Copyright 2017 Nimas Aksan Impian Demian Penulis: Nimas Aksan Editor: Dion Rahman Penata sampul dan ilustrasi: Ulayya Nasution.

Transkripsi

1

2

3

4 Impian Demian Copyright 2017 Nimas Aksan Impian Demian Penulis: Nimas Aksan Editor: Dion Rahman Penata sampul dan ilustrasi: Ulayya Nasution Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Diterbitkan pertama kali tahun 2017 oleh PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta ISBN: Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

5 Untuk mereka yang berani memperjuangkan impian.

6 1 Suddenly Graduated

7 BALLROOM hotel berbintang yang menjadi lokasi acara wisuda Universitas Teknik Bandung ini disesaki manusia berisik yang berkeliaran ke sana kemari. Aku tak habis pikir, untuk apa sih semua ini? Tuksedo warna hitam, cokelat tua, putih, atau abu-abu silver nggak jelas seperti yang kupakai, dan kebaya-kebaya modern aneka warna yang dipadukan sanggul dan make up paling kekinian yang akhirnya akan tertutup oleh toga hitam yang modelnya begitu-begitu saja. Untuk apa? Apa cuma aku satu-satunya manusia di sini yang mempertanyakan fungsinya dengan serius? Atau memang sulit menemukan orang yang berpikiran kritis akhir-akhir ini? Rio bilang aku hanya sinis. Yah, Rio. Sahabatku sejak semester pertama di kampus ini. Udah siap, Man? tegurnya sambil menepuk bahuku. Aku mengamati penampilannya. Kemeja batik lengan pendek yang agak pas badan dengan motif Mega Mendung warna biru keunguan. Itu belum cukup istimewa kalau di sebelahnya nggak ada Dewi yang cengengesan dalam kebaya kutu baru warna ungu dan kain batik yang seragaman dengan Rio. Kalian ngapain pake batik kembaran? Mau kon dangan? Aku mengangkat sebelah alis. Itu keahlianku yang agak sedikit kubanggakan. Alisku bisa terangkat se belah kalau aku sedang yah, kapan pun aku mau mela ku kannya. Keren, kan? Dewi memukulkan tas tangannya yang kecil tapi lumayan berat karena terbuat dari mungkin setengah besi dan penuh mute perak ke lenganku. Bagaimanapun kami harus tampil spesial demi lo, Demian! Dengan batik kembaran? Aku masih merasa aneh melihat mereka. 2

8 Udah sana ke tempat duduk wisudawan! Dewi me me - lo totiku. Astaga, dia bahkan bukan nyokap beneran, lho! Mereka berdua kan cuma kebetulan aku minta tolong untuk meng hadiri undangan wisudaku yang seharusnya untuk sepasang orangtua. Gue sama Rio harus buru-buru nyari tempat duduk supaya bisa dapet di depan. Gue mau ngerekam lo saat dipanggil ke depan, sambung Dewi sambil menarik lengan Rio dengan mesra dan menyeretnya pergi menjauhiku. Sekali lagi dia me noleh dan mengibas-ngibaskan tangannya ke arahku, menyuruhku beranjak ke tempat duduk para wisudawan. Sialan. Sejak dua teman terdekatku itu jadian, mereka men - dadak nggak asyik lagi. Kadang-kadang, mereka memperlakukan aku seolah aku anak semata wayang mereka. Sialnya, mereka sudah lebih dulu wisuda dua tahun lalu. Jadi impian wisuda bertiga yang kami jaga sejak semester satu, kandas di pihakku. Bukan karena aku tak mampu wisuda bareng mereka maaf, kalau mau mengukur kemam puan otak, jelas aku di atas mereka tapi karena aku tak mau saja. Tidak bisa dengan tidak mau itu dua per kara berbeda, dan aku punya alasan kuat kenapa aku tak mau cepat-cepat wisuda. Tapi sisi bagusnya, hari ini mereka jadi bisa kuandalkan untuk mewakili keluarga meng hadiri acara wisuda brengsek ini. Memangnya, siapa lagi yang bisa kuandalkan? Kalau tiga bulan lalu dia tidak meninggal dunia karena kecelakaan mobil dahsyat di Brexit sepulang dari Yogyakarta, mungkin dia yang akan menghadiri wisudaku. Tapi mungkin juga tidak. Mungkin aku akan tetap lebih suka 3

9 meminta Rio dan Dewi yang datang. Definitely, I will never asked him to come. To stand by me on my one and maybe only important time in my life. Memangnya ngajak bercanda apa? Syukurlah dia telah pergi. Kepergian mendadak yang membuatku tak tahu bagaimana cara menutupi ketidaksedihanku. Aku tak pantas merayakan kepergiannya. Tapi juga aku sejujurnya mensyukuri ketiadaannya. Aku berjalan seraya menyeret toga yang hanya akan ku pakai sekali seumur hidup ini dengan perlahan menuju deretan kursi wisudawan. Merasa sudah mirip seperti Harry Potter saat pertama kali melangkah di aula Hogwart menuju topi seleksi. CHEERS! teriak Dewi sambil memelukku dan Rio sekaligus dengan kedua tangannya. Juru foto profesional yang sengaja berdatangan setiap ada momen wisuda menjepretkan cahaya blitz berkali-kali ke wajahku. Udah, ah. Foto mulu. Lagian kita foto bertigaan doang, gayanya gitu-gitu aja. Ngapain sih ambil banyak-banyak? gerutuku. Sekali lagi Dewi mengemplang lenganku dengan tas tangannya, dan segera saja kebiasaan itu sekarang sudah menjadi salah satu hal paling kubenci dalam hidup ini. Mungkin jadi daftar lima teratas. Ini hari bersejarah, Yan! Lo harusnya seneng dong, jangan ngomeeel mulu dari pagi! semprotnya, menyusul pukulan tas tangannya barusan. 4

10 Tentang Penulis PENULIS adalah ibu rumah tangga merangkap pebisnis musiman asal kota Cirebon yang lahir tanggal 31 Juli, tahunnya rahasia (khas ibu-ibu banget ngumpetin tahun lahir). Hobi menulis sejak SMP, tapi baru berani memublikasikan karya di beberapa majalah terkenal seperti Femina, Gadis, Sekar, Story dan Kartini, mulai tahun Impian Demian adalah novel solo keduanya setelah Janji Es Krim yang terbit tahun 2012 (sepayah itu memang jeda waktunya). Penulis yang fanatik pada karya-karya JK Rowling, Sophie Kinsella, Jonathan Stroud dan Andrea Hirata ini juga sangat hobi makan sup iga sapi, rendang nasi padang, nasi jamblang, kebab, dan entah mengapa kita jadi ngomongin makanan. Novel ini menjadi debut kembalinya sebagai penulis. Tepatnya, sebagai penulis yang selalu ceria, optimis dan lumayan manis, katanya.