Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I"

Transkripsi

1 KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 ABSTRACT LUISITA FILOSOFIANTI. City Spatial Policy and Agriculture Conversion. (Supervised by: Martua Sihaloho) There are four purposes in this research. The first is to know the role of land for farmers, local government, and private. The second is to know the formulas, principles, and objectives for spatial planning policies of Bogor City. The third is to know the aspects of spatial planning policies that provide opportunities for agriculture conversion in village Cibereum Sunting, Sub-district Mulyaharja. And the fourth is to know tendensa changes in land use as a form of agriculture conversion in village Cibereum Sunting, Sub-district Mulyaharja. This research take place in village Cibereum Sunting, Sub-district Mulyaharja, District Bogor South, Bogor City with focus on agricultural land have been converted. This research uses qualitative approach. This study has a specificity, which is trying to analyze the linkage between spatial planning policy and agriculture conversion. It is understood from the existence of a condition of limited lands and the increased need for land development along with various non-agricultural sectors such as service sector and industrial sector in an era of economic growth can put pressure on the agricultural sector. In addition, the potential for sources of agricultural land will not be used without the appropriate policy framework. Results from this research to unfolds the role of land for each of different social actors. The social actors who have an interest in land is the farmers, local government, and PT. A. In addition to achieve goals on the land, the local government make a city spatial planning which is reflected in the form RDTR/RTRW Bogor City. In the process found that there are various aspects that provide opportunities for agriculture conversion in the spatial planning policy at executive level and at the farmer level. This opportunity then exploited by the private sector and the impact for the function of land. Keywords: City Spatial Policy, Agriculture Conversion.

3 RINGKASAN LUISITA FILOSOFIANTI. KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN. Studi Kasus di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. (Di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO). Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2004), total lahan pertanian dalam hal ini lahan sawah di Indonesia tercatat sekitar 8,9 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar hektar telah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya (Data Badan Pertanahan Nasional, 2004). Dengan demikian, alih fungsi lahan pertanian menjadi suatu fenomena yang terus menjadi ancaman serius. Berdasarkan alasan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian yang menganalisis keterkaitan kebijakan pertanahan, yakni tata ruang wilayah sebagai instrumen penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Hal ini berangkat dari adanya suatu kondisi keterbatasan lahan serta terjadinya peningkatan kebutuhan tanah seiring dengan berkembangnya beragam sektor non-pertanian, seperti sektor jasa dan sektor industri di era pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Selain itu, potensi sumber agraria tanah yang besar tidak akan dapat dimanfaatkan tanpa adanya kerangka kebijakan yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta; (2) mengetahui rumusan, asas, dan tujuan penataan ruang wilayah Kota Bogor; (3) mengetahui aspek-aspek dari perencanaan tata ruang wilayah yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja; (4) mengetahui tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja. Penelitian ini dilakukan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Pilihan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Alasan pemilihan lokasi antara lain: (1) kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik; (2) lokasi tercakup ke dalam salah satu daerah pinggiran kota (semiurban) metropolitan dengan dinamika masalah pembangunan yang sering terjadi di dalamnya, seperti alih fungsi lahan pertanian yang banyak terjadi untuk berbagai kepentingan; (3) berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Bogor Selatan Tahun 2002, terdapat alokasi peruntukkan permukiman hingga mencapai 2.309,67 hektar atau 74,96 persen (Data Dinas Penataan Ruang Kota Bogor). Lokasi ini merupakan wilayah alih fungsi lahan pertanian, dimana sebagian dan hampir keseluruhan dari total wilayah di Kampung Cibereum Sunting, telah beralih fungsi menjadi kompleks perumahan yang pada awalnya adalah lahan pertanian produktif. Penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research), dimana dalam pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini didasarkan oleh realitas sosial, yakni didasarkan pada fakta tentang perilaku manusia. Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan metode non survey yang dapat ditangkap melalui metode studi kasus. Studi kasus digunakan untuk menjelaskan wawasan dan pemahaman mendalam mengenai kebijakan penataan ruang dan mengenai aspek-aspek dari kebijakan penataan

4 ruang yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di tingkat pelaksana kebijakan dan di tingkat masyarakat, yang dalam hal ini petani. Metode non survey pada pelaksanaannya di lapangan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta terbatas, dan penelusuran (analisis) data sekunder sebagai instrumennya. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari data statistik Badan Pusat Statistik Kota Bogor, data dari Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, Dinas Cipta Karya Kota Bogor, dan Kelurahan Mulyaharja. Sedangkan, data primer diperoleh dari responden dan informan baik dari pihak pejabat dan perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, pejabat dan perangkat Tata Pemerintahan Kota Bogor, pejabat dan perangkat Dinas Cipta Karya Kota Bogor, pejabat dan perangkat Kantor Pertanahan Kota Bogor, pejabat dan perangkat Kelurahan Mulyaharja, Swasta (PT. A), dan petani pemilik. Upaya mencari benang merah untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yang diajukan adalah dengan melakukan penelitian terkait. Hasil yang didapatkan adalah peran tanah merupakan panggung lahirnya berbagai kompleksitas masalah. Hal ini dapat dipahami, karena nilai penting dari tanah yakni bernilai strategis dan selanjutnya dapat berimplikasi pada interest pemanfaat sumber agraria. Bila ditarik garis, ternyata fungsi atau peran tanah dapat menimbulkan motivasi kepentingan. Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber agraria tanah. Pemanfaatan sumber agraria tanah tersebut dilakukan oleh aktor-aktor sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aktor-aktor sosial yang memiliki kepentingan atas tanah dalam konteks ini, yakni pemerintah daerah, PT. A, dan petani. Peran tanah bagi masing-masing aktor sosial tersebut, antara lain: (1) bagi pemerintah daerah adalah sebagai pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan; (2) bagi swasta digunakan sebagai aset untuk meningkatkan surplus dan melakukan akumulasi modal; (3) bagi petani adalah berperan dalam hal ekonomis dan sosiologis. Peran ekonomis tanah bagi petani ditandai adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran tanah secara sosiologis, menurut penelitian ini memiliki fungsi sosial yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas di Kampung Cibereum Sunting. Peranan tanah bagi kehidupan pemerintah daerah, swasta, dan petani tersebut menghasilkan pemetaan aktor sosial atau subyek atas sumber agraria tanah. Peran tanah merupakan panggung lahirnya berbagai perebutan kepentingan antara aktor-aktor sosial, selanjutnya mereka berupaya melancarkan berbagai cara untuk mendapatkan tujuannya di atas sumber agraria tanah. Seiring dengan masuknya Kota Bogor dalam babak otonomi daerah (dijelaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999), maka terjadi pelimpahan kewenangan kepada daerah. Dengan sendirinya Kota Bogor mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mencapai tujuannya di atas tanah maka pemerintah daerah membuat arahan perencanaan terhadap tata ruang kota yang tercermin dalam bentuk RTRW dan RDTR Kota Bogor. Dasar yang digunakan sebagai landasan dibentuknya RTRW dan RDTR Kota Bogor terutama bersumber pada amandemen UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 dan dipertegas oleh pasal 1 ayat 2 UUPA Nomor 5 Tahun Pada

5 prosesnya, ternyata kebijakan penataan ruang memperlihatkan aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yakni di tingkat pelaksana kebijakan dan di tingkat petani (sasaran kebijakan). Penyelenggaraan penataan ruang di tingkat pelaksana mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang yang telah ditetapkan. Pertama, Tahap Perencanaan. Perencanaan penataan ruang untuk Kota Bogor ternyata dialokasikan sebagai kawasan perdagangan dan jasa, permukiman, industri, pariwisata, dengan skala pelayanan nasional, internasional, dan regional. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahap perencanaannya saja sudah mengacu pada arahan penggunaan ke dalam konteks non-pertanian. Kedua, Tahap Pelaksanaan. Pelaksanaan tata ruang mencakup upaya pembinaan, yakni dilakukan melalui sosialisasi. Namun upaya pembinaan ini dirasa belum efektif dan kurang menyentuh masyarakat luas. Selain itu, pelaksanaan penataan ruang Kota Bogor dapat disoroti secara spesifik dengan mengacu pada ketersediaan dana pembangunan. Sumber pembiayaan terkait dengan pembangunan dan pengembangan Kota Bogor juga didapat dari pihak swasta. Aturan yang menjelaskan diperbolehkannya sumber pembiayaan pembangunan dan pengembangan kota oleh PT. A sebagai swasta, memberikan peluang bagi PT. A untuk melakukan kapitalisme besar-besaran. Ketiga, Tahap Pengendalian. Dalam rangka pengendalian ruang maka diturunkan beberapa aturan, seperti aturan mengenai mekanisme izin lokasi dan Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR). Izin lokasi adalah izin yang diberikan pemerintah daerah kepada perusahaan (pengembang) dalam rangka penanaman modal. Ternyata pengawasan terhadap pelaksanaan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55/1993 berkaitan dengan pembebasan lokasi yang terdapat dalam mekanisme izin lokasi belum dapat dilakukan secara optimal. Akibatnya, PT. A dapat memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan dari para petani dengan terus berupaya mencari cara agar para petani menjual lahannya. Sementara itu, SKPR sebagai produk pengendalian ruang juga belum menjadi peraturan daerah yang sah. Akibatnya, kekuatan hukumnya belum sepenuhnya kuat dan masih dapat disimpangkan. Penyelenggaraan penataan ruang di tingkat petani dapat teridentifikasi melalui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya posisi tawar para petani. Hal ini karena para petani di Kampung Cibereum Sunting tidak memiliki kesiapan untuk berpartisipasi dalam penataan ruang, yakni dipengaruhi oleh ketiadaan akses pengetahuan terhadap kebijakan penataan ruang. Ketidaktahuan petani terhadap tata ruang dapat dipahami, karena petani kurang memiliki wacana dan kemampuan untuk mempertajam terminologi akibat rendahnya pendidikan. Rendahnya pendidikan petani juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yang juga rendah. Selain itu, posisi tawar petani yang rendah dipengaruhi oleh ciri-ciri petani, yakni tersubordinasi, memiliki prinsip safety first, dan terintegrasi oleh sistem ekonomi makro. Pada intinya, adanya aspek-aspek peluang dari kebijakan penataan ruang tersebut lebih lanjut dimanfaatkan oleh PT. A (swasta) untuk mencapai tujuannya atas tanah. Pemanfaatan yang dilakukan oleh swasta pada aspek kebijakan penataan ruang di tingkat pelaksana dan petani tersebut memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, yakni dari lahan pertanian menjadi kompleks perumahan. Bila dianalisis lebih lanjut dengan melihat

6 fenomena yang terjadi, ternyata faktor yang paling mempengaruhi perubahan alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting adalah faktor luar, yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka tipe alih fungsi lahan yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting adalah tipe sistematik berpola enclave.

7 KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

8 FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama Mahasiswa Nomor Pokok Departemen Judul : Luisita Filosofianti : I : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat : Kebijakan Penataan Ruang dan Alih Fungsi Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Martua Sihaloho, SP. MSi NIP: Mengetahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP: Tanggal Pengesahan:

9 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Februari 2010 Luisita Filosofianti I

10 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Luisita Filosofianti yang dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 03 Mei Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Lilik Subiantoro dan Ibu Lilis Sulistyowati. Penulis memiliki dua kakak perempuan yang bernama Liza Fajar Upaya Sari Subiantoro, Si dan Lidya Dwi Sundari Subiantoro, Si dan satu adik perempuan yang bernama Lupita Desi Listiani Subiantoro yang masih duduk di kelas 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Semenjak Sekolah Dasar (SD) dan sampai saat ini penulis tinggal di Kota Bogor. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Angkasa tahun 1994, SD Angkasa tahun 2000, SLTPN 5 Bogor tahun 2003, dan SMAN 2 Bogor tahun Penulis juga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor tahun ajaran melalui jalur USMI dan tahun 2007 menjadi mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis berkesempatan menjadi asisten Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi tahun Penulis juga sempat mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yakni Music Agriculture X-Pression tahun dan mengikuti Himpunan Profesi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun Penulis juga mengikuti dan menjadi panitia dalam beragam event di kampus.

11 KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya yang telah diberikan sehingga penulis mendapat kemudahan dalam menyelesaikan Skripsi yang berjudul Kebijakan Penataan Ruang dan Alih Fungsi Lahan Pertanian. Skripsi ini membahas mengenai kebijakan penataan ruang yang terimplementasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis juga ingin melihat fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun materi sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih ini terutama penulis berikan kepada Martua Sihaloho, SP. MSi, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam proses penulisan Skripsi ini. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi referensi penelitian selanjutnya, khususnya yang mengangkat topik yang relevan. Bogor, Februari 2010 Luisita Filosofianti

12 UCAPAN TERIMA KASIH Selama proses penelitian dan penulisan Skripsi ini penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik itu dalam bentuk bantuan moril maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Martua Sihaloho, SP, MSi sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing penulis dan telah membentuk sikap kritis penulis dalam menggunakan teori untuk menganalisis fakta sosial yang ada. 2. Dr. Satyawan Sunito, selaku penguji utama pada sidang skripsi. 3. Ratri Virianita, S. Sos, M.Si, selaku penguji perwakilan departemen. 4. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing akademik untuk bimbingan, nasehat, dan arahannya selama ini. 5. Ir. Lilik Subiantoro dan Lilis Sulistyowati, orang tua yang dengan kerja keras dan doa serta kasih sayangnya sehingga penulis dapat menempuh pendidikan yang baik. 6. H. Dede Nurhayat dan Hj. Siti Nuraeni, orang tua yang dengan kasih sayangnya memberikan dukungan moril sehingga penulis mendapatkan kekuatan untuk serius menulis. 7. Deni Nur Ali, ST teman hidupku yang selalu setia menemani dan memberikan dukungannya yang terukir dalam lubuk hati yang terdalam. 8. Saudara-saudaraku yang senantiasa menghibur dan menjadi penyemangat. 9. Staf Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, Staf Dinas Cipta Karya, Staf Kantor Pertanahan Kota Bogor, Kepala Kelurahan beserta jajarannya di Kelurahan Mulyaharja, dan Swasta (PT. A) atas kesediaannya berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman dalam rangka penulisan skripsi ini. 10. Teman-teman seperjuangan program akselerasi. Terima kasih atas kebersamaan, diskusi-diskusi, dan bantuan lainnya yang membuat saya terus termotivasi. Semoga harapan kita yang belum terwujud dapat segera dikabulkan oleh Allah SWT. 11. Teman-teman KPM angkatan 42 dan 43 untuk semua bantuan, dukungan, ide, dan diskusinya yang bermanfaat dalam proses penyusunan Skripsi ini.

13 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xiii xvi xvi xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penulisan Kegunaan Penulisan BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Tanah Sebagai Sumberdaya Agraria Fungsi Tanah Bagi Kehidupan Petani, Pemerintah, dan Swasta Pemetaan Aktor Sosial atau Subyek Atas Sumber Agraria Tanah Ciri Masyarakat Tani Kebijakan Pertanahan (Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan) Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Teori Akses dan Aksesibilitas Otonomi Daerah Alih Fungsi Lahan Pertanian Pengertian Alih Fungsi Lahan dan Perkembangan Alih Fungsi Lahan Pertanian Tipe dan Bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian Kerangka Pemikiran Definisi Konseptual Hipotesa Pengarah 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan Satuan Analisis Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Kelurahan Mulyaharja Keadaan Umum Kelurahan Mulyaharja Kondisi Demografi Penduduk Pendidikan 42

14 Ketenagakerjaan Sarana dan Prasarana Fisik Kampung Cibereum Sunting Gambaran Kampung Cibereum Sunting Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Kampung Cibereum Sunting Potret Agraria Lokal BAB V HUBUNGAN TANAH DENGAN AKTOR SOSIAL 5.1 Pemetaan Aktor Sosial Peran Tanah Bagi Kehidupan Masyarakat Tani Peran Ekonomis Tanah Peran Sosiologis Tanah Peran Tanah Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dan PT. A Ikhtisar. 59 BAB VI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG 6.1 Rumusan Kebijakan Penataan Ruang Asas dan Tujuan Kebijakan Penataan Ruang Ikhtisar BAB VII ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG TERJADINYA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DARI SUDUT KEBIJAKAN PENATAAN RUANG 7.1 Pada Tingkat Pelaksana Perencanaan Tata Ruang Pelaksanaan Ruang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada Tingkat Petani- Posisi Tawar (Bargaining Position) Ikhtisar BAB VIII TENDENSA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SEBAGAI BENTUK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KELURAHAN MULYAHARJA 8.1 Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian Pola Alih Fungsi Lahan Pertanian Ikhtisar BAB IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

15 DAFTAR TABEL Nomor Teks Halaman Tabel 1. Fungsi Lahan Bagi Aktor Sosial Tabel 2. Tipe Alih Fungsi Lahan Terkait Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian. 26 Tabel 3. Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Kelurahan Mulyaharja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun Tabel 4. Klasifikasi Tenaga Kerja Menurut Usia dan Jenis Kelamin Tahun Tabel 5. Jumlah Penduduk Kelurahan Mulyaharja Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun Tabel 6. Tabel 7. Rencana Penggunaan Lahan Di Kota Bogor Tahun Perbandingan Antara Aturan Formal dan Proses Nyata Terkait dengan Kebijakan Penataan Ruang Lampiran Tabel 8. Jadwal Penelitian Tabel 9. Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulannya.. 111

16 DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman Gambar 1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria Gambar 2. Bagan Alur Berpikir Kebijakan Tata Ruang Kota dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Gambar 3. Proses Penentuan Informan dan Responden Gambar 4. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria di Kampung Cibereum Sunting Gambar 5. Sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Pusat Perbelanjaan (mal).. 80 Prosedur Permohonan Izin Lokasi Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Mekanisme Penyimpangan Terkait Permohonan Izin Lokasi untuk Kegiatan Usaha Komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting.. Diagram Ven Hubungan antara Pihak-Pihak yang Terkait dengan Alih Fungsi Lahan Pertanian Lampiran Gambar 9. Sketsa Kampung Cibereum Sunting..... Gambar 10. Peta Rencana Penggunaan Lahan Kota Bogor Tahun Gambar 11. Peta Rencana Kepadatan Penduduk Kota Bogor Tahun Gambar 12. Peta Rencana Sistem Perwilayahan Kota Bogor Tahun Gambar 13. Peta Rencana Struktur Tata Ruang Kota Bogor Tahun Gambar 14. Peta Orientasi Wilayah Perencanaan Kota Bogor Tahun 2009 Gambar 15. Peta Batas Wilayah Administratif Kecamatan Bogor Selatan Tahun Gambar 16. Peta Pembagian SUB-BWK Kecamatan Bogor Selatan Tahun Gambar 17. Dokumentasi

17 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terdapat keterkaitan antara tanah dengan agraria, sebagaimana hasil ulasan kembali mengenai isi UUPA 1960 pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) oleh Sitorus (2002). Menurutnya, tanah merupakan salah satu sumber atau obyek agraria yang memiliki posisi sentral yang mewadahi semua kekayaan alami dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Pada intinya, tanah merupakan sumber agraria yang memiliki fungsi bagi pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia. Tanah memiliki nilai-nilai, yakni nilai sosial, nilai budaya, nilai ekonomi, dan nilai politik. Adanya suatu kondisi lingkungan dan kualitas tanah dari segi kondisi fisik maupun dari segi nilai strategis, lokasi tanah yang bervariasi pada suatu wilayah memperlihatkan beragamnya kegiatan penggunaan dan pemanfaatan tanah. Bentuk penggunaan dan pemanfaatan tanah antara lain digunakan untuk sektor pertanian dan non-pertanian. Secara kualitas sumber agraria tanah dapat ditingkatkan, tetapi secara kuantitas, yakni sumber agraria tanah yang tersedia pada suatu tatanan ruang tertentu (suatu wilayah) akan tetap (fixed). Berkembangnya sektor industri, jasa, dan properti di era pertumbuhan ekonomi, dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Dengan demikian perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional tidak mungkin dapat dihindarkan. Berbicara masalah pertanahan, yakni terjadinya berbagai fenomena terkait konteks pertanahan perkotaan di Indonesia, sungguh merupakan persoalan yang sangat kompleks. Hal ini tidak terlepas dari adanya keputusan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan otonomi di lingkup wilayah teritorialnya (sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah), dimana kota-kota di Indonesia seperti juga kota besar lainnya di negara berkembang dianggap sebagai engine of growth atau penggerak yang digunakan sebagai roda untuk mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi demi pembangunan. Oleh karena itu, kota dijadikan pusat segala aktivitas ekonomi. Selain itu, penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan pun semakin banyak sehingga luas

18 2 lahan di perkotaan kian hari kian meningkat nilai ekonomisnya. Hal ini ditambah lagi dengan tersedianya ilmu dan teknologi yang memungkinkan ragam dan macam kebutuhan (Silalahi, 2001). Akibatnya, lahan menjadi komoditas langka yang sangat dicari dan dibutuhkan orang banyak. Kebutuhan akan sumber agraria tanah yang terus meningkat ini menyebabkan tumpang tindihnya penatagunaan tanah sehingga seringkali terjadi konflik kepentingan antar aktor-aktor sosial di atas tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2003 pasal 1, penatagunaan tanah adalah sama dengan pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Pertimbangan aspek pertanahan atau lebih dikenal dengan aspek penatagunaan tanah merupakan salah satu instrumen yang secara operasional dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi objektif dan terbaru (present land use) dari suatu bidang tanah. Catatan panjang sejarah Indonesia menunjukkan bahwa secara umum petani selalu digambarkan sebagai kelompok sosial yang lemah secara politik maupun ekonomi dan tidak memiliki cukup tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Husodo, 2002). Di samping itu, bila ditelusuri jejak sejarah distribusi hak atas tanah di masa lampau, ternyata telah membawa akibat yang dapat disaksikan dewasa ini. Dapat dipahami permasalahan pertanahan yang dihadapi masyarakat sekarang ini, tentu saja memiliki keterkaitan dengan sisa kebijakan di masa lampau. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan keagrariaan merupakan salah satu mata rantai dari keseluruhan kegiatan pembangunan sub sektor pertanahan secara nasional. Dalam konteks keseluruhan proses penatagunaan tanah, persoalan bagaimana menata ruang wilayah bagi kepentingan masyarakat secara adil sungguh merupakan masalah yang paling rumit dan tidak terduga ketika Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada Tahun Keruwetan yang dirasakan senantiasa timbul dan diakibatkan oleh praktik-praktik politik hukum di lapangan yang saat ini pun seringkali menyimpang atau sengaja disimpangkan dari semangat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960.

19 3 Terdapat pula kemungkinan bahwa penyimpangan itu terjadi karena memang normanya sendiri yang sudah kurang atau tidak dapat sepenuhnya mengakomodasi perkembangan dan tuntutan masyarakat. Dapat ditelusuri bahwa tatkala Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan pada Tahun 1960, tentu saja belum dapat diprediksi bahwa jumlah penduduk Indonesia, dan khususnya Pulau Jawa akan berkembang pesat dan terpusat di perkotaan. Di samping norma dasarnya yang demikian sudah tertinggal, permasalahan tanah juga sering timbul karena berbagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di bawah yang kadang-kadang berbenturan satu sama lainnya. Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tak jarang malah bertentangan dengan realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini dapat dipahami dari aspek-aspek pelaksanaan berbagai kebijakan pertanahan yang dapat memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian merupakan fenomena pembangunan yang erat dengan perubahan tataguna dan alokasi sumber agraria tanah akibat adanya pergeseran struktural dalam perekonomian dan tekanan penduduk yang sulit dihindari. Pergeseran struktural yang dimaksud adalah pertumbuhan perekonomian dan pertambahan penduduk yang terus meningkat. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (2004), total lahan pertanian dalam hal ini lahan sawah di Indonesia tercatat sekitar 8,9 juta hektar. Dari luasan tersebut, sekitar hektar telah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya (Data Badan Pertanahan Nasional, 2004). Dengan demikian, alih fungsi lahan pertanian menjadi suatu fenomena yang terus menjadi ancaman serius. Dampak alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian secara langsung atau tidak langsung akan berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Nasoetion, 2006). Pengendalian terhadap meningkatnya laju alih fungsi lahan menjadi mutlak diperlukan dan dilakukan, yang dalam hal ini adalah menghambat dan menekan alih fungsi lahan pertanian. Aspek penatagunaan secara optimal oleh pemerintah daerah sebenarnya dapat menjadi sarana yang efektif dalam menjabarkan kebijakan penataan ruang wilayah, yakni berfungsi untuk memantau dan membatasi perubahan tanah pertanian ke penggunaan tanah

20 4 non-pertanian (adanya penilaian kondisi tanah yang terbaru dan pertimbangan aspek-aspek pembangunan lainnya). Namun pertimbangan aspek pertanahan yang dapat melahirkan kebijakan penataan ruang wilayah, hanyalah melahirkan sebuah kebijakan semata tanpa adanya implementasi faktual sebagai instrumen pengendali alih fungsi lahan pertanian. Menjadi semakin kompleks ketika kebijakan-kebijakan pertanahan yang lahir mengikuti dan atau terbentuk atas dasar suatu kepentingan, yakni kepentingan aktor-aktor sosial. Kepentingan aktoraktor sosial tersebut terkait dengan nilai dan peran tanah. Berdasarkan alasan-alasan tersebut perlu dilakukan sebuah penelitian, yang menganalisis keterkaitan kebijakan pertanahan, yakni tata ruang wilayah sebagai instrumen penataan ruang dan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Hal ini dipahami dari adanya suatu kondisi keterbatasan akan lahan serta terjadinya peningkatan kebutuhan tanah seiring dengan berkembangnya beragam sektor non-pertanian seperti sektor jasa dan sektor industri di era pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan tekanan pada sektor pertanian. Selain itu, potensi sumber agraria tanah yang besar tidak akan dapat dimanfaatkan tanpa adanya kerangka kebijakan yang tepat. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta? 2. Bagaimana rumusan, asas, dan tujuan penataan tata ruang wilayah Kota Bogor? 3. Bagaimana aspek-aspek kebijakan penataan ruang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja? 4. Bagaimana tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja?

21 5 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini antara lain untuk: 1. Mengetahui peranan tanah bagi petani, pemerintah daerah, dan swasta. 2. Mengetahui rumusan, asas, dan tujuan penataan tata ruang wilayah Kota Bogor. 3. Mengetahui aspek-aspek dari kebijakan penataan ruang yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja. 4. Mengetahui tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa, pemerintah, dan swasta. Bagi mahasiswa, penelitian ini dapat menjadi proses pembelajaran untuk lebih kritis dalam memahami fenomena-fenomena faktual yang terjadi di lapangan. Selanjutnya, hasil pengkajian ini dapat menciptakan suatu output (data-data atau informasi) yang dapat dijadikan acuan literatur penunjang bagi penelitian-penelitian sejenis dan penulisan lanjutan. Selain itu, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan studi. Sementara itu bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu sarana evaluasi, informasi, dan data bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, baik secara substansial ataupun implementasinya di lapangan. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk mencari alternatif penyelesaian terbaik terkait dengan objek permasalahan yang dikaji sehingga upaya penanggulangan alih fungsi lahan pertanian dapat dilakukan secara optimal. Adapun bagi swasta, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu masukan bagi private sector agar lebih memperhatikan dan menyadari arti penting lahan pertanian bagi masyarakat tani sehingga dengan begitu tidak dengan mudah untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber agraria tanah untuk keuntungan semata.

22 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Tanah Sebagai Sumberdaya Agraria Fungsi Tanah Bagi Kehidupan Petani, Pemerintah, dan Swasta Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia. Tanah bagi petani, pemerintah, dan swasta memiliki fungsinya masingmasing, antara lain digambarkan dalam tabel berikut: Tabel 1 Fungsi Tanah Bagi Aktor Sosial No. Aktor Sosial Fungsi Lahan 1. Petani Fungsi Ekonomi: a. memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga b. sebagai katup pengaman c. sebagai kebutuhan uang tunai Fungsi sosial: sebagai penguat ikatan kekerabatan 2. Pemerintah Bagi kemakmuran seluruh rakyat Fungsi pendapatan negara 3. Swasta Mencari keuntungan (akumulasi modal dan meningkatkan surplus) Sumber: Dikutip dari berbagai sumber Fungsi tanah yang relevan bagi petani adalah fungsi ekonomi dan fungsi sosial. Tanah memiliki fungsi ekonomi dilihat dari peranannya dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, katup pengaman, dan kebutuhan uang tunai. Fungsi tanah memiliki arti yang sangat penting bagi para petani (Fajryah, 2006). Dari hasil pertanian, petani dapat mempertahankan hidup bersama dengan keluarganya melalui kegiatan bercocok tanam, seperti yang diketahui bahwa lahan atau tanah merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam kegiatan pertanian(sinaga, 2006). Menurut Fajriyah (2006), tanah dalam peranannya sebagai katup pengaman dapat ditelusuri dari beralihnya para pekerja di sektor pertanian ke sektor non-pertanian, terutama saat ia tidak mampu lagi bertahan di sektor pertanian karena usia atau bahkan dipecat dari pekerjaan. Sementara itu fungsi

23 7 ekonomi dilihat dari peranannya sebagai kebutuhan uang tunai adalah tanah berperan penting karena dapat dipinjam untuk digarap (Fajriyah, 2006). Fungsi tanah secara sosial menurut Munir (2008) terlihat dari peranan tanah sebagai penguat ikatan kekerabatan, ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit. Lebih jauh Bahari (2002) menjelaskan bahwa tanah bagi petani memiliki arti sosial terkait dengan budaya, dimana luas tanah yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial-ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya. Fungsi tanah bagi pemeritah adalah bagi kemakmuran rakyatnya. Artinya tanah merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Kepentingan pemerintah kota atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau roda pembangunan (Moeliono, 2005). Pembangunan pun begitu dipercaya, hanya mungkin diwujudkan dengan sokongan produktivitas industri modern. Sementara fungsi tanah sebagai pendapatan negara, yaitu melalui adanya pajak lahan (Wafda, 2005). Sedangkan fungsi tanah bagi swasta adalah sebagai aset untuk mencari keuntungan dengan cara melakukan penanaman modal (Sihaloho, 2004). Dapat dipahami bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada kepentingan akumulasi modal dan meningkatkan surplus Pemetaan Aktor atau Subyek Atas Sumber Agraria Tanah Menurut Sihaloho (2004), pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Nilai penting tanah ini berimplikasi pada interest pemanfaat sumber agraria. Bila ditarik garis, fungsi tanah dapat menimbulkan motivasi kepentingan. Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber agraria tanah. Kepentingan atas pemanfaatan itu terjadi antara pengguna atau subyek agraria yaitu komunitas (petani), pemerintah, dan swasta menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau pemilikan. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosial agraria

24 8 yang berpangkal pada akses (penguasaan, pemilikan, dan penggunaan) terhadap sumber agraria (Sitorus, 2002). Gambar 1 Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria Komunitas Sumber Agraria Swasta Pemerintah Keterangan: Hubungan teknis agraria Hubungan sosial agraria Sumber: Sitorus (2002) Hubungan penguasaan tanah bukan saja menyangkut hubungan manusia dengan tanahnya (religio-magis), melainkan juga dan terutama menyangkut hubungan manusia dengan manusia (Wiradi, 1984). Dalam hubungan-hubungan tersebut terbentuk hubungan aktifitas yang meliputi kompleks aktifitas yang merupakan jaringan hubungan manusia. Dalam hubungan manusia dengan tanahnya bentuk aktifitas itu adalah penggarapan atau pengusahaan. Dalam penggarapan atau penguasaan ini orang lain tidak boleh memilikinya atau boleh menggarapnya tetapi dengan syarat tertentu. Hubungan manusia dengan manusia mencakup hubungan antara pemilik tanah dengan buruhnya, antara sesama buruh tani, dan antara orang-orang yang secara langsung maupun orang-orang yang secara tidak langsung terlibat dalam proses produksi dimana tanah merupakan salah satu faktornya. Hubungan manusia dan manusia tersebut merupakan hubungan kerja dalam proses produksi yang berkaitan erat dengan masalah penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan-kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Wiradi, 1984).

25 9 Semakin hari kebutuhan akan lahan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan tidak pernah bertambah. Hal ini mengakibatkan banyak sekali terjadi benturan kepentingan antar pihak, karena setiap pihak mempunyai kepentingannya masing-masing dalam penggunaan dan alih fungsi lahan yang dilakukan. Dapat disimpulkan berdasar penjajagan studi literatur yang ada, berbagai masalah dapat terjadi di atas perbedaan kepentingan antar pihak, diantaranya terjadinya tumpang tindih dalam peruntukkan lahan, perubahan penggunaan lahan (alih fungsi lahan) menjadi tak terkendali, dan penggunaan lahan tidak sesuai dengan kondisi dan kemampuan tanahnya. Bila hal ini terus berlanjut maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan tanah, kemerosotan produktivitas, tanah longsor, dan banjir Ciri Masyarakat Tani Hingga saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli sosial pedesaan dalam mendefinisikan petani sebagaimana yang diungkapkan Barrington Moore Jr. (dalam Bahari, 2002): Tak mungkinlah mendefinisikan petani dengan ketepatan yang mutlak karena batasnya memang kabur pada ujung kenyataan sosial itu sendiri. Pengakuan terhadap sejarah subordinasi kelas atas tuan tanah yang diperkuat dengan hukum kekhususan kultural, serta kepemilikan tanah secara de facto, semua itu merupakan ciri-ciri pokok yang membedakan petani dengan yang lainnya. Berdasar pernyataan yang diungkapkan Barrington Moore Jr. maka Bahari (2002) menarik kesimpulan mengenai pengertian petani, yakni secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan tanah secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Definisi petani menurut Scott (dalam Purwandari, 2006) memiliki sudut pandang yang berbeda, dimana petani dijelaskan sebagai golongan komunitas kecil yang memiliki prinsip safety first yang merupakan konsekuensi dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Prinsip ini kemudian berpengaruh secara teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak betah bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi

26 10 petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap nrimo terhadap berbagai kondisi, bahkan ketika lahan mereka untuk tempat mencari makan telah terkonversi menjadi perumahan sekalipun. Eric R. Wolf (dalam Bahari, 2002) mengungkapkan definisi yang berbeda pula mengenai petani, yakni sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak atau pasar bebas. Persoalan tidak hanya pada pemilikan tanah secara de facto, tetapi lebih berfokus pada lepasnya penguasaan produksi dan tenaga kerja kepada pihak lain. Penghisapan menjadi ciri sentral dari definisi ini. Menurut Eric R. Wolf (dalam Bahari, 2002) terdapat pula perbedaan antara definisi petani pedesaan dengan petani modern. Secara garis besar golongan pertama adalah kaum petani yang masih tergantung pada alam dan menggunakan pengetahuan serta teknologi tradisional dalam pengembangan produksinya. Produksi mereka lebih ditujukan untuk sebuah usaha menghidupi keluarga, bukan untuk mengejar keuntungan (profit oriented). Sebaliknya, farmer atau agricultural enterpreuner adalah golongan petani yang usahanya ditujukan untuk mengejar keuntungan. Mereka menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan usaha modern dan menanam jenis tanaman yang laku di pasar. Pandangan tentang kekhususan kultural banyak dikemukakan oleh para antropolog pedesaan seperti Krober, Field dan Foster (dalam Bahari, 2002). Ketiganya menekankan pada perkembangan nilai-nilai, persepsi dan kebudayaan petani terhadap lingkungan luarnya. Mereka menganggap petani hidup dalam satu komunitas yang tertutup dan terisolasi dari luar. Hubungan pertanian keluarga memainkan peranan yang sangat besar, hubungan-hubungan ekonomi yang dibangunnya dilandasi nilai-nilai lokal yang berlaku. Pada intinya, mereka melihat masyarakat petani sebagai masyarakat otonom.

27 Kebijakan Pertanahan Rumusan Dasar Kebijakan Pertanahan Dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah dasar-dasar pokok yang terdapat dalam cita-cita rakyat membentuk Negara sebagai bangsa yang merdeka, yakni tanah itu harus dipergunakan bagi kemakmuran rakyat (Tauhid, 1953). Menurut Nasoetion (2006), negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat melalui: 1) pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, 2) mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah, dan 3) perencanaan, persediaan, peruntukkan, dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Sehingga dasar untuk menentukan politik agraria itu sendiri antara lain (Tauhid, 1953): 1. Negara Indonesia adalah negara kerakyatan. 2. Negara kerakyatan menjamin hak asasi manusia dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. 3. Hak asasi manusia tidak boleh dipergunakan untuk menentang kepentingan masyarakat dan negara. 4. Usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat ini dijalankan dengan usaha rakyat perseorangan, usaha organisasi rakyat (usaha bersama), dan usaha negara. 5. Usaha perseorangan tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan negara. 6. Negara mengatur dengan rencana ketiga usaha itu, untuk tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 7. Pemerintah pusat berkewajiban menjalankan dan mengurus usaha-usaha yang tidak dapat diselenggarakan oleh daerah, seperti pertahanan negara, hubungan luar negeri, politik keuangan, perhubungan, serta rencana pokok bagi seluruh masyarakat dan negara. Atas dasar tujuan di atas, maka dasar politik agraria, adalah sebagai berikut (Tauhid, 1953): 1. Tanah adalah sumber dan tiang penghidupan setiap manusia. 2. Bagi Indonesia tanah itu menjadi pokok pertama bagi sumber penghidupan dan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat.

28 12 3. Politik tanah harus berdasarkan pada tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 4. Hukum tanah menjadi pokok-pokok dasar mengatur pemakaian tanah, sesuai dengan tujuan dan politik tersebut di atas. Adapun, dasar-dasar hukum yang mengatur pemakaian tanah berdasar tujuan yang telah disebutkan, dapat ditentukan sebagai berikut (Tauhid, 1953): 1. Bagi seluruh Indonesia hanya ada satu macam bentuk hak tanah, sehingga tidak ada hak-hak istimewa bagi seseorang atau segolongan warga negara. 2. Warga negara mempunyai hak milik atas tanah dengan ketentuan: a. Tanah pertanian hanya untuk orang tani, yaitu orang yang hidup dari hasil mengusahakan tanah yang diusahakan dengan kerjasama kooperatif, dalam penggarapan, pengolahan, dan penjualan hasilnya. Adapun tanah kediaman dapat diberikan kepada orang bukan tani, menurut keperluannya. b. Adanya pembatasan luas milik hak milik atas tanah bagi tiap-tiap keluarga tani. Batas minimum berdasarkan perhitungan penghasilan tani cukup untuk mencapai tingkat hidup layak menurut syarat-syarat jasmani dan rohani. Pembatasan maksimum luas tanah yang dengan syarat-syarat dan cara pertanian modern tidak memberi kemungkinan timbulnya pemerasan penghisapan di lapangan pertanian. 3. Desa sebagai daerah kesatuan hidup yang berotonom, mempunyai hak wilayah dengan batasan Undang-Undang negara, yaitu: a. Hak mengawasi penggunaan tanah di desanya. b. Untuk kepentingan kemakmuran masyarakat (dalam desa) untuk sementara atau selamanya, desa dapat mengambil tanah dengan memberi ganti rugi yang sesuai dengan pemiliknya. c. Menjaga dan mengawasi agar pemindahan hak atas tanah dalam desa tidak merugikan masyarakat sedesa dengan mengingat batas minimun dan maksimum bagi penjualnya maupun pembelinya. d. Mencegah dan meniadakan perluasan atau penimbunan milik tanah di atas batas maksimum di samping pengecilan atau pemecahan milik tanah, yang karena kecilnya tanah tidak efisien lagi.

29 13 e. Dengan persetujuan desa ditetapkan seseorang tidak boleh menjual tanah kepada orang lain yang akibatnya akan merugikan desa. Orang yang sudah mencapai batas maksimum luas tanahnya tidak boleh menambah lagi sebaliknya tanah yang hanya seluas minimum tidak boleh dipecah lagi. f. Desa mendorong dan membimbing pertumbuhan usaha pertanian modern dalam bentuk kooperatif, dalam hal penggarapan tanah, pengolahan, dan penjualan hasil. 4. Negara mengatur dengan undang-undang tentang pemakaian tanah berdasarkan politik yang bertujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Negara juga menjalankan pengawasan yang tertinggi atas terlaksananya undang-undang dan peraturan, agar pemakaian tanah tidak menyimpang dari tujuan. Selain itu negara dapat mengambil tanah untuk kepentingan umum. Kesimpulan yang dapat ditarik mengenai arti dari dasar-dasar politik dan hukum agraria ialah tanah merupakan sumber dan tiang penghidupan setiap manusia (Tauhid, 1953). Artinya, tanah merupakan modal alami utama dengan pokok tujuannya berusaha memberi tanah kepada petani sebagai sumber penghidupan (jaminan hidup sekeluarga disamping itu hasil dari komoditi yang ditanam atau dipelihara di atas tanah dapat digunakan untuk pangan masyarakat). Di Indonesia dikenal satu macam hak atas tanah bagi seluruh warga negara. Hakhak tanah menurut hukum adat di daerah-daerah dapat dibenarkan apabila tidak bertentangan dengan pokok tujuan bagi kemakmuran rakyat keseluruhan. Sementara nilai-nilai yang baik dalam masyarakat seperti gotong royong dapat dipelihara dan dikembangkan sesuai tujuan pokok dalam bentuk yang modern. Atas dasar bahwa semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama maka hak atas tanah bagi warga negara keseluruhan adalah sama. Adanya dasar pengertian bahwa hanya satu macam saja warga negara, memberikan arti bahwa hak warga negara tidak dibeda-bedakan antara golongan satu dengan lainnya berdasar tempat tinggalnya.

30 14 Tauhid (1953) mengungkapkan bahwa hak-hak istimewa sebagai hak-hak feodal dihapuskan sehingga tidak ada tempat lagi untuk terjadinya eksploitasi tanah besar-besaran untuk kepentingan seseorang atau segolongan orang saja. Adanya aturan mengenai batas maksimum dan minimum dimaksudkan agar menjadi dasar menentukan dan memperhitungkan, sehingga dapat mencapai penghasilan keluarga yang cukup untuk hidup layak sebagai manusia dimana batas-batas maksimum dan minimum tersebut berbeda di masing-masing daerah. Kerakyatan itu sendiri haruslah berat ke bawah dan paling sempurna di desa atau kesatuan yang setingkat dengan itu. Artinya, desa mempunyai hak wilayah dengan pengertian bahwa kerakyatan memang benar-benar dirasakan dan dilaksanakan rakyat. Namun ketika susunan desa itu sendiri belum demokrasi maka yang ada adalah kemungkinan timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Menurut Jayadinata (1999), tata ruang dan tata guna tanah adalah dua hal yang bersifat integral. Tanah adalah satu unsur terpenting dari ruang. Sementara itu, penggunaan lahan juga dapat berarti pula tata ruang. Selain itu, menurut Hasan Purbo (dalam Taufik, 2004), bahwa istilah tata ruang dan tata guna tanah merupakan pengertian yang mempunyai sifat manipulatif, dalam arti bahwa kedua hal tersebut mengandung unsur keinginan untuk melakukan penataan atau merubah keadaan secara teratur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang termasuk daratan, lautan, angkasa, dan penataan ruang bertujuan agar terselengaranya pemanfaatan ruang berwawasan nusantara dan ketahanan nasional. Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Sedangkan, menurut Jayadinata (1999) ruang adalah seluruh permukaan bumi termasuk lapisan biosfer tempat kehidupan bagi mahluk hidup. Ruang dapat diartikan sebagai wilayah dengan batas geografi tertentu yang terdiri dari lapisan tanah di bawahnya dan lapisan udara di atasnya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Hal ini membuat ruang menjadi bagian dari obyek agraria atau sumber agraria.

31 15 Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, tetapi termasuk juga dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Penataan ruang menurut Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1. Perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah. 2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Pada dasarnya, ruang meliputi unsur tanah, air, dan udara. Terkait dengan hal itu, untuk memanfaatkan ruang agar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat, maka dibutuhkan suatu penataan bagi ruang. Implementasi penataan bagi ruang dapat berupa perencanaan tata ruang yang harus didahului dengan menganalisis dan menata peruntukkan lahan. Konsepsi penataan ruang itu sendiri, digariskan dalam UUD 1945 pasal 33 Ayat (3), Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, dan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) Untuk mewujudkan konsepsi dan kebijaksanaan tersebut agar dapat dilaksanakan harus disusun Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW), yang menetapkan peruntukkan ruang berupa kawasan lindung dan kawasan budidaya. Menurut Dinas Penataan Ruang (2007), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi suatu sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat luas (externalities). Menurut Mabogunje (dalam Jayadinata, 1999), terdapat tiga macam ruang yaitu: a. Ruang mutlak, yang merupakan wadah bagi unsur-unsur yang ada di dalam ruang tersebut.

32 16 b. Ruang relatif, dapat digambarkan, yaitu apabila ada dua kota berjauhan tetapi terdapat jalan dan alat pengangkut yang menghubungi dua kota tersebut. c. Ruang relasi merupakan ruang yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi. Pengertian dari ruang relasi itulah yang digunakan dalam perencanaan. Secara spesifik, penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah pengaturan penggunaan lahan itu sendiri. Hal yang dibicarakan dalam tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumi di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil [sic!], air, iklim, dan sebagainya) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial, maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah tata guna lahan, terdapat dua unsur penting, yaitu: a. Tata guna lahan yang berarti penataan atau pengaturan penggunaan (merujuk kepada sumberdaya manusia), dan b. Lahan (merupakan sumberdaya alam), yang berarti ruang (permukaan lahan serta lapisan batuan di bawahnya dan lapisan udara di atasnya), serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain, seperti air, iklim, tubuh, lahan, hewan, vegetasi, mineral, dan sebagainya. Jayadinata (1999) mengungkapkan bahwa pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah mungkin berbeda, yakni bergantung kepada struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan bergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain adalah kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi, dan pemanfaatan atau pengaturan estetika. Sehubungan dengan hal itu, Chapin (1995) seperti dikutip oleh Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yakni:

33 17 1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas. 2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. 3. Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi, kepercayaan, dan sebagainya. Utomo et. al. (1992) menjelaskan bahwa secara garis besar penggunaan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yakni: 1. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapatnya endapan bahan galian di bawah permukaannya. 2. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya, tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, di antaranya ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya. Terkait hal tersebut, Utomo et. al. (1992) menjelaskan tentang faktorfaktor yang menetukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain: 1. Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan. 2. Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangann, tranmigrasi, perhubungan, dan pariwisata. 3. Faktor penggunaan teknologi; yakni faktor yang dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut bersifat menurunkan potensi lahan.

34 18 4. Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Menurut Jayadinata (1999), tata guna lahan dalam perkotaan dan pedesaan memiliki perbedaan. Hal ini dapat ditelusuri dengan memahami kota dan desa. Kota menurut pengertian geografis merupakan suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian. Pedesaan adalah kesatuan pemerintahan, dan terdiri atas sejumlah kampung dan kawasan pertanian yang luas yang berfungsi untuk memproduksi bahan makanan dan bahan mentah bagi industri. Perbedaan paling mendasar antara kota dengan desa adalah kota lebih bersifat self contained atau serba lengkap. Penduduk kota tidak hanya bertempat tinggal di kota, tetapi juga melakukan kegiatan ekonomi, seperti bekerja di dalam kota, bahkan melakukan rekreasi di dalam kota, sedangkan penduduk desa cenderung hanya bertempat tinggal di desa, tetapi mencari pekerjaan di luar desa dan berekreasi ke luar desa. Tata guna lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian dalam ruang dari peran kota, yakni kawasan tempat tinggal, kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi (Jayadinata, 1999). Perkotaan sebagai pusat dari perkembangan dan pertumbuhan perekonomian, membuat tanah di perkotaan dalam pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor industri dan rekreasi atau non-pertanian. Sementara penggunaan lahan di pedesaan, dimana tanah yang ada lebih banyak dimanfaatkan pada kegiatan pertanian walaupun lahan juga dimanfaatkan untuk kegiatan off-farm. Selain itu, tanah di pedesaan lebih difokuskan sebagai tempat penghasilan bahan baku yang diperlukan untuk perindustrian di perkotaan. Penggunaan lahan, baik di kota maupun di desa pada dasarnya merupakan tuntutan bagi manusia sebagai penopang hidup.

35 Teori Akses dan Aksesibilitas Akses menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), merupakan kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu (ability to derive benefits from things) termasuk diantaranya dari objek material, orang lain, lembaga, dan simbol. Permasalahan akses bisa dilihat dalam tatanan hubungan sosial yang lebih luas (bundle of powers). Akses melambangkan seseorang mampu memperoleh keuntungan dari sumberdaya tanpa mengindahkan ada tidaknya hubungan sosial yang lebih luas (bundle of right). Konsep akses memfasilitasi analisis dasar mengenai siapa yang memanfaatkan dan tidak memanfatkan sesuatu, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam situasi apa). Oleh karena itu, analisis akses dapat dikatakan sebagai proses untuk mengidentifikasi dan memetakan mekanisme perolehan, pemeliharaan, dan pengendalian akses. Menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), kegunaan analisis akses adalah untuk menganalisis kebijakan lingkungan tertentu yang membuat para aktor mampu dan tidak mampu memperoleh, memelihara, atau mengendalikan akses sumberdaya atau dinamika mikro dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari sumberdaya, serta bagaimana caranya. Kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sumberdaya ditengahi dangan adanya pembatas-pembatas yang telah ditetapkan dalam konteks politik ekonomi dan kerangka budaya saat pencarian akses berlangsung. Hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai mekanisme akses struktural dan saling terhubung (structural and relational mechanisme of access). Mekanisme akses menurut Peluso dan Ribot (dalam Indrawan, 2008), yaitu: 1. Akses Teknologi Kebanyakan sumberdaya hanya bisa diekstraksi dengan menggunakan teknologi, mereka yang memiliki akses terhadap teknologi yang lebih tinggi akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibandingkan yang tidak memiliki. 2. Akses Kapital/Modal Akses ini sering juga disebut sebagai akses terhadap kekayaan dalam bentuk keuangan dan peralatan (termasuk juga teknologi) yang bisa

36 20 digunakan dalam proses ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi buruh, dan proses lain yang sejalan dengan pengambilan keuntungan dari sesuatu atau orang lain. Akses kapital/modal bisa digunakan untuk mengendalikan atau memelihara akses sumberdaya. 3. Akses Pasar Akses pasar didefinisikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk memperoleh, mengendalikan ataupun memelihara gerbang hubungan pertukaran. Pasar mampu mempertajam akses pada keuntungan dari sesuatu pada skala yang berbeda secara tidak langsung dan tidak kentara. Semakin luas dan besar kekuatan pasar untuk memasok, mengajukan permintaan, dan mempengaruhi harga juga membentuk distribusi keuntungan dari sesuatu. 4. Akses Buruh Kelangkaan buruh dan surplus mampu mempengaruhi porsi hubungan dalam pencarian keuntungan sumberdaya yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang mampu mengendalikan buruh. Mereka mampu mengendalikan akses peluang buruh dan mereka berhasrat untuk mempertahankan akses terhadap peluang-peluang tersebut. 5. Akses Pengetahuan Wacana dan kemampuan untuk mempertajam terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap sumberdaya. 6. Akses Kewenangan Individu atau lembaga yang memiliki akses privilege dengan kewenangan untuk membuat dan melaksanakan hukum akan sangat berpengaruh terhadap siapa yang memperoleh keuntungan dari sumberdaya. Akses kewenangan merupakan hal yang penting dalam jaring kekuasaan yang membuat seseorang mampu mengambil keuntungan dari sesuatu. 7. Akses Identitas Sosial Akses sering ditengahi dengan identitas sosial atau keanggotaan dalam komunitas atau kelompok, termasuk diantaranya pengelompokkan menurut umur, gender, suku, agama, status, profesi, tempat kelahiran, pendidikan, ataupun atribut-atribut lain yang menunjukkan identitas sosial.

37 21 8. Akses Hubungan Sosial Akses melalui negosiasi hubungan sosial, seperti pertemanan, saling percaya, timbal balik, patron, ketergantungan, dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam jejaring akses Otonomi Daerah Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, paradigma pembangunan sebagai acuan kerja pemerintahan ditinggalkan, yakni membawa angin baru dan optimisme bagi daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya serta suasana baru dalam hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Rasyid (2005), sakralisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya telah melahirkan banyak korban pembangunan. Demi mengembalikan harga diri rakyat dan membangun kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil, maka paradigma pelayanan dan pemberdayaan sebagai landasan kerja pemerintah digunakan. Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik (Rasyid, 2005). Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Menurut Imawan (2005), desentralisasi merupakan konsekuensi dari demokratisasi. Tujuannya adalah membangun good governance mulai dari akar rumput politik. Desentralisasi mengandung pengertian bahwa adanya pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah lokal). Sejalan dengan itu, Setyawan (2007) mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban, dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan.

38 22 Perdebatan mengenai makna desentralisasi ini masih saja terlihat, yakni dimaknai sebagai desentralisasi politik (devolusi) dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi). Lebih jauh akhirnya, para pakar politik sependapat bahwa dianutnya desentralisasi adalah agar kebijakan pemerintah tepat sasaran, dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat setempat. Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka terwujudnya citacita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat (Haris, 2005). Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokrasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Setyawan (2007) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah dalam otonomi daerah, yakni: 1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. 2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan kemitraan. 3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/kota menjadi lemah karena terjadi tarik-menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumberdaya yang maksimal. Menurut Setyawan (2007), tiga implikasi dari kedudukan pemerintah di atas menyebabkan hal-hal berikut: 1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu tidak lazim dan tidak tepat dalam konteks makna dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial. Pemberian otonomi kepada daerah tidak hanya mengandung unsur administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik. 2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan konsekuensi pemerintah daerah berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang makna otonomi daerah sebagai kewajiban di pandang tepat, maka kedudukan pemerintah daerah hanya sebagai

39 23 penerima kewajiban yang berhak memperoleh imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah pusat. 3. Hambatan utama terlaksananya pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat oleh kecenderungan sikap ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang mempunyai akses lebih dominan terhadap sumberdaya dibanding penentu kebijakan baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah provinsi Alih Fungsi Lahan Pertanian Pengertian Alih fungsi lahan dan Perkembangan Alih Fungsi Lahan Pertanian Menurut Kustiawan (1997), alih fungsi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Sejalan dengan itu Sinaga (2006), mengartikan alih fungsi lahan sebagai transformasi dalam bentuk pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, namun secara terminologi dalam kajian land economic, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihfungsikannya lahan dari lahan pertanian ke bentuk penggunaan lainnya, khususnya dalam sektor industri. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian secara teoritis dapat dijelaskan dalam konteks ekonomi lahan yang menempatkan sumberdaya lahan sebagai faktor produksi, karena faktor-faktor ini memiliki karakteristik tertentu. Secara alamiah akan terjadi persaingan dalam penggunaan lahan dalam berbagai aktifitas. Menurut Utomo et. al. (1992), alih fungsi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula, seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan tersebut. Sebagai contoh yaitu berubahnya peruntukkan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan permukiman. Pengertian ketiga alih fungsi lahan di atas, pada dasarnya menekankan adanya perubahan peruntukkan lahan dari penggunaan yang satu ke penggunaan lainnya. Namun, yang perlu dicermati secara khusus adalah pengertian alih fungsi lahan yang diuraikan oleh Utomo et. al. (1992), menjadi fungsi lain yang

40 24 berdampak negatif. Sebenarnya menurut fakta empirik di lapangan (berdasarkan hasil penjajagan studi literatur) tidak selalu perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula menjadi fungsi yang lain berdampak negatif. Seperti penelitian yang diungkapkan Munir (2008), alih fungsi lahan memiliki dampak positif, yakni meningkatnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani, peningkatan tingkat keamanan, dan berkurangnya tingkat pengangguran. Walaupun begitu, kecenderungan yang terjadi adalah alih fungsi lahan lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif. Terdapat kajian lapang yang dapat memperkuat adanya dampak negatif dari alih fungsi lahan pertanian, yakni memberikan dampak yang sangat luas dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, sementara dampak yang dievaluasi biasanya terbatas pada masalah pengurangan produksi pangan dan pengurangan kesempatan kerja pertanian. Sebagai contoh, penelitian yang diungkapkan Sihaloho (2004), yakni alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian berimplikasi pada sulitnya mendapatkan pekerjaan atau tanah garapan bagi para petani dan buruh tani, sementara petani menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Selanjutnya Sinaga (2006) menyatakan bahwa alih fungsi lahan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat pedesaan, yakni terbatasnya aksesibilitas penguasaan dan penggunaan lahan oleh para petani. Hasil penjajagan studi literatur lainnya juga menemukan adanya pendapat lain yang mengatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian akan mengurangi kapasitas produksi pangan nasional, sehingga ketahanan pangan akan menjadi rentan sebagai akibat dari ketergantungan terhadap pangan melalui kebijakan impor. Alih fungsi lahan terus terjadi dan bertambah dari tahun ke tahun. Makin maraknya alih fungsi lahan ke penggunaan lain merupakan permasalahan yang cukup serius terkait dengan keberadaan lahan di Indonesia. Berbagai bukti penelitian mengarah pada kesimpulan tersebut, seperti penelitian yang diuraikan Kustiawan (1997), yakni pada tahun 1983 hingga tahun 1994 lahan sawah di wilayah pantai utara Pulau Jawa mengalami penyusutan seluas hektar (35,5%) atau sekitar hektar per tahun. Perkembangan alih fungsi lahan di

41 25 Indonesia didisagregasi menjadi dua. Pertama, perkembangan alih fungsi lahan menurut wilayah administratif, dalam hal ini pulau. Kedua, perkembangan alih fungsi lahan menurut jenis irigasi, dalam hal ini irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan (Ilham, 2009). Menurut Iqbal (2007), berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2006, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat penurunan lahan sawah di provinsi Sumatera Selatan dengan proporsi rata-rata sekita 3,63 persen per tahun. Akan tetapi, data dari DPTPH (2006) dan Kanwil BPN (2006) memberikan gambaran sebaliknya, dimana lahan sawah di provinsi ini bertambah dengan rataan laju pertumbuhan masing-masing 1,53 persen per tahun dan 3,45 persen per tahun. Agregasi data dari ketiga instansi tersebut menunjukkan bahwa lahan sawah di Provinsi Sumatera Selatan cenderung bertambah setiap tahun. Namun demikian telaah lebih lanjut memperoleh informasi bahwa sebetulnya alih fungsi lahan ke penggunaan lain juga terjadi di Provinsi ini. Alih fungsi lahan yang cukup banyak terjadi di Provinsi Sumatera Selatan adalah dari lahan sawah ke perkebunan. Kedua penelitian yang diutarakan di atas bila ditarik garis mendapatkan suatu kesimpulan, yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Selain bersifat permanen, alih fungsi lahan juga bersifat progresif dimana hal ini terus terjadi bahkan luasnya meningkat tajam tiap tahunnya. Alih fungsi lahan tidak hanya terjadi di pulau Jawa tetapi juga terjadi di luar Pulau Jawa. Walaupun begitu alih fungsi lahan di Jawa jauh lebih besar di bandingkan di luar Pulau Jawa. Bagi daerah yang tingkat kelangkaan lahannya tinggi, seperti di Jawa, alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian sangatlah sulit dihindari. Pada intinya, alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian merupakan masalah serius yang harus dicari pemecahannya Tipe dan Bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka muncullah tipe alih fungsi lahan yang sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Penggolongan tipe alih fungsi lahan ini dapat dikaitkan dengan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih fungsi lahan. Hasil analisis faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan,

42 26 pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan tersebut menghasilkan lima tipe alih fungsi lahan, yang tersaji dalam tabel berikut: Tabel 2 Tipe Alih Fungsi Lahan Terkait Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian. No. Tipe Alih Fungsi Lahan Faktor Penyebab Terjadinya Alih Fungsi Lahan 1. Alih Fungsi Lahan Sporadik Lahan yang tidak/kurang produktif Desakan ekonomi pelaku alih fungsi lahan Sistem waris 2. Alih Fungsi Lahan Sistematik Sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yakni: a. Pembangunan kawasan industri/perkotaan. b. Pembangunan sarana dan prasarana c. Permukiman 3. Alih Fungsi Lahan Adaptasi Kebutuhan tempat tinggal akibat pertumbuhan demografi 4. Alih Fungsi Lahan Masalah Sosial 5. Alih Fungsi Lahan Adaptasi Agraris Sumber: Sihaloho (2004) penduduk Adanya motivasi masyarakat untuk berubah: a. Meninggalkan kondisi lama, dan b. keluar dari sektor pertanian. Keinginan meningkatkan hasil pertanian Motivasi untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif. Secara rinci gambaran Tabel 2 di atas dijelaskan sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan gradual-berpola sporadis, dimana faktor penggerak alih fungsi lahan adalah lahan yang kurang produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku alih fungsi lahan. 2. Alih fungsi lahan sistematik berpola enclave, pola alih fungsi lahan mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama. 3. Alih fungsi lahan adaptasi demografi, terjadi karena kebutuhan tempat tinggal akibat pertumbuhan penduduk. 4. Alih fungsi lahan akibat masalah sosial, karena adanya motivasi masyarakat untuk berubah dengan meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian. 5. Alih fungsi lahan adaptasi agraris, terjadi karena ingin meningkatkan hasil pertanian dan minat untuk bertani di tempat lain yang lebih produktif.

43 Kerangka Pemikiran Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia. Peranan tanah bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat tani berbedabeda. Hal ini dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing pihak akan sumber agraria tersebut. Peranan tanah bagi pemerintah diduga berperan sebagai modal pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan. Bagi swasta, berperan dalam meningkatkan surplus dan akumulasi modal. Sementara itu, bagi masyarakat tani diduga berperan dalam hal ekonomis dan sosiologis. Terkait latar belakang peran tanah bagi kehidupan manusia, pemerintah daerah di era otonomi daerah saat ini memiliki kewenangan untuk mengurusi berbagai kegiatan di ruang wilayah kekuasaannya. Adanya kewenangan tersebut memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk menetapkan dan mengupayakan berbagai rencana dan implementasi kebijakan yang bertujuan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan nama pembangunan. Kebijakan yang diturunkan itu sendiri, baik disadari atau pun tidak memiliki pengaruh atau kekuatan yang besar dalam hal memberikan suatu intervensi bagi beragam kegiatan. Bertitik tolak dari hal tersebut penatagunaan tanah melalui kebijakan penataan ruang menjadi isu yang penting terkait dengan tujuan pemerintah daerah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Hal ini karena tanah atau lahan merupakan salah satu sumber atau objek agraria yang memiliki posisi sentral dimana menjadi modal alami utama yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan. Terkait dengan penatagunaan lahan, pemerintah mengalokasikan tata guna tanah yang berbeda bagi perkotaan dan pedesaan. Tata guna tanah dalam perkotaan lebih menyorot pembagian antara kawasan pemukiman, kawasan pusat kota, kawasan rekreasi, dan kawasan industri. Sementara, tata guna tanah dalam pedesaan lebih dimanfaatkan untuk kepentingan sosial dan ekonomi. Sehingga kebijakan penataan ruang yang ditetapkan memiliki pengaruh yang besar terhadap tata guna tanah, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berdasar hal tersebut, kebijakan penataan ruang di suatu wilayah memiliki rumusan, asas, dan tujuannya sendiri. Baik disadari atau tidak, kebijakan tata ruang dapat mempengaruhi

44 28 fenomena alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian yang kini marak terjadi. Kebijakan penataan ruang mempunyai dua mata pisau, yakni dapat berpengaruh positif atau negatif. Berpengaruh positif ketika kebijakan penataan ruang dapat menekan laju alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Sebaliknya berpengaruh negatif apabila kebijakan yang ada justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Penelitian ini juga menelusuri, bahwa suatu kebijakan penataan ruang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian melalui aspek di tingkat pelaksana kebijakan dan aspek di tingkat masyarakat (dalam hal ini petani yang merupakan aktor yang berperan dalam kegiatan pertanian). Aspek yang memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian di tingkat pelaksana kebijakan dapat dipahami dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata ruang. Aspek yang memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat paling bawah (grass root), yakni masyarakat tani yang dapat dipahami dari posisi tawar (bargaining position) mereka, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi inisiatif mereka untuk berperan serta secara aktif dalam hal akses terhadap kebijakan penataan ruang. Aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian dari sudut kebijakan penataan ruang tersebut menyangkut aras makro yang terkait dengan kebijakan agraria. Selanjutnya, aspek-aspek peluang tersebut baik di tingkat pelaksana maupun masyarakat tani lebih jauh dimanfaatkan oleh pihak swasta. Hal ini dilakukan oleh swasta sebagai upaya mencapai tujuannya atas sumber agraria tanah. Akibatnya, terjadi perubahan penggunaan lahan yang mengarah kepada alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian di Kampung Cibereum Sunting. Perubahan pola penggunaan lahan adalah ke bentuk penggunaan sebagai areal kompleks perumahan.

45 29 Gambar 2 Bagan Alur Berpikir Kebijakan Penataan Ruang Kota dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Sumber Daya Agraria TANAH Kepentingan Pemerintah: Pembangunan Nasional 1. Pembangunan Infrastruktur Fisik. 2. Perumahan Kepentingan Masyarakat Tani: 1. Peran Ekonomis 2. Peran Sosiologis Kebijakan Penataan Ruang: 1. Rumusan 2. Asas dan Tujuan Aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya Alih fungsi lahan pertanian dilihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota Pada Tingkat Pelaksana: 1. Perencanaan Tata Ruang 2. Pelaksanaan Ruang 3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada Tingkat Petani: Posisi Tawar Kepentingan SWASTA: Meningkatkan Surplus Akumulasi Modal Tendensa Perubahan Penggunaan Lahan sebagai bentuk Alih Fungsi Lahan Pertanian: Kompleks Perumahan Keterangan: Hubungan mempengaruhi Hubungan Tidak Langsung Mencakup Menarik Manfaat

46 Definisi Konseptual 1. Sumber Agraria Tanah adalah hamparan permukaan bumi yang luas dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia. 2. Alih fungsi lahan adalah adanya peristiwa alih fungsi lahan di luar kegiatan pertanian baik sebagian, maupun keseluruhan. Dalam hal ini, alih fungsi lahan yang dimaksud ialah proses perubahan fungsi lahan pertanian menjadi fungsi non-pertanian (pembangunan kompleks perumahan). 3. Kebijakan penataan ruang adalah kebijakan yang mengatur tata ruang kota yang berwujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan (buatan) dan terwujud dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Tahun , serta terkait dengan arahan pengembangan perumahan. 4. Posisi Tawar adalah terkait dengan pengetahuan petani tentang kebijakan penataan ruang meliputi pengertian dari pengetahuan petani tentang adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Aspek pengetahuan pada penelitian ini berorientasi pada upaya memperoleh kesempatan dalam hal mempertahankan kepemilikan, penguasaan, maupun pemanfaatan lahan di bawah intervensi kebijakan penataan ruang. 5. Perencanaan tata ruang adalah strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah perkotaan. 6. Pelaksanaan ruang adalah kegiatan wujud operasionalisasi perencanaan ruang wilayah yang mengarahkan penggunaan lahan untuk dimanfaatkan sesuai dengan tata guna yang telah direncanakan. 7. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah fungsi kontrol terhadap operasionalisasi perencanaan tata ruang yang telah diputuskan, terutama terpusat pada hal-hal yang menyimpang dari aturan rencana penataan ruang tersebut.

47 Hipotesa Pengarah Adapun hipotesis pengarah yang membantu peneliti dalam mengarahkan dan memudahkan pencarian data, antara lain: 1. Diduga terdapat peranan tanah bagi masing-masing aktor sosial (petani, pemerintah, dan swasta). 2. Diduga terdapat aspek-aspek dalam kebijakan penataan ruang yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian di wilayah perkotaan. 3. Diduga perencanaan tata ruang, pelaksanaan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. 4. Diduga posisi tawar petani mempengaruhi besarnya inisiatif mereka untuk berperan serta secara aktif dalam hal akses terhadap kebijakan penataan ruang sehingga merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi ketidakberdayaan mereka terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor. 5. Diduga tendensa perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting mengarah ke bentuk penggunaan sebagai kompleks perumahan.

48 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research) yang dalam pelaksanaannya, dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih oleh peneliti karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari subyek yang diteliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif didasarkan oleh realitas sosial, yakni didasarkan pada fakta tentang perilaku manusia. Menurut Sitorus (1998), realitas sosial adalah fakta perilaku manusia harus dipahami dari subyek pandang titeliti. Selain itu, Sitorus (1998) juga mengungkapkan bahwa perilaku manusia itu selalu bersifat subyektif, artinya setiap individu secara subyektif mengenakan makna dan maksud tertentu terhadap setiap tindakan sosialnya. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode non survey. Metode non survey digunakan untuk merekam data yang dapat ditangkap melalui metode studi kasus, yakni untuk memperoleh wawasan dan pemahaman mendalam mengenai kebijakan penataan ruang dan mengenai aspek-aspek dari kebijakan penataan ruang yang memberi peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat pelaksana kebijakan dan di tingkat masyarakat dalam hal ini petani serta pemanfaatan peluang tersebut oleh pihak swasta. Pada tingkat pelaksana dapat diidentifikasi dengan melakukan pemahaman mendalam mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terkait dengan kebijakan penataan ruang itu sendiri. Sementara itu di tingkat petani, diterapkan untuk mengetahui posisi tawar petani terhadap penetapan kebijakan penataan ruang wilayah. Selain itu, digunakan juga untuk melihat bentuk pemanfaatan peluang dari kebijakan yang dimanfaatkan oleh pihak swasta. Lebih lanjut, pemahaman mendalam dilakukan untuk menggali hubungan antara kebijakan penataan ruang dengan alih fungsi lahan pertanian.

49 33 Metode non survey pada pelaksanaannya di lapangan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta terbatas, maupun penelusuran (analisis) data sekunder sebagai instrumennya. Strategi studi kasus yang diterapkan oleh peneliti diharapkan mampu menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti. Tipe studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi kasus instrumental. Menurut Stake (dalam Sitorus, 1998), studi kasus instrumental merupakan kajian atas suatu kasus khusus untuk memperoleh wawasan atas suatu isu atau wawasan untuk penyempurnaan teori. Dalam hal ini kasus dipilih secara sengaja menyangkut pilihan lokasi yang mampu merepresentasikan permasalahan mengenai implikasi kebijakan penataan ruang terhadap alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor secara mendalam. Penelitian ini juga memiliki suatu kekhususan dan hal inilah yang membuat permasalahan yang diteliti menjadi lebih menarik. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Pilihan lokasi dilakukan secara sengaja. Lokasi penelitian ini, yaitu Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Beberapa alasan pemilihan lokasi, antara lain: 1. Kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik. 2. Lokasi tercakup dalam salah satu daerah pinggiran kota (semi-urban) metropolitan dengan dinamika masalah pembangunan yang sering terjadi di dalamnya, seperti alih fungsi lahan yang banyak terjadi untuk berbagai kepentingan. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menguntungkan bagi kepentingan pemanfaat baru namun di sisi lain dapat merugikan bagi pemanfaat lama. 3. Berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Bogor Selatan Tahun , terdapat alokasi peruntukkan permukiman hingga mencapai 2.309,67 hektar atau 74,96 persen (Data Dinas Penataan Ruang Kota Bogor). Lokasi ini merupakan wilayah alih fungsi lahan, dimana sebagian dan hampir

50 34 keseluruhan dari total wilayah di Kampung Cibereum Sunting Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, telah beralih fungsi menjadi kompleks perumahan yang pada awalnya adalah lahan pertanian produktif. Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November 2009, dengan perincian jadwal tercantum pada lampiran. Kurun waktu penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di lokasi penelitian, sehingga penjajagan tidak termasuk dalam kurun waktu tersebut. Penjajagan awal dilakukan pada Juni akhir hingga pertengahan Juli Penentuan Satuan Analisis Pemilihan subyek pada penelitian ini dilakukan melalui penggunaan teknik bola salju (snow balling). Selain itu, subyek penelitian juga dipilih berdasarkan kemampuannya memberikan pemahaman terhadap aspek masalah yang sedang diteliti. Satuan analisis adalah petani pemilik. Satuan analisis tersebut ditentukan secara sengaja (purposif) berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan. Satuan analisis ini dibedakan menjadi informan (orang yang memberikan informasi umum tentang suatu hal) dan responden (orang yang memberikan informasi tentang dirinya sendiri). Informan adalah pejabat dan perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, perangkat Dinas Tata Pemerintahan Kota Bogor, perangkat Dinas Cipta Karya Kota Bogor, pejabat dan perangkat Kantor Pertanahan, pejabat dan perangkat Kelurahan Mulyaharja, dan pejabat PT. A. Pejabat dan perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor memberi informasi umum tentang Kebijakan Penataan Ruang Kota Bogor. Perangkat Dinas Tata Pemerintahan Kota Bogor berkompeten memberikan informasi terkait dengan mekanisme perizinan lokasi. Perangkat Dinas Cipta Karya Kota Bogor berkompeten memberikan informasi terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang Kota Bogor. Pejabat dan perangkat Kantor Pertanahan Kota Bogor memberi informasi umum tentang peraturan pertanahan. Pejabat dan perangkat Kelurahan Mulyaharja memberikan informasi terkait dengan gambaran umum lokasi Kelurahan Mulyaharja, pemberian surat keterangan tanah dari kelurahan, dan data petani-petani yang

51 35 menjual lahan pertaniannya. Pejabat PT. A memberikan informasi terkait dengan proses pengalihfungsian lahan pertanian ke bentuk penggunaan usaha komersial. Berdasarkan informasi dari informan, penulis dapat menemukan lokasi penelitian yang dapat mempresentasikan mengenai topik yang dikaji, responden yang diteliti, dan informasi mengenai topik yang dikaji. Responden adalah masing-masing individu, seperti perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, perangkat Dinas Ciptakarya, dan petani pemilik. Perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor dan perangkat Dinas Ciptakarya berkompeten memberikan informasi terkait dengan mekanisme atau proses operasionalisasi penataan ruang di lapangan. Sementara itu, petani pemilik berkompeten memberikan informasi terkait dengan kehidupan sosial-ekonomi mereka dan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Data primer penelitian dikumpulkan melalui tiga metode, antara lain sebagai berikut: 1. Wawancara mendalam Teknik wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh data primer dan deskriptif yang dilakukan terhadap responden dan informan. Responden dan informan diketahui melalui penggunaan teknik bola salju (snow balling). Pemilihan informan, pada awalnya dilakukan secara sengaja (purposif) dengan mendatangi pejabat dan perangkat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, perangkat Kantor Pertanahan, pejabat dan perangkat Kelurahan Mulyaharja, dan pejabat PT. A. Selanjutnya, informasi yang diperoleh akan menggiring pada responden atau titeliti. Responden itu sendiri merupakan pihak yang akan memberi keterangan mengenai diri dan keluarganya. Sementara informan adalah pihak yang akan memberi keterangan tentang pihak lain, lingkungan, dan berbagai hal yang terkait dengan penelitian ini. Penentuan informan dan responden melalui teknik sengaja (purposif) dan bola salju (snow balling), dapat digambarkan sebagai berikut:

52 36 Gambar 3 Proses Penentuan Informan dan Responden Purposive Pejabat Dinas Penataan Ruang Kota Bogor: RDM Pejabat Kantor Pertanahan: HNX Pejabat Kelurahan Mulyaharja: USX Pejabat PT. A: ZKA Snow Balling Snow Balling Perangkat Dinas Penataan Ruang: RAB&ARD BRD (Perangkat Kantor Pertanahan) BEN (Perangkat Kelurahan) SSI (Petani) UJP (Petani) Perangkat Dinas Tata Pemerintahan: EDY Perangkat Dinas Cipta Karya: NDN UJG (Perangkat Kelurahan) BSR (Perangkat Kelurahan Mulyaharja) WWN (Petani) AJH (Petani) OIN (Petani) DYT (Petani dan RT) CCC (Petani) BDN (Petani) IYD (Petani) MDM (Petani) Keterangan : Menunjukkan Proses Arah Informasi Sumber: Dikumpulkan oleh penulis selama penelitian (2009)

53 37 2. Pengamatan Berperanserta Terbatas Pengamatan berperan serta terbatas dilakukan agar peneliti dapat melihat, merasakan, dan memaknainya sehingga memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama. Pengamatan berperan serta yang dilakukan penulis terbatas pada berpartisipasinya penulis dalam beberapa kegiatan bersama, misalnya dalam hal pemantauan tata laksana implemetasi kebijakan tata ruang wilayah. 3. Penelusuran (analisis) Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan menganalisis dan melakukan kajian pustaka terhadap berbagai literatur, yakni skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal, makalah, dan informasi dari internet yang terkait dengan topik penelitian. Kajian literatur ini membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan, maka penulis membuat panduan pertanyaan yang digunakan sebagai pedoman dalam pengumpulan data. Selain itu, analisis data sekunder juga dilakukan terhadap dokumen yang diperoleh di lokasi penelitian, seperti monografi dan potensi desa, peta lokasi, dan data statistik. 3.5 Teknik Analisis Data Analisis data mulai dilakukan ketika pengumpulan data dilakukan. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Data kualitatif, yakni baik data primer yang dituangkan dalam catatan lapang maupun data sekunder yang telah dikumpulkan oleh peneliti diolah dan dianalisis secara kualitatif. Adapun tahapannya melalui tahap reduksi yang bertujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penyajian data kualitatif ini dilakukan dalam bentuk deskripsi dan matrik. Pereduksian data primer dilakukan peneliti melalui peringkasan data yang sudah dijabarkan dalam catatan lapang yang ditulis selama penelitian. Kemudian data yang telah diperoleh dianalisis untuk mengetahui informasi penting yang harus dipertajam terkait dengan kebijakan penataan ruang dan alih fungsi lahan

54 38 pertanian yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Selama pereduksian data, terdapat informasi yang tidak terkait dengan masalah penelitian sehingga dilakukan proses pembuangan informasi tersebut. Sementara itu, informasi yang belum jelas terkait dengan masalah penelitian, dipertanyakan kembali kepada informan dan responden yang bersangkutan, sehingga diperoleh data yang valid. Pereduksian data sekunder dilakukan peneliti melalui pemilihan dan penggolongan data. Pemilihan dan penggolongan data yang dilakukan, bertujuan untuk memperoleh data yang diperlukan untuk melengkapi dan mendukung data primer. Selain itu, hasil pereduksian data sekunder juga bertujuan untuk memperdalam kajian terhadap permasalahan penelitian. Setelah pereduksian data, penyusunan hasil penelitian disempurnakan dengan merevisi kerangka berpikir yang disesuaikan dengan situasi (keadaan) di lapang. Tujuannya adalah untuk membantu peneliti menarik suatu kesimpulan yang dapat mengarahkan pada kesimpulan berikutnya. Hasil penyusunan kesimpulan akhir kemudian diverifikasi dengan membandingkan antara teori dengan realita di lapang untuk memperkuat keabsahan data.

55 39 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Kelurahan Mulyaharja Keadaan Umum Kelurahan Mulyaharja Kelurahan Mulyaharja, demikian komunitas yang tinggal menyebut lokasi penelitian ini 1. Pada bulan September 1995 sebelum ditetapkannya Mulyaharja sebagai suatu kelurahan, wilayah ini mengalami pengembangan wilayah ke arah bentuk perkotaan. Namun perubahan status desa menjadi kelurahan, baru disahkan dan disandangnya Hal ini memperlihatkan bahwa pemekaran desa menjadi bentuk kelurahan merupakan modus operandi pemerintah daerah untuk mengambil alih lahan. Kelurahan Mulyaharja merupakan salah satu dari 16 kelurahan yang terdapat di Kecamatan Bogor Selatan. Berdasarkan data potensi desa bulan Maret tahun 2009, luas wilayah kelurahan ini mencakup areal tanah seluas hektar. Secara geografis batas-batas wilayah ini adalah: 1) sebelah utara : Kelurahan Cikaret dengan dibatasi Sungai Cibereum. 2) sebelah selatan : Desa Sukahardja, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. 3) sebelah timur : Kelurahan Pamoyanan, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor dibatasi oleh Sungai Cipinang Gading dan Sungai Cilansir. 4) sebelah barat : Desa Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Secara geografis dapat pula lokasi ini dilihat dalam lampiran. Kelurahan Mulyaharja mempunyai ketinggian 420 meter di atas permukaan laut (dpl). Topografi seperti ini termasuk dataran tinggi dengan curah hujan hingga mili meter per tahun (333,305 ha) dan hingga mili meter per tahun (143,70 ha) serta suhu rata-rata harian derajat celcius. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, proporsi luasan tanah di Mulyaharja dapat 1 Secara harfiah, Mulyaharja berasal dari kata mulya dan harja. Mulya berarti baik dan harja berarti hati. Sehingga jika digabungkan memiliki arti hati yang baik.

56 40 diklasifikasi menurut kemiringan atau lereng antara lain adalah 321,16 hektar (landai), 82,64 hektar (agak curam), dan 75,20 hektar (curam). Sementara itu, klasifikasi proporsi luasan tanah menurut kedalaman efektifnya antara lain 11,88 hektar (agak dalam), 49,15 hektar (dalam), dan 417,97 hektar (sangat dalam). Sedangkan klasifikasi proporsi luasan tanah menurut teksturnya, antara lain 418,21 hektar (halus), 49,10 hektar (sedang), dan 11,69 hektar (agak kasar). Kelurahan Mulyaharja juga berada di bawah kaki Gunung Salak. Jarak Kelurahan Mulyaharja dari kecamatan adalah 7 kilometer, sedangkan jarak dari pusat Kota Bogor adalah 7 kilometer. Jika dihitung dari Ibukota Provinsi, jarak Kelurahan Mulyaharja adalah 130 kilometer, sedangkan jika dihitung dari ibukota negara adalah 70 kilometer. Kelurahan Mulyaharja termasuk dalam lingkup wilayah kota satelit II yang berfungsi sebagai pendorong pengembangan kawasan perkotaan Jakarta, simpul pelayanan dan jasa perkotaan, dan sektor perdagangan dan jasa, serta industri padat tenaga kerja. Pada intinya, berfungsi sebagai daya dukung kota Jakarta, yakni salah satu daerah pemasok bahan makanan, tenaga kerja maupun jasa lainnya selain Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Lazimnya pemandangan umum yang ditemukan di kelurahan-kelurahan, Mulyaharja merupakan sebuah kelurahan yang terletak di pinggiran pusat kota. Pemandangan umum yang terlihat saat ini merupakan hasil suatu perubahan, yakni pada awalnya lahan disana didominasi oleh hamparan pertanian yang luas dan kini berganti menjadi hamparan permukiman penduduk terutama dimiliki oleh pengembang (swasta). Nuansa kehidupan kekotaan nampak terlihat di tempat ini, ada jalan raya aspal beton (hotmix) menuju kota, ada telepon, dan jaringan listrik. Fasilitas listrik baru dapat dirasakan empat hingga lima tahun terakhir. Selain itu, fasilitas jalan juga telah dirasakan oleh penduduk, namun kondisi jalan di sebagian kampung tidak sebagus kondisi jalan utama menuju kota yang telah beraspal. Sementara itu, akses terhadap pelayanan dan informasi lebih mudah diakses oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat Kelurahan Mulyaharja dan yang berada di pinggiran jalan (kota) dibandingkan dengan penduduk yang masih kampung (jauh dari kantor kelurahan).

57 41 Luas lahan pertanian (sawah dan ladang) di Kelurahan Mulyaharja yang tersisa saat ini adalah seluas 135 hektar. Areal lahan pertanian yang tersisa tersebut dimanfaatkan oleh para petani seefektif mungkin untuk menanam padi dan tanaman palawija. Sementara lokasi lainnya telah berubah fungsi menjadi permukiman Kondisi Demografi Penduduk Penduduk yang berdomisili di Kelurahan Mulyaharja sebagian besar merupakan kelompok etnis Sunda. Perilaku kehidupan masyarakat sendiri sebagian masih bersifat pedesaan tetapi tata kehidupan secara umum telah dipengaruhi oleh pola hidup modern. Penduduk Kelurahan Mulyaharja berdasarkan data terakhir (Maret, 2009) adalah jiwa yang terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan, sebuah angka yang relatif besar untuk sebuah kelurahan. Sementara itu, jumlah Kepala Keluarga (KK) yakni terdiri dari 2709 KK laki-laki dan 182 KK perempuan dengan jumlah keseluruhan adalah sebanyak KK. Mereka terkelompokkan ke dalam 12 Rukun Warga (RW) dan 55 Rukun Tetangga (RT). Dari total jumlah penduduk yang ada, sebanyak jiwa penduduk tergolong dalam usia kerja produktif (16-54 tahun). Dapat diketahui pula bahwa penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani ialah sebanyak 500 jiwa atau sebesar 3,74 persen (dihitung dari total jumlah penduduk). Penduduk yang berada di Kelurahan Mulyaharja terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Baik penduduk asli dan pendatang memiliki kepercayaan yang dianutnya masing-masing. Agama yang dominan dipeluk oleh warga adalah agama Islam, yaitu dipeluk sebanyak jiwa. Pemeluk agama Islam ini umumnya adalah warga asli Mulyaharja. Adapun agama Kristen dipeluk oleh 300 jiwa, agama Katholik dipeluk oleh 120 jiwa, agama Hindu dipeluk oleh 25 jiwa, agama Budha dipeluk oleh 15 jiwa, dan agama Khonghucu dipeluk oleh 12 jiwa.

58 Pendidikan Penduduk Kelurahan Mulyaharja menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Kelurahan Mulyaharja saat ini adalah SD (74,17%), SMP (10,37%), SMA (13,26%), dan Akademi (2,19%). Presentasi angka tersebut mengalami kenaikan dan penurunan selama enam tahun terakhir ini (tahun ). Penurunan angka presentasi terlihat pada tingkat pendidikan SMP, yakni dari 17,56 persen ke 10,37 persen. Selain itu, penurunan juga terjadi pada tingkat pendidikan akademi, yakni dari 2,35 persen ke 2,19 persen. Peningkatan pendidikan terdapat pada tingkat pendidikan SD, yakni dari 69,15 persen ke 74,17 persen serta pada tingkat pendidikan SMA, yakni dari 10,89 persen ke 13,26 persen. Peningkatan angka presentasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan jumlah warga yang berpendidikan dan sebaliknya penurunan angka presentasi tersebut menunjukkan adanya penurunan jumlah warga yang berpendidikan. Hal ini disebabkan oleh dinamika kesejahteraan dan jumlah penduduk. Tabel 3 Jumlah Angkatan Kerja Penduduk Kelurahan Mulyaharja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2009 Tingkat Pendidikan Tahun 2009 Tahun 2003 Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Jumlah (Jiwa) Persentase (%) SD/Sederajat , ,15 SMP , ,56 SMA , ,89 Akademi 190 2, ,35 Total , ,00 Sumber: Data Monografi Kelurahan Mulyaharja (2003 dan 2009) Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang digeluti oleh warga, dimana berfungsi sebagai mata pencaharian. Data yang terdapat pada Tabel 4 menunjukkan klasifikasi tenaga kerja menurut usia dan jenis kelamin. Jumlah penduduk laki-laki usia 18 hingga 56 tahun yang sudah bekerja, usia 0 hingga 6 tahun, yang masih sekolah usia 7 hingga 18 tahun, dan angkatan kerja lebih tinggi di bandingkan jumlah perempuannya. Sementara itu, jumlah

59 43 penduduk laki-laki usia 18 hingga 56 tahun yang belum bekerja lebih rendah dibandingkan jumlah perempuannya. Tabel 4 Klasifikasi Tenaga Kerja Menurut Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2009 Tenaga Kerja Laki- Laki (Jiwa) Penduduk usia tahun Penduduk usia yang bekerja Penduduk usia tahun yang belum atau tidak bekerja Penduduk usia 0-6 tahun Penduduk masih sekolah 7-18 tahun Penduduk usia 56 tahun ke atas Angkatan kerja Jumlah Jumlah total Sumber: Data Monografi Kelurahan Mulyaharja (2009) Perempuan (Jiwa) Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 5, terlihat bahwa mayoritas penduduk Mulyaharja 2009 adalah karyawan swasta jiwa (62,87%). Padahal pada 2003, mayoritas penduduk Mulyaharja adalah petani dan buruh tani yakni sebanyak jiwa (42,82%). Urutan kedua mata pencaharian penduduk pada 2009 adalah petani dan buruh tani, yakni sebanyak 500 jiwa (17,71%). Hal ini mengindikasikan terjadinya pergeseran bahwa pertanian bukan lagi mata pencaharian utama bagi penduduk Mulyaharja. Selanjutnya mata pencaharian lainnya pada 2009, secara berurutan adalah pegawai negeri sipil/tni/polri sebanyak 222 jiwa (7,86%), pedagang sebanyak 122 jiwa (4,32%), industri kecil sebanyak 114 jiwa (4,03%), pensiunan PNS/TNI/POLRI sebanyak 45 jiwa (1,59%), jasa lainnya sebanyak 40 jiwa (1,41%), dan karyawan BUMN sebanyak 5 jiwa (0,17%).

60 44 Tabel 5 Jumlah Penduduk Kelurahan Mulyaharja Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun No. Mata Pencaharian Tahun 2009 Tahun Karyawan a. Pegawai Negeri Sipil/TNI/POLRI Jumlah (Jiwa) Persentasi (%) Jumlah (Jiwa) Persentasi (%) 222 7, ,72 b. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 45 1, ,03 c. Perusahaan Pemerintah 5 0, (BUMN) d. Swasta , ,83 2. Pedagang 122 4, ,82 3. Tani dan Buruh Tani , ,82 4. Industri Kecil (Rumah Tangga) 114 4, ,44 5. Sektor Peternakan ,82 6. Pertukangan ,07 7. Angkutan ,43 8. Jasa lainnya 40 1, ,22 Total Usia Kerja , ,00 Sumber: Data Monografi Kelurahan Mulyaharja (2003 dan 2009) Secara khusus untuk penduduk asli Mulyaharja, mata pencaharian yang dominan digeluti adalah industri kecil yang mulai masuk tahun 1990-an. Industri kecil yang dimaksud disini adalah usaha rumah tangga atau industri rumah tangga (home industry), yakni membuat sandal dan sepatu. Hasil dari rumah produksi sandal dan sepatu ini dipasarkan di wilayah Bogor, luar Bogor, bahkan di ekspor ke luar negeri. Para pengrajin sandal dan sepatu di Mulyaharja umumnya tergabung dalam suatu kelompok pengrajin, dimana mereka mendapat bimbingan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor. Adanya bimbingan tersebut dimaksudkan agar sumberdaya para pengrajin menjadi dapat diandalkan dan pada gilirannya dapat membantu ekonomi lokal. Meskipun begitu, adanya dominasi mata pencaharian pada sektor industri rumah tangga ikut menyumbang ditinggalkannya lahan pertanian oleh masyarakat setempat. Selain itu, lapangan kerja tersebut juga menyumbang dampak negatif bagi kehidupan sosial penduduk Mulyaharja seperti banyak generasi muda yang putus sekolah (lebih tertarik mencari uang daripada menuntut ilmu pengetahuan di sekolah formal). Selain itu, Tabel 5 juga menunjukkan adanya variasi mata pencaharian, yakni ada mata pencaharian yang ditemukan di tahun 2003 dan tidak ditemukan di tahun 2009, begitu pun sebaliknya. Seperti mata pencaharian sebagai karyawan perusahaan (BUMN) tidak ditemukan di tahun 2003, namun di tahun 2009

61 45 ditemukan. Sementara itu, mata pencaharian sektor peternakan, pertukangan, dan angkutan tidak ditemukan di tahun 2009 namun ditemukan di tahun Hal ini disebabkan adanya faktor jumlah penduduk (migrasi masuk dan keluar atau kematian dan kelahiran) yang bermukim di Mulyaharja terus bervariasi dari tahun ke tahun dan disebabkan pula oleh pendidikan serta orientasi penduduk terhadap suatu mata pencaharian Sarana dan Prasarana Fisik Adapun, sarana dan prasarana fisik yang tersedia di Kampung Cibereum Sunting, dapat diidentifikasi dari beberapa bidang berikut ini: Pertama, Bidang Pendidikan. Sarana untuk bidang pendidikan, antara lain tersedia lima play group, satu TK (Taman Kanak-kanak), enam SD (Sekolah Dasar)/sederajat, satu SMP (Sekolah Menengah Pertama), dan satu lembaga pendidikan agama. Prasarana yang dipakai oleh kelimanya dimiliki sendiri dan berada pada kondisi yang cukup layak. Selain itu, di Kelurahan Mulyaharja juga tersedia satu perpustakaan keliling, satu perpustakaan kelurahan, dan satu taman bacaan. Kedua, Bidang Kesehatan. Penduduk Kelurahan Mulyaharja telah terbiasa dengan pengobatan modern di rumah sakit, puskesmas maupun poliklinik. Di Kelurahan Mulyaharja terdapat prasarana kesehatan yang antara lain adalah satu unit puskesmas pembantu, satu unit poliklinik atau balai pengobatan, tiga belas unit posyandu, satu unit toko obat, satu unit balai pengobatan masyarakat yayasan atau swasta, dan satu unit kantor praktek dokter. Secara khusus posyandu merupakan fasilitas untuk melayani pemeriksaan kesehatan para ibu hamil dan anak balita (bawah lima tahun). Penduduk Kelurahan Mulyaharja hingga kini masih mempercayai pengobatan alternatif ke dukun apabila pengobatan modern tidak berhasil menyembuhkan penyakit mereka. Sementara itu, sarana kesehatan yang ada, diantaranya dua orang dokter umum, satu orang paramedis, satu orang dukun bersalin terlatih, dan satu orang dokter praktek. Ketiga, Bidang Keagamaan. Untuk prasarana peribadatan, hanya terdapat prasarana peribadatan bagi umat Islam (muslim) sementara peribadatan untuk umat yang lainnya tidak ditemukan di Kelurahan Mulyaharja. Untuk prasarana

62 46 peribadatan yang telah terbangun adalah 26 buah masjid dan 42 buah langgar/surau/mushala. Sarana peribadatan di masjid umumnya tergolong lengkap sedangkan prasarana peribadatan di langgar/surau/mushala umumnya tergolong kurang lengkap dan sebagian kondisinya memprihatinkan. Keempat, Bidang Transportasi. Kondisi jalan utama menuju kota di Kelurahan Mulyaharja telah beraspal, sementara sebagian gang-gang kecil pada permukiman penduduk masih ada yang berupa jalan berbatu dan tanah meskipun sebagian lagi sudah dibeton maupun telah menggunakan paving block. Alat transportasi umum yang berkembang di wilayah ini adalah angkutan perkotaan (angkot) dan ojek. Baik angkutan perkotaan (angkot) dan ojek beroperasi dari pagi hingga malam hari. Untuk jumlah pemilik angkutan perkotaan sendiri adalah 58 orang dengan tenaga kerja yang mengemudikannya sebanyak 116 orang. Kelima, Bidang Jasa dan Perdagangan. Untuk sektor jasa dan perdagangan, jumlah warung serba ada sebanyak 50 unit dimana jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 60 orang. Jenis produk yang diperdagangkan adalah jenis umum. Selain itu, terdapat pula usaha jasa gas, BBM, dan air. Jumlah unit tiap usaha tersebut diantaranya sepuluh unit pengecer gas dan bahan bakar minyak (menyerap 20 orang tenaga kerja) dan lima unit usaha air minum kemasan/isi ulang (menyerap 5 orang tenaga kerja). Terdapat pula usaha jasa keterampilan, antara lain tiga orang tukang kayu (menyerap 9 orang tenaga kerja), tiga orang tukang jahit (menyerap 3 orang tenaga kerja), satu orang tukang besi (menyerap 3 orang tenaga kerja), lima orang tukang gali sumur, dan dua orang tukang pijat. Keenam, Bidang Komunikasi. Jaringan telepon kabel telah diakses oleh penduduk Kelurahan Mulyaharja. Demikian pula dengan komunikasi seluler (handphone). Warga yang memiliki telepon seluler adalah mereka yang berada pada strata menengah dan atas atau mereka yang berinteraksi dengan orang-orang dari daerah lain. Hampir setiap rumah tangga terutama yang berada pada strata menengah dan atas telah memiliki televisi, radio, tape, dan VCD player. Rumah tangga strata menengah biasanya ditandai dengan antena UHF (Ultra High Frequency) sebagai pelengkap televisi. Rumahtangga strata atas telah menggunakan antena parabola sebagai pelengkap televisi.

63 Kampung Cibereum Sunting Gambaran Kampung Cibereum Sunting Cibereum Sunting, berasal dari kata ci yang berarti air dan bereum yang berarti merah. Sementara sunting adalah nama yang digunakan untuk membedakan bagian Kampung Cibereum yang lain. Menurut informan, terdapat cerita turun menurun yang memberikan informasi terkait dengan asal mula nama Cibereum Sunting, yakni adanya tragedi pembunuhan, kepala korban dipenggal dan dibuang ke sungai. Lalu, sungai tempat kepala korban yang dibuang menjadi berwarna merah karena darah dari kepala tersebut yang terus mengalir. Oleh karena itu, para pendahulu kampung menamakan kampung ini dengan sebutan Kampung Cibereum Sunting. Secara administratif, Kampung Cibereum Sunting merupakan salah satu kampung di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, dan terkena plotan pengembangan kawasan perumahan. Akibatnya, lahan pertanian di Kampung Cibereum menjadi beralih fungsi. Berdasarkan data potensi desa bulan Maret 2009, Kampung Cibereum Sunting ini terletak di RW 07 dengan luas wilayah mencakup areal tanah seluas + 10 hektar. Secara geografis batas-batas wilayah ini adalah: 1) sebelah utara : RW 8 2) sebelah selatan : RW 5 3) sebelah timur : Desa Kota Batu 4) sebelah barat : Warung Limus Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Tani Kampung Cibereum Sunting Penduduk Kampung Cibereum Sunting berdasarkan data terakhir (Maret, 2009) terdiri dari 300 Kepala Keluarga (KK). Penduduk yang berada di Kelurahan Kampung Cibereum Sunting terdiri dari penduduk asli dan pendatang. Baik penduduk asli maupun pendatang memiliki kepercayaan yang dianutnya masingmasing. Agama yang dominan dipeluk oleh warga kampung adalah agama Islam. Pemeluk agama Islam ini umumnya adalah warga asli kampung Cibereum Sunting. Agama Kristen dominan dipeluk oleh warga pendatang. Sebagian besar petani Kampung Cibereum Sunting menurut tingkat pendidikan adalah lulusan

64 48 Sekolah Dasar (SD). Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan petani. Sementara itu, konstruksi bangunan rumah petani sebagian besar dapat dikategorikan sederhana, terbuat dari batu bata dan ada juga yang terbuat dari anyaman bambu dan kayu. Sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) sudah ada di rumah masing-masing. Namun, tak ayal bagi masyarakat masih tetap saja melakukan buang air besar di jamban umum. Mayoritas petani yang terdapat di Kampung Cibereum Sunting ini adalah petani pemilik-penggarap. Untuk petani penggarap dan buruh tani hanya sedikit yang ditemui. Hal ini karena sebagian besar petani pemilik di Kampung Cibereum Sunting menggarap lahan miliknya sendiri (tidak dilimpahkan kepada petani lain). Bagi masyarakat tani, lahan memiliki peran penting dalam hal ekonomi. Di atas tanah pertanian masyarakat tani menggantungkan kehidupannya. Bagi petani miskin yang tidak memiliki keahlian lain selain bertani, walaupun hasil dari bercocok tanam tidak menghasilkan panen yang berlimpah, paling tidak dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, petani merasa sudah cukup sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga melalui hasil bertani. Petani menganggap dirinya tidak sejahtera atau merasa tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup, setelah masuknya swasta yang membangun areal kompleks perumahan. Hal ini karena lahan pertanian yang dimiliki banyak atau hampir secara keseluruhan tergasak (beralih fungsi) menjadi permukiman. Akibatnya, lahan yang digunakan petani sebagai areal bercocok tanah pun semakin sempit bahkan banyak yang kehilangan tanah pertanian. Implikasi lain berdampak pula pada ketidakmampuan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga karena kehilangan sebagian bahkan seluruh lahan pertaniannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. SSI (petani):.mang enya abdi kenging ganti rugi ti pihak pengembang, tapi langkung ti eta, waktos artos seep abdi teu kenging deui ngagaleuh kabutuhan pangan. Padahal, sateuacan lahan di ical pikeun hirup sapopoe teu kedah rieut deui..memang benar kami mendapat ganti rugi dari pihak pengembang, tetapi lebih dari itu ketika uang habis, kami tidak dapat lagi membeli kebutuhan pangan. Padahal sebelum lahan dijual, untuk hidup sehari-hari tidak usah pusing lagi.

65 Potret Agraria Lokal Proses pembukaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja berawal dari hutan yang dibuka oleh para leluhur. Kemudian tanahtanah itu dibagi dan dibatasi oleh patok-patok, seperti menggunakan batu, tanaman, dan lain sebagainya. Pada saat itu kepemilikan luasan lahan bergantung pada kemampuan untuk membuka lahan. Saat ini, kepemilikan luasan lahan sebagian besar tidak lagi menggunakan patok berupa tanda alam melainkan memakai pondasi dan paralon cor serta dilengkapi status hukum (surat keterangan) berupa sertipikat, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat bukti kepemilikan dari kelurahan/desa (letter C), serta segel. Bukti kepemilikan lahan berupa SPPT merupakan bukti legalitas berupa pembayaran pajak yang dilakukan warga tiap tahunnya. Sedangkan, letter c adalah bukti pemilikan lahan dan bangunan yang dikeluarkan oleh kepala desa/lurah berupa catatan riwayat pemilikan tanah. Baik SPPT dan letter c memiliki kekuatan hukum yang lemah jika dibandingkan dengan bukti kepemilikan berupa sertipikat yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat. Sementara itu, aspek legalitas segel lebih tinggi satu tingkat daripada surat bukti kepemilikan dari kelurahan/desa setempat. Namun, masih ada sebagian penduduk yang hingga kini belum memiliki sertipikat atau bukti kepemilikan lainnya sebagai bukti kepemilikan tanah. Hal ini karena penduduk merasa telah memiliki pengakuan hak kepemilikan secara adat. Pada dasarnya, walaupun pengakuan hak kemilikan secara hukum adat yang dikenal dengan hukum normatif dapat diakui, namun secara tataran hukum positif sebenarnya hal itu tidak dapat dibuktikan secara jelas. Selain itu, untuk penduduk yang hanya memiliki bukti kepemilikan berupa SPPT atau letter c, mereka beralasan bukti tersebut sudah cukup dijadikan sebagai bukti pemilikan dalam melakukan transaksi jual beli dan mereka juga merasa biaya untuk membuat sertipikat yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan sangat mahal serta mekanismenya dirasa rumit. Penguasaan dan pengusahaan tanah yang dapat ditemui di Kelurahan Mulyaharja ada beberapa jenis. Pertama, sistem pewarisan tanah yang terdapat di Kampung Cibereum Sunting adalah menggunakan syariat Islam. Hal ini karena

66 50 sebagian besar penduduk menganut agama Islam. Berdasarkan informasi, aturan pembagian waris tersebut adalah anak laki-laki memperoleh dua bagian, sedangkan anak perempuan memperoleh satu bagian. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. CCC (petani):...ari di dinya mah upami bagi-bagi waris teh nganggo syariat Islam, ari lalaki dua bagian lamun awewe mah ngan hiji bagian..kalau disini pembagian waris menggunakan syariat Islam, Laki-laki dua bagian sedangkan perempuan hanya satu bagian. Kedua, sistem bagi hasil adalah sistem yang dominan disepakati oleh penduduk Mulyaharja. Sistem bagi hasil yang dikenal oleh penduduk adalah sistem maro dan mertelu. Sistem maro adalah sistem bagi hasil dimana proporsi pembagiannya 50:50 untuk penggarap dan pemilik tanah. Sistem mertelu adalah sistem bagi hasil dimana proporsi pembagiannya 66,66:33,33 untuk penggarap dan pemilik tanah. Baik dalam sistem maro dan mertelu terdapat ketentuan bahwa pemilik tanah hanya menyediakan faktor produksi tanah, sedangkan faktor produksi lainnya harus disediakan oleh penggarap. Namun, baik maro dan mertelu mulai jarang digunakan. Para petani pemilik memilih menggarap sendiri atau menyewa orang untuk melakukan kegiatan tani. Ketiga, sistem gadai adalah sistem yang digunakan pemilik untuk mendapatkan uang yang cepat tanpa harus kehilangan hak atas tanah mereka. Sistem ini sebenarnya jarang dilakukan oleh para petani. Adapun alasan dilakukan sistem gadai adalah kondisi yang mendesak, seperti kebutuhan biaya pengobatan, menikahkan anak (hajatan), serta luas kepemilikan tanah yang relatif sempit yang tidak memungkinkan untuk digadaikan. Sejak Kampung Cibereum Sunting dibuka, tanah-tanah yang ada umumnya digunakan untuk areal pertanian (sawah dan ladang), permukiman penduduk, dan jalan. Pola pemanfaatan lahan sawah dapat terlihat dari bagaimana petani di kampung ini memanfaatkan tanah yang dimiliki untuk sawah. Biasanya petani memanfaatkan sawah dengan dua hingga tiga kali masa tanam. Pola tanam yang dikenal di desa ini adalah pola tanam monokultur (satu jenis tanaman saja) dan pola tanam campuran (yakni menggilir padi ke tanaman palawija pada

67 51 musim-musim tertentu saja). Pola tanam yang dominan diterapkan oleh penduduk Mulyaharja adalah pola tanam monokultur, yakni memanfaatkan secara optimal lahan mereka dalam menanami padi. Terjadi perubahan luas lahan yang dimiliki petani di Kampung Cibereum Sunting, yakni luasan tanah pertanian yang dimiliki petani awalnya tergolong sedang (0,5-0,99 ha) namun saat ini lahan pertanian petani tergolong sempit (0,01-0,49 ha). Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan pertumbuhan penduduk, yakni adanya pertambahan penduduk yang masuk di Kampung Cibereum Sunting dan membutuhkan tempat tinggal untuk bermukim. Menurut informan, seiring tingginya kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, maka harga tanah pun semakin melonjak tajam di Kampung Cibereum Sunting apalagi setelah masuknya kontraktor yang ingin membangun areal kompleks perumahan (real estate). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. UJP (petani): Saparantos lebetna para usahawan anu ngabangun komplek-komplek teh, hargi taneuh janteun naek bertikeul-tikeul. Hargi taneuh per meterna janteun Rp ,00-Rp ,00 anu awalnya teh ngan Rp ,00-Rp ,00 per meter. Setelah masuknya para usahawan yang membangun komplek-komplek, harga tanah jadi naik berlipat ganda. Harga tanah per meternya jadi Rp ,00-Rp ,00 yang awalnya hanya Rp ,00-Rp ,00 per meter. Proporsi pemanfaatan tanah untuk permukiman yang terus meningkat menyebabkan pergeseran pengelolaan sumber agraria tanah di Kampung Cibereum Sunting, yakni areal pertanian pun menjadi tergasak (alih fungsi lahan pertanian) untuk kebutuhan areal non-pertanian. Menurut responden, lebih jauh lagi terjadi kepadatan agraris di Kampung Cibereum Sunting sebagai akibat alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Hal ini menyebabkan akses petani terhadap sumber agraria tanah makin berkurang.

68 52 BAB V HUBUNGAN TANAH DENGAN AKTOR SOSIAL 5.1 Pemetaan Aktor Sosial Menurut Sihaloho (2004), pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Nilai penting tanah ini berimplikasi pada interest pemanfaat sumber agraria. Bila di tarik garis, fungsi tanah dapat menimbulkan motivasi kepentingan. Kepentingan itu terwujud dalam pemanfaatan sumber agraria tanah. Di Kampung Cibereum Sunting terdapat tiga pihak (penguna atau subyek agraria) yang berkepentingan atas pemanfaatan seluas lahan, yaitu komunitas (masyarakat tani), pemerintah daerah Kota Bogor, dan swasta PT. A. Hal ini menimbulkan bentuk hubungan antara ketiganya melalui institusi penguasaan atau pemilikan. Selanjutnya, hubungan-hubungan yang terjalin antara ketiga subyek agraria atau aktor sosial tersebut berbentuk hubungan aktifitas yang meliputi kompleks aktifitas yang merupakan jaringan hubungan manusia. Gambar 4 Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria di Kampung Cibereum Sunting Komunitas Masyarakat Tani Sumber Agraria TANAH Swasta PT A Pemerintah Daerah Kota Bogor Keterangan: Hubungan teknis agraria Hubungan sosial agraria Sumber: Hasil analisis yang dilakukan oleh penulis selama penelitian (2009)

69 53 PT. A memanfaatkan pemerintah daerah Kota Bogor dalam hal perizinan lokasi pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan baru. Pemerintah daerah Kota Bogor memanfaatkan swasta dalam hal sokongan sumber pembiayaan terkait dengan rencana pembangunan infrastruktur dan perumahan. Di satu sisi, petani yang memiliki lahan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan lahan. Meskipun begitu, petani yang menjual lahan pertaniannya juga mengalami kerugian, yakni mereka kehilangan peran ekonomis dan sosiologis dari lahan yang digunakan sebagai pertanian. Hubungan ketiga subyek agraria tersebut juga mengakibatkan benturan kepentingan antar pihak. Hal ini karena setiap pihak memiliki kepentingan yang berbeda dalam penggunaan lahan. Benturan kepentingan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Benturan terjadi antara pihak PT. A dengan masyarakat tani. PT. A berusaha mengambil alih tanah pertanian milik petani untuk dijadikan lokasi pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan. Sementara, para petani memiliki kepentingan atas tanah mereka, yakni berperan dalam hal ekonomis dan sosiologis. Perbedaan kepentingan antar pihak, yakni PT. A dengan petani, dirasakan merugikan petani. Sebagian petani merasakan dampak negatif dari penjualan lahan pertanian mereka ke pihak PT. A. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. MDM (petani): taneuh teh penting pikeun kahirupan rumah tangga urang, di dinya urang tiasa hirup, saparantos lahan diical, pikeun daharan sapopoe janteun teu tiasa nyandak ti ladang. Upami ngagaleuh ti warung hargina pasti beuki langkung awis. Hirup urang janteun beuki susah. tanah penting bagi kehidupan rumah tangga saya, di sana saya bisa hidup, setelah lahan di jual, untuk makan sehari-hari jadi tidak bisa mengambil dari ladang. Kalau beli di warung harganya pasti lebih mahal. Hidup saya jadi makin susah. 5.2 Peran Tanah Bagi Kehidupan Masyarakat Tani Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria. Tanah menjadi sumberdaya yang strategis dimana memiliki beragam fungsi bagi kehidupan manusia. Tanah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanah pertanian yang terdiri dari lahan sawah dan ladang. Peran tanah yang ditemukan pada penelitian ini adalah peran ekonomis dan peran sosiologis. Peran ekonomis dapat dipahami

70 54 dalam peranannya dalam membangun kesejahteraan keluarga. Adapun peran sosiologis bagi masyarakat tani, tanah erat kaitannya dengan hubungan masyarakat Peran Ekonomis Tanah sangat bernilai secara ekonomis, baik bagi petani yang tidak memiliki tanah maupun petani lain yang memiliki tanah dan menguasai tanah garapan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja. Peran ekonomis tanah ditandai adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada intinya, tanah dianggap sebagai landasan eksistensial bagi kelangsungan hidup masyarakat tani kampung Cibereum Sunting. Peran tanah secara ekonomis dapat dipahami dalam peranannya untuk membangun kesejahteraan keluarga petani. Membangun kesejahteraan keluarga dalam arti memberi kontribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga, menjadi sumber simpanan pada waktu yang diperlukan, dan jaminan bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. IYD (petani):.ari, taneuh mah penting pikeun wargi, trutami digunakeun pikeun nyumponan kabutuhan ekonomi keluargi, jeung oge pikeun ngarekatkeut tali silaturohim..tanah penting bagi warga, terutama digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan juga untuk mempererat tali silaturahmi. Secara khusus, peran tanah dalam memberi kontribusi memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh para petani di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja dalam mengelola tanah pertaniannya. Tanah yang dikelola untuk lahan pertanian dilakukan pada dua tempat, yaitu pada lahan basah (sawah) dan lahan kering (ladang). Lahan basah (sawah) secara produktif terutama digunakan untuk menanam padi. Selain diperuntukkan menanam padi, ternyata lahan yang dijadikan sawah oleh penduduk Kampung Cibereum Sunting juga diyakini merupakan cara efektif untuk melindungi sumberdaya. Sawah itu sendiri telah

71 55 dikenal sejak zaman nenek moyang dulu. Dapat diperkirakan pada waktu itu sawah masih sederhana, atau bahkan mungkin padi masih terdapat secara liar atau setengah liar. Namun sekarang, perkembangan sawah di Kampung Cibereum Sunting mengalami perubahan, yakni dari segi teknologi yang makin berkembang, seperti telah menggunakan berbagai jenis pupuk dan mengenal berbagai varietas padi. Berbeda halnya dengan tanah yang dijadikan lahan pertanian kering (ladang), ladang biasanya ditanami oleh tanaman palawija. Pengetahuan berladang juga sudah diketahui oleh penduduk Kampung Cibereum Sunting secara turun temurun. Menurut informan, perkembangan pengetahuan tentang bercocok tanam ladang itu berproses, yakni terjadi melalui observasi manusia terhadap biji atau batang yang jatuh ke tanah dan proses tumbuhnya batang-batang pepohonan yang ditancapkan di tanah. Untuk hasil pertanian lahan basah (sawah) semisal padi yang dipanen oleh petani, biasanya tidak untuk diperjualbelikan namun dipergunakan sendiri untuk kebutuhan hidupnya sebagai pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Sementara itu, komoditas yang ditanam di ladang umumnya dijual ke pasar. Kalaupun ada yang dikonsumsi oleh petani, maka besarnya tidak melebihi bagian yang harus dijual di pasar. Pendapatan yang diperoleh dari aktivitas pengelolaan tanah pertanian yang dilakukan oleh para petani di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja menghasilkan pendapatan yang tergolong rendah. Pendapatan yang diperoleh petani didapatkan per musim, yakni kisaran Rp ,00-Rp ,00. Meskipun begitu, petani tetap menganggap tanah pertanian yang dimiliki berperan penting bagi kelangsungan hidup petani. Menurut pengakuan responden, dengan mengelola lahan pertanian, petani tidak perlu membeli kebutuhan pokok seperti beras di warung, toko, atau pasar sehingga petani tidak perlu membayar mahal untuk membeli kebutuhan pokok (beras) tersebut. Peran penting tanah bagi petani dipertegas pula oleh pernyataan petani yang mengungkapkan bahwa pendapatan di sektor pertanian memang rendah dibandingkan di sektor industri, yakni di industri pendapatan yang diperoleh dapat mencapai Rp ,00-Rp ,00. Meskipun begitu, petani memperoleh informasi bahwa pengeluaran masyarakat yang bekerja di sektor industri juga besar sehingga kalau dihitung-

72 56 hitung pendapatan bersih antara bekerja di sektor pertanian dengan di sektor industri tidak berbeda jauh. Terdapat pula petani yang mengungkapkan, bahwa petani tidak memiliki keahlian di sektor industri sehingga petani di Kampung Cibereum Sunting tidak tergiur bekerja di sektor industri dan lebih memilih untuk mengelola dan memanfaatkan lahan pertanian yang tersisa seefektif mungkin.. Peran ekonomis tanah sebagai sumber simpanan pada waktu yang diperlukan adalah tanah dinilai sebagai bentuk harta. Tanah yang dianggap sebagai harta dapat dipinjamkan (sewa) untuk digarap oleh orang lain atau dijual kepada orang lain. Tanah yang disewakan kepada petani lain dapat memberikan kesempatan memperoleh uang tunai atau mendapatkan beras dari petani yang menyewanya. Sementara itu, peran ekonomis tanah sebagai jaminan bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang, yakni tanah dianggap sebagai harta atau materi yang dapat diwariskan secara turun temurun kepada anak-anak. Petani beranggapan, dengan tanah pertanian yang dimiliki anak-anak dapat terus hidup dan bertahan. Lain kata, tanah dianggap sebagai bekal anak-anak untuk melangsungkan kehidupan di masa depan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. WWN (petani): petani-petani di dieu mah pada nyieun waris taneuh pikeun putra-putrana, saurna pikeun bekel hirup kaluargi engkeuna. Salain eta teh, taneuh oge tiasa disebut harta simpenan kitu. Janteun upami butuh teh, taneuh tani tiasa disewakeun atawa diical ka batur supados janteun artos. petani-petani di sini membuat waris tanah untuk anak-anaknya, katanya untuk bekal hidup berkeluarga nantinya. Selain itu, tanah juga dapat dibilang sebagai harta simpanan. Jadi kalau membutuhkan, tanah pertanian dapat disewakan atau dijual kepada orang lain supaya menjadi uang. Ketergantungan secara ekonomis terhadap lahan terlihat jelas di Kampung Cibereum Sunting. Eratnya ketergantungan petani terhadap tanahnya, menunjukkan bahwa penduduk Kampung Cibereum Sunting tidak dapat dilepaskan dari tanah pertanian. Seiring berjalannya waktu, setelah masuknya pihak swasta yang membangun areal kompleks perumahan, masyarakat juga mengalami perubahan dalam pandangan terhadap sumber agraria tanah. Fakta di lapangan menunjukkan adanya peralihan penggunaan tanah, yakni dengan adanya

73 57 kompleks perumahan, penduduk di Kampung Cibereum Sunting menggeser keberadaan tanah pertanian. Hal ini mengindikasikan tanah bukan lagi menjadi fungsi produksi melainkan ke arah pemanfaatan fungsi reproduksi Peran Sosiologis Tanah Peran tanah secara sosiologis, menurut penelitian ini memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas di Kampung Cibereum Sunting. Peran tanah secara sosiologis pun menyangkut hubungan manusia dengan masyarakat lain yang dicirikan dengan adanya simbol status sosial yang dilekatkan pada seseorang berdasarkan tanah yang dimilikinya. Tanah pun dapat dijadikan sarana untuk mengikat kekerabatan dan ikatan keluarga melalui pola pewarisan tanah yang terjadi dalam keluarga. Peran tanah secara sosial dapat berkaitan dengan status sosial yang dilekatkan pada seseorang berdasarkan tanah yang dimilikinya. Di Kampung Cibereum Sunting luas lahan tidak menentukan secara langsung status sosial seseorang. Adapun status sosial melekat berkaitan dengan effect penguasaan tersebut, yakni tingginya tingkat kesejahteraan akibat penguasaan lahan tersebut. Seseorang yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi akibat penguasaan lahan yang lebih luas dibanding yang lainnya, mendapatkan perlakuan yang berbeda dibanding yang lainnya. Peran tanah secara sosial dalam peranannya sebagai perekat ikatan kekerabatan, ditunjukkan tidak hanya di kalangan keluarga saja tetapi mencakup petani-petani lain yang tidak memiliki ikatan keluarga. Tanah merupakan aset yang diwariskan kepada anggota keluarga dan memiliki nilai sosial. Tanah yang diwariskan bagi sebagian warga tidak boleh diperjualbelikan kepada orang lain, hal ini karena menyangkut tali ikatan keluarga. Sementara itu, tanah sebagai ikatan kekerabatan yang terjalin dengan pihak di luar keluarga dibuktikan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau berlahan sempit untuk menggarap lahan yang dimilikinya. Ikatan kekerabatan ini masih terlihat, dari adanya kegiatan bersama dan mereka mengenal satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak. H. DYT (petani):

74 58 Ari taneuh teh tiasa ngarekatkeun tali sodara, lantaran manusa hirup di bumi teh kudu hablum minannas oge. Janteun, upami aya nu butuh kudu saling ngabantos, misalna ngabantos urang dina kajadian kamaotan jeung hajatan kawinan. Kalau di sini tanah dapat digunakan sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan. Karena hidup manusia di bumi harus hablum minannas juga. Jadi, kalau ada yang membutuhkan harus saling membantu, misalnya membantu dalam peristiwa kematian dan perkawinan. Peran sosiologis tanah sebagai perekat ikatan kekerabatan memiliki maksud tersendiri di dalamnya, yakni dilakukan demi terciptanya ketertiban, keharmonisan, dan ketentraman dalam kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, hampir dalam seluruh aktivitas kehidupan sosial yang erat kaitannya dengan tanah menekankan arti pentingnya kekeluargaan dan kerjasama yang diwujudkan dalam bentuk tolong menolong dan gotong royong. Kegiatan tolong menolong dan gotong royong ini menjadi landasan moral dan semangat solidaritas masyarakat. Sistem kerjasama antar masyarakat terlihat dari pola patron-client dalam penggarapan lahan pertanian di masyarakat. Sistem kerjasamanya berlandaskan kekeluargaan tanpa adanya konflik dalam pertanian. Sistem maro dan mertelu yang dilakukan penduduk pun merupakan sistem bagi hasil yang meneguhkan sikap saling tolong menolong dalam masyarakat. 5.3 Peran Tanah Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dan PT. A Peran tanah bagi pemeritah daerah Kota Bogor dalam penelitian ini adalah bagi kemakmuran rakyatnya (pembangunan nasional). Artinya tanah merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Kepentingan pemerintah daerah Kota Bogor sendiri atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau roda pembangunan. Secara khusus, tanah dijadikan aset untuk terus membangun Kota Satelit Bogor dalam hal pembangunan infrastruktur dan perumahan. Pembangunan pun begitu dipercaya, hanya mungkin diwujudkan dengan suntikan dana dari swasta yang dalam hal ini adalah PT. A. Tanah oleh pemerintah daerah cenderung diposisikan sebagai aset ekonomi. Akibatnya, kemudahankemudahan penyediaan tanah diberikan untuk kegiatan investasi sumberdaya alam dalam skala besar.

75 59 Tanah bagi swasta memiliki fungsi yang berbeda, yakni sebagai aset untuk mencari keuntungan dengan cara melakukan penanaman modal pada pembangunan dan pengembangan kawasan kompleks perumahan. Dapat dipahami bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada kepentingan akumulasi modal dan peningkatan surplus ekonomi. 5.4 Ikhtisar Pemanfaatan sumber agraria tanah merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi berbagai pihak yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap sumberdaya tersebut. Di Kampung Cibereum Sunting terdapat tiga pihak yang berkepentingan atas pemanfaatan seluas lahan, yaitu masyarakat tani, pemerintah daerah Kota Bogor dan PT. A. Adapun, peranan tanah bagi masing-masing aktor sosial tersebut, antara lain: (1) bagi petani adalah berperan ekonomis dan sosiologis. Peran ekonomis tanah bagi petani ditandai oleh adanya pandangan bahwa tanah merupakan sumber hidup manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Peran tanah secara sosiologis menurut penelitian ini memiliki fungsi sosial, yaitu sebagai perekat hubungan sosial atau kohesi sosial pada komunitas di Kampung Cibereum Sunting; (2) bagi pemerintah daerah adalah sebagai aset dalam pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan; (3) bagi swasta digunakan sebagai modal untuk meningkatkan surplus ekonomi dan melakukan akumulasi modal.

76 60 BAB VI KEBIJAKAN PENATAAN RUANG Karakteristik wilayah dan potensi antar kota di Indonesia memiliki perbedaan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan penataan ruang yang disesuaikan dengan potensi yang ada di kota tersebut. Kebijakan penataan ruang dengan konsep yang diterapkan secara sektoralisme dalam pemberian hak untuk menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah menjadi tempat yang subur bagi terbukanya peluang alih fungsi lahan pertanian. Seiring dengan masuknya Kota Bogor dalam babak otonomi daerah, maka terjadi pembagian kewenangan serta terjadinya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan Kota Bogor. Tujuan otonomi daerah adalah untuk membangun good governance mulai dari akar rumput, yakni Kota Bogor sebagai salah satu pemerintah lokal diantaranya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mempertegas keterangan tersebut, yakni menjelaskan adanya pelimpahan kewenangan antara pusat dan daerah. Di dalam undang-undang tersebut juga mengandung pengertian bahwa di satu pihak pemerintah pusat terbebas dari urusan domestik dan di lain pihak daerah akan mengalami proses pemberdayaan. Lebih lanjut, otonomi daerah membawa angin baru dan optimisme bagi daerah Kota Bogor dalam hal mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, serta suasana baru dalam hubungan antara pusat dan daerah, termasuk memiliki kewenangan untuk melakukan penataan ruang bagi cakupan wilayahnya. Mengenai kewenangan dalam pengelolaan tanah yang terdapat di daerah, undang-undang ini dirasa menunjukkan ambiguitas. Dalam salah satu pasalnya, dinyatakan pendayagunaan tanah merupakan kewenangan bidang lain yang menjadi salah satu pengecualian dari kewenangan pemerintah daerah. Tetapi dalam pasal lainnya dalam undang-undang yang sama juga dinyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang mengelola tanah yang ada di wilayahnya. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan untuk mengelola tanah yang ada di wilayah yang bersangkutan. Akhirnya, proses tarik menarik pun terjadi antara pemerintah pusat dengan daerah berkaitan dengan hal-hal yang bersinggungan dengan

77 61 pemanfaatan tanah. Menanggapi gejala-gejala permasalahan yang bermunculan di tingkat pemerintah daerah, maka untuk lebih memahami kebijakan penataan ruang Kota Bogor dalam era otonomi daerah diperlukan pemahaman terhadap rumusan, asas, dan tujuan kebijakan penataan ruang tersebut. 6.1 Rumusan Kebijakan Penataan Ruang Kebijakan makro mencakup arti kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menggariskan dan melaksanakan pembangunan nasional. Baik secara langsung ataupun tidak langsung, kebijakan makro yang diambil oleh suatu pemerintah sangat mempengaruhi seluruh jalannya kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Dasar-dasar politik dan hukum agraria sendiri ialah dasar-dasar pokok yang terdapat dalam cita-cita rakyat membentuk Negara sebagai bangsa yang merdeka, yakni tanah itu harus dipergunakan bagi kemakmuran rakyat (Tauhid, 1953). Berkaitan dengan perencanaan, persediaan, peruntukkan, dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum, maka Kota Bogor menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (yang selanjutnya disingkat RTRW dan RDTRK dalam tulisan ini) sebagai produk kebijakan penataan ruang yang merealisasikan aturan tersebut. Pentingnya kebijakan penataan ruang ini adalah sebagai acuan utama dari rencana-rencana pembangunan, yang juga dapat diterjemahkan sebagai rencana pemanfaatan dan penggunaan ruang. Rencana pemanfaatan dan penggunaan ruang mencakup pengertian tata ruang dan tata guna tanah yang merupakan dua hal yang bersifat integral, dimana tanah adalah satu unsur terpenting dari ruang. Dasar yang digunakan sebagai landasan dibentuknya RTRW dan RDTRK adalah tanah sebagai sumber, tiang penghidupan, dan kemakmuran, serta kesejahteraan rakyat. Hal ini bersumber pada amandemen UUD 1945 yang berorientasi pada pencapaian penggunaan sumberdaya alam, termasuk tanah untuk kesejahteraan rakyat, khususnya Pasal 33 ayat 3 yang menggariskan: Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besaranya kemakmuran rakyat. Prinsip-prinsip tersebut dipertegas oleh Pasal 1 ayat 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yakni: Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

78 62 alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Pasal 2 UUPA memuat mekanisme kelembagaan yang sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tentang pengertian hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, mekanisme kelembagaan tersebut berisi wewenang untuk: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Pasal 14 ayat 1 UUPA juga memperlihatkan bahwa, tersirat keinginan pemerintah untuk melakukan penataan terhadap penggunaan dan penguasaan tanah di Indonesia. Hal ini dinyatakan sebagai berikut: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 dan 3, Pasal 9 ayat 2, pasal 10 ayat 1 dan 2, pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasarnya Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusatpusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan, dan lain-lain kesejahteraan; (d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Aspek operasional dilaksanakan sejalan dengan pasal 14 ayat 1 UUPA, dimana pelaksanaan penataan ruang diserahkan kewenangannya pada pemerintah daerah untuk melakukan peraturan lebih lanjut sebagai pelaksanaan ketentuan aturan tersebut. Hal ini dapat dipahami dari adanya realisasi otonomi daerah, dimana pengakuan dari lembaga pelaksana kedaulatan rakyat terhadap eksistensi, potensi masyarakat, dan daerahnya bahwa masyarakat setempat sebagai bagian

79 63 dari keberadaan negara kesatuan, mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu untuk memperhatikan dan menyelenggarakan berbagai kepentingannya sendiri. Kemudian dipertegas dengan ketentuan dalam pasal 14 ayat 2 dan 3 UUPA, yakni: Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, pemerintah daerah mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. Peraturan pemerintah daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur/Kepala daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala daerah yang bersangkutan. Penegasan terdapat pula dalam penjelasan umum angka 2 poin 8, yakni: Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara di atas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan negara: rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah (Pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat. Tindak lanjut secara lebih jauh dijelaskan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dimana mengatur dengan rinci mengenai tata ruang nasional, tata ruang daerah provinsi, dan tata ruang daerah kabupaten/kota. Undang-undang yang terealisasi pada Tahun 1992 ini, mengisyaratkan terpenuhinya keinginan pemerintah untuk mengatur perencanaan, peruntukkan, dan penggunaan terhadap ruang termasuk daratan, lautan, angkasa, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan penjelasan angka 2 poin 8 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 14 UUPA dinyatakan sebagai berikut: Pasal ini mengatur soal perencanaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (angka 2 poin 8). Mengingat corak perekonomian Negara

80 64 di kemudian hari dimana industri dan pertambangan mempunyai peranan yang penting, maka di samping perencanaan untuk pertanian, keperluan industri dan pertambangan perlu juga diperhatikan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri, dan pertambangan tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan pemerintah daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh pemerintah pusat dan sesuai dengan kebijakan pusat. Tata ruang merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah atau lahan secara maksimal. Penataan ruang bertujuan agar terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan nusantara dan ketahanan nasional. Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam suatu kesatuan tata lingkungan yang dinamis, serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yang berlandasan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Secara khusus, penataan ruang wilayah dipahami sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Undang-Undang Penataan Ruang Pasal 1 ayat 5). Sejalan dengan pertimbangan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan bahwa pembangunan tidak mengejar kemakmuran lahiriah ataupun kepuasan batiniah, akan tetapi keseimbangan diantara keduanya. Analisis di lapangan menunjukkan terdapat ketentuan pokok yang mengatur pedoman penyusunan rencana dan tugas-tugas dan tanggung jawab perencanaan tata ruang kota. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, memberi kejelasan atas berbagai hal tentang landasan kerja pemerintahan kota dan saling kaitannya, baik vertikal maupun horizontal. Mengingat situasi setiap kota yang khas, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dirasa tidak memadai. Oleh karena itu, Departemen Dalam Negeri RI mengeluarkan Peraturan Menteri

81 65 Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1980, tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Dalam peraturannya, menteri dalam negeri menegaskan bahwa pesatnya tingkat perkembangan kota-kota di Indonesia dengan beraneka ciri dan sifat penghidupan perkotaannya memerlukan pengarahan pengembangan sebaikbaiknya. Selanjutnya, ditegaskan pula perlu adanya perencanaan kota sebaikbaiknya yang sesuai dengan sifat dan watak kehidupan dan kepribadian Indonesia. Isi keseluruhan Peraturan Dalam Negeri Nomor 4 tersebut memuat ketentuan yang lebih rinci, mulai dari sistem perencanaan di dalam pembangunan, sistem perencanaan kota, jenis rencana kota, kebijaksanaan dalam perencanaan kota, isi rencana induk kota berikut mekanisme pelaksanaan rencana. Uraian yang lebih rinci ini memberi pedoman dan sekaligus sistem evaluasi dalam pelaksanaan perencanaan kota. Pada tahun 1985, keluarlah Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri pekerjaan Umum Nomor dan Nomor 503/KPTS/1985, tentang Tugas-Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota. Sementara itu, tahun 1986 keluar Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986, tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. Keluarnya Surat Keputusan ini memberi titik terang baru dalam perencanaan dan pembangunan kota di Indonesia. Surat Keputusan Bersama ini bersifat dualistis mengingat Ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dimana Kepala Daerah ditetapkan penguasa tunggal di daerahnya. Tetapi mengingat perencanaan dan pemanfaatan kota makin beragam, maka dapat dimengerti pengikutsertaan Departemen Pekerjaan Umum secara formal, karena pada dasarnya di samping Dinas Penataan Ruang setempat, Departemen Pekerjaan Umum adalah yang paling banyak terlibat secara langsung. Pada intinya Surat Keputusan Bersama ini lebih lengkap dan rinci dibanding dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun Dalam Surat Keputusan Bersama dirumuskan ketentuan yang lebih jelas mengenai pembagian tugas Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum dalam perencanaan kota. Ketentuan mengenai rencana pengembangan tata ruang nasional, yang antara lain menetapkan bahwa tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat terdapat pula

82 66 dalam TAP MPR Nomor 1/MPR/1988 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Rencana tata ruang dan tata guna tanah secara nasional perlu terus dikembangkan sehingga pemanfaatan tanah dapat dikoordinasikan antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan. Analisis spesifik di lapang menunjukkan bahwa pelaksanaan kegiatan penyusunan RTRW Kota Bogor mengacu kepada peraturan dan ketentuan teknis tentang penyusunan rencana kota, antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. 5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. 9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1987 tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah. 10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. 11. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 134 Tahun 1998 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang RTRW Provinsi dan RTRW Daerah Tingkat II. 12. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang di Daerah.

83 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 378/KPTS/1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan. 15. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. 16. Perda Nomor 11 Tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Dati II Bogor. Berbeda halnya dengan aturan turunannya, yakni RDTRK mengacu pada peraturan dan ketentuan tentang penyusunan rencana kota, sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat. 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). 8. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan. 10. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota. 11. Perda Nomor 11 tahun 1995 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kotamadya Dati II Bogor. Rumusan dasar kebijakan penataan ruang yang diuraikan di atas, mengandung pengertian bahwa demi kepentingan keselarasan pembangunan, maka rencana tata ruang kota tidak boleh bertentangan dengan acuan pemanfaatan

84 68 tata ruang yang telah disusun oleh pemerintahan provinsi dan rencana umum tata ruang nasional yang dirancang oleh pemerintahan pusat. Setelah Undang-Undang Otonomi Daerah diberlakukan (UU Nomor 32 /2004 jo 22/99), penyelarasan tersebut tidak dijamin secara top down, sehingga pemerintahan pusat tidak memiliki rentang kendali yang kuat. Hal ini karena telah terbukanya kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan dan menikmati otonomi pemerintahan. 6.2 Asas dan Tujuan Kebijakan Penataan Ruang Ruang merupakan sesuatu yang bersifat dinamis dimana ruang setiap waktunya berubah akibat proses alam dan tindakan manusia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengaturan pemanfaatan dan penggunaan ruang. Kebijakan penataan ruang bertujuan menelurkan produk kebijakan yang nantinya berfungsi untuk membagi ruang yang ada dalam suatu wilayah menjadi bagian-bagian tertentu, seperti permukiman, tempat perdagangan (pasar), industri khusus daerah perkotaan, lokasi pertanian, dan juga ruang tebuka hijau. Selanjutnya kebijakan penataan ruang merupakan bentuk pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, pengaturan dan penetapan kriteria-kriteria teknik, tata cara penyusunan, tata cara penetapan kriteria teknik, tata cara penyusunan, tata cara peninjauan kembali, dan pemanfaatan rencana-rencana tata ruang kota, dan perencanaan persediaan peruntukkan dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang di dalamnya juga mengatur asas dan tujuan dari diadakannya penataan ruang. Oleh karena itu, asas dan tujuan penataan ruang dapat dilihat sebagai berikut: a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. b. Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Asas dan tujuan penataan ruang berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam penataan ruang. Dengan demikian, hak dan kewajiban terhadap penataan ruang dinyatakan sebagai berikut: a. Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang, termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.

85 69 b. Setiap orang berhak mengetahui rencana tata ruang, berperan serta dalam penyusunan tata ruang, dan pengendalian tata ruang. c. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Pengkajian di lapang menemukan penjelasan bahwa sejalan dengan asas dan tujuan penataan ruang di atas, secara spesifik tujuan penataan ruang tersebut juga berkaitan dengan perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang merupakan kegiatan menentukan rencana lokasi berbagai kegiatan dalam ruang agar memenuhi berbagai kebutuhan manusia dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Kegiatan untuk memanfaatkan sumberdaya alam akan mempersoalkan cara pengambilannya dari alam. Oleh karena itu, dalam perencanaan tata ruang menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Keseimbangan, keselarasan, keseimbangan fungsi budidaya, fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertanahan keamanan. b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi, dan estetika lingkungan serta kualitas ruang. Bentuk perencanaan penataan ruang tersebut dapat diterjemahkan melalui RTRW dan RDTRK. Adapun tujuan dari RTRW dan RDTRK adalah sebagai berikut: Tujuan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun : a. Meningkatkan fungsi dan peranan Kota Bogor dalam konteks dan konstelasi regional serta mampu berfungsi sebagai sub pusat dalam sistem pengembangan regional (Tingkat Provinsi dan Jabotabek). b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota. c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan, dengan mengembangkan fasilitas, sarana maupun prasarana yang merupakan

86 70 upaya pemanfaatan ruang secara optimal. Hal ini tercermin dalam penentuan jenjang pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota. d. Memberikan kepastian hukum dalam hal pemanfaatan ruang yang merangsang partisipasi investor dalam mengembangkan potensi yang ada. e. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian, pengawasan, dan perencanaan pembangunan fisik kota baik kualitas maupun kuantitasnya. f. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) di setiap kecamatan untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan ruang. Tujuan Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Tahun , antara lain adalah: a. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang pada prinsipnya merupakan upaya dalam menciptakan keserasian dan keseimbangan fungsi dan intensitas penggunaan ruang bagian-bagian wilayah kota atau satu bagian wilayah kota. b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya, yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota pada umumnya dan bagian wilayah kota pada khususnya. c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan yang merupakan upaya pemanfaatan ruang secara optimal, yang tercermin dalam penentuan jenjang fungsi pelayanan kegiatan-kegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota. d. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian, pengawasan, dan pelaksanaan pembangunan fisik untuk masing-masing bagian wilayah kota secara terukur baik kualitas maupun kuantitasnya. e. Membantu penetapan prioritas pengembangan kota dan memudahkan penyusunan rencana teknik ruang kota pada kawasan tertentu untuk dijadikan pedoman bagi tertib pengaturan secara rinci.

87 71 f. Membantu penetapan kawasan-kawasan tertentu untuk disusun pola rencana teknik ruang kota yang mampu dijadikan pedoman bagi tertib pembangunan dan tertib pengaturan ruang secara terinci. 6.3 Ikhtisar Karakteristik wilayah dan potensi antar kota-kota di Indonesia memiliki perbedaan. Oleh karena itu, diperlukan kebijaksanaan penataan ruang yang disesuaikan dengan potensi yang ada. Berkaitan dengan hal tersebut, Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang Kota yang selanjutnya disingkat RTRW dan RDTRK merupakan produk kebijakan penataan ruang. Dasar utama yang digunakan sebagai landasan dibentuknya RTRW dan RDTRK adalah bersumber pada amandemen UUD 1945, UUPA Nomor 5 Tahun 1960, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun Lebih jauh aturan dasar turunannya saling melengkapi. Adapun, asas dan tujuan penataan ruang, antara lain: 1) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; 2) Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.

88 72 BAB VII ASPEK-ASPEK YANG MEMBERIKAN PELUANG TERJADINYA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DARI SUDUT KEBIJAKAN PENATAAN RUANG 7.1 Pada Tingkat Pelaksana Penataan ruang menurut Departemen Pekerjaan Umum (Direktorat Jenderal Penataan Ruang) Kota Bogor terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1. Perencanaan tata ruang, yang dibedakan atas rencana tata ruang wilayah. 2. Pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. 3. Pengendalian pemanfaatan ruang, yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya Perencanaan Tata Ruang Perencanaan tata ruang Kota Bogor merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam hal merumuskan dan menetapkan manfaat ruang dalam kaitannya dengan hubungan antara berbagai manfaat ruang, berdasarkan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bogor. Rencana Tata Ruang bukanlah akhir dari proses tetapi awal dari proses pengaturan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Berkaitan dengan itu, perencanaan dalam lingkup ruang Kota Bogor dibuat berdasarkan pengertian ruang relasi, yakni dengan melibatkan unsur-unsur yang memiliki relasi satu sama lain dan saling berinteraksi, antara lain pemerintah, swasta, dan masyarakat. Rencana tata ruang Kota Bogor dijadikan sebagai wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor): Rencana tata ruang Bogor merupakan pengaturan tersistem baik untuk pemanfaatan ruang maupun pola pemanfaatan ruang.

89 73 Hubungan perencanaan pembangunan dengan rencana tata ruang dapat dijelaskan dengan cara memahami masuknya babak Otonomi Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Isi peraturan tersebut adalah daerah diberi kewenangan yang luas dalam mengatur, membagi, dan memanfaatkan sumberdaya. Pengertian yang tersirat dalam aturan ini antara lain, dengan adanya otonomi daerah maka tidak lagi dikenal rencana 'dari atas' atau 'dari bawah' karena setiap rencana dibangun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing dan diserasikan dengan rencana dari daerah lain. Karena tata ruang merupakan kerangka yang menetapkan peluang dan batasan bagi kegiatan pembangunan, seharusnya rencana pembangunan didahului oleh perencanaan tata ruang yang berkeadilan. Hal ini menunjukkan adanya sikap ego sentralistik dari pemerintah dan elit yang memiliki kewenangan Isi dan Arahan RTRW Pengembangan tata ruang Kota Bogor tidak terlepas dari pengaruh kebijaksanaan pengembangan tata ruang regional yang secara langsung akan berdampak pada perkembangan Kota Bogor. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor dipahami sebagai bentuk perwujudan kebijakan penataan ruang agar dapat dilaksanakan secara real. Di dalam RTRW Tahun terdapat pengertian RTRW, yakni rencana pembangunan kota yang berisikan rencana pengembangan tata ruang kota yang optimal serta disusun secara menyeluruh dan terpadu dengan menganalisis segala aspek dan faktor pengembangan kota. Hal ini mengandung pengertian bahwa, sebelum RTRW dibuat perlu diketahui terlebih dahulu berbagai kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah yang direncanakan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam pembuatan RTRW, pencarian informasi tentang kebutuhan masyarakat hanya dilakukan secara makro dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat kecil terutama petani. Hal ini dapat dipahami dari informasi yang diberikan oleh Bapak RAB (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):

90 74 Dalam pembuatan RTRW, Dinas Penataan Ruang mengundang sejumlah elemen kepentingan, yang terdiri dari akademisi, LSM, Swasta, LPM, dan Pegawai Kelurahan saja. Pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan dasar menciptakan suatu pembangunan sektoral yang bertujuan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan di Kota Bogor. Hal ini terkait dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa sumberdaya agraria yang ada di suatu daerah akan berbeda dengan daerah lainnya, ini mengandung pengertian bahwa suatu daerah mempunyai potensi khasnya sendiri yang perlu dikembangkan. Selain itu, RTRW dibuat untuk menghindari kemungkinan terjadinya konflik atau tumpang tindih pemanfaatan ruang antar sektor-sektor yang berkepentingan dan dampak yang dapat merugikan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Ibu ARD (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor): Sebenarnya RTRW Kota Bogor dibuat untuk menciptakan pembangunan berbagai sektor yang efisien karena setiap daerah punya potensinya sendiri. Selain itu, bertujuan untuk menghindari tumpang tindih lahan yang bisa berdampak terciptanya konflik. Penyusunan RTRW Kota Bogor juga difokuskan pada tiga perumusan yang bertujuan mendorong fungsi kota, yakni: 1. Kota Bogor diarahkan sebagai Kota Hierarki II A dengan kegiatan utamanya adalah permukiman dan perdagangan regional yang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya. 2. Kota Bogor termasuk kota yang dilalui oleh pengembangan jalan toll Bogor- Sukabumi-Padalarang. 3. Pengaktifan kembali jalur kereta api pada jalur Bandung-Cianjur-Sukabumi- Bogor-Jakarta. Tiga perumusan yang diuraikan di atas pada intinya menjelaskan Kota Bogor sebagai pusat pertumbuhan wilayah dan berupaya meningkatkan penyelenggaraan pengelolaan perkotaan oleh pelaku lokal (pemerintah daerah dan masyarakat) sesuai dengan semangat otonomi daerah. Di sini terlihat bahwa, pemerintah daerah Kota Bogor memperhatikan besaran potensi dan keterkaitan yang saling menguntungkan dengan kawasan sekitarnya. Hal ini sesuai dengan

91 75 pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor) : Kota Bogor memiliki interaksi yang kuat dengan wilayah sekitarnya dan terdapat fenomena perkembangan wilayah perkotaan yang cukup pesat dalam skala Kota Bogor. Bukan hanya dimaksudkan sebagai ikatan atau penggabungan menjadi satu kawasan akan tetapi merupakan rangkaian jejaring yang saling memberikan manfaat dan saling menguatkan. Selain itu, merupakan unit kota utama (the primary urban unit) agar bisa berintegrasi dengan ekonomi global. Perihal penggolongan penggunaan lahan, Kota Bogor digolongkan ke dalam penggunaan lahan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, dimana tidak memanfaatkan potensi alaminya tetapi lebih ditentukan oleh adanya hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaanpenggunaan lain yang telah ada, diantaranya disesuaikan dengan ketersediaan prasarana dan fasilitas umum lainnya. Sementara itu, berkaitan dengan cakupan wilayah Kota Bogor, maka tata guna lahannya pun temasuk dalam konteks perkotaan, yakni sesuai dengan cirinya memiliki penduduk yang padat, rumahrumahnya berkelompok, dan mata pencaharian penduduknya beragam tidak hanya di bidang pertanian (bersifat self container atau serba lengkap). Berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976, maka Kota Bogor dijadikan sebagai salah satu kota yang mempunyai kedudukan strategis pada tata ruang nasional. Dijadikannya Kota Bogor sebagai pusat perkembangan dan pertumbuhan perekonomian mengakibatkan sumber agraria tanah di wilayah tersebut pun dalam perencanaan pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor non-pertanian. Pusat kegiatan yang diarahkan dalam RTRW Kota Bogor antara lain perdagangan dan jasa, permukiman, industri, pariwisata, dengan skala pelayanan nasional, internasinal, dan regional. Untuk lebih mengetahui perencanaan penggunaan lahan dalam RTRW, maka disajikan dalam tabel berikut ini:

92 76 Tabel 6 Rencana Penggunaan Lahan di Kota Bogor Tahun No. Jenis Penggunaan RUTR EKSISTING RTRW (PERDA 11/1995) Tahun 2005 Tahun 1998 Tahun 2009 Luas (ha) Presentase (%) Luas (ha) Presenta se Luas (ha) Presentase (%) (%) 1. PERMUKIMAN 8.214,82 69, ,15 69, ,89 73,77 -Perumahan 8.146,24 68, ,66 69, ,53 71,95 -Pendidikan ,45 53,46 0,45 178,11 1,50 -Kesehatan 12,54 0,11 12,71 0,11 27,67 0,23 -Peribadatan 3,28 0,03 3,32 0,03 9,58 0,08 2. TPA SAMPAH 10,00 0,08 9,21 0, KOLAM 7,50 0,06 1,50 0,01 1,50 0, 01 OKSIDASI 4. PERTANIAN 1.055,91 8, ,66 10,5 249,21 2,10 5. KEBUN 79,93 0,67 98,55 0,83 35,30 0,30 CAMPURAN 6. INDUSTRI 96,35 0,81 115,03 0,97 167,96 1,42 7. PERDAGANGAN 381,99 3,22 416,81 3,52 437,41 3,69 DAN JASA 8. PERKANTORAN/ 127,20 1,07 85,28 0,72 90,27 0,76 PEMERINTAHAN 9. HUTAN KOTA 141,50 1,19 141,50 1,19 141,50 1, TAMAN/LAPANG 323,36 2,73 250,48 2,11 342,33 2,89 AN OLAHRAGA 11. KUBURAN 318,45 2,69 299,28 2,53 305,96 2, SUNGAI/SITU/DA 342,07 2,89 342,07 2,89 342,07 2,89 NAU 13. JALAN 714,82 6,03 629,37 5,31 946,00 7, TERMINAL DAN 21,75 0,18 1,51 0,01 31,00 0,26 SUB TERMINAL 15. STASIUN 5,60 0,05 5,60 0,05 7,60 0,06 KERETA API 16. RPH DAN PASAR HEWAN 8,75 0, ,00 0,08 JUMLAH ,0 100, ,0 100, ,0 100,00 Sumber: Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor (1998) Terlihat pada Tabel 6, alokasi rencana penggunaan lahan pada tahun 2009 untuk kawasan pertanian hanya seluas 249,21 hektar (2,10%). Sedangkan untuk perumahan mencapai luasan 8.526,53 hektar (71,95%). Hal ini menunjukkan bahwa rencana penggunaan lahan dari perbandingan tahun 1998, 2005, dan 2009 untuk kawasan pertanian makin lama makin menurun. Sementara untuk kawasan perumahan sempat menurun pada tahun 2005 dan meningkat relatif tajam pada tahun Rencana alokasi peruntukkan ruang ini dapat memacu terjadinya alih fungsi lahan pertanian.

93 Isi dan Arahan RDTRK RDTRK yang diuraikan dalam tulisan ini hanya mencakup perwilayahan Bogor Selatan. Wilayah Bogor Selatan dalam perencanaannya diarahkan sebagai kota Satelit I. Faktor yang menentukan karakteristik perencanaan penggunaan lahan di Bogor Selatan adalah faktor sosial dan kependudukan. Faktor sosial ini berkaitan erat dengan peruntukkan lahan bagi permukiman secara luas, yakni mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses terhadap sarana dan prasarana kehidupan. Hal ini dipahami karena di Kota Bogor terdapat kegiatan permukiman yang meningkat, pergerakan penduduk meningkat (merupakan tempat para komuter bermukim), kebutuhan lahan perumahan meningkat, dan memiliki interaksi sangat kuat dengan Jakarta, Depok, Tanggerang, Bekasi, dan Cianjur. Faktor kependudukan berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk tiap tahunnya. Berdasarkan analisa data yang didapat di Dinas Penataan Ruang Kota Bogor, pada tahun 2009 jumlah penduduk di Bogor Selatan diperkirakan mencapai jiwa, dengan kepadatannya 53 jiwa per hektar. Faktor ekonomi dan pembangunan sementara itu, tidak kentara di perencanaan pembangunan perwilayahan Bogor Selatan. Hal ini terlihat dari tidak adanya penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian. Selain itu, dalam RDTRK juga dijelaskan bahwa mengingat perkembangan fisik di lapangan maka daerah pertanian teknis, non teknis, lahan kering, dan kebun campuran dapat dialihfungsikan untuk pembangunan. Hal ini mengindikasikan sudah tidak ada lagi perlindungan terhadap lahan pertanian. Sehingga, lebih jauh dapat memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Dinas Penataan Ruang Kota Bogor menemukan fakta terkait dengan kondisi di perwilayahan Kelurahan Mulyaharja. Fakta tersebut antara lain Kelurahan Mulyaharja dikategorikan sebagai wilayah yang kurang teratur, yakni memiliki sarana jalan yang kurang atau sempit, susunan dan mutu rumahnya hampir sama dengan desa, dan tidak mempunyai sistem atau jaringan jalan yang teratur. Rencana tata guna lahan di Kelurahan Mulyaharja, Bogor Selatan dalam RDTRK dimasukkan pada Sub Bagian Wilayah Kota (Sub BWK) B (lihat lampiran 10). Dimana perencanaan tata guna lahannya diarahkan sebagai kawasan

94 78 perumahan atau permukiman, subterminal, dan kawasan perdagangan skala lokal. Arahan ini dilakukan pemerintah daerah sebagai langkah untuk melakukan pengembangan dan pembangunan perwilayahan. Hasil pengkajian lapang menunjukkan bahwa terdapat dominasi arahan pengembangan dan pembangunan di Kecamatan Bogor Selatan, yakni adanya arahan perencanaan wilayah tersebut sebagai kawasan pembangunan dan pengembangan perumahan baru dengan KDB rendah (50%-60%). Pengembangan kegiatan perumahan diarahkan terutama untuk peningkatan kualitas lingkungan permukiman serta terpenuhinya kebutuhan perumahan di Kota Bogor secara keseluruhan. Pelaksanaan arahan pembangunan perumahan dapat dilakukan baik oleh pengembang maupun pemerintah. Hal ini juga dimaksudkan untuk dapat membangkitkan dan memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan wilayah. Melihat arahan pengembangan dan pembangunan RDTRK seperti ini, maka PT. A dengan jeli melihat peluang keuntungan. PT. A berusaha masuk ke wilayah Bogor Selatan, yakni Kampung Cibereum Sunting untuk melakukan ekspansi akumulasi modal dengan melakukan pembangunan dan pengembangan areal kompleks perumahan baru. Pada prakteknya di lapangan, terjadi banyak kejanggalan seakan-akan real estate hanya memberi keuntungan pada pemerintah daerah Kota Bogor dan PT. A, serta secara langsung dan tidak langgsung menggusur lahan pertanian para petani. Kondisi ini menyebabkan luasan lahan pertanian menjadi berkurang. Keuntungan bagi pemerintah daerah Kota Bogor secara khusus adalah terpenuhinya kebutuhan rumah untuk setiap rumah tangga, terbentuknya lingkungan perumahan yang layak dan nyaman bagi hunian, yang memiliki tingkat kemudahan yang memadai sebagai subsistem kota secara keseluruhan, sebagai faktor utama dalam mewujudkan pola penyebaran dan kepadatan penduduk sesuai dengan arah perkembangan kota, dan faktor penunjang bagi kepadatan lainnya dalam kaitannya dengan penyebaran tempat kerja dan fasilitas umum.

95 79 Terkait dengan tata guna lahan, melihat keuntungan-keuntungan yang diperjuangkan oleh masing-masing pihak tersirat nilai spesifik tanah di dalamnya, yakni (secara rinci telah dijelaskan dalam Bab 5): 1. Bagi PT. A: Lahan dikategorikan sebagai nilai keuntungan, dimana terdapat tujuan ekonomi dan dapat dicapai dengan jual beli lahan di Kampung Cibereum Sunting. 2. Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor: Lahan dikategorikan sebagai nilai kepentingan umum yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. 3. Bagi Petani: Lahan dikategorikan sebagai nilai sosial dimana kehidupan sosial antara petani terikat di dalamnya, yakni adanya perilaku yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan Pelaksanaan Ruang Aspek pelaksanaan merupakan salah satu aspek penting dalam suatu rencana di samping aspek-aspek lainnya. Pelaksanaan ruang juga dapat dipahami sebagai perwujudan tata ruang yang berarti kegiatan di lapangan untuk menetapkan bagian-bagian ruang yang diperlukan untuk berbagai kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang. Selain itu, aspek pelaksanaan juga merupakan suatu tolak ukur untuk menilai bahwa suatu rencana tersebut dapat dipahami dan diterapkan. Bentuk kegiatan pelaksanaan penataan ruang antara lain juga berbentuk kegiatan pematokan di lapangan untuk menunjukkan batas-batas ruang terkait pemanfaatan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perwujudan tata ruang belum tampak adanya wujud kegiatan serta bangunan-bangunan di lapangan sebab yang ditata baru alokasi tempat-tempat yang akan diisi dengan kegiatan serta sarana dan prasarananya yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):

96 80 pelaksanaan ruang itu juga dapat dikatakan sebagai perwujudan tata ruang, yang dalam prosesnya ditetapkan peruntukkan bagian-bagian ruangnya. Nah, kalau perwujudan tata ruang itu masih belum terlihat bentuk kegiatannya. Yah, yang ditata baru tempat-tempat yang akan diisi saja. Terkait dengan kewajiban pemerintah dalam penataan ruang, maka pemerintah wajib mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat dan mendengarkan masukan, saran atau keberatan yang diajukan masyarakat atas rencana tata ruang tersebut. Agar masukan, saran, dan keberatan masyarakat itu bersifat rasional dan beralasan, pemerintah juga wajib menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, pengertian, dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan latihan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan perencanaan tata ruang terdapat upaya pembinaan ruang, yakni dalam rangka memantapkan pelaksanaan penataan ruang. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Bogor adalah dalam dua bentuk. Pertama, sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan untuk memberikan dan meyebarluaskan informasi terkait dengan rencana penataan ruang yang ditetapkan di tiap-tiap pembangunan perwilayahan Kota Bogor. Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Dinas Penataan Ruang dirasa belum efektif dan kurang menyentuh masyarakat luas. Hal ini dipahami karena sosialisasi yang dilakukan hanya kepada kepada segelintir staf kelurahan di masing-masing perwilayahan dan dilakukan di keramaian umum (pusat perbelanjaan atau mall). Adapun sosialisasi yang dilakukan di pusat perbelanjaan atau mall dapat dilihat dalam gambar berikut ini: Gambar 5 Sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Pusat Perbelanjaan (mal) Sumber: Dinas Penataan Ruang (2007)

97 81 Sosialisasi yang dilakukan kepada staf kelurahan, kurang mengena dan tidak menimbulkan motivasi untuk menyebarkan informasi mengenai RTRW dan RDTRK kepada masarakat lain (terutama petani). Sementara itu, sosialisasi yang dilakukan di keramaian umum seperti di pusat perbelanjaan atau mal dirasa kurang efektif. Hal ini karena, fokus masyarakat yang datang ke pusat perbelanjaan atau mall adalah belanja sehingga informasi di luar itu kurang atau bahkan tidak terperhatikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa responden: Sosialisasi yang dilakukan tentang RTRW kurang menarik, dan sulit dipahami oleh masyarakat terutama para petani. Jadi, percuma saja ngasih tahu kepada mereka. (Bapak UJG, Perangkat Kelurahan Mulyaharja) Dinas Penataan Ruang kurang menekankan keharusan bagi peserta sosialisasi untuk menyampaikan mengenai RTRW kepada berbagai pihak. Serta tidak ada ketentuan sanksi yang diberikan bagi peserta jika tidak menyampaikan informasi tersebut.(bapak BEN, Perangkat Kelurahan Mulyaharja) Kedua, menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan. Pembinaan dalam bentuk ini belum dilakukan oleh pihak pelaksana. Mereka beralasan, program pembinaan ini dirasa belum bersifat mendesak, yakni tidak perlu segera dilaksanakan. Sejauh ini, meskipun program tersebut tidak dilaksanakan tidak membawa dampak yang besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang Kota Bogor):..Dinas Penataan Ruang belum merasa perlu untuk melakukan kegiatan penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan terkait dengan mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. Karena, belum mendesak untuk dilakukan. Seharusnya, mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terutama petani melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan adalah penting. Hal ini dapat membantu para petani untuk mempertahankan lahan pertanian mereka. Paling tidak bila kegiatan penyuluhan, bimbingan, pendidikan dan pelatihan dilakukan, para petani mendapatkan informasi akurat terkait dengan

98 82 RTRW dan RDTRK. Sehingga dengan sendirinya, dapat mengetahui mekanisme apa yang dapat dilakukan untuk mempertahankan lahan pertanian mereka jika ada pihak yang ingin memaksa untuk membeli lahan dengan bentuk penggunaan tertentu seperti pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan baru. Pelaksanaan penataan ruang Kota Bogor yang dapat disoroti secara spesifik adalah mengacu pada ketersediaan dana pembangunan. Sumber pembiayaan pelaksanaan penataan ruang berasal dari pemerintah daerah Kota Bogor, swasta, dan masyarakat. Dari ketiga sumber pembiayaan ini dana terbesar bagi pembiayaan pembangunan berasal dari pemerintah. Meskipun begitu, sumber pembiayaan yang terbesar terkait dengan pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan adalah dari pihak swasta. Aturan yang menjelaskan diperbolehkannya sumber pembiayaan pembangunan dan pengembangan kota oleh PT. A sebagai swasta, memberikan peluang bagi PT. A untuk melakukan kapitalisme besar-besaran. Dengan alasan ikut serta dalam upaya pelaksanaan penataan ruang, PT. A mendapatkan keleluasaan untuk melakukan akumulasi modal dan meningkatkan surplus ekonomi. Akibatnya, lahan pertanian tergasak menjadi kompleks perumahan baru yang dibangun oleh PT. A. Adapun kekuatan lain yang membantu PT. A dalam menjalankan pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan baru, yakni adanya Peraturan Pemerintah Nomor 80/1999. Peraturan tersebut menjelaskan tentang kawasan siap bangun. Selain itu, diperkuat pula oleh kebijakan strategi nasional perumahan dan permukiman (KSNPP) yang menjelaskan bahwa perumahan dan permukiman tidak dapat terpisahkan dari ruang yang harus dimanfaatkan, terkait dengan penyediaan prasarana dan sarana (utilitas umum). Alokasi ruang terbesar yang ada di Kampung Cibereum Sunting disetujui dalam pelaksanaannya untuk dimanfaatkan sebagai kawasan usaha PT. A yang bersangkutan, yakni pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan. Hal ini sesuai dengan fakta yang didapat peneliti di lapangan, bahwa di Kampung Cibereum Sunting hampir sebagian besar lahan pertaniannya berubah menjadi kompleks perumahan. Terlihat di sini bahwa pelaksanaan penataan ruang di Kampung Cibereum Sunting yang telah diatur dalam RTRW dan RDTRK dilakukan oleh pihak swasta (PT. A). Pada intinya, bukan hanya RTRW dan RDTRK-nya saja diperuntukkan sebagai

99 83 wilayah permukiman melainkan sudah terlaksana pembangunan kompleks perumahan elit di wilayah tersebut Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sejak dikeluarkannya Undang-Undang 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, undang-undang ini menjadi rujukan utama bagi penataan ruang di Indonesia. Namun, pada kenyataannya regulasi ini menyimpan permasalahan, yakni pembahasan mengenai pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang tidak diuraikan secara rinci. Hal ini dapat memicu ketiadaan pegangan dalam implementasi pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang. Kemudian, terkait dengan perwujudan rencana tata ruang (RTRW dan RDTRK) mengalami kendala dalam implementasinya. Tata ruang seringkali berubah menjadi tata uang. Melihat fenomena yang ada, Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dibuat sebagai bentuk revisi Undang-Undang 24 Tahun Dalam undang-undang ini sudah mulai diberlakukan mekanisme pengendalian ruang. Terkait dengan Undang-Undang 26 Tahun 2007, pengendalian dalam hubungannya dengan rencana tata ruang kota adalah terkait dengan mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Produk pengedalian dalam hubungannya dengan penataan ruang adalah izin lokasi, surat keterangan pemanfaatan ruang, izin mendirikan bangunan, dan izin penggunaan bangunan. Bagian mengenai izin lokasi dan surat keterangan pemanfaatan ruang tersebut akan dijelaskan lebih rinci karena sangat terkait dengan aspek yang memberikan peluang alih fungsi lahan pertanian, antara lain sebagai berikut: Izin Lokasi Izin lokasi adalah izin yang diberikan pemerintah daerah kepada perusahaan (pengembang) dalam rangka penanaman modal. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pemberian izin lokasi sebagian besar mengacu kepada ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yakni berupa Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Agraria/Ketua BPN. Selain itu, terdapat juga

100 84 peraturan yang berasal dari peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh Wali Kota. Adapun secara rinci dijelaskan sebagai berikut: 1. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 mengenai izin lokasi. Menurut penuturan pegawai pemerintahan, sebelum keluarnya Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 mengenai izin lokasi, proses perizinan lokasi diatur oleh Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 dikeluarkan sebagai bentuk respon adanya permasalahan terkait dengan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993, yakni dengan turunnya aturan mengenai otonomi daerah, walikota sebagai penguasa wilayah merasa terlangkahi dengan adanya aturan keharusan merekomodir ke kepala kantor pertanahan yang notabenenya hanya tingkat eselon III walaupun masih termasuk aparat pemerintah pusat di daerah. Hal ini dapat dipahami dengan melihat perbedaan pelimpahan wewenang yang terdapat pada isi peraturan-peraturan tersebut. Dalam Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993, dijelaskan mengenai wewenang pemberian izin lokasi berada di bawah kantor Badan Pertanahan Nasional. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999, wewenang pemberian izin lokasi berada di bawah kabupaten/kota. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak BRD (Kantor Pertanahan, Kota Bogor): Turunnya aturan tentang otonomi daerah, membuat walikota merasa menjadi penguasa. Oleh karena, kewenangan pemberian izin lokasi berada di bawah kantor pertanahan (dalam Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 1993) maka hal itu menjadi masalah. Walikota merasa terlangkahi oleh Kantor Pertanahan yang hanya eselon III. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 ini merupakan dasar hukum utama yang dipakai terkait dengan pemberian izin lokasi yang berkaitan dengan kegiatan usaha komersial, seperti pembangunan perumahan atau industri. Peraturan ini memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai izin lokasi, antara lain yang menyangkut pengertian izin lokasi, isi izin lokasi, kapan izin lokasi diperlukan, hak dan kewajiban pemegang izin lokasi, dan hak serta perlindungan pihak-pihak yang mempunyai

101 85 kepentingan atas tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi terutama para pemegang hak atas tanah. Tanah yang ditunjuk dalam izin lokasi adalah tanah yang menurut RTRW dan RDTRK memang diperuntukkan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Izin ini merupakan izin pemindahan hak atas tanah sehingga dalam prakteknya pemegang izin lokasi juga memperoleh izin untuk melakukan usaha pembebasan tanah dalam areal tersebut. Ini mengindikasikan pengusaha dapat melakukan pembebasan tanah sendiri dengan bekal legalitas dari pemerintah. Pada prakteknya, PT. A melakukan proses pembebasan tanah dengan berusaha menekan petani melalui bantuan biong. Biong adalah orang yang memperoleh keuntungan dengan bekerja sama dengan PT. A. Biong melakukan berbagai cara untuk menekan petani agar mau menjual lahannya kepada PT. A, seperti terus mendatangi rumah petani dan membujuk para petani, bahkan bila itu tidak berhasil para biong cenderung memaksa dengan cara mengancam petani. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. AJH (Petani): PT. A teh pada kerja sami sareung biong pikeun ngabujuk wargi biar ngaical lahan tanina. Sapopoe teh biong nyamperan ka imah abdi wae, laun-laun teh janteun maksa. Akhirna, abdi teh risih oge jeung akhirna mah nga jual lahan. PT. A melakukan kerja sama dengan biong untuk membujuk warga agar menjual lahan taninya. Setiap hari biong mendatangi terus menerus ke rumah, lama-lama jadi memaksa. Akhirnya, saya merasa risih dan akhirnya menjual lahan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam hal proses pembebasan lahan di Kampung Cibereum Sunting. Padahal pada pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 telah dijelaskan, bahwa pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki masyarakat. Hal ini menunjukkan celah, bahwa pengawasan terhadap

102 86 pelaksanaan pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 tidak dilakukan secara optimal. Akibatnya, PT. A dapat memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan dari para petani dengan berusaha mencari cara agar petani menjual lahannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. NDN (Dinas Cipta Karya, Kota Bogor): pengawasan secara mendetail terhadap proses pembebasan lahan memang belum dilakukan. Hal ini terbentur oleh kurangnya sumberdaya manusia dan dana. Adapun prosedur ideal permohonan izin lokasi, antara lain dijelaskan sebagai berikut: Gambar 6 Prosedur Ideal Permohonan Izin Lokasi Pemohon Kantor Pertanahan Walikota/Bupati/Gubernur di DKI Mengajukan Permohonan Menerima Permohonan Rapat Koordinasi dengan Instansi terkait Pemeriksaan Kelengkapan dan pemenuhan syarat-syarat koordinasi dan minta data pendukung instansi terkait Keputusan ditolak 1. Surat Persetujuan PMD > Surat Persetujuan Penanaman Modal PMA > Surat Pemberitahuan Persetujuan 2. Surat Persetujuan Pencadangan Tanah (Lihat Prosedur) 3. Biaya Admnistrasi Bahan-bahan untuk rapat koordinasi Konsultasi dengan masyarakat soal rencana penggunaan tanah untuk investigasi dan ganti rugi SK Izin Lokasi diterima Proses Pembebasan Tanah (Kepres No. 55 Tahun 1993 Keputusan Masyarakat Tidak Setuju Mencari Alternatif Sumber: Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999

103 87 Adapun mekanisme penyimpangan terkait permohonan izin lokasi untuk kegiatan usaha komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting, antara lain dijelaskan sebagai berikut: Gambar 7 Mekanisme Penyimpangan Terkait Permohonan Izin Lokasi untuk Kegiatan Usaha Komersial PT. A di Kampung Cibereum Sunting Pemohon Kantor Pertanahan Walikota/Bupati/Gubernur di DKI PT. A Mengajukan Permohonan 1. Surat Persetujuan PMD > Surat Persetujuan Penanaman Modal PMA > Surat Pemberitahuan Persetujuan 2. Surat Persetujuan Pencadangan Tanah 3. Biaya Admnistrasi Proses Pembebasan Tanah (Kepres Nomor 55 Tahun 1993) Ideal: Pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki masyarakat. Proses Nyata: PT. A melaksanakan pembebasan tanah dengan bantuan biong. Pada prakteknya, para biong cenderung memaksa petani Menerima Permohonan Pemeriksaan Kelengkapan dan pemenuhan syarat-syarat koordinasi dan minta data pendukung instansi terkait Bahan-bahan untuk rapat koordinasi Ideal: Konsultasi dengan masyarakat soal rencana penggunaan tanah untuk investigasi dan ganti rugi. Proses Nyata: Konsultasi dengan masyarakat soal rencana penggunaan tanah untuk investigasi dan ganti rugi, belum dilakukan secara intensif terhadap masyarakat tani yang lahannya terkena plotan kompleks perumahan. konsultasi dengan masyarakat hanya berkutat pada kelompok elit yang mata pencaharian utamanya bukan berasal dari pertanian. Keputusan Masyarakat Rapat Koordinasi dengan Instansi terkait. Ideal: Rapat koordinasi dihadiri oleh seluruh instansi yang tergabung dalam Tim 9. Proses Nyata: Rapat koordinasi hanya dihadiri oleh sebagian instansi yang tergabung dalam Tim 9. Keputusan SK Izin Lokasi diterima Keterangan: Menunjukkan adanya penyimpangan Menunjukkan tidak terdapat penyimpangan Sumber: Hasil analisis yang dilakukan peneliti (2009)

104 88 Terkait dengan Gambar 7, PT. A dalam mengajukan permohonan pemanfaatan tanah yang berkaitan dengan usaha komersial, yakni pembangunan dan pengembangan kompleks perumahan, juga melalui mekanisme izin lokasi. Hal ini diungkapkan oleh Bapak EDY (Tata Pemerintahan, Kota Bogor): PT. A sebelum bangun kompleks perumahan, melewati proses mengajukan permohonan untuk memperoleh izin lokasi sebelum mengurus hak formal atas tanahnya. Hasil pengkajian di lapang menunjukkan bahwa dalam pembebasan lahan, kondisi alam Kampung Cibereum Sunting tidak diperiksa terlebih dahulu oleh dinas-dinas terkait yang tergabung dalam Tim 9 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak B (perangkat Kelurahan Mulyaharja): Sateuacan dibebaskeun taneuh teh, teu aya pihak dinas anu mantau kondisi alam Kampung Cibereum Sunting. Ujug-ujug geus kaluar surat izin wae nu dicepeung PT. A. Sebelum dibebaskan tanah tersebut, tidak ada pihak dinas yang memantau kondisi alam Kampung Cibereum Sunting. Tahu-tahu sudah keluar surat izin saja yang di pegang PT. A. Pemegang izin lokasi dalam hal ini PT. A memperoleh izin untuk melakukan pembebasan tanah dalam areal tersebut. Akibatnya, PT. A melakukan pembebasan tanah sendiri padahal dalam ketentuan teknis, Tim 9 sebagai tim pertimbangan memiliki tugas dan tanggung jawab, yang salah satunya adalah melakukan peninjauan lapangan terhadap lokasi yang dimohon. Sebenarnya, pemerintah daerah mempunyai peranan yang besar sebagai filter atau penyaring 2 Komposisi keangotaan dari tim 9 (panitia pengadaan tanah), disebutkan dalam pasal 7 terdiri dari: 1. Bupati/Walikota KDH Tingkat II sebagai ketua merangkap anggota. 2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai wakil ketua merangkap anggota. 3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi Bangunan sebagai anggota. 4. Kepala Instansi Pemerintahan Daerah yang bertanggungjawab dibidang pertanian sebagai anggota. 5. Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggungjawab di bidang pertanian sebagai anggota. 6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota. 7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan berlangsung sebagai anggota. 8. Asisten Sekertaris Wilayah Daerah Bidang Pemerintaha atau Kepala Bagian Pemerintah pada kantor Bupati/Walikota sebagai sekretaris I bukan anggota. 9. Kepala Seksi pada kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai Sekretaris II bukan anggota.

105 89 dalam pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dimana pemerintah mampu melakukan upaya pencegahan terhadap proyek-proyek yang sifatnya kapitalisme besar-besaran. Namun pada kenyataannya, RTRW dan RDTRK yang dibuat justru mendukung kapitalisme besar-besaran. Hal ini terbukti dari adanya fakta bahwa PT. A bukan hanya membangun kawasan perumahan tetapi juga membangun kawasan wisata. Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR) Pemberian SKPR dapat dilakukan apabila instansi yang menanganinya telah mencocokkan kesesuaian antara elemen-elemen rencana yang disodorkan dengan rencana pengembangan kota yang telah menjadi pedoman. Meskipun ketentuan mengenai SKPR ini sudah jelas, namun belum menjadi peraturan daerah yang sah. Ini menunjukkan SKPR belum memiliki kekuatan hukum yang kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor): Untuk ketentuan tentang SKPR memang sudah jelas, tapi belum jadi peraturan daerah. Tetapi, aturan ini sudah dalam proses untuk menjadi peraturan daerah Berkaitan dengan hal itu, PT. A berhasil mendapatkan SKPR untuk membangun kompleks perumahan baru. Hal ini dikarenakan rencana pembangunan kawasan perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor Selatan, yakni memang diarahkan sebagai permukiman. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak NDN (Dinas Ciptakarya, Kota Bogor): Rencana PT. A bangun perumahan di Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja disetujui karena mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK wilayah Bogor Selatan. 7.2 Pada Tingkat Petani Posisi Tawar (Bargaining Position) Penataan ruang di Kota Bogor juga tidak terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Aturan ini

106 90 memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk memberi peluang bagi peran serta masyarakat dalam hal penataan ruang, serta menjelaskan bahwa setiap orang berhak menikmati manfaat ruang. Dengan perkataan lain, setiap orang baik secara langsung perorangan atau melalui kelompok berhak mengajukan usul, memberi saran atau mengajukan keberatan kepada pemerintah dalam rangka penataan ruang. Peraturan ini juga mengatakan bahwa masyarakat juga berhak mengetahui secara terbuka rencana tata ruang. Masyarakat juga berhak mendapat 'kompensasi' atau penggantian yang layak bila dirugikan oleh pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai rencana tata ruang. Adapun kewajiban masyarakat adalah berperan serta dalam memelihara mutu ruang dan menaati tata ruang yang telah ditetapkan. Hal ini berarti masyarakat juga bertanggung jawab atas pelaksanaan pembangunan yang baik dan benar. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan. Hal ini karena, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dibutuhkan pemikiran keras dan inisiatif dari pemerintah dan masyarakat. Akibatnya, dalam membuat rencana tata ruang seringkali tersirat masih dilakukan secara semi top down (belum berjalannya komunikasi dua arah). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak UJG (perangkat Kelurahan Mulyaharja): Meskipun saya diundang dalam rapat dengan agenda penyusunan perencanaan tata ruang, tapi rancangan rencana tata ruang sudah dibuat oleh pemerintah daerah. Selain itu, ketika berjalannya rapat pemerintah daerah lebih dominan dan seolah-olah hanya mempresentasikan rancangan rencana tata ruang serta kurang memberikan ruang partisipasi kepada peserta rapat lainnya (LSM, akademisi, dan swasta). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa selain belum berjalannya komunikasi dua arah, beberapa upaya sosialisasi undangan keterlibatan masyarakat hanya berkutat pada tahap perencanaannya. Informasi terkait dengan hal itu pun kurang tersampaikan dengan baik. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama, tetapi dalam prakteknya terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini terlihat, dimana pemerintah daerah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup puas hanya dengan proses tersebut karena masyarakat

107 91 menginginkan setiap keputusan yang diambil melibatkan mereka. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya perencanaan partisipatif terletak pada panjangnya proses pengambilan keputusan dimana jarak antara penyampaian aspirasi hingga menjadi keputusan cukup jauh. Pada intinya, keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang belum tersentuh dengan baik. Petani di Kampung Cibereum Sunting berkaitan dengan hal tersebut, juga belum memiliki kesiapan untuk berpartisipasi secara penuh dalam penataan ruang. Hal ini dipengaruhi oleh ketiadaan akses yakni tidak adanya kemampuan untuk memperoleh keuntungan atas objek material dan orang lain. Secara khusus, petani tidak memiliki mekanisme akses pengetahuan terhadap kebijakan penataan ruang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa responden, ternyata pengetahuan petani terhadap tata ruang secara persil khususnya di sekitar kediamannya adalah tidak mengetahui. Apalagi pengetahuan tentang tata ruang secara keseluruhan Bogor Selatan. Ketidaktahuan petani terhadap tata ruang sungguh dapat dipahami, hal ini karena kurangnya wacana dan kemampuan petani untuk mempertajam terminologi sangat mempengaruhi keseluruhan kerangka kerja akses terhadap kebijakan penataan ruang. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya pendidikan para petani. Setelah digali lebih jauh, rendahnya pendidikan petani juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani yang juga rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak H. OIN (petani): Bujeng-bujeng ngemutan atawa mikiran tata ruang, sakola geu teu lulus, lantaran teu aya biaya, janteun anu mikir leuwih teh teu dugi. Komo deui tata ruang, abdi mah teu ngartos. Tidak pernah memikirkan apa itu tata ruang, sekolah saja tidak lulus, karena tidak ada biaya, jadi kalau berpikir yang berat-berat tidak sampai. Apalagi tata ruang, saya tidak mengerti. Rendahnya partisipasi juga dipengaruhi oleh ciri-ciri petani di Kampung Cibereum Sunting, sebagai berikut: 1. Cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya pendidikan para petani (telah dijelaskan pada paragrap

108 92 sebelumnya). Sebagian besar diantara petani hanya lulusan sekolah dasar. Selain itu, dipengaruhi juga oleh rendahnya pendapatan para petani. 2. Memiliki prinsip safety first, yakni sebagai akibat dari ketergantungan ekologis yang dikembangkan petani. Yang selanjutnya, ini mempengaruhi aspek teknis, sosial, dan moral dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Kecenderungan menyukai kestabilan jangka panjang mempengaruhi sikap petani dalam merespon perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian, dimana petani tidak betah bekerja di sektor tersebut. Kondisi demikian berangkat dari posisi petani yang masih terikat dalam tatanan nilai-nilai feodalistik. Nilai-nilai ini lebih mendahulukan sikap menerima terhadap berbagai kondisi, yakni petani menerima saja ketika lahan pertanian yang dimiliki dialihfungsikan menjadi kompleks perumahan. Pada intinya faktor-faktor yang diuraikan di atas menyebabkan bargaining position (posisi tawar) para petani rendah. Selanjutnya, menyebabkan akses petani terhadap ruang menjadi terbatas sehingga petani tidak mampu mengelola permasalahan. Hal ini kemudian, membuka peluang bagi PT. A (swasta) untuk masuk dan memanfaatkan ketidakberdayaan para petani untuk melakukan ekspansi kapitalisme besar-besaran. 7.3 Ikhtisar Pemerintah daerah menurunkan produk kebijakan penataan ruang berupa RTRW dan RDTRK. Pada pelaksanaannya, kebijakan penataan ruang tersebut memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yakni di tingkat pelaksana dan di tingkat petani. Pada tingkat pelaksana mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang. Pada tingkat petani adalah rendahnya posisi tawar. Aspek-aspek tersebut baik di tingkat pelaksana maupun petani, selanjutnya dimanfaatkan oleh PT. A dengan tujuan akumulasi modal dan meningkatkan surplus.

109 93 Tabel 7 Perbandingan Antara Aturan Formal dan Proses Nyata Terkait dengan Kebijakan Penataan Ruang. No. Aspek Kebijakan Penataan Ruang Aturan Formal dan atau Peluang Penyimpangan Proses Nyata dan atau Dampak 1. Pada Tingkat Pelaksana Perencanaan Isi dan Arahan RTRW Sebelum RTRW dibuat perlu diketahui terlebih dahulu berbagai kebutuhan masyarakat yang tinggal di wilayah yang direncanakan. Pencarian informasi tentang kebutuhan masyarakat hanya dilakukan secara makro dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat kecil terutama petani. Keluarnya Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun Dijadikannnya Kota Bogor sebagai pusat perkembangan dan pertumbuhan perekonomian sehingga sumber agraria tanah dalam perencanaan pemanfaatannya lebih ditekan ke dalam sektor non-pertanian. Pelaksanaan Isi dan Arahan RDTRK Isi rencana penggunaan lahan Tahun 2009: Alokasi lahan pertanian 2,10 persen, sedangkan perumahan mencapai 71,95 persen. Penetapan Kota Bogor sebagai kota Satelit I sehingga meningkatnya perkembangan fisik di lapangan maka daerah pertanian teknis, non teknis, lahan kering, dan kebun campuran dapat dialihfungsikan untuk pembangunan. Penetapan Kota Bogor ke dalam Sub BWK B. Pemerintah wajib mengumumkan dan menyebarluaskan rencana tata ruang kepada masyarakat dan mendengarkan masukan, saran atau keberatan yang diajukan masyarakat atas rencana tata ruang tersebut. Agar masukan, saran dan keberatan masyarakat itu bersifat rasional dan beralasan maka pemerintah juga wajib menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran, pengertian, dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan latihan. Aturan diperbolehkannya sumber pembiayaan pembangunan dan pengembangan dari pihak swasta. Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 80/1999. Rencana alokasi peruntukkan ruang ini dapat memacu terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Tidak ada lagi perlindungan terhadap lahan pertanian. Perencanaan tata guna lahannya diarahkan sebagai kawasan perumahan/permukiman, subterminal, dan kawasan perdagangan skala lokal. Pembinaan dalam bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh pihak Dinas Penataan Ruang dirasa belum efektif dan kurang menyentuh masyarakat luas. Pembinaan dalam bentuk menumbuhkan serta mengembangkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan pelatihan belum dilakukan oleh pihak pelaksana. Investasi dan kapitalisasi besar-besaran oleh pihak swasta. Alokasi ruang terbesar yang ada di Kampung

110 94 Pengendalian Di dalam Undang-Undang 24 Tahun 1992, pengendalian penataan ruang tidak diuraikan secara rinci. Keluarnya Undang- Undang 26 Tahun Izin Lokasi: Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 (ketentuan: pemegang izin lokasi memperoleh izin untuk melakukan usaha pembebasan tanah dalam areal tersebut). Pasal 2 dan 3 Keputusan Presiden RI Nomor. 55/1993 (ketentuan: pemberian ganti rugi didasarkan atas prinsip musyawarah serta tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat dan tidak boleh menutup atau mengurangi kemudahan yang dimiliki masyarakat). Surat Keterangan Pemanfaatan Ruang (SKPR): Ketentuan mengenai SKPR ini sudah jelas, namun belum menjadi peraturan daerah yang sah Pemberian SKPR dapat dilakukan apabila instansi yang menanganinya telah mencocokkan kesesuaian antara elemen-elemen rencana yang disodorkan Cibereum Sunting disetujui dalam pelaksanaannya untuk dimanfaatkan sebagai kawasan perumahan. Memicu ketiadaan pegangan dalam implementasi pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang. Keleluasaan swasta (PT. A) dalam melakukan pembebasan tanah. PT. A melaksanakan pembebasan tanah dengan bantuan biong. Pada prakteknya, para biong cenderung memaksa petani. SKPR belum memiliki kekuatan hukum yang kuat. PT. A berhasil mendapatkan SKPR karena rencana pembangunan kawasan perumahan di Kampung Cibereum Sunting mengarah pada set plan yang sesuai dengan RDTRK Bogor Selatan

111 95 2. Pada Tingkat Petani Posisi Tawar (bargaining Position) RENDAH Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. dengan rencana pengembangan kota yang telah menjadi pedoman. Menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan karena dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang maka membutuhkan pemikiran keras dan inisiatif dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Panjangnya proses pengambilan keputusan dimana jarak antara penyampaian aspirasi hingga menjadi keputusan cukup jauh. Sumber: Dikumpulkan oleh penulis dari non-survey (2009) Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang belum tersentuh dengan baik.

112 96 BAB VIII TENDENSA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN SEBAGAI BENTUK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KAMPUNG CIBEREUM SUNTING 8.1 Faktor Faktor Pendorong Terjadinya Alih Fungsi Lahan Pertanian Menurut penuturan informan, lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting cukup luas yakni mencapai + 10 hektar. Hal ini menyebabkan mayoritas mata pencaharian penduduk di Kampung Cibereum Sunting adalah petani. Umumnya petani di wilayah ini berstatus sebagai petani pemilik. Sebelum tahun 1994-an Kampung Cibereum Sunting merupakan kawasan terbuka hijau yakni terdiri dari hamparan sawah dan ladang. Namun, secara terus menerus lahan pertanian di kampung ini terjadi penyusutan atau berkurang setiap tahunnya yakni sebagai akibat alih fungsi lahan ke penggunaan non-pertanian. Perubahan penggunaan di kawasan ini adalah ke bentuk penggunaan dalam konteks pembangunan, yang dalam hal ini adalah sebagai kawasan perumahan. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perumahan terjadi pada kurun waktu 1994 hingga saat penelitian ini berlangsung masih terjadi. Faktor yang mempengaruhi perubahan alih fungsi lahan pertanian ini dipengaruhi oleh faktor luar, yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Adapun penjelasannya sebagai berikut: Pertama, Pihak Swasta. Pembangunan kompleks perumahan X dilakukan oleh PT. A (Swasta) yang merupakan pengembang yang berasal dari Jakarta. Adapun proses masuknya kontraktor PT. A ke wilayah ini adalah dimulai pada Pada tahun tersebut, PT. A baru membangun kantor pemasaran dan berhasil melakukan proses pengalihan kepemilikan lahan atau membebaskan lahan hingga +1,5 hektar. Lahan yang dibeli tersebut adalah lahan sawah dan ladang. Pembangunannya dimulai sejak Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan petani dan perangkat kelurahan bagian pertanahan: Tahun 1994 teh PT. A ngawangun kantor pemasaran. Aranjeuna berhasil ngagaleuh taneuh wargi pikeun ngawangun perumahan kirang langkung 1,5 hektar. (Bapak BDN, Petani)

113 97 Tahun 1994 PT. A membangun kantor pemasaran. Mereka berhasil membeli tanah warga untuk membangun perumahan kurang lebih 1,5 hektar. (Bapak BDN, Petani) Pembelian lahan sudah dilakukan mulai tahun 1994, tetapi baru dibangun tahun (Bapak UJG, Perangkat Kelurahan Mulyaharja) Hasil penulusuran juga menemukan penjelasan bahwa dari tahun 1995 hingga 2009, PT. A masih berupaya untuk melakukan pengembangan kawasan perumahan X dengan membeli lahan pertanian penduduk untuk dialihfungsikan, yakni berhasil membebaskan lahan seluas +1,5 hektar. Luasan lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting, yang telah beralih fungsi ke bentuk perumahan adalah + 3 hektar. Usaha pengembangan kawasan perumahan dilihat oleh PT. A sebagai peluang usaha untuk mencari keuntungan. Pandangan PT. A tersebut berangkat dari adanya tekanan pertumbuhan penduduk, yakni adanya pertambahan penduduk yang masuk di Kampung Cibereum Sunting sehingga membutuhkan tempat tinggal untuk bermukim. Hal ini sesuai dengan penuturan informan: Tujuan pengembangan kawasan perumahan ini memiliki prospek yang menguntungkan, karena banyak orang yang membutuhkan tempat tinggal untuk bermukim. (Bapak ZKA, PT. A) Terkait dengan lokasi, Kampung Cibereum Sunting berada di kota maka peluang harga tanahnya juga lebih mahal. Akibatnya, PT. A memilih lokasi Cibereum Sunting sebagai areal pembangunan kawasan perumahan dengan alasan nilai strategis dan nantinya memiliki harga jual yang tinggi atau mahal di pasaran. Hal ini juga dipahami oleh PT. A sebagai bentuk strategy marketing dalam konteks place. Hal ini sesuai dengan penuturan informan: Pemilihan lokasi, di Kampung Cibereum Sunting didasarkan pada penetapan strategy marketing (place), yakni memiliki nilai strategis sehingga harga jual nantinya akan tinggi. (Bapak ZKA, PT. A) Kedua, Intervensi Pemerintah, Kebijaksanaan Makro, dan Kegagalan Institusional. Kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi seluruh jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

114 98 Terkait dengan hal tersebut, kebijakan penataan ruang ikut menyumbang sebagai faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting. Di dalam kebijakan penataan ruang Kota Bogor ternyata terdapat aspekaspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan, yakni terletak pada tingkat pelaksana dan pada tingkat petani (sudah dijelaskan pada Bab 7). Aspek peluang ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak swasta, dengan tujuan sebagai alat untuk mencari keuntungan, yakni dengan cara melakukan penanaman modal. Dapat dipahami bahwa arti penting tanah bagi swasta adalah mengarah kepada kepentingan akumulasi modal dan meningkatkan surplus. Aspek peluang yang paling besar dimanfaatkan oleh swasta adalah pada tingkat pelaksana. Hal yang perlu dipahami adalah penetapan era otonomi daerah, dimana mengandung pemberian kewenangan kepada daerah. Implikasinya adalah pemerintah daerah dapat menelurkan kebijakan penataan ruang wilayah berdasarkan pertimbangannya sendiri. Berkaitan dengan itu, adanya kepentingan pemerintah kota atas lahan adalah sebagai motor pertumbuhan ekonomi atau roda pembangunan. Artinya, tanah merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Pembangunan pun begitu dipercaya, dapat diwujudkan dengan sokongan biaya dari swasta. Akibatnya, dengan alih-alih memberikan keuntungan, swasta memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan akumulasi modal melalui pengembangan kompleks perumahan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bagaimana proses alih fungsi lahan pertanian yang terjadi, yakni dapat dijelaskan melalui hubungan yang terjadi diantara petani, pemerintah daerah, dan PT. A. Dapat disusun sebuah diagram ven yang dapat memberi gambaran hubungan antara pihak-pihak terkait dengan alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting. Adapun diagram ven hubungan interaksi antar aktor sosial digambarkan sebagai berikut:

115 99 Gambar 8 Diagram Ven Hubungan antara Pihak-Pihak yang Terkait dengan Alih Fungsi Lahan Pertanian Keterangan: A C A B : Pemerintah Daerah : PT. A (Swasta) B C : Petani Sumber: Hasil analisis yang dilakukan peneliti (2009) Gambar 8 di atas menunjukkan PT. A dan pihak pemerintah daerah sebagai yang berwenang memiliki hubungan yang dekat. Hubungan interaksi yang terjadi diantarainya adalah kuat. Dimana mereka bekerja sama dalam hal perizinan lokasi yakni pembebasan lahan yang lebih jauh memberikan legalisasi alih fungsi lahan pertanian yang terjadi. Hubungan interaksi baik antara pemerintah daerah dengan petani pemilik tanah maupun antara PT. A memiliki interaksi yang jauh. Hal ini karena petani pemilik lahan hanya dianggap sebagai pemilik objek alih fungsi yang tidak memiliki daya dan kuasa yang besar. Intimidasi dan isu yang menakut-nakuti seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 7 dijalankan oleh pihak PT. A sebagai upaya melancarkan alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting. 8.2 Pola Alih Fungsi Lahan Pertanian Pengertian alih fungsi lahan, pada dasarnya menekankan adanya perubahan peruntukkan lahan dari penggunaan yang satu ke penggunaan lainnya, yang dalam hal ini alih fungsi dari peruntukkan lahan pertanian menjadi kompleks perumahan. Alih fungsi lahan di Kampung Cibereum Sunting masih terus terjadi dan bertambah dari tahun ke tahun. Makin bertambahnya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain (bersifat progresif) bisa menjadi permasalahan yang cukup serius terkait dengan terbatasnya keberadaan lahan di Kampung Cibereum Sunting. Alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting juga bersifat permanen. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak BDN (Petani):

116 100 Upami lahan tani geus digaleuh ku PT. A mah, teu tiasa dirobah deui janteun lahan pertanian. Da saya mah teu kenging meser taneuh deui ti PT. A. Kalau lahan tani sudah dibeli oleh PT. A, tidak bisa dirubah lagi menjadi lahan pertanian. Saya tidak mampu membeli tanah lagi dari PT. A. Faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan merupakan dasar lahirnya tipe alih fungsi lahan yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting. Penggolongan tipe alih fungsi lahan ini dikaitkan dengan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih fungsi lahan. Hasil analisis tersebut menghasilkan tipe alih fungsi lahan, yakni tergolong dalam alih fungsi lahan sistematik berpola enclave dimana faktor penyebabnya adalah tanah yang dialihfungsikan digunakan sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup (pembangunan kawasan perkotaan dan permukiman). Secara rinci alih fungsi lahan sistematik berpola enclave dapat dijelaskan sebagai pola alih fungsi lahan mencakup wilayah dalam bentuk sehamparan tanah secara serentak dalam waktu yang relatif sama. Maksudnya, lahan yang berfungsi sebagai lahan pertanian secara serentak beralih fungsi ke bentuk pembangunan kawasan kompleks perumahan. Luas lahan yang beralih fungsi tersebut mencapai + 3 hektar. Pembangunan kompleks perumahan yang dibangun oleh PT. A tidak terlepas dari dukungan kebijakan penataan ruang Kota Bogor, dimana alokasi lahan di Bogor Selatan termasuk Kampung Cibereum Sunting di dalamnya adalah sebagai kawasan permukiman. Ini dimaksudkan oleh pemerintah daerah sebagai bentuk pembangunan kawasan perkotaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak RDM (Dinas Penataan Ruang, Kota Bogor): Alokasi lahan yang digunakan untuk pembangunan kompleks perumahan, merupakan upaya pemerintah daerah untuk membangun perwilayahan kawasan perkotaan.

117 Ikhtisar Pemanfaatan yang dilakukan oleh swasta pada aspek kebijakan penataan ruang di tingkat pelaksana dan petani tersebut memacu terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting, yakni dari lahan pertanian menjadi kompleks perumahan. Bila dianalisis lebih lanjut dengan melihat fenomena yang terjadi, ternyata faktor yang paling mempengaruhi perubahan fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian adalah faktor luar, yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Bila dilihat dari konteks interaksi, PT. A memiliki hubungan yang dekat dengan pihak pemerintah daerah. Sedangkan, hubungan interaksi baik antara pemerintah daerah dengan petani pemilik tanah maupun antara PT. A memiliki interaksi yang jauh. Sementara itu, berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka tipe alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting adalah tipe sistematik berpola enclave.

118 102 BAB IX PENUTUP 9.1 Kesimpulan Beberapa hal penting yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian ini, antara lain: 1. Tiga pihak (penguna atau subyek agraria) yang berkepentingan atas pemanfaatan seluas lahan di Kampung Cibereum Sunting, yaitu komunitas (masyarakat tani), pemerintah daerah Kota Bogor, dan swasta PT. A. Adapun, peranan tanah bagi masing-masing aktor sosial tersebut, antara lain: (1) Bagi petani adalah berperan dalam hal ekonomis (sumber hidup manusia dan tanah dianggap sebagai aset dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup) dan sosiologis (sebagai perekat hubungan sosial); (2) Bagi pemerintah daerah adalah sebagai aset dalam pembangunan infrastruktur fisik dan perumahan; (3) Bagi swasta digunakan sebagai modal untuk meningkatkan surplus ekonomi. 2. RTRW dan RDTRK merupakan produk kebijakan penataan ruang. Dasar utama yang digunakan sebagai landasan dibentuknya RTRW dan RDTRK adalah bersumber pada amandemen UUD 1945, UUPA Nomor 5 Tahun 1960, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun Lebih jauh, aturan dasar turunannya saling melengkapi. Adapun asas dan tujuan penataan ruang, antara lain: a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; b) Keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. 3. Kebijakan penataan ruang berupa RTRW dan RDTRK yang diturunkan oleh pemerintah daerah memiliki aspek-aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan pertanian, yakni di tingkat pelaksana dan di tingkat petani. Aspek-aspek tersebut kemudian dimanfaatkan oleh PT. A (swasta) untuk mencapai tujuannya. 4. Aspek-aspek dalam kebijakan penataan ruang, yakni di tingkat pelaksana yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian terhadap aturan tata ruang yang telah ditetapkan, mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan

119 103 pertanian di Kampung Cibereum Sunting. Sedangkan, pada tingkat petani adalah rendahnya posisi tawar juga terbukti mempengaruhi ketidakberdayaan mereka terhadap terjadinya fenomena alih fungsi lahan pertanian di Kampung Cibereum Sunting. 5. Tendensa perubahan penggunaan lahan di Kampung Cibereum Sunting terbukti ke bentuk penggunaan sebagai kompleks perumahan. Lebih lanjut, faktor yang paling mempengaruhi tendensa perubahan penggunaan lahan tersebut adalah faktor luar, yakni pihak swasta dan intervensi pemerintah daerah. Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama alih fungsi lahan, pelaku, pemanfaatan, dan proses alih fungsi lahan, maka tipe alih fungsi lahan yang terjadi di Kampung Cibereum Sunting adalah tipe sistematik berpola enclave. 9.2 Saran Melalui penelitian ini, peneliti memiliki saran untuk kepentingan seluruh aktor sosial yang terlibat dalam kasus alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian (kompleks perumahan). Saran penting yang dapat diajukan tersebut, antara lain adalah: 1. Bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor, sebaiknya meningkatkan keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil seperti petani. Selain itu, dapat lebih selektif lagi dalam memberikan keputusan perencanaan dan pengembangan wilayah agar tidak menambah fenomena alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. 2. Bagi PT. A, sebaiknya lebih memperhatikan dan menyadari arti penting lahan pertanian bagi masyarakat tani sehingga dengan begitu tidak dengan mudah untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber agraria tanah untuk kepentingan keuntungan (peningkatan surplus ekonomi) semata. 3. Bagi masyarakat tani, sebaiknya terus menggali informasi-informasi terutama terkait dengan permasalahan di lahan pertanian, seperti penetapan hak atas tanah, RTRW, RDTRK, dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar para petani dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining position). Sehingga, menjadi pihak yang berdaya yakni tidak tersubordinasi oleh pihak lainnya.

120 Bagi akademisi, sebaiknya terus menggali dan lebih kritis terhadap fenomena faktual di lapangan khususnya fenomena yang terkait dengan kebijakan penataan ruang maupun alih fungsi lahan pertanian.

121 105 DAFTAR PUSTAKA Badan Pertanahan Nasional Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun Jakarta. BPN Dinamika Pertanahan Bogor. BPN. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun Jakarta. Bappeda Rencana Detail Tata Ruang Kota (Kecamatan Bogor Selatan) Tahun Jakarta. Bappeda. Badan Pusat Statistik Kecamatan Bogor Selatan Bogor. BPS. Bahari, Syaiful Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Gunawan Wiradi. Bandung. Yayasan Akatiga. Dianto Bachriadi, et. al Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang (Mal Administrasi di Bidang Pertanahan). Yogyakarta. LAPERA Pustaka Utama dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY. Fajryah, Andini Sistem Penguasaan Tanah dan Peran Tanah Bagi Petani Miskin. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Fauzi, Noer Petani dan Penguasa. Yogyakarta. INSIST, KPA, dan PUSTAKA PELAJAR. Haris, Syamsuddin Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya dalam S. Haris Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta. LIPI Press. Husodo, Siswono Yudo Penataan Keagrariaan dan Pertanahan Wujud Kesinambungan Pembangunan Pertanian dalam Menuju Keadilan Agraria. Bandung. Yayasan AKATIGA.

122 106 Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan Kewenangan Pertanahan di Pulau Batam dalam Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Ilham, Nyak Perkembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. Diakses tanggal 19 Maret 2009, pukul WIB. Imawan, Riswandha Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya dalam S. Haris Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta. LIPI Press. Indrawan, Rubyani Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Implikasi Tata Guna Lahan Pada Masyarakat Perkotaan. Skripsi. Program Sarjana Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Iqbal, Muhammad Alih Fungsi Lahan Sawah dan Strategi Pengendaliannya di Provinsi Sumatera Selatan. deptan.go.id/ind/pdffiles/wp_92_ 2007.pdf. Diakses tanggal 19 Maret, pukul WIB. Jabar, Aryuni Salpiana Dampak Kelompok Masyarakat Sadar dan Tertib Pertanahan Terhadap Proses Sosial Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Agraria. Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Jayadinata, Johana T Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Edisi ketiga. Bandung. ITB. Kelurahan Mulyaharja Monografi Kelurahan Mulyaharja Tahun Kelurahan Mulyaharja. Tidak Dipublikasikan Monografi Kelurahan Mulyaharja Tahun Kelurahan Mulyaharja. Tidak Dipublikasikan. Kustiawan, Iwan Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa. Jakarta. Prisma PT. Pustaka LP3ES Indonesia.

123 107 Moeliono, Tristam Pascal Sumber Sengketa Penataan Ruang dan Tanah dalam Tanah Masih Dilangit. Jakarta. Program Kerjasama Yayasan Kemala The Ford Foundation. Munir, Misbahul Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Skripsi. Program Sarjana Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Nasoetion, Lutfi Ibrahim Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum dan Implementasinya. Disampaikan pada Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Jakarta. Badan Pertanahan Nasional. Purwandari, Heru Perlawanan Tersamar Organisasi Petani: Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Rasyid, Ryaas Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya dalam S. Haris Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta. LIPI Press. Republik Indonesia Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 Ayat 3. Jakarta. Republik Indonesia Undang-Undang Pokok Agraria Tahun Jakarta. Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 5 Tahun Jakarta. Republik Indonesia Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun Jakarta. Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 24 Tahun Jakarta. Republik Indonesia Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun Jakarta. Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun Jakarta. Republik Indonesia.

124 Undang-Undang Nomor 32 Tahun Jakarta. Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 26 Tahun Jakarta. Republik Indonesia. Sekretariat Menteri Dalam Negeri Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun Jakarta. Sekretariat Menteri Dalam Negeri. Sekretariat Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor dan Nomor 503/KPTS/1985. Jakarta. Sekretariat Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum. Sekretariat Menteri Pekerjaan Umum Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 640/KPTS/1986. Jakarta. Sekretariat Menteri Pekerjaan Umum. Sekretariat Jenderal MPR-RI TAP MPR Nomor 1/MPR/1988 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Jakarta. Sekretariat Jenderal MPR-RI. Sekretariat Pemerintah Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun Jakarta. Sekretariat Pemerintah Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun Jakarta. Sekretariat Pemerintah Republik Indonesia. Setyawan, Dharma Otonomi Daerah: dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumberdaya. Cetakan Keenam. Jakarta. Djambatan. Sri Wahyuni, Ekawati Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sihaloho, Martua Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Tesis. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Silalahi, S.B Perkembangan Penggunaan dan Penyediaan Tanah Mendukung Ketahanan Pangan. Makalah pada Diklat Penataan Ruang dan Manajemen Lahan Departemen Dalam Negeri. Jakarta. Komite Agraria DPN HKTI.

125 109 Sinaga, Nursia Dampak Penyempitan Aksesibilitas Penguasaan dan Penggunaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan Akibat Pengaruh Perkembangan Industri (PT. TPL, Tbk). Skripsi. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Sitorus MTF Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. Bogor. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial (DOKIS) Lingkup Agraria dalam E. Sukendar et. al. Menuju Keadilan Agraria : 70 tahun Gunawan Wiradi. Bandung. Yayasan AKATIGA. Sukendar, Endang, et. al Menuju Keadilan Agraria : 70 tahun Gunawan Wiradi. Bandung. Yayasan AKATIGA. Taufik, Mohammad Aspek-aspek Hukum Lingkungan. Jakarta. PT. Indeks Kelompok Gramedia. Tauhid, Mochhammad Masalah Agraria, Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Bagian Kedua. Jakarta. Cakrawala. Utomo, Muhajir. et. al Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Diakses tanggal 20 April 2009, pukul WIB. Wafda, Reti Masalah Pertanahan Sebagai Penghambat Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Tesis. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Wiradi, Gunawan Pola Penguasaam Tamah dan Reforma Agraria dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed): Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). Jakarta. PT. Gramedia Reforma Agraria Yang Belum Berakhir. Yogyakarta. Insist Press, KPA & Pustaka Pelajar.

126 110 Tabel 8 Jadwal Penelitian Tahun 2009 Tahun 2010 No. Kegiatan September Oktober November Desember Januari Februari I. Studi Lapangan 1. Pengumpulan Data X X X X X X X X X X X 2. Analisis Data X X X X X X X X X X X II. Penulisan Laporan 1. Analisis Lanjutan X X X X X 2. Penyusunan Draft X X X X X X dan Revisi 3. Konsultasi Laporan X X X X X X III. Ujian Skripsi 1. Ujian X 2. Perbaikan Skripsi X X

127 111 Tabel 9 Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulannya No. Informasi Sub-topik Metode Pengumpulan Data Sumber data 1. Profil Kelurahan Mulyaharja 1) Keadaan umum Kelurahan Mulyaharja 2) Kondisi demografi 3) Sarana dan prasarana fisik 4) Analisa dokumen 5) Wawancara mendalam 1) Data demografi 2) Data Kelurahan 3) Aparat Kelurahan 2. Profil Kampung Cibereum Sunting 4. Hubungan Tanah dengan Aktor Sosial 1) Gambaran Kampung Cibereum Sunting 2) Kondisi sosial-ekonomi masyarakat tani di kampung Cibereum Sunting 3) Potret agrarian local 1) Pemetaan aktor sosial 2) Peran tanah bagi kehidupan masyarakat tani 3) Peran tanah bagi pemerintah daerah Kota Bogor 4) Peran tanah bagi swasta 5. Kebijakan Penataan Ruang 1) Rumusan kebijakan penataan ruang 2) Asas dan tujuan kebijakan penataan ruang 6. Aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat pelaksana 7. Aspek yang memberikan peluang terjadinya alih fungsi lahan di tingkat petani 8. Tendensa perubahan penggunaan lahan sebagai bentuk alih fungsi lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja 1) Rencana Tata Ruang Wilayah 2) Sosialisasi Rencana Tata Ruang Wilayah 3) Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah 4) Fungsi Kontrol 5) Pemberian Sanksi 1) Analisa dokumen 2) Wawancara mendalam 1) Analisa dokumen 2) Pengamatan 3) Wawancara mendalam 1) Analisa dokumen 2) Wawancara mendalam 1) Analisa dokumen 2) Wawancara mendalam 3) Pengamatan berperan serta terbatas 1) Tokoh masyarakat 2) Data Kelurahan 1) Pemerintah Daerah 2) PT. A 3) Masyarakat tani Data/ Arsip Pemerintah Daerah Posisi Tawar (Bargaining Position) Wawancara mendalam Masyarakat tani 1) Faktor-faktor pendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian 2) Pola alih fungsi lahan pertanian Wawancara mendalam 1) Data/ Arsip Pemerintah Daerah 2) Pelaksana kebijakan tata ruang 1) Masyarakat tani 2) Tokoh Masyarakat 3) Informasi dari Kelurahan 4) Informasi dari pihak PT. A

128 112 Gambar 9 Sketsa Kampung Cibereum Sunting RW 8 Desa Kota Batu RW 5 Warung Limus Keterangan: = Permukiman = Lahan Pertanian Basah = Lahan Pertanian Kering = Lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi kompleks perumahan = Masjid = Posyandu = Sekolah Dasar Sumber: Hasil pemetaan lokasi yang dilakukan oleh peneliti (2009)

129 120 Gambar 17 Dokumentasi Photo 1. Kelurahan Mulyaharja Photo 2. Home Industry Sedal dan Sepatu Photo 3. Usaha Makanan

130 121 Photo 4. Jasa Angkutan Umum Photo 5. Lahan Pertanian (Basah)

131 122 Photo 6. Lahan Pertanian (Kering) Photo 7. Lahan Pertanian (kering)-ngahuma Photo 8. Rumah Penduduk yang Terhimpit oleh Plotan Kompleks Perumahan Lahan Pertanian yang Beralih Fungsi Menjadi Kompleks Perumahan

132 123 Photo 9. Lahan Pertanian yang Tergasak oleh Plotan Kompleks Perumahan Photo 10. Jamban (Tempat Buang Hajat) Photo 11. Rumah Petani

133 124 Photo 12. Jalan di dalam Kampung Cibereum Sunting Photo 13. Jalan Utama Kelurahan Mulyaharja Photo 14. Kegiatan Wawancara Mendalam

Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I

Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I KEBIJAKAN PENATAAN RUANG DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kampung Cibereum Sunting, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh: LUISITA FILOSOFIANTI I34060304 DEPARTEMEN SAINS

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanah Sebagai Sumberdaya Agraria 2.1.1.1 Fungsi Tanah Bagi Kehidupan Petani, Pemerintah, dan Swasta Tanah merupakan salah satu jenis sumber agraria.

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN ( PERSISTENCE

PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN ( PERSISTENCE PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA PADA LAHAN SISA KONVERSI PERTANIAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT TANI (Studi Kasus: Kampung Ciharashas dan Cibeureum Batas, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian penjelasan (explanatory research) yang dalam pelaksanaannya, dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lahan permukiman, jalan, industri dan lainnya. 1. hukum pertanahan Indonesia, negara berperan sebagai satu-satunya

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lahan permukiman, jalan, industri dan lainnya. 1. hukum pertanahan Indonesia, negara berperan sebagai satu-satunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin meningkatnya jumlah penduduk berarti jumlah kebutuhan menjadi lebih besar, salah satunya kebutuhan pada lahan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia bermatapencaharian

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK)

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK) ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK) Oleh ANNISA ANJANI H14103124 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada

Lebih terperinci

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) Oleh : WAHYUNI RAHMIATI SIREGAR A14204045 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI DESA AJIBARANG WETAN, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana S1 Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia dalam rangka meningkatkan kemakmuran masyarakat telah menempuh berbagai cara diantaranya dengan membangun perekonomian yang kuat, yang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

BAB I. Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan. oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beranjak dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Agraria Pengertian agraria menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 (UU No.5 Tahun 1960) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN 2010-2014 Publikasi Ilmiah Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi Oleh

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang merupakan modal dasar bagi pembangunan di semua sektor, yang luasnya relatif tetap. Lahan secara langsung digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pengertian Tanah dan Fungsinya Sejak adanya kehidupan di dunia ini, tanah merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu bagian

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT LUKI SANDI HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI PADI SAWAH DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PHT (Kasus: Program PHT Desa Karangwangi, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon) LUKI SANDI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. prasarana penunjang kehidupan manusia yang semakin meningkat. Tolak ukur kemajuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan zaman serta pertumbuhan laju penduduk mendorong terjadinya pembangunan yang sangat pesat, baik pemabangunan yang ada di daerah maupun pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1 APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH Budiman Arif 1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAMPAK PELAKSANAAN PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK TERHADAP MASYARAKAT LOKAL (Studi kasus di Desa Nambo, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN

BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN 43 BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU KONVERSI LAHAN PERTANIAN 5.1 Fenomena Konversi Lahan Kecamatan Bogor Selatan adalah wilayah yang lahannya tergolong subur. Salah satu bagian dari Kota Bogor

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BUNGA POTONG KRISAN PADA LOKA FARM CILEMBER BOGOR. Oleh: JEFFRI KURNIAWAN A

FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BUNGA POTONG KRISAN PADA LOKA FARM CILEMBER BOGOR. Oleh: JEFFRI KURNIAWAN A FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BUNGA POTONG KRISAN PADA LOKA FARM CILEMBER BOGOR Oleh: JEFFRI KURNIAWAN A 14105563 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian

BAB I PENGANTAR. masa yang akan datang. Selain sebagai sumber bahan pangan utama, sektor pertanian 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang. Pertanian menjadi sektor primer sejak dahulu sebelum manusia mengembangkan sektor ekonomi. Pertanian telah menjadi pemasok utama sumber kehidupan manusia. Kondisi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang kehidupan masyarakatnya bergantung pada tanah. Pentingnya tanah bagi kehidupan manusia karena kehidupan manusia tidak bias terpisahkan

Lebih terperinci

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT OLEH ANDROS M P HASUGIAN H14101079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YUSUF SYARIFUDIN L2D 002 446 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

Oleh: ABDULLAH ERFAN SETIADI C

Oleh: ABDULLAH ERFAN SETIADI C ANALISIS KONVERSI ILLEGAL TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Oleh: ABDULLAH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan penduduk ditinjau dari segi kuantitatif maupun kualitatif dapat dikategorikan sangat tinggi. Pertumbuhan tersebut akan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tata guna lahan ialah pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan umum

BAB I PENDAHULUAN. Tata guna lahan ialah pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan umum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tata guna lahan ialah pengarahan penggunaan lahan dengan kebijakan umum (public policy) dan program tata ruang untuk memperoleh manfaat total sebaikbaiknya secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan adalah upaya perubahan dari kondisi kurang baik menjadi lebih baik. Untuk itu pemanfaatan sumber daya alam dalam proses pembangunan perlu selalu dikaitkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I

EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I EFEKTIVITAS ORGANISASI DAN IMPLEMENTASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK. Oleh: Annisa Rahmawati I34060667 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh :

PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI. Disusun Oleh : PERALIHAN HAK TANAH ABSENTE BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN CATUR TERTIB PERTANAHAN DI KABUPATEN KARANGANYAR SKRIPSI Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32

BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN. Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 BAB III ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS DAN KEBIJAKAN Secara jelas telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa misi terpenting dalam pembangunan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN

ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN ANALISIS NILAI GUNA EKONOMI DAN DAMPAK PENAMBANGAN PASIR DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR GIAN YUNIARTO WILO HARLAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK )

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK ) ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK 2008-2018) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program

Lebih terperinci

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. KAJIAN (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT. 2009/10 1 FOKUS Mempelajari hubungan antara manusia yang mengatur penguasaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN

DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI LISTRIK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Oleh SIGIT YUSDIYANTO H14104079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 6 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tanah dan Penggunaan Tanah Tanah sebagai sumberdaya pada dasarnya diperlukan bagi semua kegiatan kehidupan dan penghidupan. Tanah sebagai salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI Oleh YORI AKMAL A14302024 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI ARIZAL LUTFIEN PRASSLINA PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana strategi studi kasus dipilih dan bersifat multi metode. Strategi studi kasus ini dianggap memadai dengan tiga dasar pertimbangan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PROGRAM PUBLIC AWARENESS. Disusun oleh: Ghea Gatya Ezaputri Panduwinata I

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PROGRAM PUBLIC AWARENESS. Disusun oleh: Ghea Gatya Ezaputri Panduwinata I FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIFITAS PROGRAM PUBLIC AWARENESS (Studi Kasus Kampanye Flu Burung oleh Badan Karantina Pertanian di Jakarta) Disusun oleh: Ghea Gatya Ezaputri Panduwinata I34052469

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan ruang darat yang dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memanfaatkan lahan dalam wujud penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN SAWAH DENGAN PENDAPATAN USAHATANI PADI (Studi Kasus Kelompok Tani Harum IV Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi) SKRIPSI OCTIASARI H34070084 DEPARTEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR Oleh : DIKUD JATUALRIYANTI A14105531 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dalam rangka mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan dalam rangka mencapai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. juga merupakan modal utama pembangunan karena semua kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. juga merupakan modal utama pembangunan karena semua kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah bagi manusia merupakan sumber penghidupan dan kehidupan, karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak sehingga mempunyai kedudukan yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat yang dilakukan di seluruh wilayah baik

Lebih terperinci

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA) Tentang: KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN

Lebih terperinci

NILAI ANAK, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA 2-5 TAHUN PADA KELUARGA RAWAN PANGAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH

NILAI ANAK, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA 2-5 TAHUN PADA KELUARGA RAWAN PANGAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH NILAI ANAK, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA 2-5 TAHUN PADA KELUARGA RAWAN PANGAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH CHANDRIYANI I24051735 DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

Lebih terperinci

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA i PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA (Kasus: Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ANNISA AVIANTI

Lebih terperinci

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN LINGKUNGAN FISIK PERMUKIMAN (STUDI KASUS : KECAMATAN RUNGKUT) Disusun Oleh: Jeffrey Arrahman Prilaksono 3608 100 077 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TEMPAT PARKIR DI KABUPATEN GRESIK (Studi tentang parkir di tepi jalan umum kawasan Alun-alun Gresik) SKRIPSI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TEMPAT PARKIR DI KABUPATEN GRESIK (Studi tentang parkir di tepi jalan umum kawasan Alun-alun Gresik) SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TEMPAT PARKIR DI KABUPATEN GRESIK (Studi tentang parkir di tepi jalan umum kawasan Alun-alun Gresik) SKRIPSI Oleh : Firasidah Hasnah 0941010036 YAYASAN KESEJAHTERAAN

Lebih terperinci