Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis Sek ilas Rin gka san Rea lis me

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis Sek ilas Rin gka san Rea lis me"

Transkripsi

1 Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I Nama: Tangguh Dept. Ilmu Hubungan Internasional NPM: Universitas Indonesia Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis Sek ilas Rin gka san Rea lis me Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer. Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu internasional paling penting. 1 Liberalisme Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang, secara ontologis, memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, sifat manusia dalam hukum alam adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama. Kedua, manusia lebih memilih damai daripada konflik. Ketiga, demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik. Keempat, negara dibentuk oleh manusia dan oleh karena itu mampu menuruti hukum alam yang sama dengan manusia. Liberalisme mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan Hal. 1

2 internasional; membawa kemungkinan sistem internasional yang damai; membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik internasional dan keadilan internasional. Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan. 2 Neorealisme Neorealisme menjawab tantangan liberalisme dengan revisi terhadap teori realisme secara radikal. Neorealisme terinspirasi dari model konstruksi teori Imre Lakatos dan teori mikroekonomi; yang pertama membawa teori asumsi minimal sementara yang kedua membawa determinan struktural terhadap perilaku negara. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sistem internasional bersifat anarki, karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib. Kedua, dalam sistem yang demikian, kepentingan utama negara adalah keberlangsungannya sendiri, sehingga negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer. Karena power tersebut bersifat zero-sum, negara menjadi posisionalis defensif, sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan dan memaksakan peraturan institusional. 3 Neoliberalisme Neoliberalisme memiliki dasar yang serupa dengan neorealisme, pertama, karena ia menganggap anarki internasional sangat penting dalam membentuk perilaku negara, namun anarki bukanlah satu-satunya penentu tingkat maupun sifat kerja sama internasional. Kedua, negara juga tetap menjadi aktor paling penting Hal. 2

3 dalam politik dunia. Ketiga, asumsi bahwa negara secara esensial hanya memiliki kepentingan terkait dirinya sendiri juga tidak berubah. Namun, sebagai perpanjangan dari asumsi pertama, interdependensia dan kepentingan bersama pun bukanlah satu-satunya, melainkan bahwa tidak adanya otoritas sentral dunia membuat perjanjian-perjanjian rawan cheating, biaya kerja sama menjadi tinggi, dan informasi menjadi sangat terbatas. Sehingga, negara-negara membentuk institusi atau rejim internasional untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut. 4 Strukturalisme Strukturalisme adalah perspektif bottom up ilmu hubungan internasional yang dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sifat dasar manusia tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat. Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat diidentifikasi dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga, strukturalisme adalah sains. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara nasional (dalam negeri) dan internasional (luar negeri). Strukturalisme memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini adalah ketidaksamaan yang didasarkan eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme memandang kelas sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, namun tidak melupakan peran negara sebagai perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional dipandang berperan membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada. Berbagai varian strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems. Assessment: The Clash of Perspectives Sebagaimana epistemologi ilmu Barat yang menganut pendekatan dikotomis, ilmu hubungan internasional, terutama American school, selalu terstruktur atas debat antara dua perspektif utama yang paling signifikan pada masanya. Pascaperang Dunia II hingga 1980-an, debat tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme, dua perspektif yang mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai kesimpulan yang secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada 1980-an, terjadi pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme dengan neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang berbeda secara holistik dari asumsiasumsi epistemologis, metodologis, ontologis, maupun normatif. Hal. 3

4 Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih mengalami pergeseran menuju dua debat baru antara, pertama, rasionalisme dengan konstruktivisme dan, kedua, konstruktivisme dengan critical theory, yang memunculkan antitesis terhadap rasionalisme dan positivism serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis berasumsi bahwa debat ilmu hubungan internasional ini akan terus mengalami pergeseran, seiring aplikasi metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan selalu menghasilkan sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis saling dibenturkan.) Mengapa selalu terjadi debat? Karena metode inkuiri Socrates? Karena dialektika Hegel? Karena pemahaman postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial yang rentan menghadirkan krisis dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu melahirkan paradigma baru? Karena teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada kepentingan-kepentingan yang bersifat soft power, sehingga langkah-langkah intervensionis dalam diskursus ilmu pun diambil (seperti pembersihan terhadap para guru besar universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut. Karena sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti perkembangan debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan menitikberatkan fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional: bapak -nya debat HI, realisme-liberalisme. Realisme vs Liberalisme: Nasib Dua Perspektif Konfrontatif Realisme dan liberalisme sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan tesis-antitesis sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris bertolak belakang satu sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua perspektif ini tidak dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai pelopor intelektual perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang dilanda perang saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas sebagai state of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya, kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature tidak memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan Hal. 4

