12 ton per tahun (Darsono. 2004). Hal ini dikhawatirkan upaya perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu tidak sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Dalam teori pembangunan berkelanjutan, selain aspek ekologi juga aspek sosial, ekonomi, hukum dan kelembagaan memegang peranan yang penting. Berdasarkan aspek ekonomi, pada umumnya nelayan, lebih khusus lagi para buruh nelayan masih miskin. Hal ini diperlihatkan dari pendapatan rata-rata nelayan di daerah pesisir Indramayu masih sekitar Rp per hari (Bappeda Indramayu 2000). Masih banyaknya masyarakat nelayan yang miskin merupakan indikasi bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan bukanlah merupakan hal yang mudah. Ada beberapa hal yang menyebabkan produktivitas dan pendapatan nelayan belum optimal, antara lain: (1) kualitas sumber daya manusia relatif masih rendah; (2) sarana dan prasarana perikanan belum memadai; (3) teknologi masih tertinggal; dan (4) kondisi lingkungan cenderung menurun (Bappeda Indramayu 2000). Berbagai masalah sosial, antara lain rendahnya kualitas SDM anggota rumah tangga nelayan (RTP) terlihat dari jumlah buta huruf mencapai 14,6% serta banyaknya jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah sekitar 31,81% (Supriyanto, 2003). Selain itu banyaknya pengangguran terselubung masyarakat pesisir Indramayu terlihat dari tingginya angka beban tanggungan atau rasio ketergantungan yang menggambarkan jumlah orang yang secara ekonomi tidak aktif per seratus penduduk yang aktif secara ekonomi. Peningkatan jumlah nelayan sebesar 72,16% dalam tujuh tahun terakhir yaitu dari rumah tangga pada tahun 1993, menjadi rumah tangga pada tahun 2000 yang sebagian besar merupakan nelayan skala kecil yang melakukan kegiatan penangkapan di daerah dekat pantai (kurang dari 4 mil). Kondisi ini berpotensi 3

21 memunculkan berbagai macam konflik persaingan dalam memanfaatkan sumber daya ikan (Bappeda Indramayu 2000). Berdasarkan aspek ekologi, terjadi kerusakan hutan mangrove sekitar 50% dari ha luas hutan mangrove yang ada serta kerusakan terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mencapai 47,58% (Diskan Jabar, 2004) mengakibatkan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya ikan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan tanpa memperhatikan kaidah ekologis. Hal lain yang mempengaruhi kelestarian sumber daya ikan di Indramayu adalah pencemaran. Di perairan Indramayu, pencemaran berasal dari tumpahan atau kebocoran pipa minyak PT Pertamina, limbah industri, sampah domestik maupun sedimentasi yang berasal dari sungai (Kompas, 2005). Berdasarkan aspek hukum dan kelembagaan, belum adanya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan perikanan, khususnya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Hal ini merupakan akar permasalahan tersebut di atas, karena tidak adanya perangkat hukum sebagai acuan dalam koordinasi antar instansi yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumber daya ikan, sehingga penegakan hukum tidak dapat terlaksana dengan baik. Fenomena permasalahan tersebut di atas mengakibatkan terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan dalam pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Dalam jangka panjang, contoh kasus tersebut dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan sumber daya ikan, berkurangnya keanekaragaman hayati hingga kepunahan beberapa jenis sumber daya ikan. Dengan demikian, perlu segera dilakukan langkah-langkah antisipatif untuk membenahi pengelolaan sumber daya ikan. Langkah-langkah pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan hendaknya mempertimbangkan berbagai aspek, yakni aspek ekologi, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan kelembagaan. 4

22 Diharapkan melalui analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dengan merujuk pada prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai implementasi perikanan yang bertanggung jawab dalam kerangka code of conduct for responsible fisheries (CCRF) 1995 dari FAO, maka permasalahan yang ada dapat di eliminasi dan diatasi dengan baik. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan yang ada di Kabupaten Indramayu dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kerusakan lingkungan, (2) over fishing, (3) konflik, (4) rendahnya tingkat pendapatan nelayan. Melihat banyaknya permasalahan yang ada dalam sektor perikanan dan kelautan khususnya perikanan tangkap, maka sudah saatnya kebijakan pengelolaan perikanan tangkap bersifat antisipatif dengan menekankan pada pentingnya suatu kelembagaan yang mampu meminimumkan kerusakan lingkungan dan mendorong akselerasi perekonomian serta perlindungan bagi masyarakat nelayan yang berpotensi menjadi korban kerusakan lingkungan. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu selaku pengambil kebijakan harus melihat potensi sumber daya ikan dan sumber daya manusia sebagai suatu modal pembangunan. Peluang daerah sangat besar dalam mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ikan dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, budaya masyarakat dan kelestarian fungsi ekologis sumber daya pesisir dan lautan. Pengelolaan potensi sumber daya ikan harus terencana dan terkendali pemanfaatannya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada masa kini dan masa yang akan datang. Di wilayah perairan Indramayu diduga potensi perikanannya sudah kritis, sehingga harus ada upaya dari pemerintah daerah untuk mengendalikan over fishing, agar dalam jangka panjang dapat memberikan manfaat dan dapat 5

23 meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi para nelayan. Apabila kita membiarkan perikanan dalam kondisi produksi faktual saat ini, dikhawatirkan tidak akan menghasilkan produksi perikanan yang efisien dan berkelanjutan. Oleh karenanya, perhatian terhadap tekanan pemanfaatan sumber daya ikan yang dikaitkan dengan jumlah potensi lestari harus menjadi fokus utama dalam menciptakan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Berbagai kajian telah banyak dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan topik dan tujuan yang berbeda (Lampiran 2). Sehubungan dengan faktafakta empiris di atas, maka fokus penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan? (2) Faktor-faktor pengungkit apa saja yang berpengaruh terhadap menciptakan keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu? (3) Strategi apakah yang dapat diterapkan di Kabupaten Indramayu? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Mengkaji status keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan. (2) Mengkaji faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu. (3) Menyusun strategi pengelolaan perikanan tangkap di lokasi penelitian. 6

24 1.4 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji mengenai kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berdasarkan analisis keberlanjutan sumber daya dan efisiensi penggunaan alat tangkap dengan membandingkan rencana strategis (Renstra) yang disusun Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan untuk jangka waktu lima tahun. Sedangkan batasan penelitian ini adalah: (1) Mengukur status keberlanjutan sumber daya perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu atas dasar enam indikator keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan. (2) Data produksi perikanan tangkap serta jumlah alat tangkap yang digunakan untuk menganalisis kebijakan ini diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, dengan mengenyampingkan daerah penangkapannya (fishing ground). 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: (1) Bagi para pemangku kepentingan perikanan tangkap terutama pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan. (2) Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan gambaran status keberlanjutan perikanan tangkap. (3) Bagi pengelolaan perikanan tangkap, penelitian ini diharapkan memberikan solusi yang konstruktif dalam menciptakan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan berdasarkan CCRF

25 (4) Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan menjadi rujukan terutama mengenai kondisi keberlanjutan sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu. 1.6 Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu pada masa kini tidak berkelanjutan. 8

26 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber daya ikan yang telah dikaji oleh Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa perikanan tangkap di kabupaten Indramayu sudah over fishing. Kenapa hal ini terjadi apakah jumlah alat tangkap dan armada kapal perikanan yang ada saat ini sudah melebihi batas yang optimum? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah di bidang perikanan tangkap baik sebelum maupun sesudah ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?. Khusus untuk efektivitas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya ikan perlu diketahui lebih lanjut adalah: (1) Apakah di dalam proses penyusunan kebijakan-kebijakan tersebut, sudah melibatkan masyarakat terkait dan bagaimana implikasinya di lapangan?. (2) Apakah kebijakan tersebut tidak menimbulkan konflik?. (3) Apakah kebijakan tersebut dapat dilaksanakan serta diterima masyarakat?. (4) Bagaimana dampak pemanfaatan sumber daya ikan terhadap aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan. Apabila hal tersebut telah dilaksanakan, maka akan diketahui status perikanan tangkap berdasarkan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Berdasarkan penelitian pendahuluan diperoleh hasil bahwa:

27 (1) Dari faktor ekologi terdapat tiga indikasi permasalahan, yaitu penangkapan sumber daya ikan berlebih (over fishing), kerusakan lingkungan, dan degradasi ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang). (2) Dari faktor sosial ekonomi diperoleh informasi bahwa tingkat kesejahteraan dan pendapatan nelayan sangat rendah, sumber daya manusia rendah, serta belum ada budaya konservasi. (3) Dari faktor teknologi terlihat bahwa produksi perikanan sudah tinggi, masih terdapat alat tangkap ilegal seperti jaring arad serta penggunaan bom dan racun yang tidak ramah lingkungan. Ada berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi aspek keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan, salah satunya adalah RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). Metode RAPFISH adalah teknik analisis yang dipakai untuk mengevaluasi keberlanjutan suatu kegiatan perikanan secara multidisipliner. Teknik RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) secara Multi Dimensional Scaling (MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik melalui transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam RAPFISH menyangkut aspek keberlanjutan ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, etika dan kelembagaan. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan sebagaimana diisyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) FAO1995. Menurut Imron (2000) terdapat tiga pendekatan yang dapat dipergunakan sebagai dasar pengelolaan sumber daya, yaitu (1) berdasarkan pertimbangan historis, (2) pertimbangan kepentingan ekonomi dan (3) pertimbangan aspek biooseanografi jangka panjang. Ketiga pendekatan ini sangat fungsional untuk dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan pengalokasiannya bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Pembangunan perlu melandaskan 10

28 pada kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan untuk memastikan bahwa ketersediaan sumber daya alam dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987). Sumber daya ikan merupakan salah satu sumber daya hayati yang terbukti memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kesejahteraan bangsa. Sifat sumber daya ikan meskipun dapat diperbaharui (renewable) namun perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya untuk menjamin keberlanjutan. Hal ini dikarenakan, sifat dari sumber daya ikan yang dikenal open acces telah memberi peluang dan anggapan bahwa setiap orang berhak dan bebas memanfaatkan dan memiliki sumber daya tersebut secara bersama-sama (common property resources). Tidak ada pelarangan sekaligus privilage bagi orang per orang atau kelompok dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Sifat sumber daya yang demikian menjadikan masyarakat perikanan banyak terjun dalam ranah perikanan tangkap. Usaha penangkapan memang diyakini mendatangkan keuntungan yang lebih besar dibanding ranah usaha perikanan lainnya seperti budidaya dan pengolahan. Upaya penangkapan diukur oleh seberapa besar produksi yang dihasilkan dari upaya tangkap. Sumber daya hayati yang melimpah ditambah sifat sumber daya yang open access mendorong masyarakat pemanfaat sumber daya ikan menjadikan produksi sebagai indikator dan target dalam pemenuhan aktivitas usaha penangkapan. Kondisinya menjadi berbahaya ketika upaya penangkapan tidak mengindahkan kaidah-kaidah keberlanjutan sumber daya. Akhirnya kelestarian sumber daya ikan menjadi terancam dan itu berarti keberlanjutan sumber daya juga terancam. 11

29 Tahapan kedua dalam kajian ini adalah mengetahui sejauh mana status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dengan mendasarkan pada pertimbangan berbagai aspek. Diketahuinya status perikanan bertujuan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil dalam rangka pembangunan perikanan berkelanjutan. Penilaian kelestarian sumber daya ikan umumnya didasarkan pada parameter dimensi biologi dan ekonomi sebagai indikator. Dengan perubahan paradigma pembangunan menuju ke arah paradigma pembangunan berkelanjutan, maka penilaian kelestarian sumber daya ikan mencakup lebih banyak aspek yang menjadi fokus kajian. Interaksi aspek-aspek tersebut menjadi indikator bagi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Beberapa aspek tersebut antara lain adalah aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan. Keenam aspek ini dipandang cukup merepresentasikan dan dapat mengindikasikan status usaha perikanan yang dilakukan di suatu wilayah/unit analisis. Penilaian dimensi ini diturunkan lagi dalam berbagai atribut yang mencirikan dimensi tersebut dengan mengacu pada Alder et al. (2000). Aspek ekologi dan teknologi menjadi barometer utama dalam penilaian status. Hal ini dikarenakan begitu pentingnya keberlanjutan lingkungan perairan beserta ekosistem dan biota didalamnya yang merupakan landasan bagi dibangunnya aspek lainnya. Dimensi ekologi diturunkan lagi menjadi beberapa atribut penciri seperti status ekploitasi, variabel peremajaan, perubahan rantai makanan, jarak migrasi dan atribut lainnya. Selanjutnya upaya penangkapan tentu didorong oleh motif ekonomi dan pemenuhan kebutuhan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan usaha penangkapan tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat perikanan/nelayan yang berada di wilayah tersebut dan memanfaatkan sumber daya ikan. Perilaku dan kondisi sosial 12

30 tersebut perlu dipotret untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya ikan tidak bisa dilepaskan dari pemanfaatan teknologi yang menjadi sarana dalam usaha perikanan tangkap. Untuk itu evaluasi terhadap dimensi teknologi beserta atribut pendukung juga tidak bisa dipisahkan. Pemanfaatan sumber daya ikan akan menjadi bias dan destruktif jika tidak dilandaskan pada kaidah-kaidah yang berlaku dan berkesesuaian dengan etika lingkungan. Tanpa mengindahkan etika lingkungan, maka jaminan kelestarian sumber daya ikan menjadi isapan jempol semata. Oleh karenanya, etika menjadi salah satu dimensi yang harus dikaji. Selanjutnya yang terakhir adalah dimensi kelembagaan. Kebijakan dan peraturan serta sumber-sumber aturan lokal yang berjalan di tengah masyarakat merupakan penentu bagi berjalannya arah usaha penangkapan. Aturan yang tidak berpihak dan bias, akan menghasilkan upaya-upaya penangkapan ynag destruktif dan pada gilirannya akan mengancam kelestarian sumber daya ikan. Indikator-indikator kelestarian sumber daya alam di atas sebelumnya telah diintrodusir dan diterima dalam komunitas ahli perikanan secara luas. Acuan dasar dalam penetapan dimensi dan atribut tersebut mengacu pada indikator yang dikembangkan oleh FAO dalam rangka implementasi CCRF Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing aspek/dimensi kelestarian, apakah mendukung atau tidak terhadap kelestarian sumber daya ikan dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis perikanan yang spesifik. Hasil analisis ini sangat penting agar dapat merumuskan kebijakan yang spesifik dapat dilakukan untuk aspek tertentu. Dasar dari penentuan status ini nantinya menjadi barometer dalam penentuan kebijakan apa yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan sumber daya ikan. Adapun indikator 13

31 pembangunan perikanan bertanggung jawab berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Indikator pembangunan perikanan bertanggung jawab dan berkelanjutan ASPEK INDIKATOR Ekologi Ekonomi Sosiologi Teknologi Etika Kelembagaan Diolah dari Alder et al. (2000) Status eksploitasi Keragaman rekrutmen Tekanan terhadap terumbu karang Tekanan terhadap mangrove Tingkat abrasi Sektor tenaga kerja Sumber pemasukan lain Penghasilan terhadap UMR Sarana Ekonomi Besarnya subsidi Waktu Waktu perbaikan Peran masyarakat Partisipasi keluarga Frekuensi konflik Penanganan di atas kapal Penanganan pasca panen Alat tangkap destruktif Fish Aggregating Divice Alat tangkap selektif Pengaturan perundangan Ikan yang terbuang Perikanan ilegal Hak untuk memasarkan Mitigasi habitat Lembaga kemitraan Limited entry Intensitas pemanfaatan Zonasi peruntukkan Transparansi Perubahan ukuran ikan Penangkapan ikan sebelum dewasa Jarak migrasi Jumlah spesies tertangkap Sedimentasi Besarnya pasar Transfer keuntungan Kontribusi PAD GDP per orang Keuntungan Tingkat pendidikan Pengetahuan lingkungan Pertumbuhan tenaga kerja Jumlah tenaga kerja pemanfaat Sosialisasi terhadap isu perikanan Kekuatan alat tangkap Ukuran kapal Rambu lalu lintas Jenis alat tangkap Penyebaran TPI Mitigasi ekosistem Aturan pengelolaan Equity in entry Alternatif Kedekatan dan kepercayaan Fungsionalisasi Personil Penyuluhan Peraturan adat istiadat dan nilai-nilai Peraturan formal Setelah mengevaluasi kebijakan yang ada, maka akan dicari suatu alternatif alokasi jumlah alat tangkap yang optimum dioperasikan menurut 14

32 jenisnya di wilayah perairan kabupaten Indramayu sebagai salah satu alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan melalui analisis tingkat efisiensi pemanfaatan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA). DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian (judgement) dari pengambil keputusan (Korhumen et.al., 1998 dalam Fauzi dan Anna, 2005). Pada analisis ini dibutuhkan data output (penerimaan bersih dan tenaga kerja) dan input (investasi, biaya per trip, biaya tetap, GT kapal serta jumlah hari dalam 1 trip. Selanjutnya dalam melakukan analisis tersebut juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan nasional yaitu Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya serta memperhatikan ketentuan internasional seperti CCRF Adapun tujuan dan target dari pengelolaan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan nelayan, meningkatkan PAD perikanan tangkap, menyerap tenaga kerja perikanan, dan mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan yang didasarkan pada pembangunan nasional berkelanjutan dengan memperhatikan aspek sosial, budaya, ekonomi, ekologi, hukum dan teknologi. Penyusunan analisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu dijelaskan pada diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian seperti pada Gambar 1 berikut ini. 15

33 SUMBER DAYA IKAN (Jenis, Sebaran, Potensi Lestari/MSY) Upaya Penangkapan Hasil Tangkapan Otonomi daerah KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN Tingkat Pemanfaatan EKOLOGI Over fishing Kerusakan Lingkungan Perairan, Lingkungan Pesisir STATUS PERIKANAN TANGKAP SOSIAL EKONOMI Kesejahteraan Rendah, Tidak Ada Budaya Konservasi, SDM Rendah TEKNOLOGI Berbagai jenis alat tangkap, ukuran kapal, dan fishing ground yang semakin jauh EVALUASI KEBIJAKAN Partisipasi Masyarakat Peraturan Perundang-undangan Pembangunan Berkelanjutan Sosiologi Ekonomi Budaya Teknologi Hukum Ekologi Ketentuan Internasional Alternatif Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN TUJUAN DAN TARGET PENGELOLAAN Peningkatan Kesejahteraan dan Pendapatan Nelayan, Peningkatan PAD Perikanan Tangkap, Penyerapan Tenaga Kerja Perikanan, Mewujudkan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Gambar 1 Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian. Keterangan: Batas Penelitian Feed Back Keterkaitan dan Hubungan 16

34 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengatur atau mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi 1999). Manusia menetapkan suatu kebijakan merupakan upaya manusia untuk mengetahui dan mengatasi sesuatu. Kebijakan dapat dibedakan menjadi kebijakan publik (public policy) dan kebijakan pribadi (privat policy). Salah satu kebijakan publik adalah pengelolaan perikanan tangkap. Mustodidjaja (1992) mendefinisikan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Menurut Hogwood dan Gun (1984) kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimasi untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan pribadi (individu atau lembaga swasta). Kebijakan publik memiliki dua ciri pokok, yaitu: (1) dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah; dan (2) bersifat memaksa atau berpengaruh terhadap tindakan pribadi masyarakat luas (public). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain atau lembaga lain. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalahmasalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang

35 menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga memberi landasan bagi pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan (Dunn 1998). Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternatif kebijakan terbaik guna mengatasi permasalahan atau untuk mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan. Metode analisis kebijakan diambil dari dan memadukan elemen-elemen dari berbagai disiplin: ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, filsafat. Analisis kebijakan sebagian bersifat deskriptif, diambil dari disiplin-disiplin tradisional (misalnya ilmu politik) yang mencari pengetahuan tentang sebab dan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Namun analisis kebijakan juga bersifat normatif; tujuan lainnya adalah menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan publik untuk generasi masa lalu, masa kini dan masa mendatang (Dunn, 1998) Hogwood dan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu kebijakan, yaitu studi kebijakan dan analisis kebijakan. Studi kebijakan dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Di dalam studi kebijakan terdapat beberapa aktivitas yaitu studi isi kebijakan dan studi evaluasi kebijakan sebagaiman Gambar 2 berikut. Gambar 2 Bentuk penyusunan kebijakan publik (Hogwood dan Gunn 1984). 18

36 Analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan cukup kompleks. Oleh karena itu, teori-teori semacam ini sering gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil keputusan mengendalikan dan memanipulasi proses kebijakan. Analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah. Selain itu, analisis kebijakan juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Dengan demikian, analisis kebijakan meliputi evaluasi maupun anjuran kebijakan. Dunn (1998) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah jenis analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dalam pemecahan terhadap komponen-komponen tapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah yang mendahului atau untuk mengevaluasi program yang sudah selesai. Terdapat 3 pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu: (1) pendekatan empiris, (2) pendekatan evaluatif dan (3) pendekatan normatif. 3.2 Pengelolaan Perikanan Dalam Ketentuan Umum Bab I pasal 1 ayat 7 Undang-undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan 19

37 keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. 3.3 Pembangunan Berkelanjutan Istilah berkelanjutan berasal dari Bahasa Inggris yaitu sustainability. Istilah ini sebetulnya bukan istilah baru. Di bidang kelautan dan perikanan istilah ini telah lama digunakan, yaitu maximum sustainable yield dan maximum sustainable catch. Istilah ini menunjukan besarnya hasil atau tangkapan maksimum yang dapat diperoleh secara lestari (Supardi 2003). Dengan kata lain, agar pemanfaatan sumber daya lestari, maka laju pemanfaatan itu harus lebih kecil atau sama dengan laju proses pemulihan sumber daya tersebut. Akhir-akhir ini, istilah berkelanjutan digunakan untuk konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial (Munasinghe 2002). Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati dan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi. Kebutuhan untuk kelangsungan hidup hayati adalah kebutuhan yang paling esensial, meliputi udara, air dan pangan yang harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat hidup sehat. Sedangkan kebutuhan untuk kehidupan manusiawi mempunyai arti untuk menaikan martabat dan status sosial (Supardi 2003). 20

38 Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dipublikasikan oleh The World Concervation Strategy pada tahun 1980 di Gland, Swiss dan menjadi pusat pemikiran untuk pembangunan dan lingkungan. Pada WCS tersebut pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai berikut : Sustainable development maintenance of essential ecological processes and life support systems, the preservation of genetic diversity, and the sustainable utilization of species and ecosystems. Definisi lain yang terkenal dikemukakan oleh World Commission on Environtment and Development (WCED) 1978, yang dikenal pula dengan nama Komisi Bruntland, adalah pembangunan yang memenuhi generasi kini tanpa membahayakan generasi mendatang untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan mereka (Budiharsono, 2006). Komisi tersebut terdiri dari banyak perwakilan dari negara maju dan berkembang serta melakukan pertemuan terbuka di berbagai negara. Dengan menjelaskan pengertian pembangunan berkelanjutan serta menerangkan implikasi dibaliknya, Komisi Bruntland kemudian mengidentifikasikan tujuh tujuan penting untuk kebijakan pembangunan dan lingkungan. Ketujuh tujuan tersebut, yaitu: (1) Memikirkan kembali makna pembangunan. (2) Merubah kualitas pertumbuhan (lebih menekankan pada pembangunan dari pada sekedar pertumbuhan). (3) Memenuhi kebutuhan dasar akan lapangan kerja, makanan, energi, air dan sanitasi. (4) Menjamin terciptanya keberlanjutan pada satu tingkat pertumbuhan penduduk tertentu. (5) Mengkonversi dan meningkatkan sumber daya. (6) Merubah arah teknologi dan mengelola resiko. 21

39 (7) Memadukan pertimbangan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan. Menindaklanjuti publikasi Our Common Future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin menentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan tujuan kebijakan dan lingkungan di atas, selain dapat meningkatkan kualitas hidup manusia, pembangunan juga mendukung prinsipprinsip kehidupan yang berkelanjutan. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1) menghormati dan memelihara komunitas kehidupan, (2) memperbaiki kualitas hidup manusia, (3) melestarikan daya hidup dan keragaman bumi, (4) menghindari sumber daya - sumber daya yang tidak terbarukan, (5) berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan gaya hidup orang per orang, (7) mendukung kreativitas masyarakat untuk memelihara lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan pelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global (Supardi 2003). Dalam pembangunan berkelanjutan terdapat tiga komponen utama yang sangat diperhitungkan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (Gambar 3). Setiap komponen tersebut saling berhubungan dalam satu sistem yang dipicu oleh kekuatan dan tujuan. Sektor ekonomi untuk melihat pengembangan sumber daya manusia, khususnya melalui peningkatan konsumsi barang-barang dan jasa pelayanan. Sektor lingkungan difokuskan pada perlindungan integritas sistem ekologi. Sektor sosial bertujuan untuk meningkatkan hubungan antar manusia, pencapaian aspirasi individu dan kelompok, dan penguatan nilai serta institusi (Munasinghe 2002). 22

40 Gambar 3 Bentuk pembangunan berkelanjutan yang didukung dengan kerangka trans-disiplin (Munasinghe 2002). Munasinghe (2002) menyatakan konsep pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada empat faktor, yaitu: (1) terpadunya konsep equity lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan keputusan; (2) dipertimbangkan secara khusus aspek ekonomi; (3) dipertimbangkan secara khusus aspek lingkungan; dan (4) dipertimbangkan secara khusus aspek sosial budaya. Dahuri (2001) menyatakan ada tiga prasyarat yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan yaitu: keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan berkelanjutan. Dari Gambar 3 mengindikasikan bagaimana menggabungkan kerangka sustainomics, dan dasar hubungan pengetahuan trans-disiplin, akan mendukung pendugaan komprehensif dan keseimbangan trade-off dan sinergi yang mungkin terjadi dalam pembangunan berkelanjutan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Keseimbangan juga diperlukan dalam pembangunan secara tradisional. Pendekatan dalam pembangunan berkelanjutan terus berkembang seiring kemajuan jaman, sehingga perlu adanya 23

41 perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tempat. Secara ideal pembangunan berkelanjutan tujuannya sangat tidak tersentuh. Oleh karena itu, berdasarkan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan, pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan harus memperhatikan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum. Hal ini berguna untuk menjamin keberlanjutan sumber daya pesisir dan lautan yang efisien dan efektif (Munasinghe 2002). Munasinghe (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa perkembangan dimensi ekonomi seringkali dievaluasi dari makna manfaat yang dihitung sebagai kemauan untuk membayar (willingnes to pay) terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi. Konsep modern dari keberlanjutan ekonomi adalah mencari untuk memaksimalkan aliran pendapatan atau konsumsi yang dapat menghasilkan. Efisiensi ekonomi memainkan peranan dalam memastikan alokasi sumber daya dalam produksi dan efisiensi konsumsi yang memaksimalkan pemanfaatan. Menurut Charles (2001) konsep pembangunan berkelanjutan mengandung aspek : (1) Keberlanjutan ekologi: memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem dengan perhatian utama. (2) Keberlanjutan sosio-ekonomi: memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan. (3) Keberlanjutan komunitas: keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. (4) Keberlanjutan kelembagaan: menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan. 24

42 Gambar 4 Bentuk segitiga pembangunan berkelanjutan (Charles 2001). Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi (dalam hal ini kebijakan perikanan tangkap) yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta. 3.4 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya ikan yang sangat besar baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,26 juta ton per tahun yang terdiri atas potensi di perairan wilayah Indonesia sekitar 4,40 juta ton per tahun dan perairan ZEE Indonesia sekitar 1,86 juta ton per tahun. Berdasarkan pengelompokan jenis ikan, maka potensi perikanan pelagis besar 1,05 juta ton, 25

43 pelagis kecil 3,24 juta ton, demersal 1,79 juta ton, dan udang 0,08 juta ton (DKP dan PKSPL 2001). Sumber daya ikan bisa diperbaharui, namun sumber daya ikan mempunyai batas-batas tertentu. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melebihi batas optimal (MSY), maka dapat mengakibat kerusakan dan terancamnya kelestarian (Tribawono, 2002). Oleh karena itu, untuk menciptakan pemanfaatan yang berkelanjutan, maka diperlukan suatu kebijakan terpadu untuk mengelola sumber daya ikan. Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 butir disebutkan bahwa sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan. Sedangkan pada butir 4 disebutkan bahwa ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Sebagaimana yang tertuang dalam penjelasan Undangundang No. 31 Tahun 2004, yang dimaksud dengan "jenis ikan" adalah: (1) Pisces (ikan bersirip); (2) Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya); (3) Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya); (4) Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya); (5) Echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya); (6) Amphibia (kodok dan sebangsanya); (7) Reptilia (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sebangsanya); (8) Mammalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan sebangsanya); (9) Algae (rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan (10) Biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas 26

