BAB SHOLAT KUSUF (GERHANA)

Transkripsi

1 BAB SHOLAT KUSUF (GERHANA) Oleh: Syaikh Muhammad ibn Shalih Al-Utsaimin PENGANTAR Sholat Kusuf di sini adalah sholat yang diadakannya terkait dengan sebab sesuatu, maksudnya adalah bahwa sholat ini disebabkan karena adanya gerhana. Adalah istilah KUSUF dan KHUSUF itu satu makna. Meskipun 1 ada yang membedakannya dengan mengatakan bahawa Kusuf itu untuk gerhana matahari dan Khusuf itu untuk gerhana bulan. Hal ini berdasarkan firman Allah ta alaa: فإذا برق البصر وخسف القمر )القيامة: 7 8( Maka apabila mata sudah terbelalak, dan bulan sudah hilang cahayanya. Q.S. Al-Qiyamah: 7 8. Maka, khusuf itu disematkan pada bulan, dan kusuf disematkan pada matahari. Akan tetapi, yang adhhar (yang lebih Nampak jelas), makna keduanya adalah satu hal, yaitu gerhana. Makna Kusuf dan Sebab-sebabnya: Apakah kusuf itu? Para fuqaha (ulama ahli fiqh) menjelaskannya sebagai hilangnya cahaya matahari dan bulan, seluruhnya atau sebagiannya. Hilang sebagiannya di sini maksudnya adalah bukan hilang sesungguhnya, melainkan karena terhalang cahayanya, sedangkan cahanya masih tetap ada. Yang menghalangi cahaya bulan atau matahari di sini, tentu saja bukan penghalang semisal awan, atau yang lainnya, karena kalau bulan atau matahari terhalang oleh awan tidak disebut gerhana. Karena begitu sering matahari dan bulan itu terhalang cahayanya oleh awan, debu, kabut, dan ini semua tidak disebut gerhana. Maka, apa yang menghalangi cahaya matahari? Sinar matahari terhalang oleh bulan, maka terjadilah gerhana matahari, dan terhalangnya cahaya bulan oleh bumi maka terjadilah gerhana bulan. Bagaimana ini bisa terjadi? Sebab-sebab terjadinya gerhana matahari adalah bulan berada di antara matahari dan bumi. Oleh karena itu, tidak pernah terjadi gerhana matahari kecuali pada akhir bulan karena berjalannya bulan diantara matahari dan bumi. Dan sebab-sebab terjadinya gerhana bulan adalah berjalannya diantara 1 Pada teks arab-nya disebut dengan istilah qiila untuk menunjukkan pendapat ini adalah lemah atau tidak sekuat pendapat yang pertama. pent.

2 matahari dan bulan. Oleh karena itu, tidak terjadi gerhana bulan kecuali pada malam-malam purnama, sebab cahaya bulan adalah berasal dari cahaya matahari. Tentang ini Allah ta alaa berfirman: فمحون ءاية اليل )اإلسراء: 21( Maka, Kami hapuskan tanda malam. Q.S. Al-Israa : 12 Ayat ini menunjukkan bahwa cahaya bulan adalah bersumber dari cahaya matahari, yaitu bahwa manazilul qamar (titik-titik edar bulan setiap kali bulan dekat dari matahari, maka cahayanya lebih sedikit karena tidak berhadapan, namun apabila bulan menghadap kepada matahari maka cahayanya besar. Jika dekat dengan matahari, cahaya bulan melemah, maka bagian yang menghadap ke matahari hanya kecil, maka kecil/kurang pula cahayanya. Maka, sebab terjadinya gerhana bisa diketahui dari aspek empirik, yaitu jika gerhana matahari maka itu karena posisi bulan ada diantara matahari dan bumi, sedangkan gerhana bulan maka adalah karena posisi bumi ada diantara matahari dan bulan. Ini adalah sebab terjadinya gerhana secara empiric ilmu falak. Namun, ada sebab syar iy yang tidak diketahui siapapun kecuali dari caranya para Rasul. Sebab empiric, jelas bisa diketahui dari hisab/perhitungan, dan para ahli bisa mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, sebab syar iy kenapa terjadi gerhana, itu tidak diketahui kecuali dari aspek wahyu, dan ini lebih urgen, yaitu Allah menakut-nakuti hamba-nya. Allah ta alaa menakut-nakuti para hamba-nya dengan cara terjadinya gerhana. Apakah menakut-nakuti ataukah mengadzab hamba? Jawabannya adalah menakut-nakuti hamba. Perbedaan antara menakut-nakuti dengan mengadzab adalah sangat jelas. Menakut-nakuti maknanya adalah sesungguhnya Allah mengancam para hamba dengan mungkin akan terjadi hukuman kepada mereka dan bukan hukuman itu sendiri. Oleh karena itu, orang-orang jahil bertanya: Bagaimana ada peringatan padahal tidak terjadi sesuatu, tidak ada gempa tidak ada petir atau yang lainnya, dimana peringatannya? Maka, jawabannya adalah: Bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

3 يعاقب اهلل هبما Allah menghukum para hamba dengan keduanya (matahari dan bulan). Dan bersabda Allah menakut-nakuti para hamba dengan keduanya, maka peringatan itu bisa terjadi dan bisa pula tidak terjadi. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita untuk sholat hingga selesainya gerhana. Inilah sebab syar iy. Apakah sebab syar iy ini bertentangan dengan sebab empirik? Jawabannya adalah: Tidak. Karena Dzat yang menjadikan terjadinya gerhana itu adalah Dzat yang Satu. Yang menjadikan bulan berada pada posisi di antara matahari dan bumi, atau menjadikan posisi bumi di antara matahari dan bulan adalah Allah. Maka, yang menakut-nakuti kita adalah Allah. Maka, tidak bertentangan antara sebab empirik dengan sebab syar iy kenapa terjadi gerhana. Karena Allah-lah yang menciptakan itu semua dan Allah pula yang menetapkan ada hikmah syar iy atasnya, yaitu sebagai alat untuk menakut-nakuti hamba. Adapun pengingkaran sebagian manusia atas alasan sebab empirik terjadinya gerhana dengan alasan bahwa memastikan alasan empirik terjadinya gerhana akan berkonsekuensi membatalkan sebab/alasan syar iy, maka mereka akhirnya tidak mengakui hal itu sebab bisa menyebabkan orang mendustakan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam: يعاقب اهلل هبما Allah menghukum para hamba dengan keduanya (matahari dan bulan). Maka, jawaban kami adalah: Sesungguhnya ini adalah gambaran pemahaman mereka, padahal keduanya tidak ada pertentangan. Allah-lah yang menjadikan sesuatu beserta sebab-sebabnya sebagai bentuk menakut-nakuti para hamba-nya. Contohnya: petir, bukankah petir itu terjadi karena ada sebab-sebabnya? Benar, petir terjadi karena ada sebabnya dan Allah menakut-nakuti para hamba dengannya. Gempa bumi, bukankah itu terjadi karena ada sebab empiric yang bisa diketahui? Benar, dan Allah menakut-nakuti para hamba dengan gempa bumi, demikian juga angina topan, dll. Maka, sebab-sebab alamiah tidak bertentangan dengan hikmah syar iyah sebab pelaku yang membuat itu semua terjadi adalah satu, yaitu Allah azza wa jalla. Jika ada yang mengatakan:

4 Ucapanmu ini bertentangan dengan fakta sejarah bahwa Ibrahim bin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat pada tanggal 8 atau 10 atau 12 Rabiul Awwal. Ini menurut ucapanmu tadi tidak sesuai dengan apa yang kalian akui, sebab jika gerhana itu terjadi pada tanggal 12 atau 10 atau 8 sedangkan matahari mengalami gerhana, maka sebenarnya bulan saat itu jauh dari matahari sehingga tidak mungkin bulan posisinya diantara bumi dengan matahari. Maka, jawaban kami adalah: Dugaan ini tidak shahih, perkataan ahli sejarah yang demikian tidak shahih. Oleh karena itu, mereka berbeda pendapat dalam masalah ini, tidak ada satupun sanad yang shahih yang menjelaskan bahwa gerhana saat itu terjadi pada tanggal 12 atau 8 atau 10 Rabiul Awwal. Oleh karena itulah, para ahli sejarah dari para ahli falak menyatakan bahwa gerhana matahari di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam terjadi pada hari Selasa bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal tahun 10H. Berdasarkan hal ini, maka tidak ada yang masalah lagi di sini. Sebab, tanggal 29 itu adalah bulan posisinya dekat dengan matahari, dan ini memungkinkan posisinya tepat antara matahari dan bumi, maka terjadilah gerhana matahari. Mungkin ada lagi orang yang mengatakan: Sesungguhnya para fuqaha --rahimahumullah-- mengatakan: Jika terjadi gerhana pada saat wuquf di arafah 2, maksudnya adalah gerhana bulan, setelah tenggelamnya matahari lalu terjadi gerhana bulan, maka hendaklah dilakukan shalat gerhana, kemudian kita tinggalkan perkataan para fuqaha, maka itu menunjukkan bahwa kejadian gerhana tidak seperti yang kalian terangkan tadi; sebab fuqaha menyatakan kejadian gerhana lalu menjelaskan alasan-alasannya. Mereka menyatakan: Gambaran gerhana matahari dan gerhana bulan adalah setiap saat kapanpun karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jawaban kami adalah: Alasan kenapa terjadi gerhana adalah karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, ini memang benar namun tidak selaras dengan sebab-sebabnya. Benar, Allah Maha Kuasa namun tidak sesuai dengan alasan bahwa gerhana bisa terjadi sewaktu-waktu, maka kami katakan: Tergambarlah bahwa munculnya matahari ketika hilangnya senja, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Maka sesuatu itu bukan dinisbatkan kepada Kekuasaan Allah, sebab Qudrah/Kekuasaan Allah berjalan tanpa harus disebabkan oleh sesuatu. Akan tetapi maksud ucapanku di atas adalah demikianlah gerhana terjadi pada umumnya, sistemik dan berjalan sesuai dengan perjalanan yang Allah tetapkan 2 Wuquf di arafah terjadi pada tanggal 9 Dzul Hijjah. pent.

5 atasnya beserta hikmahnya. Bukankah gerhana --gerhana matahari-- tidak terjadi kecuali pada tertutupnya di akhir-akhir bulan, dan tidak terjadi gernaha bulan kecuali pada waktu purnama, tanggal 14 atau 15, dan yang semisalnya. Gerhana, apakah mungkin terjadi hanya pada sebagian wilayah bumi dan tidak pada wilayah bumi lainnya? Iya, mungkin. Dan ini menunjukkan bahwa cahaya matahari dan bulan tidak pergi/hilang, melainkan hanya tertutup dan terhalangi saja. Cahayanya tidak hilang, sebab andai hilang, maka kalau terjadi gerhana pada sebagian wilayah bumi, maka akan dialami oleh seluruh wilayah di bumi, dan nyatanya tidaklah demikian. Akan tetapi, terkadang terjadi pada salah satu wilayah terjadi gerhana total, dan pada wilayah lain terhadi gerhana parsial (sebagaian), dan di wilayah lain tidak terjadi sama sekali sebagaimana hal ini sama-sama kita ketahui. Sama halnya saat ini jika ada awan diantara kita dengan matahari, maka wilayah yang terhalangi itu tidak mendapatkan sinarnya, namun wilayah lainnya yang tidak terhalang awan, ia tetap mendapatkan sinarnya, wilayah lain yang hanya terhalang sebagian, maka ia bisa mendapatkan cahayanya juga sebagian. Sholat kusuf, selama gerhana itu adalah satu ayat dari ayat-ayat Allah, bukan termasuk perkara yang biasa, akan tetapi sesuatuyang diluar kebiasaan, tidak ada yang mampu membuat gerhana, kecuali Allah azza wa jalla, maka diantara hikmahnya adalah ada sholat yang diluar sholat yang biasa sebagaimana kita lakukan, sebabnya adalah sesuatu yang di luar kebiasaan, maka sholatnya juga di luar cara sholat yang biasanya kita lakukan. Ini adalah diantara hal-hal yang menunjukkan bahwa syariat dan ketetapan taqdir adalah selaras, tidak saling melenyapkan dan tidak pula saling bertentangan. Sumber: Fat-hu Dzi Al-Jalal wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al- Utsaimin, Edisi perdana, Maktabah Islamiyah, Cairo, Mesir, 2006, Jilid 2, hal Penerjemah: Heru Sunoto, 4/4/2015.