5 hubungan dan membuat perjanjian. 6 Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal terbentuknya kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan. Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini pun bagai air dengan minyak. Dalam tataran asumsi dasar, realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya baik, sementara liberalisme menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara inheren. Realisme meyakini bahwa konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia karena perbedaan kepentingan, sementara liberalisme meyakini bahwa manusia lebih memilih damai daripada konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan realis, menganjurkan bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan menekankan politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant, merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik. Realisme menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme memandangnya sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh. (Senada dengan kritik liberalisme ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku apapun teori umumnya, tetap saja dapat dikatakan tidak matang secara konseptual. Hal ini dapat ditinjau dari tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu ambiguitas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti power, balance of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami sistem dunia hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa yang dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan influence dan force serta membedakan antara usable dengan unusable power dan legitimate dengan illegitimate power. 7 Namun, perbedaan yang diungkapkannya setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada persetujuan bersama tentang konsepsi power yang standar.) (Sama seperti istilah balance of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya antara lain sebagai distribusi power, kebijakan, maupun sistem multipolar. 8 Namun, Daniel S. Papp mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam perdebatan: dalam satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki kapabilitas yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada suatu ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang dinamis dan berubah. 9 ) (Serupa dengan konsepsi kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai pertanyaan yang menunjukkan ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam negara yang mendefinisikan kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional berubah ketika pemerintahan bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta? Hal. 5

6 Kelompok mana di dalam negara yang mendefinisikan negara mana yang merupakan kawan maupun lawan suatu negara? 10 Dapat kita lihat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung liberalisme, yang berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan terfragmentasi. Padahal, konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak ukur mendasar dalam realisme.) Menjawab kritik di atas, kalangan realis balik menyerang liberalisme. Agenda politik internasional liberalisme yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit analisis yang sangat jamak dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit mengagregasi faktor-faktor yang berperan dalam mengelaborasi fenomena. Konstelasi pengaruh yang terfragmen dalam aktor-aktornya membuat proses decision making dalam liberalisme tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah aktor rasional, negara tidak predetermined, dan variasi pada tujuan membuat fungsi prediksi perspektif ini tidak sepraktis realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik secara filosofis (seperti pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme liberal; liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition) maupun secara epistemologis (liberalisme ideasional, liberalisme komersial, dan liberalisme republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara seluruh varian tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi. Kalangan realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan kontinuitas konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana juga dalam pergaulan internasional antarnegara. Mereka tidak menerima argumentasi liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam zone of war dan yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan realis meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis cenderung menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena yang terjadi. Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan ideasionalnya bahwa manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan menyodorkan contoh berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia, yang bagi liberalis hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis tidak dapat menerima pandangan realis yang abai terhadap berbagai ancaman nonmiliter dan nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas agenda yang dapat Hal. 6

7 menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada dikotomi antara high politics dengan low politics. Hal. 7

8 Realisme dan Liberalisme: Konfrontatif, Mungkinkah Disintesis? Menurut penulis, perspektif realisme dan liberalisme tidak selalu harus dikonfrontasikan karena berbagai hal. Dalam dimensi ideasional, kita dapat melihat beberapa overlap dalam konsepsi dasar kedua perspektif ini, salah satunya adalah gaung realisme dalam pemikiran para pelopor intelektual liberalisme. Kita dapat melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan Nicollo Machiavelli, tokohtokoh yang berpandangan sangat realis, pun turut menyumbang pemikiran mereka dalam dimensi ontologis liberalisme. Selain itu, perspektif realisme dan liberalisme adalah dua pendekatan yang mengadopsi dasar yang sama, yaitu perspektif pilihan rasional. Sehingga, dalam perbedaan mendasar antara kedua perspektif ini, dapat dicari peluang sintesis melalui metode inkuiri Socrates. Penulis memandang bahwa kita tidak dapat memisahkan begitu saja moralitas dan politik, sebagaimana kita memisahkan kolektivitas, kaidah-kaidah hukum, demokratisasi, dan harmoni dasar kepentingan antara manusia dan negara dengan konsepsi konkret kepentingan nasional. Kita memerlukan realisme yang bermoral, realistis, berprinsip, dan demokratis. Sebenarnya, usaha serupa pernah dilakukan oleh Robert G. Kaufman. Kaufman berpendapat bahwa perhatian realisme atas pentingnya power, geopolitik, kekurangan manusia, dan ketidakleluasaan anarki membutuhkan faktor-faktor tambahan dari tradisi kaum idealis. Ia memilih tiga figur penting dalam debat realisidealis: E. H. Carr, dengan argumennya yang menentang Wilson yang memengaruhi realisme pasca-perang Dunia II dan perkembangan neorealisme; Winston Churchill, yang dengan teori kebijakan luar negerinya berhasil mempersatukan aspek-aspek realisme dan idealisme; serta Reinhold Niebuhr, yang menyumbangkan matriks kritis tentang disposisi untuk menghubungkan norma-norma moral dengan pertimbangan kebijakan luar negeri tanpa tergelincir menjadi sinisme maupun utopianisme. Kaum realis pada masa Morgenthau memahami politik internasional sebagaimana adanya dan seharusnya dalam pandangan sifat ekstrinsiknya daripada sebagaimana orang ingin melihatnya, sehingga lembaga domestik tidak boleh dipungkiri. Diskusi Kaufman mengidentifikasi titik temu pemikiran Carr, Niebuhr, dan Churchill yang dianggap sebagai kaum realis yang paling menonjol dan ketegangan dengan pemikiran kaum realis lainnya. 11 Bagaimana hasil sintesis ini? Kita belum dapat menyaksikan hasilnya karena usaha ini masih dalam tahap eksperimental. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa dari

9 masa ke masa, perkembangan ilmu sosial terjadi melalui proses dialektis sintesis antara dua pendekatan yang dikotomis. Apalagi, realisme dan liberalisme masih sangat relevan dalam memandang politik dunia ini, di mana masih banyak akademisi maupun praktisi yang menggunakannya.

10 Lampiran Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang berorientasi rekreasi, bukan prokreasi Masih ingatkah ucapan Ben Parker terhadap keponakannya, Peter Parker, dalam film Spider-Man? With great power, comes great responsibility. Dalam film tersebut, dikisahkan bahwa Peter menerima kekuatan super dari gigitan seekor labalaba. Ia pun mulai menggunakannya demi kesenangannya sendiri, ia mengikuti suatu turnamen bela diri untuk mendapatkan hadiah uang yang akan ia gunakan untuk membeli mobil dan membuat gadis idamannya, Mary Jane Watson, terkesan. Namun, setelah ia ditipu oleh penyelenggara turnamen tersebut, ia pun mulai mendengarkan nasihat pamannya tersebut dan menggunakannya untuk menegakkan kedamaian di kota New York dengan menjadi seorang superhero berkedok kostum ketat berjaring laba-laba. Sampai di sini, mari kita identifikasi relevansi film box office ini dengan teori hubungan internasional. Gunakan perspektif realisme dan analogikan Peter Parker sebagai suatu negara. Kekuatan laba-labanya merupakan power source-nya. Mobil dan Mary Jane adalah kepentingan nasionalnya. Penyelenggara turnamen bela diri tersebut adalah negara lain yang melakukan cheating terhadapnya dalam suatu perjanjian internasional. Akhirnya, negara Parker menjadi polisi dunia dan menegakkan kedamaian, mulai dari sini gunakan perspektif liberalisme. Ralisme, Pluralisme dan Strukturalisme Beberapa teori dalam HI berkonsentrasi pada aktor dalam sistem internasional, dan hal ini memiliki konsekuensi terhadap pemikiran yang lebih lanjut. Perbedaan pada

11 actor mana yang lebih dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi tujuan dari aktor-aktor ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan mutlak bahkan bisa jadi bertantangan satu sama lain. Realisme misalnya berkonsentrasi pada Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari Negara tak lain ada untuk mendapatkan power yang sebesar-besarnya. Terkait dengan realis para pemikir neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga masih melihat Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru ini sudah mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran. Berbeda dengan perspektif realis yang percaya bahwa untuk memahami HI, kita harus memahami tingkahlaku Negara, pemikir pluralis tidak setuju jika aktor signifikan yang utama dalam HI adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah salah satu dari banyak aktor yang sama-sama punya peran penting dalam studi HI. Mereka tidak hanya menekankan pada pentingnya aktor lain selain Negara seperti MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap kekuasaan dan keamanan Negara terlalu dianggap memiliki peran sentral. Selain dua pendekatan diatas kita juga mengenal apa yang disebut dengan pendekatan strukturalis. Strukturalis menekankan pada hal yang berbeda dari kedua pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional, bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut. Realisme dan Peran Sentral Negara Secara singkat dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang menekankan pada Power (kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai aktor dominan dalam sistem internasional. Power bisa didefinisikan sebagai kemampuan total dari suatu negara yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis (buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi. Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap manusia (negara) ingin mendapatkan power, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan jika hal ini berbenturan dengan yang lain maka akan menimbulkan struggle for power. Mengacu pada banyak pemikir yang terkait dengan realisme seperti Hans J

12 Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides, dan lain-lain, maka pendekatan ini disebut pula sebagai pendekatan pragmatis dalam politik internasional. Pendekatan ini pun banyak diperbaharui oleh para teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam neo-realisme: Inti pemikiran Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik. 2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik, dan menentukan pengaruhnya atas negara lain. 3. Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan, dan menunjukkan power. 4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide and rule). 5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance of Power atau Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang mendominasi system internasional. 6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan nasionalnya (national interest). Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan pada peranan negara dalam hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya aktor lain yang juga berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara aktor lain bersifat peripheral. 2. Mereka juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya. Power didefinisikan sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap punya power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain. Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya. Pluralisme dan Keberagaman Aktor Pluralisme tidak puas pada versi pemikiran realis terutama mengenai penekanan pada actor Negara sebagai pusat dalam HI. Menurut pluralis saat ini Negara tidak lagi memiliki peran sentral dalam HI, karena banyak aktor lain yang juga memiliki peranan penting terutama aktor-akor ekonomi.

13 Berikut inti pemikiran Pluralis: 1. Jika realis berasumsi bahwa Negara ada secara independent dan memiliki kepentingan sendiri, pluralis menawarkan konsep complex interdependence. Complex Interdependence bisa diumpamakan seperti jaring laba-laba, yang dikarakterkan sebagai jaringan yang banyak antara banyak aktor dimana tidak terdapat hirarki dalam isu yang ada. 2. Pluralis juga menekankan bahwa aktivitas internasional tidak hanya melulu tentang tingkah-laku Negara akan tetapi juga tingkah laku aktor lain. Kepentingan Negara juga bukan hanya soal keamanan dan power. Banyak isu lain yang bisa diambil oleh actor non-state, misalnya saja soal isu kelangkaan minyak, karena minyak merupakan hal penting ekonomi modern baik Negara mupun MNCs bisa mengambil keputusan secara berbeda dalam porsi masing-masing. 3. Meski menekankan pada aktor ekonomi namun merreka tidak mengesampingkan internasional aktor lainnya. Misalnya gerakan religius, gerakan nasional dan lain lain, mereka tidak bertindak atas nama negara seperti yang diasumsikan realis. 4. Meski Organisasi internasional seperti PBB dibentuk dan beranggotakan secara resmi negara-negara berdaulat, namun pemikir pluralis tetap berpandangan bahwa organisasi internasional bukan aktor utama dalam HI. Strukturalisme dan Sistem Internasional Berbeda dengan dua pendekatan diatas, yang lebih menekankan pada aktor HI, strukturalisme lebih menekankan pada struktur dalam sistem internasional dan menggapnya bisa memberikan penjelasan aspek mana yang signifikan dalam menggambarkan HI. Strukturalisme tampaknya lebih terlihat sebagai sebuah pendekatan dari pada teori itu sendiri. Karenanya strukturalisme bisa dianggap mengepalai banyak varian teori dibawahnya. Berikut pandangan singkat tentang strukturalisme: 1. Menekankan pada struktur dalam sebuah sistem internasional bukan pada aktor yang bermain didalamnya. Fokus pada struktur dipandang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan aktor dalam melihat HI.

14 2. Strukturalisme skeptis terhadap adanya pengaruh organisasi-organisasi dalam HI termasuk negara, orgnasisasi internasional dan aktor lainnya terhadap struktur luar. 3. Analisis struktural dapat dibedakan tergantung pada beberapa varian yang ada, seperti.: Realisme strukturalis dapat dikatakan sebagai strukturalis yang memandang negara sebagai aktor sentral. Marksis strukturalis menekankan pada struktur kelas dan sosial yang banyak terpengaruh oleh sistem ekonomi. Feminist structuralis merupakan strukturalis yang fokus pada isu gender dalam hubungan sosial. Neorealisme Sebagai varian dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme struktural, yang dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme, neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan.

15 Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity) 1 yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau,,international politics is... struggle for power (1985). Dalam artian filsafat keharusan ini, politik internasional bersifat amoral. Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan. Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesarbesarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema keamanan (security dilemma). Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi 1 Dalam filsafat, dalam kaitannya dengan upaya untuk melihat moralitas sebuah perilaku atau tindakan, dikenal dua prinsip: filsafat keharusan - the philosophy of necessity dan filsafat pilihan -the philosophy of choice (Arnold Wolfers, Discord and Collaboration).

16 yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara memiliki kesamaan tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka (h. 96). Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner, Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism, tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat dengan disiplin lain. Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme. Realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional. Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori yang reduksionis. Metodologi strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai unit analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis

17 karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang sangat membatasi dan menentukan perilaku negara. Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda. STRUKTURALISME DAN IMPLIKASINYA Pengantar Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.

18 Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040) Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040) Ferdinand de Saussure Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme. Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengahtengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum, yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan

19 mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut: 1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman). 2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidahkaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. 3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem). 4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah. Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa. Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.

20 Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam memahami kebudayaan, yaitu: 1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar. 2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsurunsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam. 3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar. Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya. Pierre Bourdieu

21 Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser. Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul outline of a theory of practice dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut. Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakantindakan praktis dalam kehidupan sosial. Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu. Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus adalah produk internalisasi struktur dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan. Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan

22 oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial. Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu: Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup) Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi) Sebagai perilaku yang mendarah daging Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi) Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier. Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda. Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain. Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua,

23 menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status. Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain. Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu: Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas) Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis. Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk. Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut. Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan perbuatan beserta beragan jenis modal. Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat.

24 Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan. Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field. Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. Strukturalisme dalam Kerangka Marxisme Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa telah mengubah sistem feodalisme ekonomi, yang dulunya kekuasaan dipegang oleh pemilik tanah, menjadi kapitalisme ekonomi dimana tujuan penyelenggaraan kegiatan ekonomi adalah akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Dalam kapitalisme terjadi apa yang dinamakan dengan ketidaksederajatan sosial (social inequalities), yaitu keadaan dimana satu pihak akan diuntungkan dan pihak lain dirugikan oleh usaha-usaha untuk akumulasi modal. Keadaan ini membuat kaum buruh yang tidak memiliki alat-

25 alat produksi menjadi tergantung dengan kaum pemilik modal. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Karl Marx atas nasib yang dialami oleh para buruh dan mendorongnya untuk untuk menulis Des Kapital dan Communist Manifesto pada pertengahan abad 19. Dalam tulisannya, Marx mengkritik kapitalisme sebagai sebuah sistem dimana kaum borjuis yang memiliki faktor-faktor produksi akan selalu mengeksploitasi kaum proletar yang membutuhkan kaum borjuis untuk bertahan hidup. Dalam ketergantungan proletar oleh kaum borjuis, upah yang didapatkan buruh jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya didapatkannya, selisih antara upah buruh yang seharusnya dan yang didapat inilah yang merupakan keuntungan nilai tambah yang diambil oleh kaum borjuis. Marxisme mengasumsikan manusia sebagai makhluk materi, karena kehidupan manusia sejak dulu diwarnai dengan kebendaan dan kepemilikan pribadi yang menyebabkan manusia terus berkonflik memperebutkan materi yang merupakan faktor utama proses sosial politik (materialisme historis). Prinsip dasar nya, bukan kesadaran yang menentukan keadaan, tapi keadaan yang menentukan kesadaran. Disini berlaku dialektika materialisme, bila basis adalah ekonomi dan suprastrukur adalah politik, filsafat, sosial, agama, dan negara maka basis menentukan suprastruktur karena segala sesuatunya harus dapat dinilai dengan materi, oleh karena itu maka produksi harus dicapai sebanyak-banyaknya. Agenda utama dari ajaran Marx adalah tatanan dunia baru tanpa ada dominasi dan eksploitasi serta tanpa adanya kelas. Tatanan dunia baru ini diyakini dapat dicapai dengan jalan revolusi yang pada awalnya akan diwarnai oleh konflik antar kelas, karena itu aktor utama dalam HI adalah kelas. Revolusi sosial menurut bayangan Marx adalah keadaan dimana alat-alat produksi akan berada di bawah kontrol proletar. Pada pertengahan 1840 Marx dan Engel menulis bahwa globalisasi kapitalis telah dengan serius mengikis dasar sistem internasional. Konflik dan kompetisi antar negara sebenarnya merupakan konflik antar 2 kelas, borjuis nasional yang mengatur pemerintahan dan proletariat kosmopolitan. Dalam memandang struktur kapitalisme global, marxis melihat bahwa negara tidak otonom tetapi digerakkan oleh kepentingan kelas borjuis, oleh karena itu konflik antar negara sebenarnya merupakan konflik kepentingan antar kelas borjuis antar negara. Selain itu, sistem kapitalisme yang berlaku akan bersifat ekspansif sehingga ia akan berusaha memperluas diri melalui kolonialisme, imperialisme, dan globalisasi ekonomi.

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November February 1913)

Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November February 1913) Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November 1857 22 February 1913) Strukturalisme suatu gerakan pemikiran filsafat yg mempunyai pokok pikiran bhw semua masy & kebudayaan mempunyai suatu struktur

Lebih terperinci

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni

REALISM. Theoretical Intrepretations of World Politics. By Dewi Triwahyuni REALISM Theoretical Intrepretations of World Politics By Dewi Triwahyuni Theory in Brief REALISM & NEOREALISM Key Actors View of the individual View of the state View of the international system Beliefs

Lebih terperinci

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL 1 2 BAB I Memahami Ekonomi Politik Internasional A. Pendahuluan Negara dan pasar dalam perkembangannya menjadi dua komponen yang tidak terpisahkan.

Lebih terperinci

Realisme dan Neorealisme I. Summary

Realisme dan Neorealisme I. Summary Realisme dan Neorealisme I. Summary Dalam tulisannya, Realist Thought and Neorealist Theory, Waltz mengemukakan 3 soal, yaitu: 1) pembentukan teori; 2) kaitan studi politik internasional dengan ekonomi;

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar.

Para filsuf Eropa menyebut istilah akhir sejarah bagi modernisasi yang kemudian diikuti dengan perubahan besar. Tiga Gelombang Demokrasi Demokrasi modern ditandai dengan adanya perubahan pada bidang politik (perubahan dalam hubungan kekuasaan) dan bidang ekonomi (perubahan hubungan dalam perdagangan). Ciriciri utama

Lebih terperinci

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Handout 4 Pendidikan PANCASILA SAMSURI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PANCASILA sebagai Sistem Filsafat Kita simak Pengakuan Bung Karno tentang Pancasila Pancasila memuat nilai-nilai universal Nilai-nilai

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bourdieu tentang Habitus Menurut Bourdieu (dalam Ritzer 2008:525) Habitus ialah media atau ranah yang memungkinkan terjadinya integritas sosial, merupakan hubungan-hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis utama pada tahun 1990-an memunculkan corak perkembangan Hubungan Internasional yang khas. Perkembangan pasca-

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme Studi Media Perspektif Media Krititis MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia BAB 5 KESIMPULAN Dalam bab terakhir ini akan disampaikan tentang kesimpulan yang berisi ringkasan dari keseluruhan uraian pada bab-bab terdahulu. Selanjutnya, dalam kesimpulan ini juga akan dipaparkan

Lebih terperinci

Politik Global dalam Teori dan Praktik

Politik Global dalam Teori dan Praktik Politik Global dalam Teori dan Praktik Oleh: Aleksius Jemadu Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan

Lebih terperinci

TUJUAN NEGARA. Sesuai dengan tujuan bersama yang disepakati Tujuan negara sesuai dengan ideologi yang digunakan dalam negara

TUJUAN NEGARA. Sesuai dengan tujuan bersama yang disepakati Tujuan negara sesuai dengan ideologi yang digunakan dalam negara IDEOLOGI POLITIK TUJUAN NEGARA Sesuai dengan tujuan bersama yang disepakati Tujuan negara sesuai dengan ideologi yang digunakan dalam negara tersebut MINGGU DEPAN 1. Ideologi : Anarkisme dan Komunisme

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

Pertemuan V : Perspektif Teoritis Regionalisme. Diplomasi HI di Kawasan Asia Pasifik Sylvia Octa Putri, S.IP

Pertemuan V : Perspektif Teoritis Regionalisme. Diplomasi HI di Kawasan Asia Pasifik Sylvia Octa Putri, S.IP Pertemuan V : Perspektif Teoritis Regionalisme Diplomasi HI di Kawasan Asia Pasifik Sylvia Octa Putri, S.IP Mengapa teori menjadi penting? Teori adalah pernyataan yang dibuat untuk menjawab pertanyaan

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH

POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH POLITIK HUKUM BAB IV NEGARA DAN POLITIK HUKUM. OLEH: PROF.DR.GUNARTO,SH.SE.A,kt.MH BAGI POLITIK HUKUM. Negara perlu disatu sisi karena Negara merupakan institusi pelembagaan kepentingan umum dan di lain

Lebih terperinci

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan)

The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) The Public Administration Theory Primer (Sebuah Kesimpulan) Tujuan utama buku ini adalah untuk menjawab tentang peran teori terkait permasalahan administrasi publik. Sebagaimana diketahui, tujuan utama

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan RESENSI BUKU

Filsafat Ilmu : Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan RESENSI BUKU RESENSI BUKU Judul : Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan Penulis : Mohammad Muslih Penerbit : Belukar Yogyakarta Cetakan : I, 2005 Tebal : XI + 269 halaman

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

PANCASILA PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi.

PANCASILA PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA. Nurohma, S.IP, M.Si. Modul ke: Fakultas FASILKOM. Program Studi Sistem Informasi. PANCASILA Modul ke: PANCASILA DAN IDEOLOGI DUNIA Fakultas FASILKOM Nurohma, S.IP, M.Si Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA ABSTRACT Menjelaskan ideologi

Lebih terperinci

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH i t a i g k a a n D Sulfikar Amir Edisi 048, Februari 2012 1 Edisi 048, Februari 2012 Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah Tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia menjadi penunjang keberlangsungan hidup manusia. Manusia dengan akal budinya

Lebih terperinci

Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara. Masih ingatkah Anda, apa yang dimaksud dengan ideologi? Mungkin

Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara. Masih ingatkah Anda, apa yang dimaksud dengan ideologi? Mungkin Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara 1. Konsep Pancasila sebagai Ideologi Negara Masih ingatkah Anda, apa yang dimaksud dengan ideologi? Mungkin Anda pernah membaca atau mendengar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak

Lebih terperinci

Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya.

Sumber-sumber kemasyarakatan merupakan aspek dari non pemerintah dari suatu system politik yang mempengaruhi tingkah laku eksternal negaranya. Politik Luar Negeri Amerika Serikat Interaksi antarnegara dalam paradigma hubungan internasional banyak ditentukan oleh politik luar negeri negara tersebut. Politik luar negeri tersebut merupakan kebijaksanaan

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe.

proses sosial itulah terbangun struktur sosial yang mempengaruhi bagaimana China merumuskan politik luar negeri terhadap Zimbabwe. BAB V KESIMPULAN Studi ini menyimpulkan bahwa politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe merupakan konstruksi sosial yang dapat dipahami melalui konteks struktur sosial yang lebih luas. Khususnya

Lebih terperinci

MATA KULIAH TEORI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI AKTOR HI. Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si

MATA KULIAH TEORI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI AKTOR HI. Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si MATA KULIAH TEORI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL TEORI-TEORI AKTOR HI Oleh : Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si TEORI STATE CENTRIS TEORI TRANSNASIONAL CENTRIS TEORI GLOBAL CENTRIS TEORI STATE CENTRIS TEORI STATE

Lebih terperinci

Penutup BAB Kesimpulan

Penutup BAB Kesimpulan BAB 5 Penutup 5.1 Kesimpulan Perkembangan filsafat yang sampai pada pemahaman bahwa perlunya perkembangan pemikiran yang menitikberatkan pada wilayah sosial, membawa filsafat akan perlunya pemahaman solidaritas

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik Pokok Bahasan Pada umumnya, dalam dunia ilmu pengetahuan orang mencoba untuk melihat dan menjelaskan suatu fenomena sosial menggunakan alur dan logika

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global. BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya

Lebih terperinci

PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI

PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI A. Manusia, Politik dan Moral. Manusia adalah mahluk yang bermoral. Hal ini menjadi sesuatu yang mulai kabur dan berubah dalam hal keilmuan,

Lebih terperinci

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea BAB V PENUTUP Tesis ini menjelaskan kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang berimplikasi terhadap program pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia

Lebih terperinci

SAMSURI SEMESTER GASAL 2011/2012 YOGYAKARTA

SAMSURI SEMESTER GASAL 2011/2012 YOGYAKARTA PENDIDIKAN PANCASILA SAMSURI SEMESTER GASAL 2011/2012 YOGYAKARTA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA PENGERTIAN IDEOLOGI DAN IDEOLOGI TERBUKA IDEOLOGI-IDEOLOGI BESAR DI DUNIA: LIBERALISME-KAPITALISME, SOSIALISME,

Lebih terperinci

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi

Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi Sosiologi Pendidikan Sosiologi Politik Sosiologi Hukum Sosiologi Agama Sosiologi Komunikasi Sosiologi Kesehatan Sosiologi Industri Sosiologi Desain Sosiologi Budaya Sosiologi Ekonomi 1 Kajian Sosiologi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bila masa depan adalah kenyataan, apakah masa depan akan dialami oleh setiap orang? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Tetapi yang paling terpenting adalah masa depan itu

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economists and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Six Party Talks merupakan sebuah mekanisme multilateral yang bertujuan untuk mewujudkan upaya denuklirisasi Korea Utara melalui proses negosiasi yang melibatkan Cina,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta rasa dan karsa sehingga dalam tingkah laku dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk, menerima atau menolak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Disana dipaparkan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen

Lebih terperinci

Sosialisme Indonesia

Sosialisme Indonesia Sosialisme Indonesia http://sinarharapan.co/news/read/140819049/sosialisme-indonesia 19 Agustus 2014 12:50 Ivan Hadar* OPINI Sosialisme-kerakyatan bisa diterapkan di Indonesia. Terpilihnya Jokowi sebagai

Lebih terperinci

Pendekatan Studi Perbandingan Pemerintah

Pendekatan Studi Perbandingan Pemerintah Pendekatan Studi Perbandingan Pemerintah Pendekatan Kelembagaan/Institusi onal/tradisional Pendekatan Behavioural/Tingkah Laku Pendekatan Paskabehavioural 1. Pendekatan Kelembagaan (1920an-1930an) Ditemukan

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. keterampilan intelektual. Karena itu pengorganisasian materi pembelajaran

BAB II KAJIAN PUSTAKA. keterampilan intelektual. Karena itu pengorganisasian materi pembelajaran BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterampilan Intelektual Dalam proses belajar mengajar yang menekankan konstruksi pengetahuan, kegiatan utama yang berlangsung adalah berpikir atau mengembangkan keterampilan intelektual.

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas

TINJAUAN PUSTAKA. A. Politik Identitas. Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas 14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Politik Identitas Sebagai suatu konsep yang sangat mendasar, apa yang dinamakan identitas tentunya menjadi sesuatu yang sering kita dengar. Terlebih lagi, ini merupakan konsep

Lebih terperinci

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan negara adikuasa dengan dinamika kebijakan politik luar negeri yang dinamis. Kebijakan luar negeri yang diputuskan oleh Amerika Serikat disesuaikan dengan isu

Lebih terperinci

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si.

Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. PERUBAHAN SOSIAL Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Daru Retnowati, M.Si. Perspektif Dependensi dalam Perubahan Sosial (01) Pertemuan ke-12 Tidak ada negara menjadi maju, kecuali dengan meninggalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai bangsa Indonesia, kita tentu mengetahui dasar negara kita. Dan di dalam Pancasila ini terkandung banyak nilai di mana dari keseluruhan nilai tersebut terkandung

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai 286 BAB VI PENUTUP A. Simpulan Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai lembaga yang mengalami proses interaksi sosial, baik secara pribadi maupun kolektif, tetap saja dipahami

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi ini akan dituangkan kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian mengenai permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini,

Lebih terperinci

A. Pengertian Pancasila

A. Pengertian Pancasila PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI A. Pengertian Pancasila Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Di samping itu juga untuk menunjuk kata kerja yang

Lebih terperinci

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi

Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Kuliah ke-2: Paradigma Teori Sosiologi Teori Sosiologi Kontemporer Amika Wardana. Ph.D a.wardana@uny.ac.id Overview Perkuliahan Konstruksi Teori Sosiologi Proses Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Pengetahun

Lebih terperinci

SISTEM, PENDEKATAN DAN HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN ILMU LAINNYA

SISTEM, PENDEKATAN DAN HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN ILMU LAINNYA SISTEM, PENDEKATAN DAN HUBUNGAN ILMU POLITIK DENGAN ILMU LAINNYA KELOMPOK 2 : VERONIKA S INDAH SARI HASIBUAN ROYHAN PERISTIWANI OLEH : B REGULER 2012 PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL. Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si

KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL. Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si KONTRUKSI SOSIAL DARI TEORI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Oleh : Dr. Purwowibowo, M.Si Pendahuluan Saat ini, dimanapun di dunia ini, klien berjuang di dalam berbagai lembaga untuk menemui pekerja sosial. Barangkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut

BAB VII PENUTUP. sosio-kultural dan struktural. Pemikiran dan aksi politik tersebut 438 BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan. Penelitian tentang etika politik legislator muslim era demokrasi lokal ini menitikberatkan pada pemikiran dan aksi yang dijalankan legislator dalam arena sosio-kultural

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU ( PHS 101 ) Strategic Management and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology. oleh:

FILSAFAT ILMU ( PHS 101 ) Strategic Management and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology. oleh: FILSAFAT ILMU ( PHS 101 ) Strategic Management and The Philosophy of Science : The case for a constructivist methodology oleh: Hendrysan Krisna K. 071211131008 Fransiska Tanuwijaya 071211132014 Pratika

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTERNASIONAL

HUBUNGAN INTERNASIONAL BAB I HUBUNGAN INTERNASIONAL A. Pengertian Hubungan Internasional Hubungan internasional dapat diartikan sebagai hubungan antarbangsa, yang menyangkut hubungan di segala bidang yaitu di bidang politik,

Lebih terperinci

Modul ke: Pancasila. Pancasila sebagai Ideologi Negara. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU

Modul ke: Pancasila. Pancasila sebagai Ideologi Negara. Fakultas MKCU. Finy F. Basarah, M.Si. Program Studi MKCU Modul ke: Pancasila Pancasila sebagai Ideologi Negara Fakultas MKCU Finy F. Basarah, M.Si Program Studi MKCU Pancasila sebagai Ideologi Negara Pancasila Abstract: Pancasila sebagai Ideologi, dan ideologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel.

BAB VIII KESIMPULAN. kesengsaraan, sekaligus kemarahan bangsa Palestina terhadap Israel. BAB VIII KESIMPULAN Puisi Maḥmūd Darwīsy merupakan sejarah perlawanan sosial bangsa Palestina terhadap penjajahan Israel yang menduduki tanah Palestina melalui aneksasi. Puisi perlawanan ini dianggap unik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas Sumber

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai BAB V PENUTUP Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai hubungan antara kebangkitan gerakan politik Islam dalam pergolakan yang terjadi di Suriah dengan persepsi Amerika Serikat, yang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I

BAB VI PENUTUP. Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Dari berbagai deskripsi dan analisis yang telah penulis lakukan dari bab I hingga V penulis menyimpulkan beberapa hal berikut. Pertama, bahwa tidur tanpa kasur di dusun Kasuran

Lebih terperinci

RUANG KAJIAN PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN PENGARANG : SUWARSONO DAN ALVIN Y. SO. Oleh : Wahyu Ishardino Satries. Abstrak

RUANG KAJIAN PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN PENGARANG : SUWARSONO DAN ALVIN Y. SO. Oleh : Wahyu Ishardino Satries. Abstrak RUANG KAJIAN PERUBAHAN SOSIAL DAN PEMBANGUNAN PENGARANG : SUWARSONO DAN ALVIN Y. SO Oleh : Wahyu Ishardino Satries Abstrak This writing is an adaption from the book of Suwarsono and Alvin Y. So Social

Lebih terperinci

Tugas Filsafat. Mohamad Kashuri M

Tugas Filsafat. Mohamad Kashuri M Tugas Filsafat Mohamad Kashuri 090810530M PROGRAM STUDI ILMU FARMASI FAKULTAS FARMASI PASCA SARJANA UNIVERSITAS AIRLANGGA 2008 1. Pendahuluan Sejalan dengan kemajuan pola berpikir manusia saat ini, ilmu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

Ilmu Hubungan Internasional: Tinjauan epistemologi, Metodologi dan Ontologi

Ilmu Hubungan Internasional: Tinjauan epistemologi, Metodologi dan Ontologi Ilmu Hubungan Internasional: Tinjauan epistemologi, Metodologi dan Ontologi Dewi Triwahyuni Matakuliah: Metode Penelitian Hubungan Internasional Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UNIKOM 2012 Page

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga rekomendasi bagi PKS. Di bagian temuan, akan dibahas tentang penelitian terhadap iklan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.

Lebih terperinci

CRITICAL THEORIES Bagian II

CRITICAL THEORIES Bagian II CRITICAL THEORIES Bagian II 1 MARXISME Jalur Pengaruh Pemikiran Karl Mark & Teori Kritis Hegel Neo Marxisme Teori Kritis II Marks Muda Karl Mark Marks Tua Engels Kautsky Korsch Lukacs Gramsci Hokheimer

Lebih terperinci

Dr. Abdul Kadir POSTMODERNISM POSTMODERNISME

Dr. Abdul Kadir POSTMODERNISM POSTMODERNISME Dr. Abdul Kadir POSTMODERNISM E MODERNISME POSTMODERNISME PENGERTIAN POSTMODERNISME 1. Postmodernisme adalah lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern (Lyotard).

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. A. Kesimpulan. jasa, finansial dan faktor produksi di seluruh dunia. Globalisasi ekonomi dipandang

BAB V KESIMPULAN. A. Kesimpulan. jasa, finansial dan faktor produksi di seluruh dunia. Globalisasi ekonomi dipandang 134 BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Globalisasi ekonomi adalah proses pembentukan pasar tunggal bagi barang, jasa, finansial dan faktor produksi di seluruh dunia. Globalisasi ekonomi dipandang juga sebagai

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

Resensi Buku: Melawan Gurita Neoliberalisme. Oleh: Sugiyarto Pramono

Resensi Buku: Melawan Gurita Neoliberalisme. Oleh: Sugiyarto Pramono Resensi Buku Melawan Gurita Neoliberalisme Oleh: Sugiyarto Pramono Resensi Buku: Judul : Melawan Gurita Neoliberalisme Penulis : Budi Winarno Tebal : 174 halaman + x Penerbit : Erlangga Kota terbit : Jakarta

Lebih terperinci

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 berisi rumusan tujuan pendidikan yang kaya dengan dimensi moralitas, sebagaimana disebutkan dalam

Lebih terperinci

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia

Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia Pengaruh Globalisasi Ekonomi Terhadap Perkembangan Ekonomi Indonesia Oleh : Indah Astutik Abstrak Globalisasi ekonomi merupakan proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistim ekonomi global yang

Lebih terperinci

PENGANTAR PERKOPERASIAN

PENGANTAR PERKOPERASIAN PENGANTAR PERKOPERASIAN BAB V : NILAI-NILAI DASAR DAN PRINSIP-PRINSIP KOPERASI OLEH ; LILIS SOLEHATI Y PENTINGNYA IDEOLOGI Ideologi adalah keyakinan atas kebenaran dan kemanfaatan sesuatu, jika sesuatu

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PRAGMATISME Dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur 9 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta

Lebih terperinci

MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS

MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS MASALAH-MASALAH POKOK TEORITIS Walaupun teori adalah suatu abstraksi dari realitas, penting disadari akan hubungan antara keduanya. Teori bukanlah murni abstrak, tanpa berdasarkan pengalaman yang nyata.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama pemikiran marxisme. Pemikiran marxisme awal yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Ideologi marxisme pada saat ini telah meninggalkan pemahaman-pemahaman pertentangan antar kelas yang dikemukakan oleh Marx, dan menjadi landasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalihasandian. Keberlangsungan ini pada akhirnya akan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. pengalihasandian. Keberlangsungan ini pada akhirnya akan membentuk suatu pola BAB I PENDAHULUAN To effectively communicate, we must realize that we are all different in the way we perceive the world and use this understanding as a guide to our communication with others. (Anthony

Lebih terperinci