BAB IV ANALISIS EFEK POLUSI CAHAYA TERHADAP PELAKSANAAN RUKYAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS EFEK POLUSI CAHAYA TERHADAP PELAKSANAAN RUKYAT"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS EFEK POLUSI CAHAYA TERHADAP PELAKSANAAN RUKYAT A. Hakikat dan Penyebab Polusi Cahaya Polusi cahaya sudah menjadi permasalahan global sejak di deklarasikan oleh International Dark-Sky Association (IDA) yang menyedot perhatian dunia, khususnya ahli astronomi, ahli kesehatan dan ahli lingkungan. Dalam kaitannya dengan astronomi, polusi cahaya memiliki dampak terhadap hilangnya hasil pengamatan teerhadap bintang-bintang. Permasalahan ini juga terjadi pada Observatorium Boscha yang merupakan satu-satunya observatorium astronomi di Indonesia. Polusi cahaya di Observatorium Boscha Lembang Bandung, merupakan dampak dari hamburan cahaya oleh hasil pembuangan emisi industri dan kendaraan bermotor yang terbuang ke atmosfer. Sesuai dengan hasil pengukuran polusi cahaya yang dilakukan oleh Herdiwijaya dan Arumaningtyas (2011), Azzahidi, Irfan dan Utama (2011) menghasilkan bahwa tingkat polusi cahaya di Bandung memiliki tingkat cukup tinggi dengan tingkat kegelapan langit hanya mencapai 19 MPDB. Sedangkan untuk observatorium Boscha, nilai polusi cahaya terbesar terhadap jarak zenit berada pada arah kota Bandung dan pusat kota Lembang. Hakikatnya, polusi cahaya merupakan hamburan cahaya lampu yang dipancarkan dengan arah pancaran yang tidak efisien. Idealnya penerangan lampu memiliki arah pancaran yang sesuai dengan sudut pencahayaan 90⁰ dan 92

2 93 tidak melebihi arah pancaran horizontal atau yang tidak menyebabkan gangguan pencahayaan dengan penggunaan tudung lampu yang standar. Dengan menggunakan pendekatan trigonometri, dapat diketahui arah pancaran yang menyebabkan polusi cahaya. Jika e adalah tinggi tiang, H adalah jauh pancaran ideal, α merupakan sudut terhadap arah pancaran vertikal, maka dapat dihubungkan dengan: tan α = HD e = arctan ( HD e ) Gambar Arah pencahayaan ideal ( Dengan melihat persamaan tersebut, misalkan tinggi tiang (e) adalah 2,5 m dan arah sudut pencahayaan sebesar 45⁰, maka radius pencahayaan yang ideal adalah sebesar: tan α = HD e HD = tan α x e HD = tan 45⁰ x 2,5 m HD = 2,5 m

3 94 Jadi, arah pencahayaan terhadap arah vertikal yang tidak menimbulkan efek polusi cahaya adalah ketika arah pancaran sebesar 45⁰, sehingga radius penyinaran sama dengan tinggi tiang lampu. Ketika arah pencahayaan melebihi sudut pencahayaan 45⁰, maka akan menjadi cahaya berlebih (spill light) dan jika melebihi arah pencahayaan 90⁰, maka akan menyebabkan cahaya ke atas (upward light). Ketika cahaya yang memancar ke atas tersebut tertangkap oleh partikulat debu dan aerosol untuk kemudian dihamburkan ke segala arah oleh partikulat tersebut, maka akan menjadi sky glow yang menjadikan langit lebih terang (sky brightness). Dalam kondisi seperti ini, pengamatan dalam astronomi akan menjadi bias karena nilai kegelapan langit berkurang (lost dark sky). Gambar Arah pencahayaan lampu penyebab polusi cahaya (Sumber: Polusi cahaya (sky glow) di pengaruhi oleh beberapa sebab, yaitu desain dan instalasi arah pencahayaan lampu, pemilihan jenis dan jumlah lampu serta kandungan kualitas udara dan cuaca. Berdasarkan desain dan instalasi dari arah pencahayaan lampu terhadap bidang vertikal, polusi cahaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

4 95 Tabel 4.1. Jenis polusi cahaya berdasarkan arah pancarannya No Sudut Pencahayaan Arah Pencahayaan Jenis Polusi Cahaya 1 < 0⁰ Ke belakang bidang vertikal Spill Light 2 0⁰ - 45⁰ Radius pancaran = tinggi tiang Useful Light 3 45⁰ - 90⁰ Dibawah arah horizontal Spill Light (Glare kurang dari 90⁰ and Light Trespass) 4 90⁰ < Ke atas melebihi arah horizontal lebih dari 90⁰ Sky Glow Terkait dengan pengamatan benda langit, gangguan polusi cahaya yang dimaksud adalah hamburan cahaya ke atas (upward lightening) yang disebut sky glow. Keberadaan sky glow ini akan menjadikan langit tampak terang dengan tingkat kegelapan yang kecil. Peristiwa ini terjadi jika desain dan instalasi arah pancaran lampu melebihi arah pancaran horizontal (90⁰ <). Limbah cahaya lampu akan terpancarkan ke atmosfer dengan panjang gelombang cahaya yang berbeda-beda berdasarkan jenis lampu yang digunakan. Cahaya yang tertangkap atmosfer akan dihamburkan ke segala arah sesuai dengan tingkat kualitas udara dan kandungan aerosol di udara. Penyebab polusi cahaya juga tergantung pada jenis dan jumlah lampu yang digunakan. Sumber cahaya yang paling berkontribusi dalam polusi cahaya adalah lampu dengan berbahan Mercury Vapour dan High Pressure Sodium (HPS). Sumber cahaya lampu ini mendominasi dalam penerangan lampu jalan, dan penerangan luar (artificial outdoor lightening). Berdasarkan hasil riset Munzinger, Brocker dan Supriadi (2012) menunjukkan bahwa penggunaan jenis lampu untuk penerangan luar untuk kota Semarang yaitu buah jenis lampu Merkuri dan HPS sebanyak buah. Sedangkan

5 96 untuk kota Surakarta, penggunaan jenis lampu Merkuri sebanyak buah dan jenis lampu HPS sebanyak buah. Berdasarkan data tersebut kota Semarang dan Surakarta berpotensi memiliki tingkat polusi cahaya yang tinggi berdasarkan jenis dan jumlah lampu yang dipergunakan untuk penerangan lampu luar. Lewin (2000) menyampaikan bahwa jenis lampu yang sangat berkontribusi dalam polusi cahaya adalah lampu berbahan Merkuri (Mercury Vapour) dan untuk penelitian astronomi lampu berjenis Low Pressure Sodium (LPS) paling baik digunakan karena gelombang cahayanya dapat direduksi dengan filter teropong. Cahaya yang dipancarkan oleh jenis lampu tersebut, dipancarkan secara kontinyu sehingga kerapatan gelombangnya juga semakin tinggi. Pancaran gelombang secara kontinyu akan memudahkan atmosfer dalam menangkap, menyerap dan menghamburkan polusi cahaya. Spektrum cahaya yang dipancarkan oleh jenis Merkuri dan HPS mendominasi dalam spektrum cahaya biru dan kuning. Spektrum cahaya yang dipancarkan memiliki panjang gelombang tinggi pada panjang gelombang biru sehingga paling cepat ditangkap oleh partikulat dan aerosol di atmosfer. Polusi cahaya akan mengalami peningkatan dengan banyaknya partikulat, debu dan aerosol yang ada di atmosfer. Emisi asap kendaraan bermotor, industri dan partikel garam memberikan kontribusi dalam peningkatan jumlah aerosol yang banyak dihasilkan di kota-kota besar. Sedangkan partikel garam banyak dihasilkan di negara-negara tropis yang memiliki tingkat evaporasi lebih tinggi dari negara-negara yang berlintang tinggi dan memiliki kemampuan paling dominan dalam proses kondensasi.

6 97 Dari data pengamatan Aerosol Optical Depth, tingkat produksi aerosol di Indonesia memiliki rentang antara 0,2 0,3. Gambar Aerosol Optical Depth tahun 2014 (diakses melalui tanggal 30 Nopember 2014) Aerosol Optical Depth merupakan ketebalan optis yang disebabkan kehadiran aerosol (partikel padat seperti debu dll) di atmosfer yang diukur secara vertikal pada ketinggian tertentu. AOD ini akan berkurang sesuai kenaikan panjang gelombang yang jauh lebih kecil pada radiasi gelombang panjang dari pada pada radiasi gelombang pendek. Nilai dari optikal depth tidak berdimensi dan tergantung pada kondisi atmosfer, tetapi umumnya berkisar 0,02 0,2 untuk radiasi gelombang tampak (BMKG Pusat, 2011: 53). Data Suspendid Particulated Matter (SPM) yang merupakan bagian dari aerosol di atmosfer berkontribusi dalam membantu proses kondensasi. Peran dari SPM ini sebagai pembentuk inti-inti kondensasi yang memiliki kelembaban relatif yang mendekati 78%. Inti-inti higroskopis berperan dalam menarik atau mengikat air partikel padat yang larut dalam air. Sebagai bagian dari aerosol, SPM memiliki kemampuan dalam menyerap partikel air. Semakin tinggi kandungan air yang dimiliki, maka semakin besar kemampuannya dalam menyerap dan menghamburkan cahaya.

7 98 Dalam kaitannya dengan penelitian astronomi, pertumbuhan polusi cahaya dari hasil citra satelit dapat di analisis dengan menggunakan pendekatan jarak horizon (Horizon Distance). Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh polusi cahaya yang dihasilkan suatu wilayah akan mampu teramati dan mengganggu visibilitas objek benda langit pada jarak tertentu yang menghubungkan lokasi pengamat dengan objek benda langit tersebut. Besaran jarak horizon HD dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan Theorema Phytagoras yaitu teori yang menghubungkan sisi-sisi dan sudut dalam segitiga siku-siku, dimana c 2 = a 2 + b 2 dimana c adalah sisi miring sebuah segitiga, sementara a dan b adalah sisi penyiku dari segitiga (Abdurrohim, 1983: 31). Pendekatan ini dapat dipergunakan untuk mengetahui jarak pengamat ke horizon, bidang luasan ufuk dan ketinggian pengamat. Gambar Jarak Horizon berdasarkan pendekatan Theorema Phytagoras Dari gambar 4.6 dapat diketahui terdapat sebuah segitiga siku-siku PUK dengan siku-siku di U, sehingga sisi miringnya adalah PK (PM+ MK), sisi tegaknya PU (R) dan UK (d). Panjang UK = d yang merupakan jarak pandang pengamat ke horizon. Nilai d dianggap sama dengan UK karena

8 99 ketinggian mata pengamat biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan jarak ke horizon. Kedekatan nilai UK hampir sama dengan UM sehingga dengan mengabaikan nilai error dengan mengasumsikan bahwa UK sama dengan UM, sehingga radius d dapat dihitung sebagai berikut: (PM+MK) 2 = PU 2 + UK 2 (R + h) 2 = R 2 + d 2 d 2 = (R + h) 2 + R 2 d = (R + h) 2 + R 2 = R 2 + 2Rh + h 2 + R 2 d = 2Rh + h 2 Sehubungan nilai h sangat kecil dibandingkan dengan nilai R, maka dapat disederhanakan menjadi d = 2Rh. Dalam hal ini nilai h dalam satuan meter sedangkan nilai R dalam satuan kilometer sehingga jika dibandingkan misal h = 500 m = 0,5 km, maka nilai h 2 = 0, 25 km. Nilai ini pengaruhnya sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai R yang sangat besar. Oleh karena itu, nilai h 2 bisa diabaikan dengan mengabaikan pengaruh refraksi atmosfer. R = Jari- jari bumi km dengan mengacu kepada jari-jari di Khatulistiwa, sedangkan h adalah ketinggian tempat. Kemenag RI (2010: 220) dalam Almanak Hisab Rukyat menggunakan nilai 2R= m, sehingga untuk nilai R = ,5 m = km. Oleh karena itu, pendekatan nilai jari-jari bumi yang dipilih oleh penulis adalah jari-jari rerata bumi sebesar ,5 m = km sebagaimana yang dipergunakan oleh Kemenag RI (2010: 220).

9 100 Jika jari-jari bumi R yang dipergunakan adalah km, maka pendekatan untuk mencari nilai d adalah d = x h karena nilai h dalam meter dan R dalam kilometer, maka : d = x h/1000 d = 12,734 x h d = 3,57 h Dari hasil pendekatan tersebut dapat diketahui bahwa jarak mata pengamat ke horizon sama dengan 3,57 kali akar ketinggian mata diatas permukaan bumi. Misalkan R = m, d = jarak mata pengamat ke horizon, dan h = 500 m, maka d = 3,57 x 500 d = 3,57 x 22,3 d = 79, 8 km Jadi jarak mata pengamat ke bidang horizon adalah sejauh 79,8 km terhadap kemampuan mata dan cuaca yang normal dengan mengabaikan gangguan refraksi atmosfer. Dengan menambahkan refraksi atmosfer diperoleh d = 3,58 h. Dengan menggunakan acuan pengamatan di Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah dan CASA Assalam Surakarta, pengukuran HD digunakan untuk mengetahui polusi cahaya dari kota terdekat. 1. Analisis Polusi Cahaya untuk acuan CASA Assalam Surakarta Data untuk mengetahui polusi cahaya di lokasi tersebut dilakukan dengan pengambilan citra satelit untuk tahun 2014 yang diakses melalui www. bluemarble-edu. dalam pengelolaan NASA.

10 101 Gambar 4.5. Jarak lokasi CASA Assalam dengan kota-kota terdekat melalui Google Earth. Melalui pengamatan citra dari Google Earth, jarak dari kota-kota besar disekitarnya sebagai berikut: Tabel Jarak lokasi CASA Assalam dengan kota-kota terdekat No Nama Kota Jarak (Km) Azimut ( 0 ) Arah Lokasi 1. Kota Surakarta 5, T-Tg 2. Sukoharjo Tg 3 Kartasura B-BD 4 Klaten 23, BD 5 Yogyakarta 51, BD 6 Boyolali 18, B-BL 7 Sragen 31, TL Jarak horizon dari lokasi pengamat di CASA Assalam dihitung dengan menggunakan rumus d = 3,58 h dengan nilai h = 24 m dari dasar menara. Acuan ketinggian yang dipergunakan ini dengan pertimbangan, luasnya bidang dataran hingga mencapai horizon. Jadi, jarak horizon dari CASA Assalam adalah sebesar d = 3,58 x 24 d = 3,58 x 4,9 d = 18,86 km

11 102 Jarak horizon pengamat dipergunakan untuk menghitung luas lingkaran dengan r = 18,86 km. Bidang yang terbentuk dari luas jarak horizon tersebut merupakan area yang teramati tingkat polusi cahayanya. Area tersebut akan mempresentasikan area polusi cahaya dalam acuan arah azimut. L = π r 2 L = 3,14 x 18, 86 2 L = 1.116,9 km 2 Jadi luas bidang lingkaran yang dibentuk adalah sebesar 1.116,9 km 2. Garis tengah lingkaran sebesar 2 r = 37,2 km. Berdasarkan jarak HD yang diperoleh, pengolahan data citra satelit untuk acuan CASA Assalam Surakarta dalam pemetaan berdasarkan arah azimut adalah sebai berikut: Gambar Pertumbuhan polusi cahaya dengan acuan lokasi CASA Assalam Surakarta tahun 2014 berdasarkan citra malam satelit yang yang diunduh dari Citra malam satelit Surakarta Pemetaan polusi cahaya Dari pengolahan citra satelit berdasarkan arah azimut dapat dipetakan pertumbuhan polusi cahaya untuk acuan CASA Assalam Surakarta tahun 2014 menunjukkan bahwa pada azimut 45º- 115º (Kota

12 103 Surakarta) memiliki tingkat gangguan polusi cahaya tinggi. Selain itu, pengaruh tingkat polusi cahaya di sekitar lokasi tergolong tinggi, sedangkan pada radius HD, polusi cahaya pada azimut 215º (arah Klaten) menunjukkan tingginya polusi cahaya yang dapat teramati dari lokasi. Pada rentang azimut 240º - 300º yaitu pada arah Boyolali dan arah kabupaten Klaten merupakan area yang tinggi polusi cahaya. Tabel 4.3. Pertumbuhan polusi cahaya pada arah azimut dengan acuan CASA Assalam Surakarta tahun 2014 Azimut Nama Daerah Lingkungan Geografis ⁰ - 45⁰ 45⁰ - 90⁰ 90⁰-135⁰ 135⁰-180⁰ 180⁰-225⁰ 225⁰-270⁰ 270⁰-315⁰ 315⁰-360⁰ Karanganyar Utara, Kab. Sragen Kota Surakarta, Kab. Kranganyar Kota Surakarta, Kab. Sukoharjo Kab. Sukoharjo Kab. Sukoharjo, Kab. Klaten, Kartasura Kab. Klaten, Kab. Boyolali, Kartasura Bandara Adi Sumarmo, Kab. Pemukiman padat, masih banyak persawahan Sedikit polusi cahaya, banyak area gelap Pemukiman padat, perkotaan Banyak polusi cahaya Pemukiman padat, perkotaan, Banyak polusi cahaya sedikit lahan sawah Pemukman padat, banyak Banyak polusi cahaya, sawah sedikit area gelap Pemukiman padat, sedikit sawah Pemukiman padat, banyak sawah Pemukiman padat, banyak sawah Banyak polusi cahaya, sedikit area gelap Sedikit polusi cahaya, banyak area gelap Banyak polusi cahaya, banyak area gelap Boyolali Kab. Boyolali Pemukiman padat Sedikit polusi cahaya, banyak area gelap Berdasarkan tabel pada rentang azimut 45⁰-135⁰ memiliki tingkat polusi cahaya paling tinggi. Pada arah tersebut merupakan arah kota Surakarta yang bersumber dari pencahayaan luar dengan intensitas tinggi. Penggunaan lampu Merkuri 125W, Merkuri 250W dan HPS250W untuk penerangan lampu jalan merupakan indikasi kuat sebagai sumber tingginya tingkat polusi cahaya. Selain itu, tingginya polusi cahaya disebabkan karena dekatnya radius kota Surakarta dari lokasi pengamat yang berjarak 5,7 km.

13 104 Pada azimut 180⁰-250⁰ juga mengindikasikan tingginya tingkat polusi cahaya, walaupun tidak masuk dalam radius HD pengamat. Arah tersebut merupakan arah kota Yogyakarta dan Klaten. Tingginya polusi cahaya kota Klaten akan dapat teramati dari lokasi mengingat jaraknya hanya beberapa kilometer dari radius HD. Sedangkan pada arah azimut 270⁰-330⁰, sumber polusi cahaya yang nampak berasal dari kota Boyolali dan arah bandara Adi Sumarmo. Polusi cahaya di sekitar area lokasi tergolong tinggi mengingat padatnya pemukiman kabupaten Kartasura dan Sukoharjo (azimut 180⁰-270⁰). Polusi cahaya yang bersumber dari lampulampu jalan arah Klaten dan Yogyakarta cenderung lebih tinggi dari pada arah ke Salatiga dan Semarang. Area gelap yang masih nampak dalam citra satelit, merupakan area persawahan dan perkebunan. Area gelap pada azimut 225⁰-315⁰ merupakan area persawahan dan perbukitan sehingga dimungkinkan pemukiman penduduk lebih terpusat pada area tertentu dan lokasi yang dekat dengan jalan utama. Melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat polusi cahaya untuk acuan CASA Assalam Surakarta tergolong tinggi untuk area dekat lokasi. Sedangkan pada radius HD, tingginya polusi cahaya hanya terpusat pada daerah perkotaan yang dipengaruhi jarak lokasi pengamat ke kota tersebut. 2. Analisis Polusi Cahaya untuk acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah Data untuk mengetahui polusi cahaya di lokasi tersebut dilakukan sebagaimana lokasi pertama. Dengan konsep HD, melalui google earth

14 105 dapat diperoleh data jarak dari Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah ke kota-kota terdekat sebagai berikut: Gambar Citra lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah melalui Google Earth (diakses tanggal 03 Desember 2014) Kota Semarang merupakan kota terdekat, karena letak lokasi berada di wilayah Semarang Timur. Untuk daerah lain dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel Jarak lokasi pengamatan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah Semarang ke kota-kota terdekat No Nama Daerah Jarak (km) Azimut (º) Arah 1 Kota Semarang B 2 Kec Kaliwungu, Boja 19, BL 3 Kabupaten Kendal 27, BL 4 Ungaran 17, BD-S 5 Kabupaten Demak 23, TL- T Jarak horizon dari lokasi pengamat Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah dapat diperoleh dengan pendekatan rumus d = 3,58 h dengan tinggi menara 99 m. Pada ketinggian dari menara dapat memperoleh ufuk laut, maka untuk nilai h diukur berdasarkan mdpl rata-rata daerah Gayamsari 6 mdpl ditambah dengan ketinggian menara sehingga diperoleh nilai h = 105 mdpl.

15 106 Jarak horizon (HD) dari lokasi menara adalah sebesar: d = 3,58 h d = 3, mdpl d = 36,6 km Jadi nilai horizon pengamat adalah sebesar 36,5 km. Jarak horizon (HD) sama dengan panjang r = 36,6 km sehingga dapat diperoleh luas area yang dapat teramati polusi cahayanya. Dengan menghitung luas lingkaran: L = π r 2 L = 3,14 x (36,5) 2 L = km 2 Jadi luas area yang teramati sebesar km 2 dan diameter lingkaran 2r = 73 km. Dengan nilai tersebut polusi cahaya dengan acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah dapat dipetakan berdasarkan arah azimut sebagai berikut: Gambar Pertumbuhan polusi cahaya dengan acuan lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah tahun 2014 berdasarkan citra malam satelit yang yang diunduh dari Citra malam satelit kota Semarang Pemetaan polusi cahaya

16 107 Berdasarkan citra satelit yang diperoleh, tertangkapnya polusi cahaya yang tertangkap oleh satelit memenuhi seluruh wilayah kota Semarang dan menyisakan sedikit area gelap akan tetapi tidak dapat tertangkap oleh satelit. Pada azimuth 90º-180º ( kabupaten Demak) banyak terdapat polusi cahaya pada area yang dekat dengan lokasi. Sedangkan polusi paling tinggi berada pada azimuth 180º-360º untuk area sebelah barat lokasi yang merupakan pemukiman dan area industri kota Semarang. Pada azimut 225º - 270º (arah Kaliwungu, Boja) memiliki polusi cahaya yang tinggi, wilayah ini melewati kawasan padat penduduk serta kawasan industri dan hanya sedikit tersisa area gelap pada wilayah pegunungan. Berdasarkan data arah azimut, pertumbuhan polusi cahaya dengan acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah dapat dilakukan pemetaan pada arah azimut 0⁰-45⁰ arah laut Jawa, azimut 45⁰-90⁰ arah kabupaten Demak, azimut 90⁰- 135⁰ arah kabupaten Demak dan kabupaten Purwadadi, azimut 135⁰-180⁰ arah kabupaten Purwadadi dan kabupaten Semarang. Pada azimut 180⁰-225⁰ arah kabupaten Semarang yaitu pada arah Ungaran Barat dan Ambarawa. Azimut 225⁰-270⁰ arah kabupaten Kendal, azimut 270⁰-315⁰ arah bandara Ahmad Yani, Kaliwungu dan kota Kendal, azimut 315⁰-360⁰ arah laut Jawa dan pelabuhan Tanjung Emas. Berdasarkan nilai HD atau nilai jari-jari lingkaran 36,6 km, maka daerah yang berada pada luasan area lingkaran diindikasikan akan teramati polusi cahayanya dengan mengabaikan topografi bentuk bumi. Daerah yang termasuk ke dalam area lingkaran dan arah azimut 0⁰-360⁰ sebagai berikut:

17 108 Tabel. 4.5 Pertumbuhan polusi cahaya pada arah azimut dengan acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah tahun 2014 Azimut 0⁰ - 45⁰ 45⁰ - 90⁰ 90⁰-135⁰ 135⁰-180⁰ 180⁰-225⁰ 225⁰-270⁰ 270⁰-315⁰ 315⁰-360⁰ Nama Daerah Kec. Gayamsari, laut Jawa Kec. Gayamsari, kabupaten Demak Kec. Pedurungan, Mranggen, Demak dan kab. Purwadadi Kec. Tembalang, kab. Demak dan kab Purwadadi Kec.Ungaran Barat dan Kec.Ambarawa Kota Semarang Kec. Boja, kec. Kaliwungu Selatan Kaliwungu dan kota Kendal, Bandara Ahmad Yani Laut Jawa dan Pelabuhan Tanjung Emas Lingkungan Geografis Pemukiman padat, industri dan perdagangan Pemukiman Padat, jalan propinsi Pemukiman padat, area persawahan Pemukiman padat, area persawahan 2014 Banyak polusi cahaya, banyak cahaya lampu nelayan Banyak polusi cahaya, sangat sedikit area gelap Banyak polusi cahaya, sedikit area gelap Banyak polusi cahaya, sangat sedikit area gelap Pemukiman padat, Banyak polusi cahaya, perbukitan sedikit area gelap Pemukiman padat, Banyak polusi cahaya, perkotaan, perbukitan dan sedikit area gelap hutan karet Banyak polusi cahaya, Pemukiman padat, jalan banyak cahaya lampu propinsi, kawasan industri nelayan Pemukiman padat, Banyak polusi cahaya, aktifitas industri banyak cahaya lampu perdagangan dan nelayan nelayan Berdasarkan tabel 4.7. seluruh area di dekat lokasi memiliki intensitas pencahayaan yang tinggi. Hal ini disebabkan letak lokasi yang berada di wilayah kota Semarang itu sendiri. Polusi cahaya tertinggi berada pada azimut 180⁰- 360⁰, terutama arah ke pusat kota Semarang dan arah pelabuhan Tanjung Emas. Akan tetapi pada arah azimut 90⁰ -270⁰ merupakan area perbukitan, sehingga pada arah pandang horizontal hanya dapat teramati pada jarak tertentu saja, karena posisi lokasi pengamat berada di dataran yang lebih rendah 6 mdpl. Pada azimut 270⁰-315⁰ memiliki intensitas pencahayaan yang tinggi yaitu pada arah Kaliwungu dan kota Kendal, akan tetapi pada arah pandang horizontal terhalang dataran yang lebih tinggi wilayah kecamatan

18 109 Tugurejo. Sumber polusi cahaya tertinggi disebabkan penggunaan artificial outdoor lightening, penerangan lampu jalan, lampu iklan dan kawasan industri. Penggunaan lampu berbahan Mercury 250W, HPS 70W, 150W dan 250W dengan jumlah hampir buah pada tahun 2012 (Munziger, Brocker dan Supriadi, 2012) serta desain lampu yang tidak efisien menjadi penyebab utama tingginya polusi cahaya di kota Semarang. Dari hasil pengamatan dan data pendukung citra satelit diperoleh bahwa polusi cahaya sangat terkait erat dengan keadaan cuaca dan kualitas udara di suatu wilayah. Partikulat dan kandungan aerosol yang menentukan kualitas udara serta menjadi inti-inti higroskopis pembentuk inti kondensasi awan berkontribusi dalam mengikat kandungan air dalam udara sehingga suhu udara menjadi turun dan kelembaban udara naik. Oleh karena itu, daerah yang memiliki tingkat SPM dan aerosol yang tinggi berada di wilayah yang memiliki tingkat penguapan yang tinggi sangat berkontribusi dalam pembentukan awan dan pengisian ruang atmosfer dalam menghamburkan cahaya, baik cahaya alami Matahari maupun dari cahaya lampu buatan. Hasil dokumentasi lapangan menunjukkan bahwa tingkat polusi cahaya di Semarang lebih tinggi dari pada Surakarta, terutama pada azimut 240º-300º. Tingkat polusi cahaya dengan titik acuan CASA Assalam pada azimut tersebut sangat dipengaruhi keadaan lingkungan geografis lokasi yang merupakan pemukiman padat penduduk, akan tetapi sesuai hasil citra satelit masih menyisakan banyak area gelap berupa pesawahan dan perkebunan. Hal ini berbeda dengan kota Semarang pada azimut 240º-300º

19 110 terhalang pusat kota Semarang yang merupakan area pemukiman padat, kawasan industri dan berada di tepi pantai sehingga hanya sedikit menyisakan ruang gelap. Dengan melihat lingkungan geografis tempat, semakin jauh lokasi pengamat dari sumber polusi cahaya, maka akan semakin baik kualitas visibilitas objek yang diamati. Pendekatan hukum Walker dipergunakan untuk mengetahui estimasi sky glow dalam sudut zenit 45⁰ ke arah kota sejauh r kilometer (Friend, 2010), maka: I = 0,01 x P x r -2,5 dimana I merupakan penambahan skyglow terhadap latar belakang langit, P merupakan jumlah populasi dan r adalah jarak (km) ke arah kota. Berdasarkan pendekatan Walker tersebut semakin jauh jarak ke sumber cahaya kota, maka akan semakin kecil nilai sky glow yang berpengaruh terhadap cahaya latar belakang. Semakin padat populasi khususnya pada arah azimut 240⁰-300⁰ atau arah barat lokasi rukyat maka akan meningkatkan jumlah persen dari skyglow. Akan tetapi untuk jarak dibawah 10 km, dengan asumsi pada jarak tersebut lokasi termasuk area perkotaan atau sumber polusi cahaya digunakan pendekatan Garstang (Friend, 2010); I = 0, x P x r -1,4281 Tabel Tingginya pengaruh polusi cahaya (sky glow) berdasarkan jarak dan jumlah populasi Lokasi CASA Assalam Menara al Husna Masjid Kota terdekat di sebelah barat P (jiwa) r (km) I (%) Kartasura ,7 Boyolali 65 18,8 0,42 Klaten ,4 0,47 Kota Semarang ,9 Kaliwungu, Boja 54 19,8 0,30

20 111 Agung Jawa Tengah Kendal 55 27,5 0,13 Nilai skyglow di wilayah Kartasura dan kota Semarang tergolong tinggi melebihi 100% karena posisi kedua lokasi masih berada dalam lingkup wilayah kota. Sedangkan tingkat skyglow untuk daerah-daerah di sebelah barat lokasi, Boyolali, Klaten, Kaliwungu dan Kendal memiliki nilai yang kecil dengan semakin bertambahnya jarak dan semakin mengecilnya jumlah populasi penduduk. Ketika jarak pandang dari pengamat ke horizon semakin jauh dengan bertambah tingginya lokasi pengamat, maka harus mempertimbangkan area yang berada dalam rentang jarak tersebut. Jika pada radius ke ufuk mar i terdapat area perkotaan yang padat dan intensitas cahaya lampu yang tinggi, pengaruh terhadap peningkatan bias ke ufuk mar i maupun objek langit juga akan meningkat. Lokasi rukyat yang baik terkait dengan gangguan polusi udara dan cahaya adalah ketika pada arah Barat dalam rentang azimut 240⁰-300⁰ tidak melewati wilayah perkotaan yang memiliki intensitas polusi cahaya dan polusi udara tinggi. Gambar Polusi cahaya dengan Acuan CASA Assalam Surakarta diambil tanggal 24 Oktober 2014

21 112 Gambar Polusi cahaya dengan Acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah diambil tanggal 22 Nopember 2014 Nilai pertumbuhan polusi cahaya tersebut dapat diidentifikasi pada waktu pergerakan pertumbuhan polusi cahaya sudah tetap dan tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, dalam keterkaitannya dengan rukyatul hilal yang dilaksanakan pada rentang pukul WIB, polusi cahaya berada pada rentang waktu kemunculannya hingga tidak terpengaruh oleh cahaya senja yang memiliki tingkat intensitas cahaya yang lebih tinggi.

22 113 Berdasarkan analisa tersebut, hakikat dari polusi cahaya merupakan peristiwa hamburan cahaya lampu yang berasal dari pemukiman penduduk yang ditangkap oleh kandungan atmosfer berupa partikulat, aerosol dan uap air dan dihamburkan sehingga langit terlihat lebih terang. Polusi cahaya disebabkan oleh beberapa hal yaitu desain dan instalasi arah pencahayaan lampu, jumlah dan jenis lampu yang digunakan serta kandungan kualitas udara, cuaca dan lingkungan geografis tempat. Untuk acuan CASA Assalam memiliki tingkat polusi cahaya yang lebih rendah dari acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah pada arah azimut 240º-300º. Hal ini disebabkan tingkat kepadatan pemukiman penduduk pada azimut tersebut tergolong lebih kecil. Berdasarkan keadaan lingkungan geografis, CASA Assalam memiliki tingkat skyglow terhadap azimut 240º-300º yang dapat teramati berkisar pada nilai 0,47% terhadap arah Klaten, 0,42% terhadap arah Boyolali dan 104,7% untuk arah Kartasura dimana lokasi berada. Untuk lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah memiliki tingkat skyglow terhadap azimut 240º-300º yang dapat teramati berkisar pada nilai 0,13% terhadap arah Kendal, 0,30% terhadap arah Kaliwungu dan Boja dan 130,9% untuk arah pusat Kota Semarang. Keberadaan lokasi gyang berada di wilayah padat pemukiman penduduk berkontribus dalam peningkatan nilai skyglow yang dihasilkan suatu daerah. B. Efek Polusi Cahaya terhadap Pelaksanaan Rukyat Menurut Djamaludin (2010), bahwa dalam rukyatul hilal kemampuan untuk membedakan antara hilal dan bukan hilal adalah hal yang penting. Lokasi yang

23 114 terbaik adalah daerah pantai yang terbuka ke arah Barat. Oleh karena itu, pengamatan dari bangunan tinggi di tengah kota mempunyai resiko gangguan pengamatan akibat polusi asap, debu dan cahaya kota. Hal ini sebagaimana lokasi rukyatul hilal di Pondok Pesantren al Husniyah, Cakung, Jakarta Timur. Lokasi ini berada di sebelah timur kota Jakarta yang memiliki tingkat polusi cahaya tinggi. Hakim (2009) dalam NU Online menuturkan bahwa lokasi cakung berada pada ketinggian ±20 m di bawah permukaan laut, dan lokasi pengamatan berada ± 9 m dibawah permukaan laut di atas lantai 3 bangunan. Koordinat geografis 6⁰ 9 36 LS dan 106⁰56 30 BT. Pengamatan dengan menggunakan Teleskop Schmidt Nora Cassegrain (D=203 mm, F=2000 mm, perbesaran 115x), ufuk 0⁰ masih berada di atas gedung-gedung. Kelemahan dari lokasi ini sangat rentan terhadap gangguan polusi udara, asap dan cahaya lampu kota Jakarta, terlebih ufuk barat lokasi berupa gedung-gedung dan pabrik serta cahaya dari gedung lampu industri Kemayoran Jakarta Pusat. Hal ini sebagaimana lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah Semarang dan CASA Assalam Surakarta yang berada di lingkungan perkotaan. Distribusi cahaya lampu kota akan memberikan pengaruh terhadap tingkat kejelasan penglihatan perukyat terhadap objek hilal, sebagaimana Djamaludin (2010). Dari hasil pengamatan di CASA Assalam, hasil rukyatulhilal pada tanggal 24 Oktober 2014, hilal tidak terlihat karena kondisi mendung. Matahari terbenam pukul 17: 31 WIB dan bulan terbenam pukul 17: 51 WIB, tinggi hilal mar i 4⁰59 24,26, lama hilal diatas ufuk 00:19:57, azimut Matahari 257⁰57 18,66 dan azimut Bulan 258⁰ Rukyatulhilal untuk tanggal 2

24 115 Muharam 1436 H dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober Hilal terlihat dengan jelas karena ketinggian hilal mencapai 16⁰47 11,8 sehingga lama waktu untuk mengamati hilal selama 01:07:08. Azimut Matahari 257º36 22,3 dan posisi hilal terlihat pada azimut 256⁰25 18,9. Untuk lokasi CASA Assalam pada tanggal 24 Oktober 2014, posisi Matahari berada pada azimut 257⁰57 18,66 dan azimut Bulan 258⁰ Tanggal 25 Oktober 2014, Matahari berada pada azimut Matahari 257º36 22,3 dan posisi Bulan pada azimut 256⁰25 18,9. Oleh karena itu, pada rentang azimut 240º - 270º pertumbuhan pencahayaan lampu kota diasumsikan sebagai polusi cahaya yang berpengaruh terhadap pelaksanaan rukyatulhilal. Matahari terbenam pukul dan ,08 WIB sehingga pertumbuhan pencahayaan lampu pada 24 dan 25 Oktober 2014 diasumsikan sama sehingga dapat diperoleh tabel pertumbuhan pencahayaan lampu. Tabel Pertumbuhan pencahayaan lampu dari titik lokasi CASA Assalam Surakarta pada Oktober 2014 Titik Acuan CASA Assalam Surakarta Azimut 240º-270º Terbenam Matahari Waktu Jumlah Keterlihatan Lampu Ket Tidak Nampak WIB mulai nampak cahaya lampu Peningkatan jumlah meningkat cepat Peningkatan jumlah meningkat cepat Peningkatan jumlah meningkat cepat Perubahan cenderung konstan dalam kisaran Konstan dalam kisaran cahaya lampu dengan asumsi 500 bh/

25 º Dari tabel dapat diperoleh informasi bahwa pertumbuhan polusi cahaya mulai nampak ±10 menit menjelang terbenam Matahari. Perubahan jumlah lampu yang dinyalakan meningkat pasca terbenam Matahari. Pada pukul peningkatan belum signifikan karena pengaruh cahaya senja masih kuat. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada rentang pukul WIB. Perubahan ini karena pengaruh cahaya senja semakin mengecil sehingga daerah yang lebih rendah dari lokasi pengamatan cenderung gelap. Perubahan pertumbuhan pencahayaan lampu pada azimut 240º-270º dari titik acuan CASA Assalam Surakarta pasca terbenam Matahari dapat dilihat dalam bagan berikut: Gambar Pola Pertumbuhan Pencahayaan Lampu berdasarkan Waktu dan Kisaran Jumlahnya untuk acuan lokasi CASA Assalam Oktober 2014 Pertumbuhan Pencahayaan Lampu berdasarkan Waktu dan Kisaran Jumlahnya Pertumbuhan Pencahayaan Lampu berdasarkan Waktu dan Kisaran Jumlahnya Berdasarkan bagan, dapat diketahui bahwa sumber polusi cahaya pada azimut 240º-270º dari lokasi, cenderung konstan pada pukul WIB.

26 117 Pengaruh cahaya senja menurun dengan semakin bertambah rendahnya posisi Matahari pada posisi -15º di bawah horizon. Gambar Citra foto pengamatan pada azimut 240º-270º untuk lokasi CASA Assalam 24 Oktober 2014 pukul WIB Sedangkan kegiatan rukyatulhilal di Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah dilaksanakan untuk awal Shafar 1436 H/ tanggal 22 Nopember 2014 akan tetapi hilal tidak terlihat karena berada dibawah ufuk dan cuaca mendung. Tinggi hilal -01⁰41 56,67, azimut bulan 252⁰56 40,04 dan Matahari terbenam pada pukul 17:39 WIB. Saat hilal terbenam pada pukul 17:32:41 WIB. Dengan hasil perhitungan hilal di bawah ufuk, maka penetapan tanggal 1 Safar 1436 H di-istikmal-kan pada tanggal 24 Nopember Pengamatan hilal untuk tanggal 1 Safar 1436 H, diperoleh tinggi hilal 10⁰24 05,79, azimut Bulan 252⁰44 38,35, lama hilal 00:41:36 dan Matahari terbenam pukul 17:39 WIB, dengan azimut 249º19 07,27. Posisi Matahari dan Bulan berada pada rentang azimut 240º-270º. Pada azimut ini ufuk mar i pengamat terhalang oleh dataran tinggi kec. Ngaliyan dan kec. Mijen dengan kisaran ketinggian 2º dari laut. Hilal tidak terlihat karena tertutup mendung

27 118 yang tebal merata di seluruh lokasi. Penerangan lampu mulai muncul pukul 17:30 WIB sampai pukul 18:00 yang cenderung konstan. Berdasarkan waktu terbenam Matahari pada tanggal 22 dan 23 Nopember 2014 pada pukul WIB dan pada arah azimut 240º-270º, maka diperoleh hasil pengamatan terhadap pertumbuhan polusi cahaya, terutama arah pusat kota Semarang sebagai berikut: Tabel Pertumbuhan pencahayaan lampu dari titik lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah pada Nopember 2014 Titik Acuan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah Azimut 240º-270º Terbenam Matahari Waktu Jumlah Keterlihatan Lampu Ket Nampak cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi mulai pukul Penerangan lampu mulai mengalami peningkatan secara perlahan Peningkatan jumlah cahaya lampu meningkat cepat Peningkatan jumlah meningkat cepat Peningkatan jumlah meningkat cepat Perubahan cenderung konstan dalam kisaran Konstan dalam kisaran cahaya lampu dengan asumsi 700 bh/ 10º Berdasarkan tabel diperoleh informasi bahwa pertumbuhan polusi cahaya di kota Semarang pada azimut 240º-270º memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dari Surakarta. Hal ini nampak dari jumlah kisaran cahaya lampu

28 yang muncul. Pada pengamatan pukul sudah nampak cahaya lampu dari gedung-gedung perkantoran yang disebabkan cuaca mendung. Peningkatan cahaya lampu mulai mengalami peningkatan pada pukul WIB secara perlahan. Peningkatan jumlah cahaya lampu yang signifikan berlangsung mulai pukul WIB. Perubahan ini yang signifikan dimulai ±10 menit sebelum terbenam Matahari terbenam, yakni pada rentang karena pada daerah yang lebih rendah dari lokasi pengamatan mengalami gelap lebih cepat. Dominansi cahaya lampu berada pada pusat kota Semarang yang memiliki intensitas cukup tinggi dan mulai nampak pada pukul WIB. Proses pertumbuhan polusi cahaya pada arah azimut 240º-270º dari acuan Menara al-husna Masjid Agung Jawa Tengah dapat dilihat dalam grafik berikut: Gambar Pola Pertumbuhan Pencahayaan Lampu berdasarkan Waktu dan Kisaran Jumlahnya untuk acuan lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah Nopember Pertumbuhan Pencahayaan Lampu berdasarkan waktu dan kisaran jumlahnya Pertumbuhan Pencahayaan Lampu berdasarkan waktu dan kisaran jumlahnya Dari gambar diperoleh pola pertumbuhan pencahayaan lampu kota pada bulan Nopember 2014 untuk Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah

29 120 tingginya tingkat pertumbuhan cahaya lebih dari 2100 buah dengan kisaran 700bh per 10º. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pencahayaan di kota Semarang lebih cepat dari pada Surakarta. Pengaruh cuaca yang memiliki pengaruh signifikan, yaitu pola pertumbuhan awan yang tinggi untuk kota Semarang yang disebabkan lingkungan geografisnya berupa wilayah pantai. Kondisi ini memberikan potensi terbentuknya perawanan yang tinggi (BMKG Semarang). Pola perubahan cahaya lampu tersebut berkorelasi dengan perubahan cahaya senja yang berkontribusi dalam peningkatan kecerahan langit pasca Matahari terbenam. Gambar Citra foto pengamatan pada azimut 240º-270º untuk lokasi CASA Assalam 24 Oktober 2014 pukul WIB Dari hasil pengamatan di lokasi CASA Assalam dan Menara al Husna Jawa Tengah, efek polusi cahaya terhadap pelaksanaan rukyatul hilal disebabkan terdapat korelasi waktu terbenam Matahari, kemunculan hilal, cahaya senja dan kemunculan polusi cahaya itu sendiri.

30 121 Pada saat pengamatan, Matahari terbenam pukul WIB untuk lokasi CASA Assalam, polusi cahaya mulai nampak pukul WIB, lama hilal di atas ufuk mulai pukul WIB, cahaya senja berkontribusi kuat dimulai pukul WIB Pasca Matahari terbenam. Matahari terbenam pukul WIB untuk lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah, polusi cahaya mulai nampak pukul (kisaran kecil 0-10), lama hilal di atas ufuk mulai pukul WIB (untuk rukyatulhilal tanggal 23 Nopember 2014) dan cahaya senja mulai berkontribusi terhadap kecerahan langit mulai pukul WIB. Kemunculan cahaya lampu mulai nampak ±10 menit sebelum Matahari terbenam. Oleh karena itu, efek dari kemunculan cahaya lampu akan menjadi permasalahan tersendiri ketika pelaksanaan rukyat dilaksanakan pasca terbenam Matahari. Menurut penulis, efek dari polusi cahaya terhadap pelaksanaan rukyat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu 1). lingkungan geografis lokasi rukyat, 2). Ketinggian tempat 3). Kualitas udara dan cuaca, 4). Intensitas cahaya senja. Dari keempat faktor tersebut, faktor pertama dan kedua cenderung tetap sedangkan faktor ketiga dan keempat senantiasa berubah dan saling mempengaruhi. 1. Lingkungan geografis lokasi rukyat Lingkungan geografis lokasi rukyat terkait dengan tata letak lokasi rukyat. Lokasi yang berada di lingkungan padat pemukiman penduduk akan memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dari pada lokasi yang berada di tepi pantai ataupun di dataran tinggi. Keberadaan lokasi ini harus didukung

31 122 dengan peralatan yang memadai sehingga mampu menangkap cahaya hilal dengan baik. Keterkaitannya dengan polusi cahaya yang ditimbulkan, lokasi yang berada di sebelah Timur pemukiman padat akan mengalami lebih banyak gangguan polusi cahaya yang disebabkan pancaran lampu pemukiman.hal ini sebagaimana lokasi CASA Assalam pada arah azimut 240º-300º merupakan arah pusat kota Klaten, dan Boyolali. Selain itu, pada rentang arah tersebut merupakan pemukiman padat sehingga penerangan lampu luar banyak dipergunakan, akan tetapi memiliki kapasitas yang lebih kecil daripada arah pusat kota Surakarta. Pada lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah arah azimut 240º-300º merupakan lingkungan pemukiman padat yang terdiri dari pusat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, kawasan industri, pelabuhan dan pemukiman padat. Tingkat kepadatan suatu pemukiman dan sentral perekonomian dan industri akan meningkatkan penggunaan pencahayaan luar (artificial lightening). Distribusi pencahayaan lampu luar ini mengalami peningkatan setiap tahun dengan penggunaan jenis lampu yang berbeda. Pada lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah, kota Semarang memiliki tingkat penggunaan lampu berbahan Merkuri dan HPS yang tinggi. Penggunaan jenis lampu ini dipergunakan untuk penerangan lampu jalan, pelabuhan, lampu taman dan tempat-tempat umum. Penggunaan jenis lampu Merkuri dan HPS dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan jumlah sumber polusi cahaya. Tingkat kepadatan pemukiman pedesaan dan perkotaan berbeda. Distribusi dari

32 123 spektrum cahaya jenis lampu Mercury dan HPS secara kontinyu dipancarkan ke atmosfer. Instalasi penerangan lampu yang melebihi arah pancaran horizontal lebih dominan sehingga pancaran cahaya lampu dapat teramati dari jarak yang lebih jauh. Gambar Kepadatan pemukiman penduduk dan polusi cahaya yang ditimbulkan pada azimut 240º-300º untuk lokasi CASA Assalam Surakarta dan Menara al-husna Masjid Agung Jawa Tengah tahun Ketinggian tempat Ketinggian lokasi pengamat terkait dalam meminimalisir pengaruh silau (glare). Ketinggian lokasi pengamatan juga akan memberikan pengaruh terhadap kejelasan ufuk yang diperoleh. Semakin tinggi lokasi, maka semakin dalam dan luas ufuk yang diperoleh serta jarak HD pengamat ke ufuk mar i semakin besar. Ketepatan dalam perolehan ufuk akan memberikan ketelitian lebih baik dalam pengukuran tinggi hilal yang diamati. Untuk lokasi-lokasi yang memiliki ufuk Barat berupa pemukiman,

33 124 ketinggian lokasi menjadi faktor penting untuk memperoleh ketepatan ufuk mar i. Selain itu, ketinggian lokasi rukyat akan menentukan jarak HD, yaitu jarak antara mata pengamat dengan ufuk mar i berdasarkan jauhnya kelengkungan bumi yang diperoleh. Semakin besar nilai HD yang diperoleh akan menentukan luasan area yang terlewati mata pengamat. Tingkat visibility pengamat juga akan berkurang sehingga diperlukan alat bantu berupa teleskop untuk mendapatkan objek hilal yang akurat. Ketinggian tempat dan jarak HD juga berpengaruh terhadap tingginya jumlah cahaya lampu yang akan teramati. Dengan bertambah tingginya lokasi rukyat, pengaruh cahaya silau lampu akan berkurang, akan tetapi juga akan meningkatkan sky glow yang teramati. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di kedua lokasi yang berada pada ketinggian tertentu, berpengaruh terhadap jenis polusi cahaya yang berpotensi mengganggu dalam pelaksanaan rukyat. Dengan pendekatan HD pengamat terhadap ufuk mar i dan sudut pancaran ideal 45º, dapat diperoleh pemetaan pengaruh polusi cahaya terhadap ketinggian tempat rukyat, sebagai berikut: Gambar Pemetaan pengaruh polusi cahaya berdasarkan HD terhadap ufuk mar i dan sudut pancaran ideal

34 125 Berdasarkan gambar 4.17 diatas pengaruh polusi cahaya lampu kota terhadap ketinggian lokasi rukyat dan efek yang ditimbulkannya dalam pelaksanaan rukyat dapat dipetakan ke dalam dua area, yaitu area sudut pancaran 45º dan area jarak pengamat ke ufuk mar i. Pada area pertama, jenis lampu yang banyak dipergunakan untuk penerangan lampu luar adalah jenis lampu neon (fluorescent), lampu Merkuri (high intensity discharge), Metal Halida (HID), sodium HPS (High Pressure Sodium) dan sodium LPS (Low Pressure Sodium). Dari berbagai macam lampu tersebut dapat di lihat dalam tabel berikut: Tabel Jenis lampu penerang lampu jalan dan penerangan luar No Jenis Lampu Warna λ (nm) Ket 1 Neon (fluorescent) Putih dingin Baik, peka temperatur 2 Merkuri Biru Putih Sumber polusi cahaya, kurang baik 3 Metal Halida Putih terang Baik untuk penerangan stadion dan CCTV 4 Sodium HPS Kuning terang Dapat menembus kabut, jarak pandang jauh, untuk tempat parkir dan jalan Raya Baik untuk observasi 5 Sodium LPS Kuning redup astronomi, karena mudah dikoreksi Adaptasi mata manusia terhadap cahaya dilakukan oleh sel batang (rod) yang lebih peka dari pada sel kerucut (cone). Perlu adaptasi minimal 20 menit untuk sensitivitas maksimum dalam gelap dengan panjang gelombang 507 nm (green). Sumber cahaya 1 lux dalam medan pandang mata, akan merusak adaptasi mata dan sensitivitas mata terbatas pada tingkat cahaya tertentu. Lampu berbahan Merkuri, HPS banyak dipergunakan untuk penerangan lampu jalan. Spektrum cahaya dari Merkuri

35 126 dan HPS merupakan sumber dari polusi cahaya yang tinggi yang memiliki spektrum warna biru untuk Merkuri dan kuning untuk HPS. Untuk sel batang sumber cahaya putih lebih memberikan visibilitas yang lebih baik dari paca sumber cahaya kuning untuk cahaya tampak. Ketika jenis lampu ini berada pada radius yang dekat dengan pengamatan, maka efek silau yang ditimbulkan akan menjadi pengganggu dalam rukyat. Hal ini sebagaimana pertumbuhan lampu pertama kali muncul ± 10 pasca terbenam Matahari, sehingga ketika jarak lokasi berada pada radius pancaran lampu, maka spektrum akan membiaskan pandangan perukyat itu sendiri. Akan tetapi, dengan semakin tingginya lokasi pengamatan melebihi batas pancaran horizontal, maka efek dari silau dari cahaya lampu dapat terhindarkan. Pada area kedua, efek dari cahaya silau (glare) tidak terlalu berpengaruh karena jarak relatif lebih jauh, akan tetapi arah pencahayaan ke atas (upward lightening) akan meningkatkan bias pandang ke objek hilal. Arah pencahayaan ini akan memberikan efek dalam karakteristik latar belakang langit. Dalam hal ini, rukyatul hilal yang dilakukan di lingkungan perkotaan sebagaimana di CASA Assalam, Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah, PP. Al Husniyah Cakung, dan puncak-puncak gedung serta menara-menara masjid sangat berpotensi terhadap gangguan polusi cahaya. Posisi dan letak lokasi rukyat yang lebih tinggi dari pada lingkungan geografis sekitarnya berimbas terhadap bertambahnya jarak mata pengamat ke ufuk mar i. Hal ini berarti lingkungan geografis yang teramati juga bertambah dalam jumlah luasannya. Jika lingkungan geografis

36 127 lokasi rukyat berupa pemukiman penduduk, maka semakin banyak jumlah pemukiman yang teramati sehingga jika potensi polusi cahaya yang dihasilkan oleh suatu pemukiman tinggi, maka dengan tingginya lokasi akan meningkatkan jumlah penghalang dan gangguan dalam pengamatan rukyat. Oleh karena itu, tinggi suatu lokasi rukyat harus sesuai dengan lingkungan geografis lokasi rukyat tersebut. 3. Kualitas udara dan cuaca Polusi cahaya merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kualitas udara dan pemborosan energi suatu wilayah. Pengaruh polusi cahaya sendiri sangat erat kaitannya dengan kualitas udara, terutama kandungan aerosol dan Suspendid Particulated Matter(SPM) yang berupa partikel mikroskopis dan berkontribusi dalam menghamburkan cahaya. Pada pengamatan di Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah bulan Nopember 2014, menunjukkan bahwa tingkat kualitas udara di kota Semarang berada diatas ambang batas ektrim untuk minggu ke-1, le-4 dan ke-5. Hasil pengamatan menunjukkan tingginya nilai SPM pada waktu tersebut berdampak pada berkurangnya kejelasan jarak pandang (visibility) dari pengamat ke objek yang diamati. Butir-butir aerosol dan SPM berkisar pada ketinggian dibawah 8 km karena tekanan udara diatas ketinggian tersebut lebih rendah dari pada tekanan udara permukaan. Banyak kandungan aerosol dan SPM yang menjadi aerosol basah karena tingginya kandungan air yang dimiliki lebih mudah dalam menangkap cahaya. Massa yang dimiliki akan menjadi terkonsentrasi pada ketinggian ±2-3 km karena pengaruh tekanan udara. Hal ini yang

37 128 menyebabkan polusi cahaya akan mudah tertangkap oleh kandungan partikel di atmosfer. Pada area permukaan bumi di bawah ketinggian 1 km, kandungan aerosol dan SPM tersebar merata dan melayang-layang di udara yang dapat mengurangi visibility pengamat. Hal ini berakibat pada banyaknya jumlah aerosol dan SPM hanya berkisar pada daerah permukaan bumi dengan ketinggian tertentu, sehingga memudahkan dalam menangkap cahaya dari permukaan bumi. Posisi lokasi Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah yang berada dekat dengan laut, menyebabkan pendistribusian hasil evaporasi dan partikel garam lebih banyak terjadi di Semarang. Aerosol dan SPM menyerap partikel garam dan uap air yang banyak mengandung air dan meningkatkan proses kondensasi. Aerosol dan SPM menjadi inti kondensasi yang mengikat kandungan air dan menurunkan suhu dan meningkatkan kelembaban udara. 4. Cahaya Senja Hilal sebagai objek pengamatan dalam rukyat, secara sederhana merupakan kondisi tatkala Bulan lebih cemerlang dibanding cahaya langit senja (Sudibyo, 2012). Cahaya senja merupakan pantulan cahaya Matahari yang dihamburkan oleh atmosfer bumi yang memiliki kecenderungan warna tampak tertentu. Panjang gelombang yang dipancarkan Matahari pada sore hari tidak semuanya sampai ke permukaan Bumi, akan tetapi terserap oleh atmosfer Bumi. Adapun panjang gelombang dan cahaya yang dipancarkan Matahari memiliki panjang gelombang yang berbeda-beda. Cahaya langit akan menjadi lebih terang setelah Matahari terbenam dengan tingkat intensitas cahayanya yang tinggi.

38 129 Tabel Panjang gelombang dan warna cahaya tampak Warna Frekuensi Panjang gelombang nila-ungu THz nm biru THz nm hijau THz nm kuning THz nm jingga THz nm merah THz nm 5. Panjang gelombang (nm) Warna warna yang diserap Warna komplementer (warna yang terlihat) Ungu Hijau kekuningan Biru Kuning Biru kehijauan Jingga Hijau kebiruan Merah Hijau Ungu kemerahan Hijau kekuningan Ungu Kuning Biru Jingga Biru kehijauan Merah Hijau kebiruan

39 130 Kecenderungan warna objek diatas memiliki karakteristik kenampakan warna yang berbeda. Polusi cahaya cenderung berwarna putih kekuning-kuningan dengan spektrum warna kuning untuk jenis lampu LPS dan biru untuk jenis Merkuri. Cahaya senja dalam warna cahaya tampak cenderung kemerah-merahan karena panjang gelombang infra merah yang banyak diteruskan oleh atmosfer Bumi ke mata pengamat. Sesaat setelah Matahari terbenam, cahaya tampak untuk langit senja dan polusi cahaya cenderung berubah ke warna putih kekuning-kuningan, sedangkan warna hilal cenderung tetap. Hal ini mengakibatkan kenampakan warna cahaya hilal menjadi samar karena perpendaran spektrum infra merah dari cahaya langit senja dan cahaya hilal. Hilal akan nampak ketika intensitas cahayanya lebih cemerlang dari cahaya senja dan polusi cahaya. Sesaat setelah Matahari terbenam, cahaya tampak untuk langit senja dan polusi cahaya cenderung berubah ke warna putih kekuningkuningan, sedangkan warna hilal cenderung tetap. Hal ini mengakibatkan kenampakan warna cahaya hilal menjadi samar karena perpendaran spektrum infra merah dari cahaya langit senja dan cahaya hilal. Hilal akan nampak ketika intensitas cahayanya lebih cemerlang dari cahaya senja. Kemunculan cahaya senja terpengaruhi oleh faktor cuaca terutama keadaan awan pada saat pengamatan. Semakin banyak jenis awan yang muncul dan teramati dari lokasi, terutama arah ufuk Barat pada azimut 240º-300º, akan meningkatkan cahaya senja. Dari keempat faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanan rukyat, tersebut diperoleh korelasi kemunculan cahaya senja dan polusi cahaya

40 131 sehingga dapat diketahui ketepatan waktu polusi cahaya berperan dalam meningkatkan keceraahan langit. Dengan membuat skala taksiran skala 1:200, dapat dihubungkan korelasi pertumbuhan polusi cahaya dan cahaya senjasebagai berikut: Tabel Korelasi polusi cahaya dan cahaya senja berdasarkan waktu kemunculan dan pola taksiran intensitas cahayanya untuk lokasi CASA Assalam Surakarta dan Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah bulan Oktober dan Nopember 2014 Taksiran Pertumbuhan Kecerahan Langit Waktu Polusi Cahaya Cahaya Senja Gambar Bagan korelasi pertumbuhan polusi cahaya dan cahaya senja Cahaya Senja Polusi Cahaya

41 132 Berdasarkan tabel dan gambar diatas diperoleh pola pertumbuhan polusi cahaya akan mengalami peningkatan mulai pukul WIB. Sedangkan pada waktu tersebut cahaya senja belum muncul. Dengan melihat waktu rata-rata terbenam Matahari bulan Oktober-Nopember 2014 pada kisaran pukul tingkat kecerahan langit didominasi cahaya senja pada tingkat kisaran <1000 kali lipat polusi cahaya. Korelasi polusi cahaya dan cahaya senja terjadi pada kisaran pukul Pada waktu tersebut tingkat kecerahan langit oleh cahaya senja mengalami penurunan hingga pada rentang pukul sedangkan polusi cahaya mengalami peningkatan pada rentang pukul pada titik pertemuan tersebut, dominasi kecerahan langit oleh langit senja menjadi bias, karena terjadi transisi perubahan kecerahan langit oleh polusi cahaya. Hal ini pula yang mengakibatkan pada saat pasca terbenam Matahari pada rentang pukul hingga pukul , kecerahan langit didominasi oleh cahaya senja, sedangkan polusi cahaya tidak berpengaruh terhadap kecerahan langit. Waktu kemunculan hilal positif pada saat pengamataan, berlangsung pada pukul untuk pengamatan di CASA Assalam dengan durasi 00:19:57.62 berada pada rentang Dari sini diperoleh bahwa kecerahan langit didominasi oleh cahaya senja, sedangkan efek polusi cahaya tidak memberikan pengaruh terhadap kecerahan langit. Dengan tingkat kelembaban udara 58-65% dan suhu 29,3-22,2ºC tingkat laju perawanan yang meningkatkan kecerahan langit terjadi pada kisaran awan tinggi.

42 133 Gambar Laju perawanan Kota Surakarta Oktober 2014 Peningkatan kecerahan langit oleh jenis awan tinggi, sedangkan pembentukan awan rendah jenis cumulonimbus hanya sedikit terbentuk. Hal ini mengakibatkan penghamburan cahaya oleh langit senja menjadi dominan. Efek polusi cahaya dengan intensitas cahaya yang kecil tidak dapat mencapai awan tinggi sehingga hanya terjadi pada kisaran tinggi < 1km. Oleh karena itu, pada pengamatan di CASA Assalam, efek polusi cahaya tidak berpengaruh terhadap peningkatan kecerahan cahaya langit pada saat rukyat dilaksanakan. Efek dari polusi cahaya ini dapat terjadi pada ketinggian tempat ±10 m yang disebabkan efek silau (glare) cahaya lampu di dekat lokasi pada radius 24 m. Sedangkan pada radius < 24 meter efek polusi cahaya berpengaruh terhadap jumlah titik cahaya di permukaan bumi. Pada ketinggian < 24 meter efek polusi cahaya tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap pelaksanaan rukyat. Pada rentang azimut 240º-300º, efek polusi cahaya pada pukul hanya berupa titik-titik cahaya yang dapat mengecoh pandangan karena

43 134 topografi daerah yang tidak rata dan terdapat penghalang berupa gunung di ufuk Barat. Gambar Efek polusi cahaya terhadap pelaksanaan rukyat di lokasi CASA Assalam Surakarta bulan Oktober 2014 pukul (kiri) dan pukul (kanan) Kemunculan hilal positif pada saat pengamatan di Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah berlangsung pada pukul dengan tinggi hilal 10º24 dan durasi 00:41:36,49. Waktu kemunculan hilal ini berada dalam rentang yaitu pada saat kecerahan langit masih didominasi oleh cahaya senja. Oleh karena itu, pada saat efek polusi cahaya tidak berpengaruh terhadap peningkatan kecerahan langit. Kondisi laju perawanan dan cuaca pada saat pengamatan dengan kelembaban pada tanggal Nopember 2014 berkisar antara 70-75% dan suhu rata-rata 29,4-30ºC. Potensi hujan terjadai pada tanggal dengan intensitas rendah. Kualitas udara pada minggu ke-4 berada pada nilai 236,95 mg/m 3 diatas batas ambang ekstrim yang menunjukkan bahwa pada minggu tersebut kualitas udara buruk. Hal ini berkorelasi dengan tingkat laju perawanan cukup tinggi. Pembentukan awan rendah banyak terjadi secara merata yang disebabkan tingginya tingkat evaporasi air laut dan partikulat garam yang

44 135 mengandung banyak kandungan air serta terbentuknya inti kondensasi awan hujan oleh aerosol dan SPM di udara. Gambar Laju perawanan kota Semarang Nopember 2014 Pembentukan awan rendah nampak berdasarkan citra MTSAT berupa pembentukan awan cumulonimbus dengan tinggi dasar awan <2500 m. Ketebalan awan mengakibatkan hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer tidak tersebar merata hingga ke dasar awan. Hamburan cahaya senja berwarna putih terang merata. Pada ketinggian dasar awan tersebut tingkat intensitas polusi cahaya dominan pada ketinggian < 1km. Penghamburan cahaya lampu oleh aerosol dan partikulat menjadi bias karena tingkat intensitasnya lebih rendah dari cahaya senja. Pada ketinggian menara 103 m, efek silau (glare) dari lampu penerangan di sekitar lokasi tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan rukyat. Pancaran cahaya yang dihasilkan oleh lampu di sekitar lokasi cenderung pada warna tampak keputih-putihan sehingga bias oleh cahaya senja yang lebih kuat

45 136 dan berpengaruh sampai pada ketinggian ± 50 m. Sedangkan untuk polusi cahaya yang lebih jauh dari lokasi, pada ketinggian tersebut nampa berupa titik-titik cahaya dalam jumlah yang semakin meningkat dengan warna cahaya tampak kekuning-kuningan dan keputih-putihan. Pada rentang pukul , polusi cahaya bias oleh cahaya senja dan meningkat kuat pada rentang pukul Akan tetapi, dengan banyaknya jumlah titik-titik cahaya yang muncul berpotensi menjadi pengecoh dalam menangkap cahaya hilal yang memiliki intensitas lebih rendah dari cahaya senja. Jarak lokasi terhadap sumber cahaya < 103 m, berpotensi dalam peningkatan cahaya latar ketika mendekati pukul Potensi cuaca dan kualitas udara yang buruk mengurangi tingkat kemampuan pandangan pengamat terhadap objek yang jauh. Sumber cahaya yang dihasilkan cahaya lampu akan mengurangi daya tangkap mata terhadap visibilitas hilal itu sendiri, karena pada pelaksanaan rukyat yang dilaksanakan di perkotaan, kuatnya sumber cahaya lampu memiliki daya pancar yang lebih kuat dari cahaya hilal. Gambar Efek polusi cahaya terhadap pelaksanaan rukyat di Menara al Husna Masjid Agung Jawa Tengah bulan Nopember 2014 pukul (kiri) dan pukul (kanan)

46 137 Keterkaitannya efek polusi cahaya dalam pelaksanaan rukyat, idealnya tetap harus memperhatikan kondisi lingkungan geografis lokasi rukyat yang sesuai dengan standar Kementerian Agama RI. Efek polusi cahaya akan nampak ketika lama hilal diatas ufuk melebihi rentang waktu ± 30 menit pasca terbenam Matahari pada kondisi cuaca dan tingkat kualitas udara yang mendukung. Pada suasana yang mendung efek polusi cahaya akan nampak pada saat intensitas cahaya senja turun. Sedangkan pada saat suasana cerah dan laju perawanan kecil berada pada jenis awan tinggi, tingkat hamburan cahaya senja dan polusi cahaya juga akan berkurang. Gambar Citra polusi cahaya pada saat senja dengan latar awan sedang (sumber: Selain itu, tingginya polusi cahaya juga berhubungan erat dengan keadaan cuaca dan kelembaban relatif dari lokasi rukyat, karena semakin tingginya laju kelembaban dan pembentukan awan akan mempertinggi laju pertumbuhan aerosol basah sebagai pembentuk inti kondensasi awan hujan. Oleh karena itu, untuka lokasi yang berada di lingkungan perkotaan, hendaknya melakukan pemetaan waktu rukyat sehingga dapat disinkronisasi dengan laju perubahan cuaca.

BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Analisis Latar Belakang Perekomendasian Pantai Pancur Alas Purwo Banyuwangi sebagai Tempat

Lebih terperinci

BAB III OBSERVASI POLUSI CAHAYA DAN RUKYATULHILAL

BAB III OBSERVASI POLUSI CAHAYA DAN RUKYATULHILAL BAB III OBSERVASI POLUSI CAHAYA DAN RUKYATULHILAL Metode observasi merupakan sistem proses perekaman pola alamiah dari manusia, objek dan kejadian-kejadian sebagaimana mereka teramati. Pengamatan memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Perkembangan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Perkembangan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadaan geografis Indonesia memiliki tingkat cuaca dan iklim yang berbeda dengan wilayah lainnya. Wilayah Indonesia yang memiliki bentangan perairan yang lebih luas

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM BUKIT RAKITAN, SLUKE, REMBANG. Rakitan merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada di Kecamatan Sluke. 1

BAB III GAMBARAN UMUM BUKIT RAKITAN, SLUKE, REMBANG. Rakitan merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada di Kecamatan Sluke. 1 BAB III GAMBARAN UMUM BUKIT RAKITAN, SLUKE, REMBANG A. Letak Geografis Lokasi rukyat al-hilal di Bukit Rakitan terletak di Desa Rakitan. Desa Rakitan merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada di

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB IV UJI KELAYAKAN PANTAI UJUNGNEGORO KABUPATEN BATANG SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL A. UJI KELAYAKAN BERDASARKAN KONDISI GEOGRAFIS

BAB IV UJI KELAYAKAN PANTAI UJUNGNEGORO KABUPATEN BATANG SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL A. UJI KELAYAKAN BERDASARKAN KONDISI GEOGRAFIS BAB IV UJI KELAYAKAN PANTAI UJUNGNEGORO KABUPATEN BATANG SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL A. UJI KELAYAKAN BERDASARKAN KONDISI GEOGRAFIS Seperti yang telah dijelaskan pada bab II, bahwa tempat yang layak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penelitian mengenai kecerahan langit adalah suatu studi yang penting dalam menjaga tata kehidupan manusia, dan memelihara ekosistem yang hidup di malam

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara sebagai Tempat Pengamatan Hilal (Rukyat Al-Hilal) Terdapat

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

Identifikasi Sumber Pencahayaan di Kawasan Kampus ITB

Identifikasi Sumber Pencahayaan di Kawasan Kampus ITB Identifikasi Sumber Pencahayaan di Kawasan Kampus ITB Novia Ekawanti 1,a), Fera Gustina Purwati 1,b), dan Luthfiandari 1,c) 1 Program Studi Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI ANYER BANTEN SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL. A. Analisis Latar Belakang Penggunaan Pantai Anyer Banten Sebagai

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI ANYER BANTEN SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL. A. Analisis Latar Belakang Penggunaan Pantai Anyer Banten Sebagai BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI ANYER BANTEN SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Analisis Latar Belakang Penggunaan Pantai Anyer Banten Sebagai Tempat Rukyat Al-Hilal Latar belakang digunakannya Pantai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet Pada dasarnya azimut planet adalah busur yang diukur dari titik Utara

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH A. Analisis Metode Perhitungan dan Penyusunan Jadwal Waktu Salat Pada jaman dahulu, penentuan waktu-waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerangan buatan di malam hari sudah menjadi kebutuhan manusia modern yang sangat penting dan hal ini sudah berkembang sejak akhir abad ke- 19. Sudah tak terhitung

Lebih terperinci

BAB 1V ANALISIS PENGARUH ATMOSFER TERHADAP VISIBILITAS HILAL DAN KLIMATOLOGI OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN AS-SALAM

BAB 1V ANALISIS PENGARUH ATMOSFER TERHADAP VISIBILITAS HILAL DAN KLIMATOLOGI OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN AS-SALAM BAB 1V ANALISIS PENGARUH ATMOSFER TERHADAP VISIBILITAS HILAL DAN KLIMATOLOGI OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN AS-SALAM A. Atmosfer yang Mempengaruhi Terhadap Visibilitas Hilal Sebelum sampai ke permukaan bumi,

Lebih terperinci

DINAS PENDIDIKAN KOTA PADANG SMA NEGERI 10 PADANG Cahaya

DINAS PENDIDIKAN KOTA PADANG SMA NEGERI 10 PADANG Cahaya 1. EBTANAS-06-22 Berikut ini merupakan sifat-sifat gelombang cahaya, kecuali... A. Dapat mengalami pembiasan B. Dapat dipadukan C. Dapat dilenturkan D. Dapat dipolarisasikan E. Dapat menembus cermin cembung

Lebih terperinci

Gambar 1. Teteasan air dan Kristal es di dalam awan menghamburkan spectrum cahaya tampak kesegala arah

Gambar 1. Teteasan air dan Kristal es di dalam awan menghamburkan spectrum cahaya tampak kesegala arah 1. Mengapa bintang berkelap-kelip? Penyebab utamanya adalah karena bumi memiliki atmosfer. Banyaknya lapisan udara dengan temperatur yang berbeda-beda di atmosfer menyebabkan lapisan-lapisan udara tersebut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI UJUNG PANGKAH GRESIK SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL. A. Latar Belakang Penggunaan Pantai Ujung Pangkah Sebagai Tempat

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI UJUNG PANGKAH GRESIK SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL. A. Latar Belakang Penggunaan Pantai Ujung Pangkah Sebagai Tempat BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI UJUNG PANGKAH GRESIK SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Latar Belakang Penggunaan Pantai Ujung Pangkah Sebagai Tempat Rukyat Al-Hilal Kata rukyat al-hilal terdiri dari dua

Lebih terperinci

Cahaya sebagai media Fotografi. Syarat-syarat fotografi. Cahaya

Cahaya sebagai media Fotografi. Syarat-syarat fotografi. Cahaya Cahaya sebagai media Fotografi Pencahayaan merupakan unsur dasar dari fotografi. Tanpa pencahayaan yang optimal, suatu foto tidak dapat menjadi sebuah karya yang baik. Pengetahuan tentang cahaya mutlak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB TEKNIK ELEKTRO

MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB TEKNIK ELEKTRO MAKALAH ILUMINASI DISUSUN OLEH : M. ALDWY WAHAB 14 420 040 TEKNIK ELEKTRO ILUMINASI (PENCAHAYAAN) Iluminasi disebut juga model refleksi atau model pencahayaan. Illuminasi menjelaskan tentang interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Adanya perbedaan kriteria dalam menentukan awal bulan Hijriyah ditengarai menjadi penyebab umat Islam Indonesia dalam beberapa kesempatan tidak serentak dalam

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan

Lebih terperinci

CAHAYA. CERMIN. A. 5 CM B. 10 CM C. 20 CM D. 30 CM E. 40 CM

CAHAYA. CERMIN. A. 5 CM B. 10 CM C. 20 CM D. 30 CM E. 40 CM CAHAYA. CERMIN. A. 5 CM B. 0 CM C. 20 CM D. 30 CM E. 40 CM Cahaya Cermin 0. EBTANAS-0-2 Bayangan yang terbentuk oleh cermin cekung dari sebuah benda setinggi h yang ditempatkan pada jarak lebih kecil

Lebih terperinci

Bab 7 Jenis-jenis Lampu. Dr. Yeffry Handoko Putra, S.T, M.T Jenis Lampu

Bab 7 Jenis-jenis Lampu. Dr. Yeffry Handoko Putra, S.T, M.T   Jenis Lampu Bab 7 Jenis-jenis Lampu Dr. Yeffry Handoko Putra, S.T, M.T E-mail: yeffry@unikom.ac.id 58 Jenis Lampu 59 1 Lampu Pijar (incadescent) Lampu Pelepasan (gas discharge lamp) - Tekanan rendah (Lampu Flurescent,

Lebih terperinci

SOAL SELEKSI PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL BIDANG ASTRONOMI

SOAL SELEKSI PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL BIDANG ASTRONOMI SOAL SELEKSI PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL BIDANG ASTRONOMI Waktu Jumlah Soal : 150 menit : 30 Soal 1. Bintang A memiliki tingkat kecemerlangan tiga kali lebih besar dibandingkan dengan Bintang B. Bintang

Lebih terperinci

JAWABAN DAN PEMBAHASAN

JAWABAN DAN PEMBAHASAN JAWABAN DAN PEMBAHASAN 1. Dalam perjalanan menuju Bulan seorang astronot mengamati diameter Bulan yang besarnya 3.500 kilometer dalam cakupan sudut 6 0. Berapakah jarak Bulan saat itu? A. 23.392 km B.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS BUKIT RAKITAN, SLUKE, REMBANG SEBAGAI LOKASI RUKYAT AL-HILAL. A. Analisis Latar Belakang digunakannya Bukit Rakitan, Sluke, Rembang

BAB IV ANALISIS BUKIT RAKITAN, SLUKE, REMBANG SEBAGAI LOKASI RUKYAT AL-HILAL. A. Analisis Latar Belakang digunakannya Bukit Rakitan, Sluke, Rembang BAB IV ANALISIS BUKIT RAKITAN, SLUKE, REMBANG SEBAGAI LOKASI RUKYAT AL-HILAL A. Analisis Latar Belakang digunakannya Bukit Rakitan, Sluke, Rembang Sebagai Lokasi Rukyat al-hilal Dari data yang telah diuraikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan kota terbesar di Pulau Sumatera. Secara geografis Kota Medan terletak pada 3 30'

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar

STRUKTUR BUMI. Bumi, Tata Surya dan Angkasa Luar STRUKTUR BUMI 1. Skalu 1978 Jika bumi tidak mempunyai atmosfir, maka warna langit adalah A. hitam C. kuning E. putih B. biru D. merah Jawab : A Warna biru langit terjadi karena sinar matahari yang menuju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penentuan waktu merupakan hal yang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Suatu peradaban dikatakan maju apabila peradaban tersebut memiliki penanggalan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB IV KELAYAKAN POS OBSERVASI BULAN BUKIT SYEH BELA-BELU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL

BAB IV KELAYAKAN POS OBSERVASI BULAN BUKIT SYEH BELA-BELU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL BAB IV KELAYAKAN POS OBSERVASI BULAN BUKIT SYEH BELA-BELU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI TEMPAT RUKYATUL HILAL A. Analisis Latar Belakang Perekomendasian Pos Observasi Bulan Bukit Syeh Bela Belu Daerah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Erwinsyah Hasibuan (1996) dalam penelitian Tugas Akhirnya : kualitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Erwinsyah Hasibuan (1996) dalam penelitian Tugas Akhirnya : kualitas BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. KAJIAN PUSTAKA Penerangan dalam ruang kelas Erwinsyah Hasibuan (1996) dalam penelitian Tugas Akhirnya : kualitas penerangan yang harus dan layak disediakan didalam suatu ruangan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI NAMBANGAN SURABAYA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT HILAL. A. Analisis Latar Belakang Pemakaian Pantai Nambangan sebagai

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI NAMBANGAN SURABAYA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT HILAL. A. Analisis Latar Belakang Pemakaian Pantai Nambangan sebagai BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI NAMBANGAN SURABAYA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT HILAL A. Analisis Latar Belakang Pemakaian Pantai Nambangan sebagai Tempat Rukyat Hilal Dipilihnya pantai Nambangan sebagai salah

Lebih terperinci

SAINS ARSITEKTUR II Iklim (Tropis Basah) & Problematika Arsitektur

SAINS ARSITEKTUR II Iklim (Tropis Basah) & Problematika Arsitektur SAINS ARSITEKTUR II Iklim (Tropis Basah) & Problematika Arsitektur Disusun oleh : Yudi Leo Kristianto (0951010014) Dosen : JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI BAB II 2.1. Tinjauan Umum Sungai Beringin merupakan salah satu sungai yang mengalir di wilayah Semarang Barat, mulai dari Kecamatan Mijen dan Kecamatan Ngaliyan dan bermuara di Kecamatan Tugu (mengalir

Lebih terperinci

Mam MAKALAH ISLAM. Potensi Rembang Jawa Tengah Sebagai Pusat Observatorium Bulan (POB)

Mam MAKALAH ISLAM. Potensi Rembang Jawa Tengah Sebagai Pusat Observatorium Bulan (POB) Mam MAKALAH ISLAM Potensi Rembang Jawa Tengah Sebagai Pusat Observatorium Bulan (POB) 3 Desember 2014 Makalah Islam Potensi Rembang Jawa Tengah Sebagai Pusat Observatorium Bulan (POB) Dr. H. Ahmad Izzuddin,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Rukyat al-hilal tentang latar belakang penggunaan Bukit Rakitan, Sluke, a) Sebagai upaya Badan Hisab Rukyat (BHR) Rembang dalam mencari

BAB V PENUTUP. Rukyat al-hilal tentang latar belakang penggunaan Bukit Rakitan, Sluke, a) Sebagai upaya Badan Hisab Rukyat (BHR) Rembang dalam mencari BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil penelitian penulis yang berjudul Bukit Rakitan Sebagai lokasi Rukyat al-hilal tentang latar belakang penggunaan Bukit Rakitan, Sluke, Rembang sebagai lokasi rukyat

Lebih terperinci

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi

Skema proses penerimaan radiasi matahari oleh bumi Besarnya radiasi yang diserap atau dipantulkan, baik oleh permukaan bumi atau awan berubah-ubah tergantung pada ketebalan awan, kandungan uap air, atau jumlah partikel debu Radiasi datang (100%) Radiasi

Lebih terperinci

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis 63 BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis dan Interpretasi Data Pengamatan kecerlangan langit menggunakan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya

Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. Raja Kerajaan Tata Surya Raja Kerajaan Tata Surya Matahari merupakan salah satu bintang di antara milyaran bintang yang ada di galaksi kita. Seperti bintang yang lainnya, Matahari merupakan bola gas panas raksasa yang sangat terang.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA STUDI KASUS

BAB IV ANALISA STUDI KASUS BAB IV ANALISA STUDI KASUS IV.1 GOR Bulungan IV.1.1 Analisa Aliran Udara GOR Bulungan terletak pada daerah perkotaan sehingga memiliki variasi dalam batas-batas lingkungannya. Angin yang menerpa GOR Bulungan

Lebih terperinci

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( ) TATA KOORDINAT BENDA LANGIT Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah (4201412051) 2. Winda Yulia Sari (4201412094) 3. Yoga Pratama (42014120) 1 bintang-bintang nampak beredar dilangit karena bumi berotasi. Jika

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA SISWA (LKS) /TUGAS TERSTRUKTUR - - GELOMBANG ELEKTROMAGNET - G ELO MB ANG ELEK TRO M AG NETIK

LEMBAR KERJA SISWA (LKS) /TUGAS TERSTRUKTUR - - GELOMBANG ELEKTROMAGNET - G ELO MB ANG ELEK TRO M AG NETIK LEMBAR KERJA SISWA (LKS) /TUGAS TERSTRUKTUR Diberikan Tanggal :. Dikumpulkan Tanggal : Nama : Kelas/No : / Elektromagnet - - GELOMBANG ELEKTROMAGNET - G ELO MB ANG ELEK TRO M AG NETIK Interferensi Pada

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017

ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA TANGGAL JUNI 2017 BADAN METEROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jl. Angkasa I No. 2 Jakarta, 10720 Telp: (021) 424 6321, Fax: (021) 424 6703, P.O. Box 3540 Jkt Website: http://www.bmkg.go.id ANALISIS KUALITAS UDARA JAKARTA

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK 2.1 Umum elektromagnetik adalah gelombang yang dapat merambat walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik seperti yang diilustrasikan pada

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan mulai bulan september 2013 sampai dengan bulan maret

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan mulai bulan september 2013 sampai dengan bulan maret 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan september 2013 sampai dengan bulan maret 2014 dengan mengambil tempat di Gedung UPT TIK UNILA. 3.2

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Latar Belakang Digunakannya Bukit Wonocolo Bojonegoro sebagai Tempat Rukyat Sejak sebelum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rukyat adalah kegiatan yang berisi usaha melihat hilal atau Bulan

BAB I PENDAHULUAN. Rukyat adalah kegiatan yang berisi usaha melihat hilal atau Bulan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rukyat adalah kegiatan yang berisi usaha melihat hilal atau Bulan sabit di ufuk barat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan

Lebih terperinci

SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015

SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015 Bidang Astronomi Waktu : 150 menit KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

indahbersamakimia.blogspot.com Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit

indahbersamakimia.blogspot.com Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit Soal Olimpiade Astronomi Tingkat Provinsi 2011, Waktu : 150 menit Pilihan Berganda, 20 Soal 1. Jika jarak rata-rata planet Mars adalah 1,52 SA dari Matahari, maka periode orbit planet Mars mengelilingi

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER)

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Ketiga (ATMOSFER) 1. Pengertian Atmosfer Planet bumi dapat dibagi menjadi 4 bagian : (lithosfer) Bagian padat

Lebih terperinci

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah.

Atmosfer Bumi. Ikhlasul-pgsd-fip-uny/iad. 800 km. 700 km. 600 km. 500 km. 400 km. Aurora bagian. atas Meteor 300 km. Aurora bagian. bawah. Atmosfer Bumi 800 km 700 km 600 km 500 km 400 km Aurora bagian atas Meteor 300 km Aurora bagian bawah 200 km Sinar ultraviolet Gelombang radio menumbuk ionosfer 100 km 80 km Mesopause Stratopause 50 km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya jumlah curah hujan di bawah normal pada suatu periode atau biasa disebut dengan kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama yang selanjutnya mulai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan luas areal 0,8 Ha. Lokasi ini berada tidak jauh dari pemukiman penduduk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan luas areal 0,8 Ha. Lokasi ini berada tidak jauh dari pemukiman penduduk BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Daerah Pangkalan Pendaratan Ikan (UPTD PPI) Kota Gorontalo terletak di kelurahan Tenda Kecamatan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN tangkapan yang berbeda. Untuk hari pertama tanpa menggunakan lampu, hari ke menggunakan dua lampu dan hari ke menggunakan empat lampu. Dalam satu hari dilakukan dua kali operasi penangkapan. Data yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Sunglasses kesehatan mata

Sunglasses kesehatan mata Sunglasses kesehatan mata Sunglasses atau Kacamata Hitam sudah menjadi barang kebutuhan seharihari, terutama di daerah-daerah tropis seperti Indonesia. Entah untuk digunakan saat sedang berjalan di siang

Lebih terperinci

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK BAB GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK I. SOAL PILIHAN GANDA Diketahui c = 0 8 m/s; µ 0 = 0-7 Wb A - m - ; ε 0 = 8,85 0 - C N - m -. 0. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut : () Di udara kecepatannya cenderung

Lebih terperinci

1. Hasil pengukuran ketebalan plat logam dengan menggunakan mikrometer sekrup sebesar 2,92 mm. Gambar dibawah ini yang menunjukkan hasil pengukuran

1. Hasil pengukuran ketebalan plat logam dengan menggunakan mikrometer sekrup sebesar 2,92 mm. Gambar dibawah ini yang menunjukkan hasil pengukuran 1. Hasil pengukuran ketebalan plat logam dengan menggunakan mikrometer sekrup sebesar 2,92 mm. Gambar dibawah ini yang menunjukkan hasil pengukuran tersebut adalah.... A B. C D E 2. Sebuah perahu menyeberangi

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Inventarisasi Tahap inventarisasi merupakan tahap yang dilakukan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung dan dibutuhkan pada perencanaan jalur hijau jalan ini. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI

BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI BAB 13 STRUKTUR BUMI DAN STRUKTUR MATAHARI Tujuan Pembelajaran Kamu dapat mendeskripsikan struktur bumi. Bila kita berada di suatu tempat yang terbuka, umumnya dataran sekeliling kita akan terlihat rata.

Lebih terperinci

SIFAT-SIFAT CAHAYA. 1. Cahaya Merambat Lurus

SIFAT-SIFAT CAHAYA. 1. Cahaya Merambat Lurus SIFAT-SIFAT CAHAYA Dapatkah kamu melihat benda-benda yang ada di sekelilingmu dalam keadaan gelap? Tentu tidak bukan? Kita memerlukan cahaya untuk dapat melihat. Benda-benda yang ada di sekitar kita dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinar matahari yang sampai di bumi merupakan sumber utama energi yang menimbulkan segala macam kegiatan atmosfer seperti hujan, angin, siklon tropis, musim panas, musim

Lebih terperinci

A. SIFAT-SIFAT CAHAYA

A. SIFAT-SIFAT CAHAYA A. SIFAT-SIFAT CAHAYA Sebuah benda dapat dilihat karena adanya cahaya, yang memancar atau dipantulkan dari benda tersebut, yang sampai ke mata. Cahaya menurut sumber berasalnya ada 2 macam, yaitu: 1. cahaya

Lebih terperinci

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH. GELOMBANG MENENGAH Berdasarkan spektrum frekuensi radio, pita frekuensi menengah adalah gelombang dengan rentang frekuensi yang terletak antara 300 khz sampai 3 MHz

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. a) Kondisi Grafis Kota Bandar Lampung

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. a) Kondisi Grafis Kota Bandar Lampung BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN A. Gambaram Umum Objek Penelitian 1. Kota Bandar Lampung a) Kondisi Grafis Kota Bandar Lampung Sumber : Badan Pusat Statistik, 2016 Gambar 4.1. Peta Administrasi Bandar

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi observasi monitoring, yaitu dengan melakukan pengamatan dalam interval waktu tertentu dengan mengukur

Lebih terperinci

CAHAYA. Cahaya: Cahaya adalah suatu bentuk radiasi energi elektromagnetik yang dipancarkan dalam bagian spektrum yang dapat dilihat.

CAHAYA. Cahaya: Cahaya adalah suatu bentuk radiasi energi elektromagnetik yang dipancarkan dalam bagian spektrum yang dapat dilihat. CAHAYA Cahaya: Cahaya adalah suatu bentuk radiasi energi elektromagnetik yang dipancarkan dalam bagian spektrum yang dapat dilihat. Energi panas di radiasikan / dipancarkan pada suatu media oleh suatu

Lebih terperinci

BAB IV UJI KELAYAKAN DAN VERIFIKASI PANTAI PASIR PUTIH SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

BAB IV UJI KELAYAKAN DAN VERIFIKASI PANTAI PASIR PUTIH SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH 50 BAB IV UJI KELAYAKAN DAN VERIFIKASI PANTAI PASIR PUTIH SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH A. Latar Belakang Penggunaan Pantai Pasir Putih Situbondo Sebagai Tempat Rukyat al-hilal

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

Rommy Andhika Laksono Agroklimatologi

Rommy Andhika Laksono Agroklimatologi Rommy Andhika Laksono Agroklimatologi PROSES PEMBENTUKAN AWAN Awan kondensasi uap air di atas permukaan bumi. Udara yang mengalami kenaikan karena tekanan udara di atas lebih kecil daripada tekanan di

Lebih terperinci

BAB 6 HASIL PERANCANGAN

BAB 6 HASIL PERANCANGAN BAB 6 HASIL PERANCANGAN Perancangan Hotel Resort Kota Batu yang mengintegrasikan konsep arsitektur tropis yang mempunyai karakter beradaptasi terhadap keadaan kondisi iklim dan cuaca di daerah Kota Batu

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM BUKIT WONOCOLO. A. Sejarah Digunakannya Bukit Wonocolo Bojonegoro sebagai Tempat

BAB III GAMBARAN UMUM BUKIT WONOCOLO. A. Sejarah Digunakannya Bukit Wonocolo Bojonegoro sebagai Tempat BAB III GAMBARAN UMUM BUKIT WONOCOLO A. Sejarah Digunakannya Bukit Wonocolo Bojonegoro sebagai Tempat Rukyat Pengamatan hilal untuk penentuan awal bulan kamariah di bukit Wonocolo dilakukan pertama kali

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Suhu Udara Hasil pengukuran suhu udara di dalam rumah tanaman pada beberapa titik dapat dilihat pada Gambar 6. Grafik suhu udara di dalam rumah tanaman menyerupai bentuk parabola

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan

Lebih terperinci

Untuk terang ke 3 maka Maka diperoleh : adalah

Untuk terang ke 3 maka Maka diperoleh : adalah JAWABAN LATIHAN UAS 1. INTERFERENSI CELAH GANDA YOUNG Dua buah celah terpisah sejauh 0,08 mm. Sebuah berkas cahaya datang tegak lurus padanya dan membentuk pola gelap terang pada layar yang berjarak 120

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SELASA, 3 DESEMBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN SHAFAR 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan

Lebih terperinci

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB A. Gerak Semu Benda Langit Bumi kita berputar seperti gasing. Ketika Bumi berputar pada sumbu putarnya maka hal ini dinamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu astronomi di Indonesia sudah terasa manfaatnya. Objek kajian yang diamatinya pun semakin berkembang, tidak hanya terbatas pada Matahari,

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM SABTU, 5 OKTOBER 2013 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1434 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM RABU, 24 SEPTEMBER 2014 M PENENTU AWAL BULAN DZULHIJJAH 1435 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari

Lebih terperinci