PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER)"

Transkripsi

1 BDE 06 = PERENCANAAN OPRIT (JALAN PENDEKAT), BANGUNAN PELENGKAP DAN PENGAMAN JEMBATAN Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA Judul : Merencanakan Oprit (Jalan Pendekat), Bangunan PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER) 2007 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN SUMBER DAYA MANUSIA PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI

2 KATA PENGANTAR Pengembangan Sumber Daya Manusia di bidang Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sesuai bidang kerjanya, agar mereka mampu berkompetisi dalam memperebutkan pasar kerja. Berbagai upaya dapat ditempuh, baik melalui pendidikan formal, pelatihan secara berjenjang sampai pada tingkat pemagangan di lokasi proyek atau kombinasi antara pelatihan dan pemagangan, sehingga tenaga kerja mampu mewujudkan standar kinerja yang dipersyaratkan ditempat kerja. Untuk meningkatkan kompetensi tersebut, Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi yang merupakan salah satu institusi pemerintah yang ditugasi untuk melakukan pembinaan kompetensi, secara bertahap menyusun standar-standar kompetensi kerja yang diperlukan oleh masyarakat jasa konstruksi. Kegiatan penyediaan kompetensi kerja tersebut dimulai dengan analisa kompetensi dalam rangka menyusun suatu standar kompetensi kerja yang dapat digunakan untuk mengukur kompetensi tenaga kerja di bidang Jasa Konstruksi yang bertugas sesuai jabatan kerjanya sebagaimana dituntut dalam Undang-Undang No. 18 tahun 1999, tentang Jasa Konstruksi dan peraturan pelaksanaannya. Sebagai alat untuk mengukur kompetensi tersebut, disusun dan dibakukan dalam bentuk SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) yang unit-unit kompetensinya dikembangkan berdasarkan pola RMCS (Regional Model Competency Standard). Dari standar kompetensi tersebut, pengembangan dilanjutkan menyusun Standar Latih Kompetensi, Materi Uji Kompetensi, serta Materi Pelatihan yang berbasis kompetensi. Modul / Materi Pelatihan BDE 06 /, merepresentasikan unit kompetensi: Merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan, dengan elemen-elemen kompetensi terdiri dari : 1. Merencanakan oprit (jalan pendekat) jembatan. 2. Merencanakan bangunan pelengkap jembatan. 3. Merencanakan bangunan pengaman jembatan. i

3 Uraian penjelasan bab per bab dan pencakupan materi latih ini merupakan representasi dari elemen-elemen kompetensi tersebut, sedangkan setiap elemen kompetensi dianalisis kriteria unjuk kerjanya sehingga materi latih ini secara keseluruhan merupakan penjelasan dan penjabaran dari setiap kriteria unjuk kerja untuk menjawab tuntutan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dipersyaratkan pada indikator-indikator kinerja/ keberhasilan yang diinginkan dari setiap KUK (Kriteria Unjuk Kerja) dari masing-masing elemen kompetensinya. Modul ini merupakan salah satu sarana dasar yang digunakan dalam pelatihan sebagai upaya meningkatkan kompetensi seorang pemangku jabatan kerja seperti tersebut diatas, sehingga masih diperlukan materi-materi lainnya untuk mencapai kompetensi yang dipersyaratkan setiap jabatan kerja. Disisi lain, modul ini sudah barang tentu masih terdapat kekurangan dan keterbatasan, sehingga diperlukan adanya perbaikan disana-sini dan kepada semua pihak kiranya kami mohon sumbangan saran demi penyempurnaan kedepan. Jakarta, Oktober 2007 KEPALA PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI Ir. DJOKO SUBARKAH, Dipl.HE NIP. : ii

4 PRAKATA Modul ini berisi uraian tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang Ahli Perencanaan Teknis Jembatan (Bridge Design Engineer) dalam pekerjaan perencanaan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan. Oprit jembatan merupakan segmen jalan yang menghubungkan jalan raya dengan jembatan. Fungsi menghubungkan mengandung pengertian bahwa oprit secara geometri harus memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan yang akan pindah dari trase jalan raya ke trase jembatan. Bangunan pelengkap jembatan terdiri atas railing (sandaran), guard rail dan parapet jembatan. Sandaran pada umumnya dibuat di pabrik dari bahan baja rol dengan tegangan leleh 2800 kg/cm 2 memenuhi AASHTO M Guard rail adalah bangunan pengaman setengah kaku dari baja dengan bentuk menyerupai huruf W, dipasang pada tepi oprit untuk melengkapi perencanaan oprit jembatan. Sedangkan parapet jembatan adalah bangunan pengaman yang cukup kaku dipasang pada ujung-ujung kiri kanan jembatan, selain berfungsi sebagai bangunan pengaman juga berfungsi sebagai pelengkap jembatan Jadi yang dimaksud dengan bangunan pelengkap jembatan di sini adalah bangunan-bangunan pengaman yang harus dibuat untuk melengkapi perencanaan jembatan. Bangunan pengaman jembatan terdiri atas fender, bronjong dan rambu-rambu pengaman jembatan. Fender merupakan bangunan pengaman pilar di sungai, bisa berupa fender kayu, fender karet, fender beton, fender baja, fender dolfin (struktur sel sirkular), fender pulau atau fender terapung. Bronjong, maksudnya adalah penyediaan baik batu maupun pasangan batu kosong yang diisikan ke dalam bronjong kawat (gabion) untuk pengamanan bangunan bawah jembatan. Sedangkan perencanaan rambu-rambu pengaman jembatan dimaksudkan untuk mengarahkan pengendara kendaraan bermotor untuk berperilaku tertib dalam memasuki wilayah jembatan agar tidak mengganggu pengendara kendaraan bermotor lainnya maupun pejalan kaki. Kami menyadari bahwa modul ini masih jauh dari sempurna baik ditinjau dari segi materi, sistematika penulisan maupun tata bahasanya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para peserta dan pembaca semua, dalam rangka penyempurnaan modul ini. Demikian modul ini dipersiapkan untuk membekali seorang AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (Bridge Design Engineer) dengan pengetahuan yang berkaitan; mudahmudahan modul ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya. Jakarta, Oktober 2007 Penyusun iii

5 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PRAKATA... iii DAFTAR ISI... iv SPESIFIKASI PELATIHAN... vii A. Tujuan Pelatihan... vii B. Tujuan Pembelajaran... vii PANDUAN PEMBELAJARAN... viii A. Kualifikasi Pengajar/Instruktur... viii B. Penjelasan Singkat Modul... viii C. Proses Pembelajaran... ix BAB 1 PENDAHULUAN UMUM RINGKASAN MODUL BATASAN / RENTANG VARIABEL Batasan/Rentang Variabel Unit Kompetensi Batasan Rentang variabel Pelaksanaan Pelatihan PANDUAN PENILAIAN Acuan Penilaian Kualifikasi Penilai Penilaian Mandiri SUMBER DAYA PEMBELAJARAN BAB 2 PERENCANAAN OPRIT (JALAN PENDEKAT) JEMBATAN Umum Perencanaan Geometri Oprit Jembatan Kecepatan Rencana Alinyemen Horizontal Alinyemen Vertikal Koordinasi Alinyemen iv

6 2.3 Perencanaan Timbunan Oprit Jembatan Tanah Dasar di Bawah Timbunan Oprit Perencanaan Pekerjaan Timbunan Oprit Perencanaan Perkerasan Oprit Jembatan Standar Acuan Tipe Perkerasan Pemilihan Jenis Bahan Material Tanah Umur Rencana Parameter Desain Perkerasan Perencanaan Dinding Penahan Tanah Oprit Jembatan Tipe-tipe Dinding Penahan Tanah Pemilihan Tipe Dinding Penahan Tanah Perencanaan Dinding Penahan Tanah Contoh Kasus Penerapan Soal Jawaban RANGKUMAN LATIHAN / PENILAIAN MANDIRI BAB 3 PERENCANAAN BANGUNAN PELENGKAP JEMBATAN Umum Perencanaan Sandaran Bangunan Atas Jembatan Perencanaan Pembebanan Untuk Sandaran Persyaratan Bahan Untuk Penyediaan Sandaran Standar Rujukan Penyediaan Sandaran Toleransi Pemasangan Sandaran Penyediaan dan Pemasangan Sandaran Rencana Pengendalian Mutu Perencanaan Guard Rail Pada Oprit Jembatan Persyaratan Bahan Guard Rail Pemasangan Guard Rail Rencana Pengendalian Mutu Perencanaan Parapet Jembatan Perencanaan Pembebanan Perencanaan Parapet Persyaratan Bahan Parapet v

7 3.4.3 Standar Rujukan Bahan Parapet Toleransi Pembuatan Parapet Rencana Pelaksanaan Pembuatan Parapet Rencana Pengendalian Mutu Perencanaan Pipa Cucuran Untuk Drainase Lantai Jembatan Persyaratan Bahan Pipa Cucuran Standar Rujukan Penyediaan Pipa Cucuran Rencana Pelaksanaan Pemasangan Pipa Cucuran Rencana Pengendalian Mutu RANGKUMAN LATIHAN / PENILAIAN MANDIRI BAB 4 PERENCANAAN BANGUNAN PENGAMAN JEMBATAN Umum Perencanaan Fender Prinsip Perencanaan Fender Data Lalu Lintas Kapal Klasifikasi Kapal Desain Sistem Fender Perencanaan Bronjong Persyaratan Bahan Bronjong Standar Rujukan Penyediaan Bronjong Toleransi Pemasangan Bronjong Penempatan Bronjong Rencana Pengendalian Mutu Rambu-rambu Pengaman Jembatan Rambu Lalu Lintas Marka Jalan RANGKUMAN LATIHAN / PENILAIAN MANDIRI LAMPIRAN : KUNCI JAWABAN PENILAIAN MANDIRI DAFTAR PUSTAKA vi

8 SPESIFIKASI PELATIHAN A. Tujuan Pelatihan Tujuan Umum Pelatihan Setelah selesai mengikuti pelatihan peserta diharapkan mampu : Melaksanakan pekerjaan perencanaan teknis jembatan berdasarkan standar perencanaan jembatan jalan raya yang berlaku. Tujuan Khusus Pelatihan Setelah selesai mengikuti pelatihan peserta mampu : 1. Menerapkan ketentuan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK). 2. Melakukan koordinasi untuk pengumpulan dan penggunaan data teknis. 3. Merencanakan dan menerapkan standar-standar perencanaan teknis bangunan atas jembatan. 4. Merencanakan bangunan bawah jembatan. 5. Merencanakan pondasi jembatan. 6. Merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan. 7. Membuat laporan perencanaan teknis jembatan. B. Tujuan Pembelajaran dan Kriteria Penilaian Seri / Judul Modul : BDE 06 /, merepresentasikan unit kompetensi: Merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan.. Tujuan Pembelajaran Setelah modul ini dibahas diharapkan peserta : Mampu merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan.. Kriteria Penilaian 1. Kemampuan dalam merencanakan oprit jembatan. 2. Kemampuan dalam merencanakan bangunan pelengkap jembatan. 3. Kemampuan dalam merencanakan bangunan pengaman jembatan. vii

9 PANDUAN PEMBELAJARAN A. Kualifikasi Pengajar / Instruktur Instruktur harus mampu mengajar, dibuktikan dengan sertifikat TOT (Training of Trainer) atau sejenisnya. Menguasai substansi teknis yang diajarkan secara mendalam. Konsisten mengacu SKKNI dan SLK Pembelajaran modul-modulnya disertai dengan inovasi dan improvisasi yang relevan dengan metodologi yang tepat. B. Penjelasan Singkat Modul Modul-modul yang dibahas di dalam program pelatihan ini terdiri dari: No. Kode Judul Modul 1. BDE 01 UUJK, Sistem Manajemen K3 dan Sistem Manajemen Lingkungan 2. BDE 02 Koordinasi Pengumpulan dan Penggunaan Data Teknis 3. BDE 03 Perencanaan Bangunan Atas Jembatan 4. BDE 04 Perencanaan Bangunan Bawah Jembatan 5. BDE 05 Perencanaan Pondasi Jembatan 6. BDE BDE 07 Laporan Perencanaan Teknis Jembatan Sedangkan modul yang akan diuraikan adalah: Seri / Judul : BDE 06 / Pelengkap dan Pengamat Jembatan Deksripsi Modul : merupakan salah satu modul yang direncanakan untuk membekali Ahli Perencanaan Teknis Jembatan (Bridge Design Engineer) dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam melakukan perencanaan oprit, bangunan pelengkap dan pengaman jembatan serta mengacu pada ketentuan-ketentuan perencanaan jembatan yang berlaku. viii

10 C. Proses Pembelajaran Kegiatan Instruktur Kegiatan Peserta Pendukung 1. Ceramah Pembukaan : Menjelaskan Tujuan Pembelajaran. Merangsang motivasi peserta dengan pertanyaan atau pengalaman melakukan koordinasi pengumpulan dan penggunaan data teknis. Waktu : 5 menit. 2. Penjelasan Bab 1 : Pendahuluan. Modul ini merepresentasikan unit kompetensi. Umum Ringkasan Modul Koordinasi Batasan/Rentang Variabel Panduan Penilaian Panduan Pembelajaran Waktu : 20 menit. 3. Penjelasan Bab 2 Perencanaan oprit (jalan pendekat) jembatan Umum Perencanaan geometri oprit jembatan Perencanaan timbunan oprit jembatan Perencanaan perkerasan oprit jembatan Perencanaan dinding penahan tanah oprit jembatan Waktu : 85 menit. Mengikuti penjelasan Mengajukan pertanyaan apabila kurang jelas. OHT 1 Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif. Mencatat hal-hal penting. OHT 2 Mengajukan pertanyaan bila perlu. Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif. Mencatat hal-hal penting. Mengajukan pertanyaan bila perlu. OHT 3 ix

11 4. Penjelasan Bab 3 : Perencanaan bangunan pelengkap jembatan Umum Perencanaan sandaran bangunan atas jembatan Perencanaan guard rail pada oprit jembatan Perencanaan parapet jembatan Perencanaan pipa cucuran untuk drainase lantai jembatan Waktu : 30 menit. 5. Penjelasan Bab 4 : Perencanaan bangunan pengaman jembatan Umum Perencanaan fender Perencanaan bronjong Rambu-rambu pengaman jembatan Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif. Mencatat hal-hal penting. Mengajukan pertanyaan bila perlu. Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif. Mencatat hal-hal penting. Mengajukan pertanyaan bila perlu. OHT 4 OHT 5 Waktu : 30 menit. 6. Rangkuman dan Penutup. Rangkuman Tanya jawab. Penutup. Waktu : 10 menit. Mengikuti penjelasan instruktur dengan tekun dan aktif. Mencatat hal-hal penting. Mengajukan pertanyaan bila perlu. OHT 8 x

12 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Umum Modul BDE-06 : Pelengkap dan Pengaman Jembatan merepresentasikan salah satu unit kompetensi dari program pelatihan Ahli Perencanaan Teknis Jembatan (Bridge Design Engineer). Sebagai salah satu unsur, maka pembahasannya selalu memperhatikan unsurunsur lainnya, sehingga terjamin keterpaduan dan saling mengisi tetapi tidak terjadi tumpang tindih (overlaping) terhadap unit-unit kompetensi lainnya yang direpresentasikan sebagai modul-modul yang relevan. Adapun Unit kompetensi untuk mendukung kinerja efektif yang diperlukan dalam Perencanaan Teknis Jembatan adalah : No. Kode Unit Judul Unit Kompetensi I. Kompetensi Umum 1. INA Menerapkan ketentuan Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK). II. Kompetensi Inti 1. INA Melakukan koordinasi untuk pengumpulan dan penggunaan data teknis. 2. INA Merencanakan bangunan atas jembatan dan atau menerapkan standar-standar perencanaan teknis jembatan. 3. INA Merencanakan bangunan bawah jembatan. 4. INA Merencanakan pondasi jembatan. 5. INA Merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan. 6. INA Membuat laporan perencanaan teknis jembatan. III. Kompetensi Pilihan - 1-1

13 1.2. Ringkasan Modul Ringkasan modul ini disusun konsisten dengan tuntutan atau isi unit kompetensi ada judul unit, deskripsi unit, elemen kompetensi dan KUK (Kriteria Unjuk Kerja) dengan uraian sebagai berikut : a. Adapun unit kompetensi yang akan disusun modulnya: KODE UNIT : INA JUDUL UNIT : Merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan.. DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan untuk merencanakan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan. Direpresentasikan dalam modul seri/judul: BDE-06 Perencanaan Oprit (Jalan Pendekat), Bangunan. b. Elemen Kompetensi dan KUK (Kriteria Unjuk Kerja) terdiri dari: 1. Merencanakan oprit (jalan pendekat) jembatan, direpresentasikan sebagai bab modul berjudul: Bab 2 Perencanaan Oprit (Jalan Pendekat) Jembatan. Uraian detailnya mengacu KUK (Kriteria Unjuk Kerja) dapat menjadi sub bab yang terdiri dari: 1.1 Geometri oprit jembatan direncanakan sesuai dengan ketentuan teknis yang berlaku. 1.2 Timbunan untuk oprit jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 1.3 Perkerasan untuk oprit jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 1.4 Dinding penahan tanah untuk oprit jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan 1-2

14 2. Merencanakan bangunan pelengkap jembatan, direpresentasikan sebagai bab modul berjudul : Bab 3 Perencanaan Bangunan Pelengkap Jembatan. Uraian detailnya mengacu KUK (Kriteria Unjuk Kerja) dapat menjadi sub bab yang terdiri dari: 2.1 Sandaran bangunan atas jembatan (railing) direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 2.2 Guard rail pada oprit jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 2.3 Parapet jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 2.4 Pipa cucuran untuk drainase lantai jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 3. Merencanakan bangunan pengaman jembatan, direpresentasikan sebagai bab mocul berjudul: Bab 4 Perencanaan Bangunan Pengaman Jembatan. Uraian detailnya mengacu KUK (Kriteria Unjuk Kerja) dapat menjadi sub bab yang terdiri dari: 3.1 Fender pengaman pilar di sungai direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 3.2 Bronjong untuk pengaman abutment direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. 3.3 Rambu-rambu pengaman jembatan direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis yang ditentukan. Penulisan dan uraian isi modul secara detail betul-betul konsisten mengacu tuntutan elemen kompetensi dan masing-masing KUK (Kriteria Unjuk Kerja) yang sudah dianalisis indikator kinerja/keberhasilannya (IUK). Berdasarkan IUK (Indikator Unjuk Kerja/Keberhasilan) sebagai dasar alat penilaian, diharapkan uraian detail setiap modul pelatihan berbasis kompetensi betul-betul mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang mendukung terwujudnya IUK, sehingga dapat dipergunakan untuk melatih tenaga kerja yang hasilnya jelas, lugas dan terukur. 1-3

15 1.3. Batasan / Rentang Variabel Batasan/rentang variabel adalah ruang lingkup, situasi dimana unjuk kerja diterapkan. Mendefinisikan situasi dari unit kompetensi dan memberikan informasi lebih jauh tentang tingkat otonomi perlengkapan dan materi yang mungkin digunakan dan mengacu pada syarat-syarat yang ditetapkan termasuk peraturan dan produk jasa yang dihasilkan Batasan/Rentang Variabel Unit Kompetensi Adapun batasan / rentang variabel untuk unit kompetensi ini adalah: 1. Kompetensi ini diterapkan dalam satuan kerja berkelompok; 2. Tersedia data penyelidikan tanah untuk perencanaan timbunan dan perkerasan jalan pada oprit jembatan; 3. Tersedia data atau standar yang dapat digunakan untuk perencanaan bangunan pelengkap dan pengaman jembatan.. 4. Peralatan untuk keperluan perhitungan dan perencanaan yaitu komputer/laptop (termasuk berbagai software yang diperlukan sesuai dengan keperluan perhitungan perencanaan), printer, kalkulator bagi yang belum terbiasa dengan penggunaan komputer, dan alat tulis kantor Batasan/Rentang Variabel Pelaksanaan Pelatihan Adapun batasan / rentang variabel untuk pelaksanaan pelatihan adalah: 1. Seleksi calon peserta dievaluasi dengan kompetensi prasyarat yang tertuang dalam SLK (Standar Latih Kompetensi) dan apabila terjadi kondisi peserta kurang memenuhi syarat, maka proses dan waktu pelaksanaan pelatihan disesuaikan dengan kondisi peserta, namun tetap mengacu tercapainya tujuan pelatihan dan tujuan pembelajaran. 2. Persiapan pelaksanaan pelatihan termasuk prasarana dan sarana sudah mantap. 3. Proses pembelajaran teori dan praktek dilaksanakan sampai tercapainya kompetensi minimal yang dipersyaratkan. 4. Penilaian dan evaluasi hasil pembelajaran didukung juga dengan batasan/rentang variable yang dipersyaratkan dalam unit kompetensi. 1-4

16 1.4. Panduan Penilaian Untuk membantu menginterpretasikan dan menilai unit kompetensi dengan mengkhususkan petunjuk nyata yang perlu dikumpulkan untuk memperagakan kompetensi sesuai tingkat kecakapan yang digambarkan dalam setiap kriteria unjuk kerja yang meliputi : Pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan untuk seseorang dinyatakan kompeten pada tingkatan tertentu. Ruang lingkup pengujian menyatakan dimana, bagaimana dan dengan metode apa pengujian seharusnya dilakukan. Aspek penting dari pengujian menjelaskan hal-hal pokok dari pengujian dan kunci pokok yang perlu dilihat pada waktu pengujian Acuan Penilaian Adapun acuan untuk melakukan penilaian yang tertuang dalam SKKNI adalah sebagai berikut: a. Pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku untuk mendemonstrasikan kompetensi ini terdiri dari: 1. Pemahaman terhadap: metoda perencanaan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan. 2. Penerapan data dan informasi yang tersedia pada butir 1 untuk keperluan perencanaan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan. 3. Cermat, teliti, tekun, obyektif, dan berfikir komprehensif dalam menggunakan data dan informasi yang tersedia untuk perencanaan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan sesuai dengan ketentuan atau persyaratan teknis yang berlaku. b. Konteks Penilaian 1. Unit ini dapat dinilai di dalam maupun di luar tempat kerja yang menyangkut pengetahuan teori 2. Penilaian harus mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja/ perilaku. 1-5

17 3. Unit ini harus didukung oleh serangkaian metode untuk menilai pengetahuan dan keterampilan yang ditetapkan dalam Materi Uji Kompetensi (MUK). c. Aspek Penting Penilaian 1. Ketelitian dan kecermatan dalam memahami dan menggunakan ketentuan teknis, persyaratan teknis maupun data-data yang diperlukan untuk melakukan perencanaan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan; 2. Kemampuan melakukan validasi terhadap data-data yang telah dikumpulkan oleh para petugas lapangan untuk digunakan dalam melaskukan perencanaan oprit (jalan pendekat), bangunan pelengkap dan pengaman jembatan; Kualifikasi Penilai a. Penilai harus kompeten paling tidak tentang unit-unit kompetensi sebagai assesor (penilai) antara lain: mrencanakan penilaian, meaksanakan penilaian dan mreview penilaian yang dibuktikan dengan sertifikat assesor. b. Penilai juga harus kompeten tentang teknis substansi dari unit-unit yang akan didemonstrasikan dan bila ada syarat-syarat industri perusahaan lainnya muncul, penilai bisa disyaratkan untuk : 1. Mengetahui praktek-praktek /kebiasaan industri /perusahaan yang ada sekarang dalam pekerjaan atau peranan yang kinerjanya sedang dinilai. 2. Mempraktekkan kecakapan inter-personal seperlunya yang diperlukan dalam proses penilaian. c. Apabila terjadi kondisi Penilai (assesor) kurang menguasai teknis substansi, dapat mengambil langkah menggunakan penilai yang memenuhi syarat dalam berbagai konteks tempat kerja dan lembaga, industri/perusahaan. Opsi-opsi tersebut termasuk : 1. Penilai di tempat kerja yang kompeten, teknis substansial yang relevan dan dituntut memiliki pengetahuan tentang praktek-praktek/ kebiasaan industri/ perusahaan yang ada sekarang. 1-6

18 2. Suatu panel penilai yang didalamnya termasuk paling sedikit satu orang yang kompeten dalam kompetensi subtansial yang relevan. 3. Pengawas tempat kerja dengan kompetensi dan pengalaman subtansial yang relevan yang disarankan oleh penilai eksternal yang kompeten menurut standar penilai. 4. Opsi-opsi ini memang memerlukan sumber daya, khususnya penyediaan dana lebih besar (mahal) Ikhtisar (gambaran umum) tentang proses untuk mengembangkan sumber daya penilaian berdasar pada Standar Kompetensi Kerja (SKK) perlu dipertimbangkan untuk memasukan sebuah flowchart pada proses tersebut. Sumber daya penilaian harus divalidasi untuk menjamin bahwa penilai dapat mengumpulkan informasi yang cukup, valid dan terpercaya untuk membuat keputusan penilaian yang betul-betul handal berdasar standar kompetensi. Kompeten? KOMPETENSI ASESOR Memiliki Kompetensi Assessment Memiliki Kompetensi bidang Substansi Penilaian Mandiri Penilaian mandiri merupakan suatu upaya untuk mengukur kapasitas kemampuan peserta pelatihan terhadap pengasaan substansi materi pelatihan yang sudah dibahas dalam proses pembelajaran teori maupun praktek. 1-7

19 Penguasaan substansi materi diukur dengan IUK (Indikator Unjuk Kerja/ Indikator Kinerja/Keberhasilan) dari masing-masing KUK (Kriteri Unjuk Kerja), dimana IUK merupakan hasil analisis setiap KUK yang dipergunakan untuk mendesain/menyusun kurikulum silabus pelatihan. Bentuk pelatihan mandiri antara lain: a. Pertanyaan dan Kunci Jawaban, yaitu: Menanyakan kemampuan apa saja yang telah dikuasai untuk mewujudkan KUK (Kriteria Unjuk Kerja), kemudian dilengkapi dengan Kunci Jawaban dimana kunci jawaban dimaksud adalah IUK (Indikator Unjuk Kerja/ Indikator Kinerja/Keberhasilan) dari masing-masing KUK (Kriteria Unjuk Kerja) b. Tingkat Keberhasilan Pelatihan Dari penilaian mandiri akan terungkap tingkat keberhasilan peserta pelatihan dalam mengikuti proses pembelajaran. Apabila tingkat keberhasilan rendah, perlu evaluasi terhadap: 1. Peserta pelatihan terutama tentang pemenuhan kompetensi prasyarat dan ketekunan serta kemampuan mengikuti proses pembelajaran. 2. Materi/modul pelatihannya apakah sudah mengikuti dan konsisten mengacu tuntutan unit kompetensi, elemen kompetensi, KUK (Kriteria Unjuk Kerja), maupun IUK IUK (Indikator Unjuk Kerja/ Indikator Kinerja/Keberhasilan). 3. Instruktur/fasilitatornya, apakah konsisten dengan materi/modul yang sudah valid mengacu tuntutan unit kompetensi beserta unsurnya yang diwajibkan untuk dibahas dengan metodologi yang tepat. 4. Mungkin juga karena penyelenggaraan pelatihannya atau sebab lain Sumber Daya Pembelajaran Sumber daya pembelajaran dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu : a. Sumber daya pembelajaran teori : - OHT dan OHP (Over Head Projector) atau LCD dan Laptop. - Ruang kelas lengkap dengan fasilitasnya. - Materi pembelajaran. b. Sumber daya pembelajaran praktek : 1-8

20 - PC, lap top bagi yang yang sudah terbiasa dengan penggunaan komputer atau kalkulator bagi yang belum terbiasa dengan penggunaan komputer. - Alat tulis, kertas dan lain-lain yang diperlukan untuk membantu peserta pelatihan dalam menghitung dan merencanakan bangunan atas jembatan. c. Tenaga kepelatihan, instruktur/assesor dan tenaga pendukung penyelenggaraan betul-betul kompeten. 1-9

21 BAB 2 PERENCANAAN OPRIT (JALAN PENDEKAT) JEMBATAN 2.1. Umum Oprit jembatan merupakan segmen jalan yang menghubungkan jalan raya dengan jembatan. Fungsi menghubungkan mengandung pengertian bahwa oprit secara geometri harus memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan yang akan pindah dari trase jalan raya ke trase jembatan dan dari trase jembataan ke trase jalan raya lagi. Dengan demikian ada persyaratan teknis berupa pemenuhan terhadap standar alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal dalam perencanaan geometri. Dari segi tanah timbunan oprit, bridge design engineer perlu merencanakannya sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang berlaku bagi perencanaan jalan di daerah timbunan. Tanah timbunan untuk oprit juga harus dipadatkan lapis demi lapis mengikuti ketentuan-ketentuan teknis yang diatur di dalam Spesifikasi, sampai pada tinggi permukaan tertentu untuk menempatkan lapis-lapis perkerasan pada oprit. Lapis-lapis perkerasan pada oprit harus direncanakan berdasarkan ketentuan-ketentuan teknis yang berlaku, bisa berupa rigid pavement ataupun flexible pavement. Pemilihan type perkerasan di atas oprit, apakah rigid pavement atau flexible pavement tergantung pada keputusan kebijakan pemilik pekerjaan. Selain itu ada kemungkinan pembuatan oprit jembatan memerlukan penimbunan yang agak tinggi. Untuk itu tidak tertutup kemungkinan diperlukan adanya dinding penahan tanah untuk oprit jembatan jika ruang yang tersedia untuk penempatan oprit terbatas. Oleh karena itu di dalam Bab ini juga diberikan uraian tentang perencanaan dinding penahan tanah Perencanaan Geometri Oprit Jembatan Kendaraan yang akan melewati jembatan otomatis harus melewati oprit jembatan. Dengan demikian perencanaan oprit jembatan harus mempertimbangkan segisegi keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan, artinya ditinjau dari segi geometrik, perencanaan oprit jembatan harus memenuhi standar perencanaan alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal. Ada 2 (dua) referensi utama yang dapat dijadikan acuan dalam perencanaan geometrik oprit jembatan yaitu: 2-1

22 Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No. 038/T/BM/1997, Direktorat Jenderal Bina Marga September 1997 Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan, Direktorat Jenderal Bina Marga pada bulan Maret Desain Geometrik Jalan Strategic Roads Rehabilitation Project (SRRP) Konsep Perencanaan Jalan, Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah, Departemen Permukiman dan Prasarana wilayah, Faktor utama yang menentukan di dalam perencanaan alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal oprit jembatan adalah kecepatan rencana, yang ketentuanketentuannya mengacu pada standar perencanaan geometrik yang berlaku. Berikut ini akan diketengahkan hal-hal penting yang diambil dari ketiga referensi tersebut di atas (tabel, gambar, rumus-rumus, ketentuan-ketentuan teknis) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam merencanakan geometrik oprit jembatan Kecepatan Rencana Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, Ialu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti. VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2-1. Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam. Tabel 2-1 Kecepatan Rencana, V R, sesuai klasifikasi fungsi dan klasifikasi medan jalan. Fungsi Kecepatan Rencana, VR, km/jam Datar Bukit Pegunungan Arteri Kolektor Lokal

23 Tabel kecepatan rencana tersebut berlaku untuk jalan antar kota, artinya termasuk oprit-oprit jembatan yang lokasinya berada di ruas jalan arteri, kolektor atau lokal pada jalan antar kota Alinyemen Horizontal Alinyemen Horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung yang disebut juga tikungan. Desain Geometrik Jalan pada bagian lengkung dimaksud untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraaan yang berjalan pada kecepatan rencana (V R). Untuk keselamatan pemakai jalan, jarak pandang dan daerah bebas samping jalan harus diperhitungkan. Untuk alinyemen horizontal pada jalan perkotaan harus diatur sedemikian rupa tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan teknik saja, tetapi juga untuk menyediakan tempat yang cukup bagi lalu lintas dari pemakai jalan. A. Menetapkan Alinyemen Horizontal Oprit Jembatan Alinyemen horizontal oprit jembatan yang ideal adalah apabila berupa garis lurus, dalam pengertian geometri berupa tangen. Akan tetapi lokasi jembatan-jembatan pada suatu ruas jalan tidak selalu berada di daerah datar namun juga terletak pada daerah perbukitan atau daerah pegunungan. Ini berarti bahwa trase oprit jembatan mempunyai kemungkinan berupa garis lurus (tangen), tikungan, atau kombinasi tikungan dengan garis lurus. Apabila diikuti tata cara geometri yang berlaku untuk perencanaan alinyemen, maka perencanaan alinyemen untuk oprit jembatan dapat dibagi dalam 3 tipikal sebagai berikut: Tipikal 1 : Oprit dikiri-kanan jembatan terletak pada alinyemen horizontal jalan yang berbentuk lurus. Alinyemen oprit lurus + jembatan lurus + alinyemen oprit lurus. Tipikal 2 Oprit dikiri-kanan jembatan terletak pada alinyemen horizontal jalan yang berbentuk tikungan gabungan searah. 2-3

24 Alinyemen oprit tikungan + jembatan lurus bentang 20 meter + alinyemen oprit tikungan. Tipikal 3 Oprit dikiri-kanan jembatan terletak pada alinyemen horizontal jalan yang berbentuk tikungan gabungan balik. Alinyemen oprit tikungan + jembatan lurus bentang 20 meter + alinyemen oprit tikungan. TIPIKAL 1 TIPIKAL 2 2-4

25 TIPIKAL 3 Tipikal 1 Tipikal 1 ini memberikan gambaran bahwa jembatan terletak pada alinyemen horizontal jalan yang lurus, dengan demikian oprit jembatan otomatis juga berada pada alinyemen yang lurus. Ini adalah kondisi yang ideal, tidak dibatasi oleh ketentuan-ketentuan panjang bentang minimal seperti tipikal 2 dan tipikal 3. Tipikal 2 Tipikal 2 ini menempatkan jembatan pada tikungan gabungan searah, dengan batasan bentang jembatan 20 meter. Alinyemen di kiri-kanan jembatan yang merupakan bagian dari oprit disebut tikungan. Ada 3 (tiga) bentuk tikungan yang ditentukan dalam tata cara perencanaan geometrik jalan yaitu : spiral-circle-spiral, full-circle atau spiral-spiral. Contoh yang ada pada sketsa adalah bentuk spiral-circle-spiral, namun tentu dapat dipilih bentuk-bentuk lainnya yaitu full-circle atau spiralspiral. Pemilihan bentuk tikungan tergantung pada berbagai faktor mulai dari persyaratan teknis yang diatur di dalam tata cara perencanaan geometrik jalan sampai pada kondisi riil di lapangan yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian dalam penerapan tata cara perencanaan geometrik dimaksud. Di dalam contoh sketsa, yang disebut oprit jembatan adalah segmen jalan A-TS-SC-CS-ST dan TS-SC-CS-ST-B. Oprit jembatan yang disebut segmen jalan tersebut sebelah kiri terdiri dari bagian lurus (A- 2-5

26 TS), spiral (TS-SC), circle (SC-CS) dan spiral (CS-ST), sedangkan pada sebelah kanan terdiri dari spiral (TS-SC), circle (SC-CS), spiral (CS-ST), dan bagian lurus (ST-B). Untuk keperluan keamanan dan kenyamanan pengguna jalan, trase mulai dari titik A-TS-SC-CS-ST-TS-SC-CS-ST-B harus memenuhi persyaratan teknis dalam arti dapat dilalui oleh kendaraan sesuai dengan kecepatan rencana. Penentuan lokasi titik A dan titik B terkait erat dengan penetapan alinyemen vertikal dari titik awal oprit sampai ke titik akhir oprit di ujung jembatan. Jadi ada kemungkinan titik A berimpit dengan titik TS di awal tikungan sebelah kiri dan titik B berimpit dengan titik ST di akhir tikungan sebelah kanan. Dalam hal ini disarankan agar perencana dapat mempertimbangkan bahwa minimal yang disebut oprit jembatan dimulai dari awal tikungan dan berakhir pada akhir tikungan (perpotongan oprit dengan ujung jembatan) pada kondisi ruang terbatas seperti dalam contoh gambar. Pada kondisi ruang yang lebih bebas, titik ST dari tikungan kiri dan titik TS dari tikungan kaanan tidak harus berimpit dengan ujung-ujung jembatan. Kalau titik-tik ST atau TS tersebut dapat digeser ke arah keluar dari jembatan, tentu ini lebih baik. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kalau kita menghadapi jembatan dengan bentang < 20 meter? Dalam hal ini, tetap harus ditentukan trase dengan panjang lurus 20 meter melewati jembatan dimaksud untuk memberikan kontribusi keamanan dan keselamatan bagi pengguna jalan. Dalam hal ini yang perlu difahami oleh bridge engineer adalah persyaratan geometrik untuk tikungan gabungan searah, yaitu harus ada bagian lurus 20 meter untuk menghubungkan kedua tikungan tersebut. Tipikal 3 Tipikal 2 ini menempatkan jembatan pada tikungan gabungan balik, dengan batasan bentang jembatan 20 meter. Sama seperti pada tikungan gabungan searah, persyaratan geometrik untuk tikungan gabungan balik mengharuskan ada bagian lurus 20 meter untuk menghubungkan kedua tikungan tersebut. Penjelasan lain-lain tentang oprit tipikal 3 ini sama dengan oprit tipikal

27 B. Bentuk-bentuk dan Elemen-elemen Tikungan 1. Spiral Circle - Spiral Lengkung spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian circle, yang panjangnya (Ls) diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan gaya sentrifugal dari NOL (pada bagian lurus) sampai mencapai harga berikut : m. V 3 R. Ls = F = m. C m. C = m. V 3 R. Ls Ls = V 3 R. C Ls min = 0,022 V 3 R. C - 2, 727. V. e C dimana: Ls = panjang lengkung spiral dalam meter V = kecepatan rencana dalam meter R = jari-jari circle dalam meter C = perubahan kecepatan dalam m/dt³ Harga C dianjurkan = 0,4 m/dt³ e = Superelevasi Es Ls Lc Ls K c Rc Rc ½ ½ Rc Gambar 2-1 Bentuk Spiral Circle - Spiral 2-7

28 PI = Point of Intersection TS = Titik perpindahan dari tangent ke spiral SC = Titik perpindahan dari spiral ke circle CS = Titik perpindahan dari circle ke spiral ST = Titik perpindahan dari spiral ke tangent R c = Jari-jari (ditetapkan) dalam meter = Sudut tangent (diukur dari gambar trace) dalam derajat T s = Jarak antara TS dan PI (dihitung) dalam meter L = Panjang bagian tikungan (dihitung) dalam meter Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (dihitung) dalam meter Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan spriral-circle-spiral haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maximum yang ditentukan yaitu: Kemiringan maximum jalan luar kota = 10 % Kemiringan maximum jalan perkotaan, type I = 10%, type II = 6 %. Rumus yang digunakan rumus sebagai berikut : T s = (Rc + P) tg ½ + K E s = ( Rc + P) Sec ½ - Rc L = Lc + 2 Ls c = - 2 s L c = (.2.Rc)/360 = 0,01745 c Rc 2. Full Circle Bentuk tikungan ini (Gambar 2-2) digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar dan sudut tangen yang relatif kecil. Adapun batasan yang biasa dipakai di Indonesia dimana diperbolehkan menggunakan bentuk circle adalah seperti tabel II.2. dibawah ini. 2-8

29 PI T E T TC L CT R ½ ½ R Gambar 2-2 Bentuk Full Circle PI = Point of Intersection TC = Titik perpindahan dari tangent ke circle CT = Titik perpindahan dari circle ke tangent R = Jari-jari lingkaran dalam meter = Sudut tangent (diukur dari gambar trace) dalam derajat T = Jarak antara TC dan PI (dihitung) dalam meter L = Panjang bagian tikungan (dihitung) dalam meter Es = Jarak dari PI ke lengkung peralihan (dihitung) dalam meter Untuk oprit jembatan pada jalan antar kota Kecepatan Rencana Jari-jari Tikungan (km/jam) Minimum*) (m) *) Jari-jari tikungan yang tidak memerlukan lengkung peralihan 2-9

30 Untuk oprit jembatan pada Jalan Perkotaan Kecepatan Rencana (km/jam) Jari-jari Tikungan Minimum (m) Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil dari harga diatas, maka bentuk tikungan yang dipakai Spiral-Circle-Spiral. Untuk menentukan harga T,L dan E dari gambar 2-2 tersebut diatas maka didapat : 3. Spiral-spiral Bentuk tikungan Spiral - Spiral dipergunakan pada tikungan yang tajam. Adapun rumus-rumusnya semua sama seperti rumus-rumus untuk bentuk tikungan Spiral-Circle-Spiral, hanya yang perlu diingat bahwa : 2-10

31 c 0 2 s Lc 0 L 2 Ls 2 R Ls 2 s L 360 s Rc 28, 648 Harga K = K* Ls dan P = P*Ls Dengan mengambil harga P* dan K* dari tabel Qs untuk Ls = 1 selanjutnya: T s = ( Rc + P ) tg ½ Δ + K E s = ( Rc + P ) sec ½ Δ - Rc Memperjelas rumus tersebut diatas dapat dilihat gambar 2-3 tikungan Spiral-Spiral dibawah ini : Gambar 2-3 Bentuk Spiral Spiral PI = Point of Intersection TS = Titik perpindahan dari tangent ke spiral ST = Titik perpindahan dari spiral ke tangent SC = CS = titik perpindahan dari spiral ke-1 ke spiral ke-2, yaitu titik dimana SC berimpit dengan CS. R = Jari-jari lingkaran dalam meter = Sudut tangent (diukur dari gambar trace) dalam derajat Ts = Jarak antara TS dan PI (dihitung) dalam meter L = Panjang bagian tikungan (dihitung) dalam meter Es = Jarak dari PI ke lengkung peralihan (dihitung) dalam meter 2-11

32 4. Superelevasi Nilai superelevasi yang tinggi mengurangi gaya geser kesamping dan menjadikan pengendaraan pada tikungan lebih nyaman. Tetapi, batas praktis berlaku untuk itu. Ketika bergerak perlahan mengitari suatu tikungan dengan superelevasi tinggi, maka bekerja gaya negatif ke samping dan kendaraan dipertahankan pada lintasan yang tepat hanya jika pengendara mengendarakannya ke sebalah atas lereng atau berlawanan dengan arah lengkung mendatar. Nilai pendekatan untuk tingkat superelevasi maksimum adalah 10%. Jari-jari tikungan minimum yang tidak membutuhkan superelevasi ditunjukkan pada tabel 2-2 di bawah ini. Jari-jari ini juga berdasarkan pada rumus Jari-jari Tikungan,dengan kemiringan melintang i = -0,02, dan faktor pergesekan kesamping f = 0,035. Untuk menjamin kenyamanan melintang yang berlawanan, maka memerlukan faktor f yang kecil sebagaimana diatas. Superelevasi diberikan berdasarkan kecepatan rencana dan jari-jari lengkungan, seperti pada tabel berikut : Tabel 2-2. Jari-jari Tikungan Minimum untuk kemiringan melintang normal tanpa superelevasi Kecepatan Rencana (km/jam) R min (m) Untuk oprit jembatan pada jalan Perkotaan, jari-jari minimum untuk jalan-jalan dengan kemiringan normal, seperti tabel 2-3 di bawah : 2-12

33 Tabel 2-3. Jari-jari Minimum Untuk Jalan Dengan Kemiringan Normal Kecepatan Rencana (km/jam) Jari-jari Minimum (m) Untuk oprit jembatan pada jalan perkotaan, jari-jari minimum untuk jalan-jalan dengan kemiringan normal tanpa superelevasi adalah seperti pada tabel 2-4: Tabel 2-4 Jari-jari Minimum Untuk Bagian Jalan Dengan Kemiringan Normal Tanpa Superlevasi Kecepatan Rencana (km/jam) Jari-jari minimum pada kemiringan normal (m) i = 2,0% Dan untuk oprit jembatan pada jalan perkotaan yang sebagian dari jalannya dengan kemiringan normal, maka digunakan tabel 2-5a dan 2-5b. seperti di bawah ini: 2-13

34 Tabel 2-5a. Superelevasi KECEPATAN RENCANA (km/jam) SUPER ELEVASI (%) JARI-JARI LENGKUNG (m)

35 Tabel 2-5b. Superelevasi (kemiringan standar = 2,0%) Super Elevasi (%) Jari-jari lengkungan (m) 100 km/j 80km/j 60 km/j 50 km/j 40 km/j 30 km/j 20 km/j R R R R R Untuk oprit jembatan pada jalan di daerah perkotaan yang kondisinya dianggap sudah mantap, pemakaian superelevasi pada tabel jalan perkotaan di atas tidak dapat diterapkan. Oleh karena adanya keperluan untuk persimpangan dengan jalan-jalan lainnya atau karena keterbatasan tanah, maka dapat dipakai nilai pada Tabel 2-5c di bawah ini. 2-15

36 Super elevasi (%) Tabel 2-5c Pengecualian Superelevasi di dalam daerah mantap Jari-jari lengkungan (m) ( kemiringan standar 20 % ) 60 km/j 50 km/j 40 km/j 30 km/j 20 km/j R R R R R Penerapan nilai nilai pengecualian di atas dalam merencanakan oprit jembatan pada jalan jalan perkotaan sebaiknya ditekankan pada faktor keamanan jalan. 5. Jari-jari Tikungan Jari-jari lengkung minimum untuk kecepatan rencana yang berlainan, seperti diperlihatkan pada tabel 2-2, didasarkan pada superelevasi maksimum dan gesekan sisi dengan rumus : R V 2 127( f e) R = Jari-jari minimum (m) V = Kecepatan (km/jam) = kecepatan rencana f = Koefisien gesekan sisi (koefiseien gesekan diantara ban dan permukaan jalan melawan geseran) e = Superelevasi (%) 2-16

37 Hasil penelaahan luar negeri menunjukkan bahwa nilai maksimum faktor gesekan sisi f adalah 0,4 sampai 0,8 untuk perkerasan aspal. Secara teoritis, kecepatan laju di tikungan dapat ditingkatkan sampai f mencapai batas maksimumnya. Tetapi, kecepatan laju yang tinggi di tikungan menimbulkan gaya sentrifugal yang besar pada pengemudi. Merupakan kecenderungan yang umum bagi pengendara, untuk mengurangi gaya sentrifugal yang bekerja pada mereka dan untuk mempertahankan kenyamanan dan keamanan dalam mengendara, pengendara mengurangi keceptannya. Jari-jari minimum untuk kecepatan rencana yang bersangkutan ditunjukkan pada tabel 2-2, ditentukan oleh nilai f yang direkomendasikan, yang berkisar antara 0,14 sampai 0,24 demi kenyamanan dalam mengendara. Nilai Superelevasi yang diperkirakan untuk jari-jari minimum adalah 10% untuk kecepatan rencana 40 sampai 80 km/jam, dan 8% untuk kecepatan rencana 30 sampai 20 km/jam. Harus diingat bahwa jari-jari tersebut diatas bukanlah harga jari-jari yang diinginkan tetapi adalah nilai kritis untuk kenyamanan mengendara dan keselamatan. Perlu diusahakan agar jari-jari lengkung dibuat lebih besar untuk setiap Desain Jalan. Harus diingat juga bahwa suatu tikungan tajam tidak diadakan mendadak sesudah bagian jalan yang lurus. Jika mendekati tikungan yang tajam, lebih baik bagian jalan yang lurus diubah secara bertahap. Untuk oprit jembatan pada jalan perkotaan adalah seperti tabel 2-7 di bawah ini: Tabel 2-7 Jari-jari Minimum Kecepatan Rencana (km/kam) Jari-jari Minimum (m) Jalan Type I Jalan Type II Jari-jari tikungan minimum oprit jembatan pada jalan perkotaan sebaiknya disesuaikan dengan tabel 2-8. dibawah ini, dan apabila 2-17

38 terdapat keterbatasan pada perencanaan alinyemen yang ekstrim, maka digunakan tabel 2-7 di atas dengan menerapkan unsur keamanan dan kenyamanan. Tabel 2-8 Jari-jari Tikungan Yang Disarankan Kecepatan Rencana (km/jam) Jari-jari minimum yang disarankan (m) Untuk tikungan yang tidak memerlukan bagian peralihan dapat diambil nilai pada tabel 2-9 seperti di bawah ini. Tabel 2-9 Jari-jari Minimum Tikungan Yang Tidak Memerlukan Bagian Peralihan Kecepatan Rencana (km/jam) Jari-jari (m) Panjang Lengkung Minimum Untuk menjamin kelancaran mengemudi, tikungan harus cukup panjang sehingga diperlukan waktu 6 detik atau lebih untuk melintasinya. Panjang lengkung minimum (tabel 2-10) dengan jarijari minimum seperti yang diperlihatkan pada tabel 2-10 didasarkan atas rumus berikut: L = t * v 2-18

39 L = panjang lengkung (m) t = waktu tempuh (detik) = 6 v = kecepatan (m/detik) = kecepatan rencana Tabel 2-10 Panjang Lengkungan Minimum Kecepatan Rencana (km/jam) Panjang Lengkung Minimum (m) Untuk oprit jembatan pada jalan perkotaan, panjang tikungan minimum untuk sudut 7 derajat, dipergunakan panjang tikungan minimum pada kolom kedua pada tabel 2-11 di bawah ini, dan bila ada kendala-kendala yang tidak dapat dihindari, seperti keadaan topografi atau terbatasnya ruang kerja pada daerah desain maka panjang tikungan dapat dikurangi sesuai harga yang dinyatakan pada tabel 2-11 kolom ketiga. Tabel 2-11 Panjang Tikungan Minimum Kecepatan Rencana (km/jam) Panjang Tikungan Minimum (m) Standard 1200/a 1000/a 700/a 600/a 500/a 350/a 280/a Keadan terpaksa Catatan : a = sudut perpotongan (derajat), dimana jika = 2 derajat, untuk perhitungan pada kolom kedua diambil a =

40 7. Lengkung Peralihan Sebaiknya lengkung peralihan dipasang pada bagian awal, diujung dan di titik balik pada lengkung untuk menjamin perubahan yang tidak mendadak jari-jari lengkung, superelevasi dan pelebaran. Lengkung Clothoide umumnya dipakai untuk lengkung peralihan. Guna menjamin kelancaran mengendara, panjang minimum lengkung peralihan yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini adalah setara dengan waktu tempuh 3 detik. Panjangnya dihitung lewat rumus dibawah ini. L = v * t = ( v / 3,6 ) * t L = panjang minimum lengkung peralihan (m) V = kecepatan rencana(km/jam t = waktu tempuh = 3 detik Lengkung dengan jari-jari besar seperti yang diperlihatkan pada tabel dibawah ini tidak memerlukan peralihan. Jika lengkung peralihan dipasang, alinyemen mendatar bergeser dari garis singgung kesuatu lengkungan ( gambar ). Nilai pergeseran tergantung pada panjang lengkung peralihan dan jari-jari lengkung. Panjang lengkung peralihan minimum, sebagaimana disinggung diatas, ditentukan berdasarkan kecepatan rencana; nilai pergeseran minimum untuk masing-masing kecepatan rencana ditentukan oleh jari-jari lengkung. Jika jari-jari lengkung sedemikian besarnya sehingga pergeseran kecil, pergeseran dapat diadakan di dalam lebar jalur, maka pergeseran itu adalah seperti dibawah, dan jari-jari minimum yang tidak memerlukan lengkung peralihan (dengan pergeseran sebesar 0,20 m) ditunjukkan pada tabel L R P / P = nilai pergeseran (m) L = panjang lengkung peralihan (m) R = jari-jari lengkung (m) 2-20

41 Gambar 2-4 Pergeseran Lengkung Peralihan Tabel 2-12 Panjang Minimum lengkung peralihan Kecepatan Rencana (km/jam) Panjang Lengkung Minimum Peralihan (m) Tabel 2-13 Jari-jari Minimum yang tidak memerlukan lengkung peralihan Kecepatan Rencana (km/jam) Jari-jari Lengkung (m)

42 Untuk oprit jembatan pada jalan perkotaan panjang minimum bagian peralihan diambil nilai tabel dibawah ini. Tabel 2-14 Panjang minimum Bagian Peralihan Kecepatan Rencana (km/jam) Panjang Minimum Bagian Peralihan (m) Pencapaian Kemiringan Ada 2 (dua) metode untuk pencapaian kemiringan. Umumnya, (a- 1) atau (b-1) lebih disukai daripada (a-2) atau (b-2). Kemiringan tepi jalur lalu lintas waktu beralih dari penampang normal ke penampang superelevasi tidak boleh melampaui nilai yang ditunjukkan pada tabel 2-15 di bawah ini dan dinyatakan sebagai suatu perbandingan. Pencapaian kemiringan harus dipasang, di dalam lengkung peralihan. Bilamana tidak dipasang lengkung peralihan, pencapaian kemiringan harus dipasang sebelum dan sesudah lengkung tersebut. Gambar 2-5 Pencapaian Kemiringan 2-22

43 Tabel Kemiringan Maksimum Untuk Pencapaian Kemiringan Kecepatan Rencana (km/jam Kemiringan Tepi Jalur Lalu Lintas /150 1/125 1/115 1/100 1/75 1/50 Untuk oprit jembatan pada jalan perkotaan, kemiringan tepi jalur lalu lintas waktu beralih dari penampang normal ke penampang superelevasi tidak boleh melebihi nilai yang ditunjukkan pada tabel 2-16 di bawah ini. Tabel 2-16 Kemiringan Permukaan Relatif Maksimum Antara Tepi Dan As Jalan Dengan Perkerasan 2 Jalur Kecepatan Rencana (km/jam) Kemiringan Relatif /225 1/200 1/175 1/150 1/125 1/100 1/75 9. Panjang Lengkung Peralihan Untuk mendapatkan panjang lengkung peralihan (L s) ditentukan dari 3 rumus dibawah ini dan diambil nilai yang terbesar : Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan, L s = V R 3,6 T T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3 detik.. V R = kecepatan rencana (km/jam) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, Ls dihitung sbb: Ls V R V R 0,022 2, 727 e RC C 2-23

44 e = superelevasi C = perubahan percepatan, diambil 1-3 m/det³ R = jari-jari busur lingkaran (m) Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian Ls em en V 3,6re R V R = kecepatan rencana ( km/jam ) e m = superelevasi maximum e n = superelevasi normal r e = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan (m/m/detik) Selain menggunakan rumus-rumus diatas, untuk tujuan praktis L s dapat ditetapkan dengan menggunakan tabel dibawah ini. Tabel 2-17 Panjang Lengkung Peralihan (L s) Dan Panjang Pencapaian Superelevasi (L e) Untuk Jalan 1 jalur 2 lajur 2 arah V R (km/jam) L s Superelevasi, e(%) L e L s L e L s L e L s L e L s L e

45 Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser dari bagian jalan yang lurus ke arah sebelah dalam (lihat gambar 2-5 ) sebesar p. Nilai p (m) dihitung berdasarkan rumus berikut : p 2 Ls 24R c L s = panjang lengkung peralihan (m) R = jari-jari lengkung (m) Gambar 2-5 Pergeseran Lengkung Peralihan Apabila nilai p kurang dari 0,25 meter, maka lengkung peralihan tidak diperlukan sehingga tipe tikungan menjadi fc. Superelevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 2-18 Jari-jari yang diizinkan tanpa superelevasi Kecepatan Rencana (km/jam) R (m)

46 10. Pencapaian Superelevasi Superelevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian lengkung. Pada tikungan SCS, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear (lihat gambar 2-6. ), diawali dari bentuk normal sampai awal lengkung peralihan (TS) yang berbentuk sebelah datar sebelah miring pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh pada akhir bagian lengkung peralihan (SC). Pada tikungan fc, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear ( lihat gambar 2-7) diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian lingkaran penuh sepanjang 1/3 bagian panjang Ls. Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya dilakukan pada bagian spiral. Gambar 2-6 Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe SCS 2-26

47 Bagian lurus Bagian lingkaran penuh Bagian lurus 2/3 Ls 1/3 LS 1/3 Ls 2/3 Ls Sisi luar lingkaran e max TC e = 0 % e normal CT Sisi dalam lingkaran Ls = Panjang Lengkung Peralihan Gambar 2-7 Metode pencapaian superelevasi pada tikungan tipe fc 11. Pelebaran Tikungan Jalan kendaraan pada tikungan perlu diperlebar untuk menyesuaikan dengan lintasan lengkung yang ditempuh kendaraan. Pelebaran pada tikungan dimaksud untuk mempertahankan konsistensi Geometrik Jalan agar kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan di bagian lurus. Pelebaran jalan ditikungan harus mempertimbangkan : a). Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya. b). Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan melingkar. Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan rencana sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada lajurnya. c). Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan besarnya ditetapkan sesuai ketentuan yang ada dalam perencanaan geometrik. Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan. 2-27

48 2.2.3 Alinyemen Vertikal Pada setiap penggantian landai harus dibuat lengkung vertikal yang memenuhi keamanan dan kenyamanan. Adapun lengkung vertikal yang digunakan adalah lengkung parabola sederhana seperti gambar 2-8 di bawah ini. Gambar 2-8 Lengkung parabola sederhana Rumus Parabola : 2-28

49 Hasil integrasi (f) didapat : Untuk y = 0; x = 0 sehingga c* = 0, sehingga : 2 g1 g2 x Y g1x L 2 Hasil akhir yang didapat adalah sebagai berikut : Y 2 g1 g2 x L 2 Lengkung vertikal diatas disebut lengkung vertikal cembung, sehingga mempunyai tanda MINUS (-) dimuka persamaan. Adapun untuk lengkung vertikal cekung akan mempunyai tanda PLUS (+), maka persamaan umum dari lengkung vertikal adalah: Y = g1 g2 L X 2 Untuk menyerap guncangan dan untuk menjamin jarak pandangan henti, lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi dimana kelandaian berubah. 2-29

50 Dari buku Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen PU, panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus : L = AY L 2 S 405 dimana : L A Y = Panjang lengkung vertikal (m) = Perbedaan grade (m) = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada fungsi obyek 10 cm dan fungsi mata 120 cm S = Jarak pandang henti (m) Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung, panjang lengkung vertikal ditetapkan dengan rumus : L = AY L 2 S 405 Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal cekung, maka panjang lengkung vertikal ditetapkan dengan rumus : L 2S 405 A Dimana: L = Jarak pandangan ini. Y = Ditentukan sesuai tabel seperti tabel 2-19 di bawah 2-30

51 Tabel 2-19 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan (Y) Kecepatan Rencana km/jam) < > 60 Faktor Penampilan Kenyamanan (Y) 1,5 3 8 Dengan berdasar pada penampilan, kenyamanan dan jarak pandang dapat ditentukan langsung panjang lengkung vertikal seperti tabel 2-20 di bawah ini. Tabel 2-20 Panjang Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana (km/jam) < > 60 Perbedaan Kelandaian Memanjang (%) Panjang Lengkung (m) Untuk jalan perkotaan dengan dasar pada panjang pergerakan selama 3 detik dapat digunakan Nilai pada tabel 2-21 seperti di bawah ini. Tabel 2-21 Panjang Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana ( km/jam ) Panjang Minimum Lengkung Vertikal ( m )

52 A. Lengkung Vertikal Cembung Bentuk persamaan umum lengkung vertikal cembung adalah : Y = x 2 g2 g1 2L Gambar 2-9 Lengkung Vertikal Cembung Dan dari gambar 2-9 lengkung parabola sederhana didapat : E v = Penyimpangan dari titik potong kedua tangen ke lengkungan vertikal (disini y = E v untuk x = ½ L) A = Perbedaan aljabar kedua tangen = g 2 g 1 L = Panjang lengkung vertikal cembung, adapun panjang minimumnya berdasarkan syarat pandangan henti syarat pandangan menyiap Rumus untuk lengkung vertikal cembung : y EV A.L 8 dan A = g 2 g 1 B. Lengkung Vertikal Cekung ANALOG dengan penjelasan butir A di atas hanya panjang lengkung vertikal cekung (lihat gambar 2-10) ditentukan berdasarkan jarak pandangan pada waktu malam dengan syarat bahwa pada alinyemen vertikal tidak selalu dibuat lengkungan dengan jarak pandang menyiap, bergantung medan dan klasifikasi jalan. Untuk menghitung A = g 2 g 1 dipakai 2 (dua) cara yaitu : 2-32

53 Bila % ikut serta dihitung, maka rumus seperti diatas : y = Ev = A = g 2 g 1 A. L 8 Bila % sudah dimasukkan dalam rumus, maka rumus menjadi : y EV g2 g1 L 800 C. Jari-jari Lengkung Vertikal Untuk perencanaan Desain Geometrik oprit jembatan pada Jalan perkotaan dengan mempertimbangkan kenyamanan dan keamanan pengemudi, pemakaian standar jari-jari minimum dalam merencanakan dibatasi oleh masalah-masalah pelik, maka sebagai ganti standar jarijari minimum diambil dari tabel 2-22 di bawah ini. Tabel 2-22 Rencana Jari-jari Minimum Lengkung Vertikal Kecepatan Rencana (km/jam) 100 Lengkung Cembung & Cekung Cembung Cekung Standar Minimum (m) Rencana Jari-jari Minimum Lengkung Vertikal (m) Cembung Cekung Cembung Cekung Cembung Cekung Cembung Cekung Cembung Cekung Cembung Cekung

54 2.2.4 Koordinasi Alinyemen Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah elemen-elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk yang baik dalam arti memudahkan pengendara mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada pengendara akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga pengendara dapat melakukan antisipasi lebih awal. Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. Alinyemen horizontal sebaiknya berhimpit dengan alinyemen vertikal, dan secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinyemen vertikal; b. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan; c. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan; d. Dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus dihindarkan; dan e. Tikungan yang tajam di antar 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus dihindarkan Perencanaan Timbunan Oprit Jembatan Tanah Dasar di bawah Timbunan Oprit Tanah dasar merupakan tanah dimana perkerasan dibangun, sebagaimana halnya dengan bangunan sipil lainnya. Pada kasus yang sederhana, tanah dasar dapat terdiri atas tanah asli tanpa perlakuan; sedangkan pada kasus lain yang lebih umum, tanah dasar terdiri atas tanah asli pada galian atau bagian atas timbunan yang dipadatkan. Tanah asli pada galian tidak dicakup dalam tulisan ini, karena fokusnya adalah perencanaan timbunan untuk oprit jembatan. Sebagai prasarana transportasi darat, perkerasan untuk oprit jembatan harus mempunyai permukaan yang selalu rata dan kesat, agar para 2-34

55 pengguna jalan dapat merasa nyaman dan aman (safe). Karena dibangun pada tanah dasar, maka kinerja perkerasan akan sangat dipengaruhi oleh mutu tanah dasar. Dengan dituntutnya perkerasan yang harus selalu mempunyai permukaan yang rata, maka persyaratan utama yang harus dipenuhi tanah dasar adalah tidak mudah mengalami perubahan bentuk. Tanah dasar yang mengalami perubahan bentuk, baik akibat beban lalu-lintas maupun cuaca, akan mengakibatkan perkerasan mengalami kerusakan (misal, gelombang, alur, penurunan) yang kemungkinan diikuti denga terjadinya retak. Perubahan bentuk tanah dasar dapat diakibatkan oleh kekuatan atau daya dukung yang rendah (tanah mudah runtuh), pengembangan, penyusutan dan densifikasi tanah dasar serta konsolidasi tanah di bawah tanah dasar. Lebih jauh lagi, faktor-faktor tersebut akan tergantung pada jenis tanah, berat isi kering dan kadar air. Modul ini pada dasarnya menguraikan cara menyiapkan tanah dasar yang tidak mudah mengalami perubahan bentuk. Disamping itu, modul ini dilengkapi pula dengan beberapa pengetahuan yang menjadi dasar untuk mendapatkan tanah dasar yang stabil. Diharapkan modul ini dapat dijadikan acuan dalam menerapkan (atau menyiapkan) Spesifikasi Teknis, terutama bagi perencana (designer) dan pelaksana, dalam membangun tanah dasar yang memenuhi tuntutan lalulintas dan lingkungan. Ringkasan butir-butir pokok modul ini diuraikan di bawah. A. Bagian-bagian Jalan Untuk mengetahui posisi tanah dasar serta kaitannya dengan bagianbagian jalan yang lain, pada Gambar 2.10 ditunjukkan skema tipikal tentang bagian-bagian jalan: 2-35

56 PERKERASAN LENTUR PERKERASAN KAKU CL Lereng timbunan Permukaan tanah asli Tanggul Bahan pilihan Lapis permukaan bahu Lapis pondasi bawah Lapis pondasi atas Lapis permukaan Gambar Skema Tipikal Bagian Jalan Pelat beton Lereng saluran samping Lereng galian Lapis pondasi bahu Kemiringan melintang perkerasan Permukaan tanah dasar Tanah asli Struktur perkerasan Kemiringan bahu Lajur lalu-lintas Bahu Lajur jalan Badan jalan Sumber: Manual Konstruksi dan Bangunan Pekerjaan Tanah Dasar, Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, Nopember B. Aspek-aspek Utama Yang Terkait Dengan Pekerjaan Tanah Dasar Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.10, secara umum tanah dasar dapat terdiri atas tanah timbunan atau tanah galian. Pekerjaan timbunan tidak akan terlepas dari bahan (tanah) timbuan, pemadatan, lereng serta tanah di bawah timbunan; sedangkan pekerjaan galian tidak akan terlepas dari lereng galian, volume, peralatan serta kemungkinan naiknya permukaan tanah setelah penggalian. C. Timbunan, Stabilitas Lereng, Settlement Timbunan yang didesain dan dibangun dengan seksama akan mempunyai lereng yang stabil dan sampai tingkat tertentu, tidak akan mengalami penurunan. Disamping itu, aspek yang perlu diperhatikan pada pekerjaan timbunan adalah pemilihan bahan serta pemadatannya agar diperoleh timbunan stabil. Dalam kondisi yang paling jelek, longsor dapat terjadi dalam bentuk keruntuhan total pada suatu segmen jalan. Namun demikian, pada 2-36

57 timbunan yang disiapkan dengan seksama hal tersebut jarang terjadi, tetapi hanya dalam bentuk longsoran minor dimana tanah (sebagai pondasi perkerasan) biasanya bergerak sedikit ke arah luar dan ke arah bawah. Longsor sering terjadi apabila perkerasan dibangun terlalu dekat dengan tepi timbunan, terutama sebagai akibat pelebaran perkerasan. Pada perkerasan beton semen, terjadinya longsoran biasanya ditunjukkan dengan membukanya sambungan memanjang serta penurunan pelat. Longsoran dapat dibagi menjadi tiga jenis sebagai berikut: Longsor translasi pergeseran antara bidang yang satu terhadap bidang yang lain yang biasanya terjadi pada timbunan yang dibangun di sepanjang permukaan yang miring. Longsor rotasi masa tanah bergeser pada suatu bidang berbentuk lengkung atau lingkaran. Longsor permukaan pergerakan lapisan tipis bahan ke arah bawah permukaan lereng. Longsor rotasi merupakan longsor yang mendapat perhatian besar dalam mekanika tanah, karena kerentanannya (susceptibility) terhadap analisis secara matematik. Terjadinya longsor sering menunjukkan perlunya pemasangan sistem drainase (drains) untuk memotong (intercepting) air rembesan (seepage water) Penurunan (settlement) timbunan dapat disumbangkan oleh dua komponen utama, yaitu densifikasi tanah (badan) timbunan dan konsolidasi pada tanah (pondasi) di bawah timbunan. Densifikasi disebabkan oleh keluarnya (expulsion) udara dari bahan timbunan sebagai akibat beban perkerasan atau tanah di bagian atas. Sampai tingkat yang dapat diabaikan, pemampatan dapat dikurangi dengan cara pemadatan. Terjadinya perbedaan penurunan yang besar pada segmen yang pendek perlu dicegah, karena hal tersebut akan mengakibatkan kerusakan pada perkerasan, terutama pada perkerasan beton semen (disamping penampilannya yang jelek). Perbedaan penurunan 2-37

58 kemungkinan besar akan terjadi pada lokasi dimana tebal timbunan berubah secara tiba-tiba atau pada lokasi-lokasi dimana pemadatan sangat sulit (misal di sekitar kepala jembatan). D. Bahan Timbunan dan Pemadatan Persyaratan teknis yang harus dipenuhi bahan timbunan adalah, pertama, setelah dipadatkan dengan seksama bahan harus menjadi konstruksi yang stabill (bebas penurunan) dan kedua, bahan tidak boleh mudah rusak akibat cuaca. Persyaratan pertama menjadikan gambut (peat) atau lempung organik tidak dapat digunakan sebagai bahan timbunan. Pedoman kasar yang biasanya dijadikan dasar untuk memilih bahan timbunan adalah kepadatan kering maksimumnya (sebagaimana yang diuji menurut metoda pemadatan standar) serta kepekaannya akibat lingkungan (terutama air dan panas). Pada pekerjaan timbunan, pemadatan merupakan aspek yang sangat penting, karena kepadatan yang memadai akan mengurangi penurunan, meningkatkan stabilitas lereng serta mengurangi kecenderungan menyerap air. Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi pemadatan telah berkembang pesat. E. Tanah di bawah Timbunan Timbunan memerlukan pondasi yang stabil sebagaimana halnya dengan bangunan sipil yang lain. Apabila tanah di bawah timbunan terdiri atas gambut atau lempung lunak, maka beban timbunan akan menimbulkan penurunan, baik sebagai akibat konsolidasi, atau dalam kasus ekstrim, sebagai akibat keruntuhan, dimana dalam hal tersebut, penurunan timbunan akan diikuti dengan terjadinya jembul (heaving) pada permukaan tanah di depan kaki lereng timbunan. F. Konsolidasi, Daya Dukung dan Timbunan Pada Tanah Lunak Konsolidasi merupakan suatu proses keluarnya air melalui pori-pori tanah sebagai akibat tertekannya tanah oleh beban. Dengan analisis hasil pengujian di laboratorium, besar dan lamanya penurunan dapat dihitung dengan cukup teliti. 2-38

59 Meskipun penurunan pada pondasi timbunan tidak mungkin dicegah, namun lamanya penurunan dapat diperpendek, sehingga pembangunan perkerasan dapat lebih dipercepat. Hal tersebut antara lain dapat dilakukan dengan memasang tiang pasir pada tanah pondasi (tiang pasir memperpendek jarak tempuh air, sehingga waktu tempuh aliran air dari pori-pori tanah menjadi lebih pendek pula). Untuk menghitung beban maksimum yang dapat dipikul tanah pondasi telah dikembangkan berbagai teori, diantara yang populer adalah teori Prandtl dan Terzaghi. Apabila timbunan harus dibangun pada tanah lunak (daya dukungnya rendah), maka tiga alternatif metoda utama yang dapat dipilih adalah: Pembuangan tanah lunak, baik sebagian atau seluruh lapisan, tergantung pada tebalnya. Perbaikan tanah lunak, antara lain dengan cara pemasangan kolom pasir (sand drain) atau pemasangan tiang-pelat (pile-slab). Penghindaran (avoidance), misal melalui pemilihan trase baru atau pembangunan jembatan Perencanaan Pekerjaan Timbunan Oprit Timbunan dapat dibangun dengan menggunakan berbagai jenis bahan (tanah) serta untuk berbagai keperluan. Ditinjau dari keperluannya, timbunan dibagi menjadi timbunan struktural dan timbunan non-struktural. Timbunan struktural (misal untuk jalan atau bendungan) harus mempunyai faktor keamanan yang lebih besar daripada timbunan non-struktural (misal untuk gudang, atau lanskap). Agar dapat dibangun sesuai dengan fungsinya, timbunan harus didisain dengan memperhitungkan berbagai faktor. Disamping itu, tanah untuk timbunan perlu dipilih sedemikian rupa agar biaya pekerjaan serendah mungkin. Pada pembangunan jalan, timbunan diperlukan untuk menaikkan permukaan jalan di atas permukaan tanah asli, baik untuk memenuhi standar geometri maupun untuk mencegah terjadinya kerusakan jalan akibat air permukaan atau air tanah. 2-39

60 Faktor-faktor utama yang harus diperhitungkan dalam desain timbunan adalah: Stabilitas lereng timbunan. Daya dukung timbunan. Penurunan (settlement) timbunan. Kemampuan melayani lalu-lintas (trafficability). Faktor lain, antara lain, permeabilitas. A. Stabilitas Timbunan Stabilitas timbunan sering berubah dari waktu ke waktu. Hal tersebut makin nyata apabila menyangkut tanah kohesif. Dalam banyak kasus, pada saat pembangunan akan terjadi kenaikan tegangan air pori, baik pada tanah timbunan maupun tanah pondasi. Sesuai dengan berjalannya waktu, tegangan air pori pada tanah timbunan dapat makin meningkat atau menurun; sedangkan pada tanah pondasi cenderung menurun. Oleh karena itu, menjelang ahir masa pembangunan, faktor keamananan stabilitas lereng timbunan sering mempunyai nilai paling rendah. Apabila untuk timbunan digunakan lempung yang telah mengalami konsolidasi (overconsolidated clays), di bawah lereng sering timbul tegangan air pori yang dapat mengakibatkan keruntuhan lereng beberapa tahun kemudian. Sehubungan dengan hal di atas, maka analisis stabilitas timbunan (dan tanah aslinya) harus dilakukan dalam rangka mengetahui faktor keamanan paling rendah untuk berbagai ketinggian, sifat tanah urugan dan tanah asli, serta tegangan air pori selama dan setelah pembangunan. Secara tipikal, sudut kemiringan lereng timbunan ditunjukkan pada Tabel Kemiringan lereng timbunan yang lebih tepat, harus ditentukan melalui analisis seksama. 2-40

61 Tabel Kemiringan tipikal lereng timbunan* JENIS TANAH Batuan keras (hard rock fill) Batuan lunak (weak rock fill) Kerikil Pasir Lempung (Sumber: Horner, 1988) KEMIRINGAN (V:H) 1,5:1 1:1 1:2 1:1,25 1:2 1:1,25 1:2,5 1:1,5 1:2,5 1:1,5 *Hanya sebagai pedoman, bukan sebagai desain akhir Analisis stabilitas tanah asli (pondasi) dibawah timbunan sangat penting, terutama apabila tanah asli tersebut miring atau terdiri atas tanah lunak, misal pada zona runtuhan (past instability) atau tanah aluvial lunak. Daya dukung timbunan dipandang penting apabila akan dibebani, misal pada jalan raya (termasuk oprit jembatan), lapangan terbang, jalan kereta api atau pondasi. Sifat-sifat tanah timbunan akan berubah dari waktu ke waktu; misal, akibat konsolidasi atau peningkatan kadar air. Pada saat menetapkan daya dukung, hal tersebut perlu diperhatikan. Pada desain oprit jembatan, jalan raya, jalan kereta api dan lapang terbang, daya dukung atau kekuatan timbunan biasanya dinyatakan dengan CBR (California Bearing Ratio) atau modulus reaksi tanah, sedangkan pada disain pondasi, daya dukung timbunan sering dinyatakan dengan hasil pengujian pelat beban (plate bearing test) atau triaksial. Penurunan (settlement) pada timbunan dapat diakibatkan oleh penurunan, baik pada timbunan sendiri maupun tanah asli. Apabila timbunan terdiri atas tanah permeabel, konsolidasi akan terjadi selama pelaksanaan dan dapat dipercepat dengan menambah beban timbunan. Sebaliknya, konsolidasi tanah timbunan yang mempunyai permeabilitas rendah dapat berlangsung beberapa minggu atau beberapa tahun setelah pembangunan, kecuali apabila dilakukan percepatan. Besar penurunan timbunan dapat diperkecil melalui pemadatan, disamping dapat memperbaiki stabilitas. Perbedaan penurunan sering terjadi pada timbunan di sekitar bangunan, karena urugan dekat bangunan umumnya tidak menurun secara bersamaan 2-41

62 dengan urugan di bagian lain, disamping urugan dekat bangunan lebih sulit dipadatkan. Perbedaan tersebut dapat dikurangi melalui penggunaan tanah urugan husus, misal, kerikil. Persoalan yang sama dapat dijumpai apabila timbunan mempunyai ketinggian yang sangat berbeda. Apabila hasil analisis stabilitas lereng menunjukkan bahwa faktor keamanan tidak mencukupi, atau apabila penurunan tanah asli sangat besar dan berlangsung lama dan/atau tanah asli sangat lunak, maka dalam disain dan pelaksanaan timbunan perlu dipertimbangkan upayaupaya untuk mengatasinya. Usaha-usaha tersebut mencakup salah satu atau gabungan beberapa teknik sebagai berikut: Memperkecil sudut kemiringan lereng (memperlebar dasar timbunan). Membangun beban kontra (berm) di depan tumit lereng. Menggunakan bahan timbunan berkekuatan tinggi. Meningkatkan kekuatan, baik dengan pemadatan dan pengeringan atau stabilisasi tanah urugan (misal dengan kapur atau semen). Membuat lapisan drainase, untuk menurunkan tegangan air pori. Memasang geotextile. Membangun konstruksi penahan, baik sebagian atau seluruhnya. Membuang atau mendorong (displacement) tanah yang lunak, baik sebagian maupun seluruhnya, dan menggantinya dengan tanah yang lebih baik. Membuat parit yang lebar dan dalam serta mengisinya dengan tanah berbutir. Memperbaiki tanah dengan cara pra-pembebanan (preloading), konsolidasi dinamis atau vibrofloatation. Mengendalikan kecepatan pelaksanaan, agar tanah mempunyai waktu yang cukup untuk konsolidasi dan meningkatkan kekuatan. Menggunakan bahan ringan (misal abu terbang), agar timbunan menjadi lebih ringan. Membuat drainase vertikal dan/atau lapisan drainase horizontal, agar dapat mempercepat pelepasan tegangan air pori, penurunan dan peningkatan kekuatan. 2-42

63 Penurunan dan kekuatan timbunan lama (misal pada lokasi bekas penambangan) dapat sangat bervariasi, terutama apabila timbunan terdiri atas bahan buangan. Untuk mendapatkan pondasi yang kokoh, mungkin diperlukan penanganan yang ekstensif. Kemampuan bahan timbunan dalam melayani lalu-lintas sering merupakan faktor penghambat efisiensi pembangunan, terutama apabila menyangkut tanah kohesif atau tanah berbutir yang basah. Dalam praktek, kadang-kadang dialami bahwa tanah yang baik sebagai bahan timbunan, tetapi ternyata dinyatakan tidak baik. Hal tersebut dikarenakan spesifikasi menetapkan bahwa timbunan harus dapat melayani peralatan yang berat, misal heavy rubber-tyred scrapers. B. Penurunan Timbunan Penurunan pada timbunan biasanya merupakan akibat dua faktor sebagai berikut: Pengurangan rongga dalam tanah timbunan sebagai akibat pembebanan oleh bagian atas lapisan, beban lalu-lintas dan pengaruh cuaca. Penurunan tanah di bawah timbunan. Penurunan tersebut dapat terjadi dalam bentuk pemampatan elastis serta konsolidasi pada tanah jenuh, misal lempung. Penurunan dalam bentuk pemampatan elastis pada tanah di bawah timbunan biasanya sangat kecil dan dapat diabaikan, kecuali apabila timbunan sangat tinggi. Apabila timbunan terdiri atas lempung yang dipadatkan pada kadar air yang mendekati batas plastisnya, maka tanah tersebut akan mengandung rongga udara yang kecil dan dapat diperlakukan sebagai tanah jenuh. Pada kondisi tersebut, besarnya perkiraan penurunan dapat dilakukan dengan menerapkan teori konsolidasi. Namun demikian, apabila tanah timbunan mengandung rongga udara yang cukup besar, maka teori konsolidasi tidak dapat diterapkan untuk memperkirakan penurunan. Oleh karena itu, perkiraan penurunan harus didasarkan pada hasil pengukuran langsung di lapangan. 2-43

64 Pengaruh kepadatan (berat isi kering) terhadap penurunan Derajat kepadatan timbunan yang dicapai pada saat pelaksanaan akan berpengaruh terhadap penurunan. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil pengukuran yang dilakukan selama dan sesudah pelaksanaan beberapa timbunan (TRRL, 1952). Analisis hasil pengukuran menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan penurunan akibat densifikasi. Pengaruh tinggi timbunan terhadap penurunan Hasil penyelidikan lapangan menunjukkan bahwa secara kasar, besarnya penurunan adalah proporsional dengan tinggi timbunan. Hal tersebut berarti bahwa apabila tinggi timbunan terkurangi oleh suatu bangunan, misal terowongan yang melalui timbunan, maka akan terjadi perbedaan penurunan di sekitar terowongan. Hubungan antara penurunan dengan waktu Informasi mengenai hubungan antara penurunan dengan waktu sangat berguna untuk memperkirakan besarnya penurunan setelah oprit jembatan selesai dibangun, karena hal tersebut akan mempengaruhi kerataan permukaan perkerasan. Untuk mengatasi hal tersebut kadang-kadang dilakukan dengan cara menangguhkan pembangunan perkerasan satu tahun setelah timbunan selesai. Pada kurun waktu satu tahun, sebagian besar penurunan dapat berlangsung. Pengamatan terhadap timbunan menunjukkan bahwa penurunan berlangsung cepat pada masa awal setelah pekerjaan timbunan selesai dan kecepatan tersebut makin menurun sesuai dengan berjalannya waktu. Pada Gambar 2.11 ditunjukkan hubungan antara penurunan timbunan dengan waktu, dimana timbunan terdiri atas kapur dengan tinggi 13,5 m (45 ft). Pada gambar tersebut terlihat bahwa penurunan total (+22 cm) dicapai dalam kurunan waktu 7 tahun, sedangkan 75 persen penurunan (+16 cm) dicapai hanya dalam kurun waktu 2 tahun. Pada kasus timbunan lempung jenuh atau kandungan rongga udaranya diabaikan, kecepatan penurunan dapat diperkirakan 2-44

65 berdasarkan pengujian konsolidasi di laboratorium. Kecepatan penurunan di lapangan akan tergantung pada jarak tempuh air untuk mencapai lapisan drainase pada saat air tersebut tertekan. Jarak tempuh air dapat diperpendek dengan membuat drainase kolom pasir pada tanah di bawah timbunan. PENURUNAN RATA-RATA (mm) ,5 1939,5 1940,5 1941,5 1942,5 1943,5 1944,5 1945,5 WAKTU PENGUKURAN Gambar 2-11 Hubungan tipikal antara penurunan dengan waktu C. Konsolidasi Dalam pembuatan oprit jembatan, persoalan konsolidasi sering dijumpai pada timbunan dan kepala jembatan. Penurunan pada bangunan tersebut sebenarnya tidak akan menjadi persoalan serius apabila terjadinya seragam. Namun sayangnya hal tersebut jarang terjadi sehingga perbedaan penurunan akan mengakibatkan adanya tambahan tegangan yang mungkin melampaui kekuatan ijin suatu bangunan; contoh, perbedaan penurunan pada jalan dengan perkerasan kaku yang dibangun pada timbunan akan menimbulkan retak pada pelat beton, sedangkan perbedaan penurunan pada kepala jembatan dapat mengakibatkan keruntuhan seluruh jembatan. Jalan yang dibangun pada tanah gambut dapat mengalami perbedaan penurunan yang serius, meskipun tanah tersebut menerima beban yang seragam dan relatif kecil. Terjadinya perbedaan penurunan dapat dijumpai pula di sekitar gorong-gorong. Terzaghi telah mengembangkan teori yang dapat menghitung penurunan struktur yang dibangun pada tanah mampat. Dengan demikian, maka penurunan struktur yang akan dibangun dapat 2-45

66 diperkirakan cukup teliti, sehingga apabila diperlukan, pengaruh terhadap adanya perbedaan penurunan dapat dikurangi. Konsolidasi diartikan sebagai suatu proses dimana akibat pembebanan yang menerus, butir-butir tanah menjadi rapat dan kemudian air yang terkandung dalam tanah terdorong keluar. Definisi di atas menunjukkan bahwa tanah jenuh yang mendapat pembebanan statis dalam waktu yang cukup lama akan mengalami pengurangan volume. Besarnya konsolidasi biasanya dinyatakan dengan pengurangan angka pori. Pada tanah jenuh, angka pori (e) adalah proporsional dengan kadar air sebagaimana ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut: e = = Volume rongga(air) Volume butir-butirtanah Beratair x Beratbutir-butirtanah s w = Kadarairx s w. dimana s dan w berturut-turut adalah berat isi butir tanah dan berat isi air. D. Analisis penurunan Perhitungan besar dan kecepatan penurunan memerlukan data sebagai berikut: Tebal, posisi dan sifat-sifat berbagai lapisan tanah di bawah bangunan serta letak permukaan air tanah. Hubungan antara angka pori dengan tegangan efektif pada lapisan tanah yang ditinjau. Distribusi tegangan pada lapisan tanah sebagai akibat beban bangunan. Data yang pertama dapat diperoleh dari hasil pengeboran, sedangkan data yang ke dua diperoleh dari hasil pengujian konsolidasi di laboratorium sebagaimana diuraikan di bawah. 2-46

67 Penentuan distribusi tegangan merupakan persoalan yang cukup rumit sehingga diperlukan beberapa penyederhanaan. E. Distribusi Tegangan Distribusi tegangan pada medium yang semi tidak terbatas, elastis, homogin dan isotropis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Bousinesq. Untuk beberapa jenis pembebanan yang biasa dijumpai dalam praktek, telah dikembangkan tabel distribusi tegangan. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dihitung tegangan pada setiap titik dalam bidang horizontal dan vertikal tanah akibat beban sebagai berikut: Bentuk lingkaran dengan beban merata Bentuk lingkaran dengan beban segi tiga Bentuk lajur (long strip) dengan beban merata Bentuk lajur dengan beban segi tiga Bentuk lajur dengan beban bertangga (terrace) Bentuk segi empat dengan beban merata. Dengan mengkombinasikan jenis pembebanan di atas, biasanya jenisjenis pembebanan yang lain dapat didekati cukup teliti. Distribusi tegangan pada tanah ditentukan berdasarkan asumsi yang sama dengan asumsi pada medium Boussinesq (semi tidak terbatas, homogin, elastis dan isotropis). Disamping berdasarkan persamaan Boussinesq, penentuan distribusi tegangan dalam praktek sering disederhanakan dengan menganggap bahwa penyebaran beban adalah 1:1 atau 2:1 dan pada setiap bidang horizontal, distribusi beban adalah seragam. Hasil perhitungan berdasarkan kedua pendekatan tersebut menunjukkan bahwa penyebaran beban 2:1 ternyata lebih mendekati hasil perhitungan menurut Boussinesq daripada penyebaran beban 1:1. F. Perkiraan Penurunan Total Terlepas dari cara penentuan distribusi tegangan, prosedur perhitungan penurunan total adalah sama. Adapun prosedur penghitungan penurunan pada dasarnya dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut: 2-47

68 Tentukan angka pori tanah asli. Hitung tegangan efektif sebagai akibat beban penutup. Hitung tegangan efektif beban bangunan. Hitung tegangan efektif total, yaitu tegangan efektif akibat beban penutup ditambah tegangan efektif akibat bangunan Tentukan angka pori ahir berdasarkan hubungan antara angka proi dengan tegangan efektif yang diperoleh dari pengujian di laboratorium. Tentukan perubahan tebal lapisan, berdasarkan angka pori awal dan angka pori ahir serta tebal lapisan tanah. Nilai tersebut merupakan penurunan bangunan. Perubahan tebal lapisan atau penurunan total tanah jenuh (S) dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: S = e 1 e 1 e 1 2 H. dimana, e 1 = angka pori awal e 2 = angka pori ahir H = tebal lapisan tanah Pada saat menentukan peningkatan tegangan pada lapisan tanah, biasanya digunakan perubahan tegangan pada tengah-tengah lapisan. Hal tersebut menganggap bahwa distribusi tegangan dalam lapisan tanah adalah linear. Pada kasus tanah yang tebal, anggapan tersebut dapat menimbulkan kesalahan yang cukup besar, sehingga harus digunakan distribusi tegangan yang sebenarnya. Distribusi tegangan pada bidang horizontal tidaklah merata, kecuali pada perhitungan kasar. Oleh karena itu, penurunan di bawah berbagai titik pada bangunan haruslah dicek dengan menggunakan distribusi tegangan tersebut, agar diperoleh distribusi penurunan yang sebenarnya. 2-48

69 Sebagai alternatif, besarnya penurunan dapat diperkirakan berdasarkan indeks pemampatan (C c) melalui hubungan sebagai berikut: S = C c H 1 e 1 log p p 0. dimana C c ditetapkan berdasarkan hubungan e-log p dengan penjelasan sebagai berikut: Garis lurus pada hubungan e-log p dapat dinyatakan dengan persamaan tersebut di bawah: e 1 e 2 = konstanta x (log p 2 pog p 1) e 1 e 2 = C c (log p pog p 1) e 1 e 2 = C c p log p 2 1 C c = e1 e p log p Pada persamaan di atas, C c disebut indeks pemampatan, yaitu kemiringan bagian garis lurus pada kurva e-log p. Sebagai alternatif, indeks pemampatan dapat ditetapkan berdasarkan hubungan: C c = 0,009 (LL 10) dimana LL adalah batas cair. G. Perkiraan Kecepatan Penurunan Kecepatan penurunan bangunan yang direncanakan ditentukan berdasarkan hubungan antara derajat konsolidasi dengan waktu (diperoleh dari hasil pengujian di laboratorium). Derajat konsolidasi 100 persen adalah sesuai dengan penurunan total yang ditunjukkan pada Persamaan 10.4 atau 10.5; sedangkan lamanya penurunan ditentukan berdasarkan kenyataan bahwa kecepatan penurunan adalah berbanding terbalik dengan kuadrat jarak tempuh air. 2-49

70 Untuk pembebanan dan derajat konsolidasi yang sama, hubungan antara waktu konsolidasi di lapangan (t lap) dengan waktu konsolidasi di laboratorium (t lab) dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: t lap= Jarak tempuh airdilapangan Jarak tempuh airdilaboratorium 2 x t lab Pada persamaan di atas, jarak tempuh di laboratorium adalah sesuai dengan tebal contoh, sedangkan jarak tempuh di lapangan adalah sesuai dengan tebal lapisan tanah di lapangan serta arah aliran air. Apabila lapisan tanah adalah sangat tebal, maka jarak tempuh air dapat dianggap sama dengan tebal bagian lapisan yang menerima tegangan yang terukur. Dalam teori matematis konsolidasi, ditetapkan anggapan bahwa beban yang mengakibatkan konsolidasi bekerja langsung secara penuh. Dalam praktek, tingkat pembebanan yang bekerja pada tanah adalah bertahap, sesuai dengan kecepatan pembangunan struktur. Disamping itu, kecuali timbunan, sebagian besar struktur biasanya memerlukan penggalian tanah beberapa puluh centimeter. Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa tanah akan memuai dan penurunan tidak akan dimulai, kecuali apabila beban yang diakibatkan oleh bangunan telah melampaui berat tanah yang tergali. Apabila diperlukan perkiraan penurunan yang teliti, baik selama maupun setelah pembangunan, maka hubungan penurunan-waktu harus dikoreksi oleh pengaruh pembebanan bertahap, meskipun penurunan total setelah waktu yang lama tidak akan dipengaruhi oleh kondisi pembebanan awal. Terzaghi telah mengembangkan suatu metoda untuk menghitung kecepatan penurunan akibat pembebanan lambat (bertahap) selama pembangunan. Metoda tersebut didasarkan pada anggapan bahwa apabila kecepatan pembebanan tetap, maka penurunan yang akan terjadi pada ahir masa pelaksanaan akan sama dengan penurunan yang terjadi di tengah masa pelaksanaan apabila pembebanan bekerja sekaligus pada awal pembangunan. Hubungan penurunan-waktu untuk masa setelah pembangunan akan mengikuti bagian kurva pembebanan 2-50

71 sekaligus, mulai dari waktu yang sama dengan setengah masa pelaksanaan. Perkiraan penurunan yang didasarkan pada anggapan di atas dapat ditentukan melalui cara grafis sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2-12 BEBAN BANGUNAN Q A BEBAN TOTAL BANGUNAN R P O MASA PELAKSANAAN WAKTU ½ t t ½ t c t c O J L G E PENURUNAN K M H J F KURVA PENURUNAN AKIBAT PEMBEBANAN BERTAHAP KURVA PENURUNAN AKIBAT PEMBEBANAN LANGSUNG PENUH C S D Gambar 2-12 Cara grafis penentuan penurunan akibat pembebanan bertahap (Sumber: TRRL, 1952) Pada Gambar 2-12, OAB = beban sebagai fungsi waktu OCD = kurva penurunan fungsi waktu apabila beban bekerja langsung penuh sejak awal pembangunan tc = masa pelaksanaan Pada ahir masa pelaksanaan (tc), penurunan yang terjadi akibat beban bertahap adalah sama dengan penurunan pada setengah masa pelaksanaan (½t c) akibat beban langsung bekerja penuh (GH atau EF). Pada setiap saat pada masa pelaksanaan (t), penurunan yang terjadi akibat beban bertahap (LM) adalah sama dengan penurunan pada 2-51

72 setengah masa pelaksanaan (½t) akibat beban langsung bekerja penuh yang dikoreksi oleh beban pada saat t terhadap beban pada ahir pelaksanaan. Dengan demikian, maka LM = JK x QR. AP Berdasarkan hal di atas, penurunan pada setiap saat pada masa pelaksanaan dapat diperoleh dengan memproyeksikan penurunan pada setengah masa pelaksanaan akibat beban penuh terhadap garis vertikal melalui t c, kemudian menghubungkan titik tersebut dengan titik O. Perpotongan antara garis tersebut dengan garis vertikan melalui t merupakan penurunan sampai waktu t. Kurva penurunan setelah masa pelaksanaan (FS) mengikuti bentuk penurunan akibat pembebanan penuh mulai dari titik H; dalam hal tersebut, CS = ½t c Perencanaan Perkerasan Oprit Jembatan Standar Acuan Untuk perencanaan oprit jembatan, sama halnya dengan perencanaan perkerasan untuk jalan raya pada umumnya, dapat dipilih tipe perkerasan lentur (flexible pavement) atau perkerasan kaku. Jika tidak ditentukan lain, rujukan yang dipakai untuk perhitungan konstruksi / tebal perkerasan jalan lentur adalah : Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya dengan Metoda Analisa Komponen, SNI No F. Pd.T B, Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur. AASHTO Guide for Design of Pavement Structures, Tahun 1993, atau edisi terbaru. Perangkat lunak Road Design System (RDS) versi terakhir. dan atau acuan baku lain yang disetujui oleh Pengguna Jasa. Desain tebal perkerasan akan menggunakan salah satu dari metoda tersebut, jika dipandang perlu akan menggunakan satu metoda lagi dari yang disebutkan diatas untuk kontrol perhitungan teknik. 2-52

73 Sedangkan rujukan yang dipakai untuk perhitungan konstruksi / tebal perkerasan jalan kaku (rigid pavement) adalah : Pd.T , Perencanaan perkerasan jalan beton semen. AASHTO Guide for Design of Pavement Structures, Portland Cement Association. dan atau acuan baku lain yang disetujui oleh Pengguna Jasa. Untuk perencanaan kapasitas jalan perencana dapat menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum atau yang berlaku selama ini Tipe Perkerasan Usulan tipe perkerasan akan dikaji dari salah satu atau gabungan dari tipe perkerasan berikut : Flexible pavement (perkerasan lentur) Rigid pavement (perkerasan kaku) Gabungan flexible pavement dan rigid pavement (composite pavement) Pemilihan Jenis Bahan Material Tanah Perencanaan harus mengutamakan penggunaan bahan/material sesuai dengan masukan dari laporan geoteknik. Bila bahan setempat tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan konstruksi, maka perencana harus mengusulkan usaha-usaha peningkatan sifat-sifat teknik bahan, sehingga dapat dipakai sebagai bahan konstruksi prioritas pertama dalam perbaikan tanah sebelum pilihan cara perbaikan dengan hirarki lebih tinggi atau alternatif lainnya. A. Bahan untuk perkerasan lentur Terdapat 6 tujuan dasar dari aplikasi perkerasan lentur : 1. Mendukung beban lalu lintas Secara umum, suatu jalan harus mampu mendukung beban lalu lintas tanpa adanya perubahan bentuk pada permukaan, lapis pondasi atas 2-53

74 dan bawah. Hal ini sering disebut sebagai stabilitas, kadang-kadang disebut kekuatan mekanik. Stabilitas ini tidak hanya mencakup ketahanan langsung terhadap beban roda seberapa kg/cm 2 tekanan roda, tetapi juga ketahanan terhadap kerusakan internal dan pergerakan butiran oleh aksi peremasan oleh lalu lintas. Selama musim kemarau, jalan tanah mempunyai stabilitas yang baik untuk lalu lintas ringan. Akan tetapi, peremasan oleh lalu lintas yang agak tinggi menyebabkan kerusakan internal terhadap butiran tanah sampai kubangan debu yang cukup dalam terbentuk dalam waktu singkat. Suatu lapisan berbutir akan meningkatkan stablilitas jalan dan akan dapat mendukung lalu lintas yang lebih berat. Hal ini dapat digambarkan bahwa penyebaran beban lalu lintas melalui suatu lapisan berbutir akan memberikan distribusi pembebanan yang melebar sehingga lapisan tanah dasar dapat memberikan daya dukung yang lebih besar. Akan tetapi, peremasan oleh lalu lintas akan menghasilkan penggesekan antar butiran dalam lapisan berbutir. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan internal butiran dan perubahan bentuk yang cepat atau timbulnya alur (rutting). Tebal lapisan berbutir, bentuk dan gradasi butiran adalah faktor penting dalam menentukan tingkat kestabilan. Dalam pembahasan ini, diasumsikan bahwa kekuatan mekanik yang cukup akan mampu mendukung beban lalu lintas. 2. Melindungi tanah dasar dari air Kelebihan air dalam material konstruksi jalan akan menyebabkan pelumasan butiran sehingga menghilangkan stabilitas alami. Pengendalian air permukaan dan air bawah permukaan harus diperhatikan dalam perencanaan suatu jalan. Hujan dan rembesan bawah permukaan pada jalan tanah akan mengakibat-kan tanah menjadi lumpur dengan cepat. Lapisan berbutir akan menyediakan semacam perlindungan terhadap aliran permukaan. Kelebihan air tidak akan menurunkan kekuatan mekanik lapisan berbutir tersebut, tetapi akan sangat mempengaruhi daya dukung tanah, sehingga jika kondisi dalam basah lapisan berbutir yang lebih tebal harus disediakan untuk memperkecil beban pada tanah dasar. 2-54

75 3. Memperkecil kemungkinan pelepasan butir pada permukaan Lintasan kendaraan akan menyebabkan keausan yang bervariasi pada permukaan jalan. Keausan ini bervariasi mulai dari abrasi langsung pada permukaan yang keras, sampai pada pelepasan butiran debu, and pelepasan butiran yang lebih besar. Jalan tanah dalam kondisi kering dapat mendukung beban lalu lintas, tetapi kondisi ini meniadakan daya ikat antar butiran dan lalu lintas akan membawa butiran debu ini. Pelepasan butir pada jalan dengan material berbutir oleh lalu lintas menjadi masalah serius. Material berbutir mudah terangkat oleh roda dan terbuang ke luar jalan. Dengan demikian, kehilangan biaya yang besar akan terjadi, juga munculnya bahaya dan gangguan pada pengemudi. Bitumen yang cukup pada lapis permukaan dapat mengikat butiran sede-mikian hingga lapis permukaan dapat tahan terhadap aksi pelepasan butir oleh lalu lintas, juga tahan terhadap aksi pengausan. 4. Memberikan texture permukaan yang memadai Texture permukaan harus aman untuk kendaraan pada umumnya dan harus cukup mulus untuk kenyamanan maupun umur roda. Jalan tanah tidak pernah memberikan texture permukaan yang memadai pada setiap saat. Permukaan jalan menjadi licin jika basah dan kelebihan air akan segera membentuk alur dan lubang yang membahayakan dan merusak kendaraan. Permukaan jalan dengan material berbutir umumnya belum dapat memberikan texture yang baik. Pelepasan material dapat menyebabkan tergelincir pada kecepatan tinggi. Permukaan yang mulus sulit untuk dipertahankan, dan lubang, alur dan ketidakrataan berkembang selama periode waktu tertentu. 5. Lentur terhadap lapis tanah dasar Jalan tanah umumnya menyesuaikan kelenturan terhadap lendutan tanah dasar karena semua material jalan adalah sejenis. Adlaha hal yang mudah untuk mempertahankan kemulusan permukaan dengan pisau grader pada cuaca yang cocok. 2-55

76 Permukaan berbutir dapat menyesuaikan kelenturan terhadap lendutan tanah dasar. Permukaan agaknya dapat dibentuk kembali ke bentuk semula. Permukaan beraspal adalah relatif lentur dan akan menyesuaikan kelenturan terhadap berbagai pondasi. Permukaannya tidak mudah dibentuk kembali seperti halnya jalan tanah atau jalan dengan material berbutir tetapi jalan beraspal dapat ditambal atau dilapis ulang agar kembali ke bentuk semula. 6. Tahan terhadap cuaca Matahari, hujan, angin, panas, dan dingin adalah faktor yang berpengaruh terus menerus pada permukaan. Beberapa material atau kombinasinya akan tahan terhadap daya rusaknya dibandingkan dengan material lainnya dan tentu akan memperpanjang umur permukaan. Air dan angin pada jalan tanah adalah perusak terbesar dibandingkan pengaruh cuaca lainnya. Pengaruh cuaca pada jalan dengan material berbutir sangat kecil. Pengaruh lalu lintaslah yang terbesar sehingga pemeliharaan dengan frekwensi tinggi dan penambahan material baru diperlukan. Matahari, angin dan variasi temperatur akan berpengaruh pada material ber-aspal dan pengaruh ini harus dipertimbangkan. Material beraspal dapat mempertahankan daktilitas dan ikatan antar material sehingga dapat memberikan umur yang permukaan yang lebih panjang. Secara umum, komponen perkerasan lentur adalah berikut ini : LAPIS PERMUKAAN (Surface Course) terdiri dari lapisan beraspal LAPIS PONDASI ATAS (Base Course) dapat terbuat dari lapisan beraspal, bahan berbutir, bahan yang distabilisasi dengan semi/kapur. LAPIS PONDASI BAWAH (Subbase Course) dapat terbuat dari lapisan beraspal, bahan berbu-tir, bahan yang distabilisasi dengan semen/kapur LAPIS TANAH DASAR (Subgrade) tebal tak terhingga 2-56

77 Berbagai jenis Lapis Aus adalah sebagai berikut : 1. Lapis Aus (Wearing Course) : SMA; BMA; HSMA-WC; AC-WC konventional; AC-WC Superpave; AC- WC Modofied; HRS-WC; DGEM; Microasbuton A, Lasbutag, Penetrasi Macadam, Burtu, Burda; dsb. 2. Lapis Pengikat (Binder Course) HSMA-BC; AC-BC konvensional; AC-BC Superpave; AC-BC Modified; HRS-Base; OGEM; Microasbuton B; dsb. Berbagai jenis Lapis Pondasi Atas adalah sebagai berikut : 1. Tanpa Pengikat : Lapis Pondasi Agregat Kelas A; Dry Bound Macadam 2. Dengan Pengikat : a). Pengikat Air : Water Bound Macadam b). Pengikat Semen : PCC (Portland Cement Concrete); CTB; Soil Cement Base c). Pengikat Aspal : ATB Konvensional; AC-Base: dsb Berbagai jenis Lapis Pondasi Bawah adalah sebagai berikut : 1. Tanpa Pengikat : Lapis Pondasi Agregat Kelas B 2. Dengan Pengikat : a). Pengikat Aspal : ATSB Konvensional; CTSB: dsb b). Lainnya. Parameter yang paling sering digunakan untuk perkerasan lentur adalah California Bearing Ratio disingkat CBR karena metode CBR merupakan cara perhitungan perkerasan yang paling awal digunakan. CBR adalah perbandingan beban untuk penetrasi piston seluas 3 inch persegi sedalam 0,1 inch terhadap beban 3000 lbs, atau 0,2 inch terhadap beban 4500 lbs. 2-57

78 Biasanya diambil yang penetrasi 0,1 inch. Jika yang 0,2 inch memberikan CBR yang lebih besar dari yang 0,1 inch maka pengujian harus diulang. Jika pengujian ulang memberikan hasil yang masih tetap sama, maka diambil CBR dengan penetrasi 0,2 inch. Beban Piston Penekan Penetrasi Luas Alas 3 inch 2 Secara umum, CBR yang ekonomis untuk tanah dasar adalah sama dengan atau diatas 6. Bilamana CBR tanah dasar agak kecil maka tanah dasar tersebut harus ditingkatkan dengan cara yang ekonomis yaitu pemasangan capping layer yang terdiri dari Timbunan Pilihan (CBR > 10) : Jika CBR antara 3 sampai 5 maka digunakan capping layer sekitar 20 cm Jika CBR dibawah 3 maka digunakan capping layer sekitar 35 cm Pemasangan capping layer ini dimaksudkan untuk memperoleh CBR gabungan antar capping layer dengan CBR tanah di bawahnya yang mendekati 6. Capping Layer CBR gabungan cm Tanah Asli 2-58

79 Perlu digarisbawahi bahwa : Tebal komponen perkerasan boleh disubstitusi hanya dengan material yang lebih tinggi mutunya bukan sebaliknya. Jika dieqivalentkan dengan bahan yang lebih rendah maka akan terjadi Fatique Cracking terlebih dahulu sebelum terjadinya rutting. Hal ini sering dilakukan di proyek tanpa disadari. Bandingkan dengan Under Reinforced pada Beton Bertulang. Jika mutu material tidak memenuhi syarat maka : 1. Campuran Aspal : a). Stabilitas rendah, maka corrugation (keriting) atau shoving (sungkur) akan terjadi. b). Marshall Quotient tinggi, campuran mudah retak karena agak kaku. c). Rongga udara tinggi, mudah teroksidasi sehingga mudah getas. d). Rongga udara kecil, bleeding (kegemukan). e). Kelekatan batuan terhadap aspal kurang, kekuatan rendah. 2. Lapis Pondasi Agregat : a). CBR rendah, lapisan beraspal diatasnya cepat retak maka umur berkurang b). Abrasi agregat tinggi atau pipih, agregat mudah pecah maka interlocking hilang sehingga kekuatan menurun. Jika mutu pelaksanaan tidak memenuhi syarat maka : 1. Campuran Aspal : a). Suhu campuran > 165 C, terjadi perubahan sifat-sifat kimia aspal sehingga cepat getas. b). Pemadatan kurang, kepadatan yang diperoleh kurang maka stabilitas kurang dan rongga udara besar sehingga kekuatan menurun dan cepat getas. 2. Lapis Pondasi Agregat : Pemadatan kurang, kepadatan yang diperoleh kurang maka CBR akan turun drastis (tidak linear) sehingga daya dukung menurun drastis yang mengakibatkan lapisan berasapal diatasnya mudah retak. 2-59

80 B. Bahan untuk perkerasan kaku Perbedaan prinsip antara perkerasan lentur dan kaku adalah Modulusnya (E): Modulus perkerasan kaku tinggi, deformasi yang terjadi kecil maka distribusi beban melebar sehingga tebal yang diperlukan tidak terlalu tebal. Modulus perkerasan lentur rendah, deformasi yang terjadi besar maka distri-busi beban mengkerucut kecil sehingga tebal yang diperlukan besar. Lagipula, modulus perkerasan lentur sangat sensitif terhadap perubahan temperatur dan waktu pembebanan. Beban Beban PERKERASAN KAKU PERKERASAN LENTUR L L Secara umum, komponen perkerasan kaku adalah berikut ini : BETON SEMEN SUBBASE SUBGRADE > K400 (yang dibutuhkan sebenarnya Flexural Strength, > 45 kg/cm 2 ), tebal beton semen sangat bergantung pada flexural strength tidak harus ada, biasanya digunakan Cement Treated Sub-base (CTSB) atau Lean Concrete CBR tidak terlalu berpengaruh terhadap tebal beton semen Jika mutu material tidak memenuhi syarat maka untuk Perkerasan Beton : Kekuatan lentur (flexural strength) rendah, maka regangan tarik yang terjadi besar sehingga umur berkurang. Agregat agak lunak atau kotor, permukaan akan lepas-lepas sehingga umur menjadi berkurang. 2-60

81 Jika mutu pelaksanaan tidak memenuhi syarat maka : 1. Perkerasan Beton : Kerataan tidak memenuhi toleransi, kenyamanan pengendara berkurang dan umur akan menurun. Pemadatan yang kurang sempurna akan menimbulkan keropos dalam beton sehingga mudah retak dan umur akan berkurang. Air yang digunakan terlalu banyak, mutu beton menurun sehingga umur akan berkurang. 2. Cement Treated Sub-Base (CTSB): Permukaan kasar dan tidak rata, bidang antara CTSB dan perkerasan beton tidak diberi plastik atau membran, maka perkerasan beton akan retak di sembarang tempat bukan di daerah dowel Umur Rencana Umur rencana (UR) yang akan digunakan dalam perencanaan disesuaikan dengan jenis, fungsi jalan dan penanganan jalan Parameter Desain Perkerasan Parameter desain perkerasan jalan lentur dengan metoda Analisa Komponen antara lain mencakup seperti diberikan pada Tabel 2-23 Tabel : Parameter Desain Perkerasan Lentur Cara Analisa Komponen No. Parameter Satuan 1. Umur Rencana tahun 2. Data lalu-lintas terakhir pada tahun tahun 3. Rencana jalan dibuka pada tahun tahun 4. Lalu-lintas Harian Rata-rata kendaraan 5. Pertumbuhan lalu-lintas % 6. Jumlah lajur - 7. Koefisien distribusi kendaraan ringan - 8. Koefisien distribusi kendaraan berat - 9. CBR % 10. Faktor Regional : - Kelandaian % - % Kendaraan berat % - Iklim / curah hujan mm/tahun 2-61

82 11. Bahan konstruksi dan koefisien kekuatan relatif : - Laston lapis aus / lapis permukaan - - Laston lapis pengikat - - Laston lapis pondasi - - Lapisan pondasi atas perkerasan berbutir - - Lapisan pondasi bawah - Parameter desain perkerasan jalan lentur dengan metoda AASHTO 1993 antara lain mencakup seperti diberikan pada Tabel Tabel 2-24 Parameter Desain Perkerasan Lentur Cara AASHTO 1993 No. Parameter Satuan 1. Umur Rencana tahun 2. Lalu-lintas, ESAL - 3. Serviceability : - Terminal serviceability (pt) - - Initial serviceability (po) - - Serviceability loss ( PSI = po pt ) - 4. Reliability (R) : % - Standard normal deviation (ZR) - - Standard deviation (So) - 5. Resilient modulus : - Resilient modulus tanah dasar (MR) psi - Resilient modulus agregat kelas A (MR) psi - Resilient modulus AC-Base (MR) psi - Elastic (resilient) modulus AC (EAC) psi 6. Layer coefficient : - Laston lapis aus / lapis permukaan - - Laston lapis pengikat - - Laston lapis pondasi - - Lapisan pondasi atas perkerasan berbutir - - Lapisan pondasi bawah - 7. Tebal minimum : - Tebal minimum Asphalt Concrete inch - Tebal minimum Aggregate Base inch 8. Drainage coefficient (mi) - Parameter desain perkerasan jalan kaku (rigid pavement) dengan metoda AASHTO 1993 antara lain mencakup seperti diberikan pada Tabel

83 Tabel 2-25 Parameter Desain Perkerasan Kaku Cara AASHTO 1993 No. Parameter Satuan 1. Umur Rencana tahun 2. Lalu-lintas, ESAL - 3. Terminal serviceability (p t) - 4. Initial serviceability (p o) - 5. Serviceability loss ( PSI = p o p t ) - 6. Reliability (R) % 7. Standard normal deviation (Z R) - 8. Standard deviation (S o) - 9. CBR % 10. Modulus reaksi tanah dasar (k) pci 11. Kuat tekan (f c ) psi 12. Modulus elastisitas beton (E c) psi 13. Flexural strength (S c) psi 14. Drainage coefficient (C d) Load transfer coefficient (J) Perencanaan Dinding Penahan Tanah Oprit Jembatan Ditinjau dari segi konstruksi, oprit jembatan terdiri dari tanah dasar (subgrade), timbunan padat dan lapis-lapis perkerasan jalan (subbase, base dan surface). Lapis perkerasan bisa berupa flexible pavement ataupun rigid pavement tergantung kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Pemilik Pekerjaan. Fungsi oprit jembatan sebagai penghubung antara jalan raya dengan lantai kendaraan jembatan seringkali menempatkan oprit jembatan pada kondisi timbunan yang relatif tinggi. Jika tinggi timbunan oprit tidak melampau H kritis, maka untuk mengatasi kemungkinan terjadinya longsoran talud di kiri-kanan timbunan, asalkan dibuat kemiringan talud sesuai dengan properties tanah timbunan, oprit jembatan tidak memerlukan dinding penahan tanah. Bagaimana jika ternyata tinggi timbunan oprit melebihi H kritis? Secara teknis, tidak harus membuat dinding penahan tanah akan tetapi talud dibuat berbentuk tangga sebagaimana dapat dilihat pada sketsa di bawah. Dengan membagi H kritis menjadi 3 bagian, maka perencana dapat memilih alternatif yang mudah secara teknis dan tidak harus mendesain dinding penahan tanah. 2-63

84 Akan tetapi permasalahan yang sering dihadapi adalah justru lahan yang dapat disediakan untuk menempatkan talud-talud oprit jembatan sangat terbatas, tidak ada ruang yang cukup untuk membuat talud-talud berbentuk tangga seperti di dalam sketsa. Oleh karena itu pilihan yang tersedia adalah membuat dinding penahan tanah di sebelah kiri dan kanan oprit jembatan agar oprit dapat berfungsi sebagai penghubung antara jalan dan jembatan Tipe-tipe Dinding Penahan Tanah Referensi yang digunakan untuk penulisan ini diambil dari Mekanika Tanah & Teknik Fondasi 1981, Ir Suyono Sosrodarsono dan Kazuto Nakazawa, namun diedit bebas sesuai dengan keperluan penulisan modul. A. Dinding penahan berupa pasangan batu Dinding penahan tipe ini digunakan terutama untuk mencegah keruntuhan tanah, dan pada prinsipnya tipe ini digunakan apabila tanah asli di belakang dinding penahan cukup baik, selain itiu tekanan tanah dianggap kecil. Dinding penahan tanah tipe ini mudah dilaksanakan dan biayanya juga rendah namun fungsinya tidak lebih dari menjaga lereng dari gerusan air hujan. B. Dinding penahan beton tipe gravitasi 2-64

85 Dinding penahan tipe ini digunakan apabila tinggi dinding yang diperlukan tidak terlalu tinggi atau tanah dasar yang berfungsi sebagai pondasi mempunyai kondisi baik. Prinsip dasar yang digunakan disini adalah beban-beban yang bekerja pada dinding diimbangi dengan berat sendiri dinding yang mencukupi. Jadi artinya tekanan tanah dilawan oleh berat sendiri dinding sehingga safety factor tidak dilampaui. C. Dinding penahan beton dengan sandaran Dinding penahan tipe ini mirip dengan tipe 1, bedanya adalah pasangan batu kali diganti dengan beton. Tipe ini digunakan apabila tanah asli di belakang dinding penahan cukup baik, selain itiu tekanan tanah dianggap kecil. Persyaratan utama yang harus dijaga adalah agar tanah di belakang dinding penahan tidak runtuh karena tanpa tanah di belakang dinding penahan, maka dinding penahan akan terguling. D. Dinding penahan beton bertulang dengan balok kantilever Dinding penahan tipe ini terdiri dari suatu dinding beton bertulang memanjang dan balok kantilever pada bagian kaki konstruksi, tepatnya berupa pelat lantai beton bertulang memanjang sampai sepanjang dinding, berlaku seperti kantilever. Beban-beban yang bekerja pada dinding penahan diimbangi oleh berat sendiri dinding penahan dan berat tanah di atas pelat beton bertulang. Dalam perhitungan desain, jika safety factor dapat dicapai, maka berarti desain dinding penahan dianggap memenuhi persyaratan teknis. E. Dinding penahan beton bertulang dengan penahan (buttress) Dinding penahan tipe ini bagian kantilevernya berada di timbunan tanah, diperkuat dengan penopang yang tegak lurus dinding penahan. Tipe ini biasanya digunakan untuk konstruksi dengan dinding penahan yang cukup tinggi, akan tetapi nampaknya sulit dilaksanakan apabila digunakan untuk oprit jembatan. Pemadatan oprit pada konstruksi dinding penahan tipe ini akan mengalami kesulitan karena adanya konstruksi penopang sehingga pemadatan oprit menjadi tidak optimal. 2-65

86 F. Dinding penahan beton bertulang dengan tembok penyokong Dinding penahan tipe ini bagian kantilevernya berada di luar area oprit jembatan, tembok penyokong yang berhubungan dengan dinding penahan ditempatkan pada sisi yang berlawanan dengan sisi dimana tanah bekerja. Tipe ini digunakan jika diperlukan dinding penahan yang cukup tinggi. Sama dengan dinding penahan tipe lainnya, jika dalam perhitungan desain diperoleh safety factor yang melebihi yang dipersyaratkan, maka berarti desain secara teknis telah memenuhi syarat. Untuk jelasnya lihat sketsa tipe-tipe dinding penahan tanah berikut ini: Gambar 2-13 Beberapa Tipe Dinding Penahan Tanah Pemilihan Tipe Dinding Penahan Tanah Pemilihan tipe dinding penahan tanah (pada oprit jembatan) lazimnya dipertimbangkan berdasarkan tinggi dinding yang diperlukan. Berikut ini diberikan tabel yang menunjukkan korelasi antara tipe dinding penahan tanah dengan tinggi dinding. Tabel ini hanya bersifat pedoman kasar, 2-66

PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER)

PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER) BDE 07 = LAPORAN PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA.5212.113.01.07.07 Judul : Membuat Laporan Perencanaan Teknis Jembatan PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Klasifikasi dan Fungsi Jalan 3.1.1 Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan Menurut Bina Marga (1997), fungsi jalan terdiri dari : a. jalan arteri : jalan yang melayani angkutan utama

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang

BAB III LANDASAN TEORI. tanah adalah tidak rata. Tujuannya adalah menciptakan sesuatu hubungan yang BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pengertian Geometrik Jalan Raya Geometrik merupakan membangun badan jalan raya diatas permukaan tanah baik secara vertikal maupun horizontal dengan asumsi bahwa permukaan tanah

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 250) Lengkung Geometrik

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 250) Lengkung Geometrik PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (HSKB 50) Lengkung Geometrik PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL MAGISTER TEKNIK JALAN RAYA UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN Lengkung busur lingkaran sederhana (full circle)

Lebih terperinci

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN ELEMEN PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN Alinemen Horizontal Alinemen Horizontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang horizontal (Denah). Alinemen Horizontal terdiri dari bagian lurus dan lengkung.

Lebih terperinci

Bahu Jalan Berdasarkan MKJI KATA PENGANTAR

Bahu Jalan Berdasarkan MKJI KATA PENGANTAR Dan Bahu Jalan Berdasarkan MKJI KATA PENGANTAR Pengembangan Sumber Daya Manusia di bidang Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sesuai bidang kerjanya, agar mereka mampu berkompetisi

Lebih terperinci

Sebidang Atau Tidak Sebidang KATA PENGANTAR

Sebidang Atau Tidak Sebidang KATA PENGANTAR Penerapan Prinsip Dasar Persimpangan KATA PENGANTAR Pengembangan Sumber Daya Manusia di bidang Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sesuai bidang kerjanya, agar mereka mampu berkompetisi

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG

PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG PERENCANAAN GEOMETRIK PADA RUAS JALAN TANJUNG MANIS NILAS KECAMATAN SANGKULIRANG Oleh : AGUS BUDI SANTOSO JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA ABSTRAK Perencanaan

Lebih terperinci

EVALUASI GEOMETRIK JALAN PADA JENIS TIKUNGAN SPIRAL- CIRCLE-SPIRAL DAN SPIRAL-SPIRAL (Studi Kasus Jalan Tembus Tawangmangu Sta Sta

EVALUASI GEOMETRIK JALAN PADA JENIS TIKUNGAN SPIRAL- CIRCLE-SPIRAL DAN SPIRAL-SPIRAL (Studi Kasus Jalan Tembus Tawangmangu Sta Sta EVALUASI GEOMETRIK JALAN PADA JENIS TIKUNGAN SPIRAL- CIRCLE-SPIRAL DAN SPIRAL-SPIRAL (Studi Kasus Jalan Tembus Tawangmangu Sta 2+223.92 Sta 3+391.88) JURNAL PROYEK AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Teknik

Lebih terperinci

DAFTAR ISI KATA PENGATAR

DAFTAR ISI KATA PENGATAR DAFTAR ISI Halaman Judul i Pengesahan ii Halaman Persetujuan iii Motto dan Persembahan iv ABSTRAK v ABSTRACK vi KATA PENGATAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xiii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR

Lebih terperinci

I Dewa Made Alit Karyawan*, Desi Widianty*, Ida Ayu Oka Suwati Sideman*

I Dewa Made Alit Karyawan*, Desi Widianty*, Ida Ayu Oka Suwati Sideman* 12 Spektrum Sipil, ISSN 1858-4896 Vol. 2, No. 1 : 12-21, Maret 2015 ANALISIS KELANDAIAN MELINTANG SEBAGAI ELEMEN GEOMETRIK PADA BEBERAPA TIKUNGAN RUAS JALAN MATARAM-LEMBAR Analysis Superelevation on Alignment

Lebih terperinci

Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus

Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus Sesuai Peruntukannya Jalan Umum Jalan Khusus Jalan umum dikelompokan berdasarkan (ada 5) Sistem: Jaringan Jalan Primer; Jaringan Jalan Sekunder Status: Nasional; Provinsi; Kabupaten/kota; Jalan desa Fungsi:

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR merepresentasikan unit kompetensi

KATA PENGANTAR merepresentasikan unit kompetensi KATA PENGANTAR Pengembangan Sumber Daya Manusia di bidang Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sesuai bidang kerjanya, agar mereka mampu berkompetisi dalam memperebutkan pasar kerja.

Lebih terperinci

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT

EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT EVALUASI ALINEMEN HORIZONTAL PADA RUAS JALAN SEMBAHE SIBOLANGIT TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil Oleh: DARWIN LEONARDO PANDIANGAN

Lebih terperinci

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP:

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP: PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MENGGUNAKAN SOFTWARE AUTODESK LAND DESKTOP 2006 Veronica Dwiandari S. NRP: 0721079 Pembimbing: Dr. Budi Hartanto S., Ir., M.Sc. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN RUAS JALAN ARIMBET-MAJU-UJUNG-BUKIT-IWUR PROVINSI PAPUA Sabar P. T. Pakpahan 3105 100 005 Dosen Pembimbing Catur Arief Prastyanto, ST, M.Eng, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Lebih terperinci

PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER)

PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER) BDE 2 = KOORDINASI PENGUMPULAN DAN PENGGUNAAN DATA TEKNIS Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA.5212.113.1.2.7 Judul : Melakukan Koordinasi Untuk Pengumpulan Dan Penggunaan Data Teknis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di zaman yang semakin maju ini, transportasi menjadi hal vital dalam kehidupan manusia. Kesuksesan bertransportasi sangatlah dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan

Lebih terperinci

PELATIHAN AHLI TEKNIK LALU LINTAS (TRAFFIC ENGINEER)

PELATIHAN AHLI TEKNIK LALU LINTAS (TRAFFIC ENGINEER) DRAFT TRE 01 = PENERAPAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI DAN UNDANG-UNDANG TERKAIT Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA.5211.113.07.01.07 Judul : Menerapkan Ketentuan Undang-

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Jalan Menurut Arthur Wignall (2003 : 12) secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlakukannya izin khusus

Lebih terperinci

SLK (STANDAR LATIH KOMPETENSI)

SLK (STANDAR LATIH KOMPETENSI) SLK (STANDAR LATIH KOMPETENSI) Judul Pelatihan : AHLI TEKNIK LALU LINTAS (TRAFFIC ENGINEER ) Kode Jabatan Kerja : INA.5211.113.07 Kode Pelatihan : DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI DAN

Lebih terperinci

EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG EVALUASI DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JARINGAN JALAN DI DALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG Bayu Chandra Fambella, Roro Sulaksitaningrum, M. Zainul Arifin, Hendi Bowoputro Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA 4 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 UMUM Studi pustaka memuat uraian tentang informasi yang relevan dengan masalah yang dibahas. Informasi ini dapat diperoleh dari buku-buku, laporan penelitian, karangan ilmiah,

Lebih terperinci

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006

PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006 PENGANTAR PERENCANAAN JALAN RAYA SO324 - REKAYASA TRANSPORTASI UNIVERSITAS BINA NUSANTARA 2006 PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN STANDARD PERENCANAAN Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya No. 13/1970 Direktorat

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. membandingkan perhitungan program dan perhitungan manual.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. membandingkan perhitungan program dan perhitungan manual. BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Program Validasi program dimaksudkan untuk mengetahui apakah hasil dari perhitungan program ini memenuhi syarat atau tidak, serta layak atau tidaknya program ini

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN BERDASARKAN METODE BINA MARGA MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN BERDASARKAN METODE BINA MARGA MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC PERENCANAAN GEOMETRI JALAN BERDASARKAN METODE BINA MARGA MENGGUNAKAN PROGRAM VISUAL BASIC Eduardi Prahara Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Bina Nusantara Jln. K.H. Syahdan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 24 BAB III LANDASAN TEORI A. Alinyemen Horisontal Jalan Raya Alinemen horisontal atau trase suatu jalan adalah proyeksi sumbu jalan tegak lurus bidang kertas yang terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-17-2004-B Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelompokan Jalan Menurut Undang Undang No. 38 Tahun 2004 tentang jalan, ditinjau dari peruntukannya jalan dibedakan menjadi : a. Jalan khusus b. Jalan Umum 2.1.1. Jalan

Lebih terperinci

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000

5/11/2012. Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University. Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Source:. Gambar Situasi Skala 1:1000 Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Gambar Situasi Skala 1:1000 Penentuan Trace Jalan Penentuan Koordinat PI & PV Perencanaan Alinyemen Vertikal

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 37 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini di bagi menjadi 2 tahap: 1. Pengukuran kondisi geometri pada ruas jalan Ring Road Selatan Yogyakarta Km. 36,7-37,4 untuk mengkorfirmasi

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur

Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur Perencanaan Geometrik dan Perkerasan Jalan Lingkar Barat Metropolitan Surabaya Jawa Timur Ferdiansyah Septyanto, dan Wahju Herijanto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas FTSP, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Lebih terperinci

No Dokumen Revisi Ke: Dokumen Level: 3 PANDUAN Tanggal Berlaku: RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Halaman 1

No Dokumen Revisi Ke: Dokumen Level: 3 PANDUAN Tanggal Berlaku: RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Halaman 1 RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) Halaman 1 Identitas Mata Kuliah Course Identity Kode mata kuliah Course code : TKS22227 Bobot satuan kredit semester (sks) :4 Course credit unit : 4 Semester : Semester

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA Sudarman Bahrudin, Rulhendri, Perencanaan Geometrik Jalan dan Tebal Perkerasan Lentur pada Ruas Jalan Garendong-Janala PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN DAN TEBAL PERKERASAN LENTUR PADA RUAS JALAN GARENDONG-JANALA

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN GEOMETRI JALAN PADA RUAS JALAN SANGGAU - SEKADAU

STUDI KELAYAKAN GEOMETRI JALAN PADA RUAS JALAN SANGGAU - SEKADAU STUDI KELAYAKAN GEOMETRI JALAN PADA RUAS JALAN SANGGAU - SEKADAU M.Azmi Maulana 1),Komala Erwan 2),Eti Sulandari 2) D11109050@gmail.com ABSTRAK Jalan raya adalah salah satu prasarana transportasi yang

Lebih terperinci

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN

ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN ANALISA ALINYEMEN HORIZONTAL PADA JALAN LINGKAR PASIR PENGARAIAN Ahmadi : 1213023 (1) Bambang Edison, S.Pd, MT (2) Anton Ariyanto, M.Eng (2) (1)Mahasiswa Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Pasir

Lebih terperinci

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP:

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP: PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM BENTLEY MX ROAD Rizky Rhamanda NRP: 0521006 Pembimbing: Ir. Silvia Sukirman Pembimbing Pendamping: Sofyan Triana, ST., MT. FAKULTAS TEKNIK JURUSAN

Lebih terperinci

Oleh : ARIF SETIYAFUDIN ( )

Oleh : ARIF SETIYAFUDIN ( ) Oleh : ARIF SETIYAFUDIN (3107 100 515) 1 LATAR BELAKANG Pemerintah Propinsi Bali berinisiatif mengembangkan potensi pariwisata di Bali bagian timur. Untuk itu memerlukan jalan raya alteri yang memadai.

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang,

BAB III LANDASAN TEORI. Kendaraan rencana dikelompokan kedalam 3 kategori, yaitu: 1. kendaraan kecil, diwakili oleh mobil penumpang, BAB III LANDASAN TEORI 3.1.Kendaraan Rencana Menurut Dirjen Bina Marga (1997), kendaraan rencana adalah yang dimensi dan radius putarnya digunakan sebagai acuan dalam perencanaan geometric jalan. Kendaraan

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2)

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2) PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PADA PROYEK PENINGKATAN JALAN BATAS KABUPATEN TAPANULI UTARA SIPIROK (SECTION 2) LAPORAN Ditulis untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Tugas Akhir Semester VI Pendidikan Program Diploma

Lebih terperinci

NOTASI ISTILAH DEFINISI

NOTASI ISTILAH DEFINISI DAFTAR DEFINISI, ISTILAH DAN SIMBOL Ukuran kinerja umum NOTASI ISTILAH DEFINISI C KAPASITAS Arus lalu-lintas maksimum (mantap) yang dapat (smp/jam) dipertahankan sepanjang potongan jalan dalam kondisi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 161 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. KESIMPULAN Berdasarkan keseluruhan hasil perencanaan yang telah dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP I FC 30 20, '1" II FC 50 17, '7" III FC 50 66, '1" IV FC 50 39, '6" V FC 50 43, '8"

BAB V PENUTUP I FC 30 20, '1 II FC 50 17, '7 III FC 50 66, '1 IV FC 50 39, '6 V FC 50 43, '8 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa Superelevasi pada tikungan Jalan Adi Sucipto, segmen Unkris Undana. STA 0+000 sampai STA 0+850, sepanjang ± 850 meter maka dapat disimpulkan bahwa

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perhitungan

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Perhitungan BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Perhitungan 1. Data Spesifikasi Jalan Ruas jalan Yogyakarta-Wates Km 15-22 termasuk jalan nasional berdasarkan Keputusan Meteri Pekerjaan Umum No. 631/KPTS/M/2009

Lebih terperinci

Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN

Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN Volume 5 Nomor 1, Juni 2016 ISSN 2320-4240 PERENCANAAN PERKERASAN DAN PENINGKATAN GEOMETRIK JALAN Rulhendri, Nurdiansyah Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Ibnu Khaldun Bogor petot.nurdiansyah@yahoo.com,

Lebih terperinci

Eng. Ibrahim Ali Abdi (deercali) 1

Eng. Ibrahim Ali Abdi (deercali) 1 PENDAHULUAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat lain. Arti lintasan menyangkut tanah yang diperkuat (diperkeras)

Lebih terperinci

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI

BAB IV PERENCANAAN. Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI BAB IV PERENCANAAN 4.1. Pengolahan Data 4.1.1. Harga CBR Tanah Dasar Penentuan Harga CBR sesuai dengan Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen SKBI 2.3.26.

Lebih terperinci

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan

BAB V MEDIAN JALAN. 5.2 Fungsi median jalan BAB V MEDIAN JALAN 5.1 Macam-macam Median Jalan 1. Pemisah adalah suatu jalur bagian jalan yang memisahkan jalur lalulintas. Tergantung pada fungsinya, terdapat dua jenis Pemisah yaitu Pemisah Tengah dan

Lebih terperinci

PELATIHAN SOIL MECHANICS OF ROAD CONSTRUCTION ENGINEER

PELATIHAN SOIL MECHANICS OF ROAD CONSTRUCTION ENGINEER SMR 01 = UUJK, SMK3 DAN PENGENDALIAN LINGKUNGAN KERJA Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA.5211.113.05.01.07 Judul : Menerapkan UUJK, K3 dan Pengendalian Lingkungan PELATIHAN SOIL

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA 11 BAB II 2.1 TINJAUAN UMUM Studi pustaka adalah suatu pembahasan berdasarkan bahan baku referensi yang bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan maupun sebagai dasar untuk menggunakan rumus-rumus tertentu

Lebih terperinci

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH

MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH MODUL 3 : PERENCANAAN JARINGAN JALAN DAN PERENCANAAN TEKNIS TERKAIT PENGADAAN TANAH Diklat Perencanaan dan Persiapan Pengadaan Tanah KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT BADAN PENGEMBANGAN SUMBER

Lebih terperinci

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar

Penampang Melintang Jalan Tipikal. dilengkapi Trotoar Penampang melintang merupakan bentuk tipikal Potongan jalan yang menggambarkan ukuran bagian bagian jalan seperti perkerasan jalan, bahu jalan dan bagian-bagian lainnya. BAGIAN-BAGIAN DARI PENAMPANG MELINTANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Evaluasi teknis adalah mengevaluasi rute dari suatu ruas jalan secara umum meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan data yang ada atau tersedia

Lebih terperinci

4.1.URAIAN MATERI 1: MERENCANA ALIGNEMEN VERTICAL JALAN

4.1.URAIAN MATERI 1: MERENCANA ALIGNEMEN VERTICAL JALAN 4.1.URAIAN MATERI 1: MERENCANA ALIGNEMEN VERTICAL JALAN Alignemen vertikal jalan diperlukan pada saat arah jalan mengalami pendakian dan penurunan pada posisi arah jalan. Kondisi ini dapat merubah sudut

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PENGHUBUNG PERKEBUNAN PT. JEK (JABONTARA EKA KARSA) BERAU-KALIMANTAN TIMUR

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PENGHUBUNG PERKEBUNAN PT. JEK (JABONTARA EKA KARSA) BERAU-KALIMANTAN TIMUR PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN PENGHUBUNG PERKEBUNAN PT. JEK (JABONTARA EKA KARSA) BERAU-KALIMANTAN TIMUR FATKHUL MUIN (1) ARIE SYAHRUDDIN S, ST (2) BAMBANG EDISON, S.Pd, MT (2) ABSTRAK Kabupaten Berau adalah

Lebih terperinci

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B

PEDOMAN. Perencanaan Separator Jalan. Konstruksi dan Bangunan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Pd. T B PEDOMAN Konstruksi dan Bangunan Pd. T-15-2004-B Perencanaan Separator Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Daftar isi Daftar isi Daftar tabel. Daftar gambar Prakata. Pendahuluan. i ii ii iii

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG

BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG BAB II KOMPONEN PENAMPANG MELINTANG Memperhatikan penampang melintang jalan sebagaimana Bab I (gambar 1.6 dan gambar 1.7), maka akan tampak bagian-bagian jalan yang lazim disebut sebagai komponen penampang

Lebih terperinci

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH)

SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH) SKRIPSI PERBANDINGAN PERHITUNGAN PERKERASAN LENTUR DAN KAKU, DAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN (STUDI KASUS BANGKALAN-SOCAH) Disusun oleh : M A R S O N O NIM. 03109021 PROGAM STUDI TEKNIK SIPIL FAKULTAS

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP)

SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP) SATUAN ACARA PEMBELAJARAN (SAP) Mata Kuliah Kode Mata Kuliah SKS Durasi Pertemuan Pertemuan ke : Rekayasa Jalan : TSP-214 : 3 (tiga) : 150 menit : 1 (Satu) A. Kompetensi: a. Umum : Mahasiswa dapat menjelaskan

Lebih terperinci

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN BAB 2 PENAMPANG MELINTANG JALAN Penampang melintang jalan adalah potongan melintang tegak lurus sumbu jalan, yang memperlihatkan bagian bagian jalan. Penampang melintang jalan yang akan digunakan harus

Lebih terperinci

PELATIHAN MANDOR PERKERASAN ASPAL (FOREMAN OF ASPHALT PAVEMENT)

PELATIHAN MANDOR PERKERASAN ASPAL (FOREMAN OF ASPHALT PAVEMENT) FAP 05 = PEMERIKSAAN, EVALUASI DAN PELAPORAN Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA.5211.222.04.01.07 Judul : Melaporkan Hasil Pelaksanaan Pekerjaan Perkerasan Aspal PELATIHAN MANDOR

Lebih terperinci

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN PENDAHULUAN Angkutan jalan merupakan salah satu jenis angkutan, sehingga jaringan jalan semestinya ditinjau sebagai bagian dari sistem angkutan/transportasi secara keseluruhan. Moda jalan merupakan jenis

Lebih terperinci

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang...

Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Tanjung Perak Perhitungan Intensitas Maksimum Stasiun Sampang... DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... i ABSTRAK... ii KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR, GRAFIK DAN DIAGRAM... xv DAFTAR SIMBOL... xvi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Umum... 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Perencanaan dan perancangan secara umum adalah kegiatan awal dari rangkaian fungsi manajemen. Inti dari sebuah perencanaan dan perancangan adalah penyatuan pandangan

Lebih terperinci

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN 1. GAMBAR KONSTRUKSI JALAN a) Perkerasan lentur (flexible pavement), umumnya terdiri dari beberapa lapis perkerasan dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Gambar 6 Jenis Perkerasan Lentur Tanah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(www.thefreedictionary.com/underpass;

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(www.thefreedictionary.com/underpass; BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Underpass Underpass adalah tembusan di bawah sesuatu terutama bagian dari jalan atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(www.thefreedictionary.com/underpass; 2014). Beberapa

Lebih terperinci

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN BAB III PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter perencanaan yang akan dibicarakan dalam bab ini, seperti kendaraan rencana, kecepatan rencana,

Lebih terperinci

MODUL SIB 10 : PEMELIHARAAN JALAN DARURAT DAN PEMELIHARAAN LALU LINTAS

MODUL SIB 10 : PEMELIHARAAN JALAN DARURAT DAN PEMELIHARAAN LALU LINTAS PELATIHAN SITE INSPECTOR OF BRIDGE (INSPEKTUR PEKERJAAN LAPANGAN PEKERJAAN JEMBATAN) MODUL SIB 10 : PEMELIHARAAN JALAN DARURAT DAN PEMELIHARAAN LALU LINTAS 2006 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN. TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN LINGKAR SELATAN SEMARANG ( Design of Semarang Southern Ringroad )

LEMBAR PENGESAHAN. TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN LINGKAR SELATAN SEMARANG ( Design of Semarang Southern Ringroad ) LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN JALAN LINGKAR SELATAN SEMARANG ( Design of Semarang Southern Ringroad ) Disusun Oleh : MARIA PARULIAN SITANGGANG L2A3 01 027 TEGUH ANANTO UTOMO L2A3 01 037 Semarang,

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN KARTASURA SUKOHARJO

PERENCANAAN GEOMETRIK TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN KARTASURA SUKOHARJO PERENCANAAN GEOMETRIK TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA RUAS JALAN KARTASURA SUKOHARJO ( DUWET KUDU ) TUGAS AKHIR Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya (A.Md.) pada Program

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan Geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinymen horizontal dan alinymen

Lebih terperinci

Kode Unit Kompetensi : SPL.KS Pelatihan Berbasis Kompetensi Pelaksana Lapangan Perkerasan Jalan Beton

Kode Unit Kompetensi : SPL.KS Pelatihan Berbasis Kompetensi Pelaksana Lapangan Perkerasan Jalan Beton KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BADAN PEMBINAAN KONSTRUKSI PUSAT PEMBINAAN KOMPETENSI DAN PELATIHAN KONSTRUKSI Kode Unit Kompetensi : SPL.KS21.222.00 Pelatihan Berbasis Kompetensi Pelaksana Lapangan Perkerasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang dititik beratkan pada alinyemen horizontal dan alinyemen vertical sehingga

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Perhitungan Geometrik. Tabel 5.1 Spesifikasi data jalan berdasarkan TCPGJAK.

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Perhitungan Geometrik. Tabel 5.1 Spesifikasi data jalan berdasarkan TCPGJAK. BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Perhitungan Geometrik Perhitungan geometrik adalah bagian dari perencanaan geometrik jalan yang menitik beratkan pada perencanaan bentuk fisik, sehingga dapat memenuhi

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Klasifikasi Jalan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Klasifikasi Jalan BAB III LANDASAN TEORI A. Klasifikasi Jalan Jalan raya di Indonesia dapat diklasifikasikan murut fungsi jalan, kelas jalan,status jalan yang ditetapkan berdasarkan manfaat jalan, arus lalu lintas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan disain yang menggunakan material tersebut telah sangat luas sehingga material BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Fungsi Jalan 2.1.1. Pengertian Jalan Kemajuan teknologi menjadi sangat cepat dan berlanjut sampai sekarang. Pengetahuan dan segala penemuan mengenai tanah dan

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN LAYOUT SIMPANG JALAN LINGKAR LUAR BARAT KOTA SURABAYA

PERENCANAAN GEOMETRIK DAN LAYOUT SIMPANG JALAN LINGKAR LUAR BARAT KOTA SURABAYA TUGAS AKHIR RC10-1380 PERENCANAAN GEOMETRIK DAN LAYOUT SIMPANG JALAN LINGKAR LUAR BARAT KOTA SURABAYA RONY FERDINAND PANGGABEAN NRP 3110105027 Dosen Pembimbing : Ir. WAHJU HERIJANTO, MT. JURUSAN LINTAS

Lebih terperinci

xxi DAFTAR DEFINISI, ISTILAH DAN SIMBOL Ukuran kinerja umum NOTASI ISTILAH DEFINISI

xxi DAFTAR DEFINISI, ISTILAH DAN SIMBOL Ukuran kinerja umum NOTASI ISTILAH DEFINISI DAFTAR DEFINISI, ISTILAH DAN SIMBOL Ukuran kinerja umum NOTASI ISTILAH DEFINISI C KAPASITAS Arus lalu-lintas maksimum (mantap) yang dapat (smp/jam) dipertahankan sepanjang potongan jalan dalam kondisi

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL ANTARA BANYUWANGI-SITUBONDO- PROBOLINGGO

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL ANTARA BANYUWANGI-SITUBONDO- PROBOLINGGO PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN REL ANTARA BANYUWANGI-SITUBONDO- PROBOLINGGO Oleh, RIFCHI SULISTIA ROSADI 3109100066 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 TINJAUAN UMUM Tinjauan pustaka merupakan peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka

Lebih terperinci

TINJAUAN GEOMETRIK JALAN PADA RUAS JALAN AIRMADIDI-TONDANO MENGGUNAKAN ALAT BANTU GPS

TINJAUAN GEOMETRIK JALAN PADA RUAS JALAN AIRMADIDI-TONDANO MENGGUNAKAN ALAT BANTU GPS TINJAUAN GEOMETRIK JALAN PADA RUAS JALAN AIRMADIDI-TONDANO MENGGUNAKAN ALAT BANTU GPS Dwijayanto Pribadi M. J. Paransa, T. K. Sendow, L. J. Undap Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Disusun sebagai Syarat Menyelesaikan Program Sarjana Sains Terapan D-IV TPJJ Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan.

TUGAS AKHIR. Disusun sebagai Syarat Menyelesaikan Program Sarjana Sains Terapan D-IV TPJJ Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan. STUDI PERENCANAAN PENINGKATAN DAN TINJAUAN PERHITUNGAN GEOMETRIK JALAN BATAS KOTA MEDAN-TEMBUNG-LUBUK PAKAM TUGAS AKHIR Disusun sebagai Syarat Menyelesaikan Program Sarjana Sains Terapan D-IV TPJJ Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar perencanaan geometrik 2.1.1 Pengertian Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan yang menitik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan

Lebih terperinci

254x. JPH = 0.278H x 80 x 2.5 +

254x. JPH = 0.278H x 80 x 2.5 + 4.3. Perhitungan Daerah Kebebasan Samping Dalam memperhitungkan daerah kebebasan samping, kita harus dapat memastikan bahwa daerah samping/bagian lereng jalan tidak menghalangi pandangan pengemudi. Dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. situasi dimana seorang atau lebih pemakai jalan telah gagal mengatasi lingkungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. situasi dimana seorang atau lebih pemakai jalan telah gagal mengatasi lingkungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kecelakaan Kecelakaan dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang jarang dan tidak tentu kapan terjadi dan bersifat multi faktor yang selalu didahului oleh situasi

Lebih terperinci

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN

PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik - Universitas Gadjah Mada PERANCANGAN GEOMETRIK JALAN MODUL - 5 KARAKTERISTIK KECEPATAN Disusun oleh: Tim Ajar Mata Kuliah Perancangan Geometrik Jalan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perencanaan Geometrik Jalan Raya 2.1.1 Umum Perencanaan geometrik adalah bagian dari perencanaan jalan dimana bentuk dan ukuran yang nyata dari suatu jalan yang direncanakan beserta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan

BAB 1 PENDAHULUAN Tahapan Perencanaan Teknik Jalan BAB 1 PENDAHULUAN Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap jalan, dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN BAB TINJAUAN KEPUSTAKAAN.1 Perenanaan Geometrik Jalan Perenanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perenanaan jalan yang difokukan pada perenanaan bentuk fiik jalan ehingga dihailkan jalan yang dapat

Lebih terperinci

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG- MENGGALA STA STA PADA RUAS RANTAU PRAPAT DURI II PROVINSI RIAU

PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG- MENGGALA STA STA PADA RUAS RANTAU PRAPAT DURI II PROVINSI RIAU PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG- MENGGALA STA 104+000- STA 147+200 PADA RUAS RANTAU PRAPAT DURI II PROVINSI RIAU Vicho Pebiandi 3106 100 052 Dosen Pembimbing Ir. Wahyu Herijanto,

Lebih terperinci

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP :

JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Oleh NRP : Oleh Mahasiswa PERENCANAAN GEOMETRIK DAN PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT) JALAN DENGAN METODE ANALISA KOMPONEN SEPANJANG RUAS JALAN Ds. MAMEH Ds. MARBUI STA 0+00 STA 23+00 MANOKWARI PROPINSI PAPUA

Lebih terperinci

Reka Racana Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Teknik Sipil Itenas No.x Vol. Xx Agustus 2015 Evaluasi Perencanaan Geometri Jalan Ruas Cipanas Warung Banten Dengan Menggunakan Software Autocad Land

Lebih terperinci

HADIRANTI 1, SOFYAN TRIANA 2

HADIRANTI 1, SOFYAN TRIANA 2 Reka Racana Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Teknik Sipil Itenas No.x Vol. Xx Juni 2015 Perencanaan Geometrik Simpang Susun Double Trumpet Pada Jalan Tol Jakarta Serpong Berdasarkan Transportation

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR merepresentasikan unit kompetensi

KATA PENGANTAR merepresentasikan unit kompetensi Survai Dan Prakiraan Volume Lalu Lintas KATA PENGANTAR Pengembangan Sumber Daya Manusia di bidang Jasa Konstruksi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sesuai bidang kerjanya, agar mereka mampu berkompetisi

Lebih terperinci

BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN

BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN BAB II PENAMPANG MELINTANG JALAN Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan tegak lurus pada as jalannya yang menggambarkan bentuk serta susunan bagian-bagian jalan yang bersangkutan pada arah

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PELAPISAN ULANG JALAN PADA DAERAH KEREB PERKERAS DAN SAMBUNGAN NO. 006/T/BNKT/1990

PETUNJUK PELAKSANAAN PELAPISAN ULANG JALAN PADA DAERAH KEREB PERKERAS DAN SAMBUNGAN NO. 006/T/BNKT/1990 PETUNJUK PELAKSANAAN PELAPISAN ULANG JALAN PADA DAERAH KEREB PERKERAS DAN SAMBUNGAN NO. 006/T/BNKT/1990 DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA DIREKTORAT PEMBINAAN JALAN KOTA PRAKATA Dalam rangka mewujudkan peranan

Lebih terperinci

yang mempunyai panjang kelandaian lebih dari 250 m yang sering dilalui kendaraan berat.

yang mempunyai panjang kelandaian lebih dari 250 m yang sering dilalui kendaraan berat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perancangan geometrik jalan merupakan bagian dari perancangan jalan yang dititik beratkan pada perancangan bentuk fisik jalan sedemikian sehingga dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI. a. Dimulai dengan tinjauan pustaka yang berguna sebagai bahan dari penelitian.

BAB 3 METODOLOGI. a. Dimulai dengan tinjauan pustaka yang berguna sebagai bahan dari penelitian. BAB 3 METODOLOGI 3.1 Pendekatan Penelitian Adapun rencana bagan alir pada proses penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Dimulai dengan tinjauan pustaka yang berguna sebagai bahan dari penelitian. b.

Lebih terperinci

PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER)

PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE DESIGN ENGINEER) BDE 05 = PERENCANAAN PONDASI JEMBATAN Merepresentasikan Kode / Judul Unit Kompetensi Kode : INA.5212.113.01.05.07 Judul : Merencanakan Pondasi Jembatan PELATIHAN AHLI PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN (BRIDGE

Lebih terperinci

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui

BAB III METODE PERENCANAAN. 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui 3.1. Metode Pengambilan Data BAB III METODE PERENCANAAN 1. Metode observasi dalam hal ini yang sangat membantu dalam mengetahui keadaan medan yang akandiencanakan. 2. Metode wawancara dalam menambah data

Lebih terperinci