MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI DI KAWASAN PULAU MENJANGAN BALI BARAT GEDE ARI YUDASMARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI DI KAWASAN PULAU MENJANGAN BALI BARAT GEDE ARI YUDASMARA"

Transkripsi

1 MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI DI KAWASAN PULAU MENJANGAN BALI BARAT GEDE ARI YUDASMARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Model Pengelolaan Ekowisata Bahari Di Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Nopember 2010 Gede Ari Yudasmara NIM. C

3 ABSTRACT GEDE ARI YUDASMARA. Marine Ecotourism Management Model in Menjangan Island West Bali. Under supervision of I NJOMAN S NUITJA, ACHMAD FAHRUDIN and SITI NURISJAH. The beauty of coral reefs is one of the attractions in marine ecotourism. Marine ecotourism has now become the most important part for the growth of global tourism industry, such as diving and snorkeling tours are very popular throughout the world, including the area of Menjangan island. This study aims to 1) analyze and describe comprehensively the condition, suitability and level of resource carrying capacity in the area of Menjangan island, 2) analyze and describe comprehensively the economic conditions, tourist preferences, and local participation in the management of marine ecotourism in the area of Menjangan island, 3) analyze the optimal level of management of marine ecotourism in the area of Menjangan island, 4) plan sustainable management model of marine ecotourism in the area of Menjangan island. The survey results on observation 6 station, LIT method shows the percentage of living cover coral is 46.42% or in the medium category are the 50 species of fish in it. Mangrove vegetation density obtained an average of individu/100m 2, so that the suitability index obtained in the category of tourism is in accordance with the carrying capacity utilization of people per year. Analysis of supply demand obtain a consumer surplus value of US$ 3195 per individual per year and the region s economic value of US$ WTP values tourists an average of US$ with a total value of WTP in a year of IDR. The level of community participation is influenced by level of education, understanding of the environment and income. The optimal management model is a model that incorporates elements of rehabilitation activities in the management scenario. Keyword: Menjangan island, marine ecotourism, optimal management model

4 RINGKASAN GEDE ARI YUDASMARA. Model Pengelolaan Ekowisata Bahari Di Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Dibimbing oleh I NJOMAN S NUITJA, ACHMAD FAHRUDIN dan SITI NURISJAH. Indonesia dengan berbagai keanekaragaman sumber daya hayatinya merupakan modal pembangunan yang sangat potensial. Kekayaan alam ini, terdapat di seluruh wilayah Indonesia, baik yang ada di darat maupun di pesisir dan lautan. Potensi sumber daya alam yang melimpah ini, tentunya memerlukan penanganan yang serius agar aset tersebut dapat dipertahankan dan digunakan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Namun dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan azas manfaat sehingga produktifitasnya dapat terus dirasakan. Salah satu bentuk pemanfaatan dari kekayaan sumber daya alam tersebut adalah pariwisata. Pariwisata merupakan kegiatan primadona dan telah menjadi bagian dari sektor andalan pembangunan nasional. Data pertumbuhan pariwisata dunia semenjak 1960an sebagaimana dipublikasikan oleh World Tourism Organization (WTO) setiap tahunnya mengalami peningkatan. Banyak negara di dunia berlomba untuk mengembangkan pariwisata sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kinerja pembangunan nasionalnya. Saat ini perkembangan pembangunan pariwisata diarahkan untuk mengacu pada aspek keberlanjutan. Artinya pengembangan yang dilakukan harus didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Munculnya kriteria berkelanjutan tersebut telah mendorong pariwisata yang berbasis alam memunculkan jenis wisata baru yang disebut ekowisata. Ekowisata merupakan bentuk wisata yang relatif baru. Kegiatan ini dikelola dengan pendekatan konservasi, sehingga tidak hanya aspek ekonomi dan sosial masyarakat yang ditonjolkan tetapi juga aspek pendidikan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Bentuk wisata ini lebih banyak dikembangkan pada daerah yang relatif masih alami. Satu dari beberapa daerah di Indonesia yang menempatkan pariwisata sebagai sektor utama pembangunannya adalah Bali. Sebagai daerah yang sudah terkenal di dunia dengan pariwisatanya, terutama wisata bahari (sea, sand and sun), Bali masih menyimpan potensi yang dapat dikembangkan terutama di kawasan Bali bagian Utara. Salah satunya adalah kawasan Pulau Menjangan yang terletak di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Secara fisik pulau Menjangan tergolong pulau kecil yang unik dengan karakater terumbu karang yang khas. Keberadaan terumbu karang menjadikan kawasan Pulau Menjangan sangat cocok dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata. Pengembangan suatu kawasan sebagai obyek ekowisata sudah tentu memerlukan kajian-kajian yang menyeluruh dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial agar keberlajutan kegiatan ini dapat terjamin. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis kondisi, tingkat kesesuaian dan daya dukung sumber daya dalam menunjang kegiatan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan, 2) menganalisis kondisi ekonomi aktivitas wisata, preferensi wisatawan serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari saat ini di kawasan Pulau Menjangan, 3) menganalisis tingkat optimal pengelolaan

5 ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan, dan 4) merencanakan model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan yang berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan, wawancara dan pengumpulan data sekunder. Analisis data terdiri dari (1) analisis ekologi. Melalui analisis ini diperoleh gambaran kondisi dan potensi ekosistem yang ada serta tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk ekowisata; (2) analisis ekonomi. Melalui analisis ini diperoleh gambaran kondisi ekonomi aktivitas wisata dalam pengelolaan; (3) analisis sosial. Hasil analisis diperoleh gambaran tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan wisata; dan (4) analisis dinamik model pengelolaan. Hasil analisis ini diperoleh gambaran model yang sesuai dan optimal dalam pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Hasil survei pada 6 stasiun pengamatan menggunakan metode LIT (line intercept transec) menunjukkan persentase tutupan karang hidup di Pulau Menjangan adalah sebesar 46.42% atau dalam kategori sedang dengan 50 jenis ikan karang didalamnya. Kerapatan vegetasi mangrove yang diperoleh rata-rata sebesar individu/100 m 2, sehingga indeks kesesuaian wisata diperoleh dalam kategori sangat sesuai dengan daya dukung pemanfaatan sebanyak orang per tahun. Analisa daya tarik wisatawan yang berkunjung ke kawasan Pulau Menjangan menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang menjadi daya tarik utama diikuti oleh ekosistem mangrove. Nilai SBE juga menunjukkan bahwa karakter seascape lebih tinggi nilainya dari karakter landscape. Untuk analisa penawaran dan permintaan memperoleh nilai surplus konsumen sebesar US$ 3195 per individu per tahun serta nilai ekonomi kawasan sebesar US$ Nilai WTP wisatawan rata-rata sebesar US$ dengan total nilai WTP dalam setahun sebesar Rp Tingkat partisipasi masyarakat di kawasan Pulau Menjangan tergolong cukup tinggi, dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, pemahaman tentang lingkungan dan pendapatan. Model pengelolaan yang optimal bagi kawasan Pulau Menjangan adalah model yang memasukkan unsur kegiatan rehabilitasi didalam skenario pengelolaannya. Kata kunci: Pulau Menjangan, Ekowisata Bahari, Model Pengelolaan Optimal

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mencantumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI DI KAWASAN PULAU MENJANGAN BALI BARAT GEDE ARI YUDASMARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 MODEL PENGELOLAAN EKOWISATA BAHARI DI KAWASAN PULAU MENJANGAN BALI BARAT GEDE ARI YUDASMARA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul Disertasi : Model Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat Nama : Gede Ari Yudasmara NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. I Njoman S Nuitja, M.Sc Ketua Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS Anggota Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,M.S Tanggal Ujian : 10 Nopember 2010 Tanggal Lulus :

10 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Rachmaniar R, Apt Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc

11 PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widi Wasa, karena atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi ini berjudul Model Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Pengelolaan kawasan pulau Menjangan sebagai kawasan ekowisata bahari, telah memberikan peluang yang sangat besar baik bagi masyarakat maupun pihak swasta dalam usaha peningkatan kesejahteraan. Pengelolaan yang tidak hanya mengedepankan pencapaian manfaat secara ekonomi tetapi juga kaedah-kaedah ekologi sangatlah diperlukan, terlebih lagi kawasan pulau Menjangan yang berada di kawasan taman nasional. Kondisi inilah sebagai pemicu yang menginspirasi mengapa penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini telah mengupayakan untuk mengkaji secara komprehensif tentang model pengelolaan ekowisata bahari melalui optimalisasi pengelolaan yang berkelanjutan, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumber daya alam tetap lestari. Model pengelolaan ekowisata bahari yang dilakukan dengan mempertimbangkan kaidahkaidah keberlanjutan berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial yang berbasis kesesuaian dan daya dukung lingkungan dapat menjadi acuan dan informasi ilmiah dalam memformulasikan kebijakan pengelolaan, regulasi dan pemberian lisensi yang dapat dipertanggung jawabkan Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Bapak Prof. Dr. Ir. I Njoman S Nuitja, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS dan Ibu Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA yang masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Bapak rektor Universitas Pendidikan Ganesha yang telah memberikan kesempatan untuk tugas belajar ke jenjang S3 serta dukungannya sampai selesainya studi ini. Bapak Ir. Bambang Darmaja (Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat) yang telah memberikan ijin untuk kegiatan penelitian di kawasan Taman Nasional Bali Barat serta ijin menggunakan fasilitas Balai. Bapak Drh. Agus Ngurah Kresna Kepakisan (Kepala Wilayah III Balai Taman Nasional Bali Barat) yang telah memberikan ijin untuk kegiatan penelitian di kawasan Pulau Menjangan dan ijin menggunakan fasilitas TNBB wilayah III. Rekan-rekan di Balai Taman Nasional Bali Barat khususnya Ketut Catur Marbawa, S.Hut, Ir. I Gusti Ngurah Suranggana, ibu Dayu, Pak Engkol staf Taman Nasional Bali Barat atas segala bantuannya dalam pengambilan data lapangan. Rekan-rekan pemandu wisata di Pulau Menjangan khususnya Komang Ari, S.Pd, Made Wijana, Ketut Mangku, atas segala bantuannya dalam pengambilan data lapangan.

12 Ketua Departemen MSP dan Ketua Program Studi SPL serta seluruh staf Program Studi SPL atas segala pelayanan akademik selama kami mengikuti perkuliahan di Program Studi SPL. Ayahanda tercinta Drs. Made Sumadi, M.Si dan Ibunda tercinta Dra. Luh Darma Astuti, istri tercinta Luh Suryatini, SP serta anak tercinta Luh Kirania Nirwasita Sri Nararya, serta seluruh keluarga atas dukungan moril/materil, pengertian, kesabaran, doa, dan kasih sayang selama mengikuti pendidikan di IPB. Rekan-rekan Program Studi SPL khususnya Program S3 Angkatan 11 atas segala persaudaraan dan kebersamaan selama mengikuti pendidikan di SPL serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telahmembantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran untuk perbaikannya sangat kami hargai. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaatan dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Bogor, Nopember 2010 Gede Ari Yudasmara

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Singaraja, Bali pada tanggal 14 April 1979 sebagai anak pertama dari pasangan Drs. Made Sumadi, M.Si dan Dra. Luh Darma Astuti. Pendidikan Sarjana diselesaikan di Universitas Udayana tahun 2002 pada Jurusan Biologi. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan lulus tahun Pada tahun 2006, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor melalui jalur BPPS pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Pada tahun 2003 penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Pendidikan Biologi-Universitas Pendidikan Ganesha-Singaraja-Bali. Mulai tahun 2009 penulis diberikan kepercayaan untuk tambahan mengajar di program diploma Jurusan Budidaya Kelautan. Pada tahun 2008 penulis menikah dengan Luh Suryatini, SP dan sudah dikaruniai 1 orang putri bernama Luh Kirania Nirwasita Sri Nararya. Selama mengikuti pendidikan penulis sudah menerbitkan tulisan/makalah berjudul: Analisis Pengembangan Teluk Terima Sebagai Obyek Wisata Alam Di kabupaten Buleleng-Bali. Tulisan/makalah ini sudah diterbitkan dalam Jurnal AGRITEK-IPM Malang tahun (Jurnal ilmiah nasional terakreditasi). Analisis Kondisi dan Potensi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Menjangan Kawasan Taman Nasional Bali Barat. Tulisan/makalah ini sudah diterbitkan dalam Jurnal AGRITEK-IPM Malang tahun (Jurnal ilmiah nasional terakreditasi).

14 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Kebaruan Penelitian... Halaman xv xvii II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumberdaya Alam Pengertian Konservasi Kawasan Konservasi Alam Ekowisata Pengertian Ekowisata Prinsip Ekowisata Konsep Pengembangan Ekowisata Pendekatan Pengelolaan Ekowisata Penilaian Pengelolaan Ekowisata Nilai Daya Dukung dan Kesesuaian Kawasan Nilai Ekonomi Ekowisata Preferensi Visual Pendekatan Partisipatif Sistem dan Pemodelan Teori Sistem Model Pendekatan Sistem Dinamik Model Dinamik Pengelolaan Wisata Bahari Kebijakan Pengelolaaan Kawasan Konservasi... III. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Penelitian Pengumpulan Data dan Informasi Analisis Data Analisis Kondisi Sumberdaya Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekologi Kesesuaian Pemanfaatan Daya Dukung Ekologi Ekowisata Bahari Analisis Daya Tarik dan Preferensi Visual Analisis Ekonomi Ekowisata Bahari Penawaran Ekowisata Bahari Permintaan Ekowisata Bahari xiii

15 Analisis Manfaat Keberadaan Obyek Wisata Analisis Partisipatif Masyarakat Analisis Optimasi Pengelolaan Ekowisata Bahari... IV. PROFIL KAWASAN PULAU MENJANGAN 4.1. Gambaran Umum Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Kondisi Biofisik Kawasan Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Kependudukan dan Perekonomian Tingkat Pendidikan Tata Guna dan Pola Penggunaan Lahan Agama dan Kepercayaan... V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi dan Potensi Sumber daya Kawasan Pulau Menjangan 5.2. Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Bahari Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Bahari Daya Dukung Ekologi Ekowisata Bahari Daya Tarik dan Preferensi Wisatawan Penawaran Ekowisata Bahari Permintaan Ekowisata Bahari Manfaat Keberadaan Obyek Wisata Partisipasi Masyarakat Simulasi dan Model Pengelolaan Ekowisata Bahari Struktur Model Optimasi Pengelolaan Ekowisata Bahari Kebijakan Pengelolaan Ekowisata Bahari... VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Menjangan Tipologi partisipasi Jenis dan sumber data yang dibutuhkan Matriks kesesuaian untuk ekowisata selam Matriks kesesuaian untuk ekowisata snorkeling Matriks kesesuaian untuk ekowisata mangrove Kapasitas pengunjung (k) dan luas area kegiatan (lt) Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Tabulasi derajat partisipasi masyarakat Jumlah penduduk desa Sumber Klampok, tenaga kerja, dan bukan tenaga kerja Jumlah penduduk desa Sumber Klampok menurut mata pencaharian Komposisi penduduk desa Sumber Klampok berdasarkan tingkat pendidikan Pola penggunaan lahan Komposisi penduduk desa Sumber Klampok menurut agama Kerapatan jenis mangrove Kondisi kualitas perairan Pulau Menjangan Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk ekowisata selam Hasil penilaian kesesuaian lahan ekowisata snorkeling Hasil penilaian kesesuaian lahan ekowisata mangrove Penilaian daya dukung kawasan dan pemanfaatan ekowisata bahari Nilai atribut basis model pengelolaan ekowisata bahari xv

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Alur kerangka pemikiran penelitian Interaksi tiga komponen dalam model pengelolaan wisata Lokasi penelitian Kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Menjangan Densitas relatif dan frekuensi relatif makroalga Kurva penawaran wisata di kawasan Pulau Menjangan Kurva permintaan wisata di kawasan Pulau Menjangan Kondisi keseimbangan pasar aktivitas ekowisata bahari Hubungan peubah karakteristik masyarakat dengan partisipasi pada sumbu utama F1 dan F Struktur basis model dinamik pengelolaan ekowisata bahari berdasarkan aspek ekologi Struktur basis model dinamik pengelolaan ekowisata bahari berdasarkan aspek ekonomi Struktur basis model dinamik pengelolaan ekowisata bahari berdasarkan aspek sosial Skenario model aktual pengelolaan ekowisata bahari Skenario model alternatif pengelolaan ekowisata bahari xvi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Definisi operasional Lokasi pengamatan terumbu karang Lokasi pengamatan mangrove Persentase tutupan karang di Pulau Menjangan Grafik Persentase Tutupan Karang di Pulau Menjangan Jenis-jenis ikan karang di perairan Pulau Menjangan Jenis-jenis makroalga di perairan Pulau Menjangan Peta kesesuaian ekowisata selam di Pulau Menjangan Peta kesesuaian ekowisata snorkeling di Pulau Menjangan Peta kesesuaian ekowisata mangrove di Teluk Terima Hasil perhitungan daya tarik wisata Hasil perhitungan penawaran wisata Hasil perhitungan TCM Hasil perhitungan CVM Hasil perhitungan analisis penawaran Hasil perhitungan analisis permintaan Hasil perhitungan analisis keseimbangan supply demand Nilai SBE per-stasiun pengamatan Foto karakter seascape kawasan Pulau Menjangan Foto karakter landscape kawasan Pulau Menjangan Tingkat partisipasi masyarakat kawasan Pulau Menjangan Perubahan nilai stok skenario aktual proyeksi 30 tahun Perubahan nilai stok skenario alternatif proyeksi 30 tahun Formulasi skenario model pengelolaan aktual Formulasi skenario model pengelolaan alternatif xvii

19 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah Indonesia, baik yang ada di darat maupun di pesisir dan lautan. Potensi sumber daya alam yang melimpah ini, memerlukan penanganan yang serius agar aset alami tersebut dapat dipertahankan dan digunakan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan azas manfaat sehingga produktifitasnya dapat terus berlanjut (Dahuri et al. 2001). Upaya untuk menjaga dan melestarikan sumber daya alam serta mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi dari sumber daya alam tersebut, dilakukan dengan mengalokasikan sebagian areal yang dipergunakan untuk kawasan konservasi. Alokasi ini bertujuan untuk memelihara sumber daya alam, melaksanakan pengawetan keanekaragaman flora dan fauna serta memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Salah satu bentuk dari kawasan konservasi ini adalah taman nasional (DJPKA, 2000). Taman nasional merupakan suatu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, relatif tidak terganggu dan mempunyai nilai alam yang mendominasi dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, serta terdapat manfaat konservasi dan edukasi yang tinggi bagi wilayah tersebut. Sebagai contoh, Taman Nasional Bali Barat yang merupakan salah satu kawasan taman nasional yang ada di Indonesia. Kawasan ini dideklarasikan pada tanggal 12 Mei 1984 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 096/Kpts-II/1984 (TNBB, 2003). Keberadaan Taman Nasional Bali Barat tidak terlepas dari potensi sumber daya alamnya yang khas dan endemik. Beberapa satwa khas di kawasan ini adalah burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi), Rusa (Cervus timorensis), Banteng (Bos javanicus), dan penyu Ridel (Lepidochelys olivaceae). Selain jenis fauna baik yang dilindungi maupun belum juga terdapat beberapa jenis ekosistem yaitu

20 2 ekosistem hutan savana, hutan hujan tropika, hutan musim, hutan mangrove serta ekosistem terumbu karang. Kawasan Taman Nasional Bali Barat berdasarkan Keputusan Dirjen PHPA Nomor: 38/Kpts/Dj-VI/1996 tentang penunjukan zonasi pada Taman Nasional Bali Barat membagi pengelolaan kawasan TNBB kedalam beberapa zonasi yaitu; zona inti daratan seluas ha dan perairan seluas 970 ha, zona rimba daratan seluas ha dan perairan seluas 515 ha, zona pemanfaatan darat seluas ha dan perairan seluas ha. Pengelolaan taman nasional yang didasari atas sistem zonasi serta adanya PP No 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional, telah memungkinkan untuk mengembangkan kegiatan wisata walaupun bersifat terbatas pada zona pemanfaatan. Peluang inilah yang mendorong Pulau Menjangan sebagai bagian dari zona pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat dikembangkan menjadi obyek ekowisata. Kawasan Pulau Menjangan yang terletak di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) secara fisik termasuk kategori pulau yang unik. Pulau ini dikatakan unik karena merupakan pulau karang yang memiliki luas hanya 175 Ha (TNBB, 2003), tidak berpenduduk dan memiliki sebaran terumbu karang yang merata di sekeliling pulau. Menurut hasil kajian Bakosurtanal (2001) jenis terumbu karang yang berkembang dan dominan meliputi: karang otak-otak (Diploasterea), karang simbar menjangan (Acropora), karang masrum/jamur payung (Euphyllia), serta bentuk lainnya yang memiliki struktur bunga kubis. Selain berbagai jenis karang yang dimiliki, Pulau Menjangan juga memiliki gugusan karang yang khas. Kontur karangnya merupakan perpaduan dari datar ke kontur yang tiba-tiba berubah drastis menjadi terjal atau dalam istilah selam disebut drop off. Terdapat juga gua-gua atau ceruk pada dinding gugusan karang tersebut, sehingga karakter karangnya menjadi semakin khas. Disamping potensi ekologis yang menarik, Pulau Menjangan juga memiliki potensi budaya dengan terdapatnya beberapa Pura sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu yaitu pura Gili Kencana, pura Klenting Sari, dan pura Segara Giri Kencana. Mengingat potensi yang dimiliki kawasan Pulau Menjangan tergolong cukup tinggi, maka sangat berpotensi apabila dikembangkan sebagai daerah

21 3 tujuan ekowisata. Sejak dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata, telah banyak wisatawan yang datang berkunjung, baik wisatawan yang berasal dari dalam negeri maupun manca negara. Tercatat diakhir tahun 2007 jumlah wisatawan manca negara sebanyak orang, yang sebagian besar berasal dari negara Eropa, Amerika, dan Asia (terutama Jepang) (TNBB, 2007). Cukup tingginya aktivitas wisata dan telah berkembang selama hampir empat belas tahun, dipandang perlu dilakukan suatu kajian terhadap pengelolaan ekowisata bahari tersebut. Kajian ini dimaksudkan agar dapat diketahui tingkat optimal dari pengelolaan kegiatan ekowisata, sehingga kelestarian sumber daya alam di kawasan ini dapat terus mendukung aktivitas wisata dan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan Perumusan Masalah Potensi sumber daya alam yang dimiliki dengan kekhasan tersendiri, telah mendorong kawasan Pulau Menjangan menjadi daerah tujuan wisata alam. Sebagai daerah tujuan wisata, kawasan Pulau Menjangan sampai saat ini masih ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Tercatat jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke Pulau Menjangan dari tahun 2001 sampai 2007 seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1 Jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Menjangan Tahun Sumber: TNBB (2007) Jumlah Wisatawan (orang) Jumlah kunjungan tersebut menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara ke kawasan Pulau Menjangan, sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Wisatawan yang datang berkunjung umumnya melakukan aktivitas menyelam, snorkeling maupun aktivitas wisata lainnya, termasuk hanya sekedar beristirahat untuk beberapa hari.

22 4 Cukup tingginya aktivitas wisata di kawasan Pulau Menjangan, maka timbul pertanyaan mengenai kemampuan kawasan Pulau Menjangan dalam mendukung aktivitas wisata bahari. Sebab, kondisi yang dikhawatirkan adalah aktivitas wisata bahari ini telah melebihi kemampuan daya dukung kawasan dalam mendukung seluruh kegiatan wisata yang dilakukan. Selain itu, tingkat optimal penataan wisata di kawasan Pulau Menjangan terutama kesesuaian kegiatan wisata per lokasi wisata. Mengingat kondisi terumbu karang yang dimiliki Pulau Menjangan menunjukkan hasil dibawah kategori baik (WWF, 2003). Untuk itu, perlu diketahui ukuran kemampuan dan kesesuaian dari kawasan serta peran masyarakat dalam mendukung seluruh aktivitas wisata yang dikembangkan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi sumber daya alam dan lingkungan di kawasan Pulau Menjangan tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dikaji dan dicari solusinya yaitu: 1) Kondisi sumber daya kawasan Pulau Menjangan saat ini dalam mendukung kegiatan ekowisata bahari. 2) Tingkat kesesuaian kawasan Pulau Menjangan untuk aktivitas ekowisata bahari. 3) Daya dukung kawasan Pulau Menjangan dalam menunjang aktivitas ekowisata bahari. 4) Kondisi ekonomi aktivitas ekowisata bahari saat ini di kawasan Pulau Menjangan. 5) Tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung kegiatan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. 6) Tingkat optimal pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. 7) Bagaimana model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan yang dapat menjamin keberlangsungan sumber daya alam dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.

23 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menganalisis kondisi, tingkat kesesuaian dan daya dukung sumber daya dalam menunjang kegiatan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. 2) Menganalisis kondisi ekonomi aktivitas wisata, preferensi wisatawan serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari saat ini di kawasan Pulau Menjangan. 3) Menganalisis tingkat optimal pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. 4) Merencanakan model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan yang berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial Manfaat Penelitian 1) Memberikan informasi tentang kondisi sumber daya, tingkat kesesuaian, daya dukung, kondisi ekonomi, tingkat partisipasi masyarakat dan tingkat optimal serta model pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Menjangan yang mencerminkan aspek keberlanjutan. 2) Bahan masukan bagi lembaga pengelola kawasan Taman Nasional Bali Barat dalam mengelola aktivitas ekowisata bahari agar dapat lestari dan berkelanjutan. 3) Bagi pemerintah dan instansi terkait dapat dijadikan acuan dalam mengeluarkan kebijakan pengelolaan ekowisata bahari yang mendukung aspek keberlanjutan. 4) Bagi masyarakat pesisir dapat memberikan informasi pengetahuan tentang pengelolaan ekowisata bahari yang berkelanjutan dan sebagai pertimbangan dalam menentukan jenis usaha yang dapat dikembangkan. 5) Bagi investor, sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan investasi di kawasan Pulau Menjangan. 6) Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pengelolaan berkelanjutan untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya pada pengembangan ekowisata bahari.

24 Kerangka Pemikiran Pulau Menjangan dan sekitarnya secara administrasi merupakan bagian dari kawasan yang berada di areal Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, Taman Nasional Bali Barat dikelola berdasarkan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan. Bentuk pengelolaan berdasarkan zona ini, telah memberikan peluang bagi pengembangan kegiatan pemanfaatan seperti pariwisata pada zona pemanfaatan. Kondisi inilah yang mendorong kawasan Pulau Menjangan sebagai bagian dari Taman Nasional Bali Barat untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata terutama wisata bahari. Selain karena terletak pada zona pemanfaatan, pengembangan kawasan ini tidak terlepas juga dari potensi sumber daya yang dimilikinya. Potensi yang dimiliki kawasan Pulau Menjangan tergolong cukup tinggi, baik dari potensi alam maupun potensi sumber daya manusianya. Potensi ini telah menjadikan kawasan Pulau Menjangan sebagai destinasi wisata yang menarik dan telah banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Melihat aktivitas wisata di kawasan ini cukup tinggi, maka ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji seperti kemampuan kawasan Pulau Menjangan dalam mendukung seluruh aktivitas wisata yang dikembangkan. Mengingat sumber daya alam pulau ini memiliki keterbatasan terutama dalam hal ruang atau luasan. Komponen yang menjadi daya tarik wisatawan, partisipasi masyarakat, serta penataan kawasan wisata terutama kesesuaian dari setiap kegiatan wisata per lokasi wisata. Menjawab permasalahan di atas, maka diperlukan analisis optimasi pengelolaan menggunakan pendekatan kesesuaian, daya dukung ekologi, sosial ekonomi, dan sistem dinamik untuk mengkaji pola pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Hasil dari analisis ini diharapkan, mendapatkan model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan yang dapat menjamin aspek keberlanjutan. Kerangka pikir ini dapat diilustrasikan pada Gambar 1.

25 7 Kawasan Pulau Menjangan Potensi Sumberdaya Alam Potensi Sumberdaya Manusia Kesesuaian Wisata Daya Tarik Wisata Partisipasi Masyarakat IKW Regresi dan SBE Supply Ekologi Demand Wisata Supply Wisata Analisis Ekologi Analisis Ekonomi Analisis Sosial DDK MCA TCM CVM PCA Optimalisasi Pengelolaan Ekowisata Bahari Sistem Dinamik feedback Keterangan: Pengelolaan Ekowisata Bahari Berkelanjutan di Kawasan Pulau Menjangan alur penelitian alat atau metode analisis Gambar 1 Alur kerangka pemikiran penelitian.

26 8 Alur kerangka pemikiran penelitian pada Gambar 1 dapat dijelaskan bahwa kawasan Pulau Menjangan yang terletak di area Taman Nasional Bali Barat, memiliki potensi cukup tinggi berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Potensi sumber daya alam yang dimaksud adalah keberadaan dari ekosistem terumbu karang dan mangrove yang tersebar cukup luas di kawasan ini. Kondisi tersebut kemudian menjadikan kawasan Pulau Menjangan dikembangkan sebagai obyek ekowisata bahari yang menarik. Sejalan dengan pengembangan ini, maka diperlukan kajian mengenai tingkat kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata dan komponen-komponen yang menjadi daya tarik wisata. Kajian ini dianalisis menggunakan pendekatan indeks kesesuaian wisata (IKW), scenic beauty estimation (SBE) dan analisis regresi. Hasil dari analisis kesesuaian akan menjadi supply secara ekologi, hasil dari analisis daya tarik menjadi faktor demand wisata sedangkan potensi sumber daya manusia melalui partisipasi masyarakat menjadi faktor supply wisata. Kajian selanjutnya adalah mengkaji kondisi supply ekologi melalui analisis daya dukung kawasan (DDK), sedangkan demand wisata dianalisis menggunakan metode travel cost method (TCM) dan contingent valuation method (CVM). Untuk supply wisata akan dikaji menggunakan dua pendekatan secara ekonomi melalui marginal cost analysis dan secara sosial melalui principal component analysis (PCA). Hasil-hasil yang diperoleh dari analisa tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menentukan tingkat optimal pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan yang dikaji menggunakan pendekatan sistem dinamik. Hasil dari analisis sistem dinamik tersebut akan menghasilkan beberapa model dinamis yang menggambarkan kondisi pengelolaan ekowisata bahari. Model dinamis yang diperoleh kemudian dipilih model yang mampu menjamin aspek keberlanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, sehingga didapatkan model pengelolaan ekowisata bahari berkelanjutan di kawasan Pulau Menjangan.

27 Kebaruan Penelitian Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah: 1. Kebaruan dalam pendugaan daya dukung ekonomi melalui penggunaan pendekatan supply demand non-marketable goods untuk mendapatkan keseimbangan permintaan penawaran produk ekowisata bahari. 2. Kebaruan dalam hasil kajian partisipasi masyarakat, dimana partisipasi dapat membentuk supply wisata yang tidak hanya berpengaruh terhadap aspek sosial tetapi juga mempengaruhi aspek ekonomi. Hasil kajian ini yang menjadi khas karena masyarakat tidak hanya berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan ekowisata tetapi juga mampu menciptakan atau menawarkan produk wisata kepada wisatawan.

28 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam Pengertian Konservasi Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use) konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana upaya konservasi tidak hanya usaha perlindungan tetapi juga pemanfaatan secara lestari. Konservasi dapat pula dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumber daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan (DJPKA, 2000), sebagai berikut: 1) Konservasi adalah menggunakan sumber daya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama; 2) Konservasi adalah alokasi sumber daya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial; 3) Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survei, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan; 4) Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang. Secara keseluruhan, konservasi sumber daya alam hayati (KSDAH) adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (DJPKA, 2000). KSDAH ataupun konservasi biologi pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu dasar dan ilmu terapan yang berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatannya secara serasi dan seimbang. Adapun tujuan dari KSDAH adalah

29 12 untuk terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu dilakukan strategi dan juga pelaksanaanya. Di Indonesia, kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, serta pihak-pihak lainnya. Strategi konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam tiga hal berikut pelaksanaannya (DJPKA, 2000), yaitu : 1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK) (1) Penetapan wilayah PSPK; (2) Penetapan pola dasar pembinaan program PSPK; (3) Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK; (4) Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK; (5) Penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK. 2) Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (1) Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (2) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (in-situ dan eks-situ konservasi). 3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. (1) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; (2) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam bentuk: pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan, peragaan, pertukaran, budidaya) Kawasan Konservasi Alam Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang dilindungi dan ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan berbagai kriteria, sesuai dengan kepentingannya. Setiap negara mempunyai kriteria untuk penetapan kawasan yang dilindungi, sesuai dengan tujuan yang berbeda dan perlakuan yang mungkin berbeda pula. Namun di tingkat internasional dibentuk komisi seperti Commission on National Park and Protected Areas (CNPPA) yaitu komisi untuk taman nasional dan kawasan yang dilindungi yang berada di bawah IUCN yang memiliki tanggung jawab khusus dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi di darat maupun perairan. Sebanyak 124 negara di dunia telah menetapkan setidaknya satu

30 13 kawasan koservasinya sebagai taman nasional (bentuk kawasan dilindungi yang populer dan dikenal luas). Apabila suatu negara tidak memiliki kawasan yang dilindungi khusus karena sulit untuk memenuhi standar yang ditetapkan, maka mereka dapat mengelola kawasan alternatif seperti hutan produksi yang dialihkan sebagai kawasan dilindungi sehingga pengurangan plasma nutfah dapat ditekan. Kategori klasifikasi kawasan yang dilindungi, harus dirancang agar pemanfaatan seimbang, sehingga tidak lebih mementingkan salah satu fungsi. Beberapa persyaratan dalam penetapan kategori kawasan yang dilindungi (DJPKA, 2000) adalah sebagai berikut: 1) Karakteristik kawasan yang didasarkan pada kajian mencakup ciri-ciri biologi dan ciri lain sebagai tujuan pengelolaan; 1) Jenis pengelolaan yang diperlukan sesuai dengan tujuan pelestarian; 2) Kerapuhan ekosistem (spesies) yang hidup di dalam kawasan; 3) Kadar pemanfaatan yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan; 4) Tingkat permintaan konsumen dan kepraktisan pengelolaan. Secara umum, tujuan utama dari pengelolaan kawasan dilindungi adalah : 1) Penelitian ilmiah; 2) Perlindungan daerah liar/rimba; 3) Pelestarian keanekaragaman spesies dan genetik; 4) Pemeliharaan jasa-jasa lingkungan; 5) Perlindungan fenomena-fenomena alam dan budaya yang khusus; 6) Rekreasi dan wisata alam; 7) Pendidikan (lingkungan); 8) Penggunaan lestari dari sumber daya alam yang berasal dari ekosistem alami; 9) Pemeliharaan karakteristik budaya dan tradisi. Berdasarkan tujuan manajemen tersebut, maka kawasan dilindungi dikelola dalam berbagai kategori pengelolaan kawasan yang ditetapkan oleh IUCN sebagai berikut : 1) a. Cagar alam mutlak (strict nature protection) b. Daerah liar/rimba (wilderness area) 2) Konservasi ekosistem dan rekreasi, misalnya taman nasional;

31 14 3) Konservasi fenomena alam; 4) Konservasi melalui kegiatan manajemen aktif misalnya kawasan pengelolaan habitat; 5) Konservasi bentang alam, laut dan rekreasi; 6) Pemanfaatan lestari ekosistem alam. Kriteria umum bagi jenis kawasan yang dilindungi adalah : 1) Taman Nasional, yaitu kawasan luas, relatif tidak terganggu dan mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan terdapat manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. 2) Cagar Alam, umumnya kecil, dengan habitat rapuh yang tidak terganggu oleh kepentingan pelestarian yang tinggi, memiliki keunikan alam, habitat spesies langka, dan lain-lain. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak. 3) Suaka Margasatwa, yaitu kawasan berukuran sedang atau luas dengan habitat stabil yang relatif utuh serta memiliki kepentingan pelestarian mulai sedang hingga tinggi. 4) Taman Wisata, yaitu kawasan alam atau lanskap yang kecil atau tempat yang menarik dan mudah dicapai pengunjung, dimana nilai pelestarian rendah atau tidak akan terganggu oleh kegiatan pengunjung dan pengelolaan yang berorientasi rekreasi. 5) Taman Buru, yaitu habitat alam atau semi alami berukuran sedang hingga besar, yang memiliki potensi satwa yang boleh diburu yaitu jenis satwa besar (babi hutan, rusa, sapi liar, ikan, dan lain-lain) yang populasinya cukup besar, dimana terdapat minat untuk berburu, tersedianya fasilitas buru yang memadai, dan lokasinya mudah dijangkau oleh pemburu. Cagar semacam ini harus memiliki kepentingan dan nilai pelestarian yang rendah yang tidak akan terancam oleh kegiatan perburuan atau pemancingan. 6) Hutan Lindung, yaitu kawasan alami atau hutan tanaman berukuran sedang hingga besar, pada lokasi yang curam, tinggi, mudah tererosi, serta tanah yang mudah terbasuh hujan, dimana penutup tanah berupa hutan adalah mutlak perlu untuk melindungi kawasan tangkapan air, mencegah longsor dan erosi. Prioritas pelestarian tidak begitu tinggi untuk dapat diberi status cagar.

32 Ekowisata Pengertian Ekowisata Merujuk pada dua kata eco dan tourism, yang ketika di indonesiakan menjadi kata eko dan turisme atau eko dan wisata. Makna dasar dari dua kata tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut, eco yang dalam bahasa greek (yunani) berarti rumah, dan tourism yang berarti wisata atau perjalanan (Fandeli dan Mukhlison, 2000). Pengertian selanjutnya kata eko dapat diartikan sebagai ekologi atau ekonomi sehingga dari kedua kata tersebut akan memunculkan makna wisata ekologis (ecological tourism) atau wisata ekonomi (economic tourism). Namun demikian, hingga dewasa ini masih diperdebatkan para ahli mengenai makna dari kata dasar tersebut. Para ahli ekoturisme yang tergabung dalam ecotourism society menyatakan bahwa ecotourism merupakan responsible travel to the natural areas that conserves the environment and sustains the well being of local people (Fandeli dan Mukhlison, 2000). Kemudian konsep tersebut dipertegas dengan menggabungkan suatu komitmen kuat terhadap alam, rasa tanggung jawab sosial para wisatawan untuk menjaga kelestarian alam sekitar. Pengertiannya diperluas lagi bahwa ekowisata sebagai hal yang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan alam, yang berhubungan dengan potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi. World Tourism Organisation (WTO) dan United Nations Environment Program (UNEP) menyatakan Ecotourism involves traveling to relatively undisturb natural areas with the specific objective of studying, admiring, and enjoying the scenery and its wild plants and animals as well as any existing cultural aspect found in those area dan oleh The Adventure Travel Society yang diacu dalam Garraway et al. (1998) mendefinisikan ecotourism sebagai environmentally responsible travel to experience the natural areas and culture of a region while promoting conservation and economically contribution to local communities. Namun demikian, pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami

33 16 (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat (Dowling, 1995). Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia. Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison (2000) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, selain budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga. Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai berikut: Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999 yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000). Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam mengembangkan ekowisata ini. Bahkan di beberapa wilayah berkembang suatu pemikiran baru yang berkait dengan pengertian ekowisata. Fenomena pendidikan diperlukan dalam bentuk wisata ini. Hal ini seperti yang didefinisikan oleh Australian Department of Tourism (Black, 1999 yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000) yang mendefinisikan ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Definisi ini memberi penegasan bahwa aspek yang terkait tidak hanya bisnis seperti halnya bentuk pariwisata lainnya, tetapi lebih dekat dengan pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam. Selanjutnya, definisi tentang konsep ekowisata yang disebutkan pada UU No. 9 tahun 1990 pasal 16 sebagai kelompok-kelompok obyek dan daya tarik wisata, yang diperkuat oleh PP No. 18 tahun 1994, sebagai perjalanan untuk

34 17 menikmati gejala keunikan alam di taman nasional, hutan raya, dan taman wisata alam, sehingga ekowisata lebih menekankan pada faktor daerah alami, sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi. Silver (1997); Dymond (1997) memberikan batasan-batasan ruang lingkup ekowisata sebagai berikut: 1) Menginginkan pengalaman asli; 2) Layak dijalani secara pribadi maupun sosial; 3) Tidak ada rencana perjalanan yang ketat; 4) Tantangan fisik dan mental; 5) Ada interaksi dengan budaya dan penduduk setempat; 7) Toleran pada ketidaknyamanan; 8) Bersikap aktif dan terlibat; sedangkan Choy dan Heilbron (1997) memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu: lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, serta keberlanjutan. Ekowisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan, meningkatkan kesadaran lingkungan, bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi, serta menyumbang langsung pada keberkelanjutan, sehingga ekowisata ini memberikan kesempatan pada negara-negara untuk memanfaatkan atraksi alam yang dimiliki guna menumbuhkan keuntungan ekonomi melalui pariwisata yang tidak merusak sumber daya alam. Konsep tersebut didukung oleh Fennel (1999), yang mendefinisikan ekowisata sebagai suatu perjalanan dan kunjungan yang bertanggungjawab dari segi lingkungan ke alam yang relatif tidak terganggu, dalam rangka menikmati dan menghargai alam, mendukung konservasi, dampak negatif pengunjung yang rendah serta memberikan manfaat bagi penduduk setempat melalui keterlibatan aktif mereka secara sosial dan ekonomi. Cater dan Lowman (1994) menambahkan, ada empat gambaran wisata yang berlabel ekowisata, yaitu (1) wisata berbasis alam, (2) kawasan konservasi sebagai pendukung obyek wisata, (3) wisata yang sangat peduli lingkungan, dan (4) wisata yang berkelanjutan. Sementara itu, Ditjen Perlindungan dan Konservasi

35 18 Alam (2000) menyatakan terdapat lima karakteristik dasar kegiatan ekowisata, yaitu: 1) Nature based, yaitu ekowisata merupakan bagian atau keseluruhan dari alam itu sendiri, termasuk unsur-unsur budayanya, dimana besarnya keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya merupakan kekuatan utama dan sebagai nilai jual bagi pengembangan ekowisata; 2) Ecologicaly sustainable, bersifat berkelanjutan secara ekologis, artinya semua fungsi lingkungan, baik biologi, fisik dan sosial selalu berjalan dengan baik, dimana perubahan-perubahan yang terjadi dijamin tidak mengganggu fungsifungsi ekologis; 3) Environmentally educative, melalui kegiatan yang bersifat positif terhadap lingkungan, diharapkan dapat mempengaruhi perilaku wisatawan dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap konservasi, sehingga membantu kelestarian dalam jangka panjang; 4) Bermanfaat untuk masyarakat lokal, yaitu dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan ekowisata, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi masyarakat; 5) Kepuasan wisatawan, yaitu kepuasan akan pengalaman yang didapat dari fenomena-fenomena alam sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan penghargaan terhadap konservasi alam dan budaya setempat Prinsip Ekowisata Pengembangan ekowisata seyogyanya dapat menjamin keutuhan dan kelestarian dari ekosistem yang dimanfaatkan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ramah lingkungan dari pembangunan berbasis kerakyatan. The Ecotourism Society (Eplerwood, 1999 yang diacu dalam Fandeli dan Mukhlison, 2000) menyebutkan ada beberapa prinsip ekowisata, yaitu: 1) Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, dimana pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat;

36 19 2) Pendidikan konservasi lingkungan dengan mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi; 3) Pendapatan langsung untuk kawasan; Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam; 4) Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan; 5) Penghasilan masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan alam; 6) Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam; 7) Daya dukung sebagai pembatas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan; 8) Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah pusat dan daerah) Konsep Pengembangan Ekowisata Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan wisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek pasar. Sebenarnya pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep produk driven. Meskipun aspek pasar perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya (Gunn, 1994). Konsep pengembangan ekowisata harus sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan, yaitu: 1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan; 2) Melindungi keanekaragaman hayati; 3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya; 4) Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat. Hakekatnya ekowisata terdapat upaya pelestarian alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan pembangunan wisata lainnya.

37 20 Pembangunan ekowisata jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan pembangunan lainnya. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan (Dowling, 1997) Pendekatan Pengelolaan Ekowisata Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Pendekatan ini mengandung makna tidak hanya pengelolaan alam dan budaya masyarakat dengan menjamin kelestarian dan kesejahteraannya, tetapi juga merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam untuk waktu kini dan masa mendatang. Definisi lain menyebutkan bahwa konservasi adalah usaha manusia untuk memanfaatkan biosphere dengan berusaha memberikan hasil yang besar dan lestari untuk generasi kini dan mendatang. Destinasi yang diminati wisatawan ecotour umumnya merupakan daerah yang relatif masih alami. Beberapa kawasan yang masih memiliki area alami dapat berupa taman nasional, taman hutan raya, taman wisata dan taman buru. Tetapi kawasan lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem pesisir, danau, rawa, gambut, daerah hulu atau muara sungai dapat pula dipergunakan untuk kegiatan ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam. Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut: 1) Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan; 2) Melindungi keanekaragaman hayati; 3) Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya; Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat

38 21 setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal (Masberg dan Morales, 1999). Pelaku konservasi alam melihat ekowisata sebagai kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi serta meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi alam, sementara ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi, serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana, 2001). Ekowisata tidak setara dengan wisata alam. Tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus. Secara keseluruhan ekowisata merupakan perjalanan menikmati alam berbasiskan lingkungan sehingga membuat orang memiliki ketertarikan untuk mempelajari tentang sejarah dan kultur dari wilayah yang dikunjungi, serta memberikan manfaat ekonomi dan sosial pada masyarakat setempat sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan mendukung konservasi sumber daya alam melalui interpretasi dan pendidikan lingkungan. Untuk itu, ada beberapa aspek teknis yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan ekowisata menurut Adhikerana (2001), meliputi : 1) Adanya konservasi sumber daya alam yang sedang berlangsung; 2) Tersedianya semua informasi yang diperoleh dari berbagai kegiatan penelitian di kawasan, serta penerapan hasil-hasil penelitian dalam pengelolaan kawasan; 3) Tersedianya pemandu wisata yang benar-benar memahami seluk beluk ekosistem kawasan; 4) Tersedianya panduan yang membatasi penggunaan kawasan sebagai arena ekowisata, misalnya panduan tentang kegiatan yang dapat dilakukan, tentang zonasi kawasan sesuai dengan ekosistemnya, jalur-jalur yang dapat dilalui dalam kawasan, dan daya tampung kawasan;

39 22 5) Tersedianya program-program kegiatan ekowisata yang sesuai kondisi sumber daya alam di dalam kawasan; dan 6) Tersedianya fasilitas pendukung yang memadai, terutama sarana dan prasarana wisata Penilaian Pengelolaan Ekowisata Nilai Daya Dukung dan Kesesuaian Kawasan Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan, melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu tempat sumber daya alam dan lingkungan, sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat terwujud, dan pada saat dan ruang yang sama, juga pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Butler, 2002). Batasan daya dukung untuk jumlah wisatawan merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh satuan luas sumber daya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera (Stephen dan David, 2001). Jadi daya dukung ini mempunyai dua komponen yang harus diperhatikan: 1) Besarnya atau jumlah wisatawan yang akan menggunakan sumber daya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik; 2) Ukuran atau luas sumber daya alam dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari. Daya dukung tidak saja melakukan penilaian terhadap segi ekologis dan fisik tetapi juga dapat memperkirakan nilai daya dukung dari segi sosial. Dalam bidang pengelolaan suatu obyek, contoh-contoh umum digunakan untuk perhitungan daya dukung dari segi sosial ini misalnya penilaian yang dilakukan terhadap pengalaman dari wisatawan pada suatu obyek pada tingkat pembangunan kawasan wisata tertentu atau penilaian terhadap terjadi perubahan perilaku sosial dari masyarakat (misalnya perilaku yang bersifat negatif seperti vandalism). Penilaian terhadap bentuk konflik antar kelompok sosial akibat stres karena tidak sesuainya jumlah pengguna dan fasilitas yang terdapat atau disediakan pada kawasan tersebut. Selanjutnya bergantung pada tingkat lestari dari sumber daya alam dan lingkungan serta dari tingkat kesejahteraan atau

40 23 kepuasan tertentu yang ingin dicapai oleh masyarakat pemakai/penggunanya, maka pengukuran daya dukung ini juga dapat digunakan untuk berbagai bentuk tujuan, manfaat dan kepentingan lainnya. Beberapa ragam daya dukung (Nurisyah et al. 2003), yaitu: (1) Daya dukung ekologis Daya dukung ekologis kawasan, dapat dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk estetika lingkungan yang dimilikinya. Pendekatan ekologis atau pendekatan terhadap ekosistem ini, selain dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran daya dukungnya juga dapat digunakan untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia terutama pada tingkat jumlah pemakaian yang berlebihan (eksploitatif). Sebagai contoh, indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan yang diakibatkan kegiatan rekreasi pengunjung pada suatu kawasan wisata antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi (hilang), habitat satwa (menurun atau hilangnya populasi), degradasi tanah, kualitas air (pencemaran limbah, sampah), bertumpuknya sampah, kerusakan visual dari obyek wisata alam yang potensial, serta berbagai bentuk vandalisme lainnya. (2) Daya dukung sosial Konsep daya dukung sosial pada suatu kawasan merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang dan waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu areal tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan di mana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan

41 24 penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pemakai pada kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya manusia pemakai ruang tersebut merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Dampak negatif akibat terganggunya daya dukung sosial dapat dilihat dari pertengkaran perebutan teritorial dari kelompok tertentu. Ketidaknyamanan sosial dalam bermain atau berekreasi karena adanya gangguan sosial, ketakutan dan kecurigaan. Guna menduga nilai daya dukung suatu kawasan ekowisata, maka harus terlebih dahulu diketahui berbagai parameter yang mempengaruhi penilaian ini. Secara umum dapat dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan kawasan ekowisata ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: 1) Faktor wisatawan (pengunjung area wisata); 2) Faktor biofisik lingkungan kawasan karena umumnya penyebaran pengunjung/wisatawan dalam ruang (kawasan atau bagian-bagian dari suatu kawasan wisata) dan waktu tidak merata maka daya dukung lingkungan menjadi sulit dan tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata ruang dan waktu penggunaan, tetapi harus juga memperhatikan setiap lokasi yang dikunjungi dan pada waktu-waktu tertentu. Secara umum beberapa hal yang dapat mempengaruhi daya dukung kawasan ekowisata, yaitu: 1) Tingkat atau intensitas penggunaan (tinggi, cukup, rendah); 2) Tipe kelompok pengunjung (jumlah, umur, keluarga, kelompok profesional); 3) Perilakunya dalam menggunakan kawasan (baik, toleran, akomodatif, merusak/mengganggu); 4) Sebaran dan konsentrasi pengunjung pada obyek-obyek wisata tertentu; 5) Fasilitas yang tersedia. Berdasarkan pengamatan WTO dan UNEP (1992) yang diacu dalam Nurisyah et al. (2003), faktor-faktor yang dapat atau akan mempengaruhi daya dukung kawasan ekowisata, adalah: 1) Ukuran ruang atau area yang digunakan; 2) Kerapuhan (fragility) atau kepekaan sumber daya alam dan lingkungan; 3) Topografi dan vegetasi penutup;

42 25 4) Sumber daya hidupan liar (wildlifes) yang meliputi penyebaran, jumlah, keanekaragaman, spesies kunci/utama dan yang menarik; 5) Kepekaan spesies satwa tertentu terhadap kunjungan wisatawan. Pengelolaan suatu kawasan wisata yang berdasarkan nilai daya dukung, umumnya tidak bersifat absolut tetapi probabilistik. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang mempengaruhinya, tidak hanya terhadap kelestarian yang dapat diberikan oleh sumber daya alam dan lingkungan untuk wisata ini, tetapi juga terhadap kepuasan dan kenyamanan serta keamanan pengunjung (Selin, 1999). Karena itu maka bentuk dan intensitas serta model pengelolaan yang direncanakan akan sangat penting artinya guna penentuan besaran daya dukung ini. Menurut Wolters (1991) diacu dalam Ceballos dan Lascurain (1996) daya dukung ekowisata tergolong spesifik serta lebih berhubungan dengan daya dukung lingkungan dan sosial ekonomi terhadap kegiatan wisata dan pengembangannya. Daya dukung ekowisata diartikan sebagai tingkat atau jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh infrastruktur obyek wisata alam. Sedangkan menurut Saveriades (2000) bahwa daya dukung dalam wisata merupakan kemampuan daerah tujuan wisata menerima kunjungan sebelum dampak negatif timbul dan kedua sebuah level dimana arus turis mengalami penurunan akibat keterbatasan kapasitas yang muncul dari dalam tingkah laku turis itu sendiri, sehingga konsep daya dukung dalam konteks wisata terpusat pada dua hal: (1) biophysical components; dan (2) behavioral components (Savariades, 2000). Biophysical components terkait dengan integritas sumber daya yang berimplikasi pada suatu batas (threshold) terhadap pemanfaatan sumber daya dan behavioral components merefleksi kualitas pengalaman wisata dari turis. Menurut Davis dan Tisdell (1996) daya dukung di dalam wisata didefinisikan sebagai maksimum jumlah turis yang dapat ditoleransi tanpa menimbulkan dampak tidak dapat pulih dari ekosistem atau lingkungan dan pada saat yang sama tidak mengurangi kepuasan kunjungan. Jika daya dukung tersebut dilampaui maka akan terjadi kemerosotan sumber daya, akibatnya kepuasan pengunjung tidak terpenuhi, sehingga memberikan dampak merugikan bagi ekonomi dan budaya masyarakat.

43 26 Setiap kawasan mempunyai kemampuan tertentu didalam menerima wisatawan, yang disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Daya dukung lingkungan tidak cukup hanya dilihat dari sarana pelayanan wisatawan, malainkan juga harus dari segi kemampuan lingkungan untuk mendukung sarana itu. Perencanaan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan akan menurunkan kualitas lingkungan dan rusaknya ekosistem yang dipakai untuk kegiatan wisata, sehingga akhirnya akan menghambat bahkan menghentikan perkembangan wisata itu. Analisis kesesuaian yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian lahan, artinya alokasi pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan wisata bahari harus berkesesuaian baik ditinjau dari aspek bio-fisik maupun aspek sosial ekonomi dan lingkungan. Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu melalui penentuan nilai (kelas) suatu lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi lahan wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha-usaha pemeliharaannya. Didalam pengelolaan kawasan pesisir untuk wisata, agar tetap berkelanjutan ada tiga persyaratan daya dukung lingkungan. Pertama, bahwa aktivitas wisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan wisata hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi, dan Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable resources) hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun waktu tertentu Nilai Ekonomi Ekowisata Sumberdaya lingkungan merupakan penyedia barang dan jasa yang memberikan manfaat ekonomis (Djajadiningrat, 2001). Barang lingkungan berupa barang dan jasa dapat digunakan baik oleh manusia sebagai konsumen maupun produsen. Sebagai konsumen manusia dapat menikmati atau mengkonsumsi keindahan alam, air dan udara bersih. Sebagai produsen, manusia dapat memanfaatkan barang dan jasa dari sumberdaya untuk kegiatannya.

44 27 Barang lingkungan sebagai salah satu dari barang-barang bebas adalah barang yang secara fisik kuantitatif tidak terukur. Demikian juga tidak dapat langsung dinilai dengan uang. Walaupun tidak dapat terkuantifikasi, barang tersebut merupakan komoditi yang banyak digunakan atau dimanfaatkan orang. Barang demikian dikenal sebagai non-marketable goods, yaitu suatu komoditi yang tidak memiliki sistem pasar, seperti keindahan alam, kejernihan air sungai dan danau, air tanah dan udara bersih. Dalam mencapai pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan pengetahuan mengenai manfaat sumberdaya alam secara menyeluruh, baik manfaat yang nyata (tangible) maupun manfaat yang tidak dapat dinyatakan secara jelas (intangible). Kedua manfaat tersebut perlu dikelola dengan seimbang agar dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan. Kawasan pesisir merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki manfaat tangible misalnya ikan, udang, kepiting, kayu, dan sebagainya, dan manfaat intangible seperti keindahan, kejernihan, keunikan dan sebagainya (Fauzi, 2006). Dalam upaya pengelolaannya, perhitungan sumberdaya alam harus didasarkan pada kedua manfaat tersebut, sehingga alokasi manfaatnya dapat mencapai tingkat yang optimal. Ketidakmampuan pasar dalam menilai manfaat intangible sumberdaya alam menyebabkan nilai tersebut tidak dapat diduga secara kuantitatif. Manfaat fungsi ekologis memang sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Cost-Benefit Analysis atau CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan tersebut karena konsep CBA yang konvensional sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Kondisi ini pada akhirnya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-market (Fauzi, 2006). Tujuan dari penilaian ekonomi ini, untuk dapat menempatkan lingkungan supaya dikenal sebagai bagian integral dari setiap sistem ekonomi yang nilainya digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat (Fauzi dan Anna, 2005). Dalam pengukuran nilai sumber daya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya, yang diperlukan

45 28 di sini adalah pengukuran seberapa besar keinginan dalam membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari suatu sumber daya (Fauzi, 2006). Jadi nilai ekonomi disini didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Konsep ini disebut dengan keinginan untuk membayar (WTP) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa dikonversikan ke dalam nilai ekonomi. Pendekatan kesediaan membayar juga digunakan untuk menilai manfaat intangible dari sumberdaya pesisir yang tidak dapat dinilai secara kuantitatif oleh mekanisme pasar. Pada pelaksanaanya, pendekatan ini sama saja dengan pendugaan kurva permintaan yang menggambarkan besarnya keinginan membayar dari sekelompok konsumen pada berbagai tingkat manfaat intangible yang dikonsumsinya. Dalam penilaian manfaat wisata dari sumberdaya pesisir, pendekatan kesediaan membayar dilakukan dengan pendugaan kurva permintaan yang menggambarkan kesediaan dari para pengunjung untuk membayar biayabiaya yang perlu dikeluarkan untuk dapat menikmati suatu kegiatan wisata. Secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility Model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana WTP diperoleh langsung dari responden, yang diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method, dan Discrete Choice Method. Pada umumnya, nilai ekonomi manfaat wisata dihitung dengan menggunakan Contingent Valution Method, Hedonic Pricing dan Travel Cost Method (Fauzi, 2006).

46 29 1) Travel Cost Method (TCM) Metode biaya perjalanan ini dikembangkan untuk menilai kegunaan dari barang non-market. Alam secara khusus tidak memegang harga dalam pasar sehingga kita harus menemukan alternatif yang dimaksudkan untuk memperkirakan nilainya (Pierce, 2006). Menurut Hufschmidt (1987), pendekatan biaya perjalanan merupakan suatu cara menilai barang yang tidak memiliki harga. Di negara maju, pendekatan ini telah dipakai secara meluas untuk mendapatkan kurva permintaan barang-barang wisata. Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mengunjungi tempat wisata. Diketahuinya pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan. Pendekatan biaya perjalanan berhubungan dengan tempat khusus dan mengukur nilai dari tempat tertentu dan bukan wisata pada umumnya (Hufschmidt, 1987). Fauzi (2006) juga menambahkan bahwa tujuan kerja TCM untuk mengetahui nilai sumber daya alam yang atraktif dari suatu tempat wisata, yang dilakukan melalui pendekatan proxy. Artinya, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumber daya alam digunakan proxy untuk menentukan harga dari sumber daya alam tersebut. Menurut Kusumastanto (2000) TCM merupakan salah satu teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut. Hanley dan Spash (1993) menyatakan asumsi yang dipakai dalam kebanyakan penelitian yang menggunakan metode perjalanan adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi, bersifat terpisah. Secara umum terdapat dua teknik yang digunakan dalam menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan Individual Travel Cost Method (ITCM). ZTCM merupakan pendekatan yang relatif mudah dan murah. Pendekatan ini bertujuan untuk mengukur nilai dari jasa

47 30 wisata dari sebuah tempat secara keseluruhan. ZTCM diaplikasikan dengan mengumpulkan informasi dari jumlah kunjungan ke tempat wisata dari berbagai daerah atau zona. Pada Zonal Travel Cost Method (ZTCM) tempat wisata diidentifikasi berdasarkan kawasan yang mengelilinginya dibagi ke dalam zona konsentrik yang semakin jauh yang menunjukkan peringkat biaya perjalanan yang semakin tinggi. Survei terhadap para pemakai tempat wisata kemudian dilakukan pada tempat wisata untuk menentukan zona asal, tingkat kunjungan, biaya perjalanan, dan berbagai karakteristik sosial ekonomi. Informasi dari contoh para pengunjung dianalisis dan data yang dihasilkan digunakan untuk meregresi tingkat kunjungan yang dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan berbagai variabel sosial ekonomi. Dalam hal ini, biaya perjalanan dan waktu akan meningkat seiring dengan meningkatnya jarak, maka informasi yang didapat memungkinkan peneliti untuk memperhitungkan jumlah kunjungan di berbagai harga. Informasi tersebut digunakan untuk membangun fungsi permintaan dan mengestimasi surplus konsumen atau keuntungan ekonomi untuk jasa rekreasi dari sebuah tempat. ITCM (individual travel cost method) pada dasarnya serupa dengan ZTCM, tetapi menggunakan data survei yang berasal dari pengunjung secara individu dalam analisis statistik daripada data dari setiap zona. Metode ini memerlukan pengumpulan data yang lebih banyak dan analisis yang lebih sulit tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat. Peralihan metode biaya perjalanan dari ZTCM menjadi ITCM dalam menurunkan nilai surplus konsumen disebabkan beberapa hal, pertama sering analisa yang dilakukan didasarkan pada willingness to pay individual. Hal yang kedua adalah karena pengamatan sering kali teramat kecil dibandingkan dengan keseluruhan zona, ketiga sering ditemui situasi dimana sejumlah individu melakukan perjalanan dari daerah asal yang umum dan selanjutnya terdispersi dalam kelompok-kelompok kecil menuju lokasi wisata sekitarnya. Sebab lain yaitu karena individu tidak semata-mata ingin menikmati pariwisata saja tetapi mungkin kombinasi dari melihat-lihat, berburu, dan sebagainya. Metodologi ITCM secara prinsip sama dengan ZTCM (Mehmet dan Turker, 2006) namun ITCM menggunakan data dari survei setiap pengunjung

48 31 dalam analisis statistik bukan data dari masing-masing zona. Sehingga metode ini memerlukan data yang lebih banyak dan analisis lebih rumit, tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat. Sedangkan Grigalunas et al. (1998) menyatakan bahwa ada tiga model travel cost, yaitu (1) zonal travel cost, (2) individual tracel cost, dan (3) discrete choice travel cost, yaitu model biaya perjalanan yang diperuntukkan bagi perjalanan yang tidak kontinu, di mana individu mengunjungi suatu lokasi sekali per musim atau tidak sama sekali. Unsur ketertarikan tidak lagi disebabkan oleh jumlah trip, tetapi oleh pilihan tertentu apakah akan mengunjungi atau tidak ke lokasi terpilih. Dalam membangun fungsi permintaan dalam TCM diperlukan asumsi dasar agar penilaian sumberdaya alam dengan metode ini tidak bias. Menurut Haab dan McConnel (2002) yang diacu dalam Fauzi (2006), fungsi permintaan harus dibangun dengan asumsi dasar, antara lain: 1) Biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga dari rekreasi; 2) Waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; 3) Perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multitrips). Kelebihan dari ITCM dibandingkan dengan ZTCM diantaranya : 1) Lebih efisien dari sisi statistik (proses perhitungan); 2) Konsistensi teori dalam perumusan model permintaan dan perilaku individu; 3) Menghindari keterbatasan zonal atau lokasi; 4) Menambah heterogenitas karakteristik populasi pengunjung diantara suatu zona, serta mengeliminasi efek pengunjung dengan tingkat kunjungan nol (non-participant). Meski dianggap sebagai suatu pendekatan praktis, TCM memiliki beberapa kelemahan, yaitu: 1) TCM dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju. Artinya TCM tidak menelaah aspek kunjungan ganda (multipurpose visit), padahal pada

49 32 kenyataannya seorang individu bisa saja mengunjungi tempat lain terlebih dahulu sebelum ke tempat wisata yang kita maksud; 2) TCM tidak membedakan individu yang memang datang dari kalangan pelibur (holiday makers) dan mereka yang datang dari wilayah setempat (resident). Jadi jika para holiday makers ini memang datang untuk menikmati keindahan alam tempat wisata yang kita teliti, maka tentunya biaya perjalanan penduduk sekitar harus dialokasikan pada holiday makers tersebut; 3) Masalah pengukuran nilai dari waktu (value of time), harus dibedakan antara waktu yang memang menghasilkan utilitas (wisata) dan waktu yang menjadi korbanan (oppotunity cost). 2) Contingent Value Method (CVM) Metode valuasi kontigensi adalah suatu metode survei untuk menanyakan kepada responden tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu (Fauzi, 2006). Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi selanjutnya bahwa orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga (willingness to pay) untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Pertanyaan tersebut digunakan untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap perubahan lingkungan yang diinginkan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotetik harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang

50 33 ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang dipergunakan untuk pembayaran. Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar (willingness to pay) dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan seperti pemandangan alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik serta situasi yang data harganya tidak ada. Penilaian kontigensi atau teknik survei dilakukan untuk menemukan nilai hipotensi konsumen (Hufschmidt, 1987). Metode ini lebih fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis. Secara operasional terdapat lima tahap dalam penerapan pendekatan CVM, yaitu: (1) membuat hipotesis pasar; (2) mendapatkan nilai lelang; (3) menghitung rataan WTP; (4) memperhatikan kurva lelang; dan (5) mengagregatkan data. secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi komputer dan kedua, melalui teknik survei (Fauzi, 2006); (Adrianto, 2007). Meskipun diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh: 1) Bias yang timbul dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika melakukan wawancara dan dalam kuesioner kita nyatakan bahwa respoden akan dipungut fee untuk perbaikan lingkungan, sehingga timbul kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee tersebut. Sebaliknya jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate dari nilai yang sebenarnya. 2) Terjadinya fenomena dimana responden berusaha menyenangkan pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju (menyetujui apa yang ditanyakan pewawancara).

51 34 3) Nilai WTP yang diberikan responden melebihi pendapatan yang dimiliki responden Preferensi Visual Mengamati secara langsung suatu landscape maupun seascape akan memberikan pengaruh secara psikologis bagi yang mengamatinya. Menurut Steinitz (1990) yang diacu dalam Rahmafitria (2004) mengamati suatu landscape/seascape dapat memberikan persepsi dan perasaan psikologis yang berbeda-beda serta menghadirkan nilai simbolik. Artinya dengan mengamati suatu landscape/seascape maka terjadi hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan nilai keindahan suatu kawasan. Fungsi visual dapat memberikan arti mengenai bagaimana suatu landscape/seascape dapat memberikan reaksi bagi yang mengamatinya. Fungsi ini dipengaruhi oleh banyaknya variasi yang ada dalam suatu landscape/seascape. Sebagai contoh bangunan yang berada di daerah datar akan memberikan efek visual yang berbeda jika bangunan tersebut berada di puncak gunung tanpa vegetasi. Keindahan lingkungan memiliki arti yang berbeda-beda untuk setiap manusia. Secara umum suatu pemandangan merupakan hubungan visual antara titik pengamatan dan obyek yang diamati. Berkaitan dengan estetika obyek, maka penilaiannya bergantung dari persepsi pengguna, karena setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda. Walaupun preferensi visual berbeda-beda antar setiap individu, tetapi preferensi visual lingkungan alami lebih disukai daripada struktur buatan manusia. Penilaian manusia terhadap aspek visual landscape/seascape yang disukai ataupun yang tidak disukai dapat dilakukan melalui beberapa metode perhitungan. Namun karena berkaitan dengan faktor sosial dan psikologis manusia maka sulit untuk mendefinisikan nilai visual ini secara numerik. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan nilai visual suatu landscape/seascape adalah prosedur Scenic Beauty Estimation (SBE) yang dikemukakan oleh Daniel dan Boster (1976). Metode ini dilakukan dengan menyeleksi beberapa foto yang menggambarkan keadaan lingkungan obyek dan kemudian dilakukan penilaian

52 35 oleh responden. Hasil penilaian akan menggambarkan aspek preferensi dari manusia terhadap lingkungan obyek, sehingga hasil penilaian tersebut, dapat dipakai dasar pengelolaan suatu kawasan Pendekatan Partisipatif Terminologi partisipasi di dalam berbagai kajian, pada dasarnya merupakan keterlibatan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap suatu obyek. Namun demikian, makna yang dimaksudkan pada berbagai sumber, seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut bersumber dari sifat dan kedalaman keterlibatan masyarakat dalam berbagai aktifitas. Brown et al. (2001) mendefinisikan partisipasi sebagai mengambil bagian atau terlibat secara aktif dalam suatu proses. Oleh karena itu, sesuatu proses dikatakan bersifat partisipatif, hanya bila terdapat keterlibatan aktif dari berbagai pelaku. Berdasarkan pengalaman pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir, Brown et al. (2001) memberikan tipologi partisipasi sesuai dengan tingkat keterlibatan masyarakat, mulai dari yang sangat dangkal (pasif) sampai pada bentuk partisipasi mandiri (self mobilization). Tipologi partisipasi tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 2 berikut ini: Bentuk Partisipasi Partisipasi pasif Partisipasi pemberian informasi Partisipasi melalui konsultasi Partisipasi untuk insentif material Partisipasi interaktif Partisipasi mandiri Sumber: Bourgeois dan Jesus, 2004 Tabel 2 Tipologi partisipasi Karakteristik Masyarakat diberitahu proses yang akan dilakukan atau proses yang sedang berlangsung, melalui pemberitahuan tanpa adanya mekanisme respon Masyarakat memberikan informasi atau menjawab pertanyaan yang diajukan. Masyarakat tidak mempunyai peluang untuk mempengaruhi proses yang sedang atau akan berlangsung Masyarakat diajak berkonsultasi dan keinginannya didengar, sehingga proses yang akan atau sedang berlangsung dapat sedikit dipengaruhi. Akan tetapi, dalam pengambilan keputusan tidak melibatkan masyarakat sama sekali Masyarakat berpartisipasi hanya untuk tujuan mendapatkan pangan, uang, atau insentif material lainnya Masyarakat berpartisipasi dengan melakukan analisis bersama untuk mendapatkan penguatan pengetahuan mereka tentang proses yang akan berlangsung, sehingga masyarakat memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Masyarakat mengambil inisiatif independen untuk mengubah sistem

53 36 Pengertian masyarakat disini adalah seseorang, organisasi, atau kelompok yang berkepentingan dengan suatu isu atau sumber daya tertentu (Bourgeois dan Jesus, 2004). Masyarakat dapat sangat berpengaruh, sedikit berpengaruh, atau bahkan hanya menjadi penerima dampak dari suatu isu atau proses. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya pesisir, masyarakat dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruh dan kepentingan yang dimilikinya, ke dalam tiga kelompok besar (Brown et al. 2001), yaitu: 1) Masyarakat primer, yaitu kelompok yang hanya memiliki sedikit pengaruh terhadap suatu pengambilan keputusan pengelolaan sumber daya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka sangat dipengaruhi secara langsung oleh hasil keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari sumber daya pesisir tersebut, seperti nelayan; 2) Masyarakat sekunder, yaitu kelompok yang dapat mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumber daya pesisir, akan tetapi kehidupan mereka tidak terpengaruh langsung oleh keputusan tersebut. Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir tetapi tidak secara langsung menggantungkan hidupnya dari sumber daya pasisir; 3) Masyarakat eksternal, yaitu individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi pengambilan suatu keputusan pengelolaan sumber daya pesisir melalui lobi, akan tetapi kehidupan atau kepentingan mereka sama sekali tidak berhubungan dengan keputusan tersebut. Kelompok ini dapat berupa organisasi massa, keagamaan, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehubungan dengan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir, pelibatan masyarakat dari kelompok primer menjadi penting, karena mereka akan menjadi kelompok yang paling dipengaruhi oleh kebijakan dan perencanaan yang akan dibuat. Oleh karena itu, keterwakilan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir menjadi sangat penting Sistem dan Pemodelan Teori Sistem Terminologi sistem sering digunakan dalam berbagai bidang kajian dengan interpretasi beragam, namun tetap berkonotasi tentang sesuatu yang

54 37 utuh dan keutuhan (wholeness) (Eriyatno, 1999). Dalam perkembangannya sistem didefinisikan sebagai himpunan komponen (entitas) yang mempertahankan eksistensi dan fungsinya sebagai suatu keutuhan melalui interaksi komponenkomponennya (O Connor dan Douglas, 1997). Haaf et al. (2002) mendefinisikan sistem sebagai koleksi dari elemen-elemen dalam suatu keseluruhan dengan hubungan diantaranya. Artinya sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Dalam keragaman definisi sistem itu, secara substansial menunjukkan adanya suatu kesamaan visi dimana sistem memiliki karakteristik keutuhan (wholeness) dan interaksi antar komponen yang membangun sistem (Eriyatno, 1999). Secara lebih tegas beberapa karakteristik yang dimiliki oleh sistem dapat dinyatakan sebagai berikut: 1) dibangun oleh sekelompok komponen yang saling berinteraksi; 2) bersifat wholeness; 3) memiliki satu atau segugus tujuan; 4) terdapat proses transformasi input dan output; 5) terdapat mekanisme pengendalian yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada lingkungan sistem. Kajian mengenai teori sistem tidak terlepas dari tiga akar utama yang berkaitan dengan sistem dan kompleksitas, yaitu teori sistem umum, sibernetika, dan sistem dinamik. Ketiga akar tersebut berkembang relatif hampir bersamaan, dan sekarang dianggap sebagai pilar teori kompleksitas (Abraham, 2002). Teori sistem umum mulai mengemuka sejak publikasi artikel Ludwig Von Bertalanffy yang berjudul general system theory pada tahun 1965, terutama dalam bidang teknik dan sains. Teori sistem umum ditujukan agar dapat menjadi suatu teori universal, sebagai kerangka analitik yang dapat memberikan penjelasan abstrak dari fenomena alam (real world), sedangkan sibernetika intinya berkaitan dengan controlled feedback systems, yaitu sistem yang mampu mempertahankan kondisi homeostatis melalui perlawanan (counteracting) deviasi dari variabel kritis akibat adanya umpan balik negatif (negatif feedback). Dua konsep sibernetika adalah kontrol dan komunikasi, sehingga sibernetika sebagai pemacu perkembangan ilmu komputer seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) (Abraham, 2002; Haaf et al. 2002).

55 Model Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat (Eriyatno, 1999). Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang memiliki sifat beragam. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian atau derajat keabstrakannya, namun pada dasarnya dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno, 1999) yaitu: 1) Model ikonik (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua seperti peta, foto atau berdimensi tiga seperti prototipe. Untuk model yang berdimensi lebih dari tiga, maka tidak dapat lagi dikonstruksi secara fisik (ikonik) sehingga diperlukan kategori model lainnya seperti model simbolik. 2) Model analog (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analognya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas. Contoh dari model ini adalah kurva permintaan dalam ekonomi, kurva distribusi frekuensi dalam statistika, dan diagram alir suatu proses. 3) Model simbolik (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik, dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematis (equation). Dalam pendekatan sistem, pengembangan model (pemodelan) merupakan titik kritis yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Melalui pemodelan akan diketahui karakteristik sistem, sehingga dapat dijadikan sebagai titik masuk bagi intervensi terhadap sistem, sesuai dengan yang diinginkan. Pemodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implementasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model.

56 Pendekatan Sistem Dinamik Konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain atau cara pemahaman sifat dinamis dari suatu sistem yang kompleks. Sistem dinamik menurut system dynamics society adalah metodologi untuk mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem sosial lainnya secara keseluruhan (holistik). Paradigma sistem dinamik berangkat dari cara berpikir secara sistemik yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan dalam dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikirnya manusia dalam memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu terhadap realitas yang dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan memilah-milah (analisis) kemudian merangkainya (sintesa), sehingga akan dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh). Metode sistem dinamik berlandaskan pada cara pandang bahwa struktur suatu sistem (bentuk hubungan antar komponen seperti hubungan sirkular, saling bergantung, dan time delayed) adalah penentu dari sifat sistem, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana interelasi dari suatu keputusan, kebijakan, struktur dan delay, dalam mempengaruhi pertumbuhan dan stabilitas sistem tersebut. Salah satu kelebihan sistem dinamik adalah kemampuannya menggambarkan tingkah laku sistem menurut waktu (Sterman, 2002). Kata dinamik memiliki arti perubahan atau variasi, dan suatu sistem yang dinamik adalah sistem yang menunjukkan sifat bervariasi menurut waktu (Haaf et al. 2002). Artinya persoalan yang dapat dengan tepat dimodelkan menggunakan metodologi sistem dinamik adalah masalah yang: 1) Mempunyai sifat dinamis (berubah terhadap waktu); 2) Struktur fenomenanya mengandung paling sedikit satu struktur umpan- balik (feedback structure). Dengan demikian dapat diartikan bahwa analisis sistem dinamik adalah suatu studi tentang sistem dan atau entitas dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi atau model. Konsepsi dan model

57 40 tersebut dapat digunakan sebagai landasan kebijakan, perubahan struktur, taktik dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Analisis sistem dinamik bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem itu sendiri, sehingga didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal. Metode sistem dinamik dapat dipergunakan hampir pada semua bidang, tidak terkecuali untuk menganalisis dinamika pengembangan wilayah pesisir untuk kurun waktu tertentu. Konsep utama dinamika sistem adalah bagaimana semua elemen atau obyek dalam suatu sistem saling berinteraksi satu dengan yang lainnya melalui lingkaran-lingkaran (loop-loop) feedback, dimana perubahan satu variabel akan mempengaruhi terhadap variabel lainnya dalam kurun waktu perencanaan yang pada akhirnya akan mempengaruhi variabel aslinya, demikian selanjutnya saling mempengaruhi antar variabel berlanjut sepanjang kurun waktu perencanaan. Tujuan dan metodologi sistem dinamik adalah mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang cara kerja suatu sistem. Permasalahan dalam suatu sistem dilihat tidak disebabkan oleh pengaruh luar namun dianggap disebabkan oleh struktur internal sistem. Fokus utama dari metodologi sistem dinamik adalah pemahaman atas sistem sehingga langkah-langkah pemecahan masalah memberikan umpan balik pada pemahaman sistem Model Dinamik Pengelolaan Wisata Bahari Wisata bahari merupakan salah satu bentuk wisata yang potensial untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan melimpahnya potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pembangunan pariwisata pada dasarnya di arahkan untuk meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan, sehingga suatu kawasan dinyatakan berhasil jika dapat mempertemukan empat aspek yaitu: 1) Mempertahankan kelestarian lingkungannya; 2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut; 4) Menjamin kepuasan pengunjung; 5) Meningkatkan keterpaduan antar unit pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangannya.

58 41 Dengan demikian, diperlukan suatu pemahaman terhadap sistem yang terkait di dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut, untuk mendapatkan suatu konsepsi atau model pengelolaan yang tepat. Menurut Casagrandi dan Rinaldi (2002), sistem wisata yang dibangun dapat menggunakan kerangka berpikir seperti Gambar 2 berikut ini: Gambar 2 Interaksi tiga komponen dalam model pengelolaan wisata. Kerangka berpikir tersebut menunjukkan hubungan yang saling mendukung (tanda positif) dan saling bertentangan (tanda negatif) antara tiga aspek yakni lingkungan, wisata, dan investasi dalam pengelolaan wisata, sehingga hubungan ini dapat digunakan untuk membangun dan menganalisis suatu model wisata. Perumusan model wisata menurut Casagrandi dan Rinaldi (2002) tersebut, selengkapnya diuraikan sebagai berikut: 1) Fungsi lingkungan alamiah diberikan dalam bentuk fungsi logistik, dimana variabel K (carrying capacity) adalah kondisi lingkungan pada saat keseimbangan, artinya bukan pada saat pristine, tetapi pada saat sudah ada interaksi dengan manusia dan industri lain kecuali turisme. Apabila turisme dan aktivitas pendukungnya berimplikasi negatif pada dinamika kualitas lingkungan, maka fungsi E menjadi: E( t) E( t) = re( t) 1... (1) K E( t) E( t) = re( t) 1 D( T ( t), C( t), E( t) )... (2) K D(T(t), C(t), E(t)) melambangkan kerusakan yang muncul akibat kegiatan wisata, T menunjukkan jumlah wisatawan, C adalah modal yang digunakan

59 42 untuk mengeksploitasi E (sumber daya alam dan lingkungan). Fungsi paling sederhana dari kerusakan atau damage (D) diberikan sebagai berikut: D = E (βc + γt)... (3) dimana β = pertumbuhan modal dan γ = pertumbuhan wisatawan per tahun. 2) Aliran kapital merupakan fungsi dari aliran investasi dengan depresiasi dari nilai kapital yang dirumuskan: ( T ( t), E( t), C( t) ) δc( ) C( t) = I t... (4) Investasi (I) proporsional terhadap total pendapatan di mana total pendapatan terkait pula dengan jumlah turis (T). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa investasi proporsional terhadap jumlah turis atau : I ( T, E, C) = T... (5) dimana : = investment rate 3) Turis datang atau menunjungi suatu lokasi atau kawasan, ini dikarenakan ada faktor penarik (attractive factor) A dari lokasi tersebut. Faktor ini kemudian menjadi salah satu variabel peningkatan jumlah kunjungan (misalnya informasi dari mulut ke mulut), dengan persamaan yaitu: dt ( t) T ( t) = = T ( t). A( T ( t), E( t), C( t)) (6) dt A adalah relative attractiveness yaitu lag antara absolute attractiveness dan reference attractiveness value atau: ^ A ( T, E, C) = α( T, E, C) α... (7) dimana α adalah reference values yang dipengaruhi oleh harga lokasi atraktif lainnya, ά adalah atraktif yang diinginkan oleh turis, terkait dengan kualitas lingkungan absolute attractiveness value selengkapnya diberikan sebagai ^ E C α = µ + µ C αt... (8) E E + ϕ C + ϕ T + ϕ E dimana: μ E, ϕ E, μ C, ϕ C, α adalah paramater yang terkait dengan perilaku turis Dari ketiga komponen model wisata tersebut jika diintegrasikan (keterpaduan) dalam mengoptimalkan aktivitas wisata, maka diperoleh persamaan yang C C

60 43 bertujuan untuk mengetahui jumlah wisatawan yang optimal dan berkelanjutan, yakni sebagai berikut : ^ T ( = µ E( t) C( t) t) T ( t) + µ αt ( t α E( t) + ϕ C( t) + ϕ T ( t) + ϕ ) E C... (9) E E C E( t) E( t) = E( t) re( t) 1 β C ( t ) + γt ( t )... (10) K C( t) = δ C( t) + T ( t)... (11) 2.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir sering menimbulkan kerusakan (Bengen, 2004). Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian dari sumber daya tersebut. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah (Dahuri et al. 2001). Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktorfaktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati yang disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat lokal, perlu dikelola secara baik agar dampak

61 44 aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hakhak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha. Terbentuknya undang-undang ini akan semakin memperjelas mekanisme pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, termasuk didalamnya pengelolaan kawasan konservasi perairan. Disamping itu, undangundang ini juga bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Kaitannya dengan desentralisasi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan

62 45 kebijakan di daerah. Sedangkan payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, pada tahun 2007 telah di undangkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai peraturan organik dari UU 31 tahun Melalui peraturan pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumber daya ikan dapat terwadahi (Ditjen KP3K, 2008). Konservasi sumberdaya ikan merupakan upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian. Ada 9 (sembilan) hal penting yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (GBHN dalam ICEL 2005) yaitu : 1) Pembangunan lingkungan hidup diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap berfungsi sebagai pendukung dan penyangga ekosistem kehidupan dan terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian yang dinamis antara sistem ekologi, sosial ekonomi dan sosial budaya agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan; 2) Pembangunan lingkungan hidup menekankan kepada peningkatan peran serta, tanggung jawab sosial, dan organisasi sosial kemasyarakatan; 3) Sumber daya alam harus dikelola dan dimanfataatkan untuk sebesarsebesarnya kemakmuran rakyat secara berkelanjutan dengan mengembangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang memadai agar dapat memelihara kelestarian lingkungan hidup; 4) Menekankan peran lembaga fungsional pemerintah dan peran serta masyarakat; 5) Kondisi ekosistem terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi ekosistem sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan; 6) Pemanfaatan bagi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan ekosistem;

63 46 7) Rehabilitasi sumber daya alam dan lingkugan hidup yang fungsinya rusak dan terganggu yang mengembangkan dan meningkatkan peran serta masyarakat; 8) Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan bertujuan pada penataan ruang yang serasi dengan perkembangan kependudukan, pola pemanfaatan ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya lainnya sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang harmonis dan dinamis; 9) Pengembangan kerjasama bilateral, regional dan internasional secara saling menguntungkan mengenai pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup, alih teknologi dan sebagainya. Arah pembangunan lingkungan hidup dan sumberdaya alam tersebut menunjukkan adanya kesadaran betapa pentingnya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sistem ekologi, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Diabaikannya salah satu dari sistem tersebut akan mempengaruhi sistem yang lain. Pembangunan yang semata-mata menempatkan sistem dan fungsi ekonomi sebagai prioritas dan meninggalkan atau mengabaikan fungsi ekologi, sosial dan budaya, akan memunculkan masalah-masalah yang kompleks. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pengelolaan kawasan konservasi pesisir adalah 1) UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 2) UU No. 5 Tahun 1994 tentang pengesahan konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati; 3) UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup; 4) PP No. 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di zona ekonomi eksklusif Indonesia; 5) PP No. 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam; 6) PP No. 68 Tahun 1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam;

64 47 7) Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 8) PP Nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumber daya ikan; 9) Peraturan Menteri KP No 17/2008 tentang kawasan konservasi di pesisir dan pulau pulau kecil; 10) Peraturan Menteri KP No 2/2009 tentang tata cara penetapan kawasan konservasi perairan.

65 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 2008 yang berlokasi di Pulau Menjangan dan Teluk Terima dalam area Taman Nasional Bali Barat, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Secara geografis terletak pada posisi antara 114º12'02'' - 114º14'30'' Bujur Timur dan 8º05'20'' - 8º17'20'' Lintang Selatan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. L A U T B A L I Gambar 3 Lokasi penelitian Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi kasus pada kawasan Pulau Menjangan. Kasus digambarkan dan diuraikan tentang fenomena kawasan dan mengkaji penyebab dari gejala-gejala yang ditemukan. Penelitian ini diarahkan

66 50 untuk mendapatkan data kondisi saat ini yang digunakan untuk optimasi pengelolaan ekowisata bahari Pengumpulan Data dan Informasi Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi dalam data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan lapangan dan wawancara langsung. Data yang dicatat adalah lokasi, kondisi sumber daya wisata, keadaan lingkungan, dan kegiatan pemanfaatan di kawasan Pulau Menjangan. Wawancara untuk mendapatkan keterangan dari responden yang terlibat dalam aktivitas ekowisata dengan berpedoman pada suatu daftar pertanyaan yang telah disusun. Data sekunder diperoleh melalui kajian terhadap laporan-laporan hasil penelitian, publikasi ilmiah, dan instansi terkait, seperti: Balai Taman Nasional Bali Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata, Bappeda Buleleng, LSM, Kantor Desa dan Kantor Kecamatan Gerokgak. Tabel 3 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan No Parameter Jenis Data Sumber Data A Ekologi 1 Terumbu karang tutupan karang, jenis life form, lebar hamparan datar karang, dan kedalaman terumbu karang 2 Mangrove ketebalan mangrove, kerapatan mangrove, jenis mangrove, dan biota lainnya Primer dan Sekunder Primer dan Sekunder Metode Pengumpulan sampling dengan manta tow, line intercept transect (English et al. 1994) dan kajian laporan TNBB sampling dengan garis berpetak berukuran 10 x 10 m 2 (Bengen, 2002) dan kajian laporan TNBB Keterangan - - Lanjutan. Tabel 3 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan

67 51 No Parameter Jenis Data Sumber Data A Ekologi 3 Ikan hias jenis ikan Primer dan Sekunder 4 Makroalga jenis, densitas dan frekuensi relatif 5 Kualitas perairan B Ekonomi 1 Nilai ekonomi wisata (supply) 2 Nilai ekonomi wisata (demand) C Sosial 1 Karakteristik wisatawan 2 Sosial kemasyarakat an kecepatan arus, kedalaman, suhu, salinitas, DO, BOD, turbiditas, NH 3, dan ph biaya operasional dan biaya investasi, pendapatan wisatawan, biaya perjalanan wisatawan, jarak tinggal, kondisi potensi SDA, dan harga wisata Jumlah dan profil wisatawan kependudukan, keadaan ekonomi masyarakat, dan kelembagaan Primer Primer dan Sekunder Metode Pengumpulan underwater fish visual census (English et al. 1994) dan foto bawah laut serta kajian laporan TNBB sampling dengan metode plot ganda ukuran 1 x 1 m (Soegianto, 1994) sampling dengan bantuan alat water quality checker, floater current meter, tide gaugh, dan kajian laporan TNBB Keterangan - Dilakukan pada 3 stasiun, Pos I, Pos II, Dermaga Pura Primer wawancara purposive sampling untuk pihak pengelola Primer wawancara accidental sampling untuk setiap wisatawan Primer dan Sekunder wawancara dan kajian laporan TNBB - accidental sampling untuk setiap wisatawan Sekunder kajian laporan pemerintah dan literatur Lanjutan. Tabel 3 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan

68 52 No Parameter Jenis Data Sumber Data C Sosial 3 Keterlibatan partisipasi masyarakat masyarakat 4 Preferensi visual foto obyek wisata Metode Pengumpulan Keterangan Primer wawancara purposive sampling untuk masyarakat Primer kuesioner bergambar purposive sampling 3.4. Analisis Data Kondisi Sumber daya Alam Analisis ini dilakukan untuk menggambarkan potensi dan kondisi sumber daya alam di lokasi penelitian, sehingga data yang dianalisis adalah data primer, meliputi: 1) Penutupan karang, dihitung dengan rumus tutupan karang hidup menurut English et al. (1994), yaitu : Panjang kategori life form ke-i Penutupan Karang = Total panjang transek x 100 %... (12) Bachtiar (2001) menyatakan bahwa persentase penutupan terumbu karang dapat dibagi menjadi lima kategori, yaitu : (1) Sangat Jelek : 0-10 % (2) Jelek : % (3) Sedang : % (4) Baik : % (5) Sangat Baik : % Persentase tutupan adalah persentase luas area yang ditutupi oleh pertumbuhan karang. Persentase karang hidup yang tinggi menandakan bahwa terumbu karang di suatu perairan berada dalam keadaan sehat. 2) Kerapatan vegetasi mangrove, yang dihitung dengan rumus Bengen (2002): D i = n i / A... (13) dimana : D i = kerapatan spesies i (individu/m 2 ), n = jumlah total individu dari spesies i (individu), i

69 53 A = luas area total pengambilan contoh (m 2 ). 3) Analisis komposisi, dan distribusi makroalga di Pulau Menjangan, dihitung berdasarkan besaran dari kepadatan, kepadatan relatif, frekuensi, dan frekuensi relatif dengan rumus menurut Soegianto (1994), yaitu: Kepadatan (D) : Di = ni/a... (14) Kepadatan Relatif (RD) : RDi = ni/σn... (15) Frekuensi (F) : F = Ji/K... (16) Frekuensi Relatif (RF) : RFi = Fi/ΣF... (17) dimana : ni : jumlah total individu untuk spesies i (individu), A : luas total habitat yang disampling (m 2 ), Σn : jumlah total individu dari semua spesies (individu), Ji : jumlah kuadran dimana spesies i terdapat, K : jumlah total kuadran yang didapat, ΣF : jumlah frekuensi semua spesies Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Ekologis Ekowisata Bahari Kesesuaian Pemanfaatan Pada dasarnya suatu kegiatan pemanfaatan yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumber daya dan peruntukkannya. Oleh karena itu, analisis kesesuaian yang dimaksud disini adalah analisis kesesuaian dari potensi sumber daya dan lingkungannya untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata bahari. Untuk itu, rumus yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian ekowisata bahari ini mengacu pada Hutabarat et al. (2009), adalah sebagai berikut: dimana : IKW Ni Nmaks IK W = [ Ni/Nmaks] x (18) = indeks kesesuaian wisata = nilai parameter ke-i (bobot x skor) = nilai maksimum dari suatu kategori wisata

70 54 Penentuan kesesuaian, diperoleh melalui bantuan matriks kesesuaian yang disusun berdasarkan acuan kriteria kesesuaian setiap peruntukkan. Kesesuaian kawasan dilihat dari tingkat persentase kesesuaian yang diperoleh melalui penjumlahan nilai dari seluruh parameter. Matriks kesesuaian wisata tersebut secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5, dan Tabel 6. Tabel 4 Matriks kesesuaian untuk ekowisata selam No Parameter Bobot Standar Parameter Skor 1 Tutupan karang hidup (%) 3 > 75 > < 25 2 Kecerahan perairan (%) < < 50 < 20 3 Jumlah jenis life form 2 > 12 < < 4 4 Jumlah jenis ikan karang 2 > < 50 < 20 5 Kedalaman terumbu karang (m) > atau 3-5 > > 30 atau < 3 6 Kecepatan arus (cm/det) > > > Sumber: Davis dan Tisdell (1995); Davis dan Tisdell (1996); devantier dan Turak (2004); DKP (2003); Hutabarat et al. (2009) Keterangan: Nilai maksimum = 39 S1 = Sangat sesuai, dengan nilai IKW S2 = Cukup sesuai, dengan nilai IKW 60 - < 80 S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai IKW 45 - < 60 S4 = Tidak sesuai, dengan nilai IKW < 45

71 55 Tabel 5 Matriks kesesuaian untuk ekowisata snorkeling No Parameter Bobot Standar Parameter Skor 1 Tutupan karang hidup (%) 3 > 75 > < 25 2 Kecerahan perairan (%) < < 50 < 20 3 Jumlah jenis life form 2 > 12 < < 4 4 Jumlah jenis ikan karang 2 > < 30 < 10 5 Kedalaman terumbu karang (m) > 3 6 > 6-10 > 10 atau < 1 6 Lebar hamparan datar karang (m) 2 > 500 > < 20 7 Kecepatan arus (cm/det) > > > Sumber: Davis dan Tisdell (1995); Davis dan Tisdell (1996); devantier dan Turak (2004); DKP (2003); Hutabarat et al. (2009) Keterangan: Nilai maksimum = 45 S1 = Sangat sesuai, dengan nilai IKW S2 = Cukup sesuai, dengan nilai IKW 60 - < 80 S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai IKW 45 - < 60 S4 = Tidak sesuai, dengan nilai IKW < 45

72 56 Tabel 6 Matriks kesesuaian untuk ekowisata mangrove No Parameter Bobot Standar Parameter Skor 1 Ketebalan mangrove (m) 3 > 500 > < 50 2 Kerapatan mangrove (100 m 2 ) 2 > > < 5 3 Jenis mangrove 2 > Obyek biota 2 > 5 biota 3 5 biota < 3 biota Salah satu biota 5 Pasang surut (m) > 1-2 > 2-5 > Sumber: Davis dan Tisdell (1995); Davis dan Tisdell (1996); devantier dan Turak (2004); DKP (2003); Hutabarat et al. (2009) Keterangan: Nilai maksimum = 30 S1 = Sangat sesuai, dengan nilai IKW S2 = Cukup sesuai, dengan nilai IKW 50 - < 80 S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai IKW 35 - < 50 S4 = Tidak sesuai, dengan nilai IKW < Daya Dukung Ekologi Ekowisata Bahari Analisis daya dukung ekologi dimaksudkan untuk menganalisis tingkat maksimum penggunaan suatu ekosistem, berupa jumlah atau kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis. Daya dukung ekologi yang digunakan dengan pendekatan daya dukung kawasan (DDK), yaitu: jumlah maksimum pengunjung secara fisik dapat ditampung di

73 57 kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Perhitungan untuk analisis daya dukung kawasan ini, mengacu rumus Hutabarat et al. (2009) sebagai berikut: DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp... (19) dimana : DDK = daya dukung kawasan (orang), K = kapasitas pengunjung per satuan unit area (orang), Lp = luas area yang dapat dimanfaatkan (m 2 ), Lt = unit area untuk kategori tertentu (m dan m 2 ), Wt = waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam 1 hari (jam), Wp = waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan (jam). Kapasitas pengunjung ditentukan oleh kondisi sumber daya dan jenis kegiatan yang akan dikembangkan. Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keasliannya terjaga. Setiap melakukan kegiatan ekowisata, setiap pengunjung akan memerlukan ruang gerak yang cukup luas untuk melakukan aktivitas wisata, sehingga perlu adanya prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata. Nilai maksimum (K) per satuan unit area dan (Lt) untuk setiap kategori wisata bahari serta waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Tabel 7 dan Tabel 8. Jenis Kegiatan Selam Snorkeling Mangrove Tabel 7 Kapasitas pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) K (Σ pengunjung) Sumber: Hutabarat et al. (2009) Unit Area (Lt) 1000 m m 50 m Keterangan Setiap 2 orang dalam 100 x 10 m Setiap 1 orang dalam 50 x 5 m Dihitung panjang track, setiap orang sepanjang 50 m

74 58 Tabel 8 Waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Kegiatan Selam Snorkeling Wisata mangrove Sumber: Hutabarat et al. (2009) Waktu yang dibutuhkan Wp-(jam) Total waktu 1 hari Wt-(jam) Karena adanya ketentuan PP No. 18 tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam yaitu 10 % dari luas zona pemanfaatan maka formulasi daya dukung kawasan untuk pemanfaatan ekowisata dibatasi dengan rumus: DDW = 0.1 x DKK... (20) dimana : DDW = daya dukung wisata (orang); DDK = daya dukung kawasan (orang) Analisis Daya Tarik dan Preferensi Visual Wisatawan Setiap wisatawan memiliki ketertarikan tersendiri terhadap obyek wisata yang disuguhkan oleh pihak pengelola. Pengukuran daya tarik wisatawan dianalisa menggunakan analisis regresi berganda antara variabel jumlah kunjungan wisatawan dengan variabel ketertarikan terhadap mangrove (M) dan ketertarikan terhadap terumbu karang (T) menggunakan perangkat lunak MS. Excel Setelah model regresi terbentuk, selanjutnya dilakukan pengujian dengan uji F dan uji t pada taraf signifikan 95 % agar model yang dihasilkan valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan pengukuran preferensi wisatawan terhadap sumber daya wisata yang ada di kawasan Pulau Menjangan menggunakan metode Scenic Beauty Estimation (SBE). Metode SBE digunakan untuk menilai tipe-tipe karakter seascape dan landscape kawasan Pulau Menjangan yang telah dipresentasikan dalam foto-foto berwarna, dimana foto-foto ini merupakan pemandangan kawasan Pulau Menjangan yang dianggap paling mewakili obyek seascape dan landscape di kawasan ini. Tahapan yang dilakukan dalam analisis ini adalah:

75 59 1) Penentuan titik pengamatan; 2) Pengambilan foto; 3) Seleksi foto; 4) Penilaian oleh responden; 5) Menghitung nilai SBE. Untuk penilaian preferensi visual, penilaian foto-foto karakter seascape dan landscape dilakukan oleh 50 responden wisatawan dengan penilaian pada skala 1 sampai dengan 10 selama 10 detik. Skor 1 menunjukkan nilai yang paling tidak disukai dan skor 10 merupakan nilai yang paling disukai. Nilai yang diperoleh kemudian diolah dengan mencari rata-rata nilai z pada setiap foto yang kemudian dimasukkan ke dalam rumus SBE menurut Daniel dan Boster (1976): SBE X = (Z X Z 0 ) x (28) dimana, SBE X Z X Z 0 = nilai keindahan pemandangan obyek ke-x = nilai rata-rata untuk obyek ke-x = nilai rata-rata suatu obyek tertentu sebagai standar Analisis Ekonomi Ekowisata Bahari Penawaran Ekowisata Bahari Penawaran (supply) ekowisata bahari pada dasarnya merupakan gambaran dari kuantitas dan kualitas dari jasa yang dapat ditawarkan oleh produsen atau pihak pengelola ekowisata bahari pada tingkat harga tertentu. Keinginan pengelola kegiatan wisata bahari menawarkan atraksi wisata pada berbagai tingkat harga, ditentukan oleh beberapa faktor seperti: biaya investasi; biaya operasional; jumlah tenaga kerja dan tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 2002). Secara khusus suatu penawaran melukiskan jumlah maksimum yang siap disediakan pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu (Bellante dan Jackson, 1990). Laju pertumbuhan penawaran wisata akan bergantung dari biaya dan jumlah yang ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran wisata ekowisata bahari diturunkan dari fungsi biaya, khususnya biaya jangka pendek. Beberapa atribut yang mempengaruhi laju penawaran dapat diperoleh

76 60 melalui analisis regresi linear berganda dengan menggunakan bantuan perangkat lunak MS. Excel 2003 dan Mapple 9.5. Peubah yang dimasukkan dalam fungsi ini adalah biaya operasional (BO) dan biaya investasi (BI) sebagai peubah bebas sedangkan peubah tidak bebasnya adalah jumlah wisatawan yang dilayani oleh setiap operator wisata pada semua produk wisata yang disuguhkan (Q), sehingga fungsi penawaran produk wisatanya adalah: Ln Q = β 0 + β 1 Ln BO + β 2 Ln BI...(21) dimana : Q = jumlah wisatawan yang dilayani (orang), BO = biaya operasional (rupiah/dolar), BI = biaya investasi (rupiah/dolar). Setelah model penawaran terbentuk, selanjutnya dilakukan pengujian dengan uji F dan uji t pada taraf signifikan 95 % agar model yang dihasilkan valid dan dapat dipertanggungjawabkan Analisis Permintaan Ekowisata Bahari Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau jasa yang dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama. Dalam wisata, permintaan umumnya diapresiasikan dalam bentuk tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan (Sukirno, 2000). Untuk itu, dalam penelitian ini estimasi nilai atau laju permintaan dianalisis dengan menggunakan metode biaya perjalanan (TCM) dengan bantuan perangkat lunak MS. Excel 2003 dan Mapple 9.5. Prinsip yang mendasari adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke suatu area dianggap sebagai harga akses area tersebut. Oleh karena itu, analisis biaya perjalanan yang digunakan di sini adalah Zonal Travel Cost Analysis. Tahapan dalam metode ini adalah: 1) Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan ke lokasi wisata, seperti lokasi wisata alternatif, faktor demografi, dan profil wisatawan;

77 61 2) Merancang survei untuk mengumpulkan data tentang biaya perjalanan dan informasi lain dari pengunjung yang mempengaruhi permintaan; 3) Melakukan survei, mengumpulkan data dari sampel yang mewakili populasi pengunjung lokasi; 4) Menentukan jumlah kunjungan tahun analisis (JKT) berdasarkan data yang ada di pengelola; 5) Menentukan derived demand kunjungan wisata; Derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada peubah yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Peubah bebasnya yaitu biaya perjalanan (TC), pendapatan (I), jarak (D), kondisi dan potensi SDA (CE), dan harga wisata (P), sehingga fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk model ini adalah sebagai berikut : Ln Q = β 0 + β 1 Ln TC + β 2 Ln I + β 3 Ln D + β 4 Ln CE + β 5 Ln P...(22) dimana : Q = jumlah kunjungan (orang), TC = biaya perjalanan (rupiah/dolar), I = pendapatan (rupiah/dolar), D = jarak asal wisatawan (km), C E = potensi kondisi ekosistem, P = harga wisata 6) Melakukan validasi model yang didapatkan dengan pengujian statistik melalui uji F dan uji t. 7) Menghitung consumer surplus; Setelah mendapatkan kurva permintaan, selanjutnya dapat diperkirakan manfaat ekonomi yang diperoleh dari kunjungan wisata. Manfaat ekonomi tersebut diukur dari surplus konsumen wisatawan. Surplus konsumen adalah perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang dibayarkan. Surplus konsumen dihitung dengan menggunakan langkahlangkah menurut Sobari (2007): (1) Masukkan rata-rata peubah bebas ke dalam persamaan (22) (2) Selanjutnya CS dihitung dengan menggunakan formula menurut Adrianto (2006):

78 62 CS i (23) - V i =... β 1 8) Menghitung total benefit (nilai ekonomi) lokasi wisata dengan formula: TB = CS i x TV... (24) dimana : TB = total manfaat ekonomi lokasi wisata (rupiah/dolar), TV = total kunjungan / tahun (orang/tahun) Analisis Manfaat Keberadaan Obyek Wisata Dalam kegiatan wisata, setiap pengunjung pada dasarnya memiliki berbagai penilaian terhadap suatu sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Untuk mengetahui seberapa besar nilai atau manfaat keberadaan obyek wisata tersebut, maka dapat dihitung dengan menggunakan metode valuasi kontingensi (CVM). Metode ini dianalisis berdasarkan keinginan membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam. Secara operasional, pendekatan CVM dilakukan dalam lima tahap, yaitu: 1) Membuat hipotesis pasar berupa kuesioner mengenai ekosistem terumbu karang dan mangrove, manfaat dan perkiraan luasan yang berkualitas baik. Kuesioner ini diberikan kepada wisatawan yang dipandu proses pengisiannya. 2) Mendapatkan nilai lelang yang dilakukan dengan mewawancarai langsung responden dengan kuesioner untuk mendapatkan nilai WTP responden. Nilai leleng ini didapatkan dengan teknik: (1) Pertanyaan pilihan berganda, yaitu memuat beberapa nilai pilihan untuk satuan luasan terumbu dan mangrove yang lebih baik. (2) Pertanyaan referendum, yaitu responden diberikan satu nilai dalam rupiah untuk satu luasan terumbu dan mangrove, lalu diberikan pilihan setuju atau tidak. 3) Menghitung rataan WTP berdasarkan nilai rata-rata (mean) atau nilai tengah (median).

79 63 4) Meregresikan nilai WTP untuk menduga hubungan antara WTP dengan karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan wisatawan terhadap sumber daya yang selama ini dimanfaatkannya. Pada penelitian ini dianalisis menggunakan bantuan perangkat lunak MS. Excel 2003 dengan formula: Ln WTP = β 0 + β 1 Ln I + β 2 Ln E + β 4 Ln AE...(26) dimana, WTP = keinginan membayar pengguna terhadap suatu sumber daya; I = pendapatan (rupiah/dolar); E = pendidikan; AE = ketertarikan terhadap ekosistem. 5) Melakukan validasi model yang didapatkan dengan pengujian statistik melalui uji F dan uji t. 6) Mengagregatkan hasil WTP rata-rata individu ke dalam WTP populasi dengan menggunakan formula menurut Adrianto (2006): TB = WTP i x P...(27) dimana, TB = total benefit (rupiah/dolar); WTP i = nilai WTP per individu (rupiah/dolar); P = total populasi pada tahun ke-t yang relevan dengan analisis valuasi ekonomi sumber daya (orang) Analisis Partisipasi Masyarakat Analisis ini dilakukan dalam dua tahap kegiatan. Pertama adalah analisis hasil scoring tingkat partisipasi masyarakat pada masing-masing tahapan kegiatan. Derajat partisipasi masyarakat dalam rangkaian aktifitas kegiatan dapat digambarkan secara tabulasi pada Tabel 9 berikut ini : Tabel 9 Tabulasi derajat partisipasi masyarakat No. Responden Derajat Partisipasi Y1 Y2 Y3 1 Tinggi

80 64 Dimana : 2... n Y1 = tahap perencanaan Y2 = tahap pelaksanaan Sedang Rendah Y3 = tahap monitoring dan evaluasi Y = Total partisipasi dari masing-masing responden Derajat partisipasi rendah diberi nilai = 1 Derajat partisipasi sedang diberi nilai = 2 Derajat partisipasi tinggi diberi nilai = 3 Tahapan kegiatan dimulai dari kegiatan perencanaan. Kriteria yang diperlukan untuk menentukan derajat partisipasi pada tahap perencanaan adalah sebagai berikut: 1. Kehadiran (H) 2. Keaktifan mengemukakan pendapat (N) 3. Sikap dan ide konstruktif (B) 4. Sikap mendukung program (D) Derajat partisipasi dikategorikan rendah jika hanya memenuhi kriteria H; derajat partisipasi dikatakan sedang jika memenuhi kriteria H+N+B; dan derajat partisipasi dikatakan tinggi jika memenuhi semua kriteria diatas yaitu H+N+B+D. Untuk tahap pelaksanaan adalah sebagai berikut : 1. Kehadiran (H) 2. Mengemukakan pendapat (N) 3. Mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan (I) Derajat partisipasi dikatakan rendah jika responden hanya memenuhi kriteria H; dikategorikan sedang jika memenuhi kriteria H+N dan untuk kategori tinggi apabila memenuhi semua kriteria yaitu H+N+I. Sedangkan, untuk tahap monitoring dan evaluasi, kriteria penilaian adalah sebagai berikut : 1. Kehadiran (H) 2. Mengemukakan pendapat (N)

81 65 3. Mengemukakan kritik dan saran perbaikan (K) Derajat partisipasi dikatakan rendah jika responden hanya hadir (H); derajat partisipasi dikatakan sedang jika memenuhi kriteria = H + N; sedangkan tinggi jika memenuhi semua kriteria diatas = H + N + K. Tahap kedua adalah menganalisis keterkaitan antara total partisipasi ( Y) dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang meliputi: umur, pendidikan, pendapatan, lama tinggal, akses terhadap informasi di media massa, pemahaman dan tingkat partisipasi responden terhadap pengelolaan ekowisata. Pada tahap ini analisis menggunakan metode Principle Component Analysis (PCA) yang dibantu dengan perangkat lunak XLSTAT Analisis Optimasi Pengelolaan Ekowisata Bahari Penentuan tingkat optimal dari pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan, dianalisis menggunakan pendekatan model dinamik yang dibangun dengan bantuan perangkat lunak STELLA 7.0. Model dinamik yang digunakan untuk menganalisis keberlanjutan pengelolaan ekowisata bahari dalam penelitian ini terdiri atas tiga sub model yakni: 1. Sub model lingkungan memiliki atribut berupa laju tumbuh, sumber daya karang, sumber daya mangrove, dan daya dukung sumber daya, sedangkan output-nya ditentukan oleh populasi wisatawan, laju kunjungan wisatawan, dan laju penurunan kondisi sumber daya yang dimanfaatkan. 2. Sub model ekonomi memiliki atribut berupa tenaga kerja dan ekonomi masyarakat yang dipengaruhi oleh populasi wisatawan, pendapatan, laju penerimaan, laju pengeluaran, laju tenaga kerja, fraksi usaha lain, fraksi upah, dan fraksi tenaga kerja. 3. Sub model sosial merupakan suatu sistem dimana jumlah populasinya (wisatawan) ditentukan oleh laju kedatangan, laju kepergian wisatawan, biaya tinggal, harga lokasi lain, koefisien ketersedian infrastruktur, koefisien ketersediaan sumber daya alam, konstanta kepuasan wisatawan, dan kondisi sumber daya wisata. Model dinamik keberlanjutan pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan dibangun dari fenomena riil dan berdasarkan model matematis sederhana (dasar).

82 66

83 4. PROFIL KAWASAN PULAU MENJANGAN 4.1. Gambaran Umum Kawasan Pulau Menjangan yang terletak di dalam area Taman Nasional Bali Barat secara geografis terletak pada posisi antara 114º12'02'' - 114º14'30'' Bujur Timur dan 8º05'20'' - 8º17'20'' Lintang Selatan. Secara administrasi kawasan Pulau Menjangan termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Bali, - Sebelah Selatan berbatasan dengan daratan Pulau Bali, - Sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Brumbun, - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Bali. Pulau Menjangan memiliki luas sekitar 175 ha dengan profil pantai yang sebagian besar bertebing batu. Pantainya berpasir putih yang terbentuk dari pecahan-pecahan karang. Bakosurtanal (2001) menyatakan bahwa Pulau Menjangan merupakan salah satu pulau kecil yang berasal dari pengangkatan batuan kapur dan karang. Pulau ini merupakan pulau yang sangat kecil yang tidak dihuni oleh penduduk tetapi di pulau tersebut berdiri beberapa Pura sebagai tempat ibadah bagi umat Hindu yaitu Pura Gili Kencana, Pura Klenting Sari, Pura Segara Giri Kencana, yang merupakan lokasi yang ramai dikunjungi pada saat-saat tertentu bulan Purnama (bulan penuh) dan Tilem (bulan mati) untuk melaksanakan ritual keagamaan. Pulau Menjangan dapat ditempuh dengan menggunakan speed boat dari Teluk Terima tepatnya daerah Labuan Lalang dalam waktu ± menit. Pulau Menjangan yang termasuk ke dalam wilayah Taman Nasional Bali Barat memiliki iklim yang hampir sama dengan iklim di Pulau Jawa terutama Jawa Timur. Di daerah ini mempunyai dua musim yaitu musim kemarau yang umumnya terjadi pada bulan April sampai dengan bulan September dan musim penghujan umumnya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan Maret dengan puncaknya bulan Pebruari. Curah hujan rata-rata sekitar milimeter per tahun dengan curah hujan terendah terdapat di daerah pantai dan yang paling

84 68 tinggi ada di pegunungan. Berdasarkan klasifikasi ilkim Schmidt dan Ferguson, Taman Nasional Bali Barat termasuk Pulau Menjangan tergolong tipe iklim D dengan nilai Q % dan curah hujan rata-rata tahunan sebesar milimeter. Pada musim penghujan dominan angin berhembus dari arah Barat daya, sedangkan pada musim kemarau dominan angin berhembus dari arah Tenggara. Kecepatan angin rata-rata knots (TNBB, 2003) Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Kondisi Biofisik Kawasan Kondisi biofisik kawasan Pulau Menjangan baik komponen abiotik maupun biotik, belum banyak yang berubah. Berdasarkan pengamatan di Pulau Menjangan, pulau ini mempunyai kondisi biofisik seperti: (1) Kondisi fisik, topografi berombak lemah (> 2%) tersusun atas batu karang yang mempunyai tebing curam ( 4 m) di seputar pulau. Pada bagian tebing yang curam ini terlihat adanya runtuhan karang tebing yang diyakini akibat dari gempuran gelombang. Pada bagian permukaan unit ini mempunyai morfologi berombak dan umumnya bentuk lereng cembung. Proses geomorfologis yang dominan terdapat adalah pelapukan (solusion), antara air hujan dengan kandungan komposisi karang (koral). Pada pulau ini juga telah terjadi pelapukan fisik dan khemis serta pelapukan biologi (binatang karang). Runtuhan tebing dominan dijumpai di semua lini dari tebing yang ada seputar pulau, materi tebing ada yang berbentuk bongkah-bongkah ukuran besar. Jenis tanah yang ada dapat dikelompokkan kedalam tanah litosol. Meteri permukaan dominan adalah munculnya batuan karang ke permukaan hampir disetiap tempat dengan bentuk lereng yang cembung. Hidrologi permukaan, tidak dijumpai saluran air sehingga dapat diprediksi bila hujan maka air yang ada membentuk aliran permukaan (surface run off) dan masuk kecelah-celah batuan. Daerah ini sulit diperoleh sumber air tanah, sekalipun ada diyakini pada kedalaman 20 m dan debit airnya kecil 0.2 l/dt. Morfologi daratan pesisir Pulau Menjangan sangat sempit karena didominasi tebing yang curam, lebar pantai 5-10 m dan hanya terdapat di beberapa bagian Selatan pulau. Material pantai berupa pasir putih kasar bercampur fragmen karang mati yang merupakan substrat dasar perairan (Bakosurtanal, 2001).

85 69 (2) Kondisi Flora dan Fauna. Penutupan lahan yang dominan mengisi Pulau Menjangan adalah rumput, semak, dan belukar. Vegetasi yang dijumpai antara lain Jeruju (Acanthus ilicifocius L), Kayu Buta (Excoecania agllocha L), Bidara Laut (Ximenia americana), Dadap Laut (Erythrina orientall), Beluntas (Pluchea indica L. Less), dan Waru (Hibiscus fillaceus L) (JICA, 1996) Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Kependudukan dan Perekonomian Kawasan Pulau Menjangan termasuk dalam wilayah administratif Desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Jumlah penduduk di Desa Sumber Klampok adalah jiwa. Tabel 10 Jumlah penduduk Desa Sumber Klampok, tenaga kerja dan bukan tenaga kerja Penduduk (Jiwa) Sumber: BPS (2008) Tenaga Kerja Penduduk 10 Tahun Ke Atas (Jiwa) Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja Bekerja Tidak Bekerja Jompo/Tidak Mampu Ibu RT Anak Sekolah Lainnya (73.5%) (9.3%) (1.2%) (7.8%) (7.2%) (1%) Mata pencaharian penduduk Desa Sumber Klampok sangat bervariasi. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Mata pencaharian penduduk Desa Sumber Klampok Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Pertanian Tanaman Pangan Peternakan Perikanan Perkebunan Rakyat Perdagangan Industri Pengangkutan Perbankan PNS TNI Jasa Lainnya Jumlah Total Sumber: BPS (2008)

86 70 Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa perekonomian masyarakat Desa Sumber Klampok didominasi oleh sektor pertanian/perkebunan dan sektor jasa. Meskipun penduduk mempunyai mata pencaharian pokok, tetapi setiap rumah tangga juga mempunyai mata pencaharian tambahan dari sumber mata pencaharian lainnya, sehingga setiap rumah tangga mempunyai mata pencaharian lebih dari satu dan beragam. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian tambahan seperti menangkap ikan untuk konsumsi rumah tangga atau beternak Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk memegang peranan yang cukup penting di dalam pembangunan karena dari tingkat pendidikan akan mempengaruhi peranannya di dalam pembangunan atau berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya penduduk menerima ide-ide pembangunan. Mengetahui tingkat pendidikan penduduk dapat dipakai untuk menentukan kualitas tenaga kerja yang ada di suatu kawasan. Adapun tingkat pendidikan di desa Sumber Klampok dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi penduduk Desa Sumber Klampok berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan Jenis Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Tidak/Belum Sekolah Belum Tamat SD SD SLTP SLTA Sarjana Sumber: BPS (2008) Dikaitkan dengan potensi tenaga kerja di Desa Sumber Klampok, secara umum tingkat pendidikan seperti tersebut dalam Tabel 12 di atas menggambarkan masih sangat sedikit tenaga kerja yang potensial. Oleh karena itu potensi tenaga tersebut perlu ditingkatkan misalnya melalui pembinaan terhadap mereka yang putus sekolah dan memberikan dorongan kepada generasi muda untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi agar dapat bersaing.

87 Tata Guna dan Pola Penggunaan Lahan Lahan penduduk di sekitar TNBB yang jumlahnya cukup kecil pada umumnya digunakan untuk kegiatan pertanian/perkebunan dengan pelbagai komoditi dan sebagian kecil sisanya untuk perumahan termasuk pekarangan rumah. Secara rinci tata guna dan pola penggunaan lahan di TNBB seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13 Pola penggunaan lahan di Desa Sumber Klampok Luas (km 2 ) Tegalan/kebun (ha) Pekarangan (ha) Hutan Negara (ha) (4.3%) (1%) (94.7%) Sumber: BPS (2008) Dari Tabel 13 di atas terlihat bahwa dominasi penggunaan lahan adalah hutan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah perencanaan adalah wilayah TNBB yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Pemanfaatan lahan lainnya yang cukup dominan adalah tegalan, tanaman perkebunan dan pekarangan Agama dan Kepercayaan Masyarakat di desa Sumber Klampok dapat dikatakan heterogen dilihat dari aspek etnik dan agama. Masyarakat terdiri atas etnik Bali, Jawa, Madura dan Lombok dengan agama yang dianut adalah Hindu, Islam, dan Kristen. Jumlah penduduk menurut agama yang dianut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Komposisi penduduk Desa Sumber Klampok menurut agama Agama yang Dianut (Jiwa) Hindu Islam Kristen 945 (55.2%) 763 (44.5%) 5 (0.3%) Sumber: BPS (2008) Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa penganut agama Hindu paling banyak dibandingkan dengan umat agama lain. Penduduk di Desa Sumber Klampok menganut agama yang beranekaragam, namun tetap hidup berdampingan dalam suasana tentram dan harmonis.

88 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi dan Potensi Sumber daya Kawasan Pulau Menjangan Suatu kawasan atau daerah berpotensi dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata apabila kawasan tersebut memiliki suatu kekhasan yang unik, terlebih lagi untuk kegiatan ekowisata. Kealamian kawasan menjadi faktor yang penting agar menjadi daya tarik bagi wisatawan. Daya tarik kawasan Pulau Menjangan berupa pemandangan alam baik landscape maupun seascape yang masih alami, pantai berpasir putih dengan tebing-tebing yang terjal, terumbu karang dengan aneka ikan hias dan hutan mangrove yang beragam, sehingga kawasan Pulau Menjangan kaya akan sumber daya alamnya. 1) Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang sebagai salah satu sumber daya alam Pulau Menjangan memiliki gugusan karang yang sangat khas. Berdasarkan hasil pengamatan pada 6 stasiun pengamatan, kontur karangnya merupakan perpaduan dari berbentuk datar (flat) ke kontur yang tiba-tiba berubah drastis menjadi terjal atau dalam istilah selam disebut drop off dan bertambah menarik dengan terdapatnya gua-gua pada dinding gugusan karang tersebut. Pulau Menjangan secara keseluruhan hampir merata dikelilingi oleh terumbu karang, sehingga untuk mengamatinya di bagi menjadi 6 stasiun pengamatan, yaitu: (1) Stasiun I Lokasi titik pengamatan pertama berada di sebelah Barat Daya Pulau Menjangan, yaitu sekitar Pos I pada kedalaman 3 meter dan 10 meter, terdapat sebuah dermaga dengan hamparan pasir yang luas. Hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode LIT (line intercept transect), bahwa persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter sebesar 17.0 % jenis Acropora, non Acropora %, biota lain %, dead coral 27 % dan abiotik %. Sedangkan persentase tutupan karang hidup untuk kedalaman 10 meter sebesar % untuk jenis Acropora, non Acropora sebesar 17 %, biota lain %, dead coral 27 % dan abiotik % (Lampiran 4). Jenis Acropora yang ditemukan didominasi oleh Acropora Branching, Acropora Digitate, dan Acropora Tabulate sedangkan non Acropora didominasi

89 74 oleh Coral Foliose, Coral Branching, dan Coral Massive. Selain itu, dijumpai pula biota lainnya seperti soft coral dan zooxanthid serta karang mati. Komponen abiotik terdiri dari pasir dan rubble (pecahan karang). Pada Pos I ini profil rataan terumbu di dekat dermaga dengan kedalaman kurang dari 3 meter banyak diisi oleh hamparan pasir dan karang mati, sepanjang kurang lebih 20 meter, namun semakin jauh dari pos atau dermaga semakin banyak karang yang hidup dengan kedalaman lebih dari 3 meter atau berada pada tubir karang. Begitu pula pada kedalaman 10 meter banyak ditemukan patahan-patahan karang, kondisi ini diakibatkan sebelumnya telah terkena hama Acanthaster plancii dan terjadi bleaching. Kondisi ini juga diakibatkan oleh pelemparan/penambatan jangkar dan aktivitas pariwisata yang tidak bersahabat. Penyelaman dan snorkeling yang ceroboh berpotensi dalam memindahkan patahan karang maupun menambah terjadinya patahan karang tersebut. Morfologi tubir dengan derajat kemiringan yang tinggi seperti di Pulau Menjangan ini, menyebabkan jatuhnya patahan karang ke kedalaman di bawahnya, sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan fisik berantai. Secara umum dapat dikatakan bahwa terumbu karang di stasiun I atau Pos I memiliki kondisi sedang, yaitu sebesar %. Kondisi lingkungan seperti ini dimungkinkan untuk direkomendasikan sebagai tempat introduksi dive dan uji lapangan selam. Mengingat Pos I terlindung dari arus kencang dan gelombang besar, sehingga relatif aman serta memiliki paparan pasir yang cukup luas terutama di sebelah Barat dermaga, sehingga pengrusakan terumbu, terutama karena kurangnya penguasaan daya apung dapat dihindari. (2) Stasiun II Transek stasiun kedua berada di sebelah Selatan Pulau Menjangan, yaitu sebelah Timur dari Pos I, terdapat sebuah dermaga dengan beberapa jenis vegetasi yang cukup luas. Pihak TNBB memberikan nama lokasi ini dengan sebutan Pos II. Transek diambil pada kedalaman 3 meter dan 10 meter. Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter adalah sebesar % dari jenis Acropora dan non Acropora sebesar %. Selain itu, ditemukan juga biota lain seperti soft coral dengan persentase tutupan sebesar 29 % serta komponen Abiotik yang sedikit berupa substrat pasir dan rubble sebesar 25 %. Pada lokasi ini karang mati

90 75 yang ditemukan berupa bongkahan karang mati dari jenis massive dengan persentase sebesar 13 %. Sedangkan persentase tutupan karang pada kedalaman sekitar 10 meter adalah sebesar % yang didominasi oleh jenis Acropora dan jenis non Acropora hanya %. Pada lokasi ini juga dijumpai juga biota lain seperti soft coral dengan persentase tutupan sebesar %, komponen Abiotik yang sedikit berupa substrat pasir dan rubble sebesar % serta persentase tutupan karang mati sebesar 15 % (Lampiran 4). Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di Pos II ini tergolong dalam kategori sedang, yaitu % dari kedua kedalaman yang diteliti. Kondisi ini dapat disebabkan karena Pos II memiliki gelombang yang relatif tenang dan terlindung dari arus kencang, sehingga relatif lebih aman. Pada Pos II ini lebih sesuai diperuntukkan untuk kegiatan snorkeling, mengingat lebarnya hamparan karang datar lebih dari 100 meter dengan kedalaman kurang dari 5 meter serta tingkat kecerahan yang sangat tinggi. Kondisi karang yang baik berada sedikit menjauh dari dermaga. Mengingat karena di dermaga banyak kapal boat yang bersandar dan para wisatawan memulai aktivitasnya dari kapal yang bersandar tersebut. (3) Stasiun III Transek stasiun ketiga berada di sebelah Tenggara Pulau Menjangan, yaitu ke arah Timur dari Pos II, dimana terdapat sebuah dermaga dengan hamparan pasir putih yang tidak terlalu luas sedikit vegetasi pohon dan memiliki tebing karang yang curam. Lokasi pengamatan ini diberi nama Dermaga Pura, karena lokasi ini menjadi salah satu akses menuju beberapa pura yang ada di Pulau Menjangan. Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar % dengan jenis karang berupa Acropora dan 30 % berupa non Acropora. Persentase tutupan untuk biota lain sebesar %, sedangkan komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir dan rubble sebesar % serta persentase tutupan karang mati sebesar 10 %. Untuk pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil berupa Acropora 25 % dan non Acropora %, sedangkan % adalah biota lain seperti soft coral.

91 76 Komponen lain seperti substrat pasir dan rubble sekitar % dan tutupan karang mati sebesar 10 % (Lampiran 4). Kondisi terumbu karang di Dermaga Pura ini tergolong dalam kategori sedang yaitu %. Kondisi lingkungan di lokasi ini memiliki gelombang dan arus yang cukup kuat, sehingga perlu perhatian yang lebih. Kondisi karang yang baik berada sedikit menjauh dari dermaga. Hal ini dikarenakan banyaknya kapal boat yang bersandar, sehingga banyak karang yang hancur. Ke arah timur dermaga akan dijumpai tebing-tebing karang yang terjal dan keunikan karang disini adalah memiliki profil karang dari berkontur datar dengan kedalaman 3 meter kemudian berubah drastis menuju ke terjal lebih dari 40 meter dengan jarak dari garis pantai sekitar 20 meter, sehingga pada kedalaman tersebut tampak berbagai jenis karang yang menempel seperti dinding rumah. (4) Stasiun IV Titik pengamatan keempat berada di sebelah Timur Pulau Menjangan, yaitu ke arah Utara dari Dermaga Pura. Pada lokasi ini hanya terdapat hamparan tebing-tebing karang yang curam. Lokasi pengamatan ini diberi nama Bat Cave, karena lokasi ini terdapat goa kelelawar pada dinding tebing. Pengamatan di lokasi ini dilakukan kurang lebih berjarak 10 meter dari garis pantai pada kedalaman 3 meter, mengingat tidak adanya pantai di lokasi ini, sehingga pengukuran dilakukan dari agak ke tengah. Tipe terumbu karang di lokasi ini secara umum berupa karang tepi, namun sekitar 30 meter dari arah tebing memiliki slope yang curam dan perairannya cukup dalam. Persentase tutupan karang hidup pada kedalaman 3 meter sekitar 31 % dari jenis Acropora dan % didominasi oleh non Acropora. Pada lokasi ini biota lain yang ikut berkembang adalah soft coral, sponge, Kima dengan persentase sebesar % dan komponen abiotik sebesar 4.06 % serta 3 % dalam bentuk karang mati. Sedangkan pada kedalaman 10 meter, non Acropora masih mendominasi sebesar % dan % dalam bentuk Acropora. Biota lain yang ikut teramati memberikan nilai sebesar % dan komponen abiotik sebesar % serta tutupan untuk karang mati sebesar 3 % (Lampiran 4). Kondisi terumbu karang di Bat Cave ini tergolong dalam kategori baik yaitu %. Kondisi lingkungan di lokasi ini menyerupai lokasi Dermaga Pura

92 77 dengan gelombang dan arus yang kuat. Pengaruh arus dan morfologi pulau tersebut, maka terdapat beberapa hal yang spesifik, seperti banyaknya karang lunak, Gorgonian, Sponge dan non Acropora (coral Foliose, coral Massive, coral Submassive, dan coral Mushrom) pada rataan terumbu, tubir, dan dinding serta profil dindingnya yang hampir tegak lurus. (5) Stasiun V Titik pengamatan kelima berada di sebelah Utara Pulau Menjangan, dimana pada lokasi ini terdapat dermaga yang merupakan akses kedua menuju beberapa Pura di Pulau Menjangan. Lokasi pengamatan ini diberi nama Dermaga Pura Utara, tidak terdapat vegetasi dan sangat jarang tampak pohon. Pengamatan di lokasi ini dilakukan dari garis pantai pada kedalaman 3 meter, walaupun pada lokasi ini sedikit adanya pantai. Tipe terumbu karang di lokasi ini secara umum berupa karang tepi, namun sekitar 200 meter dari arah pantai memiliki slope yang curam dan perairannya cukup dalam. Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar % dengan jenis karang berupa Acropora dan % berupa non Acropora. Persentase tutupan untuk biota lain sebesar %, sedangkan komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir dan rubble sebesar % serta persentase tutupan karang mati sebesar 27 %. Untuk pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil berupa Acropora % dan non Acropora 35 %, sedangkan % adalah biota lain seperti soft coral, sponge, kima. Komponen lain seperti substrat pasir dan rubble sekitar % dan tutupan karang mati sebesar 8 % (Lampiran 4). Kondisi terumbu karang di Dermaga Pura Utara ini tergolong dalam kategori sedang yaitu %. Memiliki gelombang dan arus yang sangat kuat. Angin yang kuat akan memicu terbentuknya gelombang yang kuat sehingga kekuatannya dapat merusak beberapa lifeform yang bercabang (brancing), menjari (digitate), dan lembaran (foliose). Kondisi ini dapat dilihat kedalaman 3 meter yang mendapat hempasan gelombang yang terus menerus, karena stasiun ini terletak di daerah yang menghadap angin, sehingga membuat karang-karang yang telah rapuh akibat terkena hama Acanthaster plancii dan mengalami bleaching menjadi rusak dan patah-patah, sehingga banyak ditemukan patahan karang di

93 78 kedalaman ini. Pengaruh arus dan morfologi pulau tersebut, maka terdapat beberapa hal yang spesifik, seperti banyaknya karang lunak, Gorgonian, Sponge dan non Acropora pada rataan terumbu, tubir, dan dinding serta profil dindingnya yang hampir tegak lurus. (6) Stasiun VI Titik pengamatan keenam berada di sebelah Barat Laut Pulau Menjangan, dimana pada lokasi ini terdapat hamparan pasir yang sangat luas. Lokasi pengamatan ini diberi nama Eel Garden, karena banyak terdapat eel (belut laut) di dasar perairan. Stasiun ini terdapat beberapa vegetasi mangrove dan sangat jarang tampak pohon. Pengukuran transek pada kedalaman 3 meter di lokasi ini didapatkan persentase tutupan karang hidup sebesar % dengan jenis karang berupa Acropora dan % berupa non Acropora. Persentase tutupan untuk biota lain sebesar %, sedangkan komponen abiotik yang terdiri dari substrat pasir dan rubble sebesar % serta persentase tutupan karang mati sebesar 5 %. Untuk pengukuran transek pada kedalaman 10 meter didapatkan hasil berupa Acropora % dan non Acropora %, sedangkan % adalah biota lain seperti soft coral. Komponen lain seperti substrat pasir dan rubble sekitar 18,04 % dan tutupan karang mati sebesar 5 % (Lampiran 4). Secara umum dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Eel Garden memiliki kondisi yang sedang, yaitu 51 % dari kedua kedalaman yang diteliti. Biota yang banyak dijumpai pada lokasi ini selain eel (belut laut) di dasar perairan juga ditemukan sponge dalam ukuran yang besar, berbagai jenis karang, seperti karang masif, foliose, dan mushroom. Beragamnya biota yang ditemukan di lokasi ini, dapat disebabkan karena stasiun VI memiliki gelombang yang cukup tenang, sehingga relatif aman. Lebarnya hamparan karang datar lebih dari 100 meter dengan kedalaman kurang dari 5 meter serta tingkat kecerahan yang sangat tinggi, maka sangat sesuai diperuntukkan untuk kegiatan snorkeling. Selain itu, mengingat daerah ini memiliki paparan pasir yang cukup luas terutama di sebelah Barat, maka dapat direkomendasikan untuk tempat introduksi dive dan uji lapangan selam. Secara ringkas, hasil pengamatan insitu terhadap kondisi terumbu karang di 6 titik stasiun pengamatan disajikan pada Gambar 4.

94 Gambar 4. Kondisi Terumbu Karang di Kawasan Pulau Menjangan

95 80 Gambar 4 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang atau tutupan karang hidup dengan persentase paling tinggi adalah % (Bat cave), 51 % (Eel garden), % (Pos II), % (Dermaga pura), % (Dermaga pura utara), dan persentase yang paling rendah terdapat di Pos 1 sebesar %. Secara keseluruhan persentase tutupan karang hidup di Pulau Menjangan sebesar % atau dalam kategori sedang. Menurut kriteria dari Hutabarat et al. (2009), untuk aktivitas ekowisata bahari dengan kategori kegiatan menyelam dan snorkeling diperlukan syarat kondisi tutupan karang minimal sebesar 25 % sampai lebih dari 75 %. Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa semua titik stasiun pengamatan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata bahari atau dengan kata lain Pulau Menjangan masih layak dipergunakan sebagai kegiatan ekowisata bahari. Selain kondisi tutupan karang, hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa terdapat 18 famili hard coral, yaitu: Acroporidae, Agariicidae, Astrocoeniidae, Dendrophyliidae, Euphyliidae, Faviidae, Fungidae, Helioporidae, Merulinidae, Milleporidae, Mussidae, Oculinadae, Pectiniidae, Pocilloporidae, Poritidae, Psammocora, Siderastreidae, dan Tubiporidae serta 3 jenis soft coral seperti Sarcophyton sp, Dendronephyta sp, dan Sinularia sp. 2) Ikan Karang Berdasarkan pengamatan pada enam stasiun menunjukkan bahwa jenis ikan karang yang ditemukan pada umumnya berupa ikan hias dengan jumlah sekitar 52 jenis. Ikan tersebut kebanyakan membentuk schooling fish (kumpulan ikan) dengan warna dan bentuk yang beranekaragam. Beragamnya ikan hias tersebut terdiri dari: 1) ikan target seperti famili Acanthuridae, famili Serranidae dan famili Labridae; 2) ikan indikator dari famili Chaetodontidae dan 3) ikan mayor seperti famili Pomacentridae, famili Scaridae, famili Pomacanthidae, famili Aulostomidae, famili Balistidae, famili Ephipidae, famili Holocentridae, famili Nemipteridae, famili Ostraciidae, famili Pinguipedidae, famili Tetraodontidae, dan famili Zanclidae. Keberadaan ikan di area terumbu karang sangat bergantung pada kondisi terumbu karang itu sendiri. Seperti kelompok ikan indikator (ikan Kepe-Kepe; butterfly fish; famili Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk

96 81 menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan yang cukup banyak, begitu pula dengan kelompok ikan mayor, seperti Chromis analis, Chromis antripectoralis, Chromis caudalis dan Chromis margaritifer yang cukup banyak dijumpai kehadirannya hampir di setiap stasiun pengamatan. Masih cukup banyak dijumpainya ikan indikator, yaitu dari famili Chaetodontidae, menandakan kondisi terumbu karang masih cukup baik. Menurut Nybakken (1992) ikan indikator merupakan ikan yang aktif memangsa koloni karang, seperti ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae), ikan Kakak Tua (Scaridae), ikan Pakal Tato (Balistidae), dan ikan Buntal (Tretaodontidae), begitu juga Myer dan Randall (1983) menyebutkan kehadiran ikan Kepe-Kepe tidak terlepas dari keberadaan terumbu karang, karena ikan ini merupakan salah satu indikator kesehatan karang. Semakin beragamnya spesies ikan dari kelompok ini menandakan tingkat kesehatan karang semakin tinggi. Keanekaragaman spesies ikan yang tinggi juga disebabkan oleh variasi habitat yang ada di ekosistem terumbu karang. Variasi habitat seperti daerah berpasir, berbagai lekuk dan celah, daerah alga, serta perairan yang dangkal atau dalam dapat menambah keragaman tidak hanya ikan tetapi juga biota laut lainnya, seperti berbagai jenis dari mega benthos. 3) Ekosistem Mangrove Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komplek hutan mangrove di kawasan Pulau Menjangan, diwakili oleh mangrove di sekitar Teluk Terima yang mana merupakan komplek hutan mangrove terluas kedua setelah kompleks hutan mangrove Teluk Gilimanuk. Di Pulau Menjangan sendiri ditemukan pula mangrove, namun luasannya sangatlah sempit. Luas kawasan mangrove di Teluk Terima ini adalah ha. Letaknya di sebelah Selatan Pulau Menjangan, yang tepatnya terletak di koordinat antara BT dan LS. Jenis mangrove yang ditemukan cukup beragam dan hidup mengelompok. Disepanjang pantai pesisir Barat Teluk Terima banyak dijumpai Rhizophora apiculata yang diselingi oleh beberapa kelompok Sonneratia alba. Di lokasi Tanjung Kotal (di bagian Utara) banyak dihuni oleh Ceriops tagal serta Avicennia marina yang berupa kelompok dan jalur memanjang ke arah Selatan. Di bagian

97 82 Selatan, dijumpai lagi kelompok Ceriops tagal. Beberapa jenis lain yang dijumpai dalam kelompok kecil di wilayah pantai pesisir Barat Teluk Terima adalah Brugguiera gymnorrhiza. Di bagian Timur pesisir Teluk Terima dimana Labuan Lalang terletak, banyak dihuni oleh Sonneratia alba, terutama di tepi-tepi pantainya. Di bagian pantai lainnya ditempati pula oleh kelompok Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa. Di bagian yang agak ke dalam dijumpai jalur-jalur Avicennia marina dan Ceriops tagal, sedangkan di bagian yang terdalam dijumpai Excoecaria agallocha dalam kelompok yang lebih luas. Jenis-jenis mangrove yang ditemukan memiliki kerapatan yang bervariasi dalam luasan area 100 m 2. Jenis Avicennia marina Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorrhiza Sonneratia alba Ceriops tagal Excoecaria agallocha Tabel 15 Kerapatan jenis mangrove Nama Lokal Api-api Bakau kecil Bakau merah Tancang Pedada Tingi Panggang Sumber: Data Primer yang diolah (2008) Pohon (ind/100 m 2 ) Pancang (ind/100 m ) Tabel 15 menunjukkan bahwa kompleks hutan mangrove di Teluk Terima lebih didominasi oleh jenis Avicennia marina dan Sonneratia alba dalam bentuk pohon maupun pancang. Hasil ini juga menggambarkan jumlah kehadiran Avicennia marina dan Sonneratia alba yang cukup tinggi. Selain mangrove potensi lain yang dapat ditemukan, adalah komunitas burung. Hasil pengamatan dan kajian laporan TNBB, mangrove di kawasan Pulau Menjangan memiliki potensi yang cocok untuk habitat beberapa jenis burung, seperti Kokokan Bakau (Butoroides striatus), Raja Udang Biru Dada Putih (Halcycon chloris), Raja Udang Biru Kecil (Alcedo caerulescens), Raja Udang Merah (Ceyx erithacus), Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), dan Gajahan (Numenius phaeopus). Selain burung-burung tersebut, ada beberapa jenis burung lain yang sering dijumpai melewati atau sekedar singgah di areal hutan mangrove, namun bukan

98 83 biota asli (berhabitat) di hutan mangrove, seperti: burung Kapinis Laut (Apus pacificus), Walet Laut (Colloalia esculenta), dan Elang Laut Perut Putih (Haliacetus leucogaster). Potensi lain yang ditemukan di hutan mangove adalah komunitas ikan, dan kepiting. Di wilayah mangrove, ditemukan berbagai jenis ikan, dimana ikan tersebut sebagian hidup permanen dan sebagian hidup sementara hanya pada peremajaan (nursery stadium) di ekosistem mangrove. Ikan-ikan yang ditemukan umumnya berukuran kecil-kecil, hanya beberapa jenis yang besar, seperti ikan Belanak (Mugil cephalus dan Valamugil seheli), Belodok (Periophthalamus sp), ikan Kuro (Eleutheronema tetradactylum), sedangkan kepiting dari genus Uca, Pinotheres, Sesarma, Cardisoma, dan Grapsus. 4) Komunitas Makroalga Untuk makroalga, hasil pengamatan dari 3 stasiun pengamatan, yaitu Pos I, Pos II, dan Dermaga Pura, didapatkan 24 spesies makroalga yang berasal dari 3 kelas, yaitu Chlorophyceae, Phaeophyceae, dan Rhodophyceae. Secara lengkap, yaitu: (1) Kelas Chlorophyceae meliputi famili Udoteaceae, famili Ulvaceae, famili Caulerpaceae, famili Zignemataceae, famili Hyneaceae, famili Valoniaceae, famili Anadyomenaceae, famili Siphonocladeceae; (2) Kelas Phaeophyceae meliputi famili Dictyoceae dan famili Sargassaceae serta (3) Kelas Rhodophyceae meliputi famili Sargassaceae, famili Rhodomelace, famili Solieraceae, famili Corallinaceae, famili Gellidiaceae, dan famili Hypneaceae. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa makroalga yang ditemukan paling banyak di perairan Pulau Menjangan berasal dari kelas Rhodophyceae, yaitu 11 spesies, diikuti kelas Chlorophyceae sebanyak 10 spesies, dan terendah dari kelas Phaeophyceae sebanyak 3 spesies. Kelas Rhodophyceae paling banyak dijumpai di perairan Pulau Menjangan, hal ini dimungkinkan oleh respon Rhodophyceae terhadap lingkungan habitatnya lebih baik daripada kelas yang lain. Artinya alga dari kelas Rhodophyceae ini lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan perairan Pulau Menjangan. Hal ini akan berbeda apabila dibandingkan dengan jenis-jenis makroalgae dari kelas Chlorophyceae. Alga dari kelas ini biasanya ditemukan tumbuh di area yang lebih dekat dengan daratan sehingga kondisinya menjadi lebih rentan. Kerentanan yang dimaksud karena adanya

99 84 gangguan dari aktivitas manusia seperti, misalnya aktivitas wisata, aktivitas transportasi (menambatkan perahu) dan lain sebagainya, akibatnya jumlah dari jenis makroalga ini relatif lebih sedikit daripada kelas Rhodophyceae walaupun relung hidupnya lebih luas. Sedangkan alga dari kelas Phaeophyceae paling sedikit diperoleh, hal ini disebabkan karena habitatnya yang sulit dijangkau yakni pada daerah dengan perairan yang lebih dalam. Kehadiran makroalga di perairan Pulau Menjangan, tidak hanya ditentukan oleh kondisi biofisik dan kimia perairan tetapi juga karena media hidup dari alga tersebut. Perairan Pulau Menjangan yang didominasi oleh terumbu karang yang cukup luas dan hidup mengelilingi Pulau Menjangan, telah menjadikan media hidup yang baik bagi makroalga. Karang dapat menjadi media hidup bagi alga karena sebagian besar makroalga hidup dengan cara menempel, terutama pada substrat yang keras seperti pecahan karang (rubble), karang mati, serta benda-benda keras yang terendam di dasar laut. Beragamnya jenis-jenis makroalga yang ditemukan, maka dapat ditentukan pola distribusi dan komposisinya di perairan Pulau Menjangan. Hasil yang didapatkan disajikan pada Gambar Persentase Densitas Relatif Frekuensi Relatif Chlorophyceae Phaeophyceae Rhodophyceae Sumber: Data Primer yang diolah (2008) Gambar 5 Densitas relatif dan frekuensi relatif makroalga. Gambar di atas memberikan penjelasan bahwa persentase kehadiran makroalga di perairan Pulau Menjangan tergolong cukup tinggi, dilihat dari nilai frekuensi relatif dan densitas relatif dari ketiga kelas sebesar Kondisi ini

100 85 menggambarkan bahwa keadaan lingkungan perairan Pulau Menjangan telah mendukung kehidupan dari makroalga tersebut. Selain itu, densitas relatif dan frekuensi relatif ini juga akan menunjukkan bagaimana pola distribusi dan komposisi masing-masing kelas makroalga tersebut. Hasil persentase di atas menunjukkan bahwa kelas Chlorophyceae lebih mendominasi dibandingkan dengan Phaeophyceae dan Rhodophyceae, meskipun jenis yang ditemukan lebih sedikit dari Rhodophyceae. Hal ini kemungkinan disebabkan karena habitat kelas ini yang lebih banyak hidup di dekat daratan atau dengan kedalaman yang rendah sehingga lebih banyak memperoleh bahan organik yang umumnya berasal dari daratan serta perolehan intensitas matahari untuk proses fotosintesis yang lebih besar, dibandingkan oleh kelas Rhodophyceae dan apalagi kelas Phaeophyceae yang lebih banyak ditemukan di perairan yang lebih dalam yang sudah tentu intensitas mataharinya juga ikut berkurang. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pola distribusi kelas Chlorophyceae dan Phaeophyceae tergolong clumped, sedangkan Rhodophyceae memiliki pola distribusi random. 1) Kualitas perairan Secara umum nilai rata-rata parameter kualitas air di perairan Pulau Menjangan masih layak atau mendukung untuk dilakukannya kegiatan ekowisata bahari. Hal ini dapat dilihat dari nilai yang didapatkan masih berada pada kisaran baku mutu air untuk wisata bahari yang ditetapkan oleh Kepmen Negara LH No. 51 tahun Kondisi kualitas air pada perairan pesisir Pulau Menjangan dapat dilihat pada Tabel 16. Stasiun Temp (º C) Baku mutu * Tabel 16 Kondisi kualitas perairan Pulau Menjangan Turbiditas (NTU) ph DO Salinitas ( 0 / 00 ) (mg/l) BOD5 (mg/l) NH3 (mg/l) alami alami > 5 10 nihil *Kriteria penilaian (Kepmen Negara LH No. 51, 2004)

101 86 Dari 7 parameter yang diuji (Tabel 16), tidak ada parameter yang melebihi atau melewati ambang batas baku mutu air laut untuk wisata bahari sesuai Kepmen Negara LH No. 51 tahun Kondisi kualitas perairan ini tidak terlepas dari keadaan Pulau Menjangan yang tidak berpenduduk, letaknya yang cukup jauh dari mainland (Pulau Bali) dan berada di sekitar laut terbuka, sehingga limbah antropogenik tidak ada. Hal ini bisa dilihat dari parameter Amonia (NH 3 ), BOD 5 dan Turbiditas yang nilainya sangat rendah. BOD 5 mengindikasikan jumlah bahan organik perairan yang mudah diuraikan secara biologis serta jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses dekomposisi (Widigdo, 2001). Secara tidak langsung BOD 5 merupakan gambaran kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis dan Cornwell, 1991) diacu dalam Effendi (2003). BOD 5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan, dimana perairan yang mempunyai nilai BOD 5 tinggi mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan diuraikan secara biologis dengan melibatkan bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Proses oksidasi aerobik akan menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut sampai pada tingkat terendah dan mengakibatkan kondisi perairan menjadi anaerob yang berdampak terhadap kematian organisme. Menurut Lee dan Arega (2000), tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat berdasarkan nilai BOD 5 -nya yang terbagi dalam 4 (empat) kategori : (1) Nilai BOD 5 < 2.9 mg/l termasuk kategori tidak tercemar; (2) nilai BOD 5 antara mg/l termasuk kategori tercemar ringan; (3) nilai BOD 5 antara mg/l termasuk kategori tercemar sedang; dan (4) nilai BOD 5 > 15 mg/l termasuk kategori tercemar berat. Berdasarkan hal ini, maka perairan Pulau Menjangan masuk kategori belum tercemar 5.2. Kesesuaian dan Daya Dukung Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Bahari Setiap kawasan atau suatu area yang akan dimanfaatkan untuk suatu kegiatan, sebaiknya memperhitungkan tingkat kesesuaian pemanfaatan dari

102 87 kawasan tersebut. Pentingnya mengetahui tingkat kesesuaian kawasan agar setiap kegiatan pemanfaatan nantinya tidak mengganggu atau merusak sistem ekologi, sosial ekonomi maupun budaya yang ada. Pada penelitian ini analisa kesesuaian kawasan dibatasi hanya pada peruntukkan kawasan ekowisata mangrove dan ekowisata diving serta snorkeling. Tingkat kesesuaian pemanfaatan Pulau Menjangan untuk kegiatan ekowisata ini, akan disesuaikan dengan potensi sumber daya dan peruntukkannya. Artinya agar terdapat kesesuaian potensi sumber daya beserta lingkungannya untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata melalui beberapa parameter dan kriteria penilaian. Beberapa parameter yang merupakan faktor pembatas dalam penilaian kesesuaian untuk ekowisata bahari, yaitu: kecerahan, tutupan dan jenis karang hidup, keanekaragaman ikan karang, kedalaman, kecepatan arus, dan lebar atau luas hamparan karang, sedangkan faktor pembatas untuk kesesuaian untuk ekowisata pantai (mangrove) adalah ketebalan mangrove, kerapatan, keragaman jenis, pasang surut, dan keragaman biota yang hidup disana. Kecerahan perairan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata selam dan snorkeling. Semakin cerah suatu perairan, keindahan taman laut yang dapat dinikmati wisatawan juga akan semakin tinggi. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan yang tinggi untuk melihat keindahan bawah laut. Persentase penutupan komunitas karang, jenis life form, dan jenis ikan karang juga menjadi hal penting karena merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Variasi morfologi karang beserta beragamnya warna menjadi faktor penentu keindahan taman laut tersebut. Dari kriteria kesesuaian tersebut didapatkan hasil seperti pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk ekowisata selam Parameter Kriteria Bobot Skor Jumlah Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life form (sp) Jenis ikan karang (sp) Kedalaman terumbu karang (m) Kecepatan arus (cm/det) > < > Total 27 Sumber: Data Primer yang diolah (2008)

103 88 Dari hasil penilaian dapat diketahui bahwa nilai indeks kesesuaian wisata selam di Pulau Menjangan yang mengacu rumus pada bab 4, yaitu sebesar 69.2 atau dengan kategori S2 (cukup sesuai). Nilai kesesuaian dan kategori yang didapatkan menunjukkan bahwa terumbu karang di Pulau Menjangan masih layak untuk kegiatan wisata selam. Stasiun pengamatan yang direferensikan untuk aktivitas ini adalah Dermaga Pura, Bat Cave, Dermaga Pura Utara dan Eel Garden. Secara lengkap peta kesesuaian lahan untuk ekowisata selam disajikan pada Lampiran 8. Ada hal penting yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan adalah persentase tutupan komunitas karang, dimana persentase tutupan karang hidup di Pulau Menjangan hanya % (kategori sedang) atau masih dibawah 50 % untuk mendapatkan nilai kategori S1 (sangat sesuai). Oleh karena itu, kedepannya perlu bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang yang lebih baik agar di tahun berikutnya kondisi terumbu karang atau kesehatan karang dapat meningkat. Salah satunya dapat dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi dengan pembuatan daerah perlindungan laut (DPL). Daerah perlindungan laut ini dapat ditempatkan pada salah satu lokasi dive spot atau beberapa lokasi yang dianggap perlu pemulihan kondisi. Tujuannya guna meningkatkan kondisi karang dan sebagai area penyangga kehidupan terumbu karang di perairan tersebut. Hal ini penting dilakukan, mengingat selama ini belum pernah dibentuk DPL. Meskipun kondisi terumbu karang di Pulau Menjangan pernah mengalami degradasi hebat akibat blooming hama Acanthaster plancii dan terjadi bleaching di tahun 1997 sampai Selain itu, tentunya diperlukan kekonsistenan semua pihak dalam menerapkan aturan-aturan pengelolaan yang telah dibuat bersama seluruh masyarakat yang terlibat, sehingga diharapkan ditahun mendatang persentase tutupan karang hidup dapat meningkat yang sudah tentu akan mempengaruhi peningkatan nilai kesesuaian untuk wisata selam di Pulau Menjangan. Untuk penilaian kesesuaian lahan untuk ekowisata snorkeling, kawasan yang dianalisa untuk kegiatan ini memiliki tingkat kedalaman yang tidak lebih dari 6 meter dan tidak kurang dari 1 meter. Mengingat tujuan dari wisata snorkeling adalah agar wisatawan dapat melihat keindahan bawah laut dari permukaan perairan. Menurut Hawkins dan Roberts (1997) serta Barker dan Roberts (2001), bahwa kedalaman perairan terumbu karang secara umum yang

104 89 sesuai untuk snorkeling pada kedalaman 1 3 meter, gelombang minimal, dan ada sesuatu yang menarik untuk dilihat seperti hamparan karang yang bagus. Sedangkan area dengan kedalaman kurang dari 1 meter sangat tidak baik untuk snorkeling, mengingat terumbu karang yang berada kurang dari 1 meter akan mudah terinjak oleh wisatawan. Apabila kedalamannya di atas 6 meter akan menjadi tidak optimal dalam hal jarak pandang, sehingga kurang menarik untuk dinikmati. Dari kriteria kesesuaian tersebut didapatkan hasil seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk ekowisata snorkeling Parameter Kriteria Bobot Skor Jumlah Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life form (sp) Jenis ikan karang (sp) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m) Kecepatan arus (cm/det) > 12 > > Total 38 Sumber: Data Primer yang diolah (2008) Dari hasil penilaian kesesuaian dapat diketahui nilai indeks kesesuaian wisata snorkeling di Pulau Menjangan yang mengacu rumus pada bab 4, yaitu sebesar 84.4 atau dengan kategori S1 (sangat sesuai). Nilai atau kategori yang didapatkan ini, tentunya dipengaruhi oleh kondisi nyata di lapangan. Dimana kelebihan pesisir Pulau Menjangan adalah memiliki hamparan karang datar yang cukup lebar (>100 m) di beberapa titik, dengan kondisi perairan yang sangat cerah (bening) dan kedalamannya rata-rata 3 meter dengan kecepatan arus < 5 cm/dt, sehingga memang sangat cocok untuk aktivitas snorkeling. Secara lengkap peta kesesuaian lahan untuk ekowisata snorkeling disajikan pada Lampiran 9. Stasiun pengamatan yang direferensikan untuk aktivitas ini adalah Pos I, Pos II, Dermaga Pura, dan Eel Garden, namun tentunya potensi dan kondisi ini harus tetap terjaga kelestariannya, sehingga perlu pengaturan yang baik mengenai jumlah wisatawan yang dapat ditampung dan peranan pemandu wisata dalam menjelaskan kondisi lapangan dan melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan.

105 90 Tabel 19 Hasil penilaian kesesuaian lahan untuk ekowisata Mangrove Parameter Kriteria Bobot Skor Jumlah Ketebalan mangrove (m) Kerapatan mangrove (100m 2 ) Jenis mangrove Obyek biota Pasang surut (m) > > biota > Total 24 Sumber: Data Primer yang diolah (2008) Dari hasil penilaian kesesuaian lahan untuk ekowisata mangrove, dapat diketahui nilai indeks kesesuaian wisata mangrove di kawasan Pulau Menjangan yang mengacu rumus pada bab 4, yaitu sebesar 80 atau dengan kategori S1 (sangat sesuai). Walaupun kategori yang diperoleh sangat sesuai, namun ada kriteria yang menjadi pembatas penilaian kesesuaian yaitu kerapatan mangrove dalam 100 m 2. Ekosistem mangrove di kawasan Pulau Menjangan lebih didominasi oleh jenis Avicennia marina dan Sonneratia alba, sedangkan jenis Avicennia dan Rhizophora yang lebih berkembang hanya Avicennia marina dan Rhizophora apiculata padahal kedua jenis mangrove ini memiliki ragam yang banyak, sehingga kerapatan jenis mangrove di kawasan Pulau Menjangan menjadi kecil. Namun yang terpenting dalam wisata mangrove ini adalah beragamnya biota yang hidup didalamnya. Semakin beragamnya biota yang ada dari yang hidup di atas pohon sampai di bagian bawah, akan semakin menambah daya tarik bagi wisatawan. Biota yang hidup di area mangrove cukup beragam, dari berbagai jenis burung, ikan, reptil, crustacea sampai moluska, sehingga menambah kesesuaian hutan mangrove untuk atraksi birdwatching dan photo hunting di kawasan Pulau Menjangan ini. Secara lengkap peta kesesuaian lahan untuk ekowisata mangrove disajikan pada Lampiran Daya Dukung Ekologi Ekowisata Bahari Suatu kawasan yang akan atau telah menggunakan sumber daya alam sebagai modal untuk suatu kegiatan pemanfaatan, tentunya harus diketahui seberapa besar kawasan tersebut, mampu mendukung aktivitas yang direncanakan atau dikembangkan. Daya dukung yang dimaksudkan disini adalah untuk menganalisis tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem,

106 91 baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk estetika lingkungan atau kondisi alami yang dimilikinya. Adanya pembatasan jumlah wisatawan sesuai daya dukung kawasan, diharapkan sumber daya alam dan lingkungan di kawasan tersebut secara alami dapat berasimilasi, sehingga aktivitas kegiatan ekowisata tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya alam dan lingkungan di kawasan tersebut. Pemanfaatan suatu kawasan untuk kegiatan ekowisata yang sesuai dengan daya tampungnya akan sangat berpengaruh bagi keberlajutan kegiatan ekowisata tersebut. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari Davis dan Tisdell (1995), Scheleyer dan Tomalin (2000), Zakai dan Chadwick (2002), Rouphael dan Inglis (1997) serta de Vantier dan Turak (2004) bahwa salah satu upaya didalam suatu pengelolaan kawasan agar berkelanjutan adalah dengan mengurangi tekanan dari aktifitas yang dapat merusak ekosistem itu sendiri, salah satunya dengan mengurangi atau membatasi waktu untuk wisata selam dan snorkeling. Untuk kawasan Pulau Menjangan dengan aktivitas wisata selam dan snorkeling sebagai wisata andalan tentunya memerlukan ekosistem terumbu karang sebagai daya tarik utamanya, sehingga luasan terumbu karang diasumsikan sebagai luasan area yang digunakan untuk aktivitas tersebut. Luasan terumbu karang yang dihitung adalah area terumbu karang yang berada dalam kondisi sedang dan baik. Hasil perhitungan menurut formulasi pada Bab 4, didapatkan bahwa daya dukung kawasan Pulau Menjangan yang dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata tercantum pada Tabel 20. Tabel 20 Penilaian daya dukung pemanfaatan untuk ekowisata bahari Kegiatan Daya Dukung Pemanfaatan (orang/hari) Selam 28 Snorkeling 24 Wisata Mangrove 32 Sumber: Data Primer yang diolah (2008) Dari Tabel 20 dapat diketahui bahwa daya dukung Pulau Menjangan untuk pemanfaatan ekowisata bahari dengan kategori wisata selam sebanyak 28 orang per hari, wisata snorkeling sebanyak 24 orang per hari, dan kategori wisata

107 92 mangrove sebanyak 32 orang per hari. Jumlah wisatawan yang dapat ditampung untuk wisata mangrove memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan daya tampung wisatawan untuk wisata selam maupun snorkeling, hal ini disebabkan faktor pembatas dari area pemanfaatan kegiatan wisata bahari atau luasan ekosistem terumbu karang yang dapat dimanfaatkan untuk wisata lebih kecil dibandingkan wisata pantai yang memiliki luasan mangrove yang dapat dimanfaatkan lebih besar. Besarnya daya dukung masing-masing stasiun pengamatan dalam satu hari untuk wisata selam adalah Pos I (2 orang), Pos II (2 orang), Pos III (4 orang), Pos IV (8 orang), Pos V (5 orang), dan Pos VI (7 orang). Untuk wisata snorkeling adalah Pos I (4 orang), Pos II (4 orang), Pos III (5 orang), Pos IV (2 orang), Pos V (2 orang), dan Pos VI (7 orang). Untuk wisata mangrove adalah Pos I (12 orang), Pos II (15 orang), dan Pos III (5 orang). Nilai daya dukung pemanfaatan yang diperoleh untuk setiap aktivitas wisata ini kemudian diukur dalam setahun maka nilai daya dukung pemanfaatannya akan menjadi orang per tahun untuk wisata selam, orang per tahun untuk wisata snorkeling dan untuk wisata mangrove. Secara keseluruhan daya dukung kawasan Pulau Menjangan sebesar orang per tahun. Apabila nilai ini dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisatawan tahun 2008 sebanyak orang maka daya dukung atau daya tampung wisatawan di kawasan Pulau Menjangan masih memiliki peluang sangat besar dengan selisih orang. Dengan demikian, operator ekowisata di kawasan Pulau Menjangan masih diperbolehkan meningkatkan kapasitas kunjungan wisatawan per harinya atau masih terbukanya kesempatan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Menjangan. Apabila mengacu pendapat Scura dan Van t Hof (dalam Davis dan Tisdell, 1995), bahwa daya dukung ekologis untuk wisata selam dan snorkeling pada suatu kawasan konservasi adalah sekitar orang penyelam per tahun (300 hari). Dibandingkan dengan hasil analisis daya dukung di atas, maka kegiatan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan masih memenuhi syarat. Hawkins dan Roberts (1997) merekomendasikan angka penyelam per satuan lokasi dalam satu kawasan per tahun dapat digunakan untuk menduga daya dukung kawasan

108 93 konservasi laut yang bergantung dari jumlah lokasi penyelaman yang dapat digunakan, sedangkan Dixon et al. (1993) menyarankan batasan penyelam per tahun. Diasumsikan 300 hari per tahun penyelaman pada lokasi tertentu, angka yang direkomendasikan dari Dixon et al. (1993), (Schleyer dan Tomalin, 2000) dan Hawkins dan Roberts (1997) menyetarakan 13 sampai 20 orang penyelam per lokasi selam per hari. Secara keseluruhan analisa kesesuaian dan daya dukung pemanfaatan ekowisata menunjukkan bahwa sumber daya alam kawasan Pulau Menjangan masih memenuhi syarat atau layak untuk dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Namun tidak semua obyek bawah laut di pulau ini, berkategori sesuai atau cukup sesuai untuk semua atraksi wisata. Ini bergantung dari kondisi dan profil terumbu karangnya. Beberapa titik penyelaman atau dive spot yang direferensikan untuk aktivitas selam adalah Dermaga Pura, Bat Cave, Dermaga Pura Utara dan Eel Garden. Untuk snorkeling, stasiun yang direferensikan adalah Pos I, Pos II, Dermaga Pura dan Eel Garden. Rekomendasi titik penyelaman ini untuk tiap peruntukkan, didasarkan atas kondisi, potensi dan profil dari terumbu karang yang ada disetiap dive spot, sehingga tidak semua dive spot di Pulau Menjangan cocok untuk semua aktivitas ekowisata bahari. Terkait dengan pengelolaan wisata, ada hal yang perlu mendapat perhatian utama yaitu kondisi tutupan karang hidup di Pulau Menjangan yang tergolong sedang. Ini menjadi penting mengingat keunikan dan keindahan terumbu karang merupakan sumber daya tarik utama untuk kegiatan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan. Semakin baik kondisi terumbu karangnya maka akan semakin menarik bagi wisatawan untuk datang menikmatinya. Daya dukung ekowisata bahari, tidak hanya berkaitan dengan jumlah total wisatawan yang dapat ditampung sebuah kawasan, tetapi juga tersedianya lokasi yang berkualitas tinggi dengan kehadiran biota yang beragam (Pearce dan Kirk, 1986); (Davis dan Tisdell, 1995); (Barker dan Robert, 2004); (de Vantier dan Turak, 2004); (Simon et al. 2004). Untuk itu, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan kondisi sumber daya alam seperti meningkatkan aktifitas pengawasan lingkungan seperti monitoring kondisi ekosistem secara berkala,

109 94 adanya pembagian jumlah pengunjung dan waktu kunjungan secara proporsional untuk tiap dive spot dan mengadakan kegiatan rehabilitasi atau membentuk suatu daerah perlindungan laut di lokasi yang dianggap perlu pemulihan kondisi Daya Tarik dan Preferensi Visual Wisatawan Potensi dan kondisi sumber daya alam yang dimiliki kawasan Pulau Menjangan dengan kekhasannya tersendiri, telah mendorong wisatawan untuk datang berkunjung ke kawasan ini. Untuk mengetahui potensi sumber daya alam yang menjadi daya tarik bagi wisatawan, maka perlu dianalisis komponen sumber daya tersebut. Analisa dapat dilakukan melalui suatu fungsi daya tarik wisatawan yang diperoleh dengan meregresikan variabel terikat jumlah kunjungan wisatawan dengan variabel bebas ketertarikan terhadap mangrove (M) dan ketertarikan terhadap terumbu karang (T) dengan menggunakan pendekatan linier berganda. Hasil yang didapatkan dengan menggunakan variabel yang telah disebutkan sebelumnya, maka model persamaan fungsi daya tarik wisatawan adalah: LnQ = LnM LnT dengan nilai R 2 = Dari hasil regresi, didapatkan nilai r (koefisien korelasi) ketertarikan terhadap terumbu karang sebesar dan nilai r ketertarikan terhadap mangrove sebesar Nilai ini menunjukkan bahwa, terumbu karang dan mangrove memiliki korelasi yang kuat terhadap variabel jumlah kunjungan wisatawan. Nilai r tersebut dapat diartikan bahwa jumlah kunjungan wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan Pulau Menjangan sangat dipengaruhi oleh keberadaan obyek terumbu karang dan diikuti oleh keberadaan obyek mangrove di kawasan ekowisata bahari Pulau Menjangan. Selanjutnya model regresi tersebut, diuji menggunakan uji statistik F untuk mengetahui pengaruh secara keseluruhan dari semua koefisien yang terlibat terhadap variabel terikat. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semua variabel bebas dalam model regresi ini memberikan pengaruh terhadap variabel terikatnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F hitung yang lebih besar dari F tabelnya, yaitu > atau variabel bebas dalam model regresi ini memiliki

110 95 pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya (Lampiran 11). Selain uji F untuk mengetahui signifikan atau tidaknya koefisien regresi, dilakukan uji t. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel bebas dari model regresi memiliki pengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya pada taraf uji 5 %. Nilai t tabel dalam analisa ini adalah , dimana t hitung untuk daya tarik terumbu karang ( ) dan daya tarik mangrove (6.9198) yang berarti t hitung > t tabel. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa variasi dalam variabel kunjungan wisatawan dapat dijelaskan oleh peubah T (ketertarikan terhadap terumbu karang) dan peubah M (ketertarikan terhadap mangrove). Jadi hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa terumbu karang merupakan daya tarik utama kedatangan wisatawan ke kawasan Pulau Menjangan, sedangkan mangrove menjadi daya tarik pengikut. Selain menggunakan analisa regresi, ketertarikan wisatawan terhadap kawasan Pulau Menjangan dapat juga dijelaskan melalui analisa preferensi visual. Metode yang digunakan untuk penilaian visual ini adalah scenic beauty estimation (SBE) dengan menganalisa preferensi wisatawan terhadap sumber daya sebagai obyek wisata yang mereka nikmati. Penilaian kualitas visual oleh responden merupakan skor untuk masingmasing foto yang mewakili kondisi kawasan. Dalam penelitian ini terdapat 12 foto yang mewakili 6 stasiun pada ekosistem terumbu karang dan 10 foto yang mewakili ekosistem mangrove. Setiap stasiun penelitian diwakili oleh 2 buah foto, berupa hamparan karang, jenis-jenis ikan karang, biota laut yang khas, hamparan mangrove dan biota khas mangrove. Rata-rata nilai yang diperoleh dari hasil penilaian responden kemudian dimasukkan dalam rumus SBE. Skor tertinggi menunjukkan bahwa landscape atau seascape tersebut paling banyak dipilih sebagai obyek yang diminati, sedangkan skor rendah menggambarkan obyek yang kurang disukai oleh wistawan. Dari Lampiran 18 dapat dijelaskan bahwa stasiun Bat Cave yang terletak di bagian Timur Pulau Menjangan mendapatkan nilai SBE yang paling tinggi, sedangkan stasiun mangrove 5 yang berada di bagian Barat Teluk Terima

111 96 memperoleh nilai SBE yang terendah. Foto-foto pemandangan yang memiliki preferensi tinggi, sebagian besar diwakili oleh foto pemandangan alami dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Kondisi ini sesuai dengan penjelasan Tapsel (1995) dalam Rahmafitria (2004) bahwa responden lebih menyukai karakter obyek yang masih alami dan habitat yang dapat menarik satwa liar. Apabila dihubungkan antara nilai SBE dengan kondisi ekosistem terumbu karang dan keanekaragaman biota air, ternyata stasiun yang kondisi terumbunya tergolong baik mempunyai nilai rata-rata SBE lebih tinggi dibandingkan stasiun yang kondisi terumbunya tergolong rendah. Begitu pula dengan stasiun yang kondisi biota airnya tergolong beragam mempunyai nilai rata-rata SBE lebih tinggi dibandingkan stasiun yang kondisi biota airnya kurang beragam. Hubungan ini juga tampak pada kondisi ekosistem mangrove yang baik serta biotanya yang beragam memperoleh nilai SBE lebih tinggi dibandingkan stasiun yang kondisi mangrovenya tergolong rendah. Hasil penelitian dari Rahmafitria (2004), menyatakan bahwa penyebab suatu obyek memperoleh nilai SBE tinggi adalah kenampakan visual yang tinggi karena habitat masih alami dan beragamnya biota yang hadir di habitat tersebut. Aspek yang menonjol dari terumbu karang adalah kenampakan visual yang indah dan beranekaragamnya warna dan jenis karang, yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata bahari kategori selam dan snorkeling. Sedangkan untuk ikan karang, keragaman jenis, keunikan dan perpaduan warna berbagai jenis ikan karang menjadi daya tarik tersendiri bagi responden. Begitu pula dengan berbagai jenis biota air lainnya seperti, belut laut (eel), jenis cacing (worm), sponge, siput laut (nudibranch), giant kima juga menjadi daya tarik bagi wisatawan terutama yang menyukai fotografer bawah air. Disamping karena beragamnya biota bawah laut, keindahan yang disajikan dan dirasakan oleh para wisatawan juga berasal dari keunikan dari obyek yang ada, seperti gua-gua yang dapat dimasuki penyelam pada stasiun Bat Cave. Sebenarnya, apabila diperhatikan gua-gua tersebut, didalamnya tidak dihiasi oleh komunitas karang, namun karena dapat dimasuki penyelam menjadi sangat menarik bagi mereka yang ingin menguji adrenalinnya. Selain gua-gua pada tubir, di Pulau Menjangan juga terdapat obyek lain yang menarik yaitu bangkai kapal

112 97 yang tenggelam pada jaman penjajahan, namun karena saat ini kondisinya yang sudah tidak utuh dan tidak tampak seperti bangkai kapal serta ditambah arus bawah yang begitu kuat, sehingga tidak dipakai lagi sebagai dive spot. Melihat perilaku wisatawan yang datang, dapat dikatakan bahwa ketertarikan wisatawan terhadap obyek bawah laut tidak hanya terpaku pada keindahan biota saja tetapi juga keunikan yang dapat disuguhkan dari obyek wisata tersebut, seperti pada dive spot Bat Cave. Secara keseluruhan hasil analisa preferensi visual ini juga memberikan makna bahwa wisatawan memiliki kecenderungan lebih tertarik pada ekosistem karang beserta keunikan dari obyek yang ada di dalam air dibandingkan dengan ekosistem mangrove Penawaran Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Dalam penelitian ini, penawaran ekowisata bahari merupakan jumlah maksimum yang siap disediakan pada setiap kemungkinan harga dalam jangka waktu tertentu. Laju pertumbuhan penawaran produk wisata akan bergantung dari biaya, sehingga untuk menduga laju penawaran wisata diturunkan dari fungsi biaya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PT. Shorea Barito Wisata paling banyak dalam mengeluarkan biaya, yaitu sebesar US$ sedangkan PT. Disti Kumala Bahari yang paling sedikit dalam mengeluarkan biaya, yaitu sebesar US$ (Lampiran 12). Perbedaan biaya yang dikeluarkan terkait dengan beragamnya fasilitas yang ditawarkan oleh pengelola, seperti tersedianya hotel, restoran, pemandu wisata, perlengkapan dan peralatan pendukung serta akomodasi. Penentuan fungsi penawaran produk wisata ditentukan dengan meregresikan variabel terikat jumlah wisatawan yang dilayani (Q) terhadap variabel bebas seperti, biaya operasional (BO) dan biaya investasi (BI) dengan menggunakan pendekatan log ganda. Hasil perhitungan diperoleh model penawaran sebagai berikut: LnQ = LnBO LnBI dengan nilai R 2 =

113 98 Model regresi ini kemudian dianalisa dengan mencari nilai koefisien korelasi (nilai r) masing-masing variabel bebas. Tujuannya untuk mengetahui seberapa jauh kekuatan hubungan atau mengukur derajat hubungan keeratan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya. Hasilnya, nilai r untuk biaya operasional sebesar Nilai ini menunjukkan bahwa antara biaya operasional dan jumlah wisatawan terdapat korelasi positif dengan kategori korelasi cukup. Nilai r untuk biaya investasi sebesar menunjukkan ada korelasi positif dengan kategori sangat kuat antara biaya investasi dengan jumlah wisatawan. Secara keseluruhan nilai r tersebut dapat diartikan bahwa jumlah kunjungan wisatawan yang datang ke kawasan Pulau Menjangan secara berurutan sangat dipengaruhi oleh biaya investasi dan diikuti dengan biaya operasional. Analisa model kemudian dilanjutkan dengan melakukan uji F untuk mengetahui seberapa besar pengaruh secara signifikan seluruh variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Hasil analisa menunjukkan bahwa semua variabel bebas dalam model regresi ini secara bersama-sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai F hitung sebesar sedangkan nilai F tabel adalah (Lampiran 12). Berarti F hitung > F tabel atau variabel bebas dalam model regresi ini memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikatnya. Selanjutnya dilakukan uji t dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai t hitung variabel biaya operasional sebesar dan variabel biaya investasi sebesar Nilai t tabel dalam analisa ini adalah pada taraf signifikan 95 %, sehingga variabel yang menunjukkan kondisi t hitung > t tabel adalah variabel biaya investasi. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa variabel biaya investasi merupakan variabel penjelas yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Biaya investasi menjadi variabel yang dapat mempengaruhi tingkat penawaran. Hal ini dapat dipahami karena apabila investasi ditingkatkan, maka akan meningkatkan tingkat pelayanan, sehingga tiap wisatawan yang datang berkunjung dapat dilayani dengan semestinya. Dalam hal ini peningkatan jumlah investasi akan menaikkan tingkat penawaran sebesar koefisien penduganya.

114 99 Berdasarkan model yang telah diperoleh, nilai terhadap penawaran sebesar dapat diartikan apabila terjadi perubahan jumlah investasi sebesar 10 % maka akan meningkatkan jumlah wisatawan yang dapat dilayani sebesar 0.5. Hasil regresi yang didapatkan kemudian digunakan untuk membangun kurva penawaran dari kegiatan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Kurva penawaran ekowisata bahari kawasan Pulau Menjangan dapat dilihat pada Gambar 6. Y P (harga) X Q (jumlah wisatawan) Gambar 6 Kurva penawaran ekowisata di kawasan Pulau Menjangan. Kurva penawaran tersebut memberikan penjelasan tentang jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan Pulau Menjangan yang dinotasikan dengan Q pada sumbu X dengan tingkatan harga yang dinotasikan dengan P pada sumbu Y pada waktu tertentu, artinya setiap besaran jumlah kunjungan wisatawan akan dipresentasikan oleh tingkatan harga tertentu. Semakin tinggi harga jasa yang ditawarkan diharapkan jumlah wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan Pulau Menjangan juga meningkat. Kurva tersebut menggambarkan, jumlah wisatawan yang datang dengan besaran nilai tertentu pada sumbu X akan mempengaruhi nilai dari harga yang berada pada sumbu Y. Nilai P pada kurva di

115 100 atas tergambar meningkat seiring dengan peningkatan jumlah wisatawan sampai kondisi tertentu. Kurva penawaran tersebut tampak seperti pada Gambar 6 di atas, dapat dipahami karena kurva penawaran diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka pendek), sehingga semakin banyak wisatawan yang datang berkunjung maka semakin tinggi juga biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk wisata. Artinya bahwa peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Menjangan akan mempengaruhi besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pihak operator wisata dalam melayani permintaan wisatawan, dimana besaran biaya yang dikeluarkan akan mempengaruhi tingkat harga dari produk wisata tersebut. Perlu dipahami bahwa hanya pada tingkat harga lebih besar atau sama dengan biaya rata-rata, output akan diproduksi oleh pihak operator wisata sebab pada kondisi tersebut baru diperoleh keuntungan. Jadi penawaran ekowisata bahari akan sangat bergantung dari fungsi biaya, dimana tingkat harga lebih besar atau sama dengan biaya rata-rata, baru kemudian pihak pengelola berani untuk menawarkan jasa ini. Pada analisa ini perhitungan kurva penawaran diberikan batasan besaran Q (jumlah wisatawan) orang, sehingga setelah dianalisa dengan perangkat Mapple 9.5 kurva yang diperoleh akan tampak seperti pada Gambar 6 di atas dan bentuk kurva akan berubah arahnya apabila besaran Q (jumlah wisatawan) > orang, sehingga untuk mengetahui posisi dimana harga diinginkan oleh pasar atau kecocokan harga yang ditawarkan pihak pengelola wisata maka harus diketahui tingkatan permintaan dari wisatawan agar terjadi harga keseimbangan pasar (price equilibrium) Permintaan Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Kawasan Pulau Menjangan dengan karakteristik obyek wisatanya yang spesifik, telah mampu menarik minat para wisatawan untuk datang ke kawasan tersebut. Wisatawan yang datang berkunjung, berasal dari dalam negeri maupun manca negara yang sebagian besar berasal dari negara Eropa, Amerika, dan Asia. Berdasarkan hasil survei dan informasi dari badan pengelola wisata di Labuhan Lalang, jumlah wisatawan yang berkunjung lebih banyak mancanegara

116 101 dibandingkan wisatawan domestik. Salah satu faktornya adalah harga wisata yang cukup tinggi, mengingat aktivitas ini merupakan wisata minat khusus. Bagi masyarakat Indonesia yang secara umumnya mempunyai standar gaji relatif lebih rendah dibandingkan dengan standar gaji di negara lain, tentu harga merupakan kendala. Selain itu, masih tingginya minat masyarakat Indonesia untuk berwisata ke lokasi yang penuh keramaian (mass tourism), sehingga kawasan Pulau Menjangan yang jauh dari keramaian kurang diminati. Kedua alasan tersebut berbeda dengan kondisi wisatawan mancanegara yang mempunyai kecenderungan untuk berwisata back to nature. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Yoeti (1990), bahwa permintaan wisata dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, ketersediaan waktu, tingkat pendapatan, dan selera. Berdasarkan hasil yang diperoleh (Lampiran 13), menunjukkan bahwa jumlah wisatawan, tertinggi berasal dan Perancis sebesar jiwa dengan ratarata biaya perjalanan sebesar US$ per orang, sedangkan jumlah wisatawan terendah berasal dari Swiss sebesar 210 jiwa dengan biaya perjalanan rata-rata sebesar US$ per orang dan merupakan biaya rata-rata perjalanan paling tinggi. Tingginya biaya perjalanan wisatawan, sebenarnya bukan merupakan pembatas orang untuk berwisata. Ini dapat dilihat dari data wisatawan asal Belanda, dimana wisatawan yang berasal dari negara tersebut jumlah kedatangannya ke kawasan Pulau Menjangan ketiga paling banyak, padahal biaya perjalanan individunya paling tinggi dibandingkan dengan wisatawan dari negara lain. Artinya ada faktor lain yang ikut mempengaruhi orang dalam berwisata, salah satunya adalah motivasi. Menurut hasil survei, motivasi kunjungan wisatawan untuk berwisata ke kawasan Pulau Menjangan adalah karena lingkungan yang masih alami (40.52 %) serta potensi alam, terutama terhadap terumbu karang (59.48 %), sehingga wisatawan yang datang berkunjung memang untuk menikmati keindahan dan keunikan alam yang dimiliki kawasan Pulau Menjangan bukan karena biaya perjalanan yang murah. Fungsi permintaan wisatawan ke kawasan Pulau Menjangan diperoleh dengan meregresikan peubah terikat jumlah kunjungan (Q) terhadap peubah bebas biaya perjalanan (TC), pendapatan invidividu (I), jarak (D), kondisi dan potensi

117 102 SDA (CE) serta harga wisata (P) dengan menggunakan pendekatan log ganda, maka diperoleh model permintaan sebagai berikut: LnQ = LnTC LnI LnD LnCE LnP dengan nilai R 2 = Untuk mengetahui kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Model regresi ini kemudian dianalisa, sehingga mendapatkan nilai r (koefisien korelasi) masing-masing variabel bebas dari nilai tertinggi ke terendah adalah biaya perjalanan (0.5134), kondisi dan potensi SDA (0.4707), pendapatan (0.3898), harga wisata (0.3476) dan jarak (0.2160). Nilai ini menunjukkan bahwa, variabel biaya perjalanan dan kondisi potensi SDA memiliki korelasi yang cukup kuat sedangkan pendapatan, harga wisata, dan variabel jarak korelasinya kurang kuat terhadap variabel jumlah kunjungan wisatawan. Selanjutnya model regresi tersebut diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara tingkat kunjungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung > F tabel pada selang kepercayaan 95 %. Nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel memberikan makna bahwa variabel bebas dalam model regresi ini secara bersama-sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya. Analisa kemudian dilanjutkan dengan uji t. Hasil t hitung yang diperoleh adalah biaya perjalanan sebesar , pendapatan (3.4100), jarak (9.2344), kondisi potensi SDA ( ), dan harga wisata (5.0593) dengan taraf signifikan 95%. Nilai t tabel dalam analisa ini adalah , berarti semua variabel bebas menunjukkan nilai t hitung > t tabel. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa variasi dalam variabel jumlah kunjungan dapat dijelaskan secara individual oleh variabel biaya perjalanan (TC), pendapatan invidividu (I), jarak (D), kondisi dan potensi SDA (CE) serta harga wisata (P). Biaya perjalanan dapat diartikan sebagai biaya yang seluruhnya dikeluarkan oleh setiap pengunjung dalam satu kali melakukan kegiatan wisata. Biaya perjalanan meliputi biaya transportasi, dokumentasi, konsumsi selama

118 103 berwisata, parkir, pembelian souvenir dan biaya lainya tanpa biaya tiket masuk lokasi rekreasi. Variabel ini signifikan pada taraf uji 5 %. Hal tersebut disebabkan karena biaya perjalanan tidak dapat dipisahkan dengan frekuensi kunjungan seseorang. Artinya setiap orang jika berpergian akan selalu dipengaruhi oleh biaya perjalanan. Nilai koefisien regresi peubah biaya perjalanan dalam model bertanda negatif, hal ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana jika harga semakin meningkat maka konsumen akan mengurangi jumlah barang yang dikonsumsinya (Gaspersz, 2000). Artinya semakin besar biaya perjalanan maka akan mengurangi peluang rata-rata kunjungan individu ke lokasi wisata. Namun, kondisi ini dapat menjadi rendah pengaruhnya apabila faktor ketertarikan individu yang sangat tinggi terhadap suatu obyek wisata. Bagi sebagian orang, mereka akan bersedia membayar lebih demi bisa mengunjungi dan menikmati obyek wisata yang dianggapnya menarik. Fenomena ini terjadi pada wisatawan Belanda dan Jerman, dimana biaya perjalanannya tertinggi kedua tetapi jumlah kunjungannya juga tinggi. Pengaruh faktor ketertarikan ini dalam analisa model permintaan dapat dijelaskan oleh peubah kondisi dan potensi sumber daya alam yang memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah kunjungan wisata ke kawasan Pulau Menjangan. Artinya wisatawan tersebut datang berkunjung dikarenakan kondisi dan potensi sumber daya alam kawasan Pulau Menjangan yang menarik. Kondisi seperti ini harus dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola kawasan dan pengelola wisata jika ingin mendapatkan manfaat ekonomi atau benefit yang lebih tinggi. Peluang ini tentunya harus diikuti dengan usaha-usaha penyediaan sumber daya wisata yang optimal dari sisi kualitas maupun kuantitas. Fauzi (2006) berpendapat bahwa kemampuan mempertahankan kondisi keseimbangan sumber daya alam merupakan hal terpenting dalam kegiatan ekonomi yang bergerak dalam bidang jasa sumber daya alam. Pendapatan memberikan pengaruh yang signifikan, dikarenakan pendapatan merupakan hal penting yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi seperti halnya kegiatan wisata. Setiap orang akan memerlukan uang atau dana yang berasal dari pendapatan untuk menunjang segala aktivitasnya. Koefisien variabel ini memiliki tanda positif, hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang mengatakan dimana semakin tinggi pendapatan seseorang maka akan semakin

119 104 tinggi pula tingkat konsumsinya. Jadi, apabila seseorang tingkat pendapatannya tinggi maka mereka cenderung akan meningkatkan rata-rata frekuensi kunjungannya ke tempat wisata. Besarnya koefisien variabel akan mengakibatkan peluang rata-rata frekuensi kunjungan mengalami kenaikan yang besar akibat naiknya pendapatan. Jadi, responden yang memiliki pendapatan lebih tinggi memungkinkan mereka mempunyai kesempatan berwisata lebih tinggi dibandingkan responden yang berpendapatan rendah. Harga wisata yang dimaksud disini adalah harga tiap atraksi yang ditawarkan kepada wisatawan. Di kawasan Pulau Menjangan ada tiga atraksi yang ditawarkan yaitu menyelam, snorkeling, dan tracking. Nilai koefisien regresi peubah harga dalam model bertanda negatif, hal ini sesuai dengan teori ekonomi, dimana jika harga semakin meningkat maka konsumen akan mengurangi jumlah barang yang dikonsumsinya. Artinya semakin besar harga wisata maka akan mengurangi peluang rata-rata kunjungan individu ke lokasi wisata. Kondisi dan potensi sumber daya alam memberikan pengaruh signifikan, disebabkan karena keinginan seseorang untuk berwisata dapat disuguhkan oleh kondisi dan potensi sumber daya alam yang dimiliki kawasan Pulau Menjangan. Beberapa pernyataan mengatakan bahwa kealamian, keaslian, dan keunikan sebuah obyek wisata menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk datang mengunjungi obyek wisata tersebut. Artinya semakin alami, asli, dan unik suatu obyek wisata maka akan semakin tinggi peluang seseorang berkunjung ke tempat tersebut. Model regresi yang diperoleh, dapat digunakan untuk membangun kurva permintaan dan menentukan surplus konsumen dari kegiatan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Surplus konsumen pada penelitian ini merupakan selisih antara tingkat kesediaan membayar dari wisatawan dengan biaya atau harga yang harus dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan dalam menikmati jasa obyek wisata. Tingkat kepuasan wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut dapat dilihat dari intensitas kunjungannya. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin sering seorang wisatawan berkunjung ke kawasan ekowisata Pulau Menjangan mencerminkan semakin puas terhadap lokasi wisata tersebut. Kurva permintaan wisata kawasan Pulau Menjangan dapat dilihat pada Gambar 7.

120 105 Y P (harga) X Q (jumlah wisatawan) Gambar 7 Kurva permintaan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan. Gambar 7 di atas menjelaskan bahwa apabila harga berada pada tingkat sekitar US$ maka nilai Q = 0 yang artinya tidak ada wisatawan yang datang berkunjung. Sedangkan bila harga wisata berada pada level US$ atau harga turun dari level US$ 2 300, maka nilai Q menjadi sekitar ± orang. Kondisi ini menjelaskan bahwa wisatawan akan datang berkunjung ke kawasan Pulau Menjangan apabila level harga wisata berada di bawah US$ dan sebaliknya wisatawan tidak akan ada yang datang berkunjung apabila level harga wisata berada pada kondisi US$ Makna dari kurva tersebut menunjukkan permintaan merupakan hubungan antara harga jasa tertentu dengan jumlah yang diminta konsumen. Permintaan merupakan sejumlah jasa yang ingin dibeli oleh individu dan mampu untuk dibeli dengan harga tertentu dan waktu tertentu (Nicholson, 1995). Analisa permintaan yang dilakukan diperoleh juga nilai dari surplus konsumen. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa surplus konsumen yang didapat konsumen (wisatawan) adalah sebesar US$ per individu per tahun atau Rp per individu per tahun dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar

121 106 sebesar Rp Nilai surplus konsumen ini mengindikasikan masih terbukanya peluang untuk menaikkan harga produk wisata yang selama ini masih tergolong murah. Dari nilai surplus konsumen dapat ditentukan nilai ekonomi kawasan ekowisata Pulau Menjangan yang diperoleh berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung tahun 2008 yaitu sebesar US$ atau sekitar Rp Nilai ekonomi ini merupakan nilai riil pemanfaatan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan dan nilai tersebut akan meningkat bila jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini bertambah banyak. Hal ini dapat terjadi apabila potensi dan kondisi daya tarik wisata yang ada di kawasan ini dapat dipertahankan, disertai dengan peningkatan sarana prasarana pendukung wisata dan kualitas manajemennya. Setelah hasil kurva penawaran dan permintaan diperoleh maka dapat dicari perpotongan kedua kurva tersebut, untuk mengetahui kondisi keseimbangan pasar aktivitas ekowisata di kawasan Pulau Menjangan yang dapat dijelaskan pada Gambar 8. Y P (harga) X Q (jumlah wisatawan) Gambar 8 Kondisi keseimbangan pasar aktivitas ekowisata bahari. Kurva keseimbangan di atas memberikan penjelasan, bahwa titik keseimbangan aktivitas ekowisata di kawasan Pulau Menjangan berada pada level harga (P) US$ dan nilai Q (jumlah wisatawan) sebesar orang dengan nilai ekonomi

122 107 kawasan ekowisata kawasan Pulau Menjangan sebesar US$ atau Rp Nilai ekonomi yang diperoleh merupakan nilai pemanfaatan ekowisata yang semestinya didapatkan kawasan Pulau Menjangan dan hasil analisa keseimbangan ini juga memberikan penjelasannya bahwa jumlah wisatawan yang datang berkunjung belum melampaui batas daya dukung kawasan Pulau Menjangan sebesar orang dan pihak operator wisata masih dimungkinkan untuk menaikkan harga jasa wisata. Mengingat harga wisata pada saat ini masih lebih rendah dari nilai harga pada kondisi keseimbangan pasar Manfaat Keberadaan Obyek Wisata Kawasan Pulau Menjangan sebagai kawasan ekowisata yang memiliki ketertarikan tersendiri, sudah tentu memerlukan suatu pengelolaan yang berkelanjutan agar daya tarik lingkungan yang selama ini menjadi andalan dapat terus dinikmati sampai generasi yang akan datang. Pemanfaatan kawasan Pulau Menjangan sebagai destinasi wisata telah memberikan manfaat, baik bagi penduduk lokal secara sosial ekonomi maupun wisatawan yang datang berkunjung. Manfaat dari keberadaan obyek ekowisata ini dapat dinilai secara ekonomi melalui metode contingent valuation. Metode ini menganalisa kesediaan mereka (wisatawan) membayar (willingness to pay) terhadap manfaat dari keberadaan obyek wisata yang mereka nikmati, sehingga nilai ekonomi dari sumber daya alam yang berperan sebagai obyek wisata dapat diestimasi. Kesadaran dan kepedulian wisatawan pada lingkungan dan sumber daya alam sangat mempengaruhi besarnya nilai WTP yang akan mereka berikan. Besar kecilnya nilai WTP yang akan diberikan menunjukkan tingkat preferensi dan kepedulian wisatawan terhadap perlunya pemeliharaan lingkungan dan sumber daya yang menjadi obyek wisata di kawasan Pulau Menjangan ini. Untuk mengestimasi nilai WTP rata-rata wisatawan, dapat diperoleh dengan meregresikan beberapa variabel yang diperkirakan dapat mempengaruhi nilai tersebut seperti: pendapatan (I), tingkat pendidikan (E), dan ketertarikan terhadap ekosistem (AE).

123 108 Hasil analisa regresi yang dilakukan menghasilkan model WTP sebagai berikut: Ln WTP = Ln I Ln E Ln AE dengan nilai R 2 = Untuk mengetahui kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Model regresi ini kemudian dianalisa, sehingga mendapatkan nilai r untuk masing-masing variabel adalah pendapatan (0.9528), tingkat pendidikan (0.1165), dan ketertarikan terhadap ekosistem sebesar Nilai ini menunjukkan bahwa, variabel pendapatan dan ketertarikan terhadap ekosistem memiliki korelasi yang sangat kuat, sedangkan variabel tingkat pendidikan korelasinya sangat lemah terhadap variabel kesediaan membayar wisatawan (WTP). Selanjutnya model regresi di atas kemudian diuji dengan menggunakan uji F untuk mengetahui sejauh mana ketepatan model yang menjelaskan hubungan nyata antara WTP dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil uji F menunjukkan F hitung ( ) > F tabel (5.4094) pada selang kepercayaan 95 %. Nilai F hitung yang lebih besar daripada F tabel menunjukkan variabel bebas dalam model regresi ini secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap variabel terikatnya. Setelah uji F model regresi tersebut dianalisa dengan uji t. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya satu variabel bebas yaitu pendapatan yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap variabel terikatnya dengan taraf signifikan 95 %. Nilai t tabel dalam analisa ini adalah dimana t hitung untuk pendapatan adalah berarti t hitung > t tabel. Kondisi ini memberikan penjelasan bahwa variasi dalam peubah kesediaan membayar wisatawan dapat dijelaskan oleh peubah pendapatan. Variabel pendapatan secara individu mampu menjelaskan secara signifikan variabel kesediaan membayar. Untuk mendapatkan besaran nilai WTP, nilai rata-rata dari setiap peubah bebas dimasukkan ke dalam persamaan untuk mendapatkan nilai rata-rata WTP individu. Hasil perhitungan memperoleh nilai bahwa rata-rata WTP individu adalah sebesar US$ atau sekitar Rp dalam kurs dolar Rp

124 109 Apabila nilai rata-rata WTP individu tersebut kemudian dihitung berdasarkan jumlah wisatawan mancanegara yang datang berkunjung sebanyak orang, yaitu berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada tahun 2008 ke kawasan Pulau Menjangan, maka total nilai WTP wisatawan dalam setahun adalah sebesar US$ atau sekitar Rp Nilai ekonomi ini merupakan nilai manfaat keberadaan sumber daya di kawasan Pulau Menjangan. Nilai tersebut mencerminkan estimasi nilai keberadaan sumber daya kawasan ekowisata Pulau Menjangan terlepas dari dimanfaatkan atau tidak, wisatawan bersedia membayar sebesar US$ agar sumber daya di kawasan Pulau Menjangan tetap ada Partisipasi Masyarakat Keberhasilan pengelolaan di suatu kawasan untuk kegiatan wisata, tidak hanya terletak pada terjaganya kondisi lingkungan, namun dipengaruhi pula oleh bentuk respon yang timbul dari para masyarakat, sehingga dapat diketahui bagaimana suatu kegiatan dapat dilaksanakan, siapa yang menjadi pelakunya dan dalam kondisi yang bagaimana hal tersebut dapat dilakukan. Begitu pula dengan pengelolaan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan, akan berkembang dengan baik apabila mendapatkan dukungan respon yang positif dari para masyarakat. Masyarakat yang terdiri atas masyarakat lokal dan pengusaha merupakan pihakpihak yang berperan dalam mendukung pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan. Didalam pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan, sikap dari masyarakat terhadap program pengembangan kawasan menjadi faktor yang penting untuk dipertimbangkan. Hasil survei memberikan gambaran bahwa masyarakat secara keseluruhan memberikan sikap yang mendukung pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan. Hal ini terlihat dari keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam aktivitas ekowisata ini yang baik, tercermin dari kegiatan pengelolaan wisata yang sepenuhnya dikelola oleh desa adat. Kondisi inilah yang menjadi khas, dimana masyarakat tidak hanya sekedar berpartisipasi tetapi juga mampu menciptakan kegiatan wisata di kawasan Pulau Menjangan.

125 110 Selain itu, didalam masyarakat sendiri telah terbentuk organisasi kemasyarakatan yaitu FKMPP atau Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir yang merupakan wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam hal perencanaan dan penentuan program-program yang dapat mendukung pengembangan pariwisata berbasis ekowisata. Untuk itu, tahapan partisipasi masyarakat dianalisa mulai dari tahap perencanaan, tahap pelaksanaan beberapa program yang telah direncanakan, serta monitoring dan evaluasi. Hasil analisa terhadap masyarakat yang diwakili oleh 50 responden, dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakat pada setiap tahap kegiatan. Nilai rata-rata tingkat partisipasi seluruh reponden dapat dilihat pada Lampiran 21. Tabel tersebut menjelaskan bahwa pada tahap perencanaan, masyarakat menunjukkan tingkat partisipasinya sebanyak 25 orang (34.72%) dengan tingkat partisipasi yang tinggi, 34 orang (47.22%) menunjukkan tingkat partisipasi sedang dan lainnya 13 orang (18.06%) memperlihatkan tingkat partisipasi rendah. Tingkat partisipasi tinggi tampak dari antusiasme dalam mengikuti rangkaian kegiatan yang ada pada tahap ini dan adanya inisiatif serta ide-ide yang membangun. Tingkat partisipasi sedang tampak dari kehadiran dan keikutsertaan dalam beberapa kegiatan, sedangkan tingkat partisipasi yang rendah ditunjukan oleh masyarakat yang hanya sekedar hadir dalam kegiatan pada tahap ini. Gambaran partisipasi pada tahap ini menunjukkan bahwa masyarakat tergerak untuk ikut terlibat dalam program-program yang telah disusun, seperti program clean up, rehabilitasi, pembentukan daerah perlindungan laut, pemasangan mooring, pembentukan kelompok guide lokal, pelatihan bahasa asing, perbaikan dan pembuatan jalur tracking serta monitoring kondisi karang. Dimana, masyarakat menyadari bahwa program-program yang telah disusun memberikan manfaat demi kesejahteraan bersama. Tahap pelaksanaan program merupakan tahap yang bisa dikatakan puncak dari rangkaian kegiatan dan seharusnya menjadi bagian yang paling menarik bagi masyarakat. Hasil yang didapatkan menunjukkan pada tahap ini tingkat partisipasi masyarakat tergolong tinggi atau mengalami peningkatan, dimana sebanyak 27 orang (37.50%) dengan tingkat partisipasi yang tinggi, 22 orang (30.56%) menunjukkan tingkat partisipasi sedang dan 23 orang lainnya (31.94%)

126 111 memperlihatkan tingkat partisipasi rendah. Tingginya tingkat partisipasi pada tahap ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat antusias mengikuti dan terlibat secara aktif dalam program-program yang dilaksanakan, disamping karena masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup ekosistem dan menyadari bahwa mata pencaharian mereka sangat bergantung pada kondisi sumber daya alam beserta lingkungannya. Tahap monitoring dan evaluasi memberikan penjelasan bahwa tingkat partisipasi masyarakat sangat menurun, dimana sebanyak 7 orang (9.72%) dengan tingkat partisipasi yang tinggi, 26 orang (36.11%) menunjukkan tingkat partisipasi sedang dan 39 orang lainnya (54.17%) memperlihatkan tingkat partisipasi rendah. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada tahap ini karena sebagian besar masyarakat kurang mampu memberikan kritik atau saran perbaikan, mengingat komposisi masyarakat sebagian besar dari masyarakat setempat yang masih tergolong rendah dalam tingkat pendidikan dan pengetahuan, sehingga sebagian dari mereka merasa belum memiliki pengalaman yang cukup untuk memberikan masukan untuk saat ini, walaupun beberapa dari mereka cukup antusias dalam mengemukakan pendapat. Schrool (1984) menyatakan bahwa masyarakat akan berpartisipasi apabila mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang tingkat kegiatan tersebut. Pendapat ini sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan, dimana masyarakat yang mempunyai tingkat pengetahuan dan pemahaman lingkungan yang memadai yang memperlihatkan tingkat partisipasi yang agak lebih baik dalam setiap tahapan kegiatan. Hasil dari keseluruhan tahapan kegiatan bahwa tingkat partisipasi masyarakat cukup tinggi. Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup ekosistem dan menyadari bahwa mata pencaharian mereka sangat bergantung pada kondisi sumber daya alam beserta lingkungannya. Namun, ada beberapa program yang belum terlaksana yaitu program rehabilitasi karang dan pembentukan daerah perlindungan laut. Program ini terhambat lebih disebabkan karena faktor dana dan perijinan dari pihak TNBB. Gambaran tingkat partisipasi masyarakat seperti ini, tentunya ada faktorfaktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian ini, dicoba dianalisa faktor-

127 112 faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Variabel tersebut adalah umur, pendidikan, lama tinggal, pemahaman tentang lingkungan, akses informasi terhadap media massa, dan jumlah pendapatan. Rekapitulasi data responden pada masing-masing peubah pengamatan dari hasil analisis komponen utama dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil analisa diketahui bahwa peubah yang memiliki korelasi signifikan terhadap partisipasi masyarakat adalah pendidikan sebesar 0.253, pemahaman tentang lingkungan sebesar dan pendapatan Tingkat korelasi yang besar antara partisipasi dengan pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan memberikan kontribusi terhadap tingkat partisipasi. Menurut Hikmat (2001) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan/pemahaman dan kesadaran yang tinggi terhadap lingkungannya, akan cenderung semakin tinggi partisipasinya dalam kegiatan pembangunan. Hal ini memberikan gambaran bahwa bukan hanya dari pendidikan formal yang mendasari tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan pembangunan karena perkembangan pengetahuan seseorang tidak selamanya diperoleh melalui jenjang pendidikan formal tetapi juga dari pendidikan non formal maupun dari pengalaman individu masyarakat. Tingkat korelasi yang besar juga ditunjukkan antara partisipasi dengan pemahaman tentang lingkungan. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat tentang sumber daya alam, baik dari segi fungsi maupun peranannya akan semakin baik pula tingkat partisipasinya (Dahl, 1997). Responden yang memiliki tingkat pemahaman lingkungan yang baik umumnya adalah masyarakat yang memiliki akses ke perairan. Tingkat pemahaman masyarakat ini terlihat dari pengetahuan mereka tentang ekosistem dan pemikiran-pemikiran positif dalam mengelola ekosistem tersebut. Korelasi antar peubah dan sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yakni dengan koordinat peubah atau dengan kata lain kualitas representasi dari peubah pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan dekat tidaknya peubah tersebut pada sumbu. Semakin kuat korelasinya, maka semakin dekat peubah tersebut pada sumbu. Interpretasi peubah yang berperan dalam partisipasi masyarakat dapat diamati pada korelasi peubah pada sumbu pertama dan kedua (F1 dan F2) (Gambar 9).

128 113 Gambar 9 Hubungan peubah karakteristik masyarakat dengan partisipasi pada sumbu utama F1 dan F2. Korelasi antara peubah dengan sumbu utama pertama (axis 1) dan sumbu utama kedua (axis 2) dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan melihat koordinat peubah atau kualitas representasi dari peubah pada sumbu utama (axis 1 dan axis 2) yang ditunjukkan dengan dekat tidaknya peubah tersebut pada sumbu, dimana semakin dekat peubah tersebut dengan sumbu, maka semakin besar korelasinya (positif atau negatif). Interpretasi peubah yang saling berpengaruh dapat dilihat pada lingkar korelasi terhadap axis 1 dan 2. Pada Gambar 9 di atas dapat dijelaskan bahwa pada axis 1 (sumbu pertama), peubah yang mempunyai keeratan hubungan dalam lingkar korelasi cenderung mengelompok pada sumbu utama pertama positif yaitu tingkat pemahaman, pendidikan, partisipasi, dan pendapatan. Hal ini menjelaskan bahwa peubah ini berperan positif terhadap axis 1 atau dapat dikatakan tingkat pemahaman, pendidikan, dan pendapatan ini berperan dalam tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari. Sedangkan umur dan lama tinggal memberikan sumbangan yang kecil terhadap sumbu 1 (axis-1) tetapi memberikan sumbangan yang besar terhadap sumbu 2 (axis-2). Untuk peubah akses informasi di media massa berbanding terbalik dengan tingkat pemahaman, pendidikan, partisipasi, dan pendapatan yang artinya korelasi peubah ini rendah

129 114 atau peubah ini sedikit mempunyai keeratan hubungan terhadap tingkat pemahaman, pendidikan, partisipasi, dan pendapatan. Makna hasil analisa partisipasi masyarakat di kawasan Pulau Menjangan terhadap kegiatan ekowisatan memberikan gambaran bahwa tingkat kepedulian masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari cukup tinggi. Ini dapat dilihat dari cukup tingginya peran serta masyarakat pada setiap tahapan kegiatan yang direncanakan dan dilakukan. Artinya apresiasi masyarakat yang tinggi ini menunjukkan bahwa kepekaan mereka terhadap kelangsungan hidup sumber daya alam sebagai modal dasar dari kegiatan pemanfaatan yang dikembangkan juga tinggi. Tingkat partisipasi masyarakat seperti ini akan mempermudah menjalankan program-program yang telah direncanakan bersama sehingga memberikan pengaruh yang baik dalam pengelolaan ekowisata bahari menuju ke arah berkelanjutan Simulasi dan Model Pengelolaan Ekowisata Bahari Struktur Model Keberlajutan pengelolaan ekowisata bahari dapat dikaji melalui dinamika suatu sistem yang saling berinteraksi menurut perubahan waktu. Untuk itu, diperlukan suatu pemahaman terhadap sistem yang terkait di dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut. Untuk mendapatkan suatu konsepsi atau model pengelolaan yang tepat. Model dibangun didasari oleh interaksi antar sistem ekologi, ekonomi, dan sosial yang dirumuskan melalui model matematika sederhana dengan menggunakan persamaan matematika. Penyusunan model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan diawali dengan perumusan model secara matematis yang kemudian memasukkan nilai-nilai parameter yang telah dianalisis sebelumnya. Secara konseptual kerangka model dinamik yang dibangun beserta atribut dan dimensi penyusunnya dapat dilihat pada Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12.

130 115 EKOLOGI Daya Dukung Karang Laju Tumbuh SD Karang Laju Degradasi Penambahan Pengurangan Populasi Turis Total SD Wisata Laju Turis DD Mangrove Laju Tambah SD Mangrove Laju kerusakan Pertambahan Penurunan Gambar 10 Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata bahari berdasarkan dimensi ekologi. EKONOMI TNBB Harga Produk Pd per Tur Pajak usaha wisata Infrastruktur PAD Buleleng Populasi Turis Frk manfaat Usaha lain Ekonomi Masyarakat Fraksi Infrastrk Laju Penerimaan Pengeluaran Fraksi Upah TK Tur Fraksi Tk Modal Fraksi Biaya Ush lain Fraksi TK Tur Tenaga Kerja Lj Penambahan TK Keluar Gambar 11 Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata bahari berdasarkan dimensi ekonomi.

131 116 SOSIAL u E Total SD Wisata qe Populasi Turis Harga Lokasi lain Datang Pergi qc uc Biaya Tinggal Partisipasi Masyarakat Fraksi Biaya tinggal Infrastruktur Harga Produk Gambar 12 Model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata bahari berdasarkan dimensi sosial. Model konseptual yang dibangun tersebut diterjemahkan dari model matematis sederhana dari Casagrandi dan Rinaldi (2002) yang ditambah dengan beberapa atribut yang mempengaruhi pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Atribut-atribut yang digunakan diperoleh berdasarkan kajian literatur dan hasil analisa sumber daya wisata yang telah dikaji sebelumnya. Nilai atribut yang digunakan tercantum pada Tabel 21. Tabel 21 Nilai atribut model konseptual sistem dinamik pengelolaan ekowisata bahari di Pulau Menjangan No Atribut Nilai I Sub model ekologi 1 Initial sumber daya terumbu karang (m 2 ) Daya dukung terumbu karang (m 2 ) Laju pertumbuhan terumbu karang Laju degradasi terumbu karang Initial sumber daya mangrove (m 2 ) Daya dukung mangrove (m 2 ) Laju pertumbuhan mangrove Laju degradasi mangrove II Sub model ekonomi 1 Ekonomi masyarakat (Rp) Fraksi manfaat usaha lain Fraksi biaya usaha lain Fraksi penghasilan upah tenaga kerja per turis Harga produk wisata per turis (Rp) Fraksi alokasi dana infrastruktur terhadap harga produk per turis 0.5

132 117 II Sub model ekonomi 7 Pajak usaha per turis (%) Kontribusi pajak wisata ke PAD Initial tenaga kerja Tenaga kerja yang keluar Fraksi tenaga kerja per turis Fraksi tenaga kerja per ekonomi masyarakat III Sub model sosial 1 Initial turis (orang) Konstanta kepuasan turis terhadap kualitas infrastruktur 0.5 (qc) 3 Konstanta kepuasan turis terhadap kualitas lingkungan 0.5 (qe) 4 Koefisien ketersediaan infrastruktur (uc) Koefisien ketersediaan sumber daya alam (ue) Koefisien harga wisata di tempat lain Fraksi biaya tinggal Partisipasi masyarakat dalam wisata 0.2 Nilai atribut yang didapatkan pada Tabel 21 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sub model ekologi Pada sub model ini terdapat 8 atribut yang memiliki fungsi masing-masing sebagai level (stok) maupun konstanta. Atribut yang menjadi stok disini adalah sumber daya alam yang dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata seperti sumber daya terumbu karang dan mangrove. Nilai awal stok diperoleh dari hasil analisis kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata. Kawasan terumbu karang m 2 dan hutan mangrove m 2. Laju pertumbuhan karang (0.13) dan laju degradasi (0.26), nilai ini diperoleh dari hasil pengamatan penelitian ini, data TNBB (2007) dan WWF (2003). Untuk sumber daya mangrove, laju degradasinya ( ) laju tumbuh (0.2). Nilainya diperoleh dari data TNBB (2007) dan hasil pengamatan penelitian yang dibantu dengan hasil data dari citra satelit SPOT Sub model ekonomi Untuk sub model ekonomi, nilai awal ekonomi masyarakat merupakan dampak langsung dari kegiatan ekowisata bahari yang diperoleh dari hasil analisa penawaran permintaan sebesar Rp dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 80 orang. Tenaga kerja ini berasal dari kebutuhan wisatawan akan tenaga pemandu wisata dan karena adanya investasi dalam usaha wisata yang membutuhkan tenaga kerja.

133 118 Fraksi tenaga kerja per ekonomi masyarakat diperoleh nilai didapatkan dari setiap Rp penerimaan wisata akan dialokasikan pada usaha-usaha yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 1 orang. Nilai ini diperoleh dari perbandingan antara rata-rata modal yang diinvestasikan di usaha wisata sebesar Rp dengan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 70 orang. Untuk fraksi tenaga kerja per turis didapatkan nilai yang diperoleh dari perbandingan 1 tenaga kerja per 700 orang wisatawan, berdasarkan daya tampung akomodasi sebesar 640 orang (setiap kelebihan 60 orang wisatawan memerlukan tambahan 1 orang tenaga kerja). Nilai konstanta untuk tenaga kerja yang keluar adalah 0.2 yang diperoleh dari perbandingan 1 dari 3 orang tenaga kerja akan keluar apabila kondisi kunjungan wisatawan yang menurun. Harga produk wisata yang ditawarkan sebesar Rp per orang, harga ini sebelum dikurangi biaya akomodasi dan konsumsi serta pajak usaha. Dari total penerimaan ini 3.5 % merupakan bagian upah tenaga kerja per turis dan 2 % adalah bagian yang diterima oleh usaha-usaha lain yang mendukung aktivitas ini. Fraksi biaya usaha lain sebesar 0.3 yang diperoleh dari biaya usaha perdagangan terhadap total penerimaan pedagang. Persentase pajak usaha wisata yang diberlakukan oleh badan pengelola, TNBB, dan Pemda Buleleng adalah 0.40 kepada seluruh usaha hotel dan restoran untuk satu orang wisatawan per sekali kunjungan ke kawasan Pulau Menjangan. Pajak ini kemudian 60 % dialokasikan untuk penerimaan daerah dan 40 % untuk penerimaan TNBB selaku pengelola kawasan. 2. Sub model sosial Dalam dimensi ini, model pengelolaaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan disusun dari kehadiran wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan ini. Jumlah kunjungan wisatawan yang datang kawasan Pulau Menjangan tahun 2008 adalah sebesar orang. Namun tidak semua wisatawan yang datang menikmati atraksi wisata yang ditawarkan, hanya orang yang semuanya berasal dari manca negara. Untuk itu nilai inisial dimensi sosial adalah orang. Atribut yang mempengaruhinya adalah: atribut ketersediaan obyek wisata (ue) sebesar 0.86, ketersediaan infrastruktur atau

134 119 fasilitas penunjang wisata (uc) sebesar 0.30, harga produk wisata di lokasi lain sebesar 0.74 dan biaya hidup selama berwisata di kawasan Pulau Menjangan sebesar 0.04 yang diperoleh dari hasil analisis regresi berganda. Selain itu atribut lainnya adalah atribut kepuasan terhadap kualitas sumber daya alam (qe) sebesar 0.5 dan atribut kepuasan terhadap infrastruktur (qc) sebesar 0.5 yang diperoleh dari model matematis sederhana Casagrandi dan Rinaldi (2002) Optimasi Pengelolaaan Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Dalam menentukan tingkat optimal bagi pengelolaan ekowisata bahari diperlukan suatu skenario model pengelolaan. Penyusunan skenario model pengelolaan sangat penting untuk menentukan keberlajutan pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Di dalamnya terdapat beberapa alternatif rencana kebijakan yang ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dimasa akan datang berdasarkan kondisi aktual. Untuk itu skenario model yang dianalisa untuk pengelolaan ekowisata bahari adalah: 1) Skenario model aktual 2) Skenario model alternatif Skenario model aktual melihat sejauh mana kawasan tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat saat ini dan masa datang yang diukur berdasarkan nilai ekonominya. Selain itu dilihat juga kecenderungan kondisi sumber daya alam pada akhir simulasi sebagai akibat keputusan pemanfaatan utnuk kegiatan ekowisata bahari. Sedangkan skenario model alternatif akan dilihat kecenderungannya akibat keputusan memberikan pilihan alternatif bagi pengelolaan ekowisata bahari. A. Skenario model aktual pengelolaan ekowisata bahari Skenario model aktual merupakan suatu skenario yang menggambarkan kondisi saat ini pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Skenario yang dibangun ini memberikan penjelasan, yakni:

135 120 1) Skenario aktual dalam dimensi ekologi Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan kondisi sumber daya alam, dalam hal jumlah luasan yang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari (Gambar 13). Kondisi ini terjadi akibat aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang menyebabkan ketersediaan luasan sumber daya yang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari menurun dari m 2 menjadi m 2 ditahun ke-15 dan sekitar m 2 pada tahun ke-30 (Lampiran 22). Jika laju penurunan ini meningkat dan tidak adanya upaya konservasi, diproyeksikan obyek wisata terumbu karang akan mengalami kerusakan yang cukup parah. Sedangkan ekosistem mangrove masih bisa bertahan walaupun mengalami penurunan. Penurunan ini secara langsung akan mempengaruhi nilai dari level yang lain, seperti populasi turis, ekonomi masyarakat, maupun tenaga kerja. 2) Skenario aktual dalam dimensi ekonomi Sama seperti dimensi ekologi, dampak penurunan kualiatas dan kuantitas sumber daya alam sangat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena pemanfaatan yang dilakukan berbasis pada sumber daya alam. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai ekonomi yang didapatkan masyarakat pada tahun ke-1 sebesar Rp menjadi turun sebesar Rp di tahun ke-30. Penurunan yang cukup tinggi ini berdampak pula pada jumlah tenaga kerja. Diawal simulasi pada tahun ke-1 jumlah tenaga kerja adalah sebesar 80 orang menjadi hanya 37 orang di tahun ke-30. Kondisi ini sangatlah buruk, apabila kondisi ini dibiarkan maka jumlah kemiskinan dan pengangguran akan semakin meningkat. Menjadi sangat ironis apabila ini terjadi di daerah yang terkenal pariwisatanya, sehingga di harapkan ada suatu solusi untuk mengatasi kondisi ini. 3) Skenario aktual dalam dimensi sosial Secara keseluruhan dalam kondisi dimensi sosial tidak berbeda jauh dengan dimensi yang lainnya. Hasil simulasi menunjukkan penurunan jumlah populasi turis yang datang ke kawasan Pulau Menjangan dari orang sampai menjadi orang di tahun ke-30. Hal ini dapat dipahami karena wisatawan datang berkunjung karena keinginan untuk menikmati keindahan dan keunikan dari sumber daya alam, sehingga diperlukan kualitas dan kuantitas

136 121 sumber daya yang baik. Sedangkan pada kondisi aktual kuantitas luasan obyek wisata dari sumber daya alam menurun, sehingga pengelolaan ekowisata bahari dalam model ini belum optimal. 1: 1: 2: 2: 3: 3: 4: 4: 1: Total SD Wisata 2: Ekonomi Masy arakat 3: Populasi Turis 4: Tenaga Kerja ,5e+009 1,2e : 1: 2: 2: 3: 3: 4: 4: e+009, : 1: 2: 2: 3: 3: 4: 4: Page Years 0:47 14 Jul 2010 skenario model aktual pengelolaan ekowisata bahari Gambar 13 Skenario model aktual pengelolaan ekowisata bahari. Melihat hasil simulasi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa model pengelolaan ekowisata bahari saat ini yang digambarkan oleh skenario model aktual belum menjamin aspek keberlanjutan secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Mengingat model ini menggambarkan penurunan pada setiap level, maka diperlukan suatu alternatif skenario yang optimal dalam menjaga kelangsungan dari aktivitas ini di masa datang, untuk itu dibangun suatu skenario model pengelolaan yang baru dengan menambahkan peubah penting yang terkait dalam pengelolaan. B. Skenario model alternatif pengelolaan ekowisata bahari Skenario alternatif ini dimaksudkan sebagai suatu skenario kebijakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan keberlajutan seluruh aspek pengelolaan. Artinya skenario ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan semua aspek yang saling terkait di dalam pengelolaan. Skenario model alternatif ini merupakan solusi dari skenario aktual. Dari hasil analisa sebelumnya, dimana luasan sumber daya yang sesuai untuk kegiatan ekowisata bahari menurun maka untuk mengatasi permasalahan itu

137 122 dibentuk skenario model alternatif. Dalam model ini terdapat atribut-atribut tambahan yang merupakan solusi kebijakan dari model sebelumnya. Secara lengkap dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Skenario alternatif dalam dimensi ekologi Skenario yang disimulasikan adalah penambahan atribut rehabilitasi terhadap ekosistem terumbu karang dan mangrove serta fee konservasi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan adanya program rehabilitasi karang dan mangrove mampu meningkatkan nilai seluruh level pengelolaan ekowisata bahari. Jika pada pengelolaan ekowisata bahari saat ini luas kawasan yang sesuai untuk obyek wisata mencapai m 2 maka dalam tahun ke-30 luas kawasan wisata (terumbu karang dan mangrove) meningkat mencapai m 2 (Lampiran 23). Sedangkan fee konservasi dimasukkan sebagai upaya untuk mendukung kelestarian sumber daya wisata (terumbu karang dan mangrove) guna mempertahankan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata bahari. Nantinya dana konservasi ini diperoleh dari wisatawan melalui harga tiket masuk ke kawasan. Dimana badan pengelola sebagai penanggung jawabnya. Fee konservasi ini nantinya sebagai sumber dana bagi program konservasi sumber daya wisata tersebut dan harus terkontrol agar keefektifannya dapat terjaga. Walaupun fee konservasi ini, nominalnya kecil tetapi sangat besar manfaatnya bagi kelangsungan sumber daya wisata. Penggunaan dana ini nantinya akan diwujudkan dalam bentuk program yang telah disepakati bersama (terdapat dalam analisa partisipasi) seperti kegiatan clean up, rehabilitasi (transplantasi karang, biorock), reboisasi, pembentukan daerah perlindungan laut, dan pemasangan mooring. Kegiatan ini nantinya akan diawasi oleh masyarakat itu sendiri dengan mengaktifkan lagi pecalang laut yang telah terbentuk sebelumnya. 2) Skenario alternatif dalam dimensi ekonomi Pada dimensi ekonomi ini, skenario yang dibentuk ditujukan untuk peningkatan ekonomi masyarakat, dan penyerapan tenaga kerja dengan mempertahankan kuantitas dan kualitas sumber daya wisata. Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekonomi masyarakat mencapai Rp. 10 milyar di tahun ke-30 dengan jumlah tenaga kerja yang terserap lebih dari 140

138 123 orang. Apabila dibangun skenario peningkatan harga produk wisata dari Rp menjadi Rp maka diperoleh peningkatan ekonomi masyarakat mencapai Rp. 14 milyar. Peningkatan harga produk ini ternyata tidak mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan, sehingga skenario ini dapat digunakan. Ekonomi masyarakat yang meningkat juga mempengaruhi peningkatan upah tenaga kerja serta pendapatan usaha lain, sehingga kondisi ini mampu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Ini berarti bahwa keberlanjutan dari segi ekonomi tidak dapat terlepas dari kebijakan-kebijakan pada sisi ekologi. 3) Skenario alternatif dalam dimensi sosial Pada dimensi ini skenario yang bangun adalah peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan Pulau Menjangan. Mengingat pada model aktual jumlah wisatawan menurun setiap tahunnya. Dengan model alternatif ini diharapkan terjadinya peningkatan jumlah kunjungan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan adanya kegiatan perbaikan kondisi lingkungan akan mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan ini. Peningkatan ini bertambah mencapai sebesar orang di tahun ke-30. Apabila jumlah wisatawan ini dibandingkan dengan daya dukung kawasan pada kondisi aktual sebesar orang maka hasil simulasi selama 30 tahun belum melebihi batas daya dukung tersebut. Akan tetapi peningkatan jumlah kunjungan tersebut harus tetap dikelola dengan baik agar tidak terjadi penumpukan wisatawan pada bulan dari hari tertentu, sehingga tidak melebihi daya dukung kawasan per harinya dan tidak mengganggu kelestarian dari sumber daya wisata. Simulasi dari ketiga dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial dapat dijelaskan pada Gambar 14.

139 124 1: 2: 2: 3: 3: 4: 4: 1: Total SD Wisata 2: Ekonomi Masy arakat 3: Populasi Turis 4: Tenaga Kerja ,5e+010 9e+009, : 1: 2: 2: 3: 3: 4: 4: 1: 1: 2: 2: 3: 3: 4: 4: Page ,5e+010 4,5e e+009, 1,2e Years 16:37 26 Sep 2010 skenario model alternatif pengelolaan ekowisata bahari Gambar 14 Skenario model alternatif pengelolaan ekowisata bahari Secara keseluruhan hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan atribut penting ketiga dimensi di atas secara terintegrasi mampu meningkatkan luasan obyek wisata yang sesuai untuk ekowisata bahari, penyerapan tenaga kerja, ekonomi masyarakat, dan kunjungan wisatawan. Jadi model alternatif ini, dapat dikatakan sesuai dan dapat diterapkan dalam pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Mengingat model ini dapat menunjukkan tingkat optimal dari seluruh variabel yang mempengaruhi pengelolaan. Berarti model pengelolaan ini dapat menjamin keberlanjutan secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Untuk kebijakan penerapan rehabilitasi sumber daya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaannya, yaitu: 1) Kegiatan rehabilitasi pada pelaksanaannya diberikan kepada masyarakat (berbasis masyarakat lokal) melalui peran desa adat dan kelembagaan yang dimiliki (FKMPP) dengan monitoring dari pihak TNBB selaku penanggungjawab kawasan. 2) Dalam menunjang kegiatan rehabilitasi masyarakat diberikan pelatihanpelatihan mengenai rehabilitasi secara komprehensif termasuk desain dan prosedur-prosedur pelaksanaannya yang diinisiasi oleh TNBB yang bekerjasama dengan DKP, LSM, dan Universitas terkait.

140 125 Makna hasil analisa pemodelan ini menggambarkan bahwa kualitas dan kuantitas dari sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai obyek wisata harus bernilai tinggi. Kelengkapan dan keutuhan kehadiran sumber daya beserta biota penyusunnya sangat diperlukan. Pengaruh komponen ini juga dijelaskan dalam analisa kesesuaian dan daya dukung, analisa ekonomi, serta analisa SBE sebelumnya bahwa kondisi sumber daya alam merupakan faktor kunci dalam pengelolaan ekowisata bahari Kebijakan Pengelolaan Ekowisata Bahari di Kawasan Pulau Menjangan Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk mencapai pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan secara berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Sasarannya utamanya adalah untuk mengurangi tingkat penyusutan atau degradasi kawasan, peningkatan skala ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kepedulian antar generasi. Pihak-pihak yang terkait dikelompokkan berdasarkan tingkat kepentingannya dalam pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan. Adapun alternatif-alternatif kebijakannya adalah 1) Pengelola wisata (1) Pembuatan visit information centre (VIC) yang didalamnya terdapat berbagai informasi mengenai kawasan, obyek wisata, dan atraksi wiata yang disuguhkan setiap lokasi wisata serta berisi panduan berwisata bahari di kawasan konservasi serta peraturan-peraturan yang harus ditaati, (2) Pembentukan zonasi yang jelas untuk setiap kegiatan wisata, zona penyelaman, zona snorkeling, zona tracking dan zona lainnya sesuai dengan jenis aktivitas wisata yang potensial, (3) Penambahan keragaman aktivitas wisata seperti atraksi budaya, seawalker, atraksi botton glass boat, mini submarine boat, dan memancing pada zona terbatas, (4) Merumuskan dan menjalankan program rehabilitasi sumber daya alam bersama-sama dengan seluruh komponen yang terkait, (5) Pembentukan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, (6) Pemasangan mooring bouy,

141 126 (7) Kegiatan pemantauan kondisi sumber daya secara berkala yang dilakukan secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak lain, (8) Peningkatan patroli rutin yang bekerjasama dengan masyarakat melalui pengaktifan kembali tenaga pengamanan laut tradisional atau pecalang laut, (9) Pemberlakuan pajak konservasi bagi setiap wisatawan yang besarnya 25 % dari harga tiket masuk sebagai dana konservasi, (10) Membekali pemandu wisata dengan pengetahuan dan pemahaman tentang kawasan konservasi, (11) Penggunaan energi alternatif seperti biodiesel untuk bahan bakar kapal dan pemanfaatan energi surya untuk kebutuhan akan listrik. 2) Operator wisata (1) Pengaturan waktu kunjungan dan pengaturan ukuran kelompok wisatawan ke dalam kelompok-kelompok yang kecil berdasarkan luas area yang dapat dimanfaatkan, (2) Pembagian lokasi wisata menurut atraksi kegiatan yang dilakukan wisatawan berdasarkan kesesuaian dan daya dukung obyek. 3) Lembaga masyarakat (FKMPP) (1) Merumuskan dan menjalankan program rehabilitasi terumbu karang maupun reboisasi mangrove, kegiatan patroli rutin, monitoring kondisi sumber daya, dan pelaksanaan pembentukan daerah perlindungan laut, (2) Mengelola dana konservasi untuk menjalankan program-program konservasi yang telah direncanakan, (3) Mengadakan pelatihan bahasa asing bagi masyarakat sekitar kawasan yang difasilitasi oleh pengelola kawasan dan pengelola wisata melalui kerjasama dengan Pemerintah, Bali Tourism Board, sekolah tinggi pariwisata, dan universitas terkait. Prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan saat ini adalah penetapan beberapa lokasi di kawasan tersebut sebagai area perlindungan laut karena memiliki nilai utilitas yang lebih tinggi dan stabil diantara alternatif kebijakan lainnya.

142 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1. Kondisi sumber daya terumbu karang, mangrove dan kualitas perairan di kawasan Pulau Menjangan serta tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan masih mampu mendukung pengembangan kegiatan ekowisata selam, snorkeling dan tracking. 2. Secara keseluruhan kondisi sosial ekonomi aktivitas ekowisata bahari memberikan gambaran bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan cukup tinggi yang dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan, pendapatan, dan pemahaman terhadap lingkungan sedangkan daya dukung ekonomi kawasan Pulau Menjangan yang dicerminkan oleh kondisi penawaran dipengaruhi oleh faktor biaya investasi dan kondisi permintaan dipengaruhi oleh faktor biaya perjalanan, pendapatan, jarak, kondisi potensi sumber daya alam dan harga wisata. 3. Kondisi optimal pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan dapat dicapai apabila terdapat penerapan kebijakan kegiatan rehabilitasi sumber daya dan kebijakan penggunaan fee konservasi yang diperoleh dari pajak usaha wisata. 4. Model pengelolaan yang menunjukkan keberlajutan pengelolaan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan adalah model yang memasukkan unsur kegiatan rehabilitasi dan penerapan fee konservasi dalam pengelolaan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan serta kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini menyarankan dan merekomendasikan beberapa hal seperti: 1. Diperlukan penambahan keragaman jenis atraksi wisata untuk meningkatkan daya tarik wisatawan seperti atraksi seawalker, mini submarine boat, wisata pancing, wisata kesenian tradisional dan wisata budaya (terkait upacara keagamaan atau upacara tradisional) agar tidak terjadi kejenuhan terhadap aktivitas wisata yang saat ini sudah berlangsung.

143 Perlu segera dilakukan upaya rehabilitasi terutama pada ekosistem terumbu karang mengingat kondisi terumbu karang saat ini masih dibawah 50 %. Upaya rehabilitasi dilakukan dengan membentuk daerah perlindungan laut di beberapa lokasi terutama di sekitar Pos I, Pos II, Dermaga Pura mengingat ketiga dive spot ini kondisi karangnya masih dibawah 50 %. 3. Untuk meningkatkan daya tarik ekowisata mangrove, upaya yang diperlukan adalah peningkatan fasilitas wisata, seperti perbaikan board walk, shelter, dan menara pengamatan burung serta penambahan atraksi wisata yaitu wisata pancing. 4. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak ekologis dari kegiatan wisata dan perubahan alam terhadap sumber daya yang dapat mempengaruhi kegiatan ekowisata bahari di kawasan Pulau Menjangan.

144 DAFTAR PUSTAKA Abraham RH The Genesis of Complexity. Visual Math Institute. Santa Cruz. USA. Adhikerana AS Ekowisata di Indonesia: Antara Angan-angan dan Kenyataan. Makalah Seminar Pengembangan Industri Pariwisata di Indonesia. ITB. Bandung. Adrianto L Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumber daya Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor. Adrianto L Teknik Pengambilan Data Untuk Contingent Valuation Method. Modul yang disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL. Bachtiar Pengelolaan Terumbu Karang. Pusat Kajian Kelautan, Universitas Mataram. NTB. Bakorsurtanal Peta Potensi Sumber daya Alam wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Buleleng Provinsi Bali. Barker NHL, Roberts CM Scuba Divers Behaviour and The Management of Diving Impact on Coral Reefs. Biological Conservation. Bengen DG. 2002a. Sinopsis Ekosistem dan Sumber daya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002b. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL IPB. Bogor. Bengen DG Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Ekososiosistem. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir Laut. Bogor. Bourgeois R, Jesus F Participatory Prospective Analysis: Exploring and Anticipating Challenges With Masyarakat. CAPSA Monograph No. 46. The United Nation. Brown KE, Tompkins W, Adger N Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision Making. Overseas Development Group. University of East Anglia. Norwich, NR4 7TJ, U.K 109p.

145 130 Butler R Implementing Sustainable Tourism Development on a Small Island: Development and Use of Sustainable Tourism Development Indicators in Samoa. Journal of Sustainable Tourism 10(5): BPS Kecamatan Gerokgak Dalam Angka. BPS dan BAPPEDA Kabupaten Buleleng. Casagrandi R, Rinaldi S A Theoretical Approach to Tourism Sustainability. Conservation Ecology 6(1): 13. The Resilience Alliance. Cater E, Lowman M Eco-tourism: A Sustainable Option. Whiley. London. Ceballos V, Lascurain H Tourism, Ecotourism, and Protected Areas. World conservation Union. Gland. Switzerland. Choy L, Heilbron M Eco-tourism Planning: Lessons from South East Queensland Experience. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung Dahl C Integrated Coastal Resources Management and Community Participation in a Small Island Setting. Ocean and Coastal Management Vol. 36, Nos 1-3: Dahuri R, Rais J, Sapta PG, Sitepu M Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara terpadu (Edisi Revisi). Saptodadi. Jakarta. Daniel TC, Boster RS Measuring Landscape Esthetics : The Scenic Beauty Estimation Method. USDA Forest Service Research paper RM 167: Davis D, Tisdell C Recreational SCUBA Diving and Carrying Capacity in Marine Protected Areas. Ocean and Coastal Management 26: Davis D, Tisdell C Economic Managementof Recreational SCUBA Diving and The Environment. Journal of Environmental Management 48: devantier L, Turak E Managing Marine Tourism in Bunaken National Park and Adjacent Waters. Technical Report was preprared by The Natural Resources Management (NRM III) Program s Protected Areas and Agriculture Team. North Sulawesi. Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Penerapan Ekowisata Dipandang dari Sudut Kebijakan Otonomi Daerah dan Konservasi Alam. Makalah pada Dialog Nasional Ekowisata. Jakarta. Ditjen KP3K Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang. COREMAP II. Departemen Kelautan dan Perikanan.

146 131 Dixon JA, Scura LF, van t Hof T Meeting Ecological and Economic Goals: Marine Parks in The Caribbean. Ambio. Vol. 22. Nos 2-3. pp Djajadininggrat SP Untuk Generasi Masa Depan, Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Aksara Buana. Jakarta. DKP Pedoman Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat di Kawasan Konservasi laut. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dowling RK Ecotourism, Concept, Design, and Strategy. Tourism Recreation Research. 20 pp Dowling RK Ecotourism in Southeast Asia. Tourism Management Journal. Vol. 18 No. 1 pp Dymond SC Indicators of Sustainable Tourism in New Zealand: A Local Government Perspective. Journal of Sustainable Tourism 5 (4): Effendi H Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. MSP-IPB Bogor Eriyatno Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor English S, Wilkinson C, Baker V Survey Manual for Tropical Marine Resource. Townsville: Australian Institute of Marine Science. Fauzi A, Anna S Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia. Jakarta. Fauzi A Ekonomi Sumber daya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fandeli C, Mukhlison Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fennel DA Ecotourism, An Introduction. Routledge. London. Garraway J, Nelson H, James C Ecotourism as a Strategy for Sustainable Development: The Asa Wright Centre Trinidad and Tobaco. Small Island Developing States Vol 2: Gaspersz V Ekonomi Manajerial Pembuatan Keputusan Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

147 132 Gunn CA Tourism Planning. Basics, Concepts, Cases. Third Edition. Taylor & Francis Publisher. Haaf WH, Bikker H, Andriaanse DJ Introduction to System Approach. pp [terhubung berkala] [20 Nopember 2007]. Hawkins JP, Roberts CM Effects of Recreational Diving on Coral Reefs. Trampling of Reef Flat Communities. Journal of Applied Ecology 30, Hikmat H Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung. Hufschmidt M Lingkungan, Sistem Alami dan Pembangunan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Hutabarat A, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Edisi I). Pusdiklat Kehutanan. Deptan. SECEN-KOREA International Coorperation Agency. Indonesian Centre for Environmental Law Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta. JICA Penyebaran Hutan Mangrove di Taman Nasional Bali Barat dan Sekitarnya. The Development of Sustainable Mangrove Management Project. Departemen Kehutanan. Kepmen Negara LH Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari. KLH. Jakarta. Kusumastanto T Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan. Diktat Kuliah Program Studi Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Lee JH, Arega F Europhication Diagenetic Model for Sediment Oxygen Demand (SOD). [terhubung berkala] 15 htm [ 11 Nopember 2007]. Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT Gramedia Indonesia. Jakarta Masberg BA, Morales N A Case Analysis of Stategies in Ecotourism Development. Aquatic Ecosystem Helth and Management Journal. Vol 2:

148 133 Mehmet P, Turker MF Estimation of Recreational Use Value of Forest Resources by Using Individual Travel Cost Method and Contingent Valuation Method. Journal of Applied Sciences, Vol. 6: 1-5. Myers F, Rhandal HR Guide to The Coastal Resources of Guam. The Coral University of Guam Press. Guam. Nicholson W Teori Mikroekonomi. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. Nybakken JW Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh: M. Eidman, D. G. Bengen, Malikusworo dan Sukritiono. Marine Biology and Ecologocal Approach. PT. Gramedia. Jakarta. Nurisyah S, Pramukanto Q, Wibowo, S Daya Dukung Dalam Perencanaan Tapak. Bahan kuliah Analisis dan Perencanaan Tapak. PS Arsitektur Lanskap. Fakultar Pertanian. IPB-Bogor. O Connor J, Douglas MD The Art of System Thingking. Thorsons. San Fransisco. Pearce DG, Kirk RM Carrying Capacities for Coastal Tourism. Journal of Environmental Management 9(1): 3-7. Pierce D Cost-Benefit Analysis and The Environment, Recent Development. OECD Publishing. France. Rahmafitria F Evaluasi Lanskap Tepian Sungai Perkotaan Melalui Pendekatan Kualitas Visual dan Kualitas Lingkungan. Tesis Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Rouphael AB, Inglis GJ Impact of Recreational Scuba Diving at Sites With Different Reef Topographies. Biological Conservation Journal 82: Saveriades A Establishing The Social Tourism Carrying Capacity for The Tourist Resorts of The East Coast of The Republic of Cyprus. Tourism Management Journal Vol 21. PP Pergamon. Selin S Developing a Typology of Sustainable Tourism Partnership. Journal of Sustainable Tourism. Vol.7(4): Schleyer MH, Tomalin BJ Damage on South African Coral Reefs and An Assessment of Their Sustainable Diving Capacity Using A Fisheries Approach. Buletin of Marine Science 67(3): Schrool JW Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara- Negara Berkembang. PT. Gramedia Jakarta.

149 134 Silver C Urban Based Eco-tourism in Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung. Simon F, Yeamduan N, Daniel P Carrying Capacity in The Tourism Industry: A Case Study of Hengistbury Head. Tourism Management Journal vol 25. PP Pergamon. Sobari PM Teknik Pengambilan Data Untuk Travel Cost Method. Modul yang disampaikan pada kegiatan pelatihan teknik dan metode pengumpulan data valuasi ekonomi. Kerjasama PKSPL-IPB dengan BAKOSURTANAL. Soeriatmadja Prospect of Developing Marine and Beach Tourism in Indonesia. Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung. Soegianto A Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Jakarta. Stephen F, David WP Tourism Carrying Capacity: Tempting Fantasy or Usefull Reality?. Journal of Sustainable Tourism Vol. 9(5): Sterman JD All Models Are Wrong: Reflections on Becoming A System Scientist. System Dynamic Review. Vol. 18 No. 4: pp John Wiley and Sons. Sukirno S Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Ketiga. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta TNBB (Taman Nasional Bali Barat) Information Kit. Balai Taman Nasional Bali Barat. Departemen Kehutanan. TNBB (Taman Nasional Bali Barat) Information Kit. Balai Taman Nasional Bali Barat. Departemen Kehutanan. TNBB (Taman Nasional Bali Barat) Data Statistik Balai Taman Nasional Bali Barat. Departemen Kehutanan. UNEP Monitoring Coral Reefs for Global Change. Regional Seas. Reference Methods for Marine Pollution Studies No. 61. Australian Institute of Marine Science. 72pp. WWF Monitoring The Coral Reefs at Bali Barat National Park. Monitoring Report in WWF Indonesia-Wallacea Bioregion. Zakai D, Chadwick-Furman NE Impacts of Intensive Recreational Diving on Reef Corals at Eliat, Northen Red Sea. Biology Conservation 105:

150 135 Lampiran 1. Definisi Operasional Ekowisata bahari adalah kegiatan wisata yang bertanggungjawab di daerah lingkungan laut yang masih alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Terumbu karang adalah jenis biota laut berukuran kecil (polip) yang hidupnya menempel pada substrat dan berkelompok membentuk koloni yang menyekresikan kalsium karbonat (CaCO 3 ) menjadi terumbu. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur atau berpasir. IKW adalah indeks kesesuaian wisata, merupakan suatu indeks kesesuaian dari potensi sumber daya dan lingkungannya untuk dikembangkan sebagai obyek ekowisata bahari. DDK adalah daya dukung kawasan, merupakan jumlah maksimum pengunjung secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. MCA adalah analisis biaya marjinal (marginal cost), merupakan kenaikan dari biaya total yang diakibatkan oleh diproduksinya tambahan satu unit output. TCM adalah suatu metode biaya perjalanan, merupakan metode untuk mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu dalam mengunjungi tempat wisata, sehingga diketahui berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan. Surplus konsumen adalah perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang dibayarkan. CVM adalah metode valuasi kontigensi, merupakan suatu metode survei untuk menanyakan kepada responden tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. WTP adalah kesediaan untuk membayar, merupakan jumlah tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. PCA adalah analisis komponen utama, merupakan analisis statistik multivariat untuk mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu matriks data yang besar. SBE adalah pendugaan keindahan suatu pemandangan, merupakan metode penilaian keindahan suatu obyek pemandangan. Pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pesisir yang dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini tanpa mengorbankan potensi pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa datang.

151 136 Lampiran 2. Lokasi Pengamatan Terumbu Karang Koordinat masing-masing lokasi pengamatan Pos 1 : ,083 mt Pos 4 : ,063 mt ,336 mu ,474 mu Pos 2 : ,365 mt Pos 5 : ,590 mt ,042 mu ,185 mu Pos 3 : ,781 mt Pos 6 : ,330 mt ,458 mu ,783 mu

152 137 Lampiran 3. Lokasi Pengamatan Mangrove Koordinat masing-masing lokasi pengamatan Pos 1 : ,114 mt ,462 mu Pos 2 : ,533 mt ,366 mu Pos 3 : ,037 mt ,879 mu

153 138 Lampiran 4. Persentase Tutupan Karang di Pulau Menjangan Pada Kedalaman 3 meter dan 10 meter Kedalaman 3 meter Pos I Pos II Dermaga Pura Bat Cave Dermaga Pura Utara Eel Garden Acropora 17.00% 18.70% 26.60% 31.00% 11.50% 29.66% Non Acropora 14.20% 24.40% 30.00% 29.62% 25.10% 33.28% Biota lain 11.30% 29.00% 13.02% 22.20% 19.10% 12.60% Abiotik 10.50% 25.00% 20.18% 4.06% 17.10% 20.96% Dead Coral 27% 13% 10% 3% 27% 5% Kedalaman 10 meter Pos I Pos II Dermaga Pura Bat Cave Dermaga Pura Utara Eel Garden Acropora 20.40% 11.80% 25.00% 33.50% 28.40% 16.50% Non Acropora 17.00% 36.40% 27.80% 14.40% 35.00% 33.56% Biota lain 15.20% 27.40% 23.58% 26.72% 17.30% 27.40% Abiotik 40.40% 19.80% 13.42% 12.26% 11.10% 18.04% Dead Coral 27% 15% 10% 3% 8% 5%

154 139 Lampiran 5. Grafik Persentase Tutupan Karang di Pulau Menjangan 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Acropora Non Acropora Biota lain Abiotik Dead Coral Pos I Pos II Dermaga Pura Bat Cave Dermaga Pura Utara Eel Garden Grafik persentase tutupan karang kedalaman 3 meter 50,00% 40,00% Acropora 30,00% 20,00% 10,00% Non Acropora Biota lain Abiotik Dead Coral 0,00% Pos I Pos II Dermaga Pura Bat Cave Dermaga Pura Utara Eel Garden Grafik persentase tutupan karang kedalaman 10 meter

155 140 Lampiran 6. Jenis-Jenis Ikan Karang di Perairan Pulau Menjangan No Famili Spesies Stasiun I II III IV V VI 1 Acanthuridae Achanthurus mata 2 Achanthurus nigricauda 3 Achanthurus nigrofuscus 4 Naso hexacanthus 5 Zebrasoma scopes 6 Balistidae Bodianus mesothorax 7 Odonus niger 8 Chaetodontidae Chaetodon austriacus 9 Chaetodon kleinii 10 Chaetodon melannotus 11 Heniocentron monoceros 12 Ephipidae Platax teira 13 Holocentridae Sargocentron ittodai 14 Labridae Halichoeres cosmetus 15 Hemigymnus fasciatus 16 Hemigymnus melapterus 17 Labriodes dimidiatus 18 Thalassoma amblycephalum 19 Thalassoma hardwicki 20 Thalassoma lunare 21 Nemipteridae Scolopsis billineatus 22 Scolopsis lineata 23 Scolopsis trilineata 24 Ostraciidae Ostracion solorensis 25 Pinguipedidae Parapercis scauinslandi 26 Pomacanthidae Pomacanthus annularis 27 Pomacanthus semicurcilatus 28 Pygoplytes diachantus 29 Pomacentridae Abudefduf sexfasciatus 30 Abudefduf vaigiensis 31 Chromis analis 32 Chromis antripectoralis 33 Chromis caudalis 34 Chromis margaritifer 35 Ahisiptera leucopma 36 Neoglyphydodon polyacanthus 37 Plectroglyphydodon dickii 38 Plectroglyphydodon lacrimatus 39 Pomacentrus aquilus 40 Pomacentrus brachialis

156 141 Lanjutan. Jenis-Jenis Ikan Karang di Perairan Pulau Menjangan No Famili Spesies Stasiun I II III IV V VI 41 Pomacentrus indicus 42 Pomacentrus moluccensis 43 Pomacentrus philippinus 44 Sategastes aureus 45 Scaridae Scarus dimidiatus 46 Scarus forsteni 47 Scarus viridifucatus 48 Serranidae Pseudanthias squamipinnis 49 Cephalopholis miniata 50 Epinephelus quoyanus 51 Tetraodontidae Arothron hispidus 52 Zanclidae Zanclus comutus

157 142 Lampiran 7. Jenis-Jenis Makroalga di Perairan Pulau Menjangan No Kelas Famili Spesies 1 Chlorophyceae Udoteaceae Halimeda tuna Ulvaceae Ulva fasciata Caulerpaceae Caulerpa lentillifera Zignemataceae Spirogrya sp Hyneaceae Hypnea valentiae Valoniaceae Valonia ventricosa Anadyomenaceae Anadyomene stellata Siphonocladeceae Dictyocphaeria cavernosa Udoteaceae Halimeda macrophysa 2 Phaeophyceae Dictyoceae Padina australis Sargassaceae Turbinaria ornata Dictyoceae Padina minor 3 Rhodophyceae Sargassaceae Sargassum Polycystum Rhodomelace Gracilaria Coronapifolia Solieraceae Aecheuma denticulatum Solieraceae Jania ungulata Sargassaceae Sargassum cinereum Corallinaceae Titanophora pulchra Gellidiaceae Gelidiella taylori Solieraceae Euchema edule Hypneaceae Hypnea asperi Solieraceae Euchema sp Sargassaceae Sargassum playophyllum Corallinaceae Amphiroa fragilissim

158 Lampiran 8. Peta Kesesuaian Ekowisata Selam di Pulau Menjangan 143

159 144 Lampiran 9. Peta Kesesuaian Ekowisata Snorkeling di Pulau Menjangan

160 Lampiran 10. Peta Kesesuaian Ekowisata Mangrove di Teluk Terima 145

161 146 Lampiran 11. Hasil Perhitungan Daya Tarik Wisata Negara Jumlah Kunjungan (LnQ) Ketertarikan terhadap Mangrove (LnM) Ketertarikan terhadap Terumbu Karang (LnT) Perancis Jerman Belanda Jepang Australia USA Taiwan Swiss Italia Hasil Statistik Regresi r R ANOVA db JK KT F-hit Regresi Sisa Total Koefisien Galat Baku t-hit Nilai-p Intersep Ketertarikan terhadap Mangrove Ketertarikan terhadap Terumbu Karang E-10 LnQ = LnM LnT r mangrove = R 2 mangrove = r terumbu karang = R 2 terumbu karang = Rumus : r = n XY X Y ( n X ( X ) ) n Y ( Y ) 2 ( ) R 2 = (r) 2

162 147 Lampiran 12. Hasil Perhitungan Penawaran Wisata Operator Jumlah wisatawan yang dilayani (orang) Biaya Operasional (US $) Biaya Investasi (US $) Desa Adat PT. Shorea Barito Wisata PT. Trimbawan Swastama Sejati PT. Disti Kumala Bahari Operator Jumlah wisatawan yang dilayani (Ln Q) Biaya Operasional (Ln BO) Biaya Investasi (Ln BI) Desa Adat PT. Shorea Barito Wisata PT. Trimbawan Swastama Sejati PT. Disti Kumala Bahari Hasil Statistik Regresi r R ANOVA db JK KT F-hit Regresi Sisa Total Koefisien Galat Baku t-hit Nilai-p Intersep Biaya Operasional Biaya Investasi LnQ = LnBO LnBI r BO = R 2 BO = r BI = R 2 BI = Rumus : r = n XY X Y ( n X ( X ) ) n Y ( Y ) 2 ( ) R 2 = (r) 2

163 148 Lampiran 13. Hasil Perhitungan Travel Cost Method (TCM) Negara Jumlah kunjungan (Ln Q) Biaya Perjalanan (LnTC) Pendapatan Individu (LnI) Jarak (LnD) Kondisi dan potensi SDA (LnCE) Harga wisata (LnP) Perancis Jerman Belanda Jepang Australia USA Taiwan Swiss Italia Hasil Statistik Regresi r R ANOVA db JK KT F-hit Regresi Sisa Total Koefisien Galat Baku t-hit Nilai-p Intersep Biaya Perjalanan Pendapatan Jarak Kondisi dan Potensi SDA Harga Wisata LnQ = LnTC LnI LnD LnCE LnP r TC = R 2 TC = r I = R 2 I = r D = R 2 D = r CE = R CE = r P = R 2 P = Rumus : r = n XY X Y ( n X ( X ) ) n Y ( Y ) 2 ( )

164 149 Lampiran 14. Hasil Perhitungan Contingent Valuation Method (CVM) Negara Kesediaan membayar Pendapatan Pendidikan Ketertarikan thd (LnWTP) (LnI) (LnE) SDA (LnAE) Perancis Jerman Belanda Jepang Australia USA Taiwan Swiss Italia Hasil Statistik Regresi r R ANOVA db JK KT F-hit Regresi Sisa Total Koefisien Galat Baku t-hit Nilai-p Intersep Pendapatan Pendidikan Ketertarikan thd SDA Ln WTP = LnI LnE LnAE r I = R 2 I = r E = R 2 E = r AE = R AE = Rumus : r = n XY X Y ( n X ( X ) ) n Y ( Y ) 2 ( ) R 2 = (r) 2

165 150 Lampiran 15. Hasil Perhitungan Analisis Penawaran > lna:=b0+b2*rata_ln(x2); lna := > a:=exp(lna); a := > b:=b1; b := > f(q):=(q/a)^(1/b); f( Q) := Q > Supply:=diff(f(Q),Q); Supply := Q > plot(supply,q= ); Y P (harga) X Q (jumlah wisatawan) Kurva penawaran ekowisata di kawasan Pulau Menjangan

166 151 Lampiran 16. Hasil Perhitungan Analisis Permintaan >lna:=b0+b2*rata_ln(x2)+b3*rata_ln(x3)+b4*rata_ln(x4)+b 5*rata_ln(X5); lna := > a:=exp(lna); a := > b:=b1; b := > demand:=(q/a)^(1/b); demand := Q > plot(demand,q= ); Y P (harga) X Q (jumlah wisatawan) Kurva permintaan ekowisata di kawasan Pulau Menjangan > U:=int(demand,Q=0..Vrata); U n > P:=(Vrata/a)^(1/b); P n > C:=P*Vrata; > CS:=U-C; C n CS n > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L; Nilai_Ekonomi n

167 152 Lampiran 17. Hasil Perhitungan Analisis Keseimbangan Supply Demand > plot({demand,supply},q= ); Y P (harga) Q (jumlah wisatawan) X Kurva keseimbangan ekonomi wisata di kawasan Pulau Menjangan > demand=supply; Q = Q > PE:=1050; PE := 1050 > QE:=23046; QE := > U:=int(demand,Q= ); U := > CE:=PE*QE; CE := > CSE:=U-CE; CSE := > Nilai_Ekonomi:=CSE*N/L; Nilai_Ekonomi n

168 153 Lampiran 18. Nilai Scenic Beauty Estimation (SBE) per-stasiun Pengamatan Foto Lokasi Nilai SBE Nilai SBE per-foto per-stasiun 1 Pos I Pos II Dermaga Pura Bat Cave Dermaga Utara Pura Eel Garden Mangrove Mangrove Mangrove Mangrove Mangrove Sumber: Data Primer diolah (2008)

169 154 Lampiran 19. Foto Karakter Seascape Kawasan Pulau Menjangan foto 1 foto 2 foto 3 foto 4 foto 5 foto 6 foto 7 foto 8 foto 9 foto 10 foto 11 foto 12

170 155 Lampiran 20. Foto Karakter Landscape Kawasan Pulau Menjangan foto 13 foto 14 foto 15 foto 16 foto 17 foto 18 foto 19 foto 20 foto 21 foto 22

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Kekayaan alam ini, hampir merata terdapat di seluruh wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *)

PENGERTIAN DAN KONSEP DASAR EKOWISATA. Chafid Fandeli *) Ekowisata, ekoturisme, ecotourism Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam Pengertian Konservasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam Pengertian Konservasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Sumber daya Alam 2.1.1. Pengertian Konservasi Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan adalah melalui pengembangan kegiatan wisata bahari. Berbicara wisata bahari, berarti kita berbicara tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil Definisi pulau menurut UNCLOS (1982) dalam Jaelani dkk (2012) adalah daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi

Lebih terperinci

STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID

STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID 090302034 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 STUDI POTENSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan membentang antara garis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI VALUASI EKONOMI EKOSISTEM TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA RETNO ANGGRAENI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam

BAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

Gambar 3 Lokasi penelitian.

Gambar 3 Lokasi penelitian. . METODOLOGI PENELITIAN.. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 8 yang berlokasi di Pulau Menjangan dan Teluk Terima dalam area Taman Nasional Bali Barat,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (http://www.indonesia.travel).

BAB I PENDAHULUAN. sebagai peringkat kedua Best of Travel 2010 (http://www.indonesia.travel). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan daerah tujuan wisata terdepan di Indonesia. The island of paradise, itulah julukan yang disandang Pulau Dewata. Siapa yang tidak tahu Bali, sebagai primadona

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa produk jasa lingkungan yang manfaatnya secara langsung bisa di rasakan

BAB I PENDAHULUAN. berupa produk jasa lingkungan yang manfaatnya secara langsung bisa di rasakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam dengan berbagai manfaat baik manfaat yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung berupa produk jasa lingkungan yang

Lebih terperinci

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan Deskripsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

Kawasan Konservasi Perairan SRI NURYATIN HAMZAH

Kawasan Konservasi Perairan SRI NURYATIN HAMZAH Kawasan Konservasi Perairan SRI NURYATIN HAMZAH DESKRIPSI SINGKAT MATERI Materi ini menjelaskan mengenai kawasan konservasi perairan sebagai kawasan yang dilindungi untuk keberlanjutan sumberdaya perikanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI

KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI KAJIAN POTENSI KAWASAN PESISIR BAGI PENGEMBANGAN EKOWISATA DI SEKOTONG, KABUPATEN LOMBOK BARAT - NTB ARTIKA RATNA WARDHANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari cengkeraman krisis ekonomi.

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dengan keanekaragaman sumberdaya hayatinya yang tinggi dijuluki megadiversity country merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar dan

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21 perhatian terhadap pariwisata sudah sangat meluas, hal ini terjadi karena pariwisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara-negara

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (terpanjang ke empat di Dunia setelah Canada,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun notabene memiliki banyak keterbatasan, sudah mulai dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON

PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON 84 PENILAIAN EKONOMI WISATA BAHARI DI PULAU MOROTAI, KABUPATEN HALMAHERA UTARA PROVINSI MALUKU UTARA MUHAMMAD M BANAPON SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 85 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang

cenderung akan mencari suasana baru yang lepas dari hiruk pikuk kegiatan sehari hari dengan suasana alam seperti pedesaan atau suasana alam asri yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati dan dikenal sebagai salah satu negara megabiodiversitas terbesar

Lebih terperinci

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR

BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP ATRAKSI WISATA PENDAKIAN GUNUNG SLAMET KAWASAN WISATA GUCI TUGAS AKHIR Oleh : MUKHAMAD LEO L2D 004 336 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk

BAB I PENDAHULUAN. dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan pengenalan dan pemasaran produk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kepariwisataan pada umumnya diarahkan sebagai sektor potensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan daerah, memberdayakan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia merupakan makhluk visual. Pendapat ini muncul seiring dengan dimulainya gerakan untuk melakukan simulasi visual guna menilai baik buruknya keputusan terhadap

Lebih terperinci