HUBUNGAN KEKERABATAN MINYAK BUMI DAERAH WONOSEGORO DAN SEKITARNYA, BOYOLALI, JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA BIOMARKER

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN KEKERABATAN MINYAK BUMI DAERAH WONOSEGORO DAN SEKITARNYA, BOYOLALI, JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA BIOMARKER"

Transkripsi

1 HUBUNGAN KEKERABATAN MINYAK BUMI DAERAH WONOSEGORO DAN SEKITARNYA, BOYOLALI, JAWA TENGAH BERDASARKAN DATA BIOMARKER T.P. Setyowati 1* D.H. Amijaya 1 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada * setyowati.tripeni@gmail.com SARI Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan minyak bumi yang keluar sebagai rembesan di daerah Wonosegoro dan Sekitarnya dengan menggunakan data geokimia biomarker. Daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat, di mana titik-titik rembesan terletak pada Formasi Kerek. Rembesan minyak bumi di daerah ini menunjukan adanya sistem petroleum aktif di bawah permukaan yang mengalami kebocoran, sehingga minyak dapat bermigrasi hingga ke permukaan. Rembesan minyak bumi yang diteliti berjumlah tiga buah yang secara geografis terletak di lokasi yang berbeda. Lokasi 1 berada di Desa Gunungsari, lokasi 2 berada di Desa Repaking yang keduanya berada di Kecamatan Wonosegoro, sedangkan lokasi 3 berada di Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan data geokimia biomarker yang diperoleh dari uji laboratorium GCMS dari masing-masing sampel rembesan minyak bumi, selain itu dilakukan pula uji ASTM D 1298 untuk mengetahui sifat fisik minyak bumi sebagai data pendukung. Hasil uji ASTM D 1298 digunakan untuk perhitungan ºAPI, di mana ketiga sampel minyak bumi memiliki nilai yang berbeda, yaitu 15,8, 29,8, dan 18,8. Dari data geokimia biomarker diketahui bahwa sampel rembesan minyak bumi memiliki hubungan kekerabatan dan diindikasi berasal dari batuan induk yang sama. Pembentukan minyak bumi dipengaruhi kondisi geologi yang sama, sehingga menghasilkan rembesan minyak bumi yang saling berkerabat, akan tetapi terjadi perubahan sifat geokimia karena adanya alterasi akibat biodegradasi. Kata kunci : rembesan minyak bumi, biomarker, GCMS, Jawa Tengah I. PENDAHULUAN Lokasi titik rembesan minyak bumi secara administratif berada di Desa Gunungsari dan Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, serta Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah (Gambar 1). Jarak antara STA 1 Desa Gunungsari dan STA 2 Desa Repaking sajauh ±2km, sedangkan dengan STA 3 Desa Kemusu sejauh ±11km. Secara geologis rembesan minyak bumi berada di Zona Kendeng bagian barat, tepatnya rembesan muncul di Formasi Kerek (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan minyak bumi yang keluar sebagai rembesan di tiga titik lokasi tersebut. 93 II. GEOLOGI REGIONAL Zona Kendeng merupakan deretan pegunungan dengan arah memanjang barattimur yang terletak di sebelah utara Sub- Zona Ngawi. Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut dalam yang telah mengalami deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium (de Genevraye dan Samuel, 1972). Ciri morfologi Zona Kendeng menurut de Genevraye dan Samuel (1972), berupa jajaran perbukitan rendah dengan morfologi bergelombang, ketinggiannya berkisar antara 50 hingga 200 meter. Jajaran yang berarah barat-timur mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barattimur pula. Intensitas perlipatan dan sesar

2 III. sangat besar di bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Zona Kendeng bagian barat, terletak di antara Ungaran dan meridian Purwodadi. Formasi yang terbentuk pada bagian ini berumur Oligosen- Miosen dengan sedimen yang selalu memiliki kandungan material volkanik yang tinggi dan struktur mayor kompleks terjadi disini. Stratigrafi daerah penelitian termasuk dalam Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng (Gambar 2). Formasi Kerek berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. Formasi ini tersusun oleh argillaceous dan calcareous masif dengan kandungan material volkanik klastik yang sangat melimpah (de Genevraye dan Samuel, 1972). Bagian dari formasi ini yang berhubungan langsung dengan Formasi Pelang tidak dapat diobservasi karena adanya gangguan tektonik yang kuat pada area dimana kedua formasi tersingkap. Formasi Kerek berhubungan selaras dengan Formasi Kalibeng yang berada di atasnya (Datun dan Sukandarrumidi, 1992 dalam Harahap, dkk 2003). Seting pengendapannya berada di laut dangkal dengan ketebalan formasi ini bervariasi antara meter. Batupasir Kerek Miosen dianggap sebagai batuan reservoar yang paling mungkin pada stratigrafi Kendeng (Ramadhan, 2015), batupasir ini memiliki porositas antara 2-10% yang berarti memiliki kualitas yang rendah. Formasi Kalibeng terbentuk pada Kala Miosen Akhir sampai Pliosen Tengah. Pada kala itu diendapkan secara monoton seri napal yang kaya dengan foraminifera planktonik. Ketebalan dari napal tersebut sekitar 500 m sampai 700 m. METODOLOGI Metode yang digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan dari ketiga sampel rembesan minyak bumi ialah metode geokimia biomarker yang didukung dengan metode ASTM untuk mengetahui sifat fisik minyak bumi. 94 Uji ASTM D 1298 Uji sampel minyak bumi dengan metode ASTM D 1298 digunakan untuk mengetahui specific gravity dan densitas. Specific gravity merupakan perbandingan antara massa zat pada temperatur tertentu dengan massa air dengan temperatur sama atau berbeda, pada volume sama di kedua zat tersebut. Temperatur yang digunakan pada uji ASTM D 1298 ini menggunakan temperatur standart yaitu 60 F. Hasil dari pengukuran specific gravity digunakan untuk menghitung API gravity. Densitas merupakan perbandingan massa per volume sampel minyak yang dilakukan pada temperatur 15ºC. Pengujian ini menggunakan alat hidrometer. Uji ASTM D 445 Uji sampel dengan metode ASTM D 445 merupakan uji untuk mengetahui viskositas kinetik. Alat yang digunakan untuk pengujian ialah instrumen viskometer. Prinsip kerja viskometer dengan mengukur waktu alir sampel minyak di bawah gaya gravitasi dan temperatur ruang yaitu 29ºC. Uji Kromatografi Kolom Uji kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan komponen-komponen minyak bumi sesuai dengan fraksinya. Komponen tersebut terpisah berdasarkan tingkat kepolaran senyawa. Pelarut yang digunakan untuk fraksinasi ialah n-heksana yang bersifat non-polar. Sampel minyak bumi dipisahkan menggunakan suatu kolom yang diletakkan vertikal yang diisi dengan kapas, pasir kuarsa, dan gel silika sebagai fase diam, sedangkan pelarut dan sampel minyak sebagai fase gerak. Pada hasil kromatografi kolom dilakukan pemisahan senyawa minyak bumi yang terfraksinasi dengan pelarutnya dengan cara dipanaskan. Uji Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GCMS) Analisis GCMS dilakukan menggunakan GCMS Shimadzu 2010S yang dihubungkan dengan spektrometri massa Finnigan MAT

3 IV Film yang digunakan memiliki panjang kolom 30 m, diameter 0.25 mm dengan tebal fase diam 0,25 μm pada Aligent HP-5 MS dengan karakteristik fase 95% Dimetil-5% difenil polisiloksan. Fase gerak yang digunakan adalah Helium. Temperatur pada oven diprogram dari suhu C dengan laju 3 C/menit, dengan 20 menit periode isotermal pada suhu 300 C. Untuk spektrum massa resolusi rendah, spektrometer dioperasikan pada resolusi 1000 dalam mode EI + (70eV), temperatur asal 250 C, dengan scanning dari amu pada laju 1 s/dekade dan waktu interscan 0,1 detik. HASIL DAN PEMBAHASAN Specific gravity Ketiga sampel minyak bumi dari masingmasing titik rembesan memiliki nilai yang berbeda. Pada STA 1, rembesan minyak yang terdapat di Desa Gunungsari, Kecamatan Wonosegoro, memiliki nilai specific gravity 0,9605. Pada STA 2, di Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, rembesan minyak memiliki nilai specific gravity sebesar 0,8768. Sedangkan pada STA 3, di Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, rembesan minyak bumi memiliki nilai specific gravity sebesar 0,9416. Setelah dilakukan perhitungan ºAPI pada masing-masing sampel rembesan minyak bumi, diperoleh hasil bahwa ketiga sampel memiliki nilai yang berbeda. Minyak bumi pada STA 1 memiliki nilai ºAPI sebesar 15,8191, nilai ini menunjukkan minyak termasuk dalam katagori minyak berat. Berbeda dengan nilai ºAPI pada STA 2, yaitu 29,8823 termasuk dalam katagori minyak sedang (medium oil). Sedangkan minyak bumi pada STA 3 memiliki nilai ºAPI sebesar 18,7761 dan termasuk dalam katagori minyak berat. Densitas Hasil pengukuran densitas pada tiga sampel minyak rembesan memiliki nilai yang berbeda. Minyak pada STA 1 memiliki nilai 95 0,9595 gr/cm 3, pada STA 2 sebesar 0,8759 gr/cm 3, dan STA 3 bernilai 0,9406 gr/cm 3. Dari ketiga nilai yang berbeda tersebut menunjukan bahwa berdasarkan sifat fisiknya ketiga sampel minyak tidak memiliki hubungan kekerabatan. Viskositas Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui viskositas kinematik sampel minyak bumi pada temperatur ruang yaitu 29 ºC. Dari pengujian ini diketahui bahwa sampel minyak STA 1 memiliki viskositas yang sangat tinggi yaitu mencapai nilai 243,3 mm 2 /s. Nilai viskositas untuk sampel minyak STA 2 sebesar 8,773 mm 2 /s, dan STA 3 sebesar 18,63 mm 2 /s. Perbedaan yang sangat signifikan pada sampel minyak bumi STA 1 menunjukan minyak tersebut telah mengalami proses lebih lanjut. Rasio Pr/Ph Senyawa isoprena Pristana (Pr) dan Fitana (Ph) tidak dapat terdeteksi pada sampel minyak bumi STA 1. Hal tersebut menunjukan minyak bumi telah mengalami degradasi yang cukup kuat. Pada sampel minyak bumi STA 2, Pristana (Pr) terbaca oleh alat GCMS di mana puncaknya memiliki luas area sebesar 17,83% dari keseluruhan luas. Fitana (Ph) memiliki puncak dengan luas area sebesar 3,77%. Rasio Pristana dengan Fitana (Pr/Ph) memiliki nilai 4,73 (>1). Pristana (Pr) pada STA 3 memiliki luas area puncak sebesar 20,48%, sedangkan Fitana memiliki luas area puncak 2,45% dari keseluruhan luas area puncak kromatogram. Rasio dari Pristana (Pr) dan Fitana (Ph) pada sampel ini memiliki nilai 8,36 (>1). Rasio Pr/Ph >1 menunjukan indikasi material organik terendapkan pada kondisi oksik. Rasio Pr/Ph yang >3 juga mengindikasi material organik berasal dari lingkungan darat. Nilai yang sangat besar untuk kedua nilai rasio menunjukan adanya pengaruh proses oksidasi yang terjadi pada minyak rembesan yang bermigrasi hingga ke permukaan.

4 Rasio Pr/n-C 17 vs Ph/ n-c 18 Sampel minyak bumi pada STA 1 tidak dapat dideteksi keberadaan senyawa normal alkana dengan nomor C 17 maupun C 18 karena yang terdeteksi hanyalah normal alkana bernomor tinggi yaitu C 20. Ketidakhadiran senyawa Pristana, Fitana, C 17, dan C 18 membuat perhitungan rasio Pr/n-C 17 dengan Ph/ n-c 18 tidak dapat dilakukan. Pada minyak bumi STA 2, normal alkana dengan nomor C 17 memiliki luas area puncak sebesar 4,70%. Normal alkana C 18 memiliki luas area puncak sebesar 2,83% dari luas keseluruhan puncak kromatogram. Rasio Pr/n-C 17 memiliki nilai 3,79, sedangkan rasio Ph/ n-c 18 memiliki nilai 1,33. Normal alkana C 17 pada sampel minyak bumi STA 3 memiliki luas area puncak kromatogram sebesar 6,42%, sedangkan normal alkana C 18 memiliki luas area puncak sebesar 3,55%. Rasio Pr/n-C 17 memiliki nilai 3,19, dan rasio Ph/ n-c 18 memiliki nilai 0,69. Nilai rasio diplotkan pada diagram rasio Pr/n-C 17 vs Ph/ n-c 18 kemudian dibandingkan dengan hasil rasio sampel minyak bumi STA 2 (Gambar 3). Dari diagram menunjukan minyak bumi kedua STA berasal dari material organik yang diendapkan pada lingkungan darat. Diindikasi kondisi lingkungan pengendapan tersebut bersifat oksidatif. Minyak bumi pada STA 3 mengalami proses biodegradasi yang memiliki tingkatan yang sedikit lebih rendah apabila dibandingkan dengan proses biodegradasi sampel minyak bumi STA 2. CPI Nilai Carbon Preference Index yang digunakan diperoleh dengan mengikuti metode low CPI oleh Prartono (1995). Perhitungan low CPI ini menggunakan senyawa normal alkana C 15-C 21. Pada sampel minyak bumi STA 1 tidak dapat dilakukan perhitungan CPI karena alat GCMS tidak dapat mendeteksi kehadiran senyawa yang digunakan dalam perhitungan. Minyak bumi STA 2 memiliki nilai CPI 1,88 (>1). Sedikit berbeda dengan minyak bumi 96 STA 3 yang memiliki nilai CPI sebesar 2,19 (>1). Kedua nilai CPI tersebut mendekati nilai 1 yang berarti batuan induk mendekati tingkat kematangan. Nilai CPI kedua STA menunjukan produk hidrokarbon immature heavy oil (Hunt, 1996). Alterasi Sampel minyak bumi pada STA 1 telah mengalami degradasi yang sangat signifikan. Hal tersebut ditunjukan dari kromatogram di mana puncak-puncaknya telah mengalami kegundulan (Gambar 4). Hilangnya senyawa normal alkana bernomor rendah sampai bernomor sedang mencirikan proses biodegradasi oleh mikrobia yang terjadi sangat signifikan, ditambah dengan kontribusi oksigen yang diidentifikasi dari adanya senyawa ester/keton menunjukkan sampel minyak bumi mengalami proses oksidasi selama migrasinya ke permukaan. Senyawa aromatik yang juga berjumlah sangat sedikit memberikan indikasi bahwa perusakan senyawa juga terpengaruh adanya proses pencucian air yang intensif oleh air meteorik. Proses alterasi yang terjadi pada minyak bumi STA 2 dan STA 3 ialah biodegradasi pada tingkat rendah (Peters dan Moldowan, 1993). Hal tersebut diindikasi oleh hilangnya senyawa normal alkana dengan nomor rendah pada kedua sampel minyak bumi. Proses oksidasi pada kedua sampel minyak bumi juga teridentidikasi dari adanya senyawa alkohol dan ester/keton. Korelasi Minyak ke Minyak Korelasi dilakukan dengan pengeplotan pada dua diagram, yaitu diagram segitiga dan diagram bintang. Diagram segitiga yang digunakan untuk mengetahui korelasi minyak bumi ialah diagram antara struktur kimia normal alkana, alkana bercabang, dan sikloalkana. Sampel minyak bumi STA 1 tidak memiliki senyawa yang cukup banyak dan kurang sebanding untuk diplotkan pada diagram segitiga, sehingga sampel minyak STA ini tidak diikutsertakan dalam perbandingan.

5 Pada sampel minyak bumi STA 2 memiliki jumlah total normal alkana, alkana bercabang, dan sikloalkana sebanyak 30 buah (100%). Senyawa dengan struktur normal alkana pada STA ini berjumlah 12 buah (40%). Senyawa dengan struktur alkana bercabang berjumlah 14 buah (46,67%), sedangkan jumlah sikloalkana sebanyak 4 buah (13,33%). Sampel minyak bumi STA 3 memiliki jumlah total normal alkana, alkana bercabang, dan sikloalkana sebanyak 39 buah (100%). Pada STA ini, senyawa dengan struktur normal alkana berjumlah 17 buah (43,59%). Senyawa dengan struktur alkana bercabang memiliki jumlah 16 buah (41,02%), dan struktur sikloalkana berjumlah 6 buah (15,38%). Nilai persentase masing-masing STA diplotkan pada diagram (Gambar 5). Diagram bintang merupakan metode sidik jari minyak bumi yang dikembangkan oleh Kaufman, dkk (1990) dalam Hunt (1996). Diagram bintang diperoleh dengan mengeplotkan setiap rasio puncak kromatogram pada aksis yang berbeda. Setiap data diplotkan dari pusat lingkaran konsentrik. Sampel minyak bumi STA 1 tidak dapat diikutkan dalam pengeplotan pada diagram bintang karena jumlah senyawa yang terbaca alat GCMS sangat sedikit dan sampel tidak mengandung senyawa-senyawa yang akan dibandingkan. Sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 yang akan dibandingkan menggunakan enam titik rasio yaitu A-F. Titik A merupakan perbandingan antara C 12/C 13, titik B rasio C 13/C 14, titik C rasio C 17/C 18, titik D rasio C 18/C 19, titik E rasio C 13/C 14, dan titik F rasio C 24/C 27 (Tabel 1). Berdasarkan hasil pengeplotan pada diagram bintang (Gambar 6), diketahui sidikjari minyak bumi antara sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 memiliki kemiripan. Gugus yang terbentuk hampir sama dan saling berhimpit. Kondsi ini dapat menjadi indikasi kedua sampel minyak berkorelasi positif. Dari hasil pengeplotan pada dua diagram, menunjukan minyak bumi pada STA 2 dan STA 3 berkorelasi, sehingga memiliki hubungan kekerabatan antar keduanya. Hal ini juga didukung oleh hasil perhitungan rasio, di mana kedua sampel minyak bumi memiliki asal yang sama, yaitu dari material organik yang terendapkan pada kondisi oksik, dan berasal dari lingkungan darat. Tingkat kematangan kedua sampel juga hampir sama, yaitu mendekati matang (=1). Hubungan kekerabatan dengan sampel minyak bumi STA 1 tidak dapat diidentifikasi karena hampir seluruh senyawa normal alkana maupun isoprena telah hilang dan tidak terbaca oleh alat GCMS. Proses alterasi berupa biodegradasi dan pencucian oleh air sangat berpengaruh terutama pada minyak bumi STA 1. Keadaan terdegradasinya minyak bumi STA 1 juga tercermin pada kondisi fisiknya yang memiliki nilai API rendah dan dan viskositas sangat besar Data karakteristik fisik minyak bumi tidak dapat dijadikan penentu untuk menentukan hubungan kekerabatan, namun data tersebut saling mendukung dengan karateristik geokimia minyak bumi masing-masing sampel. Bila hubungan kekerabatan minyak bumi STA 2 dan STA 3 dikaitkan dengan batuan induknya, Formasi Ngimbang dari Cekungan Jawa Timur merupakan batuan induk yang paling mungkin. Formasi Ngimbang pada umur Eosen-Oligosen, dengan lingkungan pengendapan non-marine dan kematangan beragam dari matang hingga belum matang sesuai dengan kondisi rembesan minyak bumi yang diteliti. Tepatnya minyak bumi kedua titik rembesan berkorelasi dengan batuan induk Rembang-1 SWC 4901ft yang merupakan batuan pada Formasi Ngimbang, dengan kematangan immature, dan lingkungan pengendapan darat sesuai dengan penelitian Wiloso, dkk (2009). 97

6 V. KESIMPULAN Rembesan minyak bumi di daerah penelitian, yaitu Desa Repaking dan Desa Kemusu memiliki hubungan kekerabatan. Kekerabatan ini yang disebabkan oleh asal minyak dari batuan induk yang sama selain juga kemungkinan tingkat pematangan yang sama. Hal tersebut dibuktikan dengan sidikjari minyak bumi dan nilai perhitungan rasio. Minyak bumi memiliki tingkat kematangan mendekati matang dan terendapkan pada kondisi oksidatif pada lingkungan darat. Diindikasi batuan induk dari kedua sampel ialah Formasi Ngimbang. Terjadi perubahan sifat geokimia pada minyak bumi Desa Gunungsari karena mengalami degradasi yang cukup kuat, sehingga hubungan minyak bumi ini dengan kedua sampel rembesan yang lain tidak dapat ditentukan. DAFTAR PUSTAKA De Genevraye, P. dan Samuel, L., Geology of The Kendeng Zone (Central & East Java). Proceedings Indonesian Petroleum Association First Annual Convention, hal Harahap, B.H., Bachri, S., Baharuddin., Suwarna, N., Panggabean, H., dan Simanjuntak, T.O., Stratigraphic Lexicon of Indonesia. Geological Research and Development Centre, 729hal. Hidayat, R. dan Fatimah., Inventerisasi Kandungan Minyak dalam Batuan Daerah Kedungjati, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan dan Non-lapangan Tahun 2007, Pusat Sumber Daya Geologi, 13hal. Hunt, J., Petroleum Geochemistry and Geology, 2nd Edition. New York: W.H. Freeman and Company, 617hal. Killops, S. dan Killops, V., Introduction to Organic Geochemistry, 2nd Edition. USA: Blackwell Publishing, 393hal. Postuma, J,A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera. Elsevier Publishing Company: Amsterdam, 410p. Peters, K.E. dan Moldowan, J.M., The Biomarker Guide; Interpretating Molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey Oklahoma, hal Prartono, T., Organic Geochemistry of Lacustrine Sediment: A Case Study of The Eutrophic Rostherne Mere, Chesire. UK, Disertasi, Departement of Earth Sciences University of Liverpool: Liverpool. Ramadhan, B., Maha, M., Hapsoro, S.E., Budiman, A., dan Fardiansyah, I., Unravel Kendeng Petroleum System Enigma: Recent Update From Transect Surface Observation of Kedungjati- Djuwangi-Ngawi Area, East Java. Proceedings Indonesian Petroleum Association, Thirty- Ninth Annual Convention and Exhibition, 9hal. Van Bemmelen, R.W., The Geology of Indonesia, vol.i A, General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Special Edition of The Bureau of Mines In Indonesia. Departement of Transport, Energy, and Mining, Batavia, 732hal. Wiloso, D.A., Subroto, E.A., dan Hermanto, E., Confirmation of The Paleogene Source Rock in The Northeast Java Basin, Indonesia, Based from Petroleum Geochemistry. AAPG International Conference and Exhibition Cape Town, South Africa, Search and Discovery Article 10195, 33hal. 98

7 TABEL Tabel 1. Rasio normal alkana sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 Titik STA 2 STA 3 A 0,40 0,30 B 0,54 0,45 C 1,66 1,81 D 1,49 1,52 E 1,66 1,66 F 0,98 0,84 GAMBAR Gambar 1. Peta Indeks lokasi penelitian yang berada di Desa Gunungsari, Desa Repaking, Kecamatan Wonosegoro, dan Desa Kemusu, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. 99

8 Gambar 2. Peta Geologi daerah penelitian (kotak berwarna merah pada Peta Geologi Regional Lembar Salatiga) daerah penelitian termasuk dalam Zona Kendeng bagian barat yang tersusun oleh Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng. Gambar 3. Rasio Pristana/n-C 17 vs Fitana/n-C 18 menunjukan kedua sampel minyak bumi dari STA 2 dan STA 3 berasal dari material organik darat dan mengalami kondisi oksidasi berdasarkan diagram Rasio Pr/n-C 17 vs Ph/n-C 18 Lijmbach (1975). 100

9 Gambar 4. Hasil kromatogram sampel minyak bumi STA 1 yang menunjukan adanya proses degradasi yang kuat sehingga kromatogram hampir tidak memiliki puncak untuk dibaca oleh alat GCMS. Nomor pada puncak yang terbaca adalah nomor urutan puncak. Gambar 5. Hasil pengeplotan persebaran struktur kimia senyawa penyusun minyak bumi STA 2 dan STA 3 pada diagram segitiga menunjukan kedua sampel memiliki struktur kimia senyawa yang hampir sama, yang dapat dikatagorikan keduanya berkorelasi positif. 101

10 Gambar 6. Hasil pengeplotan rasio normal alkana sampel minyak bumi STA 2 dan STA 3 pada diagram bintang yang dikembangkan oleh Kaufman, dkk (1990) dalam Hunt (1996) untuk mengetahui sidikjari minyak bumi. 102

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus

BAB I PENDAHULUAN. Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Zona Kendeng memiliki sistem minyak dan gas bumi yang masih terus didiskusikan para ahli. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan pada zona ini diawali dengan

Lebih terperinci

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH

PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH PENGARUH STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP MUNCULNYA REMBESAN MINYAK DAN GAS DI DAERAH BOTO, KECAMATAN BANCAK, KABUPATEN SEMARANG, PROVINSI JAWA TENGAH P.A. Pameco *, D.H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-9 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 6-7 OKTOBER 2016; GRHA SABHA PRAMANA HUBUNGAN KEKERABATAN MINYAK BUMI PADA ANTIKLIN GABUS DI DAERAH GROBOGAN DAN ANTIKLIN KAWENGAN DI DAERAH BOJONEGORO CEKUNGAN JAWA TIMUR UTARA BERDASARKAN DATA BIOMARKER Arif Zainudin 1* Donatus Hendra Amijaya

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM 4.1 Analisis Sampel Sampel yang dianalisis dalam studi ini berupa sampel ekstrak dari batuan sedimen dan sampel minyak (Tabel 4.1). Sampel-sampel ini diambil dari beberapa sumur

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi merupakan penggerak di seluruh aspek kehidupan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Energi diartikan sebagai daya (kekuatan) yang dapat digunakan untuk melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Cekungan Jawa Timur merupakan salah satu cekungan minyak yang produktif di Indonesia. Dari berbagai penelitian sebelumnya, diketahui melalui studi geokimia minyak

Lebih terperinci

KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU

KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU ISSN 2085-0050 KAJIAN KORELASI GENETIKA GEOKIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI CEKUNGAN SUMATRA TENGAH, RIAU Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi

Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi Bab IV Hasil Analisis dan Diskusi IV.1 Kekayaan dan Kematangan Batuan Induk IV.1.1 Kekayaan Kekayaan batuan induk pada daerah penelitian dinilai berdasarkan kandungan material organik yang ada pada batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa terbagi menjadi beberapa fisiografi, dan Jawa Bagian Tengah memiliki 2 fisiografi yaitu lajur Pegunungan Serayu, dan Pegunungan Kendeng (van Bemmelen, 1948).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Deep water channel merupakan salah satu fasies di lingkungan laut dalam dengan karakteristik dari endapannya yang cenderung didominasi oleh sedimen berukuran kasar

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi 4 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Penelitian Menurut Van Bemmelen (1949), lokasi penelitian masuk dalam fisiografi Rembang yang ditunjukan oleh Gambar 2. Gambar 2. Lokasi penelitian masuk dalam Fisiografi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Korelasi geokimia petroleum merupakan salah satu pendekatan untuk pemodelan geologi, khususnya dalam memodelkan sistem petroleum. Oleh karena itu, studi ini selalu dilakukan dalam

Lebih terperinci

Amijaya, D. H. dan Winardi, S., Geokimia Rembesan Air Formasi dan Gas. Alam Di Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang.

Amijaya, D. H. dan Winardi, S., Geokimia Rembesan Air Formasi dan Gas. Alam Di Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang. Geokimia Rembesan Gas Alam di Daerah Boto dan Sekitarnya, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA Amijaya, D. H. dan Winardi, S., 2006. Geokimia Rembesan

Lebih terperinci

II. GEOLOGI REGIONAL

II. GEOLOGI REGIONAL 5 II. GEOLOGI REGIONAL A. Struktur Regional dan Tektonik Cekungan Jawa Timur Lapangan KHARIZMA berada di lepas pantai bagian selatan pulau Madura. Lapangan ini termasuk ke dalam Cekungan Jawa Timur. Gambar

Lebih terperinci

KORELASI KARAKTER BIOMARKA BATUBARA MEDIUM RANK KALIMANTAN TIMUR DENGAN PRODUK PENCAIRANNYA

KORELASI KARAKTER BIOMARKA BATUBARA MEDIUM RANK KALIMANTAN TIMUR DENGAN PRODUK PENCAIRANNYA KORELASI KARAKTER BIOMARKA BATUBARA MEDIUM RANK KALIMANTAN TIMUR DENGAN PRODUK PENCAIRANNYA Latar Belakang SUMBER ENERGI 1. Pendahuluan Kompatibel Kurang Kompatibel Minyak Bumi Gas Alam Batubara Bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi

BAB I PENDAHULUAN. seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dewasa ini kebutuhan akan minyak dan gas bumi adalah vital bagi hampir seluruh negara di dunia. Ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka konsumsi komoditas

Lebih terperinci

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG

ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG ANALISIS KONDISI ZONA CAVITY LAYER TERHADAP KEKUATAN BATUAN PADA TAMBANG KUARI BATUGAMPING DI DAERAH SALE KABUPATEN REMBANG R. Andy Erwin Wijaya. 1,2, Dwikorita Karnawati 1, Srijono 1, Wahyu Wilopo 1 1)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH Rikzan Norma Saputra *, Moch. Indra Novian, Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi di dunia, dibutuhkan pengembangan dalam mengeksplorasi dan memproduksi minyak dan gas bumi tersebut. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. Anomali Bouguer U 4 3 mgal 4 3 Gambar 5.1 Peta anomali bouguer. Beberapa hal yang dapat kita tarik dari peta anomali Bouguer pada gambar 5.1 adalah : Harga anomalinya

Lebih terperinci

TINJAUAN ULANG TERHADAP POSISI STRATIGRAFI FORMASI PELANG

TINJAUAN ULANG TERHADAP POSISI STRATIGRAFI FORMASI PELANG TINJAUAN ULANG TERHADAP POSISI STRATIGRAFI FORMASI PELANG Hari Irwanto 1*, Satrio Esti Hapsoro 1,2, Gneiss Desika Zoenir 1, Mahap Maha 1, Jatmika Setiawan 1 1 Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona fisiografi yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949) (Gambar 2.1). Zona-zona tersebut dari utara ke selatan yaitu:

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST)

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) KONDISI GEOLOGI DAN ANALISIS TINGKAT POROSITAS DAN PERMEABILITAS BATUPASIR PADA REMBESAN MINYAKBUMI DI FORMASI KEREK SEBAGAI RESERVOIR MINYAKBUMI DAERAH REPAKING DAN SEKITARNYA, KECAMATAN WONOSEGORO, KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat

BAB I PENDAHULUAN. adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu cekungan Tersier yang mempunyai prospek hidrokarbon yang baik adalah Cekungan Kutai. Cekungan Kutai dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian barat atau sering

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER

BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER BAB IV PENGOLAHAN DAN ANALISA ANOMALI BOUGUER Tahapan pengolahan data gaya berat pada daerah Luwuk, Sulawesi Tengah dapat ditunjukkan dalam diagram alir (Gambar 4.1). Tahapan pertama yang dilakukan adalah

Lebih terperinci

Kompleks Lipatan Alaskobong: laboratorium alam geologi struktur

Kompleks Lipatan Alaskobong: laboratorium alam geologi struktur Kompleks Lipatan Alaskobong: laboratorium alam geologi struktur Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM, Jl. Grafika 02 Yogyakarta 55281 email: shddin@gmail.com Aswin Mustofa Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Batuan Induk Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu menghasilkan hidrokarbon. Batuan induk dapat dibagi menjadi tiga kategori (Waples, 1985), di antaranya

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID

PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID PENENTUAN KEMATANGAN MINYAK BUMI (CEUDE OIL) SUMUR MINYAK PETAPAHAN-KAMPAR, RIAU DENGAN MENGGUNAKAN PARAMETER ISOPRENOID Fazlin 1, Emrizal M. Tamboesai 2, Halida Sophia 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Kimia

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Jajaran Barisan 2. Zona Semangko 3. Pegunugan Tigapuluh 4. Kepulauan

Lebih terperinci

BAB 2 Tatanan Geologi Regional

BAB 2 Tatanan Geologi Regional BAB 2 Tatanan Geologi Regional 2.1 Geologi Umum Jawa Barat 2.1.1 Fisiografi ZONA PUNGGUNGAN DEPRESI TENGAH Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949). Daerah Jawa Barat secara fisiografis

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hidrokarbon Alifatik (n-alkana) 4.1.1. Identifikasi hidrokarbon alifatik Identifikasi hidrokarbon alifatik (n-alkana) dilakukan dengan melihat kromatogram senyawa alifatik

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Blok Mambruk merupakan salah satu blok eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang terdapat pada Cekungan Salawati yang pada saat ini dikelola oleh PT. PetroChina

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian

Bab I Pendahuluan. Peta lokasi daerah penelitian yang berada di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Satyana, 2005). Lokasi daerah penelitian Bab I Pendahuluan I.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian adalah studi batuan induk hidrokarbon di Cekungan Jawa Timur bagian barat (Gambar I.1), sedangkan objek penelitian meliputi data geokimia

Lebih terperinci

Qi Adlan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

Qi Adlan Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran GENESIS DAN KORELASI HIDROKARBON MENGGUNAKAN ANALISIS GEOKIMIA BATUAN INDUK DAN MINYAK BUMI, DI LAPANGAN LEPAS PANTAI BARAT MADURA, CEKUNGAN LAUT JAWA TIMUR UTARA NORTHEAST JAVA SEA BASIN SOURCEROCK AND

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses

BAB I PENDAHULUAN. tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksplorasi hidrokarbon memerlukan pemahaman mengenai cekungan tempat terbentuk dan terakumulasinya hidrokarbon, dimulai dari proses terbentuknya cekungan, konfigurasi

Lebih terperinci

Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik

Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik Analisis Persebaran Total Organic Carbon (TOC) pada Lapangan X Formasi Talang Akar Cekungan Sumatera Selatan menggunakan Atribut Impedansi Akustik PRIMA ERFIDO MANAF1), SUPRIYANTO2,*), ALFIAN USMAN2) Fisika

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Menurut van Bemmelen (1949), fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi enam zona, yaitu Zona Dataran Aluvial Utara Jawa Barat, Zona Antiklinorium Bogor, Zona Gunungapi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOGRAFIS Jawa bagian barat secara geografis terletak diantara 105 0 00-108 0 65 BT dan 5 0 50 8 0 00 LS dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Lebih terperinci

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT

PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT PENELITIAN BATUAN INDUK (SOURCE ROCK) HIDROKARBON DI DAERAH BOGOR, JAWA BARAT Praptisih 1, Kamtono 1, dan M. Hendrizan 1 1 Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Jl. Sangkuriang Bandung 40135 E-mail: praptisih@geotek.lipi.go.id

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

Geokimia Minyak & Gas Bumi

Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi Geokimia Minyak & Gas Bumi merupakan aplikasi dari ilmu kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi, akumulasi serta alterasi minyak bumi (John M. Hunt, 1979). Petroleum biasanya

Lebih terperinci

KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon

KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon KANDUNGAN MATERIAL ORGANIK DAN SIFAT GEOKIMIA BATULEMPUNG PALEOGEN DAN NEOGEN DI CEKUNGAN SERAYU: Suatu Analisis Potensi Batuan Induk Hidrokarbon E. Slameto, H. Panggabean dan S. Bachri Pusat Survei Geologi

Lebih terperinci

LABORATORIUM ALAM DAN WISATA GEOLOGI (GEOLOGY LABORATORY AND TOURISM) OLEH 1. EDIYANTO 2. RULY ARIE KRISTIANTO

LABORATORIUM ALAM DAN WISATA GEOLOGI (GEOLOGY LABORATORY AND TOURISM) OLEH 1. EDIYANTO 2. RULY ARIE KRISTIANTO LABORATORIUM ALAM DAN WISATA GEOLOGI (GEOLOGY LABORATORY AND TOURISM) OLEH 1. EDIYANTO 2. RULY ARIE KRISTIANTO PRODI TENKIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya memiliki status plug and abandon, satu sumur menunggu BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar, baik dari jumlah minyak dan gas yang telah diproduksi maupun dari perkiraan perhitungan

Lebih terperinci

Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau

Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau Penggunaan Parameter Geokimia Isoprenoid untuk Menentukan Tingkat Kematangan Minyak Bumi (Crude Oil) Sumur Minyak Langgak Riau Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Kimia FMIPA,Universitas Riau, Pekanbaru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Daerah penelitian ini terletak di Kecamatan Mondokan, Sragen tepatnya pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi pada lokasi

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam melakukan eksplorasi hingga pengembangan lanjut di daerah suatu lapangan, diperlukan pemahaman akan sistem petroleum yang ada. Sistem petroleum mencakup batuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Berdasarkan kesamaan morfologi dan tektonik, Van Bemmelen (1949) membagi daerah Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona, antara lain: 1. Gunungapi Kuarter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Suardy dan Taruno (1985), Indonesia memiliki kurang lebih 60 cekungan sedimen yang tersebar di seluruh wilayahnya. Dari seluruh cekungan sedimen tersebut, penelitian

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Daerah penelitian ini telah banyak dikaji oleh peneliti-peneliti pendahulu, baik meneliti secara regional maupun skala lokal. Berikut ini adalah adalah ringkasan tinjauan literatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak pada bagian utara-tengah dari Sulawesi Selatan merupakan salah satu subcekungan yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Fisiografi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: 1. Zona Paparan Sunda 2. Zona Dataran Rendah dan Berbukit 3. Zona Pegunungan

Lebih terperinci

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN MAKSUD BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Hidrokarbon masih menjadi sumber energi utama di dunia yang digunakan baik di industri maupun di masyarakat. Bertolak belakang dengan meningkatnya permintaan, hidrokarbon

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN

MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN Ev. Budiadi 1 & T. Listyani R.A 1* Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari, Caturtunggal,

Lebih terperinci

KAJIAN BIOMARKER STEARANA UNTUK MENUNJUKKAN HUBUNGAN GENETIK MINYAK BUMI DURI RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

KAJIAN BIOMARKER STEARANA UNTUK MENUNJUKKAN HUBUNGAN GENETIK MINYAK BUMI DURI RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH SNHKI 2011 KAJIAN BIOMARKER STEARANA UNTUK MENUNJUKKAN HUBUNGAN GENETIK MINYAK BUMI DURI RIAU, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Sain Kimia Universitas Riau Kampus Bina Widya Km

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB IV SEJARAH GEOLOGI

BAB IV SEJARAH GEOLOGI BAB IV SEJARAH GEOLOGI Sejarah geologi daerah penelitian dapat disintesakan berdasarkan ciri litologi, umur, lingkungan pengendapan, hubungan stratigrafi, mekanisme pembentukan batuan dan pola strukturnya.

Lebih terperinci

STRATIGRAFI KARBONAT FORMASI SELOREDJO ANGGOTA DANDER DI SUNGAI BANYUREJO KECAMATAN BUBULAN KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR, INDONESIA

STRATIGRAFI KARBONAT FORMASI SELOREDJO ANGGOTA DANDER DI SUNGAI BANYUREJO KECAMATAN BUBULAN KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR, INDONESIA STRATIGRAFI KARBONAT FORMASI SELOREDJO ANGGOTA DANDER DI SUNGAI BANYUREJO KECAMATAN BUBULAN KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR, INDONESIA Didit Hadi Barianto *, Aldrin Fauzan Faza, Moch Indra Novian, Salahuddin

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Kabupaten Brebes terletak di Jawa Tengah bagian barat. Fisiografi Jawa Tengah berdasarkan Van Bemmelen (1949) terbagi atas 6 zona (Gambar 2.1), yaitu: 1.

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi 4 bagian yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada aspek geologi serta proses sedimentasi yang terjadi pada daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir mahasiswa merupakan suatu tahap akhir yang wajib ditempuh untuk mendapatkan gelar kesarjanaan strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian Evolusi Struktur Geologi Daerah Sentolo dan Sekitarnya, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. I.2. Latar Belakang Proses geologi yang berupa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Menurut Van Bemmelen (1949), secara fisiografis dan struktural daerah Jawa Barat dapat di bagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

SKRIPSI FRANS HIDAYAT

SKRIPSI FRANS HIDAYAT GEOLOGI DAN ANALISIS STRUKTUR GEOLOGI DAERAH TOBO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN JATI, KABUPATEN BLORA, PROVINSI JAWA TENGAH SKRIPSI Oleh : FRANS HIDAYAT 111.080.140 PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 GEOLOGI REGIONAL Cekungan Jawa Barat Utara yang terletak di sebelah baratlaut Pulau Jawa secara geografis merupakan salah satu Cekungan Busur Belakang (Back-Arc Basin) yang

Lebih terperinci

KARAKTERISASI BIOMARKER DAN PENENTUAN KEMATANGAN TERMAL MINYAK MENTAH (CRUDE OIL) DARI SUMUR MINYAK MINAS (OSM-1)

KARAKTERISASI BIOMARKER DAN PENENTUAN KEMATANGAN TERMAL MINYAK MENTAH (CRUDE OIL) DARI SUMUR MINYAK MINAS (OSM-1) KARAKTERISASI BIOMARKER DAN PENENTUAN KEMATANGAN TERMAL MINYAK MENTAH (CRUDE OIL) DARI SUMUR MINYAK MINAS (OSM-1) R. Oktaviani 1, E. M. Tamboesai 2, A. Awaluddin 2 1 Mahasiswa Program Studi S1 Kimia 2

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen, (1949) dibagi menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,

Lebih terperinci

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL

BAB II STRATIGRAFI REGIONAL BAB II STRATIGRAFI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA TIMUR BAGIAN UTARA Cekungan Jawa Timur bagian utara secara fisiografi terletak di antara pantai Laut Jawa dan sederetan gunung api yang berarah barat-timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN GEOLOGI REGIONAL 2.1. TINJAUAN UMUM Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya dibagi menjadi tiga mendala (propinsi) geologi, yang secara orogen bagian timur berumur lebih tua sedangkan bagian

Lebih terperinci

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949)

GEOLOGI REGIONAL. Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat (van Bemmelen, 1949) BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949) terbagi menjadi enam zona (Gambar 2.1), yaitu : 1. Zona Gunungapi Kuarter 2. Zona Dataran Aluvial Jawa Barat Utara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Stuktur DNF terletak kurang lebih 160 kilometer di sebelah barat kota Palembang. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timurbarat (Van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan meliputi: 1. Zona

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi dan Geomorfologi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 6 zona yang berarah timur-barat ( van Bemmelen, 1949 ). Zona tersebut dari arah utara

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6 Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Desember 2013 PENGARUH KOMPETENSI BATUAN TERHADAP KERAPATAN KEKAR TEKTONIK YANG TERBENTUK PADA FORMASI SEMILIR DI DAERAH PIYUNGAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Abstrak Budi SANTOSO 1*, Yan Restu FRESKI 1 dan Salahuddin

Lebih terperinci

PERBANDINGAN GEOICIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI SUMUR PRODUICSI DURI, LANGGAK DAN MINAS, RIAU

PERBANDINGAN GEOICIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI SUMUR PRODUICSI DURI, LANGGAK DAN MINAS, RIAU PERBANDINGAN GEOICIMIA MOLEKULAR MINYAK BUMI SUMUR PRODUICSI DURI, LANGGAK DAN MINAS, RIAU Emrizal Mahidin Tamboesai Jurusan Sain Kimia Universitas Riau Kampus Bina Widya Km 12,5 Simpang Panam, Pekanbaru-28293

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Gambaran Umum Daerah penelitian secara regional terletak di Cekungan Sumatra Selatan. Cekungan ini dibatasi Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI JAWA BARAT Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan.

Lebih terperinci

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ir. Mulyana Subdit Batubara, DIM SARI Daerah penyelidikan Loa

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Indonesia merupakan tempat pertemuan antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik Barat yang relatif bergerak ke arah baratlaut, dan Lempeng Hindia

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KALIKANGKUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH

GEOLOGI DAERAH KALIKANGKUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH GEOLOGI DAERAH KALIKANGKUNG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN BLORA, JAWA TENGAH Tugas Akhir A disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS SKEMA PENGENDAPAN FORMASI PEMATANG DI SUB-CEKUNGAN AMAN UTARA, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH SEBAGAI BATUAN INDUK

ANALISIS SKEMA PENGENDAPAN FORMASI PEMATANG DI SUB-CEKUNGAN AMAN UTARA, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH SEBAGAI BATUAN INDUK ANALISIS SKEMA PENGENDAPAN FORMASI PEMATANG DI SUB-CEKUNGAN AMAN UTARA, CEKUNGAN SUMATERA TENGAH SEBAGAI BATUAN INDUK Reza Mohammad Ganjar Gani 1, Yusi Firmansyah 1 Universitas Padjadjaran 1 ABSTRAK Analisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL BAB II TINJAUAN PUSTAKA : GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Cekungan Kutai pada bagian utara dibatasi oleh tinggian Mangkalihat dengan arah barat laut tenggara, di bagian barat dibatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium

BAB I PENDAHULUAN. Zona Bogor (Van Bemmelen, 1949). Zona Bogor sendiri merupakan antiklinorium BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Bantarkawung merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes bagian selatan. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap di sebelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Sejarah eksplorasi menunjukan bahwa area North Bali III merupakan bagian selatan dari Blok Kangean yang dioperasikan oleh Atlantic Richfield Bali North Inc (ARCO),

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Pulau ini terdiri dari daerah dataran dan daerah pegunungan. Sebagian besar daerah pegunungan berada

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... DAFTAR ISI Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract...... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i iii iv v viii xi xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Letak Geografis Daerah Penelitian Daerah penelitian, yaitu daerah Cekungan Sunda, secara umum terletak di Laut Jawa dan berada di sebelah Timur Pulau Sumatera bagian Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Maksud dan Tujuan Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian geologi dilakukan untuk mengenal dan memahami kondisi geologi suatu daerah. Penelitian tersebut dapat meliputi penelitian pada permukaan dan bawah permukaan.

Lebih terperinci