TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Ekowisata Ada berbagai definisi tentang konsep ekowisata yang dikemukakan oleh para ahli, dimana berbagai definisi tersebut menunjukkan masih terus berkembangnya konsep ekowisata. Pengertian ataupun ide yang terkandung dalam ekowisata telah lama dilakukan orang, namun pada banyak makalah disebutkan bahwa Hector Ceballos Lascurain adalah yang pertama kali mempergunakan frasa ecotourism pada tahun 1983, yaitu mendefinisikannya sebagai suatu perjalanan ke daerah yang relatif belum terganggu atau yang bersejarah, dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna serta atraksi budaya (Agrusa dan Guirdy 1999). Cater (1993) dalam Agrusa dan Guidry (1999) juga menyatakan bahwa ekowisata mempunyai berbagai pengertian dari setiap orang yang berbeda latar belakang. Namun, pada prinsipnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah alami yang melindungi budaya dan lingkungan, juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Ekowisata ini memberikan kesempatan pada negaranegara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak sumberdaya alam. Konsep ini didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati dan menghargai alam, mendukung konservasi, berdampak negatif pengunjung yang rendah dan memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan aktif mereka secara sosial ekonomi. Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam. Sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 2001). Sedangkan Boo (1992) membuat batasan ekowisata sebagai wisata alam yang mendorong usaha pelestarian dan pembangunan berkelanjutan, memadukan pelestarian dengan pembangunan ekonomi, membuka lapangan kerja baru bagi penduduk setempat serta memberikan pendidikan lingkungan

2 kepada pengunjung. Wood (2002) juga berpendapat bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang bukan semata-mata mencari kesenangan dan hiburan dari suguhan lingkungan alami yang ditontonnya, melainkan diharapkan untuk ikut berpartisipasi langsung dalam membantu konservasi lingkungan sekaligus memperoleh pemahaman lebih dalam tentang seluk beluk ekosistem alam dan budaya, yang pada akhirnya akan membangunkan kesadaran tentang bagaimana ia harus bersikap di masa yang akan datang agar alam dan budaya tetap lestari. Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata yang berlabel ekowisata, yaitu: (i) wisata berbasis alam (nature based tourism), (ii) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata (conservation supporting tourism) (iii) wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) dan (iv) wisata yang berkelanjutan (sustainabilty of tourism). The International Ecotourism Society mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke daerah-daerah alami yang melindungi lingkungan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini berarti bahwa siapa saja yang melaksanakan dan berpartisipasi dalam aktivitas ekowisata harus mengikuti prinsip-prinsip berikut: (i) meminimalisir dampak; (ii) menghargai lingkungan dan budaya; (iii) memberikan pengalaman yang positif, baik pada pengunjung maupun penyelenggara; (iv) memberikan keuntungan dana secara langsung untuk konservasi; serta (v) memberikan keuntungan penghasilan dan memberdayakan masyarakat setempat [TIEShttp:// Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik dasar kegiatan ekowisata, yaitu: 1. Nature based, yakni ekowisata merupakan bagian atau keseluruhan dari alam itu sendiri, termasuk unsur-unsur budayanya, dimana besarnya keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan kekuatan utama dan sebagai nilai jual bagi pengembangan ekowisata; 2. Ecologically sustainable, yakni bersifat berkelanjutan secara ekologis, artinya semua fungsi lingkungan, baik biologi, fisik dan sosial selalu berjalan dengan baik, dimana perubahan perubahan yang terjadi dijamin tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis; 3. Environmentally educative, yakni melalui kegiatan yang bersifat positif terhadap lingkungan, diharapkan dapat mempengaruhi perilaku wisatawan

3 dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap konservasi, sehingga membantu kelestarian dalam jangka panjang; 4. Bermanfaat untuk masyarakat lokal, yakni dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat, misalnya penjualan barang kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana wisata, bertambahnya wawasan, biaya konservasi dan sebagainya; 5. Kepuasan wisatawan, yakni kepuasan akan pengalaman yang didapat dari fenomena-fenomena alam sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap konservasi alam dan budaya setempat. Secara umum, tujuan ekowisata menurut Departemen Kehutanan (1993) dalam Arsyad (1999) adalah: (i) memelihara proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas manusia, (ii) melindungi keanekaragaman genetis melalui perlindungan terhadap keutuhan kawasan konservasi, (iii) menjamin pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam beserta ekosistemnya melalui upaya pemeliharaan terhadap daya dukung dan biodiversity. Ekosistem dan Sumberdaya Wilayah Pesisir Menurut Soegiarto (1976) dalam Dahuri et al. (1996), definisi wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami antara lain terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 1996). Sumberdaya alam bisa diklasifikasikan berdasarkan tipenya, yaitu: (i) sumberdaya yang tidak pernah habis (renewable-perpetual resources), yakni sumberdaya yang selalu tersedia sepanjang kurun waktu kehidupan manusia, contohnya: energi gelombang, angin, pasut dan sebagainya; (ii) sumberdaya

4 yang tidak bisa diperbaharui atau tidak dapat pulih (non-renewable or exhaustible resources), contohnya: bahan bakar alam, logam dan non logam, dan mineral lainnya; serta (iii) sumberdaya yang secara potensial bisa diperbaharui (potentially renewable resources), yaitu sumberdaya yang bila pemanfaatannya tidak melampaui batas-batas daya dukung akan mampu secara alami memperbaharui diri, contohnya adalah: terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun (seagrass bed), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. (Dahuri et al. 1996; Kusumastanto 2000). Ekosistem Mangrove. Ekosistem mangrove seringkali disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau, dimana merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Namun, akibat ketergantungan terhadap aliran air tawar menyebabkan penyebaran mangrove juga terbatas (Dahuri et al. 1996). Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting, yaitu: (i) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen; (ii) sebagai penghasil detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan yang rontok;serta (iii) sebagai daerah asuhan, daerah mencari makan dan daerah pemijahan berbagai biota perairan (Bengen 2004). Selanjutnya, pengelompokan komunitas mangrove menurut Macnae (1968) dalam Supriharyono (2000) dibagi dalam enam zona, yaitu: (i) zona perbatasan dengan daratan; (ii) zona semak-semak tumbuhan Ceriops; (iii) zona hutan Bruguiera; (iv) zona hutan Rhizopora; (v) zona Avicennia; dan (vi) zona Sonneratia. Simbolon (1991) dalam Yahya (1999) membagi manfaat hutan mangrove menjadi dua, yaitu: (i) manfaat langsung, berupa bentuk hasil produksi kayu, buah, daun kulit dan getahnya, serta bentuk jasa sebagai sarana wisata yang saat ini dapat dijual; dan (ii) manfaat tidak langsung, dalam kaitannya sebagai sumber plasma nutfah, iklim dan hidrologis, serta sebagai sarana pendidikan dan penelitian. Sedangkan bagi wisata, mangrove mempunyai dua fungsi, yaitu: (i) sebagai penyaring polutan dari aliran air sebelum masuk ke laut, sehingga dapat melindungi kualitas air laut dan terumbu karang serta (ii) sebagai tempat

5 komunitas burung sehingga dapat bermanfaat langsung sebagai area birdwatching, fotografi, dan canoeing (Huttche et al. 2002) Ekosistem Terumbu Karang. Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur merupakan: (i) tempat tumbuh biota laut, yaitu sebagai tempat memijah, mencari makan, dan daerah asuhan berbagai biota laut; (ii) sumber plasma nutfah; (iii) sumber bahan baku berbagai macam kegiatan, yaitu bahan bangunan, perhiasan, dan penghias rumah; serta (iv) obyek wisata bahari. Selain itu, ekosistem ini berfungsi sebagai pencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, serta pelindung pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, sehingga mampu menjadi pelindung usaha perikanan di laguna dan pelabuhan-pelabuhan kecil (Nybakken 1992; Dahuri et al. 1996). Berdasarkan bentuk pertumbuhannya, Dahl (1981) dalam Ongkosongo (1988) membedakan bentuk hewan karang menjadi enam jenis, yaitu: (i) karang bercabang (Branching); (ii) karang padat (Massive); (iii) karang kerak (Encrusting); (iv) karang meja (Tabulate); (v) karang daun (Foliose) dan (vi) karang jamur (Mushroom). Formasi terumbu karang tersebut selanjutnya secara struktural oleh Odum (1971); Sheppard (1963) dalam Ongkosongo (1988); dikelompokkan menjadi tiga tipe umum, yaitu: (i) terumbu karang tepi (fringing reef/ shore reef), (ii) terumbu karang penghalang (barrier reef) dan (iii) terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga struktur tersebut, terumbu karang tepi yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia (Supriharyono 2000). Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang subur dan mempunyai produktvitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu untuk menahan nutrien dalam sistem serta berperan untuk menampung segala masukan dari luar (Nybakken 1992). Perairan ekosistem terumbu karang juga kaya akan keragaman spesies penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies tersebut adalah adanya variasi habitat yang terdapat di terumbu, dimana ikan merupakan sumberdaya yang paling banyak ditemui. Keunikan dan keindahan ekosistem terumbu karang tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata bahari (Dahuri et al. 1996). Selain nilai estetika, terumbu karang juga mempunyai nilai ekonomi dari pengembangan wisata. Hasil studi White dan Cruz-Trinidad (1998), menyatakan bahwa di Philipina diperkirakan 1km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan dari sektor wisata sebesar $2 000 sampai $

6 Perencanaan Pengembangan Ekowisata Pengembangan ekowisata merupakan konsep wisata yang relatif baru, sehingga diperlukan perencanaan dan kebijakan agar upaya pengembangan yang dilakukan berjalan dengan baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata. Secara konsep, Depdagri (2000) menyatakan bahwa untuk mengembangkan produk kegiatan ekowisata perlu memperhatikan berbagai hal, antara lain: (i) Tata ruang, aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam tata ruang daerah tujuan ekowisata adalah: peruntukan kawasan, kepemilikan, sarana menuju kawasan ekowisata, ambang batas kawasan terhadap dampak kegiatan ekowisata dan topografi. (ii) Sarana dan prasarana; low invest-high value merupakan konsep dalam pengembangan sarana akomodasi ekowisata, yaitu dengan menggunakan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan. (iii) Atraksi dan kegiatan; dimana keanekaragaman hayati dan ekosistem yang khas serta budaya yang unik merupakan kekuatan sekaligus nilai jual bagi pengembangan ekowisata. (iv) Pendidikan dan penghargaan, dilakukan dalam rangka pengembangan kualitas SDM pelaksana kegiatan ekowisata, misalnya melalui pelatihan ecoguide, tour operator, perencanaan pemasaran dan lain-lain, yang bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat. Sedangkan aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), diantaranya adalah: (i) adanya konservasi sumberdaya alam yang sedang berlangsung; (ii) tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan; (iii) tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk-beluk ekosistem kawasan; (iv) tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan; (v) tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumberdaya alam di dalam kawasan; dan

7 (vi) tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata. Hasil studi Isaacs (2000) mengemukakan bahwa ekowisata ditujukan sebagai kegiatan ekonomi yang dapat meminimalisir dampak negatif manusia pada habitat flora dan fauna serta memberikan insentif dalam menjaga alam lingkungan. Namun ternyata potensi ekowisata sebagai sebuah strategi konservasi flora-fauna tersebut dibatasi oleh ketidakmampuannya dalam melindungi kualitas lingkungan secara jangka panjang dan oleh kecenderungannya untuk secara langsung berkontribusi pada degradasi lingkungan. Hal ini dapat terjadi akibat kesalahan dalam menyelenggarakan jasa ekowisata yang cenderung berorientasi ekonomi. Keterbatasan tersebut dapat diatasi jika pemerintah dan pengusaha-pengusaha yang menyelenggarakan jasa ekowisata mampu untuk meminimalisir efek-efek kerusakan dari tingkah laku ekonomi manusia. Jadi dalam mempromosikan ekowisata sebenarnya harus lebih mengutamakan tentang perlindungan lingkungan. Sedangkan studi Wall (1997) menyatakan bahwa kontribusi peranan pariwisata dalam pembangungan berkelanjutan tidak dapat dilihat sebagai aspek tunggal, tetapi harus dilihat keterkaitannya dengan aspek-aspek lainnya. Jika pariwisata ditujukan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka harus meningkatkan secara ekonomi serta bertanggungjawab dalam aspek ekologi dan budaya. Dalam hal ini dipercaya bahwa suatu bentuk pariwisata yang berkelanjutan adalah ekowisata. Namun perlu diketahui bahwa pariwisata berkelanjutan dan ekowisata adalah tidak sama. Banyak ekowisata yang mungkin tidak dapat berkelanjutan, jika pengelolaannya tidak benar. Jika ekowisata diharapkan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, maka dibutuhkan perencanaan dan pengelolaan yang hati-hati. Pengembangan ekowisata di suatu kawasan perlu mempertimbangkan kemampuan atau daya dukung kawasan tersebut untuk menampung wisatawan. Menurut Wolters (1991) diacu dalam Ceballos-Lascurain (1996), daya dukung ekowisata tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan sosial terhadap kegiatan wisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata alam. Jika daya tampung tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumberdaya, akibatnya

8 kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat. Kegiatan pembangunan dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk wisata, akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata yang dibuang ke lingkungan pesisir hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, yaitu kemampuan sistem lingkungan untuk menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan atau bahaya kesehatan manusia. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resource) hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri 1993). Setiap daerah mempunyai kemampuan tertentu untuk menerima wisatawan, yaitu yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan, melainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan wisata itu (Soemarwoto 1997). Kegiatan Ekowisata Kegiatan ekowisata merupakan hal tentang menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan, serta mencegah dampak negatif terhadap ekosistem, kebudayaan dan keindahan (Western 1993 dalam Lindberg dan Hawkins 1993). Ada beberapa bidang dalam kegiatan ekowisata yang berkaitan dengan bidang konservasi, yaitu tentang pengelolaan kawasan yang dilindungi, pembangunan berkelanjutan dan pendidikan lingkungan untuk konsumen (Boo 1993). Berdasarkan hasil penelitian Yahya (1999) dan Fitriani (2004), kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan meliputi:

9 (i) Kegiatan ilmiah, merupakan kegiatan ekowisata yang ditujukan menambah pengetahuan tentang ekowisata. Kegiatan ini dapat berupa pengenalan: vegetasi mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun dan pengenalan satwa liar. (ii) Kegiatan penelitian, merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan suatu kawasan dan proses pengendalian dalam sistem pengelolaan ekowisata, karena melalui penelitian bisa dilakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan pengelolaan ekowisata. (iii) Kegiatan rekreasi, merupakan kegiatan ekowisata yang diharapkan memberikan pengalaman yang berarti dan menyenangkan bagi wisatawan, misalnya: menikmati pemandangan (sight seeing), memotret (photo hunting), mengamati burung (bird watching), board walking, jogging, hiking, camping, panjat tebing, berjemur, olahraga pantai, menyelam, berenang, berlayar dan memancing. (iv) Kegiatan budaya, merupakan kegiatan pengenalan budaya masyarakat setempat, berupa upacara-upacara adat, atau melihat kehidupan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan budidaya dan pengolahan hasil perikanan. Sediaan Wisata Kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang memperhatikan tentang keberlanjutan, perlindungan lingkungan dan konservasi sumberdaya alam, serta ekosistemnya (Fandelli 2000). Analisa sediaan wisata diperlukan untuk mencapai suatu pengelolaan areal wisata yang baik, hal ini karena kompleksnya komponen yang ada dalam sistem kepariwisataan. Analisa tersebut akan memberikan informasi kepada publik tentang kemungkinan pengembangan yang akan dijadikan tempat-tempat wisata (Gold 1980 dalam Maryadi 2003). Menurut Gunn (1994) dalam Maryadi (2003), komponen sediaan wisata terdiri dari: atraksi, pelayanan, transportasi, promosi dan informasi. Masingmasing komponen tersebut saling berkaitan dan mempunyai sifat yang independen, dinamis dan sulit dikelola. Oleh karena itu, pemahaman tentang komponen sediaan atau penawaran wisata perlu dipertimbangkan bagi setiap sektor yang akan terlibat dalam sistem kepariwisataan.

10 Permintaan Wisata Permintaan terhadap suatu komoditas timbul dari kemauan dan kemampuan dalam membeli komoditas tersebut. Teori permintaan mengatakan bahwa jumlah yang diminta (quantity demanded) dari suatu komoditas dipengaruhi oleh harga komoditas tersebut, pendapatan konsumen, harga komoditas lain yang berkaitan (substitusi atau komplemen) dan selera konsumen (Kusumastanto 1995). Selanjutnya, hukum permintaan (law of demand) menyatakan bahwa kuantitas produk yang diminta akan meningkat apabila harga menurun dan kuantitas produk yang diminta akan menurun apabila harga meningkat (Gaspersz 2000). Beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan wisata menurut Yoeti (1990) adalah: (i) pendapatan, (ii) harga, (iii) struktur keluarga, (iv) kualitas obyek wisata sangat mempengaruhi apakah jasa tersebut akan dibeli orang atau tidak; (v) perubahaan cuaca; dan (vi) faktor hari libur. Sedangkan menurut Douglass (1970) diacu dalam Hermawan (1993) mengemukakan bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, keuangan atau tingkat pendapatan, dan komunikasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh selera, alternatif wisata, atraksi, waktu perjalanan dan penawaran wisata yang meliputi seluruh daerah tujuan wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Penawaran wisata yang unsur-unsurnya terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi dalam permintaan wisata alam terbuka. Menurut Lindberg dan Huber (1993) dalam Lindberg dan Hawkins (1993), konsep dasar untuk mengevaluasi pasar atau permintaan adalah tingkat kunjungan dan kesanggupan wisatawan untuk membayar suatu atraksi wisata. Faktor-faktor permintaan secara umum ditentukan oleh: i. Pendapatan. Wisatawan yang lebih kaya akan melakukan perjalanan yang lebih banyak dan mampu membayar lebih. ii. Populasi. Semakin banyak populasi akan semakin banyak permintaan wisata. iii. Selera. Permintaan liburan ekowisata tergantung pada tingkat kesadaran dan kepedulian terhadap konservasi lingkungan. iv. Kesan mengenai lokasi tujuan. Suguhan atraksi yang memberi kesan positif akan mendatangkan lebih banyak wisatawan.

11 v. Kompetisi antar obyek wisata. Semakin unik suatu obyek wisata, semakin tinggi biaya yang ditetapkan. vi. Biaya perjalanan. Semakin rendah biaya perjalanan, semakin tinggi permintaan. vii. Kualitas obyek wisata yang disuguhkan. Tempat-tempat yang menyuguhkan atraksi wisata yang menarik, beraneka ragam dan mudah untuk dilihat, akan lebih banyak permintaan. viii. Kualitas pengalaman perjalanan. Perjalanan yang memberikan kualitas pengalaman, seperti: kondisi penginapan, makanan, guide dan lain-lain berpengaruh pada permintaan. ix. Stabilitas politik dan ekonomi. Wisatawan cenderung memilih lokasi wisata ke negara yang memiliki kondisi politik dan ekonomi stabil. x. Obyek wisata pendukung. Akan lebih banyak permintaan pada tempattempat yang memiliki banyak lokasi wisata. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam Secara umum nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay = WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dalam pengukuran nilai sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumberdaya (Fauzi 2004). Kusumastanto (2000) menambahkan bahwa, nilai ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaanya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Secara garis besar nilai ini dibagi dua macam, yaitu: pertama, nilai manfaat (use value), terdiri dari (i) nilai manfaat langsung (direct use value); (ii) nilai manfaat tidak langsung (indirect use value); dan (iii) nilai manfaat pilihan (option value). Kedua, bukan nilai manfaat (non use value), terdiri dari (i) nilai pewarisan (baquest value) yaitu nilai yang berkaitan dengan perlindungan suatu sumberdaya agar dapat diwariskan pada generasi mendatang; dan (ii) nilai keberadaan (existence value) yaitu nilai

12 keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil. Teknik penilaian atau valuasi ekonomi sumberdaya alam yang tidak dipasarkan (non market valuation) menurut Fauzi (2004) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Pertama, teknik pengukuran tidak langsung (revealed WTP), yang meliputi travel cost, hedonic pricing, dan random utility process. Kedua, teknik valuasi secara langsung dari survei (expressed WTP), yaitu contingent valuation method (CVM), random utility model, dan contingent choice. Travel Cost Method. Kusumastanto (2000) mengemukakan beberapa konsep dalam metode valuasi dengan biaya perjalanan (Travel Cost Method), yaitu: (i) dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam; (ii) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (iii) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan; serta (iv) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut. Pada dasarnya, prinsip kerja Travel Cost Method (TCM) menurut Fauzi (2004) cukup sederhana, yakni untuk mengetahui nilai sumberdaya alam yang atraktif dari suatu tempat rekreasi, misalnya pantai, dimana dilakukan melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut. Lebih lanjut Fauzi (2004) menjelaskan, secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Pertama, pendekatan TCM melalui zonasi, yaitu pendekatan TCM yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Kedua, pendekatan individual TCM, dimana secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisa lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif lebih akurat daripada metode zonasi. Sedangkan menurut Grigalunas et al. (1998) pada dasarnya ada tiga model travel cost, yaitu (i) zonal travel cost; (ii) individual travel cost; dan (iii) discrete choice travel cost yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi perjalanan yang tidak kontinyu, dimana individu mengunjungi suatu lokasi sekali

13 per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak lokasi yang dipilih. Fauzi (2004) menambahkan, dalam menentukan fungsi permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata, pendekatan TCM menggunakan regresi sederhana. Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan (travel cost) dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif. Contingent Value Method. Merupakan metode valuasi ekonomi sumberdaya yang didasarkan atas preferensi atau penghargaan manusia terhadap sumberdaya yang disediakan oleh alam. Preferensi ini sangat tergantung pada karakteristik manusianya, seperti pendapatan, umur, pendidikan dan sebagainya. CVM merupakan suatu teknik yang potensial untuk mengukur nilai barang-barang dan jasa yang tidak dipertukarkan di pasar atau yang tidak mempunyai harga pasar (Adrianto 2006). Fauzi (2004) menambahkan bahwa Contingent Value Method (CVM) merupakan salah satu metode pengukuran nilai ekonomi sumberdaya secara langsung, dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan mereka membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei. Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM, yaitu: (i) membuat hipotesis pasar; (ii) mendapatkan nilai lelang; (iii) menghitung rataan WTP; (iv) memperkirakan kurva lelang dan (v) mengagregatkan data.

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai 2.1.1. Kawasan pesisir Menurut Dahuri (2003b), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai 7 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Pesisir dan Pantai Dahuri et al. (2004) mendefinisikan kawasan pesisir sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (shore

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perencanaan Lanskap Lanskap dapat diartikan sebagai bentang alam (Laurie, 1975). Lanskap berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat hubungan totalitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990, yang dimaksud pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumberdaya pesisir dan laut, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang adalah struktur di dasar laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP

POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP POTENSI DAN USAHA PENGEMBANGAN EKOWISATA TELUK PENYU CILACAP Ekowisata pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa produk jasa lingkungan yang manfaatnya secara langsung bisa di rasakan

BAB I PENDAHULUAN. berupa produk jasa lingkungan yang manfaatnya secara langsung bisa di rasakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam dengan berbagai manfaat baik manfaat yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa produk jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal penyediaan lapangan kerja,

TINJAUAN PUSTAKA. pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal penyediaan lapangan kerja, TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pariwisata Pariwisata merupakan salah satu industri yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal penyediaan lapangan kerja, pendapatan, tarif hidup, dan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pasar Wisata Alam Langkah awal dalam melakukan analisis pengembangan wisata alam berkelanjutan adalah analisis pasar wisata alam yaitu analisis penawaran,

Lebih terperinci

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa)

INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) INTENSITAS DAMPAK LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Studi Kasus Pulau Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa) TUGAS AKHIR Oleh: LISA AGNESARI L2D000434 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Pariwisata Pesisir dan Lautan Berkelanjutan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Pariwisata Pesisir dan Lautan Berkelanjutan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Pariwisata Pesisir dan Lautan Berkelanjutan Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan di dunia sudah populer sejak akhir Tahun 1980 an. Konsep ini muncul sebagai

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir. Hutan mangrove menyebar luas dibagian yang cukup panas di dunia, terutama

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

Travel Cost Method (TCM) Pertemuan 10 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN 2015/2016

Travel Cost Method (TCM) Pertemuan 10 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN 2015/2016 Travel Cost Method (TCM) Pertemuan 10 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN 2015/2016 HISTORY OF TCM TCM metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

Penentuan Nilai Ekonomi Wisata

Penentuan Nilai Ekonomi Wisata Penentuan Nilai Ekonomi Wisata BAGIAN EKONOMI LINGKUNGAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA & LINGKUNGAN FEM IPB Pendahuluan (1) Pendahuluan (2) Pendahuluan (3) TCM metode yang tertua untuk pengukuran nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dahuri (1996) dalam Syakya (2005) menyatakan garis besar konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai empat dimensi: 1. Dimensi ekologis yaitu bagaimana mengelola kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, 19 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian telah dilaksanakan di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur pada bulan April Mei 2013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan TINJAUAN PUSTAKA Danau Perairan pedalaman (inland water) diistilahkan untuk semua badan air (water body) yang ada di daratan. Air pada perairan pedalaman umumnya tawar meskipun ada beberapa badan air yang

Lebih terperinci

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 4.1. Potensi Sumberdaya Lahan Pesisir Potensi sumberdaya lahan pesisir di Kepulauan Padaido dibedakan atas 3 tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Pada pulau-pulau berpenduduk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain

BAB I PENDAHULUAN. sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang perkembangannya memicu sektor lain untuk berkembang karena kegiatan pada sektor-sektor lain menghasilkan produk-produk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Pesisir dan Pantai Defenisi wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) yang diacu oleh Dahuri, dkk. (2004) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi dan Karakteristik Wilayah Pesisir Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove yang dikenal sebagai hutan payau merupakan ekosistem hutan yang memiliki ciri khas didominasi pepohonan yang mampu tumbuh di perairan asin. Komunitas pepohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pulau Madura merupakan wilayah dengan luas 15.250 km 2 yang secara geografis terpisah dari Pulau Jawa dan dikelilingi oleh selat Madura dan laut Jawa. Sebagai kawasan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove (bakau) merupakan suatu bentuk ekosistem yang mempunyai keragamanan potensi serta memberikan manfaat bagi kehidupan manusia baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam berbagai bentukan alam, struktur historik, adat budaya, dan sumber daya lain yang terkait dengan wisata.

Lebih terperinci

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi Cilacap merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang terkenal dengan kota industrinya yang menjadikan Cilacap sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata dan Ekowisata Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah memilikikontribusi ekonomi yang cukup penting bagi kegiatan pembangunan. Olehkarenanya, sektor ini

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci