KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH DIYAH KARTIKASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH DIYAH KARTIKASARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Konservasi Biodiversitas Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 ABSTRACT DIYAH KARTIKASARI. Species Diversity and Economic Value of Medicinal Wild Animal in Central Java. Under the supervisions of BURHANUDDIN MASY UD dan MIRZA D KUSRINI. Indonesia has high biodiversity and endemism, however extinction rate is also high. Excessive harvesting and habitat destruction by human activity were the dominant factor leading to species extinction and biodiversity loss. Most of the people depend on biodiversity as foods, medicine and housing, but sometime they heedless sustainable utilization. This research was aimed to identify wild animal diversity utilized as traditional medicine and its economics value in Central Java. Research was carried out from May to August 2007 in Central Java Province. Information was obtained through semi structured questionnaires applied to 105 respondents from 19 sub-provinces. I recorded 54 animal species utilized in traditional medicine, 42 of which are wild animal species (vertebrates), 10 avertebrates and 2 livestock animals; whose products were recommended for the treatment of 50 types of illnesses. The most frequently quoted treatments were for respiratory system (20 species), skin disease (18 species) and increasing stamina and appetite (14 species). Reptiles (21 species), followed by mammals (11 species) and fishes (4 species) represented the bulk of medicinal species. Medicinal wild animal is not only used for local consumption, but also exported. The economic value of wild animal to human health in Central Java is estimated to reach Rp.1,421,714,004 per year. Excessive harvesting of medicinal wild animal might increase species loss which resulted in extinction. However, if harvest and trade are based on sustainable utilization, it will not only increasing economic benefit but also generate effort for conservation. Keywords : species diversity, economic value, medicinal wild animal, Cental Java

4 RINGKASAN DIYAH KARTIKASARI. Keanekaragaman Jenis dan Nilai Ekonomi Satwa Liar yang Digunakan Sebagai Obat di Jawa Tengah. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY UD dan MIRZA D KUSRINI. Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta endemisme yang sangat tinggi, namun tingkat keterancaman terhadap kepunahan spesies dan genetik di Indonesia juga sangat tinggi. Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan spesies adalah kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali. Keanekaragaman hayati potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan yang mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat harga obat-obatan yang tinggi menjadi tidak terjangkau lagi oleh masyarakat yang tingkat daya belinya rendah. Pengobatan tradisional dipilih oleh sebagian masyarakat untuk menjaga kesehatannya. Selain tumbuh-tumbuhan, masyarakat juga menggunakan beberapa jenis satwa sebagai obat tradisional. Keanekaragaman jenis satwa liar serta pengetahuan yang dimiliki masyarakat Jawa Tengah tentang penggunaannya sebagai obat merupakan aset yang bernilai strategis untuk pemanfaatan satwa liar sebagai obat. Penelitian dan pustaka mengenai satwa liar untuk obat masih sangat sedikit. Masih banyak jenis satwa obat yang belum tergali potensinya secara optimal namun keberadaannya di alam sudah terancam punah. Untuk dapat melakukan pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar secara lestari maka pemanfaatan jenis satwa obat dan nilai ekonominya perlu diketahui untuk menentukan strategi konservasi yang harus diambil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis satwa liar dan bagian mana yang digunakan serta cara penggunaannya sebagai obat, menghitung nilai ekonomi satwa liar yang digunakan sebagai obat dan mengetahui jalur pemasarannya serta mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan satwa liar sebagai obat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2007 di 19 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah. Karena jumlah pemanfaat satwa liar obat di Jawa Tengah belum diketahui secara pasti, pengambilan sampel penelitian dilakukan secara snowball sampling dengan bantuan key informan. Responden dibagi dalam empat kategori yaitu pemungut, pengumpul, peracik dan penjual. Jumlah responden yang berhasil diwawancarai adalah 105 orang. Selain kepada masyarakat, wawancara juga dilakukan pada instansi terkait Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan studi pustaka. Data dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel frekuensi, tabel silang dan grafik. Di Jawa Tengah terdapat 54 jenis satwa yang digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat. 42 diantaranya adalah satwa liar (vertebrata) yang sebagian besar masuk dalam kelas reptilia, 10 jenis satwa yang tidak bertulang belakang (avertebrata) dan 2 jenis satwa ternak. Terdapat 23 bagian tubuh satwa yang dipercaya mempunyai khasiat obat dan bagian yang paling banyak digunakan adalah daging yang dimanfaatkan dengan cara dimakan. Satwa tersebut dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan 50 jenis penyakit, terutama kelompok penyakit saluran pernafasan. Jenis yang paling banyak diyakini dapat

5 menyembuhkan penyakit adalah reptilia (21 jenis), terutama ular. Satwa liar selain dipercaya untuk menyembuhkan penyakit secara umum, digunakan juga untuk penyembuhan penyakit secara magic. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati & Ekosistemnya dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, 5 jenis satwa masuk dalam daftar dilindungi undang-undang; 1 jenis masuk daftar apendiks I; 12 jenis apendiks II dan 2 jenis apendiks III CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Sedangkan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)Red List of Threatened Species, 1 jenis tercatat dalam kategori genting ; 4 jenis masuk kategori rentan dan 13 jenis tercatat dengan kategori beresiko rendah. Secara garis besar jalur pemasaran satwa liar untuk obat terdiri dari 2 jalur, yaitu jalur pemasaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan jalur pemasaran untuk ekspor. Jalur pemasaran untuk masyarakat lokal adalah: pemungut pengumpul kecil pengumpul besar peracik/penjual konsumen. Jalur pemasaran untuk ekspor adalah: pemungut pengumpul kecil pengumpul besar eksportir. Total pendapatan yang diterima responden dari pemanfaatan satwa liar obat diperkirakan sebesar Rp /tahun. Pemanfaatan satwa sebagai obat telah menjadi suatu matapencaharian bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan tekanan yang besar terhadap kelestarian satwa liar obat. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih dapat memberdayakan masyarakat. Dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, masih banyak masyarakat yang melanggar aturan-aturan yang sudah ditentukan, mereka masih menangkap dan memperdagangkan satwa yang dilindungi undang-undang dan melakukan perdagangan satwa liar yang masuk daftar apendiks CITES tanpa dokumen yang sah. Perhatian dan penelitian pada satwa sebagai obat masih sangat jarang, hal ini menyebabkan pemanfaatan satwa untuk pengobatan tradisional masih mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain: belum adanya standar dosis yang tepat untuk penggunaan obat, belum adanya standar keamanan penggunaan satwa liar untuk obat terutama yang dikonsumsi dalam bentuk mentah (darah, empedu, sumsum) dan belum adanya kajian ilmiah tentang kandungan zat aktif yang terdapat dalam satwa sebagai obat. Dengan adanya berbagai permasalahan dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, untuk mencegah kepunahan jenis satwa dan agar pemanfaatan satwa liar dapat lestari maka strategi konservasi yang harus dilakukan antara lain: peningkatan kesadaran dan usaha pemberdayaan masyarakat pemanfaat satwa liar, penyediaan data dasar tentang satwa dan habitatnya (informasi ilmiah dan teknis lain tentang populasi dan habitat, data dasar tentang bioreproduksi dan pola reproduksi satwa), mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders, penelitian terhadap zat aktif yang dikandung oleh satwa liar, penertiban peredaran satwa liar, usaha penangkaran. Kata kunci : keanekaragaman jenis, nilai ekonomi, satwa liar obat, Jawa Tengah

6 menyembuhkan penyakit adalah reptilia (21 jenis), terutama ular. Satwa liar selain dipercaya untuk menyembuhkan penyakit secara umum, digunakan juga untuk penyembuhan penyakit secara magic. Berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati & Ekosistemnya dan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, 5 jenis satwa masuk dalam daftar dilindungi undang-undang; 1 jenis masuk daftar apendiks I; 12 jenis apendiks II dan 2 jenis apendiks III CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Sedangkan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources)Red List of Threatened Species, 1 jenis tercatat dalam kategori genting ; 4 jenis masuk kategori rentan dan 13 jenis tercatat dengan kategori beresiko rendah. Secara garis besar jalur pemasaran satwa liar untuk obat terdiri dari 2 jalur, yaitu jalur pemasaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan jalur pemasaran untuk ekspor. Jalur pemasaran untuk masyarakat lokal adalah: pemungut pengumpul kecil pengumpul besar peracik/penjual konsumen. Jalur pemasaran untuk ekspor adalah: pemungut pengumpul kecil pengumpul besar eksportir. Total pendapatan yang diterima responden dari pemanfaatan satwa liar obat diperkirakan sebesar Rp /tahun. Pemanfaatan satwa sebagai obat telah menjadi suatu matapencaharian bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan tekanan yang besar terhadap kelestarian satwa liar obat. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih dapat memberdayakan masyarakat. Dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, masih banyak masyarakat yang melanggar aturan-aturan yang sudah ditentukan, mereka masih menangkap dan memperdagangkan satwa yang dilindungi undang-undang dan melakukan perdagangan satwa liar yang masuk daftar apendiks CITES tanpa dokumen yang sah. Perhatian dan penelitian pada satwa sebagai obat masih sangat jarang, hal ini menyebabkan pemanfaatan satwa untuk pengobatan tradisional masih mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain: belum adanya standar dosis yang tepat untuk penggunaan obat, belum adanya standar keamanan penggunaan satwa liar untuk obat terutama yang dikonsumsi dalam bentuk mentah (darah, empedu, sumsum) dan belum adanya kajian ilmiah tentang kandungan zat aktif yang terdapat dalam satwa sebagai obat. Dengan adanya berbagai permasalahan dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, untuk mencegah kepunahan jenis satwa dan agar pemanfaatan satwa liar dapat lestari maka strategi konservasi yang harus dilakukan antara lain: peningkatan kesadaran dan usaha pemberdayaan masyarakat pemanfaat satwa liar, penyediaan data dasar tentang satwa dan habitatnya (informasi ilmiah dan teknis lain tentang populasi dan habitat, data dasar tentang bioreproduksi dan pola reproduksi satwa), mengembangkan jaringan kerja dengan stakeholders, penelitian terhadap zat aktif yang dikandung oleh satwa liar, penertiban peredaran satwa liar, usaha penangkaran. Kata kunci : keanekaragaman jenis, nilai ekonomi, satwa liar obat, Jawa Tengah

7 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Jenis dan Nilai Ekonomi Satwa Liar yang Digunakan Sebagai Obat di Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2008 Diyah Kartikasari NRP. E

8 Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis atau tinjauan pustaka suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.

9 Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis dan Nilai Ekonomi Satwa Liar yang Digunakan Sebagai Obat di Jawa Tengah Nama : Diyah Kartikasari Nomor Pokok : E Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati Disetujui: Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, M.S Ketua Dr. Ir. Mirza D Kusrini, M.Si Anggota Diketahui: Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 17 Desember 2007 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.drh. Muhammad Agil, M.Sc.Agr

11 KATA PENGANTAR Tesis yang berjudul Keanekaragaman Jenis dan Nilai Ekonomi Satwa Liar yang Digunakan Sebagai Obat di Jawa Tengah dibimbing oleh Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Mirza D Kusrini, M.Si selaku anggota. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi pada Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman hayati, Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis ini menguraikan tentang keanekaragaman jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah, bagian tubuh mana yang digunakan dan cara penggunaannya sebagai obat; nilai ekonomi dan jalur pemasaran satwa obat; serta permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan satwa sebagai obat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data dasar dan sebagai masukan untuk menentukan suatu kebijakan di dalam pengelolaan satwa liar baik dalam pelestarian, pengawetan maupun pemanfaatannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna, walaupun demikian penulis berharap semoga informasi yang terkandung dalam tesis ini bermanfaat bagi para pihak terkait dan bagi mereka yang memerlukan. Bogor, Januari 2008 Diyah Kartikasari

12 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kehadirat Allah SWT akhirnya tesis ini selesai pada waktunya. Segalanya menjadi bagian dari rahmat dan karunia-nya dan semakin membuktikan bahwa manfaat senantiasa mengiringi setiap zat yang Dia ciptakan. Tesis ini menjadi bagian akhir dari pelaksanaan tugas belajar penulis di Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), atas kesempatan mengikuti pendidikan karyasiswa Departemen Kehutanan. Penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing: Dr. Ir. Burhanuddin Masy ud, MS., sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Mirza D Kusrini, M.Si., sebagai anggota. Keduanya mengawal proses mulai dari penyusunan proposal hingga penulisan hasil, sehingga tulisan ini layak untuk disebut tulisan ilmiah. Penghargaan serupa penulis sampaikan kepada Dr. drh. Muhammad Agil, M.Sc.Agr yang kesediaannya menjadi dosen penguji luar komisi telah membuat karya ilmiah ini menjadi lebih sempurna. Motivasi dan dukungan semangat diberikan oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku Ketua Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, kepadanya secara khusus penulis menyampaikan terima kasih. Belajar memahami permasalahan ekologi dan peubah pentingnya, segalanya menjadi sistematis dalam setiap persoalan kehidupan. Bantuan yang luar biasa diterima penulis selama penelitian, antara lain dari Ir. Minto Basuki, Haning Tjipto, Agung Budi S., Mu ali, Ananto, Darus Subiantoro, T. Suharyono, Deddy Rusyanto dan staf Balai KSDA Jawa Tengah. Hutang budi ini menjadi semangat untuk senantiasa berbuat yang terbaik bagi konservasi Buat ibunda dengan doa yang selalu ia panjatkan, sehingga kesejukan terasa disaat letih dan gelisah; kakak dan adik yang waktunya tersita untuk menguatkan

13 penulis, memberikan semangat, dukungan dan doa selama penulis menyelesaikan studi; tulisan ini menjadi bingkisan kecil tanda sayang penulis kepada mereka. Terima kasih, sesuatu yang tak pernah bisa berhenti untuk terucap. Dan tak terlupa doa buat ayahanda tercinta (Alm.), yang suritauladannya selalu menjadi panutan bagi penulis. Teman-teman mahasiswa S2 Profesi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati (IPK/KKH) 2006 atas kebersamaan, kekompakan, bantuan, semangat dan ide-ide cemerlangnya selama kuliah bersama-sama. Tak ada yang bisa terucap kecuali kata terimakasih buat kalian semua, kita pernah bersatu dan tetap akan bersatu dimanapun kita berada. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan tulisan ini dan selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kepada semuanya, semoga Allah SWT membalas budi baik dan bantuan yang telah diberikan.

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 23 Oktober 1973 dari ayah Sugito PA (alm.) dan ibu Sumiyati. Penulis merupakan putri keempat dari lima bersaudara. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri Blabak di Magelang dan pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai Penyuluh Kehutanan di Departemen Kehutanan dan ditugaskan di Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 2001 penulis menjalani alih tugas ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah dan bekerja sebagai Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan. Tahun 2006 penulis mendapatkan beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan sub program studi Konservasi Keanekaragaman Hayati..

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 5 Manfaat Penelitian... 5 Ruang Lingkup Penelitian... 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6 Satwa Liar Sebagai Obat... 6 Etnofarmakologi Obat Tradisional Konsep Nilai dan Penilaian GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Biofisik Kondisi Sosial Budaya METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Alat Batasan Penelitian Penentuan Sampel Jenis Data Metode Pengumpulan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Karakteristik Responden Pemanfaatan Satwa Liar Sebagai Obat oleh Masyarakat Jalur Pemasaran dan Nilai Ekonomi Pembahasan Karakteristik Responden Pemanfaatan Satwa Liar Sebagai Obat oleh Masyarakat Jalur Pemasaran dan Nilai Ekonomi Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam Pemanfaatan Satwa Liar untuk obat Permasalahan dalam Pemanfaatan Satwa Liar untuk Obat Strategi Konservasi yang harus Dilakukan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... 76

16 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 86

17 DAFTAR TABEL Halaman 1 Daftar obat-obatan yang menggunakan bahan dari satwa Sebaran responden berdasarkan kategori Rekapitulasi keanekaragaman jenis satwa yang digunakan sebagai obat Sebaran responden berdasarkan umur Jenis satwa yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah Lima jenis satwa yang paling banyak dipercaya berkhasiat obat Status konservasi satwa liar yang digunakan sebagai obat Habitat satwa dan cara penangkapannya Jumlah satwa liar yang diduga dimanfaatkan sebagai obat di Jawa Tengah Bagian satwa yang paling sering digunakan sebagai bahan obat Kelompok penyakit yang dianggap paling banyak disembuhkan dengan penggunaan obat tradisional dari satwa liar Realisasi eksport satwa obat dan bagiannya Propinsi Jawa Tengah bulan Mei s/d September Harga rata-rata tiap jenis satwa liar obat Harga rata-rata simplisia satwa obat di pasaran Total penghasilan masing-masing kategori setiap bulan Regresi nilai ekonomi responden... 66

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta Propinsi Jawa Tengah Persentase responden berdasarkan jenis kelamin Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Persentase sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga Persentase sebaran responden berdasarkan lama bekerja Jumlah jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat pada masingmasing kelas Ular kobra (Naja sputatrix), salah satu satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat obat Persentase cara penangkapan satwa dari alam Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagiannya yang digunakan sebagai obat Jumlah jenis satwa obat berdasarkan kelompok penyakit yang disembuhkan Persentase cara penggunaan satwa obat Persentase tujuan penjualan pada masing-masing kategori pemanfaat satwa liar obat Persentase banyaknya lokasi penjualan racikan satwa obat Jalur pemasaran satwa obat di Jawa Tengah Persentase responden yang menjadikan pekerjaan sebagai pemanfaat satwa liar obat sebagai pekerjaan pokok dan sampingan Persentase kontribusi pemanfaatan satwa liar untuk obat terhadap penghasilan total keluarga Persentase banyaknya responden yang tahu dan tidak tahu tentang jenis-jenis satwa yang dilindungi undang-undang Perbandingan persentase jumlah responden yang pernah dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan Jumlah jenis satwa yang digunakan untuk pengobatan pada berbagai lokasi di beberapa negara Landak (Hystrix brachyura), salah satu satwa yang dilindungi undang-undang yang dipercaya mempunyaikhasiat obat Perbandingan persentase jumlah responden yang pernah dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan... 60

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Karakteristik responden Pengetahuan reponden tentang konservasi Jenis satwa liar (vertebrata) yang dipercaya sebagai obat dan jumlah responden yang melaporkan Kegunaan masing-masing satwa untuk obat Jumlah jenis satwa berdasarkan kelompok penyakit yang diobati Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian tubuh yang digunakan sebagai obat Satwa liar yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah Ramuan dan simplisia satwa obat Jumlah penghasilan responden dari pemanfaatan satwa liar Peta kawasan hutan di Propinsi Jawa Tengah

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme yang sangat tinggi (Abdulhadi 2001; Direktorat KKH 2005). Dari segi keanekaragaman jenis, Indonesia menduduki tempat pertama didunia dalam kekayaan jenis mamalia (515 jenis, 36% endemik), pertama dalam kekayaan jenis kupu-kupu swallowtail (121 jenis, 44% endemik), ketiga dalam kekayaan jenis reptil (lebih dari 600 jenis, 30% endemik), keempat dalam kekayaan jenis burung (1519 jenis, 28% endemik), kelima dalam kekayaan jenis amfibi (270 jenis, 40% endemik) (BAPPENAS 2003; KLH 2003). Namun demikian Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman terhadap kepunahan spesies dan genetik yang sangat tinggi (Direktorat KKH 2006). Penyebab utama keterancaman terhadap bahaya kepunahan spesies adalah kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali (McNeely 1992; Noerdjito et al. 2005; Direktorat KKH 2006). Keanekaragaman hayati merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia karena potensial sebagai sumber pangan, papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain (Haeruman 1995; Addy 2002; BPPT 2006). Keanekaragaman hayati tersebut nilainya mencapai triliunan rupiah dan merupakan potensi yang besar untuk dikembangkan (BPPT 2006). Sebagian dari kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia telah dimanfaatkan dan memberikan nilai secara ekonomis. Lebih dari 6000 jenis tumbuhan dan satwa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhannya, baik secara langsung dari alam maupun melalui kegiatan budidaya (Shiva 1994; Abdulhadi & Kardono 2005; KLH 2003). Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memaksa semua orang untuk menengok kembali berbagai potensi yang dimilikinya (Subekti & Mardiastuti 2004). Harga obat cukup tinggi apabila diukur dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah (Sirait 2001), hal tersebut menyebabkan harga obat-obatan tidak terjangkau oleh masyarakat (Subekti & Mardiastuti 2004). Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan

21 2 dari alam merupakan pilihan yang diambil oleh sebagian masyarakat untuk menjaga kesehatannya, dan adanya gerakan kembali ke alam (back to nature) semakin meningkatkan pemanfaatan bahan-bahan yang berasal dari alam. Selain tumbuh-tumbuhan, masyarakat juga menggunakan beberapa jenis satwa sebagai obat. Beberapa contoh satwa liar yang digunakan sebagai obat adalah ular kobra, kukang dan badak. Darah, empedu dan sumsum ular kobra dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan rematik dan liver (Hartono 1996). Daging kukang dipercaya sebagai obat yang bisa meningkatkan stamina laki-laki (Nursahid & Purnama 2007). Kulit dari cula badak dipergunakan dalam pengobatan tradisional dan dipercaya dapat mengurangi demam, menyusutkan tumor dan menyembuhkan patah atau retak tulang (BTNKS 1998). Dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh masyarakat kadang kurang mengindahkan asas konservasi. Sebagian masyarakat mengambil satwa tersebut langsung dari alam tanpa membudidayakannya terlebih dahulu. Bahkan pengambilan sumberdaya alam tersebut tidak sebatas untuk memenuhi kebutuhan pengobatan sehari-hari tetapi sebagai mata pencaharian. Pemanfaatan yang berlebihan menyebabkan turunnya populasi satwa di habitatnya dan beberapa jenis terancam kepunahan. Sebenarnya masih banyak sumberdaya hayati yang belum tergali potensinya secara optimal namun keberadaannya di alam sedang terancam punah (KLH 2003). Untuk itu perlu dilakukan penggalian potensi sumberdaya alam hayati yang ada dan pembenahan pemanfaatannya agar sumberdaya alam tersebut dapat tetap lestari. Jawa Tengah yang luasnya sekitar ha mempunyai beberapa tipe hutan yang terdiri dari hutan hujan tropis dataran rendah sampai hutan hujan tropis pegunungan. Tipe hutan yang ada merupakan habitat beranekaragam sumberdaya alam hayati baik tumbuhan maupun satwa. Penduduk Propinsi Jawa Tengah sebagian besar berasal dari suku Jawa, terkenal dalam pemakaian obatobat tradisional berupa jamu yang menggunakan bahan-bahan alami baik berupa tumbuhan maupun satwa. Suporahardjo dan Hargono (1994) menyatakan pada awal perkembangan industri obat tradisional khususnya jamu hanya berpusat di Jawa Tengah. Berdasarkan data BPS ( 2001) dari 59 industri jamu yang ada di Indonesia, 28

22 3 diantaranya terdapat di Jawa Tengah (47,46%). Menurut Suporahardjo dan Hargono (1994) dari 350 industri obat tradisional yang tercatat di Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) tersebar di 20 propinsi di Indonesia, 53 industri diantaranya terdapat di Jawa Tengah. Keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pengetahuan yang dimiliki masyarakat Jawa Tengah tentang penggunaannya sebagai obat merupakan potensi yang perlu digali dan dikembangkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari. Penelitian-penelitian keanekaragaman hayati yang ada saat ini sebagian besar tertuju pada penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat sedangkan penelitian tentang penggunaan satwa liar sebagai bahan obat masih sangat sedikit. Oleh karena itu penelitian tentang keanekaragaman jenis dan nilai ekonomi satwa yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat Jawa Tengah menjadi penting. Perumusan Masalah Akhir-akhir ini pemanfaatan satwa liar sebagai obat semakin bertambah besar, hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya penjual atau pengobat yang menggunakan bahan yang berasal dari satwa. Banyak kedai, rumah makan dan restoran yang juga menyajikan menu-menu masakan yang berasal dari satwa liar yang dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau penambah stamina. Beberapa satwa yang digunakan sebagai obat oleh masyarakat adalah satwa yang masuk dalam daftar satwa yang terancam punah dan satwa-satwa yang statusnya dilindungi undang-undang seperti rusa, kijang, penyu dan landak. Masyarakat biasanya mengambil satwa liar langsung dari alam dan masih jarang yang membudidayakan. Di lain pihak kondisi satwa liar yang masih tersisa di alam pun sudah menurun karena rusaknya habitat mereka. Kehidupan satwaliar semakin terdesak oleh kehidupan manusia yang jumlahnya semakin meningkat (Alikodra 1983). Dari tahun ke tahun semakin banyak daftar satwa yang kita punyai masuk ke dalam daftar satwa-satwa yang langka dan terancam punah padahal kadang belum banyak informasi yang kita dapatkan dari satwa-satwa tersebut baik bio-ekologi maupun manfaatnya. Menurut Grifo et al. (1997) dengan hilangnya keanekaragaman hayati berarti kita sudah kehilangan materi dan senjata baru untuk menyembuhkan penyakit dan mencegah kematian.

23 4 Pustaka mengenai jenis-jenis satwa yang digunakan sebagai obat di Indonesia masih sangat terbatas. Informasi tentang satwa-satwa yang digunakan untuk pengobatan sebagian besar terdapat dalam berita media massa dan jarang terdokumentasi dalam laporan atau tulisan ilmiah. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap penggunaan satwa sebagai obat, hukum mengkonsumsi beberapa jenis satwa liar yang masih menjadi perdebatan dalam agama tertentu dan kurangnya dana penelitian merupakan beberapa hal yang menyebabkan kurangnya penelitian penggunaan satwa sebagai obat (Darusman LK 30 Maret 2007, komunikasi pribadi) 1. Di negara-negara maju satwa obat sudah banyak diteliti dan menghasilkan produk-produk berupa obat tradisional maupun sudah berbentuk obat modern. Sebagai contoh, dari publikasi Grifo et al. (1997) dari 150 merek dagang obatobatan dalam daftar IMS Amerika, 27 jenis diantaranya berasal dari mamalia maupun reptilia. Produksi obat yang menghasilkan pendapatan bagi pabrik obat ternama di negara maju ini tentunya didahului oleh serangkaian riset yang mendalam. Hal ini yang sayangnya kurang dimiliki oleh negara-negara berkembang semisal Indonesia. Padahal, keanekaragaman hayati yang tinggi berpotensi menghasilkan devisa lebih tinggi daripada sumberdaya habis terpakai seperti minyak yang suatu saat akan lenyap, sementara satwa liar akan terus bereproduksi selama dilakukan pengelolaan yang baik. Potensi untuk menemukan senyawa obat-obatan pada organisme liar sangat besar dan memberikan salah satu alasan untuk konservasi keanekaragaman hayati. Untuk dapat melakukan pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar secara lestari maka pemanfaatan jenis satwa yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat dan nilai ekonominya perlu diketahui untuk menentukan strategi konservasi yang harus diambil oleh pengelola. Dari uraian di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1 Jenis-jenis satwa obat apa saja yang selama ini digunakan oleh masyarakat di Propinsi Jawa Tengah dan bagaimana cara penggunaannya? 2 Bagaimana prospek penggunaan satwa obat di masa mendatang ditinjau dari aspek ekonomi dan konservasi? 1 Kepala Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor

24 5 3 Permasalahan apa yang kemungkinan timbul berkaitan dengan penggunaan satwa obat tersebut? Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : 1 Mengetahui keanekaragaman jenis satwa liar, bagian tubuh satwa liar yang digunakan dan cara penggunaannya sebagai obat. 2 Menghitung nilai ekonomi satwa liar yang digunakan sebagai obat dan mengetahui jalur pemasarannya. 3 Mengidentifikasi permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan satwa sebagai obat. Manfaat Hasil penelitian merupakan data dasar keanekaragaman jenis dan nilai ekonomi satwa liar yang digunakan sebagai obat serta sebagai masukan bagi instansi terkait dalam upaya pelestarian, pengelolaan dan pemanfaatan satwa liar di Propinsi Jawa Tengah. Ruang Lingkup Penelitian Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini maka ruang lingkup penelitian ini sebagai berikut : 1 Keanekaragaman jenis satwa liar terdiri dari : (a) jenis satwa liar, yang meliputi : nama daerah, nama ilmiah dan status (dilindungi/tidak dilindungi), (b) bagian satwa yang digunakan sebagai obat, (c) manfaat dan (d) cara penggunaannya, 2 Kajian nilai ekonomi dalam penelitian ini menyangkut harga pasar tiap-tiap jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat dan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat dari usaha pemanfaatan satwa liar sebagai obat.

25 TINJAUAN PUSTAKA Satwa Liar Sebagai Obat Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi dan tersebar di beberapa tipe habitat (Alikodra 1990). Satwa liar adalah vertebrata yang hidup bebas di lingkungan alamnya (Bailey 1984). Sedangkan menurut Dephut (2005) satwa liar adalah semua binatang yang masih mempunyai sifatsifat liar yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Bermacam-macam jenis satwa liar merupakan sumberdaya alam yang dimanfaatkan untuk banyak kepentingan manusia, baik untuk kepentingan ekologis, ekonomis maupun kebudayaan (Alikodra 1990). Satwa liar juga memegang peranan penting dalam bidang kedokteran. Jenis-jenis primata sangat diperlukan dalam dunia obat-obatan, dan banyak jenis satwa liar yang menurut kepercayaan masyarakat dapat dipergunakan untuk mengobati berbagai penyakit tetapi belum dikembangkan secara luas (Alikodra 1983). Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki berbagai macam bahan dan ramuan obat tradisional. Berbagai resep obat tradisional dari bahan hayati telah dikembangkan oleh masyarakat. Kebanyakan obat tradisional mempergunakan bahan tumbuh-tumbuhan, namun tidak sedikit juga yang dibuat dari bahan-bahan hewani atau dikombinasikan dengan bahan-bahan hewani (Noerdjito et al. 2005). Di beberapa negara telah banyak dilakukan penelitian tentang penggunaan satwa liar sebagai obat. Penelitian yang dilakukan diantaranya meliputi potensi jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat, populasinya di alam dan kandungan bahan bioaktifnya yang berfungsi sebagai obat. Menurut Mohamed et al. (2003) dari penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat Suku Sungai Cuba di Malaysia terhadap penggunaan satwa yang dilihat dari beberapa aspek yaitu: makanan, obat-obatan, perhiasan, hewan peliharaan dan kepercayaan, penggunaan satwa sebagai obat-obatan mempunyai persentase tertinggi (27,2%) dari 49 jenis satwa yang digunakan. Dari penelitian ini dapat kita ketahui bahwa sebenarnya peranan satwa dalam pemanfaatannya sebagai obat cukup besar.

26 7 Negara kita memiliki kekayaan satwa liar yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan obat. Beberapa spesies rusa dapat diternakkan untuk diambil dagingnya, ranggah muda rusa dan hasil sampingnya digunakan sebagai pengobatan tradisional (English 1994). Ranggah muda rusa mengandung senyawa glycosamynoglycan yang merupakan senyawa penting dalam pengobatan osteoporosis (Semiadi G 14 Maret 2007, komunikasi pribadi) 2. Peranannya yang cukup signifikan sebagai nutraceutical (unsur nutrisi yang mempunyai efek medis bagi manusia) telah banyak diulas (Jamal et al. 2005). Tulang harimau loreng sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu bahan obat yang sangat dicari oleh bangsa Cina. Tulang-tulang tersebut sepenuhnya diperoleh dari perburuan harimau langsung dari alam (Maryanto et al. 1993). Tulang harimau merupakan salah satu bahan obat-obatan tradisional Asia yang digunakan untuk mengobati sakit rematik (Mills & Jackson 2007). Kelelawar dipercaya bisa menyembuhkan penyakit asma (Prasetyo 2003). Beruang juga digunakan sebagai pengobatan tradisional, meskipun kemanjurannya belum terbukti secara medis satwa ini mengandung bahan aktif Urso Deoxy Cholic Acid (UDCA) yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit tertentu seperti menajamkan pandangan, luka dalam, memperbaiki hati, dan sebagainya (Profauna 2007). Di Ghana gigi ular python yang dibakar hingga menjadi abu dan dicampur dengan jeruk lemon digunakan untuk mengobati anak-anak yang mengalami masalah pada pencernaannya, sedangkan hati ular python dipakai untuk menyembuhkan kejang. Duri landak (porcupine) digunakan untuk mencegah kematian prematur pada anak-anak (Adow 2002). Beberapa contoh obat yang terdaftar dalam IMS Amerika Serikat (Grifo et al. 1997) yang mengandung bahan satwa terdapat dalam Tabel 1. 2 Peneliti PUSLIT Biologi LIPI

27 8

28 8 Tabel 1 Daftar obat-obatan yang menggunakan bahan dari satwa No Nama dagang Nama generik Kategori penyakit Kerja obat Bahan yang digunakan Golongan obat Referensi 1 Premarin (Wyeth-Ayerst) conjugated USP estrogen, terapi penggantian estrogen ginekologi diambil dari urine kuda yang hamil alami P373 Cutting s 2 Zantac (Glaxo Pharm) ratinidine antihistamin gastroenterologi screening dari histamin mamalia semisintetik P904 G&G Synthroid (Boots Pharm) levothyroxine hormon tiroid endokrin tiroid domba yang diekstrak, oleh Muray (1891) sebagai terapi hormon. Diidentifikasi tahun 1915 alami P365 Cutting s 4 Vasotec (Merck&Co) enalapril maleat Antihipertensi (ACE inhibitor) kardiovaskuler merupakan derivat dari captopril, ditemukan pada bisa Bothrops jararaca semisintetik P41 Burger p760g &G Provera (Upjohn) 6 Tagamet (SKB Pharm) medroxyprogesterone asetat terapi estrogen dan kontrasepsi ginekologi sintesis dari steroid mamalia semisintetik P381 Cutting s cimetidine antihistamin gastroenterologi screening dari histamin mamalia semisintetik P904 G&G Ortho-Novum (Ortho) etinil estradiol/ norethindron obat oral kontrasepsi ginekologi sintesis dari steroid mamalia semisintetik P244 Taylor P154 Ross&Brain 8 Capoten (Squibb) captopril antihipertensi kardiovaskuler bahan obat ditemukan pada bisa ular Bothrops jararaca semisintetik P41 Burger 9 Humulin N (Lilly) NPH human insulin antidiabet endokrin Insulin recdna manusia alami P1487G&G1996

29 9 No Nama dagang Nama generik Kategori penyakit Kerja obat Bahan yang digunakan Golongan obat Referensi 10 Zestril (Stuart) lisinopril antihipertensi kardiovaskuler modifikasi struktur dari enalapril, derivat dari captopril, bahan obat yang ditemukan pada bisa Bothrops jararaca semisintetik P41 Burger P760 G&G Triphasil 28 (Wyeth-Ayerst) levonorgestrel/etinil estradiol obat oral kontrasepsi ginekologi sintesis dari steroid mamalia semisintetik P904G&G Pepcid (Merck) famotidin antihistamin gastroenterologi screening dari histamin mamalia semisintetic P904 G&G Estraderm (Ciba) 14 Axid (Lilly) estradiol estrogen ginekologi sintesis steroid mamalia semisintetik P1419G&G1996 nitazidin antihistamin gastroenterologi screening dari histamin mamalia semisintetic P904 G&G Beconase AQ (Allen &Handburys) beclomethasone dipropionate corticosteroid/ antiasthma paru-paru semisintetik analog dari cortisol mamalia semisintetik P154 Ross& Brain p1449g&g Ortho-Nov 1/ 3528 (Ortho) norethindrone/etinil estradiol obat oral kontrasepsi ginekologi sintesis dari steroid mamalia semisintetik P1433 G&G Lo/Ovral-28 (Wyeth-Ayerst) norgestrel/etinil estradiol obat oral kontrasepsi ginekologi sintesis dari steroid mamalia semisintetik P1433 G&G Estrase (mead Labs) Johnson 17β-estradiol terapi estrogen ginekologi Sintesis dari steroid mamalia semisintetik P373 Cutting s

30 No Nama dagang Nama generik Kategori penyakit Kerja obat 19 Azmacort (Rhone-Poulenc Rorer) 20 Deltasone (Upjohn) 21 Prinivil (Merck) triamcilone acetonide bronchodilator pernafasan/paruparu prednison glucocorticosteroid penyakit kulit/penyakit metabolik Bahan yang digunakan semisintetik corticosteroid analog dari cortisol mamal lisinopril antihipertensi kardiovaskuler modifikasi struktur dari enalapril, derivat dari captopril, bahan obat yang ditemukan pada bisa Bothrops jararaca Golongan obat semisintetik Referensi P1450G&G1990 sintesis dari steroid mamalia semisintetik P360 Cutting s semisintetik P41 Burger P760 G&G VancenaseAQ (Schering) beclomethasone corticosteroid/antia sthma paru-paru semisintetik analog dari cortisol mamalia semisintetik P154 Ross& Brain p1449g&g Prednison (Schein Pharm) 24 Humulin 70/30 (Lilly) prednison glucocorticosteroid penyakit kulit/penyakit metabolik sintesis dari steroid mamalia semisintetik P360 Cutting s human insulin antidiabet endokrin insulin recdna manusia alami P1487G&G Levoxin (Daniels Pharm) levothyroxine hormon tiroid endokrin tiroid domba yang diekstrak, oleh Muray (1891) sebagai terapi hormon. Diidentifikasi tahun 1915 alami P365 Cutting s 26 Humulin R (Lilly) human insulin antidiabet endokrin Insulin recdna manusia alami P1487G&G Tri-levlen (Berlex Labs) levonorgestrel/ethinyl estradiol Sumber : Grifo et al obat oral kontrasepsi ginekologi sintesis dari steroid mamalia semisintetik P904G&G1996

31 11

32 11 Marshall (1999) menyatakan bahwa tumbuhan dan satwa liar yang berguna dalam kesehatan semakin langka keberadaanya di Afrika Timur dan Afrika Selatan. Dari penelitian yang dilakukan diidentifikasi ada 29 jenis satwa (badak hitam, phyton, pangolin, penyu hijau dll) yang digunakan sebagai bahan obat yang perlu diprioritaskan dalam konservasi dan pengelolaannya. Etnofarmakologi Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki berbagai macam bahan dan ramuan obat tradisional. Berbagai resep obat tradisional dari bahan hayati telah dikembangkan oleh masyarakat. Kebanyakan obat tradisional mempergunakan bahan tumbuh-tumbuhan, namun tidak sedikit juga yang dibuat dari bahan-bahan hewani atau dikombinasikan dengan bahan-bahan hewani (Noerjito et al. 2005; Aliadi & Roemantyo 1994). Pengobatan tradisional merupakan sumber informasi spesies-spesies yang telah digunakan berdasarkan pengalaman turun menurun. Pengalaman tersebut sebenarnya membuktikan bahwa spesies yang dipakai berpotensi sebagai bahan baku, baik obat tradisional maupun obat modern (Aliadi & Roemantyo 1994). Pengetahuan masyarakat lokal memegang peranan penting dalam penemuan obat dan pengembangannya. Norman Farsworth memperkirakan bahwa 3/4 dari penemuan obat-obat yang dipakai sekarang diidentifikasi dari tumbuhan obat yang dipakai oleh masyarakat tradisional (Laird 1993). Pengkajian pengobatan dengan menggunakan pengetahuan masyarakat lokal sering disebut etnofarmakologi. Menurut Martin (1995), etnofarmakologi pada dasarnya adalah mempelajari dan menghimpun pengetahuan perihal kandungan perobatan dalam ramuan yang dihasilkan oleh penduduk setempat. Bidang ini memberi tumpuan pada cara memilih, menyediakan dan memberikan obat yang berasal dari tumbuhan dan hewan. Cabang antropologi yang menekankan kaitan antara hewan dan manusia melalui sejarah peradabannya disebut etnozoologi (Mohamed et al. 2003).

33 12 Obat tradisional Obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnose, pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan (Anief 1995). Sumber pengobatan di dunia mencakup tiga sektor yang saling terkait, yaitu pengobatan rumah tangga/pengobatan sendiri menggunakan obat, obat tradisional atau cara tradisional; pengobatan medis yang dilakukan oleh perawat, dokter, Puskesmas atau rumah sakit serta pengobat tradisional (James 1980 dalam Supardi et al. 2005). Pengobatan tradisional memainkan peranan penting di bidang kesehatan di seluruh dunia. Menurut WHO (World Health Organisation) 80% lebih penduduk dunia menggunakan obat tradisional untuk menjaga kesehatan mereka. Namun demikian pengobatan tradisional sering dianggap rendah dibanding dengan obat-obat dari negara barat dan ilmu pengetahuan modern, bahkan sekalangan orang menganggap pengobatan tradisional sebagai suatu tahayul. Pada saat yang sama obat tradisional mendapatkan pengakuan resmi dan perhatian di seluruh dunia (Lee 1999). Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan BPOM (2005a) yang dimaksud jamu/obat tradisional Indonesia adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (empiris). Dalam obat tradisional kita sering mendengar istilah simplisia. Yang dimaksud dengan simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang dikeringkan (Depkes 1990). Terdapat tiga macam simplisia yaitu (1) simplisia nabati (2) simplisia hewani (3) simplisia pelikan/mineral. Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Obat tradisional dibagi menjadi tiga macam yaitu jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu adalah obat tradisional Indonesia, obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah

34 13 distandarisasi, sedangkan fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi (BPOM 2005b). Salah satu keistimewaan obat tradisional adalah efek samping yang relatif kecil dibandingkan obat modern, tetapi terdapat beberapa kelemahan yang menjadi kendala dalam pengembangannya yaitu : (1) efek farmakologinya lemah, (2) bahan bakunya belum terstandar, (3) belum ada uji klinis dan (4) mudah tercemar berbagai jenis organisme (Katno & Pramono tanpa tahun). Kebenaran khasiat sebagian obat tradisional belum dibuktikan secara ilmiah. Keamanan dan mutu produk obat tradisional perlu ditingkatkan. Peningkatan obat tradisional perlu diikuti dengan pelestarian tanaman dan hewan obat (Depkes 1983). Konsep Nilai dan Penilaian Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna suatu objek bagi orang tertentu dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang tentang atau terhadap suatu benda, dengan proses pemahaman melalui panca indera yang diteruskan ke otak untuk proses pemikiran dan disini berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat. Secara singkat nilai dapat diartikan sebagai harga sesuatu yang dinilai oleh setiap individu dan tergantung pada waktu dan tempat (Davis & Johnson 1987; Bahruni 1999). Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh masyarakat akan beragam tergantung persepsi setiap anggota masyarakat tersebut. Kegunaan, kemanfaatan, kepuasan, rasa senang merupakan ungkapan makna atau nilai sumberdaya hutan yang diperoleh. Ukuran nilai ini dapat diekspresikan oleh waktu, tenaga, barang dan uang, dimana seseorang bersedia memberikannya, untuk memperoleh, memiliki atau menggunakan barang dan jasa yang dinilai (Bahruni 1999). Sedangkan penilaian diartikan sebagai pendugaan terhadap nilai dari sesuatu kemudian dinyatakan harganya. Dalam melakukan perhitungan nilai ekonomi hasil hutan ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian, diantaranya adalah metode nilai pasar. Nilai pasar adalah nilai atau angka rupiah yang ditetapkan

35 14 untuk transaksi atau jual beli di pasar. Nilai yang dianggap standar adalah nilai pasar, yaitu harga yang ditetapkan untuk penjual dan pembeli tanpa campur tangan pihak lain atau dalam keadaan kompetensi sempurna (Davis & Johnson 1987). Sedangkan menurut Depkop (2002) nilai pasar adalah nilai pasaran sekuritas atau komoditas lainnya yang ditentukan berdasarkan permintaan dan penawaran pasar (market price); harga yang dibayar dalam transaksi barang atau dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.

36 GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Biofisik Jawa Tengah adalah sebuah propinsi yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa. Propinsi ini berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Secara geografis berada pada koordinat antara LS dan BT. Dengan luas wilayah kurang lebih ha Provinsi Jawa Tengah terbagi ke dalam 29 kabupaten dan 6 kota (BPS Jateng 2006) (Gambar 1). Gambar 1 Peta Propinsi Jawa Tengah. Topografi Propinsi Jawa Tengah terdiri dari wilayah daratan sebagai berikut: 1 Ketinggian antara m dpl yang memanjang di sepanjang pantai utara seluas ha (53,3%).

37 16 2 Ketinggian antara m dpl yang memanjang pada bagian tengah pulau seluas ha (27,4%). 3 Ketinggian antara m dpl seluas ha ( 14,7%). 4 Ketinggian diatas 1000 m dpl seluas ha (4,6%). Menurut tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah, 38% lahan memiliki kemiringan 0-2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2-15%, 19% lahan memiliki kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%. Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan grumusol, sehingga hamparan tanah di provinsi ini termasuk tanah yang relatif subur (Anonim 2007). Daerah Propinsi Jawa Tengah termasuk dalam iklim B atau tergolong dalam iklim basah menurut klasifikasi Schmit dan Ferguson. Suhu udara rata-rata maksimum dan minimum pada tahun 2004 yaitu 29 C dan minimum 24 C. Kelembaban udara rata-rata 75%-92% (Anonim 2007). Luas kawasan hutan yang ada di Provinsi Jawa Tengah adalah ,93 ha, terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas ,93 ha, Hutan Lindung seluas ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) ha dan Hutan Produksi seluas ha (BAPLAN 2003; Direktorat KK 2007). Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005, jumlah penduduk Jawa Tengah tercatat sebesar jiwa atau sekitar 15% dari jumlah penduduk Indonesia. Jika dibandingkan dengan tahun 2004 ( jiwa) terjadi penambahan jumlah penduduk sebesar jiwa (1,58%). Jumlah penduduk perempuan lebih besar daripada laki-laki, ditunjukkan oleh ratio jenis kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan) sebesar 98,96. Penyebaran penduduk Jawa Tengah belum merata, umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah kota dibandingkan kabupaten. Rata-rata kepadatan penduduk Jawa Tengah tercatat 1011 jiwa setiap kilometer persegi dan wilayah terpadat adalah kota Surakarta dengan kepadatan 12 ribu orang setiap kilometer persegi (BPS 2006). Dari jumlah penduduk ini, 47% diantaranya

38 17 merupakan angkatan kerja. Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor pertanian (42,34%), diikuti dengan perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%) (Dinkes Jateng 2004). Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta terdapat pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini. Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka bergerak di bidang perdagangan dan jasa (Anonim 2007).

39 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian mulai bulan Mei sampai dengan Agustus Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) peta wilayah Jawa Tengah, (2) kuesioner, (3) alat tulis menulis, (4) perekam, (5) buku pengenal satwa (burung, mamalia, amphibia dan reptilia), (6) kamera, (7) komputer untuk pengolahan data. Batasan Penelitian 1 Satwa liar yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah vertebrata yang masih mempunyai sifat-sifat liar, yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. 2 Satwa liar berkhasiat obat adalah satwa liar atau bagian-bagiannya yang digunakan secara langsung/diolah menjadi bahan obat ataupun dalam kemasan yang belum mempunyai data klinis dan secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (empiris). 3 Responden yang menjadi obyek utama penelitian (sampel) adalah masyarakat yang telah diketahui memanfaatkan satwa liar sebagai obat. 4 Nilai ekonomi yang dimaksud pada penelitian ini adalah nilai pasar tiap-tiap jenis satwa obat dan pendapatan masyarakat dari usaha pemanfaatan satwa sebagai obat. Penentuan Sampel Penentuan Sampel Wilayah Penelitian dilakukan di beberapa sampel wilayah (area sampling). Karena populasi pemanfaat satwa liar sebagai obat belum diketahui secara pasti, dalam penentuan sampel wilayah penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan tahapan sebagai berikut :

40 19 1 Mengumpulkan informasi dan melakukan pendataan terhadap masyarakat yang melakukan pemanfaatan satwa liar untuk obat, 2 Menentukan wilayah sampling yaitu kabupaten/kota yang secara aktual dan faktual terdapat masyarakat yang memanfaatkan satwa untuk obat. Dari informasi yang diperoleh dari petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah, maka sampel wilayah terdiri dari 19 kabupaten dan merupakan 54,29% dari keseluruhan jumlah kabupaten/kota yang ada di Propinsi Jawa Tengah (35 kabupaten/kota). Sampel wilayah tersebut meliputi Kabupaten Kudus, Pati, Rembang, Jepara, Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Magelang, Semarang, Cilacap, Banyumas, Brebes, Pemalang, Kota Tegal, Kota Surakarta, Kota Magelang dan Kota Semarang. Penentuan Responden Masyarakat yang menjadi obyek utama penelitian adalah masyarakat yang bekerja sebagai pemungut, pengumpul, peracik dan penjual satwa liar sebagai obat dengan kategori sebagai berikut : 1 Pemungut/pengambil, adalah orang yang memungut atau mengambil satwa liar secara langsung dari habitat alam untuk dimanfaatkan sebagai obat. 2 Pengumpul, adalah orang atau kelompok yang melakukan pengumpulan satwa dari pemungut maupun dari pengumpul yang lebih kecil. 3 Peracik, adalah orang atau kelompok yang menggunakan satwa liar untuk diolah sebagai obat. 4 Penjual/pengedar, adalah orang atau kelompok yang menjual atau memasarkan satwa liar ataupun bagian-bagiannya yang digunakan sebagai obat langsung kepada konsumen. Jumlah pemanfaat satwa liar sebagai obat yang terdapat di Jawa Tengah belum diketahui secara pasti, oleh sebab itu pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara snowball sampling. Snowball sampling biasa digunakan dalam penelitian yang populasinya masih jarang dan sulit diketahui (Padam et al. 2007), juga digunakan dalam penelitian yang sasaran utama atau responden yang dicari adalah orang-orang yang bergerak dalam kegiatan-kegiatan yang illegal (Magnani et al. 2005). Pengambilan sampel dilakukan dengan bantuan key

41 20 informan. Penelitian dimulai pada kelompok kecil yang sudah diketahui, kemudian dari kelompok kecil tersebut diminta untuk menunjuk kawan masingmasing, dan kawan-kawan yang ditunjuk ini diminta untuk menunjukkan kawasan masing-masing pula, dan begitu seterusnya. Dalam hal ini peneliti hanya mengungkapkan kriteria sebagai persyaratan sampel (Subagyo 1991; Nasution 2003; Storey & Marzuki tanpa tahun; Magnani et al. 2005; Padam et al. 2007). Dari keempat kategori yang digunakan dalam penentuan responden yaitu pemungut, pengumpul, peracik dan penjual satwa liar sebagai obat diperoleh 105 orang responden dengan distribusi seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Sebaran responden berdasarkan kategori Kategori Jumlah Responden (orang) Pemungut 30 Pengumpul 30 Peracik 30 Penjual 15 Total 105 Selain kepada masyarakat, wawancara juga dilakukan pada pihak-pihak dan instansi yang terkait dengan penelitian. Tujuannya adalah untuk menggali lebih luas informasi yang terkait dengan penggunaan satwa untuk obat, permasalahanpermasalahan dalam pemanfaatan dan pengembangan satwa obat, kebijakankebijakan yang terkait serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor penting lainnya. Pihak-pihak yang terkait antara lain sinshe, masyarakat yang berada di sekitar hutan atau tokoh masyarakat yang menggunakan satwa sebagai obat. Masyarakat yang diwawancarai adalah 22 orang masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dan 3 orang masyarakat pengguna serta 1 orang ahli sinshe, sedangkan instansi yang terkait dengan penelitian adalah : 1 Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Tengah 2 Dinas Kehutanan Jawa Tengah, 3 Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 4 Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Semarang, 5 Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 6 Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah.

42 21 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat melalui wawancara dan hasil observasi di lokasi penelitian. Data primer dalam penelitian ini meliputi : 1 Keanekaragaman jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat a Jenis-jenis satwa liar yang telah digunakan sebagai obat (nama daerah dan nama ilmiah), b Darimana satwa liar tersebut diperoleh (asal satwa), c Bagaimana cara masyarakat mengambil satwa liar tersebut, d Apakah masyarakat mengambil satwa liar dengan umur, ukuran dan jenis kelamin tertentu, e Kapan masyarakat mengambil satwa liar tersebut (bulan apa), f Jumlah satwa liar yang diambil (ekor), g Apakah masyarakat selalu mengambil satwa liar tersebut dari alam atau sudah melakukan kegiatan pembudidayaan. 2 Penggunaan satwa liar sebagai obat a Jenis satwa yang digunakan sebagai obat, b Jenis penyakit yang diobati, c Bagian satwa yang digunakan sebagai obat, d Takaran bahan dan ramuan (apakah ada bahan tambahan), e Cara pemakaian dalam pengobatan, f Lama pengobatan, g Perlakuan apa yang dilakukan sebelum satwa tersebut dijual atau diproses menjadi bahan obat, h Pemanfaatan sisa satwa yang digunakan dalam pengobatan. 3 Nilai ekonomi dan Jalur pemasaran a Jenis dan jumlah satwa liar yang dimanfaatkan tiap minggu/bulan/tahun, b Harga setiap jenis satwa liar,

43 22 c Kemana mereka menjual satwa, d Berapa pendapatan yang mereka peroleh dari memanfaatkan satwa tersebut. 4 Persepsi masyarakat tentang konservasi a Tahukah mereka tentang adanya peraturan yang mengatur satwa-satwa yang dilindungi, b Tahukah mereka apakah satwa yang mereka manfaatkan termasuk ke dalam satwa yang dilindungi/tidak dilindungi, c Bagaimana kendala mereka dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, d Bagaimana harapan mereka ke depan untuk pemanfaatan satwa tersebut, Data sekunder Data sekunder adalah data-data lain yang terkait dengan penelitian baik yang dilakukan melalui studi pustaka maupun wawancara dengan pihak terkait. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : 1 Luas dan kondisi kawasan hutan yang ada di Jawa Tengah, 2 Jumlah populasi satwa liar untuk obat yang ada di Jawa Tengah, 3 Pemanfaatan satwa liar untuk obat yang ada di Jawa Tengah, 4 Permasalahan dalam pemanfaatan satwa liar untuk obat, 5 Pengelolaan satwa liar yang sudah dilakukan di Jawa Tengah, 6 Keberadaan industri kecil/sedang/besar yang bergerak dalam pengolahan satwa liar untuk pengobatan yang telah terdaftar di BPOM atau Disperindag Jawa Tengah, 7 Kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan satwa liar sebagai obat, 8 Data sosial ekonomi dan budaya penduduk Propinsi Jawa Tengah. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode: Wawancara Metode wawancara dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data yang relevan. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur yaitu dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan/kuesioner dengan

44 23 maksud dapat mengontrol dan mengatur berbagai dimensi wawancara (Nasution 2003; Singarimbun & Handayani 1989), namun segala hal yang tidak tercantum dalam daftar pertanyaan/kuesioner dapat ditanyakan langsung bila diperlukan. Observasi Yaitu cara pengumpulan data dengan cara mengamati, meneliti atau mengukur kejadian yang sedang berlangsung untuk memperoleh data faktual dan aktual (Kusmayadi & Sugiarto 2000). Observasi dilakukan dengan mengamati segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan satwa sebagai obat, selain untuk memastikan jenis satwa liar yang digunakan observasi juga dilakukan terhadap pengolahan produk obat yang berbahan baku satwa. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan dengan tujuan memperoleh data pendukung yang diperlukan dalam penelitian ini. Data tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber yang terkait seperti buku, jurnal, buletin, laporan-laporan penelitian dan lain-lain. Analisis Data Data kuantitatif diolah dan dianalisis dalam bentuk tabel frekuensi, tabel silang dan grafik disesuaikan dengan datanya. Data yang ada selanjutnya diinterpretasikan untuk menunjang data kualitatif saling melengkapi untuk menjawab permasalahan dalam kajian. Sedangkan data kualitatif diolah dan dianalisis dengan melakukan peringkasan data, penggolongan, penyederhanaan, penelusuran dan pengaitan antar tema. Selanjutnya data yang telah diperoleh disajikan secara deskriptif, sesuai dengan tema pembahasan yang ada sehingga mendukung dalam penarikan kesimpulan atau penentuan rekomendasi tindak lanjut. Keanekaragaman Jenis Satwa Data mengenai keanekaragaman jenis satwa, bagian yang digunakan dan cara penggunaan disajikan dalam bentuk deskriptif dengan menggunakan tabel frekuensi, tabel silang dan grafik.

45 24 Tabel 3 Rekapitulasi keanekaragaman jenis satwa yang digunakan sebagai obat No. Jenis satwa Status satwa Dilindungi/Tidak dilindungi N Bagian satwa yang dipakai Kegunaan Cara penggunaan Nilai Ekonomi Satwa Liar sebagai Obat Nilai ekonomi satwa liar dapat dihitung menggunakan metode harga pasar dengan pendekatan harga jual satwa liar yang berlaku di lokasi penelitian. Harga rata-rata tiap jenis satwa liar dihitung dengan rumus : dimana : y = y n y = harga rata-rata tiap jenis satwa (Rupiah/ekor). y = total harga rata-rata tiap jenis satwa seluruh sampel (Rupiah/ekor). n = banyaknya sampel (individu) Pendapatan tiap individu dari satwa liar bisa dihitung dengan rumus : Z = (A 1 xb 1 xc 1 ) + (A 2 xb 2 xc 2 ) + (A n xb n xc n ) Dimana : Z = pendapatan tiap individu dari satwa liar (Rupiah/tahun) A = jumlah pemanfaatan satwa liar tertentu (ekor) B = intensitas(kali) C = harga jenis satwa tertentu (Rupiah/ekor) Sehingga kontribusi pendapatan dari pemanfaatan satwa sebagai obat adalah : Kontribusi pendapatan dari satwa = Z pendapatan total x100% Nilai rata-rata pendapatan tiap individu dihitung dengan menggunakan rumus : z = z n

46 25 dimana : z = nilai rata-rata pendapatan per tahun tiap individu pemanfaat satwaliar obat (Rupiah/tahun) z = nilai total pendapatan seluruh sampel dalam setahun (Rupiah/tahun) n = banyaknya sampel (individu). Untuk memperkuat kesimpulan dari suatu tabulasi silang yang menghubungkan antara responden dengan parameter-parameter sosial ekonomi yang teramati diolah menggunakan uji statistik Chi-square dengan rumus : x 2 n = i ( Oi Ei) 2 Ei Dimana : Oi = Nilai pengamatan yang diperoleh pada kategori ke i Ei = Nilai harapan pada kategori ke i X 2 tabel = X 2 0,05 (b-1)(k-1) Kriteria uji yang digunakan adalah sebagai berikut : H 0 diterima jika X 2 hitung < X 2 0,05 (b-1)(k-1) H1 diterima jika X 2 hitung > X 2 0,05 (b-1)(k-1) Selain analisis chi-square, juga digunakan analisis regresi untuk menentukan tingkat hubungan antara penghasilan responden dengan parameter sosial ekonomi, dengan rumus : Y = β 0 + β 1 Xi Keterangan : Y = Nilai peubah tidak bebas β 0 = Konstanta β 1 = Koefisien regresi Xi = Parameter sosial ekonomi yang teramati (peubah bebas)

47 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Hasil Dari 105 orang responden yang berhasil diwawancarai sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (87,62%). Responden yang berjenis kelamin perempuan tidak menyebar merata pada keempat kategori. Persentase sebaran responden berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Gambar 2. Prosentase (%) , ,33 Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Gambar 2 Persentase responden berdasarkan jenis kelamin. Sebagian besar perempuan bekerja sebagai peracik (30%) dan penjual (20%), hanya satu orang yang bekerja sebagai pengumpul dan tidak satupun perempuan yang bekerja sebagai pemungut (Lampiran 1). Dari empat kategori yang menjadi obyek penelitian umur responden berkisar antara tahun. Distribusi jumlah responden berdasarkan umur disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan umur Umur Kategori No. responden Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Total % (tahun) Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % ,67 1 3,33 2 6,67 1 6,67 9 8, , , , , , , , , , , , , , , ,90 5 >60 2 6, ,67 1 3,33 1 6,67 9 8,57 Total , , , , ,00

48 27 Tingkat pendidikan responden umumnya masih rendah karena jumlah responden yang tidak sekolah, tidak tamat SD dan responden yang menamatkan sekolah di bangku SD sebesar 65,71%. Pada kategori pemungut tingkat pendidikan responden tertinggi adalah SMP. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal yang ditamatkannya dapat dilihat pada Gambar 3. 13,33 17,14 3,81 5,71 Tidak sekolah 14,29 Tidak Tamat SD SD SMP SMU Perguruan Tinggi 45,71 Gambar 3 Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah anggota rumah tangga responden berkisar antara 1-10 orang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sejumlah 4 orang Sebagian besar responden mempunyai anggota keluarga antara 4-6 orang (59,05%) dan responden yang memiliki anggota keluarga lebih dari 9 orang hanya 0,95%. Persentase sebaran jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Gambar 4. 59,05 6,67 0,95 33, >9 Gambar 4 Persentase sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga Pekerjaan sebagai pemungut, pengumpul, peracik dan penjual satwa liar biasanya merupakan pekerjaan yang turun menurun. Sebagian responden yang diwawancarai menyatakan bahwa pekerjaan yang ditekuninya sekarang adalah melanjutkan pekerjaan dan usaha orangtuanya dahulu. Sebaran lamanya responden bekerja sebagai pemanfaat satwa liar adalah seperti yang terdapat pada Gambar 5.

49 28 15,24 65,71 19,05 < 5 tahun 5-10 tahun >10 tahun Gambar 5 Persentase sebaran responden berdasarkan lama bekerja Lamanya responden bekerja sebagai pemanfaat satwa liar bervariasi, sebagian besar responden telah menekuni pekerjaannya lebih dari sepuluh tahun 65,71% (Gambar 5). Rata-rata lamanya bekerja pemungut adalah 17 tahun, pengumpul 17 tahun, peracik 13 tahun dan penjual 19 tahun. Rata-rata lamanya bekerja peracik menunjukkan angka yang paling kecil karena usaha peracikan satwa untuk obat secara komersial belum begitu lama dibanding dengan pekerjaan pemungutan, pengumpulan dan penjualannya. Beberapa peracik satwa obat mengatakan bahwa pekerjaan semula sebelum menjadi peracik adalah sebagai pemungut atau pengumpul. Pemanfaatan Satwa Liar sebagai Obat oleh Masyarakat Jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat Dari hasil pengisian kuesioner dan wawancara dengan pemanfaat satwa liar untuk obat, masyarakat yang ada di sekitar hutan dan masyarakat yang dipercaya mempunyai pengetahuan tentang penggunaan satwa untuk obat diperoleh sebanyak 54 jenis satwa yang digunakan untuk pengobatan tradisional (Tabel 5). Dari 54 jenis terdiri dari 42 jenis satwa liar yang bertulang belakang (Vertebrata), 10 jenis satwa yang tidak bertulang belakang (Avertebrata) dan 2 jenis satwa ternak. 42 jenis satwa liar vertebrata tersebut terbagi dalam 5 kelas yaitu amphibia, reptilia, mamalia, aves, pisces dan terdiri dari 30 familia.

50 29 Tabel 5 Jenis satwa yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah No. Nama lokal Nama Indonesia Nama ilmiah Familia VERTEBRATA AMPHIBIA 1 Kodok ijo Katak sawah Fejervarya cancrivora Ranaidae 2 Kodok saklon Katak saklon Limnonectes macrodon Ranaidae 3 Kodok brungkul Kodok brungkul Bufo sp. Bufonidae AVES 4 Pelatuk bawang Caladi ulam Dendrocopos macei Picidae 5 Sikatan Burung Sikatan Cyornis sp. Muscicapidae 6 Walet Walet Collocalia sp. Apodidae MAMALIA 7 Bajing Bajing Callosciurus sp. Sciuridae 8 Tupai Tupai Tupaia sp. Tupaiidae 9 Codot Codot Cynopterus sp. Pteropodidae 10 Garangan Garangan Herpestes semitorquatus Herpestidae 11 Kalong/lowo Kalong Pteropus vampyrus Pteropodidae 12 Kethek Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Cercopithecidae 13 Landak Landak Hystrix brachyura Hystricidae 14 Luwak Musang Paradoxurus hermaphroditus Viverridae 15 Rase Rase Viverricula indica Viverridae 16 Menjangan Rusa Cervus sp. Cervidae 17 Trenggiling Trenggiling Manis javanica Manidae PISCES 18 Welut Belut Synbranus macrotema Synbracidae 19 Hiu botol Hiu botol Centrophorus squamosus Squamidae 20 Kutuk Ikan gabus Channa striata Channidae 21 Kuda laut Kuda laut Hyppocampus hystrix Syngnathidae REPTILIA 22 Seliro/menyawak Biawak Varanus salvator Varanidae 23 Boyo Buaya muara Crocodylus porosus Crocodylidae 24 Bulus/labi-labi Kura-kura Amyda cartilaginea Trionychidae 25 Celeret gombel Celeret gombel Draco sp. Scincidae 26 Cecak Cicak Hemydactylus frenatus Scincidae 27 Kadal Kadal Eutropis sp. Scincidae 28 Bunglon Bunglon Bronchocela sp. Scincidae 29 King kobra King kobra Ophiophagus hannah Elapidae 30 Penyu Penyu hijau Chelonia mydas Cheloniidae 31 Tekek Tokek Gekko gecko Gekkonidae 32 Ulo dumung Ular kobra Naja sputatrix Elapidae 33 Ulo koros Ular koros Ptyas korros Colubridae 34 Ulo sowo Ular sanca Python reticulatus Pythonidae 35 Ulo jali Ular jali Ptyas mucosus Colubridae 36 Ulo lanang sapi Ular lanang sapi Elaphe radiata Colubridae

51 30 No. Nama lokal Nama Indonesia Nama ilmiah Familia 37 Ulo welang Ular welang Bungarus fasciatus Elapidae 38 Ulo weling Ular weling Bungarus candidus Elapidae 39 Ulo taliwangsa Ular cincin emas Boiga dendrophila Elapidae 40 Ulo karung Ular karung Acrochordus javanicus Acrochordidae 41 Ulo pelangi Ular pelangi Xenopeltis unicolor Xenopeltidae 42 Ulo kadut Ular rawa air tawar Homalopsis buccata Colubridae AVERTEBRATA 43 Kalajengking Kalajengking Diplocentrus whitei Diplocentridae 44 Kerang mutiara Kerang mutiara Pictata maxima 45 Kelabang Kelabang Scolopendra sp Scolopendidae 46 Cacing Cacing tanah Lumbricus rubellus Lumbricidae 47 Lintah sawah Lintah sawah Hirudo medicinalis Arhynchobdellidae 48 Landak laut Landak laut Diadema saxatile Diadematidae 49 Bekicot Bekicot Achatina fulica Achatinidae 50 Teripang mas Teripang Sticophus sp. 51 Undur-undur Undur-undur Myrmeleon sp Myrmeleonidae 52 Tawon Lebah Apis sp. Apidae TERNAK 53 Marmut Marmut Cavia sp. Cavidae 54 Kerbau Kerbau Bubalus bubalis Bovidae Jumlah jenis dari masing-masing kelas yang termasuk dalam 42 jenis satwa liar vertebrata yang digunakan sebagai obat ditampilkan pada Gambar 6. Jumlah jenis satwa (jenis) Amphibia Aves Mamalia Pisces Reptilia Kelas Gambar 6 Jumlah jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat pada masingmasing kelas.

52 31 Gambar 6 memperlihatkan bahwa reptilia merupakan kelas yang memiliki jumlah jenis satwa yang paling banyak digunakan sebagai obat yaitu 21 jenis dan sebagian besar adalah jenis ular. Berdasarkan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang jenis-jenis satwa liar yang digunakan sebagai obat, ular kobra (Naja sputatrix) (Gambar 7) merupakan jenis satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat obat (25,31%). Lima jenis satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat untuk pengobatan disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Lima jenis satwa yang paling banyak dipercaya berkhasiat obat No Nama jenis Jumlah responden % 1 Ular kobra 61 25,31 2 Biawak 28 11,62 3 Tokek 26 10,79 4 Kalong 20 8,30 5 Bulus 11 4,56 Selain satwa yang diyakini bisa digunakan untuk mengobati penyakit secara umum, ternyata terdapat beberapa jenis satwa yang sering digunakan untuk tujuan magic yaitu burung gagak (Corvus sp.) dan kukang (Nycticebus coucang) seperti yang diungkapkan oleh responden. Status Konservasi Satwa Liar Obat Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Daftar Apendiks CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dan IUCN (Internatinal Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red List of Threatened Species (IUCN 2007); tercatat 5 jenis satwa yang digunakan sebagai obat adalah satwa dilindungi undang-undang, 15 jenis masuk dalam daftar apendiks CITES dan 18 jenis tercatat dalam Red List of Threatened Species IUCN (Tabel 7).

53 32

54 32 Tabel 7 Status konservasi satwa liar yang digunakan sebagai obat Status Konservasi No. Nama jenis Nama ilmiah UU 5 TH 90 & PP 7 TH 99 CITES IUCN AMPHIBIA 1 Katak sawah Fejervarya cancrivora Resiko Rendah ver 3,1(2001) 2 Katak saklon Limnonectes macrodon Rentan ver 3,1 (2001) 3 kodok brungkul Bufo sp. AVES 4 Caladi ulam Dendrocopos macei Resiko Rendah ver 3,1(2001) 5 Burung Sikatan Cyornis sp. 6 Walet Collocalia sp. Apendiks II MAMALIA 7 Bajing Callosciurus sp. Resiko Rendah ver 3,1(2001) 8 Tupai Tupaia sp. Apendiks II Resiko Rendah ver 3,1(2001) 9 Codot Cynopterus sp. Resiko Rendah ver 3,1(2001) 10 Garangan Herpestes semitorquatus Resiko Rendah ver 3,1(2001) 11 Kalong Pteropus vampyrus Apendiks II Resiko Rendah ver 2,3 (1994) 12 Monyet ekor panjang Macaca fascicularis Apendiks II Resiko Rendah ver 2,3 (1994) 13 Landak Hystrix brachyura Dilindungi Rentan ver 2,3 (1994) 14 Musang Paradoxurus hermaphroditus Apendiks III Resiko Rendah ver 2,3 (1994) 15 Rase Viverricula indica Apendiks III Resiko Rendah ver 2,3 (1994) 16 Rusa Cervus sp. Dilindungi Resiko Rendah ver 2,3 (1994) 17 Trenggiling Manis javanica Dilindungi Resiko Rendah ver 2,3 (1994) PISCES 18 Belut Synbranus macrotema 19 Hiu botol Centrophorus squamosus Rentan ver 3,1 (2001) 20 Ikan gabus Channa striata 21 Kuda laut Hyppocampus hystrix Apendiks II

55 33 No. Nama jenis Nama ilmiah UU 5 TH 90 & PP 7 TH 99 CITES Status Konservasi IUCN REPTILIA 22 Biawak Varanus salvator Apendiks II 23 Buaya muara Crocodylus porosus Dilindungi Apendiks II Resiko Rendah ver 2,3 (1994) 24 Kura-kura Amyda cartilaginea Apendiks II Rentan ver 3,1 (2001) 25 Celeret gombel Draco sp. 26 Cecak Hemydactylus frenatus 27 Kadal Eutropis sp. 28 Bunglon Bronchocela sp. 29 King kobra Ophiophagus hannah Apendiks II 30 Penyu hijau Chelonia mydas Dilindungi Apendiks I Genting ver 3,1 (2001) 31 Tokek Gekko gecko 32 Ular kobra Naja sputatrix Apendiks II 33 Ular koros Ptyas korros 34 Ular sanca Python reticulatus Apendiks II 35 Ular jali Ptyas mucosus Apendiks II 36 Ular lanang sapi Elaphe radiata 37 Ulang welang bergaris Bungarus fasciatus 38 Ular welang Bungarus candidus 39 Ular cincin emas Boiga dendrophila 40 Ular karung Acrochordus javanicus 41 Ular pelangi Xenopeltis unicolor 42 Ular kadut Homalopsis buccata

56 34 Gambar 7 Ular kobra (Naja sputatrix), salah satu jenis satwa yang paling banyak dipercaya mempunyai khasiat obat. Penangkapan Satwa Semua pemungut menyatakan bahwa satwa yang mereka jual berasal dari penangkapan pada habitatnya di alam. Lokasi penangkapan (habitat satwa) dan cara penangkapan masing-masing jenis satwa bervariasi seperti terdapat pada Tabel 8. Tabel 8 Habitat dan cara penangkapan satwa Jenis Lokasi Penangkapan (Habitat satwa) Alat yang digunakan dalam penangkapan Belut sawah tangan Biawak sungai, sawah tangan Bulus waduk, sungai dipancing, disetrum Bunglon pohon tangan Cicak rumah, kebun tangan Codot pohon buah jaring Kalong pohon buah jaring Ikan gabus sungai dipancing, disetrum Katak sawah, kolam tangan, jerat Monyet ekor panjang hutan lindung dikejar Landak di goa di tebing hutan jebakan Tokek pohon-pohon besar, kebun tangan Trenggiling hutan jati, daerah dekat hutan tangan Tupai pohon, rumpun bambu ditembak Ular sanca hutan, dekat sungai besar di dekat hutan tangan Ular jali sawah, tegalan, kebun tangan Ular kadut sungai, kolam tangan Ular kobra daratan, sempadan sungai, lubang tanggul tangan, jerat sawah Ular lanang sapi daratan tangan Ular taliwangsa daratan, rumpun bambu, pohon-pohon tangan Ular welang di lubang dekat tanggul tangan Ular weling di lubang dekat tanggul tangan Kuda laut laut jaring Penyu laut jaring

57 ,00 50 Persentase (%) ,00 20, Tangan Alat jerat Lainnya Cara penangkapan Gambar 8 Persentase cara penangkapan satwa dari alam. Lokasi penangkapan satwa oleh pemungut adalah habitat satwa yang berada di sekitar tempat tinggal mereka, tetapi bila jumlah tangkapan di daerahnya sedikit pemungut sering menangkap satwa di kabupaten lain yang merupakan habitat jenis-jenis satwa yang mereka cari. Bahkan pemungut yang bertempat tinggal di perbatasan propinsi kadang menangkap satwa di propinsi lain. Seperti terjadi pada pemungut yang bertempat tinggal di Rembang, yang merupakan perbatasan antara Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, pemungut di Rembang kadang menangkap satwa sampai ke Tuban (Jawa Timur). Satwa yang dikumpulkan oleh pengumpul berasal dari pemungut maupun pengumpul di daerah dia tinggal, tetapi dapat juga berasal dari kabupaten lain bahkan propinsi lain. Seorang pengumpul di Sragen sering membeli satwa (reptilia) dari para pengumpul kecil di Ngawi (Jawa Timur). Jenis satwa obat yang beredar di Jawa Tengah yang berasal dari propinsi lain diantaranya adalah buaya (Papua), kalong (Madura) dan bulus (Kalimantan Selatan). Penangkapan satwa dilakukan sepanjang tahun, baik musim penghujan maupun musim kemarau. Namun menurut informasi dari para pemungut, pada musim kemarau satwa susah dicari sehingga biasanya pada musim kemarau hasil yang diperolehnya lebih sedikit daripada musim penghujan. Frekuensi penangkapan satwa oleh pemungut dalam sebulan rata-rata adalah 22 kali. Penangkapan biasanya dilakukan pada malam hari, untuk jenis-jenis tertentu seperti landak, tupai, dan monyet penangkapan dilakukan pada siang hari. Para

58 36 pemungut memulai pekerjaannya mulai jam sampai WIB. Para pemungut biasanya libur untuk mencari satwa pada malam terang bulan purnama dan malam Jumat. Malam mendekati terang bulan purnama biasanya satwa tidak keluar dari sarangnya sehingga jarang mereka bisa menjumpai satwa di lapangan, sedangkan malam jumat dipercaya sebagai malam yang sakral sehingga sebagian besar pemungut menganggap tabu dan tidak baik mencari satwa pada malam Jumat. Dari pemungut dan pengumpul yang diwawancarai, 78,33% menyatakan bahwa mereka mengambil satwa dengan kriteria tertentu, dan 21,67% yang tidak menggunakan kriteria apapun, satwa yang masih terlalu kecil tidak diambil karena tidak laku dipasaran. Kriteria yang biasa digunakan adalah berat tubuh atau panjang tubuh. Misalnya untuk ular kobra ukuran yang diterima di pasaran adalah yang berukuran minimal 95 cm; sanca minimal 2,7 meter; taliwangsa minimal 1 meter dan ular kadut minimal 60 cm. Bila ukuran satwa kurang dari kriteria yang sudah ditentukan maka harga akan anjlok, seperti untuk jenis ular kobra yang panjangnya > 95 cm harganya Rp , tetapi bila ukurannya kurang dari itu maka harganya cuma Rp Beberapa jenis satwa sengaja ditangkap ketika satwa masih kecil sesuai dengan permintaan konsumen, jenis monyet dan kijang biasanya ditangkap saat masih kecil karena dijual untuk pet. Walaupun menurut responden mereka mengetahui kriteria satwa yang laku di pasaran tetapi kadang ada beberapa responden yang tidak memperhatikan kriteria tersebut. Satwa hasil tangkapan yang mereka kumpulkan biasanya langsung dijual ataupun diracik. Bila satwa tersebut tidak langsung dijual jarang ada pemeliharaan khusus terhadap satwa, satwa biasanya ditaruh waring (karung strimin) atau ditaruh di kandang tanpa diberi makan, hanya kadang-kadang disiram dengan air sampai waktunya untuk dijual. Tidak ada responden yang sudah berhasil menangkarkan satwa liar tersebut walaupun ada beberapa orang responden mengaku pernah mencobanya. Berdasarkan perhitungan, dugaan jumlah masing-masing jenis satwa yang ditangkap untuk dimanfaatkan sebagai racikan obat tersaji dalam Tabel 9. Penghitungan didasarkan pada pengamatan jumlah satwa yang dijual oleh responden dikalikan frekuensi penjualannya per bulan.

59 37 Tabel 9 Jumlah satwa liar yang diduga dimanfaatkan sebagai obat di Jawa Tengah. Jumlah No. Jenis satwa Unit/bulan Unit/tahun Unit 1 Tokek ekor 2 Ular koros ekor 3 Ular kobra ekor 4 Cicak ekor 5 Katak kg 6 Ular kadut ekor 7 Kadal ekor 8 Ular jali ekor 9 Ular lanang sapi ekor 10 Ular taliwangsa ekor 11 Biawak ekor 12 Ular pelangi ekor 13 Ikan kutuk kg 14 Tupai ekor 15 Bunglon ekor 16 Ular sanca ekor 17 Bulus ekor 18 Kuda laut ekor 19 Codot ekor 20 Ular welang ekor 21 Hiu ekor 22 Penyu ekor 23 Kalong ekor 24 Bajing ekor 25 Landak ekor 26 Buaya ekor 27 Luwak ekor 28 Garangan ekor 29 Monyet ekor panjang 6 72 ekor 30 Celeret gombel 4 48 ekor 31 Rase 4 48 ekor 32 Burung Pelatuk bawang 1 12 ekor 33 Burung Sikatan 1 12 ekor 34 Trenggiling 1 12 ekor

60 38 Satwa liar yang diketahui jumlah pemanfaatannya adalah satwa liar yang sudah banyak digunakan dan diperjualbelikan oleh masyarakat, sedangkan satwa liar yang tidak banyak digunakan dan masih jarang diperjualbelikan tidak bisa diduga jumlah pemanfaatannya. Satwa yang masih jarang digunakan sebagai obat diantaranya adalah kodok brungkul, rusa dan bunglon. Bagian Satwa, Kegunaan dan Cara Penggunaannya Sebagai Obat Bagian yang Digunakan Sebagai Obat Dalam pemanfaatan satwa sebagai obat, bukan hanya jenis satwa yang beranekaragam melainkan bagian tubuh satwa yang digunakan juga beranekaragam. Satwa liar mempunyai bagian tertentu yang dipercaya paling berkhasiat dalam penyembuhan suatu penyakit dan masing-masing bagian tubuh satwa dipercaya mempunyai khasiat yang berbeda-beda, sehingga satu jenis satwa liar bisa digunakan untuk menyembuhkan beberapa macam penyakit. Ditinjau dari bagian satwa yang digunakan untuk bahan ramuan obat tradisional terdapat 23 macam bagian satwa yaitu: bisa, cangkang/karapas, daging, darah, duri, ekor, empedu, hati, kulit, cairan/lendir, lidah, minyak, otak, paruh, sarang, sisik, sumsum, tanduk, tangkur, telur, tulang, madu dan semua bagian satwa. Pemakaian masing-masing bagian tubuh satwa dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan jumlah bagian satwa yang digunakan sebagai bahan obat, lima bagian satwa yang paling sering digunakan adalah seperti terdapat pada Tabel 10. Tabel 10 Bagian satwa yang paling sering digunakan sebagai bahan obat No. Bagian satwa Jumlah jenis satwa Persentase (%) 1 Daging 25 24,04 2 Empedu 15 14,42 3 Semua bagian 11 10,58 4 Hati 9 8,65 5 Minyak 9 8,65

61 39 Jumlah jenis satwa (jenis) Bagian satwa yang digunakan sebagai obat bisa cangkang/karapas daging darah duri ekor empedu hati kulit cairan/lendir lidah minyak otak paruh sarang sisik sumsum tanduk tangkur telur tulang madu semua bagian Gambar 9 Jumlah jenis satwa berdasarkan bagian-bagiannya yang digunakan sebagai obat. Tabel 10 menunjukkan bahwa dari 23 bagian satwa yang digunakan sebagai obat, daging merupakan bagian yang paling banyak digunakan yaitu 24,04% (25 jenis). Empedu menempati urutan kedua dalam pemakaiannya sebagai bahan obat (14,42%) dan urutan ketiga adalah pemakaian semua bagian satwa (10,58%). Masing-masing bagian satwa kadang mempunyai fungsi yang berbeda-beda sehingga pemakaian masing-masing bagian sangat bervariasi. Terkadang masingmasing bagian digunakan secara tunggal untuk menyembuhkan suatu penyakit tetapi kadang beberapa bagian satwa (2 bagian atau lebih) digunakan secara bersama-sama, bahkan beberapa satwa digunakan secara keseluruhan dalam sebuah ramuan jamu/obat tradisional. Kegunaan satwa obat Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan responden, jenis-jenis satwa tersebut dipercaya bisa menyembuhkan sekitar 50 penyakit diantaranya untuk mengobati penyakit diabetes, batuk, penyakit kulit,

62 40 penyakit dalam, kanker dan sebagainya (Lampiran 4). Beberapa jenis satwa berkhasiat untuk perawatan kulit, perawatan rambut dan menambah stamina. Berdasarkan jenis penyakit yang disembuhkan, kegunaan jenis satwa liar tersebut dikelompokkan menjadi 21 macam kelompok penyakit (Gambar 10) Jumlah jenis satwa yang dipakai Kelompok penyakit Sakit kepala, demam, masuk angin dan penurun panas Penyakit saluran pencernaan Penyakit saluran pernafasan Penyakit pendengaran Pengobatan luka Penyakit otot persendian dan tulang Kanker,tumor Kholesterol,darah tinggi dan stroke Penyakit mata Diabetes Tonikum/Stamina Penyakit saluran kencing/ginjal Penyakit gigi Jantung Penyakit dalam Hepatitis, liver,limfa Penyakit kulit Perawatan rambut, muka dan kulit Penawar racun Obat kuat lelaki, lemah syahwat Lainnya (lepra,beri-beri, saraf dsb). Gambar 10 Jumlah jenis satwa obat berdasarkan kelompok penyakit yang disembuhkan Dari 21 kelompok penyakit tersebut, kelompok penyakit yang dianggap paling banyak dapat disembuhkan seperti terdapat dalam Tabel 11. Tabel 11 Kelompok penyakit yang dianggap paling banyak dapat disembuhkan dengan pengunaan obat tradisional dari satwa liar Kelompok penyakit Jumlah jenis satwa Persentase (%) Penyakit saluran pernafasan 20 14,49 Penyakit kulit 18 13,04 Tonikum/Stamina 14 10,14 Diabetes 10 7,25 Obat kuat lelaki, lemah syahwat 9 6,52 Perawatan rambut, muka dan kulit 8 5,80 Pengobatan luka 7 5,07 Penyakit otot persendian dan tulang 7 5,07 Hepatitis, liver,limfa 6 4,35 Kholesterol,darah tinggi dan stroke 5 3,62

63 41 Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar satwa digunakan untuk mengobati kelompok penyakit saluran pernafasan (asthma, TBC, batuk, step/ kejang akibat demam, paru-paru) yaitu sebesar 14,49% (20 jenis), diikuti oleh penyakit kulit 13,04% (18 jenis) dan penambah stamina dan nafsu makan 10,14% (14 jenis). Satwa yang digunakan untuk mengobati penyakit kulit diantaranya adalah segala jenis ular, biawak, tokek, cicak dan kadal; sedangkan satwa yang digunakan sebagai penambah stamina adalah ular, garangan, landak dan luwak. Selain 21 kelompok penyakit tersebut terdapat jenis satwa yang digunakan untuk penyembuhan semua penyakit secara magic. Satwa yang digunakan sebagai sarana pengobatan secara magic diantaranya adalah burung pelatuk bawang dan burung sikatan. Ada juga satwa yang digunakan untuk mengobati penyakit karena roh halus (santet) yaitu burung gagak dan ukang juga digunakan untuk menjaga Cara Penggunaan Berdasarkan cara penggunaan satwa sebagai obat oleh masyarakat dibedakan menjadi 7 macam yaitu: dimakan, diminum, dioles, ditelan, ditempel, dibasuh dan dipakai sebagai pipa rokok. Jumlah jenis satwa menurut cara penggunaannya disajikan pada Gambar 11. Penggunaan dengan cara dimakan merupakan cara yang paling sering digunakan oleh masyarakat (38,02%), demikian juga dengan penggunaan dengan cara diminum (33,88%). Agak sedikit satwa yang cara penggunaannya dengan cara dioles dan ditelan serta sangat jarang yang penggunaannya dengan cara dibasuh atau dipakai sebagai pipa. Persentase (%) ,02 33,88 11,57 13,22 0,83 0,83 1,65 dimakan diminum dioles ditelan ditempel dibasuh pipa Cara penggunaan Gambar 11 Persentase cara penggunaan satwa obat.

64 42 Penggunaan satwa obat dengan cara dimakan mempunyai persentase yang paling besar berkaitan dengan banyaknya bagian satwa yang paling banyak digunakan yaitu daging. Daging biasanya dimasak terlebih dahulu dicampur dengan bumbu dan rempah-rempah dibuat menjadi masakan yang khas seperti rica-rica, sate, swike dan sebagainya. Pada anak-anak untuk mempermudah pemberiannya maka daging diolah menjadi abon. Penggunaan satwa dengan cara diminum juga merupakan cara yang sering dilakukan. Bagian satwa yang diminum biasanya berbentuk darah atau cairan tertentu, tetapi bagian lain juga sering digunakan dengan cara diminum dengan terlebih dahulu mengolah bagian satwa (daging, empedu, tulang atau seluruh bagian satwa) menjadi bubuk halus. Daging dan seluruh bagian satwa biasanya dipanggang/dibakar dahulu hingga kering/menjadi abu, baru kemudian ditumbuk halus. Setelah bagian satwa ini berbentuk serbuk maka bahan akan lebih mudah dikonsumsi, sebagian orang meminumnya sebagai kopi dan sebagian memasukkannya ke dalam kapsul. Penggunaan satwa obat dengan cara ditelan biasanya dipakai bila bagian satwa tersebut dikonsumsi dalam bentuk mentah. Empedu, sumsum dan hati biasanya dikonsumsi dengan cara ditelan, sedangkan lemak/minyak digunakan dengan cara dioles pada bagian yang diinginkan. Dosis ataupun ukuran yang pasti tentang jumlah (takaran) dan berapa lama bahan tersebut harus dikonsumsi tidak diketahui dengan pasti. Dosis yang digunakan tergantung dari jenis penyakit, kondisi penyakit dan kondisi konsumen pemakai. Selain itu dosis penggunaan juga tergantung dari aturan tabib (pengobat) yang menangani. Untuk ramuan darah ular kobra, semua bagian (darah, empedu, sumsum) dari satu ekor ular kobra dikonsumsi secara bersamaan, untuk penyakit yang kronis kadang ramuan dari 2 atau 3 ular kobra diminum sekaligus. Dari survey yang dilakukan, sebagian besar (93,33%) peracik menambahkan bahan tambahan ke dalam ramuan satwa obat baik yang berupa bumbu ataupun bahan-bahan lain seperti madu, kratingdaeng, anggur dan jeruk nipis. Madu, kratingdaeng, anggur dan jeruk nipis sering ditambahkan pada ramuan-ramuan yang harus diminum atau ditelan seperti darah, empedu dan sebagainya untuk menghilangkan bau amis. Untuk ramuan obat yang berbentuk masakan biasanya

65 43 hanya ditambah dengan bumbu dan rempah-rempah. Selain bahan tersebut ada beberapa peracik yang menambahkan ramuan tradisional dari tumbuh-tumbuhan untuk menambah khasiat ramuan obat dari satwa. Lamanya pengobatan dengan ramuan tersebut tergantung dari jenis penyakit dan beratnya penyakit. Pada awal pengobatan, konsumsi ramuan satwa obat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering dibandingkan bila sakit sudah agak reda. Frekuensi konsumsi ramuan satwa obat semakin lama semakin dikurangi seiring dengan meredanya penyakit. Jalur Pemasaran dan Nilai Ekonomi Jalur Pemasaran Satwa obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat 100% berasal dari alam, tidak ada satwa yang merupakan hasil budidaya. Para pemungut menjual satwa tersebut kepada para pengumpul atau peracik satwa obat dan pengumpul kecil tersebut menjual satwa tersebut ke pengumpul yang lebih besar, peracik, penjual maupun eksportir. Peracik menjual produknya kepada konsumen maupun kepada penjual racikan satwa obat. Sedangkan penjual menjual satwa/racikan obatnya langsung kepada konsumen. Satwa yang dijual ada yang berbentuk hidup maupun mati. Dari pemungut ke pengumpul biasanya satwa dijual dalam bentuk hidup, namun dari pengumpul kecil ke pengumpul yang lebih besar, ke peracik dan ke eksportir satwa sering dijual dalam bentuk daging, satwa kering maupun berbentuk simplisianya. Penyaluran satwa kepada pembeli khususnya pada pengumpul bisa diantar sendiri dan sering menggunakan jasa kurir (paket). Tujuan penjualan pada masing-masing kategori disajikan pada Gambar 12. Komponen pendukung sistem pemasaran satwa obat dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu produsen dan konsumen. Produsen adalah masyarakat yang bertugas sebagai penyedia satwa maupun bahan racikan obat yaitu pemungut, pengumpul, peracik dan penjual. Pemungut adalah orang yang memungut satwa liar obat tersebut dari alam, pengumpul adalah orang yang mengumpulkan satwa dari para pemungut atau pengumpul kecil, peracik adalah orang yang telah melakukan pengolahan sepenuhnya sebagai komoditi yang

66 44 diperdagangkan berupa ramuan obat maupun masakan, serta penjual adalah orang yang menjual satwa atau bagian-bagiannya maupun racikan obat langsung kepada konsumen. Persentase masing-masing tujuan penjualan 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Kategori Pengumpul Peracik Konsumen Eksportir Importir Gambar 12 Persentase tujuan penjualan pada masing-masing kategori pemanfaat satwa. Dari hasil survey yang dilakukan diketahui bahwa pemungut berada hampir di semua kabupaten di Jawa Tengah, demikian juga dengan pengumpul kecil. Sedangkan pengumpul besar hanya terdapat di beberapa kota. Kategori peracik diketahui tersebar pada 13 kabupaten dan kota, dengan jumlah yang terbanyak di Kabupaten Cilacap dan Kota Solo masing-masing sejumlah 6 dan 4 peracik. Keberadaan penjual satwa obat yang sudah dalam bentuk racikan masih sangat jarang, penjual yang banyak ditemui pada saat survey adalah penjual satwa obat (hidup) di pasar burung. Konsumen satwa obat tersebar hampir di seluruh kota/kabupaten di Jawa Tengah, bahkan ada konsumen dari luar Jawa Tengah yang biasa memesan satwa obat dalam bentuk simplisia kering. Kebanyakan konsumen adalah orang-orang yang menderita penyakit yang sulit disembuhkan dan orang-orang yang membutuhkan stamina yang tinggi dalam pekerjaannya seperti para sopir dan pekerja berat. Pengobatan dengan ramuan dari satwa obat sering dianggap sebagai pengobatan alternatif yang ditempuh oleh para penderita bila penyembuhan penyakitnya secara medis mengalami kegagalan.

67 45 Pada kategori pemungut semua responden bekerja atas inisiatif sendiri, tiap hari mereka rutin melakukan pemungutan kecuali pada hari-hari tertentu mereka libur. Sebagian besar pengumpul (96,67%) mengumpulkan satwa atas inisiatif sendiri. Kategori peracik 60% responden membuat racikan atas inisiatif sendiri, tiap hari mereka meracik satwa untuk obat dan biasanya racikan berupa masakan khas dari satwa liar obat. Sedangkan 40% lainnya meracik satwa obat bila ada pesanan dari pembeli, sehingga mereka hanya menyediakan satwa dalam keadaan hidup ataupun bahan mentah, baru setelah ada pesanan dari pembeli mereka baru meraciknya. Dari survey yang dilakukan, pemasaran satwa obat pada kategori peracik dilakukan pada beberapa macam lokasi baik itu di rumah, warung, kios, kaki lima maupun di klinik (Gambar 13). Tempat penjualan racikan satwa obat klinik warung/kakilima rumah kios 3,33 20,00 16,67 60, Persentase (%) Gambar 13 Persentase banyaknya lokasi penjualan racikan satwa obat. Pada Gambar 13 terlihat bahwa lokasi yang paling banyak digunakan untuk menjual racikan satwa obat adalah di warung/kaki lima yaitu sebesar 60%, hal ini menunjukkan bahwa peracikan satwa obat sudah dilakukan secara profesional. Peracik yang menjual racikannya di warung/kakilima biasanya merupakan peracik yang lumayan besar omzetnya, sedangkan peracik yang menjual racikannya di rumah biasanya mereka merupakan peracik dengan omzet yang kecil. Terdapat satu orang peracik yang menjual racikannya di klinik karena dia adalah seorang tabib yang menggunakan bubuk kalong sebagai salah satu bahan pokok obat untuk penyakit asthma. Jalur pemasaran satwa obat dari pemungut sampai kepada konsumen dapat dilihat pada Gambar 14.

68 46 Semua kabupaten - Rumah makan - Kaki lima - Pengobatan tradisional Semua kabupaten - Sragen - Semarang - Cilacap - Jawa Timur - Jakarta - Bali Keterangan : : arah penjualan satwa obat Gambar 14 Jalur pemasaran satwa obat di Jawa Tengah Selain memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, satwa obat juga ditangkap untuk memenuhi kebutuhan di luar negeri (ekspor). Dari data realisasi ekspor non migas di Dinas Perdagangan Propinsi Jawa Tengah tercatat beberapa jenis satwa dan bagian satwa yang diekspor dengan negara tujuan ekspor tertentu (Tabel 12).

69 47 Tabel 12 Realisasi eksport satwa obat dan bagiannya Propinsi Jawa Tengah bulan Mei s/d September 2006 No. Jenis Berat Harga (US $) Negara tujuan 1 Sarang burung walet Kanada 2 Tokek kering Hongkong 3 Daging ular Hongkong 4 Ular kering Hongkong 5 Kulit keong Korea 6 Kulit kepiting Cina 7 Kulit binatang lunak Philipina 8 Darah ular Hongkong 9 Sirip ikan hiu Jepang Sumber : Disperindag Jateng 2006 Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa tujuan eksport jenis reptil seperti tokek kering, daging ular, ular kering dan darah ular adalah Hongkong, sedangkan untuk sarang burung walet tujuan eksport adalah Kanada. Selain itu cangkang beberapa binatang dieksport ke Korea, China dan Philipina. Nilai Ekonomi Satwa Liar yang Digunakan Sebagai Obat Satwa liar merupakan sumberdaya yang mudah dan cepat didapatkan secara langsung untuk menghasilkan keuntungan sehingga masyarakat banyak memanfaatkan satwa liar, bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pengobatan lagi tetapi sebagai matapencaharian mereka untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Pemanfaatan satwa liar obat tidak hanya oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tetapi sudah meluas sampai dengan kota-kota besar. Sebagian masyarakat bekerja sebagai pemungut, pengumpul, peracik dan penjual satwa liar. Bahkan ada beberapa responden yang termasuk dalam dua kategori sekaligus yaitu sebagai pemungut dan pengumpul (2 orang) atau sebagai pengumpul dan peracik (4 orang). Persentase responden yang menjadikan pemanfaatan satwa liar obat sebagai pekerjaan pokok ataupun sampingan disajikan dalam Gambar 15. Nilai ekonomi satwa liar obat pada penelitian ini dihitung berdasarkan nilai pasar karena jenis-jenis tersebut telah diperjualbelikan oleh masyarakat. Satwa kadang dijual dalam bentuk hidup maupun sudah berbentuk simplisia hewani. Dari pengolahan data yang dilakukan, harga rata-rata masing-masing jenis satwa yang digunakan sebagai obat disajikan pada Tabel 13.

70 48 Persentase (%) ,67 76, ,33 23, ,67 93,33 Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Pekerjaan Pokok Sampingan Gambar 15 Persentase responden yang menjadikan pekerjaan sebagai pemanfaat satwa liar obat sebagai pekerjaan pokok atau sampingan Tabel 13 Harga rata-rata tiap jenis satwa liar obat No. Jenis satwa Harga (Rp/unit) Unit Keterangan 1 Bajing ekor hidup 2 Biawak ekor hidup kg daging 3 Kura-kura ekor hidup kg daging 4 Bunglon ekor hidup 5 Burung sikatan ekor hidup 6 Cicak 144 ekor hidup kg hidup kg kering 7 Codot ekor hidup kg hidup 8 Celeret gombel ekor hidup 9 Garangan ekor hidup 10 Kadal ekor hidup 11 Kalong ekor hidup 12 Katak kg Hidup kg kulitan (besar) kg kulitan (kecil) 13 Kera ekor hidup 14 Kuda laut ekor Kering 15 Ikan kutuk kg hidup 16 Landak kg hidup ekor hidup 17 Luwak ekor hidup 18 Burung pelatuk bawang ekor Hidup 19 Penyu ekor Ukuran cm ekor Ukuran > 50 cm 20 Rase ekor Hidup

71 49 No. Jenis satwa Harga (Rp/unit) Unit Keterangan 21 Tokek 896 ekor Hidup 1959 ekor Kering 22 Trenggiling kg hidup 23 Tupai ekor hidup 24 Ular cincin emas ekor hidup 25 Ular cincin perak ekor hidup 26 Ular jali ekor hidup 27 Ular kadut No ekor panjang > 83 cm Ular kadut No ekor panjang cm Ular kadut No ekor panjang cm Ular kadut No ekor panjang < 75 cm 28 Ular kobra ekor hidup 29 Ular koros ekor hidup kg daging 30 Ular king kobra ekor hidup 31 Ular lanang sapi ekor hidup kg daging kg kering 32 Ular pelangi kg daging ekor hidup 33 Ular sanca ekor hidup meter hidup 34 Ular taliwangsa ekor hidup 35 Ular weling ekor hidup 36 Ular welang ekor hidup Harga-harga tersebut adalah harga rata-rata yang diambil dari keempat kategori pemanfaat. Satwa-satwa yang tercatat harganya adalah satwa-satwa yang banyak diperdagangkan oleh masyarakat. Satwa yang mempunyai harga tertinggi adalah trenggiling dengan harga rata-rata Rp per kg hidup/mati. Satu ekor trenggiling beratnya ± 5-8 kg, sehingga satu ekor trenggiling bisa terjual antara Rp Karena harganya yang sangat menggiurkan itulah walaupun trenggiling dilindungi undang-undang masih ada masyarakat yang memperdagangkannya secara illegal. Satwa lain yang cukup tinggi harganya adalah ular sanca dan ular king kobra dengan harga rata-rata Rp per ekornya. Harga terendah adalah satwa liar obat yang ukurannya paling kecil yaitu cicak dengan harga Rp.144 per ekornya. Selain menjual satwa hidup para pemanfaat terutama peracik dan penjual sering menjual satwa obat dalam bentuk simplisia. Rata-rata harga simplisia hewani satwa obat adalah seperti tersaji dalam Tabel 14.

72 50 Tabel 14 Harga rata-rata simplisia satwa obat di pasaran No. Simplisia Harga (Rp) Satuan (per) Keterangan 1 Hati ikan hiu kg basah 2 Tangkur buaya buah kering 3 Minyak bulus/penyu liter 4 Minyak hiu liter 5 Tulang ikan hiu Buah Panjang 20 cm 6 Duri landak laut buah 7 Minyak kutuk 800 cc 8 Empedu ular kobra buah Kering 9 Minyak ular kobra 400 cc 10 Bubuk kalong/codot kg Kering 11 Empedu biawak 6000 buah Kering 12 Tangkur ular kobra 500 buah Kering Simplisia satwa obat jarang dijual secara khusus dan biasanya dijual di tempat yang sama dengan tempat para peracik menjual dagangannya, baik di rumah, di kedai, warung makan maupun di kios. Selain hasil pokok dari penjualan satwa sisa pemanfaatan peracikan satwa juga memberikan pemasukan tambahan. Bagi pemungut, pengumpul dan penjual satwa obat biasanya satwa dijual dalam bentuk satwa hidup sehingga tak ada pemanfaatan sisa, pada kategori peraciklah biasanya terdapat pemanfaatan sisa satwa. Hasil survey menemukan hanya sebagian kecil peracik yang tidak memanfaatkan satwa sisa (15,15%), peracik lainnya memanfaatkan satwa sisa (kulit, daging, duri) untuk dijual, bahkan ada beberapa peracik yang membuat kerajinan tangan dari sisa satwa tersebut. Kulit ular dan biawak dapat dibuat menjadi dompet, tas, jaket atau ikat pinggang; karapas penyu sering diawetkan menjadi ofsetan dan duri landak dapat dibuat menjadi tempat tisu ataupun tusuk konde. Satwa obat ternyata telah memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat. Rata-rata penghasilan responden pada masing-masing kategori berturut-turut adalah sebagai berikut: (a) pemungut = Rp /bulan, (b) pengumpul = Rp /bulan, (c) peracik = Rp /bulan dan (d) penjual = Rp /bulan. Kontribusi pemanfaatan satwa obat dari kategori pemungut, pengumpul, peracik dan penjual menunjukkan angka yang bervariasi (Gambar 16) dengan rata-rata kontribusi penghasilan dari memanfatkan satwa liar untuk obat terhadap penghasilan total keluarga adalah sebesar 63,34%.

73 51 Persentase kontribusi pemanfaatan satwa obat (%) ,33 74,00 71,98 32,44 Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Kategori Gambar 16 Persentase kontribusi pemanfaatan satwa liar untuk obat terhadap penghasilan total keluarga. Total penghasilan dari semua responden pada keempat kategori dalam satu bulan disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Total penghasilan masing-masing kategori setiap bulan No Kategori Junlah responden (orang) Besarnya penghasilan (Rp/bulan) 1 Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Total Penghasilan yang diperoleh setiap bulannya adalah sebesar Rp , yang berarti bahwa satwa liar sebagai sumber daya alam hayati telah menyumbangkan Rp bagi 105 keluarga dan telah menghidupi 435 orang untuk kehidupannya sehari-hari. Bila dikonversikan ke dalam tahun maka besarnya penghasilan dari pemanfaatan satwa liar adalah sebesar Rp /tahun. Pembahasan Karakteristik Responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang menekuni pekerjaan ini ada laki-laki dalam usia produktif, yang umumnya merupakan kepala keluarga. Hal ini dipengaruhi oleh waktu dan tantangan selama bekerja. Pemungutan satwa liar biasanya dilakukan malam hari di lokasi yang jauh dari pemukiman dan harus berhadapan dengan satwa liar yang terkadang

74 52 membahayakan keselamatan manusia. Menurut pengakuan para pemungut pencarian satwa kadang sampai keluar kabupaten dimana ia bertempat tinggal untuk mendapatkan satwa yang lebih banyak. Perempuan sebagian besar bekerja sebagai peracik karena meracik bahan baku menjadi suatu masakan adalah keahlian perempuan dan mereka menerima bahan baku sudah berbentuk daging yang siap untuk dimasak. Perempuan juga bekerja sebagai penjual satwa di pasar burung karena satwa yang dijual di pasar burung biasanya bukan merupakan satwa yang berbisa dan membahayakan seperti codot, kalong, bajing, tupai dan jenis burung. Penggunaan satwa untuk mengobati suatu penyakit sudah dikenal sejak jaman nenek moyang kita. Pengetahuan tentang penggunaan satwa sebagai obat telah digunakan secara turun menurun terutama di Propinsi Jawa Tengah yang sangat terkenal dengan jamu dan obat tradisionalnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan satwa sebagai obat telah menjadi suatu matapencaharian yang dijadikan sumber penghasilan mereka. Rendahnya pendidikan responden dan pengakuan bahwa pekerjaan ini merupakan turun temurun menunjukkan bahwa kebanyakan responden tidak memiliki keahlian lain sehingga alternatif pekerjaan lain tidak ada. Keterkaitan hubungan yang erat antara masyarakat desa hutan dengan lingkungan sumberdaya hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran. Sumberdaya alam tidak semata-mata dianggap sebagai aspek keseimbangan kosmos tetapi sebagai aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebutuhan ekonomi masyarakat desa meliputi aspek pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, makanan dan hiburan yang semuanya hanya dapat dipenuhi melalui transaksi modern menggunakan media uang. Hal ini menyebabkan masyarakat berupaya memperoleh uang melalui cara yang cenderung berbeda dan bahkan bertentangan dengan pola interaksi dengan lingkungannya yang sudah terjalin selama ini, masyarakat telah merubah praktek pemanfaatan sumberdaya alam ke arah praktek yang eksploitatif (Nugraha & Murtijo 2005). Pemanfaatan sumberdaya alam yang eksploitatif menyebabkan tekanan yang besar terhadap kelestarian satwa liar obat. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan yang lebih dapat memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat

75 53 mempunyai alternatif lain untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Menurut Sudarmadji (2002a) jika upaya pemberdayaan masyarakat tersebut telah berhasil, maka masyarakat akan memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungannya. Strategi yang efektif dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu kegiatan kerjasama antara pihak pengelola kawasan konservasi, Perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat lebih berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat pula (Sudarmadji 2002b). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dapat diketahui secara umum masyarakat pemanfaat sudah tahu tentang adanya undang-undang yang mengatur tentang perlindungan satwa walaupun mereka tidak tahu persis undang-undang apa yang mengaturnya. Tetapi pada kategori pemungut sebagian besar responden (63,33%) belum tahu adanya undang-undang ataupun peraturan yang mengatur tentang perlindungan satwa (Lampiran 2). Sebagian besar masyarakat (75,24%) juga sudah tahu beberapa jenis satwa yang dilindungi undang-undang. Pengetahuan masyarakat tentang konservasi diduga ada hubungannya dengan tingkat pendidikan formal yang berhasil diselesaikan oleh responden. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi juga pengetahuan tentang konservasi. Dari uji statistika dengan chi-square terhadap pengetahuan masyarakat tentang adanya peraturan pemerintah tentang perlindungan satwa menunjukkan X 2 hitung = 17,125 dan X 2 tabel (0,05; df = 4) = 9,49, sehingga X 2 hitung >X 2 tabel, yang artinya pengetahuan konservasi tiap kelompok pendidikan berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (P value = 0,02). Setelah diadakan uji lanjutan terhadap persentase banyaknya responden yang mengetahui tentang adanya peraturan pemerintah itu maka semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula persentase responden yang mengetahui peraturan pemerintah tentang perlindungan satwa seperti terlihat pada Gambar 17. Sebagian dari masyarakat belum pernah mendapatkan penyuluhan tentang perlindungan satwa, yang dimaksud penyuluhan disini adalah segala informasi yang terkait dengan perlindungan satwa yang disampaikan kepada masyarakat baik secara langsung maupun lewat media elektronik oleh pihak-pihak yang

76 54 terkait. Pada kategori pengumpul, peracik dan penjual persentase jumlah responden yang pernah mendapatkan penyuluhan lebih banyak daripada responden yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan (Gambar 18). 120 persentase (%) Tahu Tidah tahu 0 Tidak tamat SD SD SMP SMA PT Tingkat pendidikan Gambar 17 Persentase banyaknya responden yang tahu dan tidak tahu tentang jenis-jenis satwa yang dilindungi undang-undang. Persentase responden (%) ,33 53,33 46,67 46,67 73,33 26,67 Pemungut Pengumpul Peracik Penjual Kategori Pernah mendapatkan penyuluhan Tidak pernah mendapatkan penyuluhan Gambar 18 Perbandingan persentase jumlah responden yang pernah dan tidak pernah mendapatkan penyuluhan. Persentase jumlah responden yang pernah mendapatkan penyuluhan pada kategori penjual mempunyai nilai yang paling besar (73,33%) karena para penjual biasanya berkumpul di suatu lokasi seperti pasar burung ataupun suatu komplek sehingga pemberian penyuluhan lebih mudah dilakukan. Kegiatan penyuluhan tentang perlindungan satwa yang dilakukan oleh Balai KSDA Jawa Tengah sebagian besar dilakukan kepada penjual di pasar burung. Untuk kategori pengumpul dan peracik mempunyai nilai yang sama dalam persentase responden pernah mendapatkan penyuluhan yaitu 53,33%, sedangkan untuk pemungut hanya

77 55 10% saja responden yang pernah mendapatkan penyuluhan. Hal ini disebabkan karena daftar tentang pemungut satwa liar belum tercatat pada instansi terkait dan kebanyakan pemungut bertempat tinggal di pelosok desa yang sulit untuk dijangkau sehingga penyuluhan pada para pemungut belum dilakukan secara khusus. Meskipun lebih dari separo jumlah responden (56,19%) yang tidak pernah mendapatkan penyuluhan tentang perlindungan satwa namun semua responden (100%) menyatakan bahwa pelestarian satwa itu perlu, dengan alasan agar satwa liar untuk obat tetap ada dan matapencaharian mereka tetap tersedia untuk bisa menghidupi kebutuhan keluarga mereka. Walaupun mereka menyatakan bahwa perlu dilakukan pelestarian satwa namun dalam pelaksanaannya kadang mengabaikan asas kelestarian dan peraturan yang ada. Mereka masih memperdagangkan satwa liar yang dilindungi undang-undang walaupun mereka tahu itu dilarang. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa satwa itu telah sejak lama mereka manfaatkan dan sampai sekarang masih tetap ada jadi menurut mereka satwa akan terus ada dan tidak akan menjadi langka. Untuk jenis penyu, beberapa peracik mengharapkan agar jenis itu boleh ditangkap. Persepsi masyarakat perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan upaya pelestarian satwa. Disinilah peranan kesadaran konservasi, ternyata pengetahuan konservasi saja tidak cukup untuk mencegah pemanfaatan satwa liar obat dengan tidak lestari. Pemanfaatan Satwa Liar sebagai Obat oleh Masyarakat Jenis satwa yang digunakan dan status konservasinya Dari hasil wawancara dengan pemanfaat satwa liar obat diperoleh sebanyak 54 jenis satwa yang digunakan sebagai obat dan 42 jenis satwa liar diantaranya adalah vertebrata. Pemanfaatan satwa liar sebagai obat bukan hanya ditemukan di Indonesia. Pada penelitian di Sungai Cuba, Malaysia ditemukan 16 spesies satwa obat (Mohamed et.al 2002), di 17 negara di Afrika Timur dan Afrika Selatan terdapat 100 jenis satwa untuk pengobatan tradisional ( Marshall 1999) dan 97 spesies tercatat dari penelitian pada 5 kota di Brazilia (Alves &Rosa 2007a), 1500 jenis satwa digunakan dalam pengobatan tradisional Cina (Alves & Rosa 2005),

78 56 15 jenis ditemukan di Taman Nasional Ranthambore India (Mahawar et al. 2006) dan 15 jenis ditemukan di Rajasthan India (Mahawar et al. 2007). Pada penelitian di Bahia, Brazilia tercatat lebih dari 180 satwa obat dan 100 spesies satwa tercatat digunakan dalam pengobatan di Paraiba, Brazilia (Alves & Rosa 2006) (Gambar 19) Jumlah jenis satwa obat (jenis) Lokasi Afrika Timur dan Selatan TN Ranthambore India China Bahia, Brazilia Brazilia Rajasthan India Jawa Tengah Maranhao &Paraiba, Brazilia Gambar 19 Jumlah jenis satwa yang digunakan untuk pengobatan pada berbagai lokasi di beberapa negara. Dari Gambar 19 terlihat bahwa China mempunyai jumlah jenis satwa yang paling banyak digunakan untuk bahan pengobatan. Pengobatan tradisional di China sudah diakui oleh World Health Organisazion (WHO) (CITES 1997) dan diterima oleh seperempat penduduk dunia (Alves & Rosa 2005). Dari 42 jenis satwa yang ditemukan, reptilia mempunyai jenis yang paling banyak diyakini dapat menyembuhkan penyakit yaitu 21 jenis terutama jenis ular, terbanyak kedua adalah mamalia (11 jenis) dan pisces (4 jenis). Berbeda dengan penelitian di Brazilia (Alves & Rosa 2007a) yang menemukan mamalia sebagai jenis yang paling banyak digunakan (27 jenis), walaupun jumlah jenis reptilia pun cukup banyak yaitu 24 jenis (peringkat ke-2) dan pisces pada tempat ketiga (16 jenis) mewakili bagian terbesar dari jenis yang digunakan sebagai obat. Penelitian serupa di Chakeshang-Nagaland juga menemukan mamalia sebagai jenis yang paling banyak digunakan untuk pengobatan (12 jenis), baru kemudian amphibia (2 jenis), burung serta reptilia masing-masing 1 jenis. Selain satwa yang diyakini bisa digunakan untuk mengobati penyakit secara umum, dari informasi masyarakat terdapat beberapa jenis satwa yang sering

79 57 digunakan untuk tujuan magic seperti burung gagak (Corvus sp.) dan kukang (Nycticebus coucang). Pemakaian satwa liar untuk magic walaupun tidak sebesar jumlah satwa yang digunakan untuk pengobatan namun menjadi satu hal yang harus diwaspadai. Lima jenis satwa masuk dalam daftar dilindungi undang-undang adalah: trenggiling, rusa, penyu hijau, landak dan buaya muara. Satwa liar masuk dalam kategori dilindungi undang-undang bila memenuhi beberapa kriteria yaitu mempunyai populasi yang kecil, adanya penurunan yang tajam pada populasi di alam dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik), sehingga wajib dilakukan upaya konservasinya. Satwa tersebut dilarang untuk ditangkap, dilukai, dibunuh, disimpan, dipelihara ataupun diperdagangkan baik dalam keadaan hidup maupun mati. Dari kelima jenis tersebut yang ditangkap dari wilayah Propinsi Jawa Tengah hanya empat jenis yaitu trenggiling, rusa, penyu hijau dan landak, sedangkan buaya dikirim dari Papua dalam bentuk simplisia (tangkur). Trenggiling diperdagangkan secara illegal dan tersembunyi. Informasi dari beberapa responden diduga trenggiling dijual ke pengumpul di Cirebon dan Jakarta. Menurut Marshall (1999) trenggiling digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika untuk diambil sisik dan darahnya dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit jantung. Landak (Gambar 20) dijual dalam bentuk racikan yang berupa masakan khas seperti rica-rica, sate, dan daging landak goreng, bahkan tempat penjualannya sudah menetap berupa sebuah rumah makan di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar dan di Getasan, Kabupaten Semarang. Gambar 20 Landak (Hystrix brachyura), salah satu satwa yang dilindungi undang- undang yang dipercaya mempunyai khasiat obat.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme yang sangat tinggi (Abdulhadi 2001; Direktorat KKH 2005). Dari segi keanekaragaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Satwa Liar Sebagai Obat

TINJAUAN PUSTAKA Satwa Liar Sebagai Obat TINJAUAN PUSTAKA Satwa Liar Sebagai Obat Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi dan tersebar di beberapa tipe habitat (Alikodra 1990). Satwa liar adalah vertebrata yang hidup bebas

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI EKONOMI SATWA LIAR YANG DIGUNAKAN SEBAGAI OBAT DI JAWA TENGAH DIYAH KARTIKASARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 8 KEANEKARAGAMAN JENIS DAN NILAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara

Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara R. Sahiu 1), E. Pangemanan ), W. Nurmawan ), dan M. T. Lasut ) 1) Mahasiswa Program Studi Ilmu Kehutanan UNSRAT ) Dosen

Lebih terperinci

Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2007.

Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2007. METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Propinsi Jawa Tengah. Waktu penelitian mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2007. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Hal ini membuat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi DAFTAR GAMBAR...

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

BERITA NEGARA. KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN No. 1185, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Konservasi. Macan Tutul Jawa. Strategi dan Rencana Aksi. Tahun 2016-2026. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hayati sebagai sumber bahan pangan dan obat-obatan (Kinho et al., 2011, h. 1).

BAB I PENDAHULUAN. hayati sebagai sumber bahan pangan dan obat-obatan (Kinho et al., 2011, h. 1). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan hutan tropis terkaya di dunia setelah Brazil dan masih menyimpan banyak potensi sumber daya alam hayati sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu Saudara-saudara

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Pertama-tama marilah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN spesies tumbuhan, 940 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat dan

BAB I PENDAHULUAN spesies tumbuhan, 940 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai Negara megabiodiversitas, karena memiliki kekayaan flora, fauna dan mikroorganisme yang sangat banyak. Ada Sekitar 30.000 spesies tumbuhan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya.

I. PENDAHULUAN. secara lestari sumber daya alam hayati dari ekosistemnya. I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang sangat luas dan relatif tidak terganggu. Kawasan ini mempunyai nilai alam dengan ciri yang menonjol atau ciri khas tertentu,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung dalam ilmu biologi adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.56/Menlhk/Kum.1/2016 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI MACAN TUTUL JAWA (PANTHERA PARDUS MELAS) TAHUN 2016 2026 DENGAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR Oleh : Surya Yuliawati A14103058 Dosen : Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam hayati merupakan unsur unsur alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan hewani (satwa) yang bersama - sama dengan unsur

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a.

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA

STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA STUDI PEMANFAATAN HASIL HUTAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR TAMAN NASIONAL MANUSELA (Studi Kasus : Desa Horale, Desa Masihulan, Desa Air Besar, Desa Solea dan Desa Pasahari) WISYE SOUHUWAT DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, termasuk tingkat endemisme yang tinggi. Tingkat endemisme

Lebih terperinci

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat hutan pegunungan sangat rentan terhadap gangguan, terutama yang berasal dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan manusia seperti pengambilan hasil hutan berupa

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan manfaat, antara

Lebih terperinci

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nom BERITA NEGARA No.289 2016 KEMEN-LHK. Konsevasi. Amorphophallus. Rencana Aksi. Tahun 2015-2025. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.72/MENLHK-SETJEN/2015 TENTANG STRATEGI DAN RENCANA

Lebih terperinci

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid.

TAMBAHAN PUSTAKA. Distribution between terestrial and epiphyte orchid. TAMBAHAN PUSTAKA Distribution between terestrial and epiphyte orchid. Menurut Steeward (2000), distribusi antara anggrek terestrial dan epifit dipengaruhi oleh ada atau tidaknya vegetasi lain dan juga

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR (Studi Kasus: Kelurahan Sidiangkat, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dan Desa Sembahe, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh: ERWIN EFENDI

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA Oleh A.A. Istri Agung Kemala Dewi Made Gde Subha Karma Resen Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN KAPSUL HERBAL DR LIZA (Studi Kasus Hotel Salak The Heritage Bogor, Jawa Barat)

ANALISIS PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN KAPSUL HERBAL DR LIZA (Studi Kasus Hotel Salak The Heritage Bogor, Jawa Barat) ANALISIS PERILAKU KONSUMEN DALAM PEMBELIAN KAPSUL HERBAL DR LIZA (Studi Kasus Hotel Salak The Heritage Bogor, Jawa Barat) Oleh : Zahakir Haris A14104638 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

Transnational Organized Crime (TOC)

Transnational Organized Crime (TOC) Hukum di Indonesia untuk Melindungi Satwa Liar Ani Mardiastuti aniipb@indo.net.id Fakultas Kehutanan IPB Transnational Organized Crime (TOC) Terorisme Penyelundupan senjata Narkoba Kejahatan dunia maya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) Page 1 of 6 Penjelasan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman hayati yang terkandung

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG PERTUKARAN JENIS TUMBUHAN ATAU SATWA LIAR DILINDUNGI DENGAN LEMBAGA KONSERVASI DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai

TINJAUAN PUSTAKA. obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai 11 TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Obat Tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 516 TAHUN : 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IJIN BUDIDAYA BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman primata yang tinggi, primata tersebut merupakan sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA PEMBUKAAN RAPAT PEMBAHASAN ROAD MAP PUSAT KAJIAN ANOA DAN PEMBENTUKAN FORUM PEMERHATI ANOA Manado,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa sekarang ini, jumlah populasi manusia semakin meningkat. Di Indonesia kepadatan penduduknya mencapai 200 juta jiwa lebih. Kebutuhan akan tempat dan

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR

PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR PENERAPAN KAMPANYE BANGGA UNTUK MENGUBAH POLA PENGELOLAAN TERNAK MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG KONSERVASI HARIMAU SUMATERA DI JANTHO ACEH BESAR CUT MEURAH INTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI

HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan masyarakat Indonesia, 40 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya secara langsung pada keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan atau di air dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan kekayaan alam tropis yang tak ternilai harganya dan dipandang di dunia internasional. Tidak sedikit dari wilayahnya ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati salah satu kekayaan alam Indonesia dapat dilihat dari banyaknya jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Tentang Etnobotani 2.1.1 Pengertian Etnobotani Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa. Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan tradisional yang berbeda-beda. Di Indonesia masih banyak jenis

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan tradisional yang berbeda-beda. Di Indonesia masih banyak jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara pengguna tumbuhan obat terbesar di dunia bersama Negara lain di Asia seperti Cina dan India. Hal ini sangat erat kaitannya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menciptakan kondisi lingkungan yang sehat. Seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dalam menciptakan kondisi lingkungan yang sehat. Seiring dengan perkembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selalu sehat dan panjang umur menjadi dambaan setiap orang, sehingga mereka senantiasa berusaha untuk mendapatkan pengetahuan yang bisa mewujudkan keinginannya

Lebih terperinci

Obat tradisional 11/1/2011

Obat tradisional 11/1/2011 Disampaikan oleh: Nita Pujianti, S.Farm.,Apt.,MPH Obat tradisional Bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik (sarian) atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang mempunyai tipe hutan hujan tropika yang dikenal cukup unik dan merupakan salah satu komunitas yang kaya akan keanekaragaman jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rendah, hutan gambut pada ketinggian mdpl, hutan batu kapur, hutan

TINJAUAN PUSTAKA. rendah, hutan gambut pada ketinggian mdpl, hutan batu kapur, hutan TINJAUAN PUSTAKA 1. Kondisi Umum Hutan Batang Toru Kawasan hutan alam Batang Toru termasuk tipe hutan pegunungan rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan berlumut (seperti

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT. Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A

FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT. Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A FORMULASI STRATEGI PEMASARAN OBAT TRADISIONAL PADA TAMAN SYIFA DI KOTA BOGOR, JAWA BARAT Oleh : FANNY SEFTA ADITYA PUTRI A14104093 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci