BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Asal-usul dan Penyebaran Sapi Bali Sapi bali ( Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar ( Bibos banteng) (Batan, 2006). Menurut Rollinson (1984) proses domestikasi sapi bali itu terjadi sebelum SM di Indonesia atau Indochina. Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia. Di Indonesia saat ini, banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran (Jawa Timur) dan Ujung Kulon (Jawa Barat), serta di beberapa kebun binatang. Adanya banteng liar ini memberikan peluang untuk perbaikan mutu sapi bali atau untuk persilangan dengan jenis sapi lain. Tempat dimulainya domestikasi sapi bali yaitu terjadi di Jawa, diduga asal mula sapi bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di Indonesia (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Saat ini sapi bali tidak hanya ditemukan di wilayah Indonesia saja, tapi telah menyebar ke berbagai negara. Tercatat sapi bali telah dikirim ke Semenanjung Cobourg di Australia Utara di antara tahun 1827 dan Pernah juga dilakukan ekspor secara reguler sapi bali kastrasi ke Hongkong untuk dipotong. Selain itu, pada masa lalu, sapi bali juga pernah dikirim ke Philipina, Malaysia, Hawai, Texas, USA, New South Wales, dan Australia sebagai ternak percobaan (National Research Council, 1983) Karakteristik Sapi Bali Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam suatu populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, di antara individu tersebut. Keragaman pada sapi bali dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe yang dapat diamati atau

2 terlihat secara langsung, seperti tinggi, berat, tekstur dan panjang bulu, warna dan pola warna tubuh, perkembangan tanduk, dan sebagainya (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (Banteng). Warna sapi betina baik muda ataupun dewasa berwarna coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan ketika muda yaitu coklat tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah ( white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Hardjosubroto dan Astuti, 1993; Batan, 2006) Desa Petang Kecamatan Petang, Badung Secara umum Kecamatan Petang terdiri dari tujuh desa, yaitu desa Carangsari, Getasan, Pangsan, Petang, Sulangai, Pelaga, dan Belok. Desa Petang berada pada garis Lintang LS sampai BT, terletak pada ketinggian meter di atas permukaan laut, kurang lebih 32 kilometer sebelah Utara kota Denpasar. Terdapat tujuh dusun di Desa Petang, diantaranya yaitu Dusun Petang Dalem, Petang, Petang Suci, Kerta, Lipah, Munduk Damping, dan Angantiga. Desa Petang berbatasan dengan sungai Penet di sebelah Barat, sebelah Timur sungai Ayung, sebelah Utara Desa Sulangai dan sebelah Selatan Desa Pangsan. Luas keseluruhan Desa Petang hektar yang terdiri dari 61,50 hektar berupa areal persawahan, dan 997,17 hektar berupa ladang atau kebun (Data Monografi Desa Petang, 2010) Desa ini menawarkan suasana pedesaan yang masih asri dan asli dengan tanaman hortikulturanya yang meliputi berbagai sayur mayur, buah-buahan dan sawah (Budi, 2008). Penduduk di Desa Petang memelihara sapi bali untuk dijadikan ternak kerja maupun ternak untuk dipotong. Kondisi alam yang mendukung membuat para peternak tidak merasakan adanya kendala untuk memelihara sapi bali. Pakan yang dibutuhkan untuk sapi cukup banyak tersedia, begitu pula dengan area (tempat) untuk mengandangkan sapi juga tersedia.

3 2.2 Cacing Nematoda yang Menginfeksi Sapi Toxocara vitulorum Cacing nematoda ini berpledileksi di dalam usus halus sapi. Cacing ini memiliki tiga bibir tanpa papila, melebar pada pangkalnya dan semakin ke ujung menyempit. Cacing jantan panjangnya mencapai 25 cm dengan diameter 5 mm, serta spikulum yang panjangnya mikron. Ujung posteriornya meruncing dan sering disebut berujung paku. Cacing betina panjangnya 30 cm dengan diameter 6 mm. Vulva cacing terletak 1/8 ujung anterior tubuh. Telur cacing berbentuk sub globular, dilapisi oleh albumin, berdinding tebal dan berukuran X mikron (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Telur cacing keluar bersama tinja dan berkembang di tanah. Telur infektif yang mengandung larva stadium kedua yang tidak berselubung ditemukan sekitar hari ke 17. Usaha untuk menimbulkan infeksi buatan pada sapi dewasa atau anak sapi berumur lebih dari satu hari mengalami kegagalan dan rupa-rupanya infeksi terjadi melalui plasenta setelah induk sapi memakan telur infektif. Apabila infeksi tersebut terjadi, anak sapi mulai mengeluarkan telur sekitar 3 minggu sesudah lahir. Telur menetas pada usus induk sapi dan larva pergi ke jaringan lain seperti paru-paru, hati dan ginjal. Beberapa larva menuju plasenta dan menginfeksi anak sapi dalam uterus. Jadi pada sapi dewasa larva mengalami dorman di berbagai organ dan jaringan (Levine, 1990). Warren (1971) di Australia, juga menegaskan bahwa larva Toxocara vitulorum melakukan migrasi melalui air susu, dan sapi terinfeksi dari induk setelah lahir. Infeksi berat akibat Toxocara vitulorum seringkali tidak didukung oleh data penelitian yang kritis, dilaporkan bahwa Toxocara vitulorum bersifat patogen pada sapi di Afrika, Filipina, Sri Lanka dan India. Seringkali udara pernafasan hewan yang terinfeksi berbau butirat. Lee (1959) dalam Soulsby (1982) tidak dapat mengamati perbedaan klinis antara sapi yang sudah terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi Haemonchus contortus Haemonchus contortus merupakan cacing lambung yang besar, disebut dengan cacing barberpole, cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Ovarium yang berwarna putih membelit secara spiral mengelilingi usus

4 yang berwarna merah, menyebabkan cacing betina seperti barberpole. Cacing jantan memiliki panjang mm dan berdiameter 400 mikron, dengan spikulum yang panjangnya kurang dari 440 mikron dan gubernakulum dengan panjang sekitar 200 mikron. Cacing Betina memiliki panjang mm dan berdiameter 500 mikron (Levine, 1990; Bowman, 2003, Love and Hutchinson, 2003). Telur berbentuk lonjong berwarna kekuningan dan mempunyai ukuran x 48 mikron serta memiliki dinding tebal (Thienpont et al., 1979). Cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak butir telur per harinya di dalam abomasum, yang nantinya telur tersebut akan keluar bersama feces. Di dalam kondisi yang lembab dan suhu yang berkisar antara (24-29 C) telur berkembang menjadi L1 dan L2. Curah hujan merupakan faktor epizootiological paling penting yang mempengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup larva infektif (Onyali et al., 1990). Dalam perkembangan tahap pertama (L1) dan kedua (L2) menuju pendewasaan, larva mamanfaatkan bakteri yang ada di sekitarnya untuk asupan makanannya. Selanjutnya larva tersebut akan mengalami perkembangan menjadi larva infektif (L3). L3 yang bersifat infeksius me rayap keatas rerumputan dan dapat menginfeksi hospes apabila hospes memakan rumput yang tercemar oleh L3. Kondisi yang mendukung di dalam tubuh hospes memungkinkan larva akan terus berkembang menjadi L4 dan L5 (dewasa) di dalam abomasum dan menghisap dara h (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Cacing ini merupakan cacing yang paling patogen diantara nematoda lainnya pada ruminansia. Infeksi berat pada hewan dewasa mengakibatkan hemorrhagi atau edema, pada hewan muda mengakibatkan anemia, hipoproteinemia, emasiasi. Cairan ingesta berwarna coklat kemerahan akibat dari cacing yang melekat pada mukosa dan bebas di dalam rumen. Pengaruh ini muncul pada musim penghujan, sementara pada musim kemarau jika infeksinya berat dapat berakibat kematian ternak (Soulsby, 1982; Love and Hutchinson, 2003) Oesophagostomum radiatum Cacing ini berpredileksi di dalam colon dan sekum (Love and Hutchinson, 2003). Memiliki capsula buccalis silindris dan sempit. Cacing jantan memiliki panjang mm dan berdiameter dengan spikulum yang panjangnya 700-

5 800 mikron, sebuah gubernakulum sekitar 100 mikron dan sebuah telamon. Cacing betina panjangnya mm dan berdiameter mikron, dengan telur berbentuk elips berukuran x mikron (Levine, 1990; Subronto, 2007). Telur cacing yang dibebaskan bersama tinja menetas menghasilkan larva dalam 6-7 hari, dan bila termakan larva tersebut melepas selubungnya dan menembus dinding usus hospes pada berbagai tempat, mulai dari pilorus sampai rektum. Larva melanjutkan pertumbuhannya sampai stadium ketiga, masuk kedalam dinding usus halus dan usus besar, di tempat itu mereka menyilih menjadi larva stadium keempat dalam 5-7 hari (Soulsby, 1982; Subronto, 2007). Kemudian larva kembali ke lumen usus 7-14 hari sesudah infeksi. Telur terdapat pada tinja hari sesudah infeksi (Levine, 1990). Masalah paling serius akibat infeksi dari Oesophagostomum timbul dari larva yang menembus mukosa usus. Setelah infeksi awal, terbentuk bintil sepanjang usus halus dan besar, nodul kadang berisi nanah, dan bila pecah akan mencemari usus dan peritoneum hingga tidak jarang terjadi pertautan antara usus dengan peritoneum. Cacing dewasa menyebabkan perubahan dinding usus, hemorrhagi serta pembentukan lendir yang berlebihan (Gasbarre et al., 1985; Subronto, 2007). Menurut Bremner and Keith (1970) cacing dewasa menyebabkan perdarahan pada hospes dan terjadinya alergi pada awal infeksi tidak berhubungan dengan proses perdarahan Trichuris discolor Cacing jantan panjangnya mm, diameter bagian anterior 140 mikron dan bagian posterior mikron. Bagian anterior yang ramping adalah dua pertiga panjang tubuh. Spikulumnya 0,85-3,0 mm, dan selubung spikulum ditutupi oleh spina-spina kecil. Cacing betina berwarna oranye-kuning, panjangnya mm, berdiameter 130 mikron di anterior, dan 670 mikron di posterior. Bagian anterior yang ramping sekitar tiga perempat panjang tubuh (Levine, 1990). Telur berukuran x mikron, berbentuk seperti buah lemon dan memiliki kulit tebal berwarna kuning kecoklatan dengan dua sumbat dikedua ujungnya yang transparan (Dunn, 1978). Telur cacing mencapai stadium infektif setelah sekitar 3 minggu di bawah kondisi yang menguntungkan, namun perkembangan dapat jauh lebih lama pada suhu

6 yang lebih rendah (misalnya 6-20 C). Telur infektif dapat tetap hidup selama beberapa tahun. Hospes terinfeksi karena memakan telur. Perkembangan di dalam tubuh hospes berlangsung di dalam lumen usus, dan masa prepaten adalah 2-3 bulan atau lebih (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Pada sapi infeksi secara alami yang mengakibatkan penyakit klinis jarang terjadi. Pada infeksi akut terjadi banyak perdarahan, diare berair yang mengakibatkan berat badan menurun hingga kematian (Soulsby, 1982; Bowman, 2003) Bonustomum phlebotomum Merupakan cacing kait yang dijumpai di dalam usus halus. Panjang cacing jantan mm dan berdiameter sekitar 475 mikron, dengan spikulum filiform yang panjangnya 3,5-4,0 mm. Panjang cacing betina mm dan berdiameter mikron serta memproduksi telur berbentuk elips berukuran x mikron (Levine, 1990). Siklus hidup Bunostomum phlebotomum bersifat langsung. Infeksi yang terjadi pada hospes terjadi melalui mulut dan kulit oleh larva infektif. Larva ditemukan telah mencapai dermis dalam waktu 30 menit setelah infeksi dan menembus pembuluh darah dan kulit dalam waktu 60 menit. Larva ditemukan di paru-paru di mana ecdysis ketiga berlangsung 10 hari setelah penetrasi kulit (Sprent, 1946). Selanjutnya larva stadium keempat mencapai usus pada hari kesebelas. Telur pertama dibebaskan oleh cacing dewasa pada hari setelah infeksi pertama (Soulsby,1982; Subronto, 2007). Cacing dewasa aktif menghisap darah dan dapat menyebabkan anemia. Banyak hewan ternak yang terinfeksi, kekurangan darah, hypoproteinemia, edema, iritasi mukosa intestinum, dan diiukuti diare. Larva yang menembus kulit mungkin dapat menyebabkan beberapa iritasi kulit dan masuknya bakteri patogen. Tidak terjadi anorexia (Soulsby, 1982; Love and Hutchinson, 2003) Strongyloides papillosus Cacing nematoda ini berpredileksi pada usus halus. Sering juga disebut dengan cacing benang. Cacing betina partenogenik parasitik, panjangnya 3,5-6,0 mm dan berdiameter mikron dan menghasilkan telur berbentuk elips, berdinding tipis, telah berembrio saat dikeluarkan dan berukuran x mikron. Cacing

7 jantan hidup bebas panjangnya mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron (Soulsby, 1982; Levine, 1990; Subronto, 2007). Cacing ini mempunyai fase parasitik maupun fase hidup bebas, dan terdapat dua kemungkinan jalur yang dilalui oleh fase hidup bebas. Cacing betina parasitik menghasilkan telur berembrio atau larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama rabditiform dan makan mikroorganisme dalam tinja. Mereka menyilih menjadi larva stadium kedua, juga rabditiform, yang juga makan mikroorganisme dalam tinja. Larva ini menyilih menjadi larva stadium ketiga dalam 2 tipe. Beberapa larva stadium ketiga mempunyai esofagus filariform (silindris). Mereka menginfeksi hospes dengan menembus kulit, atau tertelan. Apabila mereka telah memasuki kulit, mereka pergi ke kapiler dan terbawa oleh darah ke paru-paru, kemudian mereka merusak dinding kapiler, masuk ke dalam saluran udara, dan bermigrasi ke trakhea dan turun ke esofagus menuju usus halus, mereka menyilih menjadi larva stadium ke empat dan menjadi dewasa. Apabila mereka tertelan, tampaknya larva berkembang dalam usus halus tanpa bermigrasi. Ini disebut siklus hidup tipe homogonik (Levine, 1990; Bowman, 2003). Beberapa larva stadium ketiga mempunyai esofagus rabditiform. Larva ini melalui siklus hidup yang disebut heterogenik. Mereka makan dan menyilih menjadi stadium ke empat (yang juga rabditiform). Larva ini makan dan kemudian menyilih menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas (Dunn, 1978). Setelah kawin, cacing betina meletakkan telur yang menghasilkan larva rabditiform stadium pertama. Larva ini makan dan menyilih menjadi larva rabditiform stadium kedua, yang makan dan menyilih menjadi larva stadium ketiga filariform, yang menginfeksi hospes seperti tersebut di atas (Levine, 1990). Infeksi prenatal dapat terjadi apabila induk tertular pada waktu bunting. Larva juga dapat ditularkan melalui susu atau kolostrum. Dibutuhkan waktu kurang dari 2 hari oleh larva infektif untuk berkembang di bawah kondisi optimum di dalam siklus hidup homogenik, dan kemungkinan dibutuhkan satu hari lebih lama pada siklus hidup heterogenik. Masa prepaten berlangsung 2 hari sampai 2 minggu atau lebih, tergantung dari jenis cacingnya (Levine, 1990).

8 Sapi terinfeksi melalui makanan atau minuman yang tercemar ataupun melalui penetrasi kulit (d alam kondisi basah) (Love and Hutchinson, 2003). Infeksi berat menyebabkan atrofi vili, dengan hilangnya protein plasma dan penurunan aktivitas beberapa enzim (alkali fosfatase, laktase, saccharase dan maltase). Gejala klinis pada sapi muda yang masih menyusu, ditandai dengan anoreksia, kehilangan berat badan, diare, dehidrasi, anemia. Infeksi berat dapat berakibat fatal (Noble and Noble, 1989; Levine, 1990) Trichostrongylus axei Cacing ini sering disebut dengan cacing rambut, terdapat pada abomasum dan kadang-kadang pada usus halus sapi. Cacing jantan panjangnya 2-6 mm dan diameter mikron, dengan spikulum coklat tua, dan tidak sama besar, yang sebelah kiri mikron dan sebelah kanan mikron; gubernakulum panjangnya mikron. Cacing betina mempunyai panjang 3-8 mm dan berdiameter mikron, dengan telur berbentuk elips dan berukuran x mikron (Levine, 1990). Larva stadium pertama hidup dari mikroorganisme dalam tinja, menyilih menjadi larva stadium dua yang juga hidup dari mikroorganisme dalam tinja, dan kemudian menjadi larva stadium ketiga yang terselubung di dalam kulit larva stadium kedua dan tidak makan. Larva stadium ketiga berpindah menuju tumbuhan, dan mereka dapat tertelan oleh hospes ketika merumput. Kemudian di dalam saluran gastrointestinal mereka melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium keempat dan kemudian mencapai dewasa, selamanya tinggal di dalam lumen atau hanya sebentar terdapat pada mukosa (Levine, 1990 ). Periode prepaten sekitar 20 sampai 25 hari (Australia Merial, 2010). Cacing Trichostrongylus axei menginfeksi usus halus dan dapat meninggalkan nodul dan edema. Apabila hal ini dibiarkan maka akan terjadi penurunan produktivitas hewan, menurunnya berat badan dan mencret hijau (Dunn, 1978). Pada infeksi berat, agregasi dari cacing terutama terjadi di fundus, dengan hiperemi lokal berkembang menjadi peradangan catarrhal dengan mengangkat plak putih melingkar (Love and Hutchinson, 2003).

9 2.2.8 Cooperia punctata Cacing ini lebih umum terdapat pada usus halus sapi. Ujung kepala larva berbentuk bantalan kerucut dan ujung ekor berbentuk seperti sendok (Jeya and Sathianesan, 2007). Cacing jantan panjangnya 4-6 mm dengan spikulum mikron. Betinanya 5-8 mm dengan telur x mikron (Levine, 1990). Larva stadium pertama dan kedua memanfaatkan mikroorganisme dalam tinja untuk bertahan hidup. Kemudian menyilih menjadi larva stadium tiga (larva infektif) yang masih berselubung. Jika larva infektif termakan oleh hospes, maka mereka melepaskan selubungnya dan menyilih menjadi larva stadium keempat dan dewasa. Mereka tinggal di dalam lumen usus (Levine, 1990). Sapi terinfeksi cacing ini melalui makanan atau minuman yang tercemar. Infeksi cacing ini mengakibatkan diare, dehidrasi dan kehilangan berat badan (Soulsby, 1982; Levine, 1990) Nematodirus filicollis Cacing nematoda ini berpredileksi pada usus halus. Cacing jantan berukuran mm dengan spikulum mikron. Cacing betina mm dengan telur berbentuk oval dan berukuran sekitar x mikron (Levine, 1990). Dua larva pertama menyilih di dalam telur. Telur keluar bersama tinja 4-8 sel. Telur ini berkembang lebih lambat, membutuhkan 6 hari sampai 4 minggu atau lebih untuk mencapai stadium infektif. Larva stadium ketiga dapat tinggal di dalam telur dalam waktu yang lama sebelum menetas, dan melampaui musim dingin. Larva keluar dari selubungnya dan biasanya menetap pada lumen paramukosa usus halus ketika menyilih menjadi larva stadium keempat dan kemudian menjadi stadium dewasa. Masa prepaten hari atau lebih, sebagian tergantung dari jenisnya (Levine, 1990). Ternak dewasa lebih peka terinfeksi cacing ini. Infeksi berat mengakibatkan kehilangan nafsu makan, gejala intestinal, diare dan dehidrasi (Soulsby, 1982; Levine, 1990).

10 2.3 Diagnosa Penyakit ini didiagnosis berdasarkan gejala klinis yang ada yaitu dengan pemeriksaan feces untuk menemukan telur cacing disamping identifikasi larva untuk memastikan spesies cacing (Soulsby, 1982) 2.4 Infeksi Cacing Nematoda pada Sapi Cacingan (nematodiasis) pada ternak ruminansia merupakan salah satu masalah cukup penting di Indonesia, karena penyakit tersebut dapat menurunkan pertumbuhan ternak bahkan pada serangan yang berat dapat mematikan (Soulsby, 1982; Levine, 1990). Sebuah penelitian di Tanzania mendapatkan prevalensi Oesophagostomum radiatum pada sapi sebesar 72,9%, Bunostomum phlebotomum 5,6%, Cooperia punctata 44,4% (Keyyu et al., 2003). Di Kenya dilaporkan prevalensi cacing Strongyloides papillosus sebesar 3,6%, trichostrongylus axei 24,3%, Cooperia punctata 41,7%, Oesophagostomum radiatum 38,4%, Trichostrongylus axei 24,3% (Waruiru et al., 1998). Marie et al. (2001), melaporkan di Burkina Faso (Afrika Barat) prevalensi cacing Cooperia sp sebesar 89,4%, Haemonchus contortus 66% dan Oesophagostomum radiatum 42,6%. Di Alberta (Northwestern) dilaporkan prevalensi Nematodirus sp sebesar 50% (Dies et al., 2001). Chavhan et al. (2008) juga melaporkan dari Nagpur (India), prevalensi Haemonchus sp sebesar 38,01%, Trichuris sp 14,87%, Strongyloides sp 11,98%.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan penularannya melalui tanah. Di Indonesia terdapat lima species cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis, 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Trasmitted Helminth Soil Transmitted Helminth ( STH ) merupakan infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing yang penyebarannya melalui tanah. Cacing yang termasuk STH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminth Soil Transmitted Helminth adalah Nematoda Intestinal yang berhabitat di saluran pencernaan, dan siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan merupakan sapi asli sapi Pulau Bali. Sapi bali merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas diseluruh wilayah Indonesia. Sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos Banteng).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Sapi Bali Abidin (2002) mengatakan bahwa sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos Sondaicus)

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi parasit internal masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan ternak dan mempunyai dampak kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Cacing Tambang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar 30 50 % di perbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos banteng atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos banteng atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Menurut Aafls (1934) yang dikutip oleh Meijer (1962), sapi bali yang berasal dari famili Bovidae didomestikasi dari leluhurnya yang masih liar yaitu Bos javamicus/bibos

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Ayam Ayam kampung atau sering disebut ayam buras merupakan jenis ayam hutan liar yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama ratusan tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sapi Ongole (Bos indicus) Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki rambut. Rambut pada sapi berbeda-beda, pada sapi yang hidup di daerah panas memiliki rambut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Cacingan Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk,

HASIL DAN PEMBAHASAN. bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Pameungpeuk merupakan salah satu daerah yang berada di bagian selatan atau pesisir selatan Kabupaten Garut. Kecamatan Pameungpeuk, secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths 1. Pengertian Nematoda disebut juga Eelworms (cacing seperti akar berkulit halus)cacing tersebut menggulung dan berbentuk kumparan dan biasanya mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Payne dan Rollinson (1973) menyatakan

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari Kabupaten induknya yaitu Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keragaman Bangsa Sapi Lokal Bangsa (breed) adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, suatu bangsa dapat dibedakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Wilayah Pringsewu Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 dibentuk Kabupaten Pringsewu dan diresmikan pada tanggal 3 April 2009 oleh Menteri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Babi Babi merupakan hewan monogastrik yang memiliki kesanggupan dalam mengubah bahan makanan secara efisien apabila ditunjang dengan kualitas ransum yang memadai. Ditinjau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris Lumbricoides Ascariasis merupakan infeksi cacing yang paling sering dijumpai. Diperkirakan prevalensi di dunia berjumlah sekitar 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi. 2. Siklus Tidak Langsung Pada siklus tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis cacing Sebagian besar infeksi cacing terjadi di daerah tropis yaitu di negaranegara dengan kelembaban tinggi dan terutama menginfeksi kelompok masyarakat dengan higiene

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung Muhsoni Fadli 1, Ida Bagus Made Oka 2, Nyoman Adi Suratma 2 1 Mahasiswa Pendidikan Profesi

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengetahuan 2.1.1.1 Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah terjadinya pengindraan terhadap suatu objek menggunakan panca indra manusia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anjing Anjing termasuk keluarga Canidae, bersaudara dengan serigala, rubah, dan anjing rakun. Diantara semua anggota Canidae, anjing mempunyai hubungan yang paling dekat dengan

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) BAB II TIJAUAN PUSTAKA A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis) Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang disebabkan oleh cacing E. vermicularis. Enterobiasis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminths Nematoda adalah cacing yang tidak bersegmen, bilateral simetris, mempunyi saluran cerna yang berfungsi penuh. Biasanya berbentuk silindris serta panjangnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng) yang mempunyai kekhasan tertentu bila dibandingkan dengan sapi-sapi lainnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Vektor Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa vektor mekanis dan biologis, juga dapat berupa vektor primer dan sekunder.vektor mekanis adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I (Bagian Parasitologi) Pengertian Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad renik yang hidup pada jasad lain di dalam maupun di luar tubuh dengan maksud mengambil

Lebih terperinci

HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING NEMATODA PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI

HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING NEMATODA PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI HUBUNGAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI CACING NEMATODA PADA KELOMPOK TERNAK SAPI DI PETANG KECAMATAN PETANG, BADUNG SKRIPSI Oleh : GALIH INTAN HARTANTRI 0609005028 FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali 2.1.1 Asal-Usul dan Penyebaran Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto,

Lebih terperinci

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa Metamorfosis Kecoa 1. Stadium Telur Proses metamorfosis kecoa diawali dengan stadium telur. Telur kecoa diperoleh dari hasil pembuahan sel telur betina oleh sel spermatozoa kecoa jantan. Induk betina kecoa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Transmitted Helminths 2.1.1 Definisi Soil Transmitted Helminths Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hygiene Perorangan Hygiene perorangan disebut juga kebersihan diri, kesehatan perorangan atau personal hygiene. Hygiene berasal dari kata hygea. Hygea dikenal dalam sejarah Yunani

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 2.1 Helminthiasis Cacing merupakan parasit yang bisa terdapat pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes dari beberapa Nematoda usus. Sebagian besar daripada Nematoda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka kejadian kecacingan di Indonesia yang dilaporkan di Kepulauan Seribu ( Agustus 1999 ), jumlah prevalensi total untuk kelompok murid Sekolah Dasar (SD) (95,1 %),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. 7 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic Escherichia coli atau disebut EHEC yang dapat menyebabkan kematian pada manusia (Andriani, 2005; Todar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus

BAB I PENDAHULUAN. Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri yang umum menghuni usus hewan dan manusia dengan ratusan strain yang berbeda, baik yang berbahaya maupun yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006)

CACING TAMBANG. Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) CACING TAMBANG Editor oleh : Nanda Amalia safitry (G1C015006) PROGRAM STUDY D-IV ANALIS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN 2015/2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum. Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmited Helminth 1. Klasifikasi Spesies Soil Transmitted Helminths termasuk dalam filum Nematohelminthes dan merupakan kelas Nematoda. Masing-masing spesies mempunyai

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

I. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, hasil pemekaran dari kabupaten induknya yaitu kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karateristik Sapi Bali Bangsa (breed)) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tersebut, ternak-ternak tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Buras atau ayam lokal 2.1.1 Asal usul ayam lokal di Indonesia Ayam lokal Indonesia merupakan ayam yang berkembang dimulai sejak proses domestikasi dimulai, sehingga ayam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah Tanah memegang peranan penting bagi masyarakat. Kehidupan tumbuhan dan hewan yang bersama-sama dengan kekuatan fisik dan kimia murni menata tubuh tanah menjadi bagian-bagian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa cacing. Dimana dapat terjadi infestasi ringan maupun infestasi berat. 16 Infeksi

Lebih terperinci

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2.

E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran μm 2. PROTOZOA Entamoeba coli E. coli memiliki bentuk trofozoit dan kista. Trofozoit ditandai dengan ciri-ciri morfologi berikut: 1. bentuk ameboid, ukuran 15-50 μm 2. sitoplasma mengandung banyak vakuola yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila

BAB I PENDAHULUAN. domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng). Karakteristik dari sapi bali bila dibedakan dengan sapi lainnya

Lebih terperinci

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp)

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) MENGENAL IKAN LOUHAN -Nama lain : flower horn, flower louhan dan sungokong. -Tidak mengenal musim kawin. -Memiliki sifat gembira, cerdas dan cepat akrab dengan pemiliknya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Ascaris lumbricoides a. Morfologi telur Ascaris lumbricoides Secara morfologi dapat dibedakan menjadi 4 macam bentuk: fertil, infertil, dekortikasi, dan embrio.telur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Saanen Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial dan perlu dikembangkan sebagai penyedia protein hewani yang dapat menghasilkan susu dan

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil-transmitted helminths Nematoda merupakan spesies cacing terbesar yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda satu sama lain dalam habitat, daur hidup dan hubungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG. (Skripsi) Oleh HINDUN LARASATI

PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG. (Skripsi) Oleh HINDUN LARASATI PREVALENSI CACING SALURAN PENCERNAAN SAPI PERAH PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI LAMPUNG (Skripsi) Oleh HINDUN LARASATI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRAK PREVALENSI CACING

Lebih terperinci

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar (THE PREVALENCE OF HELMINTH INFECTION IN CATTLE GASTROINTESTINAL NEMATODES BALI IN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Soil Transmitted Helminths Soil-transmitted dikenal sebagai infeksi cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichuira, cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 41 Hasil Identifikasi Berdasarkan hasil wawancara terhadap peternak yang memiliki sapi terinfestasi lalat Hippobosca sp menyatakan bahwa sapi tersebut berasal dari Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TANGGAL : 30 Januari 2008 I. BENIH PERSYARATAN TEKNIS MINIMAL BENIH DAN BIBIT TERNAK YANG AKAN DIKELUARKAN A. Semen Beku Sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Sapi. Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Sapi Sapi menurut Blakely dan Bade (1992), diklasifikasikan ke dalam filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodactile (berkuku atau berteracak

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Pada Hewan

Sistem Pencernaan Pada Hewan Sistem Pencernaan Pada Hewan Struktur alat pencernaan berbeda-beda dalam berbagai jenis hewan, tergantung pada tinggi rendahnya tingkat organisasi sel hewan tersebut serta jenis makanannya. pada hewan

Lebih terperinci

2. Strongyloides stercoralis

2. Strongyloides stercoralis NEMATODA USUS CIRI-CIRI UMUM Simetris bilateral, tripoblastik, tidak memiliki appendages Memiliki coelom yang disebut pseudocoelomata Alat pencernaan lengkap Alat ekskresi dengan sel renette atau sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Sycanus sp. (Hemiptera: Reduviidae) Telur Kelompok telur berwarna coklat dan biasanya tersusun dalam pola baris miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa

Lebih terperinci

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK

LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK LAPORAN SEMENTARA ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG PENGENALAN BANGSA-BANGSA TERNAK 1. Lokasi :... 2. Bangsa Sapi 1 :... 3. Identitas : (Kalung/No. Sapi/Nama Pemilik...) *) 4. Jenis Kelamin : ( / ) *) 5. Pengenalan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hama Symphilid Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil, berwarna putih dan pergerakannya cepat. Dalam siklus hidupnya, symphylid bertelur dan telurnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

N E M A T H E L M I N T H E S

N E M A T H E L M I N T H E S N E M A T H E L M I N T H E S Nema = benang, helminthes = cacing Memiliki rongga tubuh yang terbentuk ketika ektodermis membentuk mesodermis, tetapi belum memiliki mesenterium untuk menggantungkan visceral

Lebih terperinci

xvii Universitas Sumatera Utara

xvii Universitas Sumatera Utara xvii BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminths Manusia merupakan hospes yang utama untuk beberapa nematoda usus. Sebagian besar dari nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan yang penting

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat, membaiknya keadaan ekonomi dan meningkatnya kesadaran masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan 3 TINJAUAN PUSTAKA Lalat Buah (Bactrocera spp.) Biologi Menurut Departemen Pertanian (2012), lalat buah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phylum Klass Ordo Sub-ordo Family Genus Spesies : Arthropoda

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci