BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kegemukan a. Pengertian Kegemukan Kegemukan diartikan sebagai keadaan abnormal dan kondisi berat badan yang berlebih yang akan menggangu kesehatan. Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan ukuran sederhana dari berat badan menurut umur yang digunakan untuk menggolongkan keadaan kegemukan. Menggambarkan berat seseorang dalam kilogram (Kg) per tinggi badan dalam meter di kuadratkan (kg/m 2 ). Klasifikasi menurut WHO (2014) adalah IMT = gemuk, dan IMT > 30 = obesitas. Obesitas merupakan keadaan akumulasi lemak didalam tubuh yang abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan (Kartika dan Rahayu, 2012). Kegemukan biasanya juga didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh. Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat tubuh menjadi gemuk (obese) yang disebabkan karena adanya penumpukan adipose (jaringan lemak khusus yang disimpan tubuh) secara berlebihan. Obesitas adalah keadaan dimana seseorang memiliki berat badan yang lebih berat dibandingkan berat idealnya yang disebabkan terjadinya penumpukan lemak dalam tubuhnya. Oleh karenanya obesitas sering didefinisikan sebagai berat dan bukan sebagai kelebihan lemak (Cynthia et al. 2009). b. Pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT) Obesitas merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebih. Indeks Massa Tubuh (IMT) telah direkomendasikan sebagai baku pengukuran obesitas pada anak dan remaja. IMT merupakan petunjuk untuk menentukan kelebihan berat badan berdasarkan Quetelet yaitu berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Obesitas dapat diukur dengan menggunakan Indeks Quetelet yang dibuat oleh seorang astronomer dari Belgia pada 6

2 7 tahun1870 (Indriati, 2010). Indeks Quetelet ini sekarang dikenal dengan sebutan Body Mass Indeks (BMI) atau disebut juga dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang banyak digunakan untuk mengetahui derajat obesitas dan derajat ketahanan hidup seseorang. Henry (1994) dalam Indriati (2010) menyatakan bahwa tingkat derajat 0 berkorelasi dengan mortalitas yang minimal, dan tingkat mortalitas akan meningkat tajam pada tingkat derajat II. Dua ukuran terpenting dalam antropometri, yaitu pengukuran berat badan dan tinggi badan. Indeks massa tubuh biasanya selalu dikaitkan dengan kadar lemak tubuh yang tinggi bila IMT >30 (Indriati, 2010). Tinggi badan berfluktuasi 1% dalam 1 hari, ketika manusia paling tinggi pada pagi hari dan menyusut pada malam hari. Oleh karena itu perlu untuk menentukan waktu pengukuran yang sama setiap hari pada penelitian antropometri dalam jumlah subjek yang banyak (Indriati, 2010). Untuk menentukan seseorang menderita obesitas atau tidak, cara yang paling banyak digunakan adalah dengan pengukuran IMT yang ditunjukkan dengan perhitungan berat badan dalam kilogram per tinggi badan dalam meter kuadrat (kg/m²), berkorelasi dengan lemak yang terdapat dalam tubuh. Rumus untuk menetukan IMT adalah : IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan (m)² Indriati (2010) menyebutkan bahwa Indeks Quetelet yaitu BB (kg) / TB (cm) merupakan kriteria obesitas yang dibuat oleh Garrow 1981 dengan grade (derajat) kriteria indeks masa tubuh yaitu : a. Derajat 0 = 20 24,9 b. Derajat 1 = 25 29,9 c. Derajat 2 = d. Derajat 3 > 40 IMT/U adalah indikator utama yang bermanfaat untuk penapisan gemuk dan sangat gemuk. Untuk anak-anak pada masa tumbuh kembang, penentuan obesitas ditentukan dengan menggunakan kategori dan ambang batas status gizi anak melalui tahapan : a. Penimbangan berat badan. b. Pengukuran tinggi badan.

3 8 c. Penentuan status gizi dengan Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U). Penentuan status gizi dengan indeks dan IMT/U adalah : Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 (Kemenkes RI, 2011) nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi dan mengacu pada standar WHO 2007 yaitu dengan menghitung IMT menurut umur (IMT/U) berdasarkan jenis kelamin pada anak umur 5-18 tahun. Tabel 2.1 Klasifikasi Gizi Anak Menurut IMT/U Klasifikasi Gizi Anak Menurut IMT/U Kurus <-2 SD Normal -2 SD s/d 1 SD Gemuk > 1 SD s/d 2 SD Obesitas > 2 SD (Kemenkes RI, 2011; Kemenkes RI, 2014). c. Klasifikasi kegemukan Menurut Misnadiarly (2009), jika berdasarkan kondisi selnya, maka kegemukan dapat digolongkan menjadi beberapa tipe, yaitu : 1) Tipe Hiperplastik Adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran selnya sama dengan ukuran sel normal. Biasanya sering terjadi pada masa anak-anak. 2) Tipe Hipertropik Kegemukan pada tipe ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran sel normal. sering terjadi pada usia dewasa, dan upaya untuk menurunkan berat badannya lebih mudah dibandingkan dengan tipe hiperplastik. 3) Tipe Hipertopik dan Hiperplastik Kegemukan pada tipe ini terjadi karena jumlah dan ukuran sel melebihi normal. Biasanya kegemukan pada tipe ini dimulai pada masa anak-anak dan terus berlangsung hingga dewasa. Sedangkan upaya untuk menurunkan berat badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko terjadinya komplikasi penyakit degeneratif.

4 9 d. Etiologi Kegemukan Penyebab mendasar dari kegemukan dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dan kalori yang dikeluarkan. Secara umum, penyebab terjadinya kegemukan adalah: asupan makanan padat energi yang tinggi lemak dan kurangnya aktivitas fisik karena dari berbagai bentuk pekerjaan, transportasi, dan meningkatnya urbanisasi. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik merupakan dampak dari perubahan lingkungan dan sosial yang terkait dengan pembangunan dan kurangnya kebijakan yang mendukung seperti sektor kesehatan, pertanian, transportasi, perencanaan kota, lingkungan, pengolahan makanan, distribusi, pemasaran dan pendidikan (WHO, 2014). Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi yang lebih tinggi dari pada energi yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style (Kemenkes RI, 2014). Kegemukan didefinisikan sebagai peningkatan jumlah energi yang ditimbun sebagai lemak akibat adanya adaptasi yang salah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas diantaranya adalah interaksi antara genetik dan lingkungan yaitu aktivitas fisik, sosioekonomi, gaya hidup, dan asupan zat gizi. Secara umum obesitas terjadi karena keseimbangan energi dalam tubuh. Keseimbangan energi ditentukan oleh asupan energi yang berasal dari zat gizi penghasil energi yang meliputi karbohidrat, lemak, protein serta kebutuhan energi basal, aktivitas fisik dan suatu energi yang diperlukan tubuh untuk mengolah zat gizi menjadi energi (Rosita et al, 2013). Secara umum ada dua penyebab kegemukan, yaitu : 1. Faktor Genetik Dari segi genetik, meskipun berperan namun tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan prevalensi kegemukan (Kemenkes RI, 2014). 2. Faktor Lingkungan Adapun faktor lingkungan penyebab kegemukan sebagai berikut :

5 10 a) Aktifitas fisik Kurangnya aktivitas fisik menjadi penyebab utama meningkatnya kegemukan. Penelitian yang dilakukan oleh Mushtaq et al. (2011) di Pakistan, bahwa aktivitas fisik dan gaya hidup anak sekolah adalah prediktor independen dari kegemukan. Gaya hidup yang termasuk menonton televisi, aktivitas pada komputer dan bermain video game menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kegemukan. b) Faktor nutrisional. Peranan nutrisional sangatlah besar terhadap penentuan status berat badan. Mushtaq et al. (2011) menyatakan bahwa melewatkan sarapan, makan makanan cepat saji dan makanan ringan satu kali atau lebih dalam seminggu, berpengaruh terhadap kejadian kegemukan. c) Faktor sosial ekonomi. Ada korelasi antara sosio-demografis, perilaku diet, aktivitas fisik dan gaya hidup dengan kejadian kegemukan (Mushtaq et al. 2011). e. Dampak Kegemukan Resiko morbidity akan meningkat jika IMT berada pada rentang kg/m 2 dan akan lebih meningkat lagi jika IMT 30 kg/m 2. Kegemukan akan meningkatkan berbagai resiko penyakit diantaranya adalah diabetes, hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, obstructive sleep apnoea dan osteoarthritis (WHO, 2014). Dengan meningkatnya IMT maka akan meningkat pula resiko kejadian penyakit Non-Communicable disease / penyakit tidak menular yang umumnya akan menyebabkan beberapa penyakit, diantaranya jantung dan stroke (penyebab utama kematian pada tahun 2012), diabetes dan beberapa penyakit kanker. Sementara resiko tinggi yang akan terjadi dari penyakit tidak menular ini pada anak-anak adalah kematian pada usia dini dan juga ketidakmampuan disaat telah dewasa (WHO, 2014).

6 11 2. Kebugaran Jasmani a. Pengertian Kebugaran Jasmani Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari setiap orang tidak akan lepas dari kebugaran jasmani, karena kebugaran jasmani merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Kebugaran jasmani terkait erat dengan keadaan kesehatan seseorang. Semua bentuk kegiatan manusia selalu memerlukan dukungan fisik, masalah kemampuan fisik merupakan faktor dasar bagi setiap aktifitas manusia. Maka untuk melakukan setiap aktifitas sehari-hari, minimal harus mempunyai kemampuan fisik yang selalu mendukung aktifitas tersebut. Salah satu indikator seseorang dikatakan sehat adalah mempunyai kebugaran jasmani yang baik. Kusmaedi (2008) mengungkapkan bahwa kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti, sehingga tubuh masih memiliki simpanan tenaga untuk mengatasi beban tambahan. Subagyo & Nugroho (2010) mengemukakan bahwa kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari dengan lebih efesien, efektif, dan produktif tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu luang serta untuk keperluan mendadak. Titik berat sebuah kebugaran jasmani adalah Physiological Fitness yaitu merupakan kemampuan tubuh untuk menyesuaikan alat-alat tubuhnya dalam batas fisiologis terhadap keadaan lingkungan atau kerja fisik dengan cara yang cukup efisien tanpa merasakan kelelahan yang berlebihan, sehingga masih dapat melakukan kegiatan-kegiatan lainnya dan juga telah mengalami pemulihan sebelum datangnya tugas yang sama keesokan hari. Kebugaran jasmani yang dimaksud adalah tidak hanya mencakup disisi fisik saja, tetapi juga mental, sosial dan emosional sehingga juga merupakan kebugaran total (total fitness) yang juga diistilahkan dengan Well-Being atau sehat sejahtera paripurna (Ismaryati, 2011).

7 12 Dalam aktivitas sehari-hari, kebugaran jasmani menggambarkan keadaan tubuh seseorang selain mampu mengerjakan pekerjaan rutin harian juga masih sanggup melakukan aktivitas fisik lainnya. Orang yang memiliki kesegaran jasmani yang lebih baik dapat menjalankan aktifitas fisiknya dengan lebih baik pula. Pembinaan kebugaran jasmani sangat berpengaruh bagi siswa guna menunjang proses pembelajaran di sekolah, serta aktivitas fisik lain diluar sekolah. Tidak ada alasan yang kuat untuk memisahkan jenis kelamin pada kegiatan olahraga anak hingga usia 15 tahun, karena pertumbuhan biologi anak dibawah umur ini adalah sama, dan barulah setelah umur 15 tahun mulai terjadi perbedaan pertumbuhan, perkembangan dan pematangan oleh adanya pengaruh dari hormon, sehingga pada usia ini, perbedaan perorangan tidak dibedakan atas umur maupun jenis kelamin (Giriwijoyo & Sidik, 2012). b. Faktor Yang Mempengaruhi Kebugaran Jasmani Menurut Erminawati (2009) pada umumnya kebugaran jasmani dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sesuatu yang sudah terdapat dalam tubuh seseorang yang bersifat menetap misalnya genetik, umur, jenis kelamin. 1). Genetik Faktor genetik, yaitu sifat-sifat spesifik yang ada dalam tubuh seseorang dari sejak lahir. Pengaruh genetik terhadap kekuatan otot dan daya tahan otot pada umumnya berhubungan dengan komposisi serabut otot yang terdiri dari atas serat merah dan serat putih. Seseorang yang lebih banyak memiliki rangka serat merah lebih tepat untuk melakukan kegiatan yang bersifat aerobik seperti maraton, sedangkan seseorang yang lebih banyak memiliki serat otot putih, lebih mampu untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik seperti lari jarak pendek, angkat besi, dan sebagainya. 2). Umur Umur mempengaruhi hampir semua komponen kebugaran jasmani. Pada daya tahan kardiovaskuler ditemukan, sejak usia anak-anak sampai sekitar umur 20 tahun, daya tahan kardiovaskuler meningkat dan mencapai

8 13 maksimal diusia tahun. Daya tahan tersebut akan semakin menurun sejalan dengan semakin bertambahnya usia, namun penurunan ini dapat berkurang, bila seseorang berolaraga teratur sejak dini. 3). Jenis kelamin Kebugaran jasmani antara pria dan wanita berbeda karena adanya perbedaan tubuh yang terjadi setelah masa pubertas. Daya tahan kordiovaskuler pada usia anak-anak, antara pria dan wanita tidak berbeda, namun setelah masa pubertas terdapat perbedaan, karena wanita memiliki jaringan lemak yan lebih banyak dan hemoglobin lebih rendah dibanding dengan pria. Hal yang sama juga terjadi pada kekuatan otot, karena perbedaan kekuatan antara pria dan wanita disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran otot baik besar maupun proporsinya dalam tubuh. Menurut Suharjana (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran jasmani seseorang adalah sebagai berikut: 1) Umur. Setiap tingkatan umur mempunyai tataran tingkat kebugaran jasmani yang berbeda dan dapat ditingkatkan pada hampir semua usia. Kebugaran jasmani anak-anak meningkat sampai mencapai maksimal pada usia tahun. Selanjutnya akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh organ tubuh kira-kira sebesar 0,81-1%. Namun dengan rajin berolahraga, kecepatan penurunan tersebut dapat diperlambat hingga separuh/setengahnya. 2) Jenis Kelamin. Tingkat kebugaran jasmani putra biasanya lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat kebugaran jasmani putri. Hal ini disebabkan karena kegiatan fisik yang dilakukan oleh putra lebih banyak bila dibandingkan dengan putri. Sampai usia pubertas, biasanya kebugaran jasmani anak lakilaki hampir sama dengan anak perempuan. Setelah mencapai / melewati usia pubertas, anak laki-laki biasanya mempunyai tingkat kebugaran jasmani yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tingkat kebugaran jasmani anak perempuan.

9 14 3) Makanan. Asupan gizi yang seimbang (12% protein, 50% karbohidrat, dan 38% lemak) akan sangat berpengaruh bagi kebugaran jasmani seseorang. Dengan gizi yang seimbang, maka diharapkan akan terpenuhinya kebutuhan gizi tubuh. Selain gizi yang seimbang, makanan juga sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan makanan. Yang dimaksud bahan makan yang berkualitas adalah bahan makanan yang sesedikit mungkin mengandung polutan. Cara pengolahan bahan makanan juga sangat mempengaruhi kualitas makanan yang dikonsumsi. 4) Tidur dan Istirahat. Istirahat sangat dibutuhkan bagi tubuh untuk membangun kembali otototot setelah latihan sebanyak kebutuhan latihan yang ada di dalam perangsangan pertumbuan otot. Istirahat yang cukup sangatlah perlu bagi pikiran dangan makanan dan udara, Sehingga dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesegaran jasmani dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: Makanan yang bergizi, aktivitas (olahraga) dan istirahat. Asma juga dapat mempengaruhi kebugaran jasmani seseorang. aktivitas jasmani dapat menjadi pemicu terjadinya asma, atau bahkan terkadang menjadi satu-satunya pemicu terjadinya AO (Asma-Olahraga). Asma merupakan gangguan pernafasan yang paling umum, meliputi ± 10% siswa di banyak negara (Giriwijoyo & Sidik, 2012). Asma merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kepekaan mukosa trakhea dan bronchi terhadap berbagai rangsangan dan diwujudkan dengan adanya penyempitan jalan nafas (American Thoracic Society, 1962 Cit. Giriwijoyo & Sidik, 2012). Penderita asma mempunyai sistem bronkhial yang hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap infeksi saluran nafas, debu, stres, tertawa terbahak-bahak, bulu binatang ataupun juga terhadap kegiatan fisik (Giriwijoyo & Sidik, 2012). c. Tes Kebugaran Jasmani

10 15 Penilaian tingkat kebugaran jasmani pada anak sekolah yang gemuk dan obes menggunakan single test yang sesuai dengan kondisi fisik medis sehingga test lari jarak menengah yang dipilih dilakukan dengan jalan cepat saja. Tes ini merupakan suatu perangkat tes lapangan untuk anak usia tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok usia yaitu: kelompok usia tahun dan kelompok usia tahun. Untuk usia 6-9 tahun tidak dapat dilakukan single test ini tetapi dapat disusun program latihan fisik. 1. Penggolongan jarak tempuh test menurut umur dan jenis kelamin: Tabel 2.2 Penggolongan Jarak Tempuh Tes Kebugaran Jasmani Umur Janis Jarak (Tahun) Kelamin Tempuh Laki-laki 1000 m Perempuan 1000 m Laki-laki 1600 m Perempuan 1600 m (Kemenkes, 2014). 2. Alat dan fasilitas (1) Lapangan olahraga ataupun sarana lain yang memiliki fasilitas lintasan jalan cepat yang datar dan tidak licin sejauh m. (2) Tiang pancang untuk rambu lintasan lari. (3) Bendera start. (4) Nomor dada. (5) Stopwatch. (6) Peluit. (7) Alat tulis 3. Pelaksanaan test (1) Peserta test berdiri dibelakang garis start. (2) Peserta mengambil sikap berdiri, siap untuk jalan cepat. (3) Pada aba-aba Ya peserta tes melakukan jalan cepat konstan menuju garis finish dengan menempuh jarak 1000 atau 1600 meter sesuai dengan kelompok usia dan jenis kelamin.

11 16 4. Penentuan tingkat kebugaran jasmani menurut Kemenkes (2014). Tabel 2.3 Tes Jalan Cepat 1600 m Putra (Usia Tahun) Usia (Tahun) Klasifikasi (Menit, Detik) Baik Sekali Baik Cukup Kurang Kurang Sekali ,23 7,06 6,32 6,31 6,28 6,27 6,21 7,24 8,40 7,07 8,14 6,33 7,46 6,32 7,43 6,29 7,40 6,28 7,27 6,22 7,21 8,41 9,58 8,15 9,21 7,47 9,01 7,44 8,55 7,41 8,52 7,27 8,56 7,22 8,26 9,59 11,15 9,22 10,28 9,02 10,16 8,56 10,06 8,53 10,04 8,27 09,25 8,21 09,29 11,16 10,29 10,17 10,07 10,05 09,26 09,20 Usia (Tahun) Tabel 2.4 Tes Jalan Cepat 1600 m Putri (Usia Tahun) Klasifikasi (Menit, Detik) Baik Sekali Baik Cukup Kurang Kurang Sekali 9,29 9,30 10,56 12,2112,22 13,46 13,47 9,26 10,55 10,52 12,1512,16 13,39 13,40 9,03 9,27 10,34 12,0412,05 13,34 13,35 7,55 10,51 09,49 11,4011,41 13,32 13,33 7,54 9,04 09,44 11,3311,34 13,22 13,23 7,52 10,33 09,28 11,0211,03 12,37 13,28 7,51 7,56 09,26 11,0011,01 12,34 12,35

12 17 09,48 7,55 09,43 7,53 09,27 7,52 09,25 3. Prestasi Akademik a. Pengertian prestasi Akademik Kata Prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olah raga, dan pendidikan, khususnya pembelajaran. Sementara prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya (Arifin, 2009). Menurut Sunarsih (2009), prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Prestasi akademik adalah hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian. Sementara prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru ataupun dosen. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010). Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya, Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum definisi belajar adalah usaha yang dilakukan seseorang

13 18 untuk dapat berubah ke arah yang lebih baik, melalui serangkaian kegiatan yang dijalani selama proses belajar berlangsung (Isnaini, 2014). Menurut Azwar (2011) prestasi atau keberhasilan akademik dapat dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk atau indikator-indikator berupa nilai raport, indeks prestasi studi, angka kelulusan, predikat keberhasilan dan sebagainya. b. Bentuk-bentuk belajar Riyanto (2010) bentuk-bentuk belajar dapat dibedakan menjadi 3, yaitu : 1) Bentuk belajar menurut fungsi psikis (a) Belajar dinamik Belajar karena menghendaki sesuatu secara wajar karena dorongan untuk bertindak agar kebutuhannya dapat terpenuhi. (b) Belajar afektif Menghayati nilai dari objek yang dihadapi melalui alam perasaan baik berupa orang, benda maupun peristiwa. Dapat pula dikatakan sebagai ungkapan perasaan dalam bentuk expresi yang wajar. (c) Belajar kognitif Menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek yang dihadapi dan dipresentasikan melalui tanggapan, gagasan ataupun lambang. (d) Belajar sensoris motorik Menghadapi objek secara fisik termasuk kejasmanian manusia sendiri. 2) Bentuk belajar menurut materi yang dipelajari (a) Belajar teoritis Bertujuan untuk mendapatkan data dan fakta (pengetahuan) dalam suatu kerangka organisasi mental, sehingga dipahami dan digunakan untuk memecahkan masalah seperti pada bidang studi ilmiah. (b) Belajar tekhnis Mengembangkan keterampilan dalam menangani benda serta menyusun bagian-bagian materi menjadi keseluruhan dan disebut juga belajar motorik.

14 19 (c) Belajar sosial Bertujuan mengekang dorongan dan kecendrungan spontan demi kehidupan bersama dan membebaskan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. (d) Belajar estetis Bertujuan membentuk kemampuan untuk menciptakan dan menghayati keindahan diberbagai bidang kesenian. 3) Belajar dengan insidental Saat orang mempelajari sesuatu dengan tujuan tertentu namun juga belajar hal lain yang tidak menjadi sasarannya. (a) Belajar secara tersembunyi Dicontohkan seperti upacara bendera, dimana guru secara implisit melatih siswanya untuk disiplin. (b) Belajar dengan coba-coba Melakukan sesuatu seperti sebuah eksperimen trial and error yang pada akhirnya menemukan hasil. c. Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik Menurut Daryanto (2010), Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat dibedakan menjadi 1) Faktor internal (a) Faktor jasmaniah (fisiologis) (1) Kesehatan Kesehatan jasmani dan rohani sangat besar pengaruhnya terhadap kemampuan belajar. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatannya terganggu, selain itu ia akan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah kurang darah (anemia) ataupun ada gangguangangguan/kelainan-kelainan fungsi alat indranya serta tubuhnya. Demikian pula halnya jika kesehatan rohani (jiwa) kurang baik, misalnya mengalami gangguan pikiran, misalnya kecewa karena konflik dengan orang tua atau karena sebab lainnya, hal ini

15 20 dapat mengganggu atau mengurangi semangat belajar. Karena itu, pemeliharaan kesehatan sangat penting bagi setiap orang baik secara fisik maupun mental, agar badan tetap kuat, pikiran selalu segar dan semangat dalam melaksanakan kegiatan belajar (Isnaini, 2014). (2) Cacat tubuh Cacat tubuh seseorang adalah sesuatu yang menyebabkan kurang baik atau kurang sempurna mengenai tubuh/badan. Cacat dapat berupa buta, setengah buta, tuli, setengah tuli, patah kaki, dan patah tangan, lumpuh dll. Keadaan cacat dapat mempengaruhi belajar. Siswa yang cacat belajarnya juga terganggu. Jika hal ini terjadi, hendaknya ia belajar pada lembaga pendidikan khusus atau usahakan alat bantu agar dapat menghindari atau mengurangi pengaruh kecacatannya itu (Slameto, 2010). (b) Faktor psikologis (1) Intelegensi dan bakat Bila seseorang mempunyai intelegensi tinggi dan bakatnya ada dalam bidang yang dipelajari, maka proses belajarnya akan lancar dan sukses bila dibandingkan dengan orang yang memiliki bakat saja tetapi intelegensi rendah. Demikian pula, jika dibandingkan dengan orang yang intelegensinya tinggi tetapi bakatnya tidak ada dalam bidang tersebut, orang berbakat lagi pintar (intelegensi tinggi) biasanya akan sukses dalam kariernya. (2) Konsentrasi Konsentrasi adalah memusatkan segenap kekuatan perhatian pada situasi belajar. Seseorang yang tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, ia tidak dapat menyerap pelajaran yang dipelajari sepenuhnya. Pada saat belajar, konsentrasi mutlak diperlukan.

16 21 (3) Perhatian Perhatian merupakan keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju pada suatu objek (benda/hal) atau sekumpulan objek. Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang dipelajari. Jika bahan pelajaran tidak menjadi perhatian siswa, maka timbulah kebosanan, sehingga ia tidak suka lagi belajar. (4) Cara belajar Cara belajar juga mempengaruhi pencapaian hasil belajar. Belajar tanpa memperhatikan tekhnik dan faktor fisiologis, psikologis, dan ilmu kesehatan, akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan. (5) Kematangan Kematangan adalah suatu tingkat/fase dalam pertumbuhan seseorang, dimana alat-alat tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. Kematangan belum berarti anak dapat melaksanakan kegiatan secara terus-menerus. Untuk itu diperlukan latihan-latihan dan pelajaran. Dengan kata lain anak yang sudah siap (matang) belum dapat melaksanakan kecakapannya sebelum belajar. Belajarnya akan lebih berhasil jika anak sudah siap (matang). Jadi kemajuan baru untuk memiliki kecakapan itu tergantung dari kematangan belajar. (6) Kesiapan Kesiapan adalah kesediaan untuk memberi reponse atau reaksi. Kesediaan itu timbul dari dalam diri seseorang dan juga berhubungan dengan kematangan, karena kematangan berarti kesiapan untuk melaksanakan kecakapan. Kesiapan itu perlu diperhatikan dalam proses belajar, karena jika siswa belajar dan ada kesiapan maka hasil belajarnya lebih baik. (c) Faktor kelelahan Faktor kelelehan pada seseorang walaupun sulit untuk dipisahkan tetapi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelelahan

17 22 jasmani dan kelelahan rohani (bersifat psikis). Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglainya tubuh dan timbul kecenderungan untuk membaringkan tubuh. Kelelahan jasmani terjadi karena terjadinya kekacauan subtansi sisa pembakaran di dalam tubuh, sehingga darah tidak/kurang lancar pada bagian-bagian tertentu. Kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu hilang/menurun. 2) Faktor eksternal (a) Keluarga (1) Cara orang tua mendidik Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas dengan pernyataan yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Orang tua yang kurang/ tidak memperhatikan pendidikan anaknya akan menyebabkan anak tidak terkontrol sehingga malas belajar dan merasa tidak diperhatikan. Selain itu, mendidik dengan cara yang keras, memaksa dan mengejar-ngejar anaknya belajar juga cara yang tidak baik. Anak akan diliputi ketakutan dan akhirnya benci terhadap belajar, bahkan jika ketakutan itu semakin serius, anak akan mengalami gangguan kejiwaan akibat dari tekanan-tekanan tersebut. (2) Relasi antar anggota keluarga Untuk kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu adanya relasi yang baik di dalam keluarga terutama relasi orang tua dengan anak. Hubungan yang baik adalah yang penuh perhatian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensukseskan belajar anak. (3) Suasana rumah Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadiankejadian yang sering terjadi di dalam keluarga dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah juga merupakan faktor penting yang tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang

18 23 gaduh/ramai tidak akan memberikan ketenangan pada anak yang belajar, suasana tersebut dapat terjadi pada keluarga yang besar dan terlalu banyak penghuninya. Suasana rumah tegang, ribut dan sering terjadi percekcokan antar anggota keluarga akan menyebabkan anak tidak betah dirumah sehingga malas belajar dan lebih memilih untuk main diluar rumah. Rumah yang sering dipakai untuk keperluan lain misalnya untuk resepsi, pertemuan, pesta, upacara keluarga dll, akan menganggu belajar anak apalagi ruang yang bising dengan suara televisi/radio pada saat belajar akan mengganggu konsentrasi anak dalam belajar. (4) Keadaan ekonomi keluarga Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak karena berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, gizi, pakaian, rumah, perlindungan kesehatan dan lain-lain. Termasuk pemenuhan kebutuhan tambahan seperti alat tulis belajar, ruang belajar, meja, kursi, buku pelajaran dan adanya les tambahan bagi orang tua yang mampu dalam hal materi akan memudahkan anak untuk belajar. Sebaliknya, anak yang hidup dikeluarga miskin atau kurang mampu kebutuhan pokoknya kurang sehingga mengakibatkan kesehatan anak terganggu, begitu juga dengan nutrisinya. Selain itu, pada anak yang kurang mampu, terkadang waktu belajarnya terganggu karena harus membantu orang tuanya bekerja. Namun bukan berarti pada anak yang orang tuanya kaya raya akan menjadi anak yang pandai atau semangat dalam belajarnya, karena orang tua yang kaya raya sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak sehingga anak hanya bersenang-senang atau berfoya-foya yang berakibat kurangnya perhatian terhadap pelajaran. (5) Latar belakang budaya

19 24 Tingkat pendidikan atau kebiasaan didalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu ditanamkan kebiasaan-kebisaan yang baik kepada anak agar mendorong semangat untuk belajar. (b) Sekolah Keadaan sekolah tempat belajar mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. Kualitas guru, metode mengajar, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas di sekolah, keadaan ruangan, jumlah murid perkelas, pelaksanaan tata tertib sekolah dan sebagainya, semua itu turut mempengaruhi keberhasilan belajar anak. Bila suatu sekolah kurang memperhatikan tata tertib, maka murid kurang mematuhi perintah para guru dan akibatnya mereka tidak mau belajar sungguh-sungguh disekolah ataupun dirumah. Hal ini mengakibatkan prestasi belajar anak menjadi rendah. Demikian juga dengan jumlah murid per kelas yang terlalu banyak (50-60 orang), dapat mengakibatkan kelas kurang tenang, suasana yang tidak kondusif, hubungan antara guru dan murid kurang akrab, kontrol guru menjadi lemah, murid jadi kurang acuh terhadap gurunya, sehingga motivasi belajar menjadi lemah. (c) Masyarakat Keadaan masyarakat menentukan prestasi belajar. Bila di sekitar tempat tinggal terdiri dari orang-orang yang berpendidikan, terutama anak-anaknya rata-rata bersekolah tinggi dan bermoral baik, maka hal ini akan mendorong anak lebih giat belajar. Tetapi sebaliknya, apabila tinggal dilingkungan banyak anak-anak yang nakal, tidak bersekolah dan pengangguran, hal ini akan mengurangi semangat belajar atau tidak menunjang sehingga motivasi belajar kurang. (d) Lingkungan sekitar Keadaan lingkungan tempat tinggal, bangunan rumah, suasana sekitar, keadaan lalu lintas, iklim dan sebagainya sangat mempengaruhi prestasi belajar. Misalnya bangunan rumah penduduk sangat rapat, akan mengganggu belajar. Keadaan lalu lintas yang bising, suara hiruk pikuk

20 25 orang di sekitar, suara pabrik, polusi udara, suara pabrik, iklim terlalu panas, akan mempengaruhi kegairahan belajar. Sebaliknya, tempat yang sepi dengan iklim yang sejuk akan menunjang proses belajar (Slameto, 2010). d. Tes Prestasi Akademik Tes prestasi akademik merupakan salah satu alat pengukuran dibidang pendidikan yang sangat penting sebagai sumber informasi guna pengambilan keputusan. Tes prestasi berupa tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap performansi maksimal subjek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah di ajarkan. Dalam kegiatan pendidikan formal dikelas, tes prestasi dapat berbentuk ulangan-ulangan harian, tes formatif, tes sumatif bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi (Azwar, 2011).

21 21 B. Penelitian yang relevan No. Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil 1. Hartini, Korelasi Derajat Studi Potong lintang analitik. 211 (16,1%) anak obesitas. 60% laki-laki, Soetjiningsih & Nurani, Obesitas dg Prestasi Belajar Siswa SD Kodya Denpasar. Pemilihan sampel acak bertingkat, usia 6-13 tahun, Januari-Juni 2011, pada 1305 siswa. umur 7-12 tahun, rentang IQ Analisis regresi linier = Derajat obesitas berhubungan dengan prestasi belajar siswa SD. 2. Annas, Hubungan Survei analitik Cross-sectional. Tidak ada hubungan tingkat kesegaran jasmani Kesegaran Jasmani, Hb, Status Gizi, dan Makan Pagi terhadap Prestasi Belajar. Populasi 183 siswa kelas II MTs Al Asror kecamatan Gunungpati kota Semarang. Sampel 65 siswi dengan Simple Random Sampling. dengan prestasi belajar siswa. Tidak ada hubungan status gizi dengan prestasi belajar siswa. Ada hub status Hb dengan prestasi belajar siswa. 3. Rismayanthi, Hubungan status gizi dan tingkat kebugaran jasmani terhadap prestasi hasil belajar siswa. Penelitian korelasi. Dua Independen : status gizi dan kebugaran jasmani. Satu Dependen : hasil belajar mata kuliah praktek mahasiswa FIK UNY. Tidak ada hub status gizi - prestasi hasil belajar. Ada hub kebugaran jasmani - prestasi hasil belajar. Ada hubungan status gizi dan kebugaran jasmani - prestasi hasil belajar. 4. Widiantini & Tafal, Aktivitas Fisik, Stres, dan Obesitas Survei Cross sectional, Mei - Juni Populasi seluruh PNS Prevalensi obesitas 48%. Ada hub aktivitas fisik dan stres dengan

22 22 pada Pegawai Negeri Sipil. SekJend. Kemenkes RI, orang. obesitas. aktivitas fisik sedang/berat (0,6X) lebih rendah untuk mengalami obesitas.

23 23 C. Kerangka Pikir Genetik Kegemukan Pola Makan Kebugaran Jasmani Umur Jenis Kelamin Aktivitas Fisik Kemampuan Kognitif Kondisi Fisik Intelegensi Prestasi Akademik Gambar 2.1 Kerangka Pikir Keterangan : : Variabel penelitian : Variabel perancu terkendali : Variabel perancu tak terkendali D. Hipotesis 1. Ada hubungan antara kegemukan dengan kebugaran jasmani siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. 2. Ada hubungan antara kegemukan dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender. 3. Ada hubungan antara kebugaran jasmani dengan prestasi akademik siswa sekolah menengah pertama berbasis gender.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Boyolali yang berada di Provinsi Jawa tengah dengan luas wilayah mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegemukan merupakan masalah serius yang dihadapi di dunia, karena terus meningkat disemua negara. Tahun 2014, sebanyak 39% penduduk dewasa ( 18 tahun) menderita kegemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Masa Tubuh 2.1.1. Defenisi Indeks Masa Tubuh Indeks Massa tubuh (IMT) adalah alat ukur paling umum yang digunakan untuk mendefenisikan status berat badan anak, remaja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Masalah Gizi Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kekurangan gizi merupakan penyebab tingginya angka kematian. Disamping itu kekurangan gizi dapat menurunkan kemampuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Obesitas Obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbun lemak yang melebihi 25 % dari berat tubuh, orang yang kelebihan berat badan biasanya karena kelebihan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesegaran Jasmani Kesegaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan tugas pekerjaannya sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti. Serta meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. OBESITAS. 2.1.1. Pengertian Obesitas. Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara

BAB I PENDAHULUAN. tetapi kurang serat (Suyono dalam Andriyani, 2010). Ketidakseimbangan antara 1 BAB I PENDAHULUAN a) Latar Belakang Peningkatan kemakmuran seseorang ternyata diikuti dengan perubahan gaya hidup. Pola makan mulai bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan

BAB I PENDAHULUAN. kegemukan atau obesitas selalu berhubungan dengan kesakitan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gemuk merupakan suatu kebanggaan dan merupakan kriteria untuk mengukur kesuburan dan kemakmuran suatu kehidupan, sehingga pada saat itu banyak orang berusaha

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan jaringan adipose

BAB I PENDAHULUAN. badan menjadi gemuk (obese) yang disebabkan penumpukan jaringan adipose BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas atau yang biasa dikenal sebagai kegemukan, merupakan suatu masalah yang cukup merisaukan anak. Obesitas atau kegemukan terjadi pada saat badan menjadi gemuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat tergantung kepada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN. anak dan remaja saat ini sejajar dengan orang dewasa (WHO, 2013). Menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas pada anak sampai kini masih merupakan masalah, satu dari sepuluh anak di dunia ini mengalami obesitas dan peningkatan obesitas pada anak dan remaja saat ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes Mellitus (DM) di dunia. Angka ini diprediksikan akan bertambah menjadi 333 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable

BAB I PENDAHULUAN. gizi terjadi pula peningkatan kasus penyakit tidak menular (Non-Communicable BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua masalah ganda (double burden). Disamping masalah penyakit menular dan kekurangan gizi terjadi pula peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah diketahui bahwa kegemukan merupakan salah satu faktor risiko. koroner, hipertensi dan hiperlipidemia (Anita, 1995).

BAB I PENDAHULUAN. setelah diketahui bahwa kegemukan merupakan salah satu faktor risiko. koroner, hipertensi dan hiperlipidemia (Anita, 1995). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kegemukan bukanlah hal baru dalam masyarakat kita, bahkan 20 tahun yang lalu kegemukan merupakan kebanggaan dan lambang kemakmuran. Bentuk tubuh yang gemuk

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KOMPOSISI TUBUH (INDEKS MASSA TUBUH) SISWA KELAS XI SMK NEGERI SE-KOTA BANDUNG

2015 HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK DENGAN KOMPOSISI TUBUH (INDEKS MASSA TUBUH) SISWA KELAS XI SMK NEGERI SE-KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebugaran jasmani yang baik bagi setiap individu dapat menunjang proses dan hasil belajar siswa, terlebih dapat mendukung pula prestasi-prestasi lain yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, berbagai macam aktivitas yang dilakukan manusia sangat padat dan beraneka ragam. Di perkotaan manusia menjalani kehidupannya dengan persaingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan manusia bekerja secara maksimal (Moehji, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia yang sehat setiap harinya memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga memiliki kesanggupan yang maksimal dalam menjalankan kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permainan sepak bola merupakan salah satu olahraga endurance beregu

BAB I PENDAHULUAN. Permainan sepak bola merupakan salah satu olahraga endurance beregu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permainan sepak bola merupakan salah satu olahraga endurance beregu yang membutuhkan daya tahan jantung paru. Kesegaran jasmani yang rendah diikuti dengan penurunan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. saja akan tetapi sudah menjadi permasalahan bagi kalangan anak - anak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. saja akan tetapi sudah menjadi permasalahan bagi kalangan anak - anak 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Obesitas 2.1.1. Definisi Obesitas didefenisikan sebagai suatu penambahan berat badan akibat akumulasi berlebihan lemak tubuh relatif terhadap massa tubuh tanpa lemak (Wong,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan pendidikan jasmani disekolah merupakan satu bentuk pembinaan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan pendidikan jasmani disekolah merupakan satu bentuk pembinaan dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka a. Kebugaran Jasmani Pelaksanaan pendidikan jasmani disekolah merupakan satu bentuk pembinaan dan peningkatan kebugaran jasmani bagi siswa. Batasan mengenai kebugaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah merupakan suatu bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah merupakan suatu bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebugaran jasmani Pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah merupakan suatu bentuk pembinaan dan peningkatan kebugaran jasmani bagi siswa. Batasan mengenai kebugaran jasmani dikemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan

BAB I PENDAHULUAN. mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa remaja masa yang sangat penting dalam membangun perkembangan mereka dalam dekade pertama kehidupan. Masa remaja merupakan jembatan periode kehidupan anak dan dewasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Departemen

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesegaran Jasmani 2.1.1 Pengertian Kesegaran jasmani sudah umum dipakai dalam bahasa Indonesia, khususnya dalam bidang keolahragaan. Kesegaran jasmani biasa diucapkan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negatif terhadap kehidupan. Dilihat dari dampak positif, teknologi membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. negatif terhadap kehidupan. Dilihat dari dampak positif, teknologi membuat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini telah memasuki era globalisasi yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan yang cepat dan signifikan di segala bidang menuju pada keadaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih cukup tinggi (Paramurthi, 2014). Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar

BAB I PENDAHULUAN. masih cukup tinggi (Paramurthi, 2014). Pada tahun 2014, lebih dari 1,9 miliar BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi mengakibatkan perilaku penduduk berubah dan menimbulkan ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan aktivitas yang lebih banyak kurang gerak sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 2016). Umumnya

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 2016). Umumnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obesitas yaitu terdapat penimbunan lemak yang belebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal (Soetjiningsih, 2016). Umumnya obesitas ditentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan zaman seperti sekarang ini dan arus globalisasi sangatlah mempengaruhi kehidupan setiap individu di Indonesia maupun di negara-negara lainnya baik ditinjau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Overweight dan obesitas adalah dua istilah yang berbeda. Overweight

BAB I PENDAHULUAN. Overweight dan obesitas adalah dua istilah yang berbeda. Overweight 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Overweight dan obesitas adalah dua istilah yang berbeda. Overweight adalah kondisi berat badan seseorang melebihi berat badan normal pada umumnya. Sementara obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggi Fauzi Mukti, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggi Fauzi Mukti, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh untuk melakukan suatu pekerjaan fisik yang dikerjakan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang sangat berarti. Artinya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. akan menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam lingkungan sehat

BAB 1 PENDAHULUAN. akan menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam lingkungan sehat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010, diharapkan akan menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam lingkungan sehat dan berperilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia remaja merupakan usia peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa remaja banyak perubahan yang terjadi. Selain perubahan fisik karena bertambahnya

Lebih terperinci

MODUL 9 KEBUTUHAN ZAT GIZI DAN JUMLAH KALORI YANG DIPERLUKAN OLEH ATLET

MODUL 9 KEBUTUHAN ZAT GIZI DAN JUMLAH KALORI YANG DIPERLUKAN OLEH ATLET MODUL 9 KEBUTUHAN ZAT GIZI DAN JUMLAH KALORI YANG DIPERLUKAN OLEH ATLET Pendahuluan Prestasi olahraga yang tinggi perlu terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan lagi. Salah satu faktor yang penting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. global. 1 Aktivitas fisik telah diidentifikasi sebagai faktor risiko keempat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. global. 1 Aktivitas fisik telah diidentifikasi sebagai faktor risiko keempat untuk global. 1 Aktivitas fisik telah diidentifikasi sebagai faktor risiko keempat untuk BAB 1 PENDAHULUAN Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 yang perlu diukur

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 yang perlu diukur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tingkat indeks kesegaran jasmani merupakan salah satu indikator pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 yang perlu diukur secara berkala. Manusia yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi merupakan sebuah masalah keluarga yang sifatnya jangka panjang dan kebisaan makan yang sehat harus dimulai sejak dini. Masalah gizi pada anak di Indonesia akhir-akhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Terjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Terjadi banyak perubahan baik fisik yaitu pertumbuhan yang sangat cepat (growth spurt) dan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Adanya pergeseran budaya dari budaya gerak menjadi budaya diam menyebabkan terjadinya permasalahan pada aspek kesegaran jasmani. Hal ini disebabkan oleh dampak teknologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar 5 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar 2.1.1 Pengertian Belajar Dalam proses pembelajaran, berhasil tidaknya pencapaian tujuan banyak dipengaruhi oleh bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa. Oleh

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja,

BAB 1 : PENDAHULUAN. kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Gizi lebih yang terjadi pada remaja, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gizi lebih merupakan keadaan patologis, yaitu dengan terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh yang normal. (1) Gizi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didalam tubuh. Kebutuhan zat gizi berkaitan erat dengan masa. perkembangan yang drastis. Remaja yang asupan gizinya terpenuhi

BAB I PENDAHULUAN. didalam tubuh. Kebutuhan zat gizi berkaitan erat dengan masa. perkembangan yang drastis. Remaja yang asupan gizinya terpenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap gizi, oleh karena itu remaja perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Pertumbuhan pada remaja berlangsung secara cepat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara Nation Wide mengingat prevalensinya cukup tinggi umumnya sebagian

BAB I PENDAHULUAN. secara Nation Wide mengingat prevalensinya cukup tinggi umumnya sebagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dimasa mendatang masalah penyakit tidak menular akan menjadi perioritas masalah kesehatan di indonesia, salah satu masalah tersebut adalah masalah hipertensi. Hipertensi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI digilib.uns.ac.id 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Status Gizi a. Pengertian Status Gizi Status Gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat

Lebih terperinci

HUBUNGAN ASUPAN GIZI MAKAN PAGI DAN MAKAN SIANG DENGAN STATUS GIZI DAN KESEGARAN JASMANI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI TEMBALANG SEMARANG TAHUN 2012

HUBUNGAN ASUPAN GIZI MAKAN PAGI DAN MAKAN SIANG DENGAN STATUS GIZI DAN KESEGARAN JASMANI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI TEMBALANG SEMARANG TAHUN 2012 HUBUNGAN ASUPAN GIZI MAKAN PAGI DAN MAKAN SIANG DENGAN STATUS GIZI DAN KESEGARAN JASMANI PADA ANAK SEKOLAH DASAR NEGERI TEMBALANG SEMARANG TAHUN 2012 Mulinatus Saadah 1. Mahasiswa Peminatan Gizi Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak di dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelelahan 1. Pengertian Lelah Beberapa ahli mendefinisikan kelelahan kerja adalah : a. Kelelahan kerja ditandai oleh adanya perasaan lelah, output dan kondisi psikologis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remote control, komputer, lift, escalator dan peralatan canggih lainnya

BAB I PENDAHULUAN. remote control, komputer, lift, escalator dan peralatan canggih lainnya 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi yang semakin berkembang dan peningkatan berbagai macam teknologi yang memudahkan semua kegiatan, seperti diciptakannya remote control, komputer,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. playstation, dan yang saat ini digemari anak dan remaja sekarang yaitu game

BAB I PENDAHULUAN. playstation, dan yang saat ini digemari anak dan remaja sekarang yaitu game BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan zaman telah mengantarkan kita pada era modernisasi dimana segala sesuatu serba praktis dan instan. Hampir semua peralatan yang diperlukan manusia saat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar Gaya Belajar adalah cara atau pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia pendidikan, istilah gaya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hakikat Hasil Belajar Energi Panas 2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Energi Panas Mengenai hasil belajar dalam penelitian ini yang diteliti adalah hasil belajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari masa anak anak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari masa anak anak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi dari masa anak anak menuju masa dewasa. Transisi yang dialami remaja ini merupakan sumber resiko bagi kesejahteraan fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masalah kegemukan ( overweight) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini masalah kegemukan ( overweight) merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini masalah kegemukan ( overweight) merupakan salah satu masalah global yang melanda masyarakat dunia baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. direncanakan dan dilaksanakan secara berkesinambungan baik dari materi. pembelajaran maupun jenjang pendidikannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. direncanakan dan dilaksanakan secara berkesinambungan baik dari materi. pembelajaran maupun jenjang pendidikannya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hakekat Pembelajaran Secara umum pembelajaran merupakan kegiatan yang dilaksanakan di dalam ruangan atau kelas dengan melibatkan antara guru dan murid untuk mencapai suatu tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan masukan dan pengeluaran asupan zat gizi. Asupan. ketiga zat gizi tersebut merupakan zat gizi makro yang diperlukan

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan masukan dan pengeluaran asupan zat gizi. Asupan. ketiga zat gizi tersebut merupakan zat gizi makro yang diperlukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status gizi merupakan status kesehatan yang dihasilkan dari keseimbangan masukan dan pengeluaran asupan zat gizi. Asupan energi dan zat gizi makro seperti protein

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsumsi Energi dan Protein 1. Energi Tubuh memerlukan energi sebagai sumber tenaga untuk segala aktivitas. Energi diperoleh dari makanan sehari-hari yang terdiri dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor utama yang diperlukan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Untuk mencapai SDM berkualitas, faktor gizi memegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Obesitas merupakan masalah yang banyak dijumpai baik di negara maju maupun di negara berkembang. Obesitas merupakan suatu masalah serius pada masa remaja seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dianggap masalah oleh semua orang. Papalia dan Olds (1995) mengatakan bahwa obesitas dan overweight terjadi jika individu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dianggap masalah oleh semua orang. Papalia dan Olds (1995) mengatakan bahwa obesitas dan overweight terjadi jika individu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seseorang yang menjadi Obesitas dan overweight merupakan suatu yang dianggap masalah oleh semua orang. Papalia dan Olds (1995) mengatakan bahwa obesitas dan overweight

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara zat-zat gizi yang masuk dalam tubuh manusia dan penggunaannya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Status Gizi Menurut Soekirman (2000) status gizi adalah merupakan keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh manusia dan lingkungan hidup manusia. Selanjutnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas. Remaja merupakan sumber daya manusia bagi

I. PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas. Remaja merupakan sumber daya manusia bagi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Remaja merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan di masa datang. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melekat kecintaanya terhadap cabang olahraga ini. Sepuluh tahun terakhir ini

BAB I PENDAHULUAN. melekat kecintaanya terhadap cabang olahraga ini. Sepuluh tahun terakhir ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bulutangkis adalah salah satu cabang olahraga yang popular dan banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat Indonesia sudah melekat kecintaanya terhadap

Lebih terperinci

METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Cara Pengambilan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data 17 METODE Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain Cross Sectional Study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2011 di lingkungan Kampus (IPB)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Sehat juga keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinan setiap orang hidup produktif dan ekonomis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11) anemia. (14) Remaja putri berisiko anemia lebih besar daripada remaja putra, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit dalam darah kurang dari yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang dewasa mengalami kegemukan. Di Amerika orang meninggal. penduduk menderita kegemukan (Diana, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. orang dewasa mengalami kegemukan. Di Amerika orang meninggal. penduduk menderita kegemukan (Diana, 2004). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Modernisasi dan era globalisasi yang mulai memasuki sebagian besar negara-negara berkembang telah memberikan beberapa kemajuan kepada masyarakat dalam hal standar kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah suatu negara dengan jumlah populasi terbesar setelah Cina, India, dan Amerika serikat. Pada tahun 2010 menurut data statistik menunjukkan bahwa jumlah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Overweight Overweight (kelebihan berat badan atau kegemukan) didefinisikan sebagai berat badan di atas standar. Pengertian lainnya overweight adalah kelebihan berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anak remaja yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. anak remaja yang dimulai pada usia 12 tahun yaitu pada jenjang pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan input utama pembangunan bangsa Indonesia untuk dapat bersaing atau berkompetisi di era globalisasi dengan bangsa lain. Upaya peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah penilaian hasil usaha kegiatan belajar yang di nyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf, maupun kalimat yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebugaran jasmani adalah kondisi jasmani yang berhubungan dengan kemampuan atau kesanggupan tubuh yang berfungsi dalam menjalankan pekerjaan secara optimal dan efisien.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih di Indonesia terjadi di kota-kota besar sebagai akibat adanya

BAB I PENDAHULUAN. lebih di Indonesia terjadi di kota-kota besar sebagai akibat adanya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, pada saat ini menghadapi masalah yang berhubungan dengan pangan, gizi dan kesehatan. Dalam bidang gizi, Indonesia diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300

BAB I PENDAHULUAN. dunia, lebih dari 1 milyar orang dewasa adalah overweight dan lebih dari 300 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan salah satu dari 10 kondisi yang berisiko di seluruh dunia dan salah satu dari 5 kondisi yang berisiko

Lebih terperinci

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight?

Contoh Penghitungan BMI: Obesitas atau Overweight? Obesitas yang dalam bahasa awam sering disebut kegemukan merupakan kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktif pada tingkat yang tepat untuk mempertahankan atau meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. aktif pada tingkat yang tepat untuk mempertahankan atau meningkatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup aktif membutuhkan aktivitas yang teratur, hanya 40% populasi yang cukup aktif untuk memastikan keuntungan fisik dan mental dari aktivitas fisik yang teratur. Sisanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia Gizi Besi (AGB) dan Kekurangan Energi Protein (KEP) di Indonesia merupakan masalah yang sering ditemui pada remaja putri. Remaja putri termasuk dalam kelompok

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja, semua remaja tentunya ingin menampilkan tampilan fisik yang menarik. Banyak remaja putra berkeinginan membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia karena prevalensinya yang meningkat pada orang dewasa maupun remaja baik di negara maju maupun berkembang. Prevalensi overweight

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas dapat di definisikan sebagai kelebihan berat badan, yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Obesitas dapat di definisikan sebagai kelebihan berat badan, yang dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas dapat di definisikan sebagai kelebihan berat badan, yang dapat meningkatkan resiko munculnya penyakit medis dan kematian dini (Villareal et al, 2005). Obesitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Jasmani (penjas) merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot skelet yang dapat meningkatkan pengeluaran energi. Aktivitas fisik dapat dikategorikan

Lebih terperinci

Specific Dynamic Action

Specific Dynamic Action Kebutuhan Energi Besarnya kebutuhan energi tergantung dari energi yang digunakan setiap hari. Kebutuhan energi dapat dihitung dengan memperhatikan beberapa komponen penggunaan energi. Komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini, prevalensi obesitas meningkat secara tajam di kawasan Asia Pasifik, dari beberapa penelitian oleh WHO di Cina, Jepang, Taiwan dan Hongkong, dilaporkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup sehat segala aktivitas dapat dikerjakan dengan lancar. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. hidup sehat segala aktivitas dapat dikerjakan dengan lancar. Menurut UU BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup sehat adalah hal yang diinginkan setiap individu, karena dengan hidup sehat segala aktivitas dapat dikerjakan dengan lancar. Menurut UU Kemenkes No 23 tahun 1992

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu aspek yang menentukan kualitas hidup manusia. Umumnya setiap orang ingin mencapai usia panjang dan tetap sehat, berguna, dan bahagia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Survei Antar Sensus BPS 2005 jumlah remaja di Indonesia adalah 41 juta jiwa, sedangkan menurut Depkes RI 2006 jumlah remaja meningkat yaitu 43 juta jiwa, dan menurut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan masyarakat Indonesia merupakan usaha yang dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan kehidupan bangsa. Pembangunan suatu bangsa dapat berhasil dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan berat badan diatas rata-rata dari indeks massa tubuh (IMT) yang di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ditandai dengan berat badan diatas rata-rata dari indeks massa tubuh (IMT) yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan salah satu tantangan yang paling serius. Masalahnya adalah global dan terus mempengaruhi negara yang berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. pada anak-anak hingga usia dewasa. Gizi lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan

BAB 1 : PENDAHULUAN. pada anak-anak hingga usia dewasa. Gizi lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan kelompok peralihan dari masa anak-anak. menuju dewasa dan kelompok yang rentan terhadap perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan kelompok peralihan dari masa anak-anak. menuju dewasa dan kelompok yang rentan terhadap perubahanperubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan kelompok peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa dan kelompok yang rentan terhadap perubahanperubahan yang ada disekitarnya, khususnya pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Terciptanya SDM yang berkualitas ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu komponen penting dalam mencapai tujuan pembangunan kesehatan.sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama

BAB I PENDAHULUAN. lum masa dewasa dari usia tahun. Masa remaja dimulai dari saat pertama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Remaja didefinisikan oleh WHO sebagai suatu periode pertumbuhan dan perkembangan manusia yang terjadi setelah masa anak-anak dan sebe lum masa dewasa dari usia 10-19

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan

BAB I PENDAHULUAN. yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sekolah Menengah Kejurusan (SMK) sebagai salah satu institusi yang menyiapkan tenaga kerja, dituntut mampu menghasilkan lulusan sebagaimana yang diharapkan dunia kerja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai akibat dari kecenderungan pasar global, telah memberikan berbagai dampak pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi, yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Jika tubuh tidak cukup mendapatkan zat-zat gizi

BAB I PENDAHULUAN. mengandung zat gizi, yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air. Jika tubuh tidak cukup mendapatkan zat-zat gizi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa anak-anak terutama usia sekolah merupakan tahapan yang penting bagi kehidupan seseorang. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan fisik, kognitif dan

Lebih terperinci