BUKU AJAR MATA KULIAH KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BUKU AJAR MATA KULIAH KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA"

Transkripsi

1 BUKU AJAR MATA KULIAH KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA Buku Ajar ini sebagai salah satu realisasi Kegiatan PPKPS Departemen Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Dr. Muhammad Hasyim, M.Si. DEPARTEMEN SASTRA BARAT ROMAN FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS HASANUDDIN 2016 i

2 KATA PENGANTAR Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas dalam proses pembelajaran bagi peserta didik di perguruan tinggi adalah mengembangkan bahan ajar. Bahan ajar atau Buku ajar adalah materi pembelajaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan belajar pada mata kuliah tertentu untuk keperluan proses pembelajaran. Buku ajar disusun dengan mengacu kompentensi utama dan pendukung serta strategi pembelajaran yang akan dicapai pada mata kuliah. Perubahan Kurikulum 1994 menjadi KBK akan membawa konsekuensi pada perubahan pelaksanaan proses pembelajaran di kelas (Depdiknas, 2003: 9). Salah satu konsekuensi dari perubahan kurikulum KBK adalah pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas difokuskan pada pengembangan kompetensi setiap peserta mata kuliah. Artinya setiap peserta didik akan mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan latihan mengembangkan kompetensi di setiap mata kuliah, sehingga kompetensi itu dikuasai dan menjadi kebiasaan berpikir dan bertindak yang dilakukan secara konsisten. Dengan penekanan proses pembelajaran kepada pengembangan kompetensi setiap individu siswa, penyusunan buku ajar sebagai sistem pembelajaran merupakan jawaban penerapan KBK. Dalam hal ini buku ajar merupakan pegangan belajar yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang direncanakan serta dirancang secara sistematis untuk membantu mahasiswa mencapai tujuan belajar yaitu menguasai kompetensi yang telah ditetapkan. Kajian Budaya dan Media adalah mata kuliah yang membahas teori-teori budaya dan media yang dikemukakan dari berbagai tokoh dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam mengkaji fenomena-fenomena budaya dan media baik dalam realitas kehidupan sosial maupun dalam realitas media (budaya media). Penyusunan dan penggunanaan buku ajar pada mata kuliah ini adalah dapat mengarahkan mahasiswa untuk memahami, menjelaskan dan menerapkannya dalam analisis budaya dan media. Dengan penerapan materi pembelajaran dalam buku ajar, diharapkan mahasiswa memiliki kompetensi mengakaji teks-teks budaya dan media, khususynya yang sedang issu-issu kekeinian. Pencapaian kompetensi penerapan teori dalam analisis teks-teks budaya dan media bagi mahasiswa adalah sejalan dengan kompetensi utama Departemen Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Makassar, Oktober 2016 Dr. Muhammad Hasyim, M.Si. ii

3 DAFTAR ISI Hal Sampul i Kata Pengantar ii Daftar Isi iv Pertemuan ke 1: Pengantar Kajian Budaya dan Media 1 Pertemuan ke 2: Wilayah Kajian Budaya dan Media 12 Pertemuan ke 3 dan 4: Semiotika, Analisis Tekstual Budaya dan Media 16 Pertemuan ke 5: Analisis Tekstual: Teori Narasi 23 Pertemuan ke 6: Analisis Tekstual: Teori Narasi 26 Pertemuan ke 7: Etnografi dalam Kajian Budaya dan Media 32 Pertemuan ke 8: Identitas Sosial 36 Pertemuan ke 9: Ideologi 40 Pertemuan ke 10 dan 11: Budaya Media 44 Pertemuan ke 12 dan 13: Budaya Konsumsi 56 Pertemuan ke 14: Simulacra 66 Daftar Pustaka 69 iii

4 1 PERTEMAN KE-1 PENGANTAR KAJIAN BUDAYA DAN MEDIA Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas konsep dasar studi budaya dan media serta ruang lingkup pengkajian/penelitian budaya dan media Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan konsep dasar dan ruang lingkup pengkajian budaya dan media. 1. Studi-studi Budaya dan Media Cultural Studies atau kajian budaya merupakan bidang yang majemuk dengan perspektif dan produksi teori yang kaya dan beraneka ragam. Dalam ranah keilmuan para pengkaji budaya meyakini bahwa tidaklah mudah untuk menentukan batas-batas dan wilayahwilayah kajian budaya secara khas dan komprehensif, terlebih ditengah perkembangan globalisasi diberbagai bidang dimana batasan-batasan kultural, politik, dan ekonomi semakin kabur, selain juga karena wilayah kajian budaya bersifat multidisipliner/interdisipliner atau pascadisipliner sehingga mengaburkan batas-batas antara kajian budaya dengan subyek-subyek lain. Suatu arena interdisipliner dimana perspektif dari disiplin yang berlainan secara selektif dipergunakan dalam rangka menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi atas kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, khususnya kelas, gender, dan ras, dengan demikian Cultural Studies adalah suatu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memadang produksi pengetahuan teoritis sebagai praktik politik. Di sini, pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, melainkan soal posisionalitas, soal dari mana orang berbicara, kepada siapa, dan untuk tujuan apa? Maka merupakan pekerjaan rumit dan butuh keseriusan yang mendalam untuk dapat menguraikan kajian budaya secara komprehensif, apalagi menentukan wilayah pokok penyelidikan intelektual dan argumenargumen utamanya. Permasalahan inilah yang coba dipaparkan dan dijawab oleh Chris Barker, ia ingin menguraikan secara komprehensif tentang kajian budaya, termasuk ringkasan dan pembahasan mengenai argumen-argumen utama dan wilayah-wilayah pokok penyelidikan intelektualnya. Bagi Barker menguraikan kajian budaya secara komprehensif berarti melakukan kontruksi terhadap kajian budaya. Melakukan konstruksi dalam hal ini dimaknai dengan mereproduksi dan mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan kajian budaya, baik berupa teks-teks tentang kajian budaya maupun teori-teori yang layak disebut sebagai kajian budaya atau yang mempengaruhi kajian budaya. Dalam menguraikan dan membahas kajian budaya Barker menggunakan versi yang benar-benar berbeda dibanding dengan para pengkaji budaya lainnya. Ia lebih memusatkan diri pada teori-teori pascastrukturalisme terutama tentang bahasa, representasi, makna, dan subyektivitas. Tidak seperti kajian budaya versi lainnya yang lebih banyak berkutat pada wilayah etnografi, peristiwa-peristiwa hidup, atau kebijakan budaya. Barker menggunakan tiga kategori untuk menguraikan kajian budaya versinya yaitu menentukan dan mengkaji dasar-dasar kajian budaya, perubahan konteks kajian budaya, dan situs-situs kajian

5 budaya. Menurut Barker melakukan Kajian Budaya berarti mengkaji kebudayaan sebagai praktik-praktik pemaknaan dalam konteks kekuasaan sosial, dengan mengajukan berbagai pertanyaan mengenai pemaknaan yaitu bagaimana peta-peta makna diciptakan dalam kebudayaan? yang kemudian menjadi sekumpulan praktik pemaknaan, melacak maknamakna apa saja yang didistribusikan? oleh siapa? untuk siapa? dengan tujuan apa? dan atas kepentingan apa?. Sementara dalam ranah praktiknya kajian budaya berpusat pada tiga pendekatan: - Pertama: Etnografi, yang sering dikaitkan dengan pendekatan-pendekatan kulturalis dan penekanan pada pengalaman hidup sehari-hari. - Kedua: pendekatan tekstual, yang cenderung mengambil dari semiotika, pasca strukturalisme, dan dekonstruksi derridean. - Ketiga: kajian resepsi, yang akar teoritisnya bersifat eklektik. Etnografi merupakan pendektan empiris dan teoritis yang diwarisi dari antropologi yang berusaha membuat deskripsi terperinci dan analisis kebudayaan yang didasarkan atas kerja lapangan secara intensif. Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir. Cultural Studies etnografis terpusat pada eksploitasi kualitatif tentang nilai dan makna dalam konteks cara hidup, yaitu pertanyaan tentang kebudayaan, dunia-kehidupan, dan identitas. Pendekatan tekstual, menggunakan tiga cara analisis yaitu : semiotika, teori narasi, dekonstruksionisme. Semiotika mengeksplorasi bagaimana makna yang terbangun oleh teks didapat melalui penataan tanda dengan cara tertentu dan melalui penggunaan kode-kode budaya, analisis tersebut banyak mengambil ide dari ideologi, atau mitos teks. Narasi adalah penjelasan yang tertata urut yang mengklaim sebagai rekaman peristiwa. Narasi merupakan bentuk terstruktur dimana kisah mengungkapkan penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Dekonstruksionisme diasosiasikan sebagai pelucutan yang dilakukan Derrida atas oposisi biner dalam filsafat barat, mendekonstruksi berarti ambil bagian, membongkar kembali, demi menemukan dan menampilkan asumsi suatu teks. Tujuan dekonstruksi bukan hanya membalik urutan oposisi biner tersebut, melainkan juga menunjukkan bahwa mereka saling berimplikasi, saling berhubungan satu sama lain. Dekonstruksi berusaha menampakkan titik-titik kosong teks, asumsi yang tak dikenal yang melandasi gerakan sistem kerja mereka. Kajian resepsi / kajian konsumsi, menyatakan bahwa apapun yang dilakukan analisis makna tekstual sebagai kritik 2

6 masih jauh dari kepastian tentang makna yang teridentifikasi yang akan didapat oleh pembaca / audien / konsumen, dimana audien merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks. Menurut Barke, r kajian budaya memberi perhatian khusus terhadap budaya, dimana budaya sangatlah erat kaitannya dengan makna-makna sosial yang dimunculkan lewat tanda yang disebut bahasa. Bahasa berperan memberi makna pada objek-objek material dan praktik sosial yang menjadi tampak bisa dipahami karena adanya bahasa, dan proses produksi makna ini kemudian disebut dengan praktik-praktik pemaknaan. Sementara dalam representasi, kajian budaya berhadapan dengan pertanyaan mengenai bagaimana dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial. Untuk mengetahui secara teoritis bagaimana hubungan antar komponen dalam sebuah formasi sosial kajian budaya menggunakan konsep artikulasi. Dimana kekuasaan menjadi alat yang menentukan tingkat sebuah hubungan sosial. Teks dan pembaca dalam kajian budaya tidak hanya dimaknai sebatas teks-teks tertulis, walaupun ini juga bagian kajian budaya namun pada seluruh praktik pemaknaan yang disebut dengan teks-teks kultural seperti citra, bunyi, benda, aktivitas, dan sebagainya karena hal itu dianggap juga mengandung sistem-sistem yang sama dengan mekanisme bahasa. Selain itu identitas juga menjadi konsep kunci dalam kajian budaya, dengan identitas kajian budaya berusaha mengeksplorasi diri kita kini, bagaimana diproduksi sebagai subjek, bagaimana subyek tersebut diidentifikasi dengan melakukan penilaian baik bersifat fisik maupun lainnya seperti melalui gender, ras, usia, mapun warna kulit. Serta masih banyak konsep-konsep teoritis lainnya seperti permainan bahasa, politik, posisionalitas, formasi sosial dan sebagainya yang semua itu digunakan dalam kajian budaya untuk menjelajahi dan mengintervensi dunia sosial. Ide-ide yang bersifat filosofis juga menjadi sorotan Barker dalam kajian budaya, dalam ranah Marxisme misalnya kajian budaya telah tertarik dan belajar banyak dari isu-isu tentang struktur, praksis, determinisme, ekonomi, dan ideologinya. Dimana kajian budaya memiliki kesamaan dengan marxisme dalam hal semangat melakukan perubahan dengan kendaraan manusia lewat teori dan aksi. Kajian budaya juga mengambil pelajaran dari kapitalisme pada keberhasilan kapitalisme, transformasi, dan ekspansinya yang diraih atas kemenangannya dalam pertarungan kesadaran dalam ranah kebudayaan. Sementara strukturalisme dan kulturalisme dipakai dalam kajian budaya untuk meneropong pertanyaan-pertanyaan mengenai budaya, ideologi, dan hegemoni. Pada Pasca strukturalisme kajian budaya menganut idenya mengenai makna yang bersifat labil selalu berproses, bersifat intertekstualitas, tidak terbatas pada makna atau teks tertentu. Dan menentang adanya struktur dalam membentuk sebuah makna sebagaimana diyakini kaum strukturalisme. Selain ide-ide filosofis itu Barker juga memaparkan adanya perubahan dan perkembangan konteks dalam kajian budaya, terutama perkembangan pandangan manusia, masyarakat dan dunia sosial dari dunia moderen menuju postmoderen. Secara eksplisit dapat dikatakan bahwa Barker berusaha memaparkan konsep-konsep kunci dan teori-teori dalam kajian budaya secara tuntas menuju kajian budaya yang lebih komprehensif. maka membaca buku ini 3

7 kita akan diperkenalkan pada berbagai pengetahuan, teori, bahkan filsafat sekalipun yang semuanya berkaitan dengan kajian budaya. Meskipun kajian budaya tidak menerima legitimasi secara institusional atau bahkan menolak adanya pendisiplinan. Kajian budaya merupakan kajian yang menarik dan menantang terutama dalam memahami dunia yang senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan akal budi manusia. Buku ini paling tidak bisa menjadi acuan atau pengantar yang komprehensif, argumentative, dan otentik untuk memahami kajian budaya. Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies. Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life) sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realita (the social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat. Tugas cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi. Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian cultural studies terhadap masalah konstruksi sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya televisi namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran, majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan adalah perihal kaitan antararepresentasi dan media yang digunakan. Di samping itu, perspektif atau cara pandang cultural studies juga ditandai dengan adanya kesadaran tentang kehadiran relasi kuasa (power relations) tak berimbang di antara para pelaku budaya, yang terwujud melalui relasi kuasa ekonomis, politis, ideologis, keagamaan, pendidikan, magis; di samping jasmaniah. Perhatian cultural studies terutama diberikan pada kelompok atau individu pelaku budaya yang terpinggirkan (marginalized), yang suaranya tidak didengarkan, yang kehadirannya diabaikan. Berkaitan dengannya, beberapa konsep terpenting dalam pendekatan konstruksi sosial atas realita adalah hegemoni dan identitas. Selanjutnya pemihakan pada yang terpinggirkan membawa cultural studies pada pemikiran, strategi dan praktik resistensi. Dalam hal metodologi, cultural studies secara garis besar ditandai dengan gabungan antara metode dekonstruktif (mengurai unsur-unsur pembentuk struktur) dengan analisis teksutal (membedah struktur teks/bentuk ekspresi), metode etnografi (penggambaran rinci berdasarkan 4

8 kacamata pemilik budaya), analisa respesi (komunikasi dipahami sebagai peristiwa interaktif antara sender dan reseptor yang dijembatani oleh media tertentu dalam konteks tertentu), dan meletakkan teori pada tingkatan praxis ( teori yang dipraktikkan theory of practice). 2. Konsep-konsep dasar kajian budaya dan Media Istilah budaya tentunya merupakan sebuah istilah yang masih diperdebatkan dengan berbagai makna dalam bermacam konteks dan wacana. Dalam konteks semiotik, budaya dapat dipandang sebagai ringkasan atas kegiatan simbolis yang terarah, dilakukan bersama-sama oleh semua anggota masyarakat, dapat dipelajari dan diajarkan dan disalurkan ke semua anggota masyarakat, serta dapatdigunakan oleh sebuah kelompok masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, demikian menurut definisi yang diberikan oleh Juri Lotman. Culture is the generator of structuredness [and] the nonhereditary memory of the community (Budaya adalah generator ketersusunan [dan] peninggalan dari komunitas yang tidak diberikan secara turun temurun (Lotman). (Juri Lotman, Universe of the Mind: A Semiotic Theory of Culture, 1990, p. xiii ). Makna, nilai, dan arti beredar dalam bahasa urutan kedua (lambang, nilai, gambar, cerita, mitos) yang menggunakan, baik bahasa biasa (bahasa asli seseorang) maupun sistem tanda lainnya seperti kesan visual, media massa, dan teknologi informasi. Berbagai macam cara yang ditujukan untuk menyalurkan semua arti yang tersimpan atau yang terpakai oleh semua anggota masyarakat terikat dalam konteks yang termediasi. Hal yang termasuk dalam Budaya Popular: nilai-nilai yang berasal dari periklanan, industri hiburan, media dan ikon mode, fashion dan menargetkan masyarakat umum. Norma-norma atau nilai-nilai ini berbeda dari norma yang berasal dari lembaga-lembaga yang bersifat tradisional, politis, berpendidikan atau agamis. Pada tahun 1980an dan 1990an, beberapa ahli antropologi beralih pada sudut pandang penafsiran atas budaya yang bahkan bersifat lebih radikal, yang secara umum dikenal sebagai posmodernisme. Posmodernisme mempertanyakan apakah sebuah pemahaman objektif terhadap budaya lain juga memungkinkan. Pemahaman ini berkembang sebagai sebuah reaksi atas modernism, yang merupakan pendekatan ilmiah dan rasional terhadap pemahaman atas dunia yang ditemukan dalam sebagian besar etnografis. Ahli antropologi postmodern menyatakan bahwa semua orang membentuk budaya melalui proses terus menerus yang mewakili proses menulis, membaca dan menafsirkan sebuah teks. Dari sudut pandang inilah, orang selanjutnya menciptakan dan saling memperdebatkan makna dari semua aspek budaya, seperti kata-kata, ritual dan konsep-konsep. Masyarakat Amerika Serikat, misalnya, mengalami perdebatan panjang atas masalah-masalah budaya seperti apa yang membentuk sebuah keluarga, bagaimana seharusnya peranan wanita dan pria dalam masyarakat dan fungsi apa yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah federal. Banyak ahli antropologi sekarang ini mengkaji dan menulis tentang pertanyaan-pertanyaan ini, bahkan dalam masyarakat mereka sendiri. Teori Budaya Istilah ini telah digunakan untuk membedakan usaha-usaha membuat konsep dan memahami dinamisnya budaya. Secara historis, usaha-usaha ini telah melibatkan perdebatan 5

9 6 tentang hubungan antara budaya dan alam, budaya dan masyarakat (termasuk proses sosial material), keretakan antara budaya tinggi dan budaya rendah, dan hubungan saling mempengaruhi antara tradisi budaya, pertikaian budaya dan perbedaan. Teori budaya juga telah ditandai oleh perjanjian dengan konsep yang telah sering digunakan untuk menutupi beberapa latar belakang yang sama yang ditandai dengan gagasan budaya itu sendiri. Yang menonjol disini adalah konsep ideology dan kesadaran (khususnya bentuk-bentuk kolektifnya). Karya-karya Raymond Williams (The Long Revolution, 1961) dan E.P. Thompson (The Making of the English Working Class, 1963) khususnya sangat berpengaruh dalam perkembangan teori budaya Inggris pasca perang. Penekanan William pada budaya sebagai keseluruhan cara hidup dan penekanan Thompson atas budaya sebagai cara yang digunakan kelompok untuk menangani materi sosial yang mentah dan keberadaan materi telah membuka cara-cara berpikir baru tentang budaya khususnya dalam melepaskan konsep dari kesusastraan sempit dan referensi estetik. Baik William maupun Thompson, keduanya mengkaji dimensi budaya yang dihidupkan dan proses kolektif dan aktif dalam menciptakan jalan hidup yang penuh makna. Pembacaan budaya seperti ini (dimana budaya adalah segala sesuatu yang muncul dan ada dalam kehidupan kita termasuk budaya populer) dikembangkan oleh Thompson dan Williams kemudian jelas-jelas ditantang oleh penafsiran ahli strukturalis lain. Penafsiran ini menekankan struktur lambang eksternal budaya, sebagaimana yang diwujudkan dalam bahasabahasa dank ode-kode budaya, daripada bentuk nyata dari lambang tersebut. Dalam rumusan ini, budaya dapat dibaca sebagai sistem pemberian lambang melalui dunia sosial yang dipetakan. Versi ahli strukturalis tentang teori budaya juga secara tegas dikatakan dalam versi Louis Althusser tentang Marxisme. Althusser menawarkan sebuah gubahan atas teori Marxist tentang ideologi yang memberikan lingkup lebih besar terhadap keampuhan dunia ideologi. Dia menekankan khususnya pada otonomi yang bersifat nisbi (relative) di bidang budaya atau ideologi sambil berpegang pada prinsip yang akhirnya menentukan karakter hubungan ekonomi dan proses. Perhatian atas pengakuan terhadap keampuhan praktik-praktik budaya dalam karya tulis Althusser selanjutnya dikembangkan dalam teori budaya dengan penyesuaian atas ide-ide milik Antonio Gramsci. Karya Gramsci membuka cara-cara baru dalam mengkonseptualisasikan peran budaya dan praktik budaya dalam pembentukan dan persekutuan kelas dan, khususnya, menambah bobot peranan budaya dalam melindungi bentuk-bentuk kepemimpinan dan otoritas moral dan politik (hegemoni). Pengaruh ide-ide Gramsci dianggap penting, khususnya dalam membantu teori budaya mengatasi kebuntuan yang tercipta karena adanya ketegangan antara sudut pandang ahli budaya dan strukturalis yang bersaing pada tahun 1970an. Ketika pentingnya ide Gramsci telah pudar dalam teori budaya, saat itulah ide Michel Foucault berkembang. Kekuatan sentral dari pengaruh Foucault adalah membentuk suatu pemahaman atas bahasa budaya yang lebih bersifat diskursif (didasarkan pada pemikiran analitis) dan hubungan satu sama lain antara kekuasaan dan representasi. Pengaruh Foucault juga nampak dalam perdebatan

10 tentang karakter spesifik budaya menurut sejarah dan perkembangannya baik sebagai objek atau alat pemerintahan. Hubungan saling mempengaruhi antara ras, etnis dan budaya juga muncul sebagai sebuah perhatian utama pada teori budaya kontemporer. Hal ini sering melalui kritik atas bentuk-bentuk etnisitas yang diambil dalam tradisi teori budaya masyarakat Inggris yang dihubungkan dengan Williams dan Thompson atau seperti istilah yang diberikan Paul Gilroy yaitu daya tarik tak wajar terhadap hal-hal yang berkaitan dengan Inggris. Daya tarik ini juga memberi tantangan berupa nasionalisme baru dari konsepsi budaya yang menghubungkannya pada wilayah nasional tertentu. Dalam hal ini, para penulis seperti Gilroy malah menekankan pada pergerakan transnasional dan pencampuran budaya. Pernyataan Gilroy terhadap Atlantis Hitam menunjukkan sebuah usaha untuk membayangkan proses budaya di luar batasan yang ditentukan oleh konsepsi budaya yang dibatasi secara nasional. Dalam pengertian ini, konsepsi ini lebih lazim dihubungkan dengan paham orientalis karya Edward Said, yang tidak hanya mengkaji kedinamisan internal tapi juga faktor-faktor eksternal dari budaya. Menurut paham orientalis Said (1978), konsepsi ke-barat-baratan dari budaya dan peradaban digambarkan sebagai konsepsi yang telah dibentuk terhadap sebuah proses penamaan dan mengesampingkan paham Oriental secara simbolis. Para penganut paham feminis juga menekankan pengaruh penting teori budaya saat ini. Hal yang nampaknya besar disini adalah hubungan saling mempengaruhi antara paham feminis dan psikoanalisis. Hal ini telah menyebabkan banyak diskusi tentang cara-cara dimana identitas gender dibentuk dalam bahasa budaya dan melalui praktik-praktik budaya. Karya terkini berupa memori, fantasi dan penampilan gender khususnya hanya bersifat sugestif. Salah satu aliran teori budaya kontemporer adalah pendapat bahwa kehidupan sosial terutama dibentuk oleh budaya. Sehingga budaya bukanlah sebuah kumpulan artefak atau arsip perkembangan namun lebih kepada, seperti yang ditulis oleh Antonio Gramsci, sebuah arena persetujuan dan perlawanan (Stuart Hall, Dekonstruksi, hal. 239) terhadap bentuk kehidupan sosial. Teori budaya kontemporer telah memperluas pemahaman terhadap budaya melampaui paham universalis, dan oleh karena itu, andaikata asumsi para kaum elit dan kesimpulan hegemoni normative tentang budaya dan malah terfokus pada budaya sebagai artikulasi dan aktifasi makna (Storey, 1998: xiii) atas dasar bahwa hal ini merupakan wacana yang terutama memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mendefinisikan realitas sosial (xii). Makna dalam sebuah budaya yang melindungi dan menentang susunan sosial yang dominan dianggap membohongi sebagaimana yang disebut Michel de Certeau sebagai hasil kedua (xiii), lebih pada bidang konsumsi daripada bidang ekonomi dari proses produksi. Dalam artian, konsumen lah yang mempengaruhi hasil penggunaan (xiii) makna (pengertian) budaya yang menentukan realita sosial. Sungguh begitu banyak yang terfokus pada praktek-praktek konsumsi dan identifikasi menjadi berpusat pada proyek kajian budaya (xi) sehingga hanya beberapa orang saja yang sekadar berpendapat bahwa kajian budaya dapat digambarkan mungkin secara lebih akurat sebagai kajian ideologi (James Carey qtd. Dalam Storey xii). Fokus kajian budaya pada kekuatan penting dari wacana untuk menjelaskan realitas sosial telah mengalihkan 7

11 perhatian kajian budaya dari hubungan sosial yang lebih luas terhadap produksi yang membentuk ideology dan konsumsi dan nyatanya juga menentukan kenyataan sosial, menjadi sebuah teori pasar tentang budaya yang meningkatkan penggunaan secara berlebihan dan penunjukan ulang komoditas budaya sehingga dalam melaksanakan hal ini perlu mengadakan perubahan bentuk subjek tenaga kerja (buruh) menjadi subjek konsumsi yang, jauh dari campur tangan ke dalam modal global, mendukungnya lewat hasrat menahan dan aksi menentang konsumsi. Dengan kata lain kajian budaya bersandar pada asumsi bahwa konsumsi menentukan produksi daripada cara lain disekitarnya. Sehingga, gaya hidup masyarakat (yang menjadi cara lain dalam menunjukkan komoditas yang mereka konsumsi dan bagaimana mereka mengkonsumsinya) dianggap lebih penting, dalam hal ini, daripada hubungan tenaga kerja yang harus mereka masuki sebagai kondisi awal yang dibutuhkan pada proses konsumsi. Pendapat semacam ini menyimpulkan bahwa penanda dan keyakinan yang menempatkan seseorang dalam budaya sebagai pria dan wanita, orang kulit hitam, bangsa Latin, homo, merupakan faktor yang lebih penting yang menunjukkan identitas mereka. Sehingga asumsi bahwa konsumsi lebih penting dibanding produksi yang secara tetap membentuk teori budaya sejak tahun 1960an telah menjadi pengertian umum baik pada teori budaya maupun budaya harian itu sendiri. Perubahan teknologi yang pesat pada beberapa dasawarsa terakhir ini telah mengubah sifat dasar budaya dan pertukaran budaya. Masyarakat di seluruh dunia dapat melakukan transaksi ekonomi dan saling mengirimkan informasi satu sama lain hampir sseketika itu juga dengan menggunakan komputer dan satelit komunikasi. Pemerintah dan perusahaan telah memperoleh kekuasaan besar lewat kekuatan militer dan pengaruh ekonomi. Perusahaan perusahaan juga telah menciptakan sebuah bentuk budaya global berdasarkan pasar-pasar yang bersifat komersial di seluruh dunia. Budaya lokal dan struktur sosial sekarang ini dibentuk dengan minat yang kuat dan luas, dengan cara-cara yang bahkan para ahli antropologipun belum pernah mampu membayangkannya. Ahli antropologi sebelumnya berpikir bahwa masyarakat dan budaya mereka merupakan sistem yang benar-benar berdiri sendiri. Namun sekarang, banyak bangsa yang menjadi masyarakat multi budaya, yang terdiri atas berbagai subkultur (subbudaya) yang lebih kecil. Budaya juga melintasi batasan Negara. Misalnya, orang-orang di seluruh dunia saat ini tahu beebagai kata-kata dalam bahasa Inggris dan berhubungan dengan ekspor budaya Negara Amerika seperti merk pakaian dan produk tenologi, film maupun music, serta makanan yang diproduksi besar-besaran. Industri Budaya Horkheimer dan Adorno (1976) berpendapat bahwa gagasan budaya saat ini telah berkembang menjadi industri yang aktif, yang berkembang sesuai dengan tren ekonomi. Mereka khususnya mengamati bahwa produksi barang secara besar-besaran merupakan sebuah sarana kepuasan terhadap kebutuhan yang akibatnya memberikan kendali kekuasaan terpusat dan manipulasi terhadap seseorang. Penggandaan pilihan yang disediakan bagi konsumen memperkuat suatu keyakinan bahwa tiap-tiap kebutuhan dapat dipenuhi (dipuaskan) dengan sebuah produk tertentu, dengan menciptakan sebuah kesadaran produsen untuk mengetahui dan 8

12 memenuhi kebutuhan konsumen melalui produk mereka. Produksi barang dalam jumlah besar diterjemahkan menjadi produksi ide besar-besaran, yang membuat budaya hanya sebagai sebuah industri yang menyokong perkembangan ideologi-ideologi orang-orang yang memegang kekuasaan atasnya. Horkheimer dan Adorno (1976) menggambarkan pemberian label atas gagasan-gagasan melalui paham konsumeris ini sebagai industri budaya. Proses terjadinya hal ini ditandai dengan beberapa faktor, yang kesemuanya menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki kuasa, namun hanya sedikit berkuasa, sedang beberapa pemimpin menjadi makin berkuasa. Industri budaya memiliki ciri utama sebagai sebuah monopoli; kendali atas pilihan konsumen jatuh di tangan kaum minor, kekuasaan terpusat. Secara ekonomis, kekuasaan ini dikenal sebagai elit perusahaan. Proses pembuatan makna, gagasan dan kesadaran melalui ketersediaan produk dan paham konsumeris produk mencerminkan minat pasar terhadap perusahaan. Dalam hal teknologi sebagai sarana dimana industri budaya berkembang sendiri, Horkheimer dan Adorno (1976) menyatakan dasar dari pernyataan bahwa teknologi berkuasa atas masyarakat adalah orang-orang yang berkuasa atas masyarakat, kemampuan ekonominya paling besar. (Horkheimer, M., & Adorno, T. W, 1976, : ). Penciptaan dan perluasan industri budaya ditentukan oleh kekuatan secara ekonomi. Selain itu, produk yang tersedia juga ditentukan oleh sedikitnya pilihan. Holzer (Holzer, B., 2006: ) membantah bahwa keyakinan konsumen pada diri sendiri berpengaruh terhadap produk yang tersedia di pasar, namun kenyataan yang nampak hanyalah diabadikan oleh kekuatan secara politis demi mempertahankan ilusi bahwa seseorang juga berpengaruh. Holzer menyatakan konsumen pada akhirnya hanya mempunyai hubungan sekunder dengan barang dan jasa yang mereka beli. Para konsumen bergantung pada orang lain yang menghasilkan komoditas untuk mereka dan oleh karenanya bergantung pada pilihan yang dibuat oleh produsen (hal. 405). Konsumen secara relatif tidak memiliki kuasa ketika dibandingkan dengan orang-orang yang benar-benar menghasilkan produk. Yang kedua, industri budaya memiliki ciri adanya produksi komoditas, yang berperan sebagai ungkapan atau perwakilan atas realita bagi konsumen. Seseorang menjadi pakar atau ahli minuman anggur atau opera juga seni kontemporer bukan karena tiap hal ini memperkaya dan memperluas cita rasa dan kepandaian mereka, namun lebih pada minat terhadap budaya yang mengesahkan sebuah gaya hidup tertentu yang dipandang sebagai hal yang sangat diinginkan. Horkheimer dan Adorno (1976) menjelaskan lebih lanjut tentang poin ini: Yang disebut dengan menggunakan nilai dalam menangkap komoditas budaya digantikan oleh pertukaran nilai; pada posisi kenikmatan, terdapat kunjungan galeri dan pengetahuan sesungguhnya: orang yang mengagungkan gengsi menggantikan pakar. Konsumen menjadi ideology industri plesir, yang kelembagaannya tidak bisa terelakkan. Budaya dan paham konsumeris dikawinkan menjadi sebuah proses, dimana komoditas memegang nilai hanya untuk perluasan bahwa komoditas tersebut mengesahkan status yang diinginkan oleh konsumen. Budaya popular sama dengan sebuah pabrik yang menghasilkan barang-barang budaya berstandard untuk memanipulasi rakyat menuju kepasifan; kenikmatan yang mudah dan tersedia lewat konsumsi budaya popular membuat rakyat menjadi patuh dan puas, tak peduli bagaimana 9

13 10 sulitnya keadaan ekonomi mereka. Horkheimer dan Adorno melihat budaya yang diproduksi secara besar-besaran ini sebagai berbahaya bagi seni budaya yang sedikit lebih tinggi dan sulit. Industri budaya dapat meyebabkan adanya kebutuhan yang salah, yaitu kebutuhan yang dibuat dan dipuaskan oleh paham kapitalis. Kebutuhan yang sebenarnya, sebaliknya, adalah kebutuhan akan kebebasan, kreativitas atau kebahagiaan sejati. Masyarakat disuguhi dengan ilusi sehingga budaya dan pilihan konsumen dikawinkan menjadi kesatuan tak terpisahkan dan akibatnya paham konsumeris melambangkan peluang untuk melatih paham individualis yang sesungguhnya. Kenyataan ini diamati di hampir semua situasi dimana sebuah produk berada. Google memberi contoh bagaimana pilihan seseorang dapat menciptakan aura individualitas sambil tetap menyokong kekuasaan terpusat sebuah perusahaan. Dan ketika iklan berusaha mengesahkan identitas budaya, iklan ini pun hampir tidak mungkin mampu dicurigai sebagai usaha mempromosikan agenda penganut paham fasis. Pada model Kajian Budaya, budaya merupakan sebuah bidang perselisihan dan persaingan kekuatan yang berasal dari ketidaksimetrisan bentuk kekuasaan, modal dan nilai. Kajian Budaya sebagai ilmu akademis telah dituduh sebagai proses mendematerialisasikan atau mengelompokkan isi media untuk membuat pesan politis dan ideologis menjadi objektif demi kepentingan analisis. Pendekatan ini seringkali selanjutnya dijadikan ciri sebagai sebuah akibat model analisis yang berfokus pada mekanisme para penganut paham kapitalis dan badan hukum terhadap penguasaan dan biasanya mengabaikan perantara dan aktivitas individu, kelompok dan cabang budaya yang berperan sebagai penerima dan pengguna media. Pendekatan Marxisme Budaya -nya Stuart Hall membangun model yang lebih kompleks berdasarkan perluasan teori hegemoni, ekonomi sosial memproses persetujuan perusahaan diantara kelas-kelas yang lebih rendah (masyarakat mampu-tidak mampu atau mampu-kurang mampu ) untuk menerima pandangan yang dikembangkan oleh kelas-kelas berpemilikan (masyarakat mampu). Menurut pandangan kajian budaya, media massa dan komunikasi khususnya membuat sandi (secara implicit pada awalnya dianggap sebagai konteks untuk makna) atas sebuah ideologi dominan yang dapat diterima masyarakat. Media akibatnya secara ideologis diberi kode sehingga memaksimalkan persetujuan kehendak konsumen dan kaun yang mampu-tidak mampu untuk bertahan pada program ini dan mengabadikan status quo dari distribusi kemakmuran dan kekuasaan. Hegemoni ideologi yang melindungi kelas yang memimpin dan berkepemilikan bukanlah masalah dari kekuatan, kekerasan atau manipulasi yang sengaja nampak. Hal ini berfungsi sangat baik karena hegemoni ini berdasarkan pada persetujuan kehendak dari orang-orang yang kurang memiliki kekuasaan dan kekayaan untuk menerima sebuah ideology yang dominan, demi melihat dunia dan berperilaku berdasarkan pandangan di atas. Contoh-contoh ideologi umum yang beredar di media dan melindungi kekuatan hegemonis: Kebebasan berbicara (sebagai sebuah keyakinan, saat beberapa orang memiliki kekuasaan atas apa yang mereka suarakan)

14 11 Individualitas (bagus untuk pemasaran, karena paham konsumeris membutuhkan presentasi berkelanjutan atas pilihan maupun identitas serta kebutuhan personal yang unik untuk melihat dan membeli seperti halnya orang lain dalam sebuah kelompok identitas) Kebebasan memilih (bagian dari keyakinan perseorangan, juga gagasan utama dalam pemasaran dan budaya konsumen: ideologi tempat belanja). Menurut pandangan hegemoni dan budaya, perilaku sosial sangat ditentukan oleh faktorfaktor identitas gandaseperti ras, kelas sosial, jenis kelamin dan kebangsaan, yang dilambangkan dalam hirarkis kekuasaan, kepentingan dan nilai ekonomis. Namun Hall dan pengamat lain seperti Dick Hebidge menunjukkan bahwa orang-orang memiliki banyak strategi berhubungan dengan keinginan media: bekerja dalam kode dominan, menggunakan sebuah kode yang dapat dirundingkan (meski menerima namun mengubah makna berdasarkan posisi penonton maupun komunitas penonton tersebut), atau mengganti kode yang berlawanan (dengan menggunakan kesadaran kritis, memusnahkan hal-hal yang membingungkan, ironis, subversi, drama, parody, seperti sampling DJ). Dalam hal ini, banyak cabang budaya dibentuk di sekitar kelompok yang menggunakan media, gambar dan musik yang menciptakan identitas dan perbedaan dari pendapat umum atau budaya yang dominan. Wilayah yang mungkin bagi Kajian Budaya/Budaya Populer/Budaya Kota: 1. Subkultur (subculture) 2. Gaya (style) 3. Budaya mode (fashion) 4. Budaya Berbelanja (shopping culture) 5. Budaya Selebritis dan Penggemar (celebrity and fandom) 6. Budaya Cyber (dunia maya) dan Paham Cyborgis (cyber culture and cyborgism) 7. Budaya dan Teknologi 8. Budaya Remaja Semakin susah sesuatu diproduksi ulang, maka sesuatu itu akan semakin dipuja dan dipertahankan. Sebagaimana budaya yang digunakan oleh paham kapitalis untuk mengendalikan kesadaran individu, oleh sebab itu budaya tersebut benar-benar di industrialisasi kan dan dijadikan komoditas. Seni dulu juga pernah dijadikan sebagai komoditas, menurut paham kapitalis seni secara keseluruhan dijadikan komoditas, dan seringkali sukses dengan mengumpulkan dan memanipulasi hasrat.

15 12 PERTEMUAN KE-2 WILAYAH KAJIAN BUDAYA DA MEDIA Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas wilayah atau objek kajian budaya dan media Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan objek atau wilayah kajian budaya dan media. 1. Area dan topik kajian budaya dan media Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau "culture" (dalam bahasa Inggris) merpakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna. Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna seharihari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka (Barker, 2005: 50-55). Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat budaya' sebagai keseluruhan cara hidup. Sebab ia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya. Jika dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai secara politis ketimbang estetis. Dan Storey beranggapan budaya' yang dipakai dalam CS ini bukanlah konsep budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek keadiluhungan estetis ( seni tinggi') atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spritual, melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari (Storey, 2007: 2). Dalam hal ini nampaknya Storey setuju dengan definisi budaya' menurut Raymonds Williams, lain halnya dengan Stuart Hall yang lebih menekankan budaya' pada ranah politik. To say that two people belong to the same culture is to say that they interpret the world in roughly the same ways and can express themselves, their thoughts and feelings about the world, in ways which will be understood by each other. Thus culture depends on its participants interpreting meaningfully what is happening around them, and `making sense' of the world, in broadly similar ways.(hall, 1997: 2). Menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya budaya berarti :

16 "Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan menetukan hubungan sosial kita berdasarkan kehidupan sehari-hari sebagaimana halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan kembali atau ditandai-dimaknai-dengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi tertentu." (Bennet 1980: 82-30) Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu (akademik) yang mulai berkembang di wilayah Barat (1960-an), seperti Inggris, Amerika, Eropa (kontinental), dan Australia mendasarkan suatu pengetahuan yang disesuaikan dengan konteks keadaan dan kondisi etnografi serta kebudayaan mereka. Pada tahap kelanjutannya di era awal abad 21 kajian budaya dipakai di wilayah Timur untuk meneliti dan menelaah konteks sosial di tempat-tempat yang jarang disentuh para praktisi kajian budaya Barat, antara lain Afrika, Asia, atau Amerika Latin. Secara institusional, kajian budaya menelurkan berbagai karya berupa buku-buku, jurnal, diktat, matakuliah bahkan jurusan di universitas-universitas. Menurut Barker, inti kajian budaya bisa dipahami sebagai kajian tentang budaya sebagai praktik-praktik pemaknaan dari representasi (Barker, 2000: 10). Teori budaya marxis yang menggali kebudayaan sebagai wilayah ideologi yang lebih banyak dijelaskan pada aliran wacana (discourse) dan praktik budaya seperti layaknya media berupa teks-teks (sosial, ekonomi, politik). Chris Barker (2000) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal. Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potonganpotongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin "kajian budaya" melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt. Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian. Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben Agger (2003) membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi (Agger, 2003). Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa. Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi. Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko (2003), kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dansocial context (konteks sosial). 13

17 Metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara yang hidup', yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis). Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam "kajian budaya", pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan. Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue. Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya. Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya. 2. Metodolodi dan pendekatan dalam penelitian kajian budaya Kajian budaya dan media terpusat tiga pendekatan, yaitu etnografi, pendekatan tekstual dan studi resepsi. - Etnografi - Pendekatan Tekstual - Studi resepsi 1. Etnografi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga etnografi berarti melukiskan atau menggambarkan kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Etnografi merupakan: - Pekerjaan antropolog dalam mendiskripsikan dan menganalisis kebudayaan, yang tujuan utamanya adalah memahami padangan (pengetahuan) dan hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (kelakuan) guna mendapatkan pandangan dunia masyarakat yang diteliti (Spradley 1997:3). 14

18 - Komponen penelitian yang fundamental dalam disiplin akademis antropologi (budaya), sehingga etnografi merupakan ciri khas dalam antropologi (Durrenberger 1996:421). Antropolog aliran kognitif berpendirian bahwa setiap masyarakat mempunyai sistem yang unik dalam mempersepsi dan mengorganisasi fenomena material, seperti bendabenda, kejadian-kejadian, kelakuan, dan emosi. Oleh karena itu kajian antropologi bukanlah fenomena material tersebut, melainkan cara fenomena material tersebut diorganisasikan dalam pikiran (kognisi) manusia. Dengan demikian kebudayaan itu ada dalam pikiran manusia, yang bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material tersebut. Tugas etnografer (peneliti etnografi) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Marzali 1997:xv). 2. Pendekatan tekstual - Semiologi Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Semiotika mempelajari relasi diantara komponenkomponen tanda, serta relasi antar komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya. Semiotika, yang berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda (sign), bermula dari kajian tentang bahasa, dan kemudian berkembang menjadi kajian kebudayaan, adalah akar dari perkembangan gerakan intelektual dan filsafat strukturalisme dan poststrukturalisme tersebut, yang merupakan bagian dari gemuruh wacana kritis tahun an yang mempertanyakan kembali kebenaran-kebenaran universal dan tunggal yang dibangun oleh rasionalisme, logosentrisme, positivisme, dan modernisme. Meskipun demikian, Strukturalisme sendiri sesungguhnya masih menggunakan pendekatan ilmiah yang positivistik, yang kemudian dikritik dan dikoreksi oleh Poststrukturalisme. - analisis naratif Menurut Webster dan Metrova, narasi (narrative) adalah suatu metode penelitian di dalam ilmu-ilmu sosial. Inti dari metode ini adalah kemampuannya untuk memahami identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi) yang ia dengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari. Penelitian naratif adalah studi tentang cerita. Dalam beberapa hal cerita dapat muncul sebagai catatan sejarah, sebagai novel fiksi, seperti dongeng, sebagai autobi-ographies, dan genre lainnya. Cerita ditulis melelu proses mendengarkan dari orang lain atau bertemu secara langsung dengan pelaku melelui wawancara. Studi tentang cerita dilakukan dalam berbagai disiplin keilmuan, termasuk sastra kritik, sejarah, filsafat, teori organisasi, dan sosial ilmu pengetahuan. 15

19 16 Pertemuan ke-3 dan 4 Semiotika, Analisis Tekstual Budaya dan Media Deskripsi Materi Pembelajaran : Bab ini membahas teori semiotika, salah satu teori analisis tekstual yang digunakan dalam mengkaji tanda dan makna dalam bidang pengkajian budya dan media. Sasaran Pembelajaran : Mampu menjelaskan teori semiotika sebagai salah satu pendekatan analisis tekstual dalam penelitian kajian budaya dan media. Semiologi (semiotika) 1 adalah studi yang mengkaji tanda dalam kedidupan sosial: bagaimana tanda berkerja, diproduksi dan digunakan dalam masyarakat. Adalah Ferdinand de Saussure yang pertama kali menyatakan akan adanya suatu ilmu, yaitu semiologi sebagai ilmu tentang kehidupan tanda dalam kehidupan sosial, sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, Cours de Linguistique Générale 2 : On peut donc concevoir une science qui etudie la vie des signes de la vie sociale; elle formerait une partie de la psychologie, et par consequent de la psychologie générale; nous la nommerons semiologie. (du grec semeionn, signe. Elle nous apprendrait en quoi consistent les signes, quelles lois les resignent. (Jadi, kita dapat menerima adanya ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda yang ada dalam kehidupan sosial. Ilmu yang akan menjadi bagian dari psikologi sosial, dan dengan sendirinya dari psikologi umum. Kita akan menyebutnya semiologi. (Dari bahasa Yunani semionn, tanda ). Semiologi mengajarkan kepada kita terdiri dari apa saja tandatanda tersebut, aturan-aturan apa saja yang mengatur tanda-tanda tersebut, Saussure, 1967: 33.) Semiologi adalah teori dan analisis yang menfokuskan pada tanda-tanda (signs) dalam kehidupan sosial. Saussure mengajukan konsep tanda dikotomi, yang disebut signifiant (penanda) dan signifié (petanda), yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu contoh yang diberikan Saussure adalah bunyi /arbròr/ yang terdiri atas enam huruf arbror Kata arbor merupakan penanda dalam sebuah konsep yang berhubungan pada sebuah objek yang kenyataannya merupakan pohon yang memiliki batang, dan daun. Penanda tersebut (citra bunyi atau kata) itu sendiri bukanlah sebuah tanda, kecuali seseorang mengetahuinya sebagai hal demikian dan berhubungan dengan konsep yang ditandainya. De Saussure menggunakan istilah signifiant untuk segi bentuk tanda, dan signifié untuk segi maknanya. 1 Semiologi adalah istilah yang lebih banyak digunakan di Eropa, dan diperkenalkan oleh Ferdinand de Sausre, sedangkan semiotika pada umumnya dipakai oleh ilmuwan Amerika dan dipelopori oleh Charle Sander Peirce. 2 Cours de Linguistique Générale merupakan buku yang berasal dari catatan kuliah beberapa mahasiswa yang diajarkan oleh de Saussure. Tiga seri bahan kuliah tentang linguistik umum dikumpulkan oleh mahasiswanya, (Charles Bally dan Robert Schehaye) dan diterbitkan pertama kali tahun 1916 oleh penerbit Payot Paris. Ferdinand de Saussure meninggal pada tahun 1913.

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

Konsep Budaya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies)

Konsep Budaya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies) Konsep Budaya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies) 21 Juli 2010 07:33:00 Dibaca : 20,076 Definisi Konsep Budaya dalam Kajian Budaya ( Cultural Studies) Kajian disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah I.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN Media Televisi merupakan media massa yang sangat akrab dengan masyarakat umum. Oleh sebab itu pula, televisi menjadi media yang memiliki penetrasi yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Tipe Penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, yakni penelitian yang menggali makna-makna yang diartikulasikan dalam teks visual berupa film serial drama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian) Seiring dengan perkembangan paradigma interpretivisme dan metodologi penelitian lapangan (f ield

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan, budaya adalah hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan nilai. Semakin banyak

Lebih terperinci

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH

SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH l Edisi 048, Februari 2012 P r o j e c t SAINS, ISLAM, DAN REVOLUSI ILMIAH i t a i g k a a n D Sulfikar Amir Edisi 048, Februari 2012 1 Edisi 048, Februari 2012 Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah Tulisan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis menyajikan serangkaian metode dan perspektif yang memungkinkan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA STRUKTUR KURIKULUM 2009 JURUSAN SASTRA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA PRODI S3 PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA STRUKTUR KURIKULUM Struktur kurikulum PS S3 PBI terdiri atas: 1. Matakuliah Landasan Keilmuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Film merupakan suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari hari, film memiliki

Lebih terperinci

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Busana adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas. Dari penampilan luar, yang dengannya orang menempatkan diri mereka terpisah dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi semiotika Modul ke: Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi Fakultas 13Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2014 lalu merupakan tahun yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut bertepatan dengan dilaksanakan pemilihan umum yang biasanya

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Pesan iklan kini muncul dimana saja, di Billboard, Radio, Televisi, Internet, di toko, dan hampir disetiap ruang yang kosong iklan selalu hadir. Dalam konteks pemasaran,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran

BAB I PENDAHULUAN. yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa dan sastra adalah cermin kebudayaan dan sebagai rekaman budaya yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran penting bahasa dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk memperkuat dan mengubah kognisi dalam menciptakan sejumlah makna-makna konotatif. Namun bahasa tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam suatu kehidupan, bentuk materi maupun non-materi mengalami sebuah siklus perubahan yang natural terjadi dalam segala aspek kehidupan yang mencakup mulai dari

Lebih terperinci

( Word to PDF Converter - Unregistered ) BAB I PENDAHULUAN

( Word to PDF Converter - Unregistered )  BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan sosial dan kultural di Indonesia saat ini adalah mengenai pemanfaatan waktu senggang, waktu santai, dan waktu luang. Ketika industrialisasi mulai mendominasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam menyelesaikan persoalan penelitian dibutuhkan metode sebagai proses yang harus ditempuh oleh peneliti. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan

Lebih terperinci

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Masalah Saat ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai manfaatnya, melainkan karena gaya hidup yang disampaikan melalui media massa. Barang yang ditawarkan

Lebih terperinci

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme

Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri dari Institut Marxisme Studi Media Perspektif Media Krititis MIKOM Universitas Muhammadiyah Jakarta Aminah, M.Si Teori Kritikal mulai berkembang tahun 1937 (pengkajiannya dimulai tahun 1930) Teori Kritikal eksis sebagai ciri

Lebih terperinci

ETNOGRAFI KESEHATAN 1

ETNOGRAFI KESEHATAN 1 ETNOGRAFI KESEHATAN 1 oleh: Nurcahyo Tri Arianto 2 Pengertian Etnografi Etnografi atau ethnography, dalam bahasa Latin: etnos berarti bangsa, dan grafein yang berarti melukis atau menggambar; sehingga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ciri khas merupakan tuntutan dalam derasnya persaingan industri media massa yang ditinjau berdasarkan tujuannya sebagai sarana untuk mempersuasi masyarakat. Sebagaimana

Lebih terperinci

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI Analisis Semiotika John Fiske pada Tayangan TVC Tri Always On versi Perempuan SKRIPSI Diajukan sebagai Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani,

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA. Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan suatu bangsa dan negara hendaknya sejalan dengan pembangunan dan peningkatan sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Representai Budaya Pop Korea dalam Masyarakat Subkultur Di Kota Surakarta

BAB V PENUTUP. 1. Representai Budaya Pop Korea dalam Masyarakat Subkultur Di Kota Surakarta BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan mengenai Representasi Budaya Pop Korea dalam Masyarakat Subkultur (Studi Fenomenologi Pada Universe Cover Ease Entry (U-CEE)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. mengenai bagaimana khalayak meresepsi tayangan tragedi Mina 2015.

BAB VI PENUTUP. mengenai bagaimana khalayak meresepsi tayangan tragedi Mina 2015. BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Ada beberapa catatan yang patut ditambahkan terkait dengan seluruh temuan dalam penelitian ini, yang selanjutnya akan merangkai utuh tesis yang berjudul Tayangan Tragedi Mina

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. Untuk mempermudah penelitian, maka objek kajian tersebut akan ditelisik dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel merupakan salah satu jenis media dimana penyampaianya berupa teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh tertentu ataupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dianalisis dengan kajian semiotik.semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam

BAB I PENDAHULUAN. dianalisis dengan kajian semiotik.semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhuk sosial tidak terlepas dari berbagai objek maupun peristiwaperistiwa yang dapat berupa tanda. Tidak terlepas dari kebudayaan, berbagai

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008

BAB 3 METODOLOGI. Universitas Indonesia Representasi jilbab..., Sulistami Prihandini, FISIP UI, 2008 31 BAB 3 METODOLOGI 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton (1990), paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkapkan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Pendekatan kualitatif ini

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. Dengan ini peneliti menempatkan diri sebagai pengamat dalam memaparkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bertipe deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Masalah Media massa sudah menjadi bagian hidup bagi semua orang. Tidak dikalangan masyarakat atas saja media massa bisa diakses, akan tetapi di berbagai kalangan masyarakat

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi

BAB VI KESIMPULAN. dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi BAB VI KESIMPULAN Kajian media dan gaya hidup tampak bahwa pengaruh media sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang menjadi pilihan bebas bagi masyarakat tidak lain merupakan hasil dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Sebagai salah satu pendekatan yang baru, maka pendekatan konstruktivis (intepretatif) ini sebenarnya masih kurang besar gaungnya di bandingkan dengan pendekatan

Lebih terperinci

Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November February 1913)

Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November February 1913) Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November 1857 22 February 1913) Strukturalisme suatu gerakan pemikiran filsafat yg mempunyai pokok pikiran bhw semua masy & kebudayaan mempunyai suatu struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan, keagamaan, perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dalam segala kegiatan seperti pendidikan, keagamaan, perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan dalam

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (http://kbbi.web.id/jilbab). Pada zaman orde baru pemerintah melarang

BAB I PENDAHULUAN. (http://kbbi.web.id/jilbab). Pada zaman orde baru pemerintah melarang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia sehingga banyak ditemui perempuan muslim Indonesia menggunakan jilbab,

Lebih terperinci

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut Leif STENBERG Direktur, AKU- Dalam makalah berikut ini, saya akan mengambil perspektif yang sebagiannya dibangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Dalam telaah-telaah ilmu sosial, bahasa menempati posisi yang sangat penting. Posisi penting bahasa tersebut, semakin diakui terutama setelah munculnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif interpretatif yaitu suatu metode yang memfokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penulisan skripsi ini, paradigma yang digunakan adalah paradigma

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penulisan skripsi ini, paradigma yang digunakan adalah paradigma BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Pada penulisan skripsi ini, paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis. Paradigma adalah kumpulan dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama,

Lebih terperinci

Proses dan efek Media

Proses dan efek Media Proses dan efek Media McQuail Buku.2 bab.17 Kita di pengaruhi oleh media, tetapi mekanismenya seperti apa masih belum jelas. Penduduk empat musim berpakaian berdasarkan ramalan cuaca, membeli sesuatu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berasal dari kata Yunani 'methodologia' yang berarti teknik atau prosedur, yang lebih merujuk kepada alur pemikiran umum atau menyeluruh dan juga gagasan teoritis

Lebih terperinci

SEMIOTIKA ALQURAN YANG MEMBEBASKAN

SEMIOTIKA ALQURAN YANG MEMBEBASKAN SEMIOTIKA ALQURAN YANG MEMBEBASKAN Mu adz Fahmi 1 Semiotika Alquran yang Membebaskan Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan,

Lebih terperinci

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1

Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow. Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Teori Kebudayaan Menurut E.K.M. Masinambow Oleh. Muhammad Nida Fadlan 1 Sebagai seorang akademisi yang sangat memperhatikan aspek-aspek pengajaran dan pengembangan kebudayaan, E.K.M. Masinambow merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah

BAB III METODE PENELITIAN. pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah analisis semiotika dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan studi wacana media massa. Pendekatan kualitatif adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perusahaan harus dapat menganalisis peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dengan melihat tantangan tersebut, Perusahaan dituntut untuk mampu

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER (RPKPS)

RENCANA PROGRAM KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER (RPKPS) RENCANA PROGRAM KEGIATAN PERKULIAHAN SEMESTER (RPKPS) Kode / Nama Mata Kuliah : A14.27710 / Kajian Budaya Revisi 1 Satuan Kredit Semester : 2 SKS Tgl revisi : Agustus 2015 Jml Jam kuliah dalam seminggu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin yang diproduksi oleh Maxima Pictures dengan menggunakan pendekatan signifikansi dua tahap dari Roland

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Musik dangdut merupakan sebuah genre musik yang mengalami dinamika di setiap jamannya. Genre musik ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Berkembangnya dangdut

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA 8 BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA Resensi atas karya sastra berkaitan erat dengan resepsi sastra. Resensi-resensi karya sastra di surat kabar dapat dijadikan sasaran penelitian resepsi sastra. Dalam bab

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang tertinggi harus diserahkan pada negara kebangsaan (Tim Dosen PKN,

BAB II LANDASAN TEORI. yang tertinggi harus diserahkan pada negara kebangsaan (Tim Dosen PKN, BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Nasionalisme Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan yang tertinggi harus diserahkan pada negara kebangsaan (Tim Dosen PKN, 2009: 227). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Media telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan kita tidak akan pernah terlepas dari media. Seiring dengan perkembangan peradaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media penyampaian informasi. Kekuatan media massa televisi paling mempunyai kekuatan yang

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 9 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.3. Saussure: Organisasi Tanda Menurut Saussure, ada dua cara pengoganisasian

Lebih terperinci

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN Modul ke: 14Fakultas Dr. PSIKOLOGI SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN BAB XIII Metode Penelitian KUALITATIF Antonius Dieben Robinson Manurung, MSi Program Studi PSIKOLOGI Menurut Banister, dkk (1994) penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif interpretatif yaitu suatu metode yang memfokuskan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan paradigma

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan paradigma BAB III METODE PENELITIAN 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan paradigma kontruktivist sebagai interpretatif menolak obyektifitas. Obyektifitas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong.

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan komunikasi dalam bentuk tulisan. bahasa Indonesia ragam lisan atau omong. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia lebih banyak melakukan komunikasi lisan daripada komunikasi tulisan oleh sebab itu, komunikasi lisan dianggap lebih penting dibandingkan komunikasi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat saling berinteraksi. Manusia sebagai animal symbolicium,

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat saling berinteraksi. Manusia sebagai animal symbolicium, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa pada prinsipnya merupakan alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat saling berinteraksi. Manusia sebagai animal symbolicium, merupakan makhuk yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Feminisme merupakan suatu konsep yang menggambarkan tentang kesetaraan antara kaum pria dan wanita dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Menurut

Lebih terperinci

KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel

KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel Abstrak Penelitian ini menggunakan analisis semiotika

Lebih terperinci

New Media & Society ADI SULHARDI. Media Baru sebagai Teknologi yang Berbudaya. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI. Program Studi Penyiaran

New Media & Society ADI SULHARDI. Media Baru sebagai Teknologi yang Berbudaya. Modul ke: Fakultas ILMU KOMUNIKASI. Program Studi Penyiaran Modul ke: New Media & Society Media Baru sebagai Teknologi yang Berbudaya Fakultas ILMU KOMUNIKASI ADI SULHARDI. Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id Pendahuluan Tiga level definisi pendekatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Pada penulisan skripsi ini paradigma yang digunakan adalah paradigma kritis. Paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seolah-olah hasrat mengkonsumsi lebih diutamakan. Perilaku. kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. seolah-olah hasrat mengkonsumsi lebih diutamakan. Perilaku. kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanpa kita sadari, masyarakat selalu diposisikan sebagai konsumen potensial untuk meraup keuntungan bisnis. Perkembangan kapitalisme global membuat bahkan memaksa masyarakat

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 8 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.1. Tiga Pendekatan Semiotika Berkenaan dengan studi semiotik pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Memilih paradigma adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh peneliti agar penelitiannya dapat menempuh alur berpikir yang dapat mencapai tujuan yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini 73 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini bersifat desktiptif dalam ranah kualitatif. Deskriptif adalah sifat penelitian

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini.

BAB VI PENUTUP. rumah tangga sering dicurigai sebagai penyebab munculnya jenis incest yang seperti ini. BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya kejadian persetubuhan antara ayah dengan anak kandungnya ditengah-tengah masyarakat dianggap tidak lazim oleh mereka. Keretakan dalam hubungan rumah tangga sering

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini film dan kebudayaan telah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Film pada dasarnya dapat mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1 Genre musik hardcore adalah sebuah bentuk budaya tandingan terhadap budaya mainstream yang tersedia di masyarakat, yang berada dalam sebuah kancah alternatif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Film merupakan bagian dari komunikasi massa yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saat ini. Di akhir abad ke-19, film muncul sebagai hiburan publik. Kesuksesaan

Lebih terperinci