Kekerasan Atas Nama Agama : Bentuk Pemaksaan Akan Adaan

Transkripsi

1 Kekerasan Atas Nama Agama : Bentuk Pemaksaan Akan Adaan Sandy Hardian.S.H. I. Pendahuluan Kekerasan atas nama agama merupakan permasalahan yang begitu marak di kurun dimana sains, dan teknologi sungguh amat berjaya, yang bahkan menjadikan sains teknologi sebagai Tuhan kemanusiaan baru menggantikan peranan agama. Apa yang sesungguhnya terjadi? Benarkah logika posivistik Comte yang secara tidak langsung menjadi jiwa zaman ini ( Zeitgeist ) keliru? Mengapa semakin manusia percaya pada sains ( saintisme ), justru menyebabkan manusia semakin mememaksakan kebenaran objektifnya pada subjek lain? Telaah ini diawali dengan pembahasan tentang keprihatinan August Comte terhadap kebobrokan hasil Revolusi Perancis ( yang bagi Comte merupakan abstraksi metafisis tentang tugas kenabian ), yang lalu disarankan untuk umat manusia oleh Comte untuk melupakan paradigma teologi dan metafisika untuk kemudian berpaling pada sains sebagai isme baru ; kemudian pembahasan akan beralih pada kritik Heidegger tentang konsepsi onto teo logi yang juga mencakup saintisme Comtean ; lalu pembahasan mengalir melewati konsep Alan Badiou tentang tidak terlepasnya kehidupan manusia dari metafisika, yang berarti manusia tidak dapat hidup tanpa metafisika (? ) ; kemudian telaah diakhiri dengan mencoba menerapkan metafisika ( dalam konteks ini agama ) yang menghidupkan, agama yang sungguh ada bukan sekedar adaan. II. Positivisme August Comte dan Kaitannya dengan Kekerasan Beragama August Comte ( ) merupakan anak abad ke 19, anak era positif, yang menganggap sains sebagai solusi kebobrokan politik Eropa hasil abstraksi metafisis bernama kontrak sosial, yang serupa ( bahkan pada beberapa kondisi lebih parah ) ketimbang kondisi harmoni masyarakat teologis ( pandangan masyarakat antropomorfis yang mendasari sistem politik pada hukum ilahi raja raja ) yang dihancurkan dengan tugas kenabian revolusinya. Comte dalam artikel Metafisika ( 1 ) yang ditulis RP.Dr.A.Setyo Wibowo, SJ pada rubrik Basipedia di Majalah Basis no 05 06, tahun ke 63, 2014 halaman 29 menulis, sebagai berikut : Sesuai dengan kodrat roh manusia itu sendiri, setiap cabang pengetahuan kita dalam perkembangannya selalu tunduk pada tiga kondisi

2 teoretis yang berbeda, yaitu kondisi teologis atau fiktif, kondisi metafisis atau abstrak, dan akhirnya kondisi saintifik atau positif. Kondisi teologis yang dimaksud oleh Comte disini bukan melulu merujuk pada sistem teologi skolastik warisan abad pertengahan, melainkan kondisi fiktif masyarakat dimana manusia berpikir tentang adanya landasan peristiwa yang diakibatkan oleh kehendak antropomorfis ( Allah, dewa dewi, roh ). Pada kondisi ini manusia cenderung menyukai pertanyaan yang tidak dapat dipecahkan, seperti kodrat paling intim dari segala sesuatu, dan mencari sebab sebab esensial. Pada kondisi inilah manusia hidup dalam politik yang didasarkan pada pemimpin hasil hak ilahi, serta pada kehidupan kesehariannya cenderung mengaitkan asal fenomena pada fakta lain yang fiktif. Kondisi yang merupakan tahap remaja dalam pendewasaan manusia. Pada tahap ini kenyataan dideskripsi lewat abstraksi metafisis yang seolah tampak logis, tetapi pada hakikatnya abstrak karena merupakan konsepsi yang berada di luar fakta itu sendiri. Kondisi metafisis bukan hanya merujuk pada sistem sistem metafisika klasik ( seperti Hermippios Ariston dari Ceos yang memberi judul ta meta physika untuk manuskrip manuskrip Aristoteles pasca Fisika ), melainkan pada kondisi masyarakat yang yang menjelaskan fenomena dengan abstraksi yang seolah olah tampak riil. Hasilnya adalah orang mendasarkan sistem politiknya pada kemanusiaan universal, demokrasi, dan ide ide yang tampak manusiawi tapi belum tentu dapat diuji kebenarannya di hadapan Hakim Agung bernama Sains. Kondisi dewasa atau dapat dikatakan kondisi ultima yang paling manusiawi menurut Comte adalah Kondisi positif, dimana sains serta teknologi menjadi landasan hidup manusia. Fakta fakta dalam masyarakat dapat diselidiki dengan metode ilmiah Kantian ( dengan kategori kategorinya ) yang kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Manusia Sains dalam anggapan Comte tidak lagi mencari dasar segala sesuatu yang sulit dicapai, melainkan manusia sekedar mencari hubungan antar fenomena yang nantinya dapat direkayasa menjadi teknologi yang digunakan untuk kemanusiaan manusia itu sendiri. Jadi dapat disimpulkan ujung dari manusia bertanya mengapa adalah bagaimana. Lewat pencarian hukum hukum sains yang dalam anggapan Comte sangat pasti, kemajuan dapat terjadi. Poistivisme mengusung tema : Tatanan dan Kemajuan. Comte dalam konteks ini menggunakan sains ( juga teknologi ) sebagai proyek revolusi kemanusiaan. Comte bukan hanya menganggap sains sebagai sains, tetapi sains juga sebagai sistem kepercayaan paling objektif. Dengan kata lain, sains menjadi katolisisme baru tanpa kekristenan, suatu kepercayaan yang bersifat jauh mengglobal daripada agama, dan mempunyai senjata paling ampuh sebagai pembenaran, yaitu logika.

3 Sedari awal segala isme yang digunakan oleh Comte sebagai landasan kebenaran memiliki potensi penindasan. Masyarakat yang didasari agama jelas memiliki kondisi penindasan pada mereka yang berbeda keyakinan, jika saja penerapan nilai kebenaran agama harus berlaku universal, yang jika tidak ditaklukan dengan kekerasan. Pun begitu dengan metafisika yang menuntut objektivasi dalam kerangka non individu, sehingga menyamaratakan kumpulan individu dalam kelas kelas sosial ( menjadikan individu bermentalitas budak mengutip kalimat Nietzsche ) demi terciptanya agenda sosial yang merupakan imaji dari harapan kehidupan yang nantinya belum tentu bertambah baik ( sebagai contoh proyek Revolusi Stalinis yang membunuhi satu per satu tokoh kiri yang dianggap tidak sejalan dengan kemajuan ). Apakah sains juga berdampak destruktif pada kemanusiaan? Nyatanya memang begitu, tampak dalam fakta keseharian mahasiswa bahkan dosen yang berlagak sok atheis justru seringkali memaksakan kehendaknya yang dipenuhi berbagai perhitungan matematis ( aksioma matematis juga sebentuk kepercayaan ) untuk membuktikan Tuhan itu tidak ada kepada kaum theis yang juga turut membalas pula. Kondisi inilah yang mewarnai perjalanan sejarah manusia pada pertengahan abad ke 20 sampai sekarang. Kemanusiaan direduksi menjadi bentukan data yang tidak mau dipertanyakan lagi absolutisme nya, lalu digunakan sebagai pembenaran eksploitasi manusia oleh manusia lainnya. Dunia agama yang tadinya belum se universal, dan absolut seperti sekarang mengadopsi metode pemaksaan logis sains tersebut yang tentunya akan berbenturan dengan realitas kebenaran kepercayaan lainnya. Dalam banyak kasus, legalisasi kekerasaan agama era sekarang justru didorong dengan pelbagai konsep konsep logis yang awalnya didapat hanya dari saintisme. Potensi penindasan pun semakin membesar. III. Kritik Atas Metafisika : Dari Adaan menuju Ada Menurut pandangan Heidegger sejarah filsafat barat dari Plato sampai Nietzsche adalah sejarah metafisika yang ditandai dengan karakter onto teo logi ( maksudnya adalah filsafat terobsesi mencari on sebagai Sang Ada terakhir yang dijadikan sebagai landasan ultima pengetahuan, lalu Sang Ada dijadikan wacana ketuhanan ( theos ), yang akhirnya dibungkus dengan pemikiran terarumentasi ( logis ). Plato mengawalinya dengan mereduksi kenyataan ultima sebagai idea, yang dilanjutkan oleh deretan filsuf barat lainnya sebelum diakhiri Nietzsche dengan transvaluasi nilai, dan kehendak kuasa-nya yang merupakan pembalikan dari segala idea Platonisme. Dapat dikatakan Nietzsche lah metafisikus terakhir yang membuka wacana negatif tentang substansi, dan esensi yang diteruskan dengan dekonstruksi di era posmodern. Program kritik metafisika Heidegger merupakan penyudahan dari identifikasi filsafat sebagai pencarian akan esensi kenyataan.

4 Heidegger menunjukkan bahwa sepanjang sejarah filsafat ada selalu dimengerti sebagai substansi ( ousia ), maka dari itu keyakinan akan kenyataan tidak lepas dari metafisika kehadiran ( Anwesenheit ). Jadi, ada dalam filsafat moderen ( juga melingkupi saintisme ) adalah ada sebagai objek ( apa yang hadir di hadapan manusia sebagai subjek ). Dengan kata lain, kenyataan adalah kumpulan substansi yang eksternal, dan independen terhadap subjek. Dengan kata lain, manusia sebagai subjek merepresentasikan ada sesungguhnya dalam pikiran, lalu menganggap bahwa ada dalam pikiran itu sebagai ada sesungguhnya. Berarti ada direduksi menjadi representasi. Konsekuensinya diskursi tentang metafisika kehadiran, berarti juga metafisika substansialis, juga metafisika representasi. Ada filsafat moderen direduksi menjadi adaan. Herakleitos menyatakan kebenaran merupakan Physis, sesuatu yang tampak sekaligus tersembunyi ( mirip dengan Allah yang tersamar dalam wujud hosti sebagai Tubuh Kristus ). Mengikuti tradisi filsuf prasokratik, Heidegger juga menyatakan bahwa ada sesungguhnya ( Das Sein ), terdiri dari sisi tampak, dan sisi gelap seperti konsep physis. Selama ini, Plato sampai Nietzsche hanya memberikan gambaran sisi tampaknya saja, tetapi mengklaim itu sebagai onto ultima, meskipun sesungguhnya sisi tampak dari physis bukanlah ada ( Das Sein ) melainkan Adaan ( Seiende ) hasil dari metafisika representasi. Jadi, bagaimana cara mencandra Sang Ada sesungguhnya yaitu physis yang meliputi sisi terang dan gelapnya. Berpikir merupakan solusinya, tetapi bukan pola berpikir reduksionis macam filsuf moderen, melainkan paradigma berpikir baru, yaitu sikap keterbukaan, meditasi, dan menunggu di hadapan Sang Ada yang sesungguhnya. Sikap ini berarti mematikan manusia sebagai sang subjek, yang juga mematikan konsep tentang adaan ultima. Manusia dapat melakukan hal ini dengan perasaannya ( stimmung ), hingga akhirnya Sang Ada bukan lagi Sein ( Ada ), melainkan Seyn ( Tiada ). Konsep Sein menjadi Seyn ini mirip dengan konsep ajaran Agama India, utamanya Hindu, dan Buddha( sangat mungkin juga Heidegger membaca Novel Siddhartha Karya Hermann Hesse yang menggambarkan pencarian dua Bodhisattwa berbeda yang melalui berbagai samsara, sampai akhirnya Siddhartha dalam tokoh novel percaya bahwa Kebuddhaan tercapai waktu kita mencandra keseharian ). Pencarian akan ada merupakan samsara, sampai akhirnya kita sadar ketika berpikir, berpuasa, dan menunggu bahwa ada yang kita cari adalah tiada. Jika ingin membuktikan konsep yang mirip pada ajaran Buddha Mahayana, cobalah sesekali cermati Bangunan Candi Bhumisambharabhudhara yang lebih dikenal sebagai Candi Borobudur di Dataran Tinggi Kedu, Jawa Tengah.

5 Sumber : pg Diakses pada 18/03/15 pukul WIB Tampak pada penampang di atas, Candi Brobudur memiliki sembilan teras berundak, dan sebuah stupa induk di bagian puncak yang tidak berfungsi sepenuhnya sebagai candi