44 Besarnya potensi sumber daya ikan di atas disertai dengan kompleksitas permasalahan, baik struktural maupun fungsional, khususnya pada era pemerintahan orde baru yang sentralistik. Hal ini dicerminkan dengan kemiskinan yang masih melilit masyarakat nelayan. Padahal laut Indonesia menyimpan potensi sumber daya ikan yang sangat besar. Adrianto dan Kusumastanto (2004) mengatakan bahwa paling tidak ada tiga hal yang menjadi penyebab ketidakseimbangan dalam pembangunan perikanan Indonesia, yaitu: (1) masih rendahnya muatan teknologi di sektor kelautan dan perikanan, yang dicerminkan dengan 87% perikanan tradisional; (2) lemahnya pengelolaan; dan (3) masih kurangnya dukungan ekonomi-politik. Dengan demikian, agar tercipta pembangunan perikanan berkelanjutan maka diperlukan kebijakan perikanan. Menurut Jones (1977), kebijakan perikanan adalah serangkaian keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh seorang aktor perikanan berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam situasi yang dikuasai oleh aktor atau kelompok tersebut. Lebih lanjut Jones (1977) menyatakan kebijakan perikanan adalah suatu keputusan pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah negara atau masyarakat nelayan. Kebijakan (policy) adalah rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan untuk meningkatkan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan merupakan suatu proses mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia yakni dengan cara menyerasikan aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung sumber daya alam. Perairan laut bersifat milik bersama (common resources), sehingga siapa pun dapat memanfaatkan sumber daya hayati yang ada didalamnya. Menurut Smith dan Marahuddin (1986), menyatakan bahwa istilah milik bersama merupakan pembagian hak-hak milik atas sumber daya 27

45 dimana beberapa pemilik mempunyai hak yang sama untuk menggunakan sumber daya ikan tersebut. Agar tidak terjadi konflik diantara pemanfaat laut, maka perlu dibuat peraturan perundang-undangan perikanan, baik yang berlaku secara lokal, nasional, regional maupun internasional. Dengan demikian, pengelolaan perikanan merupakan upaya yang dinamis, yaitu sesuai dengan perspektif para stakeholder yang senantiasa berkembang. Sebagai implikasi dari perkembangan perspektif tersebut, penyesuaian atau perubahan dapat terjadi pada tujuan, strategi dan kegiatan pengelolaan perikanan. Pada awalnya pengelolaan perikanan cenderung hanya bertujuan melestarikan sumber daya ikan. Namun pada perkembangan selanjutnya, tujuan ini semakin luas dengan adanya keprihatinan terhadap para pelaku utama, sehingga pengelolaan perikanan harus juga menguntungkan mereka. Pada saat kekayaan alam dianggap sebagai milik rakyat maka muncul perhatian agar sumber daya ikan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan saat ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya ikan dan kondisi lingkungan, memaksimumkan manfaat ekonomi sumber daya ikan, dan memastikan diterapkannya keadilan terhadap para pengguna yang telah memanfaatkan sumber daya alam milik umum tersebut (Sondita 2004). Dengan tujuan-tujuan tersebut, kegiatan perikanan diharapkan berkelanjutan. Sementara itu, kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan ialah keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang 2001). Kebijakan ini harus dipandang dalam konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat. Ini berarti bahwa kebijakan pengelolaan perikanan dan kelautan 28

46 termasuk ke dalam kategori kebijakan publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas. Untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian pengembangan kawasan pesisir, maka penanganan kawasan ini perlu memperhatikan pembangunan yang berorientasi kepada (DKP dan PKSPL 2001): (1) Kebijakan yang didasarkan kepada kesesuaian dengan adat istiadat dan budaya setempat. (2) Berbasis kepada masyarakat. (3) Berwawasan lingkungan dengan pengelolaannya yang berdasarkan pada azas lestari dan berkelanjutan. (4) Tidak diskriminatif terhadap semua pelaku pembangunan dan stakeholder di kawasan pesisir, namun mempunyai jiwa kepeloporan dalam pembangunan. Menurut Charles (2001), terdapat tiga komponen kunci dalam sistem perikanan berkelanjutan, yaitu: (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang mencakup nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial/ekonomi/budaya; dan (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan. Dengan demikian, dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Kompleks didefinisikan apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis (Charles 2001). Selanjutnya Charles (2001) mengungkapkan, bahwa dalam prakteknya, keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, yaitu: (1) banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3) 29

47 banyaknya kelompok nelayan beserta interaksinya dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4) banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi antar mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumber daya ikan, nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem perikanan. Sementara itu, menurut Bailey (1988), kebanyakan penangkapan ikan di daerah pantai di Asia Tenggara sedang mendekati atau telah melampaui ambang penangkapan yang menjadi syarat bagi pemanfaatan maksimum, karena peningkatan-peningkatan luar biasa dalam usaha penangkapan ikan selama dua dasawarsa terakhir ini. Jumlah nelayan kecil yang terus meningkat dan digunakannya alat penangkap ikan yang sangat efektif seperti pukat harimau telah menciptakan suatu ancaman yang serius terhadap sumber daya ikan yang cukup rentan ini. Ada pengakuan yang semakin besar akan perlunya menetapkan rencana-rencana pengelolaan yang efektif atas penangkapan ikan di daerah pantai guna menjamin terpeliharanya hasil-hasil yang tinggi untuk jangka panjang. Menurut Azis et al. (1998), wilayah penangkapan ikan di Laut Jawa diindikasikan telah mengalami over fishing pada berbagai jenis stok sumber daya ikan seperti udang, ikan pelagis kecil, dan cumi-cumi. Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya over fishing, yaitu jumlah nelayan, jumlah armada penangkapan, serta jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya over fishing karena kegiatan penangkapan yang semakin tidak selektif dan terjadinya kerusakan habitat sebagai akibat dari metode penangkapan yang merusak. Namun alat tangkap 30

48 legal juga tetap menyebabkan over fishing jika penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumber daya dalam melakukan pemulihan (DKP 2003). Terjadinya penangkapan secara berlebihan disebabkan oleh: (1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumber daya, termasuk perikanan tangkap; (2) sumber daya ikan bersifat akses terbuka sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan` (DKP 2003a). Laju eksploitasi sumber daya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumber daya, mempercepat proses kerusakan sumber daya ikan dan menurunnya pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan di masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan perikanan berkelanjutan. Menurut Gulland (1983), indikator terjadinya over fishing ditunjukkan dengan menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya CPUE. Berkurangnya jumlah dan komposisi spesies ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan. Hal ini diakibatkan selain oleh penangkapan berlebih juga oleh adanya tekanan terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya. Sumber daya ikan perlu dikelola secara baik untuk menjamin kelestariannya. Sumber daya ikan memiliki kelimpahan yang terbatas, sesuai daya dukung habitatnya. Sumber daya ikan dikenal sebagai sumber daya milik bersama yang rawan over fishing (Monintja dan Yusfiandayani 2001). Menurut Boer dan Azis (1995), salah satu tugas pengelola sumber daya ikan adalah menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable 31

49 Catch (TAC) yang akan didistribusikan menjadi porsi nasional (Domestic Harvesting Capacity/DHC). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut sebesar 5.01 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari potensi lestari (DKP 2002). Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan kondisi over fishing dan jumlah nelayan, maka menurut Nikijuluw (2002) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan. Beberapa tindakan pengelolaan perikanan dalam melakukan pengendalian sumber daya, diantaranya yaitu: pengendalian terhadap masukan (input controls), pengendalian keluaran (output controls), tindakan teknik (technical measures), pengelolaan berbasis ekologi (ecologically based management), dan instrumen ekonomi tidak langsung (indirect economic instruments) (Charles 2001) Pengendalian terhadap masukan (input controls) Ide dasar input controls adalah mengatur upaya tangkapan (fishing effort). Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam input controls, diantaranya yaitu: (1) Pembatasan masukan (limiting entry) (2) Pembatasan kapasitas kapal (limiting the capacity per vessel) (3) Pembatasan intensitas operasi (limiting the intensity of operation) (4) Pembatasan waktu penangkapan (limiting time fishing) (5) Pembatasan lokasi penangkapan (limiting the location of fishing) Pengendalian terhadap keluaran (output controls) Ketika input controls fokus pada pembatasan berbagai komponen upaya tangkapan, output controls fokus pada seluruh tangkapan yang diambil dari stok 32

50 ikan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam output controls, diantaranya yaitu: (1) Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch) (2) Kuota individu (individual quota) (3) Kuota masyarakat (community quota) (4) Pengendalian (escapement controls) Tindakan teknik (technical measures) Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam tindakan teknik, diantaranya yaitu: (1) Pembatasan alat tangkap (gear restrictions) (2) Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumber daya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu, kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien. (3) Pembatasan ukuran (size limits) (4) Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap. Penerapan kebijakan ini secara tunggal (tidak diikuti oleh kebijakan lain), akan mengakibatkan tidak terkontrolnya jumlah hasil tangkapan, karena jumlah kapal yang melakukan penangkapan tidak terkontrol. (5) Penutupan kawasan (closed area) 33

51 (6) Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanen, atau dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara yang menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat tangkap tertentu. (7) Penutupan musim (closed season) (8) Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumber daya ikan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim penegakan hukumnya sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumber daya ikan yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington dan Ratting diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk penutupan musim, yaitu : (1) Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan ikan melakukan aktivitas pemijahan & berkembang biak (2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumber daya ikan telah mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu, dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumber daya ikan yang masih tersisa untuk memperbaiki populasinya Pengelolaan berbasis ekologi (ecologically based management) Pengelolaan berbasis ekologi merupakan salah satu metoda alternatif untuk pengelolaan ekosistem sumberdaya ikan. The Ecosystem Principles Advisory Panel (EPAP), menyatakan bahwa pengelolaan berbasis ekologi mengemban sedikitnya empat aspek utama, yaitu: (1) interaksi antara target species dengan predator, kompetitor dan spesies mangsa; (2) pengaruh musim 34

52 dan cuaca terhadap biologi dan ekologi ikan; (3) interaksi antara ikan dan habitatnya; dan (4) pengaruh penangkapan ikan terhadap stok ikan dan habitatnya, khususnya bagaimana menangkap satu spesies yang mempunyai dampak terhadap spesies lain di dalam ekosistem (Wiyono 2006). Selanjutnya Wiyono (2006) menjelaskan bahwa pada tataran pelaksanaan, EBM sering dikaitkan dengan marine protected area (MPA), yang didefinisikan sebagai suatu wilayah yang populasi sumberdayanya bebas eksploitasi. Tujuan MPA adalah untuk melindungi sumber daya dari eksploitasi agar sumber daya tersebut pulih kembali. Disamping meningkatkan ukuran ikan, MPA juga diharapkan mampu mengembalikan stok sumber daya yang telah rusak. Khususnya bagi pengelolaan perikanan di Indonesia, mereka secara tegas mengusulkan untuk mengganti metoda pendekatan pengelolaan perikanan yang selama ini didasarkan pada nilai MSY dengan MPA Instrumen ekonomi tidak langsung (indirect economic instruments) Dalam mengelola sumber daya ikan, pemerintah dapat pula mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat tidak langsung. Kebijakan ini pada umumnya berkaitan erat dengan biaya dan harga, diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Penerapan Pajak dan Subsidi Penerapan pajak maupun subsidi pada hakekatnya adalah kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, dan akan berpengaruh pada struktur biaya produksi. Pencabutan atau penurunan pajak serta pemberian subsidi akan memberikan pengaruh pada semakin rendahnya biaya produksi, dari sini diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan pada tingkat produksi yang sama. Sebaliknya, pengenaan pajak serta pencabutan subsidi akan berdampak pada meningkatnya biaya produksi, dan hal ini dapat 35

53 mempengaruhi kesejahteraan nelayan, termasuk kelestarian sumber daya ikan. 2) Strategi Harga dan Pemasaran Kebijakan ini adalah bentuk lain dari upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Sistem pemasaran serta harga yang baik akan memberikan dampak peningkatan pada kesejahteraan nelayan, dan pada akhirnya diharapkan akan berdampak pula pada semakin ringannya tekanan terhadap sumber daya ikan yang ada. Hal ini disebabkan strategi harga dan pemasaran yang tepat, dapat berdampak pada perolehan harga ikan yang optimal dan pada akhirnya akan memberikan pendapatan yang optimal pula. 3.5 Kebijakan Pemerintah Dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. 18/Men/2002 tentang Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun , disebutkan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai suatu organisasi perikanan yang bertanggung jawab melaksanakan sebagian tugas pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Lembaga ini memiliki tugas pokok dalam membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan dalam bidang kelautan dan perikanan. Adapun fungsinya antara lain adalah melakukan: (1) Penetapan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan untuk mendukung pembangunan secara makro. (2) Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di bidang kelautan dan perikanan. (3) Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil. 36

54 (4) Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah laut diluar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya. (5) Penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan hukum laut internasional. (6) Pemberian ijin di bidang kelautan dan perikanan, di wilayah luar 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya, serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan landas kontinennya. Over fishing secara simultan disebabkan oleh baik armada perikanan tangkap skala industri (industrial fisheries), perikanan sekala kecil (artisanal fisheries), perikanan yang bersifat rekreasional maupun komersial, penangkapan oleh nelayan asing maupun lokal, dan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang illegal maupun legal. Perikanan skala kecil menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya. Perikanan skala besar yang sangat potensial sebagai penyebab over fishing terutama karena lemahnya penegakkan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort. Sistem manajemen perikanan konvensional saat ini masih berpedoman pada: (1) pembatasan volume hasil tangkapan; (2) pembatasan alat tangkap (ukuran mata jaring), (3) pembatasan effort (jumlah alat tertentu). Menurut Fauzi dan Anna (2005) dari hasil analisis ekonomi sumber daya didapatkan kondisi perairan pesisir yang sangat padat. Hal ini dapat terjadi karena perikanan bersifat quasi open accees. Untuk efisiensi pemanfaatan sumber daya ikan harus melakukan rasionalisasi armada penangkapan dengan membatasi jumlah armada. Pengaturannya yaitu kapasitas 0 10 GT izin 37

55 operasinya tetap di perairan pesisir hingga 4 mil. Untuk kapasitas GT sebaiknya diarahkan beroperasi ke perairan yang berjarak lebih dari 12 mil. Jalur penangkapan ikan bertangung jawab disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.607/1976 Jalur penangkapan 0 3 mil 3 7 mil 7 12 mil Tertutup bagi Kapal penangkapan ikan bermesin dalam (Inboard) berukuran diatas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring Trawl, jaring pukat (Purse Seine), jaring lingkar (Gillnet), jaring hanyut tongkol (Drift gill net) dan jaring (pukat) di atas 120 meter panjang rentang (Saine Nets Longer) Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 25 GT atau berkekuatan di atas 50 DK; jaring Trawl dasar berpanel (Otter Board) yang panjang taliris atas/ bawahnya di atas 12 meter, jaring trawl melayang (Pelagic Trawl), jaring trawl yang di tarik 2 kapal (Pair Trawl), dan pukat cincin yang panjangnya di atas 300 meter Kapal penangkap ikan inbord berukuran di atas 100GT atau berkekuatan di atas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel (Otter Board) yang panjang tali ris atas/ bawahnya di atas 20 meter, pair trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di atas 600 meter mil Pair trawl, kecuali di perairan Samudra Indonesia Dalam konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan FAO melalui perikanan yang bertanggung jawab (code of conduct for responsible fisheries) dan kelestarian sumber daya ikan dengan cara memanfaatkannya seoptimum mungkin, menjadi fokus perhatian dunia. Upaya perencanaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya ikan secara komprehensif dan berhasil guna, hendaknya ditindak-lanjuti dengan penyiapan pembangunan yang baik. Dengan pengelolaan yang tepat dan optimal, maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat nelayan (Purbayanto et al. 2004). 38

56 Sumber daya ikan itu sangat penting bagi pembangunan yang berbasis sumber daya (resource-based development). Tanpa sumber daya, pembangunan perikanan tidak akan ada. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya ikan adalah jantungnya pembangunan perikanan. Jika ada upaya untuk mengelola sumber daya ikan, secara implisit hal tersebut berarti menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan. Sebab itu, tujuan mengelola sumber daya sering juga disamakan dengan tujuan pembangunan perikanan (Nikijuluw 2002). Di kawasan Asia Tenggara, tujuan sosial dan ekonomi seringkali bertentangan dalam pengelolaan penangkapan ikan daerah pantai. Di negara yang pemerintahannya menekankan tujuan-tujuan ekonomi, kebijaksanaan ditujukan untuk menjamin persediaan ikan yang memadai dengan harga yang dapat dijangkau oleh para konsumen lokal, guna meningkatkan pendapatan valuta asing dari sektor produk-produk perikanan seperti udang, dan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi (tingkat keuntungan) dalam sektor perikanan (Bailey 1988). Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu hasil kesepakatan dalam konferensi FAO pada tanggal 31 Oktober 1995 untuk menyusun petunjuk teknis perikanan bertanggung jawab. Tata laksana ini menjadi azas dan standar internasional mengenai pola perilaku praktek bertanggung jawab dalam pengusahaan sumber daya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan sumber daya hayati (DKP, 2003a). Kebijakan dan perencanaan perikanan merupakan elemen paling kritis dalam sistem pengelolaan perikanan. Efektivitas pengelolaan perikanan 39

57 didasarkan pada tujuan sosial dan melalui penggunaan kebijakan serta perangkat birokrasi yang sesuai (Charles 2001). Perikanan tangkap merupakan kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara bebas. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Terdapat beberapa aspek yang berpengaruh dalam kegiatan perikanan tangkap untuk dikembangkan di suatu kawasan konservasi, antara lain: (1) aspek biologi, berhubungan dengan sediaan sumber daya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan spesies, (2) aspek teknis, berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di kapal, fasilitas pendaratan dan fasilitas penanganan ikan di darat, (3) aspek sosial, berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja serta dampak usaha terhadap nelayan, dan (4) aspek ekonomi, berkaitan dengan hasil produksi dan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders (Charles 2001). 3.6 Aspek Pengelolaan Daerah Penangkapan Ikan Meskipun sumber daya ikan mempunyai sifat dapat pulih tetapi mudah mengalami kemunduran akibat adanya gangguan-gangguan lingkungan termasuk kegiatan penangkapan yang berlebihan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan sumber daya ikan terhadap upaya penangkapan yang lebih harus dilakukan secara seksama, dan dengan selalu mengikuti perkembangan tingkat eksploitasi dari sumber daya ikan tersebut. Pengalihan daerah penangkapan ikan perlu dilakukan apabila produksi hasil tangkapan di perairan daerah-daerah penangkapan tersebut telah melebihi 40

58 potensi lestari, untuk itu diperlukan daerah penangkapan baru yang belum terjangkau banyak oleh nelayan. Pemanfaatan sumber daya ikan yang berkelanjutan menuntut pemanfaatan yang tidak melebihi ambang batas dari daya replika dan reproduksi dari sumber daya ikan dalam periode waktu tertentu. Oleh karena itu, laju pemanfaatan sumber daya ikan tidak boleh lebih dari ambang pulih (potensi lestari). Dalam bidang perikanan tangkap, pedoman tingkat penangkapan suatu stok ikan tidak boleh melebihi 80% dari nilai MSY. Menurut DKP (2003b), konsep dasar program sistem intensif CCRF adalah: (1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan. (2) Pengembangan organisasi, manajemen, dan kelembagaan. (3) Pengembangan teknologi alat penangkap ikan yang selektif dan ramah lingkungan. (4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan. (5) Peningkatan mutu hasil perikanan. (6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktifitas penangkapan ikan. (7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir. Menurut DKP (2003b), dalam pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) harus mengedepankan prinsip-prinsip kehati-hatian (precautionary approach) baik dalam pengelolaan, penelitian, teknologi, dan introduksi spesies. Dalam pendekatan kehati-hatian ini perhitungan ketidakpastian dalam sistem perikanan dan kebutuhan mengambil tindakan dengan pengetahuan yang terbatas. Maksud diberlakukannya CCRF dalam sub sektor perikanan tangkap adalah untuk menjamin konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati perairan melalui 41

59 perlindungan ekosistem dan keragaman hayati. Oleh karena itu harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut : (1) Pertimbangan akan kebutuhan generasi mendatang dan menghindari perubahan-perubahan yang secara potensial tidak pulih. (2) Identifikasi sebelumnya tentang akibat yang tidak diinginkan dan langkahlangkah yang akan menghindari atau memperbaikinya dengan segera. (3) Setiap langkah-langkah perbaikan yang diperlukan harus mencapai tujuannya segera. (4) Jika dampak yang mungkin timbul dari pemanfaatan sumber daya ikan adalah tidak pasti, maka prioritas harus diberikan pada melestarikan kapasitas produksi dari sumber daya tersebut. (5) Kapasitas pemanenan dan pengolahan harus sepadan dengan tingkat perkiraan lestari sumber daya dan bahwa peningkatan kapasitas harus dipertahankan apabila produktivitas sumber daya sangat tidak pasti. (6) Semua kegiatan penangkapan ikan harus mempunyai otoritas terlebih dahulu dan mengacu pada tinjauan ulang secara berkala. (7) Perlu sebuah kerangka hukum dan kelembagaan yang ditetapkan bagi pengelolaan perikanan. (8) Penempatan yang tepat dari beban bertanggung jawab pembuktian yang memuaskan dengan cara mengikuti syarat-syarat sebelumnya. 3.7 Partisipasi Masyarakat Untuk mencapai pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan dan demi menghindari apa yang umumnya dikenal dengan tragedi milik bersama, pengelolaan harus dilakukan secara bersungguh-sungguh. Umumnya diasumsikan bahwa pengelolaan sumber daya ikan adalah tanggung jawab pemerintah. Sebaliknya pengguna atau mereka yang memanfaatkan sumber 42

60 daya terdiri dari nelayan, koperasi nelayan, masyarakat desa pantai, perusahaan swasta dan asing, merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya ikan (Bailey 1988). Peran serta mengandung arti: (1) kegiatan atau pernyataan untuk ikut mengambil bagian dalam suatu kegiatan; (2) kerjasama dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Peran serta dalam pengelolaan lingkungan berarti peran serta seseorang atau sekelompok masyarakat dalam proses pemanfaatan, pengendalian dan penilaian lingkungan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pengelolaan lingkungan. Besarnya manfaat lingkungan yang dapat dinikmati oleh pelaku peran serta sangat tergantung pada mutu sumbangannya dalam pengelolaan lingkungan. Sementara itu besar dan mutu sumbangannya dalam pengelolaan sangat tergantung pada tingkat kemampuan serta tingkat kesempatan yang diperoleh untuk berperan serta dalam proses pengelolaan lingkungan tersebut (Bailey 1988). Pengelolaan sumber daya ikan sebagai pedoman dalam pengelolaaan perikanan tangkap yang merupakan alat untuk memacu produktivitas dan evaluasi serta pengawasan. Menurut Bailey (1988), sasaran-sasaran sosial dalam pengelolaan industri penangkapan ikan akan meningkatkan penciptaan kesempatan kerja dan hasil yang wajar bagi jumlah terbesar mereka yang membutuhkan pekerjaan. Kriteria ini menguntungkan kebijakan yang mendukung unit-unit produksi ukuran kecil yang mempekerjakan lebih banyak orang dalam jumlah yang cukup besar per satuan investasi, yang mengakibatkan pembagian pendapatan yang lebih luas dan lebih wajar, dan penyebaran pemilikan modal bagi banyak rumah tangga. 43

61 Pentingnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: (1) langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan perikanan tangkap yang dilaksanakan; (2) sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat; dan (3) masyarakat mempunyai hak urun rembuk dalam menentukan program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka (Nikijuluw 2002). 3.8 Dasar Hukum Pengelolaan Perikanan Tangkap Hukum internasional 1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau yang juga dikenal dengan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) banyak mengatur mengenai pengelolaan perikanan. UNCLOS 1982 ditandatangani oleh 119 negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 yang terdiri dari 17 bab, 320 pasal dan 9 lampiran serta beberapa resolusi pendukungnya. Peristiwa ini merupakan puncak dari kegiatankegiatan United Nation Sea-Bed Committee dan Konferensi PBB. Sebagai suatu perangkat hukum laut yang baru, di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan internasional yang telah ada, UNCLOS 1982 ini juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif (progresive development) dalam hukum internasional. Di dalam UNCLOS 1982, pengaturan hal-hal yang berkaitan dengan perikanan dimasukan ke dalam Bab 5 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. UNCLOS 1982 menetapkan berbagai aturan untuk perlindungan dan pemanfaatan dari 44

62 sumber-sumber perikanan dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) serta hak-hak dan kewajiban negara pantai dalam kaitan dengan sumber-sumber hayati tersebut. Pada Pasal 61 UNLOS 1982 diatur mengenai negara pantai (coastal state) yang harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) agar terhindar dari kegiatan eksploitasi yang berlebihan. Tindakan-tindakan tersebut bertujuan dalam memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari. Aturan selanjutnya adalah mengenai kegiatan kerjasama penangkapan ikan di ZEE. Pada Pasal 62 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa bagi negara pantai yang tidak mempunyai kemampuan dalam memanfatkan sumber daya ikan dari alokasi yang ditetapkan, maka negara pantai dapat memberikan kesempatan kepada negara lain untuk turut serta dalam pemanfaatan sumber daya ikan tersebut. Biasanya, hal ini dilakukan dengan mengadakan bentuk kerjasama penangkapan ikan pada ZEE dengan suatu perjanjian khusus. UNCLOS 1982 juga mengatur mengenai persediaan ikan pada ZEE yang berada di dua negara atau lebih. UNCLOS 1982 menghendaki untuk diadakannya persetujuan internasional di dalam dua hal, yaitu: pertama, apabila sumber daya ikan berada di dalam ZEE dari dua negara pantai atau lebih, dan kedua, dalam hal sumber daya ikan berada di dalam ZEE serta di laut di luar ZEE, maka negara pantai dan negara penangkap ikan dapat mengadakan persetujuan melalui organisasi regional perihal pengaturan konservasi dan pengembangan dari stok tersebut (Pasal 63 UNCLOS 1982). Selain itu, secara jelas UNCLOS 1982 mengatur mengenai pengelolaan berbagai jenis sumber daya ikan, yaitu: (1) jenis ikan yang bermigrasi jauh (highly 45

63 migratory species), (2) mamalia laut (marine mammals), (3) persediaan jenis ikan anadrom (anadromous stockls), (4) jenis ikan katadrom (catadromous species), (5) jenis sedenter (sedentary species). 2) Agenda 21 Agenda 21 adalah satu dari tiga dokumen yang disepakati dalam Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED) dan telah diadopsi oleh 178 negara, termasuk Indonesia. Konferensi yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro, Brazil pada tanggal 3 sampai 14 Juni 1992 ini merupakan pertemuan lanjutan negara-negara yang berorientasi pada penyelematan bumi, sehingga konferensi ini dikenal dengan sebutan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi. Sesuai dengan hasil kesepakatan negara-negara dalam UNCED, konsep pembangunan berkelanjutan (sustainibility development) harus diimplementasikan oleh negara-negara melalui hukum lingkungan nasionalnya masing-masing. Secara konseptual, pembangunan berkelanjutan harus dilaksanakan berlandaskan kemitraan antara negara maju dengan negara berkembang untuk dapat menyelaraskan pembangunan dengan perlindungan lingkungan. Salah satu keluaran yang dihasilkan pada konferensi tersebut adalah Rio Declaration on Environment and Development atau disebut Rio Principles, berisikan 27 prinsip, yaitu: (1) Prinsip Pertama. Manusia merupakan sasaran utama pembangunan berkelanjutan, sehingga manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak dan produktif yang serasi dengan alam. (2) Prinsip Kedua. Setiap negara, berdasarkan piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan 46

64 sumberdaya alam mereka, sesuai dengan kebijakan bidang lingkungan dan pembangunan masing-masing dan juga berkewajiban menjaga agar kegiatan yang berlangsung di dalam wilayahnya atau berada di bawah pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau wilayah di luar batas wilayah nasional negara-negara. (3) Prinsip Ketiga. Hak pembangunan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup, baik bagi generasi masa kini dan masa depan. (4) Prinsip Keempat. Perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu proses pembangunan, tidak dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah. (5) Prinsip Kelima. Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan kemiskinan, prasyarat perwujudan pembangunan berkelanjutan, untuk mengurangi kesenjangan batas hidup layak (standard of living). (6) Prinsip Keenam. Prioritas dan perlakuan utama bagi negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang dan rawan lingkungan hidupnya. (7) Prinsip Ketujuh. Setiap tingkat tanggung jawab negara-negara dalam usaha pelestarian, perlindungan dan pemulihan kondisi dan keterpaduan ekosistem bumi, berbeda-beda sesuai dengan pengrusakan yang ditimbulkannya. (8) Prinsip Kedelapan. Penghapusan pola produksi maupun konsumsi yang tidak layak dan peningkatan kependudukan yang tepat. (9) Prinsip Kesembilan. Kerjasama antar pemerintah dalam rangka peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan pembangunan, penyesuaian, pemberesan dan alih teknologi. 47

65 (10) Prinsip Kesepuluh. Peningkatan kesempatan masyarakat untuk memperoleh informasi lingkungan, termasuk konsumsi bahan berbahaya di sekitar mereka, serta partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. (11) Prinsip Kesebelas. Pemberlakuan ketentuan lingkungan secara efektif. Penetapan persyaratan baku mutu lingkungan dan standar lain yang seimbang antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, sesuai kondisi setempat. (12) Prinsip Keduabelas. Pembebanan persyaratan lingkungan dalam bidang perdagangan, yang bertujuan memperbaiki lingkungan, tidak boleh dianggap sebagai perdagangan tidak jujur. (13) Prinsip Ketigabelas. Penyusunan hukum tentang denda dan ganti rugi, baik secara nasional maupun internasional, oleh setiap pemerintah negara untuk keperluan perlindungan hak-hak korban pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya. (14) Prinsip Keempatbelas. Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah. (15) Prinsip Kelimabelas. Penerapan pendekatan preventif dalam masalah lingkungan hidup sesuai kemampuan masing-masing negara. (16) Prinsip Keenambelas. Penerapan prinsip pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang dibuatnya untuk meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan. (17) Prinsip Ketujuhbelas. Penerapan wajib AMDAL terhadap setiap kegiatan yang potensial dampak. (18) Prinsip Kedelapanbelas. Setiap pemerintah hendaknya memberitahukan secara dini kemungkinan bahaya lingkungan yang bersifat tiba-tiba. Setiap negara berusaha membantu negara lainnya dalam mengatasi masalah tersebut. 48

66 (19) Prinsip Kesembilanbelas. Setiap pemerintah hendaknya memberi peringatan dini dan setepat mungkin serta informasi lainnya yang sepatutnya kepada negara-negara tetangganya yang terancam dampak negatif yang bersifat antar wilayah. (20) Prinsip Keduapuluh. Pengakuan peran serta wanita dalam pembangunan berkelanjutan. (21) Prinsip Keduapuluh Satu. Penggalangan semangat dan kreativitas generasi muda dalam rangka menumbuhkan kemitraan global. (22) Prinsip Keduapuluh Dua. Kewajiban pemerintah untuk menghormati tradisi, pengetahuan dan peran penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, memelihara jatidiri, kebudayaan dan kepentingan mereka. (23) Prinsip KeduapuluhTiga. Keharusan perlindungan lingkungan hidup milik bangsa tertindas atau terjajah. (24) Prinsip Keduapuluh Empat. Perlindungan lingkungan hidup pada masa perang. (25) Prinsip Keduapuluh Lima. Perdamaian, pembangunan dan perlindungan lingkungan merupakan masalah saling berkaitan. (26) Prinsip Keduapuluh Enam. Kewajiban penyelesaian sengketa lingkungan secara damai. (27) Prinsip Keduapuluh Tujuh. Pelaksanaan prinsip-prinsip deklarasi berdasarkan kerjasama pemerintah dan anggota masyarakat, berdasarkan itikad baik, semangat kemitraan bersama. 3) Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas (1993) UNCLOS 1982 mensyaratkan kewajiban semua negara yang memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas untuk saling bekerja sama dalam menciptakan 49

67 kelestarian sumberdaya ikan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 117 dan Pasal 118. Oleh karenanya, untuk menciptakan kelestarian tersebut, maka pada tanggal 24 November 1993 FAO menetapkan Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993). Tujuan ditetapkannya aturan hukum internasional yang hanya berisi 16 pasal ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik penangkapan ikan di laut lepas (high seas) dan menerapkan langkah-langkah konservasi sumber daya hayati laut dengan meningkatkan peranan organisasi perikanan multilateral. Prinsip-prinsip umum dalam FAO Compliance Agreement 1993, yaitu: (1) Laut lepas terbuka untuk semua negara atau laut lepas bukan merupakan suatu wilayah kedaulatan negara manapun, sehingga setiap negara mempunyai kebebasan untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas. (2) Kewajiban setiap negara di laut lepas adalah menjaga kelestarian sumberdaya ikan dengan cara melakukan kerjasama dengan negara-negara lain dalam pelestarian sumberdaya ikan. (3) Konsevasi dan pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di laut lepas harus berdasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjuutan. Adapun materi pokok FAO Compliance Agreement 1993 diantara yaitu: (1) eberlakuan dari perjanjian atau aplikasi. (2) Tanggung jawab dari negara bendera kapal. (3) Pencatatan kapal-kapal nelayan. (4) Kerjasama internasional. (5) Pertukaran informasi. (6) Kerjasama dengan negara-negara berkembang. (7) Hubungan perjanjian dengan negara-negara yang tidak menjadi anggota. (8) Penyelesaian sengketa. 50

68 4) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995 yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) ditetapkan dalam suatu konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober CCRF dimulai pada pertemuan Committee on Fisheries (COFI) bulan Maret 1991 yang memunculkan rekomendasi penting agar FAO membangun sebuah konsep perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) (Adrianto, 2005). Munculnya CCRF 1995 tidak lepas dari dorongan kedua konferensi, yaitu KTT Bumi 1992 dan Konferensi Perikanan Internasional yang berlangsung sebulan sebelum pelaksanaan KTT Bumi CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat berguna bagi seluruh masyarakat perikanan internasional, sehingga setiap negara dituntut untuk menyusun kebijakan perikanan yang berbekelanjutan (sustainable fisheries). Dalam Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa CCRF 1995 dapat menjadi pedoman bagi stakeholders perikanan dalam menetapkan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumberdaya perikanan. Hal ini dikarenakan, CCRF 1995 disusun dengan merujuk berbagai aturan konservasi internasional yang relevan, seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip Deklarasi Rio 1992, serta kebijakan internasional lainnya. Sedangkan dalam hubungannya dengan perdagangan perikanan, CCRF 1995 merujuk pada perjanjian World Trade Organizational (WTO) sebagaimana tercantum pada Pasal 6 ayat (14). Secara garis besarnya, CCRF 1995 mengatur enam tema besar permasalahan perikanan, yaitu pengelolaan perikanan (fisheries management), operasi perikanan (fisheries operation), pembangunan budidaya perikanan (aquaculture development), integrasi pengelolaan perikanan hingga wilayah 51

69 pesisir (integration of fisheries into coastal area management), praktik-praktik perdagangan dan pasca-panen (post-harvesting practices and trade), dan penelitian perikanan (fisheries research). Dalam Pasal 6, tertuang prinsip-prinsip umum (general principles) yang harus dijadikan pedoman dalam setiap aktivitas perikanan, yaitu: (1) Negara dan para pengguna (users) sumberdaya hayati harus melestarikan ekosistem perairan; (2) Pengelolaan perikanan harus mendorong terciptanya pelestarian kualitas, keragaman, dan kuantitas persediaan sumberdaya yang memadai bagi generasi sekarang dan masa depan, dalam konteks jaminan ketersediaan pangan, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. (3) Negara harus mencegah terjadinya kegiatan penangkapan ikan yang berlebih (overfishing) dan melampaui kapasitas perikanan; (4) Keputusan tentang pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence); (5) Negara dan organisasi yang melakukan pengelolaan perikanan, baik dalam tingkatan regional maupun sub-regional harus melakukan pendekatan kehatihatian (precautionary aprroach); (6) Seleksi terhadap penggunaan alat tangkap harus lebih dibangun dan dilaksanakan; (7) Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan produk perikanan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu, sehingga akan menjaga nilai gizi, kualitas dan keamanan produknya, mengurangi sampah serta meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan; (8) Semua habitat ikan di laut dan ekosistem air tawar, seperti hutan basah, hutan mangrove, terumbu karang, danau, rawa, daerah pemijahan serta daerah pembesaran harus dilindungi dan direhabilitasi; 52

70 (9) Negara harus menjamin agar kepentingan sumber daya perikanan, termasuk kebutuhan akan kelestarian sumberdaya, diperhitungkan dalam berbagai bentuk penggunaan wilayah pesisir dan mengintegrasikannya dalam pengelolaan, perencanaan dan pembangunan; (10) Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada hukum internasional, negara harus menjamin pemenuhan dan penegakan tindakan pengelolaan dan konservasi serta mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol aktivitas kapal ikan, termasuk ke dalamnya adalah kerangka kerja organisasi pengelolaan dan pelestarian perikanan baik tingkat regional maupun sub-regional; (11) Negara yang mengizinkan kapal-kapal ikan beroperasi di wilayahnya harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap aktivitas kapal-kapal tersebut guna menjamin pelaksanaan CCRF 1995; (12) Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada hukum internasional, perjanjian internasional atau kesepakatan lainnya, negara harus melakukan kerjasama di tingkat sub-regional, regional, dan global dalam organisasi pengelolaan perikanan untuk mendorong pengelolaan dan konservasi, menjamin perikanan yang bertanggung jawab, dan menjamin perlindungan serta pelestarian yang efektif sumberdaya hayati akuatik; (13) Sejauh dimungkinkan oleh hukum nasionalnya, negara harus menjamin proses pengambilan keputusan yang transparan dan tepat waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mendesak. Berdasarkan pada ketepatan prosedur, negara harus memfasilitasi konsultasi dan partisipasi yang efektif dari pihak industri, pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan organisasi lainnya dalam pembuatan keputusan tentang pembangunan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan, pembangunan, bantuan dan pinjaman internasional; 53

71 (14) Perdagangan internasional pada ikan dan produk perikanan harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tercantum pada perjanjian WTO dan perjanjian internasional lainnya yang relevan. Negara harus menjamin agar kebijakan, program-program serta praktik-parktik mereka yang berkaitan dengan perdagangan ikan dan produk perikanan tidak menimbulkan hambatan dalam perdagangan, degradasi lingkungan atau dampak sosial yang negatif, termasuk masalah gizi; (15) Negara harus bekerjasama untuk mencegah terjadinya sengketa. Semua sengketa yang berkaitan dengan praktek dan kegiatan perikanan harus diselesaikan tepat waktu, damai dan kerjasama, sesuai dengan perjanjian internasional atau kesepakatan antar para pihak. Kalau pun penyelesaian sengketa ditunda, negara yang bertikai harus membuat kesepakatan sementara yang bersifat praktis, tanpa harus mengabaikan upaya pelestarian sengketa secara final; (16) Pengakuan terhadap arti penting pekerja perikanan dan nelayan dalam memahami pengelolaan dan pelestarian sumber daya perikanan, negara harus meningkatkan kesadaran perikanan yang bertanggung jawab melalui pelatihan dan pendidikan. Negara harus menjamin pekerja perikanan dan nelayan terlibat dalam penyusunan kebijakan dan proses pelaksanaannya, juga memfasilitasi pelaksanaan CCRF 1995; (17) Negara harus menjamin fasilitas dan perlengkapan perikanan serta semua aktivitas perikanan yang aman, sehat, terbuka, kondisi kehidupan dan pekerjaan yang adil, serta memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan oleh organisasi internasional yang relevan; (18) Dengan adanya pengakuan terhadap pentingnya sumbangan nelayan kecil dalam penyediaan lapangan kerja, pendapatan dan keamanan pangan, 54

72 negara harus melindungi hak pekerja perikanan dan nelayan, khususnya nelayan yang tergolong nelayan subsisten; (19) Negara harus mempertimbangkan budidaya air, termasuk budidaya berbasis perikanan, sebagai sarana mendukung diversifikasi pangan dan pendapatan. Namun demikian, negara harus menjamin penggunaan sumberdaya yang bertanggung jawab, menjaga dampak terhadap lingkungan dan komunitas masyarakat lokal. 5) Agreement For The Implementation Of The Provisions Of The United Nations Convention On The Law Of The Sea Of 10 December 1982 Relating To The Conservation And Management Of Straddling Fish Stocks And Highly Migratory Fish Stocks (1995) Pola migrasi dan siklus hidup ikan yang bermigrasi jauh (Highly Migratory Fish Stocks) dan bermigrasi terbatas (Straddling Fish Stocks) membuat rentan dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Hal ini dikarenakan, pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan menurunnya ketersediaan sumber daya ikan. Lebih dari itu, permasalahan ini berujung pada konflik kepentingan antara negara pantai (coastal state) dengan negara penangkap ikan jarak jauh (distant water fisheries nation). Oleh karena itu, diperlukan kerjasama pengelolaan perikanan, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global, diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan perikanan ini. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pada tahun 1995 PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplementasikan ketentuan UNCLOS 1982, yaitu disahkannya Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement atau UNIA). UN Fish Stock Agreement 1995 merupakan persetujuan multilateral yang mengikat para pihak dalam masalah konservasi 55

73 dan pengelolaan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas, sebagai pelaksanaan dari Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi Hukum Laut UN Fish Stock Agreement 1995 terdiri dari 50 pasal dan dua lampiran, yaitu: (1) Lampiran I: Persyaratan standar dan pertukaran data; (2) Lampiran II: Petunjuk bagi pelaksanaan titik rujuk pencegahan dalam konservasi dan pengelolaan stok ikan yang bermigrasi terbatas dan bermigrasi jauh; (3) Uraian mengenai kewajiban negara-negara anggota berkaitan dengan kapal perikanan yang mengibarkan bendera yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas; (4) Memperkenalkan ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan bagi negaranegara berkembang; (5) Pengumpulan dan penyajian informasi dan kerjasama penelitian ilmiah; (6) Sistem monitoring, controlling dan surveilance; (7) Persyaratan standar pengumpulan dan pertukaran data. Adapun prinsip-prinsip umum UN Fish Stock Agreement 1995 sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 5, yaitu: (1) Mengambil tindakan-tindakan untuk menjamin kelestarian jangka panjang stok ikan yang bermigrasi terbatas dengan stok ikan yang bermigrasi jauh dan mendorong tujuan penggunaan optimal mereka; (2) Menjamin bahwa tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan stok ikan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari; (3) Menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan Pasal 6; (4) Mengukur dampak dari penangkapan ikan, kegiatan manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan terhadap stok target dan spesies yang termasuk 56

74 dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada stok target; (5) Apabila diperlukan, mengambil tindakan konservasi dan pengelolaan untuk spesies dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau tergantung pada stok target tersebut, dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi dari spesies tersebut di atas tingkat, dimana reproduksinya dapat sangat terancam; (6) Meminimalkan pencemaran, sampah, barang-barang buangan serta tangkapan yang tidak berguna atau alat tangkap yang ditinggalkan, tangkapan spesies yang bukan target (baik spesies ikan maupun bukan spesies ikan), dan dampak terhadap spesies, melalui tindakan yang lazim, pengembangan dan penggunaan yang efektif, alat tangkap dan teknik yang aman secara lingkungan dan murah; (7) Melindungi keanekaragaman hayati di lingkungan laut; (8) Mengambil tindakan untuk mencegah atau mengurangi kegiatan penangkapan ikan yang melebihi kapasitas dan untuk menjamin bahwa tingkat usaha penangkapan tidak melebihi tingkat yang sepadan dengan penggunaan lestari sumberdaya ikan; (9) Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan nelayan subsisten; (10) Mengumpulkan dan memberikan, pada saat yang tepat data yang lengkap dan akurat mengenai kegiatan-kegiatan perikanan, antara lain posisi kapal, tangkapan spesies target dan non-target, dan usaha penangkapan ikan sebagaimana tercantum di dalam lampiran I, juga informasi dari program riset nasional dan internasional; (11) Mendorong dan melaksanakan riset ilmiah dan mengembangkan teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan ikan; 57

75 (12) Melaksanakan dan menerapkan tindakan konservasi dan pengelolaan melalui pemantauan, pengawasan dan pengamatan. 6) The FAO International Plan of Action (IPOA) 1999 Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini FAO disibukan dengan negosiasi yang banyak berkaitan dengan masalah pengelolaan perikanan. Pembahasan yang intensif di forum internasional tersebut akhirnya berhasil menyepakati tiga instrumen penting, yaitu (Fontaubert, Charlotte de and Indrani Lutchman, 2003): (1) IPOA for Reducing Incidental Catch of Seabirds in Longline Fisheries. Tujuan tindakan pengaturan pada bagian ini adalah untuk mengurangi tangkapan sampingan (by catch) alat tangkap longline berupa burungburung laut yang tertangkap karena memakan umpan dalam pancing. (2) IPOA for the Conservation and Management of Sharks. Rencana nasional harus didasarkan pada pendugaan rutin terhadap stok ikan dan bisa digunakan untuk menggambarkan perubahan pada beberapa stok. Beberapa tujuan rencana pengelolaan ikan hiu antara lain, yaitu: (1) menjamin kegiatan penangkapan hiu berkelanjutan (2) pendugaan terhadap populasi hiu menentukan dan melindungi habitat kritis dan mengimpmentasikan strategi panen berkelanjutan (3) identifikasi dan perlindungan dari hal-hal yang mengancam stok ikan hiu (4) meminimalisir kecelakaan dalam penangkapan ikan hiu (5) meminimalisir sampah dan buangan dari penangkapan hiu dan (6) meningkatkan penggunaan penuh dari hasil tangkapan ikan hiu. (3) IPOA for the Management of Fishing Capacity. Tujuan utama IPOA mengenai pengelolaan kapasitas perikanan adalah agar negara dan organisasi regional yang meliputi seluruh dunia mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, adil dan transaparan. 58

76 (4) IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Tujuan IPOA ini untuk memberantas praktik perikanan yang illegal (seperti pencurian ikan, dan kegiatan melawan hukum lainnya), unreported (mencakup unreported, misreported, atau under-reported), dan unregulated (yakni tidak diatur pengelolaannya) Hukum nasional Undang-undang tentang perlindungan sumber daya ikan di Indonesia telah diterbitkan pada tahun 1914 tentang kerang mutiara, teripang dan bunga karang pada perairan di dalam batas tiga mil dari garis pantai (Monintja, 2006). Pada tanggal 14 September 2004, Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan diganti oleh Undang-undang No. 31 Tahun Beberapa alasan dilakukan perubahan diantaranya, yaitu: (1) Menyesuaikan dengan perkembangan ketersediaan, kelestarian dan perkembangan sistem manajemen perikanan nasional dan internasional. (2) Menyesuaikan dengan ketentuan baru peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti oleh Undang-undang No. 32 Tahun (3) Penyeimbangan orientasi perikanan tangkap dengan perikanan budidaya. (4) Terdapatnya sejumlah materi penting yang belum terjamah pengaturan, untuk efisiensi pengelolaan perikanan, seperti penelitian dan pengembangan, data dan informasi, pengadilan perikanan, sanksi hukum dan lain-lain. (5) Penyeimbangan sektor perikanan dangan sektor lain yang telah mapan, seperti halnya sektor pertanian, sektor kehutanan, dan lain-lain. 59

77 Namun demikian, pada intinya, dilakukannya perubahan pada Undangundang No. 9 Tahun 1985 disebabkan masih banyaknya permasalahan yang belum tertampung. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang tertuang dalam konsideran menimbang butir c, bahwa Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang berlaku hingga sekarang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan dan oleh karena itu perlu diganti. Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 lebih banyak, dari pada yang tertuang dalam Undang-undang No. 9 Tahun Pada Undang-undang No. 31 Tahun 2004 terdapat 17 bab dan 111 pasal, sedangkan pada Undang-undang No. 9 Tahun 1985 hanya terdapat 11 bab dan 35 pasal. Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang No. 31 Tahun 2004, pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan pengelolaan perikanan yang tertuang dalam Pasal 3, yaitu: (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja. (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan. (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing. (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. (8) Mencapai pemanfaatan sumber daya ikan secara optimal; dan (9) Menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang. 60

78 Sementara itu, jauh sebelum Undang-undang No. 31 Tahun 2004 ditetapkan, Pemerintah Indonesia banyak mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan beserta turunannya yang mengatur pengelolaan sumber daya ikan. Peraturan perundang-undangan tersebut, meliputi yaitu: (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (3) Undang-undang No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Hukum Laut (4) Undang-undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. (5) Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Selanjutnya kebijakan pelaksanaan dari undang-undang diatur dalam empat Peraturan Pemerintah (PP), dimana tiga diantaranya mengatur mengenai usaha perikanan dan sisanya mengatur pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEEI. Keempat PP tersebut, yaitu: (1) Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di ZEEI. (2) Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. (3) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1993 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. (4) Peraturan Pemerintah No. 141 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. (5) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Selain itu, juga terdapat dua kebijakan umum yang berbentuk Keputusan Presiden (Keppres), yaitu: (1) Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. (2) Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang. 61

79 Kebijakan pelaksanaan juga tersedia dalam bentuk Keputusan Menteri (SK Menteri) yang mencapai 39 buah, yaitu: (1) SK Menteri Pertanian No. 01/Kpts/Um/1/1975 tentang Pembinaan Kelestarian Kakayaan yang Terdapat dalam Sumber Daya Perikanan Indonesia. (2) SK Menteri Pertanian No. 503/Kpts/Um/9/1980 tentang Langkah-langkah Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama. (3) SK Menteri Pertanian No. 123/Kpts/Um/3/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru, dan Ikan Pelagis Sejenisnya. (4) SK Menteri Pertanian No. 769/Kpts/HK210/10/1988 tentang Penggunaan Jaring Lampara Dasar. (5) SK Menteri Pertanian No. 473a/Kpts/IK.250/6/1985 tentang Penetapan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (6) SK Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan. (7) SK Menteri Pertanian No. 608/Kpts/Um/9/1976 tentang Penetapan Jalur Penangkapan Bagi Kapal-kapal Ikan Milik Perusahaan Perikanan Negara. (8) SK Menteri Pertanian No. 609/Kpts/Um/9/1976 tentang Daerah Penangkapan Kapal Trawl. (9) SK Menteri Pertanian No. 300/Kpts/Um/5/1978 tentang Pemasangan Tanda Pengenal Jalur Penangkapan Ikan Pada Kapal-kapal Ikan. (10) SK Menteri Pertanian No. 475 /Kpts/IK/120/7/1985 tentang Izin Penangkapan Ikan oleh Nelayan Asing atau Badan Kebijakan Asing yang Beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 62

80 (11) SK Menteri Pertanian No. 476/Kpts/IK.120/7/1985 tentang Penetapan Tempat Melapor Bagi Kapal Perikanan yang Beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (12) SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK120/7/1985 tentang Pungutan Perikanan yang Dikenakan Kepada Orang atau Badan Kebijakan Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (13) SK Menteri Pertanian No. 438/Kpts/IK120/7/1986 tentang Tambahan terhadap SK Mentan No.477/Kpts/IK120/7/1985 tentang Pungutan Perikanan yang Dikenakan kepada Orang atau Badan Kebijakan Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (14) SK Menteri Pertanian No. 277/Kpts/IK120/5/1987 tentang Perizinan Usaha dibidang Penangkapan Ikan di Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (15) SK Menteri Pertanian No. 417/Kpts/IK.250/6/1988 tentang Pengawasan Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (16) SK Menteri Pertanian No. 477/Kpts/IK120/7/1988 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan Bagi Orang atau Badan Kebijakan Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. (17) SK Menteri Pertanian No. 900/Kpts/IK.250/12/1988 tentang Kewajiban Mengekspor atau Menjual Hasil Tangkapan Kapal Perikanan Asing di Pasar Dalam Negeri. (18) SK Menteri Pertanian No. 815/Kpts/IK 120/11/1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan. (19) SK Menteri Pertanian No. 816/Kpts/!K 120/11/1990 tentang Penggunaan Kapal Perikanan Asing dengan Cara Disewa untuk Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 63

81 (20) SK Menteri Pertanian No. 144/Kpts/IK 410/2/1993 tentang Penetapan Pelabuhan sebagai Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Asing yang Disewa Perusahaan Indonesia untuk Menangkap. (21) SK Menteri Pertanian No. 57/Kpts/IK.410/1/1995 tentang Perubahan SK Mentan No. 144/Kpts/IK.410/2/1993 tentang Penetapan Pelabuhan sebagai Pangkalan Bagi Kapal Perikanan Asing yang Disewa Perusahaan Indonesia untuk Menangkap. (22) SK Menteri Pertanian No. 805/Kpts/IK.120/12/1995 tentang Ketentuan Penggunaan Kapal Pengangkut Ikan. (23) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2000 tentang Perizinan Usaha Perikanan. (24) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No.Kep.84 /Men/2000 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. (25) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 23/MEN/2001 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. (26) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.45/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (27) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (28) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.47/Men/2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (29) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. (30) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.60 /Men/2001 tentang Penataan Penyusunan Kapal Perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 64

82 (31) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 58/Men/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Siswasmas dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. (32) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.2/Men/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Penangkapan Ikan. (33) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.3/Men/2002 tentang Log Book Penangkapan dan Pengangkutan Ikan. (34) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10 /Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan PPT. (35) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.12 /Men/2002 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan Tahap Kedua. (36) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep 62 /Men/2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. (37) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep.10/Men/2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Selanjutnya juga terdapat kebijakan yang bersifat teknis, sebagai kelanjutan dari kebijakan pelaksanaan diatas, yaitu Keputusan Dirjen Perikanan No.IK 210/DJ.569/1993 tentang Forum Koordinasi Pengendalian dan Pengawasan Pemanfaatan Sumber daya Ikan. (38) SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 38/Men/2003 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. (39) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per 06/Men/2005 tentang Penggantian Bentuk dan Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004, maka terjadi perubahan kewenangan dalam pengelolaan sumber 65

83 daya perikanan tangkap, yaitu daerah memiliki kewenangan dalam mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Disamping itu, daerah juga memiliki beberapa kewenangan pengelolaan di wilayah laut, yaitu sepanjang 12 mil untuk provinsi dan 3 mil untuk kabupaten/kota yang meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (2) pengaturan kepentingan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan kebijakan terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (5) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom yang dijelaskan pada Pasal 2 ayat (3), pemerintah pusat memiliki beberapa kewenangan, meliputi: (1) penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam perairan di wilayah laut di luar perairan 12 mil, termasuk perairan nusantara dan dasar lautnya serta zona ekonomi ekslusif Indonesia dan landas kontinen Indonesia; (2) penetapan kebijakan dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam di luar perairan laut 12 mil; (3) penetapan kebijakan dan pengaturan batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan batas-batas ketentuan kebijakan laut internasional; (4) penetapan standar pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil; dan (5) penegakan kebijakan di wilayah laut di luar perairan 12 mil dan di dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta berhubungan dengan internasional. 66

84 Sementara itu, kewenangan provinsi di wilayah laut sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 ayat (5), meliputi: (1) penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut provinsi; (2) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan provinsi; (3) konservasi dan pengelolaan plasma nuftah spesifik lokasi serta suaka perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi; (4) pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan provinsi; dan (5) pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi Kebijakan daerah Kebijakan daerah yang ada adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 8 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Tingkat I Jawa Barat No. 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pelelangan Ikan. Peraturan Daerah ini mengacu pada beberapa peraturan perundangundangan, seperti Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undangundang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, beberapa peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu yang berkaitan dengan kegiatan perikanan, diantaranya yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 20 Tahun 2002 tentang Retribusi Usaha Perikanan, Penangkapan Ikan, Pembudidayaan dan 67

85 Pengolahan Hasil Ikan Laut. Bentuk surat izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu berdasarkan peraturan daerah ini, yaitu: (1) Ijin Usaha Perikanan (IUP), untuk 5 GT ke bawah dan untuk 6-10 GT; (2) Surat Keterangan Penangkapan Ikan (SKPI) untuk masing-masing alat tangkap, (3) Surat Keterangan Pembudidayaan Ikan (SKPBI), (4) Surat Keterangan Pengolahan Hasil Ikan (SKPHI). Peraturan daerah lain yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu adalah Nomor: 556/kep.528- diskanla/2004 penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi dan wisata laut. Berdasarkan penelaahan terhadap peraturan daerah tersebut di atas, terlihat bahwa kebijakan tersebut hanya mengatur tentang kegiatan ekonomi di bidang perikanan atau hanya aspek ekonomi dan sosial, sedangkan aspek ekologi belum mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Terdapat tiga aspek yang belum diatur pada periode sentralistik, meliputi: (1) Aspek transparansi dalam mekanisme pengelolaan. (2) Aspek sosialisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang konservasi dan pengelolaan. (3) Aspek industri penangkapan yang mendorong perikanan yang bertanggungjawab. Sedangkan memasuki periode desentralistik, pemerintah perlu menyediakan 11 aspek kebijakan, yang meliputi: (1) Pemulihan sumber daya yang terancam kepunahan. (2) Pencegahan pencemaran lingkungan. (3) Pengaturan upaya penangkapan. (4) Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap. (5) Pengaturan musim penangkapan. (6) Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan. 68

86 (7) Partisipasi masyarakat. (8) Identifikasi stakeholders. (9) Kelembagaan. (10) Pembangunan prasarana perikanan. (11) Pengaturan pendidikan pelatihan dan penyuluhan. Berpijak pada kondisi tersebut, seharusnya kebijakan pengelolaan perikanan ke depan pemerintah daerah harus lebih proaktif sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004, melalui pembuatan kebijakan pelaksanaan berupa peraturan daerah yang melengkapi, menggantikan dan atau menyempurnakan kebijakan pelaksanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Selain itu, kebijakan pelaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hendaknya konsisten dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu mendukung paradigma pembangunan berkelanjutan. 69

87 4 METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari bulan Juli sampai bulan Desember 2005 di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat yang terletak pada posisi geografis 107 o o 36 Bujur Timur dan 6 o 14-6 o 40 Lintang Selatan. Penelitian ini difokuskan pada 16 wilayah sentra produksi perikanan laut di daerah pesisir Kabupaten Indramayu yaitu Tegal Agung, Dadap, Juntinyuat, Lombang, Limbangan, Majakerta, Balongan, Singaraja, Karangsong, Brondong, Sindang, Cangkring, Eretan Wetan, Eretan Kulon, Bugel, dan Ujung Gebang (Gambar 5). Gambar 5 Lokasi penelitian. 4.2 Kerangka Metodologi Kerangka metodologi sebagaimana diuraikan pada Gambar 6, meliputi analisis keberlanjutan sumber daya ikan dengan menggunakan metode RAPFISH dan analisis efisiensi atau optimalisasi penggunaan alat tangkap ikan

88 dengan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA) atau Frontier analysis. Dimensi Keberlanjutan SDI Analisis RAPFISH Analisis DEA Tingkat Pemanfaatan SDI Ekologi Ekonomi Status Keberlanjutan Rekomendasi Optimalisasi Alat Tangkap Produksi Perikanan Tangkap Sosial Teknologi Faktor Pengungkit Jumlah Alat Tangkap Etika Kelembagaan Renstra Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Indramayu Rencana Pengelolaan Gambar 6 Kerangka metodologi. 4.3 Pengumpulan Data Jenis data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Jenis data yang dikumpulkan adalah data potensi sumber daya ikan, produksi ikan, jenis dan jumlah alat tangkap, jenis dan jumlah armada kapal, rumah tangga perikanan (RTP), kondisi hutan mangrove, kondisi terumbu karang, sosial ekonomi masyarakat, kebijakan perikanan tangkap, serta kondisi pembangunan perikanan tangkap ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya (Tabel 3). 71

89 Tabel 3 Jenis dan sumber pengambilan data Metode pengumpulan data Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan, diskusi dan wawancara menggunakan kuesioner dengan stakeholders. Wawancara dimaksudkan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap kebijakan pengelolaan perikanan tangkap serta alternatif kebijakan yang perlu diambil untuk mengatasi permasalahan di Kabupaten Indramayu. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka/literatur dan berbagai laporan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah digunakan untuk mendeskripsikan keadaan umum wilayah penelitian meliputi aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya wilayah pesisir Indramayu, sebagai dasar perumusan kebijakan. 72

90 Responden yang dijadikan sample dalam kajian ini ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling dengan pertimbangan, bahwa responden adalah pelaku (individu atau lembaga) yang terlibat dalam kegiatan perikanan tangkap. Responden adalah para pemangku kepentingan (stakeholders), yaitu pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan anggota masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan analisis stakeholder, jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 56 orang dan 11 orang diantaranya sebagai responden utama (key stakeholders) Rapfish dan 8 orang, sebagai responden utama DEA. 4.4 Analisis Data dan Informasi Teknik RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries) Keberlanjutan (sustainability) merupakan kunci kebijakan yang dibutuhkan untuk perikanan di seluruh dunia. Sampai saat ini masih sulit untuk menghitung perikanan berkelanjutan, khususnya ketika dihubungkan dengan informasi dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Teknik RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries) adalah suatu metode multi disiplin terkini yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan perikanan berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Ordinasi RAPFISH dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, etika, sosial dan teknologi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang disajikan dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Manfaat dari teknik RAPFISH ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen keberlanjutannya dan dampaknya terhadap perikanan dalam ekosistem laut dan dapat menduga hubungannya dengan FAO Code of Conduct (Alder et al. 2000). Penggunaan Teknik RAPFISH mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sangat sederhana, mudah dinilai, cepat 73

91 serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher, 1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan perikanan yang fleksibel (Gambar 7). Gambar 7 Prosedur RAPFISH menggambarkan perikanan berkelanjutan (Alder et al. 2000). RAPFISH akan menghasilkan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumber daya ikan, khususnya di daerah penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana diisyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995). RAPFISH didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scaling (MDS), dengan prosedur seperti ditampilkan pada Gambar 8. 74

92 Gambar 8 Proses aplikasi RAPFISH untuk data perikanan (Alder et al. 2000). Di dalam penelitian ini prosedur analisis RAPFISH dilakukan melalui beberapa tahapan (Fauzi dan Anna, 2005), yaitu: (1) Analisis terhadap data perikanan Kabupaten Indramayu melalui data statistik, studi literatur, dan pengamatan di lapangan. (2) Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur (aspek ekologi dari RAPFISH mengacu pada Alder et al. 2000) dengan Microsoft Excell. (3) Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada jarak Euclidian yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut: d = ( x x + y y + z z...) 75

93 Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (d ij ) sebagaimana persamaan berikut: d ij = ij α + βδ + ε Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance=d ijk ) terhadap kuadrat (titik asal=0 ijk ), yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut: S = 1 m m k= 1 i 2 2 ( d ) ijk oijk j i j o 4 ijk Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis: 2 d 2 ijk = r a= 1 w ka ( x x ) ia ja 2 (4) Melakukan rotasi untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad dan good dengan Excell dan Visual Basic. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S. Nilai Stress yang rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan bad fit. Di dalam Rapfish, model yang baik ditunjukkan jika nilai stress lebih kecil dari 0.25 (S < 0.25). (5) Melakukan sensitivity analysis dan Monte Carlo Analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian. Nilai indeks keberlanjutan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Susilo (2003) yang membagi status keberlanjutan dalam 4 kategori, yaitu (1) tidak berkelanjutan, (2) kurang bekelanjutan, (3) cukup berkelanjutan dan (4) bekelanjutan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. 76

94 Tabel 4 Indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu Nilai Indeks Kategori 0-25 Tidak berkelanjutan / buruk > 25 - = 50 Kurang berkelanjutan > 50 - = 75 Cukup berkelanjutan > 75 - = 100 Berkelanjutan Sumber: Susilo, 2003 dan Hermawan, Analisis efisiensi/kapasitas perikanan Dalam rangka analisis efisiensi mengunakan metode Data Envelope Analysis (DEA) atau Frontier analysis. DEA menggunakan teknik seperti program matematis yang dapat menangani variabel dan kendala dalam jumlah besar, juga memudahkan kebutuhan yang sering timbul disebabkan keterbatasan data, sehingga bisa dipilih hanya beberapa variable input dan output. Perhitungan DEA menghasilkan skor efisiensi dimana alat tangkap merupakan Decision Making Unit. Hasil tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk membandingkan efisiensi tiap alat tangkap, dimana efisiensi tertinggi akan dijadikan acuan. Fluktuasi angka efisiensi tiap alat tangkap menggambarkan kondisi efisiensi relatif setiap alat tangkap perikanan di Indramayu secara umum apakah dalam kondisi inefisiensi. Model terpenting dari DEA adalah CCR (Charnes, Cooper and Rhodes, 1978). Menurut Cooper et al. (2004), ada dua model DEA yang berkembang yaitu CCR dan BCC (Banker-Charnes-Cooper). Model BCC merupakan pengembangan dari CCR. Perbedaan CCR dan BCC terletak pada acuan yang digunakan untuk menetukan batas titik-titik efisiensi DMU (Decision Making Unit) 77

95 dalam suatu frontier. Garis batas terluar efisiensi dalam CCR ditarik dari satu titik efisiensi terluar berupa garis lurus, sedangkan dalam model BCC batas efisiensi ditarik oleh garis yang menghubungkan titik-titik terluar efisiensi (Gambar 9 dan Gambar 10). Baik model CCR maupun BCC dibagi menjadi dua tipe, yaitu inputoriented dan output-oriented dengan notasi CCR-I; CCR-O; BCC-I; BCC-O. Tipe input-oriented digunakan untuk meminimalkan input, sedangkan output oriented digunakan untuk memaksimalkan output, perhitungan kedua tipe akan menghasilkan angka efisiensi yang sama (Cooper et al. 2004). Gambar 9 Pembatasan produksi model CCR. Gambar 10 Pembatasan produksi model BBC. 78

96 Berdasarkan data yang ada, dapat dihitung efisiensi suatu DMU menggunakan data input dan output. Jumlah variabel input dan output bisa satu atau lebih. Apabila ada n DMU: DMU1, DMU2,.., dan DMUn dimana j = 1,., n, sedangkan ada sejumlah m input dan s output, maka input data untuk DMUj menjadi (X1j, X2j,,Xmj) dan output datanya adalah (Y1j, Y2j,, Ysj). Matriks input data X dan output data Y dapat ditulis sebagai berikut. x x... x X x x x n = n... x x x m1 m2 mn....(2.1) y y... y Y y y y n = n... ys1 ys 2 y sn.....(2.2) Salah satu cara untuk menganalisa kapasitas perikanan adalah dengan DEA, dimana pendekatannya berdasarkan input dan output. Seperti dirujuk oleh Fauzi dan Anna (2005), konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles, Cooper, dan Rhodes atau dikenal sebagai CCR. Di Indonesia konsep ini telah diterapkan oleh Fauzi dan Anna pada tahun 2002 untuk mengukur efisiensi kapasitas perikanan di DKI Jakarta (Fauzi dan Anna, 2005). input, atau: Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan Output Efisiensi =...(2.3) Input Pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat dilaksanakan dengan menggunakan pengukuran efisiensi relatif yang dibobot sebagaimana tertulis berikut: 79

97 Jumlah output yang sudah dibobot Efisiensi =...(2.4) Jumlah input yang sudah dibobot Atau dapat ditulis : w1y1 j + w2 y2 j +... Efisiensi dari unit j =...(2.5) v x + v x j Keterangan : w 1 = Pembobotan untuk output i y 1j = Jumlah output 1 dari unit j v 1 = Pembobotan untuk input 1 x 1j = Jumlah dari input 1 ke unit j 2 2 j Namun demikian, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. Keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA, efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan. Pada pembahasan DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum dengan kendala relatif efisiensi dan seluruh unit yang tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dan persamaan berikut: wi yijm m Max Em = v y...(2.6) Dengan kendala : k k kjm i k w v k i y y ijm kjm 1 untuk setiap unit ke j...(2.7) w i, v k ε Pemecahan masalah pemrograman matematis di atas akan menghasilkan nilai E m yang maksimum sekaligus nilai bobot (w dan v) yang 80

98 mengarah ke efisiensi. Jadi jika nilai E m =1, maka unit ke m tersebut dikatakan efisien relatif terhadap unit lainnya. Sebaliknya jika nilai E m lebih kecil dari 1, maka unit yang lain dikatakan lebih efisien relatif terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimisasi unit m. Salah satu kendala dan pemecahan persamaan (2.7) adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit untuk dipecahkan melakukan pemograman linear. Namun demikian, dengan melakukan linearisasi, persamaan (2.6) dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga pemecahan melalui pemograman linear (linear programming) dapat dilakukan. Linearisasi persamaan (2.6) di atas menghasilkan persamaan sebagai berikut: m = i Max E w y...(2.8) Dengan kendala: i ijm k i v k i x w y kjm ijm = ϖ k v k x kjm 1...(2.9) ω i, vk ε Salah satu manfaat dilakukannya linearisasi, kita dapat melakukan pemecahan pemrograman linear di atas dengan melakukan pemecahan dual dari persamaan (2.9). Sebagaimana ciri yang dimiliki oleh pemograman linear, pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun demikian sering pemecahan dengan dual lebih sederhana karena berkurangnya dimensi kendala. Primal dan dual variable dari persamaan (2.9) di atas dapat ditulis kembali sebagai sebagai: Model Primal Max Em = wiyijm i Variabel Dual Z 81

99 Dengan kendala k v kxkjm=ϖ? o wi yijm - vkx i k kjm 1 j = 1,2... n (2.10 ) vk - ε k =1,2... m S k ω i ε i =1,2,...t + S k Dengan demikian, dual dari persamaan (2.10) dapat ditulis sebagai; min ϖ Z m i + -ε S i ε S k k Dengan kendala: - xkj - Sk - Xkj λ j = 0 k = 1... m...(2.11) j + Si + y ij λ j = yijm i = 1... t + j λ j, S i, S k 0 Hasil dari perhitungan DEA ini kemudian di plot dalam bentuk efficiency frontier untuk mengetahui posisi relatif dari hasil sensisitvity analysis dengan kondisi aktual. Analisis selanjutnya adalah memanfaatkan data 8 alat tangkap dari sampel tahun 2006 untuk menghitung efisiensi tiap kapal dengan DEA menggunakan multiple input variable dan multiple output variable. Variabel input terdiri dari investasi, biaya, effort (upaya) dalam satuan hari melaut (fishing days), dan kekuatan mesin (GT). Variabel output terdiri dari penerimaan bersih serta variabel tenaga kerja yang digunakan. Data-data tersebut dimasukan ke dalam rumus DEA sebagai berikut: wi yijm wi yijm m i Max Em = Dengan kendala : 1 v y v y k k kjm k k kjm untuk setiap unit ke j 82

100 5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kabupaten Indramayu terletak di ujung timur laut Provinsi Jawa Barat pada posisi geografis ' ' Bujur Timur (BT) dan 6 14' ' Lintang Selatan (LS). Batas wilayah di sebelah barat adalah Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang, sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah timur dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon dan sebelah selatan dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka. Luas wilayah Kabupaten Indramayu ha dan memiliki garis pantai sepanjang 114 km, yang secara administratif dibagi ke dalam 24 kecamatan, 8 kelurahan, dan 302 desa, dan 37 desa diantaranya adalah desa pesisir yang terdapat dalam 9 kecamatan Di wilayah Kabupaten Indramayu, terdapat pulau-pulau kecil yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Pabean Ilir, Kecamatan Kota, Indramayu. Pulau Biawak terletak di lepas pantai Laut Jawa, sekitar + 40 km di sebelah Utara pantai Indramayu pada posisi geografis 05 o LS dan 108 o BT. Berdasarkan hasil survey lapangan DKP (2003a), keadaan topografinya datar, beberapa bagian pulau yang ditumbuhi mangrove tergenang air laut, terutama pada saat pasang naik. Luas pulau Biawak ha, terdiri dari ± 80 ha hutan bakau dan ± 40 ha hutan pantai/darat. Panjang pulau dari timur ke barat ± 1 km dan dari utara ke selatan ± 0.5 km (DKP, 2003a). Pulau Gosong terletak pada posisi 05 o LS dan 108 o BT atau sekitar 5 km arah timur laut Pulau Biawak seluas ha. Pulau ini berbentuk cincin akibat pengerukan yang dilakukan oleh Pertamina Balongan (Exor I) untuk penimbunan wilayah pantai di kawasan industri pada awal tahun

101 1990-an. Di pulau ini dapat dijumpai hanya beberapa vegetasi tumbuhan. Pulau ini merupakan karang dan biasanya muncul pada saat sedang surut. Pulau Candikian (Pulau Rakit Utara) terletak pada posisi 05 o LS dan 108 o BT atau sekitar 14 km arah timur laut Pulau Biawak seluas + 97 ha. Vegetasi tumbuhan yang ada adalah jenis ketapang (Terminilia cattapa) dan jenis bakau kerdil menyerupai perdu. Pada saat surut, daratan pulau ini terlihat luas, hal ini menandakan bahwa pulau ini dikelilingi oleh karang. Berdasarkan ketinggian, Kabupaten Indramayu tergolong dataran rendah yakni berada pada 0 7 meter di atas permukaan laut. Sedangkan topografi pantainya sendiri berdasarkan data dari Dinas Hidro Oseonografi TNI Angkatan Laut Tahun 2000, yaitu: - Tepi pantai (batas pasang tertinggi ) : 1-2 dpl - Pantai (batas surut terendah) : 3 8,2 dpl Pulau Biawak tersusun dari batu-batu karang dan hancuran batu karang, pasir putih/kersik lumpur dan humus terutama dijumpai di bagian barat laut dan utara dan merupakan hutan bakau dengan jenis tumbuhan Bruguiera sp. yang berakar jangkar pendek. Formasi geologi wilayah pesisir pantai utara Indramayu tersusun atas batuan sedimen yang terdiri dari campuran hancuran bahan literit serta jenis batuan pliocene sedimentary facies serta aluvium. Pulau Gosong merupakan kawasan batu karang yang membentuk lingkaran seperti cincin (karang atol) hal ini terjadi akibat dari hasil pengerukan yang dilakukan oleh Pertamina Balongan (Exor I). Bentuk karang atol ini dapat terlihat pada waktu surut. Untuk masuk ke dalam lingkaran tersebut terdapat celah yang cukup besar bagi kapal-kapal yang ingin berlabuh agar terlindung dari kerasnya gelombang. Daratan yang tampak pada saat survey terlihat seluas 84

102 ± 10 m 2 yang ditumbuhi jenis rerumputan dan jenis mangrove Avicenia sp, kondisi pulau terlihat pada saat pasang air laut. Pulau Candikian tersusun dari batu karang dan hancuran terumbu karang, pasir putih dan merupakan hutan bakau Brugiera sp. Pada waktu surut jelas terlihat batu-batu karang yang merupakan bagian dari pulau tersebut. Luas daratan pulau tersebut ± 20 m 2 dan terpisah menjadi dua bagian daratan pasir putih. 5.2 Oseanografi 1) Iklim Iklim di Kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh angin munson yang mengakibatkan dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Angin umumnya berasal dari barat laut (29,35%), timur laut (22,01%), dan utara (18,32%) dengan kecepatan angin umumnya berkisar antara 3 5 meter per detik. Musim barat terjadi pada bulan Desember sampai bulan Februari, dimana angin umumnya (30 40%) bertiup dari arah barat laut dengan kecepatan 4 6 meter per detik. Pada musim barat, sebagian kecil (10%) angin bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan angin 3 meter per detik. Selanjutnya pada bulan Juni sampai bulan Agustus merupakan puncak musim timur dimana angin umumnya (30 40%) bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan 3 6 meter per detik (DKP dan PKSPL, 2001). 2) Pasang surut Pasang surut merupakan gerakan permukaan air laut yang teratur secara periodik dan secara umum dipengaruhi oleh posisi bulan dan matahari disamping karakter perairan pantai seperti wilayah kepulauan dan kedalaman juga mempengaruhi sifat pasang surut secara lokal. Pengaruh posisi bulan dapat 85

103 dicirikan dengan adanya pasang purnama dan pasang perbani, sedangkan karakteristik pantai akan mempengaruhi tipe pasang surut seperti diurnal, semidiurnal, dan campuran. Sifat diurnal apabila hanya mengalami satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, semidiurnal terjadi jika pantai mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang sama. Sifat pasang surut campuran terjadi apabila pantai mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Berdasarkan data prakiraan dari stasiun Tanjung Priok dan Cirebon, tipe pasang surut di Kabupaten Indramayu termasuk kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kisaran pasang surut terbesar adalah 1 meter dan kisaran pasang surut kedua adalah 0,5 0,7 meter (DKP dan PKSL, 2001). 5.3 Potensi Sumber Daya Hayati 1) Mangrove Berdasarkan laporan DKP dan PKSPL (2001), hutan mangrove di Kabupaten Indramayu dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu hutan mangrove binaan dan hutan alami. Hutan mangrove binaan terdapat di Indramayu daratan dan berada di bawah pengelolaan Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Indramayu. Berdasarkan pengelolaannya, hutan mangrove binaan tersebut dapat dibagi menjadi empat Resort Pemangkuan Hutan (RPH), yaitu RPH Cemara, Cangkring, Purwa dan Pabean Ilir. Keseluruhan wilayah RPH berada di dalam wilayah Losarang, Sindang dan Indramayu. Wilayah di luar tiga kecamatan tersebut tidak memiliki hutan mangrove. Kepadatan hutan mangrove yang tertinggi berada di daerah tanah timbul seperti di Desa Cemara, Desa Cangkring dan muara Sungai Cimanuk. Kepadatan mangrove mencapai 0,8 ind/m2 di Desa Cemara, 0,21 ind/m2 di Desa 86

104 Cangkring dan 3,62 ind/m2 di muara Sungai Cimanuk. Jenis mangrove yang ditemukan dengan kerapatan jenis terbesar adalah bakau (Rhizophora macronata) dan api-api (Avicenia alba). Di muara Sungai Cimanuk ditemukan jenis mangrove drujon/jeruju (Acanthis ilicifolius, L) yang tumbuh dominan di hutan mangrove yang rusak (DKP dan PKSPL, 2001). Selain di wilayah daratan tersebut di atas, Pulau Biawak juga merupakan pulau hutan mangrove yang banyak ditumbuhi berbagai jenis bakau sebagai ciri khas ekosistem mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Kondisi ekosistem mangrove masih baik dengan tumbuhnya berbagai ragam jenis mangrove yang sudah langka sebagaimana jarang dijumpai di pantai utara Jawa. 2) Terumbu Karang Terumbu karang di daerah Indramayu terdapat di Pulau Biawak dan sekitarnya. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan Jawa Barat tahun 2004 tingkat kerusakan terumbu karang di sekitar Pula Biawak mencapai 47,58%. Hal ini terjadi akibat masih adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dan potasium sianida serta penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan. Di wilayah Pulau Gosong dan Pulau Candikian jarang ditemukan terumbu karang yang berukuran besar, akibat dari pengerukan dan penangkapan ikan dengan menggunaan bom serta potasium sianida seperti halnya yang terjadi di Pulau Biawak. 5.4 Perikanan 1) Perikanan laut Usaha perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dilakukan di dalam dan diluar wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Jenis usaha perikanan 87

105 tangkap yang dilakukan di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu umumnya dilakukan oleh nelayan yang berdomisili di sepanjang jalur pantai dengan menggunakan alat tangkap anco, sero, pancing, jaring klitik, jaring insang hanyut, jaring lapis tiga (trammel net), pukat pantai, payang atau lampara dan dogol. Sedangkan jenis usaha penangkapan yang dilakukan di luar wilayah perairan Kabupaten Indramayu dilakukan dengan alat tangkap yang berskala sedang sampai besar seperti dogol, trammel net, jaring insang hanyut dan purse Seine dengan kapal motor skala sedang sampai skala besar dan sebagai alat tangkap andalan adalah purse Seine dan pancing (DKP dan PKSPL, 2001). Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu pada tahun 2004, jumlah nelayan sebanyak orang dengan jumlah armada penangkapan ikan sebanyak armada, serta produksi perikanan laut sebesar ,40 ton dengan nilai produksi mencapai Rp ,-. Kondisi perikanan laut didukung juga oleh jumlah perusahaan pengalengan ikan 1 buah dan pabrik es sebanyak 5 buah. Kabupaten Indramayu memiliki panjang pantai 114 km yang membentang sepanjang Cirebon hingga Subang, dan jarak 4 mil dari pantai merupakan wewenang kabupaten (sesuai Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Potensi sumber daya ikan di wilayah perairan Kabupaten Indramayu berdasarkan data laporan yang dikeluarkan oleh Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2004 adalah sekitar ,12 ton. Adapun jumlah sarana pangkalan pendaratan ikan (PPI) di sepanjang pantai Indramayu tercatat 14 buah tersebar mulai dari perbatasan Cirebon sampai kabupaten Subang. Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang di daratkan di 14 buah PPI tersebut antara lain : tongkol, kuro, biji nangka, bawal, mata besar, tenggiri, belanak, teri, tembang, alu-alu, beronang, kerapu, kakap, kepiting, rajungan, 88

106 ekor kuning, peperek, layang, layur, ikan lidah dan jenis ikan lanilla selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Jenis-jenis ikan laut ekonomis penting yang didaratkan di Kabupaten Indramayu No Nama ikan Nama ilmiah No Nama ikan Nama ilmiah 1 Tongkol Euthynnus affinis 16 Bandeng Chanos chanos 2 Kuro Eletheronema tetradactylum 17 Kepiting Scylla sp 3 Biji nangka mulidae 18 rajungan Portunus pelagicus 4 Bawal stromatidae 19 Ekor Kuning Caesio sp 5 Mata besar Priacentus tayayenus 20 Caerio chrynozonus 6 Selar Caranx sp 21 Peperek,, - 7 Tebal bibir Balistoides spp 22 Layang - 8 tenggiri Scomberocus spp 23 Pari Dasyatidae 9 Belanak Mugil sp 24 Layur Trihiuriedae 10 Teri - 25 Ikan lidah Solidae 11 Tembang clupeidae 12 Alu-alu Sphyraena sp 13 beronang Siganus spp 14 Kerapu Epinephelus spp 15 Kakap Lates calcaliver Sumber Data : Data Statistik Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu 2004 Sebagaimana kegiatan perikanan tangkap di pantai utara pada umumnya, kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dipengaruhi oleh dua musim dengan arah dan cuaca tahunan, yaitu musim timur dan musim barat. Musim timur, yaitu musim yang disebabkan bertiupnya angin dari arah timur ke barat yang terjadi pada bulan Mei sampai September. Musim barat, yaitu musim yang disebabkan oleh bertiupnya angin dari arah barat yang biasanya terjadi antara bulan Oktober hingga Maret (Juwono, 1998). Perbedaan musim tersebut mempengaruhi kapasitas kapal serta penggunaan alat tangkap dalam melakukan penangkapan ikan. Sementara itu, berdasarkan daerah tangkapan (fishing ground), secara umum jenis usaha perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan yang berasal 89

107 dari Kabupaten Indramayu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu nelayan yang melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah Kabupaten Indramayu, seperti yang menggunakan alat tangkap pancing, sero, jaring klitik, payang, dogol, pukat pantai. Sedangkan kelompok kedua yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah Kabupaten Indramayu adalah jaring insang dan purse seine. 2) Perikanan budidaya Kegiatan budidaya ikan di Kabupaten Indramayu di dominasi oleh budidaya tambak yang tersebar di Kecamatan Indramayu, Centigi (Sindang), Balongan, Arahan (Lohbener), Krangkeng (Karang Ampel), Juntinyuat, Losarang, Kandanghaur dan Sukra. Dari daerah pertambakan tersebut Centigi (Sindang) merupakan yang terluas sedangkan Juntinyuat merupakan yang terkecil. Kegiatan budidaya tambak yang terdapat di wilayah tersebut adalah kegiatan pembesaran ikan bandeng dan atau udang (DKP dan PKSPL, 2001). Gambaran selengkapnya perkembangan luas lahan budidaya tambak dari tahun dapat diikuti pada Tabel 6. Pada tahun 2001 luas areal tambak telah mencapai ,4 ha, dengan produksi ikan/udang hasil budidaya tambak sebesar ,5 ton, dan jumlah rumah tangga perikanan (RTP) RTP. Tabel 6 Perkembangan luas lahan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu tahun (Ha) No Kecamatan Indramayu Centigi (Sindang) Balongan Arahan (Lohbener) Krangkeng (K.Ampel) Juntinyuat Losarang Kandanghaur Sukra Jumlah Diolah dari DKP dan PKSPL,

108 5.5 Sosial, Ekonomi dan Budaya 1) Kependudukan Penduduk kawasan pesisir Kabupaten Indramayu merupakan penduduk asli dan pendatang. Para penduduk asli lebih banyak tinggal di daerah perbatasan, sedangkan para pendatang banyak yang bermukim di daerah perkotaan. Pada tahun 2000 jumlah penduduk sebanyak jiwa, sedangkan jumlah penduduk akhir tahun 2001 yaitu jiwa (laki-laki jiwa dan perempuan sebanyak jiwa sex ratio sebesar 101,76 maka laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2001 adalah 0,52% penduduk paling banyak pada di Kecamatan Haurgeulis sebanyak jiwa (8,42%), dan Kecamatan Indramayu (6,47%) jumlah penduduk, paling sedikit di Kecamatan Balongan yakni jiwa (1,34%). 2) Struktur ekonomi regional Kabupaten Indramayu memiliki potensi sumber minyak bumi yang tinggi, oleh sebab itu sektor pertambangan dan galian memegang peranan penting dalam perekonomian wilayah pesisir indramayu. Dalam pendapatan daerah regional bruto (PDRB) tahun 1998 nilainya mencapai 61,902% (BAPPEDA, 2000). Namun mengingat sifat sumberdaya minyak bumi ini terbatas maka perlu dicarikan alternatif lain untuk meningkatkan PDRB dan peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. 5.6 Pulau-pulau Kecil Secara umum wilayah pantai dan laut Kabupaten Indramayu berada pada pantai terbuka dan berhadapan langsung dengan Laut Jawa di wilayah ini 91

109 terdapat tiga buah pulau kecil. Kondisi saat ini, Pulau Biawak dan sekitarnya dihuni oleh pengawal mercusuar secara tetap, sedangkan Pulau Gosong dan Pulau Rakit Utara/Pulau Candikian belum dihuni oleh manusia. Status kepemilikan yang demikian itu akan memudahkan dalam menetapkan dan menata kawasan. Persepsi sebagian besar masyarakat/nelayan beranggapan bahwa pulau-pulau kecil pulau yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu merupakan milik pemerintah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 595/Kpts-II/1997 tentang penunjukkan tanah seluas ± 934 hektar yang terletak di Pulau Biawak dan blok/kelompok hutan cemara rambatan, Kecamatan Losarang dan Sindang, Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu, Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat menjadi kawasan hutan yang pengelolaanya diserahkan kepada Perhutani. Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Nomor: 556/kep.528- diskanla/2004 tertanggal 7 april 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan terumbu karang dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut dan merupakan kawasan yang belum terekspoitasi dengan optimal sehingga perlu dilakukan pengelolaan secara optimal dengan memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan dan perlindungan kelestarian, mengemban visi konservasi dan misi pelestarian, pendidikan dan ekonomi. Pembagian kawasan konservasi dan wisata laut Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi menjadi dua zona dengan kategori sebagai berikut: (1) Internal zone yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan populasi sumber daya hayati. (2) Eksternal zone yang merupakan perlindungan dan pemanfaatan wisata. Di Pulau Biawak tidak ada perkampungan penduduk, yang ada hanya petugas penjaga mercusuar dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Para 92

110 petugas bergilir untuk masa-masa tertentu. Pada umumnya untuk selama enam bulan mereka bertugas menjaga mercusur. Jumlah petugas rata-rata tiga orang, biasanya petugas tersebut membawa keluarga. Di pulau ini dibangun rumah penjaga sebagai tempat tinggal para petugas, gudang, sebuah kamar atau rumah mesin diesel dan mercusuar. Kondisi pulau yang jaraknya relatif jauh dari daratan Indramayu (Pulau Jawa) menjadikan pulau ini jarang dikunjungi kecuali nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan pulau tersebut. Umumnya nelayan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut adalah nelayan yang berasal dari pantai utara Jawa Barat (Indramayu, Cirebon, dan Subang). Terkadang ada yang mengunjungi pulau tersebut untuk melakukan ziarah ke makam Kyai Syarief Hasan yang merupakan situs peninggalan budaya. Selain itu, juga terdapat makam Belanda serta tugu menara suar yang dibangun tahun 1872 dengan titik fokus lampu 50 meter yang diresmikan Z.M. Williem III, merupakan daya tarik pengunjung untuk menaiki menara suar tersebut sambil melihat panorama sekitar pulau. Sedangkan pada Pulau Gosong dan Pulau Candikian sama sekali tidak ada penduduk yang menghuni. Kedua pulau tersebut dikunjungi hanya untuk menangkap ikan. Pulau gosong sendiri dijadikan tempat berlabuh bagi para nelayan ketika terjadi badai agar dapat terhindar dari arus gelombang yang tinggi. 93

111 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Keragaan Sumber Daya Perikanan Tangkap Analisis kebijakan yang diutarakan sebelumnya bertujuan untuk mengetahui implementasinya di lapangan dengan melihat kondisi sumber daya dan status perikanan tangkap saat ini. Sumber daya ikan yang terdata di lokasi penelitian berdasarkan pengamatan langsung di beberapa pangkalan pendaratan ikan seperti Karangsong, Eretan, Dadap, Tegal Agung dan Juntinyuat serta hasil wawancara dengan nelayan dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu adalah ikan layang, kembung, selar, bawal, tongkol, tenggiri, kakap, cucut dan pari serta berbagai jenis ikan lainnya termasuk udang dan cumi. Perkembangan produksi perikanan laut sejak tahun 1995 sampai dengan tahun 2004 terlihat mengalami fluktuasi (Tabel 7 dan Gambar 11), sedangkan nilai produksinya menunjukkan kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun secara signifikan. Kenaikan angka produksi terjadi pada tahun 1997 dan Kenaikan angka produksi pada tahun 1997 dimungkinkan oleh meningkatnya harga jual ikan seiring dengan meningkatnya nilai tukar mata uang dollar Amerika pada saat itu. Peningkatan angka produksi tahun 2004 diduga karena terjadinya peningkatan jumlah unit tangkapan ikan. Berdasarkan data runtun dari tahun sebagaimana tercantum pada Tabel 8, diketahui bahwa jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di lokasi penelitian meningkat setiap tahunnya yaitu dari RTP pada tahun 1995 menjadi RTP pada tahun Peningkatan ini diduga sebagai dampak resesi ekonomi, dimana banyak tenaga kerja perusahaan industri yang

112 mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) beralih ke industri perikanan baik sebagai buruh atau nelayan tangkap. Tabel 7 Perkembangan produksi dan nilai produksi perikanan laut di Kabupaten Indramayu pada tahun Tahun PRODUKSI NILAI PRODUKSI TAHUNAN (ton) (Rp) , , , , , , , , ,50 404, , Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu ( ) 68, , Produksi (Ton) 64, , , , , , Tahun Gambar 11 Perkembangan total produksi tahunan perikanan laut di Kabupaten Indramayu pada tahun Perkembangan jumlah nelayan juga diikuti oleh perkembangan armada kapal (Tabel 8). Peningkatan jumlah armada tanpa adanya kontrol diduga akan 95

113 meningkatkan tekanan terhadap stok sumberdaya ikan akibat peningkatan upaya penangkapan. Tabel 8 Perkembangan jumlah RTP dan armada berbagai jenis kapal di Kabupaten Indramayu pada tahun Tahun RTP JENIS ARMADA KAPAL (unit) PTM Motor Tempel Kapal Motor , Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu ( ) Sejalan dengan perkembangan nelayan dan armada penangkapan ikan, secara langsung berdampak pula terhadap perkembangan jumlah alat tangkap di masing-masing lokasi penelitian. Jenis alat tangkap yang banyak dipergunakan oleh nelayan adalah payang atau lampara, jaring insang hanyut, dan jaring klitik. Namun, khusus untuk jaring klitik terjadi penurunan sangat drastis pada tahun 2002 (Tabel 9). Gambaran mengenai perkembangan jumlah alat tangkap per tahun khususnya untuk empat alat tangkap terbanyak digunakan di Kabupaten Indramayu adalah payang atau lampara, purse seine, jaring insang hanyut dan jaring klitik. Perkembangan alat tangkap dari tahun 1995 sampai tahun 2004 dapat dilihat pada Gambar 12. Mempertimbangkan bahwa wilayah pengelolaan Kabupaten/kota menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 adalah sejauh 4 mil, maka dipilih pendekatan sumber daya ikan pelagis kecil dan demersal dengan alat tangkap yang dominan digunakan nelayan. 96

114 Tabel 9 Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Indramayu pada tahun ALAT TANGKAP (unit) Tahun Payang/ Lampara Dogol Pukat Pantai Purse Seine Jaring Insang Hanyut Jaring Klitik Pancing Sero Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu ( ) (Unit) Jumlah Alat Tangkap 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1, Purse Seine Gillnet Lampara J. Klitik Pancing Sero Pukat Pantai Dogol Tahun Gambar 12 Grafik perkembangan jumlah alat tangkap utama per tahun di Kabupaten Indramayu tahun Memperhatikan perkembangan produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun sampai di atas 200% dari MSY dan JTB yang diakibatkan bertambahnya jumlah RTP dan armada penangkapan menjadikan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu sangat menarik. Hal ini dimungkinkan karena banyak nelayan Indramayu yang melakukan penangkapan ikan jauh di luar 97

115 wilayahnya sampai ke perairan Bangka Belitung, Selat Bali, Selat Makasar dan wilayah perairan lainnya. Hal ini menguatkan pendapat bahwa stok sumberdaya ikan di perairan Indramayu telah mengalami penurunan. Over-fishing secara simultan disebabkan oleh armada perikanan tangkap skala industri (industrial fisheries), perikanan skala kecil (artisanal fisheries), perikanan yang bersifat rekreasional maupun komersial, dan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap yang ilegal maupun legal. Perikanan skala kecil (artisanal) menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumber daya ikan. Perikanan skala besar yang sangat potensial sebagai penyebab over fishing terutama karena lemahnya penegakan hukum dan aturan-aturan terhadap jalur-jalur penangkapan ikan berdasarkan ukuran effort. Penangkapan ikan dengan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat proses terjadinya over-fishing karena hasil tangkapan yang tidak selektif dan kerusakan habitat sebagai akibat dari metode penangkapan yang merusak. Namun alat tangkap legal juga tetap menyebabkan over fishing jika penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumber daya dalam melakukan pemulihan. Terjadinya penangkapan secara berlebihan disebabkan oleh : (1) Meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumber daya ikan akibat kegiatan perikanan tangkap. (2) Perikanan tangkap bersifat akses terbuka sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara bebas. (3) Gagalnya pengelolaan perikanan. 98

116 6.2 Analisis Kondisi dan Status Perikanan Tangkap Kabupaten Indramayu Untuk mengetahui kondisi dan status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu, dilakukan analisis terhadap enam dimensi keberlanjutan sumber daya, yaitu: ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan. Dengan menganalisa keenam dimensi tersebut maka didapatkan indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. Sebagaimana yang tersaji pada Tabel 1 Bab 2, keenam dimensi tersebut memiliki 60 atribut. Hasil pengkajian terhadap status perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu yang terdiri atas dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan diuraikan sebagai berikut: Dimensi ekologi Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi ekologi sebesar 25,07. Nilai indeks dimensi ekologi tersebut berada pada kisaran (Gambar 13). Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan krtiteria status keberkelanjutan, indeks dimensi ekologi di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkapan, yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (over fishing) terhadap sumber daya ikan dan degradasi kualitas fisik, kimia serta biologi lingkungan perairan. Dari segi dimensi ekologi menunjukkan kondisi sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu dalam keadaan kurang berkelanjutan. Hal ini disebabkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan belum memperhatikan kelestarian sumber daya yang berdampak pada terjadinya peningkatan degradasi. 99

117 60 RAPFISH Ordination UP 40 Other Distingishing Features Other Distinguishing Features ,07 BAD GOOD DOWN -60 Dimensi Ekologi Berkelanjutan Real Fisheries References Anchors Gambar 13 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks ekologi Kabupaten Indramayu. Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi ekologi dari analisis menggunakan perangkat lunak RAPFISH mengenai kondisi dan status perikanan tangkap, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Kegunaannya adalah untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap indeks kondisi dan status perikanan tangkap. Perhitungan leverage ini didasarkan pada perbedaan standard error antara skor dengan atribut atau sebaliknya skor dengan tidak adanya atribut. Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi ekologi ditunjukkan pada Gambar 14. Pada Gambar 15 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekologi. 100

118 Leverage of Attributes Tekanan terumbu karang Jumlah spesies 1,02 1,26 Kedewasaan ikan tertangkap 0,58 Attribute Sedimentasi Sedimentasi Tekanan thd Tekanan lahan mangrove keragaman rekruitment 1,83 3,22 4,90 Jarak migrasi 1,95 Perubahan ukuran ikan 1,37 Abrasi 2,02 Status pemanfaatan 0, Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 14 Hasil analisis atribut pengungkit (Leverage Attributes) RAPFISH dimensi ekologi. Pada Gambar 14 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi ekologi, yaitu : 1) Tekanan terhadap lahan mangrove Produk yang paling memiliki nilai ekonomis dari ekosistem mangrove adalah perikanan pantai. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada daerah mangrove, kakap (Lates calcalifer), kepiting bakau (Scylla serrata) serta beberapa jenis ikan lainnya merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove. Ikan menjadikan areal mangrove sebagai tempat untuk pemijahan, habitat permanen atau tempat berkembang biak. Sebagai tempat pemijahan, areal mangrove berperan penting karena menyediakan tempat berlindung dari serangan predator. 101

119 Seiring dengan terjadinya tekanan terhadap lahan mangrove, maka masyarakat nelayan merasakan telah terjadi penurunan produksi tangkapan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu. Hal ini disadari oleh para nelayan bahwa penurunan hasil tangkapan dipengaruhi oleh adanya deforestasi hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu termasuk salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerusakan hutan mangrove terparah di Jawa Barat. Tercatat dari ha hutan mangrove, 50% diantaranya tergolong rusak berat dan sekitar ha lahan yang tercakup dalam delapan kecamatan dikategorikan sebagai daerah kritis. Sebagai tinjauan kasus konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak pada tahun 1997, lahan tambak Kabupaten Indramayu seluas ha meningkat 9,10% dari tahun 1996, sedangkan pada tahun 1998 luas areal tambak meningkat 5,23% (604 ha). Tahun 2000 meningkat 11.55% (1.558,26 ha) dari tahun 1999 sebesar ha. Daerah mangrove yang banyak dijadikan tambak terdapat di sekitar blok Karangkaji Desa Cangkring dan Cantigi (DKP dan PKSPL, 201). Berdasarkan kecenderungan perkembangan luas lahan tambak di wilayah Kabupaten Indramayu, diduga pada tahun 2005 luas lahan budidaya tambak di wilayah Kabupaten Indramayu akan bertambah menjadi ,12 hektar (Satria, 2002). Penyusutan hutan mangrove berdampak negatif pada ekosistem dan kenyataannya dampak tersebut sering dilupakan dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Fauzi (2001) mengungkapkan bahwa pemanfaatan sumber daya haruslah tidak melebihi daya dukung ekologis. Untuk itu dilakukan sedemikian rupa untuk tidak merusak keberadaan sumber daya yang ada. Kawasan hutan mangrove yang ada di Kabupaten Indramayu merupakan habitat buatan, sehingga jenis mangrove yang ada di sana relatif terbatas, yaitu hanya mencakup jenis-jenis Rhizopora spp (Tabel 10). Jenis mangrove yang 102

120 ditemukan dengan kerapatan jenis tertinggi adalah bakau (Rhizophora macronata) dan api-api (Avecenia alba). Di Muara Sungai Cimanuk ditemukan jenis mangrove jeruju (Acanthus ilicifolius. L) yang tumbuh dominan di hutan mangrove rusak. Tabel 10 Jenis mangrove yang tumbuh di Kabupaten Indramayu No Nama Pulau 1 Pulau Biawak (Pulau Rakit) Jumlah Jenis 11 Nama ilmiah Rhizopora stylosa, Rhizopora Muncurota, Sonneratia alba, Brugueria exirtata, Avicennia marina, Ceseolaris tagal, Nipa spp, Achanthus spp, Ceriops spp, Aegicera dan Lumnitzera. 2 Pulau Gosong 2 Rhizopora stylosa, dan Avicennia marina 3 4 Pulau Rakit Utara (P.Candikian) Muara Sungai Cimanuk 4 11 Sumber Data : Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2004 Rhizopora stylosa, Sonneratia alba, Avicennia marina, dan Ceseolaris tagal Rhizopora mucronata, Rhizopora conjugata, Rhizopora stylosa, Avicennia marina, Bruguiera parviflora, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops candoleana, Onchospermae filamentosa, Excoecaria agallocha, Ceras corniculatum, dan Sonnerataria alba 2) Sedimentasi Indikator dari dimensi ekologi yang menjadi faktor pengungkit utama kedua adalah sedimentasi yang tinggi di perairan Kabupaten Indramayu. Penebangan hutan, perubahan tata guna lahan, dan praktek pertanian yang buruk, semuanya menyebabkan peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimentasi dalam kolom air dapat sangat mempengaruhi pertumbuhan karang, atau bahkan menyebabkan kematian karang. Kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun. Keadaan ini mendorong pertumbuhan alga lain yang tidak saja 103

121 memanfaatkan energi matahari, tetapi juga menghambat kolonisasi larva karang dengan cara menumbuhi substrat yang merupakan tempat penempelan larva karang. Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh sedimentasi di pesisir Kabupaten Indramayu adalah kesulitan nelayan dalam melabuhkan perahu/kapal. Misalnya yang terjadi di Pelabuhan Karangsong, nelayan yang biasa berlabuh di Pelabuhan Karangsong ini mengeluh karena terjadinya pendangkalan hebat di bagian muara sungai yang menjadi jalur utama keluar masuk kapal dan perahu nelayan. Pendangkalan yang diakibatkan menggunungnya pasir di bagian muara sungai, kapal dan perahu sulit berlabuh itu menjadikan para nelayan menderita kerugian ratusan juta rupiah. Hal ini terungkap dari pernyataan beberapa nelayan, dan salah satu diantaranya adalah Tholib, salah seorang nelayan setempat yang juga juragan kapal motor "Laju Suud" mengaku akibat kondisi tersebut dirinya menderita kerugian besar. Dalam sehari ia merugi antara Rp Rp Hal ini dikarenakan, kapal motor miliknya yang berbobot di atas 15 GT, telah 15 hari lebih terdampar di Pelabuhan Karangsong (Pikiran Rakyat, 5 Juni 2006). Dampak lain dari terjadinya pendangkalan di Muara Karangsong adalah sepinya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsong. TPI yang biasanya ramai oleh aktivitas pelelangan ikan, dalam dua pekan terakhir juga terlihat lengang karena tidak ada kapal atau perahu nelayan yang membongkar dan menjual ikan hasil tangkapan. Hal ini dibenarkan Tarika, Manajer TPI Karangsong KUD Mina Sumitra. Akibat terjadinya pendangkalan pasir di lokasi muara, menurut Tarika, aktivitas TPI terjadi penurunan begitu pula halnya dengan besar pendapatan, yakni pendapatan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7,9 miliar setelah muara mengalami pendangkalan, pendapatannya hanya berkisar Rp 4,7 miliar (Pikiran Rakyat, 5 Juni 2006). 104

122 Selain itu, di bagian utara Indramayu, sedimentasi telah menyebabkan lahan bermasalah sekitar ha. Lahan tersebut setiap tahun terkena banjir dan kekeringan akibat dangkalnya sungai dan saluran pembuang. Oleh karena itu, gejala sedimentasi perlu mendapat perhatian, karena berdampak besar terhadap kehidupan sosial dan lingkungan. Proses-proses geologi yang sedang berlangsung di Kabupaten Indramayu dapat ditafsirkan dari peta geologi kuarter (Hanafi, M. 2005) yaitu : (1) Proses pembentukan endapan dataran banjir yang menutupi sebagian besar wilayah bagian utara. (2) Proses pendangkalan daratan ke arah laut, diperlihatkan oleh terjadinya endapan laut muda dan endapan dataran banjir di atas endapan laut, membentuk delta Sungai Cimanuk. (3) Proses abrasi di daerah pantai Eretan, yang diperlihatkan oleh bentuk garis pantai dan endapan yang relatif tua, yang tidak tertutupi endapan dataran banjir. 105

123 RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability Gambar 15 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi ekologi. 106

124 6.2.2 Dimensi ekonomi Di kawasan Asia Tenggara, tujuan sosial dan ekonomi seringkali bertentangan dalam pengelolaan penangkapan ikan perairan pantai. Di negara dimana pemerintahnya menekankan tujuan-tujuan ekonomi, kebijakan ditujukan untuk menjamin persediaan ikan yang memadai dengan harga yang dapat dijangkau oleh para konsumen lokal, guna meningkatkan pendapatan valuta asing dari produk-produk perikanan seperti udang, dan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi (tingkat keuntungan) dalam sektor perikanan (Bailey 1988). Pengelolaan dimensi ekonomi dapat mengalokasikan sumber daya ikan dengan daya dukung ekonomi secara efisien yaitu bagaimana pemanfaatan sumber daya ikan dapat meningkatkan keuntungan dalam ukuran uang dan meningkatkan pendapatan nelayan secara merata dengan tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta produktivitas sumber daya secara terus menerus. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan antara lain dengan meningkatkan produksi hasil tangkapan melalui penggunaan unit penangkapan yang produktif dan efisien sesuai dengan kondisi wilayah setempat dan tidak merusak kelestarian sumber daya ikan. Pengelolaan perikanan tangkap diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, meningkatkan ekonomi masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan dan penerimaan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan dan kelautan. Peningkatan pendapatan nelayan merupakan dampak program kerja yang sangat berarti dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan. Pendapatan nelayan dapat meningkat melalui optimasi produktivitas usaha dan adanya daya serap produksi yang memadai secara berkelanjutan. Oleh karena itu fungsi pengaturan, pelayanan dan pembinaan secara komprehensif merupakan bagian terpenting untuk memfasilitasi tercapainya peningkatan pendapatan. 107

125 Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi ekonomi sebesar 39,72. Nilai indeks dimensi ekonomi ini berada pada kisaran (Gambar 16). Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status pembangunan berkelanjutan, indeks dimensi ekonomi di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan. 60 RAPFISH Ordination UP 40 Other Distinguishing Features Other Distingishing Features 20 39,72 0 BAD GOOD DOWN -60 Dimensi Ekonomi Berkelanjutan Real Fisheries References Anchors Gambar 16 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi ekonomi Kabupaten Indramayu. Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi ekonomi dari analisis RAPFISH, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi ekonomi ditunjukkan pada Gambar 17. Pada Gambar 18 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi Ekonomi. 108

126 Leverage of Attributes Penyerapan Tekanan kerja TK 0,30 Pendapapatan di luar tangkap 2,67 Penghasilan thd UMR 0,95 Sarana ekonomi 1,29 Attribute Besarnya Subsidi subsidi Besarnya pasar 2,37 4,58 Transfer keuntungan 2,98 Kontribusi PAD PAD 4,01 GDP/orang GDP/PDRB (1000s) 2,73 Keuntungan 1, Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 17 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi ekonomi. Pada Gambar 17 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi ekonomi, yaitu: 1) Besarnya subsidi Nelayan di Kabupaten Indramayu dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu (1) kelompok nelayan tetap, yaitu nelayan setempat yang seluruh waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan; (2) nelayan sambilan, yaitu nelayan setempat yang sebagian waktunya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan; dan (3) nelayan pendatang, yaitu nelayan dari daerah lain yang ikut melakukan operasi penangkapan di daerah tersebut. 109

127 Nelayan ini dikenal pula dengan nelayan musiman yang berpindah-pindah daerah penangkapannya. Sedangkan berdasarkan kepemilikan modal usaha penangkapan, maka nelayan Kabupaten Indramayu digolongkan menjadi dua, yaitu: nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki usaha penangkapan ikan atau sering disebut sebagai juragan, sedangkan nelayan buruh yaitu nelayan yang bekerja di kapal dan diberi upah oleh nelayan pemilik atau sering juga disebut sebagai anak buah kapal (ABK). Nelayan di Kabupaten Indramayu mengalami perkembangan setiap tahunnya. Hal ini dapat menggambarkan bahwa sektor perikanan dan kelautan dapat digunakan sebagai penghasil bagi nelayan. Nelayan sambilan dan nelayan pendatang pada tahun tertentu mengalami penurunan karena beberapa nelayan harus memilih pekerjaan. Beberapa diantaranya menjadi juragan yang hanya sesekali pergi melaut, mengurus tambak dan lain sebagainya. Adapun nelayan pendatang di daerah Indramayu untuk melakukan operasi penangkapan tergantung pada musim ikan yang terjadi di daerah tersebut (DKP Indramayu, 2003). Nelayan di Kabupaten Indramayu dalam pengembangan usahanya senantiasa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan. Fauzi (2005) mengungkapkan bahwa paling tidak terdapat dua faktor umum yang menjadi sandungan dalam pengembangan perikanan di luar konteks sumberdaya alam itu sendiri. Pertama adalah faktor struktural berupa hambatan kelembagaan bagi nelayan untuk melakukan mobilitas vertikal. Hal ini terlihat dari kelembagaan pemasaran maupun kelembagaan usaha produksi yang kurang kondusif bagi nelayan untuk berkembang. Kedua adalah faktor teknis yang terkait dengan lemahnya permodalan yang menyebabkan rendahnya produktivitas dan pendapatan nelayan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang bersifat pemberian bantuan kredit 110

128 (subsidi), seperti kredit investasi kecil/kredit modal kerja permanen (KIK/KMKP) yang merupakan kredit jangka menengah dan jangka panjang untuk keperluan rehabilitasi, modernisasi dan perluasan proyek. Kebijakan yang sekarang dilakukan oleh pemerintah adalah pemberdayaan eknomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada awalnya program PEMP ini diinisiasi untuk memberdayakan masyarakat pesisir sekaligus mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) terhadap perekonomian masyarakat pesisir, yang difokuskan pada penguatan modal melalui perguliran dana ekonomi produktif. Secara umum, pemberian subsidi telah menyebabkan terjadinya over capacity di bidang perikanan. Fauzi (2005) mengungkapkan bahwa subsidi yang diberikan pada perikanan yang nota bene merupakan sumber daya yang bersifat common property, justru hanya akan menimbulkan economic waste. Hal ini dikarenakan, dalam jangka pendek kredit di bidang perikanan memang dapat membantu industri perikanan tersebut untuk mencapai akselerasi dalam produktivitas. Termasuk juga kredit yang terjadi pada perikanan di Indonesia, seperti halnya program motorisasi perikanan dan kredit KIK/KMKP. Dampak jangka pendek dari kredit tersebut terlihat dari pesatnya pertumbuhan perikanan dan meningkatnya produksi perikanan secara aggregat. Namun demikian, dalam jangka panjang hal ini harus dicermati karena sifat sumberdaya ikan yang sangat khas, justru dikhawatirkan malah akan meningkatkan kapasitas perikanan yang berakibat pada penurunan manfaat ekonomi dan timbulnya over eksploitasi yang berlebihan. Hal ini sudah terlihat di perikanan yang padat seperti halnya perikanan pantai utara Jawa, termasuk didalamnya adalah Indramayu, dimana produktivitas nelayan terlihat mengalami tren yang menurun dan berkurangnya sumber daya ikan (trip yang makin lama dan daerah penangkapan yang makin jauh). 111

129 2) Pendapatan asli daerah Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu menggenjot sumber-sumber pendapatan yang berbasiskan sumber daya seperti sumber daya pesisir dan laut untuk membangun daerahnya. Apabila fokus peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui sumber daya pesisir dan laut ini tidak diiringi dengan konsep pengelolaan (konservasi) yang jelas, dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang berujung pada over fishing dan kemiskinan masyarakat nelayan. Dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten) memiliki wewenang ekonomi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk Kabupaten/kota. Adapun kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut tersebut meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, (2) pengaturan administratif, (3) pengaturan tata ruang, (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, (5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan dan (6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintah Daerah, maka ada beberapa implikasi terhadap eksploitasi sumber daya pesisir dan laut, khususnya dalam hal perwilayahan daerah penangkapan ikan, yaitu pemerintah daerah harus dengan lebih pasti mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya. Apabila tidak, maka dikhawatirkan terjadi kerusakan 112

130 sumber daya yang berujung pada pemiskinan masyarakat setempat, khususnya masyarakat nelayan. Kekhawatiran tersebut di atas nampaknya terjadi di Kabupaten Indramayu, sejak tahun 1999, angka perkembangan alat tangkap meningkat secara signifikan. Hal ini mencerminkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu lebih mementingkan tingkat produksi, sementara potensi sumber daya ikannya jauh di bawah angka tangkapan faktual. Dengan demikian, fokus peningkatan PAD hanya akan mendorong perikanan di Kabupaten Indramayu ke arah tidak berkelanjutan. 113

131 RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability Gambar 18 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi ekonomi. 114

132 6.2.3 Dimensi Sosial Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi sosial sebesar 43,10. Nilai indeks ini berada pada kisaran (Gambar 19). Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi sosial di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan. 60 RAPFISH Ordination UP 40 Other Distinguishing Features Other Distingishing Features 20 0 BAD GOOD , DOWN -60 Dimensi Sosial Berkelanjutan Real Fisheries References Anchors Gambar 19 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi sosial Kabupaten Indramayu. Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi sosial, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi sosial ditunjukkan pada Gambar 20. Sedangkan Pada Gambar 21 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi sosial. 115

133 Leverage of Attributes Waktu untuk pekerjaan Waktu Upaya perbaikan ekosistem Waktu dari perbaikan Pemda Peran masyarakat 0,07 0,29 0,40 Partisipasi keluarga 1,58 Attribute Frekuensi Konflik konflik Tingkat Pendidikan pendidikan 3,50 4,23 Pengetahuan thd Pengetahuan lingkungan 2,54 Pertumbuhan TK 0,36 Jumlah RT pekerja Jumlah pemanfaat TK pemanfaat SDI Sosialisasi thd isu Sosialisasi thd pekerjaan perikanan 0,52 0, Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 20 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH dimensi sosial. Pada Gambar 20 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi sosial, yaitu: 1) Tingkat pendidikan Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat nelayan lainnya, rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat nelayan dalam bidang pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Hal ini dicerminkan dengan fenomena kerusakan lingkungan pesisir dan laut Kabupaten Indramayu tidak hanya disebabkan oleh aktivitas industrialisasi dan aktivitas Pertamina Balongan, akan tetapi juga disebabkan oleh penduduk miskin yang 116

134 rendah pendidikan, yang karena terpaksa harus melakukan eksploitasi sumber daya yang secara ekologis rentan atau dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak (dinamit) dan racun sianida untuk menangkap ikan. Penggunaan racun sianida umumnya dilakukan oleh nelayan yang menangkap ikan hias. 2) Frekuensi konflik Dalam dunia perikanan, khususnya kegiatan penangkapan ikan, konflik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan nelayan. Konflik sosial antar nelayan telah terjadi sejak tahun 1970-an, misalnya konflik antara nelayan skala kecil (tradisional) dengan nelayan skala besar (modern) yang menggunakan alat tangkap pukat harimau atau yang lebih dikenal dengan istilah trawl. Akibat maraknya konflik yang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap trawl ini, maka pada tahun 1980, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 38 Tahun 1980 tentang Penghapusan Trawl. Dengan demikian, konflik sosial antar nelayan sering disebabkan oleh perebutan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Perebutan ini muncul karena karakteristik sumberdaya ikan yang bersifat terbuka (open acces). Secara anatomis, sebenarnya konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dapat dikategorikan ke dalam berbagai macam berdasarkan faktor-faktor penyebabnya. Kinseng (2006) membagi konflik sosial dikalangan nelayan menjadi tiga tipe, yaitu: (1) Konflik kelas, adalah konflik yang terjadi antar kelas seperti antara buruh (anak buah kapal/abk) dengan pemilik (majikan) dan antara nelayan kecil/tradisional dengan nelayan besar/modern. (2) Konflik identitas, adalah konflik yang terjadi antar kelompok nelayan berbasis identitas seperti daerah asal dan etnis. 117

135 (3) Konflik alat tangkap, adalah konflik yang terjadi antar kelompok nelayan yang berbasis alat tangkap yang berbeda. Berdasarkan pembagian tipe konflik nelayan di atas, ketiga jenis konflik tersebut di atas terjadi di Kabupaten Indramayu. Konflik yang umumnya terjadi adalah konflik antara nelayan kecil dengan nelayan besar di jalur tangkapan 1 (jalur satu) yang diperuntukan bagi nelayan kecil. Sedangkan konflik identitas, biasanya konflik antara nelayan yang berasal dari Indramayu dengan nelayan luar. Dan konflik alat tangkap biasanya terjadi antara nelayan yang menggunakan alat tangkap legal dengan alat tangkap illegal, yaitu arad. Meski dalam data statistik perikanan Kabupaten Indramayu, alat tangkap arad tidak terdaftar, namun pada kenyataannya di lapangan masih banyak ditemukan nelayan yang menggunaan alat tangkap arad. 118

136 RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability Gambar 21 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH dimensi sosial. 119

137 6.2.4 Dimensi teknologi Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa indeks dimensi teknologi sebesar 38,00. Nilai indeks dimensi ekonomi tersebut berada pada kisaran (Gambar 22). Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi teknologi di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan. 60 RAPFISH Ordination UP Other Distinguishing Features Other Distingishing Features ,00 BAD GOOD DOWN -60 Dimensi Teknologi Berkelanjutan Real Fisheries References Anchors Gambar 22 Hasil ordinasi RAPFISH dimensi teknologi Kabupaten Indramayu. Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi teknologi, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi teknologi ditunjukkan pada Gambar 120

138 23. Sedangkan pada Gambar 24 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi teknologi. Leverage of Attributes Penanganan di atas kapal 0,01 Penanganan pasca panen 2,27 Alat Alat Tangkap tangkap Destruktif destruktif 3,07 FADS 2,00 Attribute Selektivitas Alat selektif alat Kekuatan Kekauatan alat tangkap alat 0,28 0,65 Ukuran kapal 1,30 Rambu lalu lintas 1,35 Mobilitas Alat Tangkap Jenis alat 2,41 Penyebaran TPI 1, Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 23 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH: dimensi teknologi. Pada Gambar 23 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi teknologi, yaitu: 1) Alat tangkap destruktif Penerapan teknologi memberikan arti yang signifikan terhadap keberlanjutan sumber daya. Penerapan teknologi dalam penangkapan ikan harus tepat guna, menumbuh-kembangkan peningkatan produksi dan meminimumkan kerusakan lingkungan. Penangkapan ikan dengan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat proses terjadinya over fishing karena rendahnya selektivitas alat tangkap dan penggunaan metode penangkapan ikan yang bersifat merusak telah mengakibatkan kerusakan sumber daya ikan dan habitat 121

139 perairan. Namun alat tangkap legal juga tetap menyebabkan over fishing jika penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang memungkinkan bagi stok sumber daya ikan untuk melakukan pemulihan (DKP, 2003). Terjadinya penangkapan secara berlebihan disebabkan oleh (1) meningkatnya jumlah penduduk sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumber daya, termasuk perikanan tangkap, (2) perikanan tangkap bersifat akses terbuka sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara bebas dan; (3) gagalnya manajeman perikanan. Oleh karena itu, perlu penegakan hukum dalam pelarangan penggunaan alat tangkap yang merusak. Mengingat, di Kabupaten Indramayu masih ditemukan alat tangkap arad, meski tidak tercatat dalam statistik perikanan, maka pengawasan terhadap alat ini harus lebih diintensifkan lagi. Selain itu, beberapa nelayan kecil/tradisional juga disinyalir ikut berperan dalam merusak ekosistem laut, karena mereka menggunakan alat tangkap yang merusak seperti potasium sianida di sekitar pulau. Pada dasarnya, nelayan-nelayan kecil/tradisional tersebut menyadari bahwa pengeboman dan penggunaan racun sianida dapat merusak lingkungan, akan tetapi mereka tidak mampu menghentikannya karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang mendesak. 2) Mobilitas alat tangkap Semakin banyak alat tangkap yang digunakan terutama yang bergerak (mobile), maka semakin kuat tekanannya terhadap sumber daya ikan. Lebih dari itu, beragamnya jenis alat tangkap tersebut ditambah lagi dengan banyaknya jumlah dari masing-masing alat tangkap. Dengan demikian, perlu pengaturan mengenai jumlah dari masing-masing alat tangkap yang digunakan. Adapun alat tangkap yang tercatat dalam statistik perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu sebagaimana yang tersaji dalam Tabel 9, diantaranya 122

140 yaitu payang/lampara, dogol, pukat pantai, purse seine, jaring insang hanyut, jaring klitik, pancing, dan sero. Alat tangkap yang diduga paling dominan merusak sumber daya ikan di perairan Kabupaten Indramayu adalah dogol dan pukat pantai. RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) Other Other Distinguishing Distingishing Features Features Other Distinguishing Other Distingishing Features Features Fisheries Sustainability RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Fisheries Sustainability Gambar 24 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH: dimensi teknologi. 123

141 6.2.5 Dimensi etika Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa nilai indeks dimensi etika sebesar 29,33. Nilai indeks ini berada pada kisaran (Gambar 25). Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi etika di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan. 60 RAPFISH Ordination UP 40 Other Distinguishing Features Other Distingishing Features 20 29,33 0 BAD GOOD DOWN -60 Dimensi Etika Berkelanjutan Real Fisheries References Anchors Gambar 25 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi etika kabupaten. Indramayu Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi etika dari analisis menggunakan perangkat lunak RAPFISH, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) 124

142 RAPFISH untuk dimensi etika ditunjukkan pada Gambar 24. Sedangkan Pada Gambar 25 ditunjukkan hasil analisa Monte Carlo untuk dimensi etika. Leverage of Attributes Pengaturan Peraturan perundangan Perundangan 0,01 Jumlah Ikan ikan terbuang 1,30 Perikanan illegal 3,11 Marketable right 2,69 Attribute Mitigasi Mitigasi Habitat habitat Mitigasi ekosistem Ekosistem Aturan pengelolaan 4,00 3,90 4,15 Equity in Entry 3,94 Pekerjaan Alternatif alternatif 1,11 Kedekatan dan Kepercayaan 1, Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 26 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH: dimensi etika. Pada Gambar 26 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi etika, yaitu: 1) Mitigasi habitat dan ekosistem Mitigasi habitat dan ekosistem merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Hal ini dikarenakan, baik kawasan mangrove dan ekosistem terumbu karang telah banyak mengalami kerusakan. 125

143 2) Akses terhadap sumber daya (equity in entry) Di Kabupaten Indramayu, untuk melakukan kegiatan perikanan tidak berdasarkan pada sejarah hak penangkapan (fishing right). Oleh karenanya, semua orang berhak atau bisa melakukan penangkapan ikan, kapan, dan dimana saja. Hal ini dikarenakan, tidak adanya tradisi atau kearifan lokal yang secara turun-temurun mengatur penangkapan sumber daya ikan. 126

144 RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 Other Other Distinguishing Distingishing Features Features Fisheries Sustainability RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability Gambar 27 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH: dimensi etika. 127

145 6.2.6 Dimensi Kelembagaan Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak RAPFISH menunjukkan bahwa nilai indeks dimensi kelembagaan sebesar 37,32. Nilai indeks ini berada pada kisaran (Gambar 28). Kondisi demikian menjelaskan bahwa berdasarkan penilaian status keberlanjutan, indeks dimensi kelembagaan di Kabupaten Indramayu berada pada kategori kurang berkelanjutan. 60 RAPFISH Ordination UP 40 Other Distinguishing Features Other Distingishing Features 20 37,32 0 BAD GOOD DOWN -60 Dimensi Kelembagaan Berkelanjutan Real Fisheries References Anchors Gambar 28 Hasil ordinasi RAPFISH: indeks dimensi kelembagaan Kabupaten Indramayu. Dengan telah diketahuinya nilai indeks dimensi kelembagaan, selanjutnya dapat dilakukan analisis leverage (pengungkit). Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) RAPFISH untuk dimensi kelembagaan ditunjukkan pada 128

146 Gambar 29. Sedangkan pada Gambar 30 ditunjukkan hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi kelembagaan. Leverage of Attributes Kelembagaan Lembaga Kemitraan kemitraan 0,83 Limited entry 0,97 Intenstitas Intensitas Pemanfaatan pemanfaatan Zonasi peruntukan 1,77 2,01 Attribute Transparansi Fungsionalisasi 1,20 2,84 Personil penegak Personil hukum 0,28 Penyuluhan ikan Peraturan adap adat dan kepercayaan nilai Peraturan formal 0,16 0,19 0, Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 29 Hasil analisis atribut pengungkit RAPFISH: dimensi kelembagaan. Pada Gambar 29 tersebut di atas menunjukkan bahwa indikator yang menjadi pengungkit utama (leverage attributes) dimensi kelembagaan, yaitu: 1) Transparansi Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan suatu kegiatan atau program, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan 129

147 dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip transparansi ini memiliki dua aspek, yaitu: (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika lembaga yang bertanggung jawab tidak menangani kinerjanya dengan baik. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa, prinsip transparasi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti: (1) Mekanisme yang menjamin sistem keterbukaan dan standardisasi dari semua proses-proses pelayanan publik. (2) Mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik, maupun proses-proses di dalam sektor publik. (3) Mekanisme yang memfasilitasi pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat publik di dalam kegiatan pelayanan. Berdasarkan informasi yang diperoleh di masyarakat, bahwa prinsipprinsip transparansi dari penyusunan hingga evaluasi program atau kegiatan yang akan dilaksanakan di pesisir dan laut Kabupaten Indramayu, umumnya masyarakat tidak tahu dan tidak dilibatkan. Oleh karenanya, masyarakat apatis terhadap program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, agar masyarakat peduli dan merasa memiliki keberpihakan terhadap program yang akan dilaksanakan, maka perlu dilibatkan baik dalam penyusunan maupun pengawasan atau evaluasinya. 2) Intensitas pemanfaatan Sebagaimana diketahui bersama, bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan pantai utara, khususnya di Kabupaten Indramayu sangat tinggi, sehingga angka tangkapan ikan aktual telah melebihi angka potensi lestari. 130

148 RAPFISH Ordination ( Monte Carlo Scatter Plot showing 95%Confidence of Median) 60 Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Other Distinguishing Other Distingishing Features Fisheries Sustainability Gambar 30 Hasil analisis grafik scatter simulasi Monte Carlo RAPFISH: dimensi kelembagaan. 131

149 6.2.7 Status Sumber Daya di Kabupaten Indramayu Berdasarkan Hasil Skor RAPFISH dan Monte Carlo Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks kondisi dan status sumber daya pesisir dan lautan di Kabupaten Indramayu yang berada pada selang kepercayaan 95% ternyata nilai indeksnya tidak terlalu banyak berubah dari nilai semula. Perubahan yang relatif kecil dari analisis Monte Carlo, menunjukkan bahwa analisis MDS tentang kondisi dan status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu pada taraf kepercayaan tinggi dan signifikan (Tabel 11). Tabel 11 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95% Indeks Status Hasil RAPFISH Hasil Monte Carlo Selisih (1) (2) (2) (1) Ekologi 25,27 26,34 1,07 Ekonomi 39,72 39,95 0,23 Sosial 43,10 43,61 0,51 Teknologi 38,00 38,08 0,08 Etika 29,33 30,85 1,52 Kelembagaan 37,32 37,44 0,12 132

150 Kelembagaan Ekologi Ekonomi Etika Sosial Teknologi Hasil Rapfish Hasil Monte Carlo Gambar 31 Hasil analisis Monte Carlo indeks status perikanan tangkap Kabupaten Indramayu dengan selang kepercayaan 95% Analisis keenam dimensi menggambarkan kondisi dan status perikanan tangkap. Nilai indeksnya berturut-turut adalah ekologi 25,27, ekonomi 39,72, sosial 43,10, teknologi 38,00, etika 29,33, dan kelembagaan 37,32. Dari keenam indeks tersebut, indeks ekologi termasuk dalam kategori paling rendah, yang artinya bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu belum memperhatikan kelestarian ekosistem sumber daya. Meskipun Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang mempunyai nelayan yang banyak, namun dari segi etika terlihat belum ada keinginan yang kuat untuk membuat suatu aturan yang dapat diterapkan bersama untuk memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya nilai indeks etika yaitu 29,33. Tingginya nilai indeks ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya ikan lebih mendorong peningkatan produksi tanpa memperhatikan keberlanjutan sumber daya itu sendiri. Sedangkan untuk nilai indeks sosial yang tinggi lebih 133

151 disebabkan oleh besarnya nilai produksi secara keseluruhan, namun besarnya nilai produksi tersebut hanya dinikmati oleh kelompok pemilik atau juragan. Dengan kata lain, kelompok nelayan buruh senantiasa akan berada dalam lingkaran kemiskinan dengan pendapatan yang rendah. Indeks dimensi teknologi masuk dalam kategori pertengahan dari nilai indeks lainnya, sehingga masih harus terus dilakukan pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Secara kelembagaan, nilai indeks menunjukkan nilai yang kurang untuk tujuan penerapan hukum dan aturan dalam perikanan tangkap. Oleh karena itu perlu evaluasi terhadap kelembagaan di Kabupaten Indramayu. Hasil Kajian nilai indeks dan nilai statistik enam pilar pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil kajian nilai indeks dan nilai statistik pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Kabupaten Indramayu Nilai Indeks Dimensi dan Nilai Indeks dan Statistik Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Etika Kelembagaan Indeks 25,07 39,73 43,10 38,00 29,33 37,32 Stress 0,135 0,137 0,140 0,141 0,135 0,146 R 2 0,954 0,953 0,952 0,952 0,954 0,949 Jumlah iterasi Sudut Rotasi ( o ) 179, , , , , ,299 Pada Tabel 12 di atas menunjukkan bahwa nilai statistik dari keenam pilar pembangunan berkelanjutan tersebut memiliki nilai stress yang sesuai dengan mengacu pada RAPFISH yaitu lebih kecil dari 25%, sedangkan tingkat R 2 menunjukkan nilai yang sangat signifikan yaitu rata-rata 0,95 dengan selang kepercayaan 95%. Dengan demikian semua atribut yang menjadi indikator dalam penelitian ini dapat menerangkan kondisi dan status perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu. 134

152 Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, maka Hipotesis yang menyatakan Pemanfaatan Sumber daya Ikan di Kabupaten Indramayu Tidak Berkelanjutan ditolak karena hasil analisis secara keseluruhan mulai aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan menunjukkan pada kategori kurang berkelanjutan. 6.3 Analisis Tingkat Pemanfaatan Potensi Perikanan Tangkap Untuk melihat tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu, penulis mencoba melakukan analisis terhadap penggunaan alat tangkap dengan dua cara. Pertama, menganalisis semua alat tangkap yang mendaratkan ikan di Kabupaten Indramayu, baik yang beroperasi di dalam maupun di luar wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Alat tangkap yang dianalisis yang mendaratkan ikan di Kabupaten Indramayu antara lain, yaitu purse seine, jaring insang hanyut, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Kedua, menganalisis alat tangkap yang mendaratkan ikan di Kabupaten Indramayu, dan hanya beroperasi di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Adapun alat tangkap tersebut, yaitu lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Dengan demikian, perbedaan analisis ini terdapat pada dimasukan atau tidaknya alat tangkap purse seine dan jaring insang hanyut yang merupakan alat tangkap skala besar. (1) Analisis terhadap seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu Produksi dari masing-masing alat tangkap berfluktuasi setiap tahunnya, namun memiliki kecenderungan menurun. Meski mengalami tren penurunan, alat tangkap jenis purse seine, gillnet dan lampara masih mendominasi kegiatan penangkapan ikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13. Produksi tahun

153 yang dihasilkan oleh ketiga alat tangkap ini berada di atas ton, yaitu purse seine ,0 ton, gillnet ,1 ton, dan lampara ,3 ton. Tabel 13 Total produksi aktual tangkapan tahunan seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu (dalam ton) Tahun Purse seine Gillnet Lampara Jaring Klitik Pancing Sero Pukat Pantai Dogol , , , , , , , , , , ,8 982, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0 36, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,5 Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu ( ) Masih tingginya produksi ketiga alat tangkap tersebut dikarenakan purse seine, gillnet, dan lampara dijadikan salah satu sasaran dalam meningkatkan jumlah armada pada kebijakan yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. Adapun sasaran pembangunan di bidang penangkapan ikan tersebut, yaitu (Dinas Perikanan Indramayu, 1995): (1) Menuju pengembangan alat tangkap dan teknik penangkapan yang produktif dengan memasyarakatkan fish finder, dan pengembangan purse seine, lampara serta gillnet. (2) Menuju pengembangan daerah penangkapan lepas pantai dengan dilengkapi alat navigasi GPS (Global Positioning System) dan SSB (Single Side Band) serta pengembangan gross tonage. Upaya tersebut merupakan modernisasi penangkapan ikan (UMPAN). (3) Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan seperti pengembangan motorisasi. 136

154 (4) Peningkatan pelayanan dan keterampilan bagi nelayan. (5) Pengembangan alat tangkap ikan yang kurang produktif menjadi alat tangkap yang produktif. Sementara itu, dari seluruh jenis alat tangkap di atas, produksi dari alat tangkap gillnet telah melampaui angka potensi lestari perikanan Kabupaten Indramayu, yaitu pada tahun 1996 dengan jumlah produksi tangkapan sebesar ,40 ton, dan tahun 1997 sebesar ,40 ton. Angka potensi lestari perikanan Kabupaten Indramayu hingga saat ini tercatat sebesar ,12 ton (Dinas Perikanan Kab. Indramayu, 1998). Dengan demikian, total tangkapan gillnet pada tahun telah mengalami over fishing. Secara lebih jelasnya, total produksi aktual tangkapan per alat tangkap di Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari dapat dilihat pada Gambar ,000 50,000 Produksi (Ton) 40,000 30,000 20,000 10,000 Purse Seine Gilnet Lampara J Kelitik Pancing Sero Pukat Dogol MSY Tahun Gambar 32 Total produksi aktual tangkapan seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari (dalam ton). Apabila dijumlahkan keseluruhan produksi aktual masing-masing alat tangkap dari tahun 1995 hingga tahun 2004, maka dihasilkan informasi yang tersaji pada Gambar 33. Pada Gambar 33 tersebut terlihat bahwa telah terjadi 137

155 over fishing di perairan Kabupaten Indramayu sejak tahun 1995 hingga tahun Hal ini dicerminkan dengan angka garis produksi aktual jauh berada di atas angka produksi lestari. Puncak over fishing terjadi pada tahun 1997, yang pada waktu itu dipengaruhi oleh meningkatnya harga jual ikan, seiring dengan meningkatnya nilai tukar dollar. 120, ,000 Produksi Produksi (Ton) 80,000 60,000 40,000 20, Produksi Aktual Produksi Lestari Tahun Gambar 33 Produksi aktual semua alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan tangkap (dalam ton). (2) Analisis terhadap alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa analisis kedua ini hanya dilakukan pada alat tangkap yang melakukan operasi penangkapan di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu. Dengan demikian, alat tangkap purse seine dan jaring insang hanyut tidak diikutsertakan dalam analisis ini. Produksi dari masing-masing alat tangkap berfluktuasi setiap tahunnya, namun memiliki kecenderungan menurun. Meski mengalami tren penurunan, alat tangkap lampara masih mendominasi kegiatan penangkapan ikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 14. Produksi tahun 2004 yang dihasilkan oleh alat tangkap lampara ini berada di atas ton, yaitu ,3 ton. 138

156 Tabel 14 Total produksi aktual tangkapan tahunan alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu (dalam ton) Tahun Lampara Jaring Klitik Pancing Sero Pukat Dogol Pantai , , , , , , ,8 982, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,0 36, , , , , , , , , , , , , , ,5 Sumber: DKP Jabar dan Kabupaten Indramayu ( ) Namun demikian, dari semua jenis alat tangkap di atas, tidak ada satu alat tangkap pun yang telah melampaui angka potensi lestari perikanan Kabupaten Indramayu. Angka potensi lestari perikanan Kabupaten Indramayu hingga saat ini tercatat sebesar ,12 ton. Secara lebih jelasnya, total produksi aktual tangkapan per alat tangkap di Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari dapat dilihat pada Gambar 34. Produksi (ton) Gambar 34 35, , , , , , , Tahun Lampara Jaring Klitik Pancing Sero Pukat Pantai Dogol MSY Total produksi aktual tangkapan alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu dibandingkan dengan produksi lestari (dalam ton). 139

157 Apabila dijumlahkan keseluruhan produksi aktual masing-masing alat tangkap dari tahun 1995 hingga tahun 2004, maka dihasilkan informasi yang tersaji pada Gambar 35. Pada Gambar 35 tersebut terlihat bahwa fenomena over fishing di perairan Kabupaten Indramayu sejak tahun 1995 hingga tahun 2004 terjadi secara fluktuatif. Hal ini dicerminkan dengan angka garis produksi aktual yang naik-turun diantara angka produksi lestari. Namun demikian, angka produksi aktual tidak melabung jauh di atas angka produksi lestari sebagaimana yang terjadi pada Gambar 33. Bahkan pada Gambar 35 menunjukkan telah terjadi angka penurunan produksi aktual yang tajam pada tahun 2002, yaitu sebesar ,00 ton. Produksi (ton) Gambar 35 40, , , , , , , , Tahun Produksi Aktual MSY Produksi aktual seluruh alat tangkap yang beroperasi di dalam perairan Kabupaten Indramayu dan produksi lestari perikanan tangkap (dalam ton). 6.4 Pengukuran Kapasitas Perikanan Tangkap dengan Data Envelopment Analysis (DEA) Salah satu metode pengukuran kapasitas perikanan adalah mengetahui kondisi efisiensi relatif dari perikanan tangkap di perairan laut Indramayu dengan Data Envelopment Analysis (DEA). DEA dapat digunakan untuk mengukur 140

158 efisiensi relatif pada kasus entitas yang memiliki multiple inputs atau multiple outputs (Cooper, et al, 2004). Dalam analisis efisiensi armada penangkapan dengan DEA frontier ini, hal pertama yang dilakukan adalah mencoba memasukkan semua jenis alat tangkap dan seluruh variabel untuk melihat efisiensi relatif setiap alat tangkap dari setiap variabel yang diperoleh. Jenis alat tangkap dalam analisis ini yaitu dogol, gillnet, jaring klitik, pancing, payang, pukat pantai, purse seine dan sero yang berbasis di Indramayu. Variabel yang digunakan dalam analisis DEA ini yaitu investasi, penerimaan bersih (keuntungan), biaya operasional per trip, biaya tetap per tahun, jumlah tenaga kerja per trip, kekuatan mesin yang digunakan armada penangkapan, dan jumlah hari dalam 1 trip penangkapan. Untuk mengukur dan membandingkan efisiensi setiap alat tangkap yang berbasis di Indramayu, maka Decision Making Unit (DMU)-nya adalah 8 alat tangkap dengan data primer (survei) tahun Data yang digunakan dalam analisis efisiensi menggunakan DEA frontier dibedakan menjadi 2 jenis yaitu data input dan data output, dimana input merupakan kendala dan output merupakan hasil yang diharapkan. Input yang digunakan dalam analisis ini ada 5 yaitu investasi yang digunakan, biaya operasional per trip, biaya tetap per tahun, kekuatan mesin (GT) dan jumlah hari dalam 1 trip penangkapan, sedangkan output yang digunakan ada 2 yaitu keuntungan (penerimaan bersih) yang diperoleh dan tenaga kerja yang diserap (Sularso, 2006). Data input dan output yang digunakan dalam analisis DEA Fontier ini dapat dilihat pada Tabel

159 Tabel 15 Data input dan output dalam analisis DEA Frontier Alat tangkap Investasi (Rp) Penerimaan Bersih (Rp) Biaya per trip (Rp) Biaya Tetap (Rp) S TK (Rp) GT (Rp) S hari dalam 1 trip (Rp) Dogol Gillnet Jaring klitik Pancing Payang Pukat pantai Purse seine Sero Sumber : Data primer hasil survei lapang (2006) Pengolahan data dalam DEA Frontier dengan menggunakan software Frontier Analyst. Hasil yang diperoleh dari pengolahan DEA frontier ini yaitu terdapat 4 jenis alat tangkap yang paling efisien (mencapai skor 100) antara lain jaring klitik, payang, gillnet dan purse seine. Sedangkan yang lainnya yaitu dogol (80,00), sero (76,83), pancing (66,55) dan yang paling rendah efisiensinya adalah pukat pantai (46,16). Untuk lebih jelas hasil dari pengujian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil analisis DEA Frontier dengan memasukkan seluruh variabel Jenis Alat Tangkap Nilai (%) Jaring klitik 100,00 Payang 100,00 Gillnet 100,00 Purse seine 100,00 Dogol 80,00 Sero 76,83 Pancing 66,55 Pukat pantai 46,16 142

160 Selanjutnya dengan software frontier analyst (Frontier, 2003), didapatkan distribusi angka efisiensi dan potensi perbaikan efisiensi sebagaimana terlihat pada Gambar 36. Jumlah Alat Tangkap Nilai Persentase DEA Gambar 36 Distribusi efisiensi alat tangkap perikanan di Kabupaten Indramayu. Grafik distribusi menunjukkan bahwa dari 8 jenis alat tangkap yang beroperasi di Indramayu, 4 diantaranya sudah efisien dan 4 lainnya kurang efisien. Berdasarkan grafik tersebut dapat ditetapkan angka yang dianggap efisien bernilai di atas 90 % atau mencapai nilai 100%, selanjutnya alat tangkap dengan angka efisiensi di bawah 90 % memerlukan perbaikan. Hal ini tentu sangat tergantung dari kebijakan dalam pengelolaan perikanan di Indramayu sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Alat tangkap yang efisiensinya di bawah 90% namun masih di atas 50% masih dapat diperbaiki, namun alat tangkap yang efisiensinya sangat rendah (di bawah 50%) dapat diperbaiki tapi sangat memerlukan perbaikan yang sangat besar, oleh karena itu dapat dipertimbangkan tidak dipergunakan lagi, dengan pemikiran penggunaan alat 143

161 tangkap tersebut sudah tidak menguntungkan. Dalam konteks ini angka efisiensi dapat dijadikan acuan untuk menentukan kebijakan penggunaan alat tangkap yang berbasis di Indramayu. DEA dapat pula digunakan untuk menghitung perbaikan angka efisiensi, secara prinsip adalah dengan mengurangi input atau menambah output (Cooper et al., 2004). DEA menghasilkan suatu resume potensi perbaikan angka efisiensi secara total maupun setiap alat tangkap dalam bentuk besaran persentase pengurangan input atau penambahan output tiap variabel. Tampilan resume total potensi perbaikan angka efisiensi ditunjukkan dalam pie chart sebagaimana Gambar 37. Gambar 37 Potensi perbaikan efisiensi alat tangkap. Gambar 37 tersebut di atas memperlihatkan bahwa efisiensi secara umum bisa ditingkatkan dengan cara mengurangi effort (jumlah hari per trip) sebesar 19,14 %, pengurangan kekuatan mesin (GT) sebesar 21,93 %, penurunan biaya tetap per tahun sebesar 14,36 %, penurunan biaya operasional 144

162 per trip sebesar 15,25 % dan penurunan investasi sebesar 18,4 %. Khusus berkaitan dengan biaya operasional penangkapan, mengandung arti bahwa saat ini biaya operasional penangkapan ikan di Indramayu terlalu tinggi (high cost). Jumlah hari per trip (effort) dan kekuatan mesin (GT) merupakan variabel yang dapat dijadikan instrumen pengendalian kapasitas. Gambar 37 juga dapat menjelaskan bahwa kondisi faktual penangkapan ikan di Indramayu sebagian besar sudah melebih kapasitas (over capacity) dilihat dari berlebihnya pemanfaatan (utility) faktor input seperti jumlah hari per trip atau effort, kekuatan mesin atau GT dan biaya. Proyeksi perbaikan angka efisiensi setiap alat tangkap yang tidak efisien dalam bentuk besaran persentase pengurangan input atau penambahan output tiap variabel, yaitu : 1. Pukat pantai Pukat pantai memperoleh nilai efisiensi 46,16%. Untuk meningkatkan efisiensi alat tangkap pukat pantai dilakukan dengan cara mengurangi input berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 79,87%, kekuatan mesin kapal (GT) kapal sebesar 63,07%, biaya tetap sebesar 78,04%, biaya operasional per trip sebesar 74,59%, dan investasi sebesar 53,84%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar

163 Gambar 38 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pukat pantai. 2. Pancing Alat tangkap pancing memperoleh nilai efisiensi 66,55%. Untuk meningkatkan efisiensi alat tangkap pancing dilakukan dengan cara mengurangi input berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 53,80%, kekuatan mesin kapal (GT) kapal sebesar 64,80%, biaya tetap sebesar 33,45%, biaya operasional per trip sebesar 33,45%, dan investasi sebesar 33,45%. Peningkatan efisiensi dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 36,55%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar

164 Gambar 39 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap pancing. 3. Sero Alat tangkap sero memperoleh nilai efisiensi 76,83%. Untuk meningkatkan efisiensi alat tangkap sero dilakukan dengan cara mengurangi input berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 64,13%, kekuatan mesin kapal (GT) kapal sebesar 70,98%, biaya tetap sebesar 23,17%, biaya operasional per trip sebesar 23,17%, dan investasi sebesar 48,60%. Peningkatan efisiensi alat tangkap sero dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 33,65%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar

165 Gambar 40 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap sero. 4. Dogol Alat tangkap dogol memperoleh nilai efisiensi 80,00%. Untuk meningkatkan efisiensi alat tangkap dogol dilakukan dengan cara mengurangi input berupa jumlah hari per trip (effort) sebesar 20,00%, kekuatan mesin kapal (GT) kapal sebesar 50,77%, biaya tetap sebesar 28,73%, biaya operasional per trip sebesar 42,40%, dan investasi sebesar 73,47%. Peningkatan efisiensi alat tangkap dogol dapat pula dilakukan dengan meningkatkan output, antara lain peningkatan penerimaan bersih sebesar 54,13%. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar

166 Gambar 41 Proyeksi perbaikan efisiensi alat tangkap dogol. 149

167 7 ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP Berdasarkan uraian pada bab terdahulu pemanfaatan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu secara ekologis, ekonomi, sosial, teknologi, etika, dan kelembagaan dalam kondisi tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan rencana pengelolaan guna menciptakan kegiatan perikanan yang berkelanjutan sebagaimana yang tertuang dalam visi dan misi Rencana Strategi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Adapun Visi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu yaitu Menjadikan Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai pendorong terwujudnya masyarakat perikanan dan kelautan yang sejahtera, maju, mandiri, dan berorientasi bisnis dalam tatanan pengelolaan sumber daya yang efisien dan lestari. Sedangkan Misi pembangunan perikanan dan kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu adalah: (1) Mengembangkan sumber daya manusia aparatur dan nelayan. (2) Penataan dan pengembangan landasan hukum, kelembagaan, sarana, dan prasarana perikanan/kelautan. (3) Pemulihan dan perlindungan sumber daya hayati perikanan dan kelautan. Untuk mencapai Visi dan Misi tersebut di atas, perlu disusun rencana pengelolaan sumber daya ikan yang dikaji dari faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh dalam keberlanjutan sumber daya yang dikaitkan dengan rencana strategi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Secara lebih lengkap, faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu ditunjukan pada Tabel 17.

168 Tabel 17 Faktor-faktor pengungkit yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu No. Dimensi Faktor Pengungkit 1. Ekologi Tekanan terhadap lahan mangrove Sedimentasi 2. Ekonomi Besarnya subsidi Pendapatan asli daerah 3. Sosial Tingkat pendidikan Frekuensi konflik 4. Teknologi Alat tangkap destruktif Mobilitas alat tangkap 5. Etika Mitigasi habitat dan ekosistem Aturan pengelolaan 6. Kelembagaan Transparansi Intensitas pemanfaatan 7.1 Faktor Pengungkit Dimensi Ekologi 1) Tekanan terhadap lahan mangrove Sebagaimana pada Bab 6, bahwa Kabupaten Indramayu termasuk salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerusakan hutan mangrove terparah di Jawa Barat. Hampir 50% dari ha hutan mangrove diantaranya, tergolong rusak berat dan sekitar ha lahan yang tercakup dalam delapan kecamatan dikategorikan sebagai daerah kritis. Salah satu faktor meningkatnya tekanan terhadap lahan mangrove adalah konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak. Hal ini dikarenakan, tingginya tingkat permintaan terhadap produksi udang tambak menjadi dorongan yang kuat untuk membuka hutan mangrove menjadi tambak. Ironisnya, sistem budidaya tambak yang dilakukan dengan pola intensif cenderung tidak berkelanjutan. Hal yang terjadi adalah budidaya tambak yang colaps (tidak berkelanjutan) sehingga menyebabkan areal bekas hutan mangrove yang dijadikan tambak menjadi terbengkalai (idle). Kondisi ini selain memberi dampak negatif terhadap kualitas lingkungan di wilayah pesisir Kabupaten 151

169 Indramayu juga memberi dampak secara ekonomi karena lahan tersebut menjadi lahan yang tidak produktif. Sementara itu, maraknya pembukaan hutan mangrove menjadi lahan tambak disebabkan oleh kebijakan yang tertuang dalam Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu tahun yang lebih memfokuskan pada peningkatan produksi melalui luasan tambak. Bahkan, dalam kurun waktu tersebut Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu merencanakan perluasan tambak seluas 450 ha (90 ha per tahun). Oleh karena itu, untuk menuntaskan masalah tekanan terhadap hutan mangrove salah satunya perlu dilakukan rehabilitasi terhadap hutan mangrove. Rehabilitasi hutan mangrove terutama ditujukan untuk kawasan-kawasan perlindungan dan budidaya perikanan, yaitu mulai dari muara Sungai Cilet kecamatan Kandanghaur sampai dengan muara Sungai Prawira Kepolo Desa Singaraja Kecamatan Indramayu sepanjang 36,6 km. Apabila lebar hutan mangrove ke arah daratan 5 km, maka luas kawasan menjadi ha, sedangkan kondisi yang ada sekarang di bawah pengawasan Perhutani hanya sekitar ha. Hal ini masih memerlukan rehabilitasi yang cukup luas agar sesuai dengan fungsi dari hutan mangrove berfungsi dengan baik. Jenis mangrove yang ditanam harus disesuaikan dengan kondisi alam wilayahnya. Rehabilitasi hutan mangrove akan mengindikasikan bahwa kesadaran akan pentingnya pelestarian hutan mangrove di wilayah Kabupaten Indramayu semakin meningkat. Namun demikian, perbaikan ekosistem kawasan pesisir dan laut, khususnya hutan mangrove tidak bisa dilaksanakan secara parsial tetapi harus sinergis dan melibatkan berbagai kelompok masyarakat pesisir dan pelaku pembangunan lainnya agar pengelolaan pesisir dapat terintegrasi dengan baik dan berkelanjutan. 152

170 Selain program rehabilitasi hutan mangrove, penyusunan tata ruang wilayah pesisir secara terpadu juga merupakan hal yang harus segera dilakukan. Secara keseluruhan, rencana tata ruang diharapkan dapat mewujudkan keterkaitan antar kegiatan dengan memanfaatkan ruang dalam kurun waktu 10 tahun mendatang yang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan untuk pembangunan berkelanjutan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama membudidayakan berdasarkan keadaan dan potensi sumber daya alam dan manusia. Kawasan budidaya meliputi kawasan pertanian, kawasan hutan produksi, kawasan pemukiman, kawasan industri dan kawasan wisata. Penataan ruang wilayah pesisir, yang pada dasarnya merupakan rencana pengalokasian potensi sumberdaya alam dan SDM, dilakukan berdasarkan sistem zonasi. Setiap zona yang telah ditetapkan peruntukannya harus dikaji daya dukungnya untuk menetapkan pengalokasian kegiatan-kegiatan serta rencana pengendaliannya melalui mekanisme perizinan. Sebagai contoh, zona pertambakan (yang biasanya memanfaatkan hutan mangrove) perlu ditetapkan luas maksimum area yang akan dikembangkan serta jenis teknologi yang akan diintroduksikan. Pembatasan luas areal maksimum dimaksudkan untuk mengendalikan kegiatan pemanfaatan agar tidak melampaui daya dukung hutan mangrove dan lingkungan pesisir serta ekosistem pantai secara keseluruhan. Sedangkan pembatasan terhadap introduksi teknologi dimaksudkan untuk mencegah benturan kepentingan dalam pemanfaatan ruang dengan kegiatankegiatan produktif lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pendekatan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah eksploitasi hutan mangrove adalah 153

171 pembagian peran antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah dalam menjaga kerusakan mangrove antara lain: (1) Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum (2) Penyediaan bibit dan dana penanaman hutan mangrove (3) Mengadakan sosialisasi/penyuluhan ke semua lapisan masyarakat tentang dampak penggundulan hutan mangrove (4) Mengajak partisipasi masyarakat untuk penanaman, perawatan dan melindungi hutan mangrove (5) Membuat peraturan dengan sanksi yang tegas bagi perusak tanaman reboisasi dan melaksanakan reboisasi/penanaman bakau di sepanjang jalur hijau. Sedangkan peran masyarakat dalam melestarikan hutan mangrove antara lain adalah: (1) Mematuhi dan menjalankan konservasi tanaman hutan mangrove (2) Ikut mengawasi kelestarian hutan (3) Melaksanakan reboisasi swadaya (4) Menjaga hutan mangrove dengan melaporkan pada aparat yang terdekat (5) Menyebarluaskan informasi kepada masyarakat lain agar hutan mangrove jangan ditebang, masyarakat sebagai pengelola hutan mangrove, dan masyarakat ikut mengawasi berkembangnya reboisasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah. 2) Sedimentasi Pengaruh sedimentasi dari sungai akan menyebabkan pendangkalan di sekitar muara sungai tempat keluar dan masuk kapal nelayan dan menimbulkan penambahan lahan di sekitar sungai. Proses sedimentasi menjadi berlebihan 154

172 apabila aktivitas di hulu seperti eksploitasi hutan yang tidak terkendali (illegal logging), erosi, dan aktivitas manusia lainnya tidak bisa terhubungkan sesuai Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Untuk itu, pendekatan yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah sedimentasi adalah pembagian peran antara pemerintah dan masyarakat. Peran pemerintah yang perlu dilakukan menurut masyarakat antara lain adalah memberikan penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan mangrove, membuat bendungan (dam), pengawasan terhadap penebangan liar, memasang patok dan batas hutan pantai, pembentengan sungai 200 m dari garis pantai, pemasangan klep pada tempat yang tepat, mengeruk alur keluar masuk kapal perikanan, penyediaan sumur bor (bantuan), dan memasang pemecah ombak di pantai. Sementara itu masyarakat berperan dalam hal menghindari penebangan pohon/hutan, ikut gotong-royong menjaga hutan mangrove dan perawatan bendungan serta sumur bor yang ada, masyarakat tidak menambang pasir sembarangan, menanam mangrove secara swadaya serta ikut melaksanakan reboisasi hutan pantai. 7.2 Faktor Pengungkit Dimensi Ekonomi 1) Besarnya subsidi Pemberian subsidi di bidang perikanan tangkap perlu diperhatikan secara seksama, karena dalam jangka pendek subsidi tersebut dapat meningkatkan angka produksi hasil tangkapan. Namun demikian, dalam jangka panjang subsidi dapat menciptakan penurunan potensi sumber daya ikan (over fishing). Oleh karena itu, pemerintah daerah Kabupaten Indramayu, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan harus lebih berhati-hati dalam memberikan dana bantuan yang bersifat pemberdayaan kepada masyarakat nelayan. Program pemberian subsidi yang lebih cocok untuk masyarakat nelayan Kabupaten 155

173 Indramayu adalah peningkatan permodalan dalam rangka pengembangan armada dan modernisasi alat tangkap guna meningkatkan daya jangkau penangkapan ikan. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Strategi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 2) Pendapatan Asli Daerah Tekanan paling besar terhadap sumber daya ikan yang berujung pada kelangkaan sumber daya di perairan Kabupaten Indramayu salah satunya disebabkan oleh peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini dikarenakan, pemerintah daerah Kabupaten Indramayu terlalu berharap pada sektor perikanan dan kelautan, khususnya sub sektor perikanan tangkap. Besarnya harapan pemerintah daerah Kabupaten Indramayu terhadap sektor perikanan tergambarkan dalam proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan tahun 2001 sampai tahun 2005 (Tabel 18). Berdasarkan Tabel 18, sangat jelas bahwa tiap tahun sektor perikanan dan kelautan diharapkan memberikan sumbangan PAD yang besar bagi pemasukan keuangan Kabupaten Indramayu. Oleh karenanya sangat wajar, bila terjadi over fishing di wilayah perairan Kabupaten Indramayu, karena sumber daya ikan mendapatkan tekanan yang tinggi. Tabel 18 Proyeksi PAD bidang perikanan dan kelautan Kabupaten Indramayu tahun No. Tahun Proyeksi PAD (Rp) Kenaikan (%) , , , ,83 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu (2001) 156

174 7.3 Faktor Pengungkit Dimensi Sosial 1) Tingkat pendidikan Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat nelayan di Kabupaten Indramayu mendorong mereka dalam melakukan kegiatan perikanan yang cenderung merusak. Seperti penggunaan alat tangkap yang merusak (potasium) dan penebangan hutan mangrove yang banyak digunakan untuk bahan bakar (arang). 2) Frekuensi konflik Padatnya jumlah armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan pantai telah mengakibatkan tingkat persaingan yang sangat tinggi dalam penggunaan teknologi penangkapan efektif dan perebutan daerah penangkapan yang potensial. Sementara itu, terjadinya konflik antar nelayan dalam penangkapan ikan merupakan ekses dari kelangkaan sumber daya ikan itu sendiri. Artinya, konflik antar nelayan akan senantiasa terjadi bila sumber daya ikan di suatu wilayah sudah sangat berkurang. Konflik antar nelayan yang terjadi di perairan Kabupaten Indramayu dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: (1) konflik antara nelayan arad dengan nelayan sero; (2) konflik antara nelayan arad dengan nelayan trammel net (nelayan rajungan); (3) konflik antara nelayan arad dengan nelayan payang; dan (4) konflik dalam pemanfaatan ruang, terutama dalam pemanfaatan tanah timbul akibat sedimentasi (Satria, et al, 2002). Dari ketiga jenis konflik di atas, yang sering terjadi adalah konflik fishing ground yang disebabkan oleh pelanggaran jalur-jalur penangkapan ikan. Oleh karena itu, untuk menuntaskan masalah ini perlu penegakkan hukum yang tegas, khususnya pelaksanaan Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99. SK Mentan ini merupakan suatu upaya menuju kepada kegiatan penangkapan 157

175 yang lebih teratur sehingga dapat menjamin keberlanjutan usaha dan mencegah timbulnya konflik perebutan daerah penangkapan ikan. Pelaksanaan penetapan jalur penangkapan tersebut di lapangan hingga saat ini masih sulit dilakukan, karena lemahnya sosialisasi dan pelaksanaan MCS (Monitoring, Controlling dan Surveilance) di tingkat stakeholders. Adapun pengaturann sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 392/Kpts/IK.120/4/99, yaitu: (1) Jalur penangkapan ikan : 1) Jalur-jalur penangkapan I adalah perairan pantai selebar 3 mil laut yang diukur dari titik terendah pada waktu air surut; 2) Jalur-jalur penangkapan II adalah perairan selebar 4 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan I; 3) Jalur-jalur penangkapan III adalah perairan selebar 5 mil laut yang diukur dari garis luar jalur penangkapan II; 4) Jalur-jalur penangkapan IV adalah perairan di luar jalur penangkapan III. (2) Penggunaan kapal dan alat tangkap pada masing-masing jalur diatur sebagai berikut: 1) Jalur Penangkapan I tertutup bagi: Kapal penangkap ikan bermesin dalam (inboard) berukuran di atas 5 GT atau berkekuatan di atas 10 DK; semua jenis jaring trawl, pukat cincin (purse seine), jaring lingkar (gill net) di atas 120 m panjang rentangan. 2) Jalur Penangkapan II tertutup bagi: Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 25 GT atau di atas 50 DK; jaring trawl dasar berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya di atas 12 m, jaring trawl melayang (pelagic trawl), 158

176 jaring trawl yang ditarik 2 kapal (pair trawl), dan pukat cincin yang panjangnya di atas 300 meter. 3) Jalur Penangkapan III tertutup bagi: Kapal penangkap ikan inboard berukuran di atas 100 GT atau di atas 200 DK; jaring trawl dasar dan melayang berpanel (otter board) yang panjang tali ris atas/bawahnya di atas 20 m, pair trawl, dan pukat cincin yang panjangnya di atas 600 m. 4) Jalur Penangkapan IV tertutup bagi : Pair trawl di perairan Samudera Indonesia (3) Semua jaring yang ukuran matanya kurang dari 25 mm dan purse seine yang ukuran matanya kurang dari 60 mm dilarang digunakan di semua jalur penangkapan. (4) Di perairan Selat Madura dan Selat Bali tertutup bagi penggunaan beam trawl, otter trawl, dan pair trawl untuk penangkapan ikan dasar atau pelagis. Sementara itu, dengan telah ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka semakin jelas bahwa daerah berwenang dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah yang menjadi kewenangannya. Pemerintah Kabupaten dan kota diberikan kewenangan untuk mengelola wilayah perairan pantai hingga 4 mil laut, sedangkan pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk mengelola wilayah perairan dari batas 4 mil laut hingga 12 mil laut. 159

177 7.4 Faktor Pengungkit Dimensi Teknologi 1) Alat tangkap destruktif Sudah dapat dipastikan bahwa penggunaan alat tangkap yang merusak (destructive fishing gear) adalah salah satu faktor yang paling berpengaruh dalam terciptanya pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa rusaknya sumber daya ikan di pesisir pantai disebabkan oleh penggunaan alat tangkap mini trawl di Kabupaten Indramayu lebih dikenal dengan sebutan alat tangkap arad. Meski tidak terdaftar dalam data statistik perikanan, penggunaan alat tangkap arad masih dapat kita temukan di lapangan. Penggunaan alat tangkap inilah yang kerap menimbulkan konflik di pesisir dan laut Kabupaten Indramayu. Selain itu, penggunaan alat tangkap yang merusak yang kerap dilakukan oleh nelayannelayan Kabupaten Indramayu adalah penggunaan racun potasium sianida dalam menangkap sumber daya ikan hias di sekitar ekosistem terumbu karang. Akibat penggunaan racun potasium sianida, terumbu karang di Pulau Biawak dan sekitarnya banyak yang mati. 2) Mobilitas alat tangkap Semakin banyak ragam jenis alat tangkap yang digunakan, berarti tekanan terhadap sumber daya ikan itu sendiri semakin kuat. Oleh karena itu, ragam dan jumlah alat tangkap yang banyak, maka pemerintah daerah Kabupaten Indramayu, khususnya Dinas Perikanan dan Kelautan perlu melakukan kebijakan pembatasan ragam dan jumlah alat tangkap yang selama ini digunakan. Disamping bertujuan untuk menciptakan efektivitas dan optimalisasi penggunaan alat tangkap dalam mewujudkan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan, juga bertujuan untuk menghindari konflik alat tangkap dan fishing ground yang berkepanjangan. 160

178 7.5 Faktor Pengungkit Dimensi Etika 1) Mitigasi habitat dan ekosistem Seiring dengan semakin menurunnya luasan hutan mangrove dan rusaknya terumbu karang serta terjadinya over fishing, maka Dinas Kelautan dan Perikanan perlu mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan terhadap habitat dan ekosistem yang rusak tersebut. Untuk langkah hukum, telah diterbitkan Surat Keputusan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu No. 556/kep.528-diskanla/2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Artinya, aturan tersebut masih parsial karena hanya mengatur ekosistem di Pulau Biawak dan sekitarnya saja. Padahal yang diperlukan adalah aturan hukum yang bersifat holistik, mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di seluruh Kabupaten Indramayu. Untuk itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu perlu mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan laut di Kabupaten Indramayu. 2) Aturan pengelolaan Peraturan daerah di bidang perikanan yang dikeluarkan oleh Kabupaten Indramayu umumnya masih mencerminkan kepentingan ekonomi yang dominan. Dengan kata lain, peraturan daerah yang sifatnya memberikan perlindungan ekologi masih kurang. Hal ini dapat terlihat pada beberapa peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Indramayu, seperti Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 20 Tahun 2002 tentang Retribusi Usaha Perikanan, Penangkapan Ikan, Pembudidayaan dan Pengolahan Hasil Ikan Laut. Dalam peraturan daerah tersebut hanya mengatur mengenai perizinan untuk menarik retribusi. Oleh karenanya, penyusunan dan penetapan peraturan daerah tentang pengelolaan perikanan tangkap Kabupaten Indramayu adalah suatu keharusan. Peraturan daerah Kabupaten Indramayu yang dapat 161

179 dikeluarkan dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan diantaranya adalah meliputi: (1) Pemulihan sumber daya yang terancam punah. (2) Pencegahan pencemaran lingkungan. (3) Pengaturan upaya penangkapan. (4) Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap. (5) Pengaturan musim penangkapan. (6) Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan. (7) Partisipasi masyarakat. (8) Pembangunan prasarana perikanan. (9) Pengaturan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan. 7.6 Faktor Pengungkit Dimensi Kelembagaan 1) Transparansi Kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang berkelanjutan adalah aspek transparansi, baik dalam penyusunan maupun pengawasan. Aspek transparansi terkait dengan pelibatan stakeholder secara partsipatif, khususnya masyarakat nelayan yang menjadi pelaku utama dalam kegiatan penangkapan ikan. Apabila hal ini diabaikan, maka kegagalan akan terjadi karena masyarakat nelayan tidak akan peduli atau apatis dan tidak pernah merasa memiliki. Oleh karena itu, agar suatu kebijakan pengelolaan sumber daya ikan berlaku secara efektif di masyarakat maka dalam setiap penyusunan kebijakan perlu melibatkan stakeholder, khususnya masyarakat nelayan. 162

180 2) Intensitas pemanfaatan Dari hasil analisis serta keragaan sumber daya ikan di Kabupaten Indramayu memperlihatkan bahwa intensitas pemanfaatan terhadap sumber daya ikan laut sangat kuat, sehingga mempengaruhi keberlanjutan sumber daya. Untuk menurunkan intensitas pemanfaatan perlu penutupan beberapa wilayah tangkapan pada wilayah yang terumbu karangnya masih bagus. Ini bertujuan untuk pemulihan (restocking) alamiah. Selain itu, perlu dilakukan relokasi nelayan dari pantai utara Kabupaten Indramayu ke pantai selatan Kabupaten Indramayu. Mengingat, pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah pantai selatan Kabupaten Indramayu masih rendah. 7.7 Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Keberhasilan sebuah kebijakan pengelolaan dapat diamati dari kinerja dan hasil kebijakan yang ada. Proses evaluasi merupakan mekanisme untuk melihat dan memantau sejauh mana kinerja dan hasil kebijakan dapat berjalan sesuai dengan sasaran atau tujuan ditetapkannya kebijakan. Evaluasi kebijakan merupakan pantauan kritis atas kondisi yang ada, dihadapkan kepada visi dan misi serta rencana strategis pengelolaan perikanan tangkap. Mac Kenzie (1983) menyatakaan bahwa intervensi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya ikan meliputi tiga kegiatan pokok yaitu: (1) melakukan pengendalian atas output (output control); (2) mengatur input (to regulate input); dan (3) menyediakan dana yang dibutuhkan (financial support) bagi perusahaan atau individu yang terkena imbas atas regulasi tersebut. Berdasarkan hasil analisis status sumber daya ikan yang dikaji pada bagian sebelumnya terlihat bahwa setiap tahun produktivitas perikanan di perairan Kabupaten Indramayu mengalami tren yang terus menurun. Kondisi tersebut menunjukkan terjadi penurunan CPUE yang sangat signifikan pada 163

181 periode Penurunan grafik produksi tersebut diindikasikan karena terjadi peningkatan effort (trip) yang tinggi tiap tahunnya. Peningkatan effort merupakan satu upaya rasional untuk meningkatkan produksi penangkapan. Namun peningkatan effort yang tidak diiringi dengan regulasi yang ketat tentang pengaturan alat tangkap ditambah dengan tidak adanya upaya restocking sumber daya ikan pada perairan yang ada, maka hanya akan mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan yang selanjutnya akan berakibat buruk kepada menurunnya produksi perikanan. Peningkatan effort ditandai dengan peningkatan jumlah beberapa alat tangkap yang dalam rentang waktu yang meningkat secara signifikan antara lain alat tangkap jaring insang hanyut, payang/lampara, jaring klitik dan purse seine. Peningkatan alat tangkap pada tahun berturut-turut menurut peringkat empat besar yaitu jaring klitik, jaring insang hanyut, payang dan purse seine. Peningkatan effort/trip ironisnya tidak melihat kondisi lingkungan pesisir dan lautan yang makin mengalami degradasi seiring dengan rusaknya ekosistem pesisir. Selain karena rusaknya lingkungan pesisir, kebijakan terkait dengan pembatasan sarana dan armada tangkap belum diatur dengan jelas dan diturunkan dalam perangkat kebijakan yang lebih operasional. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan yang tertera dalam Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Selain karena persoalan kebijakan yang cenderung tidak tegas, masalah lainnya yang menimbulkan terjadinya over fishing adalah lemahnya upaya penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum tercermin dari masih maraknya penggunaan alat tangkap terlarang seperti arad di perairan Indramayu. Penggunaan alat tangkap terlarang arad (baca: mini trawl) tidak hanya merusak lingkungan laut tetapi juga menimbulkan konflik antar nelayan. Jaring arad secara ekonomi sangat efisien, secara teknis alat ini mengadopsi alat tangkap 164

182 pukat harimau (trawl) yang memang telah terbukti sangat efisien dalam operasi penangkapan. Pada tahun 1980 alat tangkap trawl sebetulnya telah dilarang untuk dioperasikan di seluruh perairan Indonesia. Sementara kebijakan Dinas Perikanan dan Kelautan terkait masih belum tegas dan masih ambigu. Sifat ambiguitas tersebut tercermin dari tidak adanya ketegasan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, baik dalam upayanya mencegah ataupun mendorong kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tersebut. Namun karena secara ekonomi alat ini sangat ekonomis, maka atas dasar peningkatan produksi terlihat bahwa alat tangkap ini cenderung diabaikan, sehingga perkembangannya justru sangat pesat pada beberapa daerah pusat pendaratan ikan di pantai utara Jawa. Asumsi bahwa pelarangan jaring arad akan mematikan nelayan, dalam jangka pendek dapat dibenarkan, namun tidak demikian halnya dalam jangka panjang. Sebaliknya, dalam jangka panjang penggunaan jaring arad justru akan menghancurkan sistem perikanan di pantai utara Jawa. Hal ini terjadi karena jaring arad secara ekologis, teknis, sosial dan etika mempunyai tingkat kelestarian yang sangat rendah. Pada level permasalahan seperti ini yang dibutuhkan adalah ketegasan dan kejelasan kebijakan serta program pemerintah daerah, khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan dan lebih spesifik lagi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu untuk mencarikan alternatif solusi bagi pengganti penggunaan jaring arad. Kondisinya ternyata sangat berbeda, saat pelarangan jaring arad dilakukan, pemerintah terlambat dalam menyediakan alternatif alat tangkap atau pun usaha lainnya yang senilai dengan penggunaan jaring arad untuk menggantikan alat tersebut. Lemahnya penegakan hukum dalam jangka panjang, juga dapat menggeser rezim perikanan. Seperti yang lazim diketahui, bahwa wilayah pesisir 165

183 dan lautan oleh sebagian pakar digolongkan sebagai open acces. Lemahnya penegakan hukum dapat mendorong adanya hak kepemilikan yang tidak diatur secara legal, namun terjadi karena proses pengakuan secara ilegal hak mengelola bagi sebagian individu atau kelompok. Sebagai akibat lemahnya hukum, batas-batas kewenangan menjadi bias dan berlaku hukum rimba, dimana yang kuat akan menguasai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Charles (2001) yang menyatakan bahwa open acces dapat terjadi pada private property, dan sebagai konsekuensinya akan muncul masalah penegakan hukum (enforcement problem). Evaluasi terhadap kebijakan dapat ditelusuri juga dengan melihat Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Dalam sasaran pembangunan perikanan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, terlihat ada upaya peningkatan sarana, prasarana penangkapan dan budidaya ikan serta terlaksananya kegiatan peningkatan pemulihan dan perlindungan sumber daya dan lingkungan. Dalam rencana strategis khususnya dalam kebijakan dan kegiatannya terlihat adanya upaya modernisasi perikanan melalui peningkatan sarana dan prasarana perikanan dan kelautan yang memadai dan terpelihara. Sayangnya, upaya peningkatan sarana dan prasarana perikanan dalam Renstra tidak diikuti secara tegas dengan upaya pelestarian sumberdaya hayati dan penataan kelembagaan hukum. Salah satu penataan kelembagaan dalam Renstra tertulis penyusunan peraturan daerah perikanan dan kelautan. Namun faktanya, sampai saat ini peraturan daerah tentang pemanfaatan sumber daya ikan belum tersedia. Kekosongan hukum ini dimanfaatkan oleh sebagian kelompok dan individu untuk memanfaatkan sumber daya ikan tanpa melihat daya dukung lingkungan. Pengaturan sumber daya ikan juga tidak bisa dilepaskan dari pengakuan dan persepsi terhadap rezim perikanan. Perspektif masa lalu, perairan pesisir 166

184 dan lautan diyakini sebagai open acces. Dalam rezim perikanan open acces, semua pelaku perikanan berhak memanfaatkan sumber daya tanpa ada pelarangan karena belum ada kewenangan dan kepemilikan terhadap sumber daya. Rezim open acces meyakini bahwa sumber daya adalah milik bersama oleh karena itu siapapun berhak memanfaatkannya. Karena setiap orang dan pelaku perikanan memanfaatkan tanpa batas dan pengakuan terhadap kewenangan pelaku lainnya, maka terjadilah apa yang oleh Ostrom, E. (2001) dikatakan sebagai the tragedy of the common. Terjadinya kerusakan sumber daya ikan sebagai akibat tidak adanya pengaturan dan pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Tidak adanya pengakuan dan pengaturan rezim perikanan terbukti berdampak kepada konflik nelayan dan degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pelaksanaan pengelolaan perikanan yang masih bersifat open acces, mendorong pemanfaatan sumber daya ikan tidak berjalan efektif. Hasil penelitian menggambarkan beberapa bias pengelolaan yang diakibatkan belum adanya pengakuan terhadap hak kepemilikan (property right) dan dominannya pengelolaan yang bersifat open acces. Selama periode sentralistik sampai desentralistik kebijakan pengelolaan perikanan belum memiliki kriteria kebijakan perikanan tangkap yang tepat, seperti: (1) transparansi dalam mekanisme pengelolaan perikanan, (2) sosialisasi kebijakan dan peraturan perundangundangan tentang konservasi dan pengelolaan, (3) industri penangkapan yang mendorong pengelolaan perikanan bertanggungjawab (Suseno, 2004). Indikasi lainnya dari tidak adanya kejelasan dalam pengaturan hak kepemilikan adalah inkonsistensi kebijakan perikanan tangkap nasional dalam mengikuti aturan dan kebijakan perikanan tangkap internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari kurangnya perangkat teknis baik di tingkat pusat maupun daerah yang mengarah kepada standar internasional. Kebijakan umum 167

185 pengelolaan perikanan tangkap nasional sudah terlihat cenderung mengarah ke paradigma konservasi, namun belum dapat dijabarkan dan didukung oleh kebijakan, baik di tingkat pusat maupun daerah yang masih menganut paradigma rasional. Sementara itu, bila hasil analisis Rapfish dihubungkan dengan DEA dapat diketahui bahwa kedelapan alat tangkap yang dianalisis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu alat tangkap yang beroperasi di dalam dan di luar wilayah perairan Kabupaten Indramayu, seperti purse seine, gillnet, lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Sedangkan alat tangkap yang beroperasi di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu, seperti lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Berdasarkan hal ini, dapat diberlakukan dua strategi pengelolaan, yaitu: (1) pengelolaan di dalam wilayah perairan Kabupaten Indramayu Menurut Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah kabupaten memiliki kewenangan mengelola sumber daya laut dan ikan di wilayah perairan sampai 4 mil. Adapun alat tangkap yang perlu diatur dalam wilayah ini, yaitu lampara, jaring klitik, pancing, sero, pukat pantai, dan dogol. Strategi yang dapat dilakukan pada wilayah ini antara lain, yaitu: stock enhancement, penyedian mata pencaharian alternatif, dan rasionalisasi alat tangkap yang tidak efisien sebagaimana yang dihasilkan DEA (pukat pantai, pancing, sero, dan dogol). (2) pengelolaan di luar wilayah perairan Kabupaten Indramayu Menurut Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah provinsi memiliki kewenangan mengelola sumber daya laut dan ikan di wilayah perairan dari 4 sampai 12 mil. Adapun alat tangkap yang perlu diperhatikan oleh Kabupaten Indramayu yang beroperasi di wilayah ini, 168

186 yaitu purse seine dan gillnet. Hal ini dikarenakan, kedua alat tangkap ini melakukan operasi penangkapan lintas batas, sehingga dikhawatirkan akan terjadi konflik, khususnya konflik fishing ground. Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan oleh Kabupaten Indramayu antara lain, yaitu: melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah lain, peningkatan ukuran armada, dan penggunaan teknologi modern. 169

187 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu kurang berkelanjutan, yang disebabkan antara lain oleh rusaknya ekosistem mangrove, masih beroperasinya alat tangkap tidak ramah lingkungan, belum adanya pengelolaan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap, dan lemahnya penegakkan hukum. Kompleksitas permasalahan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu disebabkan oleh belum adanya rencana pengelolaan sumber daya ikan secara holistik dan integratif dalam mewujudkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Faktor pengungkit dalam pembangunan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu adalah aspek ekologi (tekanan terhadap lahan mangrove dan sedimentasi), aspek ekonomi (besarnya subsidi dan pendapatan asli daerah), aspek sosial (tingkat pendidikan dan frekuensi konflik), aspek teknologi (alat tangkap destruktif, mobilitas alat tangkap, dan penanganan pasca panen), aspek etika (mitigasi habitat dan ekosistem, aturan pengelolaan, dan akses terhadap sumber daya), dan aspek kelembagaan (transparansi dan intensitas pemanfaatan). Strategi kebijakan yang harus dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Kabupaten Indramayu adalah (1) konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove; (2) pengaturan jumlah alat tangkap, (3) penanganan pasca panen, (4) modernisasi armada besar yang beroperasi di wilayah lepas pantai, (5) pengurangan armada kecil yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, (6) pengembangan industri pengolahan ikan, (7) peningkatan kapasitas

188 kelembagaan perikanan dan kelautan, (8) penyediaan mata pencaharian alternatif, dan (9) program pengkayaan stok (stock enhancement). 8.2 Saran Agar pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu dapat berjalan secara efektif, efisien, dan tepat guna, maka dapat disarankan sebagai berikut: (1) Untuk pemerintah daerah, perlu disusun rencana pengelolaan sumber daya ikan yang holistik dan integratif. (2) Perlu dilakukan rasionalisasi atau pengurangan jumlah alat tangkap yang berkorelasi negatif dengan produksi perikanan seperti pukat pantai, pancing, sero, dan dogol. (3) Untuk pelaku usaha penangkapan ikan perlu modernisasi armada besar yang daerah operasinya di zona 12 mil hingga Zona Eksklusif Ekonomi Indonesia. (4) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan perlu penelitian lebih lanjut mengenai detil desain masing-masing alternatif kebijakan. 171

189 DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. dan Tridoyo Kusumastanto, Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Makalah pada Training of Trainer (TOT) Marginal Fishing Community Development Pilot. Bappenas. Cipayung, 8 Oktober hal. Alder, J., T.J. Pitcher, D.Preikshot, K. Kaschner, and B. Ferris How Good is Good?. A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic p. Azis, K.A., M. Boer, Widodo, J., Naamin, N., Amarullah, M.H., Bidawi, H., Djamali, A. Priyono, B.E Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Perikanan Laut. [Bappeda Indramayu] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Indramayu, Studi Penyusunan Strategi Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir Kabupaten Indramayu. Bappeda Kabupaten Indramayu Bailey, C Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Penyunting D.C. Korten dan Sjahrir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 420 hal. Boer, M. dan K.A. Azis Prinsip-prinsip Dasar Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Melalui Pendekatan Bio-Ekonomi. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Bogor: IPB. Budiharsono S Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan. Bimbingan Teknis Perencanaan Program dan Kegiatan Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Hal Charles, A.T Sustainable Fishery System. Blackwell Science Ltd. Oxford. 370 p. Charlotte de Fontaubert and Indrani Lutchman Achieving Sustainable Fisheries: Implementing the New International Legal Regime. IUCN-The World Conservation Union. Cambridge-UK. 177 p. Coastal Research Management Project Profil Perikanan Tangkap di Provinsi Lampung. Lampung. Dahuri, R., Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. Jakarta: Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI). Darsono, Keberadaan Trawl di Perairan Jawa Barat. Bandung: Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. 5 hal.

190 [Diskan] Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat Kegiatan Penyusunan Profil Pulau-pulau Kecil. Pulau Biawak, Pulau Rakit Utara, Pulau Gosong, Kabupaten Indramayu. Dinas Perikanan. Provinsi Jawa Barat. Bandung. Hal III-19. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Laporan Akhir Penyusunan Data Base Kondisi Potensi Sumberdaya Alam Laut (Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara). Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003a. Perikanan Berkelanjutan dan Peranan Kawasan Konservasi Laut. Prosiding Lokakarya. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dephut. Jakarta [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003b. Modul sistem insentif Implementasi Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRP). Jakarta: Direktorat Kelembagaan Internasional Direktorat Jenderal Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran DKP. [DKP & PSKPL] Departemen Kelautan dan Perikanan & Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Penyusunan Model Perencanaan di Zona Penyangga dan Pemanfaatan Kawasan Sumber Daya Pesisir (Terumbu Karang, Mangrove, Pantai) yang Berbasis Masyarakat di Indramayu Jawa Barat. Hal [DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 165 hal. [DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 178 hal. [DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 180 hal [DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 169 hal. [DP] Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan Kabupaten Indramayu. 146 hal. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 39 hal. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 37 hal. 173

191 [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 27 hal. [DPK] Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu Laporan Tahunan Indramayu: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. 28 hal. Dunn, W.N Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 687 hal. [FAO] Food and Agriculture Organization Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy: United Nations. Viale delle Terme di Caracalla p. Fauzi, A Pelatihan Rapfish (Multi Dimensional Scaling). Bogor: Center for Resource Economics and Policy Studies (CREPS). Fauzi A dan S. Anna Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan: untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal. Gulland, J.A Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. A wiley Publication. 223 p. Hanafi, Mustafa Hubungan Faktor Perilaku Manusia, Faktor Alam dengan Perubahan Garis Pantai untuk Optimisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana ITB. Hermawan, M Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil. Disertasi Sekolah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hogwood, B.W. dan L.A. Gunn Policy Analysis for the Real World. Oxford University Press. London. 289 p. Imron, M Stok Bersama dan Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Wilayah Perairan Indonesia. Buletin PSP, Vol IX, No. 2. Oktober Jurusan Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB. Hal Jones, C. O An Introduction to the Study of Public Policy. Edisi Kedua. Massachusates. Duxbury Press. Juwono, P.S.H Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung: Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono. Konphalindo. Jakarta. Kinseng, R.A Konflik Kelas di Kalangan Kaum Nelayan di Indonesia (Sebuah Catatan Awal). Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Bogor, 2-3 Agustus hal. Kompas Diduga akibat Peningkatan Suhu Laut dan Pencemaran, Ikan di Pantura Mati. Kamis 26 Mei

192 Korhonen, P., A. Silijamaki dan M.Soisma Practical Aspect of Value Efficiency Analysis. Interim Report IR IIASA Lossin ES Data Envelope Análisis Accounting for a Stochastic Component in the Data. Berlin: Institut fur Statistik und Okonometrie Humboldt Universitat zu Berlin Monintja, D.R., Mulyono S. Baskoro, Ari Purbayanto, Diniah, Sulaeman Martasuganda Studi tentang Klasifikasi, Sebaran, dan Tingkat Teknologi Unit Penangkapan Ikan di Perairan Selatan Jawa dan Barat Sumatera. Program Studi Ilmu Kelautan dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Monintja, D.R. dan R. Yusfiandayani Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap. Prosiding Pelatihan Pengelolaan WIlayah Pesisir Terpadu. Bogor:IPB. Monintja, D.R Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap Perlu Diwujudkan di Laut Arafura. Di dalam Daniel R. Monintja, Aji Sularso, M. Fedi A. Sondita, Ari Purbayanto, editor. Perspektif Pengelolaan Perikanan Tangkap Laut Arafura. Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor:IPB. hlm Munasinghe, M Analysing the nexus of sustainable and climate change: An overview. France: OECD. 53 p. Murtadi S Pengantar Kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan. Bahan Kuliah (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 20 hal Mustodidjaja Kebijakan Pembangunan Proses Masalah dan Praktek. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Nikijuluw., V., Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R). Jakarta. 254 hal. Ostrom, E The Drama of the Commons. National Academy Press. Washington DC. 521 p. Pikiran Rakyat Pendangkalan Hebat Terjadi di Pelabuhan Karangsong Dikeluhkan Nelayan Sejak Sebulan Lalu. 5 Juni p. Pitcher TJ RAPFISH, A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, and Its Aplication to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome: FAO Purbayanto, A., Sugeng Hari Wisudo, Joko Santoso, Mita Wahyuni, Ronny I.W., Dinarwan, Zulkarnain, Sarmintohadi, Akmala Dwi Nugraha, Deni A Soeboer, Beni Pramono, Azmar Marpaung, Mochammad Riyanto Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Papua dan SUCOFINDO. Jakarta. 175

193 Satria A Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta. 130 hal. Satria, A., Abu Bakar Umbari, Ahmad Fauzi Syam, Ari Purbayanto, Endriatmo Sutarto, Ismudi Muchsin, Istiqlaliyah Muflikhati, Muhamad Karim, Sudirman Saad, Wawan Oktariza, Zulhamsyah Imran Menuju Desentralisasi Pengelolaan Kelautan. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 210 hal. Simatupang, P Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Smith, I.A. dan F. Marahuddin Ekonomi Perikanan: Dari Teori Ekonomi ke Pengelolaan Perikanan. PT. Gramedia. Jakarta. Sondita, M.F.A Monitoring Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan. Makalah disampaikan dalam Workshop-2 Rencana Pengelolaan Perikanan Layur, Kerjasama COFISH dan Dinas Kelautan dan Perikanan Trenggalek, Kediri Juli Sularso, A Alternatif Pengelolaan Perikanan Udang di Laut Arafura. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 130 hal. Supardi, Imam Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. PT. Alumni. Bandung. Supriyanto Profil Perekonomian dan Kesejahteraan Rumah Tangga Perikanan Laut dan Budidaya Tambak. Kabupaten Indramayu Sekolah Tinggi Ilmu Statistik. Jakarta. 168 hal. Suseno Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Tangkap: Kasus Pantai Utara Jawa Tengah. Disertasi Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susilo B.S Keberlanjutan Pembangunan Pulau-pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari. Kepulauan Seribu. DKI Jakarta. Disertasi Sekolah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tribawono, D Hukum Perikanan Indonesia.. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 228 hal. United Nation Convention on the Law of the Sea Undang-Undang Republik Indonesia No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Jakarta. 35 hal. Undang-Undang Republik Indonesia No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. 94 hal. Wiyono, E.S Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu Telaah Manajemen Perikanan Konvensional). Artikel dimuat pada Buletin INOVASI Vol.6/XVIII/Maret hal. 176

194 LAMPIRAN

195 Lampiran 1. Potensi perikanan tangkap Jawa Barat KABUPATEN / KOTA Pelagis Kecil Pelagis Besar Demersal Udang Ikan Karang Lain-lain Jumlah SELATAN Ciamis 17, , , Tasikmalaya 17, , , Garut 19, , , Cianjur 18, , , Sukabumi 27, , , Sub Jumlah 99, , , , , UTARA Bekasi 5, , , , Karawang 4, , , , Subang 5, , , , Indramayu 9, , , , Cirebon 5, , , , Kota Cirebon , , Sub Jumlah 31, , , , , , JUMLAH TOTAL 130, , , , , , , Sumber data: Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat

196 Lampiran 2. Dimensi dan atribut RAPFISH DIMENSI DAN ATRIBUT No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Survei EKOLOGI 1 Status pemanfaatan sumberdaya ikan 0, 1, Keterangan Mengacu pada skala FAO (0) kurang-penuh, (1) Penuh-Berat, (2) Lebih Tangkap-Hancur 2 Abrasi 0, 1, (0) Rendah (1) Sedikit (2) Tinggi 3 Perubahan ukuran ikan yang tertangkap 5 tahun terakhir 0, 1, Mengacu pada Rapfish (0) Tidak berubah, (1) Sedikit menurun, (2) Menurun banyak 4 Jarak migrasi 0, 1, (0) sedikit (1) sedang (2) banyak 5 Keragaman rekruitmen 0, 1, (0) Rendah (< 40 %), (1) sedang ( %), (2) tinggi (>100 %) 6 Tekanan lahan mangrove 0, 1, (0) kurang, (1) Sedang, (2) Tinggi 7 Sedimentasi 0, 1, (0) Rendah (1) Sedikit (2) Tinggi 8 Kedewasaan ikan yang tertangkap (persentase ikan tertangkap sebelum dewasa) 0, 1, (0) Tidak ada, (1) sedikit (>30 % ), (2) banyak (>60%) 9 Jumlah Spesies yang tertangkap 0, 1, (0) Rendah (1-10), (1) sedang (10-100), (2) tinggi (>100) 10 Tekanan terhadap terumbu karang 0, 1, (0) kurang, (1) Sedang, (2) Tinggi 179

197 No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Survei EKONOMI 1 Keuntungan usaha penangkapan ikan 0, 1, Kontribusi terhadap GDP/PDRB? 0, 1, Kontribusi terhadap PAD 0, 1, 2, Transfer keuntungan 0, 1, Besarnya pasar 0, 1, Keterangan Mengacu pada Skala Rapfish (0) Menguntungkan, (1) Kembali Modal, (3) Rugi Mengacu pada Skala Rapfish (0) Rendah, (1) Sedang, (2) Tinggi (0) Rendah, (1) Sedang, (2)Tinggi Mengacu pada Skala Rapfish (0) Terutama berada di orang lokal, (1) Seimbang antara orang lokal dan orang luar, (2) Keuntungan lebih banyak orang luar Mengacu pada Skala Rapfish (0) Pasar Lokal, (1) Pasar nasional, (2) Pasar Internasional 6 Besarnya subsidi 0, 1, Perubahan jumlah sarana ekonomi (10 tahun terakhir) 8 Rata-rata penghasilan relatif dan nelayan terhadap UMR , 1, , 1, Pendapatan diluar usaha penangkapan 0, 1, Penyerapan tenaga kerja 0, 1, Mengacu pada Skala Rapfish 2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Besar 1 (0) Kurang, (1) Tetap, (2) Tambah Mengacu pada Skala Rapfish (0) dibawah, (1) Sama, (3) Lebih Tinggi, 2 (0) Tidak tetap (1) paruh waktu (2) musiman 1 (0) Kecil, (1) Sedang, (2) Cukup 180

198 No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Survei SOSIAL 1 Soaialisasi terhadap pekerjaan sumberdaya pesisir 2 Jumlah rumah tangga pekerja pemanfaat SDI 0, 1, Pertumbuhan tenaga kerja pemanfaat SDI (10 tahun terakhir) Pengetahun terhadap lingkungan 0, 1, Tingkat pendidikan relatif masyarakat pesisir 0, 1, Frekuensi konflik 0, 1, Partisipasi keluarga terhadap pemanfaatan SDI 0, 1, Peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Keterangan 0, 1, Mengacu pada Skala Rapfish (0) Pekerjaan dilakukan secara individu, (1) Kerjasama satu keluarga, (2) kerjasama satu kelompok 1 Mengacu pada Skala Rapfish (0) <1/3 (1) 1/3-2/3, (2) > 2/3 dari total jumlah komunitas yang bersangkutan 0, 1, Mengacu pada Skala Rapfish (0) <10 % (1) %, (2) >30 % 0, 1, (0) Sangat minim, (1) Cukup, (2) Banyak 2 (0) Tidak tamat SD dan Tamat SD, (1) Tamat SMP-SMA, (2) Tidak tamat PT atau tamat PT 1 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak 1 (0) Tidak ada, (1) 1-3 anggota keluarga, (2) > 3 anggota keluarga, 1 (0) Negatif, (1) Netral, (2) Positif, 9 Upaya perbaikan ekosistem dari Pemda 0, 1, (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak 10 Waktu yang dialokasikan untuk pekerjaan 0, 1, (0) Hobi dan Paruh waktu (1) Musiman (2) Penuh Waktu 181

199 No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Survei TEKNOLOGI Penyebaran tempat pendaratan ikan (TPI) 0, 1, Mobilitas alat tangkap 0, 1, Ketersediaan rambu-rambu lalu lintas pelayaran 0, 1, Ukuran kapal (rata-rata panjang kapal) 0, 1, Kekuatan alat tangkap ( apakah nelayan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan tangkapan setelah lebih dari lima tahun dengan alat tangkap dan kapal yang lebih besar). 0, 1, Selektifitas alat 0, 1, penggunaan alat bantu penangkapan (Fish attraction device, FADS) 0, 1, Penggunaan alat perikanan yang destruktif 0, 1, Penanganan pasca panen ikan didaratkan sebelum 0, 1, dipasarkan 10 Penanganan ikan diatas kapal 0, 1, Keterangan 1 Mengacu pada skala Rafish (0) tersebar, (1) Terpusat, (2) Ikan didaratkan ditempat lain 1 Modifikasi dari Rafish (0) Mayoritas pasif, (1) Seimbang, (2) Aktif 2 (0) Tidak ada, (1) ada sedikit, (2) Ada cukup banyak 2 Mengacu pada skala Rafish (0) Tidak ada, (1) Sedang, (2) Banyak dan Dominan 2 0) Tidak ada, (1) ada sedikit, (2) Ada cukup banyak 1 Mengacu pada skala Rafish 0) Kurang Selektif, (1) Agak selektiif, (2) Sangat Selektif 2 Mengacu pada skala Rafish 0) Tidak ada, (1) Digunakan Umpan saha, (2) Digunakan Umpan atraktif lain 1 Mengacu pada skala Rafish 0) Tidak ada, (1) Sedang, (2) Banyak dan Dominan 2 Mengacu pada skala Rafish (0) Tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Ada dan Cukup lengkap 1 Mengacu pada skala Rafish 0) Tidak ada, (1) Sedang, (2) Banyak dan Dominan 182

200 No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Survei ETIKA 1 Kedekatan dan kepercayaan 0, 1, 2 2 Pekerjaan alternatif dalam komunitas 0, 1, 2 3 Akses thd sumber daya (Equaty to entry) 0, 1, 2 4 Aturan pengelolaan (Pelibatan stakeholder pengambilan keputusan) 0, 1, 2 5 Mitigasi ekosistem 0, 1, Keterangan 1 (0) Tidak dekat/tidak mempercayai, (1) Ada kedekatan/ sedikit percaya (2) Ada kedekatan/ sangat mempercayai 2 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak 1 (0) Tidak dipertimbangkan, (1) Dipertimbangkan, (2) Nelayan tradisional asli 1 (0) Tdak ada ada, (1) Konsultasi, (2) Co-Manajemen 2 (0) Tidak ada, (1) Ada tapi sedikit, (2) Banyak mitigasi 6 Mitigasi Habitat 0, 1, 2 7 Marketable right 0, 1, (0) Tidak ada, (1) Ada tapi sedikit, (2) Banyak mitigasi 1 (0) Quota, (1) Sedikit, (2) Sebanding 8 Perikanan ilegal 0, 1, (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak 9 Jumlah ikan terbuang 0, 1, 2 10 Peraturan perundangan 0, 1, (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak 0 (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak 183

201 No Dimensi dan Atribut Skor Baik Buruk Hasil Survei KELEMBAGAAN Ketersediaan peraturan pengelolaan secara formal Ketersediaan peraturan adat dan kepercayaan / agama Penyuluhan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan 0, 1, , 1, , 1, Ketersediaan personil penegak hukum dilokasi 0, 1, Fungsionalisasi Lembaga pengawas local 0, 1, Transparansi dalam kebijakan 0, 1, Zonasi peruntukan perairan / pemetaan SDI 0, 1, Intensitas pemanfaatan yang melanggar hukum 0, 1, Ada tidaknya Limeted Entry 0, 1, Kelembagaan kemitraan 0, 1, Keterangan (0) Kurang (1) Cukup, (2) Banyak (0) Tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Cukup banyak (0) Tidak pernah, (1) Jarang, (2) Sering (0) Tidak ada, (1) Sedikit, (2) Banyak (0) Ada Tdak Berfungsi, (1) Kurang berfungsi, (2) Ada dan Berfungsi (0) Tidak transparan, (1) Kadang-kadang transparan, (2) Sangat Transparan (0) Tidak ada, (1) Ada tapi dilanggar, (2) Ada dan ditaati (0) Tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Banyak Mengacu pada Rafish (0) tidak ada, (1) Ada sedikit, (2) Sangat banyak (0) Ada dan Berfungsi, (1) Ada tapi kurang berfungsi (2) Tidak ada (2) Ada Tidak Fungsi 184

202 Lampiran 3. Analisis MDS dengan menggunakan Rapfish di Kabupaten Indramayu Dimensi Ekologi 185

203 Dimensi Ekonomi 186

204 Dimensi Sosial 187

205 Dimensi Teknologi 188

206 Dimensi Etika 189

207 Dimensi Kelembagaan 190

208 Lampiran 4. Daftar nama responden RAPFISH No. Nama Responden Keterangan 1 Ir. H. Darsono Kepala Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat 2 Ir. Tatang Sulaeman MS Kasubdin Produksi dan Konservasi Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat 3 Ir. Hj. Atih Rachlan, MM Kasubdin Bina Usaha Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat 4 Ir. Ade Kusmana, MM Kasie Kerjasama Subdin Kelautan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat 5* Ir. A. Rasyid Hakim Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK) Kabupaten Indramayu 6 Ir. Tirman Parma Saputra Kasubdin Kelautan DPK Kabupaten Indramayu 7 Sutaryat, APi Kasie Pengelolaan Sumber daya Laut DPK Kabupaten Indramayu 8 Saefudin, S.Pi Kasie Pengelolaan Kekayaan Laut DPK Kabupaten Indramayu 9 Edi Umaedi, S.P Kasubag Perencanaan dan Evaluasi DPK Kabupaten Indramayu 10 Sutarno Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Indramayu 11* Drs. Suherman Kasie Sumber Hayati Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup 12 Aris Susanto Staf Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup 13* Ucep A. Anwar Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Indramayu 14 Tonni S Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Indramayu 15 Drs. Umar Budi Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Indramayu 16 Sofyandi Kepala Kantor Syahbandar Kabupaten Indramayu 191

209 17 Koko Sudiaswara KPLP Kantor Syahbandar Kabupaten Indramayu 18* Ony Thayib, S.Hut Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Siklus Kabupaten Indramayu 19 Drs. Madri Divisi Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat LSM Siklus Kab. Indramayu 20* Entus Hikmana, S.Pi Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Wiralodra Indramayu 21 Sugianto Aparat Kecamatan Balongan 22 Drs. Firdaus Kasie Pemerintahan Kecamatan Indramayu 23 Suwarno Aparat Kecamatan Indramayu 24* A. Sam un, S.P Kepala Cabang Dinas Kecamatan Juntinyuat 25 Eddy Marwadi Kepala Cabang Dinas Kecamatan Kandanghaur 26 M. Sam un Kepala Cabang Dinas Kecamatan Indramayu 27 Jaelani, SH Kepala Cabang Dinas Kecamatan 28* H. Cartisa Juragan nelayan Desa Paoman Kecamatan Indramayu 29 Karwita Nelayan Desa Brondong Kecamatan Indramayu 30* Tasid Nelayan Desa Brondong Kecamatan Pasekan 31 Kaprawi Tokoh nelayan Desa Brondong Kecamatan Pasekan Kabupaten Indramayu 32 Warsidi Tokoh Masyarakat nelayan Desa Pabean Ilir 33* Sukardi Nelayan Desa Brondong Kecamatan Pasekan 192

210 34 Mama Solihin Tokoh masyarakat nelayan Eretan Desa Ilir Kecamatan Kandanghaur 35 H. Nasfiah Ketua KUD Mina Sejati Desa Limbangan Kecamatan Juntinyuat 36 Toni Hermanto Staf Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu 37 Dulmin Syamsul Hadi Ketua Pusat Koperasi Perikanan Indramayu 38 Drs. Wirya Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Indramayu 39 Mukhtar Pemuda Pelopor Bidang Kelautan Kabupaten Indramayu 40* H. R. Herbayu Ketua KUD Mina Semitra Desa Karangsong Kecamatan Indramayu 41 Tawajud Manager KUD Niba Semitra Desa Karangsong Kecamatan Indramayu 42 Kapleng Anggota Kelompok Petani Tambak Desa Karangsong Kecamatan Indramayu 43 Kadma Tokoh masyarakat Desa Brondong Kecamatan Pasekan 44 Kamaludin Koordinator LSM KOMPI Desa Brondong Kecamatan Pasekan 45 H. Tasman Ketua Kelompok Petani Tambak Jaka Kencana Ds Pabean Udik Kec. Indramayu 46 Latif Sekretaris Kelompok Petani Tambak Jaka Kencana Ds Pabean Udik Kec. Indramayu 47* Nano Sudarsono Anggota LSM KOMPI Desa Brondong Kecamatan Indramayu 48 Saefudin Zuhri Sekretaris LSM KOMPI Desa Brondong Kecamatan Indramayu * key stakeholder 193

211 Lampiran 5. Daftar nama responden DEA No. Nama Responden Alat Tangkap Pengalaman Menjadi Nelayan 1 H. Nasor Purse Seine 15 Tahun 2 H. Rahmat Gillnet 15 Tahun 3 Kadiran Dogol 20 Tahun 4 Tohari Jaring Klitik 20 Tahun 5 Sawidi Pancing 30 Tahun 6 Samsudin Payang 30 Tahun 7 Ipin Pukat Pantai 40 Tahun 8 Sarif Sero 30 Tahun 194

212 Lampiran 6 Gambar alat tangkap di Kabupaten Indramayu Gambar Alat Tangkap Purse Seine Sumber: Coastal Research Management Project (1998) 195

213 Gambar Alat Tangkap Gillnet Sumber: Coastal Research Management Project (1998) 196

214 Gambar Alat Tangkap Payang Sumber: Coastal Research Management Project (1998) 197

215 Gambar Alat Tangkap Dogol Sumber: Coastal Research Management Project (1998) 198

216 Gambar Alat Tangkap Pukat Pantai Sumber: Coastal Research Management Project (1998) 199

217 Gambar Alat Tangkap Sero Sumber: Coastal Research Management Project (1998) 200

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK

ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN ABSTRAK BULETIN PSP ISSN: 251-286X Volume No. 1 Edisi Maret 12 Hal. 45-59 ANALISIS KEBERLANJUTAN RAPFISH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA, IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) DI PERAIRAN TANJUNGPANDAN Oleh: Asep Suryana

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan masa depan Indonesia, karena dapat memberikan dampak ekonomi kepada sebagian penduduk Indonesia. Selain

Lebih terperinci

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 257 11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE 11.1 Pendahuluan Perikanan tangkap merupakan salah satu aktivitas ekonomi yang sangat kompleks, sehingga tantangan untuk memelihara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah

BAB I PENDAHULUAN. Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Informasi tentang kerusakan alam diabadikan dalam Al-Qur an Surah Ar-Ruum ayat 41, bahwa Telah nampak kerusakan didarat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO 1 PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu-isu tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti air, tanah, hutan dan kelautan-perikanan, merupakan topik yang semakin penting dalam kajian akademik,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 72 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON Oleh : H. Mardjoeki, Drs., MM. ABSTRAKSI Pemberdayaan masyarakat pesisir pantai Kapetakan (Bungko) sampai pesisir pantai Mertasinga

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN

PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN PENINGKATAN PENGELOLAAN PANGKALAN PENDARATAN IKAN PANGANDARAN DAN WISATA PANTAI DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN NELAYAN DEDE HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de

penangkapan (Berkes et a/., 2001 dalam Wiyono dan Wahju, 2006). Secara de I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine merupakan salah satu metoda pernanfaatan ikan-ikan pelagis yang ada di suatu perairan. Alat tangkap purse seine

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 30 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA DI WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.

Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut. - 602 - CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI

Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut SKRIPSI Keterkaitan Aktifitas Ekonomi Nelayan Terhadap Lingkungan Pesisir Dan Laut (Studi Deskriptif Di Desa Pekan Tanjung Beringin Dan Desa Pantai Cermin Kanan Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI Diajukan guna

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 31 III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Minapolitan Kampung Lele Kabupaten Boyolali, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali. Penelitian

Lebih terperinci

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 18 TAHUN 2008 T E N T A N G RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN SUKAMARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

Lebih terperinci

SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO

SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG MADURA ARIYANTO DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SIMULASI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT

PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah) YUDO JATMIKO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan C1 Penentuan Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan Dwi Putri Heritasari dan Rulli Pratiwi Setiawan Perencanaan Wilayah dan Kota,

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 29 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su

2 penelitian berjudul Pola Pemanfaatan Sumberdaya Udang Dogol (Metapenaeus ensis de Haan) Secara Berkelanjutan di Perairan Cilacap dan Sekitarnya ; Su 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE (Environmental Study of University of Pattimura) Memiliki 1.340 pulau Pulau kecil sebanyak 1.336 pulau Pulau besar (P. Seram,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Pembangunan Wilayah Kesalahan mengadopsi konsep pembangunan dari luar yang dilaksanakan di masa Orde Baru terbukti telah

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DIBIDANG PENANGKAPAN IKAN UNTUK PERAIRAN UMUM DARATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci