BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Asal-Usul dan Penyebaran Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak, sapi bali (Bos-bibos banteng) yang spesies liarnya adalah banteng termasuk Famili bovidae, Genus bos dan sub-genus bibos (Williamson dan Payne, 1978). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi bali itu terjadi sebelum SM di Indonesia atau Indochina. Banteng-banteng liar yang ada di hutan pada zaman dahulu banyak diburu dan ditangkap, kemudian dijinakkan. Banteng-banteng yang dipelihara tersebut kemudian menghasilkan keturunan, yang dalam beberapa generasi akhirnya menjadi banteng jinak yang disebut sapi bali (Guntoro, 2002). Penyebaran sapi bali sudah berkembang sejak lama, dimulai pada daerahdaerah di sekitar Pulau Bali. Penyebaran awalnya dimulai dari Pulau Lombok melalui komunikasi para raja jaman dahulu. Hasilnya sapi bali mampu berkembang dengan baik. Selanjutnya sebelum kemerdekaan Republik Indonesia sapi bali sudah menyebar ke Sulawesi Selatan, NTB, Timor, Irian Jaya, Lampung dan sebagainya (Bandini, 2004). Selain Indonesia, negara lain seperti Malaysia dan Australia ternyata juga mengembangkan sapi bali. Di Malaysia sapi bali dijumpai di sembilan daerah dengan populasi lebih dari 200 ekor. Sementara di Australia, sapi bali dijumpai di semenanjung Cobourg. Sapi bali sudah dibawa ke Autralia antara tahun oleh pemukim dari Eropa. Akan tetapi, pemukiman tersebut ditinggalkan sejak tahun Akibatnya sapi bali menjadi liar dan berkembang biak di alam secara bebas sampai berjumlah sekitar 2000 ekor. Pada tahun 1961 sekitar 40 ekor sapi bali ditangkap dan dipelihara di stasiun penelitian di dekat kota Darwin (Guntoro, 2002; Bandini, 2004; Batan, 2006).

2 2.1.2 Karakteristik Sapi Bali Sapi bali berukuran sedang, dadanya dalam, dan kaki-kakinya ramping. Kulitnya berwarna merah bata. Cermin hidung, kuku, dan bulu ujung ekor berwarna hitam. Kaki di bawah persendian karpal dan tarsal berwarna putih (white stocking). Kulit berwarna putih juga ditemukan pada bagian pantat berbentuk oval yang sering disebut white mirror dan pada paha bagian dalam. Pada punggungnya selalu ditemukan bulu hitam membentuk garis (garis belut) dari bahu dan berakhir di atas ekor. Sapi bali berbulu pendek, halus, dan lembut. Kepala berukuran lebar, pendek dan berdahi datar. Telinga berukuran sedang dan selalu berdiri. Sapi bali jantan berwarna lebih gelap bila dibandingkan dengan sapi betina. Warna bulu sapi jantan biasanya berubah dari merah bata menjadi coklat tua atau hitam legam setelah sapi itu mencapai dewasa kelamin atau pada umur 1,5 tahun dan berakhir pada umur 3 tahun. Warna hitam dapat berubah kembali menjadi merah bata apabila sapi tersebut dikebiri. Perubahan warna dimulai dari bagian belakang tubuh dan menjalar ke depan. Perubahan itu berlangsung selama sekitar empat bulan dan sapi jantan tidak pernah menjadi hitam jika sapi itu dikebiri sebelum pubertas ( Guntoro, 2002; Bandini, 2004; Batan, 2006). Sapi bali baik jantan maupun betina tidak memiliki punuk. Leher sapi betina nampak panjang dan kecil. Bagian depan leher sapi jantan maupun betina seolah tidak mempunyai gelambir sama sekali. Sebernarnya sapi bali memiliki gelambir tetapi tidak begitu lebar jika dibandingkan dengan jenis sapi lain. Gelambir sapi jantan terdiri dari dua bagian, yaitu sebuah lipatan kecil di antara rahang dan sebuah lipatan kulit yang dimulai dari bagian bawah leher dan menjulur ke arah dada. Sementara sapi betina menunjukkan sebuah gelambir kecil yang hanya ada di leher. Ambing sapi betina tumbuh tidak begitu subur dan ditumbuhi bulu (Bandini, 2004) Sistem Pemeliharaan Sapi Bali Sistem pemeliharaan sapi di Indonesia khususnya sapi bali masih bersifat tradisional dan sederhana. Pada daerah-daerah yang memiliki padang rumput luas seperti di kawasan Indonesia bagian Timur, sapi tidak dipelihara di dalam kandang. Sepanjang hari sapi digembalakan di padang rumput. Saat malam hari, sapi-sapi

3 tersebut hanya dikumpulkan di tempat-tempat tertentu yang diberi pagar atau biasa disebut kandang terbuka. Sedangkan cara lain dalam pemeliharaan sapi adalah dengan mengandangkan ternak secara terus-menerus yang disebut dengan sistem kereman (Bandini, 2004). Tata laksana pemeliharaan sapi bali untuk tujuan penggemukan, pembibitan dan tenaga kerja harus dibedakan. Pada usaha kereman (penggemukan) sapi b ali, produktivitas ditekankan pada pertumbuhan sapi untuk mengoptimalkan keuntungan. Oleh karena itu, selama masa penggemukan harus diusahakan untuk memperoleh pertambahan berat badan sebesar-besarnya dengan input terutama pakan semurah mungkin. Lama pemeliharan untuk sapi bali kereman tergantung pada berat awal sapi bakalan. Untuk pembibitan, agar diperoleh anak yang unggul, calon iduk betina harus dipilih yang bermutu baik serta pejantan yang digunakan memiliki perfomance serta ukuran tubuh yang ideal. Sedangkan untuk sapi pekerja, yang harus diperhatikan adalah daya kerja dan masa kerja sapi betina (Guntoro, 2002) Desa Petang Desa Petang merupakan salah satu desa di Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Kecamatan Petang mempunyai 7 desa yaitu Desa Carangsari, Getasan, Pangsan, Petang, Sulangai, Pelaga, dan Belok. Desa Petang berbatasan dengan Sungai Penet di sebelah Barat, di sebelah Timur dengan Sungai Ayung, di sebelah Utara dengan Desa Sulangai dan sebelah Selatan dengan Desa Pangsan. Desa Petang terletak pada ketinggian meter dari permukaan laut. Luas wilayah Desa Petang secara keseluruhan adalah hektar, dengan sawah seluas 61,50 hektar dan ladang seluas 997,17 hektar. Desa Petang terdiri dari 7 dusun yaitu Dusun Petang Dalem, Petang, Petang Suci, Kerta, Lipah, Munduk Damping dan Angantiga (Data Monografi Desa Petang, 2010). Secara Geografis Desa Petang berada pada garis Lintang 08º23 30 LS sampai 115º13 08 BT (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 1992). Dengan keadaan alam yang masih berupa pedesaan, Desa Petang sangat cocok digunakan untuk bertani dan beternak. Salah satu ternak yang dapat dikembangkan dengan baik di desa ini adalah sapi bali.

4 2.2 Cacing Trematoda Pada Sapi Cacing Fasciola sp Morfologi Cacing Fasciola gigantica berbentuk seperti daun, berwarna coklat muda dan agak transparan. Ukuran cacing Fasciola gigantica mencapai mm dan lebar 12 mm, mempunyai oral sucker dan ventral sucker yang besarnya hampir sama. Memiliki sebuah faring dan oesofagus yang pendek. Kutikula dilengkapi dengan sisik, sekum intestinalis umumnya bercabang banyak dan terletak di bagian lateral tubuh. Testisnya bercabang dan berlobus. Alat kelamin betina memenuhi sisi lateral tubuh. Telurnya berwarna agak kekuning-kuningan dengan ukuran x mikron dan mempunyai operculum. Cacing Fasciola gigantica muda berpredileksi pada hati dan cacing dewasa pada saluran empedu (Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine, 1990) Siklus Hidup Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu hospes definitif. Cacing bertelur dan melalui saluran empedu, akhirnya keluar bersama feses. Di luar tubuh hospes, pada kondisi lingkungan yang mendukung (air tergenang, suhu 26 o C) miracidium keluar dari telur melalui operculum setelah 17 hari (Levine,1990), 9-10 hari (Arifin, 2006). Suhu yang diperlukan miracidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 C dengan suhu optimal C. Miracidium harus menemukan hospes intermediernya siput Lymnea rubiginosa dalam waktu jam, bila tidak maka akan mati. Kemudian miracidium berkembang dalam tubuh siput selama hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya (Levine, 1990). Dalam tubuh siput, miracidium akan berubah menjadi sporokista, yang di dalamnya berkembang redia. Di dalam redia berkembang cercaria. Cercaria keluar dari siput dan menempel pada tanaman air/rumput/sayuran. Cercaria melepaskan ekornya membentuk metacercaria. Bila rumput/tanaman yang mengandung metacercaria dimakan oleh ternak, maka cacing akan menginfeksi hospes definitif dan berkembang menjadi cacing dewasa (Soulsby, 1982; Arifin, 2006).

5 Patogenesa Setelah sapi memakan rumput yang tercemar metacercaria, maka metacercaria pecah di dalam duodenum. Kemudian fasciola muda menembus dinding usus dan berada dalam rongga peritonium 24 jam setelah infeksi. Setelah 4-6 hari Fasciola muda menembus kapsul hati dan bermigrasi dalam parenkim hati. Migrasi dalam hati memerlukan waktu 5-6 minggu. Terjadinya invasi cacing muda yang berlangsung secara masif dalam waktu pendek, dapat merusak parenkim hati sehingga fungsi hati sangat terganggu, dan terjadinya perdarahan ke dalam rongga peritonium. Meskipun cacing muda hidup dari jaringan hati, tidak mustahil juga menghisap darah seperti yang dewasa, dan menyebabkan anemis pada minggu ke-4 atau ke-5 fase migrasi cacing muda. Pada minggu ke 7 cacing telah masuk ke saluran empedu dan selanjutnya menjadi dewasa. Akibat yang timbul berupa cholangitis, obstruksi saluran empedu, terjadinya reaksi radang karena telur cacing dalam saluran empedu, dan anemia. Kejadian anemia ditimbulkan karena cacing dewasa menghisap darah serta hilangnya persediaan zat besi. Kurangnya produksi empedu juga menyebabkan metabolisme lemak terganggu, dan juga mendorong terjadinya diare (Soulsby, 1982; Subronto, 2007) Gejala Klinis Gejala yang paling sering muncul pada sapi adalah gangguan pencernaan, ditandai dengan konstipasi dan diare yang hanya terlihat pada tingkat yang ekstrim (Soulsby, 1982). Pada Fascioliasis kronik, gambarannya berupa kekurusan, kelemahan umum, anoreksia dan anemia (Dunn, 1978; Subronto, 2007). Odema submandibula juga merupakan akibat anemia yang berat. Dalam pemeriksaan sistem sirkulasi sering ditemukan suara jantung mendebur. Tinja cair atau setengah cair berwarna hitam juga sering diamati (Subronto, 2007) Cacing Paramphistomum sp Morfologi Bentuk cacing Paramphistomum cervi seperti kerucut, dengan bagian ventral agak cekung dan bagian dorsal agak cembung. Cacing dewasa berwarna merah muda, berukuran panjang 5-13 mm dan lebar 2-5 mm (Soulsby, 1982), panjang

6 10-12 mm dan lebar 2-4 mm (Dunn, 1978; Levine, 1990). Porus genitalnya terletak pada bagian akhir sepertiga anterior tubuhnya. Testes agak berlobi, terletak di sebelah anterior ovarium. Vitellaria dalam kelompok tersusun rapi di antara faring dan posterior sucker. Telur berukuran x mikron. Cacing Paramphistomum cervi muda predileksinya pada usus halus dan cacing dewasa pada rumen dan retikulum (Soulsby, 1982) Siklus Hidup Telur cacing keluar bersama tinja saat hewan penderita defikasi. Pada kondisi yang menunjang (air tergenang dengan suhu + 27 o C) larva cacing yang disebut miracidium akan keluar melalui operculum setelah kurang lebih 12 hari. Miracidium selanjutnya berenang di air dan secara aktif mencari hospes intermedier berupa siput dari genus Planorbis, Bulinus, Indoplanorbis, Lymnaea, Gliptanisus dan Pseudosuccinea. Setelah masuk dalam tubuh siput, miracidium akan berubah menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista akan berkembang, di dalamnya akan mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke 21 sporokista akan pecah dan menghasilkan redia dengan panjang 0,5-1 mm. Di dalam redia ditemukan cercaria. Cercaria keluar dari tubuh siput dan berenang bebas di air dan menempel pada rumput. Kemudian cercaria akan mengkista disebut metacercaria. Hewan dapat terinfeksi karena tertelannya rumput yang mengandung metacercaria. Setelah sampai di usus, kista akan pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk ke dalam mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi ke atas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing dewasa (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Bowman, 2003) Patogenesa Metacercaria yang ikut tertelan bersama rumput akan menjadi cacing muda dalam usus halus. Cacing muda yang bertempat di usus halus menyebabkan radang usus hebat hingga segera diikuti dengan diare berat. Kemudian cacing ini akan menembus masuk mukosa usus halus, keluar ke permukaan dan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum kira-kira 1 bulan setelah infeksi. Cacing dewasa dalam rumen dan retikulum menghisap bagian permukaan mukosa sehingga menyebabkan

7 kepucatan pada mukosa serta papila rumen banyak mengalami degenerasi (Soulsby, 1982; Subronto, 2007) Gejala Klinis Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam jumlah besar dalam usus halus adalah adanya radang usus akan diikuti dengan diare yang berbau busuk (Bandini, 2004; Subronto, 2007). Hewan jadi lemah, depresi, dehidrasi, anoreksia dan mukosa menjadi pucat. Hewan penderita mungkin mati dalam waktu hari setelah gejala klinis teramati (Subronto, 2007). Pada kasus sub akut dan kronis akan terjadi diare yang berkepanjangan dan ditemukan adanya darah segar pada tinja hewan penderita (Dunn, 1978) Cacing Schistosoma sp Morfologi Cacing Schistosoma merupakan cacing trematoda yang uniseksual. Cacing jantan tubuhnya pipih memanjang dan melengkung ke lipatan longitudinal. Cacing betina tubuhnya lebih panjang, berbentuk seperti cacing gilik tetapi hanya berdiameter 0,3 mm. Cacing betina pada umumnya melekat pada yang jantan. Cacing betina dapat melekat pada jantan karena cacing jantan pada bagian ventralnya terdapat suatu celah yang berbentuk silindris dan mengikuti sisi lateral tubuh, saluran ini dinamakan canalis gynaecophorus (Dunn, 1978). Sucker lemah dan menutup atau tidak terdapat sucker sama sekali. Tidak memiliki faring dan porus genitalis terletak di belakang ventral sucker. Kutikula berduri pada sucker dan pada kanalis gynaecophorus. Ukuran tubuh dan telur cacing Schistosoma berbeda-beda tergantung spesiesnya. Cacing Schistosoma japonicum jantan memiliki panjang 9,5-20 mm dan lebar 0,55-0,967 mm. Cacing betina panjangnya mm dan tebal 0,3 mm. Telurnya berukuran x mikron. Morfologi telur cacing dicirikan dengan tidak memiliki operculum dan mempunyai spina terminalis. Cacing Schistosoma bovis jantan mempunyai panjang 9-22 mm dan lebar 1-2 mm, sedangkan betina panjangnya mm. Telur biasanya berbentuk spindel, tapi yang kecil biasanya berbentuk oval, dan berukuran rata-rata 187 x 60 mikron, batas-batas yang diberikan oleh beberapa penulis x 38-60

8 mikron. Cacing Schistosoma mattheei mempunyai ukuran telur x mikron. Cacing Schistosoma spindale mempunyai panjang 5,6-13,5 mm untuk jantan dan 7,18-16,2 mm untuk betina. Telurnya berukuran x mikron, bentuknya memanjang, pipih di satu sisi dan memiliki spina terminalis. Cacing Schistosoma indicum mempunyai panjang 5-19 mm untuk jantan dan 6-22 mm untuk betina. Telur berbentuk oval dengan spina terminalis dan berukuran x mikron. Cacing Schistosoma dewasa predileksinya pada vena porta dan vena mesenterika (Soulsby, 1982) Siklus Hidup Cacing betina meletakkan telurnya pada vena mesenterika. Untuk mencapai lumen usus atau kandung kemih, telur memproduksi enzim yang memungkinkan mengikis jalan melalui jaringan ke dalam lumen kandung kemih atau usus. Di samping itu beberapa telur masuk ke dalam vena balik dan melalui hati, paru-paru dan organ lain, di mana telur tersebut tersangkut di dalam kapiler dan menyebabkan terbentuknya kerusakan kecil. Kemudian telur keluar dari induk semang dan mencapai air untuk menetas. Miracidium aktif berenang sampai menemukan siput dari genus Schistosomophora untuk Schistosoma japonicum, Bulinus dan Physopsis untuk Schistosoma bovis, Physopsis untuk Schistosoma matthei, Lymneae, Planorbis, Indoplanorbis untuk Schistosoma spindale dan Indoplanorbis untuk Schistosoma indicum. Miracidium menembus siput dan berubah menjadi sporokista induk yang menghasilkan sporokista anak yang memproduksi cercaria. Cercaria meninggalkan siput, berenang di air dan masuk ke hospes definitif dengan jalan menembus kulit (Soulsby, 1982; Levine, 1990 ) Patogenesa Penetrasi cercaria melalui kulit menyebabkan dermatitis yang paling jelas jam setelah infeksi. Dalam perjalanan cacing muda melalui paru-paru dapat menyebabkan pneumonia bila jumlah cacing banyak, tetapi biasanya menimbulkan akumulasi eosinofil dan sel-sel epiteloid yang bersifat non klinis. Kerusakan paling serius disebabkan oleh parasit dewasa yang bertelur pada kapilerkapiler dinding usus dan organ lain. Telurnya yang berduri menyebabkan terjadi iritasi yang kemudian diinfiltrasi oleh leukosit terutama eosinofil dan juga terjadi

9 abses. Bila abses pada dinding usus pecah, isinya disalurkan ke dalam lumen usus halus dan diikuti oleh penyembuhan melalui pembentukan jaringan parut. Gejala klinis utama hasil dari perubahan patologi ini adalah diare dengan ditemukan telurtelur parasit dalam feses, sering disertai dengan mukus. Limpa dan limfoglandula mesenterika biasanya juga terpengaruh, menjadi padat dan menunjukkan peningkatan jaringan fibrosa (Soulsby, 1982). Pada hati abses mengalami encapsulasi dan akhirnya akan mengapur, sejumlah besar foci tersebut menyebabkan pembesaran organ, yang ditandai dengan cirrhosis dan ascites (Dunn, 1978; Soulsby, 1982) Gejala Klinis Gejala klinis yang dapat teramati adalah batuk karena migrasi cacing muda ke paru-paru dalam jumlah yang banyak, diare dan jika kejadiannya parah akan terdapat darah pada feses, dehidrasi, anoreksia, kehilangan berat badan, pertumbuhan terhambat, dan anemia (Dunn, 1978; Soulsby, 1982) Cacing Eurytrema sp Morfologi Cacing Eurytrema pancreaticum berukuran kecil yaitu 8-16 x 5-8,5 mm, berwarna kemerahan dan bentuknya agak oval. Cacing ini ujung anteriornya tumpul dan bulat, serta memiliki bentukan seperti lidah pendek pada ujung posterior (Dunn, 1978). Tubuh tebal dan bersenjata dengan duri, yang sering hilang setelah dewasa. Cacing ini memiliki oral sucker yang lebih besar daripada ventral sucker, faring kecil dan oesopaghus pendek. Testis horisontal, sedikit posterior dari ventral sucker. Genital pore membuka tepat di belakang bifurkasio dari usus. Kantung cirrus berbentuk tubular dan kembali melewati batas anterior dari ventral sucker. Ovarium terletak di dekat garis tengah, di belakang testis, dan uterus terletak pada bagian belakang tubuh. Kelenjar vitelline berbentuk folikel dan terletak lateral. Telurnya kecil, berukuran x mikron dan berwarna coklat. Cacing Eurytrema pancreaticum berpredileksi pada pankreas (Soulsby, 1982).

10 Siklus Hidup Telur cacing keluar bersama tinja saat hewan penderita defikasi. Kemudian telur termakan hospes intermedier pertama yang berupa siput darat Bradybaena similaris dan Cathaica ravida sieboldtiana dari Famili Fruiticoidolidae. Pada tubuh siput, miracidium akan keluar dari telur. Miracidium selanjutnya berkembang menjadi sporokista yang memperbanyak diri dengan membentuk gelendonggelendong, masing-masing gelendong membentuk anak sporokista. Dalam waktu kira-kira 5 bulan, anak sporokista keluar dari siput dan mencemari rumput. Rumput yang tercemar kemudian termakan belalang Conocephalus maculatus sebagai hospes intermedier ke dua. Dalam tubuh belalang, anak sporokista akan berkembang menjadi cercaria dan selanjutnya menjadi metacercaria infektif yang terjadi dalam waktu 3 minggu sejak belalang terinfeksi. Sapi dapat terinfeksi karena memakan belalang yang mengandung metacercaria. ( Dunn, 1978; Soulsby, 1982; Levine, 1990) Patogenesa Beberapa cacing dapat menimbulkan perubahan kecil, tetapi biasanya ada peradangan katarral dengan kerusakan epitel saluran. Telur dapat menembus ke dalam dinding saluran menyebabkan inflamasi dan granulomata di mana sel-sel plasma dan eosinofil mendominasi. Granulomata yang terbatas pada parenkim tidak begitu berpengaruh. Kadang-kadang pada fibrosis berat dapat menyebabkan terjadi atrofi pankreas. Infeksi yang berat pada hewan menyebabkan kondisi hewan menjadi buruk, tetapi tidak ada tanda-tanda klinis pasti lainnya yang dianggap berasal dari parasit ini (Dunn, 1978; Soulsby, 1982) Gejala Klinis Gejala klinis yang muncul pada hewan penderita adalah kelemahan, berat badan turun secara nyata, gangguan sistem pencernaan yang mengakibatkan diare atau konstipasi (Dunn,1978; Soulsby,1982) Diagnosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan diperkuat dengan penemuan telur cacing dalam feses. Maka untuk mendiagnosis dan identifikasi telur

11 cacing trematoda tersebut dapat dilakukan dengan Uji Konsentrasi Sedimentasi Parfitt and Bank s (Soulsby, 1982) Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda pada Sapi Beberapa hasil penelitian cacing trematoda pada sapi telah dilaporkan, prevalensi infeksi cacing Fasciola gigantica oleh Ekwunife et al. (2006) di Onitsha, Nigeria sebesar 10,51%, Yadav et. al, (2007) di Uttaranchal, India sebesar 11,77%, dan Kakar and Kakarsulemankhel (2008) di Queta, Pakistan sebesar 12,37%. Infeksi cacing Paramphistomum cervi pada sapi pernah dilaporkan oleh Raza et al. (2009) di Tehsil Jatoi, Muzaffar Garh, Pakistan dengan prevalensi sebesar 17,64%. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Keyyu et al. (2006) di Tanzania infeksi Fasciola gigantica pada sapi di peternakan tradisional sebesar 63,8%, peternakan besar sebesar 46,2% dan peternakan kecil sebesar 28,4%, sedangkan infeksi Paramphistomum sp. pada peternakan tradisional sebesar 81,9%, peternakan besar sebesar 55,5% dan peternakan kecil sebesar 41,1%. Sedangkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Yabe et al. (2008) di Kafue dan daerah aliran sungai Zambezi, Zambia, prevalensinya sebesar 42,2%, dengan 32% ternak sapi terinfeksi tiga jenis cacing trematoda yaitu Fasciola gigantica, Paramphistomum sp. dan Schistosoma sp., 66% terinfeksi dua jenis cacing trematoda yaitu Fasciola gigantica dan Paramphistomum sp., 52% terinfeksi Schistosoma sp. dan Paramphistomum sp., sementara 32% terinfeksi Fasciola gigantica dan Schistosoma sp.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I

PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I PENYAKIT PARASITER - TREMATODE - H A N D A Y U U N T A R I TREMATODA Morfologi umum cacing penyebab : Pipih bilateral, seperti daun Hermaphrodit Tidak bersegmen Saluran pencernaan tdk sempurna Oral & Ventral

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali 2.1.1 Asal-usul dan Penyebaran Sapi Bali Sapi bali ( Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar ( Bibos banteng) (Batan,

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi bali merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia. Sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos Banteng).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Kabupaten Pringsewu Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tanggamus, dan dibentuk

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

TREMATODA PENDAHULUAN

TREMATODA PENDAHULUAN TREMATODA PENDAHULUAN Trematoda termasuk dalam filum Platyhelminthes Morfologi umum : Pipih seperti daun, tidak bersegmen Tidak mempunyai rongga badan Mempunyai 2 batil isap : mulut dan perut. Mempunyai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prevalensi Clinostomum complanatum pada ikan Betok (Anabas testudineus) di Yogyakarta Hasil penangkapan ikan air tawar dari Kali progo, Yogyakarta diketahui terdapat 7 jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi Filum Class Ordo Famili Genus Subgenus : Chordata : Mammalia : Artiodactyla : Bovidae : Bos : Bibos sondaicus

Lebih terperinci

Taenia saginata dan Taenia solium

Taenia saginata dan Taenia solium Taenia saginata dan Taenia solium Mata kuliah Parasitologi Disusun Oleh : Fakhri Muhammad Fathul Fitriyah Ina Isna Saumi Larasati Wijayanti Sri Wahyuni Kelompok 6 DIV KESEHATAN LINGKUNGAN TAKSONOMI Taenia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Biduri (Calotropis spp.) Biduri ( Calotropis spp.) merupakan tanaman yang tahan hidup pada daerah kering dan toleran pada kadar garam yang relatif tinggi, tumbuh liar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) menyatakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 I. BENIH PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL BENIH DAN BIBIT TERNAK YANG AKAN DIKELUARKAN A. Semen Beku Sapi

Lebih terperinci

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK 1. Lokasi :... 2. Bangsa Sapi 1 :... 3. Identitas : (Kalung/No. Sapi/Nama Pemilik...) *) 4. Jenis Kelamin : ( / ) *) 5. Pengenalan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Saanen Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial dan perlu dikembangkan sebagai penyedia protein hewani yang dapat menghasilkan susu dan

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar

TINJAUAN PUSTAKA. atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) (Batan, 2006). Banteng-banteng liar yang ada dihutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Ditinjau dari sistematika ternak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila dibedakan dengan sapi lainnya

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA

BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VIII PEMBIBITAN TERNAK RIMINANSIA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI Kegiatan Infeksi cercaria Schistosoma japonicum pada hewan coba (Tikus putih Mus musculus) 1. Latar belakang Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli yang dikembangkan di Indonesia. Ternak ini berasal dari keturunan asli banteng liar yang telah

Lebih terperinci

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik A. Karakteristik PLATYHELMINTHES 1.Tubuh terdiri atas 3 lapisan sel: ektodermis, mesodermis, dan endodermis (triploblastik) 2. Hidup bebas atau parasit 3. Alat ekskresi berupa sel api 4. Alat pencernaan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf.

Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. JARINGAN HEWAN Jenis jaringan hewan ada empat macam, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat, jaringan otot, dan jaringan saraf. A. JARINGAN EPITEL Jaringan epitel merupakan jaringan penutup yang melapisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

BANGSA-BANGSA KERBAU PERAH

BANGSA-BANGSA KERBAU PERAH BANGSA-BANGSA KERBAU PERAH TIK : Dengan mengikuti kuliah ke-5 ini mahasiswa dapat menjelaskan tipe bangsa kerbau perah Sub Pokok Bahasan : 1. Asal usul bangsa kerbau perah 2. Sifat masing-masing bangsa

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi ongole merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Sumba ongole dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis 1 BAB I PENDAHULUAN Salah satu penyakit parasit yang menyerang ternak, seperti fascioliasis yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola gigantica menimbulkan banyak masalah dalam bidang peternakan. Fascioliasis

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu komoditi peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan bahan pangan bergizi tinggi yaitu susu. Jenis sapi perah yang paling

Lebih terperinci

Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp

Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp Tinjuan pustaka 1.1 Klasifikasi dan Morfologi Fasciolosis spp Menurut Kusumamiharja (1992) klasifikasi taksonomi cacing hati sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Platyhelmints Kelas : Trematoda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas

TINJAUAN PUSTAKA. Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas 13 TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu bangsa (breed) sapi, didasarkan atas sekumpulan persamaan karakteristik tertentu. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) yang mempunyai kekhasan tertentu bila dibandingkan dengan sapi-sapi lainnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi

Distribusi Geografik. Etiologi. Cara infeksi Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A. lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%. Etiologi Cara

Lebih terperinci

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN KEGIATAN PENELITIAN Schistosomiasis atau disebut juga demam keong merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma. Ada tiga spesies Schistosoma yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing 1. Kambing Boer Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata "Boer" artinya petani. Kambing Boer

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU 2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Ayam Ayam kampung atau sering disebut ayam buras merupakan jenis ayam hutan liar yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama ratusan tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 2.1. Infeksi Cacing Pita 2.1.1. Definisi Infeksi cacing pita atau taeniasis ialah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi TINJAUAN PUSTAKA Bangsa-Bangsa Sapi Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah asli Indonesia serta turunan asli dari banteng ( Bibos banteng) yang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nutfah asli Indonesia serta turunan asli dari banteng ( Bibos banteng) yang telah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali dan Kukunya Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi lokalyang merupakan plasma nutfah asli Indonesia serta turunan asli dari banteng ( Bibos banteng) yang telah

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Buras atau ayam lokal 2.1.1 Asal usul ayam lokal di Indonesia Ayam lokal Indonesia merupakan ayam yang berkembang dimulai sejak proses domestikasi dimulai, sehingga ayam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. Rambut pada sapi berbeda-beda, pada sapi yang hidup di daerah panas memiliki rambut

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah

TINJAUAN PUSTAKA. dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sapi potong merupakan salah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bangsa Sapi Potong Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, mereka dapat dibedakan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan

BAB I PENDAHULUAN. dengan hewan dapat menularkan penyakit, manusia tetap menyayangi hewan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia sulit terlepas dari kehidupan hewan, baik sebagai teman bermain atau untuk keperluan lain. Meskipun disadari bahwa kedekatan dengan hewan dapat menularkan

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS)

MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS) MODUL PRAKTIKUM PARASITOLOGI PARASIT DARAH DAN JARINGAN BLOK 14 (AGROMEDIS DAN PENYAKIT TROPIS) Oleh: Dr.rer.biol.hum. dr. Erma Sulistyaningsih, M.Si NAMA :... NIM :... FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali merupakan salah satu ternak asli dari Indonesia. Sapi bali adalah bangsa sapi yang dominan dikembangkan di bagian Timur Indonesia dan beberapa provinsi di Indonesia

Lebih terperinci