PERAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KETENAGANUKLIRAN PADA PROMOSI PENGGUNAAN NUKLIR TUJUAN DAMAI 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KETENAGANUKLIRAN PADA PROMOSI PENGGUNAAN NUKLIR TUJUAN DAMAI 1"

Transkripsi

1 PERAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KETENAGANUKLIRAN PADA PROMOSI PENGGUNAAN NUKLIR TUJUAN DAMAI 1 Yaziz Hasan, Bagian Perjanjian, Biro Kerja Sama, Hukum dan Hubungan Masyarakat, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta 1. PENDAHULUAN 1.1 Sifat Internasional Nuklir Dari permulaan, pengembangan energi nuklir telah bersifat internasional, lahir dari laboratorium-laboratorium riset yang tersebar luas, sebagai gagasan dan hasil kerja para ilmuwan di satu negara yang memicu rekan-rekannya di lain negara. Pada 1920-an dan 1930-an fisikawan dan kimiawan terkemuka Eropa dan AS secara gradual menyingkap struktur unsur-unsur dan dinamika inti atomnya dan partikel-partikel subatomik. Pada 1934, fisikawan Italia Enrico Fermi melakukan percobaan di Roma yang memperlihatkan bahwa neutron dapat memisahkan atau membelah banyak jenis atom. Hasilhasil tersebut sangat mengejutkan. Di musim gugur 1938, ilmuwan Jerman Otto Hahn dan Fritz Strassman menembakkan neutron dari sebuah sumber yang mengandung unsur-unsur radium dan beryllium ke dalam uranium (nomor atom 92). Keduanya menemukan unsurunsur lebih ringan, seperti barium (nomor atom 56), dalam bahan hasil reaksi. Hahn dan Strassman menghubungi Lise Meitner di Kopenhagen sebelum mempublikasikan penemuan mereka, pada 6 Januari Meitner adalah seorang teman Austria yang melarikan diri dari Nazi Jerman. Dia bekerja dengan Niels Bohr dan kemanakannya, Otto R. Frisch. Meitner dan Frisch berpendapat bahwa barium dan unsurunsur ringan lainnya dalam bahan sisa dihasilkan dari pembelahan uranium. Namun, ketika dia menjumlahkan massa-massa atom hasil fissi, mereka bukanlah massa uranium total. Meitner menggunakan teori Einstein untuk menunjukkan bahwa massa yang hilang berubah menjadi energi. Ini membuktikan terjadinya fissi dan menegaskan hasil karya Einstein, yang dirumuskan 34 tahun sebelumnya. Perkembangan yang terjadi di penghujung tahun 1930-an memacu aktivitas di banyak laboratorium Eropa dan Amerika. Pendapat ini segera dikonfirmasi secara eksperimental oleh Joliot dan rekan-rekannya di Paris, dan Leo Szilard dan Fermi di New York. Bohr segera mengusulkan bahwa fissi kemungkinan besar akan terjadi pada isotop uranium-235 ketimbang dalam U-238 dan fissi tersebut akan terjadi lebih efektif bila dengan neutron yang bergerak lambat dari pada dengan neutron cepat, hal yang disebut terakhir dikuatkan oleh Szilard dan Fermi, yang mengusulkan penggunaan moderator untuk melambatkan neutron yang dilepaskan. Bohr dan John Archibald Wheeler mengembangkan gagasan ini kedalam apa yang menjadi analisis klasik proses fissi, dan makalah mereka diterbitkan hanya dua hari sebelum Perang Dunia II pecah di tahun Suplemen kegiatan pengenalan Perjanjian Internasional Ketenaganukliran, Jakarta, 30 April 2009

2 Ketika tentara Nazi menyerbu pertama kali Cekoslowakia pada 1938, dan kemudian Polandia pada 1939, secara resmi memulai Perang Dunia II, banyak fisikawan top Eropa segera menyingkir dari daerah konflik. Ilmuwan di kedua belah pihak yang bertikai sadar benar akan kemungkinan penggunaan fissi nuklir sebagai senjata, namun pada waktu itu tak seorangpun yang merasa pasti bagaimana membuatnya. Pada tahun-tahun awal Perang Dunia II, para fisikawan secara tiba-tiba menghentikan publikasi pada topik fissi, sebuah tindakan sensor diri untuk mencegah pihak lawan mendapatkan setiap keuntungan. Sementara itu, dalam suasana perang yang makin berkecamuk, para ilmuwan Inggris mendesak pemerintah mereka. Fisikawan pelarian Rudolf Peierls dan Otto Robert Frisch, bekerja di Universitas Birmingham, memberi dorongan pada konsep bom atom dalam sebuah dokumen tiga halaman dikenal sebagai Memorandum Frisch-Peierls. Mereka memberikan salinan dokumen tersebut kepada Marcus Oliphant, yang kemudian meneruskannya kepada Henry Tizard, ketua Komite Survei Ilmiah Pertahanan Udara, yang merupakan komite ilmiah paling penting pertahanan Inggris. Dalam dokumen itu mereka memprediksikan bahwa sejumlah kira-kira 5kg U-235 murni dapat menjadi sebuah bom atom yang setara dengan beberapa ribu ton dinamit. Mereka juga menyarankan bagaimana bom seperti itu dapat diledakkan, bagaimana U- 235 diproduksi, dan efek radiasi apa yang mungkin selain efek ledakan. Mereka mengusulkan difusi termal sebagai metoda yang cocok untuk memisahkan U-235 dari uranium alam. Memorandum ini cukup menarik perhatian Inggris pada saat di AS kurang tertarik. 1.2 Pembentukan Komite MAUD Atas permintaan Tizard sebuah komite yang diberi nama Komite MAUD (Military Application of Uranium Detonation) yang beranggotakan sekelompok ilmuwan terkemuka dan diketuai fisikawan Sir George Paget Thomson terbentuk di Inggris guna mensupervisi riset di Universitas-universitas Birmingham, Bristol, Cambridge, Liverpool dan Oxford. Komite MAUD melakukan pertemuan pertama pada 10 April 1940 untuk membahas langkah-langkah Inggris terhadap masalah uranium. Sebuah program riset untuk pemisahan isotop dan fissi cepat segera disetujui. Pada Juni 1940 Franz Simon diangkat untuk meneliti pemisahan isotop melalui difusi gas. Ralph H. Fowler juga diminta untuk mengirim laporan kemajuan ke Lyman Briggs di AS pada saat itu juga. Meskipun hasil karya asli dilakukan oleh Frisch dan Peierls, satu Jerman, satu Austria, mereka tidak dapat menjadi bagian dari komite saat perang tersebut karena pertimbangan keamanan. Kelak mereka berdua membuat sumbangan berarti di Los Alamos sebagai bagian dari missi Inggris. Hingga akhir 1940 telah dicapai kemajuan luar biasa oleh beberapa kelompok ilmuwan yang dikoordinasikan oleh Komite MAUD. Semua pekerjaan ini dijaga secara rahasia, sebaliknya di AS beberapa terbitan terus terbit pada 1940 dan hanya sedikit rasa urgensinya. Pada 15 Juli 1941 Komite MAUD menyetujui dua laporan akhirnya dan bubar. Satu adalah tentang Penggunaan Uranium untuk Bom (Use of Uranium for a Bomb) dan yang lainnya adalah Penggunaan Uranium sebagai Sumber Tenaga (Use of Uranium as a Source of Power)'. Laporan pertama menyimpulkan bahwa bom adalah mungkin dan

3 bom yang mengandung kira-kira 12 kg bahan aktif akan setara dengan ton TNT dan akan melepaskan sejumlah besar zat radioaktif yang dapat membuat tempat-tempat dekat ledakan berbahaya bagi manusia untuk waktu lama. Diperkirakan bahwa bangunan yang akan menghasilkan 1 kg U-235 per hari akan berbiaya 5 juta dan memerlukan tenaga kerja terampil yang besar yang juga diperlukan untuk bagian-bagian lain usaha perang. Dengan mempertimbangkan bahwa Jerman juga dapat membuat bom, direkomendasikan bahwa pekerjaan tersebut harus dilanjutkan dengan prioritas tinggi bekerja sama dengan ilmuwan Amerika, meskipun mereka tampaknya lebih berkonsentrasi pada penggunaan masa depan dari uranium untuk tenaga dan penggerak kapal laut. Laporan MAUD yang kedua menyimpulkan bahwa fissi uranium yang terkendali dapat digunakan untuk menghasilkan energi dalam bentuk panas yang dapat digunakan dalam mesin-mesin, juga menghasilkan sejumlah besar radioisotop yang dapat digunakan sebagai pengganti radium. Ia merujuk pada kemungkinan penggunaan air berat dan grafit sebagai moderator neutron cepat, dan bahwa bahkan air biasa dapat digunakan jika uranium diperkaya dalam isotop U-235. Disimpulkan bahwa pendidih uranium memiliki harapan yang menjanjikan bagi penggunaan maksud damai di masa depan namun belum dipertimbangkan sungguh-sungguh selama suasana perang saat itu. Serangan Jepang ke Pearl Harbour, membuat Amerika segera memasuki kancah perang secara langsung. Dengan demikian, semua sumberdaya AS kemudian diterapkan tanpa kecuali untuk mengembangkan bom atom, melalui proyek rahasia yang terkenal dengan nama Proyek Manhattan. 1.3 Proyek Manhattan Proyek Manhattan atau resminya Manhattan Engineer District (MED) merupakan proyek percobaan dalam Perang Dunia II untuk mengembangkan senjata nuklir yang dilakukan AS dengan bantuan Inggeris dan Kanada. Penelitian dalam proyek tersebut dikomandani oleh fisikawan Julius Robert Oppenheimer dengan supervisi Jenderal Leslie R. Groves. Peluncuran proyek tersebut disetujui setelah menjadi jelas bahwa senjata berdasarkan fisi nuklir dapat dikembangkan dan terutama karena Nazi Jerman juga sedang mengembangkan senjata sejenis. Meskipun melibatkan lebih dari 30 tempat penelitian dan produksi yang tersebar di AS, Kanada dan Inggeris, Proyek tersebut sebagian besar dilaksanakan di tiga tempat utama: di Tapak Hanford (Washington) untuk fasilitas produksi plutonium, di Oak Ridge (Tennessee) untuk fasilitas pengayaan uranium, dan di Los Alamos (New Mexico) untuk laboratorium penelitian dan perancangan senjata nuklir. Keberadaan lokasi Los Alamos, Oak Ridge, dan Hanford sangat dirahasiakan sampai akhir PD II. Proyek ini mempekerjakan lebih dari orang dan menghabiskan hampir 2 milyar dolar (setara dengan 27 milyar dolar saat ini). Bersama dengan pengembangan kriptografi, radar, komputer dan mesin jet, Proyek Manhattan mewakili salah satu dari sedikit usaha teknologi yang besar dan rahasia yang ditimbulkan oleh konflik Perang Dunia II. Uji coba ledakan nuklir pertama dilakukan pada 16 Juli 1945, dekat Alamogordo, New Mexico, dengan pengawasan wakil Groves, Brigadir Jenderal Thomas Farrell. Energi yang dihasilkan dalam tes beberapa kali lebih besar dari pada yang diharapkan kelompok ilmuwan.

4 Setelah hasil uji coba di Alamogordo berhasil, menjadi jelas bahwa arah yang menentukan jalannya perang tampaknya telah dipegang sepenuhnya. Tidak sampai tiga minggu kemudian setelah uji coba itu, pada 6 Agustus, bom uranium Litle Boy, dijatuhkan kota Hiroshima dan menyusul bom plutonium Fat Man di atas Nagasaki, pada 9 Agustus, menewaskan seketika jiwa. Merasakan kedahsyatan atom yang menimpa kedua kotanya tersebut, akhirnya pada 15 Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada AS dan sekutunya. PD II dinyatakan berakhir. Sebagai akibat tidak langsung dari menyerahnya Jepang, Indonesia, yang saat itu di bawah kendali tentara pendudukan Jepang dan telah lama berjuang untuk kebebasannya, dengan itu mendapatkan kesempatan berharga untuk segera mengambil alih masalah nasibnya sendiri guna bebas dari semua kekuasaan asing, dengan memprolamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus Sementara kemenangan AS dalam PD II telah menempatkan negara itu sebagai pemegang hegemoni dan pengambil banyak prakarsa dalam peta politik dunia hingga saat ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan, berkat kehebatan mereka dalam menjalankan program nuklir yang ambisius, konsisten dan berdedikasi serta berintegritas tinggi melalui Proyek Manhattan. 1.4 Pengontrolan Nuklir Pada 15 November 1945, Presiden AS H. Truman, PM Inggris Atlee, PM Kanada Mackenzie King, bertemu di Washington dan menghasilkan suatu persetujuan Three Nation Agreed Declaration on Atomic Energy yang mengindikasikan kerelaan mereka memberikan informasi nuklir untuk tujuan damai kepada pihak lain dengan syarat menerima safeguard terhadap penggunaan bukan untuk tujuan damai. Mereka menyarankan kepada PBB yang baru saja lahir untuk menangani masalah nuklir. Segera setelah itu, pada 27 Desember 1945, pada pertemuan Dewan Menlu di Moskow, AS dan Inggris mengusulkan dan Uni Soviet menyetujuinya, bahwa suatu Komisi Tenaga Atom PBB (UNAEC) harus dibentuk untuk menangani masalah-masalah yang timbul dari penemuan tenaga atom dan masalah yang terkait dengannya. Soviet menekankan bahwa kerja UNAEC harus atas dasar arahan Dewan Keamanan, AS dan Inggris menerima syarat itu. Pada 1945 hanya satu negara yang memiliki infrastruktur industri yang masif, kekayaan, bahan dan konsentrasi keahlian ilmiah dari Eropa dan AS yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir. Namun keunggulan ini akan tergerus waktu dan negara lain juga bergerak memasuki era nuklir. Pada September 1949, Soviet melakukan uji coba ledakan nuklir yang pertama, sesuatu yang mengejutkan pejabat AS termasuk Jenderal Leslie R. Groves, penggerak utama Proyek Manhattan. Mereka sebelumnya mengira perlu 20 tahun bagi Soviet untuk menjadi negara bersenjata nuklir kedua di dunia. Inggris menjadi yang ketiga pada Oktober Sekali terobosan ilmiah dan teknis pada senjata nuklir dicapai dan menjadi milik publik, replikasi peranti tersebut sebagian besar hanya masalah rekayasa belaka. Dan negara-negara lain berlumba mengembangkan teknologi tersebut, yang lebih banyak karena pertimbangan politik, ketimbang teknis semata.

5 1.5. Atoms for Peace Akhir monopoli nuklir AS, jalan buntu di PBB dan peningkatan ketegangan Perang Dingin akhirnya memupuskan harapan adanya dunia yang bebas dari senjata nuklir. Namun, Eisenhower ditakdirkan untuk menawarkan jalan keluar dari situasi tanpa harapan tersebut. Pada Januari 1953, Eisenhower menggantikan Truman dan pada 5 Maret 1953 Stalin wafat. Saat itu monopoli AS terhadap penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan sipil dan militer mulai tersaingi dan perusahaan-perusahaan AS khawatir kehilangan pasar kepada Inggris dan Kanada. Para pembuat kebijakan di AS dan sekutunya juga menyimpulkan perlunya melanjutkan pembicaraan perlucutan senjata nuklir. Kekhawatiran memuncak ketika 12 Agustus 1953 Soviet meledakkan apa yang diyakini AS sebagai bom hidrogen. Kekhawatiran ini mengubah kebijakan nuklir AS, selain dorongan privatisasi nuklir di kalangan internal AS sendiri. Itu terjadi pada September 1953 ketika Eisenhower sampai pada gagasan yang menjadi inti dari pidato Atoms for Peace -nya di depan MU PBB pada 8 Desember tahun itu, bahwa bahan-bahan fisil negara-negara bersenjata nuklir hendaknya dikumpulkan dalam suatu lumbung bersama yang akan digunakan oleh semua bangsa untuk tujuan damai. Gagasan lumbung (atau bank) bersama tersebut dipandang sebagai pendekatan baru dan evolusioner terhadap perlucutan senjata, sebagai alat pembangun kepercayaan antara blok Timur dan Barat, dan sebagai jalan menuju adanya suatu badan internasional yang akan mempromosikan pemanfaatan nuklir tujuan damai (sipil). Pada permulaan Desember 1953, Eisenhower bertemu Churchill di Bermuda dan memperlihatkan draf pidato tersebut kepadanya, yang disambut hangat Churchill. Dan saat disampaikan dihadapan Majelis, pidato tersebut disambut secara antusias. Setahun kemudian, pada 4 Desember 1954, disahkanlah secara bulat pendirian badan baru Pembentukan IAEA Setelah melalui serangkaian perundingan baik bilateral maupun multilateral proses perumusan, berlangsung selama 1954 sampai 1956, Statuta (sebanyak 23 pasal) akhirnya dapat difinalisasi dan ditandatangani oleh 81 negara, termasuk Indonesia, pada Oktober 1956 di New York. Setahun kemudian pada Juli 1957, Statuta tersebut dinyatakan mulai berlaku efektif, setelah proses ratifikasi beberapa negara dan dinyatakan sebagai hari lahirnya IAEA. Indonesia meratifikasinya dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun Selama bertahun-tahun, Indonesia telah menjadi mitra suportif dan penerima bantuan IAEA. Tujuan IAEA sebagaimana dinyatakan dalam Statutanya adalah mempercepat dan memperbesar sumbangan tenaga atom pada perdamaian, kesehatan dan kemakmuran di seluruh dunia. Sejauh disanggupi, perlu dijamin bahwa bantuan yang diberikan atau dimintakan atau di bawah pengawasan atau kontrolnya tersebut tidak digunakan untuk tujuan militer. Secara ringkas, Statuta IAEA menggariskan tiga pilar: Safeguards & Verification, Safety & Security dan Kerja sama Internasional Tranfer Teknologi.

6 2. PERJANJIAN INTERNASIONAL KETENAGANUKLIRAN 2.1 Infrastruktur untuk mendukung Program Nuklir Bagi negara yang ingin masuk arena nuklir, tantangan terbesar sering terkait dengan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung program tersebut. Infrastuktur yang diperlukan, sesuai panduan IAEA, antara lain meliputi partisipasi pada traktat dan konvensi internasional, dan kerangka legal nuklir dan regulasi nuklir nasional. Introduksi program nuklir memerlukan komitmen jangka panjang, baik secara nasional maupun internasional. Kerangka waktu sedikitnya 100 tahun haruslah diperhitungkan, dengan tahun perioda implementasi awal. Poin-poin kunci yang harus dipahami dalam rangka komitmen tersebut antara lain meliputi perlunya jaminan keselamatan, keamanan dan non-proliferasi bahan nuklir, perlunya bergabung dengan traktat dan konvensi internasional yang sesuai serta perlunya mengembangkan kerangka legal yang komprehensif yang mencakup semua aspek hukum nuklir tentang keselamatan, keamanan dan pertanggungan ganti rugi nuklir serta aspek legislatif, pengawasan dan komersial. Kerangka instrumen internasional yang relevan dengan maksud tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1 Table 1. Instrumen Internasional Relevan Comprehensive Safeguards Agreement (INFCIRC/153 Corr.) Additional Protocol pursuant to INFCIRC/540 (Corr.) Convention on Early Notification of a Nuclear Accident (INFCIRC/335) Convention on Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency (INFCIRC/336) Convention on Nuclear Safety (INFCIRC/449) Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management (the Joint Convention ), INFCIRC/546 Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (INFCIR/274) dan Amendmentnya Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (INFCIRC/500) Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, INFCIRC/402 Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage Revised Supplementary Agreement concerning the provision of Technical Assistance by the IAEA 3. SISTEM SAFEGUARD 3.1 Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir

7 Sejak 1960-an, sistem safeguard (pengawasan) internasional IAEA merupakan komponen sentral dalam mengontrol penyebaran nuklir. Di bawah ketentuan-ketentuan dari persetujuan-persetujuan yang dicapai IAEA dengan negara-negara penandatangan, para inspektur (pengawas) IAEA secara teratur mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir untuk memverifikasi rekaman-rekaman yang dilakukan otorita negara bersangkutan tempat di mana bahan nuklir berada, mencek peralatan dan perlengkapan pengawasan yang dipasang IAEA, dan mengkonfirmasi penyimpanan fisik bahan-bahan nuklir. Mereka kemudian membuat laporan-laporan rinci kepada negara yang ditinjau dan kepada IAEA. Safeguard merupakan peraturan teknis verifikasi yang sesuai dengan kewajiban-kewajiban legal yang relevan dengan penggunaan energi nuklir tujuan damai. Tujuannya adalah politis, yaitu untuk menjamin masyarakat internasional akan sifat damai kegiatan nuklir yang disafeguard dan untuk menghalangi penyimpangan atau penyalahgunaan bahan-bahan atau fasilitas-fasilitas yang disafeguard melalui deteksi dini. Persetujuan-persetujuan legal merupakan basis safeguard IAEA, yang antara lain secara popular banyak dikenal sebagai persetujuan-persetujuan skop-penuh (full-scope agreements) karena mencakup pada semua aktivitas dan bahan-bahan nuklir tujuan damai di negara terkait. Ini terutama terkait dengan Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir untuk kawasan regional seperti Traktat Tlateloco (Amerika Latin), Traktat Rarotonga (Pasifik Selatan) dan Traktat Bangkok (ASEAN). Indonesia menandatangani persetujuan safeguard dengan IAEA dalam kaitan dengan NPT pada 14 Juli 1980, dua tahun setelah Pemerintah Indonesia meratifikasi NPT melaui UU No. 8 Tahun Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons- NPT) merupakan traktat internasional yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata nuklir, mendorong perkembangan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai, dan memajukan tujuan mencapai perlucutan secara umum dan menyeluruh. Traktat menetapkan suatu sistem pengamanan (safeguards system) di bawah tanggung jawab IAEA, yang juga memainkan peran sentral di bawah Traktat dalam bidangbidang transfer teknologi untuk maksud-maksud damai. Traktat ini diadopsi tanggal 12 Juni 1968 di New York, dan mulai berlaku efektif pada 5 Maret Indonesia menandatangani Traktat ini pada 2 Maret 1970 dan meratifikasinya pada 25 Nopember Telah 187 negara yang menjadi negara pihak dalam NPT. 3.2 Additional Protocol to Safeguards Perkembangan lebih lanjut dalam energi nuklir dan adanya beberapa negara yang menyimpang dari ketentuan safeguard (seperti Irak dan Korea Utara) telah mendorong perlunya penguatan dan penyempurnaan sistem safeguard dengan dihasilkannya Additional Protocol terhadap persetujuan safeguard. Indonesia, yang telah menjadi negara pihak pada Persetujuan Safeguard dengan IAEA, kemudian menandatangani Addional Protocol ini pada 29 September Dengan telah ditandatanganinya Additional Protocol tersebut, Indonesia mempunyai kewajiban untuk membuat laporan triwulan dan laporan tahunan kepada IAEA tentang fasilitas, potensi tambang, kegiatan dan program nuklirnya. 4. HIKMAH PERISTIWA CHERNOBYL

8 Sejak promosi nuklir tujuan damai, pengembangan nuklir berpacu dalam laju yang cepat, banyak negara mulai meluncurkan program litbang nuklirnya untuk kepentingan pembangunan nasional masing-masing, termasuk Indonesia, yang sedari awal telah berpartisipasi dan mengikutinya dengan membentuk badan serupa pada level nasional, Lembaga Tenaga Atom (kelak pada 1965 menjadi Badan Tenaga Atom Nasional [BATAN]) pada Antusiasme begitu tinggi terhadap nuklir hingga akhir 1980-an dan perkembangan tampaknya memasuki masa-masa keemasan. Namun peristiwa Three Mile Island 1979 dan Chernobyl 1986, telah membawa keadaan stagnan di Barat, laju pembangunan pembangkit listrik mengalami pelambatan, kecuali di Asia. Peristiwa Chernobyl yang terjadi April 1986 telah memicu suatu tindakan segera yang berkelanjutan dan komprehensif dari masyarakat Internasional yang menghasilkan sejumlah instrumen internasional baru yang ditujukan untuk menghindari atau mengatasi kelemahan rezim hukum internasional pra-1986 yang terbukti tidak berjalan efektif: 26 September 1986: adopsi the Convention on Early Notification of a Nuclear Accident; 26 September 1986: adopsi the Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency ; 21 September 1988: adopsi the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention; 17 Juni 1994: adopsi the Convention on Nuclear Safety; 5 September 1997: adopsi the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management; 12 September 1997: adopsi the Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage; 12 September 1997: adopsi the Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage; 12 Februari 2004: adopsi the Protocol to Amend the Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy of 29 July 1960, as Amendedby the Additional Protocol of 28 January 1964 and by the Protocol of 16 November 1982; 12 Februari 2004: adopsi the Protocol to Amend the Convention of 31 January 1963 Supplementary to the Paris Convention of 29 July 1960 on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy, as Amended by the Additional Protocol of 28 January 1964 and by the Protocol of 16 November 1982; 8 Juli 2005: adopsi the Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material. Semua traktat yang diterakan di atas adalah instrument internasional multilateral dan bersifat mengikat, yang hampir semuanya telah berlaku efektif, dengan kekecualian Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage 1997; Protocols to Amend the Paris and the Brussel Conventions 2004 dan Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material Kendati Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material 2005 mungkin tidak harus dikualifikasikan sebagai reaksi langsung terhadap peristiwa Chernobyl karena dia dirancang untuk mengantisipasi peningkatan ancaman terorisme, instrumen ini tetap dihitung dalam pengertian ini. Ada bidang antarmuka antara keselamatan dan keamanan yang memerlukan perhatian. Langkah-langkah proteksi fisik, sebagai efek samping, memperkuat keselamatan nuklir dan sebaliknya. Sebagai akibatnya, Convention on the

9 Physical Protection of Nuclear Material merupakan bagian dari apa yang disebut Keluarga Konvensi Keselamatan Nuklir, anggota lainnya adalah the Convention on Early Notification of a Nuclear Accident; the Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency, the Convention on Nuclear Safety, dan the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management. Di samping traktat internasional yang mengikat tersebut di atas, berbagai instrumen internasional tidak mengikat juga telah dikembangkan sejak 1986, sebagai kelanjutan usaha yang telah ada sejak pendirian IAEA dan organisasi kompeten lainnya. Khususnya, berupa rekomendasi-rekomendasi teknis dalam bidang keselamatan nuklir, proteksi radiasi dan transportasi dengan memperbarui rekomendasi yang telah ada atau yang sama sekali baru dikembangkan. Ini dikembangkan oleh kelompok ahli INSAG dan dipublikasikan oleh IAEA. Salah satu yang terpenting adalah Code of Conduct on the Safety of Research Reactors yang diadopsi Dewan Gubernur IAEA pada 8 Maret Lingkup aplikasi Konvensi Keselamatan Nuklir 1994 diketahui terbatas hanya untuk PLTN sipil yang berada di darat dan sebagai akibatnya, sebagian besar reaktor riset di seluruh dunia tidak dicakup di dalamnya. Pengecualian ini bersifat politis, salah satunya karena reaktor-reaktor riset sering berfungsi ganda (dual-purpose). Instrumen Code of Conduct tidak mengikat menawarkan kompromi untuk juga menarik negara-negara agar sudi menjadikan reaktor-reaktor riset mereka sebagai subyek rezim internasional yang mengikat. Kode tersebut merupakan komplemen penting terhadap Convention on Nuclear Safety. Code of Conduct lainnya adalah Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Sources yang disetujui oleh Dewan Gubernur IAEA pada 8 September Sumbersumber radioaktif bukan merupakan bagian dari daur bahan bakar nuklir, yang berarti tidak ada kaitan langsung dengan peristiwa Chernobyl. Di lain pihak sumber-sumber radioaktif secara berulang telah dimasukkan dalam kecelakaan radiasi utama, yang paling terkenal adalah peristiwa Goiania (Brazil) Skenerionya mirip dengan skenario setelah Chernobyl meski pada level risiko lebih rendah. Karena, terkait dengan sumber radioaktif, masih ada ketimpangan dalam rezim legal pada level nasional dan internasional, situasi ini juga memerlukan tindakan internasional. Code of Conduct ini merupakan respons terhadap tantangan ini. 5. TANGGAP DARURAT INTERNASIONAL 5.1. Pemberitahuan Dini Convention on Early Notification of a Nuclear Accident (Konvensi Pemberitahuan Dini Terjadinya Kecelakaan Nuklir) menetapkan suatu sistem pemberitahuan dini atas terjadinya kecelakaan nuklir yang mempunyai potensi pelepasan bahan-bahan radioaktif yang melintasi batas-batas Internasional antar negara yang mempunyai dampak keselamatan radiologis bagi Negara lain. Konvensi mewajibkan Negara yang mengalami kecelakaan nuklir untuk melaporkan waktu, lokasi, tingkat pelepasan radiasi, dan data esensial lainnya guna keperluan pengkajian situasi. Pemberitahuan diberikan kepada Negara-negara yang bakal terkena dampak yang dapat disampaikan secara langsung atau melalui IAEA, dan kepada IAEA itu sendiri. Pelaporan adalah wajib bagi setiap kecelakaan nuklir yang meliputi fasilitas dan aktivitas berikut: setiap reaktor nuklir di manapun berada; setiap fasilitas daur bahan bakar nuklir; setiap fasilitas pengelolaan limbah radioaktif; transportasi dan penyimpanan bahan bakar nuklir atau limbah radioaktif; manufaktur, penggunaan, penyimpanan, pembuangan dan transportasi

10 radioisotop bagi keperluan pertanian, industri, kedokteran, dan penelitian serta ilmiah yang terkait; dan penggunaan radioisotop untuk pembangkitan daya di wahana-wahana ruang angkasa. Pemberitahuan dan Informasi juga harus diberikan dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selain yang dinyatakan di atas, guna meminimalkan konsekuensi-konsekuensi radiologis. Lima negara bersenjata nuklir (Amerika, Cina, Inggeris, Perancis dan Rusia) semuanya telah menyatakan kerelaan mereka untuk melaporkan setiap kecelakaan nuklir yang melibatkan senjata dan uji coba senjata nuklir. Konvensi ini diadopsi tanggal 26 September 1986 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 27 Oktober Indonesia menandatangani Konvensi ini bersamaan dengan tanggal diadopsinya Konvensi dan meratifikasinya pada 1 September Bantuan Kedaruratan Convention on Assistance in the Case of Nuclear Accident or Radiological Emergency (Konvensi Pemberian Bantuan dalam Hal Terjadinya Kecelakaan Nuklir atau Kedaruratan Radiologis) merupakan saudara kembar dari Convention on Early Notification of a Nuclear Accident. Konvensi menetapkan suatu kerangka kerja internasional bagi kerja sama di antara Negara-negara Pihak dan dengan IAEA untuk memfasilitasi bantuan dan dukungan segera dalam peristiwa kecelakaan nuklir ataupun kedaruratan nuklir. Negara-Negara Pihak wajib memberitahu IAEA tentang ketersediaan ahli (expert), perlengkapan, dan bahan-bahan lain yang mereka miliki guna pemberian bantuan. Atas permintaan, tiap Negara Pihak memutuskan apakah ia dapat menyumbang bantuan yang di minta juga lingkup dan syarat-syaratnya. Bantuan dapat ditawarkan tanpa biaya yang diperhitungkan antara lain keperluan negara-negara berkembang dan khususnya keperluan negara-negara tanpa fasilitas nuklir. IAEA bertindak sebagai pusat koordinasi (focal point) bagi kerja sama tersebut dengan cara meneruskan/menyalurkan informasi, usaha-usaha bantuan/dukungan, dan memberikan jasa-jasa yang ada. Konvensi ini diadopsi tanggal 26 September 1986 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 27 Oktober Indonesia menandatangani Konvensi ini bersamaan dengan tanggal diadopsinya Konvensi dan meratifikasinya pada 1 September KESELAMATAN NUKLIR Dalam pengertian sempit keselamatan nuklir merujuk pada penanganan yang berkaitan dengan daur bahan bakar nuklir, dan keselamatan radiasi berkaitan dengan risikorisiko yang mungkin timbul dari penggunaan radiasi pengion, termasuk penggunaan radioisotop dan radiasi dalam kedokteran, industri dan berbagai bidang lainnya. Manajemen limbah secara serupa berkaitan dengan risiko-risiko yang timbul dari limbah radioaktif termasuk penyimpanan dan pembuangannya. Namun dalam konteks ini keselamatan nuklir digunakan sebagai payung yang mencakup semua aktivitas tersebut. Dari permulaannya, fungsi IAEA terkait dengan keselamatan nuklir dan radiasi serta manajemen limbah nuklir dan radioaktif lainnya, yang menurut Statutanya, menjangkau kategori luas berikut: Dukungan terhadap litbang (misalnya, efek radiasi dan perilaku radionuklida pada lingkungan);

11 Menetapkan standar, regulasi, petunjuk pelaksanaan, panduan, dan lain-lain yang berkaitan dengan daur bahan nuklir dan limbah radioaktif secara komprehensif; Membantu negara anggotanya, khususnya negara berkembang, memperkuat infrastruktur nasionalnya yang berkaitan dengan keselamatan nuklir, keselamatan radiasi dan pengelolaan limbah radioaktif; Mempromosikan konvensi-konvensi Internasional yang mengikat tentang keselamatan nuklir, pemberitahuan dini terjadinya kecelakaan nuklir, pemberian bantuan pada peristiwa kedaruratan nuklir/radiologis, pengelolaan limbah radioaktif, pertanggungan pihak ketiga dalam kasus terjadinya kecelakaan nuklir, pertanggungan operasi kapal-kapal nuklir, dan proteksi fisik bahan dan fasilitas nuklir dari tindakan kriminal Internasionalisasi Hukum Nuklir Salah satu ciri hukum nuklir adalah tingkat internasionalisasi nya yang kental, yang berarti kewajiban internasional, rekomendasi, standar dan instrumen internasional lainnya harus diperhitungkan dalam proses perumusan hukum nasional atau mempengaruhi hukum nuklir nasional dalam beberapa cara. Para legislator nasional terikat dalam berbagai bentuk kerja sama nuklir internasional dan terikat oleh berbagai kewajiban internasional di bidang nuklir. Pendekatan tersebut membutuhkan adanya aproksimasi atau harmonisasi rezim legal nasional, demi keuntungan para pemangku kepentingan penggunaan energi nuklir dan radiasi pengion, khususnya mempertimbangkan potensi yang berakibat lintas batas antar negara. Prinsip kerja sama internasional diidentifikasikan sebagai salah satu konsep dasar atau fundamental hukum nuklir Keselamatan Nuklir Masalah Kepekaan Nasional Pada level internasional, IAEA dalam program NUSS-nya yang diluncurkan pada 1974, memberikan definisi keselamatan nuklir sebagai berikut: Tercapainya syarat-syarat pengoperasian yang benar, pencegahan kecelakaan atau mitigasi akibat-akibat kecelakaan, yang mengharuskan perlindungan personel tapak, masyarakat umum dan lingkungan dari bahaya radiasi yang tidak diinginkan. Peristiwa Chernobyl telah menciptakan kesadaran pada level politis bahwa keselamatan nuklir tidak dapat sepenuhnya diletakkan pada filosofi keselamatan masingmasing individual negara. Seluruh daur bahan bakar nuklir dan khususnya seluruh usia hidup fasilitas nuklir harus dicakup dalam langkah-langkah keselamatan sebagaimana mestinya yang diterima secara internasional. Ini perlu diwujudkan dengan pemantapan suatu konvensi keselamatan nuklir. Setelah melalui perundingan yang sulit secara politis, Convention on Nuclear Safety dan the Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management akhirnya diadopsi. Kedua konvensi mendapatkan pijakan baru, untuk pertama kalinya prinsip-prinsip dasar tertentu keselamatan nuklir dibuat wajib di dalam kerangka teknik pengembangan aspek hukum. 6.3 Konvensi Keselamatan Nuklir

12 Convention on Nuclear Safety (Konvensi Keselamatan Nuklir) diadopsi di Wina pada 17 Juni Konvensi dirumuskan selama serangkaian pertemuan tingkat ahli dari 1992 hingga 1994 dan merupakan kerja menonjol oleh Pemerintah-pemerintah, Badan-badan otorita keselamatan nuklir nasional dan Sekretariat IAEA. Tujuannya untuk melibatkan secara legal partisipasi Negara-negara Pihak yang mengoperasikan PLTN untuk menjaga keselamatan tingkat tinggi dengan menetapkan standar-standar (benchmarks) internasional yang harus dianut Negara-negara Pihak. Kewajiban-kewajiban Negara Pihak didasarkan pada sejumlah besar prinsip-prinsip yang terkandung dalam dokumen Pokok-pokok Keselamatan IAEA The Safety of Nuclear Installations. Kewajiban-kewajiban itu mencakup misalnya tapak, desain, konstruksi, operasi, ketersediaan finansial dan sumber daya manusia, pengkajian dan verifikasi keselamatan, jaminan mutu dan kesiapan kedaruratan. Konvensi merupakan suatu instrumen pendorong. Dia tidak dirancang untuk menjamin pemenuhan kewajibankewajiban oleh Negara-Negara Pihak melalui kontrol dan sanksi namun didasarkan pada kepentingan bersama mereka untuk mencapai tingkat-tingkat keselamatan yang lebih tinggi yang akan dikembangkan dan dipromosikan melalui pertemuan-pertemuan regular Para Pihak. Konvensi mewajibkan Para Pihak untuk menyampaikan laporan-laporan tentang implementasi kewajiban mereka untuk penilaian kelompok ahli (peer review) dalam pertemuan-pertemuan Para Pihak yang diselenggarakan di IAEA. Mekanisme ini merupakan elemen inovatif yang utama dan dinamis dari Konvensi. Konvensi ini diadopsi tanggal 17 Juni 1994 di Wina, Austria, dan terbuka untuk ditandatangani 20 September 1994 serta mulai berlaku efektif pada 24 Oktober Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 22 September 1994 dan meratifikasinya pada 4 Oktober Konvensi Gabungan The Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and the Safety of Radioactive Waste Management (Konvensi Gabungan tentang Keselamatan Pengelolaan Bahan Bakar Bekas dan Keselamatan Pengelolaan Limbah Radioaktif) diadopsi pada Konferensi Diplomatik 5 September 1997 dan terbuka untuk ditandatangani pada Konferensi Umum IAEA 29 September pada tahun yang sama. Konvensi ini menjadi instrumen internasional pertama yang mengatur masalah keselamatan manajemen dan penyimpanan limbah radioaktif di negara-negara baik yang mempunyai program nuklir maupun yang tidak. Konvensi ini secara signifikan memperluas rezim keselamatan nuklir IAEA dan mempromosikan standar-standar Internasional untuk mengelola suatu isu yang menjadi kepedulian utama masyarakat. Konvensi berlaku pada keselamatan manajemen bahan bakar bekas, didefinisikan sebagai semua aktivitas yang berhubungan dengan penanganan atau penyimpanan bahan bakar bekas. Juga berlaku pada keselamatan manajemen radioaktif, didefinisikan sebagai semua kegiatan, termasuk kegiatan dekomisioning, yang berhubungan dengan penanganan, pratreatment, treatment, conditioning, penyimpanan, atau pembuangan limbah radioaktif. Konvensi juga mencakup keselamatan manajemen bahan bakar bekas atau limbah radioaktif yang berasal dari program militer atau pertahanan jika dan kapan material-material tersebut ditransfer secara permanen dan dikelola di dalam program-program sipil eksklusif, atau kapan dinyatakan sebagai bahan bakar bekas atau limbah radioaktif untuk tujuan Konvensi. Salah satu tujuan Konvensi, adalah untuk menjamin bahwa selama semua tahap dari manajemen bahan bakar bekas dan limbah radioaktif ada suatu cara pertahanan efektif terhadap bahaya potensial sedemikian hingga semua individu, masyarakat dan lingkungan terlindungi dari efek-efek berbahaya radiasi pengion, sekarang dan nanti.

13 Konvensi menetapkan suatu sistem pelaporan yang mengikat bagi Negara Pihak untuk mengatur semua langkah-langkah yang diambil oleh masing-masing negara untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban di bawah Konvensi. Ini meliputi pelaporan terhadap timbunan-timbunan nasional limbah radioaktif dan bahan bakar bekas. Konvensi ini telah berlaku efektif sejak 18 Juni 2001, setelah Irlandia negara ke-25 yang mendeposit instrumen ratifikasinya pada 20 Maret 2001 di Markas IAEA, Wina, Austria. Indonesia telah menandatangani Konvensi Gabungan ini pada 6 Oktober 1997, namun belum meratifikasinya. 7. KEAMANAN NUKLIR 7.1 Konvensi Proteksi Fisik Tujuan untuk mencapai tingkat keselamatan nuklir yang tinggi di seluruh dunia harus digandakan dengan tujuan mencapai tingkat keamanan nuklir yang tinggi seluruh dunia. Keamanan nuklir akan diperkuat oleh pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai proteksi fisik terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas nuklir. Proteksi fisik merupakan hal yang menjadi perhatian nasional dan internasional sejak lama, dan kepatuhan yang menyeluruh pada Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi Perlindungan Fisik Bahan Nuklir) memberi bukti kesungguhan negara-negara menerima kewajiban internasional di bidang ini. Penguatan terhadap keamanan nuklir menjadi fokus setelah keruntuhan Uni Soviet, ketika terjadi sejumlah kasus penyeludupan bahan nuklir dan munculnya kegiatan terorisme internasional, seperti peristiwa 11 September Ini mendesakkan perlunya penguatan rezim internasional keamanan nuklir, dengan membangun budaya keamanan sebagai aspek utama. Konvensi ditandatangani di Wina dan New York pada 3 Maret 1980, mewajibkan Negara-negara Pihak untuk menjamin selama transportasi nuklir internasional memberikan perlindungan bahan nuklir di dalam wilayah teritorial mereka atau di atas kapal-kapal mereka atau pesawat-pesawat udara mereka. Konferensi Peninjauan Ulang pertama diselenggarakan di Wina dari 29 September hingga 1 Oktober 1992 dan dihadiri oleh 35 Negara Pihak, dengan suara bulat menyatakan dukungan penuhnya terhadap Konvensi dan mendesak semua Negara untuk mengambil tindakan guna menjadi negara pihak pada Konvensi. Negara-negara Pihak memandang, teristimewa, bahwa Konvensi tersebut memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai bagi kerja sama internasional dalam perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi-sanksi kriminal terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir. Konvensi ini diadopsi tanggal 26 Oktober 1979 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 8 Februari Indonesia menandatangani Konvensi ini pada tanggal 3 Juli 1986 dan meratifikasinya pada 5 November Pada 8 Juli 2005 Konvensi diamendemen, namun hingga saat ini Amandemen tersebut belum berlaku efektif seperti disebutkan di depan. 8. PERTANGGUNGAN KERUGIAN NUKLIR Pada saat peristiwa Chernobyl, Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) telah berlaku sejak 1977 dan Paris Convention 1960/1964/1982 berlaku sejak 1968 dan Namun kedua rezim

14 pertanggungan tersebut tidak dapat digunakan untuk memberi kompesasi pada para korban. Uni Soviet bukan negara pihak pada salah satu konvensi, dan belum mempunyai legislasi pertanggungan nuklir nasionalnya. Hikmah yang didapat dari peristiwa itu adalah bahwa menetapkan rezim hukum pertanggungan nuklir tidaklah cukup. Perlu usaha-usaha politis tambahan untuk meyakinkan negara-negara untuk mengadopsinya. Hingga saat ini masih tampak bahwa negara-negara belum sepenuhnya memahami pelajaran ini karena rezim pertanggungan nuklir global belumlah tercapai secara penuh. Peristiwa kecelakaan dapat tidak hanya berdampak di negara bersangkutan, tapi dapat juga pada negara tetangga bahkan yang lebih jauh, sehingga memicu pembicaraan seluruh dunia tentang kepantasan skema pertanggungan nuklir yang ada. Dalam periode dari 1988 hingga 2004, perundingan-perundingan berlangsung untuk mempertimbangkan pengalaman Chernobyl dan untuk memperkuat hukum pertanggungan nuklir internasional. Dimulai dengan perumusan dan pengadopsian the Joint Protocol Relating in the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention, dilanjutkan dengan perumusan dan pengadopsian Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on Supplementary Compensation dari 1989 hingga 1997 di Wina, serta perumusan dan pengadopsian Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary Convention dari 1998 hingga 2004 di Paris. Dalam bulan September 1997, pemerintah mengambil langkah maju yang sangat berarti dalam penyempurnaan rezim pertanggungan kerugian nuklir. Pada Konferensi Diplomatik di Markas Besar IAEA, Wina, 8-12 September 1997, delegasi dari lebih 80 negara mengadopsi Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (Protokol untuk Amandemen Konvensi Wina 1963 tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir) dan juga mengadopsi Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir). Protokol menetapkan batas ganti rugi yang mungkin oleh operator tidak kurang dari 300 juta SDR (Special Drawing Right) (kurang lebih setara dengan 400 juta dollar Amerika). Sementara Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir menetapkan jumlah tambahan yang harus disediakan melalui kontribusi Negara-negara Pihak yang didasarkan pada kapasitas nuklir terpasang dan nilai kajian PBB. Konvensi merupakan suatu instrumen terhadap mana semua negara harus mematuhinya tanpa memandang apakah mereka merupakan negara pihak pada konvensi pertanggungan nuklir yang ada atau mempunyai instalasi nuklir di dalam wilayah kedaulatan mereka atau tidak. Protokol mengandung antara lain suatu definisi yang lebih baik tentang kerugian nuklir (kini juga mencakup konsep kerusakan lingkungan dan langkah-langkah pencegahan), memperluas cakupan geografis Konvensi Wina, dan memperpanjang periode selama mana klaim dapat dilakukan atas kehilangan jiwa dan cacat yang diderita. Konvensi juga melengkapi yurisdiksi negara-negara pantai terhadap tindakan-tindakan yang mendatangkan kerugian nuklir selama transportasi. Dilakukan secara bersama, kedua instrumen tersebut secara substansial hendaknya memperkuat kerangka kerja global terhadap kompensasi lebih baik dari yang diperkirakan oleh Konvensi-konvensi sebelumnya. Sebelum aksi September 1997, rezim pertanggungan internasional diatur terutama dalam dua instrumen, yaitu: Konvensi Wina 1963 dan Konvensi Paris 1960 yang disatukan oleh Protokol Gabungan (the Joint Protocol) yang diadopsi pada Konvensi Paris kelak diperkuat dengan Konvensi Brussels 1963 tentang Pelengkap (the 1963 Brussels Supplementary Convention). Konvensi-konvensi ini didasarkan pada konsep hukum perdata dan menganut prinsip-prinsip utama berikut, antara lain: a. Pertanggungan secara ekslusif disalurkan ke operator instalasi nuklir.

15 b. Pertanggungan operator adalah mutlak, yaitu operator harus memikul pertanggungan tanpa memandang kesalahan. c. Pertanggungan adalah terbatas dalam jumlah. d. Pertanggungan adalah terbatas dalam waktu. e. Operator harus menjaminkan suatu asuransi. f. Yurisdiksi atas tindakan secara eksklusif berada pada pengadilan Negara Pihak yang mempunyai wilayah di mana kecelakaan nuklir terjadi. g. Non-diskriminasi korban atas dasar kebangsaan, domisili, dan tempat tinggal. Menyusul kecelakaan Chernobyl, IAEA memprakarsai pekerjaan pada semua aspek pertanggungan nuklir dengan suatu pandangan untuk menyempurnakan Konvensi-konvensi dasar dan menetapkan suatu rezim pertanggungan yang komprehensif. Pada 1988, sebagai hasil usaha bersama IAEA dan OECD/NEA, sebuah Protokol Gabungan yang Menghubungkan Aplikasi Konvensi Wina dan Konvensi Paris (the Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol Gabungan menetapkan suatu hubungan (link) antara Konvensi-konvensi tersebut yang menggabungkan mereka kedalam satu rezim pertanggungan yang diperluas. Pihak pada Protokol Gabungan diperlakukan seakan-akan mereka adalah Pihak pada kedua Konvensi dan pilihan aturan hukum disediakan untuk menentukan yang mana dari dua Konvensi tersebut yang harus berlaku dengan mengenyampingkan yang lain dalam hal kecelakaan yang sama. Konvensi Wina tentang Pertanggungan Perdata Kerugian Nuklir diadopsi tanggal 21 Mei 1963 di Wina, Austria, dan mulai berlaku efektif pada 12 November Indonesia pada tanggal 6 Oktober 1997 telah menandatangani Protokol dan Konvensi yang terkait dengan Konvensi Wina ini, yaitu: Protocol to Amend the 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage dan Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage (Konvensi tentang Kompensasi Pelengkap untuk Kerugian Nuklir) setelah keduanya terbuka ditandatangani pada 29 September 1997, namun belum meratifikasi keduanya. 9. PENUTUP Peristiwa Chernobyl merupakan pukulan pada promosi pembangkitan listrik dengan nuklir. Namun, peristiwa itu juga membawa perubahan-perubahan besar dalam pendekatan terhadap keselamatan nuklir, termasuk pengembangan apa yang dinamakan dengan budaya keselamatan nuklir internasional yang didasarkan pada review dan perbaikan secara konstan, analisis ketat pengalaman pengoperasian, dan saling membagi praktek terbaik secara konsisten. Budaya keselamatan ini telah ditunjukkan keefektifannya selama dua dasawarsa terakhir. Sebagaimana halnya dengan teknologi penerbangan, rekayasa genetika atau teknologi maju lainnya, teknologi nuklir tidak hadir dengan jaminan keselamatan mutlak. Apa yang terpenting adalah pemahaman secara jelas terhadap risiko dan manfaatnya. Peristiwa tersebut membangunkan masyarakat nuklir internasional dan membawa pada era baru kerja sama nuklir internasional. Masyarakat internasioanal dalam usahanya menyembuhkan kekhawatiran umum dan dunia politik terhadap penggunaan atom sebagai sumber energi yang layak, berupaya membangun kembali kepercayaan dalam keselamatan energi nuklir, terutama melalui IAEA, dengan mengkaji kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kerangka legal internasional yang ada. Isu paling kritis adalah dukungan masyarakat, yang merupakan kunci bagi masa depan nuklir. Pemahaman masyarakat atas kontribusi Iptek Nuklir bagi kemanusiaan telah

16 terbukti sebagai faktor krusial bagi nasib baik tenaga nuklir. Namun masih banyak kekurangpahaman masyarakat dan kurangnya pengetahuan tentang radiasi dan iptek nuklir. Hal ini tidaklah mengherankan, karena iptek nuklir merupakan subyek yang kompleks. Meskipun demikian, kompleksitas tersebut hendaknya tidak berakibat adanya salah persepsi yang berkelanjutan. Pemahaman masyarakat merupakan syarat bagi penerimaannya. Dan penerimaan masyarakat merupakan kunci yang akan memungkinkan nuklir mewujudkan apa yang oleh pengamat yang telah terdidik melihatnya sebagai potensialnya yang luar biasa. Kunci terhadap proses ini adalah budaya baru tentang keterbukaan, transparasi dan obyektivitas. UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran bahwa pemanfaatan tenaga nuklir terkait erat dengan kemaslahatan kehidupan dan keselamatan manusia yang ditujukan sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan secara tepat dan hati-hati serta untuk tujuan damai. Sifat damai dan mulia dari pemanfaatan tenaga nuklir juga tertuang secara jelas dalam Anggaran Dasar Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan dijabarkan dalam berbagai perjanjian internasional berupa Traktat, Konvensi, Protokol dan Perjanjian Internasional lainnya sebagai instrumen/dasar hukum bagi setiap kegiatan dan tindakan yang berkaitan dengan penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan damai. Keberadaan instrumen Internasional tersebut telah mendorong percepatan dan promosi penggunaan tenaga nuklir dalam berbagai bidang aplikasi dewasa ini untuk perdamaian dan kesejahteraan umat manusia. Pemahaman yang utuh pada promosi nuklir tujuan damai hendaknya meliputi semua aspeknya berupa aspek teknis, aspek legal, aspek geostrategi (geopolitik & geoekonomi), aspek filosofi kesejarahan, dimana pemahaman ini selanjutnya dapat dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan agar promosi pemanfaatan nuklir tujuan damai mencapai sasaran sesuai harapan. Untuk itu hendaknya Iptek nuklir dapat dikomunikasikan dan disosialisasikan sesuai paradigma tersebut dengan semua aspeknya termasuk di dalamnya aspek perjanjian Internasional yang mengaturnya. 10. DAFTAR PUSTAKA 1. Elbaradei, Mohamed, Nuclear Power: A Changing Landscape, Meeting of the Turkish Atomic Energy Authority, Ankara 7 July 2006, IAEA Fischer, David, History of the International Atomic Energy Agency: the first forty years, Vienna: The Agency, Pelzer, Norbert, Learning the Hard Way: Did the Lessons Taugt by the Chernobyl Nuclear Accident Contribute to Improving Nuclear Law? dalam A Joint Report by the OECD Nuclear Energy Agency and the IAEA: the International Nuclear Law in Post-Chernobyl Period, Paris, OECD NEA, 2006; 4. Rautenbach, Johan, et.al; Overview of the International Legal Framework Governing in the Safe and Peaceful Uses of Nuclear Energy-Some Pratical Steps, dalam A Joint Report by the OECD Nuclear Energy Agency and the IAEA: the International Nuclear Law in Post-Chernobyl Period, Paris, OECD NEA, 2006; 5. Stoiber, Carlton, et al; Handbook of Nuclear Law, Vienna: The Agency, 2003

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN Ferhat Aziz dan Yaziz Hasan Biro Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat BATAN Jalan Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,

Lebih terperinci

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN

KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNTUK PROGRAM PEMBANGUNAN PLTN Ferhat Aziz, Yaziz Hasan Biro Kerja Sama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat, BATAN, Jalan Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan,

Lebih terperinci

KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR INDONESIA

KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR INDONESIA Seminar Arsitektur Rezim Nuklir Internasional: Peran Indonesia dalam Konferensi CTBTO, Surabaya, 2 Oktober 2014 KESELAMATAN DAN KEAMANAN PENGEMBANGAN ENERGI NUKLIR INDONESIA Yaziz Hasan Biro Hukum, Hubungan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan, karena penelitian bertujuan mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Sistematis berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. listrik dalam wujud reaktor nuklir. Pengembangan teknologi nuklir tidak hanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal abad ke-20, perkembangan teknologi telah mendatangkan beragam inovasi baru. Salah satunya adalah pengolahan beberapa unsur kimia menjadi senyawa radioaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada Februari 2003, Iran mengumumkan program pengayaan uranium yang berpusat di Natanz. Iran mengklaim bahwa program pengayaan uranium tersebut akan digunakan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5518 PENGESAHAN. Konvensi. Penanggulangan. Terorisme Nuklir. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Repubik Indonesia Tahun 2014 Nomor 59) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua. Sarah Amalia Nursani. Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya

Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua. Sarah Amalia Nursani. Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua Sarah Amalia Nursani Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya PAPER Nuklir sebagai Energi Pedang Bermata Dua Sarah Amalia Nursani Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Analisis terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan : (1)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Analisis terhadap perilaku peranan dapat dilakukan melalui tiga pendekatan : (1) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peran Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seseorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. minyak. Terus melambungnya harga minyak dunia, bahkan sempat menyentuh

I. PENDAHULUAN. minyak. Terus melambungnya harga minyak dunia, bahkan sempat menyentuh I. PENDAHULUAN A. Latar Balakang Setiap negara, baik negara maju ataupun berkembang tersudut di dalam pilihan yang sangat sulit terhadap masalah energi yang disebabkan pada tingginya harga minyak. Terus

Lebih terperinci

GUNTINGAN BERITA Nomor : /HM 01/HHK 2.1/2014

GUNTINGAN BERITA Nomor : /HM 01/HHK 2.1/2014 Badan Tenaga Nuklir Nasional J A K A R T A Yth.: Bp. Kepala BadanTenaga Nuklir Nasional GUNTINGAN BERITA Nomor : /HM 01/HHK 2.1/2014 Hari, tanggal Selasa, 21 Oktober 2014 Sumber Berita http://palingaktual.com/

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN MENGENAI PENCEGAHAN PENYEBARAN SENJATA-SENJATA NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI 1 Introduksi: Isu proliferasi senjata nuklir merupaka salah satu isu yang menonjol dalam globalisasi politik dunia. Pentingnya isu nuklir terlihat dari dibuatnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN TRAKTAT PELARANGAN MENYELURUH UJI COBA NUKLIR (COMPREHENSIVE NUCLEAR-TEST-BAN TREATY) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KERJASAMA LUAR NEGERI UNTUK PENINGKATAN KEPENTINGAN NASIONAL

PEMANFAATAN KERJASAMA LUAR NEGERI UNTUK PENINGKATAN KEPENTINGAN NASIONAL PEMANFAATAN KERJASAMA LUAR NEGERI UNTUK PENINGKATAN KEPENTINGAN NASIONAL Oleh: Triyono Wibowo Dubes/Watapri Wina PENDAHULUAN 1. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

Andy Rachmianto Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI KORINWAS 12 Mei 2016

Andy Rachmianto Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI KORINWAS 12 Mei 2016 Andy Rachmianto Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI KORINWAS 12 Mei 2016 SAFETY SAFEGUARDS SECURITY IPTEK NUKLIR Keamanan nuklir mencakup keamanan bahan nuklir

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

Sihana

Sihana Surabaya, 5-9 Oktober 2015 Sihana Email: sihana@ugm.ac.id Pelatihan Keamanan Nuklir Untuk First Responder Pendahuluan Definisi ADD Jenis ADD Nasional Lokal 2 Industrial Medical Isotopes Isotopes Application

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DAN DAMPAK LINGKUNGAN YANG MUNGKIN DITIMBULKAN 1 Oleh: Roberto Phispal 2

PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DAN DAMPAK LINGKUNGAN YANG MUNGKIN DITIMBULKAN 1 Oleh: Roberto Phispal 2 PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL ATAS PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DAN DAMPAK LINGKUNGAN YANG MUNGKIN DITIMBULKAN 1 Oleh: Roberto Phispal 2 A B S T R A K Hukum internasional memainkan peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam pemanfaatan sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 106, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4668) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PERCOBAAN NUKLIR RINGKASAN

PERCOBAAN NUKLIR RINGKASAN PERCOBAAN NUKLIR RINGKASAN Percobaan yang diadakan di gurun pasir di negara bagian New Mexico, Amerika Serikat pada tahun 1945 adalah percobaan nuklir yang pertama. Hingga saat ini jumlah percobaan nuklir

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME 1 1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME Dalam sejarahnya, manusia memang sudah ditakdirkan untuk berkompetisi demi bertahan hidup. Namun terkadang kompetisi yang dijalankan manusia itu tidaklah sehat dan menjurus

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN SUMBER RADIASI PENGION DAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 301. Pengelolaan limbah radioaktif yang bertanggungjawab memerlukan implementasi dan pengukuran yang menghasilkan perlindungan kesehatan manusia dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979) PARA PIHAK DALAM KONVENSI MEMPERHATIKAN arti penting yang tercantum dalam beberapa konvensi mengenai pemberian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF ACTS OF NUCLEAR TERRORISM (KONVENSI INTERNASIONAL PENANGGULANGAN TINDAKAN TERORISME

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan penelitian. Pertama, hadirnya

Lebih terperinci

PENTINGNYA REAKTOR PEMBIAK CEPAT

PENTINGNYA REAKTOR PEMBIAK CEPAT PENTINGNYA REAKTOR PEMBIAK CEPAT RINGKASAN Reaktor pembiak cepat (Fast Breeder Reactor/FBR) adalah reaktor yang memiliki kemampuan untuk melakukan "pembiakan", yaitu suatu proses di mana selama reaktor

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPPRES 20/1996, PENGESAHAN CONVENTION ON INTERNATIONAL LIABILITY FOR DAMAGE BY SPACE OBJECTS, 1972 (KONVENSI TENTANG TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL TERHADAP KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH BENDA BENDA ANTARIKSA,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ASEAN POWER GRID (MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK

Lebih terperinci

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA Negara-Negara Pihak pada Protokol ini, Didorong oleh dukungan penuh terhadap Konvensi tentang Hak-Hak Anak, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hampir 50 persen dari kebutuhan, terutama energi minyak dan gas bumi.

I. PENDAHULUAN. hampir 50 persen dari kebutuhan, terutama energi minyak dan gas bumi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah energi merupakan salah satu hal yang sedang hangat dibicarakan saat ini. Di Indonesia, ketergantungan kepada energi fosil masih cukup tinggi hampir 50 persen

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran lingkungan laut mendapat perhatian dunia dewasa ini, baik secara Nasional, Regional, atau Internasional disebabkan karena dampak yang ditimbulkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014 BUKU III Biro Peraturan Perundang-undangan, Humas dan Tata Usaha Pimpinan BKPM 2015 DAFTAR ISI 1. PERATURAN

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada akhir Perang Dunia II tepatnya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dunia

BAB I PENDAHULUAN. Pada akhir Perang Dunia II tepatnya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dunia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada akhir Perang Dunia II tepatnya tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dunia terutama Jepang dikejutkan dengan dijatuhkannya bom atom (nuklir) diatas kota Hiroshima

Lebih terperinci

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten

2012, No Instalasi Nuklir, Reaktor Nuklir, dan Bahan Nuklir adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Keten LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.107, 2012 NUKLIR. Instalasi. Keselamatan. Keamanan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5313) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Pengembangan TAHRMoPS Tc-99m merupakan salah satu radioisotop yang digunakan di aplikasi medis untuk keperluan teknik citra tomografi di kedokteran nuklir

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4202) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 34, 2002 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4195) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG KESELAMATAN DAN KEAMANAN INSTALASI NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

Sihana

Sihana Surabaya, 5-9 Oktober 2015 Sihana Email: sihana@ugm.ac.id Pengantar tentang Senjata NUKLIR Ancaman teroris nuklir Ancaman serangan fasilitas nuklir Ancaman serangan dengan bahan radioaktif 2 Hiroshima

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PERATURAN TENTANG SEIFGARD DAN KEAMANAN BAHAN NUKLIR MENGGUNAKAN KUESIONER US DOE (UNITED STATES DEPARTMENT OF ENERGY)

KAJIAN TERHADAP PERATURAN TENTANG SEIFGARD DAN KEAMANAN BAHAN NUKLIR MENGGUNAKAN KUESIONER US DOE (UNITED STATES DEPARTMENT OF ENERGY) KAJIAN TERHADAP PERATURAN TENTANG SEIFGARD DAN KEAMANAN BAHAN NUKLIR MENGGUNAKAN KUESIONER US DOE (UNITED STATES DEPARTMENT OF ENERGY) Djibun Sembiring dan Taruniyati Handayani BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT, PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR DESTRUCTION (KONVENSI

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te

2015, No Tenaga Nuklir tentang Penatalaksanaan Tanggap Darurat Badan Pengawas Tenaga Nuklir; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 te BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.234, 2015 BAPETEN. Tanggap Darurat. Penatalaksanaan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENATALAKSANAAN TANGGAP DARURAT BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN Para Pihak atas Konvensi ini, mengakui bahwa bahan pencemar organik yang persisten memiliki sifat beracun, sulit terurai, bersifat bioakumulasi

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI B.Y. Eko Budi Jumpeno Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta 12070 PENDAHULUAN Pemanfaatan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE PROHIBITION OF THE DEVELOPMENT, PRODUCTION, STOCKPILING AND USE OF CHEMICAL WEAPONS AND ON THEIR DESTRUCTION

Lebih terperinci

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global. BAB V PENUTUP Kebangkitan Cina di awal abad ke-21tidak dapat dipisahkan dari reformasi ekonomi dan modernisasi yang ia jalankan. Reformasi telah mengantarkan Cina menemukan momentum kebangkitan ekonominya

Lebih terperinci

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET

2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET 2. PERSYARATAN UNTUK PENGKAJIAN KESELAMATAN DALAM PROSES PERIJINAN REAKTOR RISET KRITERIA DAN TANGGUNG-JAWAB PENGKAJIAN 201. Untuk suatu reaktor riset yang akan dibangun (atau mengalami suatu modifikasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MASA DEPAN ENERGI NUKLIR

MASA DEPAN ENERGI NUKLIR MASA DEPAN ENERGI NUKLIR Dua puluh dua dari 31 PLTN baru yang siap disambungkan ke jala-jala listrik Dunia telah dibangun di Asia, yang digerakkan oleh pertumbuhan ekonomi, kelangkaan sumber daya alam

Lebih terperinci

DIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN

DIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG HUBUNGAN INTERNASIONAL KAJIAN SINGKAT TERHADAP

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN

BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN 2.1. Sejarah Singkat Organisasi Tahun 1954 1957 : Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktif: Panitia Negara untuk Penyelidikan Radioaktif dilatarbelakangi oleh adanya

Lebih terperinci

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI Oleh NAUSA NUGRAHA SP. 04 02 02 0471 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata

Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Terkait Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 12 Februari 2002 Negara-negara yang turut serta dalam Protokol ini,terdorong oleh dukungan yang melimpah atas Konvensi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 23, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3676) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 83, 2004 () KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial Hak Lintas Damai di Laut Teritorial A. Laut Teritorial HAK LINTAS DAMAI DI LAUT TERITORIAL (KAJIAN HISTORIS) Laut teritorial merupakan wilayah laut yang terletak disisi luar dari garis-garis dasar (garis

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR I. UMUM Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia meliputi berbagai

Lebih terperinci

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran Jazi Eko Istiyanto Kepala BAPETEN Jakarta, 12 Agustus 2015 Definisi Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu

Lebih terperinci

2 Sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran telah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 te

2 Sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran telah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2002 te TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Keselamatan. Keamanan. Zat Radio Aktif. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 185). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK ITALIA MENGENAI PENINGKATAN DAN PERLINDUNGAN ATAS PENANAMAN MODAL (Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1994 Tanggal

Lebih terperinci

LINGKUP KESELAMATAN NUKLIR DI SUATU NEGARA YANG MEMILIKI FASILITAS NUKLIR

LINGKUP KESELAMATAN NUKLIR DI SUATU NEGARA YANG MEMILIKI FASILITAS NUKLIR LINGKUP KESELAMATAN NUKLIR DI SUATU NEGARA YANG MEMILIKI FASILITAS NUKLIR RINGKASAN Inspeksi keselamatan pada fasilitas nuklir termasuk regulasi yang dilakukan oleh Komisi Keselamatan Tenaga Nuklir adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci