TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Sungai. Gambar 2. Tipe Umum Sungai dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Ekologi Sungai. Gambar 2. Tipe Umum Sungai dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Sungai Sungai mempunyai peranan yang sangat besar dalam perkembangan peradaban manusia di dunia ini, karena sungai sangat berhubungan erat dengan kehidupan sehari-hari manusia. PP No. 35 th. 1991, tentang sungai menyatakan bahwa: 1. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara, dengan batas di kanan dan kiri sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. 2. Wilayah Sungai yaitu kesatuan wilayah tata pengairan sebagai hasil pengembangan satu atau lebih daerah pengaliran sungai. 3. Bantaran Sungai yaitu lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai, dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. 4. Garis Sempadan Sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai. Gambar 2 menunjukkan penentuan lebar daerah sempadan sungai, yang dihitung berdasarkan lebar bantaran banjir, lebar longsoran, lebar ekologi, dan lebar keamanan (Maryono 2003, diacu dalam Umar 2005). Kondisi ini banyak ditemukan pada sungai yang terletak mulai dari daerah tengah (midstream) sampai dengan daerah hilir (downstream). Sumber: Maryono 2003 dalam Umar 2005 Gambar 2. Tipe Umum Sungai dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai Sempadan sungai menurut Keppres No. 32 th. 1990, adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Selanjutnya Keppres No. 32 th.1990 dan PP No. 47 th. 1997, menetapkan lebar sempadan pada sungai besar di luar permukiman minimal 100 m, dan pada anak sungai besar minimal 50 m dikedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup untuk jalan inspeksi, yaitu m. Bapedal Provinsi Jatim (2006), menyatakan, bahwa sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (sliding) yang mungkin

2 6 terjadi, lebar bantaran ekologis, dan lebar keamanan yang diperlukan terkait dengan letak sungai (contohnya pada areal permukiman). Daerah batas penataan sungai (DBPS) menurut Badan Pengelola Lingkungan Hidup Prov. DKI Jakarta (2001) dalam rencana program kali bersih (Prokasih 2005), terbagi dalam daerah terkendali sebatas 250 m dari as sungai, dan selebar m berikutnya merupakan daerah terkontrol. Sedangkan menurut Harjono (2000), diacu dalam Umar (2005) mengatakan bias bentang daerah bantaran sekitar m dari kedua sisi sungai dimana terdapat aliran sungai. Daerah ini merupakan daerah yang sangat penting dalam perencanaan sungai dengan spesifik nilai-nilai yang dimiliki sungai tersebut berdasarkan karakteristiknya. Lebar ekologi sungai adalah selebar zone penyanggah vegetasi diluar bantaran banjir. Secara teknis, lebar keamanan sungai ini diambil sesuai tingkat resiko banjir dan longsor, serta tingkat kepadatan penduduk yang tinggal di sekitarnya (Bapedal Prov. Jatim 2006). Menurut Maryono (2003), diacu dalam Aini (2005) ekologi sungai terkait dengan bagian-bagian sungai yang ada, termasuk sempadan, bantaran, dan penentuan lebar daerah bantaran sungai itu sendiri. Selanjutnya, ekologi merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk menekan masalah yang timbul sebagai akibat dari perubahan global yang disebabkan manusia (Forman & Gordon 1996). Ekologi koridor sungai terkait dengan arus air, tanah subur, organisma aquatik, dinamika lingkungan dengan vegetasi yang baik dan mempunyai fungsi beragam. Keseimbangan dinamika koridor sungai ada selama batuan sungai, erosi tanah, dan aliran air sungai memberi pengaruh yang besar pada sedimentasi, nutrisi, dan material lainnya yang datang dari arah hulu. Kelerengan, liku-liku sungai, dan vegetasi dapat memberi pengaruh langsung pada organisma perairan sungai, dan komunitasnya memberikan pengaruh pada banyaknya perubahan struktur, hidrologi dan proses perairan (Lee 1994). Departemen Kimpraswil dan Pemerintah Belanda (2004) mengatakan bahwa, ekosistem wilayah sungai terkait dengan unsur-unsur yang berada di badan sungai (on stream) maupun di luar badan sungai (off stream) yang menyangkut sistem hidrologinya sistem sosial

3 7 yaitu masyarakat yang tinggal di bantaran sungai serta penggunaan lahan di sekitarnya. Ekowisata Wisata merupakan kegiatan perjalanan seseorang atau sekelompok orang untuk sementara waktu (temporal) dalam jangka waktu tertentu ke tujuan di luar tempat mereka tinggal dan rutinitas bekerja, untuk tujuan rekreatif dan non rekreatif dengan aktifitas selama mereka tinggal di tempat tujuan tersebut dan fasilitas yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Gunn 1994). Soemarwoto (1996), diacu dalam Umar (2005) mengatakan bahwa wisata atau pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan, dimana tujuan pariwisatanya adalah untuk mendapatkan rekreasi. Salah satu konsep wisata yang berwawasan lingkungan adalah ekowisata, yang merupakan konsep operasional pembangunan wisata menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan (Sekartjakrarini 2005). Bruun (1995) menyatakan, bahwa ekowisata (green tourism) atau wisata alternatif merupakan usaha untuk menjembatani perbedaan antara industri wisata komersil yang dilakukan pengusaha dengan perlindungan lingkungan dipihak lainnya. Menurut Direktorat Sumber Daya Daerah (2000), ekowisata merupakan suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah- daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumberdaya alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Sedangkan Weaver (2002), diacu dalam Fennell dan Dowling (2003), berpendapat ekowisata adalah bentuk wisata yang memberi pengalaman untuk menghargai lingkungan alami beserta komponennya, dan juga memberikan pengalaman mengenai suatu kebudayaan. Terdapat variabel yang membedakan wisata alam dengan ekowisata. Pada ekowisata pertimbangan alam lebih di tekankan melalui komponen edukatif, keberlanjutan, dan pengalaman etika alam (Fennell 2005). Selanjutnya Kodhyat (1998) mengatakan, ekowisata adalah penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempattempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang

4 8 mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal penting yang ditekankan oleh Ceballos dan Lascurain (1993) yaitu pelaksanaan ekowisata hendaknya tidak dibatasi pada kawasan-kawasan yang dilindungi saja, pengembangan daerah alami yang tidak berstatus dilindungi, dapat mendorong tindakan penduduk setempat untuk melindungi kawasan alami dan sumberdaya di lingkungan mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Suksesnya ekowisata dalam mencapai tujuan pengembangan wisata yang berkelanjutan, tergantung pada perencanaan yang mengintegrasikan masyarakat dan sektor swasta. Fennell dan Eagles (1990), diacu dalam Fennell (2005), menggambarkan hubungan antara proteksi sumberdaya dan pengembangan masyarakat untuk fasilitas dan jasa wisata seperti yang terlihat pada Gambar 3. SERVICE INDUSTRY Tour Operation VISITOR Marketing Resource Management Tour Operation Visitor Management Community Development Visitor attitudes Sumber: Fennel dan Eagles (1990), diacu dalam Fennell (2005). Gambar 3. Bagan Konseptual Ekowisata Konsep baru dari ekowisata adalah merupakan usaha yang akhirnya menimbulkan isu tentang suatu kesadaran baru sehubungan dengan proteksi sumber daya dan nilai ekonomi wisata, individu perorangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, ekowisata sebagai sebuah konsep wisata yang dalam pelaksanaan harus disertai dengan kontrol pengelolaan sumberdaya (Gunn 1994). Menurut Ceballos dan Lascurain (1993) kriteria perencanaan, perancangan, dan pembangunan yang diterapkan harus meminimalkan dampak terhadap lingkungan dengan menyediakan funetorial self sufficiensi sampai tahap tertentu, dengan menyediakan fasilitas fisik yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman wisatawannya. Fasilitas fisik tersebut

5 9 adalah fasilitas yang menggunakan teknik yang berkaitan dengan lingkungan seperti, memanfaatkan energi matahari (untuk pemanasan dan penyediaan tenaga listrik), menggunakan kembali air hujan, mendaur ulang sampah, mendisain bangunan dengan ventilasi alami, menggunakan bahan bangunan alami yang berasal dari lingkungan setempat. Selanjutnya mereka juga menyarankan pembuatan fasilitas sebaiknya dibuat menarik, memadai untuk memberi unsur pendidikan, mudah dikelola dan dirawat, serta tidak mengganggu lingkungan. Pelibatan partisipasi masyarakat pada perencanaan dan pengelolaan kawasan ekowisata sangat menunjang keberlanjutan kegiatan ekowisata di kawasan tersebut. Brandon (1993) menyatakan bahwa tujuan utama kegiatan ekowisata adalah memberi keuntungan pada masyarakat setempat, hal ini untuk menjamin agar perkembangan ekowisata konsisten dengan tujuan sosial, ekologis, dan perekonomian setempat. Ekowisata Perkotaan Motivasi dan keinginan merupakan faktor pendorong wisatawan untuk melakukan perjalanan, dimana faktor penarik dapat berupa keunikan daerah atau tempat yang menyediakan obyek dan atraksi wisata (Inskeep 1991). Faktor penarik menurut Perret (1995), diklasifikasikan dalam elemen scenery pemandangan yang khas yang menakjubkan, budaya dan sejarah atau lokasi yang mempunyai event-event yang menarik, keunikan (uniqueness), seperti makanan atau bangunan yang unik, flora dan fauna. Umumnya kota mempunyai faktor penarik, seperti sejarah yang penting dan keistimewaan yang khusus (special features) sebagai atraksi dan obyek wisata. Menurut Inskeep (1991), wisata pada beberapa kota besar (cities) dan kota kecil (towns) hampir selalu sukses menjadi atraktif dengan mengkombinasi karakter dramatik perkotaan dengan atraksi yang spesifik. Wisata di perkotaan merupakan sumberdaya yang penting dan menjadi kekuatan vital yang memberi keuntungan ekonomi dalam bentuk peningkatan pendapatan dan terbukanya peluang usaha sehingga terciptanya lapangan pekerjaan. Selain itu, wisata di perkotaan dapat mendorong terciptanya pengadaan fasilitas dan jasa, meningkatkan infrastruktur, serta membantu preservasi sejarah,

6 10 bahkan dapat terjadi revitalisasi dan pembangunan kembali kota (McIntoch & Goeldner 1990; Inskeep 1991). Salah satu bentuk wisata perkotaan dengan minat khusus adalah ekowisata perkotaan. Green Tourism Association (2005) mendefinisikan ekowisata perkotaan (urban green tourism) sebagai perjalanan wisata yang kegiatan ekplorasinya di dalam dan sekitar kota, dimana kegiatanya sebagai berikut: Melibatkan pengunjung dan penduduk setempat untuk diajak mengapresiasikan sumberdaya alam dan budaya kota sehingga mendorong untuk menghargai dan mengkonservasi sumber daya kota serta keanekaragaman budayanya. Membuat kegiatan perayaan yang bersumber dari warisan setempat dan budaya lokal. Memberi keuntungan pada kesehatan ekologis kota. Inspirasi yang memberi pengalaman aktifitas fisik, menstimulasi intelektual, dan interaksi sosial. Mendorong ekonomi masyarakat lokal. Mudah diakses dan diterima semua kalangan. Ekowisata kota menurut Blackstone Corporation (1996), diacu dalam Fennell (2005), perjalanan eksplorasi di wilayah perkotaan, dimana pengunjungnya dapat menikmati dan mengapresiasikan area alami perkotaan dan daya tarik budayanya, dengan melakukan aktifitas fisik, sehingga mendapat pengalaman interaktif yang menstimulasi intelektual dan sosial. Dalam melakukan aktifitas fisik tersebut, pengunjung diajak berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan angkutan umum. Selanjutnya perusahaan ini mengatakan, bahwa ekowisata kota dapat mempromosikan ekologis kota yang baik untuk jangka panjang, mempromosikan keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal, pembangunan dan kelangsungan hidup masyarakat setempat, dengan menyelenggarakan perayaan atau festival yang berasal dari warisan budaya kesenian setempat. Dimana kegiatan ekowisata kota tersebut dapat diakses oleh semua kalangan dan mereka berkewajiban untuk menjaganya. Hal yang serupa juga ditekankan oleh Fennell (2005), yaitu dalam perencanaan sebuah ekowisata di perkotaan harus mengintegrasikan antara konservasi, pendidikan mengenai lingkungan, kesejahteraan masyarakat, etika, dan keberlanjutan.

7 11 Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Perencanaan secara umum adalah mengorganisasikan masa depan untuk mencapai tujuan tertentu (Inskeep 1991). Perencanaan pada lanskap merupakan susunan permasalahan yang diungkap dan dirancang solusinya pada suatu wilayah secara menyeluruh untuk mengantisipasi masalah yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan oleh manusia dan pengembangan lahan ke tahap berikutnya (Morrow 1987). Selanjutnya Umar (2005) mengatakan bahwa perencanaan tidak sekedar persiapan, tapi juga merupakan proses kegiatan yang secara terus menerus mengikuti dan mewarnai kegiatan tersebut sampai tercapainya tujuan. Dalam perencanaan pengembangan wisata dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu secara fisik, dimana tujuan perencanaannya berupa pengembangan lingkungan fisik sebagai wadah, sedangkan secara non-fisik perencanaan diarahkan untuk pengembangan manusianya sebagai pengguna. Prinsip perencanaan wisata secara fisik meliputi fasilitas dan akomodasi yang meliputi pencapaian yang nyaman dan baik, pelayanan transpotasi umum yang tersedia, ketetapan yang mendukung peningkatan target pasar, ketetapan untuk transportasi umum yang baik, pedestrian sebagai penghubung zona-zona yang menarik dengan fasilitas dan akomodasi, mengontrol daerah yang mempunyai tingkat kejahatan yang tinggi, utilitas kota yang baik, konservasi bangunan dan wilayah yang mempunyai nilai sejarah, disain kota yang baik, perencanaan daerah waterfront yang baik untuk peningkatan penampilan kota (Inskeep 1991). Sedangkan untuk perencanaan pengembangan secara non-fisik, berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian budaya. Perencanaan, disain dan pengelolaan area wisata memberikan konstribusi pada konservasi, dimana elemen kunci berupa, sistem pemasaran, pelatihan wisata untuk pengunjung perorangan, sistem perjalanan dengan interpretasi, pusat informasi pengunjung dengan interpretasi, sistem monitoring dampak lingkungan, dan jasa seperti, penjualan makanan, lodging barang (Boo 1991, diacu dalam Gunn 1994). Selanjutnya Gunn (1994) menyatakan bentuk wisata dapat dikembangkan dan direncanakan berdasarkan kepemilikan atau pengelolaan areal wisata (pemerintahan, organisasi nirlaba, dan perusahaan komersial), sumber daya alam dan budaya, perjalanan wisata atau lamanya tinggal, tempat kegiatan (di

8 12 dalam/luar ruangan), wisata utama atau wisata penunjang, daya dukung tapak sesuai dengan jumlah pengunjung (intensif, semi intensif, dan ekstensif). Inskeep (1991), menyatakan dalam merencanakan wisata di perkotaan sebaiknya melalui prosedur perencanaan, yang meliputi: Menghitung produk wisata dan pasar. Menseleksi banyaknya pembangunan spesifik yang wajib dibangun. Analisis perencanaan konseptual untuk menentukan konsep pembangunan. Analisis daya dukung dan hubungan masyarakat dengan lingkungan. Analisis secara detail hubungan regional. Menentukan fasilitas, pemanfaat lahan, dan permintaan infrastruktur. Memformulasikan rencana, termasuk alternatife outline perencanaan, mengevaluasikan, dan seleksi rencana akhir serta perbaikan saat pembangunan. Analisis ekonomi dan feasibility financial. Menyiapkan program yang akan diimplementasi agar dapat dipakai/digunakan sampai tahap pembangunan. Selain itu perencanaan wisata di perkotaan juga sebaiknya melalui tahap evaluasi karakter lingkungan, yang meliputi: Evaluasi kualitas visual, gaya dan karakter arsitektur. Prediksi perluasan dari taman, ruang terbuka, dan lanskap. Tawaran view dan vista. Prediksi peningkatan jumlah jalur kendaraan dan pejalan kaki yang menimbulkan permasalahan. Evaluasi kebersihan lingkungan dan meluasnya dampak pembuangan sampah. Evaluasi timbulnya masalah udara, air dan polusi kebisingan yang serius. Pola iklim yang sulit, seperti musim dingin atau musim panas yang ektrim. Meningkat dan meluasnya tingkat kejahatan dan keamanan masyarakat umum.

9 13 Sistem Informasi Geografi (SIG) Sistem informasi geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang menggunakan data referensi berupa spasial (koordinat geografi) dan non spasial, umumnya digunakan untuk bidang pekerjaan perencanaan kota dan daerah, pengelolaan sumberdaya, serta bidang lain yang menggunakan informasi geografi (Star 1990). SIG merupakan pengganti pemakaian peta-peta yang terbuat dari kertas ke file-file yang ditampilkan di layar komputer. Proses penyusunan SIG meliputi pengumpulan data dalam berbagai bentuk, pemasukan data, pengelolaan data, pengolahan dan analisis, terakhir berupa hasil produk (Gambar 4). Peta dasar Remote Sensing Aerial Photograph Tabel atribut Digital Scanning Typing Statistik Koreksi Manipulasi Buffering Modelling Perhitungan aritmetik Overlay Peta cetak Peta digital Data tabular Grafik Softcopy Sumber: Roslita Gambar 4. Proses Penyusunan Sistem Informasi Geografi Aplikasi SIG lebih lanjut selain untuk menyimpan data, mengorganisir, menganalisis, mengkombinasi atau menampilkan informasi geografi, juga dapat digunakan untuk membuat berbagai model (seperti rupa bumi, DAS, dan sistem pertanian) dan bahkan simulasi yang sesuai dengan kebutuhan. Fabos (1979) mengatakan SIG dalam penerapannya mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan lanskap. Selanjutnya Cabuk (1995) mengatakan penggunaan SIG dalam studi perencanaan lanskap dua dimensi berdasarkan data dan analisis lingkungan alami, budaya, sosial ekonomi, dan data demografi merupakan jalan terbaik. Dengan SIG dapat ditentukan penggunaan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kondisi kehidupan masyarakatnya. Dalam merencanakan lanskap kawasan wisata, SIG dapat membantu mengelola sumber daya kegiatan wisata dengan efektif dan juga meningkatkan kualitas peluang rekreasi. Teknologi SIG sangat berguna untuk membantu perencana dalam mengerjakan area wisata yang secara geografi sangat luas, baik

10 14 skala regional (regional scale), skala tujuan wisata (destination scale), maupun skala tapak (site scale). SIG memiliki kemampuan untuk (1) menyatukan data yang banyak dan beragam (vegetasi, geologi, tata guna lahan eksisting, rencana tata guna lahan, dan rencana jalur), (2) melakukan analisis kesesuaian untuk rencana penggunaan tertentu, (3) melakukan analisis viewshed, sehingga menghasilkan jalur optimum, identifikasi lokasi perkemahan, identifikasi tapak sensitif yang harus dipreservasi, serta memantau data yang digunakan untuk aktifitas lainnya. Selanjutnya, SIG juga mampu memantau data dari beragam sumber, seperti hasil foto udara, contoh lapangan, laporan kegiatan, sehingga dapat melihat secara berkelanjutan dampak dari kegiatan wisata tersebut (Mehta 1998, diacu dalam Roslita 2000). Selain itu, pemanfaatan SIG dapat meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian (akurasi) (Gunn 1994).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI 83 4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI 4.17.1. UMUM Perencanaan garis sempadan Kali Sememi untuk melindungi dan menjaga kelestarian sungai dengan menciptakan Kali Sememi yang bersih

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Permukiman Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari. Permukiman perlu ditata agar dapat berkelanjutan dan

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA DI KORIDOR SUNGAI CILIWUNG, JAKARTA

RENCANA PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA DI KORIDOR SUNGAI CILIWUNG, JAKARTA RENANA PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA DI KORIDOR SUNGAI ILIWUNG, JAKARTA Konsep Rencana Pengembangan Lanskap Ekowisata Dalam mengembangkan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata diperlukan konsep sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

Oleh : ERINA WULANSARI [ ]

Oleh : ERINA WULANSARI [ ] MATA KULIAH TUGAS AKHIR [PW 09-1333] PENELITIAN TUGAS AKHIR Oleh : ERINA WULANSARI [3607100008] PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH

Lebih terperinci

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun MINGGU 4 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun Lingkungan Alamiah Dan Buatan Manusia Para dipahami

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dayeuhkolot merupakan kawasan perkotaan di Kabupaten Bandung yang berada di sisi Sungai Citarum. Berdasarkan sejarah, Dayeuhkolot yang dalam bahasa sunda berarti kota

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam

Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Tahap II. Penilaian/ pembobotan Kriteria Penilaian Daya Dukung Lingkungan dalam Rangka Pengembangan Kawasan Wisata Alam Untuk penentuan prioritas kriteria dilakukan dengan memberikan penilaian atau bobot

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan studi berupa temuantemuan yang dihasilkan selama proses analisis berlangsung yang sesuai dengan tujuan dan sasaran studi,

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan kawasan pesisir Barat Kabupaten Bengkulu Selatan sebagai kawasan wisata yang diharapkan dapat menjadi salah satu sektor andalan dan mampu untuk memberikan konstribusi

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Menurut Rachman (1984) perencanaan lanskap ialah suatu perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional sebagai Destinasi Wisata Saat ini ekowisata diartikan secara beragam, diantaranya oleh Fennell (2003), mendefinisikan ekowisata sebagai bentuk wisata berbasiskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perkembangan kepariwisataan dunia yang terus bergerak dinamis dan kecenderungan wisatawan untuk melakukan perjalanan pariwisata dalam berbagai pola yang berbeda merupakan

Lebih terperinci

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No 1BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat memiliki karakter kota yang sangat unik dan jarang sekali dijumpai pada kota-kota lain. Kota yang mendapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata 2.2 Perencanaan Kawasan Wisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata 2.2 Perencanaan Kawasan Wisata 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekreasi dan Wisata Secara etimologi kata rekreasi berasal dari bahasa Inggris yaitu recreation yang merupakan gabungan dari kata re yang berarti kembali dan creation yang berarti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara 4 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penambangan Batubara Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009, pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) atau yang sering disebut Taman Jurug adalah obyek wisata yang terletak di tepian sungai Bengawan Solo dengan luas lahan 13.9 Ha, memiliki

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan tempat atau habitat suatu ekosistem keairan terbuka yang berupa alur jaringan pengaliran dan sempadannya mulai dari awal mata air sampai di muara dengan

Lebih terperinci

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL Rencana Lanskap Berdasarkan hasil analisis data spasial mengenai karakteristik lanskap pemukiman Kampung Kuin, yang meliputi pola permukiman, arsitektur bangunan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:www.google.com, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:www.google.com, 2011. BAB I PENDAHULUAN AQUARIUM BIOTA LAUT I.1. Latar Belakang Hampir 97,5% luas permukaan bumi merupakan lautan,dan sisanya adalah perairan air tawar. Sekitar 2/3 berwujud es di kutub dan 1/3 sisanya berupa

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN Latar Belakang Air dan sumber daya air mempunyai nilai yang sangat strategis. Air mengalir ke segala arah tanpa mengenal batas wilayah administrasi, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dengan luas 1.910.931 km, Pariwisata di Indonesia merupakan sektor ekonomi penting di Indonesia. Pada tahun 2009,

Lebih terperinci

3. Pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung (Homestay/Resort Wisata), dengan kriteria desain : a) Lokasi Homestay pada umumnya terpisah dari

3. Pelayanan terhadap wisatawan yang berkunjung (Homestay/Resort Wisata), dengan kriteria desain : a) Lokasi Homestay pada umumnya terpisah dari BAB 5 KESIMPULAN 5.1. Kriteria desain arsitektur yang sesuai untuk masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan Setelah mengkaji desa labang secara keseluruhan dan melihat teori -teori pengembangan tentang

Lebih terperinci

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG

REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG REKLAMASI BENTUK LAIN PADA LAHAN BEKAS TAMBANG DISAMPAIKAN PADA BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DIREKTORAT TEKNIK DAN LINGKUNGAN MINERAL DAN BATUBARA DIREKTORAT JENDERAL MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Kekayaan Indonesia akan flora dan faunanya membawa indonesia kepada sederet rekor dan catatan kekayaan di dunia. Tanahnya yang subur dan iklim yang menunjang, memiliki

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU

BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU BAB III TINJAUAN TEMA ARSITEKTUR HIJAU 3.1. Tinjauan Tema a. Latar Belakang Tema Seiring dengan berkembangnya kampus Universitas Mercu Buana dengan berbagai macam wacana yang telah direncanakan melihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor pariwisata bagi suatu negara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, yaitu Objek Wisata Alam Pemandian Air Panas. Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Data Kelurahan Kuin Utara) Peta Kecamatan Banjarmasin Utara. Peta Kelurahan Kuin Utara

METODOLOGI. Gambar 14. Peta Lokasi Penelitian (Sumber: Data Kelurahan Kuin Utara) Peta Kecamatan Banjarmasin Utara. Peta Kelurahan Kuin Utara METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kuin adalah wilayah sepanjang daerah aliran Sungai Kuin yang terletak di kota Banjarmasin.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. di perkotaan-perkotaan salah satunya adalah kota Yogyakarta. Ini

BAB 1 PENDAHULUAN. di perkotaan-perkotaan salah satunya adalah kota Yogyakarta. Ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di zaman yang serba bergerak cepat ini, manusia dituntut selalu aktif dan produktif untuk memenuhi tuntutan hidup. Kehidupan yang serba sibuk dengan rutinitas pekerjaan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

Sistematika presentasi

Sistematika presentasi Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan Wiwik D Pratiwi Sistematika presentasi Mengapa? Apa prinsipnya? Apa pertimbangannya? Apa elemen-elemen strategisnya? Apa hal-hal yang diperlukan bila berdasar pada

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A34204040 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

TAHAPAN KEGIATAN ARL PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP

TAHAPAN KEGIATAN ARL PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP TAHAPAN KEGIATAN ARL ARL 200 Departemen Arsitektur Lanskap PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI /LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP PERANCANGAN/DESAIN TAPAK/LANSKAP Proses memahami kualitas &

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan

Lebih terperinci

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang BAB 5 KONSEP PERANCANGAN Konsep perancangan pada redesain kawasan wisata Gua Lowo di Kabupaten Trenggalek menggunakan tema Organik yang merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR

NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR NILAI EKONOMI EKOTURISME KEBUN RAYA BOGOR Oleh: Nadya Tanaya Ardianti A07400018 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai negara yang penuh dengan keberagaman budaya dan pariwisata. Negara yang memiliki banyak kekayaan alam dengan segala potensi didalamnya, baik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan hayati yang sangat beragam. Potensi tersebut menciptakan peluang pengembangan dan pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memberikan andil besar pada perekonomian Indonesia. Sektor Pariwisata berperan penting dalam meningkatkan pendapatan negara. Menurut UU no.10 Tahun 2019

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Pariwisata Berkelanjutan

TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Pariwisata Berkelanjutan 5 TINJAUAN PUSTAKA Wisata dan Pariwisata Menurut UU No. 10 Tahun 2009, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Lebih terperinci

ARSITEKTUR LANSKAP ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL 9/7/2014 ARL 200. Departemen Arsitektur Lanskap CONTOH ANALISIS TAPAK

ARSITEKTUR LANSKAP ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL 9/7/2014 ARL 200. Departemen Arsitektur Lanskap CONTOH ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL ARSITEKTUR LANSKAP ARL 200 PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP Departemen Arsitektur Lanskap PERANCANGAN/DESAIN TAPAK/LANSKAP

Lebih terperinci

Propinsi Jawa Barat dengan Propinsi DKI Jakarta. Dengan letak yang berdekatan

Propinsi Jawa Barat dengan Propinsi DKI Jakarta. Dengan letak yang berdekatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Kebutuhan Fasilitas Pariwisata Kota Kota Depok adalah sebuah kota yang terletak di perbatasan antara wilayah Propinsi Jawa Barat dengan Propinsi DKI Jakarta.

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan area geografis yang mempunyai karakteristik tanah, daerah aliran sungai (DAS), iklim, tanaman lokal serta hewan, yang unik dan memiliki nilai intrinsik

Lebih terperinci

BAB 3 METODA PERANCANGAN. Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di

BAB 3 METODA PERANCANGAN. Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di BAB 3 METODA PERANCANGAN Lingkup metoda penyusunan rencana Pembangunan Pusat Sains dan Teknologi di kawasan Pantai Panjang Kota Bengkulu ini secara umum mencakup hal-hal sebagai berikut: 3.1 Ide Perancangan

Lebih terperinci

KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN SEBAGAI WISATA PERMAINAN AIR DAN WISATA KULINER

KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN SEBAGAI WISATA PERMAINAN AIR DAN WISATA KULINER BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Judul REDESAIN KAWASAN WISATA TELAGA SARANGAN SEBAGAI WISATA PERMAINAN AIR DAN WISATA KULINER Untuk menjabarkan mengenai pengertian judul di atas maka kalimat judul dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan,

BAB III METODE PERANCANGAN. untuk mencapai tujuan penelitian dilaksanakan untuk menemukan, BAB III METODE PERANCANGAN Metode pada dasarnya diartikan suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan. Penelitian adalah suatu penyelidikan dengan prosedur ilmiah untuk mengetahui dan mendalami suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Pariwisata dikenal sebagai suatu bentuk rangkaian kegiatan kompleks yang berhubungan dengan wisatawan dan orang banyak, serta terbentuk pula suatu sistem di dalamnya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DANAU 1. Latar Belakang Sebagai modal dasar untuk mengembangkan kepariwisataannya yaitu alam dan budaya tersebut meliputi alam dengan segala isi dan bentuknya baik berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Temajuk merupakan sebuah desa dengan luas wilayah kurang lebih 2.300 ha dan jumlah penduduk sebanyak 1.820 jiwa yang terletak di perbatasan Indonesia-Malaysia

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Banyak pakar dan praktisi yang berpendapat bahwa di milenium ketiga, industri jasa akan menjadi tumpuan banyak bangsa. John Naisbitt seorang futurist terkenal memprediksikan

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 2. Peta orientasi lokasi penelitian (Sumber: diolah dari google)

METODOLOGI. Gambar 2. Peta orientasi lokasi penelitian (Sumber: diolah dari google) METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai perencanaan lanskap agrowisata berkelanjutan ini dilakukan di Desa Sukaharja dan Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Propinsi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan 118 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Objek wisata Curug Orok yang terletak di Desa Cikandang Kecamatan

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.2 Latar Belakang Permasalahan Perancangan

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.2 Latar Belakang Permasalahan Perancangan BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Dan Batasan Judul Permukiman Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perkampungan (document.tips,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada sepanjang koridor sungai Ciliwung di DKI Jakarta, dimulai dari daerah hulu DKI Jakarta, yaitu Srengseng Sawah, Jakarta Selatan sampai

Lebih terperinci

PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SIMPUL CURUG GEDE DI KAWASAN WISATA BATURADEN

PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SIMPUL CURUG GEDE DI KAWASAN WISATA BATURADEN P LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENATAAN DAN PENGEMBANGAN SIMPUL CURUG GEDE DI KAWASAN WISATA BATURADEN Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN LANSKAP MUKA BUMI Materi ke-13 DASAR EKOLOGI PADA PENGELOLAAN LANSKAP DAN IMPLEMENTASINYA Setelah mengikuti kuliah ini Mahsiswa diharapkan dapat

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kabupaten Bandung Selatan memiliki sebuah kawasan wisata potensial, yaitu kawasan wisata Ciwidey. Di kawasan tersebut terdapat empat tujuan wisata utama, diantaranya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata Pada dasarnya pengembangan pariwisata adalah suatu proses yang berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

Lebih terperinci

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU)

Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) Disajikan oleh: 1.Michael Ario, S.H. 2.Rizka Adellina, S.H. (Staf Bagian PUU II Subbagian Penataan Ruang, Biro Hukum, KemenPU) 1 Pendahuluan Sungai adalah salah satu sumber daya alam yang banyak dijumpai

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DIRENCANAKAN DAN KONSEP PERENCANAAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DIRENCANAKAN DAN KONSEP PERENCANAAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DIRENCANAKAN DAN KONSEP PERENCANAAN Bagian ini akan menganalisis gambaran umum objek yang direncanakan dari kajian pustaka pada Bab II dengan data dan informasi pada Bab

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN REKREASI PANTAI KARTINI REMBANG Penekanan Desain Waterfront Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh

Lebih terperinci