ANALISIS POLA SPASIAL TAMBANG TIMAH RAKYAT SEBAGAI MASUKAN DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN TATA RUANG DI KABUPATEN BANGKA ELFIDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS POLA SPASIAL TAMBANG TIMAH RAKYAT SEBAGAI MASUKAN DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN TATA RUANG DI KABUPATEN BANGKA ELFIDA"

Transkripsi

1 ANALISIS POLA SPASIAL TAMBANG TIMAH RAKYAT SEBAGAI MASUKAN DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN TATA RUANG DI KABUPATEN BANGKA ELFIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pola Spasial Tambang Timah Rakyat Sebagai Masukan Dalam Penentuan Kebijakan Tata Ruang di Kabupaten Bangka adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2007 Elfida NRP A

3 ABSTRAK ELFIDA. Analisis Pola Spasial Tambang Timah Rakyat Sebagai Masukan dalam Penentuan Kebijakan Tata Ruang di Kabupaten Bangka. Dibimbing oleh BABA BARUS, ATANG SUTANDI, dan BUDI MULYANTO. Aktifitas penambangan timah skala kecil (Tambang Inkonvensional) merupakan alternatif pekerjaan sebagian masyarakat di Kabupaten Bangka sampai saat ini. Aktifitas tersebut dapat berdampak positif karena memberikan pendapatan tinggi, tetapi juga dapat memberikan dampak negatif seperti : kerusakan lingkungan, perubahan sosial, dan permasalahan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan kaidah penataan ruang dan daya dukungnya. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mendapatkan gambaran sebaran lokasi tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka, 2) Mendapatkan informasi kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat aktifitas tambang timah rakyat, 3) Mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan akibat aktifitas tambang timah rakyat, serta 4) Memberikan saran sebagai masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka dalam merumuskan kebijakan penataan ruang berkaitan dengan aktifitas tambang timah rakyat. Secara umum metode penelitian menggunakan analisis SIG dan analisis deskripsi. Untuk mendapatkan basis data spasial dilakukan analisis SIG berupa digitasi, koreksi dan integrasi data spasial dan atribut. Analisis terhadap lokasi tambang timah rakyat meliputi proses overlay, identifikasi terhadap status perizinan tambang, jumlah tambang dan nilai Standard Distance (SD), klasifikasi jarak tambang terhadap pusat kecamatan, serta pengharkatan. Analisis SIG juga digunakan pada identifikasi terhadap penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan, identifikasi hubungan sebaran tambang timah rakyat dengan penggunaan lahan, serta arahan pemanfaatan ruang serta analisis deskripsi untuk kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hasil pengharkatan ke jumlah tambang dan nilai SD sebaran tambang di setiap desa, menunjukkan kondisi lingkungan desa berkategori sangat buruk terdapat di 6 desa yaitu Desa Bintet, Gunung Pelawan, Lumut, Cit, Riau, dan Silip. Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa aktifitas tambang timah rakyat meningkatkan ekonomi masyarakat, tetapi mereka juga mengakui dampak sangat buruk aktifitas tersebut berupa kerusakan lingkungan dan kecelakaan kerja. Hasil identifikasi pemanfaatan fungsi kawasan untuk aktifitas penambangan menunjukkan bahwa 8.67 % kawasan lindung dimanfaatkan sebagai areal tambang. Kemudian, hasil penilaian kesesuaian sumberdaya lahan menunjukkan bahwa tanaman kelapa memiliki tingkat kesesuaian yang paling tinggi menyusul kelapa sawit, lada dan karet, sedangkan preferensi masyarakat tertinggi adalah karet, menyusul sayuran, sedangkan komoditas lain relatif rendah. Rekomendasi penelitian untuk perbaikan rencana tata ruang adalah diperlukan kawasan lindung %, kawasan rehabilitasi pasca tambang 6.58 %, dan kawasan budidaya % dengan memasukkan secara eksplisit kawasan pertambangan % dan kawasan perkebunan %. Kata kunci : Tambang Inkonvensional, Standard Distance, overlay,, penyimpangan ruang, rehabilitasi.

4 ABSTRACT ELFIDA. Spatial Pattern Analysis of Public Tin Mining as A Suggestion in Determination of Spatial Arrangement Policy in Bangka District. Supervised by BABA BARUS, ATANG SUTANDI and BUDI MULYANTO. Recently small scale tin mining (Inconventional Mining) is an alternative activity for some communities in Bangka District. The activity may create positive impact through providing high income, but incontrast, it may create negative impacts such as environmental degradation, social change, and spatial inapropriate utilization regarding its spatial planning and carrying capacity. The objectives of this research were : 1) To describe inconventional tin mining location in Bangka District, 2) To inform socio-economic community due to inconventional tin mining, 3) To know possibility of area utilization discrepancy due to inconventional tin mining, and 4) to provide suggestions to Bangka District Government in spatial arrangement policy in relation to inconventional tin mining activity. Generally, the research methods used GIS and description analysis. The spatial data base was derived from GIS analysis such as digitations, correction, and integration of spatial data and attribute. Analysis for inconventional mining location was conducted through overlay process, legal location mining status identification, total amount and SD value of quarry mining, mining distance category to subdistrict, and scoring. GIS analyses were implemented to identify the discrepancy of area utilization, inconventional mining distribution regarding with land use, and spatial utilization, and description analysis to community socio-economic condition. The scoring results for the total sum and SD value of mining distribution of each village produce very bad environmental category for six villages i.e Bintet, Gunung Pelawan, Lumut, Cit, Riau, and Silip. Most of the community stated that the inconventional tin mining activity increased community economic livelyhood, but they also realized that there were negative impacts such as environmental degradation and accident in mining location. It was identified that discrepancy of area utilization due to mining activity were 8.67 % of preservation area were used as mining area. Furthermore, suitability analysis produced that coconut crop with the highest suitability compared to oil palm, pepper and rubber. Meanwhile the highest community preference crops was devoted to rubber, following by vegetable, and the other crops has lower tendency. The research recommendation for improvement of the spatial utilization plan were % of preservation area, 6.58 % rehabilitation area, and % cultivation area, including % mining area and % plantation area. Keywords: Inconventional mining, Standard Distance, overlay, spatial discrepancy, rehabilitation.

5 ANALISIS POLA SPASIAL TAMBANG TIMAH RAKYAT SEBAGAI MASUKAN DALAM PENENTUAN KEBIJAKAN TATA RUANG DI KABUPATEN BANGKA ELFIDA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

6 Judul Tesis : Analisis Pola Spasial Tambang Timah Rakyat Sebagai Masukan Dalam Penentuan Kebijakan Tata Ruang di Kabupaten Bangka Nama : Elfida NRP : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Ketua Ir. Atang Sutandi, M.Si, Ph.D Anggota Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 17 Februari 2007 Tanggal Lulus :

7 Tulisan ini kupersembahkan untuk yang kucintai suamiku (Rif at Syafitri, S.Sos) dan anakku (Reskika Syafari) yang dengan sabar telah banyak memberikan dukungan dan kemudahan, yang kuhormati ayahanda M. Thayib A.R. Siddik (Alm), ibunda Maimunah (Alm), bapak dan ibu mertuaku Usmanu dan Rosinah, keluarga besarku yang selalu hangat dan kompak dalam kebersamaan, almamaterku serta sahabat-sahabatku, rekan-rekan mahasiswa PWL 05 terimakasih atas semua dukungan dan kebersamaan kita

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2006 ini ialah tambang timah rakyat, dengan judul Analisis Pola Spasial Tambang Timah Rakyat Sebagai Masukan Dalam Penentuan Kebijakan Tata Ruang di Kabupaten Bangka. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada : 1) Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc, Bapak Ir. Atang Sutandi, M.Si,Ph.D, dan Bapak Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc selaku Komisi Pembimbing atas bimbingannya dalam penyelesaian tesis ini. 2) Pimpinan dan Staf Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas, selaku penyandang dana beasiswa selama masa pendidikan dan penyelesaian studi. 3) Bupati Kabupaten Bangka dalam memberikan izin tugas belajar selama masa pendidikan. 4) Sekretaris Daerah Kota Pangkalpinang dan keluarga atas fasilitas tempat tinggal selama masa pendidikan. 5) Semua pihak yang telah memberikan kemudahan dalam mendapatkan data penelitian. 6) Rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2005 atas kebersamaan dan kerjasama kita, serta 7) Keluargaku yang kucintai atas dukungan dan doanya. Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat dan memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak. Bogor, Maret 2007 Elfida

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pangkalpinang pada tanggal 26 Agustus 1975 dari bapak H.M. Thayib Abdulrahman Siddik (Alm) dan ibu Hj. Maimunah (Alm). Penulis merupakan putri terakhir dari 12 bersaudara. Penulis menikah dengan Rif at Syafitri S.Sos dan telah dikaruniai seorang putra Reskika Syafari Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada Program Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Latihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas. Penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2000, kemudian pindah ke Pemda Kabupaten Bangka pada tahun Saat ini penulis bekerja sebagai staf di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan dan Manfaat Tujuan Manfaat... II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tambang Timah di Kabupaten Bangka Sistem Informasi Geografis Tata Ruang Wilayah dan Tata Guna Tanah Evaluasi Kesesuaian Lahan... III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Analisis Data Analisis terhadap Lokasi Tambang Timah Rakyat Identifikasi Status Izin Tambang Timah Rakyat Penilaian Lokasi Tambang Timah Rakyat berdasarkan Faktor Jarak terhadap Pusat Kecamatan Penilaian Pengaruh Buruk Aktifitas Tambang Timah Rakyat terhadap Lingkungan Desa Jumlah Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Nilai Standard Distance dari Sebaran Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Identifikasi Penyimpangan Pemanfaatan Fungsi Kawasan Identifikasi Hubungan antara Kondisi Penggunaan Lahan dengan Sebaran Tambang Timah Analisis Kesesuaian Lahan Beberapa Jenis Tanaman Perkebunan 3.9. Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Keterbatasan Penelitian... x xii xiv

11 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administratif Keadaan Iklim Topografi Geologi dan Tanah Proses Pembentukan Endapan Timah Kependudukan Luas Penggunaan Lahan Kondisi Pertambangan Timah Rakyat V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis terhadap Lokasi Tambang Timah Rakyat Identifikasi Status Tambang Timah Rakyat Penilaian Lokasi Tambang Timah Rakyat berdasarkan Faktor Jarak dengan Pusat Kecamatan Penilaian terhadap Pengaruh Buruk Aktifitas Tambang Timah terhadap Kondisi Lingkungan Desa Jumlah Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Nilai Standard Distance dari Sebaran Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Akibat Aktifitas Tambang Timah Rakyat Identifikasi Penyimpangan Pemanfaatan Fungsi Kawasan Identifikasi Hubungan antara Kondisi Penggunaan Lahan dengan Sebaran Tambang Timah Rakyat Analisis Kesesuaian Lahan Beberapa Jenis Tanaman Perkebunan Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis data, tahun, skala dan sumber data yang digunakan Kriteria penilaian lokasi tambang timah rakyat berdasarkan jarak terhadap pusat kecamatan Kriteria penilaian pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat desa berdasarkan jumlah tambang timah di tiap desa Kriteria penilaian pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat berdasarkan perhitungan nilai SD Klasifikasi penilaian Wilayah administrasi Kabupaten Bangka Luas wilayah Kabupaten Bangka berdasarkan kelas lereng Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Bangka Jumlah dan komposisi penduduk Kabupaten Bangka berdasarkan jenis kelamin Luas penutupan lahan di Kabupaten Bangka Rekapitulasi jumlah tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka tahun Desa yang memiliki kurang dari 15 lokasi tambang Desa yang memiliki 15 sampai 30 lokasi tambang Desa yang memiliki 30 sampai 50 lokasi tambang Desa yang memiliki lebih dari 50 lokasi tambang Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori terpusat di tiap desa Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori agak terpusat di tiap desa Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori agak tersebar di tiap desa Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori tersebar di tiap desa... 56

13 20 Hasil skoring pada masing-masing desa lokasi tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka Jumlah rata-rata pendapatan responden di tiap desa contoh Jumlah pendapat responden berkaitan dengan keberadaan tambang timah rakyat di desa responden pada lima kecamatan di Kabupaten Bangka Data kecelakaan tambang di Kabupaten Bangka pada tahun Jumlah dan jenis pekerjaan yang mempunyai prospek baik menurut responden selain jenis usaha tambang timah Rencana alokasi penggunaan ruang Kabupaten Bangka Luas areal tambang yang menempati kawasan lindung dan kawasan budidaya lainnya Luas lahan untuk kesesuaian lahan masing-masing tanaman berdasarkan hasil analisis spasial Aspek pertimbangan jenis usaha tambang timah dengan budidaya tanaman perkebunan Luas arahan pemanfaatan ruang kawasan xi

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian Ilustrasi dalam analisis multikriteria Diagram alir pendekatan penelitian Peta wilayah administrasi Kabupaten Bangka Grafik rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Bangka tahun Peta curah hujan di Kabupaten Bangka Grafik rata-rata suhu udara bulanan di Kabupaten Bangka tahun Peta kelas lereng di Kabupaten Bangka Peta kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bangka tahun Grafik pertumbuhan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bangka Peta penggunaan lahan di Kabupaten Bangka Peta sebaran tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka Peta status izin tambang tambang timah rakyat Grafik jumlah tambang timah rakyat berdasarkan jarak dengan pusat kecamatan Peta kriteria tambang timah rakyat berdasarkan jarak terhadap pusat kecamatan Aktifitas tambang timah rakyat yang berada di lokasi pemukiman penduduk Aktifitas tambang timah rakyat yang berada di dekat jalan umum Hubungan tambang timah rakyat berstatus legal dengan jarak terhadap pusat kecamatan... 49

15 19 Peta jumlah tambang timah rakyat di tiap desa Peta nilai Standard Distance sebaran tambang timah rakyat di setiap desa Peta pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat terhadap kondisi lingkungan desa Peta jenis pekerjaan responden Peta rata-rata pendapatan responden di tiap desa contoh Perubahan bentang alam akibat aktifitas tambang timah rakyat Aktifitas penambangan dengan kedalaman di luar ambang batas tambang rakyat Anak-anak pekerja tambang timah rakyat Peta rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bangka Peta penyimpangan fungsi kawasan di Kabupaten Bangka Kebun karet yang berubah menjadi lokasi tambang timah rakyat di Desa Penagan Kecamatan Mendo Barat Peta hubungan sebaran tambang timah rakyat dengan penggunaan lahan saat ini Peta arahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bangka. 86 xiii

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Daftar kuisioner Data curah hujan bulanan di Kabupaten Bangka tahun Rekapitulasi Data Tambang Skala Kecil (TSK) Produksi Bangka Tengah-Sungailiat Jarak tambang timah rakyat dengan pusat kecamatan kategori jarak 0 3 kilometer Jarak tambang timah rakyat dengan pusat kecamatan kategori jarak 3 5 kilometer Jarak tambang timah rakyat dengan pusat kecamatan kategori jarak 5 10 kilometer Jarak tambang timah rakyat dengan pusat kecamatan kategori jarak > 10 kilometer Peta respon terhadap peningkatan ekonomi akibat tambang timah rakyat Peta respon terhadap dampak buruk dari tambang timah rakyat Peta respon terhadap kecelakaan di lokasi tambang timah rakyat di desa contoh Peta respon terhadap keberadaan tambang timah rakyat Peta respon tentang perubahan areal perkebunan menjadi areal pertambangan timah rakyat Peta respon terhadap peruntukan lahan pasca tambang timah rakyat Peta respon terhadap pencabutan izin tambang timah rakyat Peta kesesuaian tumbuh tanaman lada Peta kesesuaian tumbuh tanaman karet Peta kesesuaian tumbuh tanaman kelapa sawit Peta kesesuaian tumbuh tanaman kelapa. 139

17 19 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditi Lada (Piper nigrum LINN) Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditi Karet (Hevea brasiliensis) Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditi Kelapa (Cocos nicifera) xv

18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam perannya sebagai penghasil devisa. Sebagai salah satu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, sektor pertambangan mempunyai sifat fisik yang tersedia tetap, tidak dapat diproduksi kembali, dan proses terjadinya memerlukan waktu ribuan tahun. Sektor pertambangan terdiri dari sub sektor minyak dan gas (migas), sub sektor pertambangan umum, dan galian C. Salah satu sumberdaya tambang yang termasuk dalam sub sektor pertambangan umum adalah tambang timah. Sumberdaya tambang timah merupakan salah satu komoditi andalan di Provinsi Bangka Belitung dan telah ditambang sejak abad ke 17 pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda hingga sekarang. Menurut BAPEDA-BPS Kab. Bangka (2005), pada tahun 2004 produksi logam timah di Kabupaten Bangka sebanyak ton sedangkan produksi bijih timah (kasiterit) sebanyak ton. Keberadaan sektor tambang timah tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga memberikan dampak negatif. Dampak positif antara lain sebagai sumber devisa negara, peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan ekonomi. Data dari Departemen Perdagangan dalam Investor Daily (2007) menunjukkan nilai ekspor timah batangan pada tahun 2005 mencapai US $ Sementara kontribusi timah mencapai milyar rupiah dari total milyar rupiah total PDRB Kabupaten Bangka tahun 2004 (BAPEDA-BPS Kab. Bangka, 2005). Dampak negatif terjadi akibat kegiatan penambangan timah antara lain mengubah bentuk bentang alam, merusak dan menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing maupun overburden, serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas penambangan membentuk kubangan raksasa (kolong), dan hamparan tanah yang bersifat masam. Di samping itu kegiatan pertambangan dapat memberikan perubahan budaya dan adat istiadat setempat.

19 2 Kegiatan penambangan timah di Pulau Bangka tidak hanya melibatkan perusahaan pertambangan skala besar seperti P.T. Timah, Tbk dan P.T. Koba Tin, tetapi juga melibatkan masyarakat yang lebih dikenal dengan Tambang Inkonvensional (TI) atau tambang rakyat. Tambang timah rakyat mulai muncul sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun Selanjutnya dengan pemberian izin pendirian usaha peleburan timah skala kecil oleh pemerintah setempat dalam SK Bupati Bangka No. 540.K/271/Tamben/2001 tentang pemberian izin usaha pertambangan untuk pengolahan dan penjualan (ekspor), menjadi pemicu maraknya pertambangan rakyat karena sistem pemasaran timah dapat dilakukan secara bebas dengan perusahaan peleburan timah skala kecil yang relatif tidak menentukan kriteria kualitas dibandingkan bila dipasarkan kepada perusahaan besar seperti P.T. Timah, Tbk. Kemunculan tambang timah rakyat menjadi fenomena baru berkaitan dengan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bangka. Banyaknya lokasi yang penggunaannya tumpang tindih antara penggunaan untuk lokasi pertambangan dengan penggunaan lainnya menjadi permasalahan tersendiri berkaitan dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. Lokasi pertambangan timah yang relatif menyebar di seluruh Kabupaten Bangka menyebabkan terjadi pergeseran fungsi kawasan dari peruntukannya di sebagian wilayah Kabupaten Bangka Perumusan Masalah Secara fisik, potensi tambang timah tersebar di daratan Pulau Bangka hingga di daerah lepas pantai mengikuti apa yang disebut The Indonesian Tin Belt. Sebaran potensi tambang timah ini memunculkan daerah-daerah konsentrasi penambangan timah baik yang dilakukan oleh perusahaan tambang maupun oleh rakyat. Permasalahan pemanfaatan ruang akibat aktifitas tambang timah rakyat terjadi karena banyaknya penggunaan lahan yang tumpang tindih antara penggunaan untuk penambangan timah dengan penggunaan lainnya. Kurangnya pengaturan ruang yang rinci dan faktor desakan kebutuhan ekonomi telah memungkinkan ekspansi penambangan yang tidak terkendali.

20 3 Melihat dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan timah, maka dalam penelitian ini dikaji beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam aktifitas penambangan timah, yaitu: 1. Kecenderungan sebaran lokasi tambang timah rakyat; 2. Pengaruh aktifitas tambang timah rakyat terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat; dan 3. Kesesuaian antara areal tambang timah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kaitan ketiga pokok permasalahan tersebut di atas mengarahkan kepada usulan alternatif pemanfaatan ruang akibat aktifitas tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka Kerangka Pemikiran Alur kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Potensi sumberdaya tambang timah Sebaran lokasi TI Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan tambang timah Dampak aktifitas TI Sosial-ekonomi masyarakat Pemanfaatan ruang Karakteristik lahan setiap land unit Kualitas lahan Penggunaan lahan Persyaratan Penggunaan Lahan Matching Analisis Pola sebaran lokasi TI Dampak akt. tamb. timah rakyat thd kond. sosial-ekonomi Kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi kawasan Alternatif pemanfaatan ruang selain tambang timah Arahan pemanfaatan ruang Gambar 1 Diagram alur kerangka pemikiran penelitian

21 Tujuan dan Manfaat Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan gambaran sebaran lokasi tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka. 2. Mendapatkan informasi kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat aktifitas tambang timah 3. Mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan akibat aktifitas tambang timah rakyat. 4. Memberikan saran sebagai masukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka dalam merumuskan kebijakan penataan ruang berkaitan dengan aktifitas tambang timah rakyat Manfaat Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka dalam merumuskan kebijakan penataan ruang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang ada.

22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Tambang Timah di Kabupaten Bangka Potensi tambang timah tersebar di daratan Pulau Bangka hingga di daerah lepas pantai mengikuti apa yang disebut The Indonesian Tin Belt, yaitu mulai dari sekitar Pulau Singkep-Kepulauan Riau, Pulau Bangka, Pulau Belitung, sampai bagian barat Kalimantan Barat. Mineralisasi timah terjadi akibat intrusi granit baik pada batuan granit maupun pada bantuan sekitarnya (P.T. Timah, 1991). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (2005), timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasa berasosiasi dengan turmalin dan urat kuarsa timah, serta sebagai endapan sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan aluvial, eluvial, dan koluvial. Sedangkan menurut P.T. Timah (1991), terdapat dua jenis mineralisasi bijih timah (kasiterit) di Bangka, yaitu endapan kasiterit primer dan endapan kasiterit aluvial. Endapan kasiterit primer terdapat dalam batuan granit maupun batuan sekitarnya. Adapun proses mineralisasi bijih timah primer dalam batuan granit berupa: Lensa-lensa yang berasosiasi dengan kaolin, dengan diameter dari beberapa sentimeter sampai puluhan sentimeter. Urat-urat yang berasosiasi dengan kaolin dengan ketebalan dari beberapa sentimeter sampai puluhan sentimeter Greisenisasi granit Terhambur Endapan kasiterit aluvial terjadi akibat adanya proses pelapukan mekanik dan kimiawi terhadap batuan dasar yang mengandung kasiterit primer, ditambah dengan proses pencucian alam dan adanya lubuk atau lembah-lembah purba baik dangkal maupun dalam. Pada lembah-lembah dalam terbentuk endapan aluvial yang sangat tebal dan berasosiasi dengan endapan bijih timah sekunder. Beberapa mineral yang terkandung di dalam bijih timah adalah kasiterit sebagai mineral utama serta mineral lain sebagai ikutan berupa pirit, kuarsa,

23 6 zircon, ilmenit, plumbum, bismut, arsenit, stibnit, kalkopirit, kuprit, xenotim, dan monasit (PPPTMB, 2005) Sistem Informasi Geografis Menurut Star dan Ester dalam Barus dan Wiradisastra (2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) didefinisikan sebagai suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. SIG dinyatakan juga mempunyai kehandalan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Aronoff (1993) membuat pernyataan yang hampir sama dengan Star dan Ester yaitu SIG merupakan sistem informasi yang dirancang menggunakan basis data yang memiliki referensi spasial atau berkoordinat geografi. Sebagai suatu sistem yang berbasis komputer SIG mempunyai kemampuan untuk menangani data spasial dan non spasial yang mencakup pemasukan data, manajemen data, manipulasi data dan pengembangan produk dan pencetakan. Secara umum penyajian data SIG dalam bentuk peta dengan bentuk dua dimensi dan dasar penyajian kartografis. Prosedur penyajian secara kartografis berdasarkan simbol, sehingga hanya terdapat tiga cara dasar penyajian data spasial, yaitu dalam bentuk titik, garis dan area. Titik merupakan cara penyajian yang tidak berdimensi, dan hanya menyajikan lokasi dalam bentuk koordinat, sehingga tidak berkaitan dengan ukuran panjang maupun luasan dari obyek. Garis merupakan deretan titik yang saling menyambung, mempunyai dimensi satu seperti jalan dan sungai. Penyajian ini telah menunjukkan arah dan ukuran panjang tetapi tidak mempunyai luasan. Area dinyatakan dalam bentuk poligon, merupakan cara penyajian dasar yang berdimensi dua, sehingga dapat menggambarkan luas area. SIG juga mempunyai kemampuan menampilkan obyek berdimensi tiga sehingga penampilannya mendekati keadaan yang sebenarnya.

24 7 Menurut Lioubimstseva dan Defourney (1999), peran SIG semakin besar dalam kajian sumberdaya ekologi termasuk perencanaan penggunaan lahan. Secara umum SIG sangat bermanfaat baik untuk pemetaan, evaluasi sumberdaya lahan, permodelan atau aplikasi model. Peran SIG secara spesifik antara lain: 1. Menyediakan struktur data untuk penyimpanan dan pengolahan data yang lebih efisien termasuk untuk luasan yang besar. 2. Memungkinkan pengumpulan atau pemisahan data dengan skala yang berbeda. 3. Mendukung analisis statistik spasial dari distribusi ekologi. 4. Menyediakan masukan data/parameter dalam permodelan atau aplikasi model. 5. Meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi dari penginderaan jauh. Ada beberapa jenis data yang dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi SIG diantaranya peta-peta tematik yang telah tersedia dalam bentuk gambar analog, citra rekaman dari udara maupun satelit, serta data survey, pemetaan, dan eksplorasi yang sudah direkam secara digital. Semua data yang telah dimasukkan ke dalam SIG tersebut selanjutnya dapat dianalisis secara keruangan, diantaranya untuk keperluan studi kesesuaian lahan dan analisa perubahan batas dengan metode overlay, maupun untuk studi distribusi sumber daya alam dengan analisis jaringan. Kunci utama untuk mendayagunakan pemanfaatan data geografis dalam SIG untuk pengambilan keputusan bagi perencana pembangunan ada pada kecermatan di dalam fuzzy geostatistic, pembuatan disain sampel yang optimal, klasifikasi multivarian, dan lain-lain Tata Ruang Wilayah dan Tata Guna Tanah UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa ruang dipahami sebagai suatu wadah yang meliputi daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Hal ini menjelaskan bahwa sumber daya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur wilayah, dan kegiatan usaha merupakan unsur pembentuk ruang wilayah dan sekaligus unsur bagi pembangunan wilayah.

25 8 Untuk itu, arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditetapkan melalui PP No. 47/1997 merupakan acuan spasial perencanaan pembangunan nasional yang bersifat makro dan dimaksudkan agar sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. RTRWN memuat arahan struktur ruang wilayah nasional yang berupa arahan sistem permukiman nasional (perkotaan dan pedesaan) dan prasarana wilayah serta arahan pola pemanfaatan ruang nasional yang berupa arahan pengelolaan kawasan lindung, pengembangan kawasan budidaya prioritas dan kriteria pengelolaannya. Selain itu UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang juga menyatakan setiap daerah kabupaten perlu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Sejalan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 13/2004 yang menitikberatkan kewenangan pelaksanaan pembangunan pada pemerintah kabupaten, dalam hal ini termasuk pelaksanaan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 24/1992). Penataan ruang bertujuan agar terselenggara pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan, pengaturan dan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya serta tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Hasil perencanaan tata ruang wilayah berupa rencana tata ruang wilayah yang merupakan pedoman dalam pemanfaatan ruang suatu wilayah. Selain itu rencana tata ruang wilayah pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Menurut Permana (2004), penataan ruang adalah suatu proses yang mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah), pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan pembangunan yang sesuai rencana, dan pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang.

26 9 Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang yang optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Perencanaan ini mengarahkan dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta program dan kegiatan pembangunan. Hasil dari proses perencanaan tata ruang wilayah adalah berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW selain merupakan guidance of future actions juga merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras dan seimbang untuk mencapai kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (Dirjen Penataan Ruang, 2003). Pada dasarnya penataan ruang merupakan suatu pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mendukung peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup. Pembagian penataan ruang berdasarkan fungsi utama meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya, berdasarkan aspek administratif meliputi ruang wilayah nasional, propinsi, dan wilayah kabupaten/kota dan berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu. Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2004), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Urgensi keberadaan tata ruang adalah : a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan); c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Peraturan Pemerintah No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah menjelaskan tanah merupakan unsur ruang yang strategis dan pemanfaatannya terkait dengan penataan ruang wilayah sehingga dalam pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah didefinisikan sebagai pengelolaan tata guna tanah berupa penyesuaian penggunaan tanah untuk menwujudkan pemanfaatan tanah yang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah,

27 10 meliputi kegiatan perencanaan penatagunaan tanah, pengaturan pemanfaatan tanah dan pengendalian pemanfaatan tanah dengan memperhatikan perkembangan teknologi. Tanah adalah sumberdaya alam langka yang harus dialokasikan untuk berbagai kegiatan kehidupan. Tujuan dari penatagunaan tanah adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan nilai tanah berupa Ricardian Rent; mencakup kualitas tanah, Locational Rent; mencakup lokasi relatif tanah dan Environmental Rent; mencakup sifat tanah sebagai suatu komponen utama dari ekosistem (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Penatagunaan tanah dilaksanakan melalui kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Dalam kebijakan penatagunaan tanah dinyatakan kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah ditentukan berdasarkan pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan pemerintah pusat, yang dijabarkan lebih lanjut oleh pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Penyelenggaraan penatagunaan tanah meliputi kegiatan (1) inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; (2) penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan; dan (3) penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah. Kegiatan penatagunaan tanah tersebut disajikan dalam peta dengan skala yang lebih besar daripada skala peta Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri dari iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk status usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al. 2003). Kesesuaian lahan (land suitability) mempunyai pengertian yang berbeda dengan kemampuan lahan (land capability). Kemampuan lahan lebih

28 11 menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Sehingga semakin tinggi kelas kemampuan lahan dicirikan dengan semakin banyak jenis komoditas tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di lahan tersebut. Sedangkan kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu. Salah satu bagian dari proses perencanaan tataguna tanah adalah evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi kesesuaian lahan adalah kegiatan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian untuk jenis penggunaan lahan tersebut. Inti prosedur evaluasi lahan adalah mula-mula menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), metode yang biasa digunakan dalam klasifikasi kelas kesesuaian lahan adalah klasifikasi menurut FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif tergantung data yang tersedia. Terdapat dua cara pendekatan dalam evaluasi lahan, yaitu (1) pendekatan dua tahap dan (2) pendekatan paralel. Dalam pendekatan dua tahap, tahap pertama adalah merupakan evaluasi lahan secara kualitatif, sedangkan tahap kedua terdiri dari analisis sosial dan ekonomi. Pendekatan dua tahap sering digunakan untuk evaluasi perencanaan penggunaan lahan secara umum dalam tingkat survey tinjau. Klasifikasi kesesuaian lahan dalam tahap pertama didasarkan pada kecocokan lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu, sementara peranan analisa sosial dan ekonomi dalam tahap pertama ini terbatas pada pengecekan terhadap relevansi tipe penggunaan lahan yang diterapkan. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua yaitu analisis sosial-ekonomi dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian.

29 12 Pendekatan paralel adalah pendekatan dimana analisis sosial-ekonomi terhadap jenis penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberikan petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Metode ini dianjurkan untuk rencanarencana khusus dalam pengembangan suatu proyek dalam tingkat semi-detil dan detil (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001).

30 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai bulan Nopember 2006, meliputi tahap: persiapan, pengumpulan data, pengecekan lapangan, analisis, dan penulisan Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara untuk mengetahui dampak sosial ekonomi berkaitan dengan aktifitas tambang timah rakyat. Wawancara dilakukan terhadap responden yang dipilih dengan metode Stratified Random Sampling. Responden dipilih dari 5 kecamatan di Kabupaten Bangka yang banyak terdapat aktifitas tambang timah rakyat. Masing-masing kecamatan tersebut diwakili oleh 4 desa contoh dengan 2 desa mewakili desa yang banyak memiliki usaha tambang timah rakyat dan 2 desa mewakili desa yang sedikit atau tidak memiliki usaha tambang timah rakyat. Jumlah responden ditetapkan 3 orang tiap desa contoh. Wawancara yang dilakukan berpedoman pada kuisioner yang telah dibuat sebelumnya seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi pemerintah dan lembaga terkait. Data berupa peta dan data numerik atau tabular. Jenis dan sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdapat dalam Tabel 1. Tabel 1 Jenis data, tahun, skala dan sumber data yang digunakan No Jenis Data Tahun Skala Sumber Peta batas administrasi Peta RTRW Kab. Bangka Peta tanah Peta iklim Data curah hujan Peta satuan lahan berdasarkan ZAE Peta lereng Peta lokasi tambang timah rakyat : : : : : : : BagPem Babel Bappeda Bangka Puslittanah, Bogor Puslittanak, Bogor Stasiun Meteorologi Pangkalpinang BPTP-Babel Bakosurtanal PPLH-IPB

31 14 Tabel 1 Jenis data, tahun, skala dan sumber data yang digunakan (lanjutan) No Jenis Data Tahun Skala Sumber 9. Data tambang timah rakyat per desa Data tambang timah skala kecil Peta Kuasa Pertambangan P.T. Timah Tbk Data pendukung lain : Din Pertamb & Energi Kab Bangka P.T. Timah Tbk, & PPLH-IPB P.T. Timah Tbk, & PPLH-IPB Instansi terkait 3.3. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis SIG dan analisis deskripsi. Metode yang digunakan dalam analisis SIG antara lain: Inventarisasi dan pembuatan data digital, setelah data dikumpulkan dari berbagai sumber data, data yang belum dalam format peta digital dilakukan proses digitasi melalui layar sehingga semua data dalam format digital. Pengolahan awal dan persiapan data digital dengan cara memasukkan dan mengedit data atribut, kemudian data tersebut disesuaikan (justifikasi) bentuk dan posisinya agar dapat ditumpangtindihkan dengan menggunakan transformasi geometri. Operasi yang dilakukan antara lain dengan rubber setting dengan menggunakan ekstensi shape warp dan projection utility. Manipulasi dan analisis SIG dengan cara mengelompokkan data berdasarkan temanya, memanggil data dan mengklasifikasi ukuran data, menumpangtindihkan data. Operasi yang dilakukan dalam manipulasi dan analisis data antara lain: dissolve, merge, clip, intersect, union serta pemanfaatan ekstensi x tools dalam perhitungan luas. Semua peta yang diperoleh sebagai hasil analisis ditampilkan menggunakan sistem koordinat Geografis dengan zone 48 pada lintang selatan dan ketelitian peta pada skala 1: Sedangkan analisis deskripsi yang dilakukan berkaitan dengan hasil wawancara terhadap responden serta beberapa data yang mendukung analisis kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat aktifitas tambang timah rakyat.

32 Analisis terhadap Lokasi Tambang Timah Rakyat Analisis terhadap lokasi tambang timah rakyat dilakukan sehubungan dengan pengaruh aktifitas tambang timah rakyat tersebut terhadap aktifitas masyarakat secara umum. Analisis dilakukan terhadap status izin tambang, obyek lokasi aktifitas tambang timah rakyat, dan pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat terhadap kondisi lingkungan desa lokasi tambang Identifikasi Status Izin Tambang Timah Rakyat Identifikasi status tambang timah rakyat, yaitu antara status legal dan ilegal. Status legal dinyatakan pada tambang timah rakyat yang masih memiliki masa Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) dan Surat Produksi Tambang Skala Kecil (SPTSK) terhadap tambang timah rakyat yang menjadi mitra bagi perusahaan tambang serta tambang timah rakyat yang telah habis masa IUPR dan SPTSK. Sedangkan status ilegal dinyatakan pada tambang yang tidak mendapatkan izin pertambangan dari pemerintah setempat Penilaian Lokasi Tambang Timah Rakyat berdasarkan Faktor Jarak terhadap Pusat Kecamatan Penilaian lokasi tambang timah rakyat terhadap pusat kecamatan dilakukan berdasarkan asumsi bahwa semakin dekat lokasi tambang timah rakyat terhadap pusat kecamatan memberikan dampak gangguan terhadap aktifitas masyarakat secara umum. Gangguan tersebut berupa rusaknya lingkungan akibat aktifitas penambangan di sekitar pemukiman penduduk dan fasilitas umum. Selain itu aktifitas tersebut menyebabkan terbentuk bentang alam yang terbuka sehingga menjadi pemandangan yang kurang menarik serta meningkatkan suhu udara di wilayah sekitar lokasi tambang. Tahapan-tahapan penilaian lokasi tambang timah terhadap pusat kecamatan adalah: 1. Menentukan titik identifikasi sebagai pusat kecamatan adalah masing-masing kantor kecamatan, kecuali untuk Kecamatan Sungailiat yang merupakan ibukota Kabupaten Bangka, titik identifikasi yang ditetapkan adalah Kantor Bupati Bangka.

33 2. Analisis jarak dengan menggunakan perangkat Arc View yaitu dengan ekstensi Identify features within a distance. 3. Analisis merupakan hubungan langsung masing-masing obyek lokasi tambang timah rakyat dengan masing-masing pusat kecamatan tanpa dibatasi oleh batas administrasi lokasi tambang dan status izin tambang. 4. Menentukan kriteria jarak antara lokasi tambang timah rakyat dengan pusat kecamatan, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria penilaian lokasi tambang timah rakyat berdasarkan jarak terhadap pusat kecamatan Faktor Kriteria Nilai Kategori Jarak dari pusat kecamatan (J) Jarak < 3 km Jarak 3 5 km Jarak 5 10 km Jarak > 10 km Sangat Mengganggu Mengganggu Agak Menggganggu Normal Penilaian Pengaruh Buruk Aktifitas Tambang Timah Rakyat terhadap Lingkungan Desa Pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat terhadap lingkungan desa dinilai berkaitan dengan berkurangnya kualitas lingkungan akibat aktifitas penambangan. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah tambang dan nilai Standard Distance (SD) dari sebaran tambang di setiap desa Jumlah Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Jumlah tambang timah rakyat di setiap desa menjadi indikasi tingkat kerusakan lingkungan di desa tersebut akibat aktifitas penambangan. Jumlah tambang timah rakyat berpengaruh terhadap luasan lahan yang dijadikan sebagai areal tambang timah. Dalam penelitian ini setiap lokasi tambang diasumsikan mempunyai luasan rata-rata 2 ha, yang merupakan luasan maksimal untuk diberikan IUPR berdasarkan Perda Kab. Bangka No. 06/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. Penentuan klasifikasi terhadap jumlah tambang di setiap desa dilakukan dengan pendekatan:

34 1. Merujuk luas wilayah tambang rakyat berdasarkan Perda Kab. Bangka No. 06/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum maksimal seluas ha (± 5%) dari luas wilayah daratan Kabupaten Bangka. 2. Berdasarkan hasil perhitungan luas wilayah administrasi desa, sebagian besar desa lokasi tambang timah rakyat memiliki luas wilayah rata-rata ha. Dengan mengacu luas wilayah tambang rakyat 5% dari luas wilayah, maka dari luas rata-rata desa lokasi tambang terdapat alokasi maksimal untuk tambang rakyat seluas ± 115 ha. 3. Dari asumsi luasan rata-rata dari masing-masing tambang adalah 2 ha dan luas alokasi tambang di tiap desa 115 ha, maka jumlah maksimum tambang rakyat di tiap desa adalah 50 tambang. 4. Dengan mempertimbangan perbedaan luas wilayah pada masing-masing desa lokasi tambang, maka ditetapkan kriteria jumlah tambang di tiap desa seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria penilaian pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat berdasarkan jumlah tambang timah di tiap desa No Jumlah tambang per desa (T) Nilai Keterangan T < 15 T = T = T > Sedikit Sedang Banyak Sangat banyak Nilai Standard Distance (SD) dari Sebaran Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Metode Standard Distance (SD) dipakai dalam penelitian ini untuk melihat kecenderungan sebaran dari obyek tambang di setiap desa. Lokasi obyek tambang dapat bersifat memusat atau menyebar pada masing-masing wilayah administrasi desa. SD merupakan nilai dari rata-rata jarak antara sebaran titik dengan pusat rata-rata dari sebaran tersebut (Mitchell, 2005). Tahapan perhitungan nilai SD adalah: 1. Mengambil nilai masing-masing koordinat lokasi tambang timah rakyat pada masing-masing poligon desa;

35 18 2. Melakukan perhitungan dengan formulasi sebagai berikut: SD = Dimana : 2 ( X X ) ( Y Y ) i n + i n 2 SD X i X Y i Y n = Standard Distance = koordinat X masing-masing tambang = koordinat X pusat sebaran tambang = koordinat Y masing-masing tambang = koordinat X pusat sebaran tambang = jumlah tambang timah rakyat 4. Melakukan klasifikasi terhadap nilai SD yang diperoleh dengan kriteria yang ditetapkan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Kriteria penilaian pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat berdasarkan perhitungan nilai SD No Standard Distance (SD) Nilai Keterangan SD < 1.5 SD = SD = SD > Terpusat Agak terpusat Agak tersebar Tersebar 5. Menampilkan hasil klasifikasi dari perhitungan nilai SD secara spasial. Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat dilakukan analisis multikriteria dengan melakukan skoring terhadap jumlah tambang dan nilai SD sebaran tambang di setiap desa. Menurut Bonham dan Carter (1994), pelaksanaan SIG untuk analisis multikriteria dilakukan dengan menggunakan Index Overlay Model. Index Overlay Model mengakomodasi bobot pentingnya suatu coverage (layer data spasial) dibandingkan dengan coverage yang lain. Ilustrasi dalam melakukan analisis multikriteria terdapat pada Gambar 2. Jumlah tambang timah rakyat dalam suatu desa akan memberikan dampak terhadap perubahan luasan lahan menjadi areal terbuka akibat aktifitas pertambangan di desa lokasi tambang. Semakin banyak jumlah tambang timah

36 rakyat yang berada di suatu desa maka akan semakin luas lahan terbuka yang terdapat dalam wilayah desa tersebut akibat aktifitas pertambangan Bobot = 3 Layer jumlah tambang/desa Operasi Penjumlahan Bobot = 1 Layer nilai SD sebaran tambang/desa Output Peta pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat Gambar 2 Ilustrasi dalam analisis multikriteria Sementara nilai SD sebaran tambang timah rakyat diperhitungkan dalam menilai pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat berhubungan dengan kecenderungan sebaran tambang. Lokasi tambang yang memusat lebih mudah dalam upaya penanganan pasca tambang dibandingkan dengan lokasi tambang yang menyebar. Dengan pertimbangan bahwa jumlah tambang lebih memberi pengaruh buruk terhadap kondisi lingkungan desa dibandingkan dengan nilai SD sebaran tambang, maka bobot jumlah tambang lebih besar dibandingkan dengan bobot nilai SD sebaran tambang. Pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat dihitung dengan menggunakan rumus: PB = 3T + SD Dimana: PB T = pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat = jumlah tambang timah rakyat per desa SD = nilai Standard Distance sebaran tambang timah rakyat per desa

37 20 Analisis pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat dilakukan terhadap setiap administrasi desa yang memiliki informasi titik lokasi tambang timah rakyat. Hasil skoring dimasukkan ke dalam klasifikasi penilaian (Tabel 5) sebagai pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat dari normal sampai dengan sangat buruk. Tabel 5 Klasifikasi penilaian Total Skor Keterangan Sangat buruk Buruk Agak buruk Normal 3.5. Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat dianalisis melalui pendekatan wawancara terhadap masyarakat berkaitan dengan pengaruh aktifitas tambang timah rakyat terhadap beberapa aspek yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Beberapa data penunjang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dari beberapa sumber dari hasil survey langsung ke beberapa lokasi tambang timah rakyat digunakan untuk mendukung analisis ini Identifikasi Penyimpangan Pemanfaatan Fungsi Kawasan Identifikasi penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan dalam RTRW dilakukan dengan melakukan operasi tumpang tindih (overlay) terhadap peta penggunaan lahan, peta RTRW dan peta Kuasa Pertambangan P.T. Timah, Tbk (peta KP). Identifikasi dimaksudkan untuk melihat inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi dibandingkan dengan arahan yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Bangka Identifikasi Hubungan antara Kondisi Penggunaan Lahan dengan Sebaran Tambang Timah Identifikasi hubungan antara kondisi penggunaan lahan dengan sebaran tambang timah rakyat dilakukan dengan melakukan operasi tumpang tindih (overlay) terhadap peta penggunaan lahan saat ini, peta sebaran tambang timah rakyat serta peta KP. Identifikasi tersebut dimaksudkan untuk melihat kaitan

38 21 sebaran tambang timah rakyat, areal pertambangan dalam KP, dihubungkan dengan kondisi lahan yang ada Analisis Kesesuaian Lahan Beberapa Jenis Tanaman Perkebunan Pencarian alternatif usaha di luar tambang timah merupakan hal yang penting dilakukan. Ketergantungan pada usaha tambang timah akan memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan, bahkan perubahan budaya masyarakat. Salah satu alternatif yang mungkin dilakukan adalah budidaya tanaman perkebunan. Beberapa jenis tanaman perkebunan memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada tanah marginal seperti pada sebagian besar lahan di Kabupaten Bangka. Masyarakat di Kabupaten Bangka telah mengenal beberapa jenis tanaman perkebunan bahkan menjadi komoditi unggulan di sub sektor perkebunan yaitu lada dan karet untuk perkebunan rakyat. Sementara tanaman kelapa sawit lebih dominan dibudidayakan oleh perkebunan besar swasta, sedangkan tanaman kelapa walaupun kurang dikembangkan masyarakat, tetapi memiliki kemampuan adaptasi yang sangat luas pada lahan di Kabupaten Bangka sehingga merupakan komoditi yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Penilaian kesesuaian lahan pada penelitian ini hanya dilakukan pada penilaian kesesuaian lahan aktual. Kesesuaian lahan keempat tanaman tersebut diperoleh dari hasil membandingkan antara kualitas/karakteristik lahan dengan persyaratan kesesuaian lahan untuk pertumbuhan tanaman pada tingkat kelas, yaitu: (a) S1 (sangat sesuai, (b) S2 (cukup sesuai), (c) S3 (sesuai marginal) dan (d) N (tidak sesuai). Persyaratan kesesuaian lahan mengikuti kriteria yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor (Djaenudin et al. 2003) dan LREP II dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001). Data mengenai keadaan fisik lahan yang digunakan merupakan data sekunder berupa peta tanah, peta curah hujan, dan data iklim serta data penunjang lainnya Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Arahan pemanfaatan ruang dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai alternatif yang dimunculkan dalam pemanfaatan ruang kawasan dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang berkaitan dengan aspek legal dan aspek

39 22 fisik lingkungan. Aspek legal adalah arahan pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam RTRW, sementara aspek fisik berkaitan dengan kondisi fisik wilayah serta kondisi penggunaan lahan yang telah ada. Arahan pemanfaatan ruang dilakukan dengan melakukan operasi tumpang tindih terhadap beberapa peta yaitu peta RTRW, peta kesesuaian tumbuh tanaman perkebunan, peta kelas lereng, peta penggunaan lahan saat ini, peta sebaran tambang timah rakyat, peta pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat dan peta KP. Arahan pemanfaatan ruang yang dijadikan acuan pertama adalah peta RTRW. Selanjutnya dialokasikan areal untuk kawasan pertambangan secara eksplisit, karena kawasan pertambangan tidak secara eksplisit ditampilkan pada arahan pemanfaatan ruang dalam RTRW, serta kawasan rehabilitasi sebagai upaya penanganan awal terhadap lahan pasca penambangan. Beberapa pertimbangan berkaitan dengan aspek fisik dalam menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan adalah: 1. Areal yang mempunyai tingkat kesesuaian tumbuh tanaman perkebunan pada tingkat kelas S2 untuk masing-masing jenis tanaman diarahkan sebagai areal perkebunan; 2. Areal KP dengan kelas kemiringan lereng 16% tidak diarahkan sebagai areal pertambangan; 3. Semua desa dengan kondisi lingkungan dengan kategori sangat buruk tidak diarahkan sebagai areal pertambangan; dan 4. Semua areal pertambangan di luar KP diarahkan sebagai kawasan rehabilitasi, kecuali yang sebelumnya telah diperuntukkan sebagai kawasan lindung dalam RTRW tetap dialokasikan sebagai kawasan lindung. Beberapa peta dan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya berkaitan dengan status perizinan tambang timah rakyat, kelas jarak tambang timah rakyat, indikasi penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan, serta analisis ekonomi juga menjadi pertimbangan dalam melakukan pembuatan peta arahan pemanfaatan ruang kawasan. Dari keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan dalam diagram alir pendekatan penelitian, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

40 23

41 Keterbatasan Penelitian Keterbatasan data dalam penelitian ini berupa : 1. Sebagian besar data merupakan data sekunder dengan skala kecil. 2. Tidak diperoleh beberapa data berkaitan dengan kualitas lahan, yaitu yaitu kematangan gambut, kejenuhan basa, alkalinitas dan KTK liat, sehingga beberapa variabel kesesuaian tumbuh bagi tanaman tidak dapat dianalisis. 3. Tidak semua data tambang timah rakyat dapat dipetakan secara spasial, sehingga analisis terhadap lokasi tambang timah hanya dilakukan pada data tambang timah rakyat dapat dipetakan sebagai sampel dari seluruh data yang diperoleh. 4. Data tambang timah rakyat diambil dari data dua titik tahun yaitu tahun 2002 dan 2005, sehingga tidak diperhatikan tambang yang masih aktif atau tidak aktif beroperasi. 5. Peta penggunaan saat ini yang diperoleh dari Peta Zona Agroekologi-BPPTP Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2005) mempunyai batas berbeda dengan batas wilayah administrasi Kabupaten Bangka, sehingga terdapat kawasan yang tidak teridentifikasi penggunaannya.

42 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Bangka secara administratif termasuk dalam bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Kabupaten Bangka berdasarkan penelitian ini terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur. Secara fisik administrasi Kabupaten Bangka mempunyai luas wilayah ± km² atau ha, dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara : Laut Natuna Sebelah Timur : Laut Cina Selatan Sebelah Selatan : Kota Pangkalpinang dan Kab. Bangka Tengah Sebelah Barat : Kab. Bangka Barat, Selat Bangka dan Teluk Kelabat. (BAPEDA Kab. Bangka, 2005) Kabupaten Bangka terdiri dari 8 kecamatan, yaitu Kecamatan Belinyu, Riau Silip, Sungailiat, Pemali, Mendo Barat, Puding Besar dan Kecamatan Bakam (Gambar 4). Desa-desa yang tercakup dalam wilayah administrasi Kabupaten Bangka disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Wilayah administrasi Kabupaten Bangka No Kecamatan Desa 1 Belinyu Air Jukung, Bintet, Bukit Ketok, Gunung Muda, Gunung Pelawan, Kuto Panji, Lumut, Riding Panjang. 2 Riau Silip Banyuasin, Berbura, Cit, Deniang, Mapur, Pangkalnyiur, Riau, Silip, Pugul. 3 Sungailiat Kenanga, Kudai, Parit Padang, Rebo, Sri Menanti, Sungailiat. 4 Pemali Air Duren, Air Ruai, Karya Makmur, Pemali, Penyamun, Sempan. 5 Bakam Bakam, Bukit Layang, Dalil, Kapuk, Mabat, Mangka, Maras Senang, Neknang, Tiang Tarah. 6 Merawang Air Anyir, Balunijuk, Baturusa, Dwi Makmur, Jada Bahrin, Jurung, Kimak, Merawang, Riding Panjang, Pagarawan. 7 Puding Besar Kayu Besi, Kota Waringin, Labu, Nibung, Puding Besar, Saing, Tanah Bawah. 8 Mendo Barat Air Buluh, Cengkong Abang, Kace, Kemuja, Kota Kapur, Labu Air Pandan, Mendo, Paya Benua, Penagan, Petaling, Rukam, Zed. Sumber: Peta administrasi Kab. Bangka (Bag. Pemerintahan Prop. Bangka Belitung, 2005)

43 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT KABUPATEN BANGKA Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Bakam Kec. Merawang 1 52'54" Kec. Puding Besar 2 4'05" 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA BATAS ADMINISTRASI KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Jalan Provinsi Jalan Kabupaten Jalan Desa Sungai W N S Sumber : Peta Administrasi Kab. Bangka (Bag. Pemerintahan Prop. Babel, 2005) E Kilometers Gambar 4 Peta wilayah administrasi Kabupaten Bangka

44 Keadaan Iklim Kabupaten Bangka terletak pada zona tropis, berdasarkan klasifikasi iklim Scmidth-Ferguson wilayah ini termasuk dalam tipe iklim A. Menurut data Stasiun Meteorologi Pangkalpinang, pada tahun 2005 curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang tercatat mm dan jumlah hari hujan terbanyak juga terjadi pada bulan Desember tercatat 27 hari. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari tercatat 72.2 mm dan jumlah hari hujan terendah terjadi pada bulan September yang tercatat 11 hari. Jumlah rata-rata curah hujan selama 5 tahun berturut-turut ( ) yaitu mm/th dengan jumlah hari hujan rata-rata 199 hari/tahun. Pada Gambar 5 ditampilkan grafik rata-rata jumlah curah hujan selama periode 5 tahun terakhir dari tahun dan data curah hujan pada periode yang sama ditunjukkan pada Lampiran 2. Sementara peta curah hujan di Kabupaten Bangka ditampilkan pada Gambar 6. Rata-rata curah hujan 5 tahun terakhir Curah hujan (mm/bln) Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des Bulan Gambar 5 Grafik rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Bangka tahun (Stasiun Meteorologi Pangkalpinang, 2005)

45 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANG KA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" KABUPATEN BANGKA 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT Kec. Bakam Kec. Pemali Kec. Sungailiat 1 52'54" Kec. Puding Besar Kec. Merawang 2 4'05" 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA CURAH HUJAN KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Curah Hujan mm/th mm/th W N S Sumber : Peta iklim (Puslittanak, 2003) E Kilometers Gambar 6 Peta curah hujan di Kabupaten Bangka

46 29 Suhu udara rata-rata di Kabupaten Bangka menurut data Stasiun Meteorologi Pangkalpinang, pada tahun 2005 suhu berkisar antara 23 C 32.1 C dengan suhu rata-rata 27 C. Sedangkan kelembaban udara bervariasi antara 58% - 97%, dengan rata-rata 82% pada tahun Sementara intensitas penyinaran matahari pada tahun 2005 rata-rata bervariasi antara 19% %. Grafik rata-rata suhu udara bulanan di Kabupaten Bangka dalam kurun waktu 5 tahun terakhir disajikan dalam Gambar 7. Rata-rata suhu udara 5 tahun terakhir Suhu ( C) Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des Bulan Gambar 7 Grafik rata-rata suhu udara bulanan di Kabupaten Bangka tahun (Stasiun Meteorologi Pangkalpinang, 2005) 4.3. Topografi Wilayah Kabupaten Bangka mempunyai morfologi berbentuk peneplain yaitu merupakan dataran yang hampir rata atau sedikit bergelombang, karena lapisan-lapisan batuan yang ada telah terkikis. Sedangkan bukit-bukit yang ada terdiri dari batuan yang tahan terhadap kelapukan (P.T. Tambang Timah, 1991). Pembagian wilayah Kabupaten Bangka berdasarkan topografi diklasifikasikan ke dalam kelas lereng I (datar) sampai dengan kelas lereng IV (curam), disajikan dalam Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7, dapat dilihat bahwa 49.82% dari luas Kabupaten Bangka adalah datar, sedangkan selebihnya dari

47 landai sampai dengan curam. Kelas kemiringan lereng di Kabupaten Bangka dapat dilihat pada Gambar Tabel 7 Luas wilayah Kabupaten Bangka berdasarkan kelas lereng Kelas Lereng Tingkat Luas (ha)* Persentase (%) I (0 8 %) II ( 8 15%) III (16 25%) IV (> 25) Tanpa keterangan Datar Landai Agak Curam Curam Luas Total * Luas didasarkan pada perhitungan di peta Sumber : Bakosurtanal, Geologi dan Tanah Sebagian besar wilayah Kabupaten Bangka ditempati oleh formasi batuan sedimenter dan batuan intrusif granit. Lapisan batuan sedimenter terdiri dari batuan sedimen pra-tersier, dan batuan sedimen kuarter. Lapisan batuan sedimen pra-tersier diduga berumur Karbon sampai Trias-Bawah. Lapisan ini diterobos oleh lapisan batuan intrusi yang berkomposisi dari gabrodiorit, gramodiorit, adamelit dan granit. Lapisan kedua ini diduga berumur Trias-Atas. Batuan granit terbagi dua kategori, yaitu granit tua dan granit muda. Lapisan granit tua diperkirakan berumus Pra-Trias, sedangkan lapisan granit muda diperkirakan berumur Yura-Atas. Granit muda ini dianggap sebagai pembawa kasiterit (bijih timah) yang ekonomis (P.T. Timah, 1991). Menurut P.T. Timah (1991), potensi kesuburan tanah tercermin dari faktor pembentuk tanahnya terutama sifat-sifat litologi, dan mineralogi, iklim dan umur pembentukannya. Tanah-tanah di Kabupaten Bangka umumnya terbentuk dari hasil pelapukan granit yang menghasilkan tanah-tanah yang bertekstur kasar dengan kadar pasir silikat sangat tinggi. Tanah-tanah ini terdiri dari mineral resisten terutama kuarsa, zirkon, serta turmalin dan relatif tidak mengandung mineral-mineral mudah lapuk. Dengan demikian cadangan unsur hara yang dapat cepat dipakai tanaman dalam tanah di Kabupaten Bangka sangat kecil. Pada umumnya tanah-tanah di Kabupaten Bangka mempunyai reaksi tanah yang sangat masam (ph < 4.5) dengan KTK dan kandungan basa-basa (Ca, Mg,

48 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT LAUT CINA SELATAN 1 41'43" KABUPATEN BANGKA KABUPATEN BANGKA BARAT 2 4'05" 1 52'54" 1 52'54" 2 4'05" SELAT BANGKA KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA KELAS LERENG KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Kelas Lereng : < > 25 Tanpa keterangan W N S E Kilometers Sumber : Peta Kontur (Bakosurtanal,1982) Gambar 8 Peta kelas lereng di Kabupaten Bangka

49 32 K, dan Na) sangat rendah, sedangkan kejenuhan Al sangat tinggi. Sehingga secara alamiah potensi kesuburan tanah di Kabupaten Bangka tergolong sangat rendah. Sifat fisik tanah di Kabupaten Bangka pada umumnya mempunyai solum tanah yang dangkal, tekstur tanah umumnya lempung berpasir (agak kasar) dengan kisaran dari pasir sampai liat (kasar sampai halus). Sifat drainase tanah bervariasi menurut sistem lahan. Tanah pada sistem Marin dan Aluvial mempunyai drainase terhambat sampai sangat terhambat kecuali Regosol yang berdrainase agak cepat sampai cepat. Tanah-tanah di sistem ini biasanya tergenang air terutama pada musim hujan. Sebaliknya pada tanah-tanah di sistem lahan Dataran, drainase pada umumnya agak cepat dengan variasi dari agak terhambat sampai agak cepat Proses Pembentukan Endapan Timah Terdapat dua jenis mineralisasi kasiterit (bijih timah) di Kabupaten Bangka yaitu endapan kasiterit primer dan endapan kasiterit aluvial. 1. Endapan Kasiterit Primer Mineralisasi timah di Bangka terjadi akibat adanya intrusi granit baik pada batuan granit maupun pada batuan sekitarnya. Mineralisasi bijih timah primer dalam batuan granit berupa: - Lensa-lensa yang berasosiasi dengan kaolin, dengan diameter dari beberapa sentimeter sampai puluhan sentimeter. - Urat-urat dengan berbagi arah yang berasosiasi dengan kaolin dengan ketebalan dari beberapa sentimeter sampai puluhan sentimeter. - Greisenisasi granit - Terhambur 2. Endapan Kasiterit Aluvial Endapan kasiterit aluvial merupakan endapan yang ekonomis untuk ditambang dibandingkan dengan endapan kasiterit primer. Endapan kasiterit aluvial terjadi sebagai akibat adanya proses pelapukan mekanik dan kimiawi terhadap batuan dasar yang mengandung kasiterit primer. Proses tersebut ditambah dengan adanya pencucian alam dan adanya perangkap bagi tempat

50 33 konsentrasi. Perangkap dimaksud adalah lubuk atau lembah-lembah purba baik dangkal maupun dalam. Pada lembah-lembah dalam terbentuk endapan aluvial yang sangat tebal dan berasosiasi dengan endapan bijih timah sekunder (P.T. Timah,1991). Menurut Sutedjo (1974) dalam P.T. Timah (1991), ada tiga fase genetika kasiterit primer di Bangka, yaitu: - fase pneumatolitik; - fase kontak pneumatolitik hidrothermal; - fase hipothermal mesothermal. Fase pneumatolitik di dalam granit terbentuk geiser, urat-urat turmalin dan kaolin yang mengandung kasiterit. Pengisian kasiterit pada celah-celah kecil di dalam batuan samping. Fase kontak pneumatolitik hidrothermal panas tinggi, larutan yang mengandung timah mendesak naik ke atas melalui bidang-bidang pelapisan dan mengisi rongga-rongga yang ada. Fase hipothermal mesothermal, larutan yang mengandung timah dengan komposisi silika mengisi perangkap dalam bentuk urat-urat kuarsa yang mengandung timah Kependudukan Suatu wilayah pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yaitu ekosistem, teknosistem, dan sosiosistem. Masing-masing sub sistem memberikan andil dalam perkembangan wilayah dan merupakan potensi atau modal yang disebut sebagai sumberdaya. Ekosistem dinyatakan sebagai potensi yang bersifat alamiah (natural resources), teknosistem atau hasil karya manusia dinyatakan sebagai sumberdaya buatan (artificial resources), sedangkan sosiosistem adalah manusia dan interaksi sosialnya yang dinyatakan sebagai sumberdaya manusia (human resources) dan sumberdaya sosial (social resources). Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan sumberdaya manusia adalah dengan melihat kondisi kependudukan (demografi) dalam suatu wilayah. Jumlah penduduk Kabupaten Bangka pada tahun 2004 tercatat sebanyak jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa yang tersebar di delapan kecamatan. Kepadatan penduduk rata-rata

51 sebanyak 78 jiwa per km². Besarnya jumlah penduduk akan membawa implikasi tertentu terutama terhadap persebaran dan kepadatannya. Kepadatan penduduk terendah terdapat di Kecamatan Bakam (31 jiwa per km²) dan Kecamatan Puding Besar (39 jiwa per km²) sedangkan kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Sungailiat (439 jiwa per km²). Kepadatan penduduk per kecamatan disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 9, komposisi penduduk penduduk berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 9, dan grafik pertumbuhan penduduk tahun disajikan pada Gambar 10. Tabel 8 Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Bangka No Kecamatan Luas wilayah (km²) Sungailiat Bakam Pemali Merawang Puding Besar Mendo Barat Belinyu Riau Silip Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan jiwa/km² Jumlah Sumber : BAPEDA-BPS, 2005 Dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bangka memiliki struktur penduduk umur muda. Hal ini membawa akibat semakin besarnya jumlah usia angkatan kerja. Pada tahun 2004, tercatat jiwa atau 64% dari total penduduk Kabupaten Bangka merupakan kelompok usia produktif. Tabel 9 Jumlah dan komposisi penduduk Kabupaten Bangka berdasarkan jenis kelamin No Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa) Sungailiat Bakam Pemali Merawang Puding Besar Mendo Barat Belinyu Riau Silip Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah Sumber : BAPEDA-BPS,

52 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" KABUPATEN BANGKA 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT Kec. Bakam Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Merawang 1 52'54" Kec. Puding Besar 2 4'05" 2 4'05" Kec. Mendo Barat SELAT BANGKA KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA KEPADATAN PENDUDUK KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Kepadatan Penduduk : 0-49 jiwa/km jiwa/km jiwa/km jwa/km2 > 200 jiwa/km2 W N S Sumber : BAPEDA-BPS Kab. Bangka (2004) E Kilometers Gambar 9 Peta kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bangka tahun 2004

53 36 Pertumbuhan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bangka Jumlah Belinyu Riau Silip Sungailiat Bakam Pemali Merawang Puding Besar Mendo Barat Jumlah Tahun Gambar 10 Grafik pertumbuhan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bangka tahun Luas Penggunaan Lahan Gambaran kondisi penggunaan lahan suatu wilayah sering dinyatakan sebagai pola pemanfaatan ruang. Penggunaan lahan tersebut merupakan aspek spasial pokok yang harus diidentifikasi, dianalisis, dan direncanakan pengembangannya. Hal tersebut perlu dilaksanakan berkaitan dengan upaya membandingkan penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah dengan perencanaan atau alokasi pemanfaatan lahan pada rencana tata ruang di wilayah tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan penggunaan lahan untuk aktifitas penambangan seluas hektar atau sekitar 16.74% dari luas wilayah Kabupaten Bangka, sementara penutupan vegetasi seluas hektar atau 71.47% yang terdiri dari bakau 1.41%, belukar rawa 2.53%, hutan 1.44%, hutan rawa 0.38%, perkebunan besar dan kecil 33.04% dan semak belukar 32.32% dari luas wilayah. Luas penutupan lahan disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 11.

54 37 Tabel 10 Luas penutupan lahan di Kabupaten Bangka Keterangan Luas (ha)* Persentase (%) Bakau Belukar Rawa Galian / Pertambangan Hutan Hutan Rawa Kebun Karet Kebun Campuran Kebun Kelapa Sawit Kota / Permukiman Perkebunan Rakyat Sawah Semak Belukar Tambak Tidak dianalisis * Luas merupakan hasil perhitungan peta Sumber : Peta Satuan Lahan Berdasarkan ZAE BPTP-Babel (2005) 4.8. Kondisi Pertambangan Timah Rakyat Ketentuan umum mengenai pertambangan menetapkan pertambangan rakyat adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat dalam wilayah yang ditetapkan dengan menggunakan alat-alat sederhana dan menggunakan sebanyakbanyaknya 2 unit mesin yang masing-masing berkekuatan 20 PK (Perda Kab. Bangka No. 06/2001). Pertambangan rakyat yang ada di Kabupaten Bangka adalah pertambangan bijih timah yang mulai dilaksanakan sejak sekitar tahun Usaha tambang timah rakyat pada mulanya diberikan kepada rakyat yang melakukan hubungan kemitraan dengan P.T. Timah, Tbk sebagai penampung hasil tambang rakyat yang berada dalam wilayah kuasa pertambangan milik P.T. Timah, Tbk. Tetapi dengan semakin banyak pelaku penambangan timah, maka sistem pemasaran timah dirubah dengan diberikan kesempatan bagi perusahaan peleburan (smelter) berskala kecil untuk menampung hasil timah rakyat. Dengan sistem pemasaran yang lebih terbuka, tidak terdapat persyaratan khusus berkaitan dengan mutu bijih timah yang diproduksi, serta harga yang relatif tinggi menyebabkan semakin banyak rakyat yang melakukan usaha tambang timah tanpa

55 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT LAUT CINA SELATAN 1 41'43" KABUPATEN BANGKA KABUPATEN BANGKA BARAT 2 4'05" 1 52'54" 1 52'54" 2 4'05" SELAT BANGKA KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Penggunaan Lahan Hutan Hutan Rawa Karet Kebun Campuran Kebun Kelapa Sawit Bakau Belukar Rawa Kota / Permukiman Sawah Tambak Semak Belukar Kilometers Galian / Pertambangan Tanpa Keterangan Sumber : Peta Satuan Lahan berdasarkan ZAE-BPTP Prop. Babel (2005) W N S E Gambar 11 Peta penggunaan lahan di Kabupaten Bangka

56 39 mempertimbangkan aspek perizinan kepada pemerintah setempat maupun kerusakan lingkungan akibat aktifitas tersebut Tabel 11 Rekapitulasi jumlah tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka tahun 2005 No Kecamatan Kelurahan/Desa Jumlah Pemilik Jumlah Unit 1 Sungailiat Kel. Sungailiat Kel. Kuday Kel. Sinar Baru 3 3 Kel. Kenanga Kel. Parit Padang Ds. Rebo Sub. Jumlah Merawang Ds. Merawang Ds. Jurung Ds. Air Anyir Ds. Kimak Sub Jumlah Riau Silip Belinyu Kel. Kuto Panji 5 5 Kel. Air Jukung 2 2 Kel. Bukit Ketok Ds. Gunung Muda Ds. Gunung Pelawan Ds. Riding Panjang Ds. Lumut Ds. Bintet Sub Jumlah Pemali Mendo Barat Ds. Penagan Ds.Cengkong Abang 8 9 Ds.Kota Kapur Ds. Kace Sub. Jumlah Bakam Puding Besar 0 Jumlah Sumber : Distamben Kab. Bangka (2005) Luas keseluruhan wilayah pertambangan di Kabupaten Bangka berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka No. 06/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum ditetapkan maksimal 35% dari luas daerah termasuk untuk wilayah pertambangan rakyat secara keseluruhan ditetapkan sebesar ha. Pengelolaan perusahaan pertambangan hanya diberikan kepada perusahaan dan

57 40 masyarakat yang telah mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan rakyat (IUPR) dan/atau perjanjian usaha pertambangan. Data yang diperoleh dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka tahun 2005 (Tabel 11) menunjukkan terdapat lokasi tambang timah rakyat yang tersebar di tujuh (7) kecamatan di Kabupaten Bangka. Dari jumlah tersebut sebagian besar tambang tidak memiliki izin operasi. Kondisi ini menjadi permasalahan besar berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan berkaitan dengan kerusakan lingkungan, pengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi serta aktifitas masyarakat secara umum. Sementara data tambang timah rakyat yang diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Institut Pertanian Bogor untuk tahun 2002 dan 2005 disajikan secara spasial pada Gambar 12.

58 %[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[%[%[ %[%[%[ %[%[%[%[ %[%[ %[%[%[ %[%[ %[ %[%[ %[ %[%[%[ %[%[ %[%[%[%[ %[%[ '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 2 4'05" 1 52'54" 1 41'43" 1 30'32" TELUK KLABAT KABUPATEN BANGKA BARAT %[%[%[ %[ %[%[ %[%[%[%[%[ %[%[%[ %[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[ %[%[ %[ %[%[%[ %[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[%[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[ %[%[%[ %[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[ %[ SELAT BANGKA %[ %[%[%[ Kec. Belinyu %[ %[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[ Kec. Riau Silip %[ %[ %[%[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[%[ %[%[%[%[%[ %[%[ %[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[%[%[%[%[ %[%[%[ %[%[ %[%[%[%[ %[ %[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[%[ %[ %[ %[%[ %[%[%[%[%[%[ %[%[%[ %[%[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[ %[ %[ %[%[%[%[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[ %[ %[ %[%[ %[%[ %[%[%[%[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[ %[%[ %[%[ %[ %[%[ %[%[%[ %[ %[%[ %[%[ %[%[%[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[ %[%[%[ %[ %[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[ %[%[%[%[ %[%[ %[ %[%[ %[%[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[%[ %[%[ %[ %[ %[%[ %[ %[%[%[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[ %[ %[ %[%[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[ %[ %[ %[%[%[%[ %[%[ %[%[ %[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[ %[%[ %[%[%[ %[%[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[ %[%[ %[ %[%[%[%[%[ %[%[%[%[ %[ %[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[ %[%[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[%[ %[ %[ %[ %[%[%[%[ %[%[%[%[ %[ %[ %[%[%[%[%[ %[%[ %[%[ KABUPATEN BANGKA %[ %[%[%[%[ %[%[%[%[ %[%[%[%[ %[ %[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[%[ Kec. %[ %[ %[ Pemali %[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[ %[ %[ %[ %[%[ %[ %[%[%[ %[%[%[ %[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[ %[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[%[ %[%[ %[%[ %[ %[ %[%[%[ %[ %[%[%[ %[ %[%[%[ %[ Kec. Bakam %[%[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[ %[%[%[%[%[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[%[ %[%[ %[ %[ %[ %[%[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[ %[%[ %[%[%[ %[%[ %[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[%[ %[ %[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[%[ %[ %[ %[%[%[ %[ %[ %[%[%[%[%[%[%[%[ %[ %[ %[ Kec. Puding Besar %[ LAUT NATUNA Kec. Merawang PROVINSI BANGKA BELITUNG LAUT CINA SELATAN Kec. Sungailiat LOKASI PENELITIAN L A U T J A W A 1 30'32" 1 41'43" 1 52'54" 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat %[ %[%[ %[ KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" %[%[ %[%[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[ KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA SEBARAN TAMBANG TIMAH KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan %[ Tambang Timah Rakyat W N S E Kilometers Sumber : Peta sebaran timah rakyat (PPLH-IPB, 2002 dan 2005) Gambar 12 Peta sebaran tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka

59 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis terhadap Lokasi Tambang Timah Rakyat Identifikasi Status Tambang Timah Rakyat Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka No 06/2001, pengelolaan pertambangan diberikan kepada perusahaan maupun perorangan yang telah mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan rakyat (IUPR), dan perjanjian usaha pertambangan dari Pemerintah Kabupaten Bangka. Peraturan pelaksana diatur dalam Keputusan Bupati Bangka No. 06/2001 tentang Tata Cara dan Prosedur Usaha Pertambangan dan Peraturan Bupati Bangka No. 38/2004 tentang Peraturan Pelaksanaan Pemberian Surat Izin Usaha Jasa Pertambangan. Identifikasi status izin pertambangan timah rakyat ditujukan untuk mengetahui aspek legal aktifitas tambang timah rakyat yang marak terjadi di Kabupaten Bangka. Hasil identifikasi tersebut dilakukan dengan menetapkan bahwa tambang timah rakyat dengan status legal adalah usaha tambang rakyat yang sedang dalam masa izin usaha maupun yang pernah mendapatkan izin usaha pertambangan tetapi telah habis masa berlaku. Hasil identifikasi status izin tambang timah rakyat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah tambang timah rakyat yang merupakan mitra perusahaan tambang timah yang dinyatakan dalam Surat Produksi Tambang Skala Kecil (SPTSK) dari masing-masing tambang rakyat. Sementara lokasi tambang timah rakyat yang tidak diketahui status perizinannya dimungkinkan karena selama penelitian belum diperoleh dokumen mengenai status perizinan dari tambang yang ada atau tambang tersebut merupakan usaha tambang timah rakyat yang tidak pernah mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Identifikasi tambang yang memiliki SPTSK sejumlah 164 tambang timah rakyat yang bergabung dalam sejumlah perusahaan tambang timah berskala kecil, yang merupakan mitra dari P.T. Timah, Tbk. Daftar tambang timah rakyat yang memiliki SPTSK terdapat dalam Lampiran 3, sementara hasil identifikasi status izin secara spasial diperlihatkan pada Gambar 13.

60 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 2 4'05" 1 52'54" 1 41'43" 1 30'32" TELUK KLABAT KABUPATEN BANGKA BARAT SELAT BANGKA Kec. Belinyu % % % % % % % % % % % % % % % Kec. Riau Silip % % % % % % %% % % % %% % % % % % % KABUPATEN BANGKA % Kec. Pemali % % % % % % %% % % % % % Kec. Bakam % % % % % % % % %% % % % % Kec. Puding Besar LAUT NATUNA Kec. Merawang PROVINSI BANGKA BELITUNG LAUT CINA SELATAN Kec. Sungailiat LOKASI PENELITIAN L A U T J A W A 1 30'32" 1 41'43" 1 52'54" 2 4'05" 2 15'16" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KABUPATEN BANGKA TENGAH KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA STATUS IZIN TAMBANG TIMAH RAKYAT PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Status Izin : % ( legal tanpa keterangan Legenda : batas kabupaten batas kecamatan kuasa pertambangan W N S Kilometer E Sumber : - PPLH-IPB (2002 dan 2005) - PT Timah,Tbk (2005) Gambar 13 Peta status izin tambang timah rakyat

61 Berdasarkan data yang diperoleh tersebut maka hanya terdapat 18% dari seluruh tambang timah rakyat yang dipetakan (164 dari 909) merupakan tambang timah yang mempunyai status legal. Bila data tersebut dibandingkan dengan jumlah seluruh tambang timah rakyat yang terdata dari Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bangka (Distamben Kab. Bangka) tahun 2005 sebanyak tambang timah rakyat, maka yang memperoleh status legal hanya sejumlah 9 %. Sejumlah usahawan tambang timah rakyat tidak mengajukan permohonan izin usaha tambang rakyat beralasan bahwa tidak terdapat sanksi yang berarti dari pemerintah daerah setempat berkaitan dengan usaha yang mereka lakukan dengan tanpa izin usaha. Pemerintah daerah dalam hal ini tidak mampu melakukan kontrol terhadap keberadaan tambang timah rakyat. Selain akibat hanya sedikit pelaku usaha tambang yang mengajukan perizinan ke pemerintah daerah, juga tidak adanya tindak lanjut berkaitan dengan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan daerah yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan seperti perda mengenai pengelolaan pertambangan umum dan peraturan lain yang berhubungan dengan kegiatan pertambangan Penilaian Lokasi Tambang Timah Rakyat berdasarkan Faktor Jarak dengan Pusat Kecamatan Hasil penilaian lokasi tambang timah rakyat terhadap jarak dengan pusat kecamatan berupa data jumlah tambang timah rakyat untuk masing-masing tingkatan jarak ditampilkan pada grafik yang terdapat pada Gambar 14, sedangkan secara spasial hasil tersebut ditampilkan pada Gambar 15. Jumlah obyek tambang dengan jarak kurang dari 3 km dari pusat kecamatan sejumlah 70 obyek tambang yang terdapat pada Kecamatan Riau Silip, Sungailiat, Pemali dan Kecamatan Merawang. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi tambang timah rakyat berada pada lokasi yang dekat dengan pemukiman padat penduduk dan fasilitas penting bagi masyarakat. Keberadaan lokasi tambang di wilayah ini mempengaruhi kondisi lingkungan di sekitarnya terutama terhadap menurunnya kualitas lingkungan dengan munculnya lahan terbuka akibat aktifitas tambang. Lahan terbuka seperti ini selain mengurangi kemampuan serapan air oleh tanah, meningkatkan suhu udara juga menyebabkan pemandangan yang kurang menarik di sekitar pemukiman. Aktifitas tambang timah rakyat juga telah 44

62 45 menyebabkan kerusakan fasilitas umum diantaranya bumi perkemahan pramuka di Kelurahan Kenanga Kecamatan Sungailiat telah beralih menjadi lahan terbuka pasca penambangan. Jumlah Tambang Timah Rakyat berdasarkan Jarak terhadap Pusat Kecamatan Jumlah Belinyu Riau Silip Sungailiat Pemali Meraw ang Bakam Puding Besar Mendo Barat Total > 10 Tingkatan jarak (km) Gambar 14 Grafik jumlah tambang timah rakyat berdasarkan jarak dengan pusat kecamatan Pada Gambar 14 ditunjukkan bahwa terdapat 6 pusat kecamatan yang mempunyai tambang timah rakyat yang berada pada jarak 3 5 kilometer. Jumlah tambang yang terbanyak di Baturusa dan Pemali masing-masing sejumlah 44 dan 38 tambang. Tambang-tambang yang berada pada jarak ini masih mempengaruhi aktifitas masyarakat secara secara umum karena lokasi ini masih dekat dengan pemukiman dan beberapa fasilitas umum. Hasil identifikasi jarak tambang terhadap pusat kecamatan menunjukkan terdapat tambang mempunyai jarak relatif dekat terhadap lebih dari satu pusat kecamatan, seperti terlihat pada beberapa tambang berlokasi di antara Pemali dan Sungailiat maupun antara Belinyu dan Riau Silip karena selain tambang berada di

63 SSSS SSS %[%[ %[ %[ %[ SS%% % S %[%[%[ '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 2 4'05" 1 52'54" 1 41'43" 1 30'32" TELUK KLABAT KABUPATEN BANGKA BARAT %[%[%[ %[ %[%[ SS SSS SSSSS SSSSS SSSSSSS SSS SS SSSS %[%[%[%[ %[ S SS SSSSS %[ %[ %[ %[ %[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[%[%[ %[%[ %[%[%[ %%% % SS SSS S SSS % SSS %[%[%[%[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[S % SSSSSS %[ SSSS %[%[%[ %[ SELAT BANGKA Kec. Belinyu S %[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[%[ %[ %[ SS %[%[%[%[ %[ %[%[%[ %[ %[%[%[%[ S SSSSSSSSSSS SSSSSS S S %[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[%[ SS %[ %[ %[%[%[%[%[ %[%[%[ %[%[%[%[%[%[ %[ S SS S S S S S S SS %[%[ SSS SSSS %[%[%[ S%[%[%[ SSSSS SS S SSSSS %[%[%[ S S SSS S S SS SS%[%[ SSSSSSSS SS %[ %[%[%[ S %[%[%[ % %[%[ %[ SSS SSS %% SS %[%[%[ SSS S %[ S SSSSSS S %[%[ SSSSSS SSS S %[ %U % %[ SSSS %U%U%U%% % %% S SS %U SS %[%[%[S %[ %[%[ %[%[%[%[%[%[ %U %[ % S S %[ %[%[%[%[ %[%[ SS%[%[ S %[ %[%[ %[%[%[%[ %U % S S %[%[%[%[ %[ %[ %U%U%U%U%U%U%U%U%U %[%[ %[%[%[ %[ S S SS %[ Kec. Riau S Silip %[ SS S %[%[ S S S %[%[%[%[ %[%[ SS SSSS S SSS SSS %[%[%[%[%[%[ SS %[ SS S SS SSSSSS S S SSSS SS %[%[%[ %[%[ S SSSSSS SSSSSSSS S S S SSS S S SSSSS % SSS S SS SSSSSSSS SSSS S %[ SSSSS S S S SSSSSSS SSSSS %U%U%U%% %U%U%U%U%U KABUPATEN BANGKA SSSSSSSS % %U%U %U%U %U%U%U % % %% %U%U S %[ %U%U %%U %U %%%%% Kec. Pemali %U %U % S %U%U %U%U%U %U%U%U % % % %U%U%U % %% SSSSSSSSSSSSSSS SSSS S %S%% SS S S SS S SSS S S Kec. Bakam SS S SSSS SSSSSSSS S S %[ S SSSSS S SS S SS SS SSSSS S SS S S S% SSSSS S SSSS % %SSSS %% S %U%% S % %U%U%U%U% %% % % %U%U%U % %U Kec. Puding Besar % LAUT NATUNA Kec. Merawang PROVINSI BANGKA BELITUNG LAUT CINA SELATAN Kec. Sungailiat LOKASI PENELITIAN L A U T J A W A 1 30'32" 1 41'43" 1 52'54" 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat %[%[%[%[ %[ %[%[%[%[%[%[%[%[%[ %[%[%[%[%[ %[ %[%[ S KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA KRITERIA TAMBANG TIMAH RAKYAT BERDASARKAN JARAK TERHADAP PUSAT KECAMATAN Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Kota Kecamatan Kriteria tambang berdasarkan jarak terhadap pusat kecamatan N W E S Kilometers PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 %U % < 3 km 3-5 km S 5-10 km %[ > 10 km Sumber : Hasil Analisis dari data PPLH-IPB (2002 dan 2005) Gambar 15 Peta kriteria tambang timah rakyat berdasarkan jarak terhadap pusat kecamatan

64 47 antara pusat kecamatan juga jarak antara pusat kecamatan tersebut relatif berdekatan. Lokasi tambang yang berada pada wilayah yang berdekatan dengan pusat-pusat kecamatan tersebut mengganggu aktifitas masyarakat di wilayah sekitarnya. Jarak antara lokasi tambang timah rakyat dengan pusat kecamatan disajikan pada Lampiran 4 sampai Lampiran 7. Hasil wawancara terhadap responden yang tidak menyetujui adanya aktifitas tambang timah rakyat antara lain menyatakan banyak terjadi kerusakan fasilitas umum dan kerusakan lingkungan di sekitar pemukiman penduduk akibat aktifitas tersebut. Gambar 16 dan 17 menunjukkan aktifitas tambang timah rakyat berada di dekat pemukiman penduduk dan fasilitas umum. Gambar 16 Aktifitas tambang timah rakyat yang berada di lokasi pemukiman penduduk Tambang timah rakyat yang terletak pada jarak 5-10 kilometer dari pusat kecamatan terdapat pada 6 pusat kecamatan yaitu Belinyu, Riau Silip, Sungailiat, Pemali, Baturusa, dan Petaling. Jumlah yang terbesar pada radius tersebut terdapat di Riau Silip sejumlah 153 tambang, di Belinyu sejumlah 105 tambang dan di Pemali sejumlah 101 tambang timah rakyat.

65 48 Gambar 17 Aktifitas tambang timah rakyat yang berada di dekat jalan umum Keberadaan tambang timah rakyat pada jarak 5 10 km tidak secara langsung mengganggu aktifitas masyarakat, karena asumsi bahwa lokasi tersebut relatif jauh terhadap pemukiman penduduk dan fasilitas umum dari pusat kecamatan yang dianalisis. Tetapi pada jarak ini keberadaan tambang masih pada lingkungan perkebunan masyarakat sehingga memungkinkan terjadi pengrusakan kebun akibat kegiatan pertambangan rakyat. Hasil identifikasi jarak tambang dengan jarak > 10 km dari pusat kecamatan, terdapat 245 lokasi tambang yang berada pada radius tersebut. Tambang-tambang tersebut berdasarkan jarak terdekat dengan pusat kecamatan pada kelas jarak > 10 km, diidentifikasi terdiri dari 113 tambang di Belinyu, 101 tambang di Riau Silip, 30 tambang di Petaling dan 1 tambang di Sungailiat. Secara spasial, hubungan antara status perizinan tambang timah rakyat dengan jarak tambang terhadap pusat kecamatan ditampilkan pada grafik dalam Gambar 18. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat 20 tambang timah rakyat yang memiliki status legal berada pada jarak kurang dari 3 km dari pusat kecamatan, dengan jumlah terbanyak di Pemali sejumlah 14 lokasi tambang. Sementara pada jarak antara 3 5 km dari pusat kecamatan, terdapat 38 tambang dengan status legal dengan jumlah terbanyak di Baturusa dengan jumlah 19 lokasi

66 49 tambang. Kondisi ini menunjukkan bahwa perizinan terhadap tambang timah rakyat masih tidak mempertimbangkan aspek jarak terhadap pusat kecamatan tetapi lebih pada kandungan deposit timah yang dimiliki suatu wilayah. Hubungan tambang timah rakyat berstatus legal dengan jarak terhadap pusat kecamatan jumlah > 10 Jumlah 0 Baturusa Pemali Riau Silip Sungailiat Jumlah Pusat Kecamatan Gambar 18 Hubungan tambang timah rakyat berstatus legal dengan jarak terhadap pusat kecamatan Penilaian terhadap Pengaruh Buruk Aktifitas Tambang Timah Rakyat terhadap Kondisi Lingkungan Desa Jumlah Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Salah satu faktor penilaian terhadap pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat terhadap kondisi lingkungan desa adalah jumlah tambang timah rakyat di setiap desa. Faktor ini menjadi pertimbangan penilaian sehubungan dengan tingkat kerusakan lingkungan di suatu desa berbanding lurus dengan bertambahnya jumlah tambang timah rakyat yang ada di desa tersebut. Hasil analisis jumlah tambang timah rakyat di setiap desa menunjukkan terdapat 14 desa yang mempunyai jumlah tambang kurang dari 15 (renggang), 7 desa dengan jumlah antara 15 sampai 30 tambang (agak rapat), 10 desa dengan jumlah antara 30 sampai 50 tambang (rapat), dan 4 desa dengan jumlah tambang

67 lebih dari 50 tambang (sangat rapat). Masing-masing kategori desa untuk masingmasing kriteria jumlah tambang ditampilkan pada Tabel 12, 13, 14 dan Tabel 15. Secara spasial kategori desa tersebut diperlihatkan pada Gambar 19. Tabel 12 Desa yang memiliki kurang dari 15 lokasi tambang No Desa Kecamatan Jumlah* 1 Kuto Panji Belinyu 5 2 Berbura Riau Silip 5 3 Kenanga Sungailiat 14 4 Kudai Sungailiat 10 5 Parit Padang Sungailiat 2 6 Rebo Sungailiat 2 7 Sungailiat Sungailiat 13 8 Penyamun Pemali 7 9 Air Anyir Merawang Jurung Merawang 3 11 Kimak Merawang 4 12 Riding Panjang Merawang 9 13 Rukam Mendo Barat 4 14 Puding Besar Puding Besar 1 Jumlah 93 * Jumlah merupakan hasil perhitungan di peta 50 Tabel 12 menunjukkan desa yang memiliki jumlah tambang kurang dari 15 tambang sebagian besar berada di Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Merawang. Sementara pada Tabel 13 memperlihatkan sejumlah desa dengan jumlah tambang antara tambang berada pada enam kecamatan. Jumlah tambang pada masing-masing desa ini dapat bertambah akibat semakin besarnya kecenderungan masyarakat untuk berusaha di sektor tambang. Perubahan fungsi lahan menjadi areal pertambangan akan memperbanyak lahan terbuka di masingmasing desa tersebut. Tabel 13 Desa yang memiliki 15 sampai 30 lokasi tambang No Desa Kecamatan Jumlah* 1 Bukit Ketok Belinyu 27 2 Riding Panjang Belinyu 29 3 Pugul Riau Silip 28 4 Karya Makmur Sungailiat 24 5 Air Ruai Pemali 15 6 Air Duren Merawang 21 7 Penagan Mendo Barat 19 Jumlah 163 * Jumlah merupakan hasil perhitungan di peta

68 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" 1 52'54" KABUPATEN BANGKA Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Bakam 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT 2 4'05" Kec. Puding Besar Kec. Merawang 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA JUMLAH TAMBANG TIMAH RAKYAT DI TIAP DESA PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Batas desa Jumlah tambang timah rakyat per desa : 0 < > 50 W N S Sumber : Hasil analisis dari data PPLH-IPB (2002 dan 2005) E Kilometers Gambar 19 Peta jumlah tambang timah rakyat di tiap desa

69 52 Tabel 14 Desa yang memiliki 30 sampai 50 lokasi tambang No Desa Kecamatan Jumlah* 1 Air Jukung Belinyu 39 2 Gunung Muda Belinyu 49 3 Deniang Riau Silip 49 4 Mapur Riau Silip 50 5 Riau Riau Silip 41 6 Silip Riau Silip 47 7 Pemali Pemali 36 8 Dwi Makmur Merawang 32 9 Merawang Merawang Bukit Layang Bakam 44 Jumlah 422 * Jumlah merupakan hasil perhitungan di peta Tabel 14 memperlihatkan bahwa desa-desa yang telah memiliki jumlah tambang antara tambang sebagian besar berada di Kecamatan Riau Silip, dan beberapa desa di kecamatan lainnya. Kondisi ini telah menunjukkan kecenderungan jenis usaha tambang timah sudah mulai banyak diminati masyarakat di desa tersebut. Hasil wawancara terhadap responden memberikan informasi bahwa banyak terdapat lahan perkebunan yang dialihfungsikan menjadi areal pertambangan. Tabel 15 Desa yang memiliki lebih dari 50 lokasi tambang No Desa Kecamatan Jumlah 1 Bintet Belinyu 58 2 Gunung Pelawan Belinyu 55 3 Lumut Belinyu 51 4 Cit Riau Silip 57 Jumlah 221 * Jumlah merupakan hasil perhitungan di peta Pada Tabel 15 menunjukan bahwa terdapat empat desa yang masing-masing memiliki jumlah tambang timah rakyat lebih dari 50 tambang. Hal ini menunjukkan bahwa minat masyarakat pada jenis usaha tambang timah rakyat sudah sangat besar. Kecenderungan penambahan luas daerah tambang tetap terjadi bila tidak terdapat alternatif usaha yang dapat menjadi sumber ekonomi bagi pelaku usaha tambang, selain masih kurangnya kesadaran mereka untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

70 Nilai Standard Distance (SD) dari Sebaran Tambang Timah Rakyat di Setiap Desa Nilai Standard Distance (SD) tambang timah rakyat di setiap desa merupakan gambaran mengenai kecenderungan sebaran lokasi tambang timah rakyat yang ada di setiap desa. Kecenderungan sebaran tersebut dapat bersifat memusat di lokasi tertentu dalam suatu desa sampai bersifat menyebar. Hasil analisis lokasi tambang berdasarkan nilai SD ditunjukkan pada Tabel 16, 17, 18, dan 19, sedangkan secara spasial hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 20. Tabel 16 Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori terpusat di tiap desa No Nama Desa Kecamatan Jumlah TI* Nilai SD* Air Jukung Berbura Kudai Rebo Air Duren Dwi Makmur Kimak Penagan Rukam Belinyu Riau Silip Sungailiat Sungailiat Merawang Merawang Merawang Mendo Barat Mendo Barat Jumlah * Jumlah dan Nilai SD didasarkan pada hasil perhitungan Pada Tabel 16 menunjukkan beberapa desa memiliki jumlah tambang timah rakyat dalam jumlah banyak tetapi dalam kisaran nilai SD ±1.00, antara lain di Desa Air Jukung dengan jumlah tambang timah rakyat sebanyak 39 lokasi dengan nilai SD 1.06, dan Desa Dwi Makmur dengan jumlah tambang 32 lokasi dengan nilai SD Ini menunjukkan lokasi tambang berdekatan satu sama lainnya. Areal tambang yang berdekatan memberikan peluang penanganan lahan pasca tambang lebih mudah dalam pengertian jarak tempuh antara lokasi tambang lebih dekat. Tabel 17 menunjukkan bahwa pada kisaran nilai SD (agak terpusat), jumlah tambang tidak mempengaruhi wilayah sebaran tambang di tiap desa. Sebagai contoh pada Desa Mapur Kecamatan Riau Silip dengan jumlah tambang sebanyak 50 lokasi memiliki nilai SD 1.63 yang relatif lebih memusat dibandingkan dengan sebaran tambang di desa lainnya. Kondisi sebaliknya ditunjukkan di Desa Parit Padang dan Jurung dengan jumlah tambang masing- 53

71 masing 2 dan 3 dengan nilai SD masing-masing desa 1.92 dan 2.16, memberikan gambaran sebaran tambang di dua desa tersebut untuk jumlah tambang yang sedikit menjadi relatif menyebar. Tabel 17 Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori agak terpusat di tiap desa No Nama Desa Kecamatan Jumlah TI* Nilai SD* Bukit Ketok Gunung Muda Gunung Pelawan Kuto Panji Riding Panjang Deniang Mapur Kenanga Karya Makmur Parit Padang Sungailiat Air Ruai Pemali Penyamun Air Anyir Jurung Merawang Riding Panjang Bukit Layang Belinyu Belinyu Belinyu Belinyu Belinyu Riau Silip Riau Silip Sungailiat Sungailiat Sungailiat Sungailiat Pemali Pemali Pemali Merawang Merawang Merawang Merawang Bakam Jumlah * Jumlah dan Nilai SD didasarkan pada hasil perhitungan Kecenderungan jumlah tambang timah rakyat yang banyak menyebabkan wilayah sebaran tambang lebih luas ditunjukkan pada Tabel 18. Hasil perhitungan nilai SD antara (agak tersebar) terdapat pada desa yang memiliki jumlah tambang lebih dari 50, kecuali di Desa Pugul Kecamatan Riau Silip yang mempunyai tambang timah rakyat sejumlah 28 lokasi. Tabel 18 Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori agak tersebar di tiap desa No Nama Desa Kecamatan Jumlah TI* Nilai SD* Bintet Lumut Cit Pugul Belinyu Belinyu Riau Silip Riau Silip Jumlah * Jumlah dan Nilai SD didasarkan pada hasil perhitungan 54

72 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" 1 52'54" KABUPATEN BANGKA Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Bakam 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT 2 4'05" Kec. Puding Besar Kec. Merawang 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA NILAI STANDARD DISTANCE TAMBANG TIMAH RAKYAT DI TIAP DESA Nilai Standard Distance : < > 5.0 tidak dianalisis W S N E PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : batas kabupaten batas kecamatan batas desa Kilometers Sumber : Hasil wawancara Gambar 20 Peta nilai Standard Distance sebaran tambang timah rakyat di setiap desa

73 Pada Tabel 19 diperlihatkan nilai SD sebaran tambang di atas 5.00 (tersebar) terdapat pada desa dengan jumlah tambang 41 di Desa Riau dan 47 di Desa Silip Kecamatan Riau Silip. Tabel 19 Hasil analisis lokasi tambang dengan kategori tersebar di tiap desa No Nama Desa Kecamatan Jumlah TI* Nilai SD* Riau Silip Riau Silip Riau Silip Jumlah * Jumlah dan Nilai SD didasarkan pada hasil perhitungan Penilaian pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat terhadap kondisi lingkungan desa lokasi tambang dilakukan dengan melakukan skoring terhadap faktor jumlah tambang timah dan nilai SD sebaran tambang timah rakyat di setiap desa lokasi tambang timah rakyat (lihat bab metode penelitian). Hasil skoring ditunjukkan pada Tabel 20 dan Gambar 21. Berdasarkan hasil skoring yang dilakukan terhadap jumlah tambang timah dan nilai SD sebaran tambang timah, maka pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat di setiap desa yang termasuk kategori sangat buruk terdapat di 6 desa yaitu Desa Bintet, Gunung Pelawan, Lumut, Cit, Riau, dan Silip. Sedangkan 9 desa termasuk dalam kategori buruk yaitu Desa Air Jukung, Bukit Layang, Deniang, Dwi Makmur, Gunung Muda, Mapur, Merawang, Pemali, dan Pugul. Penilaian pengaruh buruk aktifitas tambang timah rakyat memperlihatkan pada desa dengan kondisi lingkungan desa sangat buruk mempunyai jumlah tambang yang berada dalam kisaran padat (Desa Riau dan Desa Silip) dan semua desa yang memiliki jumlah tambang timah rakyat pada kisaran sangat padat. Sementara berdasarkan perhitungan nilai SD, desa dengan kondisi lingkungan sangat buruk terdapat pada tambang dengan nilai SD = (kategori agak terpusat) sampai dengan nilai SD > 4.0 (kategori tersebar). Hasil identifikasi antara jarak tambang timah rakyat terhadap pusat kecamatan dengan kondisi lingkungan desa menunjukkan terdapat tambang timah rakyat yang mempunyai jarak kurang dari 3 km terhadap pusat kecamatan berada pada Desa Riau dan Desa Silip untuk Kecamatan Riau Silip. Kedua desa tersebut juga termasuk dalam kategori lingkungan desa sangat buruk karena jumlah tambang yang banyak (Desa Riau sejumlah 41 tambang dan Desa Silip sejumlah 56

74 47 tambang) serta sebaran tambang berdasarkan perhitungan nilai SD termasuk kategori tersebar. Sementara untuk Kecamatan Pemali terdapat di Desa Pemali dan Desa Air Duren, dan untuk Kecamatan Sungailiat terdapat di Kelurahan Sungailiat dan Kelurahan Kudai. Tabel 20 Hasil skoring pada masing-masing desa lokasi tambang timah rakyat di Kabupaten Bangka 57 Nama Desa Air Anyir Berbura Jurung Kenanga Kimak Kudai Kuto Panji Penyamun Parit Padang Puding Besar Rebo Riding Panjang-Merawang Rukam Sungailiat Air Duren Air Ruai Bukit Ketok Karya Makmur Riding Panjang-Belinyu Penagan Air Jukung Bukit Layang Deniang Dwi Makmur Gunung Muda Mapur Merawang Pemali Pugul Bintet Cit Gunung Pelawan Lumut Riau Silip SD Skoring T Skor Total* (SD + 3T) * Skoring didasarkan asumsi terhadap bobot yang mempengaruhi kriteria Kelas / Kategori Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Agak buruk Agak buruk Agak buruk Agak buruk Agak buruk Agak buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk

75 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" 1 52'54" KABUPATEN BANGKA Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Bakam 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT 2 4'05" Kec. Puding Besar Kec. Merawang 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA PENGARUH AKTIFITAS TAMBANG TIMAH RAKYAT TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DESA Kondisi Lingkungan Desa : sangat buruk agak buruk buruk normal tidak dianalisis N W E S PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : batas kabupaten batas kecamatan batas desa Kilometers Sumber : Hasil wawancara Gambar 21 Peta pengaruh buruk aktifitas tambang terhadap kondisi lingkungan desa

76 59 Desa dengan kategori lingkungan sangat buruk perlu diprioritaskan dalam penanganan lahan pasca penambangan. Penanganan dapat berupa pengalokasian areal sebagai lahan rehabilitasi pada lahan pasca penambangan. Selain itu perlu tindakan tegas berupa larangan terhadap aktifitas penambangan karena dikhawatirkan kemampuan daya dukung lingkungan sekitar areal tambang di sekitar desa tersebut sudah tidak dapat mengimbangi tingkat kerusakan akibat aktifitas penambangan. Untuk desa dengan kategori lingkungan buruk berada dalam kisaran agak padat (Desa Pugul) dan desa dalam kisaran padat. Sementara berdasarkan perhitungan nilai SD, desa dengan kondisi lingkungan buruk terdapat pada tambang dengan nilai SD = (kategori agak terpusat). Penanganan desa dengan kondisi lingkungan buruk perlu dilakukan berkaitan dengan upaya mengurangi tingkat kerusakan lingkungan yang terjadi. Beberapa faktor seperti kemiringan lereng perlu diperhatikan untuk memprioritaskan suatu areal perlu segera dialokasikan sebagai kawasan rehabilitasi. Alokasi lahan pasca tambang untuk menjadi kawasan rehabilitasi pada luasan yang besar membutuhkan input yang sangat besar. Hal itu karena secara umum kondisi tanah di Kabupaten Bangka mempunyai tingkat kesuburan yang rendah, apalagi dengan adanya aktifitas penambangan akan semakin rendah tingkat kesuburannya. Tanah di lokasi pasca tambang terdiri dari hamparan tailing (sisa penambangan), kolong baik dangkal maupun dalam, serta daerah dumping. Hamparan tailing berupa susunan endapan bahan kuarsa berukuran pasir sampai kerikil yang berlapis-lapis serta terdapat bahan yang lebih halus bercampur sedikit liat. Bahan ini mempunyai potensi kesuburan yang ekstrim rendah dengan sifat mengikat kation dan air yang sangat kecil, kadar bahan organik, P tersedia, KTK, kadar basa-basa (Ca, Mg, K, Na) ektrim rendah dengan ph antara 5.0 sampai 6.0 dan pada umumnya bertekstur pasir dan pasir berlempung. Kesan yang muncul pada hamparan tailing adalah gundul dengan suasana padang pasir. Daerah kolong yang tidak berair memiliki kondisi yang relatif sama dengan hamparan tailing. Sementara daerah dumping merupakan tumpukan material galian yang bertekstur lempung (lempung berpasir. lempung dan lempung

77 60 berdebu) tanpa struktur dan sangat peka erosi rendah kadar basa dan bahan organik dengan ph berkisar antara 5.3 sampai 6.0. Beberapa percobaan yang dilakukan pada lahan pasca penambangan di wilayah kuasa pertambangan P.T. Tambang Timah berupa rehabilitasi lahan dengan menanam tanaman akasia dan jambu monyet mempunyai pertumbuhan agak baik tetapi bunga dan buah muda gugur atau rusak (P.T. Tambang Timah, 1991). Penanganan lahan pasca tambang dapat juga diarahkan pada menggantikan fungsi lahan sebagai kawasan budidaya selain pertanian seperti menjadikannya sebagai daerah obyek wisata. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan berkaitan dengan pengalokasian lahan pasca tambang sebagai daerah obyek wisata antara lain wilayah yang luasannya memenuhi skala ekonominya, aksesibilitas ke lokasi, kemampuan memunculkan daya tarik bagi wisatawan seperti obyek yang ditampilkan, sarana dan prasarana pendukung dan dukungan lingkungan sekitar baik manusia maupun alam. Dikaitkan dengan status perizinan tambang timah rakyat, pada tambang rakyat yang memiliki izin tambang perlu penegasan terhadap keharusan melakukan rehabilitasi lahan pasca tambang, sebagai salah satu kewajiban dalam memiliki izin penambangan. Sedangkan pada lokasi tambang yang tidak jelas perizinannya menjadi lebih sulit untuk mengharuskan pelaku usaha untuk melakukan rehabilitasi lahan sehingga perlu program secara terpadu berkaitan dengan penanganan lahan pasca tambang. Pada lokasi tambang dengan jarak lokasi yang berdekatan dengan pusat kecamatan lebih dimungkinkan pengalihan fungsi areal pasca tambang untuk kawasan budidaya selain pertanian. Kondisi tersebut terutama berkaitan dengan aksesibilitas terhadap pusat kecamatan. Beberapa lokasi tersebut dapat diarahkan sebagai kawasan pemukiman dan fasilitas umum serta sebagai lokasi obyek wisata dan kawasan industri. Beberapa faktor pendorong dalam mengalokasikan lahan pasca tambang sebagai lokasi obyek wisata adalah terdapat obyek wisata alam pantai yang cukup banyak di Kabupaten Bangka. Obyek wisata tersebut diharapkan dapat sebagai pemacu berkembangnya obyek wisata lain sebagai pendukung obyek wisata yang telah ada.

78 5.2. Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Akibat Aktifitas Tambang Timah Rakyat Analisis terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat akibat aktifitas tambang timah dilakukan secara deskripsi berkaitan dengan data hasil wawancara terhadap responden dan beberapa data penunjang. Pendapat responden yang berkaitan dengan jenis pekerjaan responden, pendapatan rata-rata responden, peningkatan ekonomi masyarakat, serta pendapat mengenai dampak kerusakan lingkungan ditampilkan secara spasial. Hal ini dimaksudkan untuk mengamati pengaruh wilayah kajian terhadap aspek-aspek yang diamati tersebut. Pada Gambar 22 ditunjukkan bahwa dari 60 responden, yang mempunyai pekerjaan pada jenis usaha tambang timah rakyat sebanyak 35 orang, sementara lainnya sebagai petani 10 orang, pedagang 5 orang, guru/pns 3 orang selebihnya masing-masing 1 orang sebagai karyawan swasta, dan jenis pekerjaan informal seperti supir dan lain-lain. Responden dengan jenis usaha tambang timah rakyat rata-rata mempunyai pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan jenis pekerjaan lain. Seperti di Desa Bintet Kecamatan Belinyu, seluruh responden terpilih mempunyai pekerjaan sebagai usahawan tambang timah rakyat dengan rata-rata pendapatan per bulan sebesar juta rupiah per bulan. Desa Kimak Kecamatan Merawang yang juga seluruh repondennya dengan jenis pekerjaan sebagai usahawan tambang timah rakyat mempunyai pendapatan per bulan sebesar juta rupiah per bulan. Sementara responden di Kelurahan Sungailiat yang merupakan ibukota Kabupaten Bangka dengan pekerjaan selain usaha tambang timah rakyat, mempunyai pendapatan rata-rata sebesar 2.00 juta rupiah per bulan. Jumlah rata-rata pendapatan responden ditunjukkan pada Tabel 21 dan secara spasial ditunjukkan pada Gambar 23. Hasil analisis terhadap jumlah pendapatan responden lebih dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dibandingkan jarak lokasi desa responden terhadap pusat kota maupun dengan sungai yang ada di Kabupaten Bangka. Responden yang mempunyai jenis pekerjaan sebagai usahawan tambang timah rakyat mempunyai rata-rata pendapatan diatas 10 juta rupiah per bulan, sementara pada responden 61

79 Titi kr es pond en.sh p '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT KABUPATEN BANGKA Kec. Pemali Kec. Bakam Kec. Sungailiat 1 52'54" 2 4'05" Kec. Puding Besar Kec. Merawang 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA JENIS PEKERJAAN RESPONDEN PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Jenis Pekerjaan Responden : Usahawan TI Guru/PNS Bengkel Buruh TI Karyawan swasta Tukang Wiraswasta Supir Makelar Petani Paranormal 10 Legenda : batas kabupaten batas desa batas kecamatan Kondisi fisik desa : sangat buruk normal tidak dianalisis buruk agak buruk W N S E 0 10 Kilometers Sumber : Hasil wawancara Gambar 22 Peta jenis pekerjaan responden.

80 63 yang mempunyai pekerjaan selain usaha tambang timah mempunyai pendapatan yang bervariasi antara kurang dari 500 ribu sampai 2 juta rupiah per bulan. Kondisi ini menjadi faktor yang mendorong banyaknya masyarakat yang berpindah jenis usaha ke usaha tambang timah rakyat. Pengalokasian lahan milik pribadi usahawan timah sebagai lokasi tambang timah menyebabkan bermunculan lahan-lahan terbuka yang tersebar sebagai akibat aktifitas penambangan, selain itu juga dilakukan penambangan timah di lokasi milik orang lain dengan sistem bagi hasil keuntungan dengan pemilik lahan. Tabel 21. Jumlah rata-rata pendapatan responden di tiap desa contoh Belinyu Riau Silip Sungailiat Pemali Merawang Kecamatan Desa Pendapatan per bulan (juta rupiah) Sumber: Hasil Quisioner Air Jukung Bintet Gunung Muda Kuto Panji Banyuasin Cit Pangkalniur Pugul Kenanga Parit Padang Srimenanti Sungailiat Air Duren Air Ruai Pemali Sempan Balunijuk Jada bahrin Jurung Kimak Kenyataan bahwa usaha tambang timah rakyat memberikan pendapatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan pekerjaan jenis lain juga diakui oleh sebagian besar responden yaitu sebanyak 47 responden atau 78% dari total responden (Tabel 22). Peningkatan ekonomi dinyatakan sebagai semakin meningkatnya daya beli masyarakat, tingkat kehidupan yang lebih baik serta banyaknya bangunan rumah baru menjadi alasan yang disampaikan oleh responden. Sebagai usaha yang mengandalkan hasil eksploitasi tambang, maka

81 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" Desa Bintet LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" 1 41'43" 1 52'54" 2 4'05" TELUK KLABAT KABUPATEN BANGKA BARAT Kec. Belinyu KABUPATEN BANGKA Kec. Bakam Kec. Puding Besar Kec. Pemali Desa Kimak SELAT BANGKA Kec. Merawang LAUT CINA SELATAN Kec. Sungailiat L A U T J A W A 1 41'43" 1 52'54" 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA RATA-RATA PENDAPATAN RESPONDEN DI TIAP DESA CONTOH PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : batas kabupaten batas kecamatan batas desa Pendapatan rata-rata responden per desa : juta juta juta juta > 10 juta W N Sumber : Hasil Wawancara S E Kilometers Gambar 23 Peta rata-rata pendapatan responden di tiap desa contoh

82 menurut responden, penghasilan dari usaha tambang timah rakyat bergantung pada kandungan timah yang terdapat di lokasi penggalian. Pada Tabel 26 juga ditunjukkan pendapat responden berkaitan dengan dampak aktifitas tambang timah terhadap kerusakan lingkungan, adanya kecelakaan di lokasi tambang timah rakyat, respon terhadap keberadaan tambang timah rakyat serta pencabutan izin usaha tambang timah rakyat. Tabel 22 Jumlah pendapat responden berkaitan dengan keberadaan tambang timah rakyat di desa responden pada 5 kecamatan di Kabupaten Bangka Kecamatan Sungailiat Pemali Belinyu Riau Silip Merawang Jumlah a b c d e Jumlah Keterangan: a = adanya peningkatan ekonomi. a1 = setuju. a2 = tidak setuju b = mengetahui dampak buruk tambang timah rakyat. b1 = ya. b2 = tidak c = kecelakaan di lokasi tambang di desa responden. c1 = ada. c2 = tidak d = respon terhadap keberadaan tambang timah rakyat. d1 = setuju. d2 = tidak e = respon terhadap pencabutan izin tambang timah rakyat. e1 = ya. e2 = tidak. e3 = tidak peduli. Sumber : Hasil Quisioner Berkaitan dengan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas tambang timah rakyat, sebanyak 58 responden (97%) menyatakan mengetahui dampak tersebut. Responden dengan jenis usaha tambang timah sebagian besar mengetahui dampak kerusakan lingkungan akibat aktifitas tambang timah, tetapi hal tersebut tidak secara langsung memberikan kesadaran untuk berhenti menekuni bidang usaha tersebut. Sebagian besar dari responden tersebut menyatakan akan berhenti dari usaha tersebut bila telah cukup modal untuk bergerak pada jenis usaha lainnya, tetapi sebagian kecil menyatakan tetap bertahan pada jenis pekerjaan tersebut. Sejumlah 36 responden (60%) setuju dengan keberadaan tambang timah rakyat, tetapi hanya 15 responden (25%) yang memilih agar tambang timah rakyat diizinkan untuk beroperasi. Beberapa alasan yang disampaikan berkenaan dengan setuju dengan keberadaan tambang timah rakyat adalah berkaitan dengan alasan perbaikan kondisi ekonomi. Pekerjaan tambang timah dianggap solusi yang cepat

83 66 dalam menghasilkan uang lebih banyak dan membuka peluang kerja alternatif sebagai akibat susahnya mencari pekerjaan lain di Kabupaten Bangka. Sementara pendapat yang tidak menyetujui keberadaan tambang timah rakyat dan setuju terhadap tidak diberikan izin tambang timah rakyat sebagian besar adalah karena akibat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas tersebut. Alasan lain adalah bahwa lokasi tambang timah sudah banyak yang mengganggu terutama yang berdekatan dengan lokasi pemukiman. Beberapa responden pada desa yang tidak terdapat aktifitas tambang timah beralasan bahwa di desa mereka tidak terdapat potensi tambang timah serta kultur masyarakat desa setempat lebih cenderung pada usaha di sektor pertanian/perkebunan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk menentukan jenis usahanya adalah kultur masyarakat setempat. Pada beberapa desa contoh tidak terlihat aktifitas tambang timah rakyat karena masyarakat lebih cenderung untuk tetap berusaha di sektor pertanian, walaupun dimungkinkan terdapat juga potensi timah di desa tersebut. Dampak lain dari aktifitas tambang timah rakyat adalah terjadi kecelakaan kerja di lokasi tambang. Hasil wawancara menunjukkan 33 responden (55%) menyatakan pernah mengetahui terjadi kecelakaan kerja di lokasi tambang timah rakyat yang ada di desa mereka. Rata-rata responden yang berada di desa yang mempunyai aktifitas tambang timah rakyat menyatakan pernah terjadi kecelakaan kerja di lokasi tambang. Responden yang menyatakan tidak terdapat kecelakaan di lokasi tambang timah rata-rata berdomisili di desa yang tidak memiliki aktifitas tambang timah. Data kecelakaan tambang di Kabupaten Bangka pada tahun 2003 (Distamben, 2003) terdapat dalam Tabel 23. Sedangkan Gambar 24 memperlihatkan bentang alam yang rusak akibat aktifitas penambangan dan Gambar 25 menunjukkan penambangan yang dilakukan telah berada diluar ambang batas kedalaman untuk tambang rakyat Kecelakaan kerja di lokasi tambang timah cenderung lebih pada aktifitas penambangan itu sendiri, seperti tertimbun tanah pada kondisi penambangan dengan kedalaman di luar ambang batas untuk aktifitas tambang rakyat atau adanya kecelakaan mesin. Longsoran tanah yang terjadi bukan oleh faktor kecuraman lereng di lokasi tambang, tapi berupa longsoran tanah akibat aktifitas

84 67 penambangan. Secara umum di Kabupaten Bangka memiliki dataran yang hampir rata sampai sedikit bergelombang, hanya sedikit wilayah yang berupa perbukitan.. Gambar 24 Perubahan bentang alam akibat aktifitas tambang timah rakyat Gambar 25 Aktifitas penambangan dengan kedalaman di luar ambang batas tambang rakyat

85 68 Tabel 23 Data kecelakaan tambang di Kabupaten Bangka pada tahun 2003 Lokasi PT Tambang Timah, Tbk Periode Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 1 kasus Nihil 1 kasus 1 kasus kecelakaan kecelakaan kecelakaan berat berat berat Jumlah 3 kasus kecelakaan berat Tambang rakyat 10 kasus kecelakaan berat 3 meninggal dunia 10 kasus kecelakaan berat 6 meninggal dunia 3 kasus kecelakaan berat 1 meninggal dunia 1 kasus kecelakaan berat 3 meninggal dunia 24 kasus kecelakaan berat 13 kasus meninggal dunia Jumlah 14 kasus 16 kasus 5 kasus 5 kasus 40 kasus Sumber : Distamben Kab Bangka, 2003 Sebagian besar responden yang berpendapat usaha selain tambang timah yang relatif menguntungkan adalah usaha di bidang pertanian dan peternakan terutama yang berdomisili di pedesaan (Tabel 24). Responden yang berdomisili di perkotaan lebih memilih alternatif berdagang, industri rumah tangga dan perbengkelan. Tabel 24 Jumlah dan jenis pekerjaan yang mempunyai prospek baik menurut responden selain jenis usaha tambang timah Jenis Pekerjaan Jumlah Responden Kebun karet 27 Kebun sayuran 15 Kebun lada 8 Ternak ayam 8 Dagang 8 Ternak sapi 5 Bengkel 2 Kebun sawit 1 Industri rumah tangga 1 Lain-lain 3 Jumlah 77 Sumber : Hasil wawancara Sementara pendapat mengenai pemanfaatan lahan pasca tambang timah, 25 responden menyatakan perlu dilakukan rehabilitasi lahan, 23 responden menyatakan dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perkebunan dan tambak ikan sementara 12 orang responden menyatakan tidak tahu dengan alasan tidak terdapat tambang timah rakyat di desa mereka. Peta yang menggambarkan persepsi masyarakat ditampilkan pada Lampiran 8 sampai dengan Lampiran 14.

86 69 Aktifitas tambang timah juga melibatkan tenaga kerja anak-anak usia sekolah sebagai buruh tambang. Kegiatan yang mereka lakukan rata-rata sebagai tenaga untuk memisahkan bijih timah dari tanah atau pasir secara manual yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah melimbang timah. Pemanfaatan anak-anak sebagai tenaga kerja menjadi permasalahan tersendiri karena dapat mempengaruhi perkembangan mereka. Permasalahan tersebut antara lain berkurangnya orientasi anak-anak terhadap pendidikan sebagai akibat pengaruh lingkungan pekerjaan. Pada Gambar 26 ditunjukkan aktifitas pemisahan bijih timah dari tanah yang dilakukan oleh anak-anak pekerja tambang. Gambar 26 Anak-anak pekerja tambang timah rakyat 5.3. Identifikasi Penyimpangan Pemanfaatan Fungsi Kawasan Konsep pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Bangka adalah: (1) memantapkan fungsi lindung kawasan-kawasan yang memiliki kriteria kawasan lindung, baik kawasan lindung di wilayah darat (hutan lindung. sempadan sungai) maupun kawasan lindung di wilayah laut dan pesisir (sempadan pantai, terumbu karang, dan hutan mangrove; (2) pemanfaatan potensi-potensi sumberdaya wilayah yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian wilayah

87 70 sekaligus merubah struktur tata ruang ke arah yang lebih ideal (RTRW Kab. Bangka, 2016) Kawasan lindung menurut pedoman dari World Conservation Union (IUCN) adalah wilayah daratan dan atau laut terutama yang didedikasikan untuk perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati, alam dan budaya, yang dikelola melalui bentuk-bentuk yang efektif dan sesuai dengan aturan hukum (Philips, 2004;Locke dan Dearden, 2005). Undang Undang No. 24/1992 menyebutkan yang dimaksud dengan kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sementara menurut Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, pengelolaan kawasan lindung adalah dalam upaya penetapan, pelestarian, dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung dengan tujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan kawasan lindung untuk meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa. Rencana pemantapan kawasan lindung di Kabupaten Bangka adalah: 1. Kawasan yang memberikan perlindungan pada kawasan di bawahnya terdiri dari (a) hutan lindung dan (b) kawasan konservasi, yaitu kawasan resapan air Gunung Maras; 2. Kawasan perlindungan setempat, meliputi: (a) kawasan sempadan pantai, (b) kawasan sempadan sungai, dan (c) kawasan sekitar waduk/danau; dan 3. Kawasan suaka alam, pelestarian, dan cagar budaya, meliputi pantai yang berhutan bakau. Kawasan budidaya meliputi kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya non pertanian. Kawasan budidaya pertanian dengan peruntukan pada hutan produksi, perkebunan, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan budidaya perikanan. Sedangkan kawasan budidaya non pertanian meliputi pemukiman, kawasan industri, pariwisata, kawasan pertahanan dan keamanan negara. Sementara alokasi kawasan pertambangan (wilayah kuasa pertambangan maupun tambang karya/tambang rakyat) secara eksplisit tidak ditetapkan sebagai kawasan khusus pertambangan sehingga masih merupakan kawasan tumpang

88 71 tindih dengan penggunaan lainnya. Rencana alokasi penggunaan ruang di Kabupaten Bangka ditampilkan pada Tabel 25 dan Gambar 27. Tabel 25 Rencana alokasi penggunaan ruang Kabupaten Bangka No Keterangan Jumlah (Ha) Persentase (%) 1 Kawasan lindung a. Hutan lindung b. Kawasan konservasi Kawasan perlindungan setempat a. Kawasan sempadan pantai b. Kawasan sempadan sungai Kawasan budidaya a. Hutan produksi b. Perkebunan c. Pertanian lahan basah d. Pertanian lahan kering e. Budidaya perikanan f. Pemukiman g. Pariwisata h. Kawasan industri Kawasan tumpang tindih a. Kuasa Pertambangan dengan Hutan Produksi b. Kuasa Pertambangan dengan Perkebunan c. Kuasa Pertambangan dengan Pemukiman d. Kuasa Pertambangan dengan Pert. Lhn. Basah e. Kuasa Pertambangan dengan Pert. Lhn. Kering Jumlah Sumber : RTRW Kabupaten Bangka 2016 Menurut Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan Ruang salah satu tujuan dari penataan ruang adalah mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia. Sementara dalam penyusunan rencana tata ruang di Kabupaten Bangka masih terdapat kawasan yang peruntukannya sebagai kawasan tumpang tindih yang relatif luas. Idealnya suatu rencana tata ruang wilayah tidak mengalokasikan suatu kawasan untuk penggunaan yang tumpang tindih karena mempunyai implikasi yang besar pada pemanfaatan kawasan tersebut yaitu timbulnya persaingan pemanfaatan kawasan. Kebijakan tata ruang yang tidak rinci diperlihatkan pada aplikasi penetapan kebijakan sektor tambang di Kabupaten Bangka. Perda Kabupatan Bangka No. 06/2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum mengalokasikan luas wilayah

89 '33" '44" '55" 106 7'06" '17" 1 30'32" LAUT NATUNA PROVINSI BANGKA BELITUNG LOKASI PENELITIAN 1 30'32" Kec. Belinyu SELAT BANGKA L A U T J A W A 1 41'43" TELUK KLABAT Kec. Riau Silip LAUT CINA SELATAN 1 41'43" 1 52'54" KABUPATEN BANGKA BARAT KABUPATEN BANGKA Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Bakam Kec. Merawang 1 52'54" Kec. Puding Besar 2 4'05" 2 4'05" SELAT BANGKA Kec. Mendo Barat KOTA PANGKAL PINANG 2 15'16" KABUPATEN BANGKA TENGAH 2 15'16" '33" '44" '55" 106 7'06" '17" PETA RTRW KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR 2007 Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Hutan Lindung Kawasan Konservasi Sempadan Laut Sempadan Sungai Hutan Produksi Perkebunan Pert. lhn basah Pert. lhn kering Pemukiman Kaw Tumpang Tindih 10 W N S Sumber : Peta RTRW (BAPEDA KAB. BANGKA, 2007) E 0 10 Kilometers Gambar 27 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bangka

90 73 keseluruhan pertambangan ditetapkan maksimal 35% dari luas daerah termasuk untuk wilayah pertambangan rakyat secara keseluruhan ditetapkan sebesar ha. Dari luas wilayah pertambangan yang ditetapkan, izin pemegang kuasa pertambangan (KP) dan izin usaha pertambangan (IUP) didominasi oleh P.T. Timah, Tbk dengan luasan ha terdiri dari Kuasa Pertambangan Darat seluas ha dan Kuasa Pertambangan Laut seluas ha. Aktifitas tambang timah rakyat banyak dilakukan di dalam wilayah Kuasa Pertambangan P.T. Timah, Tbk, karena aktifitas tersebut memungkinkan dilakukan oleh masyarakat. Aktifitas tersebut terutama dilakukan pada kawasan yang secara ekonomi tidak menguntungkan bagi perusahaan untuk melakukan ekploitasi bahan tambang tersebut. Beberapa ketentuan berkaitan dengan pemberian izin kuasa pertambangan kepada P.T. Timah, Tbk, antara lain kewajiban melakukan rehabilitasi lahan pasca tambang, ganti rugi terhadap pemilik tanah yang dimanfaatkan untuk aktifitas penambangan selain sudah berkurangnya cadangan timah di darat menjadikan faktor pembatas bagi perusahaan untuk melakukan ekploitasi timah di wilayah Kuasa Pertambangan Darat. Kondisi seperti ini menjadi peluang yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang dalam melakukan aktifitas tersebut tidak mengacu pada aturan yang ditetapkan. Sebagian besar tambang timah rakyat yang beroperasi di Kabupaten Bangka tidak mengajukan perizinan untuk melakukan aktifitas penambangan, secara otomatis kewajiban yang berkaitan dengan diberikan izin terhadap aktifitas penambangan tidak menjadi pertimbangan dari pelaku usaha tambang timah rakyat. Hasil operasi tumpang tindih (overlay) antara peta penggunaan lahan saat ini, peta RTRW Kabupaten Bangka dan peta kuasa pertambangan timah mengidentifikasikan terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan akibat aktifitas penambangan. Identifikasi dilakukan terhadap areal terbuka akibat aktifitas penambangan secara keseluruhan. Lokasi penambangan yang terdapat dalam peruntukan kawasan lindung sejumlah ha terdiri dari ha di luar wilayah kuasa pertambangan timah dan 965 ha pada wilayah kuasa pertambangan timah. Lokasi tambang yang berada pada pada peruntukan budidaya lain sejumlah ha yang terdiri dari ha di luar kuasa pertambangan timah

91 dan ha di dalam wilayah kuasa pertambangan timah. Pada Tabel 26 ditunjukkan luas areal tambang yang berada pada kawasan lindung dan kawasan budidaya lainnya dan penyimpangan pemanfaatan fungsi kawasan secara spasial ditunjukkan pada Gambar 28. Tabel 26 Luas areal tambang yang menempati kawasan lindung dan kawasan budidaya lainnya Peruntukan Hutan Konservasi Hutan Lindung Sempadan Laut Sempadan Sungai Total Kawasan Lindung Perkebunan Pert. Lahan Kering Pemukiman Hutan Produksi Pert. Lahan Basah Total Kawasan Budidaya Luar Kuasa Pertambangan Luas areal tambang (Ha)* Dalam Kuasa Total Pertambangan Ha % Jumlah Seluruh * Luas didasarkan pada perhitungan peta hasil overlay 74 Dalam RTRW Kabupaten Bangka (2005), dinyatakan bahwa aktifitas penambangan dapat dilakukan di kawasan lindung kecuali di hutan lindung dengan ketentuan (1) memiliki potensi tambang yang sangat tinggi nilainya bagi pembangunan; (2) penggaliannya tidak akan merusak fungsi dan ekosistem di kawasan sekitar lokasi penggalian, baik selama penggalian maupun sesudahnya; dan (3) menggunakan lahan kawasan lindung relatif kecil dibandingkan luas lahan kawasan lindung. Sementara hasil analisis menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan lindung sebagai areal pertambangan telah mencapai luasan atau 8.67 % dari total areal peruntukan kawasan lindung yang seluas ha. Bahkan pada areal hutan lindung aktifitas pertambangan mencapai luasan 1623 ha atau 17.40% dari total areal peruntukan hutan lindung. Keadaan tersebut diatas menunjukkan bahwa aktifitas penambangan telah tidak mengacu pada arahan pemanfaatan ruang kabupaten. Kawasan lindung telah digunakan sebagai areal penambangan dengan luasan yang sangat besar,

92 ' ' ' ' ' ' PROVINSI BANGKA BELITUNG 1 30' LOKASI PENELITIAN 1 30' SELAT BANGKA Kec. Belinyu L A U T J A W A Kec. Riau Silip Kec. Pemali Kec. Sungailiat Kec. Bakam Kec. Puding Besar Kec. Merawang Kec. Mendo Barat 2 20' 1 50' 1 40' 1 40' 1 50' 2 00' 2 00' 2 10' 2 10' 2 2 0' ' ' PETA PENYIMPANGAN FUNGSI KAWASAN KABUPATEN BANGKA PROVINSI BANGKA BELITUNG PS. PERENCANAAN WILAYAH IPB BOGOR ' ' Legenda : Batas Kabupaten Batas Kecamatan Penyimpangan fungsi kawasan : KP darat di perkebunan KP darat di kaw. konservasi KP darat di ladang KP darat di hutan lindung KP darat di pemukiman KP darat di hutan produksi KP darat di sawah KP darat di semp. laut KP darat di semp. sungai KP laut di kaw. konservasi KP laut di hutan lindung ' KP laut di semp. laut tambang di perkebunan tambang di kaw. konservasi tambang di ladang tambang di hutan lindung tambang di pemukiman tambang di hutan produksi tambang di sawah tambang di semp. laut tambang di semp. sungai W N S E Kilometers ' Sumber : Hasil Analisis Gambar 28 Peta penyimpangan fungsi kawasan di Kabupaten Bangka

93 76 bahkan pada areal hutan lindung yang menjadi kawasan yang dilarang untuk aktifitas penambangan, digunakan untuk aktifitas tersebut dengan persentase terbesar. Sementara aktifitas pertambangan yang berada pada kawasan budidaya lainnya mencapai luasan ha. Aktifitas terbanyak pada perkebunan seluas ha dan hutan produksi ha. Berdasarkan alokasi kawasan tumpang tindih antara kuasa pertambangan dengan penggunaan lainnya, maka pemanfaatan areal tumpang tindih antara kuasa pertambangan dengan perkebunan untuk aktifitas penambangan mencapai 47.16%. Sedangkan pemanfaatan areal tumpang tindih antara kuasa pertambangan dengan hutan produksi untuk aktifitas penambangan sebesar %. Secara total perambahan areal yang berfungsi lindung baik pada kawasan lindung maupun kawasan budidaya (hutan produksi dan perkebunan) akibat kegiatan pertambangan telah mencapai luasan ha atau 11.82% dari luas Kabupaten Bangka. Pada Gambar 29 diperlihatkan kerusakan kebun karet akibat aktifitas tambang timah rakyat Gambar 29 Kebun karet yang berubah menjadi lokasi tambang timah rakyat di Desa Penagan Kecamatan Mendo Barat

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hartini Susanti, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hartini Susanti, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan mineral, seperti batubara, timah, minyak bumi, nikel, dan lainnya. Peraturan Presiden

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR

DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA TANGERANG OLEH : DADAN SUHENDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 ABSTRAK DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN

ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA PONTIANAK ISKANDAR ZULKARNAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan sebagai provinsi baru sesuai Undang - Undang No. 27 tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Wilayah provinsi ini meliputi Pulau Bangka,

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian

METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Upaya untuk penentuan satuan kawasan wisata merupakan suatu pengalokasian beberapa obyek wisata untuk pengembangan wilayah. Dimana hakekatnya SKW merupakan pengelompokan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undangundang Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang Wilayah dan Undang-undang No.

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas mencapai 153.564 km 2 (Badan Pusat Statistik, 2014) merupakan provinsi ketiga terbesar di Indonesia setelah Provinsi Papua dan Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS KAWASAN HUTAN DAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA ARAHAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN DELI SERDANG EKO NURWIJAYANTO

ANALISIS KAWASAN HUTAN DAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA ARAHAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN DELI SERDANG EKO NURWIJAYANTO ANALISIS KAWASAN HUTAN DAN KAWASAN LINDUNG DALAM RANGKA ARAHAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN DELI SERDANG EKO NURWIJAYANTO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian

METODE PENELITIAN. Gambar 6 Lokasi penelitian METODE PENELITIAN 36 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah : Peta-peta tematik (curah hujan, tanah, peta penggunaan lahan, lereng, administrasi dan RTRW), data-data

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis yang memegang peranan penting di Kalimantan Tengah; salah satunya sebagai kontribusi dengan nilai tertinggi terhadap total

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri bahwa pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salahsatu sumberdaya utama dalam pembangunan. Tata ruang menata dan merencanakan seoptimal mungkin dalam memanfaatkan lahan yang ketersediaannya

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN

EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN EVALUASI RENCANA TATA RUANG WILAYAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN SRAGEN Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Diajukan Oleh : YOGA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juli 2012, ISSN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PEMELIHARAAN JALAN KABUPATEN SEBAGAI PENUNJANG KEPUTUSAN PEMELIHARAAN JALAN KABUPATEN (STUDI KASUS JALAN KABUPATEN DI KECAMATAN PARAKAN KABUPATEN TEMANGGUNG) KETUT CHANDRA

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Masyarakat di Pulau Bangka pada dasarnya menggantungkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Masyarakat di Pulau Bangka pada dasarnya menggantungkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat di Pulau Bangka pada dasarnya menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertanian, perkebunan dan nelayan. Semenjak ditemukan timah mulai terjadi kegiatan

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Bangka secara administratif termasuk dalam bagian dari wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN

PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN PERENCANAAN HUTAN KOTA UNTUK MENINGKATKAN KENYAMANAN DI KOTA GORONTALO IRNA NINGSI AMALIA RACHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia akan timah terus meningkat seiring dengan pengurangan

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan dunia akan timah terus meningkat seiring dengan pengurangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebutuhan dunia akan timah terus meningkat seiring dengan pengurangan penggunaan timah hitam oleh negara maju. Peningkatan konsumsi untuk berbagai kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR 17 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERIKANAN BUDIDAYA DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN KUTAI TIMUR NIRMALASARI IDHA WIJAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 26 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 89 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 89 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 89 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS SUMBER DAYA AIR DAN ENERGI, SUMBER DAYA MINERAL KABUPATEN PURWOREJO DENGAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Administrasi Kabupaten Bangka Tengah secara administratif terdiri atas Kecamatan Koba, Kecamatan Lubuk Besar, Kecamatan Namang, Kecamatan Pangkalan Baru, Kecamatan

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS)

Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kesesuaian Lahan dan Geographic Information System (GIS) Kompetensi Utama: Kompetensi Inti Guru: Kompetensi Dasar: Profesional Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung

Lebih terperinci

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Oleh : Purba Robert Sianipar Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air Alih fungsi lahan adalah salah satu permasalahan umum di sumber daya air yang

Lebih terperinci

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis Widiarti 1 dan Nurlina 2 Abstrak: Kalimantan Selatan mempunyai potensi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.10/Menhut-II/2010 TENTANG MEKANISME DAN TATA CARA AUDIT KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 2 KETENTUAN UMUM

BAB 2 KETENTUAN UMUM BAB 2 KETENTUAN UMUM 2.1 PENGERTIAN-PENGERTIAN Pengertian-pengertian dasar yang digunakan dalam penataan ruang dan dijelaskan di bawah ini meliputi ruang, tata ruang, penataan ruang, rencana tata ruang,

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA GEOGRAFIS KABUPATEN BANGKA PKL Sungailiat PKW PKNp PKWp PKW PKW Struktur Perekonomian Kabupaten Bangka tanpa Timah Tahun 2009-2013 Sektor 2009 (%)

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci