BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Multiple mieloma (mielomatosis) adalah tumor sel plasma yang ditandai proliferasi salah satu jenis limfosit B dan sel sel plasma yang berasal dari limfosit tersebut. Sel sel ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap terutama di tulang, menyebabkan tulang mengalami kerusakan, inflamasi dan nyeri. Lesi dekstruktif akan mengikis tulang sehingga gerakan ringanpun dapat menyebabkan fraktur (Corwin, 2009). Limfosit adalah salah satu komponen sistem imun tubuh. Limfosit dibagi menjadi 2 yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit B akan merespon infeksi dengan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma akan menhasilkan antibodi yang menbantu tubuh melawan infeksi. Pada Multiple mieloma, reaksi inflamasi (tumor) menyerang sumsum tulang lebih dari satu tempat (American Cancer Society, 2011). Multiple mieloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang, terjadi hanya 1 % dari keseluruhan keganasan hematologis. Multiple mieloma didiagnosis dalam jumlah berimbang antara pria dan wanita. Penyakit ini juga lebih sering didiagnosis pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih, terjadi secara primer pada usia 40 tahun dan puncak insidensi pada usia 60 tahun (Otto, 2005). Di Amerika Serikat, insiden multiple mieloma sekitar 4 kasus dari populasi. Pada tahun 2004 diperkirakan ada kasus baru multiple mieloma. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada orang Afro Amerika dan pada pria. Penyakit ini biasa dijumpai pada orang lanjut usia, dengan usia rata rata di atas 62 tahun, sedangkan 35 % kasus terjadi di bawah usia 60 tahun (Hoffbrand, 2002). Di Inggris, terdapat angka kematian tahunan rata rata 9 orang per juta penduduk. Di Indonesia lebih dari 60 % pasien multiple mieloma berusia lebih dari 60 tahun, dengan perbandingan jenis kelamin kurang lebih sama antara pria

2 dan wanita. Sekitar 50 % pasien bersuku Jawa, dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan tidak bekerja (Tadjoedin, 2011) Angka kematian akibat multiple mieloma cukup tinggi. Berbagai komplikasi juga akan dialami pasien multiple mieloma seperti anemia, trombositopenia, leukopenia, gangguan ginjal karena proses filtrasi akan dihambat timbunan kalsium dan antibodi, serta myeloma bone disease yaitu peningkatan resorpsi tulang, kemudian osteoporosis sehingga meningkatkan resiko terjadinya patah tulang. Resiko resiko tersebut harapannya dapat dikurangi untuk mempertinggi angka harapan hidup dan kesejahteraan pasien yang terutama adalah pasien geriatri. B. Tujuan Tujuan dari penulisan referat tentang Multiple Mieloma ini, antara lain : 1. Mengetahui definisi dari Multiple Mieloma. 2. Mengetahui anatomi dan fisiologi multiple myeloma 3. Mengetahui etiologi multiple myeloma 4. Menjelaskan patofisiologi Multiple Mieloma. 5. Menegakan penegakkan diagnosis Multiple Mieloma. 6. Mengetahui pemeriksaan radiologi multiple myeloma. 7. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Multiple Mieloma. 8. Mengetahui prognosis dari multiple mieloma BAB II MIELOMA MULTIPLE A. Definisi

3 Mieloma multiple adalah diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal dari satu klon (monoklonal) sel plasma, manisfestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang. Konsekuensi klinis sel plasma abnormal mencakup kerusakan tulang dan penggantian unsur sumsum tulang normal, menyebabkan anemia, trombositopenia, dan leukopenia; perubahan sistem imun, dengan resiko mendapati infeksi meningkat; abnormalitas hemostatik dengan manifestasi perdarahan; dan kriglobunemia dan hiperviskositas yang terkait dengan protein plasma komponen M (Baldy, 2006). B. Anatomi dan Fisiologi Anatomi Lokasi predominan Myeloma multipel mencakup tulang-tulang seperti vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan femur. 9 Awal dari pembentukan tulang terjadi di bagian tengah dari suatu tulang. Bagian ini disebut pusat-pusat penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu atau kedua ujung-ujungnya yang disebut pusat-pusat penulangan sekunder. 10 Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut: 1. Diafisis Diafisis merupakan bagian dari tulang panjang yang dibentuk oleh pusat penulangan primer, dan merupakan korpus dari tulang. 2. Metafisis Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang (diafisis). 3. Lempeng epifisis

4 Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anakanak, yang akan menghilang pada tulang dewasa. 4. Epifisis Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder. Gambar 1. Bagian dari tulang panjang matur 10 Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tesebut dikelompokkan menjadi :

5 1. Ossa longa (tulang panjang): tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contohnya os humerus dan os femur. 2. Ossa brevia (tulang pendek): tulang yang ukurannya pendek, contoh: ossa carpi. 3. Ossa plana (tulang gepeng/pipih): tulang yg ukurannya lebar, contoh: os scapula. 4. Ossa irregular (tulang tak beraturan), contoh: os vertebrae. Ossa sesamoid, contoh: os patella

6 Gambar 2. Struktur Anatomi Tulang Manusia Fisiologi Myeloma, seperti kanker lainnya, berawal dari dalam sel. Pada kanker, sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukannya dan sel yang

7 tua atau rusak tidak dimatikan sesuai waktunya. Sel-sel yang terbentuk dapat membentuk massa jaringan yang dinamakan tumor. Myeloma dimulai ketika sel plasma menjadi abnormal. Sel-sel abnormal membelah dirinya sendiri secara terus-menerus. Plasma sel yang abnormal ini dinamakan sel myeloma. Sel myeloma mulai berkumpel di sumsum tulang. Mereka merusak bagian padat dari tulang. Ketika sel myeloma tertumpuk pada beberapa tulang, maka kelainan ini dinamakan Multiple Myeloma. Penyakit ini juga dapat merusak organ dan jaringan lainnya termasuk ginjal. Sel myeloma membentuk antibodi yang dinamakan protein M dan protein lainnya. Protein-protein ini dapat tertumpuk di darah, urin, dan organ. Gambar 3. Sel plasma normal melindungi tubuh dari benda asing C. Etiologi Kejadian keganasan sel plasma mungkin meupakan suatu proses multi langkah. Faktor ggenetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS (monoclonal gammanopathy of undetermined significance). Dalam sel mana terjadi transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang

8 dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri (Syahrir, 2010). Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1,13 (13q-) dan 14 (14q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q c-myc-gen dan bcl-1-gen, yang berhubungan dengan t (11;14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Syahrir, 2010). D. Patafisiologi Myeloma, seperti kanker lainnya, berawal dari dalam sel. Pada kanker, sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukannya dan sel yang tua atau rusak tidak dimatikan sesuai waktunya. Sel-sel yang terbentuk dapat membentuk massa jaringan yang dinamakan tumor. Myeloma dimulai ketika sel plasma menjadi abnormal. Sel-sel abnormal membelah dirinya sendiri secara terus-menerus. Plasma sel yang abnormal ini dinamakan sel myeloma.

9 Perkembangan sel plasma maligna mungkin merupakan suatu proses multi langkah, Adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan penumpukan sel plasma maligna,adanya perkembangan perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan system imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses multi langkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi onkogen selular,hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen sitokin. Para protein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia, hiperviskositas, diathesis hemorrargik dan krioglobulinemia. Faktor pengaktif osteoklas (OAF) seperti IL1-β, limfotoksin dan tumor nekrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoforosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi immunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan neutropenia yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. Keluhan dan gejala pada pasien Mieloma Multipel berhubungan dengan ukuran masa tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia, imunologik dan humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain para protein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating factor/oaf). Pada waktu timbul gejala klinik jumlah total sel plasma ditaksir 1011 atau Faktor pengaktif osteoklast (OAF) seperti IL 1-β, limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteoisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini. Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia, dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang

10 sering sangat menurun dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan netropenia yang kadang kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya deposit myeloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan. Anemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoeisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat. Gambar. 4 Sel plasma normal melindungi tubuh dari benda asing dan Sel myeloma (sel plasma abnormal) membentuk protein M

11 1. Manifestasi klinis a. Nyeri, terutama nyeri tulang b. Gejala anemia: letargi, kelemahan, dispenia, pucat, takhikardi c. Infeksi berulang, yang berkaitan dengan penurunan produksi anti bodi. d. Perdarahan abnormal e. Gagal ginjal f. Ganggusn fungsi ginjal dan jantung (Sudoyo, 2009). 2. Patofisiologi a. Nyeri tulang Disebabkan karena lesi litik tulang, dan biasanya adalah di tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast. Seperti IL-1beta, TNF-beta atau IL-6 dimana bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis. Faktor-faktor ini juga menghambat aktifitas osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga disebabkan oleh tekanan tumor pada medula spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis. b. Infeksi berulang Penyebabnya : - Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum menurun yang sering, sangat menurun. - Fungsi sumsung tulang yang menurun. - Netropenia. Yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. c. Anemia. Disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian dan inhibisi sumsung tulang secara langsung terhadap hematopoisis. Perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat. d. Perdarahan abnormal. Disebabkan oleh karena protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan. Gagal ginjal disebabkan oleh karena hiperkalsemia adanya deposit mieloid pada glomerulus. Hiperurisemia, infeksi rekuren,

12 infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan di tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan. e. Gangguan fungsi ginjal dan jantung. Disebabkan karena pengendapan rantai ringan dalam benttuk amiloid atau sejenis (Syahrir, 2010). E. Penegakkan Diagnosis Kriteria Diagnostik Mieloma Multiple (MM) : Kriteria Mayor : 1 Plasmasitoma pada biopsy jaringan. 2 Sel plasma sumsum tulang >30% 3 M Protein : IgG >35gr/dl, IgA >20gr/dl, kappa atau lambda rantai ringan pada elektroforese urin. Kriteria Minor : 1. Sel Plasma sumsum tulang 10% - 30% 2. M protein pada serum dan urin (kadar lebih kecil dariiii) 3. Lesi litik pada tulang 4. Normal residual IgG < 500 mg/l, IgA < 1 g/l, atau IgG < 6 g/l Diagnosis MM bila terdapat criteria 1 mayor dan 1 minor atau 3 kriteria minor yang harus meliputi criteria A + B. kombinasi I dan A bukan merupakan diagnosis MM Untuk menegakkan diagnosis Mieloma Multipel (MM) harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik terlebih dahulu yang teliti sebelum melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat. a. Anamnesis Pasien datang dengan keluhan seperti anemia, mual-mual, muntah, dehidrasi, infeksi dan atau mengeluh sering merasakan nyeri hebat yang terus menerus pada tulang tengkorak, vertebrata, sternum, iga-iga, ileum, sacrum, pangkal-pangkal sendi bahu atau panggul. Nyeri bersifat hilang timbul, berpindah-pindah dan menyerupai reumatik, paling sering pada tulang punggung. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik pasien memperlihatkan wajah yang pucat, tulang yang lunak, dan terdapat masa jaringan lunak. Pasien dapat memiliki gejala neurologis yang berhubungan dengan neuropati

13 atau kompresi tulang belakang. Ada pula gejala neurologis yang unik berupa ensefalopati hiperkalsemia yaitu bingung, delirium atau koma, mual mual, muntah dan dehidrasi. Pasien dengan amiloidosis dapat mempunyai lidah yang membesar, neuropati, atau jantung kongestif. c. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis MM ditegakan mulai dari trias diagnostik klasik, sel plasma > 10% + M protein + lesi litik. Protein mono klonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya dihampir 98% pasien. Protein serum adalah IgG dua pertiganya, IgA satu pertiganya, dan jarang IgM atau IgD dan kasus campuran. Urin mengandung protein Bence - Jones pada dua pertiga kasus, namun pada 15% k Bence Jones ada tanpa paraprotein serum (Syahrir, 2010). Mieloma multiple merupakan keganasan sel plasma yang mempunyai karakteristik adanya destruksi tulang, gagal ginjal, anemia, dan hiperkalsemia. Manifesti klinik mieloma multiple bisa menimbulkan gejala sistemik, sehingga sulit untuk mendiagnosis penyakit tersebut (Bukhoeri, 2010).

14 Gambar.5 Elektroforesis protein serum pada mieloma multiple menunjukkan parapotein yang abnormal pada region globulin γ dengan penurunan kadar dasar globulin β dan γ. Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma meningkat, lebih dari 10% dan biasanya 30%, seiring dengan bentuk abnormal- sel mieloma. Pengujian imunologis menunjukan sifat sel ini adalah monoklonal serum. Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (20%) (Syahrir, 2010).

15 Gambar 6. Sum-sum tulang pada mieloma multiple menunjukkan sejumlah besar sel plasma, dengan banyak bentuk abnormal. Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur patologis dapat saja terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20% pasien (Syahrir, 2010). Gambar 7. Rotgen tengkorak pada mieloma multiple menunjukkan banyak lesi lubang. Adapun secara terperinci dalam pemeriksaan penunjang dari Multiple Mieloma untuk proses penegakan diagnosisnya adalah sebagai berikut : - Adanya anemia normositik atau makrositik. Pembentukan rouleaux menonjol pada sebagian kasus. Neutropenia dan trombositopenia

16 ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal nampak pada filamen darah dari 15% pasien dan perubahan leuko-eritroblastik kadang kadang terlihat. - Laju endapan eritrosit / LED tinggisering > 100 mm/jam. - Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien. Terdapat fosfatase lindi serum normal, kecuali terjadi fraktor patologis. - Urea darah meninggi diatas 14 mmol/l dan kreatinin serum akan meningkat pada 20% kasus. Deposit berpotein dari proteinuria Bence- Jones, hiperkalsemia, asam urat, amiloid, dan pielonefritis semuanya dapat memperberat daya kerja dari ginjal. - Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit lanjut. - CRP merupakan pertanda dari IL-6 yaitu faktor pertumbuhan dari mieloma multipel. - β-2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mieloma multipel. Seringkali meningkat dan kadar yang lebih tinggi berhubungan dengan prognosis lebih buruk. - Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 (sel T helper limfosit) dan peningkatan CD8 (sel T suspensor limfosit). - Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma > 10%, seringkali dengan banyak inti dan bentuk abnormal lainnya. - Paraprotein terdiri dari dari IgG 70% ; IgA 20% ; IgM tidak sering ; IgD dan IgE jarang. - Foto rontagen, CT scan, atau MRI memperlihatkan lesi litik yang biasanya terdapat pada tengkorak dan skeleton aksial dan/atau osteoporosis, sering dengan fraktur patologis. kadang kadang, pasien memiliki deposit sel plasma lokalisata, biasanya pada skeleton aksial (plasmasitoma multipel atau soliter). - Data prognostik meliputi kadar hemoglobin, kadar β 2 M dalam serum, kreatinin serum, dan luasnya penyakit skeletal (Mehta, 2008). c. Sistem derajat multiple myeloma

17 Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu Salmon Durie system yang telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging System yang dikembangkan oleh the International Myeloma Working Group dan diperkenalkan pada tahun Salmon Durie staging : a) Stadium I Level hemoglobin lebih dari 10 g/dl Level kalsium kurang dari 12 mg/dl Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dl, IgA < 3 g/dl, urine < 4g/24 jam) b) Stadium II Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun stadium III c) Stadium III Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dl Level kalsium lebih dari 12 g/dl Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dl, IgA > 5 g/dl, urine > 12 g/24 jam) d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dl e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl International Staging System untuk multiple myeloma a) Stadium I β2 mikroglobulin 3,5 g/dl dan albumin 3,5 g/dl CRP 4,0 mg/dl Plasma cell labeling index < 1%

18 Tidak ditemukan delesi kromosom 13 Serum Il-6 reseptor rendah durasi yang panjang dari awal fase plateau b) Stadium II Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dl, atau Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dl c) Stadium III Beta-2 microglobulin >5.5 g/dl F. Pencitraan Radiologi multiple myeloma Peran pencitraan radiologi di multiple myeloma pada dasarnya berguna dalam pementasan awal penyakit, deteksi dan karakteristik komplikasi, dan dalam evaluasi respon pasien terhadap pengobatan. Lesi destruktif tulang ditunjukkan oleh teknik pencitraan myeloma disebabkan oleh myeloma cell mediated meningkatkan kerusakan osteoklas mediated dan menghambat osteoblast mediated anabolisme tulang. Sel-sel myeloma mengikatkan ke osteoklas langsung dari berbagai molekul adhesi, satu contoh menjadi molekul adhesi sel vaskuler-1 (VCAM-1), dengan stimulasi resultan osteoklastogenesis. Efek dari sel-sel myeloma pada etenuasi aktivitas osteoblastik dapat dijelaskan, untuk sebagian besar, dengan menghambat diferensiasi osteoblastik menjadi osteoblas dewasa. Jalur utama yang terlibat dalam penghambatan osteoblastogenesis adalah melalui kontak sel-sel langsung antara sel-sel batang mesenchymal (MSC) dan sel-sel myeloma. Adhesi dari kedua entitas melalui VCAM-1 dan hasil very late antigen-4 (VLA-4) dalam reduksi ekspresi faktor 2 (Runx2) transkripsi, faktor penting yang terlibat dalam osteoblas transkripsi. Kedua, sel-sel myeloma mengeluarkan faktorfaktor yang menghambat diferensiasi osteoblas, seperti Dickkopf 1 (DKK-1),

19 tumor necrosis factor alpha (TNF-α), larut frizzled terkait protein-2 (sfrp-2), dan Activin A. DKK -1 dan sfrp-2 bertindak dengan menghambat jalur Wnt, jalur yang memainkan peran penting dalam pematangan osteoblastik. Sebuah survei kerangka lengkap mencakup pandangan frontal dan lateral tengkorak, tulang belakang leher, dada dan pinggang, pandangan coned-down frontal dari sarang sumbu, serta pandangan frontal tulang rusuk, humeri, femora, lutut, dan panggul. Ada hubungan yang jelas antara tingkat penyakit, dalam hal jumlah lesi litik pada presentasi, dan beban tumor pada diagnosis. Hampir 80% pasien dengan multiple myeloma akan memiliki bukti radiologi keterlibatan tulang pada survei kerangka paling sering mempengaruhi situs-situs berikut: vertebra di 66%, tulang rusuk di 45%, tengkorak di 40%, bahu 40%, panggul 30%, dan tulang panjang di 25%. Radiografi polos memiliki keuntungan atas MRI dalam mendeteksi lesi tulang kortikal. Ini juga memiliki keuntungan menjadi tersedia secara universal, dan relatif murah 1. Gambaran foto polos X-ray Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi multiple, berbatas tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga medulla, mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.pada foto polos memperlihatkan gambaran : - Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan

20 myeloma. Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai. - Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan osteoprosis senilis. - Lesi-lesi litik punch ou: yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping. - Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks, menghasilkan massa jaringan lunak. Gambar 8. Foto rontgen lateral kepala: lesi litik difus atau pepper pot skull apperance.

21 Gambar 9. AP radiografi kanan humerus: lesi litik difus humerus kanan (arrowed) dengan fraktur patologis distal diaphysis lama (panah) Gambar 10. Foto lumbal lateral menggambarkan deformitas pada CV lumbal 4 akibat plasmacytoma

22 Gambar 11. Gambaran radiologi pada os femur dekstra. Tampak gambaran khas suatu lesi myeloma tunggal berupa gambaran lusen berbatas tegas pada regio interocanter. Lesi-lesi lebih kecil tampak pada trocanter mayor Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%, tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%. Salah satu kelemahan utama radiografi polos adalah tingkat yang tinggi palsu-negatif 30-70%, yang mengarah ke kesalahan penilaian signifikan dalam diagnosis dan penentuan stadium pasien dengan multiple myeloma. Keterlibatan sumsum tulang difus, yang mungkin atau mungkin tidak terkait dengan kerusakan tulang kortikal, tidak dievaluasi menggunakan radiografi konvensional. Lesi litik menjadi jelas pada radiografi konvensional saat 30-50% dari kepadatan mineral tulang sudah hilang. Selanjutnya, osteopenia difus sebagai akibat dari multiple myeloma tidak dapat dibedakan pada

23 radiografi polos dari penyebab umum lebih osteopenia, seperti pikun dan osteoporosis postmenopause. Sebuah kelemahan praktis radiografi polos adalah bahwa posisi bervariasi diperlukan untuk film radiografi, yang menyakitkan bagi pasien yang sering tua dan cacat akibat fraktur patologis sebelumnya. 2. CT-Scan CT adalah modalitas pencitraan sensitif dalam mendeteksi efek osteolitik dari multiple myeloma dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan foto polos dalam mendeteksi lesi litik kecil. Temuan CT di multiple myeloma terdiri dari penekanan pada lesi litik, perluasan lesi dengan massa jaringan lunak, osteopenia difus, patah tulang, dan yang jarang ditemuakn osteosclerosis. Multi-detektor CT lebih unggul radiografi konvensional untuk mendefinisikan lesi litik dan, dalam kombinasi dengan pencitraan MR, dibantu dalam pementasan luasnya penyakit. CT memungkinkan evaluasi yang lebih akurat dari daerah beresiko patah tulang daripada MR pencitraan. CT dapat digunakan dalam mengidentifikasi kerusakan tulang dalam kasus di mana MR adalah negatif, dan karenanya dapat memberikan informasi pencitraan komplementer. CT memiliki keuntungan akurat menunjukkan keberadaan dan penyebaran lesi extraosseous dan merupakan alat pilihan yang digunakan dalam pencitraan baku tulang belakang atau panggul biopsi tulang MR pencitraan didefinisikan lesi fokal.

24 Gambar 12. CT-Scan axial panggul: difus myeloma melibatkan sakrum dan tulang iliaka bilateral, dengan kerusakan korteks tulang iliaka kiri (panah). 3. Pencitraan MRI MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit myeloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2. 8,9,15 Sayangnya, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple myeloma seperti pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang. 9

25 Gambar 13. Foto potongan koronal T1 weighted-mri pada suatu lesi myeloma di humerus. Gambaran ini menunjukkan lesi dengan intensitas rendah. Batas korteks luar terkikis tetapi intak ; namun, lesi telah melewati korteks bagian dalam Gambar 13. T1 weighted-mri dari humerus. Gambaran ini memperlihatkan lesi myelomatosa yang predominan hipointens hingga isointens pada medulla dari diafisis. Lesi tampak pada aspek anterior korteks.(dikutip dari kepustakaan 9)

26 G. Diagnosis Banding Multiple Mieloma Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium, termasuk trias berikut Protein M serum atau urin (99% kasus) Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang Lesi osteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang. Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma berupa MGUS, smoldering myeloma, amiloidosis primer, dan metastasis karsinoma. Perbedaan pasien MGUS (benign monoclonal gammanophaty) dengan pasien yang mengalami MM sulit bila pada awalnya ditemukan protein M. pada pasien asimtomatik, protein M < 3g/dL, kurang dari 10% plasma sel sumsum tulang, tidak ditemukan lesi osteolitik, anemia, hiperkalsemia, atau gangguan ginjal merupakan ciri dari MGUS. Pada pasien asimptomatik dengan nilai protein M lebih dari 3 g/dl dan sel plasma sumsum tulang lebih dari 10% sesuai untuk diagnosis smoldering myeloma. Pada pasien asimptomatik dengan protein M lebih dari 3g/dL dan monoclonal light chain pada urine, MM lebih dipertimbangkan. Perbedaan antara amiloidosis dan MM sulit karena keduanya merupakan gangguan proliferative sel plasma dengan gejala-gejala berbeda tetapi gambaran yang tumpang tindih. Pada amiloidosis, proporsi sel plasma sumsum tulang biasanya kurang dari 20%, tidak ditemukan lesi osteolitik, dan jumlah protein bence Johnson sedang. Pada pasien tanpa komponen protein M dalam serum maupun urine, tetapi ditemukan lesi osteolitik, suatu metastase kanker seperti hipernefroma, sebaiknya diekslusi sebelum diagnosis nonsecretory myeloma dipertimbangkan. Pada pasien dengan gejala konstitusional, lesi osteolitik

27 yang tersebar, komponen protein M sedang, dan kurang dari 10% sel plasma sumsum tulang, metastase kanker dengan MGUS harus diekslusi. H. Penatalaksanaan Multiple Mieloma Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib dan lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang bermakna pada myeloma. Lenalidomide, dengan pemberian oral merupakan turunan dari thalidomide. Pada pasien usia tua > 65 tahun, kombinasi obat oral berupa mephalan dan prednison (MP) merupakan standar pengobatan di Eropa. Terdapat dua pilihan obat kombinasi yang direkomendasikan, yaitu melphalan/prednison/thalidomide (MPT)dan bortezomib/melphalan/prednison (VMP). Keduanya dierima oleh European Medicines Agency (EMA). Selain itu, ada sebuah obat kombinasi lain yang digunakan dan diterima oleh EMA, yaitu bendamustine. Bendamustine dapat dijadikan pilihan untuk terapi kombinasi pada pasien multiple myeloma khususnya yang memiliki gejala klinis neuropati. Penggunaan kombinasi lenalidomide dan dexamethasone dosis rendah banyak digunakan di center USA tetapi terapi ini tidak diterima oleh negara-negara di Eropa. Dalam sebuah penelitian disebutkan, untuk pasien dengan klinis yang baik dan berusia < 65 tahun, induksi yang diikuti terapi dosis tinggi transplantasi sel induk autolog (Autologous Stem Cell Transplantation: ASCT) merupakan salah satu standar pengobatan. Tingkat respon terhadap terapi induksi telah meningkat secara signifikan dengan menggunakan kombinasi beberapa agen. Bortezomib-deksametason, (vincristine, adriamycin dan

28 dexamethasone dosis tinggi), telah menjadi pilihan terapi induksi utama sebelum ASCT. Penambahan agen ketiga bersama dengan bortezomibdeksametason, misal thalidomide, doxorubicin, lenalidomide, atau siklofosfamid,telah menunjukkan tingkat respon yang lebih baik di uji coba tahap II. Kombinasi tiga obat termasuk setidaknya bortezomib dan deksametason saat ini merupakan standar perawatan sebelum ASCT. Tiga sampai empat tahapan dianjurkan sebelum melanjutkan proses stem cell tersebut. Melfalan (200 mg / m2 iv) adalah rejimen preparatif standar sebelum ASCT. Progenitor sel darah perifer adalah sumber yang disukai dari pengambilan sel induk, bukan sumsum tulang. Tandem ASCT telah dievaluasi sebelum agen baru lainnya bermunculan. Manfaat tandem ASCT diamati pada pasien yang tidak mencapai respon parsial sangat baik setelah ASCT pertama. Untuk terapi maintenance baik untuk pasien-pasien usia muda maupun usia tua, kombinasi obat-obatan sistemik diatas tidak dianjurkan. Evaluasi Respon Pengobatan Hitung darah lengkap, serum dan urin elektroforesis, pemeriksaan kreatinin dan kalsium harus dilakukan setiap 2-3 bulan. Apabila ada keluhan nyeri tulang, harus dilakukan X-ray tulang, MRI atau CT scan untuk mendeteksi adanya lesi tulang baru. Penatalaksanaan kasus relaps Pilihan terapi untuk kasus relaps tergantung pada bebrapa parameter yang meliputi usia, keadaan umum pasien, komorbiditas, tipe MM, efikasi dan toleransi pengobatan sebelumnya, jumlah lini pengobatan utama yang diberikan, pilihan terapi lain yang tersedia, dan jarak waktu pemberian terapi terakhir.

29 EMA telah menyetujui pemberian lenalidomide yang dikombinasikan dengan dexamethason [25-26] dan pemberian bortezomide sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan doxorubicin. Namun demikian, bortezomib banyak digunakan dalam kombinasi dengan deksametason untuk penanganan kasus relaps. Thalidomide dan bendamustine merupakan obat yang efektif dan sering digunakan, namun tidak disetujui oleh EMA. Pada pasien yang masih muda, ASCT yang kedua dapat dipertimbangkan, yaitu bagi pasien yang merespon baik ASCT yang telah dilakukan sebelumnya dan telah mengalami perkembangan survival lebih dari 24 bulan. Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis. Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang. Obat-obatan atau golongan obat lainnya seperti histone-deacetylase inhibitor atau antibodi monoklonal saat ini sedang dikembangkan. Dalam pengaturan penyakit ini, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi penanda molekuler yang dapat memberikan kemajuan dalam pengobatan pribadi.

30 Gambar 14. Pendekatan penatalaksanaan pada pasien baru terdiagnosis multiple myeloma (MM). I. Prognosis Multiple Mieloma Berdasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie System, angka rata-rata pasien bertahan hidup sebagai berikut : 6 Stadium I > 60 bulan Stadium II, 41 bulan Stadium III, 23 bulan

31 Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk. Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International staging system, angka rata-rata pasien bertahan hidup sebagai berikut: 6 stadium I, 62 bulan stadium II, 44 bulan Stadium III, 29 bulan. BAB III KESIMPULAN Multiple myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik atau myeloma aktif. Pada kasus myeloma yang gejalanya muncul secara perlahan atau myeloma inaktif, tidak dianjurkan untuk diberikan terapi segera. Terapi harus segera diberikan pada pasien-pasien dengan myeloma aktif yang memenuhi kriteria CRAB ( hiperkalemi > 11.0 mg/dl, kreatinin >2.0 mg/ml, anemia (Hb < 10 g/dl), lesi tulang aktif).

32 Regimen awal yang paling sering digunakan untuk pengobatan multiple myeloma adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Pada pasien usia tua > 65 tahun, kombinasi obat oral berupa mephalan dan prednison (MP) merupakan standar pengobatan di Eropa. Terdapat dua pilihan obat kombinasi yang direkomendasikan, yaitu melphalan/prednison/thalidomide (MPT) dan bortezomib/melphalan/prednison (VMP). Bendamustine dapat dijadikan pilihan untuk terapi kombinasi pada pasien multiple myeloma khususnya yang memiliki gejala klinis neuropati. Untuk pasien dengan klinis yang baik dan berusia < 65 tahun, induksi yang diikuti terapi dosis tinggi transplantasi sel induk autolog (Autologous Stem Cell Transplantation: ASCT) merupakan salah satu standar pengobatan. Bortezomibdeksametason, (vincristine, adriamycin dan dexamethasone dosis tinggi), telah menjadi pilihan terapi induksi utama sebelum ASCT. Kombinasi tiga obat termasuk setidaknya bortezomib dan deksametason saat ini merupakan standar perawatan sebelum ASCT. Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri pada tulang atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis. Hiperkalsemia dapat diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. Bifosfonat mengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang. Obat-obatan atau golongan obat lainnya seperti histone-deacetylase inhibitor atau antibodi monoklonal saat ini sedang dikembangkan.

33 DAFTAR PUSTAKA 1. Syahrir, Mediarty. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Jakarta: Palumbo,Antonio M.D. and Anderson,Kenneth M.D. Medical Progress Multiple Myeloma. The New England Journal of Medicine, [online]. 2011;364: [cited 2014 Juli 23]. Available from: 3. Wenqi, Jiang. Mieloma Multipel. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: Angtuaco, Edgardo J.C, M.D, et al. Multiple Myeloma: Clinical Review and Diagnostic Imaging. Departement of Radiology and the Myeloma

34 Institute, University of Arkansas, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: 5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Plasma Cell Disorder in Harrison s Principles of Internal Medicine 17 th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. US: Besa, Emmanuel C, M.D. Multiple Myeloma. Medscape Reference, [online] 2011 [cited 2014 Juli 23]. Available from: 7. Baron, Rolland, DDS,PhD. Anatomy and Ultrastructure of Bone Histogenesis, Growth and Remodelling. Endotext The most accesed source endocrinology for Medical Professionals, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: 8. Belch, Andrew R,MD, et al. Multiple Myeloma Patient Handbook. Multiple Myeloma Canada, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: 9. Ki Yap, Dr. Multiple Myeloma. Radiopaedia.org, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: Multiple Myeloma Research. Department of Radiology, College of Medicine, University of Arkansas for Medical Sciences, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: asp 11. Schmaier, Alvin H.,MD, et al. Multiple Myeloma and Plasmacytoma - Hematology for the Medical Student. Lippincott Williams & Wilkins. United States of America: Vickery, Eric, PA-C. Multiple myeloma: Vague symptoms can challenge diagnostic skill. Journal of the American Academy of Physician Assistans, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from:

35 13. Reyna, Rolando. Lytic Lesion in Multiple Myeloma Radiology Teaching Files. MyPACS.net, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: MYELOMA html 14.. Guidelines on the Diagnosis and Management of Multiple Myeloma. UK Myeloma Forum, [online]. [cited 2011 April 5]. Available from: Kumar, Cotran, Robbins. Mieloma Multipel dan Gangguan Sel Plasma Terkait Buku Ajar Patologi Edisi 7, Robbins volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: Brant, William E.,et al. Fundamentals of Diagnostic Radiology 2nd Ed. Lippincott Williams & Wilkins Berquist, Thomas H. Musculoskeletal Imaging Companion. Lippincott Williams & Wilkins Cardiothoracic Pulmonary Imaging Correlation Conference Case of the Week. Virginia Commonwealth University Health System, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: MRI of Multiple Myeloma. Science Photo Library, [online]. [cited 2014 Juli 23]. Available from: Pelayanan Kedokteran Nuklir Diagnostik. Bagian Radiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: Multiple Myeloma PET CT Scan Images. Department of Radiology, College of Medicine, University of Arkansas for Medical Sciences, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: Susworo, dr. Penyebaran Tumor Ganas di Tulang: Aspek Diagnostik dan Terapi. Cermin Dunia Kedokteran, [online] [cited 2014 Juli 23].

36 Available from: GanasdiTulang023. pdf/08penyebarantumorganasditulang023.html 23. Weber, Kristy, MD. Rounds 2: Treatment of Metastatic Bone. The Johns Hopkins Arthritis Center, [online] [cited 2014 Juli 23]. Available from: Moreau, P et al. Multiple myeloma: ESMO Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up Annals of Oncology Advance. 00: 1-5

MULTIPLE MYELOMA ANATOMI

MULTIPLE MYELOMA ANATOMI MULTIPLE MYELOMA PENDAHULUAN Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah

Lebih terperinci

Multiple Myeloma DEFINISI GEJALA. Penyebab & Faktor Risiko

Multiple Myeloma DEFINISI GEJALA. Penyebab & Faktor Risiko Multiple Myeloma DEFINISI Multiple myeloma adalah kanker yang terjadi pada sel plasma, jenis sel darah putih yang dihasilkan dari sumsum tulang. Sel plasma normalnya menghasilkan protein yang disebut antibodi

Lebih terperinci

Patogenesis. Sel MM berinteraksi dengan sel stroma sumsum tulang dan protein matriks ekstraselular. Adhesion-mediated signaling & produksi sitokin

Patogenesis. Sel MM berinteraksi dengan sel stroma sumsum tulang dan protein matriks ekstraselular. Adhesion-mediated signaling & produksi sitokin Patogenesis Sel MM berinteraksi dengan sel stroma sumsum tulang dan protein matriks ekstraselular Adhesion-mediated signaling & produksi sitokin Cytokine-mediated signaling pertumbuhan dan ketahanan sel

Lebih terperinci

1. Epifisis Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder. DEFINISI

1. Epifisis Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder. DEFINISI DEFINISI Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sel plasma imatur dan matur yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang

Lebih terperinci

MULTIPLE MYELOMA. Oleh : Andre Prasetyo Mahesya, S. Ked Assyifa Anindya, S. Ked Pembimbing : Dr. Juspeni Kartika, Sp.

MULTIPLE MYELOMA. Oleh : Andre Prasetyo Mahesya, S. Ked Assyifa Anindya, S. Ked Pembimbing : Dr. Juspeni Kartika, Sp. MULTIPLE MYELOMA Oleh : Andre Prasetyo Mahesya, S. Ked 1018011109 Assyifa Anindya, S. Ked 1018011043 Pembimbing : Dr. Juspeni Kartika, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM RSUD DR.H. ABDUL MOELOEK

Lebih terperinci

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI PENDAHULUAN Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN REFERAT MULTIPEL MIELOMA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN REFERAT MULTIPEL MIELOMA KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Multipel mieloma adalah keganasan pada sel plasma yang membentuk tumor pada sumsum tulang dan menghasilkan antibodi abnormal. Multipel mieloma terjadi 4 kasus per 100000 orang setiap

Lebih terperinci

MULTIPLE MYELOMA PENDAHULUAN

MULTIPLE MYELOMA PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA PENDAHULUAN Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembang biak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi

Lebih terperinci

MULTIPLE MYELOMA (MM)

MULTIPLE MYELOMA (MM) MULTIPLE MYELOMA (MM) PENDAHULUAN Mieloma Multiple atau Multiple Myeloma (MM) adalah penyakit yang timbul karena transformasi ganas bentuk terminal limfosit B, yaitu sel plasma. MM khas memproduksi paraprotein

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA A. DEFINISI Multiple myeloma dikenal juga dengan istilah Plasma cell myeloma, Plasma cell dyscrasia, Plasmacytoma, Plasmacytoma of bone, Plasma cell neoplasm, Extraosseous

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA DI RUANG 27 RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL. Disusun oleh :

LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA DI RUANG 27 RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL. Disusun oleh : LAPORAN PENDAHULUAN MULTIPLE MYELOMA DI RUANG 27 RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL Disusun oleh : Tri Wahyudi Arif B. 201420461011091 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU

Lebih terperinci

MYELOMA MULTIPEL. Oleh: Puga Sharaz Wangi, S. Ked I1A Pembimbing: Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp. PD - KHOM

MYELOMA MULTIPEL. Oleh: Puga Sharaz Wangi, S. Ked I1A Pembimbing: Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp. PD - KHOM Tinjauan Pustaka MYELOMA MULTIPEL Oleh: Puga Sharaz Wangi, S. Ked I1A009032 Pembimbing: Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp. PD - KHOM BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM RSUD ULIN BANJARMASIN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN Myeloma Multipel adalah diskrasia sel plasma neoplasma berasal dari satu klon (monoclonal) sel plasma, manifestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang.

Lebih terperinci

Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Laporan Pendahuluan METASTATIC BONE DISEASE PADA VERTEBRAE Annisa Rahmawati- 1006672150 Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia I. PENDAHULUAN Metastase tulang merupakan penyebaran sel

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Mieloma multipel termasuk dalam kelainan gamopati monoklonal karena berasal dari limfosit yang menghasilkan paraprotein (globulin gamma) yang bersifat monoklonal. Mieloma

Lebih terperinci

Pendahuluan. Epidemiologi

Pendahuluan. Epidemiologi Pendahuluan Multiple myeloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah besar antibodi yang

Lebih terperinci

MULTIPLE MYELOMA. Gambar 1. Anatomi tulang belakang dan sarafnya

MULTIPLE MYELOMA. Gambar 1. Anatomi tulang belakang dan sarafnya MULTIPLE MYELOMA A. ANATOMI Pemahaman dasar tentang anatomi dan fungsi tulang belakang sangat penting untuk pasien dengan gangguan tulang belakang. Kolumna vertebralis orang dewasa terdiri dari 33 vertebra

Lebih terperinci

KEGANASAN HEMATOLOGI PADA ORANG DEWASA

KEGANASAN HEMATOLOGI PADA ORANG DEWASA KEGANASAN HEMATOLOGI PADA ORANG DEWASA Penyakit Mieloproliferatif Suatu penyakit kronik, akibat proliferasi clone sel sumsum tulang,sehingga peningkatan produksi satu atau lebih seri hematopoisis. Terdiri

Lebih terperinci

REFERAT MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) VERSUS MDCT (MULTIDETECTOR COMPUTERIZED TOMOGRAPHY) DALAM DETEKSI DAN PENENTUAN STADIUM MULTIPLE MYELOMA

REFERAT MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) VERSUS MDCT (MULTIDETECTOR COMPUTERIZED TOMOGRAPHY) DALAM DETEKSI DAN PENENTUAN STADIUM MULTIPLE MYELOMA REFERAT MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) VERSUS MDCT (MULTIDETECTOR COMPUTERIZED TOMOGRAPHY) DALAM DETEKSI DAN PENENTUAN STADIUM MULTIPLE MYELOMA Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Multiple mieloma (mielomatosis) adalah tumor sel plasma yang ditandai proliferasi salah satu jenis limfosit B dan sel sel plasma yang berasal dari limfosit tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sekitar 5%-10% dari seluruh kunjungan di Instalasi Rawat Darurat bagian pediatri merupakan kasus nyeri akut abdomen, sepertiga kasus yang dicurigai apendisitis didiagnosis

Lebih terperinci

OSTEOPOROSIS DEFINISI

OSTEOPOROSIS DEFINISI OSTEOPOROSIS DEFINISI Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit

Lebih terperinci

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA. pada jaringan lunak yang mendukung, mengelilingi, dan melindungi organ tubuh.

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA. pada jaringan lunak yang mendukung, mengelilingi, dan melindungi organ tubuh. BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI, KLASIFIKASI, DAN STADIUM EWING S SARCOMA Sarcoma adalah suatu tipe kanker yang jarang terjadi dimana penyakit ini berkembang pada struktur pendukung tubuh. Ada 2 jenis dari sarcoma,

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN MIELOMA MULTIPEL DI RSUP SANGLAH PADA TAHUN

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN MIELOMA MULTIPEL DI RSUP SANGLAH PADA TAHUN ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PASIEN MIELOMA MULTIPEL DI RSUP SANGLAH PADA TAHUN 2014-2015 Mieloma multipel adalah keganasan sel plasma dalam sumsum tulang khas disertai lesi osteolitik dan terdapat protein

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai stadium lanjut dan mempunyai prognosis yang jelek. 1,2 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Osteosarkoma adalah keganasan pada tulang yang sering dijumpai pada anak-anak dan dewasa. Ketepatan diagnosis pada keganasan tulang sangat penting karena

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.

Author : Liza Novita, S. Ked. Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau Doctor s Files: (http://www.doctors-filez. Author : Liza Novita, S. Ked Faculty of Medicine University of Riau Pekanbaru, Riau 2009 0 Doctor s Files: (http://www.doctors-filez.tk GLOMERULONEFRITIS AKUT DEFINISI Glomerulonefritis Akut (Glomerulonefritis

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan infeksi bakteri sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dijumpai di berbagai negara berkembang terutama di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom nefrotik (SN, Nephrotic Syndrome) merupakan salah satu penyakit ginjal terbanyak yang sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang pada tahap awal belum

BAB I PENDAHULUAN. Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang pada tahap awal belum BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang pada tahap awal belum memberikan gejala-gejala yang diketahui (asymtomatic disease). Osteoporosis baru diketahui ada apabila

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor

LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor LAPORAN PENDAHULUAN Soft Tissue Tumor A. DEFINISI Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ tubuh bagian dalam. Yang tergolong jaringan lunak antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sebuah clone dari sel plasma yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan menghasilkan sejumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang. mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker Ovarium Epitel (KEO) merupakan kanker ginekologi yang mematikan. Dari seluruh kanker ovarium, secara histopatologi dijumpai 85-90% adalah kanker ovarium epitel.

Lebih terperinci

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma

NEOPLASMA TULANG. Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma NEOPLASMA TULANG Neoplasma : Berasal dari Tulang : Jinak : Osteoma, Osteoid osteoma, osteoblastoma Ganas : Osteosarkoma, parosteal osteosarkoma Berasal dari Tulang rawan : Jinak : Kondroma, Osteokondroma,

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. Tanda dan Gejala

Tinjauan Pustaka. Tanda dan Gejala Tinjauan Pustaka A. Pendahuluan Insiden dari metastasi tulang menempati urutan kedua setelah metastase ke paru-paru dan hati. Frekuensi paling sering pada tulang adalah metastase ke kolumna vertebra. Di

Lebih terperinci

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid.

BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID. termasuk untuk penyakit kanker kepala dan leher seperti karsinoma tiroid. BAB 2 RADIOTERAPI KARSINOMA TIROID Dalam dunia medis, radioterapi sudah menjadi perawatan yang sangat umum digunakan. Penggunaannya pun dilakukan untuk berbagai macam penyakit kanker termasuk untuk penyakit

Lebih terperinci

Gambaran Kepadatan Tulang Wanita Menopause Pada Kelompok X di Bandung

Gambaran Kepadatan Tulang Wanita Menopause Pada Kelompok X di Bandung Gambaran Kepadatan Tulang Wanita Menopause Pada Kelompok X di Bandung Adam BH Darmawan, Slamet Santosa Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha, Bandung. Abstrak Osteoporosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di Indonesia. Jumlah usia lanjut di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA)

BAB I PENDAHULUAN. Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anemia hemolitik otoimun (autoimmune hemolytic anemia /AIHA) merupakan salah satu penyakit otoimun di bagian hematologi. AIHA tergolong penyakit yang jarang, akan

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK ETIOLOGI Kadar hormon tiroid dan paratiroid yang berlebihan dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dalam jumlah yang lebih banyak. Obat-obat golongan steroid pun dapat mengakibatkan hilangnya kalsium dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN

DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK. Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN DETEKSI DINI DAN PENCEGAHAN PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK Oleh: Yuyun Rindiastuti Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic

Lebih terperinci

MATURASI SEL LIMFOSIT

MATURASI SEL LIMFOSIT BAB 5 MATURASI SEL LIMFOSIT 5.1. PENDAHULUAN Sintesis antibodi atau imunoglobulin (Igs), dilakukan oleh sel B. Respon imun humoral terhadap antigen asing, digambarkan dengan tipe imunoglobulin yang diproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma payudara merupakan penyakit keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan penyebab kematian terbanyak. Pengobatannya sangat tergantung dari stadium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. rawat inap di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga. kanker payudara positif dan di duga kanker payudara. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Kota Salatiga pada bulan Desember 2012 - Februari 2013. Jumlah sampel yang diambil

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

MODUL 3 SKENARIO 3 : HARUSKAH DIAMPUTASI?

MODUL 3 SKENARIO 3 : HARUSKAH DIAMPUTASI? MODUL 3 SKENARIO 3 : HARUSKAH DIAMPUTASI? Osta, 17 tahun, datang ke dokter bersama orang tuanya dengan keluhan timbul benjolan di lutut kanan sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya, Osta sering merasakan

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA Gingiva merupakan bagian dari jaringan periodonsium yang menutupi gigi dan berfungsi sebagai jaringan penyangga gigi. Penyakit periodontal yang paling sering

Lebih terperinci

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi

Tulang Rawan. Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi Tulang Rawan Struktur Dasar, Tipe dan Lokasi Suatu tulang rawan memiliki khondrosit yang tersimpan di dalam ruangan (lacunae) dalam matriks ekstraselular. Tulang rawan mengandung banyak air (menyebabkannya

Lebih terperinci

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang

PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang PETANDA TUMOR (Tumor marker) ELLYZA NASRUL Bagian Patologi Klinik FK Unand/RS.dr.M.Djamil Padang IMUNOLOGI TUMOR INNATE IMMUNITY CELLULAR HUMORAL PHAGOCYTES NK CELLS COMPLEMENT CYTOKINES PHAGOCYTOSIS

Lebih terperinci

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik : anemia makrositik yang ditandai peningkatan ukuran sel darah merah yang

Lebih terperinci

OSTEOARTHRITIS GENU. 1. Definisi

OSTEOARTHRITIS GENU. 1. Definisi OSTEOARTHRITIS GENU 1. Definisi Osteoarthritis (OA) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis disertai kerusakan tulang sendi berupa disintegritas dan perlunakan progesif, diikuti penambahan pertumbuhan

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

Secondary Brain Tumor

Secondary Brain Tumor Secondary Brain Tumor Dr. Nurhayana Lubis Dr. Widi Widowati Dr. Semuel Wagio Dr. Teguh AR, SpS (K) Neuro-Onkologi Dept. Neurologi Mei 2006 Pendahuluan Lokasi yang berbeda dari otak mempunyai fungsi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak dari seluruh penderita kanker dan penyebab kematian keempat dari seluruh kematian pada pasien kanker di dunia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN. sampai bulan sesudah diagnosis (Kurnianda, 2009). kasus baru LMA di seluruh dunia (SEER, 2012). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Leukemia Mieloid Akut (LMA) adalah salah satu kanker darah yang ditandai dengan transformasi ganas dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari

BAB 1 PENDAHULUAN. napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru adalah penyakit keganasan yang berasal dari sel epitel saluran napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari organ lain (tumor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e

BAB I PENDAHULUAN. 1 P a g e BAB I PENDAHULUAN Anemia adalah kondisi medis dimana jumlah sel darah merah atau hemoglobin kurang dari normal. Tingkat normal dari hemoglobin umumnya berbeda pada laki-laki dan wanita-wanita. Untuk laki-laki,

Lebih terperinci

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Limfoma. Lymphoma / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Limfoma Limfoma merupakan kanker pada sistem limfatik. Penyakit ini merupakan kelompok penyakit heterogen dan bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: Limfoma Hodgkin dan limfoma Non-Hodgkin. Limfoma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat

BAB I PENDAHULUAN. Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang. abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker ovarium adalah suatu massa atau jaringan baru yang abnormal yang terbentuk pada jaringan ovarium serta mempunyai sifat dan bentuk berbeda dari sel asalnya.

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang)

Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses Penyembuhan Fraktur (Regenerasi Tulang) Proses penyembuhan suatu fraktur dimulai sejak terjadi fraktur sebagai usaha tubuh untuk memperbaiki kerusakan kerusakan yang dialaminya. Penyembuhan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. maupun ganas atau disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat primer

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. maupun ganas atau disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat primer BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Tumor paru adalah tumor pada jaringan paru yang dapat bersifat jinak maupun ganas atau disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat primer maupun sekunder.

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N

Thalassemia. Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Thalassemia Abdul Muslimin Dwi Lestari Dyah Rasminingsih Eka Widya Yuswadita Fitriani Hurfatul Gina Indah Warini Lailatul Amin N Maiyanti Wahidatunisa Nur Fatkhaturrohmah Nurul Syifa Nurul Fitria Aina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini

BAB I PENDAHULUAN. hidup saat ini yang kurang memperhatikan keseimbangan pola makan. PGK ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penyakit yang cukup banyak terjadi di dunia ini. Jumlah penderita PGK juga semakin meningkat seiring dengan gaya hidup saat ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga terbanyak dan penyebab kematian ketiga yang disebabkan oleh kanker baik secara global maupun di Asia sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik atau yang dikenal juga dengan Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi yang tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis mencapai 15,5%

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia prevalensi OA lutut yang tampak secara radiologis mencapai 15,5% BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif dan salah satu keluhan muskuloskeletal yang sering ditemui, dengan progresifitas yang lambat, bersifat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis,

BAB 1 PENDAHULUAN. mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejumlah penyakit penting dan serius dapat bermanifestasi sebagai ulser di mukosa rongga mulut. Beberapa merupakan penyakit infeksius seperti sifilis, tuberkulosis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ginjal Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga retroperitonium. Secara anatomi ginjal terletak dibelakang abdomen atas dan di kedua sisi kolumna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 4 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM.. i LEMBAR PERSETUJUAN ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iii UCAPAN TERIMAKASIH iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.. v ABSTRAK.. vi ABSTRACT... vii RINGKASAN.. viii

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang bagian paru, namun tak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kanker yang sering terjadi pada anak adalah leukemia, mencapai

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit kanker yang sering terjadi pada anak adalah leukemia, mencapai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker yang sering terjadi pada anak adalah leukemia, mencapai 30%-40% dari seluruh keganasan. Insidens leukemia mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun (Permono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karsinoma nasofarings (KNF) merupakan keganasan yang menyerang daerah kepala leher dan paling sering ditemukan di Indonesia dan sampai saat ini belum diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan secara herediter. Centre of Disease Control (CDC) melaporkan bahwa thalassemia sering dijumpai pada populasi

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara

BAB I PENDAHULUAN. buruk, dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. 1 Jumlah pasien PGK secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk, dan memerlukan biaya

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci