PENGEMBANGAN KARIR APARATUR SIPIL NEGARA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF KOMPETENSI SOSIAL BUDAYA PADA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN KARIR APARATUR SIPIL NEGARA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF KOMPETENSI SOSIAL BUDAYA PADA"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN KARIR APARATUR SIPIL NEGARA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF KOMPETENSI SOSIAL BUDAYA PADA 1 PEMERINTAH PROVINSI BALI CAREER DEVELOPMENT OF WOMEN CIVIL SERVANT IN SOCIO- CULTURE PERSPECTIVE IN BALI PROVINCIAL GOVERNMENT 2 Milawaty mylaffayza@ymail.com 1021 ABSTRACT Comparison between the number of women and men almost equal. In the public sector the percentage is not much different. Unfortunately, the balance is not apparent on structural positions. In government, women civil servants are not felt take part in strategic positions. The higher the echelon, the fewer the women. ASN women's career development slowed. Whereas Law No. 5 of 2014 on Civil Servants has affirmed the career development of civil servants is done regardless of gender, ethnicity, religion, race, and class. This study aims to see how the women ASN career development in the perspective of socio-cultural competence, as well as factors that support and obstruct the development of their careers. The study was done in the province of Bali in which the aspect of the representation of women in public office is the lowest in Indonesia. The results showed that in number, men ASN in the Government of Bali Provincial more than women ASN. In echelons are, too. Balinese women career opportunities in the structural position are less than men. The the chance is smaller in every level echelon. The decreasing number of women in positions of structural causes more policy control is in the hands of men. Especially in Balinese culture, decision-making tends to be returned to the male. Although Hinduism support the career development of women, but the demands of custom and very strong patriarchal culture makes Baliness women ASN are less motivated to achievers. Keywords : Career development, social culture competence, patriarchy, Bali ABSTRAK Perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki hampir setara. Di sektor publik persentasenya pun tidak jauh berbeda. Sayangnya keberimbangan tersebut tidak nampak pada jabatan struktural. Aparatur sipil negara perempuan dirasakan belum banyak mengambil peran dalam jabatan-jabatan strategis. Semakin tinggi eselonisasi, semakin sedikit jumlah perempuan. Pengembangan karir ASN perempuan melambat. Padahal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah menegaskan pengembangan karir PNS dilakukan tanpa membedakan gender, suku, 1 2 Naskah ini diterima 2 November Direvisi 23 November 2015 Peneliti pada Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Lembaga Administrasi Negara

2 agama, ras dan golongan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengembangan karir ASN perempuan dalam perspektif kompetensi sosial budaya, serta faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan karir mereka. Penelitian dilakukan di Provinsi Bali di mana aspek keterwakilan perempuan dalam jabatan publik paling rendah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara jumlah, ASN laki-laki di Pemerintah Provinsi Bali lebih banyak dibanding ASN perempuan. Demikian pula pada eselonisasi. Peluang karir perempuan Bali pada jabatan struktural lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Peluang itu makin kecil di setiap jenjang eselonisasi. Semakin berkurangnya perempuan pada jabatan struktural menyebabkan kontrol kebijakan lebih banyak berada di tangan laki-laki. Terlebih pada budaya Bali, pengambilan keputusan cenderung dikembalikan kepada laki-laki. Meski ajaran Hindu mendukung pengembangan karir perempuan, namun tuntutan adat dan budaya patriarkhi yang sangat kuat membuat ASN perempuan Bali kurang termotivasi untuk berprestasi. Kata Kunci : Pengembangan karir, kompetensi sosial budaya, patriarkhi, Bali A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penduduk perempuan yang jumlahnya mencapai setengah dari total penduduk Indonesia merupakan sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif laki-laki dan perempuan dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya salah satu pihak akan dapat memperlambat proses pembangunan atau b a h k a n d a p a t m e n j a d i b e b a n pembangunan itu (Nugroho, 2011). B a n y a k a l a s a n m e n g a p a perempuan terdorong untuk maju melangkah ke ranah publik dan tidak stagnan di ranah domestik. Keikutsertaaan perempuan dalam wilayah publik bukan tanpa tujuan atau hanya sekedar menyamakan posisi dengan laki-laki. Keberadaan perempuan dalam ranah publik, contohnya dalam posisi-posisi penting sebagai pembuat kebijakan, setidaknya diharapkan dapat memajukan tingkat keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik. Jika perempuan berada pada posisi pembuat kebijakan maka diharapkan keberadaannya membantu dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang sadar gender. Di sisi lain keikutsertaan perempuan dalam ranah publik memiliki tujuan utama yaitu bekerja, meskipun bekerja bukan menjadi kewajiban utama tetapi perempuan bekerja karena ingin berkembang, ingin mandiri tidak bergantung pada pasangannya. Jika hal ini terwujud maka keterlibatan perempuan dalam lingkup publik akan s e m a k i n b e r t a m b a h d a n u s a h a keikutsertaan perempuan dalam ranah publik akan membangun negara ke arah yang lebih baik dan maju (Panani, 2013). Meski sadar akan kemampuan-nya di sektor publik, tidak dipungkiri tingkat keikutsertaan perempuan di wilayah publik yang identik bidang maskulin 1022

3 masih rendah. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Bappenas yang pada 2012 lalu menemukan bahwa dalam aspek keterwakilan dalam jabatan publik, kesenjangan antara pencapaian laki-laki dan pencapaian perempuan secara umum di Indonesia maupun secara khusus di seluruh provinsi sangat lebar. Pencapaian pembangunan dalam aspek keterwakilan dalam jabatan publik pada laki-laki sebesar 80,7 persen, sementara pencapaian yang sama pada perempuan hanya 19,3 persen. Kesenjangan gender merupakan yang paling dekat. Secara aturan persentase keterwakilan perempuan dipersyaratkan berada pada persentase 30 persen, tapi pada pelaksanaannya jumlah legislatif perempuan hanya terisi 11,5 persen pada Pemilu Di jajaran eksekutif, hingga 2014 hanya terdapat 1 gubernur perempuan dari 34 propinsi di Indonesia dan 14 Bupati/Walikota dari 542 kabupaten/kota. Terkait jabatan struktural dalam p e m e r i n t a h a n, B P S ( d a l a m mencatat bahwa ASN perempuan yang menduduki IA IB IIA 7.14 IIB IIIA IIIB IVA 5.41 IVB Sekjen, Irjen, Dirjen, Deputi, Sestama, dll Kabiro, Kapus, Sekr. Dirjen, dll Kabag, Kabid, dll Kabiro, Kapus, Sekr. Dirjen, dll N = 453 N = N = N = Laki-laki Perempuan (Sumber : ) Gambar 1.Persentase jumlah perempuan di setiap tingkatan eselonisasi di Indonesia kenyataan yang harus dihadapi perempuan baik dalam ranah publik maupun privat. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi termarjinalkan. Sistem budaya patriarkhi yang menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik sebagai wilayah laki-laki mengakibatkan kiprah perempuan di ranah publik pada umumnya berada pada posisi subordinat laki-laki. Ranah politik menjadi contoh jabatan struktural sangat sedikit dibandingkan dengan laki-laki hingga 2013, jabatan struktural yang dijabat oleh ASN perempuan masih berada pada posisi 30 persen sedangkan ASN laki-laki berada pada posisi 70 persen. Secara rasio dari 10 pejabat eselon IV dan V, tiga diantaranya perempuan, sedangkan dari 10 pejabat eselon I, II dan III, dua diantaranya perempuan. Kenyataan minimnya jumlah

4 perempuan dalam posisi strategis seperti tergambar di atas bukan hanya terjadi Indonesia. Awal 1970-an di Amerika Serikat, posisi pimpinan tampak dikuasai laki-laki. Rasio laki-laki dan perempuan menunjukkan ketimpangan tajam. Posisi pimpinan identik dengan stereotip maskulin (Schein dalam Partini, 2013 : 24). Lingkungan mempunyai penilaian negatif terhadap sikap stereotip, seleksi, penempatan dan promosi perempuan. Hasil penelitian Schein tahun 1971, 1973 dan 1975 menunjukkan ada hubungan antara peran seks yang stereotip dengan karakteristik personal dari posisi kepemimpinan menengah (middle management position). Dalam posisi tersebut, lebih digambarkan oleh karakteristik, sikap dan temperamen k e b a n y a k a n l a k i - l a k i d a r i p a d a perempuan. Tuntutan desentralisasi dan demokratisasi mengharuskan adanya peningkatan kapasitas penyelenggaraan pemerintah baik pusat maupun daerah. Salah satu aspek penting dalam implementasi otonomi daerah adalah p e n i n g k a t a n k a p a s i t a s a p a r a t pemerintah daerah. Ini menjadi penting mengingat otonomi daerah juga membutuhkan sumber daya yang berkualitas, termasuk peran ASN perempuan. Dalam pemerintahan, ASN perempuan dirasakan belum banyak mengambil peran terutama dalam jabatan-jabatan strategis. Ketertinggalan ini sangat berpengaruh terhadap hasil keputusan apapun yang menyangkut kepentingan perempuan. Akibatnya banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kurang memperhatikan kepentingan perempuan. Meminjam pendapat Nugroho (2011) ketidakadilan tersebut terjadi di berbagai tingkatan masyarakat; di tingkat negara, di tempat kerja, kelompok etnik masyarakat, lingkungan rumah tangga dan keyakinan diri. Hasil perhitungan Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) tahun 2007 dan 2010 yang dilakukan Bappenas melalui Direktorat Kepen-dudukan, P e m b e r d a y a a n P e r e m p u a n d a n Perlindungan Anak menunjukkan selama tahun perhitungan di atas Propinsi Bali senantiasa menempati peringkat terbawah di antara seluruh propinsi di Indonesia. Rendahnya IKKG Propinsi Bali salah satunya berasal dari aspek keterwakilan dalam jabatan publik. Hasil perhitungan di atas sebenarnya agak memprihatinkan mengingat berdasarkan Indeks Governance Indonesia, Bali justru menduduki peringkat keempat terbaik nasional. Hasil IKKG di atas menunjukkan bahwa perempuan di Bali sebenarnya belum mendapatkan perlakuan yang setara dan adil untuk memperoleh posisi dalam jabatan publik. Padahal menilik dari data statistik, secara nasional tingkat partisipasi kerja perempuan di Bali lebih tinggi dibandingkan daerah manapun di Indonesia. Data statistik menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Provinsi Bali berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1990, 2000 dan Sakernas 2010 mencapai 52,52%, naik 63,06%, dan akhirnya mencapai 70,16% di tahun Beberapa persoalan yang terkait dengan pengembangan karir ASN perempuan membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh, khususnya pengembangan karir ASN perempuan di Provinsi Bali. 1024

5 Rumusan Masalah Terkait dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: a. Bagaimana pengembangan karir ASN perempuan pada Pemerintah Provinsi Bali ditinjau dari kompetensi sosial budaya? b. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat p e n g e m b a n g a n k a r i r A S N perempuan pada Pemerintah Provinsi Bali? B. TINJAUAN TEORI 1. Pembagian Peran Kerja antara Laki- Laki dan Perempuan Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin sebenarnya sudah terjadi di awal-awal kehidupan. Pada waktu manusia masih berpikir sangat sederhana, mereka belajar dari apa yang mereka lihat dalam hidup. Mereka membutuhkan pembagian kerja untuk k e l a n g s u n g a n h i d u p. M u l a i l a h pembagian kerja atas dasar biologis. Mengapa pembagian kerja didasari faktor biologis? Pelajaran sejarah dan antropologi budaya dapat membantu (Murniati, 2004). Sejarah mencatat bahwa sejak zaman dulu telah terjadi pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Dari situ kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan luar (publik) dan pekerjaan dalam (domestik). Dari perbedaan tersebut, tatanan yang membentuk struktur ini, dalam pendidikan keluarga, terlihat dari kegiatan anak laki-laki yang dididik untuk agresif, pergi keluar dan bermain di luar rumah. Sementara anak perempuan dididik untuk memasak, kerasan di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, melayani ayah dan saudara laki-lakinya. Pendidikan ini membentuk struktur: laki-laki dilayani dan perempuan melayani. Apabila perempuan bekerja di luar rumah, struktur tersebut tetap mengikat sehingga perempuan terus diingatkan pada pekerjaan domestiknya. Tersosialisasi oleh lingkungan hidupnya, maka hidup perempuan cenderung berkelompok, mengelola makanan dan obat-obatan. Ini berbeda dengan laki-laki yang bekerja di luar secara bebas. Lingkungan hidup laki-laki mensosialisasikan hidupnya berpindahpindah. Aturan mengenai hidup dibuat perempuan yang hidupnya menetap. B u d a y a i n i d i n a m a k a n b u d a y a matriarkhat, dengan anak dikenal dari garis keturunan ibu. Perubahan budaya matriarkhat menjadi patriakhat terjadi pada waktu laki-laki mengenal peternakan. Sifat peternakan yang menciptakan harta, membutuhkan pelimpahan harta sebagai warisan. Karena kebutuhan pelimpahan ini, laki-laki mulai mencari keturunannya untuk diberi hak waris. Sejak itu, anak dikenal dari garis keturunan ayah. Perubahan yang awalnya wajar-wajar saja, karena peternakan merupakan penyangga pangan juga. Namun dalam proses berikutnya, pandangan manusia mengenai hak milik diperluas, bukan hanya hak milik atas barang-barang, tetapi juga hak untuk mengambil keputusan dalam kehidupan pada waktu yang sama. Maka terjadilah perampasan hak perempuan dalam pengambilan keputusan, peristiwa perampasan ini menjadi semakin kuat ketika manusia menghargai nilai harta lebih tinggi dari nilai manusiawi.

6 Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dapat dibagi dalam tiga peran, yaitu: 1. Kerja produktif adalah semua pekerjaan yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa untuk mendapatkan penghasilan dan pemenuhan kebutuhan dasar. Perempuan dan laki-laki samasama bekerja untuk pekerjaan produktif. 2. Kerja reproduktif adalah pekerjaan yang berkaitan dengan perawatan dan pemeliharaan rumah tangga dan anggotanya, seperti memasak, mencuci, membersihkan, merawat, menjaga dan membesarkan anak dan seterusnya. Jenis pekerjaan ini sangat dibutuhkan dan penting sifatnya, tetapi dianggap tidak sama nilainya dengan pekerjaan produktif. Biasanya pekerjaan reproduktif umumnya tidak dibayar dan tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi yang konvensional. Umumnya pekerjaan ini dilakukan perempuan. 3. Kerja komunitas adalah kegiatan yang dilakukan untuk aktivitas kemasyara-katan seperti upacara dan perayaan yang tujuannya untuk meningkatkan solidaritas dalam masyarakat serta mempertahankan tradisi setempat serta meningkatkan partisipasi dalam kelompok atau organisasi sosial, kegiatan politik di tingkat lokal, dan seterusnya. Baik perempuan dan laki-laki terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan ini, meskipun tidak terlepas dari sistem pembagian kerja berdasarkan gender. 2. Perbedaan Gender dan Seks Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Margaret Mead, telah menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial. Seks adalah p e m b a g i a n j e n i s k e l a m i n y a n g ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakun dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina dan mempunyai alat untuk menyusui. Artinya bahwa secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai kodrat (ketentuan Tuhan) (Nugroho, 2011: 2). Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial, yaitu perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Gender adalah kelompok atribut, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara sosial budaya kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan dan cantik. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan 1026

7 1027 perkasa. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lainnya, dikenal dengan konsep gender. Belakangan ini timbul pemahaman di masyarakat yang tidak pada tempatnya, di mana gender yang pada dasarnya merupakan konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat. Sebaliknya dewasa ini yang sebagian besar dianggap sebagai kodrat khususnya bagi kaum perempuan adalah konstruksi sosial dan kultural. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai kodrat perempuan. Padahal dalam kenyataannya, bagi kaum perempuan, hal-hal tersebut merupakan suatu konstruksi kultural dalam masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan mendidik anak dan merawat kebersihan rumah tangga dapat dilakukan oleh kaum laki-laki. 3. Pengembangan Karir Aparatur Sipil Negara Pengembangan karir menurut Stone (dalam Kadarisman, 2013) adalah proses dan kegiatan mempersiapkan seorang karyawan untuk menduduki j a b a t a n d a l a m o r g a n i s a s i a t a u perusahaan, yang akan dilakukan di masa mendatang. Handoko (dalam Kadarisman, 2013: 325) memberikan pengertian karir sebagai berikut: pengembangan karir merupakan upaya-upaya pribadi seorang karyawan untuk mencapai suatu rencana karir. Berdasarkan pendapat dari Stone dan Handoko di atas, dapat dikemukakan bahwa terdapat berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan karir pegawai, yaitu pegawai itu sendiri, bagian yang mengelola pegawai (organisasi), dan atasan pegawai yang bersangkutan (organisasi). Pegawai yang ingin mendapat pengembangan karir harus mencari informasi tentang pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang diperlukan organisasi, sistem promosi dalam organisasinya. Apabila syarat harus mengikuti pelatihan, apakah pelatihan itu diadakan organisasi atau yang bersangkutan sendiri yang mencari kesempatan, apakah faktor keberuntungan berperan atau tidak dalam pengembangan karir dan mana lebih dominan menentukan promosi, apakah prestasi atau senioritas. Pangkal tolak pengembangan karir pegawai adalah prestasi kerja. Tanpa prestasi kerja yang memuaskan, sukar bagi seorang pegawai untuk diusulkan oleh atasannya agar dipertimbangkan untuk dipromosikan ke pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi di masa depan. Padahal tanpa usul atasan langsung, bagian kepegawaian akan tidak memiliki bahan yang cukup untuk memproyeksikan suatu bentuk promosi bagi pekerja yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah mengatur secara umum pengembangan karir ASN. Pasal 69, ditegaskan bahwa pengembangan karir PNS dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, penilaian kinerja dan kebutuhan instansi pemerintah dengan mempertimbangkan integritas dan moralitas. Lebih lanjut dijabarkan bahwa kompetensi sebagai-

8 mana dimaksud diatas meliputi k o m p e t e n s i t e k n i s, k o m p e t e n s i manajerial dan kompetensi sosial budaya. Kompetensi teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan pengalaman bekerja secara teknis. Kompetensi manajerial diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen dan pengalaman kepemimpinan. Kompetensi sosial struktural diukur dari pengalaman kerja yang berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan sosial kultur. Pendekatan ini d i a m b i l d e n g a n p e r t i m b a n g a n konstruksi sosial budaya akan bisa menjadi alat bantu analisis terhadap berbagai persoalan pengembangan karir ASN perempuan, khususnya dalam konteks keluarga, diri sendiri dan lingkungan. Kajian dilakukan di Provinsi Bali, pertimbangannya adalah, aspek keterwakilan perempuan dalam jabatan publik di Bali paling rendah dibandingkan daerah lainnya di Indonesia. Data yang digunakan adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Perolehan kedua jenis data ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer pengembangan karir ASN perempuan dalam perspektif kompetensi sosial budaya diperoleh dengan menggunakan wawancara dan kuesioner. Sementara data sekunder diperoleh dari jurnal, internet dan sumber-sumber lainnya yang ada hubungannya dengan kajian ini. Narasumber penelitian adalah pejabat struktural dan pejabat fungsional umum yang jumlahnya ditetapkan menurut kebutuhan penelitian dengan teknik random sample. Syarat pemilihan narasumber: (a) perempuan dan laki-laki berwarga lokal, (b) beragama Hindu, (c) menikah, (d) pasangan ikut bekerja, serta (e) mempunyai balita. Syarat sebagai n a r a s u m b e r d i g u n a k a n u n t u k meminimalkan terjadinya perbedaan persepsi sehingga diharapkan muncul data dan hasil penelitian yang objektif. Selain itu meski terkait pengembangan karir ASN perempuan, sudut pandang laki-laki juga diperlukan mengingat pengembangan karir ditinjau dari sudut pandang sosial budaya mulai dari diri pribadi, keluarga dan lingkungan kerja. D. HASIL PENELITIAN Narasumber penelitian berjumlah 33 orang. Kelompok pertama yang menjawab kuesioner berjumlah 25 orang dan kelompok kedua yang menjawab wawancara berjumlah 8 orang. Kelompok pertama berasal dari Badan P e m b e r d a y a a n P e r e m p u a n d a n Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bali sebanyak 13 orang, dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali sebanyak 12 orang. Kelompok kedua adalah para pejabat struktural Provinsi Bali yang terdiri dari : (1) Asisten III, (2) Kabid Mutasi Pegawai BKD, (3) Kabid Pengkajian dan Pengembangan BP3A, (4) Kasubag XX pada Badan YY, (5) Kasubid Pengkajian dan Pengembangan BP3A, (6) Kasubid Pengarusutamaan Gender BP3A, (7), Kasubid Data Kepegawaian BKD, dan (8) Kepala Sub Bidang Jabatan Fungsional BKD. 1028

9 Deskripsi Hasil Kuesioner Kuesioner dalam penelitian ini berjumlah 31 yang terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar; pertanyaan yang terkait individu, keluarga dan organisasi. a) Pertanyaan terkait individu Hasil jawaban narasumber terkait individu dapat dirangkum sebagai berikut: 1. S i f a t y a n g l e b i h m e l e k a t perempuan adalah sabar dan lembut. Sementara intelektual, e m o s i o n a l, a m b i s i u s, s i a p berkompetisi, temperamen, berani, kuat, rasional, perkasa, keras dan tegas lebih dimiliki oleh laki-laki. 2. Narasumber perempuan digambarkan memiliki sifat lebih berani, kurang tegas, lebih sabar, lebih tenang, lebih introspeksi, lebih emosional, lebih lembut, lebih tahan tekanan dan lebih intelektual. Sementara narasumber lakilaki digambarkan memiliki sifat l e b i h t o l e r a n, l e b i h s i a p berkompetisi, lebih tahan tekanan, lebih tegas, lebih temperamen, lebih sabar dan lebih rasional. 3. Sebagian besar waktu narasumber laki-laki dihabiskan untuk urusan pekerjaan. Sementara narasumber perempuan, berimbang antara bekerja dengan keluarga. 4. Mayoritas narasumber menganggap laki-laki yang sebaiknya paling berperan dalam mencari nafkah. 5. Sebagai pasangan yang sama-sama bekerja, dari segi penghasilan, mayoritas narasumber menganggap penghasilan suami yang lebih besar. 6. Seluruh narasumber, memberikan dorongan dan kesempatan kepada pasangan hidup untuk mengembangkan karirnya. 7. Seluruh narasumber, dibesarkan dalam keluarga yang memegang teguh ajaran agama. b) Pertanyaan terkait keluarga Hasil jawaban narasumber terkait keluarga dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Keluarga sangat penting bahkan prioritas dalam kehidupan narasumber. Bagi perempuan Bali, keluarga sangat penting. 2. Di waktu senggang, kebersamaan dengan keluarga lebih dinikmati narasumber dibanding berkumpul dengan rekan kerja atau menyelesaikan pekerjaan kantor. 3. Keluarga menjadi motivasi dalam bekerja dan mengembangkan karir. 4. Mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik lainnya menjadi urusan bersama antara suami dan istri. 5. Keputusan rumah tangga diputuskan suami setelah melalui diskusi d a n k e s e p a k a t a n. B u d a y a patriarkhi menyebabkan segala sesuatunya berkiblat pada lakilaki, termasuk dalam hal pengambilan keputusan. 6. Narasumber laki-laki bersedia meluangkan waktu senggang mereka untuk bekerja di akhir pekan. Namun bagi narasumber perempuan, mereka dengan tegas menolak. Ketegasan tersebut terkait dengan anak balita mereka. Kesempatan untuk bersama keluarga hanya dapat dinikmati pada hari libur dan akhir pekan.

10 7. Perempuan, baik sebagai narasumber maupun sebagai istri narasumber, bekerja karena ingin meringankan ekonomi keluarga. Jadi, pekerjaan pokok mereka bukan hanya sebagai ibu rumah tangga. 8. Narasumber perempuan tidak keberatan melakukan perjalanan dinas selama dua atau tiga hari. Salah satu alasan logis adalah mereka memiliki balita. Narasumber laki-laki memberikan izin pada istri tanpa batas waktu sepanjang ada surat tugas. 9. Penyelesaian pekerjaan domestik sering dilaksanakan berdua oleh s u a m i d a n i s t r i. B e b e r a p a narasumber dibantu keluarga, seperti ibu, mertua atau saudara. Meski demikian suami tetap ikut b e r p e r a n d a l a m p e k e r j a a n domestik. 10. Pertimbangan agama dan budaya sering menjadi dasar bagi narasumber perempuan dalam memilih manakala dihadapkan pada pilihan kesibukan kerja atau k e s i b u k a n r u m a h t a n g g a. Demikian pula dengan narasumber laki-laki saat dihadapkan pada pilihan memberikan izin atau tidak pada istri terkait pengembangan karir istri. c) Pertanyaan terkait organisasi Secara garis besar hal-hal yang dapat ditemui terkait organisasi adalah sebagai berikut: 1. Organisasi telah memenuhi hakhak pegawai. 2. Organisasi telah memberikan kesempatan kepada pegawai untuk maju ke tingkat yang lebih baik. 3. Tidak ada perlakuan khusus bagi ASN perempuan. Seluruh pegawai diberikan perlakuan yang sama sepanjang pegawai melaksanakan kewajibannya. 4. Jenis kompetensi yang dapat menjadi kekuatan dalam pengembangan karir adalah pendidikan yang lebih tinggi, pengalaman kerja, kepemimpinan, diklat struktural dan fungsional, spesialisasi pendidikan, keterampilan teknis, kedisiplinan dan masa kerja. 5. Pegawai bebas mengembangkan kemampuannya. Kemampuan mereka tidak dikaitkan dengan stereotip dan prasangka tentang peran gender. 6. Kondisi lingkungan kerja memberikan dampak terhadap fisik dan psikologis. Jika lingkungan kerja baik maka fisik dan psikologis pegawai akan baik. Sebaliknya jika lingkungan kerja buruk, maka secara fisik dan psikologis pegawai akan merasakan adanya tekanan. 7. Narasumber memiliki kepedulian tinggi tentang perkembangan organisasi. 8. Narasumber mencari informasi terkait kebutuhan organisasi. Informasi yang mereka cari terkait dengan kinerja, budaya kerja, teknologi informasi, peraturan kelembagaan, peraturan kepegawaian, best practice, diklat teknis, pengembangan karir, gender, analisis gender dan informasi lainnya yang terkait dengan tupoksi. 9. N a r a s u m b e r t i d a k p e r n a h mengikuti pelatihan dengan 1030

11 1031 keinginan dan biaya sendiri. Narasumber laki-laki jarang mengikuti pelatihan biaya sendiri, sementara narasumber perempuan tidak ada inisiatif mengikuti diklat dengan biaya sendiri. 10. Keberuntungan dipercaya menjadi salah satu faktor meningkatnya karir pegawai. 11. Promosi dan rotasi belum sesuai dengan kompetensi, terutama bagi narasumber laki-laki. Sementara jawaban narasumber perempuan hampir berimbang. 2. Pengembangan Karir Aparatur Sipil Negara (ASN) Perempuan dalam Perspektif Kompetensi Sosial Budaya pada Pemerintah Provinsi Bali Agama Hindu telah memberikan ruang pada perempuan Bali untuk memilih menjadi ibu rumah tangga semata (sadwi) atau menjadi perempuan karir (brahmawadini). Ajaran Hindu membolehkan perempuan bekerja di luar rumah sepanjang tidak melupakan kodratnya sebagai istri. Ajaran Hindu yang membolehkan perempuan untuk berkarir menjadi salah satu pemicu banyaknya perempuan Bali yang bekerja. Bekerja berdasarkan sifat-sifat yang baik (dharma) dan keinginan atau hasrat (kama) y a n g b a i k u n t u k m e m p e r o l e h penghasilan atau harta (artha) guna m e n c a p a i k e s e j a h t e r a a n d a n kebahagiaan yang abadi (moksah) adalah kewajiban bagi setiap orang Bali umumnya dan perempuan Bali khususnya (Bhagawad Gita dalam Saskara, 2011). Di tingkat Provinsi Bali di tahun 2014, jumlah pegawai ASN sebanyak orang dengan perincian perempuan (39 persen) dan lakilaki (61 persen) dengan usia terbanyak di atas 40 tahun (75 persen). Secara golongan, pegawai golongan III paling banyak tersebar, disusul golongan II, golongan IV dan golongan I. Di semua golongan, pegawai laki-laki lebih banyak di banding pegawai perempuan. Secara eselonisasi juga nampak b a h w a s e m a k i n t i n g g i e s e l o n, kesenjangan jumlah keduanya juga membesar. Pada eselon IV, kesenjangan jumlah laki-laki dan perempuan tidak besar, dari setiap sepuluh jabatan, perbandingan laki-laki dan perempuan seimbang atau paling tidak 6 laki-laki dan 4 perempuan. Pada eselon III, mulai nampak gap yang cukup besar; dari setiap sepuluh jabatan, 7 atau 8 laki-laki mendapatkan kesempatan ini dan Gol IV Gol III Gol II Gol I Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr % % % % % % Pr Lk Pr Lk Pr Lk (Sumber : Data BPS Diolah dan BKD Provinsi Bali, 2015) Gambar 2.Persentase ASN perempuan dan ASN laki-laki lingkup Pemerintah Provinsi Bali berdasarkan golongan dan eselon

12 selebihnya diduduki oleh perempuan. Gap ini makin melebar di eselon II. Pada eselon II, dari setiap sepuluh jabatan, 8 atau 9 laki-laki mendapatkan jabatan dan hanya 1 atau 2 jabatan yang diduduki oleh perempuan Dengan kata lain, semakin tinggi eselon, persentase lakilaki yang menduduki jabatan jauh lebih besar dibanding perempuan. Saat ini, Pemerintah Provinsi Bali memiliki 5 (lima) pimpinan perempuan di eselon II; Dinas Pendidikan, Badan P e m b e r d a y a a n P e r e m p u a n d a n Perlindungan Anak, Rumah Sakit, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Kantor Perpustakaan. Kelima pejabat eselon II di Provinsi Bali tersebut berusia di atas 50 tahun dan seluruhnya telah mengikuti diklat kepemimpinan. Pejabat eselon II laki-laki banyak yang berusia di bawah 50 tahun. Budaya patrilineal yang sangat kuat dan peran agama yang sangat menekankan peran perempuan sebagai istri dan ibu dengan segala kewajibannya membuat langkah perempuan untuk mengembangkan karir lebih lambat dibandingkan laki-laki. Terlebih, dalam pernikahan, pihak perempuan lebih banyak dikenai berbagai peraturan dan konsekuensi. Selain itu secara stereotip, masih banyak anggota organisasi yang memiliki norma tertentu tentang pegawai perempuan dan laki-laki yang ideal. Adat dan tradisi Bali pun, menurut Setia (2002) tak memberi kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin. Dalam adat Bali, perempuan tak bisa ikut rapat adat dan tak bisa menjadi kepala keluarga. Artinya adat Bali tak akan bisa melahirkan pemimpin perempuan. Pertimbangan lainnya, sebagaimana dituturkan narasumber, adalah tuntutan kepala daerah kepada pimpinan SKPD untuk siap memberikan laporan 24 jam selama 7 hari. Kebijakan inilah yang menyebabkan lebih banyak ruang yang tersedia pada laki-laki untuk duduk di eselon II. Bukan semata karena kompetensi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Setiawati (2010) bahwa ketidaksuksesan pemimpin perempuan salah satunya dapat diakibatkan oleh ketidakadilan gender. Sebelumnya Lansing (Kurniawati, 2009) menyebutkan bahwa perempuan Bali mempunyai kekuasaan yang terbatas. Keterbatasan tersebut terlihat dalam ranah keluarga dan masyarakat. Kanter melalui Tokenism Theorynya pun mendukung hal tersebut dengan menyatakan bahwa perempuan memang lebih banyak menjumpai halangan dalam pencapaian karirnya. Perempuan, menurutnya, di sebagian tempat, seperti di negara-negara yang memegang adat ketimuran dengan kuat masih harus menghadapi budaya yang memilihkan karir bagi dirinya, mana yang boleh dikerjakan, mana yang harus dihindari. Meski demikian, narasumber menampik bahwa terjadi ketidakadilan gender. Menurutnya, siapapun yang menduduki jabatan adalah mereka yang mampu berkompetensi dan lulus dalam seleksi jabatan. Tidak ada syarat yang menduduki jabatan adalah perempuan atau laki-laki. Tidak ada itu. Bebas kompetisinya. Narasumber lain pun menyatakan hal yang senada, Pak Gubernur menegaskan tidak akan pernah melakukan mutasi jika tidak sesuai dengan kompetensi. Menurut Kanter (dalam Setiawati, ), s a l a h s a t u f a k t o r y a n g berpengaruh dalam kepemimpinan perempuan adalah the mother (keibuan). 1032

13 1033 Pemimpin perempuan cenderung bersikap sebagaimana layaknya seorang ibu. Faktor ini juga dapat menjadi sebab beberapa jabatan tertentu secara umum dipegang oleh perempuan. Di Provinsi Bali, Dinas Pendidikan, Badan P e m b e r d a y a a n P e r e m p u a n d a n Perlindungan Anak, Perpustakaan, serta Rumah Sakit merupakan organisasi yang lekat dengan peran seorang ibu. Salah satu narasumber memang secara jelas m e n y e b u t k a n b a h w a s i f a t - s i f a t perempuan seperti telaten, cermat, sabar dan lebih rapi memang menjadi salah satu pertimbangan tidak tertulis mengapa instansi tertentu lebih baik dijabat oleh perempuan. Jika di tingkat organisasi, beberapa jabatan tertentu diberikan pada jenis kelamin tertentu, maka tidak demikian halnya di tingkat rumah tangga. Di tingkat rumah tangga, perbedaan jenis kelamin tidak mengakibatkan perbedaan peran. Mencari nafkah menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Pekerjaan yang dilakoni perempuan bukan semata untuk mengisi waktu kosong melainkan meringankan beban keluarga. Perempuan Bali memang sebagian besar ikut bekerja. Entah itu bekerja paruh waktu atau bekerja sambilan. Jika perempuan Bali tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal, maka pilihan pekerjaan akan lari ke sektor non formal. Semua jenis pekerjaan halal dan menghasilkan uang dilakoni perempuan Bali. Kondisi ini pun diakui narasumber. Perempuan Bali tidak manja. Perempuan Bali juga bekerja seperti pekerjaan lakilaki. Bahkan mereka bisa jadi tukang bangunan. Perempuan disini ikut bekerja, ikut suaminya, bukan tidur saja perempuan Bali itu di rumah. Walaupun tidak selevel suaminya, paling tidak dia ikut cari pendapatan untuk rumah tangganya. Kesadaran pada diri perempuan untuk bekerja juga dipengaruhi oleh sistem warisan di Bali yang tidak memberikan ruang pada perempuan. Perempuan yang telah menikah diboyong ke rumah suami atau keluarga suaminya dengan tidak membawa harta. Faktor inilah yang juga secara tidak langsung mendorong perempuan Bali untuk bertanggung jawab terhadap keluarganya dengan cara bekerja. Tanggung jawab ini secara psikologis memunculkan persepsi bahwa bekerja bagi perempuan Bali adalah keharusan, bukan pilihan. Hukum patrilineal di Bali berdampak pada tingginya emansipasi perempuan di sektor ketenagakerjaan. Tak dapat dipungkiri beban kerja perempuan bekerja lebih berat. Hal ini memang tidak terlepas dari peran perempuan. Menurut Handayani dan Sugiarti (Widayani dan Hartati, 2014), perempuan memiliki tiga peran dalam kehidupannya, yaitu peran rumah tangga (reproduktif), peran ekonomi (produktif) dan peran sosial/adat. Ketiga peran di atas hanya dibebankan pada perempuan. Bahkan, menurut O'Brien (Partini, 2013: 2), perempuan bukan hanya menanggung peran ganda, namun menjalankan fungsi tiga karir; karirnya sendiri, karir suami, dan keberhasilan anak-anaknya. Dalam beberapa kasus, beban kerja ini makin bertambah apabila terjadi perkawinan nyentana, sehingga terkadang pihak suami menunjukkan 'kekuasaannya' dengan tidak bekerja, dan menjadikan semua itu sebagai kewajiban istri dan keluarga barunya.

14 Meski demikian kesadaran suami tentang pekerjaan domestik yang bukan hanya dianggap menjadi pekerjaan istri menjadikan suami dan istri dalam penelitian ini mampu berbagi pekerjaan d o m e s t i k. P i h a k s u a m i t i d a k menganggap pekerjaan domestik lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan lelaki. Sayangnya penelitian ini belum mengungkap lebih jauh apakah pekerjaan domestik yang dilakoni oleh pihak laki-laki sudah disepakati masingmasing pihak ataukah dikondisikan. K a u m l e l a k i, s e b a g a i m a n a dituturkan Nugroho (2011,17), memang tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Namun, ketidakwajiban t e r s e b u t j u s t r u m e m p e r k u a t pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan. Dengan demikian terjadi persepsi dalam alam bawah sadar bahwa pekerjaan domestik bagi perempuan adalah kewajiban, sementara bagi laki-laki adalah pilihan. Tidak ada sanksi sosial yang menjerat laki-laki apabila urusan pilihan tersebut tidak dilaksanakan. Beban kerja domestik ditambah d e n g a n b e b a n k e r j a d i k a n t o r menyebabkan terjadinya beban kerja ganda. Meski demikian, hasil wawancara dengan para narasumber menyimpulkan bahwa perempuan Bali memaknai setiap perannya sebagai sebuah kewajiban. Orang Bali selalu berusaha mencapai keadaan tenang dan rahayu dengan mengekspresikan emosinya secara nonverbal, berusaha mengontrol emosi, dan menerima sesuatu secara pasif tanpa suatu protes walaupun hal tersebut tidak berkenan di hati (Widayani dan Hartati, 2014). Sifat seperti itu senada dengan yang diungkapkan Bemmelen bahwa banyak orang Bali cenderung menerima aturan adat apa adanya tanpa mempertanyakan mengapa harus begitu. Surpha (2006 dalam Widayani dan Hartati, 2014 ) menegaskan bahwa umat Hindu memandang bekerja sebagai yajna atau upacara korban suci keagamaan sehingga setiap umat Hindu diwajibkan bekerja sesuai dengan swadharmanya, fungsi, status dan profesinya dalam masyarakat. Kewajiban ini, menurut Yuarsi (Widayani dan Hartati, 2014), membuat perempuan memiliki lebih banyak aturan yang harus ditaati. Salah satu aturan tersebut terdapat dalam kitab Manawadharmasastra yang menyatakan kehancuran keluarga tergantung pada perempuan. Bila perempuannya senang dan bahagia maka keluarganya akan bahagia dan sejahtera. Aturan tertulis inilah yang menjadi sebab kehati-hatian perempuan Bali dalam memutuskan peran yang akan dimainkan dengan porsi lebih besar; peran reproduktif, produktif atau sosial. Seberapa pun berat tugas, kita harus bisa mengatur waktu, demikian dijelaskan salah seorang narasumber. Narasumber lain memberikan kelonggaran bagi bawahannya untuk datang terlebih dahulu ke kantor untuk absen dan setelah itu bisa keluar. Hal ini berarti perempuan Bali berusaha menyesuaikan diri dengan mengatur waktu dan membuat skala prioritas pekerjaan yang harus diambil s e h i n g g a d a p a t m e m i l i h a t a u mendahulukan pekerjaan di tempat kerja atau kegiatan adat yang jadwalnya bersamaan. Pasalnya, kegiatan adat atau kegiatan bersama dalam banjar diupayakan harus diikuti oleh anggota 1034

15 1035 banjar yang bersangkutan. Jika tidak, anggota banjar yang lain pun akan bertindak sama manakala anggota banjar tersebut mempunyai kegiatan yang sama. Mengorbankan adat akan berhadapan dengan sanksi adat yang bersifat sosial, yang menurut Geertz (dalam Saskara, 2011), bentuk hukuman terberat yang dilakukan banjar bukan dalam bentuk denda uang, melainkan mengasingkan seseorang yang menolak tiga kali secara berturut-turut mematuhi keputusan masyarakat. Perempuan Bali dalam penelitian ini digambarkan sebagai perempuan yang bersedia untuk bekerja namun tidak untuk karir. Hal ini tercermin dari indikator: (1) memegang teguh ajaran agama yang sangat menekankan peran istri dan ibu), (2) keluarga menjadi prioritas, (3) kebersamaan dengan keluarga menjadi hal utama, (4) lebih memilih bersama keluarga di akhir pekan, (5) membatasi lama perjalanan dinas, (6) tidak pernah mengikuti pelatihan dengan biaya sendiri, (7) memiliki anak yang masih balita, dan (8) suami berpenghasilan lebih besar. Temuan ini senada dengan yang dikemukakan Marhaeni ( ugm.ac.id, 2011). Marhaeni mengemukakan salah satu faktor penghambat karir perempuan Bali adalah motivasi berprestasi. Hal yang sama disimpulkan Raditya (Instriyanti dan Nicholas, 2014). Menurutnya, persiapan karir merupakan sesuatu yang tidak banyak dilakukan perempuan Bali. Hal tersebut terjadi salah satunya karena pemahaman masyarakat tentang karir hanya sebatas pada pekerjaan yang akan mereka dapatkan tanpa adanya pengembangan terhadap pekerjaannya (Wiranatha dalam Instriyanti dan Nicholas, 2014). Hal ini juga diperkuat dalam penelitian ini di mana narasumber meyakini yang paling berperan dalam mencari nafkah adalah laki-laki. Selain itu perempuan bekerja untuk meringankan beban ekonomi, bukan mengejar karir. Tidak adanya motif berprestasi pada diri perempuan Bali dalam penelitian ini mendukung kesimpulan Homer (Nauly dalam Saskara, 2011) yang m e n g a t a k a n b a h w a d a l a m d i r i perempuan terdapat ketakutan untuk sukses. Hal ini timbul karena adanya b e r b a g a i k o n s e k u e n s i n e g a t i f sehubungan dengan keberhasilan perempuan, antara lain penolakan lingkungan dan kehilangan femininitas. Hal-hal inilah yang merupakan kendala dari masyarakat terhadap perkembangan karir perempuan. Salah satu narasumber pun menyatakan bahwa umumnya perempuan Bali tidak mau menonjolkan diri kecuali dipaksa. Tingkat kompetisinya tidak dominan. Hasil dari penelitian ini pun menunjukkan para narasumber perempuan menilai diri mereka dengan sifat yang kurang tegas, lebih emosional dan sama sekali tidak memberikan pernyataan bahwa mereka siap untuk berkompetisi. Keputusan untuk tidak melakukan p e r e n c a n a a n d a l a m r a n g k a mempersiapkan masa depan sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu, sosial budaya yang mempengaruhi struktur, maupun peluang yang tersedia (Tracey dalam Santrock dalam Instriyanti dan Nicholas, 2014). Pernyataan tersebut sesuai yang dinyatakan Windiana (dalam Instriyanti dan Nicholas, 2014), bahwa seorang wanita Bali yang memiliki peran lebih besar dalam urusan adat dan rumah

16 tangga biasanya tidak banyak terlibat d a l a m k a r i r d a n t i d a k b a n y a k memanfaatkan peluang karir. Jika terdapat waktu luang, waktu tersebut digunakan untuk keluarga. Mereka lebih memilih bersama keluarga dan menjadi seorang ibu di waktu luang. Dalam kitab Manawa Darmacastra disebutkan perempuan diciptakan untuk menjadi ibu. Kemajuan yang dicapai kaum perempuan dalam hal karir selalu dikaitkan dengan keberhasilannya di sektor domestik. Faktor lain yang juga mendukung tidak termotivasinya perempuan untuk berprestasi adalah mutasi kerja yang tidak jelas. Mutasi menyulitkan posisi perempuan, terlebih jika mutasi dilakukan pada jenis pekerjaan yang berbeda. Pekerjaan yang berbeda m e m b u t u h k a n k e m b a l i p r o s e s penyesuaian dan pemahaman, bukan hanya terbatas pada pekerjaan baru melainkan juga pada lingkungan kerja. Hal ini jelas memberi tambahan beban baik fisik maupun psikologis kepada perempuan, meski hal yang sama berlaku pada laki-laki. Namun perempuan Bali jelas memikul beban yang lebih berat karena mereka harus membagi perhatian bukan hanya pada kerja melainkan pada keluarga dan banjar. Selain itu ketidakjelasan siapa yang dimutasi dan yang dipromosi menimbulkan beban tersendiri, terutama bagi pegawai yang telah mengikuti diklat kepemimpinan. Hal ini ditunjukkan oleh keluhan salah seorang narasumber perempuan yang telah bertahun-tahun mengikuti PIM III namun masih tetap di eselon IV dan hanya dimutasi ke berbagai tempat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah mengatur persyaratan mutasi. Dalam Pasal 68 ayat 4 telah dijelaskan ASN dapat berpindah antar dan antara Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, dan Jabatan Fungsional di Instansi Pusat dan Instansi Daerah berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja. Dari isi ayat di atas tergambar dengan jelas tiga hal sebagai dasar mutasi; kualifikasi, kompetensi, dan penilaian kinerja. Sementara hasil penelitian menemukan, Pemerintah Provinsi Bali masih memasukkan pertimbangan kemanusiaan atau pertimbangan lain sebagai syarat keempat di luar dari ketiga syarat yang telah ditentukan. Pertimbangan kemanusiaan yang digunakan Pemerintah Provinsi Bali pada promosi dan mutasi bisa jadi masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang memasukkan syarat objektif lainnya. Terbitnya UU ASN secara otomatis mencabut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tersebut. Meski demikian peraturan pelaksanaan dari UU ASN ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diundangkan atau di tahun 2016 mendatang. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan narasumber, Inikan transisi, jadi kalo betul-betul sudah murni ASN, pasti kami juga arahnya seperti itu. Kalau sekarang kan masih transisi, ada yang baru setengah karena belum ada edaran pasti. Anak yang masih balita juga menjadi salah satu faktor banyak perempuan yang memilih tidak mengejar karir. Masa stagnasi ini terkadang dimulai saat perempuan memasuki 1036

17 1037 kehidupan rumah tangga sampai dengan anak terakhirnya lulus sekolah dasar dan dapat berangkat sekolah sendiri ( S e t i a w a t i, ). N a r a s u m b e r perempuan yang diwawancarai pun mengakui anak yang masih kecil, terlebih bayi, membuat mereka harus secepat mungkin berada di rumah. Hal ini beralasan mengingat pegawai tidak terbiasa membawa anak mereka ke kantor. Faktanya pada saat kunjungan lapangan ke kantor Badan Kepegawaian Daerah dan BP3A tak terlihat anak kecil. Pasal 27 (3) dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebenarnya mengamanatkan bahwa kelengkapan sarana dan prasarana bangunan gedung untuk kepentingan umum, salah satunya adalah penyediaan ruang bayi. Peraturan lain mengenai pemberian ASI eksklusif juga sebenarnya mendukung perempuan untuk tetap bisa bekerja sekaligus menjalankan peran domestiknya. Undang-undang inilah yang belum diterapkan sepenuhnya, termasuk oleh pelaksana pemerintah sendiri, sehingga hambatan karir sebenarnya juga berasal dari instansi. Padahal jika pasal di atas diterapkan, hal tersebut bisa membuka pintu ke arah kebijakan lain, seperti pengadaan ruang anak. Gambaran di atas secara garis besar mendeskripsikan lingkungan kerja yang kurang mendukung pengembangan karir perempuan sekaligus menunjukkan belum adanya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Padahal ke depan, prioritas pembangunan SDM dalam RPJMN III ( ) diarahkan pada peningkatan kualitas SDM, yang salah satunya ditandai dengan pemberdayaan perempuan. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Karir Aparatur Sipil Negara (ASN) Perempuan dalam Perspektif Kompetensi Sosial Budaya Tidak banyak faktor pendukung pengembangan karir ASN perempuan yang ditemui dalam penelitian. Secara garis besar, terdapat tiga faktor pendukung, yaitu: (1) Dukungan suami dan keluarga terhadap pengembangan karir pasangannya. Dukungan ini dapat terlihat dari kerjasama penyelesaian pekerjaan domestik dan izin suami untuk perjalanan dinas. (2) Pekerjaan yang dilakukan perempuan l e b i h k e p a d a u p a y a u n t u k meringankan beban keluarga. Kesadaran tersebut menjadi motivasi untuk bekerja lebih baik (3) Perempuan lebih melekat pada sifat sabar dan lembut. Kedua sifat ini dapat menjadi kekuatan untuk m e m i m p i n d a n m e n g a y o m i bawahannya. Sifat sabar dan lembut dapat menciptakan suasana yang harmonis dalam lingkungan kerja. Kedua sifat ini pun akan membuat laki-laki tidak merasa tersaingi. Sementara faktor penghambat pengembangan karir ASN perempuan adalah: (1) M a s i h k u r a n g n y a m o t i v a s i perempuan untuk berkarir. Hal ini tercermin dari ketidaksediaan untuk bekerja di luar hari kantor, membatasi waktu perjalanan dinas, tidak pernah ada inisiatif mengikuti diklat atas biaya sendiri. Kurangnya motivasi tersebut terkait dengan budaya patrilineal dan ajaran agama Hindu yang mereka anut yang menekankan

18 kebahagiaan rumah tangga terletak di tangan seorang istri. Terlebih jika kehadiran perempuan di rumah sangat dibutuhkan, misalnya karena memiliki anak yang masih balita. (2) Adat dan tradisi Bali tak memberi kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin. Dalam adat Bali, perempuan tak bisa ikut rapat adat, tak bisa menjadi kepala keluarga, artinya adat Bali tak akan bisa melahirkan pemimpin perempuan. Adat dan tradisi ini terakumulasi pada semua sektor. (3) Kesempatan laki-laki untuk mengembangkan karir lebih besar. Hal-hal yang dibutuhkan dalam pengembangan karir seperti intelektual, ambisius, siap berkompetisi, berani, rasional dan tegas, dianggap lebih dimiliki oleh laki-laki. (4) Masih kuatnya stigma yang menyatakan bahwa pencari nafkah adalah laki-laki. Hal ini berdampak pada kesempatan karir lebih besar diberikan pada laki-laki. Stigma tersebut wajar mengingat kuatnya patriarkhi di Provinsi Bali. Budaya ini telah tertanam kuat di masyarakat dan tidak jarang diyakini sebagai sebuah kebenaran dan mempengaruhi cara orang dalam melihat realitas. (5) Mutasi dan promosi meski mempertimbangkan kualifikasi pendidikan dan kompetensi, namun masih ada syarat yang sifatnya like dan dislike. Mutasi seperti ini lebih sulit dialami perempuan karena peran aktif yang dilakoni bukan hanya sebagai pegawai, melainkan sebagai ibu, istri, anak, menantu dan anggota dari banjar. Dengan berbagai peran tersebut, waktu untuk proses adaptasi dan pembelajaran bagi p e r e m p u a n l e b i h s e d i k i t dibandingkan laki-laki. (6) Diklatpim belum menjadi jaminan b a g i p e g a w a i u n t u k d a p a t mengembangkan karirnya ke jenjang yang lebih tinggi. (7) Peraturan yang netral gender. Ketentuan tentang jabatan struktural pada UU ASN tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Padahal aturan tersebut memiliki dampak yang berbeda bagi keduanya. Contoh, diklat yang mengharuskan peserta meninggalkan keluarga akan berbeda dampaknya bagi laki-laki dan perempuan, terutama bagi mereka yang memiliki anak pada usia dini. Hal yang sama berlaku pada peraturan yang tidak memasukkan beberapa kesepakatan dalam Labor Act 13/2003 yang terkait dengan gender. Beberapa kesepakatan tersebut adalah : a) perempuan diberikan izin 2 hari setiap bulan pada hari 1 dan ke 2 menstruasi, b) cuti keguguran selama 1,5 bulan, dan c) izin tidak masuk kerja bagi pegawai laki-laki saat menemani istri melahirkan dan pada saat istri keguguran. (8) Lingkungan kerja yang kurang mendukung. Undang-undang yang mendukung kebutuhan perempuan, seperti UU Nomor 28 Tahun 2002 atau UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, belum diapresiasi sebagaimana yang diharapkan. Meski aturan yang ada hanya himbauan, pimpinan belum memiliki inisiatif untuk memberikan 1038

19 1039 ruang dan fasilitas bagi ASN perempuan untuk menyusui, serta belum adanya fasilitas day care di setiap instansi pemerintah. Meski telah ada tempat penitipan anak, namun tempat tersebut tidak tersedia di setiap instansi sehingga tingkat kekhawatiran ASN perempuan masih tinggi, terlebih jika letak tempat penitipan tersebut agak jauh. E. PENUTUP B e b e r a p a f a k t o r p e n y e b a b pengembangan karir ASN perempuan makin kecil di setiap jenjang jabatan struktural adalah : 1. Meski ajaran Hindu memberikan ruang bagi perempuan Bali untuk berkarir, namun kuatnya budaya patrilineal yang sangat menekankan peran perempuan sebagai seorang i s t r i d a n i b u d e n g a n s e g a l a kewajibannya membuat langkah perempuan untuk mengembangkan karir lebih lambat dibandingkan lakilaki. 2. Secara stereotip, masih banyak anggota organisasi baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki norma tertentu tentang pegawai perempuan dan pegawai laki-laki yang ideal. 3. Masih terdapat pandangan yang diskriminatif tentang perempuan. Jabatan struktural yang lebih tinggi menuntut pejabat untuk siap 24 jam. Jam kerja tersebut dinilai lebih tepat bagi laki-laki ketimbang perempuan. 4. Aturan kepegawaian yang netral berpeluang menimbulkan stereotip. Dari hal-hal tersebut, rekomendasi yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: 1. Upaya mendorong pegawai beralih ke jabatan fungsional tertentu sebaiknya lebih diintensifkan. Hal ini paling tidak mengurangi kecemasan akibat mutasi yang dilakukan tanpa melihat kompetensi, kualifikasi pendidikan, dan diklat yang diikuti. 2. Pada proses penyesuaian kerja dan lingkungan akibat mutasi, beban fisik dan psikologis lebih dirasakan perempuan. Jika Pemerintah Provinsi Bali memberlakukan affirmative action pada saat mutasi dan promosi b e r d a s a r k a n k e c o c o k a n a t a u ketidakcocokan atau bahkan like dan dislike pada jenis kelamin tertentu untuk menduduki posisi tertentu, maka diharapkan affirmative action juga mengarah ke hal yang bersifat kebutuhan, yang secara kodrati berbeda, karena laki-laki dan perempuan memberikan implikasi berbeda pada aktivitas keduanya. 3. Transparansi proses pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pejabat pada jabatan administrasi (administrator, pengawas dan pelaksana,) dan pimpinan tinggi pratama oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sangat diperlukan. Untuk itu koordinasi antara PPK dengan Pembina Manajemen ASN oleh sekretaris daerah propinsi harus diperkuat. Usulan dari Pembina Manajemen ASN di provinsi terkait rekomendasi usulan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian sebaiknya menjadi bahan pertimbangan utama. 4. Membangkitkan kemauan dan kesadaran pegawai ASN perempuan untuk ikut berkompetisi dalam

20 mengisi jabatan struktural. Dengan adanya kepemimpinan perempuan maka akan lahir keputusan yang berasal dari suara perempuan. 5. Penyediaan fasilitas mempertimbangk a n k e b u t u h a n p e r e m p u a n. Penyediaan day care misalnya yang memfasilitasi kebutuhan ASN perempuan yang memiliki anak usia dini yang sekaligus berfungsi sebagai ruang bermain, ruang tumbuh kembang anak dan ruang menyusui. Kekhawatiran ASN perempuan bahwa pengasuhan anak menjadi terbengkalai bila perhatian dan waktu tersita oleh pekerjaan tidak akan terjadi. Hak anak yang terlindungi secara psikologis berpengaruh positif bagi ibu sehingga diharapkan pengaruh positif tersebut berdampak baik terhadap kinerjanya. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik (Online) ( diakses 21 September 2015) Bemmelen, Sita T. Van. Perkawinan Terlarang : Pantangan Berpoligami di Desa-Desa Bali Kuno Erviantono, Tedi. Mei Implementasi Kebijakan Gender Budgeting di Tingkat Lokal Tinjauan Anggaran Responsif Gender pada Struktur APBD Provinsi Bali Tahun Anggaran A r t i k e l. F I S I P Universitas Udayana. Instriyanti, Ni Luh Arick dan Nicholas Simarmata Hubungan Antara Regulasi Diri dan Perencanaan Karir pada Remaja Putri Bali. Jurnal Psikologi Udayana. Vol. 1, No. 2, 2014, Hal Kementerian PPN/Bappenas Pembangunan Kesetaraan Gender Background Study RPJMN III ( ). D i r e k t o r a t Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak. Bappenas. Kerjasama Puskapol-Norwegian Embasssy-The Asia Foundation. A p r i l K e t i m p a n g a n Keterwakilan Perempuan Dalam Birokrasi. Online. (, diakses tanggal 4 November 2015) Kurniawati, Diyan Relasi Gender dalam Masyarakat Bali. Labor Act 13/2003 tentang Manpower. Mosse, J.C Apakah Gender Itu? Dalam mansour Fakih. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta. Murniati, A. Nunuk P Getar Gender : Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Buku Kedua. Yayasan Indonesia Tera bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Nugroho, Riant Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Cetakan ke-2. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. NN. September Banyak Faktor Pengaruhi Perempuan Bali Pegang Jabatan Eselon. Berita. (Online), ( diakses tanggal 4 September 2015). Gender dalam Hindu. Artikel. ( O n l i n e ), ( h t t p : / / h i n d u - lover.blogspot.com, diakses tanggal 28 Agustus 2015) 1040

21 Panani, Artikel Transisi Perempuan dari Ranah Domestik ke Publik. Partini Bias Gender dalam Birokrasi. Tiara Wacana. Yogyakarta. Pembangunan Manusia Berbasis Gender Kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Badan Pusat Statistik. Prastowo, Andi Metode Penelitian Kualititaif. Cetakan Pertama. Ar- Ruzz Media. Jogyakarta. Saskara, Ida Ayu Nyoman Konflik Peran Perempuan Bali di Sektor Publik : Suatu Tinjauan Perspektif Ekonomi dan Non Ekonomi. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. Volume 23 Nomor 1 : Februari 2011, hal Setia, Putu Mendebat Bali. Buku Kedua Trilogi Menggugat Bali. PT. Pustaka Manikgeri. Denpasar. Setiawati, Trias Studi Kepemimpinan Perempuan : Suatu Keharusan Pengarusutamaan. Artikel. (Online), ( diakses tanggal 5 September 2015) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Widayani, Ni Made Diska dan Sri Hartati. Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali : Studi Fenomenologis terhadap Penulis Perempuan Bali. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Volume 13 Nomor 2. Oktober 2014:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat hidup secara berkelompok dalam suatu kesatuan sistem sosial atau organisasi. Salah satu bidang dalam organisasi yaitu bidang politik (Wirawan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER OLEH WAYAN SUDARTA Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan (hak

Lebih terperinci

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER Oleh: Dr. Marzuki PKnH FIS -UNY Pendahuluan 1 Isu-isu tentang perempuan masih aktual dan menarik Jumlah perempuan sekarang lebih besar dibanding laki-laki Perempuan belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dampak pada berbagai hal. Salah satu dampak perubahan itu adalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai dampak pada berbagai hal. Salah satu dampak perubahan itu adalah BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Perubahan lingkungan yang dinamis dalam era globalisasi membawa berbagai dampak pada berbagai hal. Salah satu dampak perubahan itu adalah dalam ranah pemerintahan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mahasiswa identik dengan kaum terdidik yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Peran ganda yang dijalani oleh mahasiswa mendorong mereka untuk

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

Hakekat Perencanaan. Model Perencanaan. Proses Perencanaan Program 5/24/2017. Community Development Program. Prinsip community development program

Hakekat Perencanaan. Model Perencanaan. Proses Perencanaan Program 5/24/2017. Community Development Program. Prinsip community development program Prinsip community development program Community Development Program 1. Perencanaan 2. Evaluasi dan monitoring (Minggu ke 9) Minggu ke 8 bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah Emansipasi wanita telah memberikan semangat dan dorongan bagi kaum perempuan untuk tampil secara mandiri dalam mencapai segala impian, cita-cita dan memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender pada posisi jabatan struktural di Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, yang dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perempuan adalah tiang negara, artinya tegak runtuhnya suatu negara berada di tangan kaum perempuan. Penerus peradaban lahir dari rahim seorang perempuan,

Lebih terperinci

ISU ADMINISTRASI PERKANTORAN. Oleh : MAYA MUTIA, SE, MM Analis Kepegawaian Pertama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

ISU ADMINISTRASI PERKANTORAN. Oleh : MAYA MUTIA, SE, MM Analis Kepegawaian Pertama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur ISU ADMINISTRASI PERKANTORAN Oleh : MAYA MUTIA, SE, MM Analis Kepegawaian Pertama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur PEMERINTAH ADALAH PELAYAN MASYARAKAT SETUJUKAH ANDA?? Kantor Pemerintah Kantor Pemerintah

Lebih terperinci

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 5.1 Beban Ganda Beban ganda wanita adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang wanita (lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu

Lebih terperinci

2.1 Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi SKPD

2.1 Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi SKPD Bab II Gambaran Pelayanan SKPD 2.1 Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi SKPD Pembentukan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kota Bandung ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER By : Basyariah L, SST, MKes Kesehatan Reproduksi Dalam Persfektif Gender A. Seksualitas dan gender 1. Seksualitas Seks : Jenis kelamin Seksualitas : Menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu gender merupakan salah satu masalah utama dalam pembangunan, terkhusus pembangunan sumber daya manusia. Mengutip laporan United Nations (2002), konsep gender merujuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di kalangan birokrat, politisi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA

PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA PENYESUAIAN DIRI PADA LANSIA YANG TINGGAL DI PANTI WREDHA SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh : SANTI SULANDARI F 100 050 265 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi Terhadap Pengembangan Karir 1. Definisi Persepsi Pengembangan Karir Sunarto (2003) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan

Lebih terperinci

B a b I I G a m b a r a n P e l a y a n a n S K P D Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi SKPD

B a b I I G a m b a r a n P e l a y a n a n S K P D Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi SKPD Bab II Gambaran Pelayanan SKPD 2.1 Tugas Pokok, Fungsi dan Struktur Organisasi SKPD Pembentukan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kota Bandung ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12

Lebih terperinci

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Sri Budi Eko Wardani PUSKAPOL - Departemen Ilmu Politik FISIP UI Lembaga Administrasi Negara, 21 Desember 2016 2 Partisipasi Perempuan di Ranah Politik

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ini berfokus pada penggambaran peran perempuan dalam film 3 Nafas Likas. Revolusi perkembangan media sebagai salah satu sarana komunikasi atau penyampaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di era globalisasi sekarang ini menimbulkan berbagai macam perubahan, salah satu dari perubahan tersebut ditandai dengan meningkatnya peran kaum

Lebih terperinci

Perempuan dalam Birokrasi

Perempuan dalam Birokrasi Perempuan dalam Birokrasi Sri Hadiati WK Lembaga Administrasi Negara RI Disampaikan dalam Diskusi terbatas Gender dan Birokrasi Hotel Four Points, Jakarta, 29 Mei 2017 2 Bagaimana perempuan di birokrasi?

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi sudah menjadi kebutuhan utama bagi manusia untuk menunjang aktivitasnya. Adanya transportasi menjadi suatu alat yang dapat mempermudah kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1. yang sakinah, mawaddah dan rahmah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG POLA KARIER PEGAWAI NEGERI SIPIL DI PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (public service. Perbaikan atau reformasi di bidang kepegawaian

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat (public service. Perbaikan atau reformasi di bidang kepegawaian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya merupakan aparatur institusi atau abdi negara yang berfungsi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat (public

Lebih terperinci

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN 1 WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENGISIAN JABATAN TINGGI PRATAMA APARATUR SIPIL NEGARA SECARA TERBUKA DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ( 2005:588), konsep didefenisikan sebagai

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 21 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR KOMPETENSI DAN KUALIFIKASI JABATAN PIMPINAN TINGGI PRATAMA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian

BAB 6 PEMBAHASAN. Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian BAB 6 PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas dan menjelaskan hasil dan analisis pengujian terhadap hipotesis yang telah diajukan. Penjelasan secara diskripsi tentang hasil pnelitian ini menekankan pada

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI KOLAKA TIMUR PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

- 1 - BUPATI KOLAKA TIMUR PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG - 1 - SALINAN BUPATI KOLAKA TIMUR PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA TEKNIS DAERAH LINGKUP PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI KEDIRI KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI KEDIRI KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI KEDIRI KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DAN LEMBAGA TEKNIS DAERAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam memenuhi kebutuhan, pada umumnya manusia menjadikan usaha atau perkerjaan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan semua yang dibutuhkan. Umumnya kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD Kab. Kolaka) A. Pendahuluan

Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD Kab. Kolaka) A. Pendahuluan PROMOSI JABATAN MELALUI SELEKSI TERBUKA PADA JABATAN ADMINISTRATOR; TATA CARA PELAKSANAAN DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DILINGKUNGAN PEMERINTAH KAB. KOLAKA Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD

Lebih terperinci

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA! 4 dari 5 laki-laki seluruh dunia pada satu masa di dalam hidupnya akan menjadi seorang ayah. Program MenCare+ Indonesia adalah bagian dari kampanye global

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 8-2003 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 89, 2007 OTONOMI. PEMERINTAHAN. PEMERINTAHAN DAERAH. Perangkat Daerah. Organisasi.

Lebih terperinci

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender By : Fanny Jesica, S.ST DEFINISI KESEHATAN REPRODUKSI K E S P R Suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, bebas dari penyakit dan kecacatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir separuh dari seluruh kehidupan seseorang dilalui dengan bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan berbagai perasaan dan sikap. Saat ini,

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap perusahaan senantiasa membutuhkan manajemen yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap perusahaan senantiasa membutuhkan manajemen yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan senantiasa membutuhkan manajemen yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk mencapai tujuan tertentu bagi organisasi tersebut. Keberhasilan perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu dalam penerimaan siswa,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin pesat membuat kebutuhan rumah tangga semakin meningkat. Kurangnya pendapatan yang dihasilkan suami sebagai kepala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini sebagai salah satu institusi yang memiliki peran sentral dan strategis dalam proses transformasi sosial serta pemberdayaan insani,

Lebih terperinci

WALIKOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN WALIKOTA SAMARINDA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN WALIKOTA SAMARINDA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG 1 WALIKOTA SAMARINDA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN WALIKOTA SAMARINDA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KOTA SAMARINDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

Biro Umum Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Nopember 2017

Biro Umum Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Nopember 2017 Biro Umum Institut Teknologi Sepuluh Nopember Nopember 2017 Status ITS sebagai PTN Badan Hukum, ITS memiliki otonomi dalam pengelolaan sumber daya manusia. Pelaksanaan dari ketentuan dalam Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

SISTEM MERIT DAN KESETARAAN GENDER JABATAN PIMPINAN TINGGI (JPT)

SISTEM MERIT DAN KESETARAAN GENDER JABATAN PIMPINAN TINGGI (JPT) SISTEM MERIT DAN KESETARAAN GENDER JABATAN PIMPINAN TINGGI (JPT) Diskusi Terbatas Paparan Awal Riset Gender dan Birokrasi: Ketimpangan Gender di 34 Kementrian, Jakarta, Hotel Four Points, 29 Mei 2017 ASAS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Page 1 of 9 NO.14.2003 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemerintah Daerah Provinsi. Kabupaten. Kota. Desentralisasi. Dekosentralisasi. Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. (Penjelasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA Disusun Oleh : ANDRE RISPANDITA HIRNANTO D 1114001 SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya.

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya. BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Teori 1. Gagasan Emansipasi Kartini Tiga gagasan yang diperjuangkan Kartini yaitu emansipasi dalam bidang pendidikan, gagasan kesamaan hak atau

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERAN PEREMPUAN PADA SEKTOR DOMESTIK DAN PUBLIK DI KOTA YOGYAKARTA

PERAN PEREMPUAN PADA SEKTOR DOMESTIK DAN PUBLIK DI KOTA YOGYAKARTA PERAN PEREMPUAN PADA SEKTOR DOMESTIK DAN PUBLIK DI KOTA YOGYAKARTA Penny Rahmawaty, M.Si Staf Pengajar Prodi Manajemen,FISE Universitas Negeri Yogyakarta penny_rahmawaty@yahoo.com Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan

BAB V PENUTUP. Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan BAB V PENUTUP Pada bab ini maka penulis akan mengakhiri seluruh penulisan tesis ini dengan melakukan kesimpulan dan mengusulkan saran, sebagai berikut: A. KESIMPULAN Indonesia adalah sebuah kata yang dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 68 ayat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan bagi sumber daya wanita untuk berkarya. Khususnya di kota-kota besar dimana

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan bagi sumber daya wanita untuk berkarya. Khususnya di kota-kota besar dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi yang serba kompetitif menuntut dunia usaha memberi lebih banyak ruang bagi sumber daya manusia untuk berkarya. Situasi dan kondisi demikian

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penelitian ini berupaya menjawab masalah konflik peran pada Ibu bekerja yang baru pertama kali memiliki anak dan cara mereka mengatasinya. Dari penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 01 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KECAMATAN DAN KELURAHAN DI KOTA PALANGKA RAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PALANGKA RAYA, Menimbang

Lebih terperinci

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 11 Tahun 2007

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 11 Tahun 2007 BAB II GAMBARAN PELAYANAN SKPD 2.1 TUGAS POKOK, FUNGSI DAN STRUKTUR ORGANISASI Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 11 Tahun 2007 tanggal 14 Nevember 2007 tentang Pembentukan Susunan Organisasi

Lebih terperinci

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Eksekutif

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Eksekutif Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Eksekutif Keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif juga menjadi tolok ukur pemberdayaan perempuan. Untuk melihat pemberdayaan perempuan di lembaga eksekutif dilihat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Empty Nest 1. Definisi Empty Nest Salah satu fase perkembangan yang akan terlewati sejalan dengan proses pertambahan usia adalah middle age atau biasa disebut dewasa madya, terentang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk penyelenggaraan

